ACARA ID
A. TUJUAN
Tujuan pada praktikum ini adalah
1. Mengetahui daerah lahan kritis berdasarkan unsur-unsur pembentuk lahan kritis
B. LANGKAH KERJA
Data shp persentase batuan, erosi, lereng, manajemen lahan, dan produktivitas yang sudah memiliki
data atribut dengan harkat berjenjang sesuai klasifikasi
Penginputan data hasil intersect menjadi field baru dengan tipe LONG dan Bernama “hartot”
Pembuatan expression pada calculate field untuk menghitung harkat total pada field Hartot
Pembuatan expression pada calculate field untuk mengklasifikasikan tingkat kritis pada nilai hartot
D. PEMBAHASAN
Pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang merupakan salah satu metode dalam
analisis spasial dengan data geografi. Metode dengan pendekatan ini merupakan metode
yang memberikan nilai harkat dengan menggunakan bobot penimbang yang berbeda
pada setiap variable sesuai kontribusinya. Pemberian bobot penimbang tersebut tidak
memiliki acuan yang baku tetapi tetap harus sesuai dengan pengaruhnya terhadap tingkat
lahan kritis di lokasi kajian (Arta, 2017). Hasil dari pemodelan dengan pengharkatan
berjenjang tertimbang ini dapat diklasifikasikan tingkat lahan kritisnya. Lokasi kajian
yang digunakan untuk pemodelan lahan kritis ini adalah salah satu kabupaten di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Kabupaten Sleman.
Lahan Kritis merupakan lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan
atau berkurangnya fungsi sampai batas yang ditentukan ataupun diharapkan (Ariyanto,
2009). Lahan kritis juga dapat dimaknai sebagai lahan yang terdegradasi sehingga tidak
produktif lagi karena pengelolaannya tidak memperhatikan syarat konservasi tanah dan
air (Sitorus dkk, 2011). Lahan kritis yang ditangani dapat menadi solusi untuk mencegah
bahaya banjir, longsor, bahkan kekeringan (Rini, 2018). Berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan No P.32 Tahun 2009, lahan kritis dapat diklasifikasi menjadi lima kelas yaitu
Sangat Kritis, Kritis, Agak Kritis, Potensial Kritis, dan Tidak Kritis. Tingkat klasifikasi
lahan kritis yang digunakan pada praktikum ini juga ada lima namun penggunaan istilah
yang digunakan berbeda.
Parameter-parameter yang digunakan ada lima yaitu persentase batuan, erosi,
kemiringan lereng, manajemen lahan, dan produktivitas lahan. Parameter manajemen
lahan dengan produktivitas lahan memiliki bobot penimbang paling tinggi yaitu 30.
Sedangkan parameter jenis batuan memiliki bobot terendah yaitu 5. Kabupaten Sleman
Setelah seluruh parameter dikalikan dengan bobot penimbang, nilai tersebut dijumlahkan
sehingga menghasilkan harkat total yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat
kekritisan. Nilai harkat total di setiap poligon wilayah dari hasil intersect kelima
parameter tersebut yang terendah adalah 995 dan yang tertinggi adalah 22700. Hal ini
menunjukkan bahwa seluruh wilayah dapat diklasifikasikan sebagai Sangat Tidak Kritis
yang ketentuan harkatnya > 350. Tingkat kekritisan yang dihasilkan pada pemodelan di
seluruh Kabupaten Sleman adalah Sangat Tidak Kritis.
Nilai harkat total yang sangat tinggi disebabkan parameter produktivitas dan
manajemen didominasi dengan harkat 5 yang dimana kedua parameter tersebut juga
memiliki bobot penimbang tertinggi. Hal ini berarti manajemen lahan di Kabupaten
Sleman tergolong baik dan produktivitas lahan tergolong tinggi (Permenhut No P.32
Tahun 2009). Sementara parameter lereng Sebagian besar didominasi dengan harkat 1
dan 2 yaitu sangat curam dan curam. Hal ini sesuai dengan kondisi topografi Kabupaten
Sleman yang bergelombang dan curam karena merupakan bagian dari lereng Gunung
Merapi (Ramadhan, 2021). Dominasi harkat bernilai rendah pada parameter lereng tidak
E. KESIMPULAN
Kesimpulan pada praktikum ini antara lain:
1. Daerah lahan kritis dapat diidentifikasi melalui parameter-parameter yang
berkontribusi dalam lahan kritis seperti tutupan batuan, erosi, ketinggian lereng,
manajemen lahan, dan produktivitas lahan. Pemodelan lahan kritis dengan masing-
masing parameternya dilakukan dengan pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang
yaitu memberikan nilai harkat dengan menggunakan bobot penimbang yang berbeda
pada setiap variable/parameter sesuai kontribusinya. Seluruh wilayah Kabupaten
Sleman teridentifikasi Sangat Tidak Kritis.
F. DAFTAR PUSTAKA
Ariyanto, M. Pramono H. 2009. Pemodelan lahan kritis mengginakan penginderaan jauh
dan sistem informasi geografi. Tesis: Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah
Mada.
Rini, M.S. 2018. Pemanfaatan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis Untuk
Identifikasi Lahan Kritis Di Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Geografi, 15(2) : 83-90
Sitorus, S. R. P., Susanto B., Haridjaja O. 2011. Kriteria dan Klasifikasi Tingkat
Degradasi Lahan di Lahan Kering (Studi Kasus: Lahan Kering di Kabupaten Bogor).
Jurnal Tanah dan Iklim. 34(1) : 66-83