DASAR TEORI
2.1 Stabilitas
Suatu sistem tenaga listrik yang baik harus dapat memenuhi 3 persyaratan
utama dalam pengoperasiannya, yaitu:
a. Reliability adalah kemampuan sistem untuk menyalurkan daya atau energi
secara terus menerus.
b. Quality adalalah kemampuan system tenaga listrik untuk menghasilkan
besaran-besaran standart yang ditetapkan untuk tegangan dan frekuensi.
c. Stability menurut pengertianya adalah kemampuan alat untuk kembali kepada
kondisi normal apabila terjadi gangguan.
Lebih lanjut lagi, dapat dijelaskan bahwa stabilitas adalah kecenderungan dari
suatu system untuk membangkitkan gaya lawan yang sama atau lebih besar
dibandingkan besarnya gaya gangguan, sehingga dapat memulihkan kembali
keadaannya ke kondisi setimbangnya. Dalam kestabilan system tenaga listrik,
stabilitas system mengandalkan kemampuan dari generator sinkron untuk tetap
bertahan dalam kondisi stabilnya. Yang artinya adalah baiknya system operasi dari
system tenaga listrik bergantung pada kemampuan generator-generator sinkron untuk
membangkitkan daya yang terinterkoneksi dalam satu system tetap stabil atau dalam
kondisi sinkron, dalam bahasa-sehari disebut in step. Sebaliknya, ketidaktabilan
dalam system tenaga listrik adalah kondisi saat system menunjukkan tidak dalam
kondisi sinkronnya. Ketidakstabilan juga dapat terjadi tanpa adanya kehilangan
sikronisasi. Sebagai contoh system yang memiliki generator sinkron yang menyuplai
beban motor induksi melalui saluran transmisi dapat menjadi tidak stabil karena
adanya penurunan drastis tegangan beban.
BAB II II-1
Gangguan dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu gangguan kecil dan
gangguan besar. Gangguan kecil merupakan satu dari elemen sistem dinamik yang
dapat dianalisis menggunakan persamaan linear (analisis sinyal kecil). Gangguan
kecil yang terjadi berupa perubahan beban pada sisi beban atau pembangkit secara
acak, pelan, dan jatuh bertingkat. Jatuh (trip) yang dialami oleh jaring tenaga listrik
dianggap sebagai gangguan kecil jika pengaruhnya terhadap aliran daya sebelum
gangguan pada jaring itu tidak signifikan. Bagaimanapun juga, gangguan yang
menghasilkan kejutan tiba-tiba pada tegangan bus adalah jenis gangguan besar yang
harus dihilangkan secepatnya. Jika tidak dihilangkan secepatnya, gangguan itu akan
sangat mempengaruhi kestabilan sistem. Tidak hanya besar gangguan, waktu
gangguan juga berpengaruh terhadap kestabilan sistem.
Stabilitas system Tenaga Listrik, secara umum klasifikasinya dapat dilihat
pada gambar berikut :
BAB II II-2
Secara umum permasalahan stabilitas sistem tenaga listrik terkait dengan
kestabilan sudut rotor (Rotor Angle Stability) dan kestabilan tegangan (Voltage
Stability). Klasifikasi ini berdasarkan rentang waktu dan mekanisme terjadinya
ketidakstabilan. Di mana :
a. Rotor Angle Stability, adalah kemampuan dari generator sinkron yang
terinterkoneksi dalam satu system tenaga listrik untuk tetap dalam
keadaan sinkronnya. Kestabilan ini didasarkan pada faktor perilaku
bagaimana daya keluaran dari generator sinkron berubah ketika rotornya
berosilasi. Saat terjadi osilasi dalam rotor, maka akan terjadi perubahan
dalam torka elektrik mesin akibat adanya gangguan, yang dapat
diselesaikan melalui dua komponen, dalam persamaan matematis dapat
dituliskan sebagai berikut :
∆𝑇𝑒 = 𝑇𝑠 ∆𝛿 + 𝑇𝐷 ∆𝜔 ..................................................................... 2-1
Di mana :
- 𝑇𝑠 ∆𝛿 adalah komponen yang menyatakan perubahan torka akibat
adanya gangguan pada sudut rotor ∆𝛿, dan dapat dikatakan sebagai
komponen torka sinkronisasi. 𝑇𝑠 adalah koefisien torka sinkronisasi.
- 𝑇𝐷 ∆𝜔 adalah komponen yang menyatakan perubahan torka akibat
adanya simpangan kecepatan ∆𝜔, dan dapat dikatakan sebagai
komponen torka redaman. 𝑇𝐷 adalah koefisien torka redaman.
Dalam Rotor angle stability dibagi menjadi :
- Small-signal stability, yaitu kemampuan dari system tenaga listrik
untuk menjaga sinkronnya saat terjadi gangguan kecil.
- Transient stability, yaitu kemampuan dari system tenaga listrik untuk
menjaga sinkronnya saat terjadi beberapa gangguan yang bersifat
transient.
BAB II II-3
Gambar 2.2 Sudut Rotor
BAB II II-4
diakibatkan oleh adanya perubahan pada sisi beban dan pembangkit. Ketidakstabilan
yang terjadi, diakibatkan dari :
- Kenaikan yang mantap di sudut rotor saat terjadi kekurangan torka
sinkronisasi.
- Adanya kenaikan amplitude dalam sinyal osilasi rotor saat kekurangan
torka redaman.
BAB II II-5
Gambar 2.4 Grafik ketidakstabilan oscillatory mode
BAB II II-6
Di mana :
- 𝐸𝐺 = tegangan generator.
- 𝐸𝑀 = tegangan motor.
- 𝑋𝐺 = reaktansi induktif generator.
- 𝑋𝑀 = reaktansi induktif motor.
- 𝐸𝑇1 = tegangan input terminal saluran.
- 𝐸𝑇2 = tegangan output terminal saluran.
Daya yang disuplai dari generator menuju motor adalah fungsi perbedaan sudut
antara rotor kedua mesin tersebut yang disebut 𝛿. Perbedaan sudut ini berdasarkan
persoalan di atas terjadi melalui tiga komponen yaitu :
- 𝛿𝐺 , yaitu sudut internal generator yang dihasilkan dari perbedaan
sudut rotor generator yang mendahului pembangkitan medan stator .
- 𝛿𝐿 , yaitu sudut antara tegangan terminal generator dan motor yang
dihasilkan dari perbedaan sudut antara medan generator yang
mendahului sudut motor.
- 𝛿𝑀 , yaitu sudut internal motor yang dihasilkan dari sudut rotor motor
yang tertinggal dari generator.
Maka dari penjelasan tersebut dapat digambarkan diagram phasor dari persoalan ini,
yaitu
BAB II II-7
Berdasarkan gambar 2.1 besarnya arus yang mengalir pada saluran adalah
𝐸𝐺 ∠𝛿−𝐸𝑀 ∠0 𝐸𝐺 ∠𝛿−𝐸𝑀
𝐼= = ........................................................................... 2-2
𝑗𝑋𝑇 𝑗𝑋𝑇
Di mana :
- 𝑋𝑇 = 𝑋𝐺 + 𝑋𝐿 + 𝑋𝑀 ................................................................................... 2-3
- 𝛿 = 𝛿𝐺 + 𝛿𝐿 + 𝛿𝑀 ....................................................................................... 2-4
𝐸𝑀 𝐸𝐺 ∠−𝛿 𝐸𝑀 2
𝑆= − + ..................................................................................... 2-7
𝑗𝑋𝑇 𝑗𝑋𝑇
𝐸𝑀 𝐸𝐺 ∠𝛿 𝐸𝑀 2
𝑆= + .......................................................................................... 2-8
𝑗𝑋𝑇 𝑗𝑋𝑇
𝐸𝑀 𝐸𝐺 ∠(𝛿−90°) 𝐸𝑀 2 ∠−90°
𝑆= + ........................................................................... 2-9
𝑋𝑇 𝑋𝑇
𝐸𝐺 𝐸𝑀 ∠−(90°−𝛿) 𝐸𝑀 2 ∠−90°
𝑆= + ......................................................................... 2-10
𝑋𝑇 𝑋𝑇
Daya nyata yang dikirimkan oleh generator berdasarkan persamaan di atas adalah :
𝐸𝐺 𝐸𝑀 𝐸𝑀 2
𝑃= cos(−(90° − 𝛿)) + cos(−90) ................................................ 2-11
𝑋𝑇 𝑋𝑇
𝐸𝐺 𝐸𝑀 𝐸𝑀 2
𝑃= cos((90° − 𝛿)) + cos(90) ...................................................... 2-12
𝑋𝑇 𝑋𝑇
𝐸𝐺 𝐸𝑀
𝑃= 𝑠𝑖𝑛𝛿 ................................................................................................ 2-13
𝑋𝑇
Dan besarnya daya generator , yang menyuplai ke motor dapat dituliskan sebagai
berikut :
|𝐸𝐺 ||𝐸𝑀 |
𝑃= 𝑠𝑖𝑛𝛿
𝑋𝑇
BAB II II-8
Maka bila diasumsikan tegangan generator adalah tegangan kirim dari suatu system,
dan tegangan pada motor adalah tegangan yang diterima, maka persamaan 2-13 dapat
ditulis sebagai berikut :
|𝑉𝑆 ||𝑉𝑅 |
𝑃= 𝑠𝑖𝑛𝛿 .............................................................................................. 2-14
𝑋𝑇
Di mana :
𝑉𝑆 = tegangan kirim
𝑉𝑅 = tegangan terima
Dan dari rumus 2-13 di atas dapat diketahui bahwa besarnya perubahan daya yang
dikirimkan dari generator ke motor adalah berbentuk sinusoidal. Yang dapat
digambarkan dalam gambar di bawah ini
Maka berdasarkan gambar 2-2 dan grafik di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
besarnya daya maksimum yang dapat dikirimkan dari generator ke motor adalah saat
𝛿 = 90°.
Apabila dalam generator ada daya input mekanis, maka daya input mekanis
dapat diasumsikan sebagai garis lurus yang parallel dengan sudut 𝛿, karena daya
input mekanis tidak dipengaruhi oleh 𝛿. Dapat digambarkan sebagai berikut
BAB II II-9
Gambar 2.9 Grafik antara daya kirim terhadap sudut daya dengan adanya daya input
Berdasarkan gambar 2.9, titik a dan b adalah titik perpotongan antara daya
input mekanikal dan daya keluaran elektrik. Apabila, daya elektrik diatur dalam titik
a maka apabila terjadi gangguan mesin masih dapat kembali ke titik setimbangnya
yaitu titik a, namun apabila diatur pada titik b dan terjadi gangguan maka mesin tidak
akan kembali pada titik seimbangnya.
BAB II II-10
mendeskripsikan hubungan putaran inersia yang mengakibatkan adanya
ketidakseimbangan antara torka elektromagnetik dan torka mekanis, sehingga
menimbulkan adanya perubahan sudut rotor 𝛿. Penempatan antara 𝛿, terhadap waktu
disebut swing curve.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui penjelasan dari gambar di bawah ini
:
Gambar 2.10 Alur mekanis dan elektrik pada generator (a) dan motor (b)
BAB II II-11
momen kelembaman (moment of inertia) rotor dan percepatan sudutnya”. Maka
berdasarkan rumus torka yaitu :
𝑇 = 𝐽. 𝛼 ............................................................................................................ 2-17
Di mana :
𝑇 = Torka (Nm)
J = momen inersia (kg𝑚2 )
𝛼 = percepatan sudut (rad/𝑠 2 )
Di mana :
𝛼 = percepatan sudut (rad/𝑠 2 )
𝑑𝜔 = perubahan kecepatan (rad/s)
𝑑𝑡 = perubahan waktu (s)
Di mana :
𝜔 = kecepatan sudut (rad/s)
𝑑𝜃 = perubahan sudut (rad)
𝑑𝑡 = perubahan waktu (s)
Bila persamaan 2-19 disubstitusi ke persamaan 2-18, maka bentuknya akan menjadi :
𝑑𝜃
𝑑( )
𝛼= 𝑑𝑡
.......................................................................................................... 2-20
𝑑𝑡
𝑑2 𝜃
𝛼= ............................................................................................................ 2-21
𝑑𝑡 2
BAB II II-12
Dan dari persamaan 2-21 bila disubstitusikan ke persamaan 2-17, menjadi
𝑑2 𝜃
𝑇 = 𝐽 𝑑𝑡 2 .......................................................................................................... 2-22
Dengan :
J = Momen inersia dari massa rotor (kg.𝑚2 )
𝜃𝑚 = perubahan sudut rotor terhadap sumbu yang stasioner (rad)
t = waktu (s)
𝑇𝑀 = Torka mekanis rotor (N-m)
𝑇𝑒 = Torka elektromagnetis (N-m)
Perlu diketahui bahwa 𝜃𝑚 diukur terhadap sumbu yang stasioner atau diam, maka
perlu dipertimbangkan saat adanya kecepatan sinkron, sehingga posisi 𝜃𝑚 dapat
ditulis dalam persamaan sebagai berikut :
𝜃𝑚 = 𝜔𝑠𝑚 𝑡 + 𝛿𝑚 .......................................................................................... 2-24
Dengan :
𝜃𝑚 = perubahan sudut rotor (rad)
𝜔𝑠𝑚 = kecepata sinkron mesin (rad/s)
𝛿𝑚 = perpindahan sudut rotor terhadap sumbu yang berputar dalam kecepatan
sinkron (rad)
BAB II II-13
Di mana :
𝜔𝑠𝑚 = Kecepatan sinkron mesin (rad/s)
𝛿𝑚 = Perpindahan sudur rotor terhadap sumbu yang berputar dalam kecepatan
sinkron (rad)
𝑑𝛿𝑚
= Penyimpangan kecepatan rotor saat dalam keadaan sinkron (rad/s)
𝑑𝑡
Maka dari persamaan 2-21 dapat ditentukan percepatan putaran rotor saat dalam
keadaan sinkron adalah :
𝑑𝜔𝑚 𝑑2 𝛿𝑚 𝑑2 𝜃𝑚
𝛼= = = .................................................................................. 2-26
𝑑𝑡 𝑑𝑡 2 𝑑𝑡 2
Di mana :
𝛼 = percepatan sudut rotor (rad/𝑠 2 )
𝛿𝑚 = Perpindahan sudur rotor terhadap sumbu yang berputar dalam kecepatan
sinkron (rad)
Dengan :
J = Momen inersia massa rotor (kg.𝑚2 )
𝛿𝑚 = Perpindahan sudur rotor terhadap sumbu yang berputar dalam kecepatan
sinkron (rad)
BAB II II-14
Untuk kemudahan perhitungan swing equation, dapat dihitung melalui bentuk
daya, dengan cara mengalikan persamaan 2-28, dengan kecepatan sudut rotor 𝜔𝑀 .
Maka persamaan 2-28 dapat dirubah menjadi :
𝑑2 𝛿𝑚
𝐽𝜔𝑀 = 𝑇𝑀𝜔𝑀 − 𝑇𝑒 𝜔𝑀 .............................................................................. 2-29
𝑑𝑡 2
Di mana bentuk 𝐽𝜔𝑀 dapat dinyatakan sebagai momen sudut atau momentum anguler
yang dapat diganti dengan persamaan M, dan karena torka dikalikan dengan
kecepatan menjadi daya, sehingga persamaan 2-29 dapat dituliskan menjadi :
𝑑2 𝛿𝑚
𝑀 = 𝑃𝑀 − 𝑃𝑒 ............................................................................................ 2-30
𝑑𝑡 2
Persamaan 2-30 adalah bentuk lain dari swing equation dengan komponen daya.
Perlu diketahui bahwa konstanta M besarannya bervariasi tergantung pada ukuran,
kecepatan, dan jenis mesin. Untuk mengatasi hal tersebut, konstanta M, dapat diganti
menjadi bentuk konstanta inersia H. Pengertian H sendiri merupakan besarnya energi
kinetic yang tersimpan saat kecepatan sinkronnya dibagi dengan daya semu mesin,
yang dapat dituliskan dalam persamaan matematis :
1 𝐽𝜔𝑠𝑚 2
𝐻 = 2𝑆 ................................................................................................... 2-31
𝑀𝑎𝑐ℎ𝑖𝑛𝑒
Di mana :
1
𝐽𝜔𝑠𝑚 2 = Energi kinetik yang tersimpan (MJ)
2
1 𝐽𝜔𝑠𝑚 𝜔𝑠𝑚
𝐻= .................................................................................................. 2-33
2 𝑆𝑀𝑎𝑐ℎ𝑖𝑛𝑒
Dari persamaan di atas kondisi yang dimaksud adalah saat kecepatan sinkron,
sehingga 𝜔𝑀 = 𝜔𝑠𝑚 , maka
2𝐻 𝑆𝑀𝑎𝑐ℎ𝑖𝑛𝑒
𝐽𝜔𝑀 = ............................................................................................. 2-34
𝜔𝑠𝑚
BAB II II-15
2𝐻 𝑆𝑀𝑎𝑐ℎ𝑖𝑛𝑒
𝑀= ................................................................................................ 2-35
𝜔𝑠𝑚
𝑃𝑀 −𝑃𝑒 2𝐻 𝑆𝑀𝑎𝑐ℎ𝑖𝑛𝑒
𝑑2 𝛿𝑚
= .......................................................................................... 2-36
𝜔𝑠𝑚
𝑑𝑡2
2𝐻 𝑑2 𝛿𝑚 𝑃𝑀 −𝑃𝑒
=𝑆 .......................................................................................... 2-37
𝜔𝑠𝑚 𝑑𝑡 2 𝑀𝑎𝑐ℎ𝑖𝑛𝑒
Dari persamaan 2-37 terlihat bahwa daya mesin dapat diubah menjadi bentuk per-
unit, sehingga dapat disederhanakan menjadi :
2𝐻 𝑑2 𝛿𝑚
= 𝑃𝑀 (𝑝𝑢) − 𝑃𝑒 (𝑝𝑢) ............................................................................. 2-38
𝜔𝑠𝑚 𝑑𝑡2
Dengan :
H = inertia constant
𝜔𝑠𝑚 = kecepatan sinkron (rad/s)
𝑑2 𝛿𝑚
= percepatan rotor (rad/𝑠 2 )
𝑑𝑡 2
𝐻 𝑑2 𝛿𝑚
= 𝑃𝑀 (𝑝𝑢) − 𝑃𝑒 (𝑝𝑢) ............................................................................ 2-40
180𝑓 𝑑𝑡 2
Dengan :
H = inertia constant (MJ/MVA)
f = frekuensi saat sinkron (rad/s)
𝑑2 𝛿𝑚
= percepatan rotor (rad/𝑠 2 )
𝑑𝑡 2
BAB II II-16
Persamaan 2-40 disebut sebagai swing equation atau persamaan ayunan dalam bentuk
per-unit, sehingga lebih sering digunakan sebagai persamaan dasar untuk mengatur
dinamika (gerak) perputaran mesin serempak dalam kestabilan jenis rotor angle-
stability.
BAB II II-17