Anda di halaman 1dari 5

Relevansi Teori Atom al-Bāqilāni Terhadap Pengembangan Sains di Era

Kontemporer

Husna Hisaba Kholid

Pendahuluan.

Dalam diskurus teori atom Mutakallimūn, ulama teologis di masa klasik


ternyata mampu membincangkan alam fisik untuk menjadi jembatan kepada
kebenaran alam metafisika. Sumbangsih ulama teologi klasik tersebut menjadikan
alam (universe) mampu memberikan nilai spiritual yang khas, tidak seperti yang
dihasilkan oleh sains barat sekuler yang telah dirasakan dampak buruknya terhadap
krisis kemanusian akibat dari Disenchanment of Nature (menghilangkan
keterpesonaan alam)(Harvey Cox, 2007, hlm. 22; Nasr, 1990, hlm. 20). Dengan
demikian, integrasi nilai spiritualitas terhadap kajian alam melalui teori atom
Mutakallimūn dewasa ini menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut.

Salah satu mutakallimūn masa klasik yang membahas secara mendalam


terkait teori atom ialah al-Bāqilāni dalam karyanya kitab al-Tamhīd. Sebagaimana
Ibnu Khaldun jelaskan, bahwa al-Bāqilani merupakan salah satu ulama Asy’ariyah
yang menjadi rujukan utama di masa klasik terkait pembahasan atom di kalangan
Mutakallimūn (Ibnu Khaldun, 2011, hlm. 861). Jika ditelusuri lebih lanjut, al-Bāqilāni
secara sistematis dalam karyanya tersebut, telah menjadikan konsep atom sebagai
argumentasi aqliyyah dan penguat akidah imāniyyah tentang keberadaan dan
kemahakuasaan Tuhan (al-Baqilani, 1957, hlm. 22), maka peran al-Bāqilāni dalam
konsep atom tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tulisan ini hendak mengkaji
bagaimana konsep atom menurut al-Bāqilāni serta hubungannya dengan diskurusus
sains alam.

Teori Atom Menurut al-Bāqilani

Al-Bāqilāni menjadikan al-Jauhar (Atom) sebagai pijakan argumentasi dalam


perbincangan alam sebagai wujud yang bersifat hudūts (baru) (al-Baqilani, 1957, hlm.
17). Al-Jauhar (Atom) menurutnya merupakan substansi yang menerima seminimal-
minimalnya satu al-‘Aradl (aksiden) saja dari segala jenis aksiden. Karena jika dalam
al-Jauhar itu tidak terdapat al-‘Aradl (aksiden) maka dipastikan tidak akan ada wujud
dari al-jauhar (atom) (al-Baqilani, 1957, hlm. 17). Dari pengertian ini pula maka
wajar, al-Ghazali menyebutkan al-Jauhar merupakan wujud (eksistensi) yang tidak
memerlukan sesuatu yang lain untuk di tempati (Abu Hamid al-Ghazali, 1961, hlm.
300) atau dalam pengertian al-Ash’ari sebagai zat yang berdiri sendiri (Abu al-Hasan
al-Ash’ari, t.t., hlm. 306), karena justru aksiden lah yang bergantung dan bertempat
pada al-Jauhar (atom).

Aksiden dengan demikian bagi al-Bāqilāni itu bersifat temporal, karena


al-‘Aradl tidak dapat berdiri sendiri. Al-Bāqilāni berargumentasi dengan
penggunaan kata al-‘Aradl di dalam ayat al-Qur’an, Turīdūna ‘aradla al-dunya wa
Allahu yurīdu al-Ākhirah (al-Anfal :67). Kata harta di dalam ayat tersebut
diungkapkan dengan kata ‘aradl yang menunjukan bahwa harta itu bersifat
temporal/binasa/musnah sebagaimana aksiden disebut dengan al’Aradl (al-Baqilani,
1957, hlm. 18). Pijakan dasar pemikiran al-Bāqilāni atas aksiden yang bersifat
temporal ini menunjukan bahwa al-Qur’an berperan dalam membentuk worldview
Islam bagi para intelektual muslim klasik dalam membaca realitas dunia.

Dari pengetian al-jauhar (atom) dan al-‘Aradl (aksiden) tersebut kemudian,


al-Bāqilāni menjelaskan bahwa tidak mungkin setiap jism (jasad) itu memiliki dua
al-‘aradl (aksiden) yang berlawanan secara bersamaan, seperti bergerak dan diam
(al-Baqilani, 1957, hlm. 19). Ketika aksiden “bergerak” muncul dalam satu jasad,
maka aksiden “diam” akan lenyap, begitupun sebaliknya. Gerak dan diam dalam satu
jasad ini maka semakin meneguhkan sifat temporal dari al-‘aradl (aksiden).
Konklusinya, jika saja aksiden itu bersifat temporal, maka secara pasti al-Jauhar itu
pun bersifat temporal dan hanya memiliki eksistensi sesaat saja.(Hamid Fahmi
Zarkasyi, 2018, hlm. 50)

Dari konstruksi pemikiran tersebut maka teori al-Jauhar (atom) dan al-‘Aradl
(aksiden) ini menunjukan kepada dua kesimpulan pembahasan. Pertama, dunia ini
bersifat temporal tidak kekal, sebagaimana temporalnya al-Jauhar (atom). Kedua,
dibalik keteraturan dunia ini ada yang Maha Kuasa dan Maha Mencipta. Karena jika
setiap al-Jauhar (atom) itu berifat baru maka mesti ada yang menciptakan atom-
atom baru untuk keberlangsungan transformasi makhluk di dunia. Kuasa Itulah bagi
al-Bāqilani sebagai Kemahakuasaan Tuhan (Allah). Dengan demikian, sebagaimana
Mutakallimūn lainnya (Kartanegara, 2017, hlm. 75), al-Bāqilāni berkeyakinan bahwa
Tuhan adalah agen pertama dalam menciptakan dan mengendalikan alam.

Relevansi Teori Atom al-Bāqilāni dalam Pengembangan Sains Alam.

Pemikiran Atom al-Bāqilāni membuktikan bahwa alam dapat dikaji sebagai


pembuktian eksistensi Tuhan dan kemahakuasaan-Nya dengan pandangan alam
(worldview) Islam. Ini menjadi bukti bahwa pandangan Alam (worldview) telah
berperan aktif dalam menafsirkan apa makna kebenaran (truth) dan realitas (reality)
( Lihat, Muhammad Naquib al-Attas, 1995, hlm. 9). Konsep worldview Islam yang
bertumpu pada konsep Tuhan, akan sangat berpengaruh dalam memandang realitas
dan penemuan pengetahuan. (Fahmy Zarkasyi dkk., 2016, hlm. 13) Dalam hal ini
maka, Al-Bāqilāni telah membuktikan bahwa Islam mampu membaca alam sekaligus
mendiskusikan kebenaran metafisika secara bersamaan dengan basis padangan alam
islam (Islamic Worldview).

Pemikiran atom al-Bāqilāni ini selanjutnya semakin menguatkan hubungan


antara kajian alam dan agama. Seperti yang digambarkan oleh Imre Lakatos, bahwa
semua cabang ilmu (ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu humaniora), kerangka teori
(theoretical framework) atau series of theories, paradigma keilmuan, semua
bangunan itu secara hirarki dilandasi oleh bagian terdalam dari basis teologis, basis
keagamaan, yang berfungsi sebagai inti pokok (hard core) atau “metateori” yang tak
lain adalah asumsi dasar yang menggerakkan aktivitas ilmiah dengan tujuan
memecahkan masalah-masalah ilmiah.(Muslih, 2016, hlm. 271). Worldview Islam
dan paradigma akhirnya, akan menjadi basic beliefs dalam penalaran seseorang
dalam menghasilkan suatu ilmu pengetahuan (Fahmy Zarkasyi dkk., 2016, hlm. 12).
Kesimpulan

al-Bāqilāni dengan demikian telah memadukan antara kajian kosmos dan


metafisika melalui teori atom untuk membuktikan sifat fana dunia dan
kemahakuasaan Tuhan (Allah). Integrasi kajian kosmos dan metafisika ini secara
bersamaan, menjadi bukti bahwa Islam memberikan pandangan alam yang khas
dalam kajian alam dan berbeda dengan kajian sains sekuler barat yang meniadakan
Tuhan dan mengakibatkan kerusakan alam. Kajian alam yang dilakukan oleh al-
Bāqilāni dengan demikian, memberikan gambaran kosmologi islam bukan hanya
bersifat rasional empiris saja namun juga bersifat teologis. Oleh karena itu, usaha al-
Bāqilāni ini memberikan sebuah tawaran sekaligus dorongan kepada saintis dan
cendekiawan muslim kontemporer untuk merancang konsep sains alam yang khas
dengan basis pandangan alam (Worldview) Islam sebagai jembatan untuk
menguatkan keimanan kepada Tuhan (Allah) sembari dapat menjaga dan
melestarikan alam itu sendiri sebagai karunia ciptaan Tuhan.

Bibliografi

Abu al-Hasan al-Ash’ari. (t.t.). Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-musallin. Dar Ihya

al-Turats al-’Arabi.

Abu Hamid al-Ghazali. (1961). Mi’yar al-’Ilmi fi Fan al-Mantiq. Dar al-Ma’arif.

al-Baqilani. (1957). Kitab al-Tamhid. Maktabah al-Syarqiyyah.

Fahmy Zarkasyi, H., Bakar, O., Setia, A., Handrianto, B., Arif, S., & Saliba, G. (Ed.).

(2016). Islamic science: Paradigma, fakta dan agenda. Institute for the Study

of Islamic Thought and Civilizations.

Hamid Fahmi Zarkasyi. (2018). Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan. Unida Gontor

Press.

Harvey Cox. (2007). The Secular City. Penguin Book.

Ibnu Khaldun. (2011). Mukaddimah. Pustaka Al-Kautsar.

Kartanegara, M. (2017). Lentera kehidupan: Panduan memahami Tuhan, alam, dan

manusia (Cetakan I). Mizan.

Muhammad Naquib al-Attas. (1995). Prolegomena to The Metaphisics of Islam.

ISTAC.
Muslih, M. (2016). Al-Qur’an dan Lahirnya Sains Teistik. Tsaqafah, Query date: 2022-

07-03 13:37:32.

http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/view/756

Nasr, S. H. (1990). Man and nature. Unwin Paperbacks.

Anda mungkin juga menyukai