Anda di halaman 1dari 25

Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

Etnografi Komunikasi dalam Tradisi Upacara


Pernikahan Masyarakat Etnik Komunitas
Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng
Rappang Provinsi Sulawesi Selatan

Ririn Indraswari, Tamrin Meda


STMIK Handayani
Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia
e-mail : ririn.indraswari@handayani.ac.id
tamrin.samata@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini melatarbelakangi tentang tradisi dan kebudayaan pernikahan yang
dianggap hanya dianggap ceremonial saja, tanpa mengetahui makna dan tujuannya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagimana komponen komunikasi, situasi
komunikasi, peristiwa komunikasi, tindakan komunikasi yang ada pada masyarakat adat
Towani Tolotang secara etnografi dalam prosesi pernikahan Towani Tolotang, serta
makna tradisi dan kebudayaan dari duduk bersila diatas daun lontar pada pernikahan etnik
komunitas Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang Sulawesi Selatan.
Penelitian ini menggunakan metode etnografi komunikasi yaitu peranan makna
dari perilaku komunikatif dalam suatu masyarakat yang berbeda-beda. Pendekatan
penelitian ini menggunakan metode kualitatif, teknik pengumpulan data yang paling
utama adalah observasi partisipan dan wawancara terbuka dan mendalam, yang mana data
yang diperoleh dianalisis secara analisis domain, analisis taksonomi, dan analisis
komponensial.
Dari hasil penelitian yang didapatkan peneliti secara etnografi komunikasi, bahwa
ada beberapa rangkaian peristiwa komunikasi, tindakan komunikasi pada pernikahan
komunitas Towani Tolotang yaitu mabbaja laleng, mappasuro ada, mappettuada,
massarapo, dio majeng, laitona, mappacci, lolang, marala, appasialang, palai tapi,
mapparola, resepsi, mabbenni siwenni, mabbenni tellung penni, manre baiseng. Adapun
makna dari duduk bersila diatas daun lontar adalah merupakan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada para tamu kehormatan, dan para pemangku adat (Uwa’).
Semakin berlapis tingkatan tikar, maka semakin tinggi tingkat strata sosialnya seseorang.
Ini menandakan bahwa Towani Tolotang sangat menghargai tamunya, walaupun aktivitas
tersebut merupakan duduk melantai.
Kata Kunci: Etnografi, Komunikasi, Pernikahan, Towani Tolotang

Pendahuluan
Keberagaman agama dan berbagai aliran kepercayaan di Indonesia tidak pernah
lepas dalam pengawasan negara, dalam hal ini pemerintah termasuk pemerintah daerah.

125
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

Selama ini agama lokal diafiliasikan kedalam salah satu agama resmi yang diakui negara.
Agama lokal yang berafiliasi cenderung mempertahankan berbagai tradisi warisan
leluhur, yang dapat menimbulkan pertentangan baru, sementara penganut agama yang ada
senantiasa menjaga kemurnian agamanya.
Komunitas Towani Tolotang yang bermukim di Kabupaten Sidenreng Rappang
provinsi Sulawesi Selatan merupakan satu agama lokal yang digabungkan ke dalam
agama resmi oleh negara. Afiliasi kepercayaan Towani Tolotang kedalam agama resmi
ditegaskan dalam keputusan Dirjen Bimas Hindu Bali/Budha No. 2/1966 yang
mengeluarkan keputusan menyatakan bahwa Towani Tolotang merupakan salah satu
sekte agama Hindu. Afiliasi Towani Tolotang kedalam agama Hindu memberikan
konsekuensi administratif, segala bentuk urusan Towani Tolotang berkiblat pada agama
Hindu. Penggabungan Towani Tolotang pada agama Hindu didasarkan banyak kemiripan
praktik keagamaan dengan Hindu dibanding dengan agama lain.
Kehidupan bangsa di dunia yang mendiami suatu daerah tertentu memiliki adat
istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, setiap bangsa memiliki adat
istiadat yang merupakan aturan tata hidupnya. Kebiasaan hidup suku bangsa yang satu
berbeda dengan suku bangsa lainnya. Kebiasaan yang dianut berpuluh-puluh tahun oleh
suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa dikenal sebagai tradisi. Upacara adat
perkawinan yang ada di Indonesia sangatlah beragam. Upacara perkawinan adalah
termasuk upacara adat yang harus dijaga dan dilestarikan, karena dari situlah akan
tercermin jati diri bangsa, bersatunya sebuah keluarga bisa mencerminkan bersatunya
sebuah negara. Kebudayaan sebagai hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia memiliki
peranan penting dalam kehidupan manusia. Kebudayaan setiap daerah memiliki arti
tersendiri yang memiliki keunikan masing-masing didalamnya. Van Peursen dalam
Budiono Herusatono(2012)berpendapat mengenai kebudayaan, yaitumeliputi segala
manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti
agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan lain sebagainya.
Upacara adat pernikahan masyarakat Towani Tolotang di Kabupaten Sidrap masih
terpelihara hingga saat ini sehingga menjadi potensi pariwisata di Sulawesi Selatan,
karena upacara adat pernikahan tersebut merupakan warisan leluhur. Yang menjadi ciri
khas prosesi pernikahan masyarakat adat Towani Tolotang adalah semua tamu yang hadir
duduk bersila dilantai papan rumah panggung yang berornamen Bugis, dimana rumah
panggung tersebut yang ditambah teras depannya dinamakan sarapo, gunanya adalah agar
jumlah tamu yang hadir dapat semuanya duduk didalam rumah. Sedangkan khusus

126
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

pemangku adat atau tamu kehormatan akan duduk diatas tikar daun lontar yang telah
disiapkan. Jadi tidak ada kursi satupun dirumah pengantin, yang ada hanya tempat
pelaminan merupakan tempat tidur yang penuh dengan dekorasi, yang menjadi tempat
duduk pengantin. Jika masyarakat tidak memahami makna dan tujuan serta tanpa
memahami bagaimana situasi, bentuk pesan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dan
muatan pesan dari setiap detail tindakan dan makna dari tradisi upacara pernikahan
masyarakat etnik Towani Tolotang, maka dikhawatirkan akan terkikisnya eksistensi, serta
esensi tradisi tersebut dalam masyarakat akan berkurang. Ini berkaitan dengan kajian
etnografi komunikasi yang memandang perilaku yang terlahir dari integrasi tiga
keterampilan dimiliki oleh setiap individu sebagai mahluk sosial. Ketiga keterampilan
terdiri dari keterampilan linguistik, keterampilan interaksi, dan keterampilan budaya
(Kuswarno, 2008:18).
Mendefinisikan etnografi menjadi dasar yang penting untuk memahaminya lebih
lanjut. Etnografi berasal dari bahasa Yunani, ethnos yang berarti orang dan graphein yang
berarti tulisan. Dell-Hymes sebagai pencetus teori etnografi komunikasi menyebutkan
bahwa linguistik bahasa sebagai sistem yang abstrak, telah mengabtraksikan bidang
kajiannya dari sisi pertuturan. Kemudian mendefenisikan etnografi of speaking sebagai
gabungan etnografi dan linguistik, suatu kajian yang menyangkut situasi, penggunaan,
pola, dan fungsi dari bicara sebagai aktivitas. Dan Hymes mengubah istilah
pendekatannya dengan etnogrhaphy of speaking menjadi etnogfraphy of communication.
Pendekatan ini semakin luas dan sebagai kajian yang penting dalam memandang perilaku
komunikasi manusia yang berhubungan erat dengan kebudayaan.
Etnografi komunikasi merupakan sebuah pendekatan untuk menganalisa sebuah
wacana yang digunakan. Etnografi komunikasi juga merupakan salah satu metode
penelitian yang digunakan dalam sebuah penelitian kualitatif, etnografi berkaitan dengan
antropologi akan tetapi etnografi komunikasi berbeda dengan antropologi linguistik, hal
ini dikarenakan etnografi komunikasi memfokuskan kajiannya pada perilaku-perilaku
komunikasi yang didalamnya melibatkan bahasa dan budaya. Etnografi komunikasi
secara sederhananya adalah pengkajian peranan bahasa dalam perilaku komunikasi suatu
masyarakat, yaitu cara-cara bagaimana bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang
berbeda-beda kebudayaannya (Koentjaraningrat, dalam Kuswarno, 2008:11).
Dalam rangka untuk menggambarkan dan menganalisis komunikasi Hymes
membagi ke dalam tiga unit analisis, meliputi situasi (situation), peristiwa (event), dan
tindak (act). Situasi komunikatif (communicative situation) merupakan konteks di mana

127
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

komunikasi terjadi seperti upacara, perkelahian, perburuan, pembelajaran di dalam ruang


kelas, konferensi, pesta dan lain sebagainya. Peristiwa komunikatif (comminicative event)
merupakan unit dasar untuk sebuah tujuan deskriftif komunikasi yang sama meliputi :
topik yang sama, peserta yang sama, ragam yang sama. Tindak komunikatif
(communicative act) umumnya berbatasan dengan fungsi tunggal interaksional, seperti
pernyataan referensial, permintaan atau perintah, yang mungkin berupa tindak verbal dan
non verbal.
Ruang lingkup kajian etnografi terdapat enam lingkup yaitu:
1. Pola dan fungsi komunikasi (patterns and functions of communications).
2. Hakikat dan definisi masyarakat tutur (nature and definition of speech community)
3. Cara-cara berkomunikasi (means of communicating).
4. Komponen-komponen kompetensi komunikasi (component of communicative
competence).
5. Hubungan bahasa dengan pandangan dunia dan organisasi sosial (relationship of
languange to world view and social organization).
6. Semesta dan ketidaksamaan linguistik dan sosial (linguistic and social universal and
inqualities).
Ada beberapa istilah yang akan menjadi kekhasan dalam penelitian etnografi
komunikasi, dan istilah ini nantinya akan menjadi objek penelitian etnografi komunikasi
yaitu:
1. Masyarakat Tutur (speech community).
2. Aktivitas Komunikasi, unit diskrit komunikasi yaitu: (a) Situasi komunikatif dan
konteks terjadinya komunikasi; (b) Peristiwa komunikatif atau keseluruhan perangkat
komponen yang utuh dimulai dengan tujuan umum komunikasi, topik umum yang
sama, dan melibatkan partisipan yang secara umum menggunakan varietas bahasa
yang sama, mempertahankan tone yang sama, dan kaidah-kaidah yang sama untuk
interaksi, dalam setting yang sama; (c) Tindak komunikatif adalah fungsi interaksi
tunggal seperti pernyataan, permohonan, perintah, ataupun perilaku nonverbal.
3. Komponen Komunikasi, yaitu (a) Genre atau tipe peristiwa komunikasi (misal lelucon,
salam, perkenalan, dongeng, gosip, dan lain-lain); (b) Topik peristiwa komunikasi; (c)
Tujuan dan fungsi peristiwa secara umum dan juga fungsi dan tujuan partisipan secara
individual; (d) Setting termasuk lokasi, waktu, musim, dan aspek situasi lainnya; (e)
Partisipan, termasuk usianya, jenis kelamin, etnik, status sosial, atau kategori lain yang
relevan dan hubungannya satu sama lain; (f) Bentuk pesan, termasuk saluran verbal,

128
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

nonverbal, dan hakikat kode yang digunakan, misalnya bahasa mana dan varietas
mana; (g) Isi pesan, mencakup apa yang dikomunikasikan termasuk level konotatif dan
referensi denotatif; (h) Urutan tindakan, atau urutan tindak komunikatif atau tindak
tutur termasuk alih giliran atau fenomena percakapan; (i) Kaidah interaksi; (j) Norma-
norma interpretasi, termasuk pengetahuan umum, kebiasaan, kebudayaan, nilai dan
norma yang dianut, tabu-tabu yang harus dihindari, dan sebagainya.
4. Kompetensi Komunikasi, terdiri dari: (a) Pengetahuan dan harapan tentang siapa yang
bisa atau tidak bisa berbicara dalam setting tertentu? (b) Kapan mengatakannya? (c)
Bilamana harus diam? (d) Siapa yang bisa diajak bicara? (e) Bagaimana berbicara
kepada orang-orang tertentu yang peran dan status sosialnya berbeda? (f) Apa perilaku
nonverbal yang pantas? (g) Rutin yang bagaimana yang terjadi dalam alih giliran
percakapan? (h) Bagaimana menawarkan bantuan? (i) Bagaimana cara meminta
informasi dan sebagainya?
5. Varietas bahasa, terdiri dari : (a) Partisipan dalam komunitas budaya lokal menciptakan
makna. Mereka menggunakan kode-kode yang mempunyai pengertian yang sekiranya
sama untuk mereka mengerti; (b) Komunikator dalam berbagai grup budaya harus
dapat meng koordinasikan tindakan mereka. Harus ada beberapa sistem mengenai apa
yang harus dilakukan dalam komunikasi; (c) Makna dan tindakan merupakan bagian
dari individu. Dalam pengertian lain, mereka berbeda dari satu budaya terhadap
budaya lain; (d) Tidak hanya pola-pola tindakan dan kode yang berbeda dari satu grup
terhadap grup yang satu tetapi setiap grup juga mempunyai cara tersendiri untuk
mengerti beberapa kode dan tindakan.

Pambahasan
Berdasarkan hasil penelitian tentang etnografi komunikasi dalam tradisi upacara
pernikahan komunitas Towani Tolotang yang telah dilakukan oleh peneliti dilapangan,
baik dengan wawancara langsung dengan informan dan narasumber, maupun observasi
partisipan, dapat dijelaskan dari beberapa informan, diantaranya terdiri dari pemangku
adat, dan orang yang telah melakukan pernikahan dengan melaksanakan prosesi adat.
Pada wawancara tersebut peneliti menberikan pertanyaan seputar pemahaman tentang
komponen komunikasi yang mencakup prosesi adat pernikahan.

A. Komponen Komunikasi Tradisi Upacara Pernikahan Etnik Komunitas Towani


Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang

Komponen Komunikasi Penjelasan Komponen Komunikasi


Genre atau tipe peristiwa Dalam penelitian ini prosesi upacara
komunikasi pernikahan komunitas Towani Tolotang

129
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

adalah iring-iringan pengantar mempelai


pengantin dari pihak mempelai pria
Topik peristiwa komunikasi Topik atau fokus referensi komunikasi
dalam tradisi upacara pernikahan komunitas
towani tolotang adalah memohon restu
duniawi dan restu dari kedua orang tua, dan
para kerabat untuk meminta izin menikah
serta meminta doa kepada Dewata Seuwae
(Tuhan YME) yang bergelar Patotoe (Yang
menentukan Takdir)
Tujuan Tujuan dari komunikasi tradisi upacara
pernikahan untuk mendapatkan restu kepada
Dewata Seuwae (Tuhan YME), kedua orang
tua, serta para kerabat untuk meminta izin
menikah.
Setting atau latar Setting atau latar adalah komponen
bahasa yang mengacu kepada ruang dan
waktu, untuk menentukan hari pernikahan
oleh pemangku adat (Uwa’)
Partisipan Partisipan dalam komunikasi pada
prosesi pernikahan yang dijalankan oleh
komunitas etnik Towani Tolotang terdiri
atas kedua orang tua calon pengantin,
pemangku adat (uwa’), dan orang-orang
yang dituakan.

Bentuk Pesan Bentuk pesan dalam komunikasi tradisi


pada prosesi pernikahan komunitas Towani
Tolotang adalah pesan verbal yang
diucapkan dalam bentuk doa, prolog. Selain
pesan verbal juga digunakan pesan-pesan
nonverbal berupa alat-alat dan bahan
sebagai pesan simbolik. Bahasa yang
digunakan dalam komunikasi pada prosesi
pernikahan komunitas Towani Tolotang
adalah bahasa Bugis.

Isi Pesan Komunikasi dalam tradisi yang


diucapkan melalui doa berisikan
permohonan dan harapan kepada kepada
Dewata Seuwae sebagai wujud kekuatan
tertinggi yang mereka percaya dan yakini.
Sedangkan komunikasi dalam bentuk
nonverbal lebih kepada pemaknaan atas
simbol-simbol yang sarat dengan makna-
makna.

Urutan Tindakan Komunikasi dalam prosesi pernikahan


Towani Tolotang yakni dalam setiap
komunikasinya tetap dalam bentuk adat
budaya suku Bugis, diawali dengan sapaan
dan diikuti dengan permohonan dan harapan
kepada Dewata Seuwae sebagai wujud
kekuatan tertinggi yang mereka percaya dan

130
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

yakini. Situasi komunikasi pada pernikahan


Towani Tolotang ini dijalankan berdasarkan
ketetapan rangkaian acara yakni mulai dari
mabbaja laleng, mappasuro ada,
mappettuada, massarapo, dio majeng,
laitona, mappacci, lolang, marala,
appasialang, palai tapi, mapparola, resepsi,
mabbenni siwenni, mabbenni tellung penni,
manre baiseng.

Kaidah Interaksi Komunikasi dalam prosesi pernikahan


Towani Tolotang sangat memperhatikan
hal-hal penting yang wajib, yakni partisipasi
menyeluruh dari keluarga, kerabat dekat,
tetangga, dan berbagai peralatan untuk
menunjang terlaksananya prosesi
pernikahan.

Norma Interpretasi Komunikasi dalam prosesi pernikahan


yang dijalankan membuahkan penghayatan
nilai-nilai keteraturan pada komunitas
Towani Tolotang.

TABEL 1.
Sumber : Hasil Wawancara Dan Pengamatan Peneliti, 2020
Setting komunikasi dalam prosesi pernikahan etnik komunitas Towani Tolotang yaitu:
1. Mabbaja laleng
a. Apa yang dilakukan. Mabbaja laleng di lakukan oleh keluarga dari pihak calon
mempelai pria, hal ini dilakukan guna untuk menjajaki, pendekatan, dan merintis
jalan pada keluarga calon mempelai wanita.
b. Mengapa dilakukan. Mabbaja laleng dilakukan gunanya untuk mengetahui apakah
wanita yang akan dilamar belum memiliki pasangan atau belum ada yang
mengikatnya. Hal ini juga dilakukan untuk mengetahui karakter, perangai, dan
tindak tuturnya.
c. Tempat pelaksanaan. Mabbaja lalelng ini dilaksanakan dirumah wanita.
2. Madduta (Pelamaran)
a. Apa yang dilakukan. Menyampaikan lamaran atau meminang yang dilakukan oleh
salah seorang atau masing-masing duta dari kedua belah pihak untuk berdialog dan
waktu melamar belum melibatkan banyak orang. Biasanya paling banyak 3-5 orang
dari masing-masing pihak termasuk kedua duta
b. Mengapa dilakukan. Prosesi ini dilakukan untuk mencari kesepakatan kedua belah
pihak, dan disaksikan oleh pemangku adat Towani Tolotang (Uwa’)

131
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

c. Tempat Pelaksanaan. Pelaksanaan prosesi ini di kediaman calon mempelai wanita.


3. Mappenre dui / mappettuada oleh pihak pria
a. Apa yang dilakukan. Mappettuada dilakukan setelah madduta (pelamaran)
dilakukan dan menemukan kesepakatan kedua belah pihak. Mappettu artinya
Memutuskan, dan Ada artinya Perkataan, jadi Mappettuada adalah perundingan
antara utusan keluarga calon mempelai pria dengan utusan keluarga calon mempelai
wanita.
b. Mengapa dilakukan. Proses mappenre dui memperlihatkan pada kerabat jumlah
uang pesta dan sompa ( persembahan). Sompa bisa berbentuk tanah, kebun atau
emas yang diberikan kepada mempelai wanita ( menjadi hak sepenuhnya wanita,
tidak boleh diambil meskipun bercerai). Setelah proses ini, baru kemudian
dibicarakan hari baik untuk melakukan akad nikah dan resepsi.
4. Massarapo / Mabbaruga
a. Apa yang dilakukan. Massarapo adalah tahapan pertama dalam rangkaian tradisi
pernikahan. Sarapo adalah bentuk rumah adat Towani Tolotang yaitu rumah
panggung yang besar. Ukurannya seperti dua rumah digabung menjadi satu.
Rumah luas karena semua hadirin akan berada di dalam, saat acara adat
berlangsung. Namun, ketinggian lantai dibuat berbeda. Fungsinya menjadi
pemisah antara tokoh adat dengan masyarakat biasa. Massarapo ini dilaksanakan
tiga samapi lima hari sebelum hari H pernikahan (dilakukan dihari ganjil).
b. Mengapa dilakukan. Massarapo dilakukan agar kerabat jauh, kerabat dekat datang
sebelum acara pernikahan dilakukan. Massarapo juga gunanya untuk berkumpul
dengan tetangga, kerabat sebagai bentuk silaturahmi dengan berkumpul disatu
tempat yaitu ruang tamu yang ditambah sehingga menjadi luas dan memuat
banyak orang. Towani tolotang akan menggunakan sarapo, jika menikah antara
sesamanya, tetapi jika Towani Tolotang menikah dengan agama Islam, maka tidak
akan menggunakan sarapo, tetapi menggunakan tenda sebagai tempat menerima
tamu.
c. Tempat pelaksanaan. Pelaksaan massarapo ini dilakukan dirumah calon pengantin
pria dan wanita, yaitu ruang tamu yang ditambah sehingga menjadi luas sehingga
dapat menampung banyak tamu.

132
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

Gambar 2. Massarapo (menambah bagian depan rumah) atau lego-lego

5. Mappassau Botting dan Dio Majeng


a. Apa yang dilakukan. Setelah menyebarkan undangan pernikahan, mappasau
botting, yang berarti merawat pengantin, adalah ritual awal dalam upacara
pernikahan. Acara ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut sebelum hari H.
Selama tiga hari tersebut pengantin menjalani perawatan tradisional seperti mandi
uap dan menggunakan bedak hitam dari campuran beras ketan, asam jawa dan
jeruk nipis.
b. Mengapa dilakukan. Dio Majeng sendiri merupakan mandi tolak balak yang
dilakukan untuk meminta perlindungan Tuhan dari bahaya. Upacara ini umumnya
dilakukan pada pagi hari, sehari sebelum hari H. Dio majeng juga bermakna
membersihkan dan mensucikan diri. Dio majeng ini hanya dilakukan oleh
mempelai pria yang belum pernah menikah (lajang), dalam artian dio majeng
hanya dilakukan sekali seumur hidup. Dio majeng ini menggunakan majeng kalosi
dan majeng kalulu untuk memandikan calon mempelai pria
c. Tempat pelaksanaan. Ritual dio majeng dilaksanakan dirumah calon pengantin
pria.

133
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

Gambar 3.Dio Majeng


6. Laitona
a. Apa yang dilakukan. Acara diawali dengan prosesi Laitona dilakukan sebelum
ritual mappacci dilakukan. Ritual tersebut dilakukan sesuai rangkaian prosesi untuk
mempelai pria di kediamannya.
b. Mengapa dilakukan. Laitona dilakukan pemangku adat adalah menyajikan makanan
untuk mempelai pria, maknanya adalah pernikahannya direstui dan diberkahi oleh
Dewata Seuwae (Tuhan YME).
c. Tempat Pelaksanaan. Prosesi ini dilaksanakan di kediaman mempelai pria, pada
malam hari sebelum acara akad nikah.

Gambar 4. Laitona

7. Mappacci / Tudampenni
a. Apa yang dilakukan. Malam menjelang pernikahan, calon pengantin pria
melakukan kegiatan mappaci / tudammpenni. Prosesi adat ini dilakukan kepada
calon mempelai pria yang belum pernah menikah (lajang). Ritual ini dilakukan
sekali seumur hidup.

134
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

b. Mengapa dilakukan. Proses ini bertujuan untuk membersihkan dan mensucikan


kedua pengantin dari hal-hal yang tidak baik. Dimulai dengan penjemputan kedua
mempelai, yang kemudian duduk di pelaminan, setelah itu di depan mereka
disusun perlengkapan-perlengkapan berikut; sebuah bantal sebagai simbol
penghormatan, tujuh sarung sutera sebagai simbol harga diri, selembar pucuk daun
pisang sebagai simbol kehidupan yang berkesinambungan, tujuh sampai sembilan
daun nangka sebagai simbol harapan, sepiring wenno (padi yang sangrai) sebagai
simbol perkembangan baik, sebatang lilin yang menyala sebagai simbol
penerangan, daun pacar halus sebagai simbol kebersihan dan bekkeng (tempat
logam untuk daun pacci) sebagai simbol persatuan pengantin. Setelah
perlengkapan-perlengkapan tersebut ditaruh, satu persatu kerabat dan tamu akan
mengusapkan pacci (daun pacar) ke telapak tangan pengantin. Mappacci dilakukan
hanya pria yang belum menikah (lajang) artinya, hanya dilakukan sekali seumur
hidup. Sebelum ritual ini dilaksanakan, diawali dengan sanro sebagai pembaca doa
dengan mengelilingkan dikepala pesse pelleng (kemiri) yang dibakar, sebelum
pemangku adat (Uwa’) memakaikan sigerra’ dan sebanyak tujuh sampai sebelas
orang pemangku adat (Uwa’) melakukan ritual mappacci.
c. Tempat pelaksanaan. Ritual mappacci ini dilaksanakan oleh pihak calon mempelai
pria.

Gambar 6

135
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

Gambar 7. Mappacci / Tudampenni

8. Lolang
a. Apa yang dilakukan. Lolang ini dilakukan adalah salah satu rangkaian prosesi adat
yaitu keluarga mempelai pria mengunjungi kediaman mempelai wanita guna untuk
mencari tahu kesiapan untuk akad nikah keesokan harinya.
b. Mengapa dilakukan. Prosesi ini dilakukan agar keluarga mempelai pria siap
mengantar calon pengantin keesokan harinya menuju kediaman mempelai wanita.
c. Tempat pelaksanaan. Lolang ini dilaksanakan di kediaman mempelai wanita.
9. Mappenre Botting
a. Apa yang dilakukan. Mappenre botting berarti mengantar mempelai pria ke
rumah mempelai wanita. Mempelai pria diantar oleh iring-iringan tanpa kehadiran
orang tuanya. Iring-iringan tersebut biasanya terdiri dari indo botting (inang
pengantin) dan passepi (pendamping mempelai).
b. Mengapa dilakukan. Mappenre botting untuk mengantar calon mempelai pria ke
rumah calon mempelai wanita untuk melaksanakan akad nikah.
c. Tempat pelaksanaan. Mappenre botting dilakukan dirumah calon mempelai pria,
menuju rumah calon mempelai wanita.

136
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

Gambar 8. Mappenre’ Botting

10. Marala
a. Apa yang dilakukan. Marala yaitu menjemput pemangku adat (Uwa’) untuk
menikahkan
b. Mengapa dilakukan. Pemangku adat (Uwa’) menjadi saksi untuk kedua belah
pihak calon mempelai, pemangku adat (Uwa’) yang menjadi saksi pernikahan
adalah hitungan ganjil, mulai dari tiga sampai seterusnya bilangan ganjil.
c. Tempat pelaksanaan. Marala dilakukan di kediaman mempelai wanita.

11. Akkalibinengeng / Appasialang


a. Apa yang dilakukan. Acara puncak yang sakral (akad nikah), dengan resminya
menjadi pasangan suami isteri. Pihak perempuan lebih awal mempersiapkan segala
sesuatunya menunggu kedatangan rombongan dari pihak laki-laki dalam bahasa
Bugis disebut " Madduppa Botting. Pihak laki-laki juga demikian halnya, untuk
menuju kediaman calon pengantin perempuan lengkap dengan bawaannya yang
disebut Leko' serta walasuji dan maharnya diantar oleh sanak saudara, handai
tolan, kerabat keluarga bahkan pinisepuh/sesepuh. Rombongan tersebut dalam
bahasa Bugis disebut Pampawa Botting atau Pappapenning
b. Mengapa dilakukan. Proses ini adalah tahapan acara puncak yang sakral, yang
dinikahkan oleh pemangku adat komunitas Towani Tolotang. Proses pernikahan

137
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

tersebut, penentuan tanggal dan hari pernikahan, ditentukan dan dipilihkan oleh
pemangku adatnya (Uwa’).
c. Tempat pelaksanaan. Ritual ini pelaksaannya di kediaman mempelai wanita.

Gambar 9. Appasialang (Akad Nikah)

12. Mappasikarawa / Palai Tapi


a. Apa yang dilakukan. Setelah akad nikah, mempelai pria dituntun menuju kamar
mempelai wanita untuk melakukan sentuhan pertama. Bagi suku Bugis, sentuhan
pertama mempelai pria memegang peran penting dalam keberhasilan kehidupan
rumah tangga pengantin.
b. Mengapa dilakukan. Mappasikarawa dilakukan oleh mempelai pria dan wanita
untuk melakukan sentuhan pertama. Ditandai dengan sudah sahnya sebagai suami
istri. Palai Tapi ini adalah disatukannya kedua mempelai kedalam satu sarung,
maknanya adalah agar kedua mempelai dapat bersatu selamanya.
c. Tempat pelaksanaan. Ritual ini dilaksanakan dalam kamar pengantin, dirumah
mempelai wanita disaksikan oleh sanro dan pemangku adat (Uwa’).

138
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

Gambar 10. Palai Tapi


13. Mapparola
a. Apa yang dilakukan. Setelah appasialang (akad nikah) dilakukan, maka keluarga
mempelai wanita melakukan kunjungan balasan ke kediaman mempelai pria,
diantar oleh iring-iringan keluarga mempelai wanita tanpa orang tua. Prosesi ini
dilakukan sehari setelah akad nikah dilakukan. Mapparola biasanya keluarga
mempelai wanita membawakan kue, sarung, dan sebagainya.
b. Mengapa dilakukan. Mapparola ini maknanya menyambung silaturahmi antar
kedua belah pihak keluarga. Dengan prosesi mapparola ini, mempelai wanita
memberikan penghargaan kepada keluarga mempelai pria.
c. Tempat pelaksanaan. Prosesi ini dilaksanakan di kediaman mempelai pria.

Gambar 11

139
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

Gambar 12. Mapparola


14. Resepsi
a. Apa yang dilakukan. Perjamuan atau pertemuan tamu untuk memberikan doa
restu kepada kedua mempelai. Resepsi pernikahan dihadiri oleh para tamu
undangan untuk mengumumkan bahwa kedua mempelai telah sah menjadi suami
dan istri.
b. Mengapa dilakukan. Resepsi dilakukan agar semua tamu, keluarga dan handai
taulan dapat berbagi kebahagiaan, dan juga sebagai ajang silaturahmi dan
lingkungan sekitar.
c. Tempat pelaksanaan. Biasanya resepsi dilakukan sesuai hasil keputusan bersama
antar kedua belah pihak, bisasanya dilakukan di kediaman mempelai wanita, pun
bisa dilakukan di gedung pertemuan.
15. Mabbenni Siwenni (Bermalam semalam)
a. Apa yang dilakukan. Pada tahapan ini, mempelai wanita datang ke kediaman
mempelai pria untuk tidur semalam.
b. Mengapa dilakukan. Ritual adat ini dilakukan untuk dengan datangnya mempelai
wanita, berarti telah diterima menjadi keluarga dirumah mempelai pria sebagai
keluarga baru.
c. Tempat pelaksanaan. Ritual ini dilaksanakan dirumah mempelai pria.

16. Mabbenni Tellung Penni (Bermalam tiga malam)


a. Apa yang dilakukan. Pada prosesi adat ini pihak pengantin wanita bermalam
selama tiga malam di kediaman pengantin pria.

140
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

b. Mengapa dilakukan. Ritual ini dilakukan dengan ditandainya sudah sah menjadi
suami dan isti, dan suami boleh tinggal dirumah mempelai pria, dan telah diterima
oleh keluarga pria.
c. Tempat pelaksanaan. Ritual ini dilakukan dirumah mempelai pria.

17. Manre Baiseng


Apa yang dilakukan. Sebagai penutup rangkaian acara pernikahan, kedua keluarga
pengantin bertemu di rumah pengantin wanita. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun
tali silaturahmi antara kedua keluarga. Adapun prosesi manre baiseng ini adalah seluruh
biaya makan ditanggung oleh pihak laki-laki. Manre baiseng ini dilakukan selama hari
ganjil, mulai dari 3 sampai 7 hari.
B. Makna tradisi duduk bersila diatas daun lontar pada pernikahan etnik komunitas
Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang Provinsi Sulawesi Selatan.

Pemangku adat (Uwa’) atau tetua dalam komunitas Towani Tolotang, bergelar
Uwa. Budaya duduk pada komunitas Towani Tolotang adalah duduk bersila diatas
tikar daun lontar. Ketika ada pesta derajat ketokohan Uwa sangat berlapis lapis. Ada
yang dinamakan pemimpin tertinggi yang bergelar uwatta, tetapi tidak semua
pemangku adat atau uwatta dapat berbicara diluar komunitas. Otoritas hanya uwa
yang ditunjuk untuk berhak bicara diluar komunitas.
Hasil wawancara dengan pemangku adat Uwa Narto, pada hari jumat tanggal 10
April 2020. Berikut paparannya “Uwa Eja merupakan salah satu dari dua orang
Tolotang yang kini menjabat sebagai legislator. Namanya diputuskan oleh komunitas
sebelum pemilihan umum digelar. Uwa Eja adalah pemangku adat tertinggi di
komunitas Towani Tolotang. Beliau yang menunjuk dan melantik para pemangku
adat lapis kedua” hal ini sesuai dengan teori etnografi komunikasi bahwa,
komunikator dalam berbagai grup budaya harus dapat mengkoordinasikan tindakan
mereka. Serta bagaimana berbicara kepada orang-orang tertentu yang peran dan status
sosialnya berbeda.
Menurut Uwa’ Narto, pada pesta pernikahan yang digelar sarapo atau lego-lego
dibuat bertingkat-tingkat. Pemangku adat duduk pada strata masing-masing. Yang
menjadi ciri khas dalam pernikahan komunitas etnik Towani Tolotang adalah semua
tamu yang hadir dalam acara tersebut duduk bersila dilantai papan rumah panggung

141
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

itu. Khusus tamu kehormatan, pemangku adat akan duduk diatas tikar daun lontar
yang dipersiapkan oleh tuan rumah.

Gambar 13. Tamu Kehormatan

Gambar 14.
Pemangku adat, tamu kehormatan dan mempelai pengantin

Menurutnya, ini memberikan pemaknaan bahwa duduk beralaskan tikar daun


lontar tersebut memberikan kebersamaan, dan kesetaraan pada komunitas Towani
Tolotang masih dijunjung tinggi. Mempelai pengantin pun tidak terkecuali tidak
menggunakan kadera (kursi) sebagai tempat pelaminannya, hanya tempat tidur pengantin

142
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

yang di dekorasi menjadi yang menjadi tempat duduk pengantin. Tak heran jika dirumah
komunitas Towani Tolotang tidak ditemukan kursi satupun. Dalam kebiasaan komunitas
Towani Tolotang adalah duduk bersila, menurut mereka duduk bersila adalah bentuk
penghormatan kepada tamunya. Apapun jamuan acaranya dan acara adat, komunitas
Towani Tolotang menggunakan Tappere’ atau tikar yang terbuat dari jalinan daun lontar
atau pandan.
Budaya komunitas Towani Tolotang adalah budaya duduk bersila diatas tikar daun lontar
dengan duduk sama rendah. Menurutnya, duduk sama rendah, melingkar pertanda
musyawarah. Duduk diatas tikar daun lontar adalah melambangkan bahwa bentuk
penghargaan kepada pemangku adat (Uwa’) sebagai tanda kehormatan. Ini
melambangkan juga bahwa pemangku adat (Uwa’) adalah memiliki kasta yang tinggi di
komunitas Towani Tolotang.
A. Etnografi Komunikasi dalam Prosesi Pernikahan Adat Towani Tolotang
Berdasarkan data yang diperoleh, peneliti memiliki pandangan terhadap tradisi
pernikahan komunitas Towani Tolotang, baik dari informan dan narasumber. Karena
peneliti melakukan wawancara untuk mengetahui makna dibalik prosesi acara adat
pernikahan komunitas Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang Sulawesi
Selatan.
Tradisi pernikahan etnik komunitas Towani Tolotang ini, dilihat dari aspek
komunikasi erat kaitannya dengan budaya. Dilihat dari aspek komunikasi komponen
prosesi pernikahan termasuk kedalam komunikasi ritual. Karena didalam prosesi ada
ritual-ritual kecil yang dilakukan oleh mempelai pengantin yang dipandu dan disaksikan
oleh pemangku adat (Uwa’). Ritual-ritual kecil tersebut terdapat pada gerakan-gerakan
yang dilakukan oleh calon pengantin secara berurutan yang mempunyai makna, serta
terdapat pula pada alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan sebagai perlengkapan
prosesi. Dalam pernikahan komunitas etnik Towani Tolotang mengandung nilai estetika
yang sangat menarik dan mengagumkan. Secara garis besar prosesi pernikahan adat
komunitas Towani Tolotang terdapat didalamnya ritual yang sangat sistematis dan tertib,
diantaranya mabbaja laleng (mencari informasi tentang calon mempelai wanita),
melamar, bertemu pemangku adat untuk penentuan hari pernikahan (mappasuro ada),
mappasiroa (kesepakatan) kedua belah pihak, mappettuada, mappenre dui, massarapo,
dio majeng, laitona, mappacci, lolang, marala, appasialang, palai tapi, mapparola,
mabbenni siwenni, mabbenni tellung penni, dan manre baiseng. Ini sesuai dengan teori
etnografi komunikasi, bahwa Towani Tolotang sebagai masyarakat tutur secara

143
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

keseluruhan telah melakukan rangkaian ritual adat sesuai dengan budayanya. Serta dari
segi peristiwa atau perangkat komponen yang utuh melibatkan partisipan dan
menggunakan varietas bahasa yang sama.
Selain itu tata busana dalam prosesi pernikahan adat komunitas Towani Tolotang
semakin menambah keunikan, diantaranya para pengantar pengantin menggunakan
kebaya dan tidak menggunakan alas kaki. Secara keseluruhan dari ritual perkawinan adat
Towani Tolotang di dalamnya mengandung unsur-unsur estetika yang meliputi unsur
kesatuan, ketertiban, keseimbangan, dan sistematis. Unsur-unsur tersebut berpadu dan
membentuk nilai estetika yang sangat menarik bagi setiap orang yang melihatnya. Towani
Tolotang tetap menggunakan baju adat suku Bugis yaitu baju bodo. Tetapi dari corak
warna baju bodo yang digunakan juga memiliki makna tersendiri. Seperti warna baju
bodo warna putih artinya mempelai pengantin mempunyai kasta yang lebih tinggi,
kemudian warna baju bodo warna hijau melambangkan mempunyai kasta nomor dua. Jika
mempelai menggunakan pakaian baju bodo corak warna lain, berarti mereka hanya kasta
paling bawah. Ini merupakan bentuk pesan komunikasi yang disampaikan melalui ritual
adat pernikahan Towani Tolotang, agar untuk diketahui masyarakat. Hal ini sependapat
dengan yang dikemukakan oleh La Madda, “bahwa pernikahan adat Towani Tolotang
memiliki makna disetiap prosesinya”. Hal ini sesuai dengan teori etnografi dalam varitas
bahasa, bahwa partisipan dalam budaya lokal menciptkan makna.
Berdasarkan hasil temuan dalam memahami komponen komunikasi pada tradisi
prosesi pernikahan komunitas Towani Tolotang, maka terdapat ciri-ciri umum perilaku
komunikasi pada prosesi pernikahan adat Towani Tolotang, yaitu: (1) Berkomunikasi
dengan cara unik, tidak secara langsung tetapi diwakili oleh orang-orang tertentu (Uwa’);
(2) Selalu dalam bentuk adat Bugis dan doa-doa; (3) Selalu dilaksanakan di kediaman
calon pengantin atau disebut rumah orang tuanya; (4) Komunikasi pada tradisi tersebut
menggunakan bahasa Bugis; (5) Menggunakan kalimat yang dibuat secara teratur namun
dapat dipahami; (6) Dipengaruhi oleh sistem budaya yang dianut. Kebanyakan aspek
komunikasi yang dilakukan adalah pengucapan doa-doa dan adat yang dilakukan Uwa
atau pemangku adatnya. Keunikan lainnya adalah pernikahan adat Towani Tolotang
mempelai pria lebih banyak menggunakan prosesi adat, dibandingkan dengan mempelai
wanita. Jadi yang lebih dominan prosesinya adalah mempelai pria. Hal ini sejalan dengan
teori etnografi komunikasi yang mana budaya lokal tersebut menciptakan makna.
Seperti yang dijelaskan oleh La Madda “bahwa, prosesi adat di pernikahan
Towani Tolotang adalah tidak lepas dari peran dari pemangku adat (Uwa’). Setiap

144
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

prosesinya selalu disaksikan oleh pemangku adat (Uwa’) dalam hitungan ganjil. Jika
mempelai memiliki kasta yang lebih tinggi, maka semakin banyak pemangku adat (Uwa’)
yang akan hadir. Adapun jumlah pemangku adat (Uwa’) yang hadir paling banyak 13
orang. Jika mempelai mempunyai kasta dibawah, maka pemangku adat (Uwa’) yang
hadir adalah tiga orang”.
Prosesi pernikahan adat komunitas Towani Tolotang relevan dengan teori
etnografi komunikasi yang bersifat spesifik menjelaskan dan memahami perilaku
komunikasi dalam kebudayaan tertentu. Sehingga sifat penjelasannya terbatas pada suatu
konteks, situasi dan tempatnya. Gambaran rangkaian acara dalam sebuah pernikahan
memang berbeda-beda di setiap daerahnya, dengan demikian setiap daerah memiliki ciri
khas masing-masing kebudayaannya. Jadi, peneliti simpulkan bahwa kebudayaan Towani
Tolotang dalam upacara pernikahan yang melaksanakan tradisi prosesi adat di dalamnya
memiliki makna dan pesan yang terkandung, sehingga perbedaan dari setiap sudut
pandang harus diminimalisasi dalam rangka memberikan pemahaman yang lebih baik dan
masukan yang positif dalam pelestarian warisan budaya nasional. Towani tolotang
merupakan kebudayaan unik didalam suku bugis di Kabupaten Sidrap, dikarenakan
mereka melestarikan adat dan kebudayaannya dari leluhurnya, sehingga sampai sekarang
Towani Tolotang masih kental dengan nuansa tradisionalnya tanpa ada modern
didalamnya. Seperti sarapo atau lego-lego, Towani Tolotang masih menggunakan seperti
itu di zaman sekarang, walapun di zaman sekarang sudah ada tenda pengantin yang bisa
digunakan, tetapi Towani Tolotang masih menggunakan warisan adat leluhurnya. Bahkan
Towani Tolotang sampai sekarang tetapi mempertahankan eksistensinya ditengah
modernisasi dengan tetap membangun rumah panggung dibandingkan dengan rumah
batu. Karena rumah panggung khas bugis tersebut jika digunakan dalam suatu acara dapat
ditambah teras depannya (sarapo) agar dapat memuat banyak orang.
Penelitian juga melalukan wawancara trianggulasi kepada pakar kebudayaan,
Menurut Karlin Kati (Ketua Kerukunan Bugis) salah satu tokoh kebudayaan di Sulawesi
Selatan, “bahwa pernikahan Komunitas Towani Tolotang dapat menjadi potensi
pariwisata, karena setiap prosesinya sarat akan makna dan pernikahan tersebut tetap
menggunakan pakaian suku bugis (baju bodo) walaupun prosesinya ada yang lain dari
pengantin bugis pada umumnya”. Ditambahkan lagi, bahwa “ritual-ritual adat yang
dilakukan oleh komunitas Towani Tolotang merupakan salah satu kebudayaan yang ada
di Sulawesi Selatan yang patut diperhatikan, karena acara adat yang dilakukan oleh
mereka, mengundang perhatian masyarakat, bukan hanya masyarakat lokal, tetapi warga

145
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

negara asing pernah datang untuk menyaksikan acara-acara adat yang digelar oleh
komunitas Towani Tolotang. Dan uniknya lagi, segala prosesi dalam pernikahan tersbut
diamati langsung oleh pemangku adat (Uwa’)”. Pernikahan Komunitas Towani Tolotang
bukan hanya ceremonial saja, tetapi memiliki makna secara verbal maupun non verbal
disetiap rangkaian acara. Simbol-simbol yang digunakan serta generasi atau komunitas
Towani Tolotang sendiri sebagai pemilik warisan budaya belum tentu mengetahui akan
makna dan tujuan atas segala aktivitas yang ada di pernikahan Towani Tolotang. Dilihat
dari aspek komunikasi beberapa urutan peristiwa yang dilakukan oleh kedua mempelai
masuk dalam komunikasi ritual. Proses adat pernikahan Towani Tolotang tetap betahan
ditengah arus modernisasi karena adanya dorongan keyakinan yang bersumber dari nenek
moyangnya dan adanya keinginan untuk mempertahankan tradisi.

B.Makna Duduk di Atas Tikar Daun Lontar


Duduk diatas tikar daun lontar merupakan tempat duduk pemangku adat yang
memimpin prosesi pernikahan adat komunitas Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng
Rappang. Peran pemangku adat dalam ritual tersebut sangat dibutuhkan, karena segala
prosesi dalam pernikahan tersebut diamati langsung oleh uwa atau pemangku adatnya.
Menurut peneliti konsep duduk tersebut merupakan konsep budaya tradisonal dimulai
dari kebiasaan nenek moyang mereka yang dalam pelaksanaannya memiliki karakteristik
serta makna kebersamaan. Menurut Bahar Balulu (mantan anggota DPR Kab. Sidrap),
bahwa “Komunitas Towani Tolotang adalah mengedepankan azas gotong royong, adapun
duduk melantai adalah memiliki makna kebersamaan, tanpa memandang kasta seseorang,
adapun duduk melantai dengan menggunakan tikar daun lontar adalah untuk menghargai
tamu kehormatan, dan pemangku adat (Uwa’) yang hadir” ini sejalan dengan makna
pesan dari komunikasi bahwa pernikahan Towani Tolotang adalah sarat akan makna dan
simbol-simbol komunikasi. Dari segi komunikasi hal tersebut sangat erat kaitannya
dengan budaya. Hal ini diperkuat oleh Wa’ Narto, bahwa “pernikahan adat Towani
Tolotang dapat menjadi potensi wisata, apalagi jika Towani Tolotang yang mempunya
kasta tertinggi yang melakukan pernikahan, maka akan banyak ritual-ritual adat yang
dilakukan”.
Dalam tradisi duduk bersila diatas tikar daun lontar merupakan sebuah norma
interpretasi yang dilakukan oleh masyarakat tutur Towani Tolotang. Makna duduk bersila
adalah bernilai rasa kesopanan dan menghormati bagi yang mempunyai hajat. Ini sesuai
yang dikemukakan oleh Bahar Balulu, bahwa “ciri khas dari masyarakat Towani Tolotang

146
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

adalah duduk bersila, karena budaya mereka dari zaman dahulu dari nenek moyangnya
adalah duduk dibawah tanpa menggunakan kursi. Karena pada dasarnya penganut Towani
Tolotang mempunyai rumah panggung khas bugis tanpa mengenal kursi”. Ini sependapat
dengan teori etnografi tentang perilaku non verbal yang pantas dan sangat sopan.
Dalam hal duduk bersila diatas tikar daun lontar adalah merupakan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada para tamu kehormatan, dan para pemangku adat (Uwa’).
Semakin berlapis tingkatan tikar, maka semakin tinggi tingkat strata sosialnya seseorang.
Ini menandakan bahwa Towani Tolotang sangat menghargai tamunya, walaupun aktivitas
tersebut merupakan duduk melantai. Hal ini menandakan bahwa budaya Towani Tolotang
patut diapresiasi karena masih mempertahankan budaya seperti itu tanpa tergeser oleh
penggunaan kursi di masa sekarang. Menurut mereka, duduk diatas tikar tradisional
sangat hikmat dan nuansa kekeluargaan serta kebersamaan sangat baik. Perilaku demikian
menurut mereka adalah bernilai kepeduliaan dan penghormatan.
Penutup
Kesimpulan
1. Komponen komunikasi yang terdapat dalam tradisi pernikahan adat komunitas Towani
Tolotang adalah ritual-ritual yang sangat unik yang terdapat didaerah suku bugis, dan
adapun setiap prosesinya adalah diamati dan diketahui oleh pemangku adatnya (Uwa’).
Aktivitas komunikasi yang terjadi pada prosesi pernikahan adat komunitas Towani
Tolotang yang melibatkan partisipan yaitu mabbaja laleng (mencari tahu tentang
keluarga dan wanita yang hendak dilamar), selanjutnya madduta (pelamaran) kepada
pihak keluarga wanita, penentuan hari (mappasuro ada) dan dui menre (uang mahar)
oleh kedua belah pihak keluarga, disaksikan oleh pemangku adat (Uwa’). Kemudian
mappenre dui oleh pihak laik-laki (mappettuada), massarapo (penambahan ruang
tamu), prosesi awal pernikahan yaitu dio majeng oleh pihak pria yang dilakukan sekali
seumur hidup, kemudian proses kedua laitona (menyuguhkan makanan kepada
mempelai pria) oleh pemangku adat (Uwa’), dihari yang sama kemudian pelaksaan
mappacci dilakukan juga oleh mempelai pria (lajang), dilakukan juga sekali seumur
hidup. Kemudian keesokan harinya pihak keluarga mempelai pria berkunjung ke
kediaman mempelai wanita melihat kesiapannya sebelum prosesi akad nikah
dilaksanakan. Selanjutnya prosesi marala (penjeputan pemangku adat) yang akan
menjadi saksi dan menikahkan. Kemudian appasialang (akad nikah) sebagai puncak
prosesi yang sakral, prosesi palai tapi selanjutnya mapparola (kunjungan balasan ke
keluarga pria sebagai bentuk silaturahmi bersatunya dua keluarga), mabbenni siwenni

147
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

(bemalam semalam) dikediaman mempelai pria, mabbenni tellung penni (bermalam


tiga malam) dikediaman mempelai pria, prosesi terakhir pasca pernikahan adalah
manre baiseng (kunjungan keluarga mempelai pria ke kediaman mempelai wanita
selama tiga sampai tujuh hari), ini dilakukan dihari ganjil.
2. Duduk bersila diatas tikar daun lontar adalah merupakan norma interpretasi yang
sesuai dengan nilai kesopanan, yang mempunyai arti kebersamaan, gotong royong,
tolong menolong, nilai kekeluargaan, nilai kepedulian, dan nilai penghormatan. Ini
merupakan simbol bagi komunitas Towani Tolotang dalam melaksanakan setiap hajat
dan ritual budaya dan keagamaannya.

Saran
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai literatur atau sumber tambahan
dalam memperoleh informasi yang berkenaan dengan aspek budaya. Hasil penelitian ini
dapat memberikan kontribusi bagi pelaku budaya dan pemerhati budaya, sehingga apabila
budaya asing masuk, tetapi budaya tradisional tetap dipertahankan eksistensinya,
sehingga dapat dilestarikan terkhusus bagi komunitas Towani Tolotang yang
kebudayaannya bersumber dari keyakinannya.

DAFTAR PUSTAKA
Arianto, Nurcahyo Tri. Etnografi Indonesia. Surabaya:Fisip Unair.2012

__________________. Etnografi. Artikel Ilmiah. Surabaya Fisip Unair.2011

Barker, Chris. 2000. Culture Studie, Teory and Practis.London: Sage Publication

Brewer, j.d. 2000. Ethnography. Bukingham: Open University Press

Chaer, Abdul.,Leonie Agustina.2010.Sosiolinguistik: Perkenalan Awal (Edisi


Revisi).Jakarta: PT. Rineka Cipta

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat.
Jakarta: Diknas

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rinka Cipta

Kuswarno, Engkus. 200. Etnografi Komunikasi, Suatu Pengantar dan Contoh Penelitian.
Bandung: Widya Padjajaran

Littlejohn, Stephen W & Karen A. Foss. 2009. (Terjemahan Muhammad Yusuf Hamdan)
Theories Of Human Communication. Jakarta: Salemba Humanika

148
Populis Volume 13 No 2, November 2020, ISSN 1907 - 9893

Liliweri, Alo. 2011. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka


Belajar

Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya

Mulyana, Deddy & Solatun. 2008. Metode Penelitian Komunikasi: Contoh-Contoh


Penelitian Kualititaif Dengan Pendekatan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Nasrullah, Rulli. 2017. Etnografi Virtual. Simbiosa Rekatama Media

149

Anda mungkin juga menyukai