Anda di halaman 1dari 71

TUGAS BAHASA INDONESIA

JURNAL TENTANG

“ ANTROPOLOGI LINGUISTIK ”

Disusun oleh:

Nama : Sintia Duela Kanony

NIM : 121441919

Program Studi S1 Keperawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Famika Makasssar

2019/2020
UNGKAPAN VERBAL DAN NONVERBAL BERMAKNA BUDAYA DALAM TARI
TUMATENDEN MASYARAKAT TONSEA MINAHASA

KAJIAN LINGUISTIK ANTROPOLOGI

Jeane Mangangue

Dosen Universitas Nusantara Manado

(Naskah diterima: 1 Maret 2019, disetujui: 20 April 2019)

Abstract

Language used by humans to interact with each other so that language evolved in with the
wearer’s cultural development. Like a human being to plan and create a culture of continuous,
language as part of the culture also continues to grow as the dynamics of human cultural
development. The method which used in data collection that is observation with tapping
technique and listening attentively, involving, talking technique and also listening attentively,
free involving talking technique, interview method was carried out in two ways namely
unfocused interview and focused interview. Interview method to informant was carried out by
using the concept of Spradley ethnographic questions. To analyze data was used concept of
expression analysis, linguistic anthropology analysis and the concept of Dell Hymes through
acronym of speaking. The results showed that the verbal expressions in Tumatenden dance
consist of four parts, namely 1) part of meeting, 2) part of living together, 3)part of separation,
and 4) part of meeting again, the nonverbal expressions consist of gestures and attributes that
are imposed.The meeting is related to the cultural contexts that exist in Tonsea society. Key
words :Expression, Verbal, Nonverbal, Dance, Tonsea.
Abstrak

Bahasa digunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya sehingga bahasa
berkembang sejalan dengan perkembangan budaya para pemakainya. Seperti layaknya manusia
merencanakan dan menciptakan budaya secara terus menerus, bahasa sebagai bagian dari budaya
juga terus berkembang seiring dinamika perkembangan budaya manusia. Metode yang
digunakan dalam pengumpulan data yakni metode observasi dengan teknik sadap dan teknik
simak libat cakap serta tekniksimak bebas libat cakap, metode wawancara dilakukan dengan dua
cara yakni wawancara tidak terarah dan wawancara terarah. Metode wawancara terhadap
informan dilakukan dengan menggunakan pertanyaan etnografis dari konsep Spradley. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ungkapan-ungkapan verbal dalam tari Tumatenden terdiri dari
empat bagian yakni 1) bagian pertemuan, 2) bagian hisdup bersama, 3) bagian perpisahan, dan 4)
bagian pertemuan kembali, ungkapan-ungkapan nonverbal terdiri atas gerakan tubuh dan atribut
yang dikenakan. Pemaknaan yang ada berkaitan dengan konteks budaya yang ada pada
masyarakat Tonsea.

Katakunci: ekspresi, verbal, nonverbal, tari, tonsea.

I. PENDAHULUAN

Berbahasa adalah proses penyampaian makna dari penutur kepada pendengar melalui satu atau
serangkaian ujaran. Suatu proses berbahasa dikatakan berjalan baik apabila makna yang
dikirimkan penutur dapat dipakai oleh pendengar tepat seperti yang dimaksudkan oleh di
penutur. Terdapat dua cara untuk berkomunikasi lewat bahasa yakni lewat teks verbal dan
nonverbal. Berkomunikasi secara verbal dilakukan dengan cara menggunakan media bahasa baik
yang tertulis maupun lisan. Nonverbal dilakukan dengan menggunakan media selain bahasa.
Wujudnya dapat berupa aneka symbol, isyarat, kode, bunyi, misalnya tanda lalu lintas, lambaian
tangan, sirene, barulah bermakna setelah diterjemahkan ke dalam bahasa manusia.

Tarian merupakan bagian dari seni pertunjukkan yang memiliki aspek komunikasi verbal
dan nonverbal. Aspek verbal tarian berupa lirik sedangkan aspek nonverbal berupa tema, kinetic
body moves (gerak tubuh)dan iringan. Tarian adalah ungkapan perasaan manusia tentang sesuatu
dengan gerak-gerak ritmis yang indah (Soedarsono 1996). Sedangkan menurut Wardhana (1994),
tarian adalah ungkapan nilai-nilai keindahan dan keluruhan lewat gerak dan sikap. Pendapat
diatas tersebut menyimpulkan bahwa tarian merupakan ekspresi jiwa manusia sebagai tanggapan
tentang nilai-nilai kemanusiaan yang dikomunikasikan dalam bentuk yang indah untuk
mendapatkan penghayatan yang layak, dengan menggunakan medium utama gerak.

Kelurahan Airmadidi bawah dikenal dengan objek wisata Pancuran Sembilan atau
disebut dengan nama Tumatendenyang diangkat dari cerita rakyat yang berhubungan dengan
sejarah (legenda). Dari legenda Tumatenden diangkat menjadi tarian Tumatenden. Tarian ini
merupakan tari kelompok puteri yang termasuk dalam tari tradisional kreasi baru.

Tumatenden berasal dari kata Tenden yang artinya sandaran hidup. Sedangkan kata
Tuma“tempat’ dalam bahas Tonsea berarti ‘tempat sandaran hidup’. Berdasarkan secrita leluhur
jumlah pancuran Tumatenden ada Sembilan. Penduduk setempat maupun dari luar kelurahan
airmadidi mengananggap bahwa air pancuran Tumatenden berkhasiat untuk menyembuhkan
penyakit.

Tari Tumatenden sebagai ujaran rakyat diperinci lagi ke dalam bentuk ungkapan
ungkapan dan budaya tradisional dan nyanyian rakyat. Pada dasarnya tari Tumatenden adalah
sebuah cerita rakyat yang dinyanyikan dan disajikan dalam bentuk tarian.

II. KAJIAN TEORI

2.1 Linguistik Antropologi

Menurut Foley (1997) linguistik antropologi mengkaji bahasa melalui sudut pandang
kebudayaan untuk menemukan makna di balik penggunaan bahasa itu sendiri. Selain itu Foley
menyatakan bahwa linguistik antropologi merupakan cabang linguistik yang menempatkan
bahasa dalam konteks sosial dan budaya, dalam hal ini dilihat bagaimana bahasa digunakan
dalam struktur sosial yang dikaitkan dengan konteks budaya.

2. 2 Ungkapan
Menurut Kridalaksana (2008) ungkapan terdiri dari beberapa kata yang mempunyai makna yang
sama dengan sebuah kata tertentu. Ungkapan adalah konstruksi satuan bahasa yang maknanya
melebihi makna leksikal dan bahkan makna gramatikal yang terkandung dalam bahasa tersebut.

Sudrajat (2009) menyatakan bahwa ungkapan dapat didefinisikan sebagai: 1) perkataan


atau kelompok kata yang khas untuk menyatakan suatu maksud dengan arti kiasan; 2) kelompok
kata yang terpadu yang mengandung satu pengertian.

Marnita dan Oktavianus (2008) mengemukakan bahwa ungkapan merupakan sarana yang
dapat mempertajam intelektual , karena ungkapan menggunakan kata-kata kias yang maknanya
tidak langsung dan hanya dapat dimengerti dengan cara memahami alam dan budaya lokal .

Endraswara (2009) menegaskan bahwa setiap penelitian akan terkait dengan interpreatsi.
Artinya, pemaknaan terhadap fenomena. Setiap fenomena folklore memiliki makna teretntu.
Makna itu baru akan terwujud jika telah ditafsirkan.

Menurut teori yang dikemukan oleh Saussure (1988) makna adalah pengertian atau
konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik , kalau tanda linguistic itu
disamakan identitasnya dengan kata atau leksem, maka berarti makna itu adalah pengertian atau
konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem; kalau tanda linguistik itu disamakan
identitasnya dengan morfem, maka berarti makna itu pengertian atau konsep yang dimiliki oleh
setiap morfem.

a. Makna Lingual

Makna lingual dapat dibedakan menjadi dua yaitu makna leksikal dan makna gramatikal atau
makna struktural. Makna leksikal menurut Kridalaksana (2008) adalah makna unsur-unsur
bahasa sebagai lambing benda, peristiwa, dan lain-lain yang dipunayi unsurunsur bahasa, lepas
dari penggunaannya atau konteksnya. Sebaliknya makna gramatikal adalah hubungan antar
unsur-unsur bahasa dalam satuan-satuan yang lebih besar misalnya hubungan antar kata dengan
kata lain dalam frase atau klausa.
b. Makna Budaya

D’Andarde (1984) membedakan empat system makna buday, yakni 1) makna-makna mewakili
dunia secara keseluruhan (Representational), 2) makna-makna mengkreasikan kesatuan wujud
atau wujud kebudayaan (Constructive), 3) makna-makna menjadi pedoman seseorang dalam
melakukan hal tertentu (directive), dan 4) maknamakna sebagai pembangkit perasaan-perasaan
tertentu (evocative).

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan
penelitian (pengumpulan data). Penelitian bahasa bertujuan mengumpulkan dan mengkaji data,
serta mempelajari fenomena-fenomena kebahasaan (Djajasudarma 2006). Pendekatan
metodologis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan deskriptif kualitatif. Menurut
Mahsun (2005) pendekatan kualitatif berarti usaha memahami fenomena sosial kebahasaan yang
telah diteliti.

Penelitian dilakukan diKelurahan Airmadidi bawah Kecamatan Airmadidi Kabupaten


Minahasa Utara. Daerah ini dipilih karena Airmadidi bawah merupakan tempat awal
berkembangkan tari Tumatenden dan sampai saat ini masih sering diperagakan pada acara-acara
formal. Kecamatan Airmadidi memiliki enam Kelurahan dan tiga Desa.

Metode observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap suatu
objek yang akan diteliti, yang berguna untuk mendapatkan data atau informasi yang tidak
mungkin diperoleh melalui wawancara. Dalam penelitian ini digunakan observasi nonpartisipasi,
karena dalam penelitian ini peneliti tidak melibatkan diri secara langsung pada semua aktivitas
saat pementasan tari Tumatenden diperagakan. Teknik yang digunakan adalah adalah teknik
sadap dan teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas libat cakap.

Teknik sadap yakni peneliti menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang
yang terlibat dalam tarian tersebut. Teknik simak libat cakap yakni peneliti menjaring data
dengan terlibat secara aktif dalam pembicaraan dan teknik simak bebas libat cakap yakni peneliti
menyimak penggunaan bahasa tanpa ikut trelibat dalam proses pembicaraan.
IV. HASIL PENELITIAN

4.1 Makna BudayaUngkapan Verbal

Ungkapan verbal yang ada dalam lirik Tumatenden dinyanyikan secara solo baikoleh pria
maupun wanita dan juga secara koor.

a) Ungkapan verbal (bagian pertemuan)

Bagian ini menceritakan pertemuan antara Mamanua dan Lumalundung ketika Lumalundung
bersama delapan bidadari lainnya mandi di pancuran Tumatenden. Mamanua tertarik serta jatuh
cinta kepada Lumalundung dan menyembunyikan selendang bidadari itu.

1. Lelana’pengairan’

Makna budaya: air melambangkan sumber kehidupan karena manusia sangat membutuhkannya
dalam kehidupan sehari-hari

2. Uma ‘kebun’

Makna budaya: kebun aatau lading melambangkan sumber bahan makanan. Ungkapan ini
menggambarkan masyarakat Tonsea yang sebagian berprofesi sebagai petani di sawah dan
lading.

3. Ung kayu‘pohon kayu’

Makna budaya: pohon kayu melambangkan kekuatan dan tempat berlindung Dalam menjalani
kehidupan di dunia ini kita dituntut agar kuat menghadapi masalah dan selalu mencari
perlindungan Tuhan.

4. Royor ‘bidadari’

Makna budaya: kecantikan merupakan anugerah dari Tuhan. Ungkapan ini menggambarkan
gadis-gadis Tonsea yang dianugerahi kecantikan oleh Tuhan. Namun kecantikan fisik haruslah
diimbangi dengan kecantikan batin dalam bertutur dan bertindak.
5. Mamanua yo rendendemo ‘Mamanua jatuh cinta’

Makna budaya: ungkapan ini menggambarkan kasih saying Mamanua kepada Lumalungdung
dan keinginannya untuk memperisteri bidadari tersebut.dalam kehidupan manusia perasaan cinta
dan kasih selalu mendatangkan sukacita dan kebahagiaan

b. Ungkapan verbal (bagian hidup bersama)

1. Mina moalimo karumbuna ‘mereka berdua menjadi suami isteri’

Makna budaya: suami isteri adalah pasangan hidup yang harus seia Sekata dalam menjalani
kehidupan berumah tangga sehingga diperlukan pengertian serta kekompakkan satu dengan yang
lain.

2. Witu untadidi ni Empung karesawano tumedungan ‘suami isteri itu dikaruniai oleh Tuhan
seorang anak laki-laki.

Makna budaya: ungkapan ini menggambarkan kehidupan baru. Kelahiran berarti adanya
kehidupan baru yang dating disertai berbagai harapan dan impian.

3. Ngaraman si Walasendow ‘diberi nama Walasendow’

Makna budaya : Walasendow berarti orang yang kuat dalam menjalan kehidupan dan mengatasi
masalah yang dating dalam kehidupannya.

4. Ulaya ni Mamanua sururena si Lumalungdung ‘gembira si Mamanua dan sayang kepada


Lumalungdung.

Makna budaya: sukacita merupakan kegembiraan karena mendapatkan sesuatu yang


diinginkan.Dalam masyarakat Tonsea sukacita sering diungkapkan lewat ucapan syukur dalam
bentuk ibadah.

c. Ungkapan Verbal (bagian perpisahan)

1. Pongkor ‘ikan layar’

Makna budaya: Ikan melambangkan berkat. Ungkapan ini menggambarkan bahwa berkat
tersedia bagi orang yang mau berusaha dan meminta kepada Tuhan. Jika seseorang berhasil
maka ia harus bekerja keras disertai permohonan kepada Tuhan agar apa yang diinginkannya
dapat tercapai.

2. Katuari ‘saudara’

Makna budaya: ungkapan ini menggambarkan bahwa bagi masyarakat Tonsea saudara atau
kerabatbadalah orang yang selalu diingat. Dimana pun seseorang pergi ia pasti akan ingat atau
kembali kepada sanak saudaranya.

3. Endo ‘matahari’

Makna budaya: Harapan akan hari eso matahari yang terbit melambangkan hari baru yang selalu
dinantikan oleh semua mahluk yang tinggal di muka bumi ini. Demikian halnya dengan
masyarakat Tonsea yang senantiasa menyambut hari baru dengan penuh semangat dan ucapan
syukur kepada Tuhan.

4. Nangka sendukan ‘tempat asal’

Makna budaya: tempat asal menggambarkan kampong halaman. Bagi masyarakat Tonsea
kampong halaman adalah tempat yang selalu dirindukan dan diingat.

5. Mamanua ni angeno ‘mamanua ingin bertemu’

Makna budaya: Ungkapan ini menggambarkan kerinduan seorang suami yang ingin bertemu
dengan isterinya. Dalam kehidupan manusia kerinduan selalu dirasakan bila berpisah dengan
seseorang yang dicintai.

d. Ungkapan Verbal (pertemuan kembali)

1. Witumo sera siou royor ‘sama cantik Sembilan bidadari’

Makna budaya: ungkapan ini menggambarkan Mamanua yang bingung saat diperhadapkan pada
pilihan. Ia harus dapat menunjuk isterinya dengan tepat yang ada diantara kesembilan bidadari.
Dalam kehidupan manusia selalu diperhadapkan dengan berbagai pilihan. Jika salah memilih
maka akan menyesal di kemudian hari. Oleh sebab itu sebelum memilih haruslah dipikirkan
matangmatang.
2. Wo si Mamanua tumenda ‘bila si Mamanua salah’

Makna budaya: Ungkapan ini menggambarkan ketidak sempuranaan sebagai manusia yang
seringkali salah dalam berkata dan bertindak. Seabagi manusia merupakan hal yang manusiawi
apabila suatu saat melakukan kesalahan, asalkan cepat menyadari dan memperbaikinya.

3. Wia si lakel madimbu ‘maka si pemimpin menghukum’

Makna budaya: ganjaran dari suatu kesalahn adalah sangsi atau hukuman. Dalam masyarakat
Tonsea apabila seorang anggota masyarakatnya melanggar norma-norma yang berlaku makaakan
ada sangsi atau hukuman sosial.

4. Lakel temeka timudimo‘pemimpin memberi perintah’

Makna budaya : pemimpin adalah orang yang dihormati dan dipatuhi. Ungkapan ini
menggambarkan kepatuhan kepada atasan. Masyarakat Tonsea adalah masyarakat yang taat
kepada aturan-aturan yang diberlakukan serta menghormati pemimpin mereka dengan selalu
mengundang para pemimpin pada berbagai acara yang diadakan, sehingga kebersamaan antara
pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya terjalin.

4.2 Makna Budaya Ungkapan Nonverbal

1. Lentik tangan (penari wanita)

Makna budaya: Ungkapan ini memiliki makna menerima. Masyarakat Tonsea dikenal ramah
dalam pergaulan dan dapat beradaptasi dnegan cepat dengan lingkungan baru.

2. Lentik pria (penari pria)

Makna budaya: Ungkapan ini bermakna memberi yang menggambarkan masyarakat Tonsea suka
menolong sesama yang membutuhkan.

3. Jongkok (penari pria)

Makna budaya: ungkapan itu memiliki makna memohon.Hal ini menggambarkan masyarakat
Tonsea yang selalu bergantung kepada pertolongan Tuhan dalam menjalani kehidupan.
4. Bergandengan tangan

Makna budaya: saling membantu dan bergotong royong dalam melakukan sesuatu merupakan
hal yang penting dalam kehidupan bermasyarakat.

5. Berputar

Makna budaya: ungkapan ini bermakna pencarian. Dalam kehidupan manusia selalu melewati
tahap pencaharian dalam berbagai hal seperti pasangan hidup dan pekerjaan.

6. Membentuk lingkaran

Makna budaya: menggambarkan persatuan dan kekompakkan. Dalam kehidupan masyarakat


Tonsea, persatuan dankesatuan senantiasa dijaga dan dipertahankan.

7. Mengembangkan/membuka selendang

Makna budaya: dalam melakukan sesuatu haruslah diawali dengan persiapan yang cukup agar
apa yang diharapkan dapat berjalan dengan baik.

8. Mengepakkan tangan sambil memegang selendang

Makna budaya: menggambarkan perjalanan hidup yang dilalui sambil melakukan pekerjaan.

9. Memacul

Makna budaya: untuk mempertahankan hidup manusia haruslah bekerja agar dapat menghidupi
dirinya sendiri dan keluarga.

10. Melepaskan selendang

Makna budaya: kehidupan haruslah diselingi dengan istirahat saat bekerja, karena jika tidak
beristirahat maka akan berpengaruh pada kesehatan sehingga tidak dapat bekerja atau melakukan
berbagai hal yang baik.

11. Menaruh selendang di pundak penari wanita

Makna budaya: setiap manusia memiliki harapan dan untuk itu diperlukan kemauan dan
kenyakinan serta kerja keras untuk mencapai semua itu.
12. Memegang selendang bersama-sama

Makna budaya: dalam berumah tangga kerja sama sangatlah penting agar kehidupan dapat
berjalan seimbang.

13. Saling berpandangan

Makna budaya: kasih sayang antara suami siteri haruslah tetap dipelihara dan dikembangkan
terus agar perjalanan berumah tangga akan dapat dilewati dengan baik.

14. Selendang putih

Makna budaya: putih melambangkan kesucian dan ketulusan hati. Ungkapan ini
menggambrakan masyarakat Tonsea yang memiliki ketulusan dalam kehidupan bermasyarakat.

15. Selendang warna-warni

Makna budaya: ungkapan ini menggambarkan kebhinekaan dalam kehidupan masyarakat Tonsea
yang terdiri dari suku dan agama yang berbeda namun tetap hidup berdampingan dengan rukun
dan damai.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam tari Tumatenden terdiri dari ungkapanungkapan


bverbal dan nonverbal yang diambil dari lirik lagu tarian tersebut.Lirik yang ada dinyanyikan
secara solo, duet dan koor, sedangkan ungkapan nonverbal berupa gerakan dan atribut yang
dipakai.

2. Makna buadaya verbal yang ada dalam tari Tumatenden menggambarkan hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyrakat Tonsea seperti pancuran atau sumber air,
kebun, ikan mas, sedangkan makna budaya ungkapan nonverbal yang ada menggambarkan
keterbukaan masyarakat Tonsea yang saling membantu dan bergotong royong, serta
menggambarkan keberanian dan semangat. Makna budaya nonverbal juga menggambarkan
kebhinekaan dalam masyarakat Tonsea yang memiliki suku dan agama yang berbeda namun
tetap hidup denga rukun dan damai dan saling menghormati satu dengan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

D’Andarde, R.G. 1984. Culture Theory, Essay On Mind, Self and Emotion.Editor RichardA.
Schweder and Robert A. Levine, London University.

Djajasudarma, F. 2006. Metoda Linguistik. Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung :
Refika Aditama.

Endraswara,S. 2009. Metodologi Penelitian Folklor. Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta :
Med Press.

Foley, W.A. 1997. Anthropological Linguistics. An Introduction. Univresity of Sidney.

Kridalaksana, H.2008. Kamus Linguistik. Edisi Keempat, Jakarta : Gramedia.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa : Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada.

Marmita, R dan Oktavianus, 2008. Perilaku Berbahasa Masyarakat Minangkabau dan


Pengaruhnya Terhadap Pemakaian Ungkapan Sebagai Media Pendidikan Informal keluarga.
Linguistik Indonesia. Jurnal MLI, Jakarta. No.2 Tahun ke 26

Mahsun.2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Saussure, F. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Edisi Ind, Yogyakarta : Gajah Mada University
Press.

Spradley, J.P. 1997. (Terjemahan Elizabeth, Misbah Zulfa). Metode Etnografi. Yogyakarta :
Tiara Wacana.

Soedarsono, R.M. 1996. Tari Tradisional Indonesia. Jakarta : Yayasan Harapan Kita.

Sudrajat, Y. 2009. Makna Dalam Wacana. Prinsip-Prinsip Semantik Dan Pragmatik. Bandung :
Yrama Widya.
PERUBAHAN BUDAYA MUSIK DARI PERSPEKTIF TEORI KEBUDAYAAN

Liston Simaremare

Pengajar pada Prodi Etnomusikologi IKJ

Abstrak

Abstrak tulisan ini membahas tentang relevansi teori-teori budaya untuk memahami perubahan
budaya musik yang terjadi di Indonesia. Isu perubahan budaya baru-baru ini menonjol dalam
berbagai wacana di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan pertanyaan tentang
bagaimana identitas budaya musik Indonesia harus dipertahankan dalam menghadapi proses
global. Tulisan ini berpendapat bahwa teori budaya kontemporer dapat membantu kita
memahami konsepkonsep seperti budaya nasional dan identitas bukan sebagai statis, entitas
esensialis, melainkan sebagai konstruksi sosial yang dinamis yang terus menerus direproduksi
dan inovasi oleh subjek individu. Argumen semacam itu dikemukakan dalam tulisan ini dengan
memperkenalkan aspek teori budaya yang belum mendapat banyak perhatian di Indonesia, yaitu
praktik, proses, konteks dan wacana tentang konstruksi budaya.

Kata Kunci : Konsep budaya nasional & Identitas

Pengantar

Tulisan ini bertujuan membahas masalah “Perubahan Budaya Musik” dari perspektif teori
kebudayaan yang telah berkembang dalam Antropologi dan Etnomusikologi, dengan secara
khusus menyoroti teori-teori kebudayaan mutakhir. Antropologi adalah suatu disiplin ilmu yang
telah lama berusaha merumuskan konsep kebudayaan sebagai salah satu konstruksi teoritis
utama dalam penelitian sosial. Sementara etnomusikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang
merupakan fusi dari musikologi dan antropologi (etnologi). Secara eksplisit apa itu
etnomusikologi sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan manusia, didefinisikan oleh Merriam,
sebagai berikut: Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has
always beencompounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and
perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes
neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for
where one scholar writes technicallyupon the structure of music sound as a system initself,
another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as anintegral part of
a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part
by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the
evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the
emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the
part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of
man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize
German and American „schools“ of ethnomusicology, but the designations do not seem quite
apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method,
approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in
problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been
devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4)1.

Mulai dari definisi kebudayaan yang “klasik” seperti yang berasal dari Tylor, yang
melihat kebudayaan sebagai “suatu kesatuan kompleks yang terdiri dari pengetahuan,
kepercayaan, hukum, moralitas dan adat istiadat,” hingga pendekatan interpretatifClifford Geertz
yang mencoba mempertajam pengertian kebudayaan sebagai “pola-pola arti yang terwujud
sebagai simbol-simbol yang diwariskan secara historis -- dengan bantuan mana manusia
mengkomunikasikan, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap terhadap hidup”
(1973: 89), teori-teori kebudayaan telah memberi berbagai sumbangsih bagi pemahaman
kehidupan sosial. Berbagai studi akulturasi, yakni, hasil dari kontak yang intim antara
kebudayaan-kebudayaan yang bertetangga, dapat lakukan lewat studi terhadap musik (lihat
Wachsmann 1961; Merriam 1955: Bab 8).

Dalam perkembangannya di Indonesia, Antropologi juga telah menghasilkan beragam


teori kebudayaan. Koentjaraningrat (1985:180), misalnya, pada dekade 1970an mendefinisikan
kebudayaan sebagai keseluruhan sistsem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Di awal dekade
1980an, Parsudi Suparlan (1986) mencoba melihat kebudayaan sebagai pengetahuan yang
bersifat operasional, yaitu sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai
mahluk sosial; yang isinya adalah perangkat-perangkat modelmodel pengetahuan yang secara
selektif dapat digunakan untuk memahami and menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, dan
untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya.

Dalam membahas masalah “Perubahan Budaya,” tulisan ini akan menyoroti teori-teori
kebudayaan mutakhir, yang berkembang setelah tampilnya pendekatan interpretatif Geertz
maupun definisi kebudayaan yang operasional seperti dikemukakan oleh Suparlan. Teori-teori
kebudayaan demikian, yang sering dijuluki beragam sebutan seperti “post-modernis,” “post-
strukturalis,” “refleksif,” dan lainlain. Teori-teori kebudayaan demikian membantu kita
memahami secara lebih rinci implikasi proses “Perubahan Budaya” yang sering menjadi pokok
bahasan di negeri kita dewasa ini. Misalnya saja, studi-studi antropologis yang bertumpu pada
teori-teori ini menunjukkan bahwa proses globalisasi bukanlah suatu proses yang baru mulai
akhirakhir ini, yang disebabkan oleh lonjakan perkembanagan sistem komunikasi, tapi sejak
masa lalu setiap masyarakat di muka bumi ini merupakan suatu “masyarakat global” (Sahlins
1994: 387). Begitu juga, kemajemukan kebudayaan terwujud bukan karena terisolasinya
kelompok-kelompok sosial, melainkan justru karena adanya kontak secara terus menerus antara
kelompok-kelompok tersebut (Lévi-Strauss, dikutip dalam Sahlins 1994: 387).

Senada dengan itu Victor Tuner dengan teori liminalnya berpendapat bahwa adanya
tarik-menarik antara generasi tua dan muda. Dengan kata lain, musik dalam musik dalam
konteks kebudayaan adalah juga suatu sumber bagi penciptaan ideide baru yang didorong untuk
dihidupkan pada masa liminal, maupun sebagai sumber bagi terwujudnya status quo dalam
pelaksanaannya.

Dimensi dalam sebuah proses ritual menurut Victor Turner yaitu:

1. Process analysis : yaitu mempelajari proses spiritopsycho-social yang terjadi, aspek


metodikal dan tahapan-tahapannya (fase-fase transformasi).
2. Symbolic theory : yaitu memahami makna-makna simbolis yang diretulisankan.
3. Structure dan anti-structure : sebagaimana nantinya akan kita lihat bahwa ritual memiliki
kaitan yang sangat erat dalam formasi sebuah struktur kemasyarakatan maupun deformasi
(pengubahan) sebuah struktur yang mapan. Disini sebuah ritual dipelajari dalam
kaitannya dengan kerangka struktur kemasyarakatan maupun fungsinya sebagai penjaga
social order.
4. Liminal: Liminal state adalah sebuah kondisi yang terdapat dalam suatu peralihan/
tranformasi, dimana terdapat disorientasi, ambiguitas, keterbukaan, dan ketidakpastian
(indeterminancy). Dalam liminal state inilah maka dimungkinkan terjadinya perubahan-
perubahan, misalnya: status sosial, personality value, atau identitas pribadi. Jadi dengan
kata lain, liminality adalah sutu periode transisi dimana pikiran normal, self-
understanding dan tingkah laku dalam kondisi relax, terbuka dan receptive untuk
menerima perubahan.

Masalah yang berkenaan dengan model yang telah diajukan oleh Victor Turner adalah:

1) Bentuk simbolik yang berlandaskan pada dasar primordial yang nampaknya sukar untuk
diterima karena hal itu hanya meninggalkan ruang yang amat kecil bagi adanya
kekhususan ekspresi-ekspresi kebudayaan yang bersumber atau berlandaskan pada
kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang ada setempat, dan juga yang khususnya
berkenaan denganberbagai konsep sosial dan ekonomi warga masyarakat setempat yang
diselimuti oleh dan berada dalam cakupan pemikiran kebudayaan

2) Nampaknya juga agak sukar untuk dengan begitu saja menerima pendapatnya bahwa masa
liminal dalam struktur musik dalam musik dalam konteks kebudayaan adalah bersifat
destruktif terhadap struktur tersebut. Karena symbol-simbol yang ada di dalam dan yang
digunakan untuk mendefinisikan masa liminal itu terstruktur secara ketat dan harus dilihat
dalam kaitannya dengan satuan-satuan struktural lainnya dimana si individu itu berasal
dan kemana dia akan kembali lagi ke tempat asalnya tersebut. Hakekat dari masa liminal
sebenarnya bersifat reflektif dan formatif, dan hal ini akan nampak lebih jelas bila
diekspresikan dengan menggunakan referensi-referensi transformatif yang konkrit yang
berasal dari atau yang ada dalam lingkungan struktural yang bersifat non-ritual atau yang
bukan musik dalam musik dalam konteks kebudayaan
3) Bila simbol-simbol itu barulah mempunyai makna pada masa liminal (yaitu setelah
diisolasi dari sistem klasifikasinya yang bersifat struktural), dan bila inti dari motif
pemikiran simbolik itu sifatnya adalah organik dan primordial, maka dalam hal ini
sebenarnya Turner telah menyatakan bahwa sumber fungsional dari bentuk simbolik dan
pemikiran kebudayaan serta tindakan musik dalam musik dalam konteks kebudayaan itu
berasal dari luar (kalau dilihat dalam kaitannya dengan kategori-kategori dan tingkat-
tingkat struktural yang ditransformasikan dan didefinisikannya). Dengan demikian maka
Turner melihat bahwa kekuatan-kekuatan yang mendorong dan menciptakan unsur-unsur
bagi penciptaan kebudayaan yang memberi keterangan atau informasi secara struktural
sebagaimana yang dikatakannya berasal dari luar terhadap struktur itu sendiri, memberi
kesan adanya pertentangan dalam konsep-konsepnya. Seharusnya, baik proses mediasi
atau perantaraan maupun pendorongan bagi penciptaan dalam struktur-struktur itu secara
struktural dan fungsional ada dalam sistem itu sendiri.

Teori-teori mengenai budaya dengan harapan dapat digunakan sebagai alat untuk
memperspektif suatu fenomena budaya atau fenomena sosial yang muncul baik dalam dimensi
masa kini, masa lampau atau pun di masa mendatang. (Adapun beberapa teori tersebut adalah
sebagai berikut):
1. Budaya yang lebih tinggi dan aktif akan mempengaruhi budaya yang lebih rendah dan
pasif melalui kontak budaya (Malinowski, 1983:21-23). Teori Malinowski ini sangat
nampak dalam pergeseran nilai-nilai budaya kita yang condong ke Barat. Dalam era
globalisasi informasi menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam mempengaruhi pola
pikir manusia. Budaya barat saat ini diidentikkan dengan modernitas (modernisasi), dan
budaya timur diidentikkan dengan tradisional atau konvensional. Orang tidak saja
mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi Barat sebagai bagian dari kebudayaan tetapi
juga meniru semua gaya orang Barat, sampaisampai yang di Barat dianggap sebagai
budaya yang tidak baik tetapi setelah sampai di Timur diadopsi secara membabi buta.
Seorang yang sudah lama menetap di Australia kemudian mudik ke Indonesia, ia
tercengang melihat betapa cepatnya perubahan budaya di Indonesia. Ia saat itu bahkan
merasa berada di Amerika. Ada beberapa saluran TV yang menayangkan banyak film
Amerika yang penuh dengan adegan kekerasan dan seks. Selama beberapa minggu ia
berada di tanah air, ia tidak melihat kesenian tradisional yang ditayangkan di TV swasta
seperti yang pernah dilihatnya dahulu di TVRI. Ia kemudian sadar bahwa reog, angklung,
calung, wayang golek, gamelan, dan tarian tradisional tidak hanya nyaris tidak
ditayangkan di TV, tetapi juga jarang sekali dipertontonkan langsung di tengahtengah
masyarakatnya. Sementara itu, ia justru menemukan Mc. Donald’s, Kentucky Fried
Chicken, Pizza Hut, dan Dunkin Donuts di sini. Beberapa toserba dan pasar swalayan
juga mirip seperti yang ia temukan di luar negeri dengan penataan yang serupa. Kedua
tempat berbelanja tersebut bahkan lebih banyak menggunakan petunjukpetunjuk
berbahasa Inggeris, meskipun mayoritas pengunjungnya adalah orang Melayu. Ia melihat
banyak pemuda bergaya masa kini, dengan rambut panjang di buntut kuda, sebelah
telinganya beranting, bercelana Levi’s duduk-duduk santai di Mall, seraya meneguk
minuman dingin ‘Soft Drink’. Demikian pula pemuda-pemudinya banyak sekali yang
hanya menggunakan kaos sepotong yang ketat dan tidak sempat menutup pusarnya,
dengan celana panjang yang ketat pula, sedangkan rambutnya disisir dengan gaya
semrawut. Di kota-kota besar sudah tumbuh pub-pub, nightclub, diskotik dan karaoke
yang sangat laris. Restoran-restoran yang menyediakan makanan ala China, dan Eropa. Ia
tertegun benarkah ini negeriku Indonesia? Fenomena tersebut menunjukkan bahwa
kebudayaan Indonesia yang halus dan yang tinggi nilai budayanya telah terkontaminasi
oleh kebudayaan Barat yang sekuler seperti itu?

2. Teori Sinkronisasi Budaya (Hamelink, 1983) menyatakan “lalu lintas produk budaya
masih berjalan satu arah dan pada dasarnya mempunyai mode yang sinkronik. Negara-
negara Metropolis terutama Amerika Serikat menawarkan suatu model yang diikuti
negara-negara satelit yang membuat seluruh proses budaya lokal menjadi kacau atau
bahkan menghadapi jurang kepunahan. Dimensi-dimensi yang unik dari budaya
Nusantara dalam spektrum nilai kemanusiaan yang telah berevolusi berabad-abad secara
cepat tergulung oleh budaya mancanegara yang tidak jelas manfaatnya. Ironisnya hal
tersebut justru terjadi ketika teknologi komunikasi telah mencapai tataran yang tinggi,
sehingga kita mudah melakukan pertukaran budaya. (Dalam sumber yang sama)
Hamelink juga mengatakan, bahwa dalam sejarah budaya manusia belum pernah terjadi
lalu lintas satu arah dalam suatu konfrontasi budaya seperti yang kita alami saat ini.
Karena sebenarnya konfrontasi budaya dua arah di mana budaya yang satu dengan
budaya yang lainnya saling pengaruh mempengaruhi akan menghasilkan budaya yang
lebih kaya (kompilasi). Sedangkan konfrontasi budaya searah akan memusnahkan budaya
yang pasif dan lebih lemah. Menurut Hamelink, bila otonomi budaya didefinisikan
sebagai kapasitas masyarkat untuk memutuskan alokasi sumber-sumber dayanya sendiri
demi suatu penyesuaian diri yang memadai terhadap lingkungan, maka sinkronisasi
budaya tersebut jelas merupakan ancaman bagi otonomi budaya masyarakatnya.

3. Agen Eropa merupakan pendorong utama terjadinya proses perubahan budaya


(Malinowski, 1983:24). Sejak zaman pemerintahan kolonisasi Belanda membuka
perkebunan dan pabrik-pabriksampai dengan abad ke-21 di mana pemerintah
mengeluarkan kebijakan dengan membuka kran dan kemudahan bagi para investor asing,
sedikit banyaknya akan membawa perubahan dalam sistem perekonomian kita.
Perusahaan asing yang dikelola dengan modal besar menggunakan tenaga murah dari
penduduk pribumi. Dalam sistem ekonomi kapitalis tenaga kerja dianggap sebagai faktor
produksi dan tujuan perusahaan asing di Indonesia jelas bukan untuk melaksanakan
demokrasi ekonomi seperti yang tertera dalam UUD 1945 Pasal 33. Salah satu sisi
perusahaan asing berbondongbondong menanamkan investasinya di bumi Indonesia
adalah karena (1) Indonesia memiliki sumber alam ‘Natural Resource’ yang berlimpah
ruah; (2) Perusahaan asing dapat mendapatkan tenaga kerja murah dengan demikian
perusahaan asing yang menanamkan modal di sini memiliki keunggulan daya saing
berimbang atau komparatif ‘Comparative Advantage’ sehingga dapat menjual hasil
produksinya di bawah harga dengan kualitas produksi yang sama. Kondisi ini tentu
secara perlahan tetapi pasti diikuti oleh para pelaku ekonomi bangsa kita. Dengan
demikian secara berangsur-angssur sistem ekonomi kapitalis akan semakin tertanam
dalam jiwa para pelaku ekonomi di bumi persada kita. Sebagai bukti adalah pertama,
sulitnya para konglomerat mendengar himbauan Presiden untuk menyisihkan
keuntungannya sebagai upaya pengentasan kemiskinan; kedua, sulitnya Menteri Sosial
untuk mendapatkan bantuan dalam HKSN.
4. Proses perubahan budaya dapat terjadi karena difusi, yakni unsur budaya yang satu
bercampur dengan unsur budaya lainnya sehingga menjadi kompleks, di mana unsur
komponennya menjadi tidak dekat lagi dengan unsur budaya aslinya. Kajian di Melanesia
dan Afrika Barat pengaruh aliran budaya dari Asia Tenggara. Budaya Mesir purba yang
masih tertinggal di India, Cina, Kepulauan Pasifik hingga sampai ke Dunia Baru
Malinowski tidak sepakat dengan teori tersebut, melalui kajian empiris dia menyatakan
difusi merupakan proses yang diarahkan oleh budaya yang lebih kuat/pemberi budaya
dan mendapat tantangan hebat dari budaya yang lemah/ penerima budaya (Malinowski,
1983: 27). Hasil penelitian di daerah transmigrasi Rajabasa Lama, Way Jepara Lampung
Tengah 1995-1997 menunjukkan terjadinya difusi di bidang cara pengolahan lahan
pertanian. Hal ini terjadi di mana penduduk suku Lampung yang tadinya terbiasa
mengolah lahan secara tertutup (masih menyisakan bagian hutan di lahan pertanian), kini
mereka mulai mengolah lahan secara terbuka (membabat habis sisa hutan yang tadinya
sebagai cadangan kayu dan sebagainya). Transmigrasi asal suku Jawa yang tadinya
mencangkul dalam-dalam tanahnya sebelum ditanami, kini mereka hanya mengoret
(mencangkul tipis-tipis lahannya untuk sekedar menghilangkan rumputnya) seperti yang
biasa dilakukan oleh orang Lampung, karena ternyata dengan mengoret humusnya tidak
cepat habis. Para transmigran juga membuat gerobak, seperti halnya gerobaknya
orangLampung yang berukuran kecil dan ramping, sehingga cukup ditarik oleh sapi
seekor dan mudah menerobos di jalan-jalan setapak.

5. Budaya adalah campuran unsur suatu hasil integrasi budaya yang hanya bisa dipahami
melalui budaya induknya. Teori ini ditolak oleh Malinowski (Malinowski, 1983: 29). Re-
tribalisme yang terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Kolonial Belanda di mana
pada saat itu kelompok Melayu telah menempati kedudukan yang dominan dalam
masyarakat Kota Medan, terutama untuk kelompok suku-suku Indonesia, dengan
menempatkan kebudayaan Islam Melayu (Melayu – Moslem - Culture) sebagai basis
pembauran ‘meeting pot’. Apabila masuk Melayu pada waktu itu berarti juga masuk
Islam. Dengan demikian pada waktu itu banyak anggota-anggota etnis pendatang seperti
dari Mandailing, Karo, Sipirok melakukan asimilasi dengan kelompok Melayu. Mereka
hidup sebagai orang Melayu, berbahasa Melayu sehari-hari, memakai adat resam Melayu
dan menanggalkan pemakaian Marga Batak. Namun demikian setelah kemerdekaan RI,
dimana kekuasaan Kesultanan Melayu berakhir, hingga saat ini ternyata banyak di antara
mereka yang telah menjadi Melayu tersebut kembali memakai marganya, menelusuri
silsilah keluarganya ke gunung. Proses inilah yang disebut dengan proses re-tribalisme.
Setiap kelompok etnis Kota Medan membutuhkan usaha untuk mengekspresikan identitas
etnisnya lewat berbagai media, idiom, dan simbol-simbol kehidupan budaya.
Pengungkapan identitas ini sering dilakukan secara aktif dan sadar, seperti memakai
pakaian adat, perhiasan, bahasa, dan tingkah laku tertentu, agar orang dari kelompok etnis
lainnya mengetahui identitas dan batasbatas ‘boundaries’ antara mereka dan orang lain
(Barth, 1969 dalam Depdikbud, 1987: 7). Re-tribalisme ini sebenarnya menunjukkan
adanya proses integrasi budaya yang tidak kokoh, bahkan langsung dapat dipahami
sebagai budaya yang kembali ke akar budayanya. Namun hal tersebut tidak bisa untuk
menjelaskan seluruh proses integrasi kebudayaan, bahkan menurut hemat kami hanya
sedikit sekali integrasi budaya yang hanya dapat dipahami dari budaya induknya.

6. Teori Budaya Fungsional. Ahli antropologi aliran fungsional menyatakan, bahwa budaya
adalah keseluruhan alat dan adat yang sudah merupakan suatu cara hidup yang telah
digunakan secara luas, sehingga manusia berada di dalam keadaan yang lebih baik untuk
mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya dalam penyesuaiannya dengan alam
sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya (Malinowski, 1983: 65) atau “Budaya
difungsikan secara luas oleh manusia sebagai sarana untuk mengatasi: masalah-masalah
yang dihadapi sebagai upaya penyesuaiannya dengan alam dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya”. Contoh budaya fungsional ini banyak sekali dalam masyarakat kita
dan bisa kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya pada musim kemarau di
mana seorang petani sulit menanam, peceklik, akhirnya ia menjadi nelayan, dan setelah
musim penghujan tiba ia kembali menjadi petani lagi.

7. Teori tindakan atau action theory (Talcott Parson, E. Shils, Robert K. Merton dan lain-
lain). Kebudayaan (berdasarkan teori tindakan ini) terdiri dari empat komponen sebagai
berikut (1) Sistem Budaya ‘Culture System’; (2) Sistem Sosial ‘Social System’; (3) Sistem
Kepribadian ‘Personality System’; dan (4) Sistem Organik ‘Organic System’.
a. Sistem Budaya ‘Culture System’ yang merupakan komponen yang abstrak
dari kebudayaan yang terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan,
konsepkonsep, tema-tema berpikir dan keyakinan-keyakinan (lazim
disebut adat-istiadat). Di antara adat-istiadat tersebut terdapat “sistem nilai
budaya”, “sistem norma” yang secara khusus dapat dirinci dalam berbagai
norma menurut pranata yang ada di masyarakat. Fungsi sistem budaya
adalah menata dan memantapkan tindakantindakan serta tingkah-laku
manusia.

b. Sistem Sosial ‘Social System’; terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia atau


tindakantindakan dari tingkah laku berinteraksi antarindividu dalam
bermasyarakat. Sebagai rangkaian tindakan berpola yang berkaitan satu
sama lain, sistem sosial itu bersifat kongkrit dan nyata dibandingkan
dengan sistem budaya (tindakan manusia dapat dilihat atau diobservasi).
Interaksi manusia di satu pihak ditata dan diatur oleh sistem budaya.
Namun di lain pihak dibudayakan menjadi pranata-pranata oleh nilai-nilai
dan norma tersebut.

c. Sistem Kepribadian ‘Personality System’; adalah soal isi jiwa dan watak
individu yang berinteraksi sebagai warga masyarakat. Kepribadian
individu dalam suatu masyarakat walaupun satu sama lain berbeda-beda,
namun dapat distimulasi dan dipengaruhi oleh nilainilai dan norma-norma
dalam sistem budaya dan dipengaruhi oleh pola-pola bertindak dalam
sistem sosial yang telah diinternalisasi melalui proses sosialisasi dan
proses pembudayaan selama hidup, sejak kecilnya. Dengan demikian
sistem kepribadian manusia berfungsi sebagai sumber motivasi dari
tindakan sosialnya.

d. Sistem Organik ‘Organic System’ melengkapi seluruh kerangka sistem


dengan mengikutsertakan proses biologik dan bio kimia ke dalam
organisme manusia sebagai suatu jenis makhluk alamiah. Proses biologik
dan biokimia tersebut apabila dipelajari lebih dalam ikut menentukan
kepribadian individu, pola-pola tindakan manusia, dan bahkan
gagasangagasan yang dicetuskan (Koentjaraningrat, 1980: 235236).
Kebiasaan suku Lampung bila menghidangkan tamu yang dihormati, atau
kerabat yang dihormati adalah menyuguhkan kepala ikan ‘culture system’.
Budaya ini tidak boleh dipahami dari sudut pandangan orang Jawa atau
orang Sunda, di mana kebiasaan kedua suku tersebut apabila memberikan
jamuan makan dengan hidangan kepala ikan dianggap sebagai
suatupenghinaan ‘social system’. Sebagai ilmuwan kita harus memahami
budaya tersebut dari budaya daerah itu sendiri atau dari induk budayanya.
Ikan-ikan yang ada di Lampung adalah ikan-ikan besar dan orang
Lampung tidak mau mengkonsumsi ikan yang kecilkecil, kecuali dibuat
terasi atau makanan lainnya. Ikan yang biasa dimakan mereka adalah ikan
yang “rasa kepalanya enak”, seperti ikan baung, jelabat, dan sebagainya.
Orang Lampung tidak menghidangkan ikan seperti mujair, gurami, tawes,
wader, dan sebagainya untuk menjamu tamu yang dihormati. Maka karena
rasa kepala ikan baung, ikan jelabat sangat enak, dan ikannya besar
‘organic system’, maka sangat wajar bila mereka menghidangkan ikan
kepada tamunya pada bagian kepalanya. Sebaliknya jenis ikan di Jawa
adalah ikan yang kecil-kecil sehingga kalau memberikan suguhan ikan
pada kepalanya sama (nilainya) dengan memberi kucing. Oleh karena itu,
menjelaskan suatu budaya haruslah dipahami dari budaya (atau sistem
budaya yang berlaku) itu sendiri.

8. Teori Orientasi Nilai Budaya ‘Theory Oreantation Value of Culture’. Menurut Kluckhon
dan Strodberck soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam kehidupan manusia dan yang
ada dalam tiap kebudayaan di dunia ini menyangkut paling sedikit lima hal, yakni:
a. Human Nature atau makna hidup manusia;
b. Man Nature atau persoalan hubungan manusia dengan alam sekitarnya;
c. Persoalan Waktu, atau persepsepsi manusia terhadap waktu;
d. Persoalan Aktivitas ‘Activity’, persoalan mengenai pekerjaan, karya dan
amal perbuatan manusia;
e. Persoalan Relasi ‘Relationality’ atau hubungan manusia dengan manusia
lainnya. Bagaimana oreantasi nilai budaya di Indonesia? Dalam
kenyataannya selalu beroreantasi pada nilainilai Pancasila, karena
Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa
Indonesia ternyata bukan hanya sekedar simbol-simbol, atau slogan
dengan rangkaian katakata yang indah tetapi memiliki arah berupa nilai
yang menjadi oreantasi budaya yang sangat tinggi nilainya, di mana
masingmasing sila memuat kelima hal atau sila yang sangat tinggi
nilainya. Masing-masing sila memuat makna hidup manusia, makna
sosial, hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya, dan arah
aktivitas yang selalu disinari oleh sila yang pertama, yakni Ketuhanan
Yang Maha Esa.

Temuan-temuan demikian mengajarkan kita bahwa proses “Perubahan Budaya” tidak


perlu dihadapi dengan sikap menutup diri yang ekstrim. Sebaliknya, dengan memahami
bagaimana kebudayaan itu dikonstruksi melalui wacana dan praksis, misalnya, kita juga dapat
memanfaatkan proses globalisasi sebagai sarana utnuk memperkaya kemajemukan
kebudayaankebudayaan kita.

Praksis, proses dan konteks

Pendekatan interpretatif Clifford Geertz, Merriam, Bruno Nettl dan Victor Tuner yang
melihat kebudayaan sebagai “suatu sistem konsepsi yang diwariskan [dari generasi sebelumnya]
dan diekspresikan dalam bentuk simbolik; dengan bantuan kebudayaan manusia
mengkomunikasikan, mengabadikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap terhadap
kehidupan telah banyak mempengaruhi kajian-kajian Antropologi dan Etnomusikologi sejak
dekade 1970an hingga pertengahan 1980an.

Berdasarkan konsep kebudayaan demikian, dalam pendekatan interpretatif Merrriam


“musik” misalnya diteliti sebagai suatu “sistem kebudayaan” yang didefinisikan sebagai “suatu
sistem simbol yang bertindak untuk memantabkan suasana hati (mood) dan motivasi
(motivation) yang kuat, mendalam dan bertahan lama dengan cara mengformulasikan
konsepsikonsepsi mengenai tatanan dasar keseimbangan alam dan kehidupan, dan dengan
menyelimuti konsepsi-konspesi tersebut dengan suatu suasana yang faktual sehingga suasana
hati dan motivasi yang ditumbulkannya terasa nyata.

Walaupun pendekatan interpretatif demikian telah memberikan sumbangsih besar dalam


memperkaya pengertian kita akan makna-makna yang terkandung dalam kehidupan sosial dan
kehidupan berbudaya pada umumnya, kelemahankelemahannya telah banyak dikritik sejak
pertengahan dekade 1980an (eg. Clifford 1988: 40-41, Crapanzano 1988, Shankman 1984).
Salah satu kritik yang paling tajam dalam mengungkapkan kelemahan konsep kebudayaan
Geertz adalah yang dikemukakan oleh Asad (1983).

Kritik Asad sebetulnya ditujukan kepada definisi budaya Geertz, namun kritiknya juga
mengungkapkan kelemahan konsep kebudayaannya. Menurut Asad (1983:50), walaupun definisi
agama yang dikemukakan oleh Geertz sangat kaya dalam menggambarkan bagaimana budaya
membentuk pengetahuan dan sikap manusia terhadap hidup, definisi ini sama sekali tidak
menyinggung proses sebaliknya, yaitu bagaimana kehidupan manusia mempengaruhi,
mengkondisi dan membentuk simbol-simbol kebudayaan. Dengan kata lain, definisi kebudayaan
yang demikian menggambarkan hubungan antara simbol-simbol kebudayaan dan kehidupan
sosial sebagai suatu “hubungan satu arah” di mana simbolsimbol kebudayaan yang
menginformasikan, mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Dengan melihat simbol-
simbol kebudayaan sebagai sesuatu yang sui generis, sama sekali tidak ditunjukkan dalam
definisi Geertz ini bagaimana perspektif kebudayaan dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut Asad mengemukakan bahwa kelemahan
utama pendekatan Geertz ini disebabkan oleh definisi kebudayaan sebagai “suatu totalitas arti
yang bersifat a priori [seolaholah diterima “jadi” dari generai sebelumnya], yang sama sekali
dipisahkan dari proses pembentukan kekuasaan dan efek-efeknya” (“a notion of culuture as an a
priori totality of meanings, divorced from processes of formation and effects of power”) [Asad
1983:251]. Sebagai akibat dari konsepsi kebudayaan demikian, menurut Asad, terwujudlah
dalam pendekatan Geertz “jurang pemisah” (hiatus) antara “sistem kebudayaan” dan “realitas
sosial” (1983;252).
Searah dengan pembahasan di atas, Alan P. Merriam (1964:7) seorang antropolog
berbicara tentang music sebagai kebudayaan, music dalam kebudayaan dan music dalam konteks
kebudayaan dan sekaligus mendefenisikan etnomusikologi sebagai “studi musik di dalam
kebudayaan”. Data-data yang dikumpulkan antara lain berbagai kemungkinan adanya hubungan
musik dengan aspek-aspek dari tingkah laku manusia, dan fakta-fakta itu kemudian dapat
dipergunakan untuk menjelaskan mengapa musik seperti itu dan dipergunakan seperti itu. Selain
itu, musik tersebut dikumpulkan, ditranskripsikan dan dianalisis, tetapi dengan penekanan
terhadap peranannya sebagai “tingkah laku mahluk sosial”. Sementara itu George List
(1969:195) seorang musikolog, mendefenisikan etnomusikologi sebagai suatu studi musik
tradisional, contohnya musik yang berkembang secara oral (tanpa tulisan) dan selalu di dalam
perubahan yang berlangsung secara terus-menerus (flux). Kerja lapangan dilakukan dengan
penelitian dan pengumpulan data-data musik dalam konteksnya, tetapi tidaklah perlu sepenuhnya
diterima pandangan yang menyatakan bahwa musik harus dipelajari sematamata hanya sebagai
tingkah laku manusia.

Dalam bidang studi etnomusikologi, musik harus dituliskan dengan satu cara atau cara
lain, menganalisis gaya dan strukturnya, dan membandingkan hasilnya (transkripsi musik)
dengan konsep-konsep musik yang ada dalam masyarakat pemilik budaya musik tersebut, jika
memang ada.

Sesungguhnya musik pun dapat dipelajari sebagai alat untuk memecahkan masalah non-
musikal. Sebagai contoh, Clark Wissler dalam bukunya tentang Indian Amerika (1922:155)
mengemukakan bahwa musik adalah budaya yang sifatnya sangat stabil dan karenanya
menyediakan cara yang berguna untuk menentukan sifat dari difusi budaya, yang mana ciri-ciri
budaya lain perlu dipelajari untuk sampai pada kesimpulan tentang difusi musik tersebut. Hal ini
adalah masalah fokus. Jadi karya Alan P. Merriam yaitu The Antropologi of Music (1964),
sebenarnya lebih kepada antropologi daripada sebuah karya etnomusikologi. Sebab fokusnya
terutama berkaitan dengan perilaku manusia dalam membuat dan bereaksi terhadap musik, bukan
material (produk) dari musik itu sendiri.

Etnomusikolog Francis Marcel Dubois (1965:39) mengemukakan bahwa etnomusikologi


sangat terbuka kepada etnologi, meskipun dalam kenyataannya etnomusikologi merupakan
spesialisasi yang istimewa dalam studi lapangan musikologi. Etnomusikologi mempelajari
kehidupan musik, mempertimbangkan praktek musik di dalam lingkup mereka yang lebih luas,
dan hal ini menunjukkan adanya fenomena tradisi oral. Etnomusikologi mencoba menempatkan
kembali fakta-fakta musik di dalam konteks sosio-kultural mereka, berdasarkan situasi di dalam
pemikiran mereka, aksi dan struktur dari sekelompok manusia dan menentukan penggaruh
timbalbalik antara yang satu dengan yang lainnya, dan membandingkan fakta-fakta itu dengan
setiap persilangan beberapa kelompok lain dari analogi individual atau tingkatan kebudayaan
yang tidak sama dan tata cara pergaulan dalam masyarakat.

Bruno Nettl (1964) mengemukakan bahwa mendefenisikan etnomusikologi bukanlah


suatu pekerjaan yang mudah. Sebab ada perbedaan di antara para ahli etnomusikologi itu sendiri:
bagi mereka yang telah melakukan, sedang melakukan, dan apa kiranya yang harus dilakukan.
Untuk tujuan praktis memang dapat dikatakan bahwa para ahli etnomusikologi di masa lalu telah
mempelajari musik di luar peradaban Barat, dan untuk jangkauan yang lebih kecil adalah musik
rakyat Eropah, sebagaimana yang telah mereka kerjakan dalam suatu area yang berdekatan
antara musikologi dan antropologi budaya secara luas. Musikologi didefenisikan sebagai suatu
bidang yang menyangkut keilmiahan dan orientasi studi mengenai segala jenis musik dan dengan
berbagai pendekatan, yang sebenarnya telah memberikan sumbangan yang terbesar pada seluruh
perhatian mengenai musik peradaban urban (perkotaan) di belahan dunia Barat, yang tidak
terlepas dari tradisi tulisan musik orang Eropah.

Para ahli musikologi beranggapan bahwa adakalanya musik juga berasal dari (ditemukan
pada) kebudayaan masyarakat lain, yang mereka pandang sebagai studi lapangan
etnomusikologi, dimana etnomusikolog kadang-kadang dianggap hanya sebagai ahli sejenis
musik tertentu saja, tetapi pada waktu lain mewakili suatu hubungan dengan bidang studi lain
untuk membedakan bidang studi mereka. Para ahli antropologi, terutama yang memusatkan
pikiran pada studi mengenai kebudayaan, telah menegaskan bahwa seluruh kebudayaan dunia
sebagai bidang kekuasaan mereka. Tetapi mereka sebenarnya telah menghabiskan waktu yang
jauh lebih banyak dan dalam publikasi mereka dikenal sebagai ahli kebudayaan di luar
peradaban Barat. Jadi ahli etnomusikologi, apa pun defenisinya atas segala yang terjadi, yang
telah dikerjakan, di satu pihak, adalah sebagai ahli musikologi yang menyelidiki musik “exotic”
(‘aneh’) dan di lain pihak sebagai ahli antropologi yang menyelidiki musik dari aspek-aspek lain
dari kebudayaan manusia di luar peradaban Barat.
Para ahli etnomusikologi telah menyumbangkan suatu induk disiplin ilmu pengetahuan,
dan mereka umumnya bekerja berdasarkan metode-metode yang dikembangkan dalam
musikologi dan antropologi budaya. Meskipun secara relatif baru dikenal pentingnya data
etnomusikologi pada sejarah musik, namun peranannya telah ada pada bidang musikologi dalam
pengertian yang lebih luas. Tidak perlu dikatakan, bahwa sumbangan utama yang melibatkan
para ahli musikologi yang berhasrat untuk mengerti seluruh musik, seperti segala musik manusia
dan bahkan perwujudan musik dunia binatang. Sementara para ahli psikologi musik - dan
beberapa siswa terdahulu yang mempelajari musik suku-suku bangsa sebagai kelompok etnik -
juga mempunyai kebutuhan untuk menggunakan alat-alat dari kebudayaankebudayaan lain untuk
membuktikan kebenaran penemuan-penemuan mereka.

Tetapi para ahli musikologi pada abad ke-20 telah semakin bertambah menjadi spesialis
dalam musik Barat. Sembilan abad yang lalu, mungkin para ahli musikologi lebih tertarik
terhadap musik sebagai fenomena dunia daripada siswa-siswa di abad ke20, yang telah
menemukan kegunaan dan keperluan untuk berkonsentrasi pada aspekaspek yang sangat spesifik
dari tradisi musik Barat. Meskipun hanya melakukan sebuah peranan, tetapi kemunculan
etnomusikologi mungkin telah memberikan sedikit sumbangan, dengan melakukan
penelitianpenelitian khusus. Hubungan antara musik Barat dengan musik non-Barat yang
berdekatan, musik dari Timur Dekat, tradisi musik orang Jahudi, musik dari India, dan lain-lain,
itu semua mungkin memperkuat pertalian musik Barat atau musik urban tanpa tulisan, bahkan
lebih dikenal dalam berbagi periode sejarah folk music. Seni musik Eropah seringkali
dipertukarkan dengan tradisi musik rakyat yang berada pada suatu lingkungan geografis, dan
Eropah mendapat pengaruh dari benua lain yang mungkin telah lebih kuat dari pada yang dikenal
secara umurn. Untuk evaluasi mengenai pengaruhpengaruh ini, sebagai gambaran dari
corakcorak musik dan bagaimana asal-mulanya, metode-metode pendekatan etnomusikologi
merupakan alat yang diperlukan. Dapat disebutkan satu contoh yang digunakan secara luas,
mempelajari keaslian dari musik polyfoni Eropah, yang mana di dalam fine art tradition yang
hingga kini diasumsikan berasal dari Abad Pertengahan, meliputi musik-musik non Barat yang
memiliki analogi atau kesamaan gaya polyfoni Abad Pertengahan Eropah. Juga meliputi suatu
pengetahuan tentang gaya musik yang mungkin dipengaruhi Eropah Barat dari Abad
Pertengahan, dan folk music (seperti yang ada sekarang, dan yang mungkin hadir kemudian)
dapat diduga terdapat perubahan ide dan materi musikal. Salah satu contoh yang cukup
menonjol, yang dapat dipakai untuk menunjukkan potensi dan jasa etnomusikologi di masa lalu
sebagai studi tentang sejarah musik Barat adalah sejumlah musik polyfoni Abad Pertengahan.

Hal yang sama dapat dibuat untuk kebutuhan informasi mengenai musik di bidang
antropologi. Karena musik adalah sebagian kecil dari fenomena kebudayaan universal, maka
setiap penduduk memiliki beberapa jenis musik. Meskipun variasi pada gaya musik dunia sangat
luas, namun di sana cukup homogen dalam prilaku musikal untuk membuat identifikasi yang
mungkin dan kesederhanaan dari musik itu sendiri. Selanjutnya, itu adalah kebutuhan seorang
ahli antropologi, jika ia sepenuhnya menginformasikan suatu kebudayaan tertentu, dengan
demikian juga untuk mengetahui sesuatu tentang prilaku musikal dari manusia. Pada berbagai
kebudayaan manusia, bermain musik adalah suatu peran penting di dalam kehidupan kosmologi,
filosofi, dan ritus. Di bidang antroplogi, tidak jarang musik digunakan sebagai bukti untuk
pembenaran teori-teori tertentu. Penemuan E.M. von Hornbostel mengenai tuning panpipe di
Brazil - ia pikir tuning ini identik dengan yang dipakai di bagian-bagian wilayah Oseania, diduga
menunjukkan adanya kontak budaya pra-sejarah di antara wilayah-wilayah tersebut. Dalam hal
ini adalah suatu kasus, dimana interpretasi dari Hornbostel tersebut akan kembali menjadi
kontroversial, bahkan menjadi suatu contoh klasik dari data musikal dalam sajian etnologi.

Mempelajari akulturasi akan memberi kita pemahaman tentang hasil dari kontak intim
antar kebudayaan yang bertetangga, yang dapat ditelusuri melalui musik (lihat Wachsmann
1961:1, dan Merriam 1955). Data-data statistik dalam antropologi budaya ada yang dibuat
dengan menggunakan fenomena musikal, yang memberi mereka kemungkinan lebih mudah
untuk memperkirakan beberapa aspek budaya seperti religi, organisasi sosial, dan lain-lain (lihat
Merriam 1956).

Dalam perkembangan selanjutnya etnomusikologi bergabung lebih tertutup terhadap


sejarah musikologi dan antropologi budaya. Namun sewaktu para ahli etnomusikologi sangat
berbeda di dalam defenisi-defenisi lapangan mereka dan penekanannya, mungkin tidak seorang
pun akan menyangkal pentingnya hubungan antara musikologi dan antropologi budaya di dalam
kegiatan penelitian. Etnomusikologi juga berperan di dalam dua lapangan, yaitu antropologi-
folklore dan linguistik. Secara nyata, musik di dalam tradisi lisan dan ini adalah induk material
mentah, merupakan bagian penting dari folklore, dimana meliputi aspek-aspek kebudayaan yang
hidup di dalam tradisi lisan itu sendiri, dan khususnya meliputi kreatifitas artistik. Dan semenjak
musik adalah suatu bentuk dari komunikasi yang dihubungkan di dalam beberapa cara terhadap
bahasa, lapangan etnomusikologi dapat mempelajari musik dunia yang, dapat memperbesar dan
mengambil lapangan linguistik, yang dalam hal ini bahasa-bahasa yang ada di dunia perlu
dipelajari, khususnya mempelajari hubungan antara kata-kata dan nada-nada nyanyian dengan
kedua disiplin itu (musikologi dan antropologi budaya) dalam satu kesatuan yang utuh.

Konsep teoritis yang mencoba mengisi kelemahan definisi kebudayaan demikian adalah
konsep practice, yang dalam tulisan ini diterjemahkan sebagai “praksis.” Konsep ini
dikemukakan oleh Bourdieu (1977) pada akhir dekade 1970an, tetapi mulai menarik perhatian
para antropolog baru pada pertengahan 1980an (eg. Moore 1987, Ohnuki-Tierney 1995, Ortner
1984), bahkan ada artikel yang secara eksplisit membandingkan konsep kebudayaan Geertz dan
Bourdieu (Lee 1988).

Dalam tulisan ini penulis tidak menguraikan secara rinci mengenai teori praksis
Bourdieu. Pokok pikiran teori praksis yang paling relevan dalam pembahasan ini adalah bahwa
konsep “praksis” (practice) Bourdieu dibedakan dari konsep “tindakan” (action) yang
merupakan salah satu konstruk teoritis utama sosiologi Weber, yang diwariskan dalam
pendekatan interpretatif Geertz11. Berbeda dengan konsep tindakan yang dalam tradisi sosiologi
Weber cenderung dilihat sebagai pencerminan ide-ide yang terkandung dalam kebudayaan si
pelaku, konsep praksis menekankan adanya hubungan timbal balik antara si pelaku dan apa yang
oleh Bourdieu disebut sebagai “sturktur obyektif” yang mencakup juga “kebudayaan” sebagai
sistem konsepsi yang diwariskan dari generasi ke generasi (Bourdieu 1977:83). Bourdieu
menggambarkan hubungan timnbal balik di antara keduanya sebagai 1) struktur obyektif
direproduksi secara terus menerus dalam praksis para pelakunya yang berada dalam kondisi
historis tertentu, 2) dalam proses tersebut para pelaku mengartikulasikan dan mengapropriasi
simbol-simbol budaya yang terdapat dalam sturktur obyektif sebagai tindakan strategis dalam
konteks sosial tertentu, 3) sehingga proses timbal balik secara terus menerus antara praksis dan
struktur obyektif dapat menghasilkan baik perubahan maupun kontinuitas. Implikasi utama dari
konsep praksis seperti yang dijabarkan di atas, khususnya bagi konsep kebudayaan, ialah bahwa
simbol-simbol maupun konsepsi-konsepsi yang terkandung dalam suatu kebudayaan senantiasa
bersifat cair, dinamis, dan sementara, karena keberadaannya tergantung pada praksis para
pelakunya yang berada pada konteks sosial tertentu, yang sudah barang tentu mempunyai
“kepentingan” tertentu. Kebudayaan dalam arti ini merupakan suatu konstruksi sosial yang
berkaitan erat dengan kepentingan maupun kekuasaan yang dimiliki si pelaku. Pengertian
kebudayaan sebagai praksis seperti ini sama sekali tidak terungkap dalam pendekatan
interpretatif yang telah lama mendominasi kajian-kajian antropologis dan etnomusikologis.

Implikasi lainnya dari konsep kebudayaan demikian adalah bahwa kebudayaan sebagai
senantiasa terwujud sebagai proses; proses interaksi timbal balik antara si pelaku dan simbol-
simbol budaya dalam upaya si pelaku untuk mengartikulasikan dan mengapropriasikan simbol-
simbol tersebut demi kepentingannya.

Terakhir, kebudayaan yang terwujud sebagai praksis dan proses, akan juga berfungsi
sebagai “konteks” bagi tindakan si pelaku. Kebudayaan dalam arti konteks seperti ini
menawarkan sejumlah konsepsi yang menjadi bahan pertimbangan si pelaku dalam menentukan
tindakannya.

Wacana

Pembahasan konsep kebudayaan dari segi teori praksis di atas mencoba mengungkapkan
kelemahan pendekatan kebudayaan yang banyak mempengaruhi kajian-kajian Antropologi dan
Etnomusikologi hingga dewasa ini. Aspek lain konsep kebudayaan yang masih sangat jarang
disinggung dalam kajian-kajian Antropologi dan etnomusikologi di Indonesia adalah hubungan
antara kebudayaan dan wacana (discourse). Lepas dari berbagai orientasi teoritis yang terdapat
dalam disiplin Antropologi dan Etnomusikologi, hampir semua teoriteori kebudayaan yang
dikemukakan dalam Antropologi dan Etnomusikologi melihat kebudayaan sebagai suatu
kenyataan empiris. Apakah kebudayaan itu dilihat sebagai gagasan, tindakan, atau hasil tindakan,
Etnomusikologi senantiasa melihatnya sebagai suatu kenyataan empiris yang dapat diamati,
dimengerti ataupun diinterpretasi oleh si peneliti. Apa yang belum terjamah dalam perspektif
seperti ini ialah dimensi kebudayaan sebagai wacana. Pendekatan praksis seperti yang diuraikan
di atas mengandung implikasi bahwa kebudayaan selalu terwujud dalam praksis, dan salah satu
praksis yang berfungsi mereproduksi kebudayaan adalah praksis kewacanaan (discursive
practice).

Perpesktif demikian mempuyai suatu perbedaan tajam dengan sudut pandang


konvesnional yang sematamata melihat kebudayaan sebagai semata-mata sebagai kenyataan
empiris, karena pendekatan ini mengisyaratkan bahwa tulisan-tulisan Etnomusikologi seperti
etnografi pada dasarnya tidak lebih dari suatu bentuk wacana tentang kebudayaan musik, yang
dalam aspek konstruksi sosial tidak beda efeknya dari wacana tentang kebudayaan musik yang
muncul dalam dunia politik, ekonomi, sastra, agama, iptek dan lain-lain. Perbedaan antara jenis-
jenis wacana tersebut bukan dalam “obyektivitas”nya, tetapi dalam audiencenya. Wacana adalah
suatu bentuk penuturan verbal yang berkaitan erat dengan “kepentingan” si penutur, sehingga
dapat merupakan suatu akumulasi konsep ideologis yang didukung oleh tradisi, kekuasaan,
lembaga dan berbagai macam modus penyebaran pengetahuan (Foucault 1980). Perlu
diperhatikan bahwa dalam arti adanya keterlibatan “subyektivitas” demikian, wacana dibedakan
dari “teks” yang merupakan penuturan verbal yang telah lepas dari posisi si penutur.

Dengan pengertian wacana demikian, kita dapat melihat bahwa setiap wacana tentang
kebudayaan juga tidak terlepas dari “kepentingan” dan “kekuasaan.”12 Kemudian dalam satu
masyarakat pun dapat dijumpai berbagai macam wacana tentang kebudayaan masyarakat
bersangkutan yang bisa saja saling bertentangan, namun dengan mendapat dukungan dari
kekuasaan, wacana tertentu dapat menjadi wacana yang dominan.

Walaupun wacana-wacana Etnomusikologis mengenai kebudayaan juga tidak terlepas


dari kepentingankepentingan tertentu seperti kepentingan akademis, karier, dan lain-lain, wacana
Etnomusikologi dapat memberi kontribusi tersendiri dengan membeberkan adanya
kepentingankepentingan tertentu dalam setiap wacana kebudayaan, dan dengan menggambarkan
bagaimana kepentingan-kepentingan tersebut ikut mewarnai isi dari setiap wacana.

Perubahan Budaya Musik

Pengertian kebudayaan dari segi praksis dan wacana seperti ini membawa implikasi cukup
berarti bagi pemahaman suatu gejala sosial budaya yang dewasa ini sering kita juluki proses
“globalisasi.” Dengan memahami kebudayaan sebagai praksis dan wacana, maka kebudayaan
tampak sebagai, seperti apa yang dikatakan oleh Umar Kayam, “sebuah proses, sosoknya bersifat
sementara, cair, dan tanpa batasbatas yang jelas.”13 Dalam arti ini, perbedaan antara
kebudayaan musik “modern” dan “tradisional,” “asing” dan “pribumi,” “barat” dan “timur,”
“asli” dan “campuran” hanyalah merupakan perbedaan-perbedaan yang semu dan sementara.
Kajian-kajian Etnomusikologi dewasa ini telah banyak sekali mengungkapkan contoh-contoh di
mana bentuk-bentuk kebudayaan yang dianggap sebagai sesuatu yang “asli” ternyata merupakan
hasil konstruksi sosial yang terjadi dalam konteks sosial tertentu dengan mengacu kepada
kebudayaan “asing.” Tari kecak yang kini kita kenal sebagai bentuk tari “tradisional” Bali,
menurut Vickers (1989) dan Yamashita (1992) merupakan hasil kreasi pelukis Barat Walter
Spies yang mengkombinasikan tari Sanghyang dengan motif certia Ramayana pada dasawarsa
1930an. Orasi Pengukuhan Prof. Mauly Purba (2007) yang membicarakan harapan, peluang dan
tantangan budaya musik Batak.

Semua contoh ini menunjukkan bahwa sesungguhnya proses globalisasi bukanlah suatu
proses yang baru dimulai akhir-akhir ini, setelah menyebarnya internet, TV parabola, dan slogan
pasar bebas yang berkaitan dengan program APEC. Seperti pernyataan Sahlins yang dikutip di
atas, setiap masyarakat di muka bumi ini pada dasarnya merupakan suatu “masyarakat global”
(Sahlins 1994: 387). Keistimewaan kondisi sosial dewasa ini dengan segala macam perangkat
komunikasi dan informasi mutakhir bukan terletak pada kadar maupun intensitas proses
globalisasi, tetapi pada kejelasan, keterbukaan, dan sifat “kasat mata” pengaruh berbagai macam
kebudayaan dunia. Proses globalisasi sudah ada sejak dulu dan tak pernah absen dari kehidupan
kita. Indonesia pada masa lalu, pasa zaman kerajaan Sriwijaya, Majapahit ataupun pada masa
kolonial, selalu merupakan masyarakat kosmopolitan di mana pengaruh kebudayaan
mancanegara dari India, Cina, Arab maupun Eropa menemukan tempat persemaian yang subur.

Sumbangsih yang dapat diberikan oleh Etnomusikologi dalam menghadapi era seperti ini
adalah dengan mengungkapkan kodrat setiap kebudayaan yang bersifat dinamis, cair dan hibrid
dengan menghindari serta mengkritik retulisan budaya yang bersifat esensialis dan statis. Dengan
semakin sadar akan karakteristik dinamika kebudayaan yang demikian, kita pun akan menjadi
sadar bahwa proses perubahan budaya tak pernah absen dari kehidupan sosial manusia. Seperti
dikatakan Lévi-Strauss, identitas atau jati diri para pendukung suatu kebudayaan menjadi kuat
bukan karena isolasi tetapi justeru karena adanya interaksi antara budaya. Maka kewaspadaan
akan hilangnya jati diri dalam proses globalisasi tak perlu menjadi kekhawatiran berlebihan yang
menjurus pada xenophobia. Karena kontinuitas budaya, seperti dikemukakan oleh Sahlins
(1994:389), justeru terwujud sebagai modus perubahan budaya.
Daftar Pustaka

Alam, Bachtiar 1995a Diverging Spirituality: Religious Processes in A Northern Okinawan


Village. Ph.D. Dissertation, Department of Anthropology, Harvard University, Cambridge,
Massachusetts.

……... 1995b Okinawa no Amercianization saikoosatsu [Rethinking the „Americanization“ of


Okinawa]. Shisò no kagaku 33:19-32.

……... 1997 Cultural and Religious Identities in Okinawa Today: A Case Study of the Seventh-
day Adventist Proselytization in A Northern Okinawan Village. Nippon (2)5: 5-22.

Asad, Talal 1983 ‚Anthropological conceptions of religion: Reflections on Geertz.‘ Man


18(2):237-259.

Bart, Fredrik, 1987. Cosmologies in the making : a generative approach to cultural variation in
inner New Guinea. Cambridge: Cambridge University Press.

Bourdieu, Pierre 1977 Outline of a Theory of Practice. Cambridge, England: Cambridge


University Press.

Clifford, James 1988 The Predicament of Culture: Twentieth-Century Ethnography, Literature,


and Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.

Crapanzano, Vincent 1986 ‚Hermes’ Dilemma‘, dalam James Clifford (ed.), The Predicament of
Culture: Twentieth-Century Ethnography, Literature, and Art.Cambridge, Massachusetts:
Harvard University Press.

Foucault, Michel 1972 Power/Knowledge. New York: Pantheon.

Geertz, Clifford 1973 The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books. Koentjaraningrat
1985 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Hamelink, Cees , 1983. Cultural autonomy

in global communications: lanning national information policy. Communication and human


values Research on Teaching Monograph Series. Longman: University of California
Haviland, William A. 1985. Antropologi. Terjemahan Soekadijo. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hood, Mantle. 1957. „Training and Research Methods in Ethnomusicology“.

Ethnomusicology Newsletter No. 11: 28.

Keesing, Roger 1994 „Theories of Culture Revisited‘, dalam Borofsky, (ed.) Assessing Cultural
Anthropology R. Pp. 301-311. New York: McGraw-Hill, Inc.

Kunst, Jaap. 1959. Ethnomusicology. Amsterdam: Martinus Nijhoff.

Lee III, Orville 1986 ‚Observations on Anthropological Thinking about the Culture Concept:
Clifford Geertz and Pierre Bourdieu‘, Berkeley Journal of Sociology 33: 115.

Malinowski, Bronislaw. 1983. Dinamika bagi Perubahan Budaya. Satu Penyiasatan Mengenai
Perhubungan Ras di Afrika. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia:
Malaysia

Merriam, Alan P. 1964. The Antropology of Music. Indiana: North University


TEORI DURANTI DALAM TRADISI MENGKET RUMAH MBARU PADA
MASYARAKAT KARO

Alemina Br Perangin-angin

Robert Sibarani

Universitas Sumatera Utara

aleminaperanginangin@gmail.com

Abstrak

Bahasa dan budaya memiliki ikatan yang kuat, bahasa adalah bagian yang tak terpisah dari
budaya, dan budaya diwakilkan melalui bahasa. Linguistik antropologi merupakan bagian dari
linguistik yang berhubungan dengan budaya dan orang yang terlibat di dalam budaya itu.
Menurut Duranti, linguistik anthropologi mempelajari bahasa dan budaya dengan secara
simultan dengan proporsi yang seimbang. Dia menyatakan bahwa Linguistik antropologi
memiliki tiga bidang, yaitu; perfomansi, indeksikalitas dan partisipasi. Mengket rumah mbaru
adalah salah satu tradisi pada masyarakat Karo. Tradisi mengket rumah mbarumerupakan
upacara sukacita sebagai ekspresi kesuksesan seseorang dapatmendirikan rumah. Pelaksanan
tradisi mengket rumahrumah mbaru ada tiga tingkatan yang berbeda berdasarkan pada ukuran
pesta yaitu ; Kerja singuda, sumalin jabu, miser-miser jabu, (pesta kecil), Kerja sintengah,
mengkah-mengkah-dapur, mengket-dapur, Pindah dapur (pesta menengah), Kerja Sintua,
ngerencit, ertukam (pesta besar). Setelah melakukan penelitian, perfomansi, indeks dan
partisipasi dapat ditemukan pada tradisi Mengket rumah mbaru

Kata kunci: Menket rumah mbaru, perfomansi, indekskalitas, partisipasi


Abstract

Language and culture have a strong bond, language is apart of the culture, and a culture
represented through language. Linguistics anthropology is part of linguistics that deals with
cultural and social.Linguistics anthropology learn the language and culture by simultaneously
with a balanced proportion. She stated that Linguistics anthropology has three spheres, namely;
performance, indexicality and participation. Mengket rumah mbaru is one of the tradition of
Karonise culture.The traditionl about a joy ceremony as the expression of successful for
thoseone who can set up a new house.On the implementation mengket mbaru there are three
different levels based on the size of the party namely; Kerja singuda, sumalin jabu, miser-miser
jabu,(small party),Kerja sintengah, mengkahmengkah dapur, mengeket dapur, pindah
dapur(middling party),kerja sintua, ngerencit, ertukam(elderly party). After doing the research,
performance, index and participation found out in the tradistion ofMengket rumah mbaru

Keywords: mengket rumah mbaru, performance, indexicality,participation.

I. Pendahuluan

Kelestarian sebuah budaya ditentukan oleh pelaku budaya itu sendiri apakah mereka merasa
masih perlu melaksanakannya atau tidak.Dalam perjalanannya tradisidapat mengalami
pergeseran nilai atau bahkan kepunahan karena bersingungan dengan modernisasi, globalisasi,
agama dan pemahaman masyarakat yang semakin berkurang. Kenyataanya pada zaman sekarang
ini banyak sekali tradisi yang ada dimasyarakat sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan karena
modernisasi, globalisasi, juga agama yang mengubah pandangan masyarakat terhadap budaya
itu sendiri. Pada dasarnya budaya memang bersifat dinamis, namun kedinamisan tersebut kadang
membuat budaya lama menjadi asing bagi generasi berikutnya. Tradisi kadang dianggap
membutuhkan prosesi yang cukup panjang dan berteletele dan mahal bahkan beberapa dianggap
bertentangan dengan agama. Sesungguhnya tradisi leluhur adalah identitas masyarakat
penggunanya, karenanya pelestarian budaya sangatlah penting.

Demikian juga tradisi pada masyarakat Karo, sebagian masih terpelihara dengan baik dan masih
mengikat masyarakat Karo tetapi banyak juga yang hampir punah karena sudah mulai jarang
dilaksanakan. Pada dasarnya siklus kehidupan etnis Karo selalu dikaitkan dengan tradisi mulai
dari upacara kelahiran, perkawinan, kematian, dan tata cara menjalankan kehidupan mereka
sehari-hari seperti mendirikan rumah, bertani, pembuatan obat-obat tradisional, gotong royong
dan lain sebagainya, tetapi seiring dengan waktu berlahan-lahan mulai terjadi pergeseran. Orang-
orang lebih banyak memilih pelaksaan tradisi yang lebih sederhana karena dianggap lebih
praktis, yang penting tidak menyalahi aturan agama, karena itu beberapa elemen dari tradisi itu
sering dihilangkan. Salah satu tradisi masyarkat Karo adalah tradisi mengket rumah mbaru.

1.2. Tujuan

Mengetahui bagiamana teori antropologikinguistik Duranti yang berhungan dengan partisipasi,


indeksikalitas dan perfomansi pada tradisi mengket rumah mbaru pada masyarakat Karo.

1.3. Pendekatan Pemecahan Masalah

1. Budaya dan bahasa

Bahasa dan budaya memiliki ikatan yang kuat, karena bahasa merupakan bagian dari budaya,
dan budaya diwakilkan melalui bahasa. Budaya dan bahasa berdampingan dan mempengaruhi
satu sama lain. Hubungan mendasar budaya dengan bahasa adalah bahasa harus dipelajari dalam
konteks budaya dan budaya dapat dipelajari melalui bahasa.

Ada beberapa sifat budaya, yaitu ;

1) terjabarkan melalui komponen dari proses pembelajaran sosial biologis, lingkungan,


psikologis, dan sejarah keberadaan manusia,
2) diperoleh dan diwariskan,
3) terstruktur,
4) dibagi menjadi domain dari aspek atau unsurunsur,
5) dinamis, (6) sangat beragam,
6) relatif.

Chaer (2003: 30) menyebutkan bahwa bahasa verbal adalah alat untuk komunikasi.
Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai " simbol yang digunakan oleh
sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri". Chaer selanjutnya
mendefinisi bahasa berdasarkan pandangan Barber (1964: 21), Wardhaugh (1997: 3), Trager
(1949: 18), de Saussure (1996: 16), dan Bolinger (1975: 15), kemudian, Badudu (1989: 3) dan
Keraf (1984: 16) juga setuju bahwa bahasa adalah sebagai alat komunikasi.

Dalam edisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) III (2005: 88) menyatakan bahwa:

1. Bahasa adalah sistem simbol suara yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri mereka;
2. Bahasa adalah ucapan yang baik. Selanjuntnya lagi Brown dan Yule (1983: 1) yang
menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Selain itu, linguis disebutkan
dalam bahasa pengguna (bahasa yang digunakan) merupakan bagian dari pesan dalam
komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule itu disebut bahwa bahasa sebagai
'transaksional' dan 'antarpribadi'. Artinya, ada kebiasaan dan budaya menggunakan
bahasa sebagai media/sarana berkomunikasi.

Budaya adalah pikiran, intelek, yang juga termasuk kebiasaan (KBBI, 2005: 169). Dengan
demikian, budaya dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau berpikir.
Dan ketika ada ahli mengatakan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal balik dapat
dipahami bahwa dalam pikiran di sini dimaksudkan sebagai manifestasi budaya.

Pemilihan kata-kata yang tepat demi interaksi sosial adalah tergantung pada budaya di mana
bahasa yang digunakan. Hal ini dinyatakan sama dengan Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa
bahasa sering dianggap sebagai produk dari produk sosial atau budaya, bahkan merupakan
bagian integral dari budaya. Sebagai produk tertentu sosial atau budaya, bahasa merupakan
sarana aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku, termasuk teknologi pengungkapan wadah budaya
diciptakan oleh komunitas bahasa pengguna. Bahasa dapat dianggap sebagai cermin dari
waktunya. Artinya, bahasa dalam periode tertentu mewujudkan apa yang terjadi di masyarakat,
tergantung pada budaya daerah yang bersangkutan.

2. Linguistik antropologi

Linguistik antropologi merupakan bagian dari linguistik yang berhubungan dengan budaya dan
sosial. Antropologi linguistik melihat bahasa dan budaya seperti dua sisi mata uang yang tidak
dapat dipisahkan karena satu tidak bisa ada tanpa yang lain, budaya tidak ada tanpa masyarakat
pendukungnya, pelestarian budaya ditentukan oleh pelaku atau budaya masyarakat itu sendiri.
Seperti dikutip dari (Sibarani, 2012) bahwa tanpa masyarakat pendukungnya, tradisi tidak pernah
bisa dihadirkan. Sebaliknya, tanpa tradisi, masyarakat akan kehilangan identitas kemanusiaan
pemiliknya dan kehilangan banyak hal penting, terutama pengetahuan tradisional, pengetahuan
lokal, dan nilainilai yang hidup dan telah terintegrasi dalam masyarakat. Menurut (Duranti, 1997:
14-17) linguistics antropologi mempelajari bahasa dan budaya dengan secara simultan dengan
proporsi yang seimbang. Linguistik antropologi memiliki tiga bidang, yaitu; perfomansi, indeks
dan partisipasi.

Perfomansi adalah suatu bentuk bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
yang memiliki kreativitas dan selalu berkembang. Perfomansi adalah kemampuan bahasa
seseorang ditunjukkan melalui kemampuan riil seperti berbicara, mendengarkan, dan menulis,
pemahaman bahasa sebagai tindakan, juga pertunjukan komunikatif. Ia memiliki sifat yang
konkret. Kedua indexicality terkait dengan bahasa isyarat untuk menunjukkan sesuatu dengan
kesepakatan atau konvensi bersama.

Indeksikalitas

Indexicality tanda atau bahasa yang digunakan untuk merujuk kepada sesuatu dengan konvensi
atau kesepakatan bersama dari masyarakat. Jika simbol yang arbitrer dalam mendefinisikan
simbol, dan ikon adalah simbol yang cukup jelas, maka indeks adalah simbol yang belum terlalu
jelas makna, tetapi ada indikator yang menghubungkan simbol dengan artinya. Indeks dalam
Antropolinguistik melibatkan masyarakat dalam menafsirkan sesuatu.

Partisipasi

Partisipasi menunjukkan bahwa bahasa selalu melibatkan entitas, ada unsur sosial, kolektivitas,
dan interaktif yang akan membentuk suatu budaya. Berdasarkan uraian di atas, Linguistik
antropologi mempelajari bahasa dan budaya secara bersamaan dengan porsi seimbang, yaitu
dengan menjelaskan bahasa dalam konteks antropologi (Duranti, 1997: 14-17).Menurut Sibarani
(2004:51) bahwa di dalam Parameter Antropolinguistik harus diterapkan; keterhubungan
(interconnection), kebernilaian (cultural value) dan keberlanjutan (continuity). Penjabaran
keterbuhungan antara teks, ko-teks dan konteks dengan performansi hubungan formal secara
vertical dan horizontal. Kebernilaian memperihatkan makna dan fungsi. Sedang keberlanjutan
adalah memperlihatkan objek yang diteliti diwariskan kepada generasi berikutnya (Sibarani,2004
; 64)

II. Metode

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif etnografi, penelitian ini


disistematisasikan untuk kepentingan penelitian yang berlatar fenomena ilmiah sehingga
untuk memahami secara keseluruhan peneliti langsung memasuki dan melibatkan diri
sebagai instrument sekaligus pengumpul data.

III. Hasil dan Pembahasan

Mengket rumah mbaru (memasuki rumah baru), mengket (dalam bahasa Karo) dapat diartikan
sebagai awal, dan mbaruberarti baru, sehingga mengket rumah mbaru secara harfiah berarti
memasuki rumah baru. Tradisi ini merupakan upacara sukacita karena sebagai ekspresi sukses
untuk seseorang yang dapat mendirikan rumah baru. Pesta biasanya dilakukan pada Nggara
Sepuluh, Aditia Naik, Beras Pati Sepuluh atau Cukura dua puluh sada (nama hari dalam bahsa
Karo). Hari ini dipilih sesuai dengan kepercaya dari suku Karo, karena semua jin yang dari
bangunan rumah kayu pergi pada hari-hari itu .Mengket rumah mbaru merupakan ajang sukacita
sebagai seseorang syukur kepada Tuhan dan untuk berbagi kebahagiaan dengan keluarga dan
teman-teman karena keberhasilan seseorang membangun rumah baru, serta upacara ini sebagai
doa bagi penghuni rumah sehingga mereka yang tinggal di rumah akan jauh dari bahaya dari jin
dan manusia yang berbuat jahat. Juga sebagai harapan untuk semua orang yang ada di dalam
rumah akan diberikan kelimpahan rezeki dan kesehatan. Di dalam pelaksanaan pelaksanaan
mengket rumah mbaru ada tiga tingkatan yang berbeda berdasarkan pada banyak tidaknya orang
yang diundang. Mereka disebut sebagai

1. Kerja singuda, sumalin jabu, misermiser jabu,(pesta kecil)

Pelaksanaan pesta ini disebut pesta sederhana atau sumalin jabu. Orang-orang yang hadir
di pesta ini hanya sangkep nggeluh, keluarga terdekat atau yang paling dekat saja. Musyawarah
Anak Beru, senina, dan kalimbubu tidak dilaksanakan sebelum pelaksanaan pesta ini, tapi
sebelum acara ini guru siniktik wari (dukun) menentukan hari baik untuk upacara, dan lauk
untuk pesta ini hanya beberapa ekor ayam saja, satu karung beras, dan orang yang hadir hanya
sekitar 60 atau 100 orang.

2. Kerja sintengah, mengkah-mengkah dapur, mengeket dapur, pindah dapur (pesta menengah)

Pesta ini lebih besar dari kerja singuda, sumalin jabu, miser-miser jabu. Sebelum acara
ini dilaksanakan pihak anak beru, senina dan kalimbubu (nama dari tingkat kekerabatan dalam
suku Karo) diadakan musyawarah. Pelaksanaan pasta ini lebih besar dari sumalin jabu. Lauk
pauk adalah kambing dan sekitar satu atau dua karung beras, orang-orang yang terlibat dalam
acara ini adalah senina, Anak beru dan kalimbubu.

3. Kerja Sintua, ngerencit, ertukam (pesta besar)

Pesta mengket rumah mbaru ini sebuah pesta besar, karena begitu banyak orang yang
diundang, sebelum pelaksanaan pesta diadakan musyawarah pertama, peran kalimbubumajek
daliken (kalimbubu yang mendirikan kompor untuk memasak) memiliki peran penting dalam
pelaksanaan pesta ini, lauk biasa disajikan dalam pesta ini adalah kerbau atau sapi. Pelaksanaan
pesta bisa menjadi beberapa hari dan beberapa malam.

Musyawarah dilaksanakan beberapa kali sebelum acara digelar, dalam pelaksanaan pesta
ini semua kerabat diundang, dan kalimbubu juga harus menjalankan utang adat. Musyawarah
dilakukan oleh pemilik rumah dengan anak beru, senina dan kalimbubu (sangkep nggeluh lima
sendalanen) sebelum acara mengket rumah mbaru dilakukan untuk mengetahui besarnya pesta
yang dilakukan, itu diadakan sesuai dengan wari-wari kalak Karo (hari etnis Karo) , untuk
menentukan hari baik dilakukan oleh guru si niktik wari(dukun). Setelah hari yang baik
terorganisir pesta ditentukan kemudian dibahas untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan
proses pelaksanaan pesta.

Teori Duranti di mengket rumah

Perfomansi, indekskalitas dan Partisipasi teori Duranti dapat ditemukan dalam proses
pelaksanaan tradisi mengket mbaru, uraiannya dapat dijabarkan sebagai berikut;
Perfomansi

Harapan dan doa juga nasihat yang diberikan oleh semua keluarga besar yang mewakili dari
pihak anak beru, kalimbubu, dan senina. Semua orang akan memberikan saran kepada pemilik
rumah, dari awal sampai akhir prosesi pada setiap tahap akan diucapkan doa, harapan dan
wacana. Berikut petikan pernyataan yang diberikan kepada pihak yang menyelenggarakan pesta
“Maka baci kita pulung ingan rumah ta si mbaru enda , perbahan perkuah ate Dibata, meriah kel
ukur kami, kita baci pulung kerina. Alo perkuah ate Dibata, baci I pajekken rumah enda, gelah
baci kita ergegeh je nari pagi, jenah kam pe keluarga sembiring i pasu-pasu dibata sehat kam
kerina. Jadiken lah rumah enda pulung kerina sankep nggeluh ndu. Rumah enda ban lah pagi
arah darat kuncina, ula pagi kantongkendu, gelah baci inganta pulung ergani-gani. Enda kami pe
kerina meriah kel ukur kami, pulung kita kerina. Meriah ukur kami natap sa, mehaga kel rumah
enda man tatapan, rikut ruh mbuena ka kel pagi rezeli ta si bas rumah enda, gelah baci ka pagi lit
rezekita pehaga sangkep geluh ras kade-kede ta kerina, siberem arah kami. Dibata simasu-masu
bujur, ras mejuah-juah kita kerina…” "Kita bisa berkumpul di rumah baru kami, karena mereka
kemurahan Allah, kami sangat senang karena kami semua berkumpul di sini. Itu karena
kemurahan Allah hingga dapat dibangun rumah ini, dengan adanya rumah ini semoga dari rumah
ini kita bisa bekerja lebih keras dan diberi kelimpahan rezki. Mudah-mudahan Sembiring dan
keluarga juga selalu sehat. Membuat rumah ini sebagai tempat berkumpul banyak orang. Di
mana orang dapat mendapat jawaban dari semua masalah mereka. Kami sangat senang melihat
bagaimana megah rumah ini, juga semoga Allah dapat memberkati kita lebih dan lebih dari
rumah ini, dan berharap kami bisa saling membantu satu dengan yang lain. Semoga tuhan
memberkati.terima kasih banyak .

Indekskalitas

Indekalitas dalam tradisi mengket rumah mbaru terdiri dari kelengkapan pesta dan juga makanan
biasanya disajikan oleh pemilik pesta, seperti pakaian adat lengkap seperti dalam acara Karo
pernikahan tradisional dari suami dan istri pemilik pesta Nakan dem yaitu beras dalam panci
penuh beras Nurungsibakut, lele dan jangkrik Cimpa, kue tradisional Karo beras reme-reme,
beras direndam dalam air dengan gula aren Gula tualah, daging kelapa dengan gula merah Ayam
barang rumah tangga, biasanya dibeli oleh keluarga dekat seperti kasur, bantal, tikar, barang
pecah belah daun kelapa muda, biasanya dipasang di teras depan sebagai tanda bahwa pesta
diadakan Alat music tradisional Karo dengan penyanyi

Pertisipasi

Semua keluarga besar dari laki-laki dan perempuan juga teman-teman. Lazim disebut Anak
Beru, kalimbubu, sembuyak, sangkep nggeluh

IV. Kesimpulan

Berdasarkan uraian teori juga penelitian yang dilakukan pada tradisi mengket rumah mbaru dapat
disimpulkan bahwa indekskalitas, perfomansi dan partisipasi dapat ditemukan pada tradisi
tersebut

Daftar Pustaka

Brown, Gillian and George Yule (dindonesiakan by Soetikno) .1996. Discourse Analysis.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Chaer, Abdul. 2012. General Linguistics, Revised Edition. Jakarta: Rineka Reserved. Darwin
Prinst. 20014. Adat Karo: Medan. Bina Media has pioneered

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. United Kingdom: CambridgeUniversity


Press.

Ginting, E.P.1996. Mengket Rumah Mabru. Kabanjahe: Printing Abdi Karya.

Sibarani, Robert. 2012. Local Wisdom: Itself, Roles, and Methods of Oral Tradition.
Jakarta:Association of Oral Tradition (ATL).

Tarin, Sarjani.2009. Lantern Lives of Karo in cultured. Terrain: Balai Adat. Culture Karo
Indonesia

Sudaryanto. 1993. Methods and Techniques Analysis of Language: An Introduction to


Cultural Forum In Linguistics. Yogyakarta: Duta Discourse University Press.
PENDEKATAN ANTROPOLINGUISTIK TERHADAP KAJIAN TRADISI LISAN

Robert Sibarani

Universitas Sumatera Utara

rs_sibarani@yahoo.com

ABSTRAK

Dalam makalah ini dibahas tentang bagaimana kajian antropolinguistik mampu membedah suatu
tradisi lisan dan menghasilkan suatu analisis yang apik dari hubungan keduanya. Dalam
pembahasan ada tiga pendekatan utama dalam kajian antropolinguistik yaitu performansi
(performance), indeksikalitas (indexicalty), partisipasi (participation),yang terbukti efektif
dalam mengkaji hubungan struktur teks, koteks dan konteks (budaya, ideologi, sosial, dan
situasi) suatu tradisi lisan yang dilatarbelakangi unsur-unsur budaya dan aspek kehidupan
manusia yang berbeda-beda. Dengan mengacu pada teori Duranti (1977: 14), disimpulan dalam
akhir pembahasan bahwa meskipun pendekatan antropolinguistik terhadap kajian tradisi lisan
‘terkesan’ tumpang-tindih dengan pendekatan linguistik budaya (cultural linguistics) dan
etnolinguistik (ethnolinguistics)(lihat Folley, 1997:16 ), namun dengan jabaran penekanan
tertentu pada kajian antropolinguistik, yaitu penekanan antropolinguistik dalam menggali makna,
fungsi, nilai, norma, dan kearifan lokal suatu tradisi lisan, konsep ketiganya dapat dibedakan.
Lebih dari pada itu, pendekatan antropolinguistik mampu merumuskan model revitalisasi dan
pelestarian suatu tradisi lisan.Dalam hal inilah ciri pembeda kajian antropolinguistik dengan
pendekatan yang lain terlihat kuat dan menonjol.

Kata kunci: pendekatan Antropolinguistik, tradisi lisan


ABSTRACT

This article discusses how the anthropolinguistic study isable to dissect an oral tradition and
produce a neat analysis of the relationship between the two. In the discussion there are three
main approaches to the anthropolinguistic study namely performance, indexicality, and
participation, which proved to be effective in assessing the relationship of text structures, cotexts
and context (cultural, ideological, social, and situation) of an oral tradition that are based on
different cultural elements and aspects of human life. With reference to the theory Duranti
(1977: 14), it was concluded in the end of the discussion that although
anthropolinguisticapproach to the study of oral tradition 'indicated' overlaps with the cultural
linguistic and ethnolinguistic approaches (see Folley, 1997: 16) , but with particular emphasis
on the study, namely the emphasisin exploring the meaning, function, values, norms, and local
genious of an oral tradition, the three concepts can be distinguished.More than that, the
anthropolinguistic approach is able to formulate a model of revitalization and preservation of
an oral tradition. In this study the distinguishing feature of anthropolinguistic studywith another
approach looks strong and prominent.

1. PENDAHULUAN

Antropologi linguistik (linguistic anthropology) merupakan bidang ilmu interdisipliner yang


mempelajari hubungan bahasa dengan seluk-beluk kehidupan manusia termasuk keebudayaan
sebagai seluk-beluk inti kehidupan manusia.Dalamberbagai literatur, terdapat juga istilah
linguistik antropologi (anthropological linguistics), linguistik budaya (cultural linguistics), dan
etnolinguistik (ethnolinguistics). Meskipun ada penekanan tertentu yang membedakan keempat
istilah tersebut, pada hakikatnya kajian-kajian keempat istilah tersebut tidak bisa dipisahkan,
saling mengisi, dan saling melengkapi, bahkan sering tumpang tindih. Hal itu berarti bahwa
keempat istilah itu mengacu pada kajian yang hampir sama walaupun harus diakui bahwa istilah
antropologi linguistik (linguistic anthropology) lebih sering digunakan di antara istilah itu.
Beranalogi pada sosiolinguistik, psikolinguistik, dan neurolinguistik, istilah yang lebih netral
untuk digunakan adalah antropolinguistik (Sibarani, 2004:50).
Orang yang ahli dalam bidang linguistik antropologi (anthropological linguistics)
disebut “linguis antropologi” (anthropological linguist), dalam bidang antropologi linguistik
(linguistic anthropology) disebut “antropolog linguistik” (linguistic anthropologist), dalam
bidang etnolinguistik (ethnolinguistics) disebut “etnolinguis” (ethnolinguist), dalam bidang
linguistik budaya (cultural linguistics) disebut “linguis budaya” (cultural linguist), dan dalam
antropolinguistik (anthropolinguistics) disebut antropolinguis (anthropolinguist). Dalam tulisan
ini digunakan istilah antropolinguistik dan orangnya disebut antropolinguis untuk mengacu pada
istilah-istilah tersebut di atas.

Studi bahasa dalam bidang antropolinguistik dikaitkan dengan peran bahasa dalam seluk-
beluk kehidupan manusia.Karena kebudayaan merupakan aspek yang paling dominan atau paling
inti dalam kehidupan manusia, segala hierarki kajian bahasa dalam bidang antropolinguistik
lebih sering dianalisis dalam kerangka kebudayaan.Studi bahasa ini disebut dengan memahami
bahasa dalam konteks budaya.Studi budaya dalam bidang antropolinguistik berarti memahami
seluk-beluk budaya dari kajian bahasa atau memahami kebudayaan melalui bahasa dari sudut
pandang linguistik. Aspek-aspek lain kehidupan manusia selain kebudayaan seperti politik,
religi, sejarah, dan pemasaran juga dapat dipelajari melalui bahasa sehingga hal itu juga menarik
dalam kajian antropolinguistik.

Atas dasar itu, antropolinguistik tidak hanya mengkaji bahasa, melainkan juga budaya
dan aspek-aspek lain kehidupan manusia.Namun, ketika mengkaji budaya dan aspek-aspek
kehidupan manusia, antropolinguistik mempelajarinya dari bahasa atau teks lingual.“Jalan
masuk” (the entry point) kajian antropolinguistik adalah bahasa dan kemudian dapat
“menjelajahi” kebudayaan dan aspek-aspek lain kehidupan manusia itu secara
menyeluruh.Ketika antropolinguis mengkaji kesopansantunan sebagai bagian dari kebudayaan,
dia dapat mempelajari praktik kesantunan berbahasa dan ketika antropolinguis mengkaji
pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai bagian dari aspek kehidupan masyarakat, dia dapat
mempelajari bahasa dalam spanduk (banner) dan bahasa kampanye.
2. KONSEP DAN KERANGKA TEORI KONSEP KONSEP PERFORMANSI,
INDEKSIKALITAS, DAN PARTISIPASI

Dalam mengkaji bahasa, kebudayaan, dan aspek-aspek lain kehidupan manusia, pusat perhatian
atau perhatian utama antropolinguistik (Duranti, 1977:14) ditekankan pada tiga topik penting,
yakni performansi (performance), indeksikalitas (indexicality), partisipasi (participation).
Melalui konsep performansi, bahasa dipahami dalam proses kegitan, tindakan, dan pertunjukan
komunikatif, yang membutuhkan kreativitas. Bahasa sebagai unsur lingual yang menyimpan
sumber-sumber kultural tidak dapat dipahami secara terpisah dari pertunjukan atau kegiatan
berbahasa tersebut. Konsep indeksikalitas ini berasal dari pemikiran filosof Amerika Charles
Sanders Pierce yang membedakan tanda atas tiga jenis yakni indeks (index), simbol (symbol),
dan ikon (icon). Indeks adalah tanda yang mengindikasikan bahwa ada hubungan alamiah dan
eksistensial antara yang menandai dan yang ditandai.Konsep indeks (indeksikalitas) diterapkan
pada ekspresi linguistik seperti pronomina demonstratif (demonstrative pronouns), pronomina
diri (personal pronouns), adverbia waktu (temporal expressions), dan adverbia tempat (spatial
expressions).Konsep partisipasi memandang bahasa sebagai aktivitas sosial yang melibatkan
pembicara dan pendengar sebagai pelaku sosial (social actors).Menurut konsep ini, kajian
tentang aktivitas sosial lebih penting dalam kajian teks itu sendiri.

KONSEP PARAMETER ANTROPOLINGUISTIK

Dalam mengkaji penggunaan bahasa, antropolinguis memegang dan menerapkan tiga parameter,
yakni (1) keterhubungan (interconnection), (2) kebernilaian (valuability), dan (3) keberlanjutan
(continuity).Keterhubungan itu mungkin hubungan linier yang secara vertikal atau hubungan
formal yang secara horizontal. Hubungan formal berkenaan dengan struktur bahasa atau teks
dengan konteks (situasi, budaya, sosial, ideologi) dan koteks (paralinguistik, gerak-isyarat,
unsurunsur material) yang berkenaan dengan bahasa dan proses berbahasa, sedangkan hubungan
linier berkenaan dengan struktur alur seperti performansi. Kebernilaian memperlihatkan makna
atau fungsi, sampai ke nilai atau norma, serta akhirnya sampai pada kearifan lokal aspek-aspek
yang diteliti. Keberlanjutan memperlihatkan keadaan objek yang diteliti termasuk nilai
budayanya dan pewarisannya pada generasi berikutnya (Sibarani, 2014: 319).
KONSEP TRADISI LISAN

Sebelum memahami pengertian tradisi lisan, ada baiknya terlebih dahulu memahami konsep
tradisi.Kata “tradisi” berasal dari bahasa Latin traditio, sebuah nomina yang dibentuk dari kata
kerja traderere atau trader ‘mentransmisi, menyampaikan, dan mengamankan’.Sebagai nomina,
kata traditio berarti kebiasaan yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam
waktu yang cukup lama sehingga kebiasaan itu menjadi bagian dari kehidupan sosial komunitas.
Ada tiga karakteristik tradisi. Pertama, tradisi itu merupakan kebiasaan (lore) dan sekaligus
proses (process) kegiatan yang dimiliki bersama suatu komunitas. Pengertian ini
mengimplikasikan bahwa tradisi itu memiliki makna kontinuitas (keberlanjutan), materi, adat,
dan ungkapan verbal sebagai milik bersama yang diteruskan untuk dipraktikkan dalam kelompok
masyarakat tertentu.Kedua, tradisi itu merupakan sesuatu yang menciptakan dan mengukuhkan
identitas.Memilih tradisi memperkuat nilai dan keyakinan pembentukan kelompok komunitas.
Ketika terjadi proses kepemilikan tradisi, pada saatitulah tradisi itu menciptakan dan
mengukuhkan rasa identitas kelompok. Ketiga, tradisi itu merupakan sesuatu yang dikenal dan
diakui oleh kelompok itu sebagai tradisinya. Sisi lain menciptakan dan mengukuhkan identitas
dengan cara berpartisipasi dalam suatu tradisi adalah bahwa tradisi itu sendiri harus dikenal dan
diakui sebagai sesuatu yang bermakna oleh kelompok itu. Sepanjang kelompok masyarakat
mengklaim tradisi itu sebagai miliknya dan berpartisipasi dalam tradisi itu, hal itu
memperbolehkan mereka berbagi bersama atas nilai dan keyakinan yang penting bagi mereka
(Martha and Martine, 2005; Sibarani, 2014).

Pengertian “lisan” pada tradisi lisan mengacu pada proses penyampaian sebuah tradisi
dengan media lisan. Tradisi lisan bukan berarti tradisi itu terdiri atas unsurunsur verbal saja,
melainkan penyampaian tradisi itu secara turun-temurun secara lisan.Dengan demikian, tradisi
lisan terdiri atas tradisi yang mengandung unsur-unsur verbal, sebagian verbal (partly verbal),
atau nonverbal (non-verbal). Konsep “tradisi lisan” mengacu pada tradisi yang disampaikan
secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lain dengan media lisan melalui “mulut ke
telinga”.

Tradisi lisan, terutama tradisi yang memiliki unsur-unsur verbal seperti tradisi bermantra,
bercerita rakyat, berteka-teki, berpidato adat, berpantun, berdoa, dan permainan rakyat yang
disertai nyanyian dapat dikaji dari pendekatan antropolinguistik. Tradisi lisan yang tidak terdiri
atas unsurunsur verbal seperti proses arsitektur, pengobatan tradisional, penampilan tari,
bertenun, permainan rakyat, dan bercocok tanam tradisional dapat dikaji secara
antropolinguistik dengan menjelaskan proses komunikatif tradisi-tradisi itu dari satu generasi
kepada generasi lain.

Berdasarkan tiga pusat perhatian (performansi, indeksikalitas, partisipasi) dan tiga


parameter antropolinguistik (keterhubungan, kebernilaian, keberlanjutan) tersebut di atas, tradisi
lisan sebagai penggunaan bahasa yang memadukan keseluruhan ekspresi linguistik bersama
dengan aspek-aspek sosio-kultural merupakan objek kajian yang menarik dan bermanfaat dengan
pendekatan antropolinguistik. Kajian anropolinguistik seperti ini tidak hanya menjelaskan proses
penggunaan bahasa secara liguistik, tetapi juga mengungkapkan nilai budaya tradisi lisan itu
secara antropologis.

KERANGKA TEORI

Pemahaman tentang antropolinguistik sebagai ilmu interdisipliner mendapat perhatian dari para
pakar antropologi atau pakar linguistik yang mengaitkan hubungan antara bahasa dengan aspek-
aspekkehidupan manusia termasuk kebudayaan.Hymes (1964:277) mendefinisikan antropologi
linguistik sebagai studi tentang berbahasa dan bahasa dalam konteks antropologi.
Antropolinguistik membedakan proses berbahasa (speech) dari bahasa (language) sebagai bagian
dari kajian seluk-beluk kehidupan manusia. Dalam kajian antropolinguistik, proses berbahasa
sebagai hakikat bahasa yang berwujud kelisanan dan bahasa itu sendiri sebagai alat berbahasa
kedua-duanya menjadi objek kajiannya.Dalam hal ini, pembedaan bahasa sebagai performansi
dan bahasa sebagai alat komunikasi menjadi sangat penting.

Sebagai bagian dari performansi komunikasi dan aktivitas sosial, Duranti (1997:2)
mendefinisikan antropologi linguistik sebagai ilmu yang mempelajari bahasa sebagai sumber
budaya dan yang mempelajari berbahasa atau berbicara sebagai praktik budaya.Dalam hal ini,
bahasa (language) dianggap menyimpan kebudayaan sebagai seluk-beluk kehidupan manusia
yang paling inti dan berbahasa (speaking) sebagai performansi aktivitas sosial budaya.

Dengan konsep yang hampir sama, Foley (1997:3) mengatakan bahwa linguistik
antropologi merupakan cabang linguistik yang berkenaan dengan posisi bahasa dalam konteks
sosial dan kultural yang lebih luas, peran bahasa dalam memadudan menopang praktik-praktik
kultural dan struktur sosial. Konsep antropolinguistik ini memandang bahasa (language) dalam
kaitannya dengan konteks sosio-kultural dan bahasa sebagai proses praktik budaya dan struktur
sosial.

Lebih lanjut Foley (1997) mengatakan bahwa linguistik antropologi memandang bahasa
melalui prisma konsep antropologi inti, yakni budaya, dengan demikian berusaha mencari
“makna” (meaning) di balik penggunaan (use), kesalahpenggunaan (misuse), dan
ketidakpenggunaan (non-use) bahasa, bentuknya yang berbeda, register dan gayanya. Linguistik
antropologi merupakan disiplin ilmu interpretatif yang mengupas bahasa secara mendalam untuk
menemukan pemahaman-pemahaman kultural. Foley mengangap antropolinguistik sebagai
bidang ilmu untuk mencari makna (meaning) bahasa dan sekaligus sebagai metode untuk
memahami budaya.

Berdasarkan konsep-konsep tersebut, sebagai bidang ilmu interdisipliner antara linguistik


dan antropologi, ada tiga cakupan kajian antropolinguistik, yakni studi mengenai bahasa, studi
mengenai budaya, dan studi mengenai aspek-aspek lain kehidupan manusia.Ketiga bidang itu
dipelajari dari kerangka kerja bersama antara linguistik dan antropologi.Kerangka kerja
linguistik didasarkan pada kajian bahasadan kerangka kerja antropologi didasarkan pada kajian
seluk-beluk kehidupan manusia.Dengan demikian, antropolinguistik adalah studi bahasa dalam
kerangka kerja antropologi, studi kebudayaan dalam kerangka kerja linguistik, dan studi aspek
kehidupan manusia dalam kerangka kerja bersama antropologi dan linguistik.Anthropolinguistics
is the study of language within the framework of anthropology, the study of culture within the
framework of linguistics, and the study of otheraspects of humankind within the interrelated
framework of both anthropology and linguistics (Sibarani, 2012: 314).

3. PEMBAHASAN PENDEKATAN ANTROPOLINGUISTIK UNTUK KAJIAN


TRADISI LISAN

Kajian tradisi lisan dibagi atas tiga bagian penting, yakni kajian tentang (1) bentuk tradisi lisan
yang menyangkut teks, konteks, dan konteks, (2) kandungan tradisi lisan yang berkenaan dengan
makna dan fungsi, nilai dan norma, dan kearifan lokal, dan (3) revitalisasi dan pelestarian tradisi
lisan yang berkenaan dengan pengaktifan atau perlindungan, pengelolaan dan pengembangan,
serta pewarisan dan pemanfaatan. Ketiga bagian tradisi lisan tersebut dapat dikaji berdasarkan
parameter antropolinguistik.

Tradisi lisan memang bukan hanya terdiri atas unsur-unsur verbal atau ucapanucapan
lisan, melainkan juga tradisi nonverbal lainnya. Tradisi lisan adalah kegiatan budaya
tradisionalsuatu komunitas yang diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu
generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan katakata lisan (verbal) maupun tradisi
lain yang bukan lisan (non-verbal). Namun, tradisi lisan yang menjadi objek kajian
antropolinguistik lebih berfokus pada tradisi lisan yang verbal karena kajian antropolinguistik
terhadap tradisi lisan dimulai dari unsurunsur verbal, kemudian masuk ke unsurunsur non-verbal.
Kalaupun berusaha mengkaji tradisi yang nonverbal, antropolinguis harus memasuki proses
komunikatif tradisi itu sebagai pewarisan dari satu generasi ke generasi lain dengan media lisan.

Struktur dan formula unsur verbal dan non-verbal tradisi lisan dapat dijelaskan melalui
pemahaman struktur teks, koteks, dan konteksnya dalam suatu performansi sehingga pemahaman
bentuk itu juga menjadi pemahaman keseluruhan performansi tradisi lisan. Berkaitan dengan
uraian di atas, antropolinguistik mempelajari teks tradisi lisan dalam kerangka kerja antropologi,
mempelajari koteks dan konteks (situasi, budaya, sosial, dan ideologi) tradisi lisan dalam
kerangka kerja linguistik, dan mempelajari aspek lain kehidupanmanusia melalui tradisi lisan
seperti aspek religi, politik, komunikasi, hukum, manajemen, dan pemasaran dalam kerangka
kerja bersama linguistik dan antropologi. Dengan ketiga cakupan tersebut, antropolinguistik
mendekati dan mengkaji performansi tradisi lisan secara holistik dengan mempertimbangkan
keseluruhan aspekaspek tradisi lisan tresebut.

Dari sudut antropolinguistik, semua ragam bahasa menggambarkan cara berpikir


masyarakatnya dan berbicara sesuai dengan cara berpikirnya termasuk cara-cara dalam seluk-
beluk kebudayaannya (Sibarani, 2004). Asumsi ini mendorong peran antropolinguistik dalam
kajian tradisi lisan khususnya yang memiliki unsur-unsur verbal.Melalui unsur-unsur verbal itu,
antropolinguis mengkaji struktur bahasa tradisi lisan terutama untuk menemukan formula atau
kaidah unsur-unsur verbal itu.Struktur itu boleh berupa struktur makro, struktur alur, dan struktur
mikro.Dalam tradisi lisan, sebuah teks seringkali didampingi oleh unsur-unsur nonverbal yang
disebut dengan “konteks” (context). Konteks mungkin berupa unsur paralinguistik, unsur
proksemik, unsur kinetik atau unsur material yang kesemuanya penting dipertimbangkan dalam
menganalisis struktur teks. Ketika ada proses bermantra, bukan hanya struktur mantranya yang
perlu dianalisis, tetapi juga struktur unsur nonverbalnya sebagai ko-teks seperti tekanan suara,
tinggi rendahnya suara, penjagaan jarak antara pemantra dengan pendengar, gerak isyarat
pemantra atau benda-benda yang digunakan oleh pemantra. Keseluruhan teks dan ko-teks itu
menjadi satu kesatuan dalam produksi dan distribusi performansi tradisi lisan.

Pemahaman makna dan fungsi teks tradisi lisan juga perlu mempertimbangkan konteks
tradisi lisan.Konteks tradisi lisan dapat berupa konteks situasi, konteks budaya, konteks sosial,
dan konteks ideologi.Ungkapan-ungkapan dan bentuk-bentuk verbal tradisi lisan dianalisis untuk
mengungkapkan makna dan fungsi serta nilai dan norma budaya dengan menggunakan berbagai
teori yang relevan termasuk teori pragmatik, teori semantik, dan teori semiotik. Teori semantik
dan pragmatik mengkaji teks dari segala tatarannya (bunyi, kata, kalimat, dan wacana) untuk
mencari makna, maksud, fungsi,pesan bentuk lingual itu berdasarkan ko-teks dan konteksnya.
Konteks dan konteks itulah yang membuat pentingnya pragmatik dan semantik dalam kajian
antropolinguistik. Pemahaman bentuk lingual (teks verbal) tidak lepas dari ko-teks dan konteks
seperti disebutkan di atas, tetapi harus terikat pada ko-teks dan konteks penggunaannya. Oleh
karena itu, ada dua tahap proses pemahaman teks secara linguistik yakni menganalisis bentuk
lingualnya dahulu dari tataran linguistik yang sesuai, kemudian mencari makna, maksud, fungsi,
dan pesan bentuk lingual itu sesuai dengan ko-teks dan konteksnya. Pemahaman teks
berdasarkan ko-teks dan konteks itu berkenaan dengan performansi tradisi lisan. Dengan
memahami makna, maksud, pesan, dan fungsi sebuah teks dalam suatu performansi tradisi lisan,
akandapat diinterpretasi nilai dan norma budaya tradisi lisan, kemudian dipahami kearifan
lokalnya.

Bentuk-bentuk lingual itu mungkin penuh dengan metafora sehingga teori denotasi-
konotasi Barthes dan teori semiologi Saussure dapat membantu kajian linguistik untuk
menemukan nilai budaya dalam suatu tradisi lisan.Kajian linguistik di atas sejalan dengan teori
semiotik Pierce yang mengatakan bahwa proses semiosis itu dilakukan dengan dua tahap, yakni
lewat proses “logical argumentation” melalui urutan abduksi, deduksi, dan induksi serta lewat
proses sistem triadik dalam penjelajahan relasi antar unsur-unsur tanda secara tipologis.
Pengkajian kearifan lokal dalam hal ini dilakukan secara serentak dengan fokus pada nilai
budaya yang menjadi kearifan lokal, yakni yang dapat diterapkan dalam menata kehidupan sosial
masyarakat.

Kajian pragmatik dan semantik berdasarkan tataran linguistiknya difokuskan pada kajian
bentuk lingual (teks verbal), sedangkan kajian semiotik dapat juga dimanfaatkan untuk mengkaji
bentuk-bentuk lain seperti ko-teks dan konteks suatu tradisi lisan dalam rangka mengungkapkan
kearifan lokal yang terdapat pada tradisi lisan. Paduan teori ini akan mampu menjelaskan bentuk
tradisi lisan dan mengungkapkan nilai dan norma budaya serta kearifan lokal yang terkandung
dalam tradisi lisan.

Sebagaimana disinggung sebelumnya, sebuah tradisi lisan yang memiliki unsur-unsur


verbal merupakan sebuah wacana yang terdiri atas teks, koteks, dan konteksnya. Teks, ko-teks,
dan konteks merupakan tiga bagian yang saling berhubungan sehingga pemahaman sebuah teks
juga tergantung pada ko-teks dan konteks, demikian sebaliknya. Antropolinguistik memandang
bahwa teks tradisi lisan diproduksi bersamaan dengan produksi ko-teks dalam konteks tertentu
dalam suatu performansi. Kepaduan ketiga unsur tersebut menjadi karakteristik wacana tradisi
lisan. Dalam kaitannya dengan tradisi lisan, wacana adalah performansi bahasa yang secara
kohesi dan koherensi terikat pada ko-teks dan konteks. Wacana dalam tradisi lisan tidak hanya
menganalisis struktur teks, tetapi juga mengkaji ko-teks dan konteks dalam suatu performansi. Di
samping menganalisishubungan proposisi dalam teks tradisi lisan, juga perlu menganalisis
elemen koteks dan konteksnya untuk mendapatkan makna yang sebenarnya. Dalam hal ini,
makna paduan kalimat dalam wacana tradisi lisan baru dapat dipahami secara lengkap setelah
dikaitkan dengan ko-teks dan konteks performansinya.

Dalam membicarakan struktur teks tradisi lisan dapat dipergunakan konsep struktur
wacana Van Dijk dengan modifikasi berdasarkan kebutuhan kajian tradisi lisan. Dalam berbagai
tulisannya, Van Dijk (1985a:1-8, 1985b:1-10, 1985c:111, 1985d:1-8) menyebutkan bahwa ada
tiga kerangka struktur teks yakni struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro.Struktur
makro merupakan makna keseluruhan, makna global atau makna umum dari sebuah teks yang
dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari sebuah teks. Dengan kata lain, analisis
struktur makro merupakan analisis sebuah teks yang dipadukan dengan ko-teks dan konteksnya
untuk memperoleh gagasan inti atau tema sentral.
Superstruktur atau struktur alur merupakan kerangka dasar sebuah teks yang meliputi
rangkaian elemen sebuah teks dalam membentuk satu kesatuan bentuk yang koheren.Struktur
alur atau superstruktur merupakan skema atau alur sebuah teks.Sebuah teks termasuk teks tradisi
lisansecara garis besar tersusun atas tiga elemen yaitu pendahuluan (introduction), bagian tengah
(body), dan penutup (conclusion), yang masing-masing harus saling mendukung secara koheren.
Analisis teks harus mampu mengungkapkan pesan-pesan yang ada dalam setiap elemen teks itu.
Struktur alur atau superstruktur teks tradisi lisan juga memiliki tiga elemen seperti disebutkan di
atas, tetapi pesan dari setiap elemen itu bervariasi sesuai dengan bentuk dan jenis tradisi lisan,
yang perlu dianalisis oleh peneliti tradisi lisan.Struktur alur atau superstruktur merupakan
struktur teks yang berhubungan dengan kerangka suatu teks.Skema atau alur sebuah teks
tersusun secara teratur dari awal sampai akhir, dari pengantar sampai penutup atau dari
pendahuluan sampai kesimpulan dalam satu kesatuan makna.

Struktur mikro adalah struktur teks secara linguistik teoretis. Linguistik teoretis yang dimaksud
di sini mencakup tataran bahasa seperti bunyi (fonologis), kata (morfologis), kalimat (sintaksis),
wacana (diskursus), makna (semantik), maksud (pragmatik), gaya bahasa (stilistik), dan bahasa
kiasan (figuratif). Peneliti teks dalam struktur mikro perlu memahami selukbeluk kajian fonemik
dan fonetik, selukbeluk pembentukan kata dari susunan morfem, seluk-beluk frase, klausa, dan
kalimat, seluk-beluk hubungan antarkalimatdan antarparagraf, seluk-beluk makna dan maksud,
dan seluk-beluk gaya bahasa. Kajian struktur mikro ini dapat dilaksanakan secara bersama-sama,
tetapi dapat juga dipilih tataran tertentu sesuai dengan kebutuhan analisis dan sesuai dengan
karakteristik teks tradisi lisan yang dikaji.Kajian fonologis dan morfologis, misalnya, lebih
berperan untuk kajian teks pantun daripada teks mitos, sedangkan kajian sintaksis dan wacana
lebih berperan dalam kajian teks mitos daripada teks pantun.

Penelitian struktur untuk ketiga jenis struktur tersebut akan merumuskan pola, kaidah atau
formula teks tradisi lisan. Namun, dengan kajian ketiga struktur teks tersebut, bukan hanya pola,
kaidah atau formula teks tradisi lisan yang dapat dirumuskan, tetapi maknanya juga akan
diungkapkan dengan menggunakan kajian semantik, semiotik, dan pragmatik.

Pemahaman hubungan teks dengan unsur di luarnya dapat diperjelas oleh model Analisis
Wacana Kritis (Critical DiscourseAnalysis) oleh Fairclough (1995:1987). Model analisis ini
menganggap bahwa kajian teks sebagai the analysis of text as a part of discourse analysis.Ada
tiga hal yang perlu diperhatikan dalam model Analisis Wacana Kritis yaitu teks, praktik wacana,
dan praktik sosiokultural. Teks merupakan unsur verbal sebuah wacana, praktik wacana
merupakan proses produksi, distribusi, dan konsumsi teks, sedangkan praktik sosiokultural
merupakan dimensi yang berhubungan dengan teks, yang dalam hal ini digolongkan ke dalam
ko-teks dan konteks.

Dalam proses komunikasi, teks sebagai tanda verbal pada umumnya didampingi oleh
tanda lain, yang bersamasama digunakan dengan teks itu. Teks tradisi lisan pun selalu digunakan
bersamasama dengan tanda-tanda lain, yang memegang peranan penting dalam praktik wacana
tradisi lisan. Tanda-tanda seperti itu disebut dengan ko-teks (co-text).Ko-teks dapat dibagi atas
paralinguistik, kinetik, proksemik, dan unsur material.Ko-teks tersebut berfungsi untuk
memperjelas pesan atau makna sebuah teks. Ketiga unsur itu mendampingi teks dalam proses
penciptaan (production), penyampaian (distribution), dan penafsiran (cunsumtion) wacana tradisi
lisan.

Tradisi lisan sebagai performansi selalu terikat pada konteks baik konteks situasi, konteks
budaya, konteks sosial maupun konteks ideologi. Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat,
dan cara penggunaan teks. Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan konteks situasi ini adalah
kapan, di mana, dan bagaimana sebuah teks dilakonkan atau dipertunjukkan. Deskripsi konteks
situasi waktu akanmenghasilkan waktu pelaksanaan, pertunjukan atau performansi sebuah tradisi
lisan baik dari segi pembagian waktu dalam sehari seperti pagi, siang, sore, dan malam,
pembagian minggu dan bulan seperti awal, pertengahan atau akhir minggu dan bulan maupun
pembagian siklus pertanian seperti masa menanam, menyiangi atau memanen. Konteks situasi
waktu ini juga mendeskripsikan fungsi tradisi lisan seperti untuk ekspresi perasaan dalam
keadaan suka seperti ucapan syukur atau untuk ekspresi perasaan dalam keadaan duka seperti
ucapan ratapan. Deskripsi konteks situasi tempat akan menghasilkan lokasi pelaksanaan,
pertunjukan atau performansi sebuah tradisi lisan. Lokasi pelaksanaan atau pertunjukan tradisi
lisan meliputi bentuk “pentas”, tempat pemain dan penonton atau pelaku dan khalayak,
permanen atau berpindah-pindah, dan sebagainya. Deskripsi konteks situasi cara menghasilkan
cara pelaksanaan atau pertunjukan tradisi lisan. Pertanyaan bagaimana sebuah tradisi lisan
ditampilkan merupakan hal yang penting dalam konteks situasi cara dalam tradisi lisan. Apakah
sebuah tradisi lisan ditampilkan mendekati aslinya seperti dahulu atau mendekati keinginan
penontonnya sekarang ini?Apakah sebuah tradisi lisan ditampilkan secara penuh sesuai dengan
struktur alurnya atau hanya ditampilkan sebagian dari alurnya?Apakah semua episodenya
ditampilkan atau hanya sebagian saja jika ada beberapa episode? Apakah teksnya masih
menggunakan bahasa aslinya atau sudah menggunakan bahasa lain? Pertanyaan-pertanyaan
seperti itu akan membutuhkan jawaban bagaimana sebuah tradisi lisan ditampilkan.

Konteks budaya mengacu pada tujuan budaya yang menggunakan suatu tradisi lisan.
Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan konteks budaya ini adalah untuk tujuan budaya apa
tradisi lisan itu digunakan atau dipertunjukkan. Tujuan budaya yang dimaksud di sini adalah
peristiwa budaya yang melibatkan tradisi lisan.Tujuan budaya tersebut menyangkut siklus
kehidupan (daur hidup) dan siklus mata pencaharian.Mungkin sebuah tradisi lisan digunakan
untuk upacara kelahiran, perkawinan atau kematian sebagai siklus kehidupan atau munngkin
tradisi lisan itu digunakan untuk masa menanam, mengelola atau memanen sebagai siklus mata
pencaharian.

Konteks sosial mengacu pada faktor -faktor sosial yang mempengaruhi atau
menggunakan tradisi lisan. Faktor-faktor sosial itu mencakup perbedaan jenis kelamin (gender),
stratifikasi sosial, perbedaan kelompok etnik, perbedaan tempat, perbedaan tingkatan pendidikan,
perbedaan usia, dan sebagainya. Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan konteks sosial
iniadalah siapa yang terlibat dalam teks itu.Konteks sosial ini meliputi orang-orang yang terlibat
seperti pelaku, pengelola, penikmat, dan bahkan komunitas pendukungnya.Sebagai warisan
kolektif (Van Dijk, 1985), perlu juga digambarkan kognisi sosial yang memproduksi,
mendistribusi, dan mengkonsumsi tradisi lisan itu.

Konteks ideologi mengacu kepada kekuasaan atau kekuatan apa yang mempengaruhi dan
mendominasi suatu tradisi lisan. Ideologi adalah paham, aliran, kepercayaan, keyakinan, dan
nilai yang dianut bersama oleh masyarakat. Ideologi itu dapat berupa ideologi mengenai politik,
negara, agama, teknologi, modernisme, tradisionalisme, dan sebagainya yang mempengaruhi,
bahkan mendominasi sebuah tradisi lisan.Ideologi itu menjadi suatu konsep sosio-kultural yang
mengarahkan dan menentukan nilai yang terdapat di dalam komunitas.Ada hegemoni kekuasaan
dan kekuatan ideologis sebuah paham yang mempengaruhi, mengontrol, dan mendominasi
kelompok masyarakat. Ideologi itu menjadi cara berpikir, cara berperilaku, dan cara bertindak
masyarakat dalam mengatur tatanan kehidupan mereka.
Perlu ditegaskan kembali bahwa teks dengan strukturnya tidak dapat dipahami secara
terpisah dari ko-teks dan konteksnya. Teks membungkus pesan tradisi lisan, ko-teks
mendampingi teks untuk memperjelas makna dan fungsi tradisi lisan, sedangkan konteks
mengikat dan mengarahkan nilai dan norma yang terdapat dalam pesan sebuah tradisi lisan.
Ketiga-tiganya merupakan praktik bertradisi lisan yang meliputi produksi tradisi lisan, distribusi
tradisi lisan, dan konsumsi tradisi lisan oleh masyarakat pendukungnya.Dengan kognisi sosial,
baik teks, ko-teks maupun konteks tradisi lisan sama-sama dihasilkan, disampaikan, dan
dimaknai oleh masyarakat pendukungnya.Dalam hal menganalisis bentuk tradisi lisan,
antropolinguistik di satu sisi memperhatikan parameter keterhubungan unsur-unsur internal
setiap teks, konteks, dan ko-teks, tetapi di sisi lain juga memperhatikan keterhubungan antara
teks, konteks, dan ko-teks secara eksternal.

Peranan konteks sangat penting dalam kajian tradisi lisan, bukan hanya untuk memahami
bentuk tradisi lisan, melainkan juga memahami isi tradisi lisan.Sebagaimana yang disebutkan
sebelumnya, pemaknaan unsur-unsur lingual teks tradisi lisan sangat tergantung pada konteks di
samping ko-teksnya. Sebagaimana sebuah ungkapan, sebuah teks tradisi lisan akan berbeda
makna, maksud, dan fungsinya tergantung perbedaan konteksnya. Dalam kajian tradisi lisan,
konteks situasi, konteks budaya, konteks sosial, dan konteks ideologi perlu dikajidalam
memahami makna dan fungsi tradisi lisan, yang pada gilirannya diperlukan untuk memahami
nilai dan norma budaya yang terdapat dalam tradisi lisan serta memahami kearifan lokal yang
diterapkan untuk menata kehidupan sosial dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi
suatu komunitas.

Di samping bertujuan untuk menemukan formula yang dirumuskan dari struktur teks, ko-
teks, dan konteks sebagai bentuk tradisi lisan dalam suatu performansi, antropolinguis juga
berupaya menggali makna dan fungsi, nilai dan norma, serta kearifan lokal sebagai isi
(content)tradisi lisan. Dari makna dan fungsi bagian-bagian tradisi lisan atau keseluruhan tradisi
lisan sebagai wacana yang lengkap akan dapat diungkapkan nilai dan norma sebuah tradisi lisan
melalui proses interpretasi yang dikaitkan dengan konteksnya. Nilai dan norma budaya yang
dapat diterapkan atau yang masih dimanfaatkan oleh komunitas untuk menata kehidupan sosial
dan mengatasi persoalan sosial secara arif disebut kearifan lokal.
Makna dan fungsi merupakan pemaknaan lapisan luar (outer layer), nilai dan norma
merupakan pemaknaan lapisan tengah (middle layer), dan kearifan lokal merupakan pemaknaan
lapisan inti (core layer). Antropolinguis berupaya menggali dan mengkaji kearifan lokal
berdasarkanhubungan struktur teks, ko-teks, dan konteks dalam suatu peristiwa atau performansi
tradisi lisan. Nilai dan norma budaya yang dirumuskan dari hubungan struktur teks, ko-teks, dan
konteks dalam suatu peristiwa atau performansi mengindikasikan bahwa nilai dan norma budaya
tradisi lisan sebagai cerminan realitas sosial. Kearifan lokal sebagai praktik budaya merupakan
cerminan realitas (Duranti, 1997:25) dan (Folley, 1997:16 ). Bahasa akan dapat menggambarkan
cara berpikir sebagai cerminan realitas sosial. Wierzbicka (1992:3) berkata bahwa every nation
speaks according to the way it thinks and thinks according to the way it speaks. Thought cannot
be transferred from one language to another because everythought depends on the language in
which it has been formulated. ‘Setiap bangsa berbicara sesuai dengan cara dia berpikir dan
berpikir sesuai dengan cara dia berbicara. Pikiran tidak dapat dialihkan dari satu bahasa ke
bahasa lain karena setiap pikiran tergantung pada bahasa tempat pikiran itu diformulasikan’.
Dalam pandangan behavioris disebutkan bahwa setiap orang sebaiknya mengucapkan sesuai
dengan apa yang dia lakukan dan melakukan sesuai dengan apa yang dia ucapkan. Ada
konsistensi antara perkataan dengan perlakuan.

Dalam menganalisis isi tradisi lisan tersebut, antropolinguistik menerapkan parameter


kebernilaian, yang mengaitkan lapisan pemaknaan mulai dari makna dan fungsi sebagai lapisan
luar, nilai dan norma budaya sebagai lapisan dalam, dan kearifan lokal sebagai lapisan inti. Baik
performansi teks, ko-teks, dan konteks (bentuk) maupun kearifan lokal (isi) tradisi lisan perlu
diberdayakan dalam kehidupan masyarakat sekarang ini. Proses pemberdayaan itu merupakan
revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan beserta kearifan lokal sebagai kandungan tradisi lisan.
Revitalisasi mencakup penghidupan atau pengaktifan kembali, pengelolaan, dan proses
pewarisan, sedangkan pelestarian mencakup perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan
tradisi lisan. Revitalisasi dan pelestarian itu sudah barang tentu mengalami perubahan,
modifikasi atau transformasi sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Khusus mengenai
kearifan lokal sebagai nilai dan norma budaya yang dapat diterapkan dalam menata kehidupan
sosial dan mengatasi persoalan-persoalan sosial perlu direvitalisasi dan dilestarikan menjadi
ideologi yang mendominasi dan mempengaruhi masyarakat dalam berpikir, berperilaku, dan
bertindak.
Dengan parameter keberlanjutan, antropolinguistik berupaya merumuskan model
revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan. Model revitalisasi dan pelestarian itu diharapkan dapat
mengaktifkan danmelindungi tradisi lisan beserta kearifan lokalnya, mengelola dan
memanfaatkan tradisi lisan berserta kearfian lokalnya, serta mewariskan dan memanfaatkan
tradisi lisan beserta kearifan lokalnya. Perumusan model didahului dengan penemuan kaidah dan
pola revitalisasi dan pelestarian.Kaidah yang dimaksud berkenaan dengan aturanaturan yang
harus dipenuhi sebagai persyaratan performansi tradisi lisan beserta kearifan lokal, sedangkan
pola merupakan kombinasi dari keseluruhan kaidah performansi tradisi lisan. Pola tradisi lisan
beserta kearifan lokal, sebagai kombinasi kaidahkaidah yang bersistem itu, pada hakikatnya akan
bermanfaat sebagai sumber merumuskan model merevitalisasi dan melestarikan tradisi lisan
beserta kearifan lokal sebagai kandungannya. Dengan menemukan kaidah dan pola tradisi lisan,
model revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan akan lebih mudah dirumuskan.

4. SIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat ditarik simpulan bahwa antropolinguistik mengkaji tradisi lisan
dalam beberapa tahapan. Tahapan pertama mengkaji bentuk tradisi lisan, yakni keterhubungan
(interconnection)teks, ko-teks, dan konteks dalam suatu performansi untuk menemukan struktur,
formula atau pola tradisi lisan. Tahapan berikutnya mengkajiisi tradisi lisan, yakni kebernilaian
(valuability) yang merupakan makna dan fungsi, nilai dan norma, serta kearifan lokal sebuah
tradisi lisan. Tahapan berikutnya mengkaji dan merumuskan model revitalisasi dan pelestarian
tradisi lisan.

Dalam istilah analisis wacana kritis, revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan tersebut berkenaan
dengan praktik wacana seperti produksi, distribusi, dan konsumsi teks yang secara berkelanjutan
dalam masyarakat. Seorang antropolinguis yang melakukan penelitian tradisi lisan akan mampu
mengungkapkan tiga tahapan kajian tradisi lisan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Carrol, John B. (ed.).1969. Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee
Whorf. Cambridge: The M.I.T. Press.

Danesi, Marcel. 2004. A Basic Course in Anthropological Linguistics. Toronto: Canadian


Scholars’ Press.

Duranti, Alessandro (ed.).2001. Linguistic Anthropology. Massachusetts: Blacwell.

Duranti, Alessandro (ed.). 2004. A Companion to Linguistic Anthropology.

Malden: Fairclough, Norman.1989. Language and Power. London and New York: Longman.

Fairclough, Norman.1999. Critical Discourse Analyisis: The Critical Study of Language.


London: Longman.

Fairclough, Norman. 2003. Analyzing Discourse: Textual Analysis for Social Research. London:
Routledge.

Finnegan, Ruth.1997. Oral Poetry.Its Nature, Significance and Social Contex. London:
Cambridge University Press.

Finnegan, Ruth.1992. Oral Traditions and The Verbal Arts. New York: Routledge.

Foley, John Miles.1977. The Traditional Oral Audience, Balkan Studies, 18, 145-53.

Foley, William A.1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell.

Hickerson, Nancy Parrott.1980. Linguistic Anthropology.New York: Holt Rinehart and Winston.

Hymes, Dell.1964. Language in Culture and Society: A Reader in Linguistics and Anthropology.
New York: Harper & Row.

Hymes, Dell 1996. Ethnography, Linguistics, Narrative Inequality.London: Taylor & Francis.

Salzmann, Zdenek.1993 . Language, Culture & Society: An Introduction to Linguistic


Anthropology. Oxford: Westview.
Sibarani, Robert.1992. Hakikat Bahasa. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sibarani, Robert.2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik dan Linguistik Antropologi.


Medan: Penerbit Poda.

Sibarani, Robert.2007. Peran Kearifan Lokaldalam Penanggulanan Kemiskinan.Makalah yang


disampaikan pada tanggal 22 November 2007 pada Rountable Discussion untuk menanggapi
Makalah Menteri Sosial RI di Lemhanas RI.

Sibarani, Robert.2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Edisi
II.Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

Sibarani, Robert.2013. Kurikulum Pendidikan Budaya Batak Toba: Pendidikan Karakter


Berbasis Budaya untuk Sekolah Dasar. Medan: IPMI.

Sibarani, Robert.2013. Kurikulum Pendidikan Budaya Batak Toba: Pendidikan Karakter


Berbasis Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama. Medan: IPMI

Sibarani, Robert.2014. Pembentukan KARAKTER Yang Arif.Medan: Badan Perpustakaan, Arsip,


dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara.

Sibarani, Robert.2014. Kearifan Lokal Gotong Royong pada Upacara Adat Etnik Batak Toba.
Medan: Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara.

Sibarani, Robert. 2014. “Oral Traditions as the Source of Local Wisdoms in Supporting Nation
Identity” dalam Proceedings of International Conference:Empowering Local Wisdom in
Support of Nation Identities. Medan, 28th-29th November 2014.
KOMUNIKASI KESUKUBANGSAAN

Danang Susena

Received Article:13 Mei 2017 Accepted Article: 16


Juni 2017

Abstract

This article talking about basic of society use languange is unit for do social interaction between
one of human to other human in one society contects with one’s culture. Its more important
different between society with one culture and society with different culture, such us sundaness
which living at coastal areas, course very different with sundaness which living at hill areas,
comparating with Jakarta society which is differences group ethnics society.

Key Words: Communication, Languange, Society, Ethnicity

Pendahuluan

Dalam masyarakat, setiap individu sebagai anggotanya akan melakukan interaksi sosial antar
sesamanya, dan ini menggunakan bahasa yang diakui bersama. Tentu saja kemampuan berbaha
sa sangat dipengaruhi oleh adanya gestur tubuh serta intonasi suara yang diucapkan yang pada
dasarnya ditetapkan dan diakui oleh seluruh anggota masyarakatnya dengan kebudayaan yang
sama.

Seperti halnya sebuah ujaran akan mempunyai makna ketika mengikuti atau diikuti oleh
konteks sosial tertentu dan ini mendapatkan pengarahan dari aturan yang telah disetujui dan
ditetapkan oleh seluruh anggota masyarakatnya, aturan ini sering dikatakan sebagai tata bahasa.
Sehingga dengan demikian bahasa akan sesuai dengan konteks masyarakat tertentu dan situasi
tertentu. Suara yang muncul dalam suatu konteks interaksi dalam masyarakat akan terkait dengan
segala kaidah-kaidah tertentu yang biasanya diikuti oleh gerakangerakan tubuh yang berfungsi
memperjelas makna dari ujaran yang diucapkan, atau dapat juga dikatakan sebagai tingkah laku
linguistik.
Pola Ilmu Komunikasi

Tingkah laku linguistik pada dasarnya diatur oleh sebuah aturan yang aturan tersebut bersumber
dari kebudayaan. Suara-suara yang diucapkan dalam sebuah bahasa pada dasarnya akan secara
simultan berulang-ulang, suara-suara ini melekat pada kata-kata yang membentuk sederetan
kalimat yang secara teratur dibentuk oleh aturan dan tata bahasa. Sehingga keluarnya kata-kata
yang berbentuk bunyi akan mencirikan suatu pola yang berulang-ulang. Tata bahasa ini yang
menjadi sumber dari aturan pembentukkan kalimat yang didasari oleh kebudayaan.

Ahli-ahli sosiolingusitik seperti Labov, Bailey dan Trudgill sudah menunjukkan bahwa
apa yang dianggap oleh ahli linguistik sebelumnya sebagai ketidakbiasaan atau variasi bebas
dalam tingkah laku linguistik dapat ditemukan suatu pola yang dapat diramalkan. Sedangkan
para ahli etnografi komunikasi tertarik pada penemuan keajegkan dalam penggunaan bahasa,
tetapi sementara itu ahli sosio linguistik memfokuskan pada variasi dalam pengucapan dan
bentuk tatabahasanya. Para antropolog lebih tertarik pad bagaimana unit-unit komunikatif di
organisir dan bagaimana mereka mempolakan dalam kelompok cara mengucap, seperti halnya
dengan bagai mana pola-pola ini berhubungan secara sistematis dengan aspek lain dalam
kebudayaan.

Pembentukan pola dalam bahasa akan terjadi pada seluruh tingkat komunikasi dalam
masyarakat, kelompokdan individu. Pada tingkat masyarakat, komunikasi biasanya mempolakan
fungsi dari istilah-istilah, kategori dari ucapan, dan sifat serta konsepsi tentang bahasa dan
ujaran. Komunikasi juga mempolakan cara bertutur mengikuti peranan-peranan khusus dan
kelompok-kelompok dalam komunitas, seperti jenis kelamin, usia, status sosial dan pekerjaan:
seperti guru mempunyai perbe daan cara bertutur dari pengacara, dokter, atau salesman asuransi.
Cara bertutur juga mempolakan bahasa yang mengikuti tingkat pendidikan, penduduk kota atau
desa, daerah geografi dan bentuk organisasi sosial.

Pada tingkat individu, komunikasi mempolakan tingkat ekspresi dan inter pretasi
personal. Beberapa faktor emosi seperti gugup merupakan gejala pisiologi dan bukan bagian
dari komunikasi, akan tetapi dalam kegugupan tersebut terdapat beberapa simbol-simbol yang
termasuk dalam pola komunikasi. Contohnya seperti menaiknya temperamen suara merupakan
gambaran dari sifat marah pada suatu komunitas tertentu, atau diam pada komunitas lainnya
seperti orang-orang Indian di Amerika, atau mengangkat bahu bagi orang Papua yang
dikategorikan mempunyai banyak arti dan sebagainya. Ketertarikan pada pola merupakan dasar
dari antropologi dengan menginterpretasi yang didasari pada keterikatan arti pada penemuan dan
deskripsi struktur atau disain normatif. Lebih jauh penekanan pada proses interaksi pada pola-
pola tingkah laku yang diwujudkan.

Fungsi komunikasi

Pada tingkat komunitas, bahasa memberikan banyak fungsi. Dimulai dengan si pembuat aturan
yang mempunyai peranan dalam menciptakan atau menekankan batasan dari kelompok nya,
disamping itu juga menyatukan beberapa ujaran sebagai anggota dalam komunitas satu bahasa
dan yang membedakannya dengan ujaran dari luar. Banyak hal dari bahasa juga dibuat untuk
memberikan fungsi identifikasi sosial dalam komunitas dengan cara memakai indikator linguistik
yang mungkin digunakan untuk menguatkan stratifikasi sosial. Penggamba ran linguistik sering
digunakan komunitas secara sadar maupun tidak, untuk mengi dentifikasi dirinya dengan orang
lain dan menjadikannya ciri serta memelihara kate gori sosial.

Pada tingkat individu dan kelompok yang berinteraksi satu dengan lainnya, fungsi
komunikasi secara langsung dihubungkan dengan tujuan dan kebutuhan. Ini mencakup beberapa
kategori fungsi sebagai penampakkan (perasaan atau emosi), tujuan/instruksi (kebutuhan atau
pencarian), referen (benar atau salah), puisi (estetik), perasaan/phatic (bermusuhan atau
solidaritas), dan metalinguistik (referen untuk bahasa sendiri). Atau seperti yang diketengahkan
oleh Searle's (1977) yang memberikan kategori fungsi komunikasi untuk tingkat individu sebagai
kelompok dari tindakan-tindakan illocutionary (kehadiran, arah/tujuan, penuh arti, membuat keje
lasan), tetapi mempunyai perbedaan dalam pandangan dan batasan yang membagi lapangan
etnografi komunikasi dengan teori ujaran atau pragmatik.

Bagi para antropolog, perspektif fungsional merupakan prioritas dalam deskripsi, satu
kalimat tunggal mempunyai banyak fungsi secara simultan. Lebih jauh, sementara ahli teori
ujaran dan ahli pragmatis secara umum berada di luar penampakkan/ metaphorical dan perasaan/
phatic menggunakan bahasa dari dasar kebersamaan. Komunikasi phatic mentrans misikan
pesan, tetapi tidak mempunyai acuan arti. Arti ada dalam tindakan komunikasi itu sendiri.
Banyak interaksi ritual dimasukkan dalam kategori ini.
Sebagian besar fungsi bahasa adalah universal, cara bekerjanya komunikasi pada setiap
komunitas berdasarkan fungsi yang ada adalah bersifat khusus. Hubungan status yang sama dari
dua ujaran mungkin terbawa oleh pilihan mereka dalam bentuk ujaran dalam satu bahasa; dan
yang lainnya melalui jarak mereka berdiri dalam bagian atau posisi badan mereka sementara
berbicara; serta antara bilingual, bahkan melalui pilihan mereka tentang bahasa yang digunakan
untuk menunjukkan satu dengan lainnya.

Fungsi bahasa menyediakan dimensi utama untuk memberikan sifat dan meng organisir
proses komunikatif dan mempro duksinya dalam sebuah komunitas; tanpa mengerti mengapa
bahasa tersebut digu nakan untuk bentuk tersebut, dan konsekuensinya dari beberapa peng
gunaan, hal itu tidak mungkin untuk mengerti arti-artinya dalam konteks interaksi sosial.

Mengklaim fungsi utama dalam bentuk analisa tidak mengesampingkan atau


mengeluarkan struktur formal dari komunikasi; daripada menerima pengin tegrasian dari fungsi
dan bentuk dalam analisa dan deskripsi. Kalimat dan bahkan hal-hal yang dipentingkan tidak
sejalan dengan unit yang berdiri sendiri akan tetapi lebih sebagai disituasikan dalam setting
komunikatif dan pola-pola dan sebagai fungsi mereka dalam komunitas.

Komunitas Ujaran

Fokus dari etnografi komunikasi adalah pada komunitas ujaran, dan pada cara komunikasi
dipolakan dan diorganisir dalam unit tersebut Ahli-ahli linguistik secara umum setuju bahwa
komunitas ujaran tidak dapat secara tepat sama dengan kelompok-kelompok komunitas yang
berbicara bahasa yang sama. Seperti misalnya komunitas yang berbahasa Jawa di Padang dan
komunitas Jawa di Yogyakarta tidak dapat dipersamakan arti dan fungsi bahasanya antara satu
dengan lainnya walaupun menggunakan bahasa yang sama, ini terkait dengan kebudayaan
mereka masing-masing yang bersifat khusus. Sehingga, walaupun menggunakan bahasa yang
sama bentuk fungsi ujaran yang keluar akan berbeda satu dengan lainnya.

Seluruh definisi komunitas yang digunakan ilmu sosial memasukkan dimensi persebaran
pengetahuan, kepemilikan, atau tingkah laku diambil dari bahasa latin communitae atau 'dikuasai
umum' seperti kriteria sosiolinguistik untuk komunitas ujaran mencakup kata
'penyebaran/shared'.
Pertanyaan kunci dalam pendefi nisian untuk dipakai sebagai fokus studi adalah
menyangkut persebaran dan penggunaan bentuk bahasa, batas geografi dan politik, kebudayaan
dan sampai pada karakter pisik (warnakulit/ras). Pola-pola penggunaan bahasa,
penginterpretasian, aturan berbicara, dan sifat yang terkait dalam bahasa merupakan bagian
dalam penciptaan infestigasi etnografi.

Etnografi komunikasi harus dimulai dengan extra-linguistik yang mendefinisikan entitas


sosial, bagaimana mereka mende finisikan dan mengorganisir serta menstrukturkan bahasanya,
dan bagaimana mereka menghubungkan dengan organisasi sosial, serta bagaimana mereka
memberi fungsi sebagai bentuk pola, dan meng integrasikan komponen dari komunitas secara
keseluruhan.

Ketergantungan pada derajad abstrak unit sosial diseleksi dalam tingkat yang berbeda,
atau dibagi kedalam kelompokkelompok kecil yang merupakan bagian dalam kelompok yang
lebih besar. Sehingga akhirnya dapat difokuskan ke dalam studistudi yang lebih terarah seperti,
sebuah sekolah, pabrik atau komunitas gay, pendekatan etnografi terintegrasi akan melihat
hubungan antar beberapa sub group sebagai satu kesatuan sosial budaya yang berisi peranan-
peranan. Disini tidak diharapkan adanya kesamaan linguistik, tetapi yang diperlukan adalah
adanya hubungan antar unit atau fokus tadi kedalam dimensi komunikasi sosial budaya seperti
peranan dan domain. Bisa jadi antar unit tadi mempunyai bahasa yang berbeda. Yang jelas akan
didapat suatu bahasa yang dipakai dalam peranan yang signifikan yang juga mengidentifikasikan
batasan komunitas ujaran yang dipersepsikan oleh individu sebagai anggota komunitas tersebut.

Dalam tipologi informal dari komunitas ujaran dikatakan sebagai 'kerang yang lembut'
melawan 'kerang yang keras' yang dibedakan pada dasar kekuatan dari batas yang dipelihara oleh
bahasa. Komunitas 'kerang yang keras' mempunyai batasan yang kuat, mempunyai interaksi yang
minimal antar anggotanya dan anggota lain komunitas diluar komunitasnya dan menyediakan
pemeliharaan bahasa dan kebudayaannya.

Bahasa sering juga dipakai untuk memberikan identitas tertentu suatu ke lompok dalam
masyarakat yang lebih luas dimana si penutur dianggab sebagai ang gotanya. Seperti orang Jawa
di Purwajaya (Payakumbuh, Sumatera Barat), dimana bahasa Jawa dapat dipakai di beberapa
area seperti bahasa di rumah, dan interaksi sosial diantara anggota kelompok. Hal ini disebabkan
karena orang Jawa juga dapat berbahasa Minangkabau dan mereka berpartisipasi penuh dalam
komunitas ujaran yang lebih besar dan orang-orang juga berkesempatan belajar bahasa Jawa.

Kemampuan Komunikatif

Hymes mengobservasi bahwa penutur yang dapat memproduksi tatabahasa dalam kalimat bahasa
tertentu akan dipranatakan jika mereka mencoba untuk melakukannya. Kemampuan komunikatif
memasukkan tidak hanya kode-kode bahasa, tetapi juga apa yang dikatakan untuk siapa, dan
bagaimana untuk mengatakan dalam setiap situasi yang ada.

Kemampuan komunikatif memperluas pada pengetahuan dan harapan pada siapa yang
mungkin berkata dan siapa yang tidak, kapan mengeluarkan ucapan dan kapan tidak.
Kemampuan komunikatif berisi tentang pengetahuan dan harapan dari orang-orang yang terlibat,
bagaimana strategi mereka untuk memahami interkasi yang terjadi, apakah itu berkaitan dengan
status, peranan, dan juga pemahaman yang akan terjadi di dalam komunikasi yang bersangkutan.
Jelasnya, dalam setting sosial yang bersifat khusus, semua aspek kebudayaan yang menggunakan
bahasa akan terjadi disitu.

Konsep dari kemampuan komunikatif pasti termaktup didalamnya kemampuan budaya


atau keseluruhan pengetahuan dan kemampuan dimana penutur terlibat didalam suatu situasi.
Pendekatan semiotik yang mendefinisikan kebudayaan sebagai pengertian dan pandangan dari
para antropolog yang menyebut sebagai simbolsimbol. Sistem kebudayaan adalah polapola dari
simbol-simbol dan bahasa hanya merupakan bagian dari sistem simbol dalam jaringan ini.

Berbagi pengetahuan budaya adalah dasar untuk menjelaskan tentang kebe naran dalam
struktur bahasa, jadi akan menghubungkan bahasa yang diwujudkan dengan konteknya.
Sementara referensi arti mungkin diperoleh pada banyak elemen dalam kode-kode linguistik
yang statis, pengertian dari situasi harus juga diperhitungkan sebagai suatu proses yang dinamis.

Kode-kode verbal mungkin ditransmisikan melalui oral, tulisan, atau saluaran manual.
Muatan pada setiap saluran tergantung pada distribusi fungsi masing-masingnya dalam
komunitas ujaran yang khusus, dan kesemuanya itu berbeda kepentingan dengan linguistik
setiap individu dalam masyarakat. partisipasi penuh dapat dilakukan pada kelompok orang-orang
tuli untuk mengerti kemampuan interaksi mereka dalam saluran manual dan bukan oral. Jadi
deskripsi linguistik tradisional yang memfokuskan pada saluran oral akan juga mempunyai
pandangan yang sempit untuk memperhitungkan kemam puan komunikatif dalam masyarakat
secara umum.

Kebiasaan deskriptif memfokuskan pada produksi oral yang menaungi sifat bahasa
sebagai gejala yang tidak langsung. Dalam anggapa alamiah dan lingkungan kemampuan
komunikatif, hal ini sangat berguna untuk membedakan antara penerimaan dan menciptaan;
hanya berbagi kemampuan menerima yang penting untuk suksesnya komunikasi.

Komponen-komponen komunikasi :

1. Pengetahuan linguisti
a) Elemen verbal
b) Elemen non verbal
c) Pola-pola dari elemen-elemen pa da kejadian-kejadian ujaran tertentu
d) Kemungkian dari varian-varian.
e) Arti dari varian-varian dalam situa si tertentu
2. Kemampuan interaksi
a) Persepsi gambaran umum yang utama dalam situasi komunikatif
b) Seleksi dan interpretasi dari ke sesuaian bentuk pada situasi terten tu, peranan dan
hubungan
c) Pengorganisasian dan pemrosesan
d) Norma-norma dari interaksi dan interpretasi
e) Strategi untuk pencapaian tujuan
3. Pengetahuan budaya
a) Struktur social
b) Nilai dan atitut
c) Peta kognitif
d) Proses enkulturasi.

Kemampuan komunikatif mengacu pada pengetahuan dan kemampuan untuk


penyesuaian terhadap konteksnya dalam bahasa di komunitas, kesemuanya itu mengacu juga
pada pengetahuan komunikatif dan kemampuan berbagi dalam kelompok.
Kemampuan tentang ketidakmam puan Kemampuan komunikatif terdapat ketidak
mampuan dalam bahasa ketika situasinya merupakan situasi yang diarahkan, misalnya orang dari
strata lebih rendah berkomunikasi pada strata yang lebih tinggi, golongan minoritas terhadap
golongan dominan, anak-anak terhadap orang dewasa.

Daftar Pustaka

Little John. 1996. System Theories" dalam Theories of Human Communication. Wadsworth
Publishing Company : California.

Little John. 1996. "Theories of Symbolic Interaction, Dramatism, and Narrative " dalam
Theories of Human Communication.Wadworth Publishing Company: California.

Saville-Troike, Muriel. 1990. "Basic Terms, Concepts, and Issues" dalam The Ethnography of
Communication. An Introduction. Massachussetts: Basic Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai