Tim Penulis :
Yuni Sri Rahayu
Sarmini
Suyatno
Martadi
Muji Pras wi
FX Sri Sadewo
Anwar Holil
Haryanto
KATA PENGANTAR
01
Prof. Dr. Muchlas Samani
(Rektor Universitas Negeri Surabaya)
2
Kata Pengantar
3
04
BAB 1
MENGAPA KARAKTER?
“Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter
(character building), karena character building inilah yang akan membuat
Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya, serta bermartabat.
Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan
menjadi bangsa kuli.”
(Soekarno, Presiden Republik Indonesia)
pikiran, dan tubuh anak itu tidak boleh dipisah-pisahkan agar dapat
memajukan kesempurnaan hidup anak-anak'. Pernyataan itu dapat
dimaknai bahwa menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan karakter
merupakan bagian integral yang sangat penting dalam pendidikan
(Samani dan Hariyanto, 2011:33).
Sebelum membahas lebih jauh tentang pendidikan karakter,
harus dipahami terlebih dahulu makna 'karakter' yang akan menjadi
pokok perbincangan utama buku ini. Istilah karakter sering
dihubungkan dengan istilah etika, akhlak, moral, dan atau nilai, yang
berkonotasi positif, bukan netral, apalagi negatif. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008) menyebutkan, karakter merupakan sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, yang membedakan seseorang dari
yang lain. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa karakter adalah
nilai-nilai yang unik dan baik, yang terpateri dalam diri, dihayati, dan
diwujudkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
Karakter seseorang dipengaruhi faktor pembawaan (nature) dan
lingkungan (nurture). Samani dan Hariyanto (2011) memaknai karakter
sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, yang terbentuk
baik karena pengaruh hereditas (bawaan) maupun lingkungan, yang
membedakan seseorang dengan orang lain, dan diwujudkan dalam
sikap dan perilaku kehidupan sehari-hari. Faktor hereditas (bawaan)
yang “sudah dari sononya”, boleh dikata, berada di luar jangkauan
manusia untuk memengaruhinya. Sedangkan faktor lingkungan
merupakan faktor yang dapat dikembangkan melalui intervensi
individu dan masyarakat. Faktor lingkungan itu, dalam konteks
pendidikan karakter, memiliki peran yang teramat penting. Perubahan
perilaku peserta didik sebagai hasil proses pendidikan karakter amat
ditentukan oleh faktor lingkungan. Pembentukan dan rekayasa
lingkungan yang berkait dengan proses pendidikan karakter mencakup,
di antaranya, rekayasa terhadap lingkungan fisik, budaya sekolah,
manajemen sekolah, kurikulum, pendidik, dan seluruh warga sekolah,
serta strategi dan metode pembelajaran.
Sebagai sebuah konsep akademis, karakter memiliki makna
substantif dan proses psikologis yang sangat mendasar. Aristoteles
5
Mengapa Karakter?
6
Mengapa Karakter?
insan kamil.
Pada masa orde lama, pendidikan karakter telah
diimplementasikan dengan nama pendidikan budi pekerti (antara lain
diatur dalam Kurikulum 1968). Namun, sejak Kurikulum 1974 sampai
dengan Kurikulum 1994 yang diterapkan di zaman orde baru,
pendidikan karakter atau budi pekerti tidak jelas lagi keberadaannya.
Sesungguhnya, pada tahun 1997, Direktorat Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu pernah
menginventarisasi sejumlah nilai-nilai budi pekerti luhur yang
seharusnya menjadi pedoman dalam membangun generasi muda
Indonesia. Sayang, nilai-nilai tersebut tidak pernah disosialisasikan ke
sekolah-sekolah, apalagi diterapkan. Ada kemungkinan, nilai-nilai budi
pekerti luhur itu belum sempat disosialisasikan karena setahun
kemudian, tahun 1998, orde baru runtuh.
Wacana tentang pendidikan karakter kemudian digalakkan
kembali sejak tahun 2010.Wacana tersebut mengikuti penegasan Pasal
3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yakni, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
TuhanYang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi,
esensi pendidikan nasional adalah pengembangan kemampuan
sekaligus kepribadian pembelajar dan pebelajar dalam situasi
pembelajaran yang demokratis, aktif, dan dua arah. Tujuan akhirnya
adalah pembentukan insan akademis yang pandai bersyukur, beriman,
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tekun beribadah sesuai
iman dan kepercayaan masing-masing, berakhlak mulia, berbudi
pekerti luhur, sehat jasmani dan rohaninya, berilmu dengan kuriositas
(kepenasaran intelektual, istilah Mendikbud Mohammad Nuh, Pen.) yang
tinggi, cakap dan terampil, menguasai hardskill, softskill, dan portable
skill, kreatif dan inovatif, mandiri, dan jauh dalam hatinya tertanam
sikap demokratis, terbuka, penuh toleransi.
7
Mengapa Karakter?
8
Mengapa Karakter?
sekolah lain, banyak terjadi di sejumlah SMA dan SMK di kota besar,
bahkan di level Sekolah Dasar. Geng motor yang dahulu hanya ada di
Bandung telah menjamur di Jakarta dan kota-kota lain, dan mereka
selalu membawa nuansa kekerasan.
Secara umum, ada dua hal pokok yang berpotensi menjadi
penghambat implementasi pendidikan karakter, yaitu maraknya
korupsi oleh elit politik serta tawuran dan perkelahian antarkomponen
bangsa. Pita Bhinneka Tunggal Ika yang dikalungkan di leher burung
garuda telah robek dan terkoyak, dikoyak oleh tangan bangsa sendiri!
Ibu Pertiwi tidak saja merintih dan mengeluh, namun air matanya telah
kering terkuras habis. Garuda Pancasila nyaris lumpuh, sulit
mengepakkan sayap untuk terbang tinggi ke angkasa. Kinilah saatnya
untuk bangun dan bangkit kembali.
Khususnya di dunia pendidikan, saat ini perlu penegasan kembali
eksistensi dan implementasi character building. Pendidikan karakter
perlu digalakkan kembali dengan lebih sistematis, dan dilaksanakan
secara sinergis dan strategis. Indonesia telah ketinggalan jauh dalam
implementasi pendidikan karakter, dibandingkan dengan Amerika
Serikat, Kanada,Australia, Inggris dan Negara Persemakmuran lainnya
(Singapura, Hong Kong, Malaysia), serta China, Jepang, dan Korea.
Kita harus yakin dan meyakinkan bangsa ini bahwa knowledge is power, but
character is more!
Para pakar, ahli, dan pemerhati pendidikan –melalui berbagai
seminar dan diskusi- secara bersama-sama menegaskan perlunya
implementasi pendidikan karakter di Indonesia, dengan menggali
kembali, memilah, memilih, dan merumuskan nilai-nilai inti untuk
dikembangkan dalam pembelajaran dan pendidikan. Nilai-nilai inti itu
harus timbul dari aktivitas olah hati, olah pikir, olah rasa, dan karsa,
serta olah raga. Nilai inti dikembangkan untuk membangun watak
pribadi dan watak sosial, dua watak yang diperlukan dalam pergaulan
secara beradab dengan orang lain.
Pengembangan nilai inti pribadi diwujudkan melalui
pengembangan sikap jujur (terkait olah hati/heart) dan cerdas (terkait
olah pikir/head). Sedangkan pengembangan nilai inti sosial diarahkan
9
Mengapa Karakter?
pada pembentukan sikap peduli dan tangguh. Dari keempat nilai inti
tersebut dapat berkembang berbagai nilai turunan, yang dapat menjadi
indikator perolehan nilai-nilai inti tersebut dalam diri peserta didik. Ini
bisa di tataran kognitif (moral knowing), tataran afektif (moral feeling),
atau diwujudkan dalam tindakan (tataran psikomotor) berbasis moral
(moral action), seperti diungkapkan oleh Thomas Lickona. Temuan
penelitian dengan sampel peserta didik di seluruh Indonesia, dari
tingkat SD, SMP, sampai SMA/SMK, diharapkan dapat merupakan
representasi atau potret dari karakter warga bangsa Indonesia.
Dalam pembahasan mengenai karakter siswa Indonesia di bab-
bab selanjutnya, buku ini mengambil posisi awal pada fakta akan
keragaman budaya Indonesia dan kearifan lokal yang mewarnai
karakter dan jati diri para siswa. Dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor II Tahun 1998, kebudayaan nasional
dimaknai sebagai, “Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila
adalah perwujudan cipta, karya, dan karsa bangsa Indonesia dan
merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk
mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan
untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional
dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian
Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya”.
Secara umum, budaya didefinisikan sebagai suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang
(masyarakat, suku) dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan
politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya
seni. Budaya adalah suatu pola hidup yang menyeluruh, bersifat
kompleks, abstrak, dan luas. Dalam hubungan itu, banyak aspek budaya
yang ikut menentukan perilaku komunikatif.
Secara fitrah, bangsa Indonesia lahir dengan kebudayaan yang
beragam, yang merupakan rahmat dan karunia, asalkan pandai
mengelolanya. Keragaman budaya (cultural diversity) adalah keniscayaan
yang ada di bumi Indonesia. Masyarakat Indonesia dibangun dari
berbagai budaya ras dan suku bangsa, dan juga budaya yang bersifat
10
Mengapa Karakter?
11
Mengapa Karakter?
12
Mengapa Karakter?
13
Mengapa Karakter?
13
Mengapa Karakter?
15
16
BAB 2
BELAJAR DARI ALAM
N atura magistra, bahasa Latin, yang berarti bahwa alam adalah guru.
Sophocles dan Plato adalah sedikit dari filsuf Yunani yang
meyakini falsafah tersebut. Belajarlah kepada alam, karena alam
takambang jadi guru, alam berkembang menjadi guru. Bila tidak ada
manusia yang menjadi guru, belajarlah kepada apa saja di sekitarmu.
Falsafah semacam itulah yang dipercayai oleh para guru di Kota Padang
yang diwawancarai oleh peneliti sebagai fondasi nilai kecerdasan suku
bangsa Minangkabau.
Mengapa kemudian berkembang sebagai pepatah bahasa Melayu
Minangkabau dapat dimaklumi? Banyak ilmuwan Muslim seperti Ibnu
Sina (Avicenna), Ibnu Rusdi (Averroes) yang mendalami kajian filsafat
bangsa Yunani, mendapati hikmahnya. Karena falsafah tersebut sesuai
dengan perintah Allah agar kaum muslimin mau mencari ayat-ayat
kauniyah (bukti-bukti kekuasaan Allah) di alam, ajaran itu melekat
dalam ajaran Islam. Sehingga konsep alam terkembang menjadi guru
juga diimplementasikan di Aceh maupun di Sulawesi Selatan. Nilai
ajaran seperti itu diturunkan, diimplementasikan, dan dikembangkan
turun-temurun.
Itulah sekadar contoh bahwa nilai karakter siswa setempat
ternyata selalu berkaitan dengan nilai-nilai budaya dan tradisi suku
bangsanya. Hal tersebut menunjukkan besarnya pengaruh hereditas
(bawaan, turunan). Meskipun demikian, tidak sedikit fakta
menunjukkan banyak anak muda sekarang yang menyimpang atau
berubah karakternya dari karakter leluhur atau suku bangsanya. Sejalan
dengan itu, banyak ahli menimpakan kesalahan itu pada pengaruh
lingkungan, bahkan juga karena (kurang efektifnya) pendidikan.
Sejak psikologi gestalt (teori psikologi yang menggabungkan
Belajar Dari Alam
17
Belajar Dari Alam
tuntunan agama Islam (thalabul ilmi faridhatun ala kulli muslimin wal
muslimat, menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi muslimin dan
muslimat). Ketangguhan siswa Aceh berkaitan dengan sifat militan dan
loyalitasnya pada orang yang diakui sebagai pemimpin. Nilai inti jujur
dan peduli siswa Aceh berada pada tingkat rata-rata, setara dengan siswa
di suku bangsa yang lain di Indonesia.
Suku Batak di Sumatera Utara lebih menekankan pada nilai inti
cerdas, tangguh, dan peduli, sementara nilai inti jujur berada pada level
rata-rata seperti halnya suku bangsa lain di Indonesia. Nilai peduli
berkembang secara khas di Batak, karena adanya falsafah dalihan na tolu
(tungku berkaki tiga), yang bermakna ‘kekerabatan dalam marga
merupakan tali yang mengikat saudara semarga (dongan sabutuha)’.
Falsafah ini kemudian berkembang pada ikatan persaudaraan sesuku,
lebih luas dari semarga. Dari sini, berkembang nilai-nilai karakter
seimbang, harmonis, rasa solidaritas, rendah hati (humble), dan rasa
ingin mewujudkan kasih sayang (olong). Dengan falsafah dalihan na tolu,
kebiasaan musyawarah dan demokrasi dipupuk dan dikembangkan.
Meskipun orang Batak dikenal bersifat terbuka dan bersuara keras,
musyawarah dan demokrasi dijalankan dengan penuh kesantunan. Hal
itu dilandasi falsafah yang lain lagi, tetapi melengkapi, yakni “pangkuling
do situan na denggan” (budi bahasa yang baik sangat penting dalam
bermasyarakat).
Budaya Melayu hidup dan berkembang di sebagian besar wilayah
Sumatera seperti Palembang, Riau, Jambi, dan di sebagian pulau
Kalimantan. Di sini, akan disoroti budaya Melayu Palembang yang
tercerminkan dalam karakter para siswanya. Nilai inti cerdas dan
tangguh sudah dimiliki sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, dan diwariskan
dari generasi ke generasi. Keturunan Sriwijaya terbiasa menaklukkan
laut, mengalahkan musuh, dan mengembangkan daerah koloni.
Ketangguhan, keberanian, dan militansi, sebagai warisan budaya,
terlihat dalam diri para siswa di Palembang. Untuk berlayar
mengarungi lautan dan menempuh gelombang diperlukan kecerdasan
dalam membaca tanda-tanda alam seperti bintang, arah angin, cuaca,
dan sebagainya. Jejak budaya Melayu juga terlacak dari diri siswa di
18
Belajar Dari Alam
19
Belajar Dari Alam
20
Belajar Dari Alam
Rasa kebersamaan mereka begitu kuat, sedang nilai inti tangguh dan
jujur pada tataran normal seperti pada para siswa lain di Indonesia. Para
siswa Gorontalo terbiasa berbuat jujur dengan melakukan berbagai
aktivitas yang melambangkan kejujuran. Nilai kecerdasan
dikembangkan secara intensif di sekolah, antara lain dengan
pembiasaan mempraktikkan bahasa asing dalam English Day, membaca
senyap, dan membaca 10 menit di awal pembelajaran. Nilai kepedulian
dikembangkan melalui tradisi huluya, yang maknanya adalah gotong-
royong. Nilai kepedulian berupa kebiasaan bekerja sama (sintuvu)
dikembangkan juga oleh para siswa di Kaili (Donggala, Sulawesi
Tengah).
Ketika perjalanan tiba di Sulawesi Selatan, akan dijumpai suku
bangsa Bugis, Makassar, dan Buton. Ketiga suku bangsa tersebut adalah
para pelaut ulung, yang ahli membaca tanda-tanda alam. Kecuali itu,
ada aspek lain yang berkaitan dengan tingkat kecerdasan, yaitu
pengaruh konsumsi atau bahan makanan terhadap otak manusia. Para
pelaut dan nelayan yang terbiasa mengkonsumsi ikan akan tercukupi
protein dan asupan bahan-bahan lain yang vital bagi perkembangan otak
seperti EPA (asam eikosa pentanoat, eicosapentanoic acid) dan DHA (asam
dokosaheksanoat, docosahexanoix acid). Tidak sedikit siswa SMP dan SMA
Makassar yang menjadi juara olimpiade sains tingkat nasional atau
internasional. Jadi, boleh dikata, nilai inti tangguh dan cerdas adalah
trade mark para siswa Sulawesi Selatan. Sementara itu nilai inti jujur juga
berkembang baik karena implementasi sifat amanah (dapat dipercaya)
sesuai ajaran agama Islam yang mereka pegang secara kuat.
Di Ambon atau Maluku, nilai inti tangguh tumbuh subur dan
kuat, karena mereka pun umumnya pelaut serta nelayan yang ahli dan
bijak mengelola alam. Di wilayah yang dikitari lautan yang cantik itu,
ada kearifan lokal dalam mengelola sumber daya ikan yang disebut sasi,
salah satu cara mereka menjaga kelestarian sumber daya ikan di laut.
Nilai inti cerdas pun berkembang dengan baik. Nilai inti peduli
dikembangkan dalam tradisi masohi, yang maknanya ‘bekerjasama’;
maupun tradisi pela gandong (saling mendukung) yang maknanya
kebersamaan dalam kebhinnekaan.
21
Belajar Dari Alam
22
Belajar Dari Alam
23
Belajar Dari Alam
24
Belajar Dari Alam
25
Belajar Dari Alam
kainnya lebih tebal dari selendang yang dikenal di Jawa, pada umumnya
buatan tangan). Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
berbagai upacara adat, misalnya pernikahan, kain ulos merupakan
elemen penting yang tidak boleh ditinggalkan. Ulos pada mulanya
diperlakukan sebagai azimat, dipercaya mengandung ‘kekuatan’ yang
bersifat religius magis, dianggap keramat, serta memiliki daya
perlindungan. Menurut beberapa penelitian, penggunaan ulos oleh
orang Batak mirip dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar,
Muangthai, dan Laos (biasanya mereka pakai untuk ikat kepala).
Sebelum orang Batak (Toba, Karo, Simalungun) mengenal tekstil
buatan luar, ulos (disebut Uis oleh suku bangsa Batak Karo) adalah
pakaian sehari-hari. Namun tidak semua ulos dapat dipakai dalam
kehidupan sehari-hari.
Sistem kekerabatan Batak menempatkan posisi seseorang secara
pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dunia, dalam tiga posisi yang
disebut dalihan na tolu; di Simalungun disebut tolu sahundula. Tiga posisi
penting itu adalah:
1. Hula hula atau tondong, yaitu kelompok orang yang posisinya di atas,
biasanya keluarga marga pihak istri, sehingga ada ungkapan somba-
somba marhula-hula yang berarti harus hormat kepada keluarga
pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.
2. Dongan tubu atau sanina, yaitu kelompok orang yang posisinya
sejajar, seperti teman/saudara semarga, sehingga ada ungkapan
manat mardongan tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar
dari pertikaian.
3. Boru yaitu kelompok orang orang yang posisinya di bawah, seperti
saudara perempuan kita sendiri, pihak marga suami, keluarga
perempuan pihak ayah. Dalam kehidupan sehari-hari, ada ungkapan
elek marboru, artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat
berkat.
26
Belajar Dari Alam
27
Belajar Dari Alam
marga mulai dari Si Raja Batak, dalam hal ini semua suku bangsa Batak
memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi
melalui perjanjian (paduan antarmarga tertentu), maupun karena
perkawinan. Adat dan tradisi Batak bersifat dinamis, seringkali
disesuaikan dengan waktu dan tempat. Hal itu berpengaruh terhadap
perbedaan corak tradisi antardaerah. Ada falsafah dalam perumpamaan
Batak Toba yang menonjolkan keutamaan persahabatan, yakni Jonok
dongan partubu, jonokan dongan parhundul (akrab teman semarga, masih
lebih akrab sahabat karib). Perumpamaan itu mendasari sifat orang
Batak, yang membuat mereka mudah bergaul dan menjalin
persahabatan di luar orang sesuku atau semarga. Hal itu juga
mengajarkan agar orang Batak senantiasa menjaga hubungan baik
dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Dalam
pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga,
walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam
pelaksanaan adat.
Silsilah merupakan hal yang sangat penting bagi orang Batak.
Mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang
Batak tersesat (nalilu). Khususnya kaum pria Batak, mereka diwajibkan
mengetahui silsilah keluarganya, minimal nenek moyang yang
menurunkan marganya, dan teman semarganya (dongan tubu). Hal itu
perlu agar setiap orang tahu letak kekerabatannya (partuturanna) dalam
suatu klan atau marga. Orang Batak sangat memegang falsafah Somba
Marhula-hula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri), Elek Marboru
(ramah pada keluarga saudara perempuan), dan Manat Mardongan Tubu
(kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari,
falsafah tersebut dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan
kehidupan bermasyarakat di lingkungan orang Batak.
28
Belajar Dari Alam
29
Belajar Dari Alam
30
Belajar Dari Alam
(2) Baso-basi, malu jo sopan (basa-basi, malu dan sopan). Adat Minang
mengutamakan sopan santun dalam pergaulan. Budi pekerti yang
tinggi menjadi salah satu ukuran martabat seseorang, dan etika menjadi
salah satu sifat standar yang harus dimiliki setiap orang. Adat Minang
mengatur dengan jelas dan rinci tentang tata kesopanan dalam
31
Belajar Dari Alam
(3) Tenggang raso (tenggang rasa, toleransi). Pergaulan yang baik adalah
yang dapat saling menjaga perasaan orang lain.Adat mengajarkan untuk
selalu berhati-hati dalam pergaulan; ucapan, tingkah laku, maupun
perbuatan, jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Tenggang
rasa adalah salah satu sifat yang dianjurkan adat, seperti tercermin
dalam peribahasa Nan elok dek awak katuju dek urang, Lamak dek awak
lamak dek urang, Sakik dek awak sakik dek urang. Artinya, ‘yang baik
menurut kita, harus juga disukai orang lain; yang enak menurut kita,
harus juga enak menurut orang lain; kalau sakit bagi kita, sakit pula bagi
orang lain’.
(4) Setia (loyal).Yang dimaksud setia adalah teguh hati, merasa senasib,
dan menyatu dalam lingkungan kekerabatan. Sifat ini menjadi sumber
lahirnya rasa setia kawan, cinta kampung halaman, cinta tanah air, dan
cinta bangsa. Dari sini pula berawal sikap saling membantu, saling
membela, dan saling berkorban untuk sesama. Bila terjadi konflik, dan
orang Minang terpaksa harus memilih, orang Minang akan memihak
pada dunsanak (saudara/kerabatnya). Dalam kondisi semacam itu,
orang Minang sama fanatiknya dengan orang Inggris. Right or wrong is my
country ‘salah atau benar, negaraku’.
32
Belajar Dari Alam
(7) Arif bijaksana, tanggap, dan sabar. Orang yang arif bijaksana adalah
yang dapat memahami pandangan orang lain, dapat mengerti yang
tersurat dan tersirat. Tanggap artinya mampu menangkis setiap bahaya
yang bakal datang. Sabar artinya mampu menerima segala cobaan
dengan dada yang lapang dan mampu mencarikan jalan keluar dengan
pikiran yang jernih.
(8) Rajin, sifat lain yang dipunyai orang Minang adalah rajin. Pepatah
berikut ini dengan baik menggambarkan kadar kerajinan orang
Minang: Kok duduak marauik ranjau (kalau duduk meraut ranjau), Tagak
maninjau jarah (berdiri mengintai mangsa),Nan kayo kuek mancari (kalau
ingin kaya harus ulet mencari uang),Nan pandai kuek baraja (ingin
pandai harus rajin belajar).
(9) Rendah hati. Mungkin lebih dari separuh orang Minang hidup di
rantau. Hidup di rantau artinya hidup sebagai minoritas dalam
lingkungan mayoritas suku bangsa lain. Mereka yang merantau ke
Jakarta mungkin kurang merasakan sebagai kelompok minoritas.Tetapi
yang merantau ke Bandung, Semarang, Malaysia, Australia, Eropa,
Amerika, hidup di tengah-tengah orang lain yang berbudaya lain.
Bagaimana perantau Minang harus bersikap? Mereka telah dibekali
falsafah hidup merantau, yang menyebabkan mereka survive bahkan
berjaya di negeri orang: Kok mangecek di bawah-bawah (kalau berbicara,
bersahaja), Tibo di kandang kambiang mangembek, tibo di kandang kabau
manguak (berada di kandang kambing, mengembik, berada di kandang
kerbau menguak); Dimano bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang (di
mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung). Peribahasa-peribahasa
tersebut mengajarkan pada orang Minang, sebagai perantau yang hidup
33
Belajar Dari Alam
34
Belajar Dari Alam
35
Belajar Dari Alam
36
Belajar Dari Alam
meninggal (Ubat mak nundo waras, aban mak nundo matei), yang artinya,
segala sesuatu Tuhan yang mengatur. Begitu percayanya mereka kepada
takdir, sehingga dapat dikatakan mereka terlalu pasrah pada nasib dan
kurang daya juang (bila dibandingkan dengan orang Minang di Padang,
misalnya). Dalam kehidupan sehari-hari, sukubangsa Abung di
Lampung dipayungi enam filsafat hidup yaitu:
1. Piil Pasenggiri, mengandung makna ’harga diri’, yaitu
menjunjung tinggi harkat dan martabat diri.
2. Nemui Nyimah atau Ngejuk Ngakuk, mengandung arti suka
menerima dan memberi dalam suka dan duka.
3. Nengah Nyappur, berarti bergaul dan bermusyawarah dalam
menyelesaikan suatu masalah untuk menjalin kebersamaan
hidup bermasyarakat.
4. Sakai Sambayan, berarti suka menolong dan bergotong
royong untuk membina hubungan persaudaraan dan
bertetangga.
5. Bejuluk Beadek atau Juluk Adek, berarti suka dengan nama baik
dan gelar yang terhormat, artinya mempunyai kepribadan
sesuai gelar adat yang disandangnya.
6. Carem Ragem, mengandung makna eratnya kekerabatan atau
kinship.
37
Belajar Dari Alam
banyak orang; (7) keras kepala dan selalu merasa paling benar; (8)
memberi sesuatu karena merasa malu dan merasa segan terhadap
kerabat/keluarga bila tidak, sehingga membuat seseorang selalu
berusaha; (9) saling menghargai dengan sesama, sehingga seorang
merasa dirinya wajib membantu dalam perekonomian keluarga; (10)
melakukan perlawanan demi membela harga diri; (11) gengsi (malu)
untuk berdagang atau menjadi pelayan. Konsekuensi dari sifat pi-il atau
harga diri ini mengakibatkan kuatnya hirarki kekuasaan dan pengaruh
dalam masyarakat Lampung, serta kegigihan meraih status atau prestise
dalam masyarakat.
38
Belajar Dari Alam
dengan musyawarah.
Bahasa Serawai sebenarnya termasuk rumpun bahasa Melayu
juga, namun lebih dekat dengan bahasa Pasemah. Dialeknya ada dua,
yaitu dialek Manna dan dialek Serawai. Pada zaman dahulu, suku
Serawai mengembangkan suatu aksara yang disebut tulisan ulu atau
tulisan rencong. Ini menunjukkan bahwa budaya literasi sudah
mengakar di Bengkulu sejak dahulu kala.
Strata sosial orang Serawai zaman lampau cukup tajam. Mereka
mengenal golongan tinggi yang terdiri dari pasirah, mangku, depati,
penghulu dan anak-anak mereka. Golongan kedua adalah kaum ulama,
cerdik pandai, dan pedagang besar. Kemudian baru golongan rakyat
biasa. Mirip pengkastaan di Bali, dan tatanorma masyarakat di Jawa.
Meskipun sekarang orang Serawai telah memeluk agama Islam, namun
sisa keyakinan aninisme masih ada. Hal itu terlihat dari upacara
anismisme yang masih dilaksanakan.
Alat musik tradisional orang Serawai adalah kelintang, reban,
rebab atau redab, suling, gendang, dan sebagainya. Alat-alat itu
dimainkan untuk mengiringi tari-tarian seperti tari Lelawan, Piring,
Kebayakan, Dang Kumbang, Ari Mabuk, Lagu Duo, Pedang, dan
sebagainya. Selain itu, mereka juga mengenal seni bertutur yang
disebut berejung, yaitu acara berbalas pantun antara orang muda.
39
Belajar Dari Alam
40
Belajar Dari Alam
“klapa”. Kata yang berakhiran huruf mati, dibaca sesuai huruf yang
ditulis, misalnya kata gaplek oleh dialek Jogya dan Solo dengan “k” halus
di bagian akhir, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca “gaplek”
dengan bunyi akhiran ‘k’ yang jelas.
Ciri keterbukaan dalam berbahasa ini (meninggalkan pakem
tatakrama inggil bahasa Jawa Jogyakarta dan Solo), mencerminkan sifat
terbuka, egaliter, dan kesederhanaan masyarakat Banyumas. Kecuali
itu, orang Banyumas juga menjunjung tinggi persaudaraan.Tuna sathak
bathi sanak, rugi sedikit asal untung dalam jalinan persaudaraan,
menjadi slogan yang dihayati bersama.
41
Belajar Dari Alam
42
Belajar Dari Alam
43
Belajar Dari Alam
khas kota Surabaya. Bahkan ciri khas tersebut sangat kental mewarnai
kehidupan pergaulan sehari-hari.
Karena keanekaragamannya, di Surabaya tidak dapat ditentukan
satu aturan pergaulan yang meninggikan yang satu dan merendahkan
yang lain. Itu sebabnya di Surabaya, bahasa dan cara pergaulannya sangat
terbuka dan egaliter. Setiap warga dapat dengan nyaman berterus
terang, tanpa khawatir menyinggung warga yang lain. Mereka juga
saling mengkritik dan menerima kritik dengan baik. Keterbukaan sifat
dan sikap Arek Suroboyo tidak hanya didasari pluralitas etnis
penghuninya, tetapi juga atmosfer geografisnya, yakni kota pelabuhan,
dagang, dan industri. Atmosfer yang terbentuk dari arus keluar masuk
orang dan barang di kota pelabuhan, pergaulan di dunia dagang dan
industri, menjadikan warga Surabaya terbuka dan tanpa tedeng aling-
aling (tanpa hambatan apapun) dalam berbicara.
Kesenian dan makanan khasnya juga mencerminkan pluralitas
tradisi dan budaya di Surabaya. Pengantin adat Surabaya, misalnya, tidak
akan mengenakan busana seperti pengantin Jawa Tengahan, melainkan
mengenakan gaun panjang warna putih (rok) ala Eropa dan
berkerudung (seperti Ning Surabaya). Di kampung-kampung di tengah
atau pinggiran Surabaya, masih dijumpa pengantin dengan adat
Surabaya yang khas seperti ini.
Tradisi dan gaya hidup yang berbeda dari tiap etnis atau suku
bangsa merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan atau pendatang
di Surabaya. Di beberapa kampung asli di Surabaya ada game
(permainan) yang khas, seperti Adu Doro, Musik Patrol, dan Manten Pegon.
Pemerintah Kota Surabaya juga melestarikan budaya dengan pemilihan
Cak dan Ning Surabaya, yaitu lelaki dan perempuan muda yang dianggap
merepresentasikan budaya Surabaya (salah satu ujian bagi kontestan
adalah berpidato menggunakan bahasa Suroboyoan, atau ngidung,
menyanyi gaya Suroboyo yang diselingi parikan, semacam pantun
jenaka).
Surabaya memiliki dialek khas bahasa Jawa yaitu Boso Suroboyoan.
Dialek itu dituturkan di daerah Surabaya dan sekitarnya, dan memiliki
pengaruh ke bagian timur Provinsi JawaTimur. Dialek Surabaya dikenal
44
Belajar Dari Alam
45
Belajar Dari Alam
46
Belajar Dari Alam
(perempuan).
Ditinjau dari arti etimologisnya, kata teng berasal dari kata anteng
yang artinya “ora kakehan polah” (tidak banyak tingkah) kata ger dari kata
seger yang artinya “krasa enak sumyah ngemu adhem tumrap pangrasa ilat
utawa badan” (terasa enak, dingin/sejuk untuk lidah dan badan). Makna
lebih dalamnya dilihat dari kenyataan keseharian adalah kelompok
masyarakat yang sederhana, mengutamakan ketenteraman dan
kedamaian, yang tinggal di tempat yang sejuk. Makna tersebut sesuai
dengan letak geografis, yakni daerah perbukitan, dengan sebagian besar
penduduk bermata pencaharian bertani, dalam suasana suhu udara
pegunungan yang segar.
Di samping melaksanakan agama Hindu, masyarakat Tengger
juga memegang teguh tradisi kejawen leluhurnya. Tradisi itulah yang
menjadikan masyarakat Tengger unik. Masyarakat Tengger sangat patuh
pada pimpinan yang disebut “dukun”, sesepuh yang diangkat oleh
masyarakat. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan “sabda pandita ratu”, yaitu
taat melaksanakan perintah pemimpin. Bila “dukun” telah bertitah
(memerintahkan sesuatu), rakyat wajib melaksanakannya. Umumnya
dukun memerintahkan pelaksanaan semua tradisi leluhur yang
diwariskan kepada mereka.
Kesadaran masyarakat Tengger tentang pentingnya pendidikan
dan pengetahuan mulai dirasakan pada akhir abad ke-20, yaitu dengan
masuknya wisatawan ke daerah Tengger. Para wisatawan secara tidak
langsung menanamkan pengetahuan pada masyarakat sehingga
pengetahuan masyarakat meningkat. Pengetahuan tersebut kemudian
menjadi motivasi masyarakat untuk belajar lebih jauh.
47
Belajar Dari Alam
48
Belajar Dari Alam
49
Belajar Dari Alam
50
Belajar Dari Alam
lagi, dikatakan cantik jika memiliki kulit yang putih. Hanya melihat satu
aspek, yaitu ’perempuan cantik’, masyarakat memiliki pandangan
berbeda. Perbedaan itu tentunya juga berkait dengan berbagai nilai
yang digunakan sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan keluarga
dan masyarakat.
Implementasi nilai toleransi dalam dunia pendidikan terwujud
dalam kebijakan pemerintah yang tidak mengizinkan sekolah eksklusif
(hanya menampung siswa dari etnis tertentu, misalnya khusus sekolah
anak-anak Tionghoa). Sekolah-sekolah di Singkawang pada umumnya
memiliki siswa yang sangat multikultur, multietnis: ada Tionghoa,
Dayak, Melayu, Madura, Batak, dan sebagainya. Demikian juga dengan
guru-guru, di kota ini banyak guru dari etnisTionghoa yang mengajar di
kelas yang sebagian besar siswanya dari etnis Melayu. Mengingat nilai
karakter juga bersumber dari ajaran agama dan norma atau nilai
masyarakat (baca: etnis), terkadang terjadi perbedaan antara ‘sesuatu
yang dikatakan baik’ menurut guru, dengan ‘sesuatu yang dikatakan
baik’ menurut ajaran orangtua siswa. Untuk mengatasi hal itu,
masyarakat Singkawang menjunjung tinggi toleransi. Hal tersebut
bersinergi dengan pepatah yang berkembang dalam masyarakat,
seperti, Duduk sama rendah berdiri sama tinggi, artinya, semua warga
masyarakat memiliki derajat yang sama.
Jika dicermati dari uraian di atas, terkait fungsi kebudayaan
sebagai blue print perilaku, dapat dikatakan bahwa berbagai etnis yang
ada di Singkawang memiliki pandangan yang sama. (1) Ada nilai-nilai
yang mengikat secara ketat untuk etnis itu sendiri, namun tidak berlaku
untuk etnis yang lain. Misalnya, ada pantangan untuk mengkonsumsi
atau melakukan sesuatu bagi orang China, Dayak, Melayu, dan
sebagainya, (2) Ada nilai-nilai yang digunakan sebagai pedoman
tingkah-laku yang mengikat anggota etnis tertentu, dan berlaku juga
bagi etnis yang lain. Misalnya, toleransi, kebersamaan, dan kedamaian.
Nilai-nilai ini dijunjung tinggi oleh semua etnis di Singkawang,
yang terwujud dalam adat dan tradisi yang dapat diterima oleh
masyarakat luas. Bagi penduduk Singkawang, nilai-nilai semacam ini
sangat penting, mengingat semua etnis yang menempati wilayah itu
51
Belajar Dari Alam
52
Belajar Dari Alam
53
Belajar Dari Alam
54
Belajar Dari Alam
55
Belajar Dari Alam
56
Belajar Dari Alam
57
Alam Takambang Jadi Guru
Artinya:
Tak adakah pasar di negerimu
Maka engkau mengembara jauh
Untuk berbelanja?
Di masyarakat Sulawesi Selatan ada beberapa sistem
kekerabatan.Yang pertama, keluarga inti atau keluarga batih. Keluarga
tersebut merupakan sistem keluarga yang terkecil. Dalam bahasa
58
Belajar Dari Alam
Bugis, sistem keluarga seperti itu dikenal dengan istilah sianang, yang
terdiri atas bapak, ibu, anak, saudara laki-laki bapak, atau ibu yang
belum menikah. Yang kedua, sepupu, yaitu kekerabatan yang terjadi
karena hubungan darah, baik dari pihak ibu maupun pihak bapak.
Kekerabatan yang disebut juga dengan istilah sompulolo ini terdiri atas
dua macam, yaitu sepupu dekat dan sepupu jauh. Sepupu dekat adalah
sepupu satu kali sampai tiga kali, sedangkan sepupu jauh adalah sepupu
empat kali sampai lima kali.
Pola ketiga adalah keturunan, yaitu kekerabatan yang terjadi
berdasarkan garis keturunan baik dari garis ayah maupun garis ibu.
Mereka biasanya tinggal di satu kampung. Terkadang ada juga keluarga
yang bertempat tinggal di daerah lain, biasanya karena jalinan/ikatan
perkawinan dengan seseorang yang bermukim di daerah tersebut. Bagi
masyarakat Bugis, kekerabatan semacam ini disebut Siwija. Yang
keempat adalah pertalian sepupu/persambungan keluarga.
Kekerabatan tersebut muncul setelah ada hubungan kawin antara
rumpun keluarga yang satu dan yang lain. Kedua rumpun keluarga
tersebut biasanya tidak memiliki pertalian keluarga sebelumnya,
namun kemudian kedua pihak saling menganggap pihak lain sebagai
keluarga sendiri. Hubungan itu disebut kekerabatan Siteppang-
teppang.
Kekerabatan keenam adalah Sikampong, yang terbangun karena
bermukim dalam satu kampung, sekalipun orang-orangnya sama sekali
tidak ada hubungan darah/keluarga. Perasaan akrab dan saling
menganggap saudara/keluarga muncul karena kesamaan pemukiman.
Biasanya hal itu dialami orang Bugis di perantauan. Dalam perantauan,
mereka saling menopang, membantu dalam segala hal karena merasa
senasib sepenanggungan.
Orang Bugis masih hidup dalam norma dan aturan yang
dianggap luhur dan keramat. Budaya Bugis menjunjung tinggi
kehormatan, yang tewujud dalam sistem sosial Sir’i na Pesse (menjaga
kehormatan diri). Tanpa kehormatan dan tanpa siri’ na pesse, mereka
menganggap tidak layak hidup sebagai manusia. Hidup tanpa
kehormatan bak hidup laiknya binatang. Bahkan mereka berprinsip
59
Belajar Dari Alam
60
Belajar Dari Alam
61
Belajar Dari Alam
62
Belajar Dari Alam
63
Belajar Dari Alam
64
Belajar Dari Alam
65
Belajar Dari Alam
Namun, bahwa adat dan hukum dapat dan selalu berubah sesuai
perkembangan zaman, para leluhur yang arif bijaksana sudah
memikirkannya. Hal itu diumpamakan dengan pepatah tentang
‘mengayuh biduk’ sebagai berikut.
66
Belajar Dari Alam
67
Belajar Dari Alam
68
Belajar Dari Alam
69
Belajar Dari Alam
tersebut memiliki wilayah daratan dan beberapa pulau kecil, antara lain
Pulau Besar, Pulau Sukun, dan Pulau Pananan. Topografis kabupaten
Sikka terdiri atas dataran rendah, pegunungan, dan pantai. Pesisir
pantai Utara Sikka dihuni suku Bajo yang berumah panggung di atas air.
M. Yamin (dalam Mandalangi, 2011:4) menerjemahkan nama
Pulau Flores sebagai Pulau Bunga yang berasal dari bahasa Latin flores,
berarti ‘bunga-bunga’, meniru sebutan bangsa Portugis. Dalam
pelayaran Antonio Pigafetta dan Magelhaens (Magellans) pada abad ke-
15, mereka menamakan Tanjung Flores Timur dengan Cabo de Flores
yakni Tanjung Bunga (S.M. Cabot 1544 dalam Mandalangi, 2011:4).
Selanjutnya, seluruh pulau ini dikenal sebagai Pulau Flores atau Pulau
Bunga atau Nusa Bunga, sesuai alam Pulau Flores yang indah. Di
Kabupaten Sikka terdapat gunung berapi, yaitu Iling-Api Egon(g). Pada
Zaman Purba, penduduk Sikka Krowe menyebutnya secara lengkap
dengan Iling-Api Egon(g) Mapitara. Menurut Oscar Pareira
Mandalangi (2011:5), mapitara berarti sama bengisnya ia dengan
Gunung Merapi yang ada di Pulau Jawa.
Suku yang dominan di Kabupaten Sikka ada 6 etnis, yaitu Ata
Sikka Krowe, Ata Lio-Krowe atau Ata Lio-Ma’umere, Ata Tana ‘Ai atau
Ata Sikka Tana ‘Ai, Ata Krowin Tana ‘Ai, Ata Mohan(g) atau Ata Sikka
Mohan(g),Ata Palu’e atau Ata Lu’a Kapa Raja, dan AtaTidong Bajo Lau.
Penduduk Kabupaten Sikka tersebar di 21 kecamatan. Konsentrasi
penduduk perkotaan ada di Kota Maumere dan kawasan Geliting di
Kewapante. Mayoritas penduduk Kabupaten Sikka beragama Katolik
(91%). Mulai 2005, wilayah Sikka menjadi keuskupan baru, yakni
keuskupan Maumere, yang berada di bawah Keuskupan Agung Ende.
Kawasan pesisir Utara cukup banyak dihuni oleh warga keturunan etnik
Tidung, Bajo, Bugis, Jawa danTionghoa.
70
Belajar Dari Alam
71
Belajar Dari Alam
72
Belajar Dari Alam
73
Belajar Dari Alam
74
Belajar Dari Alam
75
Karakter Siswa Indonesia
76
BAB 3
KARAKTER SISWA INDONESIA
Di Gorontalo, siswa dibiasakan membaca
10 menit sebelum jam pelajaran dimulai
siswa berasal dari kelas ekonomi menengah bawah. Siswa dari Suku
Bajo di Sulawesi, misalnya, rata-rata berasal dari keluarga tidak mampu
dan orangtuanya berpendidikan rendah. Bukan berarti siswa kelas atas
akan ‘lebih baik karakternya’ dibandingkan siswa dari kelas ekonomi yang
lebih rendah. Namun penggambaran latar belakang itu untuk
menunjukkan bahwa ‘potret karakter siswa yang baik’ merupakan hasil
penelitian yang berdasarkan sampel sekolah unggulan.
Namun, tidak perlu risau atas potensi kelemahan kajian ini,
karena dengan pertanyaan yang tidak langsung kepada siswa, ternyata
tidak semuanya baik-baik saja. Terutama, pada tataran
merasakan/menghayati nilai moral (moral feeling) dan melaksanakan
moral yang baik (moral action). Masalahnya kemudian menjadi, mengapa
demikian? Mengapa tidak ada keterhubungan antara moral knowing
dengan moral feeling dan moral action? Itulah yang dibahas dan
dipaparkan di bagian ini.
Untuk memperkuat temuan hasil observasi di sekolah yang
respondennya guru tersebut, ada upaya triangulasi dengan
melaksanakan diskusi terpandu yang dihadiri pihak sekolah (kepala
sekolah atau wakilnya), anggota Komite Sekolah, pengawas dan
pengamat pendidikan, anggota dewan pendidikan, budayawan, tetua
adat, anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan/atau wakil agama
lain setempat, dan banyak lagi unsur masyarakat lainnya. Dalam diskusi
terpandu, terungkap adat, tradisi, dan karakter yang masih dipegang
teguh oleh para siswa (yang diturunkan atau dibawa dari suku
bangsanya), serta adat, tradisi, dan karakter yang mulai pudar bahkan
ditinggalkan oleh para siswa.
Kajian ini mengacu pada empat nilai inti karakter siswa yang
dicanangkan dalam program pendidikan karakter nasional, yaitu jujur
(kejujuran), cerdas (kecerdasan), peduli (kepedulian), dan tangguh
(ketangguhan). Nilai jujur adalah nilai yang berkembang dalam diri
pribadi setiap siswa yang berasal dari olah hati (heart), sedangkan nilai
cerdas adalah nilai yang berkembang dalam diri pribadi yang berasal
dari olah pikir (head). Nilai peduli adalah nilai yang berkembang dari
hati sebagi akibat sentuhan seseorang secara sosial dengan orang lain.
77
Karakter Siswa Indonesia
78
Karakter Siswa Indonesia
79
Karakter Siswa Indonesia
80
Karakter Siswa Indonesia
situasi apapun.
8. Menghargai (Respect) : menghargai diri sendiri, orang lain
dan lingkungan, tahu adab (beradab), tidak melecehkan dan
menghina orang lain, tidak menilai orang lain sebelum
mengenalnya dengan baik.
9. Sikap berhemat (Thriftiness): hanya berbelanja untuk sesuatu
yang benar-benar diperlukan, tidak boros.
10.Keadaban (Civility, Manner): memiliki sifat dan sikap santun,
berlandaskan etika dan tata krama yang berterima di situasi
dan lingkungan apapun.
11.Patriotisme (Patriotism): cinta dan siap mengabdi pada negara
dan peduli pada pertahanan negara, rela berkorban demi
negara.
12.Demokratis (Democratic): menghargai pendapat orang lain,
toleran, terbuka, mengedepankan musyawarah untuk
mufakat, bilamana perlu melakukan pemungutan suara
(voting) untuk kepentingan rakyat, bukan semata-mata
kepentingan pribadi dan golongan, taat aturan main.
13.Ketepatan waktu (Punctuality, Sense ofTime): melakukan segala
sesuatu secara tepat, menghargai (tidak menyia-nyiakan)
waktu, tidak suka terlambat, bertindak efektif dan efisien.
14.Kelembutan Hati (Kind-heartedness): menomorduakan hak-
hak personal dan harapan-harapan pribadi, mengutamakan
melayani orang lain.
15.Rasa Humor (Sense of Humor): suka bercanda dan bermain-
main tanpa mengganggu orang lain, mudah tertawa, dan
berjiwa periang.
16.Kebanggaan (Pride): merasa puas dan bangga atas diri dan
hasil kerja yang baik.
17.Kebersamaan (Togetherness): perasaan kedekatan dan saling
mengasihi dalam kesatuan dengan orang lain, mampu
melakukan harmonisasi sumber daya yang dimiliki masing-
masing orang, mampu bekerjasama.
81
Karakter Siswa Indonesia
82
Karakter Siswa Indonesia
83
Karakter Siswa Indonesia
84
Karakter Siswa Indonesia
85
Karakter Siswa Indonesia
tulus hati, beriman, dan menghargai diri sendiri. Di lain sisi, setelah
berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat di luar lingkup
keluarganya, siswa mulai merasakan perlunya bersifat amanah dan
bersikap sportif, karena ada semacam sanksi sosial bila tidak
melaksanakannya. Apakah pengetahuan dan perasaan tersebut
kemudian diwujudkan dalam tindakan nyata (action) dalam kehidupan
sehari-hari? Nilai umumnya antara rendah dan moderat. Patut dicatat,
di tataran tindakan, nilai karakter tanggung jawab amat dominan
rendah. Hal itu dapat dimaknai bahwa siswa SD di Indonesia belum
mampu mempertanggungjawabkan tindakannya dengan baik. Nilai
amanah yang sudah dirasakan perlu, tampak mulai ditindaklanjuti
dengan tindakan nyata, walaupun belum optimal.
86
Karakter Siswa Indonesia
87
Karakter Siswa Indonesia
Nilai IntiTangguh
Keculai nilai karakter yakin (percaya diri), antisipatif, dan rajin,
pengetahuan siswa SD tentang nilai ketangguhan dan nilai turunannya
sebagian besar tinggi. Ketiga nilai yang rendah diketahui oleh para siswa
ini patut menjadi perhatian guru dan orangtua. Namun, di tataran
merasakan (moral feeling), kembali ditemukan hal yang bertolak
belakang. Seluruh nilai turunan dari nilai ketangguhan berada pada
tingkat yang rendah (kurang dirasakan) dan nilai sifat yakin, antisipatif,
rajin, yang paling rendah (hampir tidak dirasakan). Dalam tataran
tindakan nyata (moral action), setiap nilai turunan dari nilai ketangguhan
di tingkat rendah. Terletak pada garis lurus paling rendah -mulai dari
tataran pengetahuan, perasaan, sampai pada tindakan (action)- adalah
sifat yakin (percaya diri), antisipatif, dan rajin.
88
Karakter Siswa Indonesia
89
Karakter Siswa Indonesia
90
Karakter Siswa Indonesia
Nilai IntiTangguh
Pada tataran pengetahuan moral (moral knowing), pengetahuan
siswa SMP di Indonesia tentang nilai ketangguhan dan nilai turunannya
sebagian besar tinggi, kecuali nilai yakin (percaya diri), antisipatif, dan
rajin. Ketiga nilai yang rendah itu patut menjadi perhatian, apalagi hal
itu juga terjadi pada siswa SD. Keberlanjutan rendahnya pengetahuan
akan tiga nilai karakter tersebut dari jenjang SD ke SMP, perlu segera
dicarikan solusinya.
Apakah pengetahuan tentang moral yang baik itu juga dirasakan
kepentingannya oleh para siswa SMP? Lagi-lagi, ditemukan hal yang
bertolak belakang. Seluruh nilai turunan dari nilai ketangguhan berada
pada tingkat yang rendah. Sejalan dengan rendahnya moral knowing,
sifat yakin, antisipatif, dan rajin juga paling rendah dirasakan. Di tataran
tindakan nyata (moral action), setiap nilai turunan dari nilai
ketangguhan juga rendah. Terletak pada garis lurus yang rendah-mulai
dari tataran pengetahuan, perasaan, sampai pada tindakan (action)-
adalah nilai sifat yakin, antisipatif, dan rajin.
91
Karakter Siswa Indonesia
92
Karakter Siswa Indonesia
93
Karakter Siswa Indonesia
Nilai IntiTangguh
Pada umumnya pengetahuan siswa SMA tentang nilai
ketangguhan dan nilai turunannya adalah tinggi, kecuali pada nilai sifat
yakin, antisipatif, dan rajin. Ketiga nilai yang rendah ini patut menjadi
perhatian, karena membentuk suatu garis lurus di level rendah dengan
karakter siswa SD dan SMP. Hal tersebut berarti tidak ada
perkembangan yang positif dari nilai karakter yang masih dirasakan
kurang. Sementara itu, sesuai psikologi perkembangan usia siswa SMA,
nilai karakter yang dominan adalah keberanian dan suka berkompetisi
(kompetitif).
Namun, siswa SMA tidak sungguh-sungguh merasakan dan
menghayati pengetahuannya tentang nilai karakter yang baik. Kecuali
nilai ketegasan dan keberanian yang cukup tinggi, sebagian besar nilai
turunan dari nilai ketangguhan masih rendah, bahkan nilai sifat yakin,
antisipatif, dan rajin paling rendah. Selanjutnya, di tataran tindakan
nyata (moral action), kecuali nilai keberanian, umumnya penerapan nilai
turunan yang lain berada pada tingkat rendah.Terletak pada garis lurus
yang rendah mulai dari pengetahuan, perasaan, dan tindakan adalah
nilai sifat yakin, antisipatif, dan rajin. Patut dicatat bahwa karakter yang
paling menonjol di kalangan siswa SMA adalah berani. Menilik
hubungan pada aspek yang sama di tingkat SD dan SMP, perlu perhatian
ekstra dalam implementasi pendidikan karakter terkait rendahnya
sikap yakin, antisipatif, dan rajin.
94
Karakter Siswa Indonesia
95
Karakter Siswa Indonesia
96
Karakter Siswa Indonesia
Nilai IntiTangguh
Pengetahuan siswa SMK tentang nilai ketangguhan dan nilai
turunannya sebagian besar cukup tinggi, kecuali pada nilai daya upaya
(effort), sifat yakin, antisipatif, dan rajin. Ada hal yang menarik di sini.
Pada siswa SMK, pengetahuan tentang nilai daya upaya (effort) rendah,
padahal sifat pembelajaran mereka adalah menumbuhkan dan
membiasakan semangat berwirausaha. Secara umum, keempat nilai
yang rendah diketahui oleh siswa SMK ini patut menjadi perhatian.
Seluruh nilai turunan dari nilai ketangguhan, pada tataran
dirasakan atau dihayati, berada pada tingkat yang rendah. Penghayatan
akan sifat yakin, antisipatif, dan rajin paling rendah. Dalam tindakan
nyata (moral action), nilai ketangguhan dan nilai turunannya masih
rendah penerapannya.Terletak pada garis lurus yang rendah mulai dari
tataran pengetahuan, perasaan, dan tindakan (action) adalah nilai sifat
yakin, antisipatif, dan rajin.
97
Karakter Siswa Indonesia
98
Karakter Siswa Indonesia
lain dan memberikannya kepada guru kelas atau guru piket. Jika tanpa
sengaja siswa menyakiti hati temannya, mereka akan menuliskannya di
kartu dosa. Kartu-kartu itu dimasukkan ke dalam Kotak Kejujuran.
Selain itu, ada juga Kotak Barang Temuan untuk tempat
menyimpan barang-barang temuan, khususnya uang. Uang yang
terkumpul, jika tidak ada yang menyatakan sebagai pemiliknya setelah
diumumkan oleh guru beberapa kali, akhirnya akan diberikan kepada
fakir miskin, kaum duafa, anak yatim, dan mereka yang berhak
menurut tuntunan agama. Sifat loyal siswa ditunjukkan melalui
tanggung jawab dalam mengemban amanah. Misalnya, bila ditunjuk
untuk mengikuti lomba dalam rangka mewakili sekolahnya, mereka
akan berusaha semaksimalnya untuk memberikan kebanggaan sekolah
dan korpsnya.
99
Karakter Siswa Indonesia
mereka kepada teman. Bila ada teman yang sakit atau mengalami
musibah, mereka siap membantu. Tidak jarang mereka berinisiatif
mengumpulkan iuran untuk membantu teman yang membutuhkan.
Sikap peduli juga diterapkan dalam hal menjaga kebersihan lingkungan
kelasnya. Mereka merawat dan menjaga tanaman, memungut sampah,
menjalankan piket menghapus papan tulis, membersihkan kelas, dan
lain-lain.
Ketegasan siswa dalam bersikap umumnya ditunjukkan dengan
tetap melakukan tindakan yang benar, meski ada bisikan dari kawan
dekat untuk bersikap sebaliknya, yaitu berperilaku menyimpang.
Mereka sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak
baik. Sifat patriotisme biasanya tampak dari fakta bahwa mereka hafal
lagu-lagu daerah dan lagu-lagu nasional, dan penggunaan bahasa
Indonesia di sekolah, meskipun dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat mereka menggunakan bahasa daerah masing-masing.
100
Karakter Siswa Indonesia
101
Karakter Siswa Indonesia
102
Karakter Siswa Indonesia
103
Karakter Siswa Indonesia
104
Karakter Siswa Indonesia
105
Karakter Siswa Indonesia
106
Karakter Siswa Indonesia
107
Karakter Siswa Indonesia
yang berati baja (berhati baja). Kalau ada anak yang berani, dijuluki
atinye gede banget (hatinya/nyalinya amat besar).
108
Karakter Siswa Indonesia
109
Karakter Siswa Indonesia
110
Karakter Siswa Indonesia
dalam suatu tempat jika masih berguncang dan berbunyi, itu tanda tidak
penuh. Ungkapan tersebut senada dengan ungkapan dalam bahasa
Indonesia, tong kosong nyaring bunyinya.
111
Karakter Siswa Indonesia
112
Karakter Siswa Indonesia
113
Karakter Siswa Indonesia
114
Karakter Siswa Indonesia
115
Karakter Siswa Indonesia
116
Karakter Siswa Indonesia
117
Karakter Siswa Indonesia
118
Karakter Siswa Indonesia
kebaikan, seperti ungkapan belo rapovia belo rakava, baik dibuat, baik
didapat. Jika kebaikan diberikan kepada orang lain, kebaikan pula yang
diperoleh dari orang lain.
Kecuali itu mereka juga dibiasakan berpikir masak-masak
sebelum melakukan sesuatu, apa lagi jika sesuatu itu merugikan orang
lain. Taisi karo mboto ulu pade mantaisi koro ntau, beraki badan sendiri dulu
daripada memberaki badan orang lain. Jika mau berbuat sesuatu kepada
orang lain pertimbangkan masak-masak, coba terapkan pada diri
sendiri dahulu. Siswa Kaili pantang menggosip. Hal itu sesuai dengan
ungkapan, nompene ri vamba mbaso nanau ri vamba kodi, naik melalui pintu
besar turun melalui pintu kecil. Apabila menerima berita tentang aib
seseorang hendaknya jangan disebarluaskan kepada umum.
119
Karakter Siswa Indonesia
yang menjadi sarjana. Upaya itu akan menjadi kebanggan bagi suku dan
daerahnya.
120
Karakter Siswa Indonesia
ke permukaan.
Berbuat baik juga merupakan kewajiban. Ia decennge mabuang
tassanrama, kebaikan itu meskipun jatuh tersangkut juga. Kebaikan
mungkin tertutup oleh gelapnya keadaan. Namun tidak akan lenyap,
suatu saat akan tampak juga. Keyakinan akan kekuasaan Tuhan,
kekuasaan Allah Sang Maha Pencipta siswa Bugis amat tinggi. Hal itu
tergambarkan dalam ungkapan taroi telleng linoe, tellaing pesonaku ri
masagalae, biar dunia tenggelam, tidak akan berubah keyakinanku
kepadaTuhan.
Sayang sekali dengan pengaruh dari arus globalisasi, ditambah
tekanan ekonomi yang semakin menghimpit, terjadinya ketidakadilan
yang marak di sana-sini, falsafah siri’ terdistorsi menjadi mudah
tersinggung. Itulah yang menyebabkan maraknya tawuran antarpelajar
dan mahasiswa. Di Makassar, bahkan ada tawuran yang sampai
membakar kampus, fasilitas pendidikan yang seharusnya dihormati dan
dipelihara. Falsafah siri’ juga menanamkan sifat sulit memaafkan, sulit
menghapus kesalahan orang lain, bahkan ada yang berkembang menjadi
dendam.
Di lain sisi, semangat siri’ juga membuat siswa Bugis dan
Makassar giat dan bersemangat dalam belajar. Mereka kerap unggul
dalam olimpiade ilmiah tingkat nasional. Sayangnya, dalam hal nilai
kepedulian dan sikap toleransi, disampaikan oleh peserta diskusi
terpandu, bahwa saat ini kepekaan sosial para pelajar telah mulai luntur.
121
Karakter Siswa Indonesia
122
Karakter Siswa Indonesia
123
Karakter Siswa Indonesia
124
Karakter Siswa Indonesia
125
Karakter Siswa Indonesia
126
Karakter Siswa Indonesia
yang berbeda serta adat yang berbeda pula. Namun, karena Jayapura
adalah ibukota provinsi, dapat diyakini bahwa Jayapura merupakan
panci pelebur berbagai adat tersebut. Semua adat dan tradisi orang
Papua dapat dikatakan terwakili.
Secara umum, karakter siswa Papua hampir mirip dengan
karakter siswa di Indonesia lainnya (sampelnya adalah sekolah unggulan
di Papua). Namun ada juga karakter yang berlandaskan adat yang khas
daerah. Misalnya, adat untuk bekerjasama atau bergotong royong
tergambarkan dalam ungkapan nenggi kengi, artinya tanganku
tanganmu. Maknanya, dengan kerjasama antara dua tangan, pekerjaan
akan cepat selesai dan tuntas. Sementara itu, tentang pentingnya
pengetahuan, anak-anak Papua suka berkata ko tra kosong, yang
kepanjangannya ‘kita orang tidak kosong’, artinya: mereka memiliki
pengetahuan yang dapat diandalkan.
Ketangguhan siswa Papua bila belajar dengan sungguh-sungguh
dibuktikan oleh Novela Kristin Auparay, siswa Papua yang menjuarai
Olimpiade Sains Nasional (OSN) Fisika pada tahun 2011. Pada tahun
itu juga,. siswa-siswa SD di Papua berhasil membawa pulang 4 emas, 5
perak, dan 3 perunggu pada ajang Asian Science and Mathematics Olympiad
for Primary School yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia.
Olimpiade Sains dan Matematika tersebut diikuti oleh 131 peserta dari
Negara-negara di Asia.
Namun, di samping hal-hal yang positif tersebut, ada hal yang
patut dibenahi, yaitu masih banyak tawuran antarpelajar yang berbeda
sekolah, berkelahi dengan sesama teman di sekolah, sifat cepat marah
dan mudah tersinggung, perundungan senior terhadap yuniornya,
berani menantang guru, corat-coret tembok sekolah, kebiasaan
merokok di sekolah, maupun membolos. Bahkan, tidak sedikit siswa
yang saat pulang sekolah tidak segera pulang, tetapi bermabuk-
mabukan dengan teman satu “gang”nya. Itulah yang menjadi tantangan
pendidikan karakter, yaitu adat/tradisi turun temurun yang terlanjur
negatif dan tidak produktif.
127
128 BAB 4
STRATEGI PENDIDIKAN KARAKTER
129
Strategi Pendidikan Karakter
130
Strategi Pendidikan Karakter
131
Strategi Pendidikan Karakter
132
Strategi Pendidikan Karakter
133
Strategi Pendidikan Karakter
134
Strategi Pendidikan Karakter
135
Strategi Pendidikan Karakter
136
Strategi Pendidikan Karakter
137
Strategi Pendidikan Karakter
Tuhan,
Berilah saya seorang putra yang cukup kuat untuk menyadari bila ia sedang
lemah,
Dan cukup tabah untuk menghadapi dirinya sendiri kalau dia sedang takut,
Yang akan bangga dan tidak putus asa kalau kalah secara jujur,
dan rendah hati serta lembut dalam kemenangan
Berilah saya seorang putra yang hatinya jernih, dan cita-citanya tinggi,
Putra yang dapat mengendalikan dirinya sendiri sebelum mengendalikan orang
lain,
yang meraih masa depan tetapi tidak melupakan masa lalu
138
Strategi Pendidikan Karakter
Hari ini aku berkelahi. Aku yakin aku yang benar, tetapi
mungkin kawan yang kuajak berkelahi yang benar.Aku telah
saling memaafkan dengan dia, namun hari ini tercatat aku
telah melukai hati temanku.Maafkanlah aku teman,Tuhan
maafkanlah kami berdua, kami berjanji akan berteman
kembali dengan baik dan saling menyayangi.Amin.
139
Strategi Pendidikan Karakter
perhatian pada nafas. Bayangkan di hadapan kita ada sebuah cahaya. Cahaya
itu adalah cahaya kasih sayang yang datangnya dariTuhanYang Maha Esa”.
Melalui kata-katanya, guru mengingatkan bahwa belajar untuk
mencari ilmu, dan ilmu datangnya dari Tuhan YME (nilai religiusitas).
Dengan cara ini, ternyata terbentuk siswa yang memiliki keadaban yang
unggul, penuh kepedulian pada sesama, dan menghayati bahwa hidup
harus dihadapi dengan perjuangan. Kebetulan, meskipun ini sekolah
swasta unggul, para siswa umumnya berasal dari keluarga yang kurang
mampu. Biaya sekolah sepenuhnya gratis, dan siswa dapat makan siang
(karena full-day school). Untuk diketahui, sekolah gratis yang
bernafaskan Islam tersebut dibiayai oleh yayasan yang dimiliki oleh
Ram Punjabi (produser film dan sinetron, yang beragama Hindu).
Fakta ini saja sudah merupakan pembelajaran karakter tentang
kebersamaan dan kepedulian yang tidak pernah digembar-gemborkan,
tetapi langsung diwujudkan.
Selanjutnya, pendidikan karakter juga dapat diasah melalui
pembiasaan menulis kata-kata bijak karangan sendiri, yang dapat
menjadi motto hidup peserta didik. Sebelumnya, guru dapat
memberikan contoh kata bijak. John Adams, presiden kedua Amerika
Serikat, memiliki semboyan yang mendorong nilai kecerdasan, Let us
dare to read, think, speak, and write. Mari kita berani membaca, berpikir,
berbicara, dan menulis. Tentang pentingnya kegiatan menulis,
diinspirasikan oleh kalimat filsuf Inggris Francis Bacon, yakni Reading
maketh a full man, conference a ready man, and writing an exact man.
Membaca menciptakan manusia seutuhnya, konferensi (maksudnya
berdiskusi) membuat manusia siap, dan menulis menjadikan manusia
sejati. Di tanah air, ada motto sederhana seperti ini, yakni Hidup
hendaklah seperti seruling, lurus, sederhana, namun penuh dengan
lagu-lagu merdu.
Kata-kata bijak yang baik disarankan menjadi motto hidup siswa
sendiri, ditulis dan dicetak dengan baik, diberi pigura, dan
digantungkan di dinding kamar, dinding kelas, atau tempat lain yang
mudah dilihat.
140
Strategi Pendidikan Karakter
141
Strategi Pendidikan Karakter
Dongeng juga tidak harus dari kisah fiktif atau fantasi, tetapi
dapat tentang kepahlawanan dan perjuangan nyata. Kisah
perjuangan mencapai sukses dari seorang wirausaha yang berhasil,
terutama bagaimana dia mengalami jatuh bangun tetapi pantang
menyerah, sangat baik untuk mengilhami nilai daya juang. Cerita
tentang Thomas A. Edison yang sebelum menemukan bola lampu
listrik harus jatuh bangun dalam percobaan 1000 kali, adalah contoh
yang baik. Ajaklah siswa membayangkan, bagaimana kalau Edison
dulu menyerah saat gagal, betapa kelamnya dunia ini tanpa lampu
listrik. Hal itu mengajarkan penghargaan siswa pada penelitian dan
temuan ilmiah. Di Jawa Timur (Kota Lawang), pengusaha bakpao
telo (ubi jalar) menyampaikan bahwa usahanya baru berhasil setelah
mencoba lebih dari 100 kali. Hal tersebut memberi teladan tentang
kegigihan dan semangat kewirausahaan. Biografi Chairul Tanjung si
Anak Singkong, yang jatuh bangun berusaha sehingga ia mencapai
sukses dapat pula dipakai sebagai bahan ajar. Metode ini secara tidak
langsung juga “memaksa” guru untuk banyak membaca.
b. Metode Diskusi
Diskusi adalah pertukaran pikiran antara dua orang atau lebih,
dengan tujuan memperoleh kesamaan pandangan tentang suatu
masalah. Dalam ranah pembelajaran, ada dua macam diskusi, yaitu
diskusi seluruh kelas (whole class discussion) dan diskusi kelompok
(group discussion). Diskusi seluruh kelas biasanya dipandu oleh guru
sebagai pemimpin diskusi, yang didasari asumsi bahwa peserta
diskusi belum cukup dewasa, misalnya di kelas V atau kelas VI
Sekolah Dasar. Mulai SMP ke atas, pemimpin diskusi kelas sudah
layak dipercayakan kepada siswa sendiri.
Diskusi kelompok dapat dilakukan mulai dari kelompok dua
orang sampai sekitar 10 orang. Lebih dari jumlah itu, kelompoknya
terlalu besar dan akan mirip diskusi seluruh kelas. Para penganjur
pembelajaran kooperatif menyarankan, agar diskusi kelompok
efektif, anggota idealnya 4 orang saja. Guru memulai diskusi dengan
mengemukakan masalah nilai karakter, memberikan arahan
142
Strategi Pendidikan Karakter
c. MetodeTugas Membaca
Guru memberikan tugas kepada siswa untuk membaca di
perpustakaan sekolah atau sebagai pekerjaan rumah. Kemudian,
siswa meringkas dan mempresentasikan nilai-nilai karakter yang
menonjol dalam buku yang dibacanya. Bacaannya bisa berupa
biografi para pahlawan atau otobiografi seorang tokoh bangsa
(politisi maupun pengusaha, atau bahkan artis). Bahkan, siswa dapat
ditugasi membaca karya puisi atau novel, dan mengidentifikasi nilai-
nilai yang diungkap oleh pengarangnya. Novel berseri Harry Potter,
misalnya, dapat dianggap mengandung nilai karakter keberanian,
kegigihan, dan kesetiakawanan.
d. Metode Simulasi
Dalam pembelajaran, simulasi dilakukan agar peserta didik
memperoleh kecakapan tertentu, baik yang bersifat profesional
maupun yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Berkaitan
dengan pendidikan karakter, simulasi dapat dilakukan untuk
memperoleh pemahaman tentang suatu nilai, konsep, atau prinsip-
prinsip nilai karakter yang baik dan/atau untuk memecahkan
masalah yang relevan dengan nilai karakter.
Simulasi dapat berupa bermain peran (role playing) dan
sosiodrama. Melalui metode ini, siswa diberi pengalaman
memainkan karakter yang baik dan buruk. Selanjutnya, mereka
akan merefleksikan pengalaman tersebut, dan akan dapat
menentukan bagi dirinya sendiri, sesuatu yang sebaiknya dianut
dan dilakukan dalam kehidupan.
143
Strategi Pendidikan Karakter
144
Strategi Pendidikan Karakter
Kantin Kejujuran merupakan salah satu cara yang baik untuk memupuk
sifat amanah. Sikap sportif atau sportivitas memiliki kedekatan dengan
sifat amanah, keduanya merupakan turunan dari nilai inti jujur. Sportif
mengandung keterpaduan antara nilai jujur dan adil. Konotasi sportif
adalah yang mereka harapkan dilakukan orang lain terhadap mereka
sepadan dengan tindakan mereka terhadap orang lain. Jika nilai
tersebut tergerus dari karakter anak didik, kelak dia akan cenderung
tidak jujur, tidak adil, dan mau menang sendiri.
Siswa Indonesia dalam penelitian ditemukan kurang sportif.
Untuk membangun nilai sportif, pengkondisian dapat dilakukan
dengan kerap mengadakan pertandingan atau lomba, tidak lupa sikap
untuk siap menerima kekalahan dan kemenangan juga diajarkan.
Mochtar Lubis pernah menulis bahwa manusia Indonesia adalah
manusia yang enggan bertanggung jawab. Pendapat tersebut ternyata
sesuai dengan temuan penelitian ini. Sifat “lempar batu sembunyi tangan”
tampak berakar dari budaya Indonesia. Kehidupan politik Indonesia
saat ini pun menunjukkan hal itu. Saling tuding dan saling lempar
kesalahan adalah kebiasaan elit politik kita.
Tanggung jawab erat kaitannya dengan jiwa kepemimpinan.
Pembiasaan bertanggungjawab, latihan kepemimpinan, dan sikap
demokratis, dicontohkan dengan baik oleh sebuah sekolah TK
unggulan. Sebelum masuk kelas, semua anak harus berbaris rapi
dipimpin oleh seorang anak. Anak yang harus memimpin tersebut
dipilih sendiri oleh teman-temannya secara aklamasi dalam suasana
demokratis, dan tugas memimpin dilakukan bergantian setiap hari.
Pelajaran tentang tanggung jawab sekaligus mengembangkan
jiwa kewirausahaan dilakukan dengan menunjuk setiap kelas secara
bergiliran menjadi pemasok barang Kantin Kejujuran atau Koperasi
Sekolah. Jadi, pemasok barang di kantin atau Koperasi Sekolah bukan
perseorangan, misalnya guru, kepala sekolah, staf sekolah, melainkan
kelas. Hal tersebut memperkecil kemungkinan berbuat tidak jujur.
Dalam kaitan dengan nilai inti peduli, rendahnya sifat hemat
tampak konsisten mulai dari siswa SD, SMP sampai SMA/SMK.
Sebagai negara yang kaya sumber daya alam maupun manusia, air dan
145
Strategi Pendidikan Karakter
146
Strategi Pendidikan Karakter
147
148
BAB 5
CATATAN AKHIR
149
Catatan Akhir
150
Catatan Akhir
151
Catatan Akhir
tataran moral knowing, moral feeling, dan moral action adalah nilai kritis
dan kemandirian. Sementara itu, nilai yang secara rata-rata tinggi dan
linear dari SD, SMP ke SMA adalah nilai karakter disiplin diri. Artinya,
sudah ada kesadaran pada anak-anak sekolah dasar dan menengah untuk
belajar sebaik-baiknya.
Dari pertanyaan retorika yang menjadi judul Bab 1, Mengapa
Karakter?, dapat dipahami betapa krusialnya implementasi pendidikan
karakter bagi generasi muda penerus bangsa. Sebuah survai yang di-
release Mei 2012 mencatat bahwa lebih dari 30% remaja di kota-kota
besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan) terbiasa melakukan
hubungan seks pranikah. Hal itu agaknya sejalan dengan sinyalemen
sebagai hasil survei Ketua Komisi Perlindungan Anak A.M. Sirait,
Maret 2012, bahwa Indonesia merupakan negara terbesar nomor 3
sebagai pengguna situs porno. Walaupun keakuratan survei-survei
tersebut masih dapat diperdebatkan, tetapi paling tidak harus menjadi
perhatian semua rakyat Indonesia.
Senyampang laporan ini diselesaikan, banyak kasus kecurangan
yang dilakukan oleh elit politik divonis oleh pengadilan dengan
hukuman yang jauh dari rasa keadilan. Landasan laporan yang
kemudian diwujudkan dalam buku ini adalah asumsi bahwa karakter
seseorang dipengaruhi baik oleh aspek hereditas (nature) yang sudah
given dan aspek lingkungan (nurture). Dari wacana dan fenomena yang
terurai pada Bab 2, Berguru kepada Alam, tergambar kekayaan budaya
Indonesia. Itulah modal yang berlimpah dan berharga bagi para
pendidik untuk menerapkan pendidikan karakter dan membangun
karakter siswa Indonesia.
Sejalan dengan itu, patut juga diakui bahwa pada tataran moral
knowing yang mengembangkan aspek kognitif siswa, para siswa di
Indonesia telah banyak mengukir prestasi pada lomba sains tingkat
internasional. Namun, jika diamati lebih lanjut, para siswa yang
memenangi perhelatan olimpiade sains internasional tersebut
umumnya memang berasal dari sekolah-sekolah yang memiliki tradisi
disiplin tinggi. Di samping menerapkan kedisiplinan yang ketat,
sekolah-sekolah yang bersangkutan memang memfasilitasi dan
152
Catatan Akhir
153
Catatan Akhir
154
Catatan Akhir
pemerintah.
Kelima, mengingat kurang kuatnya nilai karakter kemandirian
pada siswa pendidikan dasar dan menengah, upaya Kemendikbud untuk
mengembangkan pendidikan kewirausahaan mulai tahun ajaran 2012-
2013 ini perlu didukung, namun jangan sampai mengulang kesalahan
implementasinya seperti di perguruan tinggi, pendidikan
kewirausahaan hanya bersifat teoretis dan kurang menyentuh sama
sekali tataran praktisnya.
Terakhir, penulis mengutip pandangan David Livermore
(2010) tentang 'senjata masa depan', yaitu Cultural Intelligence. Menurut
Livermore, kecerdasan budaya merupakan kunci sukses di era global,
saat orang-orang bergerak antarbangsa dan budaya. Secerdas apapun
seorang manajer, dan sebijaksana apapun dia (dengan IQ dan EQ yang
tinggi), dia akan gagal mengembangkan bisnisnya bila tidak memiliki
CQ atau cultural intelligence. Pendidikan karakter yang sedang
digalakkan oleh pemerintah Indonesia ini, tak pelak lagi, adalah sebuah
langkah tepat dan cerdik untuk menyiapkan anak-anak kita bersaing di
masa depan di era global.
Daftar Pustaka
155
Catatan Akhir
Iman Budhi Santosa. 2008. Budi Pekerti Bangsa. Yogyakarta: ARTI Bumi
Intaran.
156