Anda di halaman 1dari 162

978- 979- 028- 493- 7

Tim Penulis :
Yuni Sri Rahayu
Sarmini
Suyatno
Martadi
Muji Pras wi
FX Sri Sadewo
Anwar Holil
Haryanto
KATA PENGANTAR
01
Prof. Dr. Muchlas Samani
(Rektor Universitas Negeri Surabaya)

P ada Desember 2011 hingga Januari 2012, Universitas Negeri


Surabaya dipercaya oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melaksanakan
penelitian tentang karakter siswa se-Indonesia. Pekerjaan besar yang
mencakup 45 wilayah/provinsi di Indonesia itu dilaksanakan oleh 120
peneliti dari kalangan civitas akademika Universitas Negeri Surabaya
(dosen, mahasiswa, alumni, dan karyawan). Laporan lengkapnya telah
disampaikan ke Balitbang Kemendikbud, dengan judul Peta Profil
Variabel-variabel Karakter Bangsa Siswa-Siswi pada Pendidikan Dasar dan
Menengah. Laporan resmi dalam format dan kaidah ilmiah tersebut
tentu amat berguna sebagai dokumen negara dalam hal karakter
generasi muda dan pendidikan karakter se-Indonesia. Dokumen
tersebut dapat menjadi dasar pengembangan pendidikan karakter di
sekolah-sekolah.
Buku di tangan Anda ini merupakan versi populer dari laporan
tersebut, yang telah disusun ulang dan dirangkai dalam bahasa esai dan
gaya featuristik, dengan harapan dapat dibaca dan dipahami oleh
khalayak pembaca yang lebih luas. Ada motivasi dan misi khusus yang
terkandung dalam penulisan buku ini, yaitu keinginan civitas
akademika Universitas Negeri Surabaya untuk memberikan
persembahan yang bermakna bagi dunia pendidikan di Indonesia,
khususnya dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional dan Hari
Kebangkitan Nasional pada bulan Mei 2012.
Buku Jejak Budaya dalam Karakter Siswa Indonesia ini merupakan
rangkuman dari highlights (hal-hal yang menonjol) atas laporan
Kata Pengantar

Balitbang tersebut, berupa aksentuasi pada beberapa kasus dan atau


wilayah, serta diperkaya dengan sumber-sumber di luar hasil
penelitian. Buku ini banyak mengacu pada konsep Thomas Lickona,
seorang pemikir di bidang pengembangan pendidikan karakter. Dari
120 peneliti, tujuh orang menyediakan diri untuk menyusun buku versi
ilmiah popular ini, kemudian disunting oleh dua anggota tim yang
masing-masing bertugas menyunting isi dan bahasa.
Mengapa Unesa memilih mempersembahkan buku yang
berkaitan dengan pendidikan karakter dan karakter siswa ini kepada
bangsa Indonesia dalam rangka Hari Pendidikan dan Hari Kebangkitan
Nasionalnya? Hal itu bukan sekadar kelatahan atau ikut arus. Dalam
berbagai diskusi, baik secara internal di Unesa, maupun pada tataran
regional dan nasional, dirasakan ada sesuatu yang hilang dalam
implementasi pendidikan di Indonesia. Pendidikan formal yang
menjadi tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia telah disepakati,
sejalan dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17
Agustus 1945 bahkan tercantum dalam UUD 1945. Namun, ada
pertanyaan besar yang bergayut di atas plafon besar bangunan Negara
Kesatuan Republik Indonesia: sejauh manakah efektivitas implementasi
pendidikan di Indonesia? Sudahkah implementasi pendidikan di
Indonesia on the right track seperti yang diinginkan oleh para pendiri
bangsa (the founding fathers)? Pertanyaan semacam itulah, yang terus
mengusik benak kesadaran kita selaku pendidik, yang mungkin dijawab
oleh penelitian dan buku ini.
Demikianlah proses diterbitkannya buku ini, termasuk motivasi
dan misi di baliknya. Universitas Negeri Surabaya sangat menghargai
prakarsa Balitbang Kemendikbud untuk memetakan variabel profil
karakter siswa di seluruh Indonesia ini (dengan sampel). Unesa juga
merasakan perlunya membukukan buku hasil penelitian ini untuk dapat
mengilhami penerapan pendidikan karakter di sekolah dan mengilhami
upaya pengembangan konsep dan strategi pendidikan karakter bangsa.
Semoga buku ini dapat diterima tidak hanya di kalangan ilmuwan
kependidikan, tetapi juga di kalangan para praktisi pendidikan,
mahasiswa ilmu kependidikan, para orangtua, para pemimpin

2
Kata Pengantar

masyarakat, serta para birokrat dan pemangku kepentingan. Namun


tidak kalah penting dari itu semua adalah agar buku ini dibaca,
dipahami, dan dihayati oleh generasi muda kita. Banyak teladan yang
baik dari nilai-nilai budaya bangsa yang tertulis di buku ini, yang dapat
menjadi bekal mengarungi kehidupan masa depan.

Surabaya, Mei 2012

3
04
BAB 1
MENGAPA KARAKTER?
“Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter
(character building), karena character building inilah yang akan membuat
Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya, serta bermartabat.
Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan
menjadi bangsa kuli.”
(Soekarno, Presiden Republik Indonesia)

I tulah pesan moral founding father Indonesia, yang ternyata relevan


sampai sekarang. Itulah pula jawaban telak atas pertanyaan
menggelitik yang menjadi judul bab awal buku ini. Seluruh buku ini
akan menjawab pertanyaan pendek dan tajam itu. Namun, pernyataan
Soekarno ini adalah jiwa dari seluruh paparan dalam buku ini.
Ungkapan Bung Karno tersebut sejalan dengan pendapat
William Franklin Graham Jr.:

When wealth is lost, nothing is lost


When health is lost, something is lost
When character is lost, everything is lost

(Bila harta benda hilang, tidak ada yang hilang


Bila kesehatan hilang, ada sesuatu yang hilang
Bila karakter hilang, segalanya hilang)

Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia di tahun 1945,


Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia yang mendirikan
PerguruanTaman Siswa pada 3 Juli 1922, memikirkan hal yang sama. Ki
Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan sebagai 'daya upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intellect), dan tubuh anak. Komponen-komponen budi pekerti,
Mengapa Karakter?

pikiran, dan tubuh anak itu tidak boleh dipisah-pisahkan agar dapat
memajukan kesempurnaan hidup anak-anak'. Pernyataan itu dapat
dimaknai bahwa menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan karakter
merupakan bagian integral yang sangat penting dalam pendidikan
(Samani dan Hariyanto, 2011:33).
Sebelum membahas lebih jauh tentang pendidikan karakter,
harus dipahami terlebih dahulu makna 'karakter' yang akan menjadi
pokok perbincangan utama buku ini. Istilah karakter sering
dihubungkan dengan istilah etika, akhlak, moral, dan atau nilai, yang
berkonotasi positif, bukan netral, apalagi negatif. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008) menyebutkan, karakter merupakan sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, yang membedakan seseorang dari
yang lain. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa karakter adalah
nilai-nilai yang unik dan baik, yang terpateri dalam diri, dihayati, dan
diwujudkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
Karakter seseorang dipengaruhi faktor pembawaan (nature) dan
lingkungan (nurture). Samani dan Hariyanto (2011) memaknai karakter
sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, yang terbentuk
baik karena pengaruh hereditas (bawaan) maupun lingkungan, yang
membedakan seseorang dengan orang lain, dan diwujudkan dalam
sikap dan perilaku kehidupan sehari-hari. Faktor hereditas (bawaan)
yang “sudah dari sononya”, boleh dikata, berada di luar jangkauan
manusia untuk memengaruhinya. Sedangkan faktor lingkungan
merupakan faktor yang dapat dikembangkan melalui intervensi
individu dan masyarakat. Faktor lingkungan itu, dalam konteks
pendidikan karakter, memiliki peran yang teramat penting. Perubahan
perilaku peserta didik sebagai hasil proses pendidikan karakter amat
ditentukan oleh faktor lingkungan. Pembentukan dan rekayasa
lingkungan yang berkait dengan proses pendidikan karakter mencakup,
di antaranya, rekayasa terhadap lingkungan fisik, budaya sekolah,
manajemen sekolah, kurikulum, pendidik, dan seluruh warga sekolah,
serta strategi dan metode pembelajaran.
Sebagai sebuah konsep akademis, karakter memiliki makna
substantif dan proses psikologis yang sangat mendasar. Aristoteles

5
Mengapa Karakter?

memaknai karakter yang baik sebagai hidup dengan berperilaku baik


dan penuh kebajikan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pihak
lain (Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, dan alam lingkungan).
Karakter seseorang akan tercermin dalam sikap dan perilakunya.
Contohnya, seorang yang jujur, amanah (dapat dipercaya),
bertanggung jawab, berempati pada orang lain, suka menolong, dapat
dipastikan bahwa orang tersebut memiliki karakter yang luhur`dan
mulia. Karakter jelas erat kaitannya dengan nilai moralitas. Seseorang
dapat disebut berkarakter (a person of character) bila perilakunya sesuai
kaidah moral.
Dalam kaitan itu, pendidikan karakter dapat berjalan dengan
baik jika mampu mengajarkan aspek pengetahuan akan hal yang baik
(moral knowing), kemudian mengembangkan perasaan cinta atau
penghayatan terhadap hal yang baik (moral feeling), dan mampu
membangun kemampuan peserta didik untuk berperilaku baik (moral
action). Pertanyaannya kemudian adalah, “Apakah yang dimaksud
dengan pendidikan karakter dan bagaimana karakter
diimplementasikan?”
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan mendefinisikan pendidikan karakter sebagai
pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral,
pendidikan watak, yang bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk mengambil keputusan yang baik,
memelihara yang sudah baik, dan mewujudkan kebaikan tersebut
dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Badan Penelitian
dan Pengembangan Kementerian dan Pendidikan dan Kebudayaan,
2011). Pendidikan karakter yang efektif semestinya berlaku pada
seluruh warga sekolah, tidak hanya peserta didik. Atas asumsi itu,
Samani dan Hariyanto (2011:237) memaknai pendidikan karakter
sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah. Sistem itu meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, maupun bangsa, sehingga menjadi manusia sempurna atau

6
Mengapa Karakter?

insan kamil.
Pada masa orde lama, pendidikan karakter telah
diimplementasikan dengan nama pendidikan budi pekerti (antara lain
diatur dalam Kurikulum 1968). Namun, sejak Kurikulum 1974 sampai
dengan Kurikulum 1994 yang diterapkan di zaman orde baru,
pendidikan karakter atau budi pekerti tidak jelas lagi keberadaannya.
Sesungguhnya, pada tahun 1997, Direktorat Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu pernah
menginventarisasi sejumlah nilai-nilai budi pekerti luhur yang
seharusnya menjadi pedoman dalam membangun generasi muda
Indonesia. Sayang, nilai-nilai tersebut tidak pernah disosialisasikan ke
sekolah-sekolah, apalagi diterapkan. Ada kemungkinan, nilai-nilai budi
pekerti luhur itu belum sempat disosialisasikan karena setahun
kemudian, tahun 1998, orde baru runtuh.
Wacana tentang pendidikan karakter kemudian digalakkan
kembali sejak tahun 2010.Wacana tersebut mengikuti penegasan Pasal
3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yakni, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
TuhanYang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi,
esensi pendidikan nasional adalah pengembangan kemampuan
sekaligus kepribadian pembelajar dan pebelajar dalam situasi
pembelajaran yang demokratis, aktif, dan dua arah. Tujuan akhirnya
adalah pembentukan insan akademis yang pandai bersyukur, beriman,
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tekun beribadah sesuai
iman dan kepercayaan masing-masing, berakhlak mulia, berbudi
pekerti luhur, sehat jasmani dan rohaninya, berilmu dengan kuriositas
(kepenasaran intelektual, istilah Mendikbud Mohammad Nuh, Pen.) yang
tinggi, cakap dan terampil, menguasai hardskill, softskill, dan portable
skill, kreatif dan inovatif, mandiri, dan jauh dalam hatinya tertanam
sikap demokratis, terbuka, penuh toleransi.

7
Mengapa Karakter?

Lebih jauh dari itu, pendidikan juga diarahkan untuk


membentuk watak seluruh warga bangsa, yang pada gilirannya akan
mempertajam dan mempertegas jati diri bangsa. Warga bangsa
diharapkan memiliki kompetensi yang tinggi dan relevan dengan
kebutuhan perkembangan dunia, serta berwatak teguh, dinamis,
fleksibel dan adaptif, kokoh, visioner namun tetap memiliki keadaban
yang tinggi, terbuka, penuh sopan-santun dalam berkomunikasi, baik
dengan sesama warga bangsa maupun dalam perjumpaan dan
persentuhannya dengan bangsa lain.
Menilik catatan sejarah kependidikan bangsa Indonesia,
sebenarnya di atas kertas, tujuan pendidikan bangsa Indonesia sudah
sangat komprehensif dan memadai. Berbagai aspek kognitif, afektif,
dan psikomotorik telah diakomodasi. Namun, dengan melihat berbagai
fakta di Indonesia belakangan ini, patut pertanyakan lagi, “Apakah
implementasi pendidikan, khususnya pendidikan karakter, di Indonesia
telah berjalan menurut arah yang benar?” Di dunia pendidikan saja,
faktanya cukup memalukan. Di perguruan tinggi, plagiarisme,
mencontek, dan copy-paste sudah menjadi kebiasaan. Perilaku curang
alias tidak jujur itu bukan hanya oleh mahasiswa tingkat D3/S1, atau
mahasiswa S2, S3, tetapi ironisnya bahkan dilakukan oleh para dosen
bergelar doktor. Segala cara dilakukan untuk meraih predikat guru
besar.
Di kalangan pelajar dan mahasiswa, bukan hanya kebiasaan
mencontek yang menjadi penyakit utama. Di kota-kota besar seperti di
Jakarta, Bandung, Bogor, dan Makassar, tawuran antarsiswa atau
mahasiswa sudah biasa terjadi, dan tidak jarang menimbulkan korban
jiwa. Di kalangan akar rumput, tawuran antarsuporter sepak bola,
pengeroyokan di kalangan pecandu bola, terjadi di mana-mana, dan
hampir selalu ada korban yang tewas.
Siswa di Sekolah Dasar pun tidak luput dari peniruan akan
karakter buruk yang dicontohkan oleh senior (kakak kelas) maupun
masyarakat di sekitar mereka, bahkan oleh program televisi. Perilaku
bullying (pemalakan dan kekerasan, sekarang diberi istilah
perundungan) oleh siswa senior terhadap yuniornya atau pada siswa

8
Mengapa Karakter?

sekolah lain, banyak terjadi di sejumlah SMA dan SMK di kota besar,
bahkan di level Sekolah Dasar. Geng motor yang dahulu hanya ada di
Bandung telah menjamur di Jakarta dan kota-kota lain, dan mereka
selalu membawa nuansa kekerasan.
Secara umum, ada dua hal pokok yang berpotensi menjadi
penghambat implementasi pendidikan karakter, yaitu maraknya
korupsi oleh elit politik serta tawuran dan perkelahian antarkomponen
bangsa. Pita Bhinneka Tunggal Ika yang dikalungkan di leher burung
garuda telah robek dan terkoyak, dikoyak oleh tangan bangsa sendiri!
Ibu Pertiwi tidak saja merintih dan mengeluh, namun air matanya telah
kering terkuras habis. Garuda Pancasila nyaris lumpuh, sulit
mengepakkan sayap untuk terbang tinggi ke angkasa. Kinilah saatnya
untuk bangun dan bangkit kembali.
Khususnya di dunia pendidikan, saat ini perlu penegasan kembali
eksistensi dan implementasi character building. Pendidikan karakter
perlu digalakkan kembali dengan lebih sistematis, dan dilaksanakan
secara sinergis dan strategis. Indonesia telah ketinggalan jauh dalam
implementasi pendidikan karakter, dibandingkan dengan Amerika
Serikat, Kanada,Australia, Inggris dan Negara Persemakmuran lainnya
(Singapura, Hong Kong, Malaysia), serta China, Jepang, dan Korea.
Kita harus yakin dan meyakinkan bangsa ini bahwa knowledge is power, but
character is more!
Para pakar, ahli, dan pemerhati pendidikan –melalui berbagai
seminar dan diskusi- secara bersama-sama menegaskan perlunya
implementasi pendidikan karakter di Indonesia, dengan menggali
kembali, memilah, memilih, dan merumuskan nilai-nilai inti untuk
dikembangkan dalam pembelajaran dan pendidikan. Nilai-nilai inti itu
harus timbul dari aktivitas olah hati, olah pikir, olah rasa, dan karsa,
serta olah raga. Nilai inti dikembangkan untuk membangun watak
pribadi dan watak sosial, dua watak yang diperlukan dalam pergaulan
secara beradab dengan orang lain.
Pengembangan nilai inti pribadi diwujudkan melalui
pengembangan sikap jujur (terkait olah hati/heart) dan cerdas (terkait
olah pikir/head). Sedangkan pengembangan nilai inti sosial diarahkan

9
Mengapa Karakter?

pada pembentukan sikap peduli dan tangguh. Dari keempat nilai inti
tersebut dapat berkembang berbagai nilai turunan, yang dapat menjadi
indikator perolehan nilai-nilai inti tersebut dalam diri peserta didik. Ini
bisa di tataran kognitif (moral knowing), tataran afektif (moral feeling),
atau diwujudkan dalam tindakan (tataran psikomotor) berbasis moral
(moral action), seperti diungkapkan oleh Thomas Lickona. Temuan
penelitian dengan sampel peserta didik di seluruh Indonesia, dari
tingkat SD, SMP, sampai SMA/SMK, diharapkan dapat merupakan
representasi atau potret dari karakter warga bangsa Indonesia.
Dalam pembahasan mengenai karakter siswa Indonesia di bab-
bab selanjutnya, buku ini mengambil posisi awal pada fakta akan
keragaman budaya Indonesia dan kearifan lokal yang mewarnai
karakter dan jati diri para siswa. Dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor II Tahun 1998, kebudayaan nasional
dimaknai sebagai, “Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila
adalah perwujudan cipta, karya, dan karsa bangsa Indonesia dan
merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk
mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan
untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional
dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian
Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya”.
Secara umum, budaya didefinisikan sebagai suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang
(masyarakat, suku) dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan
politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya
seni. Budaya adalah suatu pola hidup yang menyeluruh, bersifat
kompleks, abstrak, dan luas. Dalam hubungan itu, banyak aspek budaya
yang ikut menentukan perilaku komunikatif.
Secara fitrah, bangsa Indonesia lahir dengan kebudayaan yang
beragam, yang merupakan rahmat dan karunia, asalkan pandai
mengelolanya. Keragaman budaya (cultural diversity) adalah keniscayaan
yang ada di bumi Indonesia. Masyarakat Indonesia dibangun dari
berbagai budaya ras dan suku bangsa, dan juga budaya yang bersifat

10
Mengapa Karakter?

kewilayahan, yang merupakan perjumpaan berbagai kelompok suku


yang ada di wilayah tersebut. Kondisi geografis dan topografis juga
dapat membentuk budaya yang khas, menimbulkan cabang-cabang atau
variasi budaya. Warna-warni budaya tersebut semakin kaya warna
tatkala timbul perjumpaan (encounter) dengan berbagai budaya asing
atau budaya asal para migran yang kemudian menetap sebagai warga
bangsa Indonesia. Kemampuan mengelola keanekaragaman budaya
tersebut dengan baik dapat memberikan nilai tambah bagi bangsa
Indonesia, lebih luas daripada sekadar komoditas pariwisata.
Kekayaan budaya umumnya berkaitan dengan produk
kebudayaan yang bermanifestasi ke dalam tiga hal, yaitu pengetahuan
budaya, perilaku atau praktik budaya, serta produk fisik kebudayaan
berupa artefak atau bangunan budaya. Itu semua wujud produk seni dan
sastra, tradisi, gaya hidup, sistem nilai, dan sistem kepercayaan.
Menurut UNESCO, hal-hal itu disebut ekspresi budaya (cultural
expression) yang mengacu pada makna simbolik, dimensi artistik, dan
nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya.
Dari temuan di lapangan (lokasi penelitian), terutama hasil
diskusi terpandu (guided discussion) dengan berbagai komponen
masyarakat termasuk pakar budaya, dapat dicatat produk budaya
berupa bangunan rumah, tarian, lagu, musik, alat musik, seni patung,
pakaian, dan sejumlah karya sastra/tulisan. Rumah adat yang khas,
misalnya, dijumpai di Padang (rumah gadang), Toraja, Papua (honai),
Jawa Tengah (joglo), Sulawesi Utara (rumah panggung), Kalimantan
Barat (rumah betang), dan lain-lain. Proses pembangunan dan bentuk
rumahnya mencerminkan kearifan lokal yang dimiliki setiap suku
bangsa, yang umumnya dipengaruhi karakteristik lingkungan
setempat.
Budaya dalam bentuk tarian juga ada, seperti Tari Bedaya (Jawa
Tengah), Reog dan Remo (Jawa Timur), Kuda Lumping serta Jaipong
(Jawa Barat), Yapong (DKI Jakarta), Kecak dan Barong (Bali), Saman
dan Seudati (Aceh), Cakalele (Maluku), Tari Piring, Tari Payung, dan
Tari Lilin (Sumatra Barat),Tortor (Sumatra Utara),Tari Pakarenna dan
Tari Anging Mamiri (Sulawesi Selatan), Zapin dan Serampang Dua

11
Mengapa Karakter?

Belas (Riau),Tari Sembah (Lampung), dan lain-lain.


Lagu khas daerah misalnya Kicir-kicir dan Jali-jali (Jakarta),
Bubuy Bulan dan Manuk Dadali (Jawa Barat), Rasa Sayange, Ayo Mama,
Buka Pintu (Maluku), Soleram, Tanjung Katung (Melayu), Kampuang
nan Jauh di Mato, Ayam den Lapeh (Minangkabau), Bungong Jeumpa
(Aceh), Ampar-ampar Pisang, Paris Barantai (Kalimantan Selatan),
Anak Kambing Saya, Potong Bebek (NTT),Anging Mamiri (Makassar),
Anjuau, Butet, Lisoi, Dago Inang Sage (Batak, Sumatra Utara), Injit-
injit Semut (Jambi), Cik-cik Periuk (Kalimantan Barat), Dek Sangko,
Gending Sriwijaya (Sumatra Selatan), Gambang Suling, Ilir-ilir (Jawa
Tengah dan Jawa Timur), Mejangeran (Bali), O Ina Ni Keke (Sulawesi
Utara), Mande-mande (Maluku), Apuse dan Yambe Rambe Yamko
(Papua), dan masih banyak lagi yang lain. Semua pada umumnya
menggambarkan keindahan alam, melukiskan budaya, atau karakter
suku bangsa yang bersangkutan.
Alat musik yang khas dari daerah antara lain angklung (Jawa
Barat, sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya yang khas
Indonesia), gamelan (Jawa), sasando (NTT), gendang Bali, kulintang
(Sulawesi Utara), dan sebagainya. Seni patung yang terkenal adalah
ukiran Bali, ukiranYogyakarta, patung Asmat (Papua), ukiran Trowulan
Mojokerto Jawa Timur, dan lainnya. Pakaian khas daerah misalnya batik
(Jawa), sasirangan (Kalimantan Selatan), ulos (Sumatra Utara), songket
(Sumatra Selatan dan Bengkulu), tapis (Lampung) tenun ikat (NTT),
baju bodo (Sulawesi Selatan). Di ranah kuliner terdapat ratusan kuliner
yang berkembang sangat bervariasi di seluruh Nusantara. Seni teater
tradisonal dan tontonan yang menjadi ciri khas daerah antara lain
wayang golek di Jawa Barat, wayang kulit dan wayang orang di Jawa
Tengah dan JawaTimur, wayang Bali di Bali, wayang gong di Kalimantan
Barat, dan lain-lain. Dalam pertunjukan wayang, banyak petuah atau
pepatah petitih yang mengandung nilai luhur, yang merupakan
perwujudan nilai-nilai karakter yang khas di daerah setempat.
Kearifan lokal (local wisdom) yang juga banyak terkandung dalam
produk budaya kesenian sejatinya bermakna 'usaha manusia dengan
menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap

12
Mengapa Karakter?

sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu'.


Kearifan lokal masyarakat Simeulue (di Aceh) berupa cerita turun
temurun yang disebut nafi-nafi, memberikan peringatan pada warga
Aceh tentang bahaya smong/tsunami.
Karena kerap mendengar pitutur kearifan lokal perihal tsunami
itulah, hanya sedikit penduduk Simeulue yang tewas saat tsunami yang
sesungguhnya melanda Aceh pada tahun 2004 lalu. Kearifan lokal
umumnya berkaitan dengan pemaknaan manusia terhadap peristiwa
alam serta cara manusia setempat dalam mengelola dan menyikapi
alam. Kearifan lokal berupa sistem subak di Bali menyebabkan tataguna
air efisien dan sumber daya air terlestarikan. Kearifan lokal masyarakat
suku Bajo di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dalam membaca
tanda-tanda alam, seperti gerak gugusan bintang atau gerak permukaan
laut, menyebabkan mereka dapat hidup sebagai pelaut yang tangguh.
Kearifan lokal pada hakikatnya menggambarkan usaha masyarakat
setempat memaknai, menyikapi, dan mengelola alam.
Buku ini tidak akan mengungkapkan seluruh hasil penelitian,
dengan tujuan keterbacaan yang lebih tinggi dan luas. Universitas
Negeri Surabaya bermaksud menjadikan laporan hasil penelitian yang
amat tebal, lengkap, dan komprehesif itu beberapa seri buku tentang
karakter siswa di Indonesia.
Pada tahap pertama ini, wilayah yang akan diungkap nilai
karakter siswanya adalah Sumatra (Aceh, Sumatra Utara/Batak,
Padang/Minangkabau, Melayu Palembang, Abung Lampung, dan
Serawai Bengkulu); Jawa (Betawi, Banyumas, Samin yang merupakan
perjumpaan kultur tradisional kejawen dan kultur Islam, Ngawi sebagai
representasi budaya Mataraman, Surabaya dengan budaya Arek-nya,
serta wilayah/budaya Tengger yang merupakan perjumpaan kultur
tradisional Jawa dan Hindu. Di luar Jawa dan Sumatera, ada wilayah
NTB (budaya Suku Samawa), NTT (Sikka dan Kupang), Kalimantan
Timur (kultur Kutai Kertanegara), Kalimantan Barat (budaya
Singkawang yang pengaruh tradisional Tionghoa sangat kuat),
Kalimantan Selatan (budaya Banjarmasin), Sulawesi Selatan (diwakili
tradisi budaya Bugis dan Makassar), SulawesiTengah (Buton, Bajo, serta

13
Mengapa Karakter?

Kaili), dan Sulawesi Utara (budaya Gorontalo dan Minahasa) di


Sulawesi Utara. Sementara itu, ras Melanesia diwakili oleh budaya
Ambon (Maluku) dan Papua.
Data yang dipergunakan untuk menyusun buku ini diperoleh
dari hasil wawancara para peneliti dengan para responden yang
merupakan guru atau kepala sekolah di sekolah sasaran. Jadi, karakter
siswa tidak hanya diamati langsung oleh para peneliti, namun terutama
yang telah diamati selama sekian tahun oleh para guru/kepala sekolah.
Kecuali itu, data juga diperoleh dari daftar cek berupa format isian yang
harus ditanyakan pada responden dan dicatat jawabannya oleh peneliti.
Peneliti juga melakukan pengamatan langsung terhadap kondisi sekolah
dan aktivitas pembelajaran di sebagian besar sekolah sampel. Dari sini,
diketahui spanduk atau poster-poster yang menganjurkan kejujuran,
kepedulian, ketangguhan, dan kecerdasan. Juga, interaksi antarsiswa,
atau antara siswa dengan warga sekolah lainnya diketahui peneliti.
Sebagai penguat, dilakukan pula diskusi terpandu bersama para
wakil guru, kepala sekolah, anggota komite sekolah, pakar budaya,
pakar adat, dan ahli agama setempat, untuk memperoleh data dasar
tentang nilai-nilai karakter masyarakat setempat. Dari diskusi terpandu
dengan berbagai pihak tersebut, terekam nilai-nilai karakter
masyarakat yang tetap dipegang teguh oleh para siswa dan juga
terpantau nilai-nilai karakter yang mulai ditinggalkan. Di tiap daerah
yang dikunjungi, dipilih satu SD, satu SMP, satu SMA, dan satu SMK
sebagai sampel, yang penentuannya atas saran dan kewenangan Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan setempat.
Secara umum, dari hasil temuan di sekolah-sekolah sasaran,
mulai dari SD, SMP, sampai SMA/SMK, nilai karakter yang
berkembang dapat dikatakan memang sangat bervariasi. Jika laporan
penelitian yang disampaikan kepada Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berfokus
pada bagaimana dan apa variabel nilai-nilai berkembang di setiap
tingkat satuan pendidikan di seluruh daerah di Indonesia, buku ini lebih
berfokus pada nilai-nilai karakter dalam diri peserta didik, bagaimana
nilai-nilai karakter khas di wilayah tersebut, serta bagaimana nilai-nilai

13
Mengapa Karakter?

karakter khas tersebut diimplementasikan secara umum di sekolah.


Memang, dengan demikian agak rumit mengelola data dan
mengolahnya menjadi suatu sajian yang comprehensible (mudah
dipahami). Para peneliti utama (yang juga penulis buku ini) harus
mencermati nilai-nilai budaya yang berkembang di seluruh satuan
pendidikan di setiap daerah penelitian. Sementara itu, data yang
tersedia lebih banyak tentang nilai-nilai karakter siswa di setiap satuan
pendidikan di daerah termaksud. Namun, dalam diskusi terpandu di
setiap daerah, muncul nilai-nilai karakter yang khas, yang berkembang
dan menjadi ciri budaya masing-masing daerah. Data inilah (data hasil
diskusi terpandu) yang terutama digunakan sebagai bahan dasar
penyusunan buku ini, di samping acuan lain yang berkaitan.

15
16
BAB 2
BELAJAR DARI ALAM

N atura magistra, bahasa Latin, yang berarti bahwa alam adalah guru.
Sophocles dan Plato adalah sedikit dari filsuf Yunani yang
meyakini falsafah tersebut. Belajarlah kepada alam, karena alam
takambang jadi guru, alam berkembang menjadi guru. Bila tidak ada
manusia yang menjadi guru, belajarlah kepada apa saja di sekitarmu.
Falsafah semacam itulah yang dipercayai oleh para guru di Kota Padang
yang diwawancarai oleh peneliti sebagai fondasi nilai kecerdasan suku
bangsa Minangkabau.
Mengapa kemudian berkembang sebagai pepatah bahasa Melayu
Minangkabau dapat dimaklumi? Banyak ilmuwan Muslim seperti Ibnu
Sina (Avicenna), Ibnu Rusdi (Averroes) yang mendalami kajian filsafat
bangsa Yunani, mendapati hikmahnya. Karena falsafah tersebut sesuai
dengan perintah Allah agar kaum muslimin mau mencari ayat-ayat
kauniyah (bukti-bukti kekuasaan Allah) di alam, ajaran itu melekat
dalam ajaran Islam. Sehingga konsep alam terkembang menjadi guru
juga diimplementasikan di Aceh maupun di Sulawesi Selatan. Nilai
ajaran seperti itu diturunkan, diimplementasikan, dan dikembangkan
turun-temurun.
Itulah sekadar contoh bahwa nilai karakter siswa setempat
ternyata selalu berkaitan dengan nilai-nilai budaya dan tradisi suku
bangsanya. Hal tersebut menunjukkan besarnya pengaruh hereditas
(bawaan, turunan). Meskipun demikian, tidak sedikit fakta
menunjukkan banyak anak muda sekarang yang menyimpang atau
berubah karakternya dari karakter leluhur atau suku bangsanya. Sejalan
dengan itu, banyak ahli menimpakan kesalahan itu pada pengaruh
lingkungan, bahkan juga karena (kurang efektifnya) pendidikan.
Sejak psikologi gestalt (teori psikologi yang menggabungkan
Belajar Dari Alam

berbagai aspek dalam proses pertumbuhan manusia) dikembangkan


oleh Marx Wertheimer, tidak ada lagi polarisasi antara kutub pewarisan
sifat (nature/hereditas) dengan kutub pengaruh lingkungan, sosial
maupun alam (nurture), karena keduanya telah menyatu. Karena sifat
yang diturunkan/diwariskan orangtua itu sudah given (tak dapat
ditolak/diubah), dalam buku ini hanya akan diperbincangkan pengaruh
lingkungan sosial budaya dan lingkungan alam.
Berkait dengan pengaruh lingkungan alam, didapati fakta bahwa
di daerah yang secara geografis sulit untuk hidup (bergunung, berbukit,
daerah tandus, dataran yang dikitari laut), muncul karakter berani,
tangguh, serta cenderung berwatak keras. Hal itu tampak dalam
karakter orang Batak, Madura, Bugis dan Makassar, Buton, Maluku,
dan Papua. Namun selalu ada perkecualian, orang Sunda yang alamnya
juga dianggap sulit, berkarakter lembut (dalam buku ini wilayah
Pasundan dan orang Sunda tidak termasuk dalam pembahasan). Orang
Bajo yang tinggal di laut juga ditengarai tidak bersifat keras, walaupun
tetap tangguh dan berani mengarungi samudera luas.
Dari pergumulan manusia dengan alam dan lingkungan,
diperoleh ilmu untuk menjalani kehidupan. Dari peribahasa
Minangkabau alam takambang jadi guru, atau alam terkembang (siap)
menjadi guru, diperoleh hikmah dari observasi terhadap alam.
Sebenarnya seperti yang diungkapkan di atas, hal itu tidak autentik
tradisi Minangkabau, namun berakar dari tradisi Islam, yang
menganjurkan manusia mendalami ayat kauniyah, yaitu firman tentang
bukti-bukti kekuasaan Allah yang terserak di alam semesta.
Jika membincangkan karakter siswa mulai dari sebelah barat
wilayah Indonesia menuju ke timur, secara umum dapat dikatakan
bahwa karakter siswa di Aceh terbangun berdasarkan budaya Melayu
dan budaya Islam (sesuai julukan Aceh sebagai Serambi Mekah).
Pembahasan mengenai karakter siswa Aceh dan siswa dari wilayah lain
dilakukan dengan mengacu pada nilai inti cerdas, jujur, peduli, dan
tangguh. Nilai inti cerdas dan tangguh siswa Aceh pada umumnya
berada di atas rata-rata. Nilai inti cerdas tersebut mudah dikembangkan
karena mencari ilmu merupakan hal yang wajib dilakukan, sesuai

17
Belajar Dari Alam

tuntunan agama Islam (thalabul ilmi faridhatun ala kulli muslimin wal
muslimat, menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi muslimin dan
muslimat). Ketangguhan siswa Aceh berkaitan dengan sifat militan dan
loyalitasnya pada orang yang diakui sebagai pemimpin. Nilai inti jujur
dan peduli siswa Aceh berada pada tingkat rata-rata, setara dengan siswa
di suku bangsa yang lain di Indonesia.
Suku Batak di Sumatera Utara lebih menekankan pada nilai inti
cerdas, tangguh, dan peduli, sementara nilai inti jujur berada pada level
rata-rata seperti halnya suku bangsa lain di Indonesia. Nilai peduli
berkembang secara khas di Batak, karena adanya falsafah dalihan na tolu
(tungku berkaki tiga), yang bermakna ‘kekerabatan dalam marga
merupakan tali yang mengikat saudara semarga (dongan sabutuha)’.
Falsafah ini kemudian berkembang pada ikatan persaudaraan sesuku,
lebih luas dari semarga. Dari sini, berkembang nilai-nilai karakter
seimbang, harmonis, rasa solidaritas, rendah hati (humble), dan rasa
ingin mewujudkan kasih sayang (olong). Dengan falsafah dalihan na tolu,
kebiasaan musyawarah dan demokrasi dipupuk dan dikembangkan.
Meskipun orang Batak dikenal bersifat terbuka dan bersuara keras,
musyawarah dan demokrasi dijalankan dengan penuh kesantunan. Hal
itu dilandasi falsafah yang lain lagi, tetapi melengkapi, yakni “pangkuling
do situan na denggan” (budi bahasa yang baik sangat penting dalam
bermasyarakat).
Budaya Melayu hidup dan berkembang di sebagian besar wilayah
Sumatera seperti Palembang, Riau, Jambi, dan di sebagian pulau
Kalimantan. Di sini, akan disoroti budaya Melayu Palembang yang
tercerminkan dalam karakter para siswanya. Nilai inti cerdas dan
tangguh sudah dimiliki sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, dan diwariskan
dari generasi ke generasi. Keturunan Sriwijaya terbiasa menaklukkan
laut, mengalahkan musuh, dan mengembangkan daerah koloni.
Ketangguhan, keberanian, dan militansi, sebagai warisan budaya,
terlihat dalam diri para siswa di Palembang. Untuk berlayar
mengarungi lautan dan menempuh gelombang diperlukan kecerdasan
dalam membaca tanda-tanda alam seperti bintang, arah angin, cuaca,
dan sebagainya. Jejak budaya Melayu juga terlacak dari diri siswa di

18
Belajar Dari Alam

daerah Lampung, yang orangtuanya berlatar belakang budaya Abung,


maupun para siswa di Bengkulu yang berlatar belakang budaya Serawai.
Sementara di Jawa, para siswa di kota Bekasi yang
merepresentasikan suku Betawi, ternyata juga memiliki serpihan darah
suku bangsa Melayu Muda. Mereka memiliki dan mengembangkan
nilai inti cerdas melalui berbagai ungkapan seperti makan sekolahan
(anak muda berpendidikan), akal kancil (cerdik), dan sebagainya. Nilai
inti peduli ditumbuhkan dengan ungkapan baik ati (berbaik hati),
ngambil peduli (peduli pada orang lain), dan lain-lain. Sementara itu nilai
inti tangguh dalam menghadapi kehidupan terdapat dalam pepatah
mereka ngebanting tulang (membanting tulang = bekerja keras).
Siswa di Banyumas merepresentasikan karakter ngapak (dari
ucapan mereka yang selalu berakhiran –ak) yang memiliki sifat terbuka
atau berterus terang, cablaka atau blakasuta (apa adanya).Artinya, dalam
budaya Banyumasan, kejujuran dijunjung tinggi. Sementara itu, orang
Samin di Jawa Timur, tepatnya di daerah Bojonegoro, dipengaruhi
tradisi Jawa kuno dan tradisi Islam, selain budaya utama yang
diturunkan dan dikembangkan oleh tokoh mereka Ki Samin
Surosentika. Yang menonjol pada siswa dari budaya Samin adalah
kejujuran, keluguan, serta kesederhanaan mereka. Mereka juga
pemurah, yang menunjukkan tingginya nilai peduli. Dari wilayah
Ngawi diperoleh temuan bahwa nilai peduli dikembangkan siswa
dengan baik, sedangkan nilai inti jujur, cerdas, dan tangguh sama
tingkatannya dengan siswa dari wilayah lain di Indonesia. Penghargaan
terhadap pluralitas amat dijunjung tinggi baik di Banyumas maupun
Ngawi, mereka meyakini bahwa desa mawa cara, negara mawa tata, setiap
desa memiliki adat tersendiri, setiap negara memiliki hukum sendiri,
yang harus dijunjung tinggi.
Siswa di Surabaya bersikap terbuka, jujur, apa adanya (opo onoke).
Semboyan kalah cacak menang cacak (kalah menang, coba saja),
menggambarkan semangat untuk mencoba apapun, tidak peduli akan
kalah/gagal atau menang/berhasil. Sifat tidak gentar terhadap apapun
itu dilambangkan dalam ikan Sura dan Buaya (Boyo), yang artinya
berani menghadapi bahaya. Kini, nilai ketangguhan dan keberanian itu

19
Belajar Dari Alam

lebih banyak tercermin dalam Bonek (Bondo Nekad = bermodal tekad


semata), julukan pada suporter sepak bola yang kerap mengganggu
masyarakat dan lingkungan. Dalam Perang 10 November 1945,
semboyan arek Suroboyo berhasil mengusir penjajah dengan semboyan
rawe-rawe rantas, malang-malang putung yang menunjukkan
ketangguhan dan keberanian (arti harfiahnya: membabat dan
memberantas semua penghalang).
Para siswa dari Suku Tengger dipengaruhi oleh nilai budaya Jawa
dan nilai budaya Hindu. Nilai inti peduli terbangun dengan baik karena
rasa kebersamaan sebagai bagian dari masyarakat yang dianggap asing di
pulau Jawa–wilayah mereka dikelilingi budaya Islam, sementara
mereka adalah keturunan (dan pelarian) dari Kerajaan Majapahit yang
Hindu. Sementara itu wilayah yang bergunung-gunung telah
menggembleng mereka menjadi manusia yang tangguh. Ketangguhan
yang diturunkan pada generasi muda tampak dari kemampuan para
siswa berjalan kaki ke sekolah menempuh jarak yang jauh tanpa
mangeluh.
Siswa yang berasal dari kultur Kutai di Kalimantan Timur
tampak kuat pada nilai inti peduli, karena adat budaya mereka yang suka
berkumpul bersama. Kota Singkawang di Kalimantan Barat merupakan
tempat yang khas karena banyak dihuni etnis Tionghoa. Nilai inti peduli
tertanam kuat karena rasa sepenanggungan sebagai warga keturunan
dan migran. Faktor tersebut juga memperkuat bangunan nilai inti
tangguh. Mereka siap bekerja apa saja untuk mempertahankan hidup.
Karakter siswa NTB diwakili oleh para siswa di wilayah
Sumbawa Besar, yang merupakan representasi dari budaya Samawa.
Karakter tersebut merupakan sinkretisme antara budaya tradisional
setempat dengan budaya Islam pendatang. Para siswanya memiliki ciri-
ciri berani dan tangguh, sementara nilai inti cerdas bervariasi karena
pengaruh ketersediaan infrastruktur. Di provinsi ini, semakin menuju
ke pusat kota, yang lebih lengkap fasilitas pendidikannya dan lebih
mudah aksesnya, nilai inti cerdas semakin tinggi.
Di Manado, para siswa yang merepresentasikan budaya
Minahasa menunjukkan nilai inti cerdas dan nilai inti peduli yang kuat.

20
Belajar Dari Alam

Rasa kebersamaan mereka begitu kuat, sedang nilai inti tangguh dan
jujur pada tataran normal seperti pada para siswa lain di Indonesia. Para
siswa Gorontalo terbiasa berbuat jujur dengan melakukan berbagai
aktivitas yang melambangkan kejujuran. Nilai kecerdasan
dikembangkan secara intensif di sekolah, antara lain dengan
pembiasaan mempraktikkan bahasa asing dalam English Day, membaca
senyap, dan membaca 10 menit di awal pembelajaran. Nilai kepedulian
dikembangkan melalui tradisi huluya, yang maknanya adalah gotong-
royong. Nilai kepedulian berupa kebiasaan bekerja sama (sintuvu)
dikembangkan juga oleh para siswa di Kaili (Donggala, Sulawesi
Tengah).
Ketika perjalanan tiba di Sulawesi Selatan, akan dijumpai suku
bangsa Bugis, Makassar, dan Buton. Ketiga suku bangsa tersebut adalah
para pelaut ulung, yang ahli membaca tanda-tanda alam. Kecuali itu,
ada aspek lain yang berkaitan dengan tingkat kecerdasan, yaitu
pengaruh konsumsi atau bahan makanan terhadap otak manusia. Para
pelaut dan nelayan yang terbiasa mengkonsumsi ikan akan tercukupi
protein dan asupan bahan-bahan lain yang vital bagi perkembangan otak
seperti EPA (asam eikosa pentanoat, eicosapentanoic acid) dan DHA (asam
dokosaheksanoat, docosahexanoix acid). Tidak sedikit siswa SMP dan SMA
Makassar yang menjadi juara olimpiade sains tingkat nasional atau
internasional. Jadi, boleh dikata, nilai inti tangguh dan cerdas adalah
trade mark para siswa Sulawesi Selatan. Sementara itu nilai inti jujur juga
berkembang baik karena implementasi sifat amanah (dapat dipercaya)
sesuai ajaran agama Islam yang mereka pegang secara kuat.
Di Ambon atau Maluku, nilai inti tangguh tumbuh subur dan
kuat, karena mereka pun umumnya pelaut serta nelayan yang ahli dan
bijak mengelola alam. Di wilayah yang dikitari lautan yang cantik itu,
ada kearifan lokal dalam mengelola sumber daya ikan yang disebut sasi,
salah satu cara mereka menjaga kelestarian sumber daya ikan di laut.
Nilai inti cerdas pun berkembang dengan baik. Nilai inti peduli
dikembangkan dalam tradisi masohi, yang maknanya ‘bekerjasama’;
maupun tradisi pela gandong (saling mendukung) yang maknanya
kebersamaan dalam kebhinnekaan.

21
Belajar Dari Alam

Di Papua, akan dijumpai gradasi pengembangan nilai-nilai inti.


Semakin menjauh dari perkotaan, yakni ke arah laut maupun arah
wilayah pegunungan, nilai inti tangguh semakin kuat, walau secara rata-
rata mereka memang mengembangkan ketangguhan yang kuat.
Sementara itu, nilai inti jujur, peduli, dan cerdas amat bervariasi di
Papua. Nilai-nilai inti itu berkembang semakin baik ketika mereka
bersentuhan dengan budaya pendatang, atau karena tersedianya
infrastruktur yang lebih baik.Terutama, kemudahan akses infrastruktur
pendidikan serta sarana transportasi yang amat penting untuk wilayah
seperti Papua.
Dalam hal nilai inti cerdas, semangat belajar siswa Papua cukup
tinggi, walau mereka banyak mengalami kendala alam. Kondisi
tersebut tentu patut diapresiasi. Mereka bersemboyan ko tra kosong,
kita orang tidak kosong. Orang tidak akan kosong kalau berbekal
pengetahuan, oleh sebab itu belajarlah. Namun, nilai inti jujur dan
peduli tampaknya memang masih perlu dibangun dan kembangkan
lebih lanjut.
Setelah mendapat gambaran umum tentang hubungan antara
budaya suku bangsa dengan karakter siswanya, sekarang kita menilik
latar belakang dari tiap daerah. Latar belakang tersebut akan meliputi
alam (geografi), budaya, tradisi, agama, kearifan lokal, gempuran
globalisasi, dan lain-lain, yang pada gilirannya membentuk karakter
siswa.

Lingkungan Sosial Budaya Aceh


Daerah Nanggroe Aceh Darussalam diberi julukan “Serambi
Mekah”. Julukan itu berarti suatu penghormatan, karena Aceh
dianggap sebagai beranda dari Tanah Suci Mekah. Sebutan tersebut
melekat karena dahulu, bila hendak menunaikan ibadah haji ke Mekah,
kaum muslim Indonesia hanya dapat menggunakan transportasi kapal
laut. Sebelum mengarungi Samudera Hindia, mereka harus melalui
wilayah Aceh, dan dari sana bertolak menuju Mekah. Jadi, Aceh ibarat
serambi/beranda tempat pelepasan jemaah haji Indonesia menuju ke
Tanah Suci Mekah. Aceh juga merupakan daerah awal masuknya Islam

22
Belajar Dari Alam

di Nusantara, tepatnya di kawasan pantai Timur, Peureulak, dan Pasai.


Dari Aceh, Islam berkembang sangat cepat ke seluruh Nusantara.
Di Aceh terdapat empat suku utama, yaitu Suku Aceh, Suku
Gayo, Suku Alas, dan Suku Tamiang. Suku Aceh mayoritas mendiami
kawasan pesisir Aceh, yaitu kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan. Suku
Gayo dan Suku Alas yang minoritas mendiami dataran tinggi di kawasan
Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Setiap suku tersebut memiliki
kekhasan tersendiri, seperti bahasa, karya sastra, nyanyian, tarian,
musik, dan adat istiadat.
Kehidupan orang Aceh sangat dipengaruhi oleh kebudayaan
Islam.Tarian, kerajinan, ragam hias, adat istiadat, dan lain-lain, berakar
dari nilai keislaman. Misalnya, ragam hias banyak mengambil bentuk
tumbuhan seperti batang, daun, dan bunga; atau bentuk objek alam
seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya. Prose situ
sejalan dengan ajaran Islam yang tidak membenarkan ditampilkannya
figur-figur manusia atau binatang. Kesenian tarinya juga sangat lekat
dengan warna Islami. Seni tari yang terkenal di Aceh antara lain Tari
Seudati, Seudati Inong, Seudati Tunang,Tari Rateb Meuseukat, dan Tari
Saman. Dalam Tari Saman, para penarinya bergerak dinamis dan
serentak (rancak) dengan iringan lagu (syair) acapela atau tanpa
tetabuhan. Tarian itu mencerminkan ekspresi keagamaan, sopan
santun, kepahlawanan, kekompakan, dan kebersamaan.
Salah satu sifat khas orang Aceh adalah militan. Sikap militansi
orang Aceh sudah tertempa sejak ratusan tahun lalu. Semangat rela
berkorban, berjuang dan berperang sampai titik darah penghabisan, itu
lantas mengental, mengkristal, menjadi sebuah karakter yang melekat
erat dalam diri setiap orang Aceh. Hal itu terbaca antara lain pada
peribahasa atau syair-syair do daidi, senandung penina bobo bayi,
dengan isi pesan agar si bayi kelak setelah dewasa pergi ke medan
perang, dan berjuang membela bangsa (nanggroe). Bagi masyarakat
Aceh, yang senang menyebut dirinya ureueng Aceh, peribahasa atau
hadih maja sudah menjadi ‘petuah’ sepanjang zaman. Mohd Harun,
pengajar sastra, adat, dan budaya di Universitas Syiah Kuala,
menuliskannya dalam buku bertajuk Memahami Orang Aceh (2009).

23
Belajar Dari Alam

Harun menyebutkan, orang Aceh dikenal memiliki lima watak


dominan. Pertama, watak reaktif, sebagai sikap awas atas martabat dan
harga diri yang dipertaruhkan dalam konstelasi sosial budaya. Orang
Aceh peka terhadap situasi sosial di sekitarnya, yang tercermin dalam
beberapa pepatah mereka, yakni Meunyoe teupeh, bu leubeh han geu peu
taba (apabila perasaan tidak tersinggung, ia akan memberikan segala-
galanya), Meunyoe hana teupeh, aneuk kreh jeut ta raba (sikap ramah
seseorang akan berubah menjadi sifat benci jika sakit hati). Peribahasa-
peribahasa tersebut memberi gambaran bahwa orang Aceh pantang
diusik atau dihina. Jika mereka sampai tersinggung atau malu, dapat
timbul kebencian dan dendam.
Kedua, watak semangat juang yang tinggi, pantang menyerah,
seperti tampak dalam peribahasa ini, yakni Nibak udep dalam susah, bah
manoe darah teungoh padang (daripada hidup dalam kesusahan, lebih baik
bermandikan darah di tengah padang). Ketiga, watak optimistis, yang
tampak ketika mereka menjalankan pekerjaannya. Orang Aceh
beranggapan bahwa setiap pekerjaan yang kelihatan sulit dan berat
harus dicoba dan dilalui. Sifat tidak mudah putus asa tercermin dalam
pepatah ini, yakni Siploh pinto teutob, na saboh nyang teubah (sepuluh
pintu tertutup, pasti ada satu yang terbuka). Kesempatan akan selalu
ada. Kegagalan hari ini merupakan modal untuk meraih kesuksesan di
masa depan.
Keempat adalah watak konsisten. Itu tampak dalam sikap dan
pendirian yang tidak plin-plan (berubah-ubah), tegas, apalagi jika
berkaitan dengan harga diri dan kebenaran. Sikap itulah yang membuat
Aceh dikenal konsisten memperjuangkan sesuatu yang diyakini benar.
Misalnya, penerapan syariat Islam. Mereka konsisten berjuang sejak
zaman penjajahan Belanda, era kemerdekaan dan era orde baru, hingga
akhirnya terwujud di era reformasi saat ini. Kini Aceh adalah satu-
satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam.
Kelima adalah watak loyal atau setia. Watak tersebut sangat
berkaitan dengan rasa percaya atau kepercayaan terhadap seseorang.
Jika seseorang, lebih-lebih seorang pemimpin, mampu menghargai,
mempercayai, tidak menipu, tidak mencurigai rakyatnya, rakyat akan

24
Belajar Dari Alam

membaktikan diri sepenuhnya kepada sang pemimpin. Loyalitas dan


kepatuhan, bagi orang Aceh, tinggi nilainya. Agar orang Aceh bersikap
loyal dan patuh, sang pemimpin haruslah jujur, setia kepada rakyatnya,
tidak ingkar janji, bijak dalam pelayanan/pengabdian, serta percaya
kepada rakyat.

Lingkungan Sosial Budaya Batak


Batak merupakan sebuah terminologi kolektif untuk
mengidentifikasi beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal
dari Tapanuli, bagian timur Sumatera Utara (letaknya di sebelah selatan
NAD). Yang disebut Suku Batak terdiri atas lima subsuku yang dibagi
berdasarkan ketersebaran geografis sebagai berikut: (1) Batak Toba
(Tapanuli) yang mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara,
Tapanuli Tengah, dan mengunakan bahasa Batak Toba; (2) Batak
Simalungun yang kebanyakan tinggal di Kabupaten Simalungun,
sebagian Deli Serdang, dan menggunakan bahasa Batak Simalungun; (3)
Batak Karo yang mendiami Kabupaten Karo, Langkat, dan sebagian
Aceh, dan menggunakan bahasa Batak Karo; (4) Batak Mandailing yang
mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan Muara
Sipongi, dan menggunakan bahasa Batak Mandailing; dan (5) Batak
Pakpak yang mendiami Kabupaten Dairi dan Aceh Selatan, dan
menggunakan bahasa Pakpak.
Dalam buku Aneka Ragam Budaya Batak (seri Dolok Pusuk Buhit-
10) terbitan Yayasan Bina Budaya Nusantara Taotoba Nusa Budaya
(2000), disebutkan bahwa jumlah etnis Batak bukan hanya 5, akan
tetapi 11. Ke-6 etnis batak lainnya adalah (1) Batak Pasisir yang
mendiami Pantai Barat antara Natal dan Singkil; (2) Batak Angkola yang
tinggal di wilayah Sipirok dan Pulau Sidempuan; (3) Batak Padanglawas
yang tinggal di wilayah Sibuhuan, Godang, Rambe, Harahap; (4) Batak
Melayu yang tinggal di wilayah Pesisir Timur Melayu; (5) Batak Nias
yang tinggal di Pulau Nias dan sekitarnya; serta (6) Batak Alas Gayo
yang banyak tinggal di Aceh Selatan,Tenggara, danTengah.
Kehidupan suku bangsa Batak tak dapat dilepaskan dari
penggunaan kain ulos (semacam selendang yang disampirkan di badan,

25
Belajar Dari Alam

kainnya lebih tebal dari selendang yang dikenal di Jawa, pada umumnya
buatan tangan). Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
berbagai upacara adat, misalnya pernikahan, kain ulos merupakan
elemen penting yang tidak boleh ditinggalkan. Ulos pada mulanya
diperlakukan sebagai azimat, dipercaya mengandung ‘kekuatan’ yang
bersifat religius magis, dianggap keramat, serta memiliki daya
perlindungan. Menurut beberapa penelitian, penggunaan ulos oleh
orang Batak mirip dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar,
Muangthai, dan Laos (biasanya mereka pakai untuk ikat kepala).
Sebelum orang Batak (Toba, Karo, Simalungun) mengenal tekstil
buatan luar, ulos (disebut Uis oleh suku bangsa Batak Karo) adalah
pakaian sehari-hari. Namun tidak semua ulos dapat dipakai dalam
kehidupan sehari-hari.
Sistem kekerabatan Batak menempatkan posisi seseorang secara
pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dunia, dalam tiga posisi yang
disebut dalihan na tolu; di Simalungun disebut tolu sahundula. Tiga posisi
penting itu adalah:

1. Hula hula atau tondong, yaitu kelompok orang yang posisinya di atas,
biasanya keluarga marga pihak istri, sehingga ada ungkapan somba-
somba marhula-hula yang berarti harus hormat kepada keluarga
pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.
2. Dongan tubu atau sanina, yaitu kelompok orang yang posisinya
sejajar, seperti teman/saudara semarga, sehingga ada ungkapan
manat mardongan tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar
dari pertikaian.
3. Boru yaitu kelompok orang orang yang posisinya di bawah, seperti
saudara perempuan kita sendiri, pihak marga suami, keluarga
perempuan pihak ayah. Dalam kehidupan sehari-hari, ada ungkapan
elek marboru, artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat
berkat.

Dalihan Na Tolu bukanlah kasta seperti dalam pengertian kasta


atau warna di Hindu-Bali, karena dalam diri setiap orang Batak

26
Belajar Dari Alam

terkandung ketiga posisi tersebut, bergantung pada konteks tempat dia


berada pada situasi tertentu. Ada saatnya seseorang menjadi Hula
hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina, dan
ada saatnya menjadi Boru. Dengan falsafah Dalihan Na Tolu, adat Batak
tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta, atau
status seseorang, melainkan posisinya dalam kekerabatan. Dalam
sebuah acara adat, misalnya, dapat terjadi seorang Gubernur harus
mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang
kebetulan seorang Camat–karena keluarga istri harus dihormati. Dapat
dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan sistem demokrasi khas
Batak, dan sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang universal.
Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya
beragama Islam.Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan animisme
(disebut Sipelebegu atau Parbegu) dan agama Malim, yaitu agama yang
dianut komunitas Parmalim, sebuah komunitas Batak Toba yang
menjalankan kepercayaan asli dan berakar pada kebudayaan Batak.
Agama Malim memiliki ajaran pokok yang terdiri dari tona (pesan,
semacam wahyu), poda (wejangan), patik (kaidah) dan uhum (aturan-
aturan dasar untuk upaya pemulihan integrasi dalam penyelesaian
konflik). Patik terbagi dua, yakni pertama, tatahubungan dengan sang
pencipta dan sesama manusia (internal maupun eksternal); kedua,
aturan-aturan dasar terkait hukum dan pelaksanaan upacara-upacara
keagamaan. Penganutnya berpantang memakan daging babi dan
makanan yang mengandung darah. Selain itu, mereka juga dilarang
menebang kayu secara sembarangan di hutan.
Tiap golongan suku Batak memiliki salam khasnya masing
masing. Yang paling terkenal tentu saja ucapan salam Horas. Namun,
masih ada dua salam lagi, meskipun kurang populer di masyarakat,
yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki
penyebutan masing masing berdasarkan golongan yang
menggunakannya.
Masyarakat Batak memiliki dua bentuk kekerabatan, yakni
berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan terlihat dari silsilah

27
Belajar Dari Alam

marga mulai dari Si Raja Batak, dalam hal ini semua suku bangsa Batak
memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi
melalui perjanjian (paduan antarmarga tertentu), maupun karena
perkawinan. Adat dan tradisi Batak bersifat dinamis, seringkali
disesuaikan dengan waktu dan tempat. Hal itu berpengaruh terhadap
perbedaan corak tradisi antardaerah. Ada falsafah dalam perumpamaan
Batak Toba yang menonjolkan keutamaan persahabatan, yakni Jonok
dongan partubu, jonokan dongan parhundul (akrab teman semarga, masih
lebih akrab sahabat karib). Perumpamaan itu mendasari sifat orang
Batak, yang membuat mereka mudah bergaul dan menjalin
persahabatan di luar orang sesuku atau semarga. Hal itu juga
mengajarkan agar orang Batak senantiasa menjaga hubungan baik
dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Dalam
pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga,
walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam
pelaksanaan adat.
Silsilah merupakan hal yang sangat penting bagi orang Batak.
Mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang
Batak tersesat (nalilu). Khususnya kaum pria Batak, mereka diwajibkan
mengetahui silsilah keluarganya, minimal nenek moyang yang
menurunkan marganya, dan teman semarganya (dongan tubu). Hal itu
perlu agar setiap orang tahu letak kekerabatannya (partuturanna) dalam
suatu klan atau marga. Orang Batak sangat memegang falsafah Somba
Marhula-hula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri), Elek Marboru
(ramah pada keluarga saudara perempuan), dan Manat Mardongan Tubu
(kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari,
falsafah tersebut dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan
kehidupan bermasyarakat di lingkungan orang Batak.

Lingkungan Sosial Budaya Minangkabau


Mayoritas penduduk Sumatera Barat merupakan suku
Minangkabau. Di daerah Pasaman, selain suku Minang, berdiam pula
suku Batak dan suku Mandailing. Suku Mentawai terdapat di Kepulauan
Mentawai. Di beberapa kota di Sumatera Barat, terutama Kota Padang,

28
Belajar Dari Alam

terdapat etnis Tionghoa, Tamil, dan suku Nias. Di beberapa daerah


transmigrasi terdapat pula suku Jawa, di antaranya adalah keturunan
imigran berdarah Jawa dari Suriname, yang memilih kembali ke
Indonesia pada akhir tahun 1950-an. Bahasa yang digunakan dalam
keseharian adalah bahasa daerah Minangkabau, yang memiliki beberapa
dialek, seperti dialek Bukit Tinggi, Pariaman, Pesisir Selatan, dan
Payakumbuh. Di daerah Pasaman dan Pasaman Barat yang berbatasan
dengan Sumatera Utara, dituturkan juga bahasa Batak dan bahasa
Melayu dialek Mandailing. Sementara itu, di Kepulauan Mentawai
digunakan bahasa Mentawai.
Islam adalah agama mayoritas, yang dipeluk oleh sekitar 98%
penduduk Sumatera Barat, yang kebanyakan pemeluknya adalah orang
Minangkabau. Tatanan kehidupan Minangkabau sejak dahulu hingga
sekarang sangat ideal karena didasari nilai-nilai agama Islam dan
norma-norma adat budaya secara menyeluruh. Ada satu ungkapan
berbunyi Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (Adat
Berdasarkan Syariat, Syariat Berdasarkan Kitab Quran). Tujuan hidup
orang Minangkabau tergambarkan dengan tepat dalam peribahasa bumi
sanang, padi menjadi, teranak berkembang biak (bumi senang, padi
menjadi/panen, ternak berkembang biak). Artinya, warga
Minangkabau selalu ingin hidup aman, damai, makmur, ceria, dan
penuh keberkahan. Beberapa ungkapan Minangkabau di bawah ini
dapat mencerminkan pandangan atau falsafah hidup masyarakatnya.

a. Saiyo Sakato (seiya sekata = sepakat)


Ketika menghadapi perbedaan pandangan satu orang dengan
lainnya, orang Minangkabau sepakat menerapkan peribahasa saiyo
sakato (seiya sekata = sepakat). Perbedaan pendapat dianggap lumrah
sebagai wujud demokrasi. Namun, kalau perbedaan dibiarkan
berlanjut, masalah tidak akan terselesaikan. Karena itu, harus dicari
jalan keluar. Jalan keluar ala adat Minang adalah melakukan
musyawarah untuk mufakat, bukan musyawarah untuk melanjutkan
pertengkaran. Keputusan boleh bulat (aklamasi), boleh juga pipih atau
picak (melalui voting). Adat Minang tidak mengenal istilah “Sepakat

29
Belajar Dari Alam

untuk tidak se-Mufakat”. Bagaimanapun, keluar harus bersuara satu dan


dilaksanakan.
Adat Minang tidak terlalu memuja kemandirian (privacy) ala
individualisme Barat. Adat Minang mengajarkan tradisi berembuk
dengan lingkungan masyarakat, termasuk menyangkut masalah
pribadi. Hal itu mendorong orang Minang lebih mengutamakan
“kebersamaan” daripada ego pribadi. Meskipun individu Minang itu
menduduki posisi penting, seperti mamak-rumah (orang yang dituakan)
atau Penghulu Andiko (penghulu utama), keputusan tidak mungkin
diambilnya sendiri. Sikap otoriter tidak disukai orang Minang. Mereka
selalu mencoba memelihara komunikasi dan mengupayakan dialog.
Penyelesaian masalah di luar musyawarah adalah buruk.

b. Sahino Samalu (sehina semalu = sama-sama hina, sama-sama malu)


Kehidupan kelompok sesuku sangat erat, yang tergambar dalam
ungkapan sahino samalu, artinya ‘satu rasa’. Mereka bagaikan suatu
kesatuan yang tunggal-bulat. Jarak antara ‘kau’ dan ‘aku’ hampir tidak
ada. Istilah “awak” menggambarkan kedekatan ini. Urusan yang rumit
diselesaikan dengan cara awak samo awak (antara kita), sehingga menjadi
lebih mudah. Kedekatan hubungan dalam kelompok suku ini
menjadikan harga diri individu melebur menjadi harga diri kelompok.
Kalau seorang anggota suku diremehkan dalam pergaulan, seluruh
anggota suku merasa tersinggung. Begitu juga bila suatu suku
dipermalukan, maka seluruh anggota suku akan serentak membela
nama baik sukunya.

c. AnggoTanggo (tertib hukum)


Unsur ketiga yang dapat membentuk masyarakat nan sakato,
adalah terciptanya pergaulan yang tertib serta disiplin dalam
masyarakat. Setiap anggota masyarakat dituntut mematuhi aturan dan
undang-undang, serta mengindahkan pedoman dan petunjuk yang
diberikan penguasa adat. Dalam pergaulan hidup, tentu akan ada
kesalahan dan kekhilafan. Kesalahan dan kekhilafan itu harus
diselesaikan sesuai aturan, agar ketertiban dan ketenteraman terjaga.

30
Belajar Dari Alam

d. Sapikua Sajinjiang (sepikul sejinjing = tanggung jawab bersama)


Dalam masyarakat komunal, semua tugas menjadi tanggung
jawab bersama. Sifat gotong-royong, saling membantu dan menunjang,
merupakan kewajiban. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing atau
barek sapikua ringan sajinjiang.
Dalam menjalankan kehidupannya, masyarakat Minangkabau
memiliki banyak tatacara atau aturan. Mereka memiliki aturan tentang
hubungan antara wanita dan pria, aturan mengenai harta kekayaan yang
menjadi tumpuan kehidupan manusia, tatakrama pergaulan, dan sistem
kekerabatan. Orang Minang juga memiliki gambaran tentang sifat atau
watak ideal, yang diajarkan kepada generasi muda secara turun
temurun, di antaranya sebagai berikut.

(1) Hiduik baraka, baukue jo bajangka (hidup berpikir, berukur, dan


berjangka). Dalam menjalani hidup, orang Minang dituntut untuk
selalu menggunakan akalnya. Berukur dan berjangka artinya harus
mempunyai rencana yang jelas dan perkiraan yang tepat. Dengan
mengunakan akalnya, manusia akan selalu waspada dan siap.
Merencanakan pekerjaan harus dipikirkan dengan matang dan cermat.
Melaksanakan pekerjaan perlu mengikuti urutan prioritas, seperti
pepatah mengaji dari alif, babilang dari aso (mengaji dimulai dari alif,
berhitung dimulai dari satu). Efek dari kehidupan ‘nalar’ yang tinggi ini,
satu kelemahan orang Minang adalah: banyak dari mereka yang
menderita penyakit ‘excessive individualism’, sikap individualistis yang
berlebihan. Mereka susah diatur, merasa lebih super dari orang lain,
berpegangan pada pedoman pantang taimpik (pantang terhimpit), dan
mereka tidak suka berada di bawah (tak suka menjadi bawahan).

(2) Baso-basi, malu jo sopan (basa-basi, malu dan sopan). Adat Minang
mengutamakan sopan santun dalam pergaulan. Budi pekerti yang
tinggi menjadi salah satu ukuran martabat seseorang, dan etika menjadi
salah satu sifat standar yang harus dimiliki setiap orang. Adat Minang
mengatur dengan jelas dan rinci tentang tata kesopanan dalam

31
Belajar Dari Alam

pergaulan. Pepatah menyebutkan nan tuo dihormati, nan ketek disayangi;


samo gadang bawo bakawan, ibu jo bapak diutamakan. Artinya, yang lebih
tua dihormati, yang kecil disayangi; sama besar bawa berkawan, ibu dan
ayah diutamakan.

(3) Tenggang raso (tenggang rasa, toleransi). Pergaulan yang baik adalah
yang dapat saling menjaga perasaan orang lain.Adat mengajarkan untuk
selalu berhati-hati dalam pergaulan; ucapan, tingkah laku, maupun
perbuatan, jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Tenggang
rasa adalah salah satu sifat yang dianjurkan adat, seperti tercermin
dalam peribahasa Nan elok dek awak katuju dek urang, Lamak dek awak
lamak dek urang, Sakik dek awak sakik dek urang. Artinya, ‘yang baik
menurut kita, harus juga disukai orang lain; yang enak menurut kita,
harus juga enak menurut orang lain; kalau sakit bagi kita, sakit pula bagi
orang lain’.

(4) Setia (loyal).Yang dimaksud setia adalah teguh hati, merasa senasib,
dan menyatu dalam lingkungan kekerabatan. Sifat ini menjadi sumber
lahirnya rasa setia kawan, cinta kampung halaman, cinta tanah air, dan
cinta bangsa. Dari sini pula berawal sikap saling membantu, saling
membela, dan saling berkorban untuk sesama. Bila terjadi konflik, dan
orang Minang terpaksa harus memilih, orang Minang akan memihak
pada dunsanak (saudara/kerabatnya). Dalam kondisi semacam itu,
orang Minang sama fanatiknya dengan orang Inggris. Right or wrong is my
country ‘salah atau benar, negaraku’.

(5) Adil, maksudnya mengambil sikap tidak berat sebelah, dan


berpegang teguh pada kebenaran. Bersikap adil semacam ini sangat
sulit dilaksanakan bila berhadapan dengan dunsanak sendiri.

(6) Berani karena benar. Islam mengajarkan untuk mengamalkan “amar


makruf, nahi mungkar”, yang artinya menganjurkan orang berbuat
baik, dan mencegah orang berbuat kemungkaran. Menyuruh orang
berbuat baik mudah, tapi melarang orang berbuat mungkar,

32
Belajar Dari Alam

mengandung risiko sangat tinggi. Bisa-bisa nyawa menjadi taruhan.


Untuk bertindak menghadang kemungkaran seperti ini, memerlukan
keberanian. Adat Minang dengan tegas menyatakan bahwa orang
Minang harus punya keberanian untuk menegakkan kebenaran. Berani
karena benar.

(7) Arif bijaksana, tanggap, dan sabar. Orang yang arif bijaksana adalah
yang dapat memahami pandangan orang lain, dapat mengerti yang
tersurat dan tersirat. Tanggap artinya mampu menangkis setiap bahaya
yang bakal datang. Sabar artinya mampu menerima segala cobaan
dengan dada yang lapang dan mampu mencarikan jalan keluar dengan
pikiran yang jernih.

(8) Rajin, sifat lain yang dipunyai orang Minang adalah rajin. Pepatah
berikut ini dengan baik menggambarkan kadar kerajinan orang
Minang: Kok duduak marauik ranjau (kalau duduk meraut ranjau), Tagak
maninjau jarah (berdiri mengintai mangsa),Nan kayo kuek mancari (kalau
ingin kaya harus ulet mencari uang),Nan pandai kuek baraja (ingin
pandai harus rajin belajar).

(9) Rendah hati. Mungkin lebih dari separuh orang Minang hidup di
rantau. Hidup di rantau artinya hidup sebagai minoritas dalam
lingkungan mayoritas suku bangsa lain. Mereka yang merantau ke
Jakarta mungkin kurang merasakan sebagai kelompok minoritas.Tetapi
yang merantau ke Bandung, Semarang, Malaysia, Australia, Eropa,
Amerika, hidup di tengah-tengah orang lain yang berbudaya lain.
Bagaimana perantau Minang harus bersikap? Mereka telah dibekali
falsafah hidup merantau, yang menyebabkan mereka survive bahkan
berjaya di negeri orang: Kok mangecek di bawah-bawah (kalau berbicara,
bersahaja), Tibo di kandang kambiang mangembek, tibo di kandang kabau
manguak (berada di kandang kambing, mengembik, berada di kandang
kerbau menguak); Dimano bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang (di
mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung). Peribahasa-peribahasa
tersebut mengajarkan pada orang Minang, sebagai perantau yang hidup

33
Belajar Dari Alam

dalam lingkungan budaya lain, sebagai kelompok minoritas, mereka


harus tahu diri, pandai menempatkan diri, menghormati adat
setempat. Mungkin, inilah kunci keberhasilan para perantau Minang.

Lingkungan Sosial Budaya Palembang


Penduduk Palembang merupakan etnis Melayu dan
menggunakan bahasa Melayu yang telah disesuaikan dengan dialek
setempat, kini dikenal sebagai bahasa Palembang. Masyarakat
Palembang akrab dengan kehidupan sungai dan rawa-rawa, sehingga
penggambaran karakter atau julukan bagi orang Palembang sering
dihubungkan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan air. Salah
satunya dihubungkan dengan ikan belido, sejenis ikan yang menguasai
Sungai Musi dari hulu ke hilir. Ikan belido menjadi simbul kekuasaan
atas wilayahnya. Hal itu menggambarkan karakter masyarakat
Palembang yang dianggap menguasai sungai dan rawa-rawa. Ikan belido
merupakan ikan yang paling enak sebagai bahan makanan khas
Palembang, pempek atau kerupuk.

Beberapa sifat dan karakter manusia Palembang yang


dihubungkan dengan ikan antara lain:
1. Bungkuk belido, menggambarkan orang yang tinggi
libidonya. Ada kepercayaan, orang yang bentuk fisiknya
bungkuk serupa ikan belido mempunyai hasrat seks yang
tinggi.
2. Rasan juaro, adalah julukan bagi orang yang selalu punya rasa
atau kehendak yang tidak benar; sesuai sifat ikan juaro yang
biasa hidup bergerombol, lalu berebut cepat saat ada
sesuatu yang jatuh ke air.
3. Kelakar betok, menggambarkan pembicaraan yang sangat
seru dan cenderung heboh, tetapi tidak menghasilkan apa-
apa. Ikan betok suka hidup berkelompok di satu lubuk.
Apabila pemancing mendapatkan satu ekor betok,
dipastikan dia akan mendapatkan “teman-teman” si betok
itu lebih banyak. Sifat betok yang cepat menyambar umpan

34
Belajar Dari Alam

juga dipakai untuk menggambarkan orang yang cerdas


(tanggap terhadap sesuatu). Tak heran, di beberapa daerah
di luar Kota Palembang, orang yang pandai mendapat
julukan Mat Betok.
4. Pecak sepat, metu denget, tau-tau mingsep, artinya “Seperti
sepat, muncul sebentar, tahu-tahu menghilang (dengan
cepat)”, menggambarkan orang yang muncul atau
menghilang tiba-tiba. Sikap itu sesuai sifat ikan sepat yang
pada waktu tertentu (terutama saat matahari terik) muncul
sesaat di permukaan untuk mengambil oksigen, dan segera
menghilang kembali.
5. Gaji toman menggambarkan orang yang berpenghasilan
besar. Ikan toman (Channa micropletes) dikenal sebagai ikan
yang bergajih (berlemak) sangat banyak.

Orang Palembang tidak biasa berbicara kasar. Semua


disampaikan dalam bentuk simbol, sindiran, pepatah, dan pantun.
Namun mereka menyadari perlunya beradaptasi dengan tradisi atau
lingkungan tempat mereka hidup. Tepasok di reban kambeeng melok
ngembek, tepasok di reban ayam baketok, “masuk kandang kambing
mengembik, masuk kandang ayam berkotek”.

Lingkungan Sosial Budaya Abung


Etnis Abung berkembang di Kabupaten Lampung Utara, dengan
ibukota Kotabumi. Penduduk Kabupaten Lampung Utara terdiri atas
beberapa suku asli Lampung, seperti suku Abung, Tulang Bawang,
Sungkai, Way Kanan, Paminggir, dan sejumlah suku pendatang seperti
suku Jawa, Batak, Bali, Sumatera Selatan, Padang, dan lain-lain. Bahasa
yang digunakan di kalangan masyarakat Abung di Kotabumi adalah
bahasa Lampung dialek Nyow (“O”), tetapi sebagian besar masyarakat
Abung mengerti dan memahami bahasa Jawa, bahasa Palembang, dan
bahasa Melayu.
Berdasarkan peta bahasa, bahasa Lampung memiliki dua
subdialek. Pertama, dialek A (api) yang dipakai oleh ulun (orang) Sekala

35
Belajar Dari Alam

Brak, Melinting Maringgai, Darah Putih Rajabasa, Balau Telukbetung,


Semaka Kota Agung, Pesisir Krui, Ranau, Komering dan Daya (yang
beradat Lampung Saibatin); serta Way Kanan, Sungkai, dan Pubian
(yang beradat Lampung Pepadun). Kedua, subdialek O (nyo) yang
dipakai oleh ulun Abung dan Tulangbawang (yang beradat Lampung
Pepadun).
Masyarakat Abung dikenal memiliki karakter lapang dada dan
besar jiwa. Itu sebabnya mereka mudah menerima pendatang. Adat
pepadun juga bermakna hidup bersama, dilandasi saling hormat
menghormati. Terkait hubungan sosial kekerabatan, sifat gotong-
royong masih berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
Adat Lampung Abung Pepadun sangat menjunjung tinggi
martabat dan asal-usul keluarga. Keluarga dinilai dari kekerabatannya
yang tinggi, khususnya dari garis keturunan ibu. Sedangkan perilaku
yang diturunkan dari generasi ke generasi digambarkan dengan istilah
Ibung mak jaweh jak ghuppun yang berarti rebung (tunas bambu) tumbuh
tidak jauh dari rumpunnya. Maknanya, perilaku anak pasti menurun
dari orangtua atau adat keluarganya.
Nilai-nilai pengembangan ilmu dan kecerdasan digambarkan
dalam masyarakat Abung-Lampung dalam peribahasa siwo pandai
sepuluh kurang tawai, artinya jangan pernah puas dalam mencari dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Engkau mungkin pandai, tetapi
dapat lebih pandai lagi. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
Abung juga menanamkan aspek kejujuran dan kebijaksanaan, seperti
terungkap dalam peribahasa candung bukkuk mengan saghung no sayan
(golok yang bengkok akan memakan sarungnya sendiri, maknanya,
orang yang tak jujur akan merugi). Dalam hal ketekunan dan kegigihan,
suku bangsa Abung berpedoman mak pateh lamun lemeh mak pegat lamun
kendur (tidak patah bila lemah, tidak putus bila kendor, maknanya,
orang yang sabar akan menuai kebaikan).
Terkait keimanan dan kepercayaan, masyarakat Abung percaya
bahwa tulisan surat diunggak keddak (tersurat di dahi, maknanya, suratan
takdir sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa). Mereka bahkan
percaya bahwa obat tidak menyembuhkan dan sakit tidak membuatmu

36
Belajar Dari Alam

meninggal (Ubat mak nundo waras, aban mak nundo matei), yang artinya,
segala sesuatu Tuhan yang mengatur. Begitu percayanya mereka kepada
takdir, sehingga dapat dikatakan mereka terlalu pasrah pada nasib dan
kurang daya juang (bila dibandingkan dengan orang Minang di Padang,
misalnya). Dalam kehidupan sehari-hari, sukubangsa Abung di
Lampung dipayungi enam filsafat hidup yaitu:
1. Piil Pasenggiri, mengandung makna ’harga diri’, yaitu
menjunjung tinggi harkat dan martabat diri.
2. Nemui Nyimah atau Ngejuk Ngakuk, mengandung arti suka
menerima dan memberi dalam suka dan duka.
3. Nengah Nyappur, berarti bergaul dan bermusyawarah dalam
menyelesaikan suatu masalah untuk menjalin kebersamaan
hidup bermasyarakat.
4. Sakai Sambayan, berarti suka menolong dan bergotong
royong untuk membina hubungan persaudaraan dan
bertetangga.
5. Bejuluk Beadek atau Juluk Adek, berarti suka dengan nama baik
dan gelar yang terhormat, artinya mempunyai kepribadan
sesuai gelar adat yang disandangnya.
6. Carem Ragem, mengandung makna eratnya kekerabatan atau
kinship.

Semua falsafah hidup itu dilambangkan dalam simbolisme Lima


Kembang Penghias Sigor (mahkota adat yang dipakai pengantin wanita
dalam perkawinan adat suku Abung). Perilaku yang dipahami
masyarakat sebagai piil pasenggiri (menjunjung harga diri) di antaranya
adalah (1) tak mau disaingi (pencemburu); (2) berusaha memenuhi
kebutuhan demi nama baik, karena status sosial yang dimiliki lebih
rendah; (3) suka berbagi dengan yang lainnya jika mendapatkan
keuntungan; (4) bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah; (5)
memotong kerbau sebanyak-banyaknya, melaksanakan acara adat yang
megah, serta mengundang tamu sebanyak-bayaknya, agar
mendapatkan gelar adat yang tinggi dan prestise/penghargaan dari
masyarakat; (6) merasa malu bila harga dirinya dijatuhkan di depan

37
Belajar Dari Alam

banyak orang; (7) keras kepala dan selalu merasa paling benar; (8)
memberi sesuatu karena merasa malu dan merasa segan terhadap
kerabat/keluarga bila tidak, sehingga membuat seseorang selalu
berusaha; (9) saling menghargai dengan sesama, sehingga seorang
merasa dirinya wajib membantu dalam perekonomian keluarga; (10)
melakukan perlawanan demi membela harga diri; (11) gengsi (malu)
untuk berdagang atau menjadi pelayan. Konsekuensi dari sifat pi-il atau
harga diri ini mengakibatkan kuatnya hirarki kekuasaan dan pengaruh
dalam masyarakat Lampung, serta kegigihan meraih status atau prestise
dalam masyarakat.

Lingkungan Sosial Budaya Orang Serawai


Suku bangsa mayoritas di Bengkulu adalah Suku Serawai, yang
merupakan suku pengembara, gabungan dari suku-suku lain seperti
Rejang, Pekal, Muko-muko, dan Lembak. Bahasa daerah yang
digunakan adalah bahasa Kaur. Budaya Bengkulu disatukan oleh tabot,
yakni suatu ritual agama yang bertujuan mengingat perjuangan rasul
dan cucunya. Perayaan Tabot dilaksanakan dengan berbagai pameran,
lomba, serta kegiatan kesenian yang diikuti oleh kelompok–kelompok
kesenian yang ada di Provinsi Bengkulu. Perayaan itu menjadi ajang
hiburan rakyat dan salah satu kalender wisatawan tahunan. Tabot
mempersatukan masyarakat Bengkulu lebih dari 300 tahun lalu. Pada
masa itu, Islam masuk ke Bengkulu, dibawa oleh laskar India Selatan.
Islam kemudian berakulturasi dengan budaya Bengkulu. Tabot,
kemudian menjadi budaya Bengkulu secara turun-temurun.
Sekitar 95% masyarakat Bengkulu menganut agama Islam.
Selain perayaan keagamaan, upacara adat juga banyak dilakukan, seperti
sunatan, upacara adat perkawinan, upacara mencukur rambut anak
yang baru lahir, dan lain-lain. Masyarakat Bengkulu memiliki pantun
untuk kebersamaan, yaitu Ke bukit samo mendaki, ke lurah samo menurun;
yang berat samo dipikul, yang ringan samo dijinjing. Artinya, dalam
membangun, pekerjaan seberat apapun jika dikerjakan bersama akan
terasa ringan. Selain itu, ada pepatah Bulek air kek peukuh, bulek kata
rek sepakat. Artinya, bersatu air dengan bambu, bersatunya pendapat

38
Belajar Dari Alam

dengan musyawarah.
Bahasa Serawai sebenarnya termasuk rumpun bahasa Melayu
juga, namun lebih dekat dengan bahasa Pasemah. Dialeknya ada dua,
yaitu dialek Manna dan dialek Serawai. Pada zaman dahulu, suku
Serawai mengembangkan suatu aksara yang disebut tulisan ulu atau
tulisan rencong. Ini menunjukkan bahwa budaya literasi sudah
mengakar di Bengkulu sejak dahulu kala.
Strata sosial orang Serawai zaman lampau cukup tajam. Mereka
mengenal golongan tinggi yang terdiri dari pasirah, mangku, depati,
penghulu dan anak-anak mereka. Golongan kedua adalah kaum ulama,
cerdik pandai, dan pedagang besar. Kemudian baru golongan rakyat
biasa. Mirip pengkastaan di Bali, dan tatanorma masyarakat di Jawa.
Meskipun sekarang orang Serawai telah memeluk agama Islam, namun
sisa keyakinan aninisme masih ada. Hal itu terlihat dari upacara
anismisme yang masih dilaksanakan.
Alat musik tradisional orang Serawai adalah kelintang, reban,
rebab atau redab, suling, gendang, dan sebagainya. Alat-alat itu
dimainkan untuk mengiringi tari-tarian seperti tari Lelawan, Piring,
Kebayakan, Dang Kumbang, Ari Mabuk, Lagu Duo, Pedang, dan
sebagainya. Selain itu, mereka juga mengenal seni bertutur yang
disebut berejung, yaitu acara berbalas pantun antara orang muda.

Lingkungan Sosial Budaya Betawi


Kota Bekasi merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Barat
yang terletak di bagian Utara pulau Jawa. Meskipun secara
administratif kota Bekasi termasuk ke dalam Provinsi Jawa Barat,
namun secara geografis daerah ini lebih dekat dengan Jakarta. Oleh
karena itu, tatakehidupan dan kebiasaan masyarakat Bekasi lebih mirip
dengan masyarakat Betawi di Jakarta. Sebagian besar penduduknya
berasal dari Suku Sunda dan Suku Betawi.
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan
bangsa pada masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai
orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku
dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut

39
Belajar Dari Alam

dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di


Jakarta. Kelompok etnis itu lahir dari perpaduan berbagai kelompok
etnis lain yang sudah lebih dahulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda,
Jawa, Bali, Makasar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang,
seperti Arab, India,Tionghoa, dan Eropa.
Bekasi saat ini menjadi wilayah yang dipenuhi pabrik-pabrik,
dari yang kelas kecil dan rumahan, hingga bertaraf nasional dan
internasional. Semangat berproduksi warga Betawi yang tumbuh sejak
dahulu menjadikan kawasan ini sebagai sentra industri yang andal di
Jawa Barat, bahkan di Indonesia.Tantangan hidup di wilayah urban dan
industri yang keras semacam itu menempa karakter orang Betawi, di
Bekasi khususnya, untuk ulet mengarungi hidup. Mereka mau dan siap
bekerja apa saja, untuk menumbuhkan semangat entrepreneurship
(kewirausahaan) yang tinggi.
Di sisi lain, kerasnya hidup, sempitnya waktu, menyebabkan
kurangnya silaturahim antartetangga, kerabat, teman, yang pada
giliriannya menumbuhkan sifat individualistis. Sifat individualistis itu
menjadi salah satu senjata bertahan hidup. Meskipun demikian,
karakter asli orang Betawi yang ramah dan suka menolong akan muncul
pada saat yang tepat, yaitu bila mereka sedang tidak diburu-buru target
pekerjaan.

Lingkungan Sosial Budaya Banyumasan


Banyumas terletak di sebelah selatan Jogyakarta ke arah Barat.
Penduduk asli daerah Banyumas adalah suku Jawa yang memiliki budaya
dan karakter khas Banyumasan. Bahasa Banyumasan adalah bahasa Jawa
yang memiliki dialek khas, biasanya berakhiran dengan bunyi –ak di
akhir kata atau kalimat. Itu sebabnya bahasa Banyumasan kerap disebut
ngapak-ngapak. Perbedaan utama dengan bahasa induknya (bahasa Jawa
Jogyakarta atau Solo) terletak pada bunyi akhir “a”. Bahasa Jawa
membaca/mengucap “a” sebagai “o”, dialek Banyumasan
membacanya/mengucapkannya tetap “a” dengan kadang-kadang ada
tambahan konsonan “k” halus di belakangnya. Misalnya kata kelapa,
orang Solo membacanya “klopo”, orang Banyumas akan mengatakan

40
Belajar Dari Alam

“klapa”. Kata yang berakhiran huruf mati, dibaca sesuai huruf yang
ditulis, misalnya kata gaplek oleh dialek Jogya dan Solo dengan “k” halus
di bagian akhir, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca “gaplek”
dengan bunyi akhiran ‘k’ yang jelas.
Ciri keterbukaan dalam berbahasa ini (meninggalkan pakem
tatakrama inggil bahasa Jawa Jogyakarta dan Solo), mencerminkan sifat
terbuka, egaliter, dan kesederhanaan masyarakat Banyumas. Kecuali
itu, orang Banyumas juga menjunjung tinggi persaudaraan.Tuna sathak
bathi sanak, rugi sedikit asal untung dalam jalinan persaudaraan,
menjadi slogan yang dihayati bersama.

Lingkungan Sosial dan Budaya Samin


Masyarakat Samin yang tinggal di daerah Bojonegoro, Jawa
Timur, adalah pencerminan figur orang-orang yang gigih berjuang
menentang Kolonial Belanda. Pada masa penjajahan itu, leluhur orang
Samin melakukan gerakan yang dikenal dengan Gerakan Saminisme,
dipimpin oleh Ki Samin Surosentika (besar kemungkinan, dari nama
tokoh gerakan itulah masyarakat di wilayah ini mendapatkan
sebutannya ‘Masyarakat Samin’). Dalam falsafah orang Samin, tidak ada
istilah membantu Pemerintah Belanda. Mereka menolak membayar
pajak, tidak mau bekerja sama, tidak mau menjual apalagi memberikan
hasil bumi kepada Pemerintah Belanda. Prinsip bertahan dalam
menjalani masa Kolonial Belanda adalah dengan penanaman dan
penerapan ajaran Saminisme, yang artinya sami-sami amin (bersama-
sama akan selamat). Falsafah tersebut dilandasi kekuatan (dalam
bertahan terhadap penindasan), kejujuran, kebersamaan, dan
kesederhanaan.
Sikap perjuangan mereka dapat dilihat dari gaya hidup orang
Samin pada umumnya yang tidak bergelimangan harta, tidak menjadi
antek Belanda, bekerja keras, berdoa, berpuasa, dan berderma kepada
sesama. Ajaran-ajarannya antara lain agar bersikap sabar, nrima, rila, dan
trokal (bersabar, menerima dengan rasa syukur, ikhlas, dan bekerja
keras). Sifat pekerja keras juga tercermin dalam ungkapan sepi ing
pamrih rame ing gawe (tidak banyak bicara, banyak kerja). Sikap hati-hati

41
Belajar Dari Alam

dalam berbicara diungkapkan dalam pepatah aja waton ngomong, ning


ngomong kang maton (jangan asal bicara, kalau bicara yang jelas/nyata).
Salah satu lokasi tempat tinggal masyarakat Samin (Dusun
Jepang) memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi objek Wisata
Minat Khusus atau Wisata Budaya Masyarakat Samin, melalui
pengembangan paket Wisata Homestay bersama masyarakat Samin.
Dalam paket tersebut, para wisatawan dapat menikmati suasana dan
gaya hidup khas masyarakat Samin. Saat ini, tengah dirintis penataan
kampung dan penyediaan fasilitas dasar.
Kabupaten Bojonegoro yang terletak di Jawa Timur bagian barat
(berbatasan dengan kota Cepu di Jawa Tengah), didominasi suku Jawa.
Subsuku Samin hanyalah minoritas namun masih kuat memegang teguh
warisan budaya nenek moyangnya. Bahasa yang digunakan adalah
bahasa Jawa ragam ngoko (dipergunakan di antara orang yang setara
derajat dan kedudukannya) dan krama (digunakan untuk/kepada orang
yang lebih tinggi derajat dan kedudukannya). Namun, bagi mereka,
menghormati orang lain tidak hanya dari bahasa yang digunakan, tetapi
juga dari sikap dan perbuatan yang ditunjukkan. Bahasa dan perilaku
orang Samin yang berbeda dengan kebanyakan orang di Jawa Timur
menyebabkan masyarakat Samin kerap disalahmaknai (salah persepsi).
Sampai-sampai, kalau ada orang yang menunjukkan perilaku aneh atau
buruk, orang itu dikatakan nyamin alias berperilaku seperti orang
Samin.

Lingkungan Sosial Budaya Mataraman di Ngawi


Wilayah pedalaman di provinsi Jawa Timur, seperti Kabupaten
Ngawi, Madiun, Magetan,Trenggalek, Ponorogo, Nganjuk, Kediri dan
Jombang dikenal sebagai wilayah Jawa yang dipengaruhi nilai-nilai
Mataraman (dari Kerajaan Mataram di Jawa Tengah). Sistem nilai yang
diacu oleh masyarakat di wilayah ini adalah sistem nilai budaya kerajaan
Mataram Jogyakarta, tempat nilai budaya kraton (kerajaan/kesultanan)
yang menjunjung tinggi aristokrasi (kebangsawanan) menjadi dasar
perilaku masyarakat. Masyarakat Jawa Timur Mataraman pada
umumnya hidup di bidang pertanian, perkebunan, hutan, dan

42
Belajar Dari Alam

perdagangan. Namun tidak sedikit, terutama di wilayah Madiun-


Magetan, yang menekuni dunia kependidikan (menjadi guru).
Dalam kehidupan berkesenian, sejak dahulu hingga sekarang,
masyarakat Jawa Timur Mataraman mendapat pengaruh yang sangat
kuat dari model kesenian Jawa Tengahan. Kesenian gaya Jawa Tengahan
merupakan pilar dalam proses produksi dan konsumsi masyarakat.
Oleh sebab itu, sifat keseniannya amat terkait erat dengan kebutuhan
dan pola hidup masyarakat, yakni bersifat selaras, seimbang, dan
simbolik. Seni rakyat jenis wayang kulit, ketoprak, wayang orang, dan
reog, merupakan model kesenian yang mengandung nilai-nilai
tersebut.
Di wilayah ini terjadi perjumpaan budaya antara budaya Jawa
Tengahan yang halus dan menjunjung tinggi tata krama berbasis kelas
sosial (Jogyakarta, Solo) dengan budaya JawaTimuran yang terbuka dan
egaliter (Arek, Pandalungan). Kondisi tersebut menjadikan watak
orang di Ngawi (tepat di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah)
bersifat khas. Namun, baik orang Banyumas maupun Ngawi yang
budaya Jawanya masih kental, pepatah yang menyatakan bahwa wong
Jawa ngggone semu, orang Jawa suka menggunakan simbol, tetap
dipertahankan, artinya dalam berpikir dan bertindak orang Jawa
bersikap tidak selalu terbuka atau cenderung bersifat simbolik.
Sementara itu sifat tekun dalam pekerjaan (pengalaman bertani yang
amat mengandalkan iklim dan cuaca) dan tidak ngoyo (berusaha keras)
karena alamnya yang ramah dan subur (perkebunan, hutan, sawah)
menyisakan jejaknya pada karakter siswa di Kota Ngawi dalam
pembelajaran dan pergaulan di sekolah.

Lingkungan Sosial Budaya Arek – Surabaya


Surabaya merupakan kota multietnis yang kaya akan adat dan
budaya. Beragam etnis dan bangsa bermigrasi ke Surabaya. Di Surabaya,
ada bangsa Melayu, China, India, Arab, Eropa, dan ada pula etnis dari
nusantara seperti Minang, Madura, Sunda, Batak, Banjar, Bali, dan
Bugis. Mereka datang dan menetap, hidup bersama, membaur dengan
penduduk asli, membentuk budaya plural yang kemudian menjadi ciri

43
Belajar Dari Alam

khas kota Surabaya. Bahkan ciri khas tersebut sangat kental mewarnai
kehidupan pergaulan sehari-hari.
Karena keanekaragamannya, di Surabaya tidak dapat ditentukan
satu aturan pergaulan yang meninggikan yang satu dan merendahkan
yang lain. Itu sebabnya di Surabaya, bahasa dan cara pergaulannya sangat
terbuka dan egaliter. Setiap warga dapat dengan nyaman berterus
terang, tanpa khawatir menyinggung warga yang lain. Mereka juga
saling mengkritik dan menerima kritik dengan baik. Keterbukaan sifat
dan sikap Arek Suroboyo tidak hanya didasari pluralitas etnis
penghuninya, tetapi juga atmosfer geografisnya, yakni kota pelabuhan,
dagang, dan industri. Atmosfer yang terbentuk dari arus keluar masuk
orang dan barang di kota pelabuhan, pergaulan di dunia dagang dan
industri, menjadikan warga Surabaya terbuka dan tanpa tedeng aling-
aling (tanpa hambatan apapun) dalam berbicara.
Kesenian dan makanan khasnya juga mencerminkan pluralitas
tradisi dan budaya di Surabaya. Pengantin adat Surabaya, misalnya, tidak
akan mengenakan busana seperti pengantin Jawa Tengahan, melainkan
mengenakan gaun panjang warna putih (rok) ala Eropa dan
berkerudung (seperti Ning Surabaya). Di kampung-kampung di tengah
atau pinggiran Surabaya, masih dijumpa pengantin dengan adat
Surabaya yang khas seperti ini.
Tradisi dan gaya hidup yang berbeda dari tiap etnis atau suku
bangsa merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan atau pendatang
di Surabaya. Di beberapa kampung asli di Surabaya ada game
(permainan) yang khas, seperti Adu Doro, Musik Patrol, dan Manten Pegon.
Pemerintah Kota Surabaya juga melestarikan budaya dengan pemilihan
Cak dan Ning Surabaya, yaitu lelaki dan perempuan muda yang dianggap
merepresentasikan budaya Surabaya (salah satu ujian bagi kontestan
adalah berpidato menggunakan bahasa Suroboyoan, atau ngidung,
menyanyi gaya Suroboyo yang diselingi parikan, semacam pantun
jenaka).
Surabaya memiliki dialek khas bahasa Jawa yaitu Boso Suroboyoan.
Dialek itu dituturkan di daerah Surabaya dan sekitarnya, dan memiliki
pengaruh ke bagian timur Provinsi JawaTimur. Dialek Surabaya dikenal

44
Belajar Dari Alam

egaliter, blak-blakan (terbuka), dan tidak mengenal ragam tingkatan


bahasa seperti Bahasa Jawa standar (Jawa Tengahan). Masyarakat
Surabaya amat fanatik dan bangga terhadap bahasanya. Meskipun
banyak pendatang mempengaruhi keaslian budaya Surabaya,
kebanyakan arek Suroboyo menyebut saudara dengan cak (dari cacak =
kakak laki-laki) dan ning (kakak perempuan), bukannya mas/kangmas
dan mbakyu (yang masih digunakan di wilayah Jawa Mataraman).
Mereka menyebut ibu dengan panggilan emak atau mak, dan bibi (adik
orangtua) dengan sebutan lik (dari bulik/paklik).
Keterbukaan masyarakat Surabaya memengaruhi karakter siswa
Surabaya. Mereka ramah, terbuka, dan mudah menerima pendatang
atau orang baru. Namun sifat lebih suka bermain (adu doro, misalnya)
daripada bekerja dan sifat keberanian yang kadang cenderung bablas
menjadi kenekadan (berani tanpa perhitungan), juga tak luput
mewarnai karakter anak muda Surabaya. Itulah sebabnya muncul istilah
Bonek.

Lingkungan Sosial BudayaTengger


Secara administratif, orang Tengger bertempat tinggal di empat
kabupaten, yaitu: 1) Kabupaten Probolinggo: Kecamatan Sumber dan
Kecamatan Sukapura (Desa Jetak, Desa Wanatara, Desa Ngadisari; 2)
Kabupaten Lumajang: Kecamatan Senduro (Desa Argosari); 3)
Kabupaten Malang: Kecamatan Poncokusumo (Desa Ngadas); 4)
Kabupaten Pasuruan: Kecamatan Tosari (Desa Tosari, Desa Wonokitri,
Desa Ngadiwono, Desa Podokoyo, dan Desa Mororejo). Masyarakat di
empat wilayah tersebut mayoritas beragama Hindu dan masih
memegang teguh adat istiadat Tengger. Adat istiadat tersebut dapat
disaksikan saat upacara Kasada. Mereka melempar kurban ke kawah
Gunung Bromo sebagai simbol memuliakan roh nenek moyang. Ada
juga Hari Raya Karo, saat dilakukan berbagai upacara dan sesaji yang
bertujuan untuk mengenang roh nenek moyang.
Gunung Bromo yang dianggap suci oleh masyarakat Tengger
berada di lautan pasir, dengan ketinggian 2.392 m. Kawah gunung
Bromo masih aktif dan mengeluarkan asap ke angkasa. Pada saat-saat

45
Belajar Dari Alam

tertentu, Gunung Bromo masih mengeluarkan belerang yang baunya


menyengat dan membuat sesak nafas, yang terhembus hingga ke Desa
Cemara Lawang. Kawah yang menganga dan senantiasa mengepulkan
asap itu disebut “pelabuhan”, tempat melabuh hasil bumi dan ternak
sesuai pesan leluhur.
Di selatan Gunung Bromo ada Gunung Semeru atau Mahameru,
dengan puncak ketinggian 3.676 m, yang juga dianggap suci dalam
mitologi Hindu Jawa. Di dekat Gunung Bromo juga ada gunung kecil
yang dikeramatkan, yaitu Gunung Widodaren. Gunung itu dipercaya
sebagai tempat tinggal salah satu dari dua puluh lima putra Rara Anteng
dan Jaka Seger yang bernama Puspa Ki Gontong. Di lereng gunung
tersebut terdapat Goa Widodaren yang menitikkan air suci, yang
dipercaya dapat menyembuhkan segala penyakit. Penduduk asli
Tengger berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang hidup pada masa
pemerintahan kerajaan Majapahit. Saat Islam masuk ke Pulau Jawa
(Kerajaan Demak), terjadi persinggungan dengan kerajaan-kerajaan
Hindu di Pulau Jawa, salah satunya Kerajaan Majapahit. Merasa
terdesak oleh pengaruh Islam, banyak rakyat Majapahit kemudian
melarikan diri hingga ke Pulau Bali dan Lombok. Di Jawa, mereka
mengungsi ke pedalaman Gunung Bromo dan Semeru. Pasangan Roro
Anteng dan Joko Seger yang melarikan diri ke pedalaman Bromo,
kemudian menjadi penguasa daerah tersebut. Wilayah dan
masyarakatnya kemudian dinamai “Tengger” (dari Roro An-Teng dan Joko
Se-Ger).
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa yang masih berbau
Jawa Kuno. Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko,
bahasa sehari-hari terhadap orang yang setara, dan krama untuk
berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati.
Pada masyarakat Tengger tidak terdapat perbedaan kasta seperti di Bali.
Namun, ada sedikit perbedaan dalam penyebutan kata ganti orang.
Reang adalah aku (laki-laki), Isun adalah aku (wanita), Sira adalah kamu
(untuk seusia), Rika adalah kamu/Anda (untuk yang lebih tua atau yang
dihormati). Bapak biasa dipanggil Pak, ibu dipanggil Mak, kakek
dipanggil Wek, kakak dipanggil Kang (laki-laki) atau Mbak/Yuk

46
Belajar Dari Alam

(perempuan).
Ditinjau dari arti etimologisnya, kata teng berasal dari kata anteng
yang artinya “ora kakehan polah” (tidak banyak tingkah) kata ger dari kata
seger yang artinya “krasa enak sumyah ngemu adhem tumrap pangrasa ilat
utawa badan” (terasa enak, dingin/sejuk untuk lidah dan badan). Makna
lebih dalamnya dilihat dari kenyataan keseharian adalah kelompok
masyarakat yang sederhana, mengutamakan ketenteraman dan
kedamaian, yang tinggal di tempat yang sejuk. Makna tersebut sesuai
dengan letak geografis, yakni daerah perbukitan, dengan sebagian besar
penduduk bermata pencaharian bertani, dalam suasana suhu udara
pegunungan yang segar.
Di samping melaksanakan agama Hindu, masyarakat Tengger
juga memegang teguh tradisi kejawen leluhurnya. Tradisi itulah yang
menjadikan masyarakat Tengger unik. Masyarakat Tengger sangat patuh
pada pimpinan yang disebut “dukun”, sesepuh yang diangkat oleh
masyarakat. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan “sabda pandita ratu”, yaitu
taat melaksanakan perintah pemimpin. Bila “dukun” telah bertitah
(memerintahkan sesuatu), rakyat wajib melaksanakannya. Umumnya
dukun memerintahkan pelaksanaan semua tradisi leluhur yang
diwariskan kepada mereka.
Kesadaran masyarakat Tengger tentang pentingnya pendidikan
dan pengetahuan mulai dirasakan pada akhir abad ke-20, yaitu dengan
masuknya wisatawan ke daerah Tengger. Para wisatawan secara tidak
langsung menanamkan pengetahuan pada masyarakat sehingga
pengetahuan masyarakat meningkat. Pengetahuan tersebut kemudian
menjadi motivasi masyarakat untuk belajar lebih jauh.

Lingkungan Sosial Budaya Etnis Singkawang


Awalnya Singkawang, Kalimantan Barat, merupakan sebuah
desa, bagian dari wilayah Kesultanan Sambas. Desa Singkawang
merupakan tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari
Monterado, yang kebanyakan berasal dari negeri China. Sebelum
menuju ke Monterado, mereka terlebih dahulu beristirahat di
Singkawang. Singkawang juga sebagai tempat transit pengangkutan

47
Belajar Dari Alam

hasil tambang emas (serbuk emas). Waktu itu, mereka (orang


Tionghoa) menyebut Singkawang dengan kata San Keuw Jong (Bahasa
Hakka). Mereka berasumsi, dari sisi geografis, Singkawang sangat
menjanjikan: berbatasan langsung dengan Laut Natuna dan memiliki
wilayah daratan yang kaya, dihiasi pengunungan, hutan, dan sungai.
Melihat perkembangan Singkawang yang menjanjikan itu, tak sedikit
penambang pendatang itu beralih profesi menjadi petani dan pedagang,
dan akhirnya memutuskan untuk menetap di Singkawang.
Kota Singkawang juga dikenal dengan sebutan Kota Seribu Kuil,
karena di setiap sudut kota itu dapat ditemui banyak bangunan vihara
atau lebih dikenal sebagai kelenteng atau pekong. Bangunan vihara
tersebut memiliki arsitektur yang khas, didominasi warna merah, dan
hiasan naga. Suku yang dominan di Singkawang adalah Tionghoa,
Dayak, dan Melayu, gabungan ketiganya sering disebut sebagai “Tidayu”
(Tionghoa, Dayak, dan Melayu). Sedangkan suku-suku lain seperti
Jawa dan Madura bersifat minoritas. Dari ketiga suku tersebut, yang
paling besar adalahTionghoa. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
berbagai sudut kota dihiasi unsur budaya Tionghoa (China). Bentuk
bangunan, warna cat bangunan, jenis kuliner, ragam kesenian, warna
pakaian, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, hingga pernik-
pernik kehidupan sehari-hari, dipengaruhi budaya Tionghoa.Tegasnya,
kebudayaan Tionghoa, baik material maupun imaterial, sangat
mendominasi budaya masyarakat Singkawang.
Bahasa yang digunakan tentu saja didominasi bahasa/dialek
Tionghoa, selain bahasa Dayak, Melayu, Jawa, dan Madura. Dalam hal
kegiatan budaya, seperti halnya komunitas Tionghoa di Indonesia
lainnya, suku Tionghoa di Singkawang juga merayakan Imlek. Tahun
baru China merupakan tradisi yang selalu dirayakan secara megah oleh
seluruh masyarakat Singkawang. Tahun baru Imlek berasal dari tradisi
masyarakat Tiongkok yang mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan
atas panenan, dan sekaligus harapan agar musim berikutnya
memperoleh hasil yang lebih baik. Imlek selalu dirayakan selama 15
hari berturut-turut, dan hari ke-15, puncaknya, disebut dengan
perayaan Cap Go Meh. Perayaan itu sekaligus mampu menjadi ikon

48
Belajar Dari Alam

Kota Singkawang, yang mampu menarik wisatawan.


Puncak acara Imlek atau Cap Go Meh dimaksudkan untuk
menangkal gangguan atau kesialan di masa mendatang. Pengusiran roh-
roh jahat dan pencegahan terjadinya kesialan dalam tradisi Cap Go Meh
disimbulkan dalam pertunjukan Tatung. Atraksi Tatung dipenuhi unsur
mistik dan beratmosfer mencekam, karena banyak orang kesurupan.
Orang-orang kesurupan inilah yang disebut Tatung. Upacara
pemanggilan Tatung (atau roh orang yang sudah meninggal) dipimpin
oleh pendeta. Roh-roh yang dipanggil diyakini sebagai roh-roh yang
baik, yang dianggap mampu menangkal roh jahat yang hendak
mengganggu keharmonisan hidup masyarakat. Roh-roh yang dipanggil
untuk dirasukkan ke dalam Tatung diyakini sebagai roh para pahlawan
dalam legenda Tiongkok, seperti panglima perang, hakim, sastrawan,
pangeran, pelacur yang sudah bertobat, dan orang suci lainnya.
Roh-roh yang dipanggil dapat merasuki siapa saja, bergantung
pada para pemeran Tatung yang memenuhi syarat dalam tahapan yang
ditentukan pendeta. Para Tatung diwajibkan berpuasa selama tiga hari
sebelum hari perayaan, dengan maksud agar mereka berada dalam
keadaan suci sebelum dirasuki roh. Saat atraksi berlangsung, Tatung
yang sudah dirasuki roh akan bertingkah aneh. Ada yang menginjak-
injak sebilah mata pedang atau pisau, ada pula yang menancapkan
kawat-kawat baja runcing ke pipi kanan hingga menembus pipi kiri.
Anehnya, para Tatung itu sedikit pun tidak tergores atau terluka.
Beberapa Tatung yang lain dengan lahapnya memakan hewan atau ayam
hidup-hidup, lalu meminum darahnya. Di Singkawang, banyak pribumi
atau orang Dayak yang juga turut serta menjadi Tatung. Mereka
terdorong berpartisipasi karena ritual Tatung mirip upacara adat
Dayak. Sejak pertama kali datang ke Singkawang, masyarakat Tionghoa
menjalin persahabatan dengan penduduk pribumi, khususnya suku
Dayak. Karena itu, tak ada kecanggungan di antara dua etnis ini.
Di era orde baru, perayaan Imlek khususnya ritual Tatung,
dilarang dipertontonkan di depan umum. Tetapi di era Reformasi,
mantan presiden Gus Dur mengizinkan kembali, bahkan pemerintahan
berikutnya–Presiden Megawati Soekarnoputri- mengesahkannya

49
Belajar Dari Alam

dalam undang-undang. Dengan demikian, warga Tionghoa di


Singkawang menjadi lebih leluasa menjalankan tradisi atau upacara
keagamaan mereka. Di bidang pariwisata, Tatung berpotensi menarik
turis dalam negeri dan mancanegara. Selain mengangkat nama
Singkawang di dunia internasional, Tatung juga meningkatkan
perekonomian daerah setempat.Tentu saja, untuk mewujudkan potensi
ini menjadi kompetensi pariwiata dibutuhkan kerja keras dari
pemerintah daerah untuk mempersiapkan berbagai sarana pendukung
lainnya.
Di Singkawang selain akrab dengan acara Imlek atau Cap Go
Meh, juga dilaksanakan upacara Naik Dango. Upacara yang
dilaksanakan suku Dayak itu merupakan kegiatan ritual seputar panen
padi sebagai bentuk ungkapan syukur masyarakat Dayak kepada Sang
Pencipta. Upacara diadakan di setiap kabupaten yang memiliki warga
masyarakat yang berasal dari suku Dayak. Tempat pelaksanaan upacara
dilaksanakan secara bergantian antarkecamatan dalam setiap tahun, dan
ditetapkan oleh dewan adat kabupaten setempat. Di samping upacara
adat, diadakan pula pesta wisata dan budaya Naik Dango, berisi
berbagai pertunjukan kesenian, permainan tradisional, pameran,
seminar kebudayaan, dan pasar rakyat.
Jika dicermati dalam kehidupan sehari-hari, warga masyarakat
Singkawang menjalankan kehidupannya dengan sangat damai.
Singkawang tidak memiliki suku yang pluralitas. Hadirnya berbagai
etnis yang membangun Kota Singkawang, menempatkan pemerintah
harus mengembangkan nilai toleransi pendidikan di sekolah maupun
pemerintah terkait. Pernyataan itu didasarkan pada argumentasi
berikut. Pertama, setiap suku bangsa memiliki nilai, norma, dan moral
atau standar moral yang digunakan sebagai blue print perilaku dalam
komunitas.
Sesuatu yang dikatakan ‘baik’ menurut etnis tertentu, terkadang
berbeda dengan etnis yang lain. Misalnya, yang dikatakan cantik
menurut orangTionghoa adalah perempuan yang memiliki ukuran kaki
yang kecil. Berbeda halnya dengan orang Dayak, dikatakan cantik jika
memiliki tubuh yang ramping. Sedangkan bagi etnis Melayu berbeda

50
Belajar Dari Alam

lagi, dikatakan cantik jika memiliki kulit yang putih. Hanya melihat satu
aspek, yaitu ’perempuan cantik’, masyarakat memiliki pandangan
berbeda. Perbedaan itu tentunya juga berkait dengan berbagai nilai
yang digunakan sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan keluarga
dan masyarakat.
Implementasi nilai toleransi dalam dunia pendidikan terwujud
dalam kebijakan pemerintah yang tidak mengizinkan sekolah eksklusif
(hanya menampung siswa dari etnis tertentu, misalnya khusus sekolah
anak-anak Tionghoa). Sekolah-sekolah di Singkawang pada umumnya
memiliki siswa yang sangat multikultur, multietnis: ada Tionghoa,
Dayak, Melayu, Madura, Batak, dan sebagainya. Demikian juga dengan
guru-guru, di kota ini banyak guru dari etnisTionghoa yang mengajar di
kelas yang sebagian besar siswanya dari etnis Melayu. Mengingat nilai
karakter juga bersumber dari ajaran agama dan norma atau nilai
masyarakat (baca: etnis), terkadang terjadi perbedaan antara ‘sesuatu
yang dikatakan baik’ menurut guru, dengan ‘sesuatu yang dikatakan
baik’ menurut ajaran orangtua siswa. Untuk mengatasi hal itu,
masyarakat Singkawang menjunjung tinggi toleransi. Hal tersebut
bersinergi dengan pepatah yang berkembang dalam masyarakat,
seperti, Duduk sama rendah berdiri sama tinggi, artinya, semua warga
masyarakat memiliki derajat yang sama.
Jika dicermati dari uraian di atas, terkait fungsi kebudayaan
sebagai blue print perilaku, dapat dikatakan bahwa berbagai etnis yang
ada di Singkawang memiliki pandangan yang sama. (1) Ada nilai-nilai
yang mengikat secara ketat untuk etnis itu sendiri, namun tidak berlaku
untuk etnis yang lain. Misalnya, ada pantangan untuk mengkonsumsi
atau melakukan sesuatu bagi orang China, Dayak, Melayu, dan
sebagainya, (2) Ada nilai-nilai yang digunakan sebagai pedoman
tingkah-laku yang mengikat anggota etnis tertentu, dan berlaku juga
bagi etnis yang lain. Misalnya, toleransi, kebersamaan, dan kedamaian.
Nilai-nilai ini dijunjung tinggi oleh semua etnis di Singkawang,
yang terwujud dalam adat dan tradisi yang dapat diterima oleh
masyarakat luas. Bagi penduduk Singkawang, nilai-nilai semacam ini
sangat penting, mengingat semua etnis yang menempati wilayah itu

51
Belajar Dari Alam

bukanlah penduduk asli (native) yang dilingkari kebudayaan sendiri


(boundary society), melainkan warga masyarakat yang ‘tercerabut’ dari
kebudayaan asalnya, meski tidak dipungkiri kebudayaan asal tetap
menghegemoni dan menjadi referensi bagi pedoman tingkah laku.

Lingkungan Sosial Budaya Masyarakat Kutai Kartanegara


Kutai Kartanegara adalah kabupaten yang terkenal dengan
sebutan sebagai ‘kebupaten terkaya di Indonesia’, terletak di provinsi
Kalimantan Timur. Sesungguhnya, Kabupaten Kutai Kartanegara tidak
hanya kaya akan sumber daya alam, namun juga kaya akan tradisi dan
budaya. Contohnya adalah kebudayaan Kutai dan Dayak yang amat
berbeda, padahal keduanya berada di satu wilayah kabupaten.
Sebagian besar penduduk Kutai, terutama yang yang berdiam di
daerah pantai dan tepian sungai, memeluk agama Islam. Sebagian kecil
penduduk, yaitu yang tinggal di pedalaman, masih menganut
kepercayaan animisme. Sebagian lagi memeluk agama Kristen dan
Katolik. Kutai Kartanegara memiliki berbagai kegiatan seni budaya,
terutama yang diselenggarakan setiap tahun dalam rangka
memeriahkan Erau Kutai Kartanegara. Ada juga kegiatan kebudayaan
yang dilaksanakan pihak Lembaga Adat Kesultanan Kutai Kartanegara
ing Martadipura. Selain upacara-upacara sakral, lembaga tersebut juga
menyelenggarakan pagelaran seni budaya Kutai yang berlangsung di
Kedaton Kutai Kartanegara.
Upacara adat keraton yang ditampilkan umumnya berupa
serangkaian upacara adat perkawinan Kutai yang diawali dengan
Melamar, Nyorong Tanda, Akad Nikah, Bepacar, Mendi-Mendi dan
Bealis, Naik Penganten, Beluluh Pengantin, dan Naik Mentuha.
Upacara lainnya adalah Belenggang dan Mandi-Mandi, yang
dikhususkan bagi calon ibu yang tengah mengandung, dilanjutkan
upacara yang berkaitan dengan kelahiran anak seperti Tasmiyah, Naik
Ayun, dan Tumbang Apam. Kutai Kartanegara juga memiliki banyak
ragam kesenian, seperti tari Jepen, Tingkilan, Ganjar Ganjur, Topeng,
Hadrah, dan Rudat. Dalam pagelaran budaya semacam itu, biasanya juga
diperagakan busana tradisional bangsawan Kutai.

52
Belajar Dari Alam

Suku Kutai adalah suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan


Timur, mayoritas beragama Islam, dan hidup di tepi sungai. Mereka
merupakan bagian dari rumpun suku Dayak, khususnya Dayak rumpun
Ot-danum. Pada awalnya, Kutai merupakan nama teritori tempat
bermukimnya masyarakat asli Kalimantan atau Dayak. Namun seiring
berjalannya waktu, terbentuklah Suku Kutai, yang kebudayaannya
merupakan asimilasi budaya suku Dayak dengan pendatang, terutama
suku Jawa.
Sejarahnya diawali dari peperangan antara dinasti Kartanegara
dari Jawa dan Kutai Mulawarman dari Kalimantan, yang kemudian
justru meleburkan dua suku berbeda pulau itu menjadi satu hingga
sekarang. Suku Kutai termasuk suku Melayu Tua, sebagaimana suku
Dayak di Kalimantan Timur. Oleh karena itu, secara fisik suku Kutai
mirip dengan suku Dayak rumpun Ot-danum. Hubungan kekerabatan
suku Kutai dengan suku Dayak dikisahkan juga dalam tradisi lisan suku
Dayak, dengan berbagai versi di beberapa subsuku rumpun Ot-danum
(karena masing-masing subsuku memiliki sejarahnya sendiri).
Adat-istiadat lama suku Kutai banyak bermiripan dengan adat-
istiadat suku Dayak rumpun Ot-danum. Misalnya, dalam Festival Erau
(upacara adat yang paling meriah), ditampilkan juga ‘belian’ (upacara
tarian penyembuhan penyakit), dengan mantra-mantra serta ilmu gaib
(parang maya, panah terong, polong, racun gangsa, perakut, peloros,
dan lain-lain) yang dimiliki suku Kutai dan Dayak. Hingga saat ini,
masih ada suku Kutai di Desa Kedang Ipil yang menganut kepercayaan
Kaharingan, seperti banyak dianut suku Dayak. Festival Erau diadakan
untuk memperingati lahirnya Kabupaten Kutai Kartanegara, setiap
tanggal 28 September, dengan aktivitas antara lain Melas kampong
(bersih desa), Sedekah bumi, Belimbur (siram air tuli ke masyarakat untuk
tujuan pembersihan diri), Turunnya naga, Tempong tawar (menaburkan
beras kuning, yang bermakna menjauhkan mara bahaya).
Penduduknya terbagi menjadi lima puak (lima suku): Puak
Pantun, Punang, Pahu, Sendawar, dan Melani. Puak Pantun adalah suku
tertua di Kalimantan Timur, yang mendirikan kerajaan tertua di
nusantara yaitu kerajaan Kutai Martadipura di Muara Kaman, pada abad

53
Belajar Dari Alam

ke-4 Masehi. Raja pertamanya Kudungga. Kerajaan itu mengalami


masa kejayaan pada zaman dinasti ketiga, yang dipimpin Raja
Mulawarwan.
Di bawah Maharaja Mulawarman, kehidupan masyarakat maju
pesat. Pemerintahan berpusat di Martapura, dengan wilayah kekuasaan
terbentang dari dataran tinggi Tunjung (Kerajaan Pinang Sendawar)
hingga ke pesisir Kalimantan Timur, dengan menaklukkan kerajaan-
kerajan kecil di sepanjang wilayah itu. Puak Punang (Puak Kedang)
yang mendiami wilayah pedalaman diperkirakan merupakan
percampuran antara Puak Pantun dan Puak Sendawar (Tunjung-
Benuaq). Suku itu mendirikan kerajaan Sri Bangun di Kota Bangun
(atau dikenal dengan nama Negeri Daha pada masa pemerintahan Kutai
Matadipura). Puak Punang tersebar di wilayah Kota Bangun, Muara
Muntai, Danau Semayang, Sungai Belayan, dan sekitarnya. Puak Pahu
adalah suku yang mendiami wilayah Kedang Pahu, tersebar di Muara
Pahu dan sekitarnya. Puak Sendawar mendiami wilayah Sendawar (di
pedalaman Kutai Barat). Suku ini dahulu membangun Kerajaan
Sendawar di Kutai Barat dengan rajanya yang terkenal Aji Tulut
Jejangkat. Kemudian, mereka berpencar meninggalkan tanah aslinya
dan membentuk kelompok-kelompok baru yang sekarang dikenal
sebagai suku Dayak Tunjung, Bahau, Benuaq, Modang, Penihing,
Busang, Bukat, Ohong, dan Bentian.
Selain suku-suku asli, di wilayah Kutai terdapat pula suku-suku
yang datang dari tempat lain, seperti suku Dayak Kenyah, Punan,
Basap, dan Kayan. Suku Kenyah yang datang dari Apo Kayan,
Kabupaten Bulungan, kini mendiami wilayah Kecamatan Muara
Ancalong, Muara Wahau, Tabang, Long Bagun, Long Pahangai, Long
Iram dan Samarinda Ilir.
Suku Punan mendiami hutan belantara di seluruh Kalimantan
Timur, mulai dari daerah Bulungan, Berau, hingga Kutai. Mereka hidup
dalam kelompok-kelompok kecil di gua-gua batu dan pohon-pohon,
dibina oleh Departemen Sosial melalui Proyek Pemasyarakatan Suku
Terasing. Suku Basap, menurut cerita, merupakan keturunan bangsa
China yang kawin dengan suku Punan. Mereka mendiami wilayah

54
Belajar Dari Alam

Kecamatan Sangkulirang. Suku Kayan, berasal dari Kalimantan Tengah,


sering juga disebut suku Biaju. Mereka mendiami daerah Kecamatan
Long Iram.
Puak Melani mendiami wilayah pesisir, dan merupakan suku
termuda di antara puak-puak Kutai. Di suku ini terjadi percampuran
antara suku Kutai asli dengan suku pendatang seperti Banjar, Bugis,
Jawa, dan Melayu. Dapat dikatakan, puak merupakan kesatuan etnis.
Suku inilah yang mendirikan kerajaan Kutai Kartanegara. Mereka
mendiami wilayah pesisir seperti Kutai Lama dan Tenggarong. Dalam
perkembangannya, Puak Pantun, Punang, Pahu, dan Melani menjadi
Suku Kutai. Puak Sendawar (Puak Tulur Jejangkat) yang hidup di
pedalaman-lah yang kemudian oleh peneliti Belanda disebut sebagai
Orang Dayak.
Dari perspektif mata pencaharian, penduduk asli di pedalaman
dahulu hidup berpindah-pindah (nomaden), karena mata pencaharian
utama mereka adalah berladang secara berpindah-pindah, dan berburu.
Sedangkan penduduk di daerah pantai dan tepi sungai, selain bercocok
tanam secara menetap, ada juga yang hidup sebagai nelayan, pedagang,
dan pegawai pemerintah maupun swasta.
Sejarah dan kondisi geografis selalu memiliki pengaruh yang
besar dalam pembentukan budaya, yang kemudian menjadi karakter,
dari setiap sukubangsa. Karakter masyarakat Kutai adalah ramah tamah,
jujur, dan memiliki semangat gotong-royong yang tinggi. Tamu atau
pendatang dari luar sangat dihormati. Masyarakatnya juga sangat
religius dan memiliki toleransi antar umat beragama yang tinggi.
Masyarakat Kutai yang terdiri dari banyak suku dan subsuku memiliki
bahasa yang beragam.
Beberapa bahasa subsuku yang sudah tidak dipergunakan lagi
atau sudah punah adalah bahasa Umaa Wak, Umaa Palaa, Umaa Luhaat,
Umaa Palog, Baang Kelo, dan Umaa Sam, bahasa-bahasa tersebut
dahulunya lazim digunakan oleh masyarakat Dayak di hulu maupun
hilir Mahakam. Sekarang bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah
dikenal hampir di seluruh pelosok Kutai dan dipergunakan sebagai
bahasa dalam acara-acara resmi serta untuk berkomunikasi dengan

55
Belajar Dari Alam

orang luar daerah. Bahasa suku hanya dipergunakan untuk


berkomunikasi antar anggota suku sendiri.

Lingkungan Sosial Budaya Banjar


Suku Banjar terutama berdomisili di Kota Banjarmasin yang
merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan. Kota tersebut semula
terletak di antara dua sungai, yakni Sungai Barito dan Sungai
Martapura. Dengan perkembangan kota ke arah Barat, saat ini Sungai
Martapura seolah membelah dua Kota Banjarmasin. Karena kondisi
geografisnya, Kota Banjarmasin dijuluki Kota Seribu Sungai (City of
Thousand Rivers). Sebagian besar penduduknya (96%) beragama Islam,
sisanya beragama Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha.
Motto Kota Banjarmasin adalah Kayuh Baimbai (dayung sama-
sama), yang menggambarkan tekad kegotongroyongan penduduknya.
Motto Provinsi Kalimantan Selatan adalah Haram ManyarahWaja Sampai
Kaputing (haram menyerah, baja/kuat sampai ke ujung) yang
menggambarkan etos dan semangat kerja yang tak mudah
menyerah/putus asa. Hal itu juga menggambarkan sifat keberanian
masyarakat Kalimantan Selatan yang diwarisi dari Pangeran Antasari
pada waktu melawan penjajah Belanda.
Dari kronik sejarah diketahui bahwa kerajaan tertua di
Kalimantan Selatan adalah kerajaan Nan Serunai yang memiliki
kepercayaan animisme, yang kemudian diganti oleh kerajaan
Tanjungpuri yang masyarakatnya beragama Budha. Pada abad XIV,
wilayah Banjarmasin merupakan bagian dari negara Dipa dan negara
Daha, yang merupakan bagian dari kerajaan Majapahit. Kemudian pada
abad XV, Pangeran Samudera mengubahnya menjadi kerajaan Islam
dan mendirikan Kota Banjarmasin pada daerah pertemuan antara
Sungai Barito dan Sungai Martapura, pada 24 September 1526. VOC
kemudian menguasai Banjarmasin pada 1606. Hikayat Banjar yang
mengisahkan riwayat Kota Banjarmasin juga disebut dan lebih dikenal
sebagai Kisah Lambung Mangkurat.
Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Banjar. Selain
digunakan di provinsi Kalimantan Selatan, dengan banyaknya migrasi

56
Belajar Dari Alam

suku Banjar (urang Banjar), bahasa itu juga digunakan di Kalimantan


Timur, termasuk wilayah Kutai Kartanegara, Kabupaten Sampit di
Kalimantan Tengah, dan beberapa daerah di Sumatera, misalnya di
wilayah Muara Tungkal dan Tembilahan. Bahasa Banjar ada dua macam,
yakni bahasa Banjar Kuala yang digunakan oleh penduduk Banjarmasin,
Martapura, dan Pelaihari; serta bahasa Banjar Hulu yang digunakan
oleh penduduk di daerah Kabupaten Tapin, Kabupaten Tabalong, serta
sejumlah kabupaten di hulu sungai lainnya. Bahasa Banjar Hulu hanya
mengenal tiga vokal, yakni a, i, dan u. Bahasa Banjar Kuala sudah
mengenal vokal o dan e, kemungkinan karena banyak terpengaruh oleh
pergaulan dengan masyarakat Jawa. Berbagai ungkapan dan peribahasa
asli banyak bersumber dari bahasa Banjar Hulu.
Banyak ungkapan atau peribahasa yang masih berlaku di Kota
Banjarmasin yang dapat dipergunakan sebagai inspirasi pembangunan
karakter siswa. Ada peribahasa, Asal mambawa bujur lawan banar, salamat
(asal membawa sikap jujur dan benar pasti selamat). Bungul pada kalum
atau bungul pada kuduk (lebih bodoh daripada kelompen, atau lebih
bodoh daripada kodok). Peribahasa itu semacam sindiran agar orang
muda rajin belajar agar tidak bodoh seperti kelompen (benda mati yang
dipakai alas kaki) atau kodok.Yang berkaitan dengan nilai Kepedulian,
yakni Barandah pada kancur (lebih rendah daripada pohon kencur).
Maknanya, orang harus memiliki etika dan tatakrama, bersikap rendah
hati. Ada juga Kayuh baimbai (kayuh/dayung bersama-sama), yang
maknanya, orang hidup harus terbiasa bergotong royong, bekerja sama
mencapai satu tujuan. Ungkapan ini menjadi motto Kota Banjarmasin.
Pepatah Haram manyarah, waja sampai ka puting (haram menyerah,
baja/kuat sampai ke ujung) menyiratkan nilai karakter Ketangguhan.

Lingkungan Sosial dan Budaya Bugis


Bugis merupakan salah satu suku bangsa di Sulawesi Selatan,
yang mendiami Kabupaten Bulu Kumba, Sinjai, Bone, Soppeng,
Sindenreng-Rappang, Polewali-Mamasa, Luwu, Pare-pare, Barru,
Pangkajene, dan Maros. Suku bangsa Makassar juga kerap dikaitkan
dengan suku bangsa Bugis, sehingga sering ditemukan istilah Bugis-

57
Alam Takambang Jadi Guru

Makassar. Penduduk Sulawesi Selatan sebagian besar bermata


pencaharian sebagai nelayan dan petani. Itu sebabnya mereka sangat
memperhatikan cuaca, misalnya hujan dan angin. Wilayah pemukiman
suku Bugis ada yang berupa dataran rendah, daerah perbukitan, dan
daerah pegunungan.
Bahasa yang digunakan sehari-hari dalam berkomunikasi adalah
bahasa Bugis dengan dialek tersendiri yang dikenal dengan bahasa Ugi.
Bahasa tersebut mempunyai aksara/huruf Bugis yang disebut aksara
Lontara Bugis. Aksara itu telah ada sejak abad ke-12, yaitu sejak
meluasnya pengaruh Hindu di Indonesia. Lontara ialah aksara asli
masyarakat Bugis-Makassar, bukan asimilasi apalagi pengaruh budaya
lain, termasuk dari India. Bentuk aksara lontara, menurut budayawan
Prof. Mattulada (alm), berasal dari sulapa eppa wala suji. Wala suji berasal
dari kata wala, artinya, pemisah/pagar/penjaga dan suji berarti puteri.
Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk
belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis
kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan
semesta, api-air-angin-tanah. Hal itu mencerminkan pengaruh filsafat
Islam.
Aksara lontara, yang berisi syair-syair bermakna sangat dalam
dan kebijakan yang sangat tinggi. Contoh syair yang berasal dari huruf
(bahasa) Sansekerta:

De’ga pasa’ ri lipumu


Balanca ri kampommu
Mulinco’ mabela?

Artinya:
Tak adakah pasar di negerimu
Maka engkau mengembara jauh
Untuk berbelanja?
Di masyarakat Sulawesi Selatan ada beberapa sistem
kekerabatan.Yang pertama, keluarga inti atau keluarga batih. Keluarga
tersebut merupakan sistem keluarga yang terkecil. Dalam bahasa

58
Belajar Dari Alam

Bugis, sistem keluarga seperti itu dikenal dengan istilah sianang, yang
terdiri atas bapak, ibu, anak, saudara laki-laki bapak, atau ibu yang
belum menikah. Yang kedua, sepupu, yaitu kekerabatan yang terjadi
karena hubungan darah, baik dari pihak ibu maupun pihak bapak.
Kekerabatan yang disebut juga dengan istilah sompulolo ini terdiri atas
dua macam, yaitu sepupu dekat dan sepupu jauh. Sepupu dekat adalah
sepupu satu kali sampai tiga kali, sedangkan sepupu jauh adalah sepupu
empat kali sampai lima kali.
Pola ketiga adalah keturunan, yaitu kekerabatan yang terjadi
berdasarkan garis keturunan baik dari garis ayah maupun garis ibu.
Mereka biasanya tinggal di satu kampung. Terkadang ada juga keluarga
yang bertempat tinggal di daerah lain, biasanya karena jalinan/ikatan
perkawinan dengan seseorang yang bermukim di daerah tersebut. Bagi
masyarakat Bugis, kekerabatan semacam ini disebut Siwija. Yang
keempat adalah pertalian sepupu/persambungan keluarga.
Kekerabatan tersebut muncul setelah ada hubungan kawin antara
rumpun keluarga yang satu dan yang lain. Kedua rumpun keluarga
tersebut biasanya tidak memiliki pertalian keluarga sebelumnya,
namun kemudian kedua pihak saling menganggap pihak lain sebagai
keluarga sendiri. Hubungan itu disebut kekerabatan Siteppang-
teppang.
Kekerabatan keenam adalah Sikampong, yang terbangun karena
bermukim dalam satu kampung, sekalipun orang-orangnya sama sekali
tidak ada hubungan darah/keluarga. Perasaan akrab dan saling
menganggap saudara/keluarga muncul karena kesamaan pemukiman.
Biasanya hal itu dialami orang Bugis di perantauan. Dalam perantauan,
mereka saling menopang, membantu dalam segala hal karena merasa
senasib sepenanggungan.
Orang Bugis masih hidup dalam norma dan aturan yang
dianggap luhur dan keramat. Budaya Bugis menjunjung tinggi
kehormatan, yang tewujud dalam sistem sosial Sir’i na Pesse (menjaga
kehormatan diri). Tanpa kehormatan dan tanpa siri’ na pesse, mereka
menganggap tidak layak hidup sebagai manusia. Hidup tanpa
kehormatan bak hidup laiknya binatang. Bahkan mereka berprinsip

59
Belajar Dari Alam

lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dengan kehormatan


tercabik-cabik. Siri’mi narituo, narekko degage siri’na sirupaini olok-koloe
(karena malu kita hidup, kalau tidak ada malu, tidak ada beda dengan
binatang). Sistem kekerabatan dalam budaya Bugis Makassar dianggap
sebagai asal muasal munculnya tradisi siri’ na pesse ini.
Zainal Abidin Farid (1983:2) membagi adat siri dalam dua
jenis, yakni (1) Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina
atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Dia (atau keluarganya)
harus menegakkan Siri’-nya untuk mengembalikan kehormatan yang
telah dirampas. Jika tidak, dia akan disebut mate siri (mati harkat dan
martabatnya sebagai manusia) dan (2) Siri’ Masiri’, yaitu pandangan
hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan, atau
mencapai suatu prestasi, yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan
segala jerih payah, demi Siri’ itu sendiri dan demi Siri’ keluarga dan
kelompok. Ada ungkapan Bugis yang menyatakan bahwa Narekko
sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji punggawako (Kalau kamu pergi
merantau, janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk
menjadi pemimpin).
Dalam masyarakat Bugis Makassar, kekerabatan juga sinonim
dengan kehormatan. Membaur menjadi anggota dari suatu rumpun
kekerabatan yang terhormat adalah suatu kebanggaan. Sering terjadi
pernikahan antarkeluarga yang ongkos sosialnya sangat tinggi dalam
bentuk uang panaik (semacam persembahan atau mas kawin). Selain
biaya teknis, pesta pernikahan yang perlu ditanggung oleh keluarga
calon mempelai lelaki, uang panaik juga merepresentasikan biaya
asimilasi menjadi anggota keluarga dari rumpun kerabatan calon
mempelai perempuan. Pembauran ke rumpun kerabat yang terhormat
dapat menaikkan derajat kehormatan keluarga lelaki. Untuk itu,
ongkosnya memang tidak murah.

Lingkungan Sosial Budaya Makassar


Suku Makassar sebenarnya identik dengan suku Bugis. Mereka
berasal dari rumpun yang sama, yaitu tergolong ke dalam suku-suku
Melayu Deutero, yaitu gelombang migrasi pertama dari daratan Asia,

60
Belajar Dari Alam

tepatnya dari Yunnan ke nusantara. Lidah Makassar menyebut


‘Mangkasara’, artinya mereka yang bersifat terbuka. Mereka mendiami
Kota Makassar, Kabupaten Gowa, dan Maros. Suku Makassar gemar
berperang, jaya di laut, berjiwa penakluk, namun demokratis dalam
memerintah. Karena identik dengan suku Bugis, kedua suku itu sering
disebut Bugis-Makasar. Namun, sebenarnya baik Bugis maupun
Makasar mempunyai beberapa perbedaan.
Dalam hal menanyakan kabar seseorang, baik orang Bugis
maupun Makassar menggunakan sapaan yang sama, yaitu “Aga kareba?”
Namun, saat menjawab, mereka berbeda. Orang Makassar menjawab
”Baji-baji ji” (baik-baik saja), orang Bugis menjawab ”Kareba madeceng”
(kabar baik). Prinsip hidup suku Makassar mirip dengan orang Bugis,
yaitu Siri’ na pace, kata siri’, artinya, membela kehormatan orang-orang
yang hendak memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce artinya
membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan.
Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi, Punna tena
siriknu, paccenu seng paknia (kalau tidak ada siri’/harga dirimu,
paccelah/kekerabatan kau pegang teguh –karena mereka yang akan
menolong kita saat menderita). Apabila siri’na pacce sebagai
pandangan hidup tidak dimiliki, orang akan bertingkah laku seperti
binatang. Mereka tidak memiliki harga diri dan rasa kepedulian sosial.
Sesungguhnya budaya Makassar bertitik sentral pada konsepsi
mengenai “tau” (manusia). Manusia amat dijunjung tinggi
keberadaannya. Konsep itu mendasari pandangan hidup orang
Makassar, yang amat menghargai kemanusiaan dan sesama manusia.
Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya
sipakatau, artinya, saling memahami dan menghargai. Falsafah sipakatau
membantu orang Makassar mencapai keharmonisan dan
memungkinkan kehidupan masyarakat berjalan sesuai harkat dan
martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan. Yang
dinilai pada diri seseorang adalah kepribadian dan adat/budayanya.

Lingkungan Sosial Budaya Suku Kaili


Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-

61
Belajar Dari Alam

temurun tersebar mendiami sebagian besar Provinsi Sulawesi Tengah,


khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Sigi, dan Kota Palu, di seluruh
daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki,
Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah
pantai Timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong,
Tojo-Una Una, dan Poso. Suku Kaili mempunyai adat istiadat
(termasuk hukum adat) sebagai pedoman hidup yang dipatuhi.
Pada masa sebelum agama Islam dan Kristen masuk, banyak
upacara adat dilakukan dengan mantera-mantera yang mengandung
kepercayaan animisme. Setelah agama Islam dan Kristen masuk, pesta
perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara upacara adat
setempat dan upacara menurut agama yang dianut. Hubungan
kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat tampak saat ada kegiatan
pesta adat, kematian, perkawinan, dan kegiatan bertani yang disebut
sintuvu (kebersamaan/gotong royong). Salah satu sikap hidup mereka
adalah tidak menginginkan jarak atau perbedaan antara kaya dan
miskin. Mereka yang tergolong mampu akan menolong kerabatnya
untuk hidup lebih layak. Sikap itu mewarnai karakter peduli di kalangan
anak muda dan pelajar.

Lingkungan Sosial Budaya Suku Bajo


Suku Bajo banyak berdomisili di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi
Tenggara, suatu wilayah yang sangat terkenal dengan keindahan alam
bawah lautnya. Ada juga suku Bajo yang mendiami wilayah Sulawesi
Tengah maupun NTT.Wakatobi yang menjadi wilayah koloni suku Laut
Bajo merupakan kependekan dari nama pulau-pulau besar, yaitu
Wangi-wangi, Kaledupa, Tomea, Binongko (Wakatobi). Suku Bajo
menetap di perairan Wakatobi. Laut bagi Suku Bajo, menjadi tumpuan
hidup, sebagai tempat tinggal, tempat mencari nafkah, dan melakukan
kegiatan sosial. Mereka mendapat julukan sea nomads, yang artinya
kaum yang hidup berpindah-pindah dari laut ke laut. Sebagai suku
pelaut yang sering berpindah-pindah tempat, mereka juga dikenal
sebagai kaum imigran. Karena itu, masyarakat Bajo tersebar tidak
hanya di Pulau Sulawesi, tetapi juga di Pulau Flores, Sumbawa, sebagian

62
Belajar Dari Alam

Papua, hingga Kepulauan Riau. Di tempat barunya, mereka akan


mendiami tepian-tepian pantai dengan membangun rumah-rumah
panggung dari bambu beratap rumbia.
Suku Bajo menjadikan perahu atau sampan sebagai rumah dan
alat transportasi utama, sekaligus sebagai alat dan tempat mencari
nafkah. Mereka menjual berbagai hasil tangkapan laut sebagai mata
pencaharian utama mereka. Karena berdiam di perahu-perahu yang
mereka disain sebagai tempat bermukim, perahu itu mereka sebut
palemana atau rumah perahu. Tidak salah jika ada yang menyebut
mereka sebagai Orang-orang Perahu. Selain sampan sebagai pusat
kegiatan ekonomi, kerajinan kain tenun tradisional juga menjadi
kegiatan tidak terpisahkan dari kaum ibu di Wakatobi. Kain-kain yang
disebut ledja dan kasopa ditenun dengan alat-alat tradisional, dengan
motif yang khas. Suku Bajo masih lebih percaya pada kearifan lokal
(tatacara hidup tradisional) ketimbang bergantung kepada instrumen
dan budaya modern yang mulai melandaWakatobi.
Salah satu kearifan lokal masyarakat Bajo adalah konsepnya
dalam konservasi sumber daya laut. Laut dan keanekaragaman hayati
yang terkandung di dalamnya merupakan sumber kehidupan. Mereka
menggantungkan hampir seratus persen sumber mata pencahariannya
dari hasil laut. Ketergantungan mereka terhadap laut tercermin dalam
pembagian hierarki kelompok sosial masyarakatnya. Ada empat
kelompok masyarakat yang dibagi menurut kebiasaan mencari ikan di
laut, yakni kelompok Lilibu (yang melaut satu hingga dua hari),
Papongka (melaut satu hingga dua minggu), Sakai (melaut satu hingga
dua bulan), dan Lame (yang melaut hingga berbulan-bulan).
Kearifan lokalnya adalah dalam hal mengatur dan mengelola
waktu berkaitan dengan aktivitas di laut, yang dibedakan menurut jenis
biota lautnya. Misalnya, kegiatan pengambilan teripang dan kerang-
kerangan biasanya mereka lakukan hanya pada bulan tujuh dan delapan
setiap tahun. Menangkap ikan mereka lakukan hanya pada bulan sebelas
dan dua belas, dan empat bulan yang tersisa mereka gunakan untuk
menangkap jenis biota laut lainnya. Praktik seperti itu tentu saja
memberi peluang lebih banyak bagi sumber daya hayati laut untuk

63
Belajar Dari Alam

berkembang biak dan pada gilirannya akan menjamin kuantitas dan


kualitas hasil tangkapan, meskipun nelayan hanya menggunakan alat
sederhana seperti pancing dan tombak.

Lingkungan Sosial Budaya Suku Buton


Kabupaten Buton terletak di bagian Tenggara Pulau Sulawesi,
meliputi sebagian pulau Muna dan Pulau Buton. Kabupaten Buton di
sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Muna, di sebelah Selatan
berbatasan dengan laut Flores, di sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Wakatobi, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten
Bombana. Suku yang dominan adalah suku Buton, yang memiliki
sekitar 73 subetnik. Adapun etnik dan subetnik yang dominan adalah
etnik Walio, Wakatobi, Cia-Cia, dan Gulamas. Bahasa daerah yang
digunakan adalah bahasa Walio, Wakatobi, Cia-Cia, Gu, dan masih
banyak lagi bahasa daerah yang khas.
Masyarakat Buton memiliki karakteristik sosial budaya yang
sangat beragam, yang mengindikasikan bahwa masyarakat yang tinggal
di Pulau Buton terbuka terhadap perubahan dan kemajuan. Kebiasaan
merantau orang Buton merupakan jembatan bagi kemajuan. Aktivitas
berlayar suku Buton ke berbagai penjuru dunia membawa pulang
berbagai informasi dan membuka wawasan masyarakat Buton untuk
hidup lebih maju. Sebagai suku pelaut yang andal, karakteristik perahu
orang Buton sangat unik, menggambarkan kejayaan pelaut di masa
lampau. Perahu tersebut dikenal dengan nama boti.
Kegiatan pesta adat yang masih dilaksanakan oleh masyarakat
Buton dinamakan kandea-kandea. Pesta adat dilaksanakan untuk
menyukuri nikmat panen hasil bumi di setiap desa, dan untuk
mendoakan keberhasilan masyarakat dalam mengolah hasil buminya,
agar selalu meningkat dan berkelanjutan. Masyarakat di sini memiliki
kegiatan yang menarik, yaitu forum diskusi untuk mambahas berbagai
permasalahan desa. Dalam diskusi secara adat itu, dibahas persoalan
kehidupan masyarakat, antara satu individu dengan individu yang lain,
individu dengan kelompok masyarakat, interaksi masyarakat dengan
sumber daya alam berkaitan dengan penerapan hukum adat atas sumber

64
Belajar Dari Alam

daya alam yang dilindungi, dan sebagainya. Seluruh proses diskusi


dilakukan dengan penuh kekeluargaan dengan hasil yang disepakati
bersama.
Adat yang mengandung semangat “kesepakatan” dan
“kebersamaan” tersebut terungkap dalam prinsip yang disebut Pobinci-
binci kuli. Jika prinsip “kesepakatan” membentuk nilai persatuan,
“kebersamaan” membentuk nilai “tenggang rasa”. Hubungan antara
penguasa dan rakyat (vertikal) dan sesama rakyat (horizontal) dilandasi
kedua prinsip nilai tersebut.

Lingkungan Sosial Budaya Suku Minahasa


Provinsi Sulawesi Utara terletak di jazirah Utara Pulau Sulawesi
dan merupakan salah satu dari tiga provinsi di Indonesia yang terletak di
sebelah utara garis khatulistiwa. Suku yang dominan adalah Suku
Minahasa, dengan sembilan subsuku yaitu Tonsea, Tombulu,
Toutemboan, Tondano, Tonsawang, Pasan Ratahan, Ponosakan,
Babontahu, dan Bantik. Bahasa daerah yang kerap digunakan adalah
bahasa Manado dan bahasa Minahasa, yang terdiri atas bahasa lokal,
yaitu bahasa Tonsawang, Toutemboan, Toulour, Tonsea, dan Tombulu.
Agama yang dianut para penduduk adalah Kristen Protestan (89%),
Katolik Roma (10,5%), dan Islam (0,5%).
Dalam masyarakat Minahasa, terdapat semangat kerja sama yang
mencakup semua aspek kehidupan. Mereka saling membantu dalam
menghadapi kendala hidup baik, baik secara perorangan maupun
antarkelompok, yang dinamakan mapalus. Kerja sama kelompok
dibedakan, misalnya, bila berdasarkan wilayah disebut Mapalus kampung
Sendangan, berdasarkan kekerabatan disebut Mapalus Pemuda,
berdasarkan perkumpulan Kumawangkoan, berdasarkan marga/keluarga
Mapalus keluarga besar Lapian, Masengi. Kegiatan mereka pada
umumnya berkaitan dengan kegiatan sosial, seperti Mendu impero’ongan
(kegiatan kerja bakti di kampung atau lingkungan tempat tinggal);
Berantang (kegiatan membantu keluarga yang berduka); Sumakey
(kegiatan bersama dalam acara syukuran). Ada pula kegiatan mereka
yang tidak bersifat sosial, melainkan ekonomi dan keuangan, seperti

65
Belajar Dari Alam

Ma’endo (usaha bersama untuk menggarap kebun atau perbaikan


rumah); dan Pa’ando (arisan).

Lingkungan Sosial Budaya Suku Gorontalo


Gorontalo adalah provinsi di Indonesia yang terletak di daerah
yang dikenal sebagai Semenanjung Minahasa. Wilayah Gorontalo
membentang dari Timur ke Barat di bagian Utara Pulau Sulawesi. Suku
yang dominan adalah Suku Gorontalo, dengan bahasa Gorontalo.
Namun, mengingat kaum muda banyak yang tidak tahu tentang bahasa
Gorontalo, bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Indonesia.
Para guru dan siswa di sini mengaku iri kepada suku Jawa. Ketika
bertemu dengan orang sesama sukunya, orang Jawa akan menggunakan
bahasa Jawa. Hal itu tidak berlaku bagi suku Gorontalo. Bila mereka
bertemu dengan sesama warga Gorontalo, mereka akan menggunakan
bahasa Indonesia. Di rumah pun, bahasa sehari-hari juga bahasa
Indonesia.
Kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Gorontalo dijalankan
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh nenek
moyang sejak dahulu. Hal itu dapat dilihat dari Tahudu lo mongopanggola
(ucapan orang-orang tua), yang tertuang dalam Buku Empat Aspek Adat
Daerah Gorontalo, 1985:

Aadati ma dili-dilito Adat telah dipatokkan


Bolo mopo’aito Tinggal merangkaikan,
Aadati ma hunti-huntingo Adat telah ditetapkan
Bolo mopodembingo Tinggal melekatkan
Diduboli-diduboli Jangan lagi
Tomali’a limongoli Kamu mengubahnya

Namun, bahwa adat dan hukum dapat dan selalu berubah sesuai
perkembangan zaman, para leluhur yang arif bijaksana sudah
memikirkannya. Hal itu diumpamakan dengan pepatah tentang
‘mengayuh biduk’ sebagai berikut.

66
Belajar Dari Alam

Wonu tangga kumoungo Jika galah bengkok


Poötulide dahulungo Luruskan arahnya
Wonu tangga mobibidu Jika galah berpilin
Ito mopoötulidu Kita meluruskannya
Wonu tangga tumumbolo Jika galah patah
Ito tuö-tuödulo Kitalah yang mendayungnya

Pada waktu agama Islam mulai menjadi agama masyarakant


Gorontalo, pada abad ke-16, ada kata-kata bijak leluhur yang terkenal,
Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah (Adat berdasarkan syariat,
syariat berdasarkan Kitab Suci Al Quran). Kata bijak itu mirip pepatah
di Suku Minang. Tatakrama adat yang dilaksanakan masyarakat
Gorontalo haruslah sesuai dengan ajaran agama. Kebudayaan yang
bernafaskan Islam lambat laun masuk ke dalam tataadat Gorontalo,
antara lain melalui bahasa, musik, tatakrama perhelatan, bahkan sapaan
seperti Aba (Ayah), Umi (Ibu), Ami (Paman). Kata-kata itu berasal dari
bahasa Arab.
Nilai adat Gorontalo, pada hakikatnya, adalah saling menghargai
dan menghormati. Walaupun pada dasarnya manusia sama, namun
Allah memberikan amanah kepada yang dikehendaki-Nya (pemimpin).
Allah menciptakan manusia tidak serentak di seluruh dunia tetapi
berlapis-lapis, turun temurun, sehingga terjadi tingkatan orang tua,
muda, dan anak-anak. Demikian pula susunan masyarakat ada yang
dituakan karena jabatannya atau ilomato-nya (karyawan) dan ada pula
rakyat (tuangolipu).Yang muda menghormati yang tua dan masyarakat
menghormati pimpinan. Tatakrama menghormati orang lain bukan
dianggap sikap merendahkan diri, malah dapat mengangkat derajat diri
seseorang. Yang dihormati merasa dihargai, sedangkan yang
menghormati terangkat derajatnya sebagai manusia yang mengenal
tatakarma, adat, dan keadaban. Muara dari penghormatan itu ditujukan
kepada Allah SWT, seperti tersimak dari kata-kata arif leluhur sebagai
berikut.

67
Belajar Dari Alam

Wolipopo todidi lobaya Kunang-kunang (amanah) di dahi


Tuau lo humaya Merupakan suatu tanda
U wito u tombuluo Itu yang dihormati
TuotoTio woluwo Pertanda Dia (Allah) itu ada

Sifat menjunjung tinggi tatakrama yang berhubungan dengan


budaya saling menghormati, salah satunya tercermin dalam kebiasaan
’sapaan’/‘toli’ atau nama panggilan bagi seseorang. Sapaan akan
memperlihatkan kadar kehormatan yang disapa maupun yang
menyapa.
Tak dapat dihindari, banyak pengaruh budaya luar masuk ke
Gorontalo, mengingat letak geografisnya yang amat terbuka. Pengaruh
itu datang, misalnya, dari negeri Arab, Cina, negara-negara Barat,
maupun dari daerah-daerah lain di tanah air. Namun budaya leluhur
tetap dilestarikan. Ito tuö- tuödulo (Kitalah yang mendayung/
mengendalikan), sebagaimana tercantum dalam bait terakhir pesan
leluhur.

Lingkungan Sosial dan Budaya Suku Samawa


Pulau Sumbawa merupakan bagian dari dua pulau besar
Lombok-Sumbawa, yang merupakan bagian utama Provinsi Nusa
Tenggara Barat atau NTB. Di Pulau Sumbawa terdapat dua etnis besar.
Etnis Tau Samawa berdiam di Kabupaten Sumbawa Barat dan
Kabupaten Sumbawa Besar. Etnis Mbojo berdiam di Kabupaten
Dompu dan Kabupaten-Kota Bima. Kedua etnis tersebut memiliki
perbedaan yang cukup signifikan, terutama dari aspek kebahasaan.
Selain itu, di Pulau Sumbawa banyak etnik pendatang, seperti etnik
Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar),
Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), dan
Cina (Tolkin danTartar), serta Arab.
Salah satu suku Sumbawa yang disebut Suku Samawa atau Tau
Samawa mendiami bagian Barat Pulau Sumbawa, yang merupakan
bekas wilayah Kesultanan Sumbawa. Suku Samawa adalah pembauran
antara kelompok etnik pendatang baru dengan kelompok etnik

68
Belajar Dari Alam

pendatang yang lebih dahulu/lama datang. Dalam diri orang Samawa


terdapat darah etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis,
Mandar, dan Makasar), Sumatera (Padang, Palembang), Kalimantan
(Banjarmasin), Cina, dan Arab. Sebagian penduduk yang mengklaim
sebagai pribumi atau suku Samawa asli menempati wilayah pegunungan
seperti Tepal, Dodo, dan Labangkat. Hal itu terjadi karena daerah
pesisir dan dataran rendah tempat hunian mereka terdahulu, tidak
dapat ditempati lagi pascabencana alam letusan GunungTambora.
Kesadaran akan identitas budaya sendiri muncul dengan
kehadiran bahasa Sumbawa atau basa Samawa sebagai bahasa persatuan
multietnik di pulau ini. Bermula dari bahasa Sumbawa purba (prabasa
Samawa), bahasa Samawa kemudian pecah menjadi dua dialek, yakni
pradialek Taliwang-Jerewe-Tongo dan pradialek Sumbawa Besar
(disebut juga dialek Seran). Selanjutnya, pradialek Taliwang-Jereweh-
Tongo pecah menjadi tiga dialek, masing-masing dialek Taliwang,
dialek Jereweh, dan dialekTongo.
Budaya yang terkait dengan adat dan tradisi masyarakat
Sumbawa Besar yang menjadi bagian dalam penanaman pendidikan
karakter di sekolah, di antaranya adat nyorong, yang artinya mengantar
barang bawaan untuk bantuan. Maknanya adalah kebersamaan. Hal itu
masih dipahami dan diyakini siswa umumnya, karena mereka masih
sering melihat dan menyaksikan langsung para orangtua mereka
melaksanakan adat tersebut. Terkait etika dan tatakrama, ada budaya
tabe yang artinya permisi, yang berarti pentingnya menghormati orang
lain, terutama yang lebih tua. Hal itu juga masih dipahami dan diyakini
para siswa umumnya dan sering diterapkan. Ada lagi budaya Seseng
kalenge angan kabalong, yang artinya anjuran untuk menghindari
perbuatan tercela dan anjuran untuk saling membantu sesama
tetangga.

Lingkungan Sosial Budaya Etnis Sikka


Kabupaten Sikka tempat berdiam etnis Sikka, terletak di bagian
tengah Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan ibukota
Maumere, yang terletak di pantai Utara Kabupaten Sikka. Kabupaten

69
Belajar Dari Alam

tersebut memiliki wilayah daratan dan beberapa pulau kecil, antara lain
Pulau Besar, Pulau Sukun, dan Pulau Pananan. Topografis kabupaten
Sikka terdiri atas dataran rendah, pegunungan, dan pantai. Pesisir
pantai Utara Sikka dihuni suku Bajo yang berumah panggung di atas air.
M. Yamin (dalam Mandalangi, 2011:4) menerjemahkan nama
Pulau Flores sebagai Pulau Bunga yang berasal dari bahasa Latin flores,
berarti ‘bunga-bunga’, meniru sebutan bangsa Portugis. Dalam
pelayaran Antonio Pigafetta dan Magelhaens (Magellans) pada abad ke-
15, mereka menamakan Tanjung Flores Timur dengan Cabo de Flores
yakni Tanjung Bunga (S.M. Cabot 1544 dalam Mandalangi, 2011:4).
Selanjutnya, seluruh pulau ini dikenal sebagai Pulau Flores atau Pulau
Bunga atau Nusa Bunga, sesuai alam Pulau Flores yang indah. Di
Kabupaten Sikka terdapat gunung berapi, yaitu Iling-Api Egon(g). Pada
Zaman Purba, penduduk Sikka Krowe menyebutnya secara lengkap
dengan Iling-Api Egon(g) Mapitara. Menurut Oscar Pareira
Mandalangi (2011:5), mapitara berarti sama bengisnya ia dengan
Gunung Merapi yang ada di Pulau Jawa.
Suku yang dominan di Kabupaten Sikka ada 6 etnis, yaitu Ata
Sikka Krowe, Ata Lio-Krowe atau Ata Lio-Ma’umere, Ata Tana ‘Ai atau
Ata Sikka Tana ‘Ai, Ata Krowin Tana ‘Ai, Ata Mohan(g) atau Ata Sikka
Mohan(g),Ata Palu’e atau Ata Lu’a Kapa Raja, dan AtaTidong Bajo Lau.
Penduduk Kabupaten Sikka tersebar di 21 kecamatan. Konsentrasi
penduduk perkotaan ada di Kota Maumere dan kawasan Geliting di
Kewapante. Mayoritas penduduk Kabupaten Sikka beragama Katolik
(91%). Mulai 2005, wilayah Sikka menjadi keuskupan baru, yakni
keuskupan Maumere, yang berada di bawah Keuskupan Agung Ende.
Kawasan pesisir Utara cukup banyak dihuni oleh warga keturunan etnik
Tidung, Bajo, Bugis, Jawa danTionghoa.

Lingkungan Sosial dan Budaya Etnis Kupang


Etnis Kupang banyak berdiam di Pulau Timor di NTT.Terutama
di Kota Kupang. Kupang tidak hanya merupakan kota yang multietnis,
tetapi juga multibangsa, karena selain banyak suku bangsa Indonesia
tinggal di kota ini (Jawa, Bugis, Timor), juga ada bangsa lain seperti

70
Belajar Dari Alam

Belanda dan Portugis. Orang Kupang umumnya sangat ramah dan


mudah tertawa. Masyarakatnya dibedakan dalam kelas-kelas sosial:
kelas bangsawan disebut Amaf, para pemimpin/penguasa disebut
Alupas, orang biasa disebut Too. Pada zaman sebelum sekarang, ada juga
kelas budak yang disebut Ata. Masing-masing kelas sosial memiliki
fungsi tersendiri dalam masyarakat dan terlihat pada saat ritual tradisi
diselenggarakan. Agama yang banyak dianut adalah agama Katolik,
Kristen, kemudian Islam. Anehnya, apapun agama yang dianut, mereka
juga tetap mempraktikkan kepercayaan nenek moyang/leluhur.
Orang Kupang mengembangkan seni tenun ikat, yang
merupakan karya budaya lokal, dengan corak penuh warna yang indah
dan bermakna. Tenun ikat Kupang telah diakui sebagai warisan budaya
nasional.

Lingkungan Sosial Budaya Maluku-Ambon


Maluku, sebagai provinsi yang terdiri banyak pulau, mempunyai
budaya khas dan unik yang memberi kekuatan nilai karakter
penduduknya. Budaya khas dan unik itu terbentang dalam kehidupan
suku Ambon, Lumoli, Nuaulu, Pelauw, dan Rana, yang mendiami
Kepulauan Maluku sejak ratusan tahun yang lalu. Sembilan puluh
persen dari luas daerahnya merupakan lautan.Tidak heran jika sebagian
besar masyarakat Maluku hidup sebagai nelayan, dan Maluku
merupakan penghasil ikan terbesar di Indonesia. Terkait alamnya yang
khas, muncullah aneka produk budaya berupa tari, lagu, ukiran,
anyaman, tenun, dan adat kehidupan masyarakat yang juga khas,
umumnya bertema kelautan.
Selain itu, Maluku memiliki budaya leluhur yang masih dipegang
teguh oleh masyarakatnya, di antaranya yang terkenal adalah pela-
gandong yaitu hubungan kekerabatan yang sangat erat bagi orang
Maluku. Karena sangat eratnya budaya kekerabatan tersebut, masalah
baru muncul, yaitu tawuran yang disebabkan rasa setia kawan dalam
kekerabatannya. Ketika seorang warga suatu kampung atau suatu suku
membuat masalah, tidak peduli dia benar atau salah, seluruh anggota
suku atau warga desanya akan langsung menyerang suku lawan tanpa

71
Belajar Dari Alam

konfirmasi terlebih dahulu.


Akar budaya Maluku berasal dari ratusan subsuku, yang
memiliki 117 bahasa lokal yang masih aktif (dari 130 jumlah bahasa
lokal yang pernah ada). Akar budaya yang tersebar itu mempunyai
kesamaan nilai yang merepresentasikan falsafah hidup masyarakat
kepulauan yang terdiri dari ratusan etnis/subsuku. Filosofi yang
terkenal adalah siwalima yang berarti kehidupan bersama, yang
kemudian dijabarkan lagi menjadi berbagai kearifan lokal. Kini,
siwalima menjadi simbol Pemerintah Provinsi Maluku. Falsafah siwalima
juga termaknai dalam tari Gaba-Gaba yang dibawakan oleh satu penari
dan pemegang galah suta dan sembilan penari Cakalele. Musik
pengiringnya adalah tifa (instrumental etnik Maluku). Tarian tersebut
menggambarkan sikap pertahanan dari serangan musuh. Ada banyak
lagi ragam tarian Maluku, seperti tari Soya-soya, Cakalele, Loliyana,
Mamae,Tide, Pite Pala, dan sebagainya.
Ada tari Bambu Gila yang ditarikan beramai-ramai dengan
seorang pawang. Tifa ditabuh bertalu-talu, alunan irama monotonik
mengiringi wangi kemenyan. Sebatang bambu sepanjang 2,5 meter
dibekap oleh tujuh laki-laki bertelanjang dada, berikat kepala merah,
dan bercelana merah selutut. Seorang pawang berbaju hitam dan
bercelana pendek merah meniupkan asap kemenyan yang dibakar di
atas batok kelapa.
Selain itu terdapat tari Katreji sebagai tari pergaulan masyarakat
Maluku yang mengandung semangat siwalima (kebersamaan), biasanya
digelar saat upacara pelantikan raja/kepala desa, menyambut tamu
kehormatan, acara pesta rakyat, dan hajatan keluarga. Tarian yang
menggambarkan suasana suka cita serta kegembiraan masyarakat itu
diiringi alat musik biola, suling bambu, ukulele, karakas, gitar, tifa, dan
bas gitar. Iramanya dominan musik barat –mengingat Belanda lama
berkuasa di Maluku dan meninggalkan pengaruh seni musik dan dansa
yang tetap digemari masyarakat Maluku sampai sekarang. Tarian
Maluku pada umumnya menggambarkan semangat pergaulan yang
riang gembira dan persahabatan yang erat. Sifat riang dan kesukaan
orang Maluku terhadap seni musik dan tari, membawa nilai-nilai

72
Belajar Dari Alam

kecintaan terhadap seni di kalangan siswa Maluku (banyak penyanyi


berasal dari Maluku) dan membangun karakter kepedulian mereka
terhadap sesamanya (solidaritas yang tinggi).
Peribahasa sering secara spontan diucapkan orang Maluku dalam
percakapan sehari-hari, misalnya, pake sandal lupa tarupa (memakai
sandal, melupakan terompa/sandal tradisional), yang maknanya
mengkritik anak muda yang lupa akan tradisinya. Orang Maluku juga
akrab dengan ungkapan samua basudara (semua bersaudara), yang
menyiratkan semangat persaudaraan. Bila mengkritik kesalahan pun,
kritik akan dilakukan dengan sopan santun. Budaya Maluku juga
menurunkan kearifan lokal dalam mengelola hidup dan sumber daya
kehidupan, seperti sasi (upaya pelestarian alam dan lingkungan) dan
masohi (kerja sama kemanusiaan yang saling menguntungkan).
Nilai budaya Maluku yang masih hidup di kalangan masyarakat
dapat menjadi modal untuk membangun karakter generasi muda. Nilai
yang masih hidup itu adalah manggurebe maju, lawamena hau lala, artinya,
bersatu membangun Maluku, maju terus pantang mundur. Nilai
lainnya adalah Katong samua satu gandong, satu jantung dan satu hati,
artinya, kita semua sekeluarga/bersaudara. Di Maluku, semua elemen
alam dipandang sebagai lambang kehidupan. Sagu, padi, cengkeh, dan
kelapa adalah lambang kehidupan. Mutiara lambang kekayaan. Tombak
adalah lambang satria. Gunung adalah lambang keperkasaan dan
kekayaan alam yang berlimpah. Orang Maluku juga ditempa untuk
tangguh melalui lomba dayung perahu yang rutin diselenggarakan
setiap tahun.Tradisi lomba dayung itu sesuai dengan alam Maluku yang
dikelilingi pantai dan laut.

Lingkungan Sosial dan Budaya Papua


Papua, provinsi di ujung timur Indonesia dan berbatasan dengan
negara Papua New Guini (Papua Nugini), merupakan pulau besar
dengan kekayaan tradisi dan budaya. Provinsi yang disebut mutiara hitam
itu memiliki kekayaan budaya yang terbangun dari pengalaman
kehidupan warganya sejak dahulu kala. Gunung, bukit, hutan lebat,
sungai, pantai, dan samudra luas, menghiasi Papua. Dalam hidup

73
Belajar Dari Alam

bermasyarakat, setiap etnis Papua dipimpin oleh kepala suku yang


disebut Ondoafi. Sampai sekarang, peran kepala suku sangat besar,
antara lain harus mengayomi keluarga dan seluruh warganya. Dalam hal
pembayaran mas kawin, misalnya, kepala suku bertugas mengantarkan
makanan dan menerima mas kawin dari pengantin pria.
Kepala suku dan warganya memperkuat eksistensi Papua sebagai
tanah yang sangat kaya dengan produk budaya beserta nilai-nilainya.
Produk budaya tersebut berupa ragam lukis, alat bunyi, senjata perang,
anyaman, ukiran, tari-tarian, lagu, peribahasa, peralatan bekerja, alat
berburu, dan lain-lainnya. Keragaman budaya itu tercermin dalam
kekayaan kearifan lokal yang menjadi pedoman hidup dan membentuk
nilai karakter warga Papua. Kearifan lokal itu mewarnai karakter para
siswa sebagai generasi muda Papua.
Ragam lukis dijumpai di lukisan kulit kayu, perahu, dinding
rumah, pagar, tameng, dan sebagainya. Motif lukis tersebut bernama
motif rasindale dan yoniki. Motif rasindale hanya boleh dipahat di tiang
rumah kepala suku (ondoafi) dan dipakai oleh istrinya. Dari motif
rasindale, orang-orang akan mengenali istri sang kepala suku. Selain
dipahat di tiang rumah, simbol khusus itu juga dipakai di dayung kole-
kole (perahu). Motif yoniki yang dipakai oleh semua kepala suku di
Pulau Asei Besar, berupa simbol berbentuk bulat yang melambangkan
kebersamaan. Motif yoniki berupa garis silang dengan warna putih dan
hitam mencerminkan keuletan, ketegasan, dan kekuatan, yang
mencerminkan karakter warga Papua.
Selain itu, alat bunyi berupa tifa, terompet kerang, alat pukul
batok kelapa, teriakan perang, dan sebagainya mencerminkan kreasi
dasar dalam mengolah bunyi sebagai bagian kehidupan warga Papua.
Tifa biasanya dipakai untuk tari-tarian, terompet kerang dipakai untuk
alat komunikasi, dan alat pukul batok kelapa digunakan sebagai
peralatan tari di pesisir pantai. Senjata perang berupa panah, tombak,
pisau tulang burung kasuari, sumpit (panah kecil yang ditiup agar anak
panah melesat ke sasaran), dan batu-batu antik, merupakan saksi
sejarah bahwa warga Papua mempunyai tradisi kejuangan dalam
mempertahankan harga diri, sukubangsa, dan tanahnya. Ukiran khas

74
Belajar Dari Alam

dengan dominasi warna putih biasa dijumpai di kayu-kayu potongan


yang menjulang dengan motif orang yang ditumpuk-tumpuk,
menyiratkan kebersamaan dalam kehidupan warga Papua.
Tari di Papua mempunyai warna gerak yang berbeda-beda sesuai
asal daerahnya. Tari khas daerah Puncak Jaya, seperti tari Waropen,
Yapen, dan tari lainnya, yang didominasi gerakan kaki dan badan yang
meloncat-loncat kecil.Tari tersebut menggambarkan aksi perang serta
persembahan kepada leluhur, mencerminkan karakter religius
sekaligus semangat juang, dan keindahan yang dimiliki warga Papua.
Banyak peribahasa dari bahasa daerah di Papua (terdapat sekitar 200-an
bahasa daerah di Papua) memberikan gambaran karakter warga Papua.
Karakter kejuangan, keuletan, ketangguhan, kejujuran, kepedulian,
ketegaran, jiwa estetis, religius, dan sosial, sudah terdapat dalam diri
orang Papua.
Jayapura merupakan ibukota provinsi yang dihuni beragam
etnis/suku, baik etnis Papua maupun suku lain dari wilayah lain di
Indonesia. Sebagai ibukota provinsi, Jayapura menggeliat dengan cepat
sejalan dengan perkembangan zaman. Di Jayapura bertebaran mall,
tempat hiburan, mobil aneka merek, sepeda motor, pertokoan,
perumahan, dan simbol kemajuan lainnya seperti terdapat di kota-kota
besar lain di Indonesia.
Karena dihuni oleh masyarakat multisuku, ada yang
mengatakan, “Kalau ingin melihat Indonesia, lihatlah Jayapura, karena
semua pernik dan tradisi suku-suku di Indonesia ada di sini.” Di
Jayapura ada suku-suku pendatang seperti suku Batak, Ambon, Jawa,
Minang, Bugis, Buton, Bali, dan lainnya. Yang dominan adalah suku
Papua sendiri seperti subsuku Biak, Waropen, Wamena, Puncakjaya,
Sorong, Merauke, dan lainnya.Anak-anak mereka berbaur menjadi satu
di sekolah dan mengembangkan nilai kecerdasan sebagai generasi
penerus bangsa Indonesia.

75
Karakter Siswa Indonesia
76
BAB 3
KARAKTER SISWA INDONESIA
Di Gorontalo, siswa dibiasakan membaca
10 menit sebelum jam pelajaran dimulai

S etelah pada bagian terdahulu, dibahas karakter lingkungan sosial,


budaya, dan alam yang membangun karakter manusia Indonesia.
Pada bagian ini, akan disoroti alas an faktor-faktor tersebut mewarnai
atau mempengaruhi karakter siswa di Indonesia, mulai jenjang SD,
SMP, hingga SMA/SMK. Perlu dipahami bahwa pemotretan atas
karakter siswa dilakukan melalui dua cara. Pertama, karakter siswa
dipotret berdasarkan hasil wawancara dan daftar isian dengan
responden guru, staf, atau kepala sekolah, di sekolah sampel (sesuai
Kerangka Acuan Kerja yang diamanatkan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada Tim
Peneliti Unesa). Kedua, sekolah sampel yang dipilih/ditentukan oleh
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat pada umumnya (lebih dari
90%) adalah sekolah unggulan. Bahkan sejumlah sekolah yang ditunjuk
merupakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Lebih dari
90% sekolah sampel adalah sekolah negeri. Dalam hal ini, para peneliti
tentu tidak dapat menolak atau mengelak.
Karena latar belakang pemilihan sekolah sampel yang demikian,
dapat dimaklumi jika hasil temuan penelitian seperti seragam di
seluruh Indonesia. Karakter siswa rata-rata baik, terutama pada tataran
pengetahuan moral (moral knowing), yakni pengetahuan tentang nilai
baik dan buruk. Hal-hal yang baik tentang karakter siswa Indonesia
seperti terpotret dalam penelitian dan buku ini lebih mudah dipahami,
karena umumnya siswa sekolah negeri di Indonesia berasal dari
masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas. Hanya sebagian kecil
Karakter Siswa Indonesia

siswa berasal dari kelas ekonomi menengah bawah. Siswa dari Suku
Bajo di Sulawesi, misalnya, rata-rata berasal dari keluarga tidak mampu
dan orangtuanya berpendidikan rendah. Bukan berarti siswa kelas atas
akan ‘lebih baik karakternya’ dibandingkan siswa dari kelas ekonomi yang
lebih rendah. Namun penggambaran latar belakang itu untuk
menunjukkan bahwa ‘potret karakter siswa yang baik’ merupakan hasil
penelitian yang berdasarkan sampel sekolah unggulan.
Namun, tidak perlu risau atas potensi kelemahan kajian ini,
karena dengan pertanyaan yang tidak langsung kepada siswa, ternyata
tidak semuanya baik-baik saja. Terutama, pada tataran
merasakan/menghayati nilai moral (moral feeling) dan melaksanakan
moral yang baik (moral action). Masalahnya kemudian menjadi, mengapa
demikian? Mengapa tidak ada keterhubungan antara moral knowing
dengan moral feeling dan moral action? Itulah yang dibahas dan
dipaparkan di bagian ini.
Untuk memperkuat temuan hasil observasi di sekolah yang
respondennya guru tersebut, ada upaya triangulasi dengan
melaksanakan diskusi terpandu yang dihadiri pihak sekolah (kepala
sekolah atau wakilnya), anggota Komite Sekolah, pengawas dan
pengamat pendidikan, anggota dewan pendidikan, budayawan, tetua
adat, anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan/atau wakil agama
lain setempat, dan banyak lagi unsur masyarakat lainnya. Dalam diskusi
terpandu, terungkap adat, tradisi, dan karakter yang masih dipegang
teguh oleh para siswa (yang diturunkan atau dibawa dari suku
bangsanya), serta adat, tradisi, dan karakter yang mulai pudar bahkan
ditinggalkan oleh para siswa.
Kajian ini mengacu pada empat nilai inti karakter siswa yang
dicanangkan dalam program pendidikan karakter nasional, yaitu jujur
(kejujuran), cerdas (kecerdasan), peduli (kepedulian), dan tangguh
(ketangguhan). Nilai jujur adalah nilai yang berkembang dalam diri
pribadi setiap siswa yang berasal dari olah hati (heart), sedangkan nilai
cerdas adalah nilai yang berkembang dalam diri pribadi yang berasal
dari olah pikir (head). Nilai peduli adalah nilai yang berkembang dari
hati sebagi akibat sentuhan seseorang secara sosial dengan orang lain.

77
Karakter Siswa Indonesia

Sedangkan, nilai tangguh adalah nilai yang terjadi sebagai hasil


komunikasi dengan orang lain dan lingkungan yang berasal dari olah
hati, olah rasa, dan karsa, maupun olah raga (hand).
Dari keempat nilai inti tersebut, kemudian dikembangkan
berbagai nilai turunannya seperti berikut ini.
1. Nilai inti jujur dikembangkan menjadi nilai-nilai tulus
hati, beriman dan bertakwa, bertanggung jawab, menghargai
diri sendiri, amanah (dapat dipercaya), dan berjiwa sportif.
2. Nilai inti cerdas dikembangkan menjadi nilai-nilai analitis,
mampu memecahkan masalah, memiliki kuriositas (rasa
ingin tahu = gemar belajar), kritis, mandiri, dan disiplin.
3. Nilai inti peduli dikembangkan menjadi nilai-nilai suka
membantu, sadar akan hak dan kewajiban sebagai
warganegara, berkomitmen, menghargai kesetaraan, suka
memberi maaf, toleran, peka, hemat, tahu keadaban
(beradab), berjiwa patriotik, demokratis, menghargai
waktu, lembut hati, memiliki rasa humor, memiliki
kebanggaan, dan menghargai kebersamaan.
4. Nilai inti tangguh dikembangkan menjadi nilai-nilai tegas
bersikap, berani, hati-hati, berdaya upaya, suka
berkompetisi, dinamis, beretos kerja, yakin/percaya diri,
antisipatif, dan rajin.

Untuk mengantarkan pembaca pada makna dari tiap-tiap nilai


turunan tersebut, Samani dan Hariyanto (2011) memberikan definisi
dari setiap nilai, sekaligus mengumpulkan pemaknaan nilai-nilai itu
dari sejumlah sumber.
Nilai Kejujuran (Honesty): menjunjung tinggi kebenaran, ikhlas dan
lurus hati, tidak suka berbohong, tidak suka mencuri, tidak memfitnah,
tidak pernah bermaksud menjerumuskan orang lain. Nilai turunan dari
nilai kejujuran tersebut adalah sebagai berikut.
1. Ketulusan hati (Sincerity): secara teguh melaksanakan sesuatu
yang benar dengan motif yang transparan, tanpa
mengharapkan pujian atau imbalan/balasan dari orang lain.

78
Karakter Siswa Indonesia

2. Keimanan dan Ketakwaan (Faith): kepercayaan yang tinggi


terhadapTuhan Sang Maha Pencipta, yang diwujudkan dengan
berbuat sesuai perintah dan tuntunan-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya.
3. Rasa tanggung jawab (Responsibility): mengetahui dan
melaksanakan yang seharusnya dilakukan sebagaimana
diharapkan oleh orang lain, masyarakat, dan negara.
4. Menghargai diri sendiri (Self-respect): menghargai diri sendiri
dengan memamahi kekuatan dan kelemahan diri serta tidak
merasa rendah diri.
5. Amanah (Trustworthiness): dapat dipercaya, taat, menepati
janji, tidak berbohong atau mengkhianati, dan berkomitmen
tinggi untuk menjalankan kebenaran.
6. Sportivitas (Sportivity/sportmanship) : menghargai dan
menaati aturan main, dapat menerima kemenangan dan
kekalahan dengan lapang dada.

Nilai Kecerdasan (Resourcefulness/Intelligence): melakukan


sesuatu dengan cerdik dan bijak, melakukan hal-hal yang oleh orang
lain mungkin tidak pernah terpikirkan, dan mampu keluar secara
cerdas (smart) dalam suatu situasi sulit. Nilai turunan dari nilai
kecerdasan sebagai berikut.
1. Analitis (Analytic): sikap dan perilaku yang gemar menalar atau
bertindak berdasarkan persepsi bagian-bagian atau interrelasi
sebuah subjek.
2. Pemecah masalah (Problem solver): menciptakan atau
merancang pemecahan masalah dari suatu situasi yang sulit
maupun masalah yang dijumpai sehari-hari.
3. Kuriositas (Curiosity) : keingintahuan atas hal-hal baru untuk
menyelidiki dan mencari pemahaman atas rahasia alam atau
peristiwa sosial (Mendikbud M. Nuh menyebut istilah ini
dengan ‘kepenasaran intelektual’, Ed.).
4. K r i t i s ( C r i t i c a l ) : g e m a r m e l a k u k a n a n a l i s i s ,
mengklasifikasikan, menafsirkan atau menilai, dan

79
Karakter Siswa Indonesia

mengkritisi suatu karya/produk atau kondisi.


5. Kemandirian (Independence, Entrepreneurship): mampu
memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak bergantung kepada
orang lain.
6. Disiplin Diri (Self Discipline): mampu mengontrol dan
mengendalikan tindakan, perilaku, dan kebiasaan.

Nilai Kepedulian (Careness, Attentiveness): memperlakukan orang lain


dengan penuh kebaikan dan kedermawanan, peka terhadap perasaan
orang lain, siap membantu orang yang membutuhkan pertolongan,
tidak pernah berbuat kasar dan menyakiti hati orang lain, peduli pada
lingkungan. Nilai turunannya sebagai berikut.
1. Suka Membantu (Helpful): sikap dan sifat siap membantu
orang lain yang memerlukan pertolongan.
2. Sadar akan kewarganegaraan (Citizenship): bertindak sebagai
warga negara yang baik, bertanggungjawab terhadap yang
terjadi di sekelilingnya, berpartisipasi dalam kegiatan
pelayanan masyarakat dan pembangunan, peduli alam dan
lingkungan, memperlakukan orang lain dengan hormat,
mengikuti aturan keluarga, norma masyarakat, dan taat pada
hukum negara.
3. Memiliki komitmen (Commitment): secara emosional, fisik,
dan intelektual merasa terikat pada suatu kewajiban dan ada
panggilan jiwa yang kuat untuk melaksanakannya.
4. Kesetaraan (Equality) : menyadari adanya hak dan kesempatan
yang sama untuk mengembangkan potensi seseorang sebagai
umat manusia.
5. Suka memberi maaf (Forgiveness): menghapus semua ingatan
akan kesalahan orang lain dan mudah memberi maaf.
6. Toleransi (Tolerance): menerima dan menghargai perbedaan di
segala hal (budaya, ras, agama, kelas ekonomi, golongan,
warna kulit, dll).
7. Kepekaan (Sensitivity): menggunakan seluruh panca indra
untuk menilai dan menyikapi orang lain, menjaga hati, dalam

80
Karakter Siswa Indonesia

situasi apapun.
8. Menghargai (Respect) : menghargai diri sendiri, orang lain
dan lingkungan, tahu adab (beradab), tidak melecehkan dan
menghina orang lain, tidak menilai orang lain sebelum
mengenalnya dengan baik.
9. Sikap berhemat (Thriftiness): hanya berbelanja untuk sesuatu
yang benar-benar diperlukan, tidak boros.
10.Keadaban (Civility, Manner): memiliki sifat dan sikap santun,
berlandaskan etika dan tata krama yang berterima di situasi
dan lingkungan apapun.
11.Patriotisme (Patriotism): cinta dan siap mengabdi pada negara
dan peduli pada pertahanan negara, rela berkorban demi
negara.
12.Demokratis (Democratic): menghargai pendapat orang lain,
toleran, terbuka, mengedepankan musyawarah untuk
mufakat, bilamana perlu melakukan pemungutan suara
(voting) untuk kepentingan rakyat, bukan semata-mata
kepentingan pribadi dan golongan, taat aturan main.
13.Ketepatan waktu (Punctuality, Sense ofTime): melakukan segala
sesuatu secara tepat, menghargai (tidak menyia-nyiakan)
waktu, tidak suka terlambat, bertindak efektif dan efisien.
14.Kelembutan Hati (Kind-heartedness): menomorduakan hak-
hak personal dan harapan-harapan pribadi, mengutamakan
melayani orang lain.
15.Rasa Humor (Sense of Humor): suka bercanda dan bermain-
main tanpa mengganggu orang lain, mudah tertawa, dan
berjiwa periang.
16.Kebanggaan (Pride): merasa puas dan bangga atas diri dan
hasil kerja yang baik.
17.Kebersamaan (Togetherness): perasaan kedekatan dan saling
mengasihi dalam kesatuan dengan orang lain, mampu
melakukan harmonisasi sumber daya yang dimiliki masing-
masing orang, mampu bekerjasama.

81
Karakter Siswa Indonesia

Nilai Ketangguhan (Tenacity, Toughness): sukar dikalahkan dan


tidak mudah menyerah dalam mewujudkan cita-cita atau mencapai
suatu tujuan. Nilai turunan dari nilai tangguh sebagai berikut.
1. Ketegasan (Assertiveness): kualitas yang menunjukkan
ketegasan, kemampuan mengekspresikan emosi dan
kebutuhan pribadi dengan penuh percaya diri, berani,
terutama dalam mempertahankan hak-hak pribadi dan
mendudukkan hak-hak orang lain tanpa bertindak agresif.
2. Keberanian (Caurage): teguh memegang atau menjalankan
kebenaran, berani, bernyali, tidak takut pada tekanan negatif,
tidak takut gagal, tidak takut menyuarakan suara hati, dan
berani berbuat karena benar.
3. Kehati-hatian (Cautiousness): bersikap cermat, teliti dalam
bertindak, dan penuh kehati-hatian.
4. Daya Upaya (Effort): berusaha sebaik-baiknya, berusaha keras
untuk memberikan yang terbaik.
5. Suka Berkompetisi (Competitiveness): berjiwa petarung, suka
terlibat atau berpartisipasi dalam kompetisi/kontes.
6. Dinamis (Dynamic): menggunakan kekuatan sosial, kekuatan
moral, dan kekuatan intelektual untuk menciptakan
perubahan dan keluar dari situasi rutin tertentu.
7. Beretos Kerja (Work Ethic): memiliki kebiasaan kerja yang
baik, taat aturan, mencapai target, menciptakan atmosfer
yang produktif dan menyenangkan.
8. Sifat Tegas dan Yakin (Desiciveness): memiliki kekuatan untuk
memutuskan, tidak ragu-ragu, dan siap menghadapi risiko.
9. Antisipatif (Being anticipative): mempersiapkan diri atas segala
sesuatu sebelum terjadi.
10.Rajin (Being diligent): memusatkan tenaga dan pikiran untuk
menyelesaikan tugas-tugas, tidak malas, memanfaatkan
waktu sebaik-baiknya.

Pembahasan hasil temuan akan mengacu pada konsep Thomas


Lickona, yaitu apakah nilai karakter sekadar diketahui oleh siswa

82
Karakter Siswa Indonesia

(knowing), atau sudah dirasakan/dihayati kebutuhannya (feeling), atau


bahkan sudah diwujudkan dalam tindakan (action) nyata sehari-hari?
Sebagai sebuah karya penelitian, tentu ada sampel yang mewakili
sasaran penelitian. Populasi penelitian adalah siswa-siswa SD, SMP,
SMA, dan SMK se-Indonesia. Sampelnya adalah 45 wilayah di
Indonesia, mulai dari Jayapura di ujung Timur sampai ke Banda Aceh di
ujung Barat. Berbagai pulau dan wilayah kepulauan di Indonesia
terwakili, mulai dari Papua, Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur,
Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa, Kalimantan, dan sampai Sumatera.
Buku ini hanya menarasikan laporan atas temuan di sebagian wilayah
penelitian yang dianggap mewakili daerah-daerah dengan budaya yang
unik. Faktor ketersebaran geografis, keragaman tradisi, serta
kelengkapan data, turut menentukan pilihan wilayah yang dinarasikan
dalam buku ini.
Laporan ini dilandasi temuan penelitian di sekolah sasaran
dengan responden guru, kepala sekolah, dan atau staf yang ditunjuk.
Jumlah responden bervariasi dan bergantung kebijakan sekolah.
Resminya, hanya diperlukan satu orang responden, namun mengingat
berbagai instrumen seperti daftar cek, wawancara, dan isian hasil
observasi, secara faktual peneliti didampingi 2–4 responden. Jika rata-
rata tiap sekolah menyediakan 2 responden, untuk 4 jenis satuan
pendidikan yang diteliti (SD,SMP, SMA, dan SMK), setiap peneliti
didampingi 8 orang responden. Jika hal itu dikalikan dengan 45 daerah
penelitian, responden yang mendampingi semua peneliti (sekitar 120
peneliti) adalah 360 orang.
Kajian atas tingkat pengetahuan (knowing), perasaan/
penghayatan (feeling), dan tindakan/perilaku (action) nilai-nilai karakter
siswa pada setiap satuan pendidikan di Indonesia ini didasarkan pada
analisis hasil penelitian. Temuan berupa persentase pilihan jawaban
responen atas pertanyaan di daftar cek (check list) berasal dari informasi
yang disampaikan oleh peneliti. Sebetulnya, esensi daftar cek adalah
angket, namun karena kerumitan masalah yang diteliti, responden
dimungkinkan hanya memberikan afirmasi atau negasi atas pertanyaan
surveyor. Sambil mendengarkan jawaban responden, surveyor

83
Karakter Siswa Indonesia

memberi tanda cek pada kolom jawaban yang sesuai jawaban


responden, serta mengisi jawaban responden atas pertanyaan terbuka,
sesuai kondisi yang ada di sekolah. Cek dilakukan di kolom yang
disediakan.
Patut pula diketahui, walau para peneliti diterjunkan ke daerah
penelitian selama rata-rata lima hari, namun daerah sasaran adalah
ibukota kabupaten/kota, agar waktu tidak terbuang di perjalanan.
Selama lima hari di lapangan, setiap tingkat satuan pendidikan (SD,
SMP, SMA, dan SMK) mendapat kesempatan diobservasi dalam satu
hari, dan satu hari lagi diluangkan untuk kegiatan diskusi terpandu.

Nilai Karakter Siswa SD


Secara umum, pengetahuan (moral knowing) akan nilai-nilai
karakter siswa di Indonesia mulai dari SD, SMP, sampai SMA/SMK
terentang pada skala sedang sampai baik, dengan kecenderungan tinggi
ke baik. Namun, perasaan atau penghayatan akan moral yang baik (moral
feeling) ternyata rendah. Posisi itu kemudian menyebabkan rendahnya
tindakan/aksi moral yang baik (moral action). Ada sejumlah
kemungkinan penyebabnya. Salah satunya, kebanyakan anak masih
merasa bahwa nilai-nilai tersebut sebagai kewajiban yang harus dihafal
karena tuntutan orangtua dan guru. Mereka belum merasakan manfaat
atau perlunya penerapan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-
hari. Mereka belum menganggap penerapan nilai-nilai tersebut sebagai
kebutuhan dan landasan bagi perkembangan hidupnya di masa depan.
Kecuali itu, ada temuan menarik saat diskusi terpandu di Kota
Makassar. Pada akhir diskusi, para peserta diskusi menyatakan bahwa
sebenarnya agama, budaya, dan tradisi sudah dan selalu
mengembangkan karakter jujur, cerdas, peduli, dan tangguh. Namun
akhir-akhir ini, oleh pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi (melalui TV, internet, film layar lebar),
seluruh nilai inti karakter yang dibangun dan dikembangkan menjadi
terdistorsi. Muncullah yang oleh peserta diskusi disebut krisis moral.
Situasi itulah yang menajamkan kondisi bahwa nilai karakter cuma
sekadar dikenal/diketahui (moral knowing), bukan dirasakan (moral

84
Karakter Siswa Indonesia

feeling) atau dilaksanakan (moral action). Benar tidaknya asumsi tersebut


masih memerlukan penelitian tersendiri.
Sejumlah nilai-nilai karakter yang berkembang cukup baik di
kalangan siswa SD pada tataran ‘pengetahuan’ adalah sebagai berikut.
1. Dari nilai inti jujur: ketulusan hati, keimanan dan
kepercayaan, dan menghargai diri sendiri.
2. Dari nilai inti cerdas: analitik, pemecah masalah, kreativitas,
dan disiplin diri.
3. Dari nilai inti peduli: suka membantu, kewarganegaraan,
komitmen, kesetaraan, kepekaan, suka menghargai,
keadaban, patriotisme, demokratis, rasa humor, kebanggaan,
dan kebersamaan.
4. Dari nilai inti tangguh: ketegasan, keberanian, kehati-
hatian, dinamis, dan beretos kerja.

Selanjutnya, di bawah ini adalah perkembangan nilai-nilai


karakter siswa yang patut menjadi fokus dalam pengembangan
pendidikan karakter, karena ditemukan kurang memuaskan, baik pada
tataran moral knowing, moral feeling, maupun moral action.

Nilai Karakter Siswa SD Se-Indonesia


Nilai Inti Jujur
Pada tataran pengetahuan, ditemukan bahwa umumnya
pengetahuan siswa SD di Indonesia tentang nilai kejujuran dan nilai
turunannya sangat tinggi. Nilai turunan kejujuran yang banyak
diketahui oleh para siswa SD adalah rasa tanggung jawab, keimanan dan
kepercayaan, ketulusan hati, dan menghargai diri sendiri. Pengetahuan
tentang nilai amanah dan sportivitas masih rendah. Pada tataran moral
feeling, ternyata hasilnya menunjukkan hal yang bertolak belakang,
yakni, nilai-nilai karakter amanah dan sportivitas relatif lebih baik.
Sementara itu, nilai karakter rasa tanggung jawab, keimanan dan
kepercayaan, ketulusan hati, serta menghargai diri sendiri justru
menurun.
Siswa-siswa SD tahu tapi belum merasakan pentingnya karakter

85
Karakter Siswa Indonesia

tulus hati, beriman, dan menghargai diri sendiri. Di lain sisi, setelah
berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat di luar lingkup
keluarganya, siswa mulai merasakan perlunya bersifat amanah dan
bersikap sportif, karena ada semacam sanksi sosial bila tidak
melaksanakannya. Apakah pengetahuan dan perasaan tersebut
kemudian diwujudkan dalam tindakan nyata (action) dalam kehidupan
sehari-hari? Nilai umumnya antara rendah dan moderat. Patut dicatat,
di tataran tindakan, nilai karakter tanggung jawab amat dominan
rendah. Hal itu dapat dimaknai bahwa siswa SD di Indonesia belum
mampu mempertanggungjawabkan tindakannya dengan baik. Nilai
amanah yang sudah dirasakan perlu, tampak mulai ditindaklanjuti
dengan tindakan nyata, walaupun belum optimal.

Nilai Inti Cerdas


Pada tataran pengetahuan, ditemui bahwa umumnya siswa SD
tahu/memahami nilai kecerdasan. Nilai turunan dari nilai inti cerdas
yang bertingkat sangat tinggi (paling diketahui oleh siswa) adalah
disiplin diri (untuk belajar, mengerjakan tugas-tugas, dan sebagainya).
Pengetahuan mengenai nilai karakter pemecah masalah (problem
solver) bertingkat sedang. Nilai karakter kuriositas (rasa ingin tahu)
dan kreativitas bertingkat cukup. Pengetahuan akan nilai karakter kritis
dan analitis berada pada tingkat sedang. Yang patut menjadi perhatian
adalah belum optimalnya pengetahuan tentang nilai kemandirian.
Pada tataran selanjutnya, apakah pengetahuan tentang karakter
yang baik itu telah dirasakan kepentingannya (moral feeling) oleh siswa
SD, hasilnya menunjukkan hal yang bertolak belakang. Seluruh nilai
turunan dari kecerdasan, mulai dari analitis, pemecah masalah,
kuriositas, kreativitas, kritis, kemandirian, dan disiplin diri, berada
pada tingkat yang rendah (kurang dirasakan/dihayati).Agaknya siswa-
siswa SD belum merasakan atau memahami gunanya memiliki
kecerdasan bagi hidup mereka di masa depan. Mereka belajar dengan
baik bukan karena ingin menjadi cerdas, melainkan hanya menuruti
perintah orangtua atau guru di sekolah. Mereka tahu bahwa cerdas itu
baik, tapi belum merasakan kegunaannya. Nilai turunan yang paling

86
Karakter Siswa Indonesia

bertingkat rendah dirasakan siswa adalah nilai kritis dan kemandirian.


Di tataran tindakan nyata (moral action), setiap nilai turunan dari
nilai cerdas juga bertingkat rendah (kurang dilaksanakan). Karena tidak
merasakan kegunaan menjadi cerdas, agaknya siswa SD tidak juga
menerapkan tindakan-tindakan yang mendukung nilai cerdas. Nilai
turunan yang paling rendah tingkat pelaksanaannya dan patut menjadi
perhatian guru adalah daya kritis. Memang anak usia SD mungkin
belum terbiasa kritis, namun para guru dapat mulai menanamkan
p e n g e r t i a n t e n t a n g p e r l u ny a n i l a i k r i t i s d a n c a r a
mengimplementasikannya (tindakan sifat kritis) sejak level pendidikan
dasar ini.

Nilai Inti Peduli


Pada umumnya pengetahuan siswa SD tentang nilai peduli dan
nilai turunannya sangat tinggi, terutama pada nilai suka membantu dan
demokratis. Pengetahuan tentang nilai kesetaraan, kepekaan, suka
menghargai, dan kelembutan hati, cukup tinggi. Yang patut menjadi
perhatian adalah kurang diketahuinya nilai kesadaran akan
kewarganegaraan. Siswa SD juga kurang mengetahui perihal nilai
memaafkan, toleran, berhemat, tahu keadaban, patriotis, dan
menghargai serta tepat waktu.
Pada tataran perasaan, umumnya siswa SD malah kurang
merasakan/menghayati pengetahuan tentang nilai karakter peduli.
Hampir seluruh nilai turunan dari nilai kepedulian, kecuali nilai suka
membantu, berada pada tingkat yang rendah. Siswa SD belum
merasakan makna peduli kepada sesama. Nilai turunan yang paling
rendah adalah mudah memberi maaf, mengerti keadaban, lembut hati,
dan rasa bangga. Karena rendahnya perasaan tentang nilai kepedulian,
tindakan nyata (moral action) nilai turunan dari nilai peduli pada
umumnya rendah, kecuali nilai karakter suka membantu. Perlu
menjadi perhatian guru adalah masih rendahnya tindakan nyata dari
karakter mudah memaafkan, tahu keadaban, menghargai orang lain,
dan berhemat.

87
Karakter Siswa Indonesia

Nilai IntiTangguh
Keculai nilai karakter yakin (percaya diri), antisipatif, dan rajin,
pengetahuan siswa SD tentang nilai ketangguhan dan nilai turunannya
sebagian besar tinggi. Ketiga nilai yang rendah diketahui oleh para siswa
ini patut menjadi perhatian guru dan orangtua. Namun, di tataran
merasakan (moral feeling), kembali ditemukan hal yang bertolak
belakang. Seluruh nilai turunan dari nilai ketangguhan berada pada
tingkat yang rendah (kurang dirasakan) dan nilai sifat yakin, antisipatif,
rajin, yang paling rendah (hampir tidak dirasakan). Dalam tataran
tindakan nyata (moral action), setiap nilai turunan dari nilai ketangguhan
di tingkat rendah. Terletak pada garis lurus paling rendah -mulai dari
tataran pengetahuan, perasaan, sampai pada tindakan (action)- adalah
sifat yakin (percaya diri), antisipatif, dan rajin.

Nilai Karakter Siswa SMP Se-Indonesia


Nilai Inti Jujur
Moral knowing atau pengetahuan para siswa SMP tentang nilai
kejujuran dan nilai turunannya berada pada tingkat tinggi. Bahkan, nilai
ketulusan hati sangat tinggi. Nilai turunan kejujuran yang banyak
diketahui oleh para siswa SMP adalah rasa tanggung jawab, keimanan
dan kepercayaan, dan penghargaaan pada diri sendiri. Yang patut
menjadi perhatian adalah rendahnya pengetahuan tentang nilai amanah
dan sportivitas.
Apakah pengetahuan tentang karakter yang baik itu dirasakan
kepentingannya? Pada umumnya siswa SMP menunjukkan hal yang
kurang konsisten. Bahkan, pada nilai ketulusan hati, hasilnya cenderung
bertolak belakang. Hanya nilai karakter bertanggung jawab yang
cenderung naik (diketahui, kemudian dirasakan/dihayati). Uniknya,
nilai karakter amanah dan sportivitas relatif lebih baik pada tataran
perasaan dibanding pada tataran pengetahuan. Hal itu dapat diartikan,
mereka tanpa memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai itu, tetap saja
dapat merasakannya. Justru nilai-nilai turunan yang tadinya baik di
tataran pengetahuan (keimanan dan kepercayaan, ketulusan hati,
menghargai diri sendiri) menurun pada tataran perasaan (kurang

88
Karakter Siswa Indonesia

dihayati). Siswa SMP belum merasakan perlunya bersikap tulus hati,


menikmati indahnya iman dan kepercayaan, dan pentingnya
menghargai diri sendiri. Di lain pihak, kontaknya dengan lingkungan
dan masyarakat membuat mereka mulai merasakan perlunya bersifat
amanah dan bersikap sportif, yang di tataran ini nilainya bergeser
menjadi moderat.
Perwujudan dari pengetahuan dan perasaan tersebut dalam
tindakan nyata (action) sehari-hari, khususnya pada nilai ketulusan hati,
berada pada tingkat tinggi. Nilai lainnya bervariasi pada tataran
moderat. Hal yang patut dicatat, seperti di tingkat SD, nilai karakter
tanggung jawab amat dominan bertingkat rendah. Apakah ini berarti
siswa-siswa SMP di Indonesia belum mampu bertanggungjawab atas
tindakannya? Yang menggembirakan, nilai amanah yang diam-diam
dirasakan perlunya, mulai ditindaklanjuti dengan tindakan nyata, walau
belum optimal.

Nilai Inti Cerdas


Pada umumnya pengetahuan siswa SMP tentang nilai kecerdasan
dan nilai turunannya hanya tinggi pada nilai disiplin diri (untuk belajar,
mengerjakan tugas-tugas dan sebagainya) dan nilai kreativitas. Yang
berada pada tingkat tinggi adalah pengetahuan tentang nilai karakter
pemecah masalah (problem solver). Nilai turunan kecerdasan yang
bergerak pada tataran moderat (sedang) adalah pada nilai analitis,
kritis, dan mandiri. Di tataran perasaan dan penghayatan (moral feeling),
terjadi hal yang bertolak belakang. Seluruh nilai turunan dari
kecerdasan mulai dari analitis, pemecah masalah, kuriositas,
kreativitas, daya kritis, kemandirian, berada pada tingkat yang
rendah–kurang dihayati. Hanya penghayatan atas nilai disiplin diri,
bergerak ke arah moderat dan tinggi. Dapat dimaknai, siswa-siswa SMP
belum merasakan atau benar-benar memahami gunanya memiliki
kecerdasan bagi masa depan mereka. Mereka belajar dengan baik hanya
karena menuruti perintah orangtua atau gurunya di sekolah. Namun,
mereka telah menyadari perlunya membiasakan berdisiplin.
Dalam tataran tindakan nyata (moral action), akibat rendahnya

89
Karakter Siswa Indonesia

perasaan tentang nilai kecerdasan, penerapan atau pelaksanaan dari


setiap nilai turunannya, juga berada pada tingkat rendah, bahkan
termasuk nilai disiplin diri–yang tercatat cukup tinggi di tataran
perasaan. Patut dicemaskan, bahwa siswa SMP di Indonesia masih
rendah sifat kemandiriannya.

Nilai Inti Peduli


Pengetahuan siswa SMP di Indonesia tentang nilai peduli dan
nilai turunannya sangat tinggi, terutama pada nilai karakter suka
membantu, peka, demokratis, dan semangat kebersamaan. Terlihat
bahwa nilai demokratis sudah mulai tumbuh di level SMP. Bisa jadi, hal
itu ada kaitannya dengan kenyataan bahwa yang mengajar mereka
bukan lagi guru kelas. Tidak ada lagi guru kelas yang dominan.
Pengetahuan tentang sifat demokratis itu juga tumbuh karena di usia
pancaroba, siswa mulai terbiasa bermusyawarah, misalnya melalui
rapat atau program OSIS. Yang berada pada tingkat tinggi juga adalah
pengetahuan tentang nilai komitmen, kesetaraan, dan rasa bangga.Yang
kurang diketahui adalah nilai kesadaran kewarganegaraan, perlunya
memberi maaf, toleransi dan penghargaan pada orang lain, sifat hemat,
keadaban, patriotisme, penghargaan atas waktu, kelembutan hati, dan
rasa humor. Patut menjadi perhatian adalah rendahnya nilai karakter
hemat. Hal tersebut menunjukkan gejala konsumtif mulai merasuki
anak usia SMP.
Pada tataran perasaan (moral feeling), ditemukan hasil yang
bertolak belakang. Seluruh nilai turunan dari nilai inti kepedulian
berada pada tingkat yang rendah. Perlu menjadi perhatian, apakah siswa
SMP belum merasakan/memahami makna peduli kepada sesama? Nilai
turunan yang paling rendah adalah dalam hal memberi maaf, keadaban,
dan kelembutan hati. Rendahnya nilai kelembutan hati inilah, yang
dapat menjadi potensi perkelahian dan tawuran antarpelajar serta
pemalakan (bullying) di kalangan anak-anak sekolah. Pemahaman
tentang karakter atau moral yang baik itu, pada gilirannya akan
diwujudkan dalam tindakan nyata (moral action). Karena perasaan
tentang perlunya karakter peduli rendah, nilai turunannya juga rendah

90
Karakter Siswa Indonesia

dalam pelaksanaan. Hanya nilai kepekaan dan demokratis yang


cenderung ke arah tinggi, sementara nilai toleransi dan ketepatan
waktu, bernilai sedang.

Nilai IntiTangguh
Pada tataran pengetahuan moral (moral knowing), pengetahuan
siswa SMP di Indonesia tentang nilai ketangguhan dan nilai turunannya
sebagian besar tinggi, kecuali nilai yakin (percaya diri), antisipatif, dan
rajin. Ketiga nilai yang rendah itu patut menjadi perhatian, apalagi hal
itu juga terjadi pada siswa SD. Keberlanjutan rendahnya pengetahuan
akan tiga nilai karakter tersebut dari jenjang SD ke SMP, perlu segera
dicarikan solusinya.
Apakah pengetahuan tentang moral yang baik itu juga dirasakan
kepentingannya oleh para siswa SMP? Lagi-lagi, ditemukan hal yang
bertolak belakang. Seluruh nilai turunan dari nilai ketangguhan berada
pada tingkat yang rendah. Sejalan dengan rendahnya moral knowing,
sifat yakin, antisipatif, dan rajin juga paling rendah dirasakan. Di tataran
tindakan nyata (moral action), setiap nilai turunan dari nilai
ketangguhan juga rendah. Terletak pada garis lurus yang rendah-mulai
dari tataran pengetahuan, perasaan, sampai pada tindakan (action)-
adalah nilai sifat yakin, antisipatif, dan rajin.

Nilai-Nilai Karakter Siswa SMA Se-Indonesia


Nilai Inti Jujur
Siswa SMA di Indonesia telah memasuki jenjang usia remaja-
dewasa, sehingga akan menarik sekali mengetahui perkembangan
pengetahuan, perasaan, dan tindakan nyata mereka tentang moral dan
karakter yang baik. Pengetahuan mereka tentang nilai kejujuran dan
nilai turunannya yang tergolong tinggi adalah dalam hal ketulusan hati,
keimanan dan kepercayaan, serta rasa tanggung jawab. Perhatikan
bahwa nilai rasa tanggung jawab sudah menjadi tinggi di level SMA,
setelah di level sebelumnya (SD-SMP) nilainya selalu rendah atau
sedang.

91
Karakter Siswa Indonesia

Nilai karakter amanah (dapat dipercaya) berada pada tingkatan


cukup. Kondisi itu juga menandakan sebuah perkembangan yang baik,
karena pada level SD dan SMP, pengetahuan tentang nilai amanah
bertingkat rendah. Yang patut menjadi perhatian adalah belum
optimalnya pengetahuan tentang nilai menghargai diri sendiri dan nilai
sportivitas.
Pada tataran moral feeling, umumnya siswa SMA belum
merasakan dan menghayati yang telah diketahui tentang nilai-nilai
karakter kejujuran. Siswa SMA belum merasakan perlunya tulus hati,
beriman dan bertakwa, menghargai diri sendiri, dan amanah. Yang
patut menjadi perhatian adalah nilai sportivitas yang amat rendah.
Sekali lagi, jangan-jangan rendahnya nilai sportivitas di kalangan remaja
SMA ini juga berpotensi memicu perkelahian atau tawuran yang
belakangan semakin marak. Kalau sombong, mereka mentang-
mentang; kalau kalah, mereka akan marah. Itulah perilaku tidak sportif
yang harus diperbaiki.
Agak mencemaskan, ketika dalam tindakan nyata (action) sehari-
hari, pergerakan setiap nilai karakter umumnya bertingkat rendah.
Karena pengetahuan dan perasaan tentang nilai karakter sportif amat
rendah, siswa SMA tampak belum mampu mempertanggungjawabkan
perbuatannya (rendah rasa tanggung jawabnya), dan tidak sportif dalam
menghadapi situasi tertentu. Sangat memprihatinkan, rendahnya
karakter bertanggung jawab itu terjadi sejak SD dan SMP di Indonesia.
Di level SMA, belum ada perbaikan.

Nilai Inti Cerdas


Pada tataran pengetahuan moral (moral knowing), umumnya
pengetahuan siswa SMA tentang nilai kecerdasan dan nilai turunannya
sangat tinggi untuk nilai karakter disiplin diri (untuk belajar,
mengerjakan tugas-tugas dan sebagainya) dan kreativitas. Pengetahuan
tentang nilai karakter pemecah masalah (problem solver) cukup tinggi.
Yang masih rendah adalah pengetahuan tentang nilai karakter kuriositas
(ingin tahu), daya analitis, daya kritis, dan kemandirian.
Pada tataran moral feeling, seluruh nilai turunan dari nilai

92
Karakter Siswa Indonesia

kecerdasan umumnya berada pada tingkat yang rendah. Beberapa pada


tataran sedang. Tampaknya siswa SMA belum merasakan atau benar-
benar memahami gunanya memiliki kecerdasan bagi hidup mereka di
masa depan. Namun, mereka menyadari perlunya disiplin diri agar
diterima di masyarakat. Agak mengherankan bahwa nilai turunan yang
paling rendah dihayati adalah nilai daya kritis dan kemandirian. Dengan
tingkat pengetahuan dan penghayatan seperti tersebut, tindakan nyata
(moral action) dari nilai karakter kecerdasan dan nilai turunannya
menjadi rendah. Hanya, konsisten dengan moral feeling-nya yang cukup
tinggi, pelaksanaan disiplin diri juga cukup tinggi. Paling rendah angka
tindakan nyatanya adalah sikap kritis dan mandiri.
Kita mencatat bahwa di level SMP, sudah muncul daya kritis
siswa Indonesia, namun di level SMA, karakter itu menyurut lagi. Patut
dicemaskan juga bahwa hingga level SMA, anak-anak Indonesia masih
belum merasakan perlunya sifat mandiri.

Nilai Inti Peduli


Pada tataran pengetahuan moral (moral knowing), pengetahuan
siswa SMA tentang nilai peduli dan nilai turunannya yang sangat tinggi
pada nilai suka membantu, peka, dan demokratis. Yang cukup tinggi
adalah nilai kesadaran kewarganegaraan, perlunya komitmen,
kesetaraan, penghargaan pada orang lain, kelembutan hati, dan rasa
humor. Yang kurang diketahui adalah nilai karakter pemaaf, toleransi,
sikap hemat, keadaban, patriotisme, dan ketepatan waktu. Sangat perlu
menjadi perhatian adalah nilai karakter hemat, yang nilainya paling
rendah. Di level SMA, pengetahuan akan sifat hemat semakin menurun
jika dibandingkan dengan level SMP. Bisa jadi, hal itu akibat usia mereka
yang semakin konsumtif dan godaan gaya hidup yang mengitari
mereka.
Pada tataran moral feeling, hampir seluruh nilai turunan dari nilai
kepedulian berada pada tingkat yang rendah, beberapa pada tingkat
sedang, hanya satu nilai berada pada tingkat yang tinggi, yakni sifat
demokratis. Mungkin praktik demokrasi dalam pemilihan ketua kelas
serta ketua OSIS, kesempatan berkampanye bagi para kandidat,

93
Karakter Siswa Indonesia

pemilihan umum secara langsung dan terbuka, berpengaruh besar pada


perasaan dan penghayatan siswa tentang makna demokrasi. Sayangnya,
mereka paling rendah dalam nilai karakter toleransi, keadaban, dan
ketepatan waktu.
Pada tataran perwujudan pengetahuan dan penghayatan nilai
karakter yang baik, mayoritas nilai turunan terlaksana di tingkat
rendah. Hanya nilai karakter demokratis yang cenderung ke tinggi, dan
beberapa bergeser ke sedang. Nilai yang paling rendah diterapkan oleh
siswa adalah sifat toleran, tahu akan keadaban, dan menghargai
(ketepatan) waktu.

Nilai IntiTangguh
Pada umumnya pengetahuan siswa SMA tentang nilai
ketangguhan dan nilai turunannya adalah tinggi, kecuali pada nilai sifat
yakin, antisipatif, dan rajin. Ketiga nilai yang rendah ini patut menjadi
perhatian, karena membentuk suatu garis lurus di level rendah dengan
karakter siswa SD dan SMP. Hal tersebut berarti tidak ada
perkembangan yang positif dari nilai karakter yang masih dirasakan
kurang. Sementara itu, sesuai psikologi perkembangan usia siswa SMA,
nilai karakter yang dominan adalah keberanian dan suka berkompetisi
(kompetitif).
Namun, siswa SMA tidak sungguh-sungguh merasakan dan
menghayati pengetahuannya tentang nilai karakter yang baik. Kecuali
nilai ketegasan dan keberanian yang cukup tinggi, sebagian besar nilai
turunan dari nilai ketangguhan masih rendah, bahkan nilai sifat yakin,
antisipatif, dan rajin paling rendah. Selanjutnya, di tataran tindakan
nyata (moral action), kecuali nilai keberanian, umumnya penerapan nilai
turunan yang lain berada pada tingkat rendah.Terletak pada garis lurus
yang rendah mulai dari pengetahuan, perasaan, dan tindakan adalah
nilai sifat yakin, antisipatif, dan rajin. Patut dicatat bahwa karakter yang
paling menonjol di kalangan siswa SMA adalah berani. Menilik
hubungan pada aspek yang sama di tingkat SD dan SMP, perlu perhatian
ekstra dalam implementasi pendidikan karakter terkait rendahnya
sikap yakin, antisipatif, dan rajin.

94
Karakter Siswa Indonesia

Nilai-Nilai Karakter Siswa SMK Se-Indonesia


Nilai Inti Jujur
Siswa SMK tentu memiliki kekhasan dibandingkan dengan siswa
SMA pada umumnya. Kekhasan kurikulum dan atmosfer belajar tentu
mempengaruhi dan mewarnai perkembangan karakter mereka. Pada
tataran pengetahuan moral (moral knowing yang identik dengan character
knowing), misalnya, pengetahuan siswa SMK tentang nilai kejujuran dan
nilai turunannya berada pada tingkat tinggi. Bahkan, pengetahuan akan
sikap tanggung jawab sangat tinggi. Mungkin hal itu terkait tugas-tugas
keseharian yang harus mereka pertanggung-jawabkan (hasil kerja
praktik). Nilai turunan dari nilai kejujuran yang paling banyak
diketahui oleh para siswa SMK adalah rasa tanggung jawab, kemudian
keimanan dan kepercayaan. Patut menjadi perhatian adalah rendahnya
pengetahuan tentang nilai amanah dan nilai sportivitas.
Pada tataran moral feeling, umumnya siswa SMK belum
merasakan cara untuk tulus hati, menikmati indahnya iman dan
kepercayaan, menghargai diri sendiri, berperilaku amanah, dan sportif.
Nilai sportivitas mereka amat rendah di tataran perasaan/penghayatan.
Kondisi itu dapat menjadi catatan dalam atmosfer sekolah kejuruan
yang diwarnai kompetisi, kontes, dan rivalitas. Guru harus pandai-
pandai mengendalikan situasi dan emosi para peserta didiknya, baik
saat kalah maupun menang dalam lomba atau pertandingan.
Apakah pengetahuan dan perasaan tersebut kemudian
diwujudkan dalam tindakan nyata (action)? Terlihat bahwa pergerakan
setiap nilai umumnya antara rendah dan moderat. Hal yang patut
dicatat, nilai karakter rasa tanggung jawab amat dominan rendah, yakni
0% pada tataran tinggi. Padahal, bukankah di tataran pengetahuan, rasa
tanggung jawab nilainya sangat tinggi dalam bilik pengetahuan siswa
SMK? Mengapa pada tataran praktik/aksi, menjadi 0%? Perlu
diperhatikan juga rendahnya nilai sportivitas dan nilai amanah. Apakah
rendahnya nilai amanah ini berkaitan dengan tugas-tugas yang berat
sehingga anak-anak melakukan kecurangan (mencontek atau tugas
dikerjakan orang lain)?

95
Karakter Siswa Indonesia

Nilai Inti Cerdas


Hampir senada dengan hasil temuan pada satuan pendidikan SD,
SMP, dan SMA, pada tataran pengetahuan moral (moral knowing yang
identik dengan character knowing) pengetahuan siswa SMK tentang nilai
kecerdasan dan nilai turunannya, yang tinggi hanya pada nilai
kreativitas. Boleh dikatakan bahwa anak-anak Indonesia (SD, SMP,
SMA/SMK) adalah anak-anak yang kreatif. Pengetahuan mereka juga
cukup tinggi pada nilai karakter pemecah masalah (problem solver) dan
disiplin diri. Patut menjadi perhatian adalah rendahnya pengetahuan
tentang nilai karakter kritis.
Memprihatinkan, ketika pada tataran moral feeling
(pengetahuan yang dirasakan dan dihayati), ternyata seluruh nilai
turunan dari nilai kecerdasan (analitis, pemecah masalah, kuriositas,
kreativitas, kritis, kemandirian, dan disiplin diri) berada pada tingkat
yang rendah. Dalam tindakan nyata (moral action), nilai kecerdasan dan
turunannya juga rendah, dan yang paling rendah adalah penerapan sifat
kritis dan mandiri.

Nilai Inti Peduli


Pada tataran pengetahuan tentang nilai kepedulian, siswa SMK
memiliki pengetahuan yang tinggi dalam hal sifat suka membantu,
peka, dan demokratis. Pengetahuan tentang karakter demokratis yang
tinggi bisa jadi terbentuk dari kebiasaan dalam musyawarah OSIS.
Pengetahuan tentang sifat penolong dan peka pada kondisi orang lain
terbentuk dari seringnya terjadi bencana alam dan musibah di
Indonesia, yang membuat mereka berempati. Nilai yang cukup tinggi
ditemukan pada pengetahuan tentang nilai komitmen, kesetaraan, dan
kebersamaan. Patut menjadi perhatian adalah kurangnya pengetahuan
tentang nilai kewarganegaraan, memberi maaf, toleransi, sikap
berhemat, keadaban, patriotisme, ketepatan waktu, rasa humor, dan
kebanggaan. Seperti rekan-rekannya di SMA, pengetahuan tentang
hemat nilainya paling rendah.
Pada tataran moral feeling, seluruh nilai turunan dari nilai
kepedulian berada pada tingkat yang rendah. Maknanya, siswa-siswa

96
Karakter Siswa Indonesia

SMK belum merasakan atau benar-benar memahami perlunya peduli


pada sesamanya. Nilai turunan yang paling rendah dirasakan siswa
adalah nilai suka memberi maaf, menghargai orang lain, keadaban, dan
kelembutan hati. Dalam kaitan pengetahuan dan perasaan tersebut
kemudian diwujudkan dalam tindakan nyata (moral action), penerapan
nilai peduli dan nilai turunannya pada umumnya rendah. Paling rendah
adalah sifat memberikan maaf, keadaban, dan kelembutan hati.

Nilai IntiTangguh
Pengetahuan siswa SMK tentang nilai ketangguhan dan nilai
turunannya sebagian besar cukup tinggi, kecuali pada nilai daya upaya
(effort), sifat yakin, antisipatif, dan rajin. Ada hal yang menarik di sini.
Pada siswa SMK, pengetahuan tentang nilai daya upaya (effort) rendah,
padahal sifat pembelajaran mereka adalah menumbuhkan dan
membiasakan semangat berwirausaha. Secara umum, keempat nilai
yang rendah diketahui oleh siswa SMK ini patut menjadi perhatian.
Seluruh nilai turunan dari nilai ketangguhan, pada tataran
dirasakan atau dihayati, berada pada tingkat yang rendah. Penghayatan
akan sifat yakin, antisipatif, dan rajin paling rendah. Dalam tindakan
nyata (moral action), nilai ketangguhan dan nilai turunannya masih
rendah penerapannya.Terletak pada garis lurus yang rendah mulai dari
tataran pengetahuan, perasaan, dan tindakan (action) adalah nilai sifat
yakin, antisipatif, dan rajin.

Nilai Karakter Siswa diTiapWilayah


Pengertian wilayah di sini adalah wilayah yang memiliki
kemiripan secara kultural. Berdasarkan fakta, kemiripan kultur
biasanya berkaitan dengan domisili suatu ras atau suku bangsa di suatu
pulau. Oleh karena itu, pembahasan karakter siswa di bagian ini
berpedoman pada kepulauan di Indonesia, dalam hal ini Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku, dan Papua. Di bagian
ini, tidak lagi dibahas karakter siswa per tataran satuan pendidikan,
tetapi secara umum karakter siswa di suatu wilayah. Yang telah
dipaparkan pada Bab 2, Berguru kepada Alam, menjadi reasoning latar

97
Karakter Siswa Indonesia

budaya dan lingkungan dari fenomena karakter siswa di daerah


tertentu.
Sebelum membahas karakter siswa per wilayah, perlu ditilik
terlebih dahulu b karakter siswa Indonesia pada umumnya. Seperti
diungkapkan di depan, walaupun tidak ada keterhubungan antara
moral knowing, moral feeling, dan moral action, umumnya karakter
siswa di Indonesia-dipotret melalui instrumen penelitian terutama
yang berupa daftar cek- akan terlihat ‘baik-baik saja’. Mengapa
demikian? Berdasarkan sejumlah temuan dari berbagai wilayah, salah
satu penyebabnya adalah tidak konsistennya atau tidak seiringnya yang
diajarkan dan dianjurkan di sekolah dengan yang menjadi pembiasaan di
rumah. Sementara sekolah menganjurkan anak-anak untuk rajin
belajar, di rumah orang tua malah asyik menonton sinetron pada jam-
jam anak belajar.
Sementara itu, di sejumlah daerah, latar belakang pendidikan orangtua
yang rendah menyebabkan kekurangpedulian bahkan ketidakpedulian
mereka pada pembinaan aspek akademis maupun pembinaan karakter
siswa. Pada umumnya, orangtua sepenuhnya pasrah kepada pihak
sekolah. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah pasrah bongkokan
(menyerahkan sepenuhnya). Bagi orangtua seperti itu, yang penting
anak-anak sudah memenuhi wajib belajar yang ditetapkan pemerintah.

Implementasi Nilai Inti Jujur


Pada umumnya nilai kejujuran ditanamkan dan dikembangkan
dengan cara mengintegrasikannya ke dalam mata pelajaran dan dalam
kehidupan sehari-hari. Integrasi ke dalam mata pelajaran antara lain
melalui mata pelajaran Pelajaran Agama dan Pendidikan
Kewarganegaraan. Program konkret untuk menanamkan kejujuran
umumnya melalui Kantin Kejujuran yang cukup berhasil. Di sejumlah
sekolah, selain Kantin Kejujuran, juga ada Buku Kejujuran. Khas untuk
daerah Gorontalo, diselenggarakan Kotak Kejujuran yang dilengkapi
kartu pahala dan kartu dosa. Kartu pahala dimasukkan ke dalam Kotak
Kejujuran jika pada hari itu siswa berbuat jujur, misalnya tidak
mencontek saat ulangan, menemukan barang yang ditinggalkan orang

98
Karakter Siswa Indonesia

lain dan memberikannya kepada guru kelas atau guru piket. Jika tanpa
sengaja siswa menyakiti hati temannya, mereka akan menuliskannya di
kartu dosa. Kartu-kartu itu dimasukkan ke dalam Kotak Kejujuran.
Selain itu, ada juga Kotak Barang Temuan untuk tempat
menyimpan barang-barang temuan, khususnya uang. Uang yang
terkumpul, jika tidak ada yang menyatakan sebagai pemiliknya setelah
diumumkan oleh guru beberapa kali, akhirnya akan diberikan kepada
fakir miskin, kaum duafa, anak yatim, dan mereka yang berhak
menurut tuntunan agama. Sifat loyal siswa ditunjukkan melalui
tanggung jawab dalam mengemban amanah. Misalnya, bila ditunjuk
untuk mengikuti lomba dalam rangka mewakili sekolahnya, mereka
akan berusaha semaksimalnya untuk memberikan kebanggaan sekolah
dan korpsnya.

Implementasi Nilai Inti Cerdas


Semangat juang siswa dalam belajar supaya cerdas, dapat dilihat
dari upaya mencapai prestasi dan berkompetisi secara sehat. Mereka
saling berkompetisi untuk menjadi yang terbaik, agar menjadi
kebanggaan keluarga. Dalam pengembangan kreativitas, para siswa
umumya sering memunculkan ide-ide baru dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang mereka hadapi.
Di sekolah yang memfasilitasi dan mendorong pembuatan karya
siswa, biasanya siswa sangat kreatif dalam membuat atau merancang
sesuatu yang lain daripada yang lain, atau menemukan cara
memecahkan sesuatu masalah secara lebih cepat. Siswa Indonesia juga
memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, sehingga dalam proses belajar
mengajar banyak bertanya kepada guru. Namun, karena rasa segan atau
enggan dianggap menonjolkan diri, siswa perempuan jarang
mengangkat/mengacungkan tangan. Sifat kritis dikembangkan melalui
kritik terhadap program OSIS yang kurang berjalan baik atau
menyimpang dari rencana semula.

Implementasi Nilai Inti Peduli


Kepedulian siswa yang paling menonjol adalah kepedulian

99
Karakter Siswa Indonesia

mereka kepada teman. Bila ada teman yang sakit atau mengalami
musibah, mereka siap membantu. Tidak jarang mereka berinisiatif
mengumpulkan iuran untuk membantu teman yang membutuhkan.
Sikap peduli juga diterapkan dalam hal menjaga kebersihan lingkungan
kelasnya. Mereka merawat dan menjaga tanaman, memungut sampah,
menjalankan piket menghapus papan tulis, membersihkan kelas, dan
lain-lain.
Ketegasan siswa dalam bersikap umumnya ditunjukkan dengan
tetap melakukan tindakan yang benar, meski ada bisikan dari kawan
dekat untuk bersikap sebaliknya, yaitu berperilaku menyimpang.
Mereka sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak
baik. Sifat patriotisme biasanya tampak dari fakta bahwa mereka hafal
lagu-lagu daerah dan lagu-lagu nasional, dan penggunaan bahasa
Indonesia di sekolah, meskipun dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat mereka menggunakan bahasa daerah masing-masing.

Impementasi Nilai IntiTangguh


Karakter tangguh dibuktikan oleh para siswa dengan memiliki
semangat yang tinggi untuk menjadi yang terbaik. Ketika diberi tugas,
misalnya, siswa akan berusaha menyelesaikan tepat waktu. Mereka juga
bercita-cita bersekolah sampai ke perguruan tinggi. Dalam hal ini,
masyarakat yang sederhana seperti masyarakat Samin, Tengger, dan
Bajo, belum berpikir sejauh itu. Bagi mereka, yang penting anak-anak
sudah memenuhi kewajiban wajib belajar yang merupakan program
pemerintah.
Sekarang akan dibahas karakter siswa Indonesia per wilayah
dengan mengungkap hal-hal yang menonjol dan khas, baik yang bersifat
positif maupun yang negatif.

Karakter Siswa Aceh


Siswa Aceh amat menghormati guru. Ada trilogi yang dipegang
teguh dalam konsep penghormatan yaitu ibu, ayah, dan guru (mak, ngun,
dan guree). Seperti orangtua mereka, siswa Aceh juga bersikap militan

100
Karakter Siswa Indonesia

(loyal), berani, rela berkorban demi membela nanggroe (bangsa), dan


berjuang sampai titik darah penghabisan (untill their blood runs dry).
Sikap lain yang melekat adalah pantang menyerah, optimistis, konsisten
(istiqamah), dan setia kepada pemimpin. Sikap optimistis tergambarkan
dalam keyakinan siploh pinto teutob, na saboh nyang teubah, Sepuluh pintu
tertutup, pasti ada satu yang terbuka. Sementara itu,. sikap konsisten
dan tidak plin-plan tergambarkan dalam peribahasa cab di bate labang di
papeuen lagee ka lon kheun jeut metuba, Cap di batu, paku di papan, seperti
sudah kukatakan tidak boleh bertukar.
Dalam hal peningkatan kecerdasan, mereka terpacu oleh
semangat tameuruno metemee eleme, artinya, siapa yang belajar akan
mendapatkan ilmu. Hal itu agaknya juga dipacu oleh semangat Islam
yang terkandung dalam hadis, tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri
Cina (thalabul ilmi walau bi sinni). Menuntut ilmu merupakan kewajiban
bagi muslimin dan muslimat.
Karakter tangguh berkembang sesuai dengan peribahasa meumet
jaro meu eek igoe, bek tasak jaro lam lungkik pha, artinya, ada kerja ada
makan, gerak-gerak tangan dapat rezeki, jangan hanya berpangku
tangan. Siswa Aceh terbiasa berhemat. Hal itu merupakan manifestasi
dari peribahasa, tahemat yoh mantong na, beugoet-goet that yoh goh cilaka,
hemat semasa masih ada, hati-hati sebelum celaka. Siswa Aceh juga
terbiasa untuk menjunjung demokrasi untuk memanifestasikan
ungkapan, bulet lagu umut, tirus lagu gelas, bulat seperti batang pisang,
lurus seperti gelas. Suatu kebijakan harus melalui musyawarah mufakat
yang bulat, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Hal yang masih patut dikembangkan dalam pendidikan karakter
adalah menghilangkan atau mereduksi karakter pendendam, pasif
dalam inisiatif, serta masih belum kuatnya rasa tanggung jawab. Dengan
upaya sungguh-sungguh melalui proses pendidikan di sekolah, sifat
reaktif masyarakat Aceh dapat direduksi, dan kini tidak lagi terlihat
dalam karakter siswa.

Karakter Siswa Batak


Siswa dari etnis Batak umumnya berwatak keras. Sikap itu

101
Karakter Siswa Indonesia

terutama terlihat dari nada bicaranya. Namun sesungguhnya, mereka


menjunjung tinggi sopan santun. Mereka berpendapat bahwa sopan
santun, sikap hormat, dan ramah, akan membuahkan hidup yang mulia
dan bahagia. Hal itu sesuai dengan peribahasa mereka, pangkuling do
situan na denggan, yang artinya budi bahasa yang baik sangat penting
dalam bermasyarakat.
Mereka juga percaya bahwa sikap ceroboh dan sombong dapat
menyebabkan penderitaan, malapetaka, dan kematian. Mereka
menjaga diri jangan sampai menjadi orang yang tidak berguna, yang
tidak disukai oleh siapa pun, seperti tercermin dalam peribahasanya,
bau so jolo busuk, bari so jolo masak, artinya, berbau busuk walau belum
busuk, sudah basi walaupun belum masak.
Kecuali itu, mereka juga terbiasa bekerja keras karena
kemiskinan itu identik dengan penderitaan. Hotang hotari hotang
pulogos, gogo ma mansari, na dangol do na pogos, berusahalah sekuat tenaga
karena kemiskinan itu identik dengan penderitaan. Sementara itu,
mereka juga berkeyakinan sepanjang masih ada pengharapan, miskin
dan menderita tidaklah apa-apa. Agia pe lapalapa asal di toru ni sobuon.
Agia pe malapalap asal ma di hangoluhon, ai sai na boi do jolma partalaga
muga gabe parjuluon, biar miskin dan menderita tidak mengapa, asalkan
dapat hidup terus, karena selama masih hidup selalu ada harapan
mendapatklan perbaikan nasib.
Dalam menuntut ilmu, mereka ingat petuah yang menyatakan,
hotang do raginan, hadang hadangan pansalongan, sihahaan gabe sianggian,
molo hurang sinaloan, anak sulung akan menjadi anak bungsu jika kurang
pengetahuan. Umumnya siswa Batak rajin, suatu sikap yang diperlukan
untuk menaklukkan alam yang berbukit dan bergunung. Peribahasa
mereka dalam hal ini adalah do hangoluan, jala tois do hamogoan, rajin
pangkal kaya, malas pangkal miskin, dan menyebabkan kehancuran.
Kecuali itu, siswa Batak amat menjunjung tinggi demokrasi. Mereka
berkeyakinan, hata manunjang hata lalaen, hata torop sabungan ni hata,
kata orang yang mau menang sendiri (dalam bermusyawarah) adalah
kata orang gila, kata bersama adalah kata yang menentukan.

102
Karakter Siswa Indonesia

Karakter Siswa di Minangkabau


Siswa dari etnis Minangkabau pada umumnya memiliki
landasan ajaran agama Islam, bahwa setiap muslim melakukan
perbuatan yang baik dan menjauhi atau mencegah perbuatan yang
buruk (amar ma’ruf nahi munkar). Nilai kejujuran dijunjung tinggi. Di
sekolah-sekolah, hal tersebut direalisasikan dalam bentuk Kantin
Kejujuran dan Buku Kejujuran. Mereka berprinsip: mencontek itu
haram hukumnya.
Dalam belajar atau menuntut ilmu, mereka meyakini bahwa
alam semesta ini merupakan guru yang baik, alam takambang jadi guru.
Banyak konsep ilmu yang terkandung di alam, yang merupakan bukti
kebenaran (ayat kauniyah), alam juga merupakan wahana bagi pencarian
ilmu. Dalam hal menuntut ilmu, siswa Minangkabau termasuk yang
paling bersungguh-sungguh, karena kecerdasan dijunjung tinggi dalam
budaya dan oleh leluhurnya. Ada peribahasa, baburu ke padang data,
dapek ruso belang kaki, baguru kepalang aja, bak bungo kembang tak jadi,
artinya, kalau kita berburu ke padang yang datar, akan mendapat rusa
belang kaki; dan kalau berguru/belajar tidak bersungguh-sungguh,
bagai bunga yang tidak mekar (kuncup layu).
Kecuali itu, siswa Minang juga meyakini bahwa kejujuran akan
membawa kebaikan dan harus selalu hati-hati dalam berkata maupun
melakukan tindakan. Bakato paliharokan lidah, bajalan paliharokan kaki,
lidah tataruang ameh padahannyo, kaki tataruang inai padahanyo, berkata
pelihara lidah, berjalan pelihara kaki, lidah tertarung emas tumbalnya,
kaki tertarung inai tumbalnya. Inai adalah tumbuhan yang daunnya
untuk pemerah kuku, Lawsonia inermis.
Asal benar, siswa Minang juga sangat berani. Keberanian siswa
Minangkabau dibuktikan dengan tingginya angka masyarakat
Minangkabau yang merantau dan berdagang. Jiwa kemandirian dan
entrepreneurship sudah melekat dalam diri siswa. Mereka juga siap
melakukan adaptasi di masyarakat setempat, sesuai peribahasa tibo di
kandang kambiang mangembek, tibo di kandang kabau menguak, tiba
di kandang kambing mengembik, tiba di kandang kerbau menguak.
Mereka juga berani menghadapi rintangan, dengan landasan ‘lawan

103
Karakter Siswa Indonesia

pantang dicari, kalau bertemu pantang dielakkan’.


Siswa Minangkabu memiliki sikap tenggang rasa yang kuat. Hal
tu merupakan manifestasi dari peribahasa, kok hanyuik bapintasi,
tabanam basilami, tatilantang samo minum embun, tatungkuik samo makan
tanah, tarapuang samo hanyuik, tarandam samo basah, jika hanyut dipintasi,
terbenam diselami, terlentang sama minum embun, tertelungkup
sama makan tanah, terapung sama hanyut, terendam sama basah.
Merupakan gambaran dari semangat tenggang rasa senasib
sepenanggungan masyarakat Minang dalam menjalani hidup sehari-
hari.

Karakter Siswa Palembang


Nilai kecerdasan berkembang di dalam diri siswa di Palembang,
karena sikap yang dilandasi Hadis Nabi Muhammad SAW. Dalam bahasa
Palembang, hal itu diungkapkan dengan kalimat tuntun da ilmu tunggak
di nagari Cina, tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Karakter
peduli berkembang sesuai dengan pepatah lemak didiri nak lemak di
urang, enak di diri tidak enak di orang lain (pemeo anak muda sekarang,
yang dalam bahasa Jakartanya enak di lo, gak enak di gue), artinya,
jangan mau menang sendiri. Sikap kerjasama dituntun oleh prinsip
sebimbing sekundang, saling bimbing untuk mencapai tujuan bersama.
Kewajiban untuk menolong sesama yang menderita tergambarkan
dalam ungkapan, telok di ujung waton, telur di ujung daun pisang, sewaktu-
waktu akan jatuh dan pecah, menggambarkan orang susah yang wajib
ditolong.
Siswa Palembang juga mengenal dan memahami sikap kerja
keras, yang merupakan nilai ketangguhan, sesuai ungkapan antak
kelemak nanggung kudai, artinya, jika mau senang harus susah dahulu.
Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu
bersenang-senang kemudian. Siswa Palembang terbiasa untuk berhati-
hati dalam mengerjakan sesuatu. Hal itu merupakan manifestasi dari
peribahasa, beras tumpa dak baleek taker, beras tumpah tidak kembali
takaran. Segala sesuatu yang telah rusak sulit diperbaiki menjadi
sempurna seperti sediakala. Oleh karenanya, dalam mengerjakan

104
Karakter Siswa Indonesia

sesuatu, manusia harus berhati-hati jangan sampai berbuat salah.

Karakter Siswa Serawai (Bengkulu)


Etnis yang dominan di Bengkulu adalah etnis Serawai. Di
Bengkulu, kejujuran siswa diperteguh dengan kewajiban menuliskan
peribahasa yang esensinya mengharuskan berlaku jujur, setiap kali
mereka melaksanakan ulangan/ujian (peribahasa ditulis di kertas
ulangan). Siswa memegang petuah bahwa siswa harus lurus/jujur
selurus batang pinang. Karakter peduli terbangun melalui kerapnya
dikumandangkan ungkapan-ungkapan bioatum binenem rangcuitanum
(ingatlah kebaikan orang lain) dan nido buliah nebang beringin (jangan
menebang pohon sembarangan). Ungkapan yang terakhir itu
melambangkan kepedulian terhadap lingkungan hidup.
Karakter tangguh siswa ditempat melalui nasihat-nasihat akan
ketekunan dan kesabaran. Ada ungkapan jangan balik amun lun dampek,
jangan kembali jika belum mendapat sesuatu yang berharga. Mereka
yang bekerja setengah-tengah atau tidak pernah tuntas akan disindir
dengan ucapan, dang kemina adan seati mengaton, jangan meninggalkan
ladang sebelum panen. Kecuali itu, siswa Bengkulu juga dianjurkan
berpikir dulu dalam-dalam sebelum bertindak terhadap sesuatu
informasi agar tidak terjatuh dalam perangkap yang menjerumuskan.
Amun manis jangan mudah diteguak, jika manis jangan mudah ditelan
(dimakan). Dengan demikian setiap orang harus membiasakan diri
berhati-hati dalam menghadapi berbagai masalah yang ditemui setiap
hari.

Karakter Siswa Abung (Lampung)


Lampung adalah provinsi yang secara konvensional menjadi
sasaran transmigrasi orang Jawa, sejak zaman Belanda hingga Orde
Baru. Karena Bandar Lampung telah menjadi kota multietnis, dipilihlah
kota Abung Timur sebagai tujuan penelitian, wilayah sebagai tempat
suku asli Lampung (etnis Abung) berdiam.
Nilai jujur di kalangan siswa etnis Abung dikembangkan karena
keyakinan candung bukkuk mengan saghung no sayan, golok yang bengkok

105
Karakter Siswa Indonesia

akan memakan sarungnya sendiri. Maknanya yang lebih mendalam,


ketidakjujuran akan merugikan diri sendiri. Siswa Abung sangat
menghayati peribahasa leluhurnya, siwo pandai sepuluh kurang tawai,
maknanya engkau mungkin pandai, tetapi masih dapat lebih pandai lagi.
Dengan demikian, mereka tidak mudah puas dalam mencari dan
mengembangkan ilmu. Penghormatan terhadap orang berilmu (dalam
hal ini guru) dicatat dalam peribahasa kiya nangun inton, kepak butahun
delom litak kiri asah pagun ya mangkilat, artinya jika memang intan
(lambang orang berilmu tinggi), biar bertahun dalam lumpur, jika
diasah akan mengilap.
Karakter peduli siswa dilandasi semangat sakai sambayan, suka
bergotong royong agar beban hidup dapat ditanggulangi bersama. Ada
juga semangat ngejuk ngakuk, yang maknanya suka menerima dan
memberi, baik dalam keadaan suka maupun duka. D a l a m h a l
ketangguhan, berlaku petuah mak pateh lamun lemeh, mak pegat lamun
kendur, tidak patah bila lemah, tidak putus bila kendor. Siswa tahu
bahwa orang yang sabar dan gigih dalam berusaha, pasti akan
memperoleh kebaikan pada akhirnya.
Sifat mandiri juga dibangun dengan kebiasaan tidak berharap
atau bergantung pada orang lain. Ada pepatah bacak pedih ngalikut, anjak
pedih ngalimak; lebih baik tidak berharap, daripada berharap tetapi tidak
diberi. Keberanian siswa ditempa digambarkan dalam peribahasa bacak
mati mandi khah, jak hokhek kena jajah; lebih baik mati mandi darah
daripada hidup dijajah. Siswa Abung Lampung juga didorong untuk
selalu bekerja keras sesuai dengan ungkapan, bala mak dapok ti tulak,
khajeki mak dapok ti kilu, malapetaka tidak dapat ditolak, rezeki tidak
dapat diminta. Manusia hanya dapat berencana, tetapi Tuhanlah yang
menentukan. Namun, untuk mencapai cita-cita tetap diperlukan usaha
yang gigih dan sungguh-sungguh.
Sifat negatif siswa Abung yang perlu direduksi melalui
pendidikan karakter adalah sifat pencemburu dan iri hati. Sifat setia
kawan yang sebetulnya positif menjadi negatif karena siswa cenderung
berusaha menutupi kesalahan temannya. Sifat keras kepala, sukar
dinasihati, juga akan menghambat keberhasilan mereka kelak dalam

106
Karakter Siswa Indonesia

pekerjaan dan kehidupan.

Karakter Siswa Betawi (Bekasi)


Dari Sumatra, pembahasan berlanjut ke Jawa. Saat ini mencari
etnis Betawi di Jakarta sudah sulit, karena Jakarta sudah menyerupai
panci peleburan, yakni berbagai kultur telah lebur menjadi satu. Juga,
para penduduk asli Jakarta (etnis Betawi) sudah banyak yang minggir
(pindah ke pinggir kota) karena Jakarta dibangun sebagai kota
metropolitan, pusat pemerintahan, perkantoran, dan perdagangan.
Peneliti menuju kota Bekasi dan menemukan jejak etnis Betawi di sana.
Di sini, untuk membangun karakter kejujuran siswa, sekolah
memfasilitasi Kantin Kejujuran yang dikelola seperti minimarket.
Siswa yang bertransaksi diharuskan menuliskan sendiri barang yang
dibeli dan jumlah uang yang harus dibayar. Sifat terbuka yang menjadi
ciri orang Betawi kerap diungkap para siswa lewat kata buke kartu (terus
terang), buke mulut (berkata terus terang), dan buke kulit tampak isi
(membuka kulit tampak isi). Mereka tidak suka berpura-pura atau
berbasa-basi.
Sikap menghargai ilmu dan mengembangkan kecerdasan
tergambarkan dalam ungkapan makan sekolahan (berilmu) dan akal
kancil (cerdik dalam pengertian positif). Di kalangan anak muda
Betawi, kalau tidak makan sekolahan dia akan direndahkan (merasa
malu). Budaya tersebut digambarkan dengan sangat baik dalam
Sinetron Si Doel Anak Sekolahan (sebagai lanjutan Si Doel Anak Betawi),
karya Rano Karno.
Sikap peduli siswa tergambarkan dalam ungkapan-ungkapan
baik ati (berbudi luhur, baik hati), ngambil peduli (berkepedulian tinggi),
ngangkat alis (memperhatikan dan memedulikan orang lain), serta
ngebelokin ati (membelokkan hati), memberi petunjuk terhadap orang
yang “salah jalan” dalam hidupnya. Rasa kebersamaan dibangun seperti
ungkapan lidi due batang bisa dipatahin, lidi seiket kagak (dua batang lidi
dapat dipatahkan, lidi seikat tidak). Karena itu, anak-anak Betawi
kebanyakan kompak dan solidaritasnya cukup tinggi. Karakter tangguh
dihayati oleh siswa Bekasi melalui tingginya penghargaan bagi orang

107
Karakter Siswa Indonesia

yang berati baja (berhati baja). Kalau ada anak yang berani, dijuluki
atinye gede banget (hatinya/nyalinya amat besar).

Karakter Siswa Banyumas (Purbalingga)


Etnis Banyumas merupakan bagian dari suku Jawa yang memiliki
budaya tersendiri, yang merupakan peralihan dan percampuran antara
kultur Jawa dengan kultur Sunda. Kota yang diteliti adalah Kota
Purbalingga.
Anak-anak di wilayah Banyumas, tingkat religiusitasnya belum
setinggi siswa di Minangkabau, misalnya.Walaupun nilai keimanan dan
ketakwaan selalu ditanamkan sejak mereka berada di Sekolah Dasar,
untuk melaksanakan kewajiban shalat mereka umumnya harus digurahi,
diayo-ayo, digurak-gurak (diajak dengan setengah memaksa). Ternyata
kebiasaan itu terjadi karena orangtua di rumah tidak terlalu peduli
apakah anak-anaknya sembahyang atau tidak. Meskipun demikian, pada
umumnya siswa Banyumas cablaka atau blaka suta, yaitu terbiasa
berucap jujur dan berterus terang. Sayangnya, pemahaman dan
penghargaan terhadap nilai jujur kurang diterapkan dalam tindakan.
Hal itu terbukti bahwa mereka sering saling mencontek dalam
mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Tidak heran, di Purbalingga, ada
wacana diskusi berjudul,Apa Gunanya PR?
Dalam hal kuriositas untuk mempertajam kecerdasan,
umumnya yang sering bertanya kepada guru adalah siswa laki-laki.
Anak perempuan masih rikuh pakewuh (malu dan segan). Patut pula
disayangkan, dalam melakukan sesuatu di sekolah, mereka hanya aktif
jika ditunggui guru. Belum ada motivasi untuk mandiri dan belajar
dengan baik. Di Banyumas, ada fenomena media pembelajaran yang
disalahgunakan. Jika diharuskan belajar dengan internet, mereka lebih
banyak bermain-main (nge-game) ketimbang belajar. Di daerah
Banyumas, juga ada penilaian akan sikap dan dan gaya guru dalam
mengajar, sehingga muncul istilah guru favorit dan non-favorit. Guru
yang menjadi favorit justru yang tidak ketat (alias longgar) dalam
penerapan kedisiplinan, yaitu guru-guru yang populer. Sifat kurang
disiplin tampaknya kuat mewarnai karakter sebagian siswa Banyumas.

108
Karakter Siswa Indonesia

Mereka ditengarai oleh guru sebagai siswa ndableg, semaunya sendiri,


sukar diatur dan dinasihati.
Umumnya para orangtua siswa berasal dari kalangan ekonomi
kelas menengah ke bawah (ini salah satu perbedaan yang jelas antara
sampel sekolah di ibukota kabupaten dengan sampel di ibukota
provinsi). Karena latar belakang itu, cita-cita para siswa tidak terlalu
tinggi. Mereka mudah puas jika setelah lulus sekolah lanjutan dapat
langsung bekerja.Tidak terbayang di benak mereka untuk melanjutkan
ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Itu sebabnya, SMK menjadi
pilihan utama dan menjadi sekolah favoritnya. Apalagi, hal itu didukung
munculnya berbagai perusahaan dan industri di wilayah ini. Kondisi
tersebut semakin mendorong para siswa untuk segera melamar
pekerjaan setelah lulus`SMA.
Umumnya para siswa Banyumas berjiwa pemaaf. Hal itu
disimbolkan secara budaya dalam bentuk blangkon (penutup kepala
yang khas masyarakat Jawa Tengah). Tidak seperti blangkon Jogyakarta
yang menonjol di belakang, blangkon Banyumas gepeng (datar) di
bagian belakang, tidak bendhol mburi (menggelembung, bengkak di
belakang). Bila ada yang perlu disampaikan, mereka akan
menyampaikannya secara blak-blakan (terbuka), tak ada yang disimpan
dalam hati. Karakter peduli berkembang karena mereka berasal dari
masyarakat yang sumeh (ramah dan suka tersenyum). Slogan mereka
adalah 3S (senyum, sapa, dan salam). Tradisi Jawa dalam menerima
tamu juga masih mereka pegang, gupuh, aruh, lungguh, lan suguh
(tergopoh-gopoh menyambut kedatangan, menyapa dengan santun,
mempersilakan duduk, dan memberikan suguhan).
Sifat yang harus dihilangkan melalui pendidikan karakter adalah
sifat boros atau tidak hemat. Anak-anak di sini boros terhadap
penggunaan air dan listrik, dan kurang bertanggungjawab, serta tidak
peduli bila ada sampah berserakan. Juga, budaya jam karet masih
berlaku, dan ironisnya, termasuk dilakukan oleh guru. Berdasarkan
catatan dalam diskusi terpandu, dapat dipastikan bahwa rapat guru atau
rapat OSIS selalu molor. Ketepatan waktu (punctuality) belum menjadi
tradisi. Satu hal lagi yang perlu dipupuk adalah sifat agar tidak mudah

109
Karakter Siswa Indonesia

menyerah atau tidak lekas puas.

Karakter Siswa di Ngawi


Para siswa di Ngawi dipilih sebagai representasi budaya
Mataraman (pengaruh Kerajaan Mataram di Jawa Timur). Secara
umum, karakter mereka tidak terlalu berbeda dengan karakter siswa di
wilayah lain di Indonesia. Hanya, sebagaimana khas budaya Jawa,
mereka terbiasa meyakini perlunya akal, ukil, ketimbang okol (akal,
penalaran logis, keterampilan dan kecakapan daripada kekuatan fisik).
Oleh sebab itu, mereka juga berusaha belajar dengan baik untuk
menumbuhkan kecerdasan. Sayangnya, ada perubahan budaya yang
mempengaruhi masyarakat Ngawi, yaitu tayangan televisi. Banyak
orangtua yang cuek, lebih memilih menonton sinetron daripada
menyuruh dan menemani putera-puterinya belajar.
Dalam hal belajar, siswa Ngawi cenderung egois dan kompetitif.
Namun, dalam hal yang bersifat kemanusiaan mereka sangat peduli.
Mereka tanpa segan membantu kawan atau orang lain yang menderita
atau tertimpa kemalangan. Sebagai bagian dari budaya Jawa, mereka
juga menganut falsafah mangan ora mangan asal kumpul (makan atau
tidak, yang penting berkumpul/bersama-sama). Mereka juga memiliki
falsafah alon-alon waton kelakon, yang kemudian terdistorsi menjadi
alon-alon asal kelakon. Waton artinya batu landasan (dalam hal ini:
norma, adat, hukum yang berlaku). Jadi, makna peribahasa itu adalah
membiasakan orang bekerja dengan tertib, hati-hati, menaati
prosedur, meskipun lambat. Dalam pemaknaannya sekarang, ‘sudah
bekerjanya lambat, asal jadi lagi’. Itu sama dengan ungkapan, aja waton
ngomong, ning ngomongo nganggo waton; jangan asal bicara, tetapi
bicaralah berdasarkan landasan fakta. Perwujudan falsafah itu dalam
tradisi Jawa adalah bekerja cukat-ceket, trengginas, gemi, nastiti, ngati-ati.
Maksudnya, bekerja itu mesti cepat namun terarah dengan penuh
kesigapan, keterampilan, kecermatan, dan kehati-hatian.
Dalam kaitan pembelajaran dan kewajiban menuntut
pengetahuan, mereka menyadari bahwa orang yang banyak ngomong
justru menandakan kurangnya pengetahuan. Kocak tandha lokak, air

110
Karakter Siswa Indonesia

dalam suatu tempat jika masih berguncang dan berbunyi, itu tanda tidak
penuh. Ungkapan tersebut senada dengan ungkapan dalam bahasa
Indonesia, tong kosong nyaring bunyinya.

Karakter Siswa Samin (Bojonegoro)


Etnis Samin merupakan bagian suku Jawa yang amat dipengaruhi
oleh falsafah hidup pemimpinnya, almarhum Samin Surasentika. Bosan
diperlakukan tidak adil oleh penjajah Belanda pada waktu itu, etnis
Samin mengembangkan sistem dan budaya tersendiri. Falsafah
pokoknya adalah sabar, nrima, rila, lan trokal (sabar, atau mampu
menahan diri, menerima dengan ikhlas, rela menerima dengan tulus,
dan bekerja keras). Falsafah bekerja secara ikhlas yang terkait dengan
nilai inti kejujuran adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe (tidak ada pamrih-
vested interest, tetapi tekun bekerja). Para siswa juga dipengaruhi
keyakinan orang tua-tua bahwa wong temen tinemu (orang yang jujur
itu pasti akan menemukan apa yang dicarinya, bisa juga diartikan, orang
jujur akan diketahui/ditemukan).
Untuk menumbuhkan kecerdasan, siswa Samin setuju
mematikan TV pada jam-jam belajar, demikian pula orangtua mereka,
menyepakati hal itu. Keterampilan mereka dikembangkan dengan
memperdalam keahlian dalam seni ukir kayu (mengingat daerah ini
banyak kayu–hutan jati). Bahkan, keterampilan memasak dan menjahit
diajarkan bagi siswa perempuan. Keterampilan itu dianggap perlu
karena umumnya siswa Samin ingin segera bekerja setelah lulus sekolah
lanjutan atas.

Karakter Siswa Arek di Surabaya


Surabaya adalah wilayah yang beriklim panas dan dekat dengan
pantai. Hal itu memberikan dampak sifat berani menghadapi segala
cuaca/keadaan di kalangan arek Surabaya. Semboyannya ketika
berperang melawan sekutu pada 10 November 1945, walau hanya
bersenjatakan bambu runcing (kakiari) adalah rawe-rawe rantas, malang-
malang putung. Rawe adalah tetumbuhan setinggi lutut yang bijinya gatal
jika menempel kulit. Umumnya memang dibabati, diberantas,

111
Karakter Siswa Indonesia

dihabiskan karena akan mengganggu. Sementara, halangan yang


merintang juga harus dipatahkan. Barang siapa hendak merampas
kemerdekaan bangsa Indonesia, arek Suroboyo siap membabat dan
mematahkan (di banyak buku sejarah ini digambarkan dalam insiden
perobekan bendera Belanda menjadi bendera Indonesia di Hotel
Oranye –sekarang Hotel Majapahit).
Bagaimanapun, arek Suroboyo (demikian mereka menyebut diri
sendiri) adalah bagian dari etnis Jawa yang bersemboyan sedumuk
bathuk, sanyari bumi, ditohi pati; satu sentuhan saja di dahi, sejengkal
tanah saja diganggu, wajib dibayar dengan nyawa. Sifat keberanian
tersebut masih kental di kalangan remaja Surabaya. Namun, bila dulu
leluhurnya mengangkat bambu runcing mengusir penjajah, anak muda
sekarang menjadi bonek dalam menyokong klub sepak bola, Persebaya,
kebanggaan mereka.
Kejujuran di sekolah difasilitasi dengan Kantin Kejujuran. Dalam
pembelajaran, umumnya siswa Surabaya bersifat kooperatif sehingga
implementasi pembelajaran kooperatif berjalan dengan baik. Mereka
juga ramah dan cukup sopan. Sifat santun yang tercerminkan dalam
kebiasaan 4S, senyum, sapa, salam, dan salaman (mencium tangan)
tidak saja diberlakukan terhadap guru kelasnya, namun juga dengan
guru lain serta staf sekolah (terutama di level SD dan SMP).
Siswa Surabaya juga humoris dan mereka suka berkelakar.
Kadangkala humor anak-anak Surabaya dibarengi kebiasaan
mengumpat (misuh). Namun, umpatan khas Surabaya tak dapat
dimaknai mereka sedang marah atau berperilaku kurang ajar. Mereka
justru menganggap itu sebagai ungkapan keakraban. Mereka bisa
berkipas-kipas sambil berkata, “Jancuk panase”, (maksudnya, alangkah
panasnya) tanpa ditujukan kepada seseorang. Kecuali, tentu saja, bila
intonasinya keras dan tinggi, dibarengi mata melotot. Umpatan itu
menandakan anak sedang marah.

Karakter SiswaTengger (JawaTimur)


Etnis Tengger ditengarai sebagai suku Jawa pelarian dari zaman
Kerajaan Majapahit. Mereka yang beragama Hindu merasa terdesak

112
Karakter Siswa Indonesia

dengan masuknya Islam ke Jawa Timur (dari Kerajaan Demak). Sifat


loyal kepada pemimpin di kalangan siswa Tengger tinggi, mengingat
pepatah leluhur sabda pandita ratu, perkataan pemimpin harus dituruti.
Jika tidak dituruti, akan kualat (ketulah). Sifat penurut tersebut
diwujudkan siswa dalam kepatuhannya terhadap perintah guru maupun
orangtua.
Takut kualat (berdosa) juga memperkuat karakter jujur siswa
Tengger, selain mendasari rasa hormat pada guru dan orangtua. Dalam
hal kerjasama, walaupun mereka rela berbagi makanan, egoisme
mereka akan muncul dalam hal belajar. Mereka lebih suka belajar
dengan kawan akrabnya ketimbang dalam kelompok belajar yang
dibentuk baru. Mereka juga tidak terbiasa berdiskusi untuk
memecahkan masalah bersama-sama. Masalah tidak segera
diselesaikan, namun dibiarkan berlalu atau hilang bersama waktu.
Hal yang patut diapresiasi adalah kegigihan dan ketekunan
mereka menuntut ilmu. Walaupun harus berjalan kaki ke sekolah,
mendaki bukit dan gunung, mereka selalu berupaya untuk tidak
terlambat datang ke sekolah. Sikap disiplin mereka dalam hal
bersekolah tinggi. Mereka adalah keturunan dan mewarisi sifat orang-
orang yang tangguh, terbiasa bertani dan berladang di daerah yang
keras/sulit, di lereng bukit dan gunung. Namun, karena mereka puas
dengan hidup yang mereka jalani, umumnya anak-anak Tengger tidak
bercita-cita tinggi. Bersekolah sekadar memenuhi kewajiban belajar
yang digariskan pemerintah.

Karakter Siswa Etnis Singkawang


Sekarang, marilah menyeberang ke Pulau Kalimantan, dimulai
dari Kalimantan Barat, tepatnya di Kota Singkawang. Walaupun
sebagian besar penduduk Singkawang adalah masyarakat keturunan
Tionghoa, namun Singkawang juga merupakan melting pot yang
meleburkan etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu, disingkat Tidayu.
Ketiga etnis tersebut dapat berdampingan secara damai dan harmonis,
walaupun adat masing-masing masih dipegang teguh.
Sementara itu, pada kenyataannya, walau nilai jujur selalu

113
Karakter Siswa Indonesia

ditanamkan di sekolah, di sini masih ada saja siswa yang kehilangan


barang, misalnya uang, buku, pensil, rautan dan sebagainya. Tak jarang
guru terpaksa melakukan operasi penggeledahan tas. Agaknya, karena
menjaga harmonisasi antaretnis, sekolah belum memiliki formula yang
tegas dan jelas atas bentuk hukuman (punishment) yang harus diterapkan
jika terjadi pelanggaran. Sanksi yang pernah ditetapkan dianggap
terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera pada diri siswa.
Kecuali itu sekolah di Singkawang belum memiliki fasilitas Kantin
Kejujuran atau Kotak Kejujuran.
Siswa Singkawang terbiasa menerima motivasi untuk bersifat
tangguh sebagai strategi menghadapi kehidupan. Peribahasa yang
mendukung misalnya, mun kite mau ade jak jalannye, di mana ada
kemauan, di situ ada jalan. Kebiasaan bekerja sampai tuntas
digambarkan dalam ungkapan chan cho chu kin, menebas rumput harus
sampai ke akarnya. Semangat yang kukuh bagaikan baja diungkapkan
dengan sun con sak chom; dengan hati yang teguh, batu pun tembus.

Karakter Siswa Kutai Kertanegara


Etnis Kutai Kartanegara banyak dipengaruhi budaya Melayu dan
Dayak. Mereka juga hidup berdampingan secara damai dengan
pendatang, baik dari suku Jawa, Bugis, Mandar, Kaili, dan Makassar.
Budaya gotong royong diwujudkan dengan semboyan olah bebaya,
artinya mengayuh bersama-sama. Orang Banjarmasin menyebutnya
kayuh baimbai. Ketangguhan dan kebiasaan bekerja keras diekspresikan
dalam ungkapan jangan alang-alang, artinya jangan bekerja setengah-
setengah, atau kepalang tanggung.
Di sebuah sekolah di Kutai Kartanegara, nilai cerdas
dikembangkan melalui kegiatan rutin Jumat Ceria. Pada kesempatan
itu, diselenggarakan kuis antarkelas atau lomba cerdas cermat terkait
bidang ajar, sehingga terjadi kompetisi yang sehat antarsiswa. Nilai-nilai
karakter yang lain, dipahami, dihayati, dan dilaksanakan sama dengan
siswa lain di Indonesia.

114
Karakter Siswa Indonesia

Karakter Siswa Suku Banjar


Siswa di Banjarmasin selalu melaksanakan aturan 4S (senyum,
sapa, salam, dan salaman) bila bertemu guru atau orangtua. Kejujuran
difasilitasi dengan Kantin Kejujuran yang berjalan baik. Mereka juga
terbiasa melaporkan barang temuan. Kecerdasan dimotivasi di tingkat
sekolah maupun tingkat kota dengan lomba cerdas cermat. Agak
istimewa di sini, keterampilan untuk membina jiwa
kewirausahaan/kemandirian dilatihkan sejak SD. Mereka dilatih
membuat berbagai produk kerajinan yang layak jual. Di SMP, para siswa
sudah dilatih membuat sasirangan (batik khas Banjarmasin). Jiwa
kewirausahaan juga dikembangkan melalui koperasi siswa.
Agaknya jiwa wirausaha memang menjadi adat dan melekat
dalam suku Banjar. Di sejumlah kota besar seperti di Surabaya, Malang,
Jakarta, banyak orang Banjar yang membuka galangan (toko alat-alat
dan material bangunan). Warung/restoran Soto Banjar ada di mana-
mana. Di Kota Banjarmasin, sejak pagi seusai subuh banyak warung
menjual nasi kuning dengan lauk pokok ikan haruan (ikan gabus). Satu
bungkus dijual cukup murah, hanya Rp5.000,00 (di Balikpapan dan
Samarinda per bungkus Rp10.000,00). Hal itu sesuai prinsip mereka,
yakni bekerja apa saja asal halal. Siswa Banjar menghayati ungkapan
halus-halus iwak, ganal-ganal biawak (kecil-kecil ikan, besar-besar
biawak). Artinya, ikan melambangkan pekerjaan yang halal, sedangkan
biawak melambangkan pekerjaan yang haram. Lebih baik pekerjaan
kecil tapi halal, daripada pekerjaan besar tapi haram.
Terkait nilai kepedulian, umumnya siswa Banjar memisahkan
antara kepedulian terhadap manusia dan kepedulian terhadap alam
lingkungan. Kehati-hatian dalam menjaga perasaan orang lain
terungkap dalam pepatah tabarusuk batis kawa dicabut, tabarusuk basa jadi
hual, terperosok kaki dapat dicabut, terperosok kata jadi masalah.
Maknanya, jika berkata seseorang harus berhati-hati, jangan sampai
menyakiti hati orang lain. Ungkapan itu senada dengan ungkapan ibarat
bajalan kada bagalumbang banyu, ibarat berjalan di sungai tidak
menimbulkan riak gelombang. Selalu berhati-hati dalam membawa diri
dalam pergaulan, dalam komunikasi antarsiswa, komunikasi antara

115
Karakter Siswa Indonesia

siswa dengan guru dan para orangtua yang lain.


Siswa Banjar pun suka mengikat tali persaudaraan, jika mereka
berteman, diharapkan terjalin sarantang saruntung samuak saliur, satu
rantang satu runtung, satu muak satu liur. Konsep tentang masyarakat
yang selalu dilandasi dan disemangati rasa persaudaraan dan
persahabatan. Di samping itu, mereka juga saling setia satu sama lain
sehingga senantiasa rukun dan damai, sakapik sapaguringan, sabantal
sakalang gulu, satu tikar tempat tidur, satu bantal penyangga leher.
Siswa Banjarmasin umumnya bercita-cita tinggi dan
bersemangat untuk belajar, karena kebodohan itu memalukan. Mereka
tidak ingin dikatakan sebagai, bungul pada haduk, atau bungul pada kalum.
Bodoh seperti ijuk atau bodoh seperti kelompen. Bodoh, bahkan lebih
bodoh daripada benda mati seperti ijuk dan kelompen. Ijuk biasa untuk
dibuat menjadi sapu, sedangkan kelompen letaknya di kaki. Orang yang
bodoh dianggap kurang berguna, sehingga berlalu pemeo, ada kada
malabihi, kada ada kada mangurangi, ada tidak membuat lebih, tidak ada
tidak membuat kurang. Siswa Banjar juga dibiasakan untuk berendah
hati dan tidak sombong, untuk memanifestasikan ungkapan barandah
pada kancur, rendah seperti pohon kencur.
Masalah karakter siswa Banjar adalah masih rendahnya kesadaran
akan kebersihan dan kelestarian lingkungan. Sekolah yang dikunjungi
oleh tim peneliti memang sekolah unggulan, bahkan SMK-nya
merupakan percontohan nasional, sehingga tampak bersih dan rapi.
Namun, di Banjarmasin masih banyak sampah yang tersebar di mana-
mana. Tentu hal itu bukan sekadar persoalan siswa, tetapi membangun
masa depan negara atau wilayah, dimulai dengan membangun karakter
anak mudanya.

Karakter Siswa Sulawesi: Etnis Minahasa


Etnis Minahasa tersebar di kota Manado, Tomohon, dan
Tondano. Penelitian ini mengambil sampel Kota Manado. Adat suku
Minahasa yang memanusiawikan manusia patut diapresiasi tinggi.
Mereka menyebutnya dalam ungkapan si tou timou tumou tou,
maknanya, seorang manusia menjadi manusia dalam perannya

116
Karakter Siswa Indonesia

menghidupi manusia lain. Sebuah falsafah yang sangat mulia. Manusia


harus mengembangkan potensi dan kualitasnya agar berguna dan
memiliki arti bagi kehidupan masyarakat. Secara umum karakter siswa
Minahasa sama dengan karakter siswa Indonesia yang lain.Yang paling
menonjol adalah sikapnya yang ramah dan peduli pada sesama. Sifat
filantropis, mencintai sesama umat manusia telah menjadi tradisi sesuai
ungkapan lama asi kakele’tow, setia mengasihi sesama manusia.
Siswa Minahasa biasa berdemokrasi dan pantang mau menang
sendiri. Sako wo muka nuwu e tio pamandeian, bila hendak menyampaikan
pendapat (buka bicara) jangan berlagak pandai (dan mau menang
sendiri). Kebersamaan harus dijunjung tinggi dan jangan mau menang
sendiri. Kecuali itu, mereka juga terbiasa egaliter, sesuai ungkapan
ungketur untamporok wo ulembe masuat uman, puncak gunung dan lembah
sama saja. Jangan membedakan manusia satu dengan yang lain, jangan
memandang suku, golongan, atau agama. Dalam hubungan ini,
muncullah semboyan esa ate u mawangun banua, satu hati membangun
atau memperindah desa/kampung. Ungkapan untuk mengajak bersatu
jika menghadapi pekerjaan besar yang berhubungan dengan
kepentingan masyarakat, tolong-menolong, dan saling bergotong
royong.
Dalam hal pembelajaran, ada keyakinan bahwa yang rajin belajar
dan berusaha dengan sungguh-sungguh niscaya akan pandai juga. Sa
upahi padaney-daneyan dai-medai tewelna, kalau parang selalu diasah
tentu akhirnya tajam. Manusia harus selalu berusaha keras menuntut
ilmu agar pandai dan berhasil mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
Ungkapan itu seiring dengan ungkapan, sa pi’pi’ untumid pi’pi’ tikoo,
apabila basah tumit basah kerongkongan. Orang yang rajin bekerja,
siswa yang rajin belajar, akan memperoleh kesuksesan (rezeki, nilai
yang tinggi, dan sebagainya). Penghargaan terhadap waktu tercermin
dalam ungkapan, kurakan katerang ni endo sa sia terange mantangi, seperti
terang matahari ketika baru terbit. Setiap orang harus mampu
menggunakan waktu atau kesempatan yang baik dalam hidupnya.

117
Karakter Siswa Indonesia

Karakter Siswa Suku Gorontalo


Gorontalo adalah wilayah Sulawesi bagian Utara, merupakan
provinsi tersendiri (terpisah dari Sulawesi Utara), dengan penduduk
mayoritas Islam. Nilai kejujuran di sini dibangun dengan Kotak
Kejujuran, bukan dengan Kantin Kejujuran seperti di wilayah lain.
Kotak kejujuran terdiri dari dari dua kotak, kotak pahala dan kotak
dosa. Kotak pahala diisi dengan kartu pahala yang bertulisan perbuatan
jujur atau perbuatan baik yang dilakukan siswa pada hari itu.
Sebaliknya, kotak dosa diisi kartu catatan perbuatan yang melanggar
kebaikan. Selain itu, ada juga program Jam Kejujuran, untuk
membiasakan siswa tidak datang terlambat di sekolah. Mereka
diwajibkan menuliskan jam berapa tepatnya mereka tiba di sekolah.
Pola pendidikan di Gorontalo amat maju dibandingkan dengan
pendidikan di wilayah lain. Di sini, para pengelola pendidikan
mencontoh kebiasaan siswa di Singapura, yaitu mereka dibiasakan
membaca sepuluh menit saat awal belajar. Nama programnya drop
everything and read, baca buku apa saja selama sepuluh menit. Kegiatan
tersebut ditindaklanjuti dengan menunjuk wakil siswa untuk
mempresentasikan esensi dari buku yang dibacanya. Kebiasaan
membaca itu amat menunjang tumbuhnya nilai kecerdasan. Demikian
pula, terkait kemampuan berbahasa Inggris, sekolah memberlakukan
program English Day, hari wajib berbahasa Inggris. Sayang, kebiasaan
membaca dan berbahasa Inggris hanya diwajibkan kepada siswa, bukan
seluruh warga/anggota sekolah (guru, kepala sekolah, staf, misalnya).
Sifat kepedulian terhadap kemajuan disimbolkan dengan semboyan
dulo ito momongu lipu, mari kita bersama membangun negeri.

Karakter Siswa Suku Kaili


Suku Kaili mendiami hampir sebagian besar wilayah Sulawesi
Tengah, terutama di kota Donggala dan Palu. Masyarakat Kaili suka
bergotong royong sesuai tradisi sintuvu (kebersamaan/gotong royong).
Siswa Kaili memiliki sifat hemat, terbukti walau wilayah Donggala kaya
akan air, mereka bersikap hemat air. Mereka suka berkompetisi dengan
jujur dan bersifat dinamis. Mereka dibiasakan untuk melakukan

118
Karakter Siswa Indonesia

kebaikan, seperti ungkapan belo rapovia belo rakava, baik dibuat, baik
didapat. Jika kebaikan diberikan kepada orang lain, kebaikan pula yang
diperoleh dari orang lain.
Kecuali itu mereka juga dibiasakan berpikir masak-masak
sebelum melakukan sesuatu, apa lagi jika sesuatu itu merugikan orang
lain. Taisi karo mboto ulu pade mantaisi koro ntau, beraki badan sendiri dulu
daripada memberaki badan orang lain. Jika mau berbuat sesuatu kepada
orang lain pertimbangkan masak-masak, coba terapkan pada diri
sendiri dahulu. Siswa Kaili pantang menggosip. Hal itu sesuai dengan
ungkapan, nompene ri vamba mbaso nanau ri vamba kodi, naik melalui pintu
besar turun melalui pintu kecil. Apabila menerima berita tentang aib
seseorang hendaknya jangan disebarluaskan kepada umum.

Karakter Siswa Suku Bajo


Suku Bajo di provinsi Sulawesi Tenggara disebut ‘orang-orang
perahu’ karena umumnya menjadikan perahu sebagai tempat
bermukim. Suku Bajo memiliki pola hidup sederhana dan senantiasa
harmonis dengan alam, khususnya laut. Mereka ahli membaca tanda-
tanda alam yang berhubungan dengan laut. Prinsip mereka dalam
berjuang mempertahankan hidup adalah selama air laut masih ada,
jangan takut akan hidup. Kejujuran, kerja keras, dan pola hidup
sederhana, telah melekat pada karakter siswa Bajo. Namun, semangat
menuntut ilmu mereka tergolong di bawah rekan mereka dari wilayah
lain. Mungkin karena jauhnya letak sekolah dari rumah, yang menjadi
halangan pokok. Jika tidak ada yang mengantarkan, terutama siswa SD
dan SMP, mereka tidak berangkat ke sekolah. Penghalang utama untuk
bercita-cita tinggi adalah rendahnya pendidikan orangtua serta
ketiadaan biaya. Sekolah bagi mereka adalah sekadar memenuhi wajib
belajar yang ditetapkan pemerintah.
Nilai kepedulian dibangun oleh adat sipupukang. Mereka
mengumpulkan dana dan membantu dengan tenaga terhadap orang
yang tertimpa musibah atau kemalangan. Bagusnya, belakangan ini
uang yang terkumpulkan juga diperuntukkan bagi anak-anak Bajo yang
bersekolah sampai ke peguruan tinggi. Kabarnya sudah ada anak Bajo

119
Karakter Siswa Indonesia
yang menjadi sarjana. Upaya itu akan menjadi kebanggan bagi suku dan
daerahnya.

Karakter Siswa Etnis Bugis


Etnis Bugis sering dirancukan dengan etnis Makassar. Etnis Bugis
menjangkau wilayah yang lebih luas, se-Sulawesi Selatan dan sebagian
Sulawesi Tenggara, bahkan sampai ke Kalimantan Timur. Oleh sebab
itu, etnis Makassar sering disebut Bugis Makassar. Memang ada
kemiripan, walau budaya dan bahasa keduanya berbeda.
Budaya yang kuat mewarnai karakter siswa Bugis. Dengan adat
siri’ na pesse, siswa Bugis akan malu ketika berbuat salah. Mereka
pantang mencuri dan berkata bohong. Sesuai karakter leluhur Bugis
yang berani menantang gelombang menghadapi ganasnya lautan
sehingga menjadi pelaut yang andal, para siswanya juga bersemboyan
ewako (maju terus pantang mundur), yang menyiratkan keberanian dan
ketangguhan. Kantin Kejujuran dibangun di sekolah untuk
memperkuat implementasi ajaran kejujuran sesuai perintah agama.
Mereka berprinsip: berdusta, mencontek, dan mencuri adalah dosa.
Keberanian menghadapi hidup ini tergambarkan dalam ungkapan dek
nalabu essoe ri tenngana bitarae, tidak akan tenggelam matahari di tengah
langit. Keraguan harus disingkirkan dalam mengadapi segala tantangan
hidup.
Di sisi lain, siswa Bugis biasa mengikat erat tali persaudaraan.
Mereka mempraktikkan ungkapan mattulu’ perajo teppettu siranrang,
padapi mapeettu iya, terjalin laksana tali pengikat batang bajak pada luku,
yang selalu bertautan, tak akan putus sebelum putus ketiganya. Siswa
Bugis amat menjunjung tinggi kejujuran. Ka-antu jekkongan kammai batu
nibuanga naung rilikua, naantu lambu suka kammai bulo ammawanga ri
je’neka, nuassakangi poko’na ammumbai appa’na, nuasakangi appa’na
ammumbai poko’na. Kecurangan itu sama dengan batu yang dibuang ke
dalam lubuk, sedangkan kejujuran laksana bambu yang terapung di air,
engkau tekan pangkalnya maka ujungnya timbul, engkau tekan
ujungnya maka pangkalnya timbul. Maknanya, kecurangan mudah
disembunyikan, namun kejujuran akan senantiasa tampak dan muncul

120
Karakter Siswa Indonesia

ke permukaan.
Berbuat baik juga merupakan kewajiban. Ia decennge mabuang
tassanrama, kebaikan itu meskipun jatuh tersangkut juga. Kebaikan
mungkin tertutup oleh gelapnya keadaan. Namun tidak akan lenyap,
suatu saat akan tampak juga. Keyakinan akan kekuasaan Tuhan,
kekuasaan Allah Sang Maha Pencipta siswa Bugis amat tinggi. Hal itu
tergambarkan dalam ungkapan taroi telleng linoe, tellaing pesonaku ri
masagalae, biar dunia tenggelam, tidak akan berubah keyakinanku
kepadaTuhan.
Sayang sekali dengan pengaruh dari arus globalisasi, ditambah
tekanan ekonomi yang semakin menghimpit, terjadinya ketidakadilan
yang marak di sana-sini, falsafah siri’ terdistorsi menjadi mudah
tersinggung. Itulah yang menyebabkan maraknya tawuran antarpelajar
dan mahasiswa. Di Makassar, bahkan ada tawuran yang sampai
membakar kampus, fasilitas pendidikan yang seharusnya dihormati dan
dipelihara. Falsafah siri’ juga menanamkan sifat sulit memaafkan, sulit
menghapus kesalahan orang lain, bahkan ada yang berkembang menjadi
dendam.
Di lain sisi, semangat siri’ juga membuat siswa Bugis dan
Makassar giat dan bersemangat dalam belajar. Mereka kerap unggul
dalam olimpiade ilmiah tingkat nasional. Sayangnya, dalam hal nilai
kepedulian dan sikap toleransi, disampaikan oleh peserta diskusi
terpandu, bahwa saat ini kepekaan sosial para pelajar telah mulai luntur.

Karakter Siswa Etnis Makassar


Sesuai dengan sebutan asli mereka sendiri, kata Makassar berarti
mereka yang bersifat terbuka. Sikap terbuka tersebut menjadi karakter
inti siswa Makassar. Orang Makassar punya falsafah sipakatau yang
maknanya saling memahami dan menghargai secara manusiawi.
Dengan falsafah tersebut kehidupan orang Makassar dapat berjalan
harmonis, menciptakan iklim yang kondusif bagi penghidupan
masyarakat. Kejujuran di kalangan siswa dikembangkan melalui fasilitas
Kantin Kejujuran. Ada larangan mencontek, namun masih ada saja yang
kurang yakin atau malas belajar sehingga berusaha mencontek. Bahkan,

121
Karakter Siswa Indonesia

masih ada siswa SD yang PR-nya dikerjakan oleh orangtuanya. Secara


umum karakter siswa Makassar mirip sekali dengan karakter siswa
Bugis.
Dalam hubungan penngajaran dan pembelajaran, etnis Makassar
mengutamakan ketekunan dan kesabaran. Manantu dongkok pakdang
punna simata nikantisikja tarang tonji, walau punggung pedang, jika
diasah terus akhirnya akan tajam juga. Betapapun bodoh seseorang
siswa, jika rajin belajar niscaya akan pandai juga.

Karakter Siswa Etnis Buton


Dengan wilayah yang berdekatan dengan laut, apalagi
bertetangga dengan etnis Bugis dan Makassar, karakter etnis Buton
secara umum mirip dengan kedua etnis tersebut. Mereka juga pelaut
yang tangguh. Sebagian wilayah Maluku, terutama di sekitar Ambon
juga merupakan tempat migrasi ketiga etnis itu. Mereka juga berani dan
berwatak keras. Sifat berani dan berwatak keras tersebut
mengindikasikan karakter ketangguhan.
Orang Buton tangguh dalam mencari nafkah. Pentingnya
mencari nafkah tercermin dalam semboyan hidup mereka solopaso
wutomu komingkuamu, siapkan dirimu untuk mencari nafkah. Ajaran
bertanggung jawab didorong oleh petuah yinda membali palayataka
parauleamu, jangan lari dari tanggung jawabmu.
Namun sifat keras ini juga mengakibatkan munculnya sikap
kurang toleran, tidak mudah memaafkan, dan kadang kurang
menghargai orang lain. Bahkan tidak jarang, konflik antaranak sudah
selesai dan berdamai, namun antara orangtuanya malah masih ada
dendam. Karena terbiasa berpikir dan berpola hidup sederhana,
umumnya para siswa lekas merasa puas dengan prestasi yang telah
diraih, meskipun apa adanya. Mereka tidak ingin yang muluk-muluk.
Dalam hal kejujuran yang hendak dibangun dan ditanamkan di sekolah,
tidak sedikit orangtua yang acuh tak acuh dan kurang menunjukkan
dukungan. Dikhawatirkan, terjadi kelunturan karakter asli suku Buton
yang menjunjung tinggi nilai-nilai seperti di pantun ini.

122
Karakter Siswa Indonesia

Pamae-maeka, saling menghormati


Pamae-maasiaka, saling menyayangi
Popita-piara, saling memelihara
Poangka-angkataka, saling mengangkat derajat.

Karakter Siswa Etnis Samawa (NTB)


Etnis Samawa yang diteliti mendiami wilayah Pulau Sumbawa,
terutama di Sumbawa Besar. Adat etnis Samawa yang paling menonjol
adalah peduli dengan orang lain. Kepedulian itu digambarkan dalam
adat nyorong, yang artinya mengantar barang bawaan untuk bantuan.
Adat menghormati orang lain, apalagi kepada orang yang lebih tua,
diwujudkan oleh adat tabe, yang artinya minta permisi. Adat yang
esensinya membiasakan membantu sesama tetangga dan menghindari
perbuatan tercela disebut seseng kalenge angan kabalong. Peduli terhadap
kemajuan negeri yang tetap bersandar kepada Tuhan dan melestarikan
fungsi lingkungan diungkap dengan slogan Sabalong Samalewa,
maknanya, membangun secara serasi dan seimbang baik jasmani
maupun rohani.
Di sekolah, nilai kejujuran diperkuat dengan membangun
Kantin Kejujuran. Namun, masih ditemui siswa yang senang
mencontek, atau yang PR-nya dikerjakan oleh orangtua. Hal yang baik
adalah mereka tidak suka menggosip atau membicarakan keburukan
orang lain, dan mereka tidak biasa mengingkari janji (dapat dipercaya).
Dalam pengembangan nilai cerdas, siswa Samawa sudah belajar kritis
dan analitis dengan terbiasa mengkritisi program OSIS yang tidak
berjalan semestinya. Sayangnya, di wilayah ini masih banyak orangtua
yang kurang perhatian terhadap kemajuan belajar anaknya.
Hal yang perlu ditingkatkan dalam pendidikan karakter di
sekolah-sekolah di wilayah ini adalah kesetiakawanan yang telah
menjadi salah arah. Mereka sering menutupi kesalahan temannya yang
berbuat salah. Juga, anak-anak di sini kurang terbiasa bersikap ramah
pada orang yang baru dikenal, serta mereka belum terbiasa
menepati/menghargai waktu.

123
Karakter Siswa Indonesia

Karakter Siswa Etnis Sikka (NTT)


Etnis Sikka mendiami Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur
(NTT). Wilayah kajian mengambil sampel di Kota Maumere. Di
wilayah tersebut, sekolah-sekolah memperkuat nilai kejujuran dengan
mendirikan Kantin Kejujuran. Umumnya siswa berjiwa kompetitif.
Guru yang berdisiplin justru digolongkan sebagai guru yang tidak
favorit, namun justru yang longgar disiplinnya dan suka humor
diklasifikasikan sebagai guru favorit.
Masyarakat Sikka adalah masyarakat yang peduli dan tangguh.
Kepedulian dilambangkan dengan penghargaan secara simbolik
terhadap pohon beringin dan pohon huler. Pohon beringin bersifat
memberi keteduhan, sedangkan pohon huler adalah pohon yang batang
dan akarnya selalu mengandung air. Air dari pohon huler dipakai untuk
memerciki tamu yang datang. Nilai kepedulian dan kebersamaan
terungkap dalam ungkapan, lemer watu itu mogat bawak papan hama-
hama, maknanya: tenggelam bersama-sama seperti batu, terapung
bersama seperti papan.
Kecuali itu siswa Sikka juga terbiasa menghargai sesama dan
bermusyawarah, uhe die dang hading, pintu selalu terbuka, tangga tetap
terpasang. Rela berunding untuk memecahkan masalah secara
kekeluargaan. Kecuali itu, mereka juga senang berlaku adil. Lelir lopa
geba’ emang koli’ emang te ha, pakailah ukuran sama dalam mengecilkan
daun lontar, jangan ada perbedaan besar-kecil, karena mereka adalah
sama. Setiap manusia harus diperlakukan adil karena sama-sama
makhluk Tuhan. Siswa Sikka juga menyadari perlunya suatu persatuan
yang kuat, ai batu tali beta, ibarat pohon tumbang, tali putus. Perlu suatu
persatuan yang kuat, perlu keputusan tentang suatu masalah yang
dilandasi kesepakatan bersama melalui musyawarah mufakat.
Di sekolah, kejujuran difasilitasi dengan Kantin Kejujuran,
namun sikap jujur ditengarai hanya melekat selama di sekolah. Karena
selalu ingin dianggap oleh orangtuanya sebagai siswa berprestasi, siswa
kadang berbohong. Hanya menjadi juara kedua, dikatakan kepada
orangtua sebagai juara pertama; mendapatkan skor 70 dikatakan
mendapatkan skor 90; dan sebagainya. Sikap tersebut membangun

124
Karakter Siswa Indonesia

perasaan/semangat unggul yang semu. Kejujuran juga dinodai oleh


kebiasaan membolos bersama-sama dengan alasan yang dibuat-buat
tanpa sepengetahuan orang tua. Namun umumnya, mereka menyadari
bahwa orang yang pandai seharusnya tidak sombong, pare wulir benu
wekuk, bulir padi kian penuh kian merunduk, manusia yang kaya akan
pengetahuan umumnya justru tidak sombong.
Pemuda Sikka merupakan pemuda yang tangguh. Ungkapan
yang terkenal dan mendarah daging adalah, tibong Sikka didi dodo, lobo
benggala wawa benggala, wawa tahi taji nora wair, maknanya: saya seorang
pemuda Sikka yang kuat dan perkasa, tidak kenal hujan dan angin,
berjuang untuk menempuh masa depan yang lebih cerah. Kebiasaan
bersama mengatasi masalah diungkapkan dengan kalimat, kukun keket
aur gajung, tukejung moga-moga baak naha nora lisang, rehi boga puihah,
maknanya: bertahan bagai serumpun bambu, menahan bersama jika
tumbang.

Karakter Siswa Etnis Kupang


Etnis Kupang mendiami Pulau Timor bagian Barat. Orang
Kupang umumnya ramah dan mudah tertawa, walau hal itu hanya
dilakukannya kepada orang yang sudah dikenalnya. Berdasarkan
wawancara surveyor dengan responden yang umumnya para guru,
ditengarai bahwa kejujuran masih merupakan masalah di daerah ini.
Kejujuran sudah merupakan barang langka. Demikian pula, ketulusan
hati dalam membantu, sudah memudar. Usaha sekolah untuk
membangun kejujuran di sekolah tidak banyak didukung oleh orangtua
di rumah. Di sekolah, siswa masih mau menyerahkan uang yang
ditemukannya kepada gurunya. Ketulusan yang luntur itu
menyebabkan tidak ada istilah membantu dengan ikhlas, yang ada
adalah mau membantu jika ada imbalan. Para orangtua di rumah pun
kurang bersikap membantu dalam membangun nilai cerdas di rumah.
Mereka terbiasa memanjakan anak-anaknya.
Para siswa tidak biasa berdisiplin dan antre menunggu giliran.
Umumnya, mereka suka berjubel bila ada pembagian sesuatu. Mereka
suka berkompetisi, yang terkadang memunculkan rasa egoistis yang

125
Karakter Siswa Indonesia

kuat.Walau sifat tersebut akan memunculkan siswa-siswa yang tangguh


dalam belajar, namun terlihat bahwa mereka tidak terbiasa belajar
secara kooperatif. Mereka merasa biasa-biasa saja jika guru secara
monoton menerapkan metode ceramah. Mereka tidak protes. Guru
dikelompokkan menjadi guru favorit dan guru nonfavorit. Guru
nonfavorit adalah guru yang berdisiplin dan suka memberi sanksi jika
ada pelanggaran. Kepada orang yang baru dikenal, siswa Kupang
cenderung tidak ramah. Ketangguhan dalam menghadapi hidup
mewarnai karakter siswa, karena PulauTimor adalah pulau karang yang
kurang subur dengan ketebalan tanah yang tipis, sementara di
bawahnya adalah karang yang keras. Perlu perjuangan yang keras untuk
bertahan hidup.

Karakter Siswa Etnis Maluku


Sekolah yang dituju oleh peneliti adalah sejumlah sekolah di
Ambon, ibukota Maluku. Orang Ambon terkenal karena kearifan
lokalnya. Misalnya, tradisi masohi untuk menjalin kerjasama atau
bergotong royong, serta tradisi sasi untuk menjamin pelestarian
sumber daya ikan dan hasil laut lainnya. Kerukunan antaretnis yang
berbeda budaya dan agama dijamin oleh tradisi pela gandong yang
bermakna toleransi dan kebersamaan. Sayangnya, sekian tahun lalu,
karena pengaruh luar dan jurang perbedaan status ekonomi
antarwarga, tradisi pela gandong sempat tercabik-cabik. Terjadi
pertumpahan darah antaranak bangsa, yang merupakan konflik
antaragama terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Sadar bahwa hal
itu tidak bermanfaat dan malah merusak/menghancurkan, akhir-akhir
ini tradisi pela gandong diperkuat lagi. Pada umumnya karakter siswa
Maluku adalah riang gembira, suka becanda, cinta pada kesenian, dan
amat ramah pada orang yang baru dikenalnya.

Karakter Siswa Papua


Sebenarnya sulit untuk membuat generalisasi karakter siswa
Papua hanya dengan memotret karakter siswa Jayapura. Papua adalah
sebuah pulau besar yang dihuni oleh banyak suku dengan banyak bahasa

126
Karakter Siswa Indonesia

yang berbeda serta adat yang berbeda pula. Namun, karena Jayapura
adalah ibukota provinsi, dapat diyakini bahwa Jayapura merupakan
panci pelebur berbagai adat tersebut. Semua adat dan tradisi orang
Papua dapat dikatakan terwakili.
Secara umum, karakter siswa Papua hampir mirip dengan
karakter siswa di Indonesia lainnya (sampelnya adalah sekolah unggulan
di Papua). Namun ada juga karakter yang berlandaskan adat yang khas
daerah. Misalnya, adat untuk bekerjasama atau bergotong royong
tergambarkan dalam ungkapan nenggi kengi, artinya tanganku
tanganmu. Maknanya, dengan kerjasama antara dua tangan, pekerjaan
akan cepat selesai dan tuntas. Sementara itu, tentang pentingnya
pengetahuan, anak-anak Papua suka berkata ko tra kosong, yang
kepanjangannya ‘kita orang tidak kosong’, artinya: mereka memiliki
pengetahuan yang dapat diandalkan.
Ketangguhan siswa Papua bila belajar dengan sungguh-sungguh
dibuktikan oleh Novela Kristin Auparay, siswa Papua yang menjuarai
Olimpiade Sains Nasional (OSN) Fisika pada tahun 2011. Pada tahun
itu juga,. siswa-siswa SD di Papua berhasil membawa pulang 4 emas, 5
perak, dan 3 perunggu pada ajang Asian Science and Mathematics Olympiad
for Primary School yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia.
Olimpiade Sains dan Matematika tersebut diikuti oleh 131 peserta dari
Negara-negara di Asia.
Namun, di samping hal-hal yang positif tersebut, ada hal yang
patut dibenahi, yaitu masih banyak tawuran antarpelajar yang berbeda
sekolah, berkelahi dengan sesama teman di sekolah, sifat cepat marah
dan mudah tersinggung, perundungan senior terhadap yuniornya,
berani menantang guru, corat-coret tembok sekolah, kebiasaan
merokok di sekolah, maupun membolos. Bahkan, tidak sedikit siswa
yang saat pulang sekolah tidak segera pulang, tetapi bermabuk-
mabukan dengan teman satu “gang”nya. Itulah yang menjadi tantangan
pendidikan karakter, yaitu adat/tradisi turun temurun yang terlanjur
negatif dan tidak produktif.

127
128 BAB 4
STRATEGI PENDIDIKAN KARAKTER

S etelah mengenali karakter umum siswa Indonesia serta beragam


karakter siswa di daerah yang berbeda-beda di Indonesia, langkah
berikutnya bagi pelaksana dan pemerhati pendidikan adalah merancang
dan menyusun strategi pendidikan karakter. Rancangan strategi ini
tentunya dilandasi data dan gambaran nyata di lapangan tentang tingkat
pengetahuan, perasaan, dan tindakan, serta ragam karakter siswa-siswa
di Indonesia.
Bab ini akan membahas strategi tersebut secara umum dan
strategi yang lebih khusus. Strategi secara umum adalah strategi
pendidikan karakter berdasarkan pengalaman di sejumlah negara,
seperti di Amerika Serikat dan Kanada. Strategi yang khusus akan
mengacu pada best practices sejumlah sekolah unggulan di Indonesia.
Mengapa dipilih sekolah unggulan? Semata-mata karena sekolah-
sekolah tersebut telah secara sadar mengakui perlunya penanaman
nilai-nilai karakter bagi anak bangsa dan telah merintis penerapan
pendidikan karakter di sekolah.
Jika pada konteks makro (skala nasional) pengembangan
pendidikan karakter dilaksanakan secara sinergis, pada konteks mikro
pendidikan karakter berlangsung di satuan pendidikan atau sekolah
secara holistik (menyeluruh). Sekolah sedapat-dapatnya memanfaatkan
dan memberdayakan semua elemen belajar dalam menginisiasi,
memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus
menerus proses pendidikan karakter di sekolah. Hal itu pada mulanya
sudah dilakukan oleh sejumlah sekolah unggul yang berlokasi di Pulau
Jawa.
Harus diakui bahwa di Indonesia, belum ada konsep dan sistem
yang memadai untuk membangun karakter melalui pendidikan. Belum
Strategi Pendidikan Karakter

ada konsep dan praktik pendidikan karakter yang dapat menjadi


instrumen untuk mengelola keragaman (the art of managing diversity);
bagaimana beragam suku, bahasa, budaya, agama, dan tradisidi
masyarakat tidak saling bertabrakan tetapi justru saling melengkapi dan
menyempurnakan. Untuk itulah, sebagai langkah lanjut dari penelitian
ini, perlu dilakukan reorientasi dan rekonstruksi model pembentukan
karakter anak bangsa melalui pendidikan di Indonesia. Hal tersebut
harus diawali dari paradigma, tujuan, materi, dan strategi
implementasinya.
Jika tujuan pendidikan karakter ingin menghasilkan dampak
pada ranah praktis, materi pendidikan memang akan lebih bersifat
praktis. Namun, paradigma pembangunan dan pengembangan karakter
di sekolah-sekolah Indonesia tetap harus dilandasi oleh hal-hal yang
bersifat filosofis. Berangkatnya dari moral absolute, yakni generasi muda
harus diajari agar memahami betul dasar-dasar tentang yang baik dan
benar (what is good and`right).
Sebagai paradigma, pendidikan karakter kemudian mencakup
lebih dari sekadar pengetahuan dasar tentang moral yang baik.
Pendidikan karakter bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan
yang salah, yang baik dan yang buruk. Tetapi lebih dari itu, pendidikan
karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik
kepada peserta didik.
Dengan demikian, mereka menjadi paham (domain kognitif,
setara dengan moral knowing) tentang benar salah atau baik buruk,
mampu merasakan (domain afektif, setara dengan moral feeling) nilai-
nilai itu, dan dapat melaksanakannya (domain psikomotor, setara
dengan moral action) dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter
erat kaitannya dengan kebiasaan (habit) yang harus terus menerus
dipraktikkan, baik dalam lingkup informal, formal, dan nonformal,
secara sinergis dan terpadu. Paling penting dari itu, pendidikan
karakter harus diteladankan dan dicontohkan.

A. Strategi Umum Pendidikan Karakter


Strategi dapat dimaknai menjadi tiga hal, pertama, berkaitan

129
Strategi Pendidikan Karakter

dengan kurikulum; kedua, berkaitan dengan tokoh panutan (model);


ketiga, berkaitan dengan metode pembelajaran.
Berkaitan dengan kurikulum, telah disepakati secara nasional
bahwa pendidikan karakter tidak dimasukkan sebagai mata pelajaran
atau pokok bahasan tersendiri, tetapi terintegrasi ke dalam mata
pelajaran yang telah ada. Selain itu, pendidikan karakter juga dilakukan
melalui pembinaan dan pengembangan diri siswa melalui berbagai
kegiatan ekstrakurikuler, dan tidak kalah pentingnya: budaya satuan
pendidikan (lingkungan sekolah). Pendidik dan satuan pendidikan,
setelah menandai nilai-nilai karakter yang perlu dikembangkan dalam
diri peserta didik, mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam
kurikulum. Perwujudannya dilaksanakan dengan mencantumkan ke
dalam rencana pembelajaran dan silabus. Hal itu selanjutnya akan
menjadi panduan bagi guru dalam menanamkan nilai-nilai karakter
selama pembelajaran berlangsung.
Berkaitan dengan tokoh model, guru, para konselor, dan tenaga
kependidikan harus mampu menjadi model teladan yang baik (uswatun
hasanah), baik dalam ucapan maupun perilaku sehari-hari. Sementara
itu, berkaitan dengan metode pembelajaran, Indonesia dapat meniru
implementasi metode pengembangan pendidikan karakter dari negara-
negara yang lebih berpengalaman dalam hal ini.
Prinsip pembelajaran dalam pendidikan karakter adalah agar
peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai karakter yang
dicontohkan dan diajarkan sebagai milik mereka. Mereka harus dapat
bertanggung jawab atas keputusan atau pilihan yang diambil, melalui
tahap-tahap mengenali pilihan nilai, menilai pilihan, menentukan
pendirian, dan selanjutnya menjadikan nilai pilihan itu sebagai
keyakinan dirinya.

1. Prinsip Pengembangan Pendidikan Karakter


Berikut ini prinsip yang diterapkan dalam pengembangan pendidikan
karakter.
a. Berkelanjutan; Proses pengembangan nilai-nilai karakter
merupakan sebuah proses panjang yang dimulai sejak peserta didik

130
Strategi Pendidikan Karakter

masuk ke satuan pendidikan (sekolah) sampai selesai. Proses ini


seyogyanya dimulai dari PAUD atau TK/RA berlanjut terus sampai
ke perguruan tinggi.
b. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya
satuan pendidikan; Proses pendidikan karakter dilakukan secara
terintegrasi ke dalam setiap mata pelajaran, kegiatan kurikuler, dan
ekstrakurikuler. Hal tersebut sesuai dengan konsep internasional
tentang pengembangan pendidikan karakter, yang menyatakan
bahwa, Effective character education is not adding a program or set of
programs to a school.Rather, it is a transformation of the culture and life of
the school (Berkowitz, 2004).
c. Nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan melalui proses belajar;
Materi nilai-nilai karakter bukanlah pokok bahasan biasa. Namun,
pokok bahasan yang dapat digunakan sebagai bahan atau media
untuk mengembangkan nilai-nilai karakter.
d. Menerapkan pembelajaran PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan); Perlu ditegaskan bahwa proses
pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik, bukan oleh
pendidik. Pendidik sebagai fasilitator hanya menerapkan prinsip tut
wuri handayani. Prinsip tersebut juga menegaskan bahwa proses
pendidikan dilaksanakan dalam suasana belajar yang menimbulkan
rasa senang dan tidak indoktrinatif. Pendidik boleh mengawalinya
dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembangkan
sebagai apersepsi. Kemudian, pendidik menuntun peserta didik
agar aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi,
mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, mengolahnya,
merekonstruksi data/fakta/nilai, menyajikan hasil rekonstruksi,
atau proses pengembangan nilai. Paling tidak ada inkuiri terpandu
(guided inquiry) di situ. Selain itu, pendidik bertugas
menumbuhkan nilai-nilai karakter ke dalam diri peserta didik
melalui berbagai kegiatan belajar yang berlangsung di kelas, di
satuan pendidikan, dan di luar satuan pendidikan.
2. Pendekatan Pendidikan Karakter
Pendekatan pendidikan karakter berkaitan dengan nilai-nilai

131
Strategi Pendidikan Karakter

karakter yang diajarkan dalam pengembangan proses pembelajaran,


pengembangan budaya satuan pendidikan, integrasi nilai-nilai karakter
dalam mata pelajaraan, kegiatan ekstrakurikuler, program
pengembangan diri, dan pembiasaan serta penguatan perilaku.
a. Pengembangan Proses Pembelajaran
Secara umum dapat dinyatakan bahwa pembelajaran pendidikan
karakter menggunakan pendekatan yang berpusat pada peserta didik
(student-centered learning) dan dalam situasi belajar secara aktif (active
learning). Hal itu dilaksanakan di dalam kelas, di sekolah, maupun di
masyarakat.
(1) Di dalam kelas, pembelajaran pendidikan karakter
dilaksanakan melalui proses belajar setiap mata pelajaran
yang mengembangkan baik ranah kognitif, afektif, maupun
psikomotorik.
(2) Di sekolah, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui
berbagai kegiatan yang diikuti seluruh peserta didik dan warga
sekolah yang lain. Kegiatan direncanakan sejak awal tahun
pelajaran dan dimasukkan ke dalam kalender akademik.
Contoh kegiatannya, lomba vocal group antarkelas tentang
lagu-lagu yang bertema cinta tanah air, lomba kerajinan kreatif
untuk memupuk jiwa entrepreneurship, mengundang nara
sumber berbicara dan memberi motivasi agar tangguh
menghadapi masa depan, tidak mudah menyerah menghadapi
kehidupan. Siswa diwajibkan mengikuti shalat berjamaah atau
ibadah lainnya. Hal tersebut merupakan kegiatan yang baik
untuk dilaksanakan di level sekolah (mengajarkan nilai
keimanan dan ketakwaan –religiusitas).
(3) Di luar sekolah, pembelajaran pendidikan karakter
dilaksanakan melalui bekerja bakti membersihkan lingkungan,
mengunjungi panti asuhan anak yatim, panti wreda, korban
bencana alam. Hal itu dapat memupuk karakter peduli.

b. Pengembangan Budaya Satuan Pendidikan


Budaya satuan pendidikan (school culture) adalah suasana kehidupan

132
Strategi Pendidikan Karakter

sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesama, peserta


didik dengan pendidik, pendidik dengan pendidik, pendidik dengan
tenaga kependidikan, dan sebagainya. Interaksi semacam itu tentu
terikat oleh berbagai aturan, norma, nilai, kaidah, moral, serta etika
yang berlaku di sekolah. Nilai-nilai yang dapat dikembangkan
melalui interaksi seperti itu antara lain kepemimpinan, keteladanan,
keramahan, toleransi, kerja sama, dan lain-lain.
Penelitian Teerakiat Jareonsttasin, 2000 menyatakan bahwa
budaya satuan pendidikan merupakan salah satu aspek yang
berpengaruh terhadap perkembangan karakter peserta didik (dalam
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011). Hal yang
terpenting adalah iklim atau budaya sekolah. Bila suasana sekolah
penuh dengan kedisiplinan, kejujuran, dan kasih sayang, peserta
didik akan berkarakter baik. Guru merasakan kedamaian. Pada
gilirannya, efektivitas pengelolaan kelas meningkat. Karena
pengelolaan pembelajaran baik, terjadi pengaruh positif pada
prestasi akademik para siswa. Oleh sebab itu, langkah awal dalam
program pendidikan karakter adalah menciptakan suasana sekolah
yang berkarakter, yang dapat mentransformasi seluruh warga
sekolah lebih berkarakter. Pembangunan budaya sekolah tersebut
termasuk adanya visi, misi, dan tujuan yang baik, serta partisipasi
orangtua dan masyarakat dalam mewujudkan semua itu.
Sebagai contoh, di sekolah banyak tersedia tempat sampah,
pot-pot bunga yang terawat rapi, kebun sekolah yang hijau penuh
dengan tanaman peneduh, dan tanaman budi daya seperti cabai,
bayam, sawi, kangkung, serta TOGA (tanaman obat keluarga).
Tanaman tersebut sekaligus dapat menjadi sumber pendapatan
koperasi sekolah, mengajarkan semangat berwirausaha, dan hidup
harmonis dengan alam dan lingkungan sekitar.

c. Integrasi Pendidikan Karakter dalam Mata Pelajaran


Integrasi pendidikan karakter dalam mata pelajaran
dilaksanakan dengan melakukan intervensi. Tindakan itu bertujuan
untuk mengembangkan interaksi pembelajaran yang dirancang

133
Strategi Pendidikan Karakter

untuk mencapai tujuan pembentukan karakter, dengan penerapan


pengalaman belajar terstruktur. Pendidik perlu memastikan bahwa
pembelajaran akan berdampak instruksional (instructional effects) dan
berdampak pengiring (nurturant effects) bagi pembentukan karakter.
Mata pelajaran yang wajib memiliki dampak keduanya adalah
Pendidikan Agama dan PKn. Seyogyanya pelajaran bahasa (baik
bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan atau bahasa asing lainnya), serta
IPS, juga memiliki kedua dampak tersebut. Mata pelajaran yang lain
wajib memiliki dampak pengiring. Secara praktis, proses
pengintegrasian nilai-nilai karakter dalam pembelajaran dilakukan
melalui pencantuman ke dalam silabus dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP).

d. Integrasi Pendidikan Karakter dalam Kegiatan Ekstrakurikuler


Pada kegiatan ekstrakurikuler Pramuka misalnya, dapat
disisipkan program yang mengajarkan survival skills (kemampuan
b e r t a h a n h i d u p ) , s e l a i n a s p e k ke p e m i m p i n a n d a n
organisasi/manajemen. Pembentukan sikap kebersamaan, rasa seni,
dan rasa humor dibentuk dalam kegiatan api unggun. Kedisiplinan
dibangun dalam kegiatan baris-berbaris. Dalam kegiatan Palang
Merah Remaja, dibangun kesiagaan menghadapi bencana,
membangun rasa peduli, empati, dan lain-lain.

e. Program Pengembangan Diri


Dalam program pengembangan diri, pelaksanaan pendidikan
karakter dilakukan melalui integrasi ke dalam kegiatan sehari-hari
sekolah, seperti:
(1) Kegiatan Rutin Sekolah
Contohnya: membaca doa pada awal dan akhir pelajaran (nilai
religiusitas); upacara bendera setiap hari Senin (patriotisme);
berbaris saat akan masuk kelas (disiplin) pemeriksaan
kesehatan badan seperti kuku, telinga, rambut, gigi, dan
pakaian seragam yang rapi (menghargai diri sendiri).
(2) Kegiatan Spontan

134
Strategi Pendidikan Karakter

Contoh: mengumpulkan sumbangan saat ada bencana alam


(peduli), memungut sampah yang berceceran (peduli dan
cinta lingkungan).Teguran spontan untuk perilaku keliru,
misalnya, membuang sampah sembarangan, berteriak-teriak,
bullying (mengganggu dan menyakiti siswa yang lemah,
perundungan), termasuk dalam pendidikan karakter.
Sebaliknya, pujian juga perlu diberikan untuk perbuatan
spontan yang positif, seperti menolong anak kecil atau orang
tua menyeberang jalan., menolong orangtua yang renta dalam
mengangkat beban yang berat.
(3) Keteladanan
Dalam tradisi pendidikan dan budaya timur, keteladanan jauh
lebih berarti daripada aturan tertulis atau nasihat lisan. Segala
nilai karakter yang dianjurkan, sudah seharusnya dilakukan
dan dicontohkan oleh warga sekolah yang lebih dewasa/senior
agar dapat ditiru para yunior. Misalnya, guru harus datang
tepat waktu/tidak terlambat, pegawai kantor juga berpakaian
rapi dan bersih, tukang kebun sopan santun dalam
berkomunikasi, kakak kelas perhatian dan sayang terhadap
adik kelas, dan sebagainya.
(4) Pengkondisian
Sekolah dikondisikan agar mencerminkan suatu masyarakat
kecil yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa. Dijaga agar sekolah menjadi tempat yang indah, rapi,
bersih, dan menyenangkan untuk belajar. Agar siswa
terkondisi bersikap jujur, perlu disediakan atau dipraktikkan
Kantin Kejujuran, Kotak Kejujuran, Kartu Kejujuran,
maupun Buku Kejujuran. Bisa juga, jika mereka berbelanja di
kantin atau koperasi sekolah, tas plastik tidak disediakan. Pada
awalanya siswa mungkin akan merasa terpaksa membawa
tasnya sendiri, tas kain yang ramah lingkungan. Namun, dalam
jangka panjang, mereka akan merasa bangga turut
menyelamatkan bumi kita dari sampah plastik. Sampah plastik
bila dibakar dapat menimbulkan kanker.

135
Strategi Pendidikan Karakter

f. Dukungan Orangtua dan Masyarakat


Melalui buku Effective Character Education (2008), Merle
Schwartz menyatakan bahwa pendidikan karakter yang efektif akan
terjadi jika yang dilakukan di sekolah yang didukung orangtua dan
masyarakat. Orangtua harus benar-benar menjadi mitra sekolah
dalam membangun karakter anak. Orangtua adalah guru di rumah,
sebagaimana guru adalah orangtua di sekolah. Mereka harus dapat
menerima dan setuju dengan visi, misi, dan tujuan sekolah. Bahkan,
orangtua dan masyarakat turut berpartisipasi dalam berbagai
kegiatan sekolah.
Komunitas atau masyarakat juga berperan penting dalam
pembentukan karakter anak.Warga sekolah sangat dipengaruhi oleh
kegiatan di tempat-tempat ibadah, komunitas pasar, perkantoran,
pertokoan, dan lain-lain, yang berada di sekitar sekolah. Bergotong-
royong, bekerja bakti membersihkan lingkungan sekitar sekolah
adalah proses pembangunan karakter yang baik.

3. Metode Pendidikan Karakter


Dengan mengacu pendidikan karakter di negara-negara Barat
(Whitley, 2007), metode yang digunakan antara lain adalah cheerleading
(memberi applause, menyoraki), praise-and-reward (memuji dan
memberi hadiah), define-and-drill (mendefinisikan dan melatihkan),
forced formality (formalitas yang dipaksakan, semacam penegakan
disiplin), dan juga penobatan siswa yang berkarakter terbaik bulan ini.
Dengan pendekatan cheerleading, setiap bulan dapat ditempelkan
poster-poster, baliho, spanduk, banner, textline, tentang nilai-nilai yang
baik yang telah dipraktikkan atau dianjurkan untuk dipraktikkan.
Penempelan tersebut dapat disesuaikan dengan tema tertentu pada
bulan itu, misalnya, pada Mei, tema yang diusung mengenai pendidikan
dan patriotisme (kebangkitan nasional), pada April tentang kepedulian
pada perempuan (kesetaraan) dan pelestarian bumi, pada Desember
terkait hormat dan rasa cinta terhadap ibu dan penegakan hak-hak asasi
manusia, dan sebagainya. Tema dikaitkan dengan momentum yang

136
Strategi Pendidikan Karakter

sesuai dengan bulan tersebut.


Metode pujian dan hadiah dilandasi pemikiran positif dan
penguatan positif (positive reinforcement). Alih-alih mencari-cari
kesalahan anak, metode itu justru menonjolkan perbuatan baik. Perlu
diwaspadai, metode ini dapat disalahmaknai. Jika semula anak-anak
tertangkap/ketahuan berbuat baik karena ketulusan hati, namun
karena mendapatkan pujian dan hadiah, banyak anak yang berbuat baik
karena semata-mata agar mendapatkan pujian dan hadiah. Sehingga,
perbuatan siswa sudah tidak tulus dan ikhlas lagi.
Metode definisikan dan latihkan membuat siswa mendefiniskan
nilai kebaikan menurut bahasanya sendiri (membuat parafrase). Cara
tersebut akan mengasah pengetahuan dan penghayatan siswa akan nilai
karakter yang baik (moral knowing and moral feeling). Metode penegakan
disiplin dapat membiasakan para siswa melaksanakan hal-hal baik yang
telah disepakati. Contohnya: pembiasaan berbaris rapi sebelum masuk
kelas. Pada sekolah yang menerapkan full-day school, setelah makan
siang, siswa dibiasakan mencuci sendiri peralatan makannya. Metode
penobatan siswa berkarakter terbaik setiap bulan pada hakikatnya mirip
metode cheerleading, tetapi tanpa spanduk, baliho, dan poster.

4. Metode Pendidikan Karakter yang Lain


Hariyanto (2012) mengamati kehidupan sehari-hari untuk
mengidentifikasi sejumlah metode yang dapat diterapkan dalam
pendidikan karakter. Salah satu gagasannya adalah penanaman nilai-
nilai karakter melalui lagu. Ibu Sud adalah perempuan dan guru
Indonesia yang meneladankan karakter daya kreatif. Sepanjang
hidupnya hingga usia 85 tahun, Ibu Sud telah mengarang 480 lagu anak-
anak dan lagu perjuangan. Ketika genting rumahnya bocor, Ibu Sud
secara spontan mengarang lagu Tik Tik Bunyi Hujan. Saat agresi militer
Belanda 1948, Ibu Sud melihat bapakYusuf Ronodipuro (Kepala Stasiun
RRI Jakarta) tetap kukuh tidak sudi menurunkan bendera Merah Putih
di depan Kantor RRI Jakarta, walau ditodong senjata. Kejadian itu
spontan melahirkan lagu nasional Berkibarlah Benderaku. Kisah-kisah
seperti ini dapat diceritakan kepada siswa sehingga mereka juga

137
Strategi Pendidikan Karakter

terdorong untuk mencipta, berdasarkan situasi dan pengalaman


apapun.
Untuk anak-anak yang beranjak remaja, banyak lagu-lagu Bimbo
yang dapat menjadi sarana pembelajaran nilai karakter. Lagu-lagu
Bimbo yang liriknya berisi pemujaan terhadap Tuhan, umumnya ditulis
oleh sastrawan Taufik Ismail, dapat menginspirasi tindakan moral yang
baik (religiositas).
Pendidikan karakter juga dapat dikembangkan dengan metode
penulisan dan pembacaan puisi, serta membaca dan merenungkan doa
atau pidato orang-orang terkenal. Doa yang ditulis Jendral Douglas
Mac Arthur, pahlawan Perang Dunia II dari Amerika Serikat untuk
putranya ini bisa menjadi doa para orangtua di Indonesia untuk anak-
anaknya

Tuhan,

Berilah saya seorang putra yang cukup kuat untuk menyadari bila ia sedang
lemah,
Dan cukup tabah untuk menghadapi dirinya sendiri kalau dia sedang takut,
Yang akan bangga dan tidak putus asa kalau kalah secara jujur,
dan rendah hati serta lembut dalam kemenangan

Berilah saya seorang putra,


yang tak hanya bisa berharap, tetapi juga mampu berbuat
Putra yang akan mengenal Engkau
Jangan bawa ia ke jalan yang serba mudah dan nyaman,
tetapi biarkan ia belajar berdiri di tengah badai
dan biarkan ia merasakan penderitaan orang-orang yang gagal

Berilah saya seorang putra yang hatinya jernih, dan cita-citanya tinggi,
Putra yang dapat mengendalikan dirinya sendiri sebelum mengendalikan orang
lain,
yang meraih masa depan tetapi tidak melupakan masa lalu

138
Strategi Pendidikan Karakter

Dan kalau semua itu sudah menjadi miliknya,


Saya mohon agar Kau beri dia rasa humor,
Beri pula kerendahan hati, supaya ia selalu ingat
kesederhanaan dari keagungan sejati, keterbukaan dari kebijaksanaan sejati,
dan kelemahan dari kekuatan sejati

Doa tersebut mengandung banyak nilai karakter yang


diharapkan setiap orangtua kepada anaknya, maupun harapan negara
kepada warganya.
Jika metode itu lebih pada refleksi atas buah karya orang lain,
metode yang lain adalah refleksi diri. Metode ini akan efektif jika
ditanamkan sejak kecil, mulai jenjang SD. Misalnya, jika anak berkelahi
di sekolah, di samping dibiasakan saling memaafkan, mereka juga
diwajibkan menuliskannya dalam Buku Penghubung (atau buku lain
yang khusus disediakan untuk memantau perilaku siswa). Misalnya
sebagai berikut,

Hari ini aku berkelahi. Aku yakin aku yang benar, tetapi
mungkin kawan yang kuajak berkelahi yang benar.Aku telah
saling memaafkan dengan dia, namun hari ini tercatat aku
telah melukai hati temanku.Maafkanlah aku teman,Tuhan
maafkanlah kami berdua, kami berjanji akan berteman
kembali dengan baik dan saling menyayangi.Amin.

Dengan memiliki catatan tersebut, yang akan dibaca berkali-


kali, anak akan terbiasa melakukan refleksi diri sejak kecil. Lebih baik
lagi, bila orangtua juga diminta turut menandatangani
pernyataan/refleksi putranya. Di salah satu sekolah swasta unggulan di
Bogor, sebelum memulai pelajaran, anak-anak diajak untuk hening
bersama. Dengan menutup mata beberapa menit saja, mereka
mengingat yang telah dilakukan kemarin, yang wajib dilakukan hari ini,
dan hari esok.
Perhatikan narasi guru pendamping selama siswa duduk hening
sambil menutup mata (melakukan refleksi), “Sekarang pusatkan seluruh

139
Strategi Pendidikan Karakter

perhatian pada nafas. Bayangkan di hadapan kita ada sebuah cahaya. Cahaya
itu adalah cahaya kasih sayang yang datangnya dariTuhanYang Maha Esa”.
Melalui kata-katanya, guru mengingatkan bahwa belajar untuk
mencari ilmu, dan ilmu datangnya dari Tuhan YME (nilai religiusitas).
Dengan cara ini, ternyata terbentuk siswa yang memiliki keadaban yang
unggul, penuh kepedulian pada sesama, dan menghayati bahwa hidup
harus dihadapi dengan perjuangan. Kebetulan, meskipun ini sekolah
swasta unggul, para siswa umumnya berasal dari keluarga yang kurang
mampu. Biaya sekolah sepenuhnya gratis, dan siswa dapat makan siang
(karena full-day school). Untuk diketahui, sekolah gratis yang
bernafaskan Islam tersebut dibiayai oleh yayasan yang dimiliki oleh
Ram Punjabi (produser film dan sinetron, yang beragama Hindu).
Fakta ini saja sudah merupakan pembelajaran karakter tentang
kebersamaan dan kepedulian yang tidak pernah digembar-gemborkan,
tetapi langsung diwujudkan.
Selanjutnya, pendidikan karakter juga dapat diasah melalui
pembiasaan menulis kata-kata bijak karangan sendiri, yang dapat
menjadi motto hidup peserta didik. Sebelumnya, guru dapat
memberikan contoh kata bijak. John Adams, presiden kedua Amerika
Serikat, memiliki semboyan yang mendorong nilai kecerdasan, Let us
dare to read, think, speak, and write. Mari kita berani membaca, berpikir,
berbicara, dan menulis. Tentang pentingnya kegiatan menulis,
diinspirasikan oleh kalimat filsuf Inggris Francis Bacon, yakni Reading
maketh a full man, conference a ready man, and writing an exact man.
Membaca menciptakan manusia seutuhnya, konferensi (maksudnya
berdiskusi) membuat manusia siap, dan menulis menjadikan manusia
sejati. Di tanah air, ada motto sederhana seperti ini, yakni Hidup
hendaklah seperti seruling, lurus, sederhana, namun penuh dengan
lagu-lagu merdu.
Kata-kata bijak yang baik disarankan menjadi motto hidup siswa
sendiri, ditulis dan dicetak dengan baik, diberi pigura, dan
digantungkan di dinding kamar, dinding kelas, atau tempat lain yang
mudah dilihat.

140
Strategi Pendidikan Karakter

5. Pendidikan Karakter dalam Proses Pembelajaran


Di sini secara khusus dibahas metode pembelajaran (learning
process) yang diterapkan untuk dapat menyisipkan pendidikan karakter.
Lickona (1991) menyarankan, agar pendidikan karakter berlangsung
efektif, guru dapat menggabungkan berbagai metode, seperti bercerita
(telling story), menugasi siswa membaca literatur, bermain peran,
berdiskusi tentang moral yang baik dan buruk, dan bekerjasama (dalam
pembelajaran kooperatif).
Pada prinsipnya, para pendidik dan seluruh warga sekolah yang
dewasa tidak dapat mengelakkan kewajiban untuk mengajarkan dan
memberi contoh nilai-nilai yang baik dan buruk. Berkaitan dengan
tugas guru, penggunaan berbagai metode seperti saran Lickona
tersebut memang lebih leluasa diimplementasikan dalam mata
pelajaran yang memiliki dampak instruksional (instructional effects) dan
dampak pengiring (nurturant effects) sekaligus. Dalam hal ini, contohnya
adalah pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn). Untuk mata pelajaran yang hanya memiliki dampak pengiring,
implementasinya disesuaikan dengan karakteristik bahan ajar.
Berikut ini, metode pendidikan karakter yang merupakan
gabungan dari berbagai metode.

a. Metode Berkisah, Mendongeng (Telling Story)


Metode ini mirip dengan metode ceramah, hanya lebih
bersifat santai dan informal. Guru pun lebih banyak berimprovisasi,
melalui mimik, gerak, intonasi suara, sesuai suasana cerita. Hal itu
menghindarkan efek monoton dan membosankan sebagaimana
sering dikeluhkan dalam metode ceramah.
Jika perlu, guru boleh menggunakan boneka, gerak jari
tangan, alat bantu, simulasi tempat duduk, melibatkan peserta
didik, dan lain sebagainya. Di tengah-tengah dongeng, siswa
diperbolehkan “nyeletuk” memberikan komentar atau bertanya,
supaya suasananya hidup. Pada akhir cerita, siswa diwajibkan
membuat simpulan tentang karakter para tokoh dalam dongeng,
baik yang protagonis maupun yang antagonis.

141
Strategi Pendidikan Karakter

Dongeng juga tidak harus dari kisah fiktif atau fantasi, tetapi
dapat tentang kepahlawanan dan perjuangan nyata. Kisah
perjuangan mencapai sukses dari seorang wirausaha yang berhasil,
terutama bagaimana dia mengalami jatuh bangun tetapi pantang
menyerah, sangat baik untuk mengilhami nilai daya juang. Cerita
tentang Thomas A. Edison yang sebelum menemukan bola lampu
listrik harus jatuh bangun dalam percobaan 1000 kali, adalah contoh
yang baik. Ajaklah siswa membayangkan, bagaimana kalau Edison
dulu menyerah saat gagal, betapa kelamnya dunia ini tanpa lampu
listrik. Hal itu mengajarkan penghargaan siswa pada penelitian dan
temuan ilmiah. Di Jawa Timur (Kota Lawang), pengusaha bakpao
telo (ubi jalar) menyampaikan bahwa usahanya baru berhasil setelah
mencoba lebih dari 100 kali. Hal tersebut memberi teladan tentang
kegigihan dan semangat kewirausahaan. Biografi Chairul Tanjung si
Anak Singkong, yang jatuh bangun berusaha sehingga ia mencapai
sukses dapat pula dipakai sebagai bahan ajar. Metode ini secara tidak
langsung juga “memaksa” guru untuk banyak membaca.

b. Metode Diskusi
Diskusi adalah pertukaran pikiran antara dua orang atau lebih,
dengan tujuan memperoleh kesamaan pandangan tentang suatu
masalah. Dalam ranah pembelajaran, ada dua macam diskusi, yaitu
diskusi seluruh kelas (whole class discussion) dan diskusi kelompok
(group discussion). Diskusi seluruh kelas biasanya dipandu oleh guru
sebagai pemimpin diskusi, yang didasari asumsi bahwa peserta
diskusi belum cukup dewasa, misalnya di kelas V atau kelas VI
Sekolah Dasar. Mulai SMP ke atas, pemimpin diskusi kelas sudah
layak dipercayakan kepada siswa sendiri.
Diskusi kelompok dapat dilakukan mulai dari kelompok dua
orang sampai sekitar 10 orang. Lebih dari jumlah itu, kelompoknya
terlalu besar dan akan mirip diskusi seluruh kelas. Para penganjur
pembelajaran kooperatif menyarankan, agar diskusi kelompok
efektif, anggota idealnya 4 orang saja. Guru memulai diskusi dengan
mengemukakan masalah nilai karakter, memberikan arahan

142
Strategi Pendidikan Karakter

seperlunya, membentuk kelompok diskusi. Kemudian siswa


mendiskusikannya dalam kelompok. Selain menemukan jawaban
tentang permasalahan nilai karakter yang menjadi topik diskusi,
metode ini juga mengajarkan tentang menghargai pendapat orang
lain, bersabar, peduli, mendengarkan, karakter kepemimpinan (bila
menjadi ketua kelompok), dan kerjasama.

c. MetodeTugas Membaca
Guru memberikan tugas kepada siswa untuk membaca di
perpustakaan sekolah atau sebagai pekerjaan rumah. Kemudian,
siswa meringkas dan mempresentasikan nilai-nilai karakter yang
menonjol dalam buku yang dibacanya. Bacaannya bisa berupa
biografi para pahlawan atau otobiografi seorang tokoh bangsa
(politisi maupun pengusaha, atau bahkan artis). Bahkan, siswa dapat
ditugasi membaca karya puisi atau novel, dan mengidentifikasi nilai-
nilai yang diungkap oleh pengarangnya. Novel berseri Harry Potter,
misalnya, dapat dianggap mengandung nilai karakter keberanian,
kegigihan, dan kesetiakawanan.

d. Metode Simulasi
Dalam pembelajaran, simulasi dilakukan agar peserta didik
memperoleh kecakapan tertentu, baik yang bersifat profesional
maupun yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Berkaitan
dengan pendidikan karakter, simulasi dapat dilakukan untuk
memperoleh pemahaman tentang suatu nilai, konsep, atau prinsip-
prinsip nilai karakter yang baik dan/atau untuk memecahkan
masalah yang relevan dengan nilai karakter.
Simulasi dapat berupa bermain peran (role playing) dan
sosiodrama. Melalui metode ini, siswa diberi pengalaman
memainkan karakter yang baik dan buruk. Selanjutnya, mereka
akan merefleksikan pengalaman tersebut, dan akan dapat
menentukan bagi dirinya sendiri, sesuatu yang sebaiknya dianut
dan dilakukan dalam kehidupan.

143
Strategi Pendidikan Karakter

e. Metode Pembelajaran Kooperatif


Metode ini diakui di dunia sebagai paling efektif dalam
implementasi pendidikan karakter. Lickona (1991), Berkowitz
(2004), Schwartz (2008) mengakui hal ini. Nilai-nilai tersebut
antara lain semangat bekerja sama, sikap mandiri, terbuka,
toleransi, menghargai pendapat orang lain, berani berpendapat,
santun dalam berbicara, analitis, kritis, logis, kreatif,dan dinamis
(Samani dan Hariyanto, 2011:159). Dengan demikian, mata
pelajaran apa saja, jika menerapkan metode ini, sudah pasti
mengimplementasikan pendidikan karakter.
Pembelajaran kooperatif amat cocok diterapkan di Indonesia,
yang masyarakatnya terdiri atas berbagai ras, suku, dan tradisi serta
budaya. Untuk mempertahankan kesatuan Indonesia, diperlukan
kerjasama dan saling pengertian antarkomponen bangsa, yang
diwujudkan melalui pembelajaran kooperatif (esensi pembelajaran
kooperatif adalah gotong royong).

B. Strategi Khusus Implementasi Pendidikan Karakter


Strategi khusus ini dimaksudkan untuk mengatasi temuan
tentang nilai karakter yang cenderung negatif di kalangan siswa
Indonesia. Cukup melegakan bahwa pada nilai inti cerdas, rata-rata
moral knowing, moral feeling, dan moral action siswa Indonesia lumayan
baik, sehingga tidak memerlukan pembenahan secara khusus.
Berdasarkan temuan penelitian, karakter yang perlu dibenahi melalui
strategi dan metode pembelajaran khusus antara lain sifat amanah,
sportivitas, dan tanggung jawab (nilai inti jujur), hemat, pemberi maaf,
keadaban, toleransi, dan ketepatan waktu (nilai inti peduli); serta sifat
yakin, antisipatif, dan rajin (nilai inti tangguh).
Amanah yang mirip trustworthy dalam bahasa Inggris, berarti
terpercaya. Kata itu memang bersifat abstrak, karena menyangkut
hubungan antarmanusia dan manusia dengan Tuhan. Oleh sebab itu,
mengembangkan sikap amanah tidak hanya tanggung jawab pihak
sekolah, tetapi juga orangtua dan masyarakat. Pengkondisikan melalui

144
Strategi Pendidikan Karakter

Kantin Kejujuran merupakan salah satu cara yang baik untuk memupuk
sifat amanah. Sikap sportif atau sportivitas memiliki kedekatan dengan
sifat amanah, keduanya merupakan turunan dari nilai inti jujur. Sportif
mengandung keterpaduan antara nilai jujur dan adil. Konotasi sportif
adalah yang mereka harapkan dilakukan orang lain terhadap mereka
sepadan dengan tindakan mereka terhadap orang lain. Jika nilai
tersebut tergerus dari karakter anak didik, kelak dia akan cenderung
tidak jujur, tidak adil, dan mau menang sendiri.
Siswa Indonesia dalam penelitian ditemukan kurang sportif.
Untuk membangun nilai sportif, pengkondisian dapat dilakukan
dengan kerap mengadakan pertandingan atau lomba, tidak lupa sikap
untuk siap menerima kekalahan dan kemenangan juga diajarkan.
Mochtar Lubis pernah menulis bahwa manusia Indonesia adalah
manusia yang enggan bertanggung jawab. Pendapat tersebut ternyata
sesuai dengan temuan penelitian ini. Sifat “lempar batu sembunyi tangan”
tampak berakar dari budaya Indonesia. Kehidupan politik Indonesia
saat ini pun menunjukkan hal itu. Saling tuding dan saling lempar
kesalahan adalah kebiasaan elit politik kita.
Tanggung jawab erat kaitannya dengan jiwa kepemimpinan.
Pembiasaan bertanggungjawab, latihan kepemimpinan, dan sikap
demokratis, dicontohkan dengan baik oleh sebuah sekolah TK
unggulan. Sebelum masuk kelas, semua anak harus berbaris rapi
dipimpin oleh seorang anak. Anak yang harus memimpin tersebut
dipilih sendiri oleh teman-temannya secara aklamasi dalam suasana
demokratis, dan tugas memimpin dilakukan bergantian setiap hari.
Pelajaran tentang tanggung jawab sekaligus mengembangkan
jiwa kewirausahaan dilakukan dengan menunjuk setiap kelas secara
bergiliran menjadi pemasok barang Kantin Kejujuran atau Koperasi
Sekolah. Jadi, pemasok barang di kantin atau Koperasi Sekolah bukan
perseorangan, misalnya guru, kepala sekolah, staf sekolah, melainkan
kelas. Hal tersebut memperkecil kemungkinan berbuat tidak jujur.
Dalam kaitan dengan nilai inti peduli, rendahnya sifat hemat
tampak konsisten mulai dari siswa SD, SMP sampai SMA/SMK.
Sebagai negara yang kaya sumber daya alam maupun manusia, air dan

145
Strategi Pendidikan Karakter

sinar matahari yang berlimpah, agaknya malah meninabobokan


masyarakat Indonesia. Siswa cenderung boros. Pembiasaan dan
pengkondisian agar berlaku hemat, adalah kata kuncinya.
Sejak kecil (misal, level SD), anak dibiasakan membuat
perencanaan peruntukkan uang sakunya. Dengan terbiasa membuat
perencanaan yang ketat, sifat boros dapat dideteksi dan dicegah sejak
awal.Terkait perilaku hemat akan sumber daya alam (melestarikan alam
dan lingkungan), siswa perlu dibiasakan perilaku sebagai berikut.

1. Hemat menggunakan selampe kertas (tissue) dan menggantinya


dengan sapu tangan.
2. Berbelanja membawa tas kain atau bahan daur ulang
(meminimalkan pemakaian plastik).
3. Memakai air bekas cucian yang masih layak pakai untuk mencuci
mobil dan motor, air bersih hanya dipakai untuk membilas.
4. Mencetak draft menggunakan kertas bekas yang halaman
belakangnya masih kosong, belum bertulisan.
5. Mandi dengan cara shower, tidak berendam (bath).
6. Mematikan komputer/laptop begitu selesai dipakai, mematikan
teve yang tidak ditonton, dan tidur dengan lampu redup.

Meningkatnya sifat berani dari siswa SD ke SMP dan SMA/SMK


ternyata berbanding terbalik dengan sikap keadaban (civility). Justru
semakin meningkat tataran satuan pendidikannya, sikap keadaban siswa
semakin menurun.Ada strategi yang baik untuk menyalurkan semangat
belajar siswa, yang diterapkan di salah satu sekolah unggulan di
Surabaya. Wali kelas di sekolah tersebut diharuskan berkantor di
kelasnya (stand by), sehingga lebih intensif mengamati anak didiknya.
Strategi itu berdampak positif. Keadaban para siswa makin tinggi,
ruang kelas terbiasa bersih, kegiatan KIR di sekolah berkembang pesat
(karena selalu ada guru pembimbing/wali kelas di kelas). Siswa sekolah
tersebut sering menjuarai lomba tingkat nasional. Strategi tersebut
perlu ditiru oleh sekolah lainnya.
Untuk siswa Indonesia yang kurang percaya diri, tidak

146
Strategi Pendidikan Karakter

antisipatif, dan tidak rajin, perlu strategi khusus untuk membenahinya.


Di bab 3, telah disentuh alasan ketiga nilai tersebut konsisten muncul di
siswa SD, SMP, dan SMA/SMK. Penyebabnya adalah rasa
ketidakpastian akan masa depan. Fakta memang menunjukkan, sampai
akhir 2011 jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih dari 30 juta,
sedangkan jumlah penganggur (termasuk sarjana) lebih dari 8 juta, dan
lapangan kerja makin sempit.
Menurut Ciputra, sampai saat ini jumlah wirausahawan
Indonesia tidak sampai 0,2% dari seluruh tenaga kerja. Angka tersebut
tidak sehat untuk negara yang mau membangun. Semangat wirausaha
harus ditumbuhkan di kalangan anak didik yang tidak yakin atas
ketersediaan lapangan kerja. Pelajaran tentang kewirausahaan dapat
menjadi landasan atau terselip dalam muatan kegiatan keterampilan
(keterampilan apapun: kesenian, olahraga, PKK, penelitian, dll). Di
samping itu, semangat kewirausahaan dapat diintegrasikan ke dalam
mata pelajaran lain, misalnya ekonomi, agama, dan kewarganegaraan.
Dalam pelajaran Agama Islam, selain mempelajari kaidah dan syariat
agama, perlu pula ditekankan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
juga seorang wirausahawan, yang sukses karena modal jujur dan
amanah (dapat dipercaya). Saat menikah dengan Siti Khadijah RA,
mahar (mas kawin) beliau antara lain adalah 16 ekor unta.
Untuk memberi motivasi para siswa, sekolah juga dianjurkan
mendatangkan wirausahawan yang berhasil, terutama narasumber dari
kalangan alumni sekolah sendiri atau orangtua siswa sendiri. Strategi
tersebut telah dilakukan oleh salah satu SMA swasta unggulan di
Jakarta. Selain meningkatkan rasa yakin dan percaya diri, sifat
antisipatif, dan daya kreatif dan daya juang siswa. Peristiwa seperti itu
dapat menjadi sarana mempererat ikatan alumni. Pada gilirannya,
ikatan alumni yang erat akan sangat bermanfaat bagi sekolah dan
siswanya.

147
148
BAB 5
CATATAN AKHIR

A man's character is his fate


(Heraclitus, 540-470 SM)

K arakter seseorang akan menentukan takdirnya. Semua orang tahu


dan mengalami, bahwa seseorang yang pandai dalam bidang
akademis, namun karena karakternya buruk (misalnya angkuh, mau
menang sendiri, atau kurang percaya diri), akan sulit diterima oleh
lingkungannya. Dia dapat tidak disenangi atasannya, yang membuat
karirnya sulit berkembang. Sebaliknya, seseorang yang nilai
akademiknya biasa-biasa, namun karena pandai bergaul, tulus, dan
tidak segan membantu, dia dapat dengan cepat menuju puncak karier.
Bagian ini akan membahas kaitan karakter yang baik dan takdir anak-
anak di masa depan mereka, namun terlebih dulu ditilik kembali potret
karakter mereka sebagai sebuah simpulan sekaligus refleksi.
Jika mengamati secara selintas temuan di lapangan tentang nilai-
nilai karakter siswa di Indonesia dalam berbagai tingkat satuan
pendidikan, secara umum sebenarnya tidak banyak berbeda. Misalnya
hal yang memrihatinkan sekaligus mencengangkan, kurangnya sikap
yakin, antisipatif, dan kerajinan siswa mulai dari SD, SMP, SMA/SMK.
Kurangnya sifat yakin tersebut mungkin disebabkan oleh sebagian besar
anak Indonesia telah tahu bahwa ternyata sekolah tidak merupakan
jaminan bagi perolehan jaminan kehidupan yang layak di masa depan.
Jangan lagi lulusan SMA/SMK, sarjana lulusan perguruan tinggi pun
banyak yang menganggur. Hal itu menyiratkan bahwa pembangunan
jiwa entrepreneurship melalui wahana pendidikan memang harus
digalakkan secara nasional sejak di SD dan berkesinambungan sampai
perguruan tinggi. Kurangnya sikap antisipatif menunjukkan bahwa para
Catatan Akhir

siswa Indonesia belum terbiasa berperilaku visioner dan berorientasi


perencanaan. Hal tersebut mengingatkan akan perlunya pembinaan
jiwa kepemimpinan (leadership) dan pengetahuan tentang manajemen
yang berkesinambungan. Hal yang perlu dicermati lebih lanjut adalah
rendahnya sifat rajin (kerajinan). Hal itu berarti jika para siswa tidak
terlambat masuk sekolah bukan karena pengetahuan dan perasaan
tentang perlunya sikap rajin, tetapi lebih karena takut kepada hukuman
yang akan diterimanya jika terlambat datang ke sekolah. Rajin belajar
dan membaca pun juga takut karena hukuman atau teguran dari orang
tua jika nilai hasil ulangan maupun nilai rapor yang diterimanya jelek
atau di bawah Ketentuan Ketuntasan Minimal (KKM). Hal itu pula
mungkin yang menyebabkan rendahnya kebiasaan membaca pada
bangsa Indonesia.
Hal umum yang perlu penegasan implementasinya dalam
pendidikan adalah kurangnya sikap hemat dari seluruh siswa mulai dari
SD, SMP, dan SMA/SMK. Agaknya kesediaan sumber daya yang
melimpah di tanah air justru kontraproduktif, anak-anak bangsa malah
terbiasa boros. Boros akan penggunaan air misalnya, atau kebiasaan
berperilaku konsumtif. Mungkin juga kebiasaan konsumtif yang berasal
dari ketiadaan sikap hemat terjadi karena pengaruh iklan di media
massa, terutama dari media elektronik. Bisa juga hal itu terjadi karena
adanya semacam kejutan budaya (culture shock) dari kondisi serba
kekurangan menjadi keadaan berkecukupan, yang ditandai oleh
bangkitnya kelas memengah di Indonesia. Dalam hubungan ini,
agaknya pembiasaan dalam keluarga tentang penghematan terhadap
hal-hal kecil perlu dibudayakan.
Setelah membaca paparan temuan hasil penelitian ini,
pertanyaan yang kemudian bergelayut dalam benak, “Apa yang
sebenarnya terjadi dengan implementasi pendidikan di Indonesia saat
ini?” “Bagaimana di negara yang berdasarkan KetuhananYang Maha Esa
ini, sifat amanah belum menjadi pegangan siswa?” Belum kukuhnya
karakter amanah tergambar secara linear sejak tataran moral knowing,
berlanjut kepada moral feeling sampai moral action. Bentuk konkretnya
adalah terjadi kecurangan dalam ulangan/ujian, termasuk Ujian

149
Catatan Akhir

Nasional. Karakter amanah yang rendah dikhawatirkan menjadi akar


“budaya korupsi” di Indonesia. Betul-betul temuan yang mencemaskan
dan mesti dilakukan pembenahan segera. Sikap jiwa amanah biasanya
linear dengan sikap jiwa sportif. Hal itu dibuktikan oleh rendahnya
sportivitas siswa pada semua tataran pendidikan yang linear mulai dari
moral knowing, moral feeling sampai moral action.
Temuan di lapangan tentang nilai-nilai karakter siswa Indonesia
menunjukkan konsistensi karakter pada berbagai tingkat satuan
pendidikan. Hal yang memprihatinkan adalah sikap percaya diri/yakin,
antisipatif, dan rajin para siswa SD, SMP, sampai SMA/SMK yang masih
rendah. Bila nilai-nilai karakter siswa yang rendah menunjukkan
kesamaan (konsisten) antara satuan pendidikan ke jenjang pendidikan,
di ranah tataran pengetahuan, penghayatan, dan penerapan,
ditunjukkan hal yang tidak konsisten. Jika pada tataran moral knowing
umumnya keempat nilai inti dan turunannya tercatat baik, tidak
demikian dengan tataran moral feeling. Jika moral feeling rendah, moral
action juga rendah.
Sebagai temuan penelitian ini, dapat ditengarai bahwa bangsa
Indonesia memiliki karakter tidak suka memberi maaf, sehingga
berpotensi menjadi pendendam. Hal tersebut dibuktikan dengan
rendahnya karakter pemaaf (forgiveness) sebagai turunan nilai inti
peduli-pada semua level satuan pendidikan. Kebiasaan tawuran yang
muncul mulai dari level SMP ke atas merupakan indikator
meningkatnya nilai keberanian (courage) sekaligus merupakan indikator
belum mantapnya nilai keadaban (civility) dan toleransi (tolerance).
Garis linear dari SD, SMP, SMA/SMK juga muncul dalam hal
kurangnya nilai tanggung jawab (responsibility), yang merupakan nilai
turunan dari nilai inti jujur. Model pendidikan seperti di Jepang yang
membiasakan tanggung jawab sejak kecil perlu diterapkan di Indonesia.
Memanjakan anak merupakan tindakan kurang cerdas dan kurang
bijaksana, karena hal itu tidak akan menolong anak di masa depan.
Kurangnya tanggung jawab itu terbukti dari joroknya fasilitas WC di
sekolah serta tidak terawatnya fasilitas sekolah dan fasilitas umum yang
lain. Tidak sedikit pula grafiti di tembok-tembok kota yang berisi

150
Catatan Akhir

tulisan cacian maupun kata-kata kotor. Banyak fasilitas umum seperti


telepon umum, taman kota, halte bus, dan lain-lain yang tidak terawat
atau rusak.
Salah satu nilai karakter positif yang konsisten sejak di SD, SMP,
SMA/SMK adalah nilai suka membantu sebagai turunan nilai inti
peduli, walau lebih dominan pada tataran moral knowing, atau sudah
menjadi pengetahuan (kecuali pada siswa SD sudah pada moral feeling).
Ada kecemasan di kalangan responden (guru, budayawan) terhadap
lunturnya budaya suka membantu (kepedulian) karena tergerus oleh
nilai-nilai individualistis dan egoisme, yang disebarluaskan oleh media
massa. Kemudian, “Apakah jam karet merupakan tradisi dan budaya
bangsa Indonesia?” Kenyataannya, nilai ketepatan waktu (punctuality)
dari para siswa di seluruh tingkatan satuan pendidikan sangat rendah.
Ada sedikit variasi pada nilai inti cerdas dan turunannya. Pada siswa SD
dan SMP, nilai karakter cerdas yang paling tinggi tingkat diketahuinya
(moral knowing) adalah disiplin diri dan pemecah masalah. Pada siswa
SD, yang paling rendah diketahui adalah kemandirian. Nilai
kemandirian yang rendah terus berlanjut pada moral feeling,
sementara nanti pada moral action yang paling rendah adalah sikap
kritisnya. Sementara itu, pada siswa SMP pada tataran moral feeling,
karakter disiplin diri masih tinggi, sedangkan pada tataran moral action,
sikap kemandirian adalah yang paling rendah dijumpai.
Pada siswa SMA, nilai karakter yang paling sering dijumpai
sebagai turunan nilai cerdas adalah disiplin diri, pemecah masalah, dan
kreativitas. Artinya, perlunya kreativitas sudah muncul pada siswa
SMA. Sedangkan yang paling rendah adalah karakter kritis, analitis, dan
kemandirian. Sementara itu pada siswa SMA dalam tataran moral feeling
dan moral action nilai karakter yang sering dijumpai adalah disiplin diri.
Sementara itu pada siswa SMK nilai karakter yang kurang pada tataran
diketahui adalah nilai kritis, hal itu berlanjut pada tataran moral feeling
dan moral action. Berkaitan dengan itu, pada tataran moral action, nilai
kemandirian siswa SMK juga ditemui rendah.
Bila ditarik suatu garis lurus secara umum mulai dari siswa SD,
SMP, SMA/SMK, nilai karakter yang paling perlu diperkuat baik pada

151
Catatan Akhir

tataran moral knowing, moral feeling, dan moral action adalah nilai kritis
dan kemandirian. Sementara itu, nilai yang secara rata-rata tinggi dan
linear dari SD, SMP ke SMA adalah nilai karakter disiplin diri. Artinya,
sudah ada kesadaran pada anak-anak sekolah dasar dan menengah untuk
belajar sebaik-baiknya.
Dari pertanyaan retorika yang menjadi judul Bab 1, Mengapa
Karakter?, dapat dipahami betapa krusialnya implementasi pendidikan
karakter bagi generasi muda penerus bangsa. Sebuah survai yang di-
release Mei 2012 mencatat bahwa lebih dari 30% remaja di kota-kota
besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan) terbiasa melakukan
hubungan seks pranikah. Hal itu agaknya sejalan dengan sinyalemen
sebagai hasil survei Ketua Komisi Perlindungan Anak A.M. Sirait,
Maret 2012, bahwa Indonesia merupakan negara terbesar nomor 3
sebagai pengguna situs porno. Walaupun keakuratan survei-survei
tersebut masih dapat diperdebatkan, tetapi paling tidak harus menjadi
perhatian semua rakyat Indonesia.
Senyampang laporan ini diselesaikan, banyak kasus kecurangan
yang dilakukan oleh elit politik divonis oleh pengadilan dengan
hukuman yang jauh dari rasa keadilan. Landasan laporan yang
kemudian diwujudkan dalam buku ini adalah asumsi bahwa karakter
seseorang dipengaruhi baik oleh aspek hereditas (nature) yang sudah
given dan aspek lingkungan (nurture). Dari wacana dan fenomena yang
terurai pada Bab 2, Berguru kepada Alam, tergambar kekayaan budaya
Indonesia. Itulah modal yang berlimpah dan berharga bagi para
pendidik untuk menerapkan pendidikan karakter dan membangun
karakter siswa Indonesia.
Sejalan dengan itu, patut juga diakui bahwa pada tataran moral
knowing yang mengembangkan aspek kognitif siswa, para siswa di
Indonesia telah banyak mengukir prestasi pada lomba sains tingkat
internasional. Namun, jika diamati lebih lanjut, para siswa yang
memenangi perhelatan olimpiade sains internasional tersebut
umumnya memang berasal dari sekolah-sekolah yang memiliki tradisi
disiplin tinggi. Di samping menerapkan kedisiplinan yang ketat,
sekolah-sekolah yang bersangkutan memang memfasilitasi dan

152
Catatan Akhir

mendorong tumbuh dan berkembangnya nilai kuriositas dan


keberanian bersikap kompetitif yang positif. Hal yang perlu menjadi
catatan, jika dibuat presentase secara kasar, justru umumnya para siswa
yang berasal dari sekolah swasta unggulanlah (sekitar 70%) yang
mampu mengharumkan nama bangsa pada event internasional
semacam itu.
Seperti diketahui pada tingkat internasional ada International
Physics Olympiad (IPhO), International Biology Olympiad (IBO),
International Chemistry Olympiad (ICO), dan International Mathematics
Olympiad (IMO), serta International Junior Science Olympiad (IJSO). Sejak
1996 pada saat IPhO diselenggarakan di Tblisi, Georgia (eks Uni
Sovyet), peserta dari Indonesia telah menorehkan namanya untuk
pertama kali sebagai juara, walau hanya meraih medali perak, atas nama
Wahyu Setyawan. Tetapi semenjak 1996 tersebut boleh dikatakan
hampir setiap tahun peserta dari Indonesia memperoleh medali, baik
berupa medali perak maupun perunggu. Medali emas untuk pertama
kali diraih pada 1999 oleh I Made Agus Wirawan. Perolehan medali
emas yang terbaik diraih pada 2001 tatkala IPhO diselenggarakan di Bali
ada 3 peserta dari Indonesia yang meraih medali emas atas nama
Agustinus Peter S., Fajar Ardian, danWidagdo Setyawan.
Sementara itu pada olimpiade kimia internasional (ICO) tercatat
pada 2010, Manuel Manuputty menyabet emas pertama kali. Pada
kesempatan itu, Indonesia juga memperoleh medali perunggu atas
nama Stephen Yuwono. Untuk olimpiade biologi internasional (IBO)
pada 2007, Stephanie Senna memperoleh medali emas untuk pertama
kali. Namun, untuk olimpiade matematika internasional (IMO),
Indonesia belum beroleh kesempatan untuk meraih medali emas,
sedangkan medali perak pertama kali diraih pada tahun 1995.
Walhasil ternyata bergantung pendekatan dan strategi yang
dipergunakan, banyak anak Indonesia yang merupakan intan yang
belum diasah, belum terlihat kecemerlangannya. Namun jika
dipergunakan pendekatan dan metode “pengasahan” yang sesuai,
ternyata siswa Indonesia tidak terlalu tertinggal di perbincangan
olimpiade sains tingkat internasional. Pesaing-pesaingnya di kawasan

153
Catatan Akhir

Asia sementara ini adalah Republik Rakyat Tiongkok, Singapura,


Vietnam, Iran, Jepang, dan Korea Selatan, sementara itu bahkan
Malaysia, dan Republik China Taiwan, perolehan medalinya secara
kumulatif masih di bawah Indonesia.
Dalam konteks empat pilar pendidikan karakter yang meliputi
olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga, agaknya
pendidikan karakter di Indonesia secara khusus harus dikembangkan di
wilayah olah hati serta olah rasa dan karsa. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan seyogyanya menganggap kata kebudayaan tidak sekadar
tempelan, apalagi beban. Elemen budaya justru harus dilihat sebagai
peluang untuk memperbaiki karut-marut pendidikan dan kehidupan di
Indonesia.
Secara garis besar, belajar dari fakta hasil penelitian, tim penulis
buku ini menyarankan hal-hal umum di bawah ini untuk menjadi
pertimbangan pendidikan karakter di sekolah.
Pertama, agar potret karakter siswa Indonesia lebih lengkap dan
utuh, perlu kajian dengan sampel yang lebih terbatas namun
menjangkau semua stratifikasi sekolah, tidak hanya sekolah unggul,
tetapi juga sekolah yang kualitasnya rata-rata atau bahkan yang
kualitasnya rendah.
Kedua, lemahnya siswa di tataran moral feeling, dan kembalinya
aspek kebudayaan ke dalam Kementerian Pendidikan, dapat
dipertemukan sebagai peluang untuk kembali menanamkan elemen
budaya dalam sistem pendidikan di Indonesia. Budaya antara lain
direpresentasikan dalam karya seni, sedangkan seni timbul dari
penghayatan/perasaan akan nilai-nilai moral (moral feeling).
Ketiga, model pendidikan karakter harus dipilih dengan cermat.
Metode pembelajaran kooperatif yang berakar dari tradisi bangsa
gotong-royong, dianggap salah satu pendekatan yang baik untuk
menanamkan nilai-nilai karakter. Metode diskusi dan metode
penguatan karakter melalui puisi, lagu-lagu, refleksi diri, juga
disarankan.
Keempat, pendidikan karakter baru efektif jika seluruh warga
sekolah dilibatkan, termasuk orangtua, masyarakat, bahkan aparat

154
Catatan Akhir

pemerintah.
Kelima, mengingat kurang kuatnya nilai karakter kemandirian
pada siswa pendidikan dasar dan menengah, upaya Kemendikbud untuk
mengembangkan pendidikan kewirausahaan mulai tahun ajaran 2012-
2013 ini perlu didukung, namun jangan sampai mengulang kesalahan
implementasinya seperti di perguruan tinggi, pendidikan
kewirausahaan hanya bersifat teoretis dan kurang menyentuh sama
sekali tataran praktisnya.
Terakhir, penulis mengutip pandangan David Livermore
(2010) tentang 'senjata masa depan', yaitu Cultural Intelligence. Menurut
Livermore, kecerdasan budaya merupakan kunci sukses di era global,
saat orang-orang bergerak antarbangsa dan budaya. Secerdas apapun
seorang manajer, dan sebijaksana apapun dia (dengan IQ dan EQ yang
tinggi), dia akan gagal mengembangkan bisnisnya bila tidak memiliki
CQ atau cultural intelligence. Pendidikan karakter yang sedang
digalakkan oleh pemerintah Indonesia ini, tak pelak lagi, adalah sebuah
langkah tepat dan cerdik untuk menyiapkan anak-anak kita bersaing di
masa depan di era global.

Daftar Pustaka

Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan


Kebudayaan. 2012. Laporan Penelitian Pemetaan Profil Variabel-
Variabel Karakter Bangsa Siswa-Siswa pada Pendidikan Dasar dan
Menengah. Jakarta: Kemendikbud.

Daud, Mohd. 2009. Memahami Orang Aceh, Bandung: Citrapustaka


Media Perintis.

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Hariyanto. 2012. Metodologi Pendidikan Karakter di Sekolah dan di Rumah.

155
Catatan Akhir

Surabaya: (Draf Buku; belum diterbitkan)

Iman Budhi Santosa. 2008. Budi Pekerti Bangsa. Yogyakarta: ARTI Bumi
Intaran.

Livermore, David. 2010. Leading with Cultural Intelligence. New York:


Amacom

Malau, Gens G. 2000. Aneka Ragam Ilmu Pengetahuan Budaya Batak.


Jakarta:Taotoba Nusa Budaya.

Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2011. Konsep dan Model Pendidikan


Karakter, Bandung: Remaja Rosda Karya.

Schwartz, Merle. 2008. Effective Character Education. New York:


McGraw-Hill Higher Education

156

Anda mungkin juga menyukai