Anda di halaman 1dari 82

PENCEMARAN UDARA PARTIKULAT DAN TIMBAL

SERTA POTENSI RISIKONYA TERHADAP


KESEHATAN MASYARAKAT DI KOTA BOGOR

IIF MIFTAHUL IHSAN

ILMU PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pencemaran Udara
Partikulat dan Timbal serta Potensi Risikonya Terhadap Kesehatan Masyarakat di
Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor

Bogor, 14Juli
Juli2021
2021

Iif Miftahul Ihsan


NIM P052190251
i

RINGKASAN
IIF MIFTAHUL IHSAN. Pencemaran Udara Partikulat dan Timbal serta Potensi
Risikonya Terhadap Kesehatan Masyarakat di Kota Bogor. Dibimbing oleh MOH.
YANI, dan RAHMAT HIDAYAT.

Partikulat dan timbal merupakan zat pencemar yang dihasilkan oleh


aktivitas antropogenik seperti aktivitas transportasi dan industri. Konsentrasi
partikulat dan timbal dipengaruhi oleh sumber pencemar serta cuaca, sehingga
dapat berfluktuasi setiap waktu. Selain berfluktuasi setiap waktu, keberadaan
partikulat dan timbal di perkotaan dapat berbahaya terhadap kesehatan masyarakat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis variasi diurnal dan musiman
konsentrasi partikulat dan timbal di Kota Bogor serta menganalisis karakteristik
risiko partikulat dan timbal terhadap kesehatan masyarakat Kota Bogor.
Data konsentrasi PM2,5 dan PM10 diperoleh dari Center for Climate Risk and
Opportunity Management (CCROM-SEAP), yang diukur secara real-time dan
kontinyu. Pengukuran tersebut dilakukan untuk menganalisis variasi diurnal dan
musiman konsentrasi PM2,5 dan PM10 dari Januari 2019 sampai Juni 2020. Untuk
memperoleh variasi diurnal antara siang dan malam hari dilakukan uji komparasi
menggunakan uji independent t-test two tailed, sedangkan untuk memperoleh
variasi musiman menggunakan analisis korelasi dengan peubah bebasnya adalah
curah hujan. Perhitungan karakteristik risiko dari paparan partikulat dan timbal
dapat menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan (ARKL).
Karakteristik risiko dapat dinyatakan sebagai tingkat risiko (RQ) untuk zat
pencemar yang tidak mempunyai efek karsinogenik, dan risiko kanker (CR) untuk
zat pencemar yang mempunyai efek karsinogenik. Untuk menghitung tingkat
risiko dan risiko kanker partikulat dan timbal terhadap kesehatan masyarakat Kota
Bogor dapat menggunakan data konsentrasi partikulat yang terdiri dari PM2,5,
PM10, dan TSP serta Pb yang diperoleh dari hasil pengukuran manual di setiap
kecamatan. Selain itu, data laju pernafasan, waktu paparan, frekuensi paparan,
durasi paparan, berat badan, serta waktu rata-rata juga diperlukan untuk
melakukan perhitungan dimana data tersebut diperoleh dari survey kuisioner
terhadap responden laki-laki dan perempuan di masing-masing kecamatan.
Berdasarkan hasil pengukuran di CCROM SEAP, rentang konsentrasi PM2,5
dan PM10 masing-masing sebesar 3,78 µg/m3 hingga 63,69 µg/m3 dan 14,93 µg/m3
sampai 118,22 µg/m3 dengan rata-rata konsentrasi PM2,5 dan PM10 sebesar 24,38
µg/m3 dan 54,22 µg/m3. Pada siang hari, konsentrasi PM2,5 umumnya lebih tinggi
daripada malam hari dengan rata-rata 25,9 µg/m3 dan 22,7 µg/m3. Berbanding
terbalik dengan PM2,5, rata-rata konsentrasi PM10 pada malam hari lebih besar dari
malam hari sebesar 54,9 µg/m3 dan 53,5 µg/m3. Berdasarkan uji independent t-test
two tailed, terdapat perbedaan rata-rata konsentrasi PM2,5 pada siang dan malam
hari, namun tidak terdapat perbedaan rata-rata konsentrasi PM10 pada siang dan
malam hari.
Selama periode bulan kering dan bulan basah, konsentrasi PM2,5 berada
pada rentang 7,78 µg/m3 sampai 63,69 µg/m3 dan 5,76 µg/m3 sampai 31,96 µg/m3
dengan rata-rata konsentrasi PM2,5 masing-masing sebesar 32,91 µg/m3 dan 17,65
µg/m3. Konsentrasi PM10 periode bulan kering dan bulan basah berada pada
rentang 20,24 µg/m3 sampai 118,22 µg/m3 dan 15,30 µg/m3 sampai 81,94 µg/m3,
ii

dengan rata-rata konsentrasi PM10 pada bulan kering dan bulan basah masing-
masing sebesar 70,07 µg/m3 dan 44,85 µg/m3. Analisis korelasi Pearson
menunjukan bahwa terdapat hubungan antara curah hujan dan konsentrasi PM2,5
dan PM10, dimana semakin tinggi curah hujan, akan mengurangi tingkat
konsentrasi PM2,5 dan PM10 di atmosfer (r = –0,49; r = –0,50).
Penduduk laki-laki di Tanah Sareal, Bogor Utara dan Bogor Selatan masing-
masing memiliki tingkat risiko PM2,5 lebih dari 1, sedangkan penduduk perempuan
yang memiliki tingkat risiko PM2,5 lebih dari 1 terjadi pada penduduk perempuan
di Tanah Sareal. Untuk polutan PM10, penduduk laki-laki di Kecamatan Bogor
Barat, Bogor Utara, Bogor Selatan dan Tanah Sareal masing-masing memiliki
tingkat risiko lebih dari 1. Penduduk laki-laki dan perempuan di masing-masing
kecamatan memiliki tingkat risiko TSP lebih dari 1. Berbanding terbalik dengan
TSP, penduduk laki-laki dan perempuan memiliki tingkat risiko Pb kurang dari 1.
Tingkat risiko lebih dari 1 menunjukan bahwa risiko kesehatan dari paparan agen
risiko di wilayah tersebut ada, sehingga perlu dikendalikan atau perlu adanya
manajemen risiko. Perhitungan risiko kanker di setiap kecamatan di Bogor pada
setiap segmen penduduk laki-laki dan perempuan lebih kecil dari 10-6 yang berarti
timbal tidak menimbulkan risiko bagi masyarakat yang terpapar.

Kata kunci: analisis diurnal dan musiman, analisis risiko kesehatan lingkungan,
karakteristik risiko, partikulat, timbal
iii

SUMMARY
IIF MIFTAHUL IHSAN. Particulate and Lead Air Pollution and Their Potential
Risks to Public Health in Bogor. Supervised by MOH. YANI and RAHMAT
HIDAYAT.

Particulate and lead are pollutants produced by anthropogenic activities such


as transportation and industrial activities. Pollutant sources and weather influence
particulate and lead concentrations, so they can fluctuate over time. Apart from
fluctuating over time, particulates and lead in urban areas can be dangerous to
public health. This study aimed to analyze the diurnal and seasonal variations of
particulates and lead concentration in Bogor and analyze the characteristics of the
risk of particulates and lead to Bogor City's health.
PM2,5 and PM10 concentrations were obtained from Center for Climate Risk
and Opportunity Management (CCROM-SEAP), measured in real-time and
continuously. These measurements were carried out to analyze diurnal and
seasonal variations in PM2,5 and PM10 concentrations from January 2019 to June
2020. Diurnal variations between day and night using a comparative test, namely
the independent two-tailed t-test, while seasonal variations using regression
analysis and correlation with the independent variable is rainfall. Calculation of
risk characteristics from exposure to particulates and lead can use environmental
health risk assessment methods (EHRA). The risk characteristics can be expressed
as the risk quotient (RQ) and cancer risk (CR) for contaminants with a
carcinogenic effect. To analyze the risk quotient and cancer risk of particulate and
lead of public health can use particulate concentration data consisting of PM2,5,
PM10, and TSP and lead obtained from manual measurements in each district. In
addition, data on respiratory rate, exposure time, exposure frequency, exposure
duration, body weight, and average time are also needed to perform calculations
where the data is obtained from surveys of male and female respondents in each
district.
Based on the measurement results at the CCROM-SEAP, the ranges for
PM2,5 and PM10 concentrations were 3,78 µg/m3 to 63,69 µg/m3 and 14,93 µg/m3
to 118,22 µg/m3 respectively, with average PM2,5 concentrations and PM10 at
24,38 µg/m3 and 54,22 µg/m3. During the day, PM2,5 concentrations are generally
higher than at night, with averages of 25,9 µg/m3 and 22,7 µg/m3. In contrast to
PM2,5, the average concentration of PM10 at night was greater than that of 54,9
µg/m3 and 53,5 µg/m3. Based on the two-tailed independent t-test, there was a
difference in the average PM2.5 concentration during the day and night, but there
was no difference in the average PM10 concentration during the day and night.
During the dry months and wet months, PM2,5 concentrations ranged from
7,78 µg/m3 to 63,69 µg/m3 and from 5,76 µg/m3 to 31,96 µg/m3 with average
PM2,5 concentrations. respectively 32,91 µg/m3 and 17,65 µg/m3. The
concentration of PM10 during the dry months and wet months was in the range of
20,24 µg/m3 to 118,22 µg/m3 and 15,3 µg/m3 to 81,94 µg/m3, with average
concentrations of PM10 in the dry months and months. wet respectively 70,07
µg/m3 and 44,85 µg/m3. Pearson correlation analysis shows that there is a
relationship between rainfall and pollutants concentrations, where the higher the
iv

rainfall, the lower the concentration of PM2,5 and PM10 in the atmosphere (r = –
0,49; r = –0,50).
Male residents in Tanah Sareal, North Bogor, and South Bogor have a risk
quotient of PM2,5 of more than 1, while female residents have a PM2,5 risk quotient
of more than 1 occurred in Tanah Sareal. For PM10 pollutants, male residents in
West Bogor Sub-district, North Bogor, South Bogor, and Tanah Sareal have a risk
quotient of more than 1. Male and female residents in each sub-district have a TSP
risk quotient of more than 1. Inversely proportional to TSP, male and female
residents have a risk quotient of Pb less than 1. A risk quotient of more than 1
indicates a health risk in the area so that it needs to be controlled, or there is a
need for risk management. The calculation of cancer risk in each district in Bogor
for each male and female population segment is smaller than 10-6, which means
that lead does not pose a risk to the exposed community.

Keywords: diurnal and seasonal analysis, environmental health risk assessment,


lead, particulate matter, risk characteristics
v

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2021


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vi
PENCEMARAN UDARA PARTIKULAT DAN TIMBAL
SERTA POTENSI RISIKONYA TERHADAP
KESEHATAN MASYARAKAT DI KOTA BOGOR

IIF MIFTAHUL IHSAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

ILMU PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
viii

Tim Penguji pada Ujian Tesis: Dr. Ana Turyanti, S.Si, MT


ix

Judul Tesis : Pencemaran Udara Partikulat dan Timbal serta Potensi


Risikonya Terhadap Kesehatan Masyarakat di Kota Bogor
Nama : Iif Miftahul Ihsan
NIM : P052190251

Disetujui oleh

Pembimbing 1:
Dr. Ir. Moh. Yani, M. Eng

Pembimbing 2:
Dr. Rahmat Hidayat, M.Si

Diketahui oleh

Ketua Program Studi


Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S.
NIP 195911061985011001

Dekan Sekolah Pasca Sarjana


Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng.
NIP 196004191985031002

Tanggal Ujian: 28 Juni 2021 Tanggal Lulus: 14 Juli 2021


x

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanaahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian adalah kesehatan lingkungan, dengan judul Pencemaran
Udara Partikulat dan Timbal serta Potensi Risikonya Terhadap Kesehatan
Masyarakat di Kota Bogor.
Penulis menyadari dalam menyelesaikan tesis ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini terutama kepada:
1. Dr. Moh. Yani, M.Eng dan Dr. Rahmat Hidayat, M.Si selaku dosen komisi
pembimbing yang telah memberi arahan, dukungan, waktu, ilmu dan
pengalaman yang sangat berharga yang diberikan sehingga tesis ini dapat
diselesaikan.
2. Dr. Ana Turyanti, S.Si, MT selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan arahan yang sangat bermanfaat kepada penulis.
3. Dr. Masahide Nishihasi, Dr. Hitoshi Mukai dari National Institute for
Environmental Studies (NIES - Jepang) yang telah memberikan izin dalam
pemanfaatan dan analisis data penelitian
4. Prof. Dr. Rizaldi Boer dan Gito Sugih Immanuel dari Center for Climate Risk
and Opportunity Management (CCROM - IPB) yang telah berperan dalam
pengumpulan dan analisis data penelitian
5. Tetty Permatasari S.TP dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor yang telah
berperan dalam pengumpulan data penelitian.
6. Kemenristek BRIN - RI sebagai pemberi sponsor beasiswa SDM IPTEK
(Saintek) 2019 sehingga penulis berkesempatan melanjutkan studi tugas
belajar di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan
7. Ayub M.Si yang telah berperan dalam pengumpulan data penelitian.
8. Davit Aldi, Nardi, Tia Rostaman, Muhamad Hidayatul Mustofa, Indeka
Dharma Putra, Arif Budiyanto Aisyah Handayani, Religiana Salsabila,
Febriyani, dan rekan-rekan di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan angkatan 2019 atas kebersamaan, bantuan dan
dukungan kepada penulis.
9. Nyayu Fatimah Zahroh, orang tua dan keluarga yang telah memberikan doa,
kasih sayang dan motivasi kepada penulis.

Semoga tesis ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi di bidang pengembangan Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan

Bogor, 14Juli
Juli2021
2021

Iif Miftahul Ihsan


xi

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii

I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat Penelitian 3
1.5 Kerangka Pemikiran 3
1.6 Ruang Lingkup Penelitian 4
II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Karakteristik Wilayah Kota Bogor 6
2.2 Pencemaran Udara dan Dampaknya Terhadap Kesehatan 7
Manusia
2.3 Pengaruh Cuaca Terhadap Konsentrasi Pencemar Udara 11
2.4 Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan 12
2.5 Poin Penting Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu 15
III METODE 18
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 18
3.2 Alat dan Bahan 19
3.3 Jenis dan Sumber Data 19
3.4 Prosedur Analisis Data 20
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 24
4.1 Variasi Diurnal dan Musiman Konsentrasi Partikulat dan 24
Timbal di Kota Bogor
4.2 Karakteristik Risiko dari Paparan Pencemar Udara Partikulat 35
dan Timbal Terhadap Kesehatan Masyarakat Kota Bogor
V SIMPULAN DAN SARAN 53
5.1 Simpulan 53
5.2 Saran 53
DAFTAR PUSTAKA 54
LAMPIRAN 65
xii

DAFTAR TABEL

1 Demografi penduduk Kota Bogor tahun 2016 - 2018 6


2 Jumlah industri dan tenaga kerja industri di Kota Bogor tahun 7
2015
3 Poin penting beberapa hasil penelitian terdahulu 16
4 Jadwal kegiatan penelitian 18
5 Jenis dan sumber data 19
6 Tujuan penelitian, metode dan keluaran yang diharapkan 23
7 Rata-rata konsentrasi PM2,5, PM10, TSP dan Pb tahun 2016 sampai 37
2020 di setiap kecamatan di Kota Bogor
8 Faktor pemajanan antropometri penduduk laki-laki dan 41
perempuan di setiap kecamatan di Kota Bogor
9 Nilai pemajanan PM2,5, PM10, TSP, dan Pb penduduk laki-laki dan 42
perempuan di setiap kecamatan di Kota Bogor
10 Tingkat risiko PM2,5, PM10, TSP dan Pb penduduk laki-laki dan 44
perempuan di setiap kecamatan di Kota Bogor
11 Rekapitulasi frekuensi RQ > 1 PM2,5, PM10, TSP dan Pb penduduk 47
laki-laki dan perempuan di setiap kecamatan di Kota Bogor
12 Risiko kanker penduduk laki-laki dan perempuan di setiap 48
kecamatan di Kota Bogor
13 Konsentrasi aman PM2,5, PM10, TSP dan Pb penduduk laki-laki 50
dan perempuan di setiap kecamatan di Kota Bogor

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 4
2 Distribusi ukuran partikel 9
3 Tahapan analisis risiko 14
4 Lokasi pengukuran 18
5 Perubahan konsentrasi PM2,5 di setiap kecamatan di Kota Bogor 24
pada periode tahun 2016 - 2020
6 Perubahan konsentrasi PM10 di setiap kecamatan di Kota Bogor 25
pada periode tahun 2016 - 2020
7 Perubahan konsentrasi TSP di setiap kecamatan di Kota Bogor 26
pada periode tahun 2016 - 2020
8 Perubahan konsentrasi Pb di setiap kecamatan di Kota Bogor pada 26
periode tahun 2016 - 202
9 Variasi konsentrasi PM2,5 dan PM10 selama tahun 2019 dan 28
2020 di Kota Bogor
10 Pola diurnal rata-rata konsentrasi PM2,5 dan PM10 selama 29
xiii

11 Variasi siang-malam rata-rata konsentrasi PM2,5 selama 30


periode pengukuran tahun 2019 dan 2020 di Kota Bogor
12 Variasi siang-malam rata-rata konsentrasi PM10 selama 31
periode pengukuran tahun 2019 dan 2020 di Kota Bogor
13 Variasi musiman rata-rata konsentrasi PM2,5 dan PM10 32
selama periode pengukuran tahun 2019 dan 2020 di Kota
Bogor
14 Mawar angin selama periode pengukuran di Kota Bogor 34
15 Paradigma analisis risiko 36

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuisioner penelitian 66
2 Uji normalitas 69
3 Uji komparasi 73
4 Uji korelasi Pearson 75
5 Variabel antropometri, nilai pajanan dan karakteristik risiko 76
partikulat dan timbal setiap responden
1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sektor transportasi dan industri menjadi penyebab meningkatnya
konsentrasi pencemar udara di perkotaan. Kualitas udara di perkotaan telah
berubah kondisinya akibat perubahan komposisinya dari komposisi udara
alamiahnya menjadi kondisi udara yang sudah tercemar sehingga tidak
dapat menyangga kehidupan. Di beberapa perkotaan, sektor transportasi
telah berkontribusi sebesar 85% dari seluruh pencemaran udara yang terjadi
(Satriyo 2012). Dari tahun 2008 sampai 2009 aktivitas transportasi di
Jakarta telah berkontribusi terhadap pencemaran PM2,5 sebesar 31,5% dan
PM10 sebesar 70% (Greenstone 2019). Lestari et al. (2014) memprediksi
pada tahun 2015 aktivitas kendaraan bermotor telah menghasilkan polutan
PM2,5 sebesar 46%, sedangkan aktivitas industri telah berkontribusi terhadap
pencemaran PM2,5 sebesar 43%, dan juga polutan SO2 sebesar 67% dari total
beban emisi.
Kota Bogor merupakan salah satu perkotaan di Provinsi Jawa Barat
yang terus mengalami pertumbuhan penduduk. Seiring dengan
perkembangan DKI Jakarta, Kota Bogor juga telah menjadi tempat
bermukim untuk masyarakat yang bekerja di sekitar DKI Jakarta, sehingga
setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan jumlah penduduk.
Dengan kondisi tersebut tentunya berdampak pada bertambahnya
penggunaan kendaraan bermotor di Kota Bogor, terutama penggunaan
transportasi untuk pergi dan pulang dari tempat bekerja (commuter). Dari
sisi industri, pada tahun 2003 sebanyak 2722 unit industri telah beroperasi
di Kota Bogor. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan, dimana pada
tahun 2014 dan 2015 jumlah industri yang beroperasi di Kota Bogor
sebanyak 3991 dan 4056 (BPS 2017)
Konsentrasi pencemar udara di Kota Bogor dapat dipengaruhi oleh
faktor cuaca dan sumber pencemarnya sehingga dapat bervariasi secara
spasial maupun temporal. Faktor cuaca yang mempengaruhi konsentrasi
pencemar udara meliputi arah dan kecepatan angin, fluktuasi kecepatan
turbulensi dan stabilitas atmosfer (Stroh et al. 2005). Stabilitas atmosfer dan
kecepatan angin dapat mempengaruhi proses pembentukan dan penyebaran
emisi di permukaan (Pal 2014). Faktor cuaca lainnya seperti radiasi
matahari sangat berpengaruh terhadap konsentrasi pencemar udara terutama
pada siang dan malam hari (Finn et al. 2010).
Pengendalian peningkatan konsentrasi pencemar udara di Kota Bogor
tentunya diperlukan agar dampak yang ditimbulkan tidak terlalu besar. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pengendalian pencemaran udara
tersebut diantaranya melalui pemantauan atau pengukuran langsung di
lokasi-lokasi tertentu yang mempunyai potensi tercemar, serta mengenali
daerah-daerah sumber pencemar dan daerah-daerah yang berpotensi terkena
dampak. Chandra (2007) menyatakan bahwa salah satu indikator untuk
menentukan derajat suatu kasus pencemaran di suatu lokasi adalah dengan
mengukur konsentrasi pencemar udara di lokasi tersebut.
Berdasarkan penelitian Nishihashi et al. (2019), konsentrasi beberapa
zat pencemar udara di Kota Bogor lebih tinggi daripada daerah sekitarnya
2

seperti karbon monoksida yang mempunyai konsentrasi lebih dari 3400


µg/m3. Terkait konsentrasi partikulat, rata-rata konsentrasi PM10 di Kota
Bogor dari periode Januari 2017 sampai April 2018 sebesar 49 µg/m3
dengan nilai tertinggi 251 µg/m3 dan terendah 8 µg/m3, sedangkan rata-rata
konsentrasi PM2,5 sebesar 20,6 µg/m3 dengan nilai tertinggi 104,7 µg/m3 dan
terendah sebesar 2 µg/m3 (Nurhasanah 2019), serta partikulat lainnya yaitu
total suspended particulate (TSP) sebesar 510,04 µg/m3 (Martono 2003).
Timbal (Pb) yang terkandung di dalam partikel tersuspensi (TSP) juga telah
diukur dimana konsentrasi timbal di Kota Bogor mencapai 10,36 µg/m3
(Riyanto et al. 2016).
Parameter partikulat sebagai material yang berasal dari aktivitas
transportasi dan industri, tentunya dapat membahayakan kesehatan
masyarakat dan merusak lingkungan. Partikulat tersebut akan terhirup
melalui mulut dan hidung serta akan tertimbun dalam saluran pernafasan.
Karakteristik partikulat (ukuran dan distribusi partikulat) akan
mempengaruhi waktu tinggal di udara serta dampak yang akan timbul pada
kesehatan manusia. Keberadaan partikulat di udara akan mempengaruhi
tingkat morbiditas serta mortalitas manusia. Tingkat morbiditas yang
muncul biasanya gangguan pernafasan, iritas mata, alergi kulit bahkan
kanker paru-paru, sedangkan tingkat mortalitas (kematian) umumnya
menimpa negara-negara berkembang seperti pernyataan Onabowale et al.
(2015) dalam penelitiannya, dimana sekitar 28% dari penyakit dan kematian
disebabkan oleh partikulat.
Timbal sebagai logam berat yang timbul dari aktivitas transportasi dan
industri menjadi kontaminan lingkungan yang memiliki tingkat toksisitas
tinggi. Timbal menjadi polutan yang bersifat prevalens serta berdampak
signifikan terhadap kesehatan manusia, meskipun dalam bentuk organik
maupun anorganik. Tidak hanya bersifat sebagai polutan prevalens, timbal
juga bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan pertumbuhan sel kanker
pada tubuh manusia (Romanazzi et al. (2014); Li et al. (2015); Niu et al.
(2015); Pinto et al. (2015); Singh et al. (2016); Lyu et al. (2017)).
International Agency for Research on Cancer (IARC) telah
mengklasifikasikan logam anoorganik sebagai polutan yang bersifat
karsinogenik (Grup 2A) yang berbahaya terhadap kesehatan manusia dan
hewan (IARC 2006). Dengan melihat risiko kesehatan yang ditimbulkan
dari pencemaran partikulat dan timbal, tentunya penting untuk menganalisis
tingkat risiko partikulat dan timbal terhadap kesehatan masyarakat sebagai
akibat dari meningkatnya konsentrasi polutan tersebut.

1.2 Perumusan Masalah


Meningkatnya konsentrasi pencemar udara di Kota Bogor dipicu oleh
meningkatnya beragam aktivitas seperti aktivitas transportasi dan industri.
Setiap waktunya, konsentrasi pencemar udara di Kota Bogor berfluktuasi
yang dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan sumber pencemarnya. Pengukuran
konsentrasi pencemar udara dapat menjadi informasi perubahan tingkat
konsentrasi zat pencemar udara di Kota Bogor serta untuk mengetahui
tingkat risiko kesehatan mayarakat sebagai akibat dari pajanan zat pencemar
udara tersebut.
3

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, diajukan pertanyaan riset


sebagai berikut
1. Bagaimana variasi diurnal dan musiman konsentrasi partikulat dan
timbal di Kota Bogor ?
2. Bagaimana karakteristik risiko pencemaran partikulat dan timbal
terhadap kesehatan masyarakat Kota Bogor ?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis variasi diurnal dan musiman konsentrasi partikulat dan
timbal di Kota Bogor
2. Menganalisis karakteristik risiko partikulat dan timbal terhadap
kesehatan masyarakat Kota Bogor.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari hasil penelitian ini adalah:
1. Berdasarkan segi akademik/teoritik, penelitian ini bermanfaat untuk
menambah data riset tentang konsentrasi partikulat dan timbal di Kota
Bogor serta karakteristik risiko pencemaran partikulat dan timbal
terhadap kesehatan masyarakat di Kota Bogor.
2. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka
ilmiah bagi Pemerintah Kota Bogor dalam memecahkan masalah-
masalah lingkungan terhadap kesehatan masyarakat.

1.5 Kerangka Pemikiran


Untuk mengetahui tingkat konsentrasi pencemar udara di Kota Bogor,
dapat dilakukan melalui pengukuran secara kontinyu dan manual.
Pengukuran secara kontinyu tersebut diperlukan sebagai informasi awal
yang bersifat sebagai sistem peringatan dini terkait peningkatan konsentrasi
pencemar udara. Pengukuran secara manual dilakukan dengan cara
pengambilan sampel yang selanjutnya dianalisis di laboratorium.
Pengukuran secara kontinyu dan manual kualitas udara telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No 22 Tahun 2021 (Lampiran VII).
Partikulat (PM2,5, PM10, TSP) dan timbal menjadi zat pencemar yang
timbul sebagai akibat dari aktivitas manusia seperti aktivitas transportasi
dan industri. Konsentrasi partikulat dan timbal akan mengalami fluktuasi
setiap waktu dan berbeda setiap lokasi. Telah banyak penelitian yang
menyatakan bahwa keberadaan partikulat dan timbal di udara dapat
berbahaya terhadap kesehatan masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa
pengukuran potensi risiko kesehatan yang akan timbul akibat paparan
partikulat dan timbal penting untuk dilakukan. Salah satu metode yang dapat
digunakan untuk mengukur risiko kesehatan adalah analisis risiko kesehatan
lingkungan (ARKL).
4

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Menurut WHO (2016), konsentrasi partikulat yang tinggi telah


berdampak terhadap kematian secara global pada tahun 2006. Pope et al.
(2006) menyatakan bahwa peningkatan PM2,5 sebesar 10 µg/m3 dapat
meningkatkan angka kematian sebesar 1%. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Costa et al. (1997); Molinelli et al. (2002); Alvarez et al.
(2004); Behera et al. (2015) menyatakan bahwa partikulat yang diperkaya
dengan logam berat dapat berefek pada kesehatan manusia, serta
meningkatkan toksisitas partikulat serta dapat menyebabkan kerusakan
paru-paru atau kardiopolmunar (Costa et al. 1997; Ruzer et al. 2012). Salah
satu logam berat yang berasosiasi dengan partikulat yang berbahaya dan
bersifat karsinogenik adalah timbal.
Konsentrasi partikulat dan timbal yang berbeda tiap-tiap wilayah
tentunya akan menentukan tingkat risiko di wilayah tersebut. Tingkat risiko
(RQ) tersebut menyatakan apakah suatu wilayah berisiko terhadap
pencemaran partikulat dan timbal atau tidak berisiko. Apabila tingkat risiko
melebihi 1 (RQ > 1) maka diperlukan pengendalian pencemaran udara di
wilayah tersebut, dan apabila tingkat risiko kurang dari 1 (RQ < 1), maka
risiko tidak perlu dikendalikan dan yang perlu dilakukan adalah
mempertahankan agar nilai RQ tersebut tidak melebihi 1.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Melakukan analisis komparasi konsentrasi PM2,5 dan PM10 antara
siang dan malam hari.
2. Melakukan analisis korelasi konsentrasi PM2,5 dan PM10 antara
periode kering dan periode basah. Periode bulan kering dan bulan
basah ditentukan berdasarkan zona musim (ZOM) yang ditetapkan
oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
5

3. Menghitung tingkat risiko sepanjang hayat dari paparan secara


inhalasi polutan PM2,5, PM10, TSP dan Pb serta risiko kanker dari Pb
yang bersifat karsinogenik. Waktu paparan sepanjang hayat ditentukan
berdasarkan kriteria responden berupa residensial (pemukiman). Jalur
paparan secara inhalasi ditentukan berdasarkan jalur paparan dominan
polutan masuk ke dalam tubuh manusia.
6

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Wilayah Kota Bogor


Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106o 48’ BT dan 6o 26’
LS. Luas wilayah Kota Bogor sebesar 11.850 ha dengan ketinggian rata-rata
minimum 190 m dan maksimum 350 m dari permukaan laut, dengan kondisi
suhu rata-rata setiap bulan 27,3 ℃, kelembaban 82% dan curah hujan rata-
rata setiap bulannya mencapai 345 mm. Secara administratif, Kota Bogor di
kelilingi oleh Kabupaten Bogor dan berada dekat dengan ibukota DKI
Jakarta. Kondisi tersebut menjadikan Kota Bogor menjadi kota satelit atau
penyangga ibukota DKI Jakarta yang memiliki potensi strategis dalam
pertumbuhan ekonomi, transportasi, komunikasi dan pariwisata. Dengan
berbagai kondisi tersebut, Kota Bogor menjadi kota yang cukup diminati
untuk bermukim oleh masyarakat, sehingga setiap tahunnya Kota Bogor
mengalami peningkatan jumlah penduduk.

Tabel 1 Demografi penduduk Kota Bogor tahun 2016 - 2018


Jumlah penduduk Kepadatan penduduk
Kecamatan Luas wilayah (km2)*
(orang)* (jiwa/km2)**
Bogor Selatan 203.869 30,81 6616
Bogor Timur 107.259 10,15 10.567
Bogor Utara 199.200 17,72 11.241
Bogor Tengah 104.947 8,13 12.908
Bogor Barat 243.293 32,85 7406
Tanah Sareal 238.260 18,84 12.646
Total (2018) 1.096.828 118,50 9256
Total (2017) 1.081.009 118,50 9122
Total (2016) 1.064.687 118,50 8984
Sumber : *BPS (2018) , ** Dimodifikasi dari BPS (2018)

Kota Bogor memiliki 6 (enam) wilayah kecamatan yaitu Kecamatan


Bogor Barat, Bogor Timur, Bogor Tengah, Bogor Utara, Bogor Selatan dan
Tanah Sareal, dengan kecamatan terluas adalah Bogor Barat (32,85 km2).
Dari sisi demografi, setiap tahunnya jumlah penduduk di Kota Bogor telah
mengalami peningkatan. Tahun 2018, total jumlah penduduk di Kota Bogor
mencapai 1.096.828 dengan jumlah penduduk terbanyak berada di
Kecamatan Bogor Barat. Total jumlah tersebut mengalami peningkatan
sebesar 1,45% atau sebanyak 15.819 jiwa dari tahun 2017 atau memiliki laju
pertumbuhan setiap tahunnya sebesar 1,49% dari tahun 2016 hingga tahun
2018. Berdasarkan tingkat kepadatan penduduk, Kota Bogor mempunyai
tingkat kepadatan penduduk sebesar 9256 jiwa/km2, dengan Kecamatan
Bogor Tengah menjadi kecamatan yang paling padat penduduknya
mencapai 12.908 jiwa/km2, sedangkan Kecamatan Bogor Selatan menjadi
wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk terendah sebesar 6616
jiwa/km2. Tingkat kepadatan di Kota Bogor dari tahun 2016 sampai 2018
mengalami peningkatan. Tahun 2016 dan 2017, Kota Bogor memiliki
7

tingkat kepadatan penduduk masing-masing sebesar 8984 jiwa/km2 dan


9122 jiwa/km2.
Peningkatan jumlah dan tingkat kepadatan penduduk setiap tahunnya
tentunya berdampak pada peningkatan aktivitas transportasi di Kota Bogor.
Berdasarkan data dari BPS (2016), jumlah kendaraan yang terdaftar
mencapai 422.293 kendaraan. Tidak hanya pada sektor transportasi, sektor
industri di Kota Bogor juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2015,
jumlah industri di Kota Bogor mencapai 4056 unit usaha (Tabel 2), dimana
jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 1,63% dari jumlah industri
pada tahun 2014 (BPS 2017).

Tabel 2 Jumlah industri dan tenaga kerja industri di Kota Bogor tahun 2015
Jenis usaha Tenaga kerja Unit usaha
Potensi industri kimia, agro, dan hasil hutan
Industri besar dan menengah 8825 106
Industri kecil formal 6785 838
Industri kecil informal 7260 1897
Jumlah (I) 22.870 2841
Potensi industri logam, mesin, elektronika dan aneka
Industri besar dan menengah 25.988 63
Industri kecil formal 7420 363
Industri kecil informal 2882 789
Jumlah (II) 36.290 1215
Total (I+II) (2015) 4056
Total (2014) 3991
Dimodifikasi dari BPS (2017)

Kota Bogor tidak hanya dikenal sebagai kota penyangga DKI Jakarta,
tetapi juga dikenal sebagai kota yang memiliki banyak tempat wisata.
Kondisi tersebut menjadikan Kota Bogor memiliki daya tarik bagi
wisatawan lokal maupun mancanegara. Banyak lokasi-lokasi alam yang
dapat dikunjungi oleh wisatawan baik di daerah pegunungan ataupun pusat
Kota Bogor. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kota Bogor mengalami
peningkatan yang sangat besar, dimana tercatat sebanyak 5.262.224
pengunjung telah melakukan kunjungan wisata ke Kota Bogor pada tahun
2016, dengan laju peningkatan sebesar 9% dari tahun sebelumnya (BPS
2017). Dari total jumlah tersebut, sebanyak 1.532.666 pengunjung
menjadikan Kebun Raya Bogor (KRB) sebagai objek wisata yang
dikunjungi sehingga menjadikan KRB sebagai objek wisata primadona.
Tentunya dengan kondisi tersebut, Kota Bogor mengalami peningkatan
aktivitas transportasi terutama di akhir pekan dan libur panjang.

2.2 Pencemaran Udara dan Dampaknya Terhadap Kesehatan


Manusia
Udara mengandung berbagai jenis gas yang dibutuhkan makhluk
hidup baik untuk proses metabolisme dalam tubuh maupun untuk
menunjang aktivitas yang terdiri dari 78,08% volume nitrogen dan 20,95%
volume oksigen serta gas lainnya yang mempunyai volume kurang dari 1%.
8

Kondisi udara di atmosfer tersebut dapat dikontaminasi oleh zat pencemar


berupa padatan, gas dan cairan yang berasal dari proses secara alami seperti
letusan gunung berapi ataupun aktivitas manusia seperti industri dan
transportasi, dan ketika kontaminasi zat pencemar tersebut telah melebihi
ambang batas berpotensi udara menjadi tercemar. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No 22 Tahun 2021, pencemaran udara merupakan masuknya
atau dimasukkannya zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam udara
ambien oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara ambien turun sampai ke
tingkat tertentu dan menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi
fungsinya (PP 2021).
Secara umum, terdapat dua sumber zat pencemar udara yaitu sumber
alamiah seperti letusan gunung berapi, dan sumber dari kegiatan manusia
(antropogenik) seperti aktivitas transportasi dan industri. Selain itu zat
pencemar udara juga dibedakan menjadi zar pencemar primer (pencemaran
primer) dan sekunder (pencemaran sekunder). Pencemaran primer
merupakan substansi pencemar yang ditimbulkan langsung dari sumber
pencemaran udara seperti karbon monoksida, sedangkan pencemaran
sekunder merupakan substansi pencemar yang terbentuk dari reaksi zat
pencemar primer di atmsofer, salah satunya adalah ozon permukaan.
Setidaknya ada 6 jenis zat pencemar udara di atmsofer yang berdampak
terhadap kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya, berdampak buruk
pada sumberdaya lingkungan serta merusak properti, antara lain particulate
matter (PM), ozon (O3), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2),
nitrogen dioksida (NO2) dan timbal (Pb).
Partikulat merupakan salah satu pencemar udara di wilayah perkotaan
dimana zat ini merupakan campuran dari partikel padatan dan cairan yang
tersebar luas di udara. Pada umumnya bahan utama penyusun partikulat
terdiri dari sulfat, nitrat, ammonium, dan ion organik seperti kalsium,
sodium, nikel, tembaga, vanadium, dan zink. Menurut Sarudji (2010),
partikulat atau yang biasa disebut dengan debu adalah sebagian besar dari
komposisi emisi polutan yang berasal dari berbagai macam sumber seperti
aktivitas kendaraan, industri atau pabrik semen serta pembuangan sampah
terbuka. Berdasarkan proses pembentukannya, partikulat terdiri dari
partikulat primer yang dipancarkan ke atmosfer melalui proses mekanis dan
pembakaran aktivitas industri serta transportasi yang mengandung karbon,
senyawa organik, serta partikulat sekunder yang terbentuk dari transformasi
kimia gas yang termasuk ke dalam kelompok volatile organic compound
(VOCs), oksida belerang dan nitrogen oksida.
Partikulat dapat berasal dari aktivitas antropogenik dan proses alami.
Sumber partikulat yang bervariasi tersebut dapat menyebabkan ukuran dan
penyusun partikel berbeda-beda. Partikulat terdiri dari 4 klasifikasi (Gambar
2), diantaranya TSP dengan ukuran diameter < 30µm, PM10 dengan ukuran
diameter < 10 µm, PM2,5 (fine particulate) berukuran 2,5 µm yang akan
menembus lebih dalam ke tubuh manusia dan akan mempengaruhi sistem
pernafasan, serta ultrafine partikulat berukuran 0,1 µm (Johnson et al. 2011).
Distribusi ukuran partikel dapat mempengaruhi waktu tinggal partikel di
udara serta menentukan dampak pada kesehatan manusia.
9

Gambar 2 Distribusi ukuran partikel


Partikulat dikenal sebagai kontributor utama zat pencemar yang
berdampak terhadap kesehatan. Kondisi tersebut mendapat banyak perhatian,
terutama di negara-negara berkembang yang mengalami proses urbanisasi
karena aktivitas industri dan transportasi yang meningkat (Abiye et al.
2013). Xing (2016) menyatakan bahwa partikulat yang telah terhirup oleh
manusia erat kaitannya dengan tingkat morbiditas (tingkat yang sehat dan
sakit) serta mortalitas (tingkat kematian). Onabowale et al. (2015)
menyatakan bahwa sekitar 28% dari penyakit dan kematian disebabkan oleh
partikulat yang disebabkan oleh pencemar udara di negara berkembang.
Pencemaran udara di India juga telah mengakibatkan kematian sekitar
10.000 sampai 30.000 setiap tahunnya (Gopalaswami 2016). Dampak akut
dari paparan jangka pendek dari pencemaran partikulat (PM2,5 dan PM10)
telah meningkatkan jumlah kematian pasien rawat inap di rumah sakit
karena terganggunya sistem pernafasan dan menyebabkan kardiovaskular,
sedangkan dampak tidak akutnya dari paparan partikel dalam jangka pendek
telah memburuknya gejala asma dan badan terasa tidak nyaman yang
mengarah pada menurunnya tingkat produktivitas (COMEAP 2009; AQEG
2012). Dampak jangka panjang dari pencemaran partikulat adalah
meningkatkan risiko penyakit jantung serta penyakit pernafasan yang lebih
fatal salah satunya adalah kanker paru-paru (AQEG 2012), serta dapat
meningkatkan risiko kematian. COMEAP (2009) menyatakan bahwa
kenaikan konsentrasi PM2,5 setiap 10 µg/m3 dapat meningkatkan risiko
kematian sebanyak 6%. PM2,5 juga dapat memberikan dampak negatif
dalam menghambat pertumbuhan tinggi badan, dimana pernyataan ini
selaras dengan yang dinyatakan Tan-Soo dan Pattanayak (2019) yang
menyatakan bahwa paparan partikulat telah menurunkan status gizi tinggi
badan menurut usia sebesar 0,41 (ekuivalen dengan 3,4 cm).
Dalam penelitian lainnya dijelaskan bahwa konsentrasi partikulat yang
meningkat dapat berdampak negatif terhadap kesehatan manusia (Jiang et al.
2015; Lelieveld et al. 2015; Powell et al. 2015; Pedersen et al. 2016),
menurunkan tingkat visibilitas (Field et al. 2009; Han et al. 2012; Langridge
et al. 2012; Kusumaningtyas dan Aldrian 2016). Secara global, dampak dari
pencemaran udara jangka panjang akan menyebabkan setidaknya 3%
kematian akibat kardiopolmuner dan 5% kematian akibat kanker paru-paru.
10

Pencemaran udara juga dapat menurukan kemampuan kognitif,


meningkatkan kecemasan, berdampak negatif pada psikologis (Lavy et al.
2014; Pun et al. 2017), serta berdampak negatif pada kesehatan kinerja atlet
(Chimenti et al. 2009; Rundell 2012) seperti dalam penelitian Lichter et al.
(2015) dimana peningkatan 1% konsentrasi PM10 dapat menurunkan
performa pemain sepak bola sebesar 0,02%.
Secara sifat kimia, timbal memiliki titik lebur yang rendah yang
mudah dibentuk serta umumnya digunakan untuk melapisi logam agar tidak
berkarat. Timbal memiliki nomor atom dan berat atom masing-masing 82
dan 207,2 dengan titik leleh 1740 ℃ dan massa jenis 11,34 g/cm3.
Penyebaran timbal di bumi sangat sedikit, yaitu sekitar 0,0002% dari jumlah
seluruh kerak bumi, dan jumlah ini sangat sedikit apabila dibandingkan
dengan jumlah kandungan logam berat lainnya yang ada di bumi (Palar
2008). Timbal memiliki sifat yang lentur, lembut dan tahan terhadap korosi
sehingga timbal banyak digunakan pada bensin untuk kendaraan, cat,
pestisida dan penggunaan yang besar pada industri baterai. Akan tetapi,
timbal menjadi unsur kimia yang berbahaya karena timbal merupakan satu
diantara logam berat yang beracun dan bersifat karsinogenik bagi makhluk
hidup dan lingkungan, terutama karena sifatnya yang tidak terurai dan dapat
terakumulasi di lingkungan, bahkan timbal digolongkan menjadi logam
berat yang mempunyai sifat toksik yang sangat tinggi (Connell dan Miller
1995)
Timbal merupakan logam berat yang berpotensi mencemari air, udara
dan tanah. Terjadinya pencemaran timbal bersumber dari beberapa aktivitas,
salah satunya adalah aktivitas transportasi terutama pada penggunaan bensin
sebagai anti-knock. Penggunaan timbal pada bensin ditujukan untuk
menaikan angka oktan karena tingkat sensitivitas timbal yang sangat tinggi.
Setiap 0,1 gram timbal per liter bensin dapat menaikan nilai oktan 1,5
sampai 2 satuan. Timbal tersebut akan bercampur dengan bahan lainnya
seperti oli dan akan keluar sebagai gas buang dari knalpot kendaraan
bermotor bersama dengan gas buang lainnya (Sudarmaji et al. 2006).
Logam berat timbal akan mencemari lingkungan sekitar 75% dan 25% tetap
berada dalam mesin. Timbal yang diemisikan melalui knalpot merupakan
timbal dalam bentuk timbal anorganik (70%), tetraakyl lead (1%) dan
sisanya berad dalam sistem exhaust dan oli mesin (Mukono 2002). Menurut
Surani (2002), emisi timbal akan menimbulkan pencemaran dimanapun
kendaraan tersebut berada dengan tahapan sebanyak 10% akan mencemari
lokasi dalam radius kurang dari 100 m, 5% akan mencemari lokasi dalam
radius 20 km dan 35% lainnya akan terbawa oleh atmosfer dalam jarak yang
cukup jauh.
Timbal yang berada pada tubuh manusia dapat berasal dari makanan
dan minuman, udara, lingkungan umum maupun lingkungan kerja yang
tercemar oleh timbal. Timbal yang masuk ke dalam tubuh manusia dapat
melalui saluran pernafasan dan saluran pencernaan, serta dapat terabsorpsi
melalui kulit. Sebanyak 85% timbal akan masuk ke dalam tubuh melalui
pernafasan, 14% melalui pencernaan dan sebanyak 1% melalui kulit. Selain
itu, timbal akan terabsorbsi ke dalam aliran darah manusia sebanyak 30
11

sampai 40% dan sekitar 95% timbal dalam akan terikat oleh eritrosit (Palar
2008).
Ukuran timbal yang masuk ke dalam tubuh manusia berbeda-beda,
sehingga ukuran ini dapat menimbulkan dampak kesehatan yang berbeda.
Ukuran partikel yang lebih kecil dari 10 µg dapat tertahan di paru-paru,
sedangkan ukuran partikel yang lebih besar dari mengendap di saluran
pernafasan bagian atas. Absorpsi timbal melalui saluran pernafasan
dipengaruhi oleh tiga proses yaitu deposisi, pembersihan mukosiliar dan
pembersihan alveolar, dan rata-rata timbal yang terabsorpsi melalui paru-
paru sekitar 10 sampai 30%, dan melalui saluran pencernaan sekitar 5
sampai 10% (Palar 1994).
Masukan timbal ke dalam tubuh manusia dapat mencapai 100 hingga
300 µg/hari dan diabsorpsi melalu inhalasi uap timbal dan partikel dari
lingkungan yang berpolusi (Ardyanto 2005). Timbal bersifat akumulatif
dalam tubuh dan dapat merusak seluruh sistem organ dalam tubuh. Selain
itu, timbal dapat terakumulasi dalam rambut dan jumlah logam dalam
rambut berkorelasi dengan jumlah logam yang diabsorpsi oleh tubuh karena
rambut banyak mengandung protein struktural yang tersusun dari asam
amino sistein yang mengandung gugus sulfur hidril (-SH) dan sistein
dengan ikatan disulfida (-S- S-).
Paparan timbal yang masuk ke dalam tubuh manusia dapat
menimbulkan berbagai risiko kesehatan. Ganggtuan neurologi merupakan
salah satu risiko kesehatan yang disebabkan oleh paparan timbal yang
berupa encephalopathy, ataxia, stupor dan coma. Gangguan lainnya yang
menjadi risiko kesehatan diantaranya gangguan terhadap fungsi ginjal,
sistem reproduksi, sistem hemopoitik dan sistem syaraf. Konsentrasi Pb
dalam darah dapat mendiagnosa tingkat keracunan serta dapat digunakan
untuk menentukan tingkat bahaya terhadap kesehatan masyarakat. Kadar
normal Pb dalam normal orang dewasa berkisar antara 10 sampai 25 µg/100
ml darah (Abadin et al. 2007), sedangkan anak-anak sekitar 10 µg/dl (CDC
2007). salah satu kejadian tingginya kadar Pb dalam darah anak-anak terjadi
di Cinangka, dimana rata-rata kadar Pb dalam anak sebesar 14,70 µg/dl
dengan kadar Pb tertinggi sebesar 52,11 µg/dl (Annashr et al. 2020). Selain
itu, paparan timbal juga dapat meningkatkan risiko kanker karena sifatnya
yang karsinogenik. Dalam penelitian Wijngaarden dan Dosemeci (2006)
peningkatan risiko kanker otak terjadi pada pekerja industri yang terdapat
paparan timbal dengan relative risk sebesar 1,5.

2.3 Pengaruh Cuaca Terhadap Konsentrasi Pencemar Udara


Faktor cuaca menjadi pengaruh dalam peningkatan dan penyebaran
konsentrasi pencemar udara di perotaan. Pal (2014) menjelaskan bahwa
tidak hanya sumber pencemar yang mempengaruhi tingkat konsentrasi
pencemar, tetapi juga faktor cuaca yang berperan besar dalam proses
dispersi, difusi, transformasi, dan transportasi pencemar. Dua di antara
faktor cuaca yang mempengaruhi tingkat konsentrasi pencemar udara di
perkotaan adalah curah hujan serta arah dan kecepatan angin.
Curah hujan menjadi salah satu parameter cuaca yang dapat
menetukan konsentrasi polutan di udara. Butiran air hujan atau rain drop
12

berperan dalam membersihkan polutan di udara dengan mengumpulkan


polutan dan membawanya ke permukaan tanah. Proses pembersihan
pencemar udara oleh hujan terjadi melalui proses rain out dan wash out.
Dua prorses tersebut memiliki perbedaan pada mekanisme pengikatan
partikel, dimana proses rain out berperan sebagai inti kondensasi pada saat
pembentukan butiran air, sedangkan proses wash out berperan dalam
pembersihan pencemar udara pada saat air hujan turun.
Kwak et al. (2017) menyatakan bahwa curah hujan memiliki efek
langsung dan tidak langsung terhadap konsentrasi pencemar udara. Efek
langsungnya adalah efek wash out dalam mengurangi konsentrasi zat
pencemar udara sampai batas tertentu dimana terjadinya hujan awal
memiliki potensi pembersihan yang lebih efektif (Koester dan Hites 1992),
sedangkan efek tidak langsungnya adalah dengan terjadinya hujan dapat
mengakibatkan peningkatan volume lalu lintas (kemacetan) serta penurunan
kecepatan kendaraan.
Konsentrasi pencemar udara juga dipengaruhi oleh faktor angin.
Angin merupakan udara yang bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi
menuju daerah bertekanan rendah atau bergerak dari daerah yang bersuhu
rendah ke daerah yang bersuhu tinggi. Angin menjadi penggerak transport
partikulat, dimana komponen yang berpengaruh terhadap proses distribusi
partikulat di udara ambien adalah arah dan kecepatan angin. Arah angin
dapat menentukan arah sebaran zat pencemar di permukaan, sedangkan
kecepatan angin berfungsi untuk pengenceran polutan dan dispersi polutan
dari sumber emisi. Pada kecepatan angin yang rendah zat pencemar dapat
menumpuk di sekitar sumber dan akan terdispersi ke lokasi lain ketika
kecepatan angin bertambah (Latini et al. 2002). Kecepatan dan arah angin
akan menentukan sejauh mana zat pencemar akan tersebar ke suatu wilayah.

2.4 Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan


Keberadaan partikulat dan timbal di udara tentunya akan memberikan
dampak terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Meningkatnya
konsentrasi partikulat dan timbal di suatu perkotaan sering terjadi, tetapi
terkadang belum diketahui potensi risiko yang akan timbul sebagai akibat
pajanan polutan tersebut. Analisis risiko kesehatan lingkungan (ARKL)
menjadi satu diantara metode yang dapat digunakan untuk mengkaji dampak
lingkungan terhadap kesehatan.
Di Indonesia, umumnya dampak lingkungan terhadap kesehatan masih
dikaji secara epidemiologis, sehingga ARKL ini masih belum banyak
dikenal dan digunakan oleh para peneliti, pemerintah dan para stakeholder
terkait untuk mengestimasi risiko pada kesehatan manusia. Ada banyak
definisi tentang ARKL, berikut beberapa definisi terkait ARKL. Louvar dan
Louvar (1998) menyatakan bahwa ARKL sebagai kerangka ilmiah yang
digunakan untuk memecahkan permasalahan lingkungan dan kesehatan.
Definisi lainnya menyatakan bahwa ARKL sebagai evaluasi ilmiah dampak
kesehatan potensial yang terjadi karena paparan tertentu/campurannya pada
kondisi yang spesifik (USEPA 1990a, 1990b). Sementara itu, WHO (2009)
menyebutkan ARKL sebagai suatu proses untuk memprakirakan risiko pada
suatu organisme, sistem atau (sub) populasi sasaran dengan segala
13

ketidakpastiannya setelah menerima paparan agen risiko tertentu dengan


memperhatikan karakteristik agen dan sasaran yang spesifik. Di Indonesia,
ARKL merupakan sebuah pendekatan untuk analisis dampak kualitas
lingkungan (ADKL) sehingga ARKL mempunyai landasan hukum dalam
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 08 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyusunan Amdal dan Keputusan Menteri Kesehatan No
876/Menkes/SK/VIII/2001 tentang Pedoman Teknis ADKL (Ma’rufi 2017).
ARKL merupakan suatu pendekatan untuk mengestimasi risiko pada
kesehatan manusia, termasuk identifikasi terhadap adanya faktor
ketidakpastian, penelusuran pada pajanan tertentu, memerhitungkan
karakteristik yang melekat pada agen risiko yang menjadi perhatian dan
karakteristik dari sasaran yang spesifik. Metode ini menjadi dasar untuk
menyusun suatu proses pengelolaan dan monitoring kesehatan lingkungan
serta menjadi metode yang cukup memadai untuk mengkaji dampak
kesehatan pada kasus-kasus pencemaran yang sifatnya umum (Rahman
2007), serta menjadi alat untuk memprakirakan peningkatan risiko
kesehatan pada manusia yang terpajan (NRC 1983).
Untuk lebih memahami tentang ARKL, ada beberapa istilah yang
perlu dipahami seperti risiko dan bahaya. Risiko merupakan suatu
probabilitas efek yang merugikan pada suatu organisme, sistem atau (sub)
populasi yang disebabkan oleh pajanan suatu agen risiko dalam keadaan
tertentu. Adapun bahaya merupakan sifat yang melekat pada agen risiko
yang berpotensi merugikan jika suatu organisme, sistem, dan (sub) populasi
terpajan oleh agen risiko tersebut (WHO 2009). Bahaya lingkungan terdiri
dari tiga agen risiko yaitu bahan-bahan kimia, fisika seperti energi radiasi
dan gelombang elektromagnetik berbahaya, serta agen risiko bersifat
biological. Dalam metode ARKL, risiko berbeda dengan bahaya. Bahaya
merupakan suatu potensi risiko, sedangkan risiko tidak akan terjadi apabila
syarat-syarat seperti toksisitas agen risiko dan pola pajanannya tidak
terpenuhi. Meskipun agen risiko tertentu bersifat toksik, tidak akan berisiko
apabila tidak memajani dengan dosis dan waktu tertentu.
Analisis risiko kesehatan lingkungan terdiri dari tiga langkah utama
yaitu penelitian, analisis risiko dan manajemen risiko. Analisis risiko terdiri
dari empat langkah, yaitu identifikasi bahaya, analisis dosis-respon, analisis
pemajanan atau paparan, serta karakteristik risiko yang dinyatakan dengan
tingkat risiko, sedangkan manajemen risiko terdiri dari evaluasi risiko,
pengendalian emisi dan pajanan, serta pemantauan risiko. Dalam
manajemen risiko perlu melibatkan beberapa pertimbangan politik, ekonomi,
sosial, dan teknik yang relevan dengan pengembangan, analisis, pemilihan
dan pelaksanaan mitigasi risiko yang disebabkan oleh bahaya-bahaya
lingkungan. Dengan demikian, manajemen risiko bukan bagian dari analisis
risiko, tetapi kelanjutan dari analisis risiko. Tahapan selanjutnya dari ARKL
adalah komunikasi risiko. Tahapan ini bertujuan untuk mengkomunikasikan
pilihan-pilihan manajemen risiko kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Manajemen dan komunikasi risiko akan bergantung kepada karakteristik
agen risiko, pola paparan, individu atau populasi yang terpajan, kondisi
sosio-demografi serta kelembagaan atau pemerintah setempat.
14

Analisis risiko kesehatan lingkungan berbeda dengan epidemiologi


kualitas lingkungan (EKL). Banyak yang masih berpendapat bahwa EKL
menjadi satu-satunya metode yang digunakan untuk mengkaji dampak
lingkungan terhadap kesehatan. Menurut Rahman (2007), setidaknya ada
tujuh (7) perbedaan antara ARKL dan EKL, yaitu : 1) nilai pajanan dalam
metode ARKL dinyatakan sebagai intake, sedangkan dalam EKL tidak
memperhitungkan nilai pajanan, 2) variabel antropometri, konsentrasi agen
risiko, dan pola aktivitas diperlukan untuk menentukan nilai pajanan,
sedangkan dalam EKL tidak diperlukan variabel antropometri dan pola
aktivitas, hanya diperlukan data konsentrasi agen risiko, 3) dalam ARKL
nilai pajanan efek karsinogenik dan non karsinogenik dibedakan, sedangkan
dalam EKL teknis analisis karsinogenik dan nonkarsinognik sama, 4) dalam
ARKL, efek kesehatan yang timbul tidak dimaksud untuk mencari
hubungan atau pengaruh dampak lingkungan terhadap kesehatan, sedangkan
dalam EKL ditentukan dengan pernyataan risiko (odd ratio, relative risk), 5)
karakteristik risiko dalam ARKL dinyatakan dengan tingkat risiko (RQ)
untuk efek nonkarsinogenik dan cancer risk (CR) untuk efek karsinogenik, 6)
manajemen risiko dalam ARKL dinyatakan secara kuantitatif seperti
penetapan baku mutu dan pengurangan konsentrasi agen risiko, sedangkan
pengelolaan dan komunikasi risiko bukan bagian integral studi EKL, 7)
EKL umumnya dilakukan atas dasar kejadian penyakit atau kondisi
lingkungan yang bersifat spesifik, sedangkan ARKL dinyatakan sebagai
agent specific dan site specific.

Gambar 3 Tahapan analisis risiko ( Louvar dan Louvar 1998)

Ada beberapa data dan informasi yang perlu dipenuhi untuk memulai
kajian ARKL. Data tersebut meliputi jenis agen risiko atau polutan, dosis
referensi untuk setiap jenis agen risiko, media lingkungan yang terdiri dari
air, udara, tanah dan media lingkungan lainnya), konsentrasi agen risiko,
jalur pajanan agen risiko, serta gangguan kesehatan.
15

2.5 Poin Penting Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu


Penelitian-penelitian terkait pencemaran udara telah banyak dilakukan
dengan berbagai keluaran (output) yang dihasilkan, dimana pada umumnya
keluaran tersebut akan dibandingkan atau dikorelasikan dengan sumber
pencemar atau faktor yang mempengaruhinya. Sumber pencemar yang
menjadi penyebab utama pencemaran udara di perkotaan salah satunya
adalah aktivitas transportasi dengan beberapa zat pencemar udaranya seperti
partikulat dan timbal (Gunawan 2015). Penelitian pencemaran udara dari
aktivitas transportasi di suatu daerah umumnya dilakukan melalui
perhitungan volume kendaraan di beberapa lokasi penelitian yang dianggap
mewakili daerah tersebut. Faktor yang mempengaruhi peningkatan dan
penyebaran zat pencemar udara adalah faktor cuaca, dan faktor cuaca yang
sering dianalisis meliputi curah hujan, serta arah dan kecepatan angin
(Marhaeni 2018). Pencemaran udara di perkotaan akan meningkatkan risiko
dan memberikan dampak terhadap kesehatan masyarakat. Dampak
kesehatan yang muncul akan dipengaruhi oleh jenis zat pencemar udara
serta tingkat konsentrasinya, seperti paparan timbal yang bersifat
karsinogenik dapat meningkatkan risiko kanker bagi masyarakat yang dapat
dianalisis dengan metode cancer risk (CR). Risiko kesehatan lainnya juga
dapat dianalisis dengan menggunakan metode relative quotient (RQ) untuk
parameter PM2,5, PM10 TSP, serta metode perhitungan risiko kesehatan
lainnya.
Beberapa penelitian terkait risiko kesehatan dari paparan pencemaran
udara telah banyak dilakukan. Chalvatzaki et al. (2019) telah menghitung
perkiraan risiko kesehatan laki-laki dewasa dan anak-anak dari paparan
partikulat dan logam berat di beberapa kota di Eropa yaitu Athena, Kuopio
dan Lisbon dimana hasil penelitiannya menunjukan resiko kesehatan dari
partikulat akan lebih tinggi terjadi pada anak-anak daripada dewasa karena
fraksi penyimpanan anak-anak lebih tinggi dari dewasa. Rahman et al.
(2008) juga telah melakukan penelitian terkait analisis risiko kesehatan dari
paparan di beberapa lokasi pertambangan kapur dimana hasilnya adalah
tingkat risiko kesehatan lebih tinggi terjadi pada pekerja dan masyarakat di
lokasi pertambangan sampai dengan jarak 5 km dan semakin aman ketika
menjauh dari lokasi pertambangan. Selain itu, terdapat analisis manajemen
risiko yang bertujuan untuk mengurangi tingkat risiko yang dihasilkan oleh
aktivitas pertambangan.
16

Tabel 3 Poin penting beberapa hasil penelitian terdahulu


Metode
Judul Penelitian Penulis Keluaran
Pengumpulan Data Analisis Data
Pencemaran udara akibat Indrayani et al. 1. Classified traffic counting survey 1. Analisis regresi 1. Data kualitas udara di setiap
kinerja lalu-lintas kendaraan (2018) 2. Pemantauan kualitas udara linear berganda titik pengamatan
bermotor di Kota Medan dilakukan selama 3 hari (Impinger 2. Uji R 2. Korelasi volume mobil
Air Sampler) angkutan barang dan
penumpang terhadap kualitas
udara
Tingkat pencemaran udara Gunawan 1. Pengukuran langsung (pkl 09.00 - Metode statistik 1. Kualitas udara TSP dan Pb di
debu dan timbal di (2015) 14.00) selama 9 semester sederhana gerbang tol Purbaleunyi setiap
lingkungan gerbang tol 2. Analisis gravimteri (TSP) semester
3. Analisis ekstraktif dan pengabuan 2. Hubungan konsentrasi TSP dan
(Pb) Pb

Analisis risiko kesehatan Ma’rufi (2017) 1. Pengukuran parameter SO2, H2S, Analisis Risiko 1. Kadar tiap-tiap parameter
lingkungan (SO2, H2S, NO2 NO2 dan TSP di jalan utama Kesehatan Lingkungan 2. Tingkat risiko tiap-tiap polutan
dan TSP) akibat transportasi Surabaya 3. Manajemen risiko
kendaraan bermotor di
Surabaya
Analisis tingkat pencemaran Sagita (2017) Pengukuran kualitas udara secara Uji korelasi Pearson 1. Pemetaan ISPU
udara berdasarkan musim di kontinu Tahun 2013-2016 2. Analisis Perbandingan ISPU
Kota Tangerang berdasarkan musim

Pengaruh faktor meteorologi Marhaeni 1. Data curah hujan, arah dan Analisi regresi dan 1. Fluktuasi diurnal PM10 dan O3
terhadap fluktuasi konsentrasi (2018) kecepatan angin DKI Jakarta korelasi di DKI Jakarta Tahun 2014-
PM10 dan O3 di DKI Jakarta 2014-2015 2015
2. Data kualitas udara dibuat pola 2. Hubungan antara faktor cuaca
diurnal dan polutan
3. Nilai korelasi parameter cuaca
dengan PM10 dan O3
17

Greenhouse gases and air Nishihashi et Pengukuran secara kontinyu di 3 titik Analisis perbandingan Konsentrasi zat pencemar udara di 3
pollutants monitoring project al. (2019) pengamatan tiap-tiap konsentrasi di kota di Jabodetabek
around Jakarta megacity setiap titik pengukuran

Analisis risiko kesehatan Rahman et al. 1. Kuisioner kepada 450 orang Analisa potensi risiko Konsentrasi partikulat, Analisis
lingkungan pertambangan (2008) responden yang terbagi di 5 lokasi kesehatan dosis-respon, analisis pemajanan,
kapur di Sukabumi, Cirebon, untuk mengumpulkan data terkait karakteristik risiko
Tegal, Jeparan dan Tulung berat badan, pola aktivitas,
Agung frekuensi dan durasi paparan
2. Pengukuran konsentrasi
pencemaran udara di 5 lokasi
Estimation of the personal Chalvatzaki et Pengukuran konsentrasi partikulat dan Exposure Dose Model 2 Konsentrasi partikulat dan distribusi
deposited dose of particulate al. (2018) logam berat di stasium Global (ExDOM 2) ukurannya, Personal Deposite Dose
matter and particle-bound Atmosphere Watch (GAW) Aerosols dan Internal Dose
metals using data from Clouds and Trace Gases Research
selected European cities Infrastructure (ACTRIS)

Characterization of human Chalvatzaki et Sampling parameter PM dan logam Potensi risiko kesehatan Konsentrasi logam berat di udara
health risks from particulate al. (2019) berat di tiga kota di Eropa untuk logam berat, ambien, Hazard Quotients dan
air pollution in selected risiko relatif parameter Cancer Risks, Excess Risk dan
European cities PM10 dan PM2,5 Attributable Mortality
Analisis risiko pajanan debu Siswati dan Data sekunder berupa data pengukuran Analisis Risiko Konsentrasi debu di unit packer PT.
(TSP) di Unit Packer PT.X Diyanah debu di unit packer PT. X Kesehatan Lingkungan X
(2017) (ARKL) Karakteristik risiko di tiap-tiap unit
packer PT. X
Manajemen risiko (konsentrasi aman
debu, waktu pajanan yang aman, dan
durasi pajanan yang aman.
18

III METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Pengukuran konsentrasi zat pencemar udara dilakukan di setiap
kecamatan di Kota Bogor (Gambar 4) yang meliputi :
1. Bogor Barat : 6o33'49'' LS dan 106o45'39'' BT
2. Bogor Timur : 6o37'32'' LS dan 106o49'12'' BT
3. Bogor Tengah : 6o36'05'' LS dan 106o48'10'' BT
4. Bogor Utara : 6o33'48'' LS dan 106o48'28'' BT
5. Bogor Selatan : 6o36'46'' LS dan 106o47'28'' BT
6. Tanah Sareal : 6o33'40'' LS dan 106o47'18'' BT

Gambar 4 Lokasi pengukuran


Penelitian dan analisa data dilakukan selama lima bulan yaitu dimulai
dari bulan Juli sampai dengan November 2020 dengan rincian kegiatan
seperti pada Tabel 4.
Tabel 4 Jadwal kegiatan penelitian
Septemb Novemb
Juli Agustus Oktober
Kegiatan er er
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Analisis diurnal dan musiman
Pengumpulan data ke DLH Kota
√ √ √ √
Bogor/ Instansi terkait
Pengolahan data √ √ √ √
Pembahasan √ √
Analisis karakteristik risiko kesehatan
Survey ke responden √ √ √ √ √ √ √
Pembahasan √ √ √
19

3.2 Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aerosol
chemical speciation analyzer (ACSA-14) untuk memantau konsentrasi
PM2,5 dan PM10 secara real-time, high volume air sampler (HVAS) untuk
sampling PM2,5, PM10 dan TSP selama 24 jam, timbangan analitik dengan
ketelitian 0,1 mg, barometer, manometer diferensial, termometer dan
desikator. Untuk parameter timbal (Pb) peralatan yang digunakan adalah
spektrofotometer serapan atom (SSA), pemanas listrik yang dilengkapi
pengaturan suhu, labu ukur (50 ml, 100 ml, dan 1000 ml), gelas piala 200
ml dan 250 ml, gelas ukur 100 ml dan 1000 ml, pipet volumetrik (0,5 ml, 1
ml, 2 ml, 4 mL, 6 ml, 10 ml), kaca arloji, filter berpori 80 µm diameter 125
mm atau 110 mm, gunting dan corong gelas. Untuk mengukur curah hujan
dan arah serta kecepatan angin menggunakan weather sensor.
Penelitian ini juga memerlukan bahan berupa sampel PM2,5, PM10,
TSP dan Pb, filter serat kaca, larutan asam nitrat, larutan asam klorida, gas
etilen, air demineralisasi yang bebas logam, hidrogen peroksida 30%,
larutan induk timbal 1000 mg/L. Untuk analisa data, perangkat yang
digunakan adalah perangkat lunak statistical product and service solutions
(SPSS).

3.3 Jenis dan Sumber Data


Data PM2,5, PM10, TSP dan Pb yang diukur secara manual selama 24
jam diperoleh dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bogor. Data PM2,5
dan PM10 yang diukur secara kontinyu diperoleh dari Centre for Climate
Risk and Oppoptunity Management in Southeast Asia Pasific (CCROM -
SEAP), Kecamatan Bogor Tengah. Tidak hanya data konsentrasi partikulat
dan timbal yang diukur, penelitian ini juga memerlukan data variabel
antropometri yang diperoleh melalui survey dan kuisioner ke masyarakat di
setiap kecamatan di Kota Bogor. Untuk mempermudah pemahaman
mengenai data penelitian yang digunakan, telah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis dan sumber data


Instrumen pengumpulan
Data Unit Sumber data
/pengukuran
Konsentrasi PM2,5,
µg/m3 ACSA-14 Kimoto CCROM - IPB
PM10
Konsentrasi PM2,5,
µg/m3 HVAS - Gravimetri DLH Kota Bogor
PM10, TSP
Spektrofotometer Serapan
Konsentrasi Pb µg/m3 DLH Kota Bogor
Atom - Destruksi Basah
Weather Sensor (WXT520,
Curah Hujan mm CCROM - IPB
Vaisala)
Arah dan Kecepatan
m/s Anemometer CCROM - IPB
Angin
Berat Badan Kg Kuisioner Survey
Usia Tahun Kuisioner Survey
20

3.4 Prosedur Analisis Data


3.4.1 Metode Pengumpulan Data
a) Variasi Diurnal dan Musiman Konsentrasi Partikulat dan Timbal
di Kota Bogor
Data konsentrasi partikulat dan timbal yang diukur secara
manual selama 24 jam diperoleh dari DLH Kota Bogor. Partikulat dan
timbal ditangkap dengan menggunakan alat high volume air sampler
(HVAS) dengan metode gravimetri dan destruksi basah. Periode
pengukuran secara manual dilakukan dari tahun 2016 sampai tahun
2020 di setiap kecamatan.
Data konsentrasi PM2,5 dan PM10 yang diukur secara real-time
dan kontinyu merupakan data hasil pengukuran langsung di CCROM-
SEAP yang bekerjasama dengan National Institute for Environmental
Studies (NIES-Jepang). Periode pengukuran PM2,5 dan PM10
dilakukan dari bulan Januari 2019 sampai dengan bulan Juni 2020.
Data yang diperoleh dari pengukuran secara otomatis akan dihitung
untuk memperoleh nilai rata-rata siang hari dan malam hari.
Konsentrasi rata-rata PM2,5 dan PM10 siang hari akan dihitung dari
pukul 07.00 sampai pukul 16.00 WIB, sementara konsentrasi rata-rata
PM2,5 dan PM10 malam hari akan dihitung dari pukul 19.00 sampai
pukul 04.00 WIB. Analisis faktor cuaca yang dilakukan adalah curah
hujan untuk melihat konsentrasi zat pencemar udara pada bulan basah
dan kering serta arah dan kecepatan angin.

b) Karakteristik Risiko Partikulat dan Timbal Terhadap Kesehatan


Masyarakat Kota Bogor
Menghitung tingkat risiko partikulat dan timbal terhadap
kesehatan masyarakat Kota Bogor dapat menggunakan data
konsentrasi partikulat dan timbal yang diperoleh dari hasil pengukuran
di setiap kecamatan. Selain itu, data yang digunakan untuk
menghitung tingkat risiko terhadap kesehatan antara lain laju
pernafasan, waktu paparan, frekuensi paparan, durasi paparan, berat
badan, serta waktu rata-rata yang diperoleh dari survey kuisioner
terhadap responden di sekitar lokasi pengukuran. Responden akan
diklasifikasikan menjadi 2 klasifikasi responden yaitu 30 laki-laki dan
30 perempuan di setiap kecamatan. Kuisioner penelitian disajikan
pada Lampiran 1.

3.4.2 Metode Analisis Data


a) Variasi Diurnal dan Musiman Konsentrasi Partikulat dan Timbal
di Kota Bogor
Analisis variasi diurnal dan musiman dapat menggunakan data
konsentrasi PM2,5 dan PM10 yang diukur secara kontinyu dan real-time.
Untuk memperoleh variasi diurnal antara siang dan malam hari
dilakukan uji atau analisis komparasi. Analisis komparasi merupakan
teknik analisis yang digunakan untuk melihat kecenderungan rata-rata
antara dua atau lebih kelompok sampel data (Riadi 2016), dan analisis
komparasi untuk sampel independen dengan data interval dapat
21

menggunakan uji independent t-test two tailed (Sarwono 2006).


Sampel yang digunakan dalam analisis ini adalah konsentrasi PM2,5
dan PM10 hasil pengukuran siang hari (pukul 07.00 sampai 16.00) dan
pengukuran malam hari (pukul 19.00 sampai 04.00).
Analisis variasi musiman konsentrasi PM2,5 dan PM10 di Kota
Bogor menggunakan korelasi. Analisis korelasi merupakan suatu
analisis untuk mengetahui tingkat hubungan antara dua atau lebih
variabel bebas dengan variabel terikatnya, dimana peneliti tidak
memberikan perlakuan apapun pada variabel bebasnya. Analisis
korelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi Pearson
atau korelasi product moment. Korelasi Pearson adalah alat uji
statistik parametrik yang digunakan untuk menguji hubungan dua
sampel acak, homogen, dan berdistribusi normal dengan jenis data
yang berskala interval atau rasio. Analisis statistik korelasi Pearson
akan menghasilkan koefisien korelasi (R) yang menunjukkan kriteria
hubungan korelasi, nilai Sig. yang menunjukkan tingkat signifikansi
hubungan, dan nilai korelasi Pearson (r) yang menunjukkan kekuatan
hubungan antar variabel (Riadi 2016). Nilai koefisien korelasi berkisar
antara –1 sampai 1. Apabila nilai korelasi 0 < r < 1 menunjukan
korelasi positif (searah), bernilai 0 menunjukan tidak ada hubungan
sama sekali di antara variabel dependen dengan variabel independen,
sedangkan jika nilai koefisien korelasinya bernilai –1 < r < 0
menunjukan korelasi negatif (hubungan terbalik). Nilai r yang
mendekati +1 atau –1 memiliki tingkat korelasi yang sangat kuat.
Nilai Sig.menunjukkan signifikan atau tidaknya dari kekuatan
hubungan. Jika nilai Sig. lebih kecil dari 0,05 (Sig. < 0,05) dapat
disimpulkan bahwa kekuatan hubungan antar variabel signifikan

n  XY   X   Y 
rxy 
n  X    X   n Y    Y   ························ (1)
2 2 2 2

Dengan rxy merupakan koefisien korelasi antaa X dengan Y, n


merupakan jumlah sampel, X merupakan nilai suatu variabel
konsentrasi zat pencemar PM2,5 dan PM10, Y merupakan nilai curah
hujan.

b) Karakteristik Risiko Partikulat dan Timbal Terhadap Kesehatan


Masyarakat Kota Bogor
Menghitung tingkat risiko partikulat dan timbal terhadap
kesehatan masyarakat di Kota Bogor dapat menggunakan metode
ARKL. Terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam
analisis ARKL tersebut, yaitu identifikasi bahaya atau identifikasi
sumber, analisis dosis-respon, analisis pemajanan dan karakteristik
risiko yang dinyatakan dengan tingkat risiko (risk quotient) untuk efek
nonkarsinogenik dan cancer risk untuk efek karsinogenik. Tingkat
risiko tersebut dapat digunakan untuk merumuskan manajemen risiko
22

(Rahman et al. 2008), agar konsentrasi partikulat dan timbal tidak


menimbulkan gangguan kesehatan bagi masyarakat Kota Bogor.
Tingkat risiko dari pajanan agen risiko PM2,5, PM10, TSP dan Pb
dinyatakan dengan nilai risk quotient (RQ), dimana apabila nilai RQ >
1 menunjukan bahwa risiko kesehatan ada dan perlu dikendalikan.
Nilai RQ tersebut dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 2.

I
RQ 
RfC ····························································· (2)

Parameter I merupakan asupan (mg/kg·hari), yang dapat


diperoleh dengan menggunakan Persamaan 3

C  R  te  f e  Dt
I
Wb  tavg
················································(3)

Parameter C merupakan konsentrasi PM2,5, PM10 dan TSP


(mg/m3), R merupakan laju inhalasi (m3/jam), te merupakan waktu
paparan (jam/hari), fe merupakan frekuensi paparan (hari/tahun), Dt
merupakan durasi paparan (tahun), Wb merupakan berat badan (kg)
dan tavg merupakan periode waktu rata-rata (hari).
Parameter RfC atau reference concentration merupakan nilai
atau konsentrasi dari pajanan harian agen risiko nonkarsinogenik yang
diestimasi tidak menimbulkan efek yang mengganggu walaupun
pajanannya terjadi sepanjang hayat. Nilai RfC untuk PM10 dan TSP
masing-masing sebesar 0,014 dan 0,02 mg/kg·hari (Rahman et al.
2008). Untuk mendapatkan nilai RfC PM2,5 menggunakan Persamaan
4.
C  R  te  f e
RfC 
Wb  tavg
················································· (4)

Baku mutu PM10 yang ditetapkan oleh USEPA (1990c) sebesar


50 µg/m3, dan menurut Peters et al. (2000), sebanyak 75% konsentrasi
PM10 adalah PM2,5. oleh karena itu, baku mutu untuk PM2,5 adalah
37,5 µg/m3. Nilai laju inhalasi ditentukan berdasarkan usia setiap
individu yang merujuk kepada USEPA (USEPA 2009a)
Cancer risk (CR) merupakan suatu probabilitas seorang individu
mengidap kanker selama hidupnya sebagai akibat dari paparan polutan
yang berefek karsinogenik. Nilai CR dapat dihitung dengan
menggunakan Persamaan 5. Nilai CR mempertimbangkan rentang
risiko dari 10-6 (risiko terkena kanker seusia hidup manusia adalah 1
dari 1.000.000) hingga 10-4 (risiko terkena kanker seusia hidup
manusia adalah 1 dari 10.000). Rentang nilai tersebut merupakan
kisaran nilai yang mungkin dapat diterima untuk risiko karsinogenik
(USEPA 2009b)
23

Apabila nilai CR < 10-6 dapat dikategorikan timbal tidak


menimbulkan risiko bagi masyarakat yang terpapar, 10-6 ≤ CR ≤ 10-4
dikategorikan mungkin berisiko, serta CR > 10-4 dikategorikan timbal
menimbulkan dampak karsinogenik bagi masyarakat yang terpapar
(Chen 2016).

CR  I  SF ···························································(5)

Parameter I merupakan nilai pajanan atau asupan (mg/kg·hari)


yang dapat diperoleh dengan menggunakan Persamaan 3. Berbeda
dengan nilai intake untuk menentukan RQ, nilai intake untuk
menentukan nilai CR menggunakan nilai AT atau periode waktu rata-
rata selama 70 tahun (25.550 hari). Nilai AT tersebut menunjukan
waktu rata-rata seseorang berpotensi terkena efek karsinogenik
(USEPA 2013). SF atau slope factor merupakan faktor kemiringan
untuk polutan yang bersifat karsinogenik dengan nilai SF sebesar
0,042 (mg/kg·hari)-1 (Budroe et al. 2009).

Tabel 6 Tujuan penelitian, metode dan keluaran yang diharapkan


Metode
Tujuan
Data Pengumpulan Analisis keluaran
penelitian
data data
Menganalisis PM2,5, PM10, Pengukuran Uji Konsentrasi
variasi diurnal TSP, Pb, curah kualitas udara di komparatif diurnal dan
dan musiman hujan, arah dan CCROM - SEAP independen musiman PM2,5
konsentrasi kecepatan angin dan Dinas t t-test two dan PM10 di
partikulat dan Lingkungan tailed, Kota Bogor,
timbal di Kota Hidup Kota analisis serta konsentrasi
Bogor Bogor korelasi PM2,5, PM10,
TSP dan Pb di
setiap lokasi
pengukuran

Menganalisis Data konsentrasi Survey dan Analisis Nilai tingkat


karakteristik partikulat dan kuisioner Risiko risiko (RQ)
risiko partikulat timbal, laju Kesehatan PM2,5, PM10,
dan timbal pernafasan, Lingkungan TSP dan Pb,
terhadap waktu paparan, (ARKL) serta nilai risiko
kesehatan frekuensi kanker (CR) Pb.
masyarakat paparan, durasi
Kota Bogor paparan, berat
badan, serta
waktu rata-rata
24

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Variasi Diurnal dan Musiman Konsentrasi Partikulat dan Timbal


di Kota Bogor
Peningkatan konsentrasi pencemar udara di perkotaan menjadi
permasalahan yang serius dan perlu mendapat perhatian khusus dari
pemerintah kota. Setiap tahunnya, Kota Bogor mengalami pertumbuhan
yang cukup pesat, baik dalam bidang perdagangan, pariwisata, pemukiman
dan bidang lainnya. Berdirinya pusat-pusat industri dan melonjaknya
aktivitas transportasi juga dapat mempengaruhi tingkat konsentrasi
pencemar udara di Kota Bogor. Partikulat dan timbal merupakan dua jenis
pencemar udara di atmosfer dan menjadi kontributor yang mempengaruhi
kondisi kesehatan manusia.
Konsentrasi PM2,5 di beberapa lokasi pengukuran mengalami
peningkatan yang cukup signifikan terutama setelah tahun 2016.
Berdasarkan Gambar 5, pada tahun 2016 konsentrasi PM2,5 di setiap
kecamatan masih berada di bawah 10 µg/m3 dan mengalami peningkatan
pada tahun 2017 terutama di kecamatan Bogor Barat dan Bogor Utara
hingga 37 µg/m3 dan 23 µg/m3. Dari tahun 2018 hingga tahun 2020,
konsentrasi PM2,5 di setiap kecamatan tidak mengalami fluktuasi yang
cukup tinggi dan relatif stabil dengan nilai konsentrasi sekitar 27 µg/m3
sampai 54 µg/m3. Konsentrasi tertinggi yang terbaca selama periode
pengukuran terjadi di kecamatan Bogor Utara sebesar 54 µg/m3 (tahun 2018)
dan terendah sebesar 4,2 µg/m3 (tahun 2016) di kecamatan Bogor Tengah.
Rata-rata konsentrasi PM2,5 tertinggi terjadi di kecamatan Bogor Barat dan
Bogor Utara sebesar 35,30 µg/m3.

Gambar 5 Perubahan konsentrasi PM2,5 di setiap kecamatan di Kota Bogor


pada periode tahun 2016 - 2020
Tingginya rata-rata konsentrasi PM2,5 di kecamatan Bogor Barat dan
Bogor Utara dapat disebabkan oleh tingginya aktivitas transportasi karena
25

lokasi pengukuran di Bogor Barat dan Bogor Utara masing-masing


dilakukan di sekitar Terminal Bubulak dan Tugu Narkoba yang aktivitas
transportasinya cukup tinggi. Konsentrasi PM2,5 yang terukur di masing-
masing kecamatan dari tahun 2016 sampai 2020 masih di bawah baku mutu
udara nasional sebesar 55 µg/m3 (pengukuran 24 jam) (PP 2021). Meskipun
konsentrasi yang terukur masih di bawah baku mutu udara nasional, terdapat
beberapa lokasi yang nilai konsentrasinya mendekati baku mutu udara
ambien yang telah ditetapkan.

Gambar 6 Perubahan konsentrasi PM10 di setiap kecamatan di Kota Bogor


pada periode tahun 2016 - 2020
Pada tahun 2016, konsentrasi PM10 berada pada nilai yang cukup
rendah di masing-masing lokasi pengukuran dengan rentang nilai 9,15
µg/m3 sampai 22,21 µg/m3. Pada tahun 2017, pola peningkatan konsentrasi
PM10 sama dengan pola peningkatan konsentrasi PM2,5 yang mengalami
peningkatan konsentrasi cukup tinggi terutama di kecamatan Bogor Barat
(76 µg/m3) dan Bogor Utara (44 µg/m3), serta relatif stabil dari tahun 2018
sampai tahun 2020. Selama periode pengukuran, rata-rata konsentrasi PM10
tertinggi terjadi di kecamatan Bogor Barat sebesar 58,10 µg/m3.
Berdasarkan baku mutu udara nasional, konsentrasi PM10 di Bogor Barat
pada tahun 2017 sebesar 76 µg/m3 telah melebihi baku mutu udara ambien
yang telah ditetapkan yaitu sebesar 75 µg/m3 (PP 2021).
Berdasarkan Gambar 7, pada tahun 2016 konsentrasi TSP di setiap
kecamatan berada pada rentang nilai 10,22 µg/m3 sampai 39 µg/m3. Pada
tahun 2017, TSP mengalami kenaikan yang cukup tinggi terutama di
Kecamatan Tanah Sareal dan Bogor Barat hingga mencapai 198 µg/m3 dan
148 µg/m3. Selama periode pengukuran, konsentrasi TSP tertinggi terjadi di
kecamatan Tanah Sareal (Tahun 2017) sebesar 198 µg/m3 dengan rata-rata
konsentrasi sebesar 110,80 µg/m3. Rata-rata konsentrasi TSP tertinggi
terjadi di kecamatan Bogor Barat sebesar 122,80 µg/m3, sedangkan rata-rata
konsentrasi TSP terendah terjadi di Bogor Timur sebesar 75,50 µg/m3.
26

Berdasarkan hasil pengukuran, konsentrasi TSP yang terukur masih berada


di bawah baku mutu udara nasional sebesar 230 µg/m3 (PP 2021).

Gambar 7 Perubahan konsentrasi TSP di setiap kecamatan di Kota Bogor


pada periode tahun 2016 - 2020
Berdasarkan Gambar 8, konsentrasi timbal berada di bawah baku
mutu udara nasional sebesar 2 µg/m3 (PP 2021). Selama periode pengukuran,
konsentrasi timbal di tiap-tiap kecamatan umumnya sebesar < 0,10 µg/m3
dengan nilai tertinggi terjadi Bogor Utara sebesar 0,30 µg/m3. Kecilnya
konsentrasi timbal yang terukur di masing-masing kecamatan disebabkan
oleh semakin berkurangnya jumlah kendaraan yang menggunakan bahan
bakar minyak yang mengandung timbal.

Gambar 8 Perubahan konsentrasi Pb di setiap kecamatan di Kota Bogor


pada periode tahun 2016 - 2020
27

Berdasarkan analisis konsentrasi partikulat dan timbal di Kota Bogor


(Gambar 5, 6, 7, 8), secara keseluruhan konsentrasi polutan yang terukur
selama 24 jam masih berada di bawah baku mutu PP 22 Tahun 2021 kecuali
konsentrasi PM10 di Bogor Barat pada tahun 2017. Apabila menggunakan
baku mutu udara ambien yang ditetapkan oleh WHO, konsentrasi PM2,5 dan
PM10 di setiap kecamatan telah melebihi baku mutu WHO sebesar 25 µg/m3
dan 50 µg/m3 (WHO 2006). Secara tahunan, konsentrasi PM2,5 dan PM10
yang diukur secara kontinyu dan real-time telah melebihi baku mutu yang
ditetapkan oleh WHO maupun Pemerintah Indonesia. Berdasarkan hasil
pengukuran, rata-rata konsentrasi PM2,5 dan PM10 pada tahun 2019 masing-
masing sebesar 27,60 µg/m3 dan 61,01 µg/m3. Konsentrasi PM2,5 dan PM10
tahunan tersebut telah melebihi baku mutu yang ditetapkan oleh WHO yaitu
sebesar 10 µg/m3 untuk PM2,5 dan 20 µg/m3 untuk PM10, dan juga telah
melebihi baku mutu PM2,5 dan PM10 tahunan berdasarkan PP 22 Tahun 2021
yaitu sebesar 15 µg/m3 dan 40 µg/m3 (PP 2021).
Secara umum Bogor Barat memiliki rata-rata konsentrasi tiap-tiap
polutan yang lebih tinggi daripada kecamatan lainnya. Kecamatan Bogor
Barat memiliki karakteristik wilayah dengan banyak pemukiman, dimana
Bogor Barat memiliki jumlah penduduk terpadat di Kota Bogor. Pada tahun
2018 jumlah penduduk di Bogor Barat sebanyak 243.293 jiwa dan
mengalami peningkatan sebanyak 3433 dari tahun 2017 (BPS 2018).
Semakin bertambahnya jumlah penduduk tersebut tentunya akan semakin
meningkatkan aktivitas transportasi di kecamatan Bogor Barat. Kecamatan
Bogor Timur memiliki laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,23% dengan
kepadatan penduduk mencapai 10.446/km2/jiwa. Tidak hanya dikarenakan
pertumbuhan penduduk, Bogor Timur juga berperan dalam sektor
perdagangan dan jasa serta menjadi jalur menuju Puncak Bogor yang
merupakan destinasi wisata favorit masyarakat. Terkait Kecamatan Bogor
Utara, polutan timbal menjadi polutan dengan konsentrasi yang lebih tinggi
dibandingkan polutan timbal di kecamatan lainnya hingga mencapai 0,30
µg/m3. Polutan di Bogor Utara dapat bersumber dari aktivitas transportasi,
pemukiman serta industri karena wilayah ini cukup dekat dengan wilayah
industri di wilayah Cibinong dan Citeureup.
Kecamatan Bogor Selatan memiliki karakteristik wilayah berupa
pemukiman. BPS (2018) mencatat bahwa pada tahun 2018 jumlah
penduduk di Bogor Selatan mencapai 203.869 jiwa, dimana jumlah tersebut
mengalami peningkatan dari tahun 2017 sebanyak 2251 jiwa. Kecamatan
Tanah Sareal merupakan wilayah yang memiliki laju pertumbuhan
penduduk yang paling tinggi sebesar 2,51% kepadatan penduduk mencapai
12.346 jiwa/km2. Tanah Sareal menjadi wilayah yang sangat strategis dan
dekat dengan pusat kota serta memiliki aktivitas transportasi yang cukup
tinggi. Dengan aktivitas transportasi yang cukup tinggi tentunya
berpengaruh terhadap nilai konsentrasi polutan yang dihasilkan. Kecamatan
Tanah Sareal memiliki konsentrasi TSP dan Pb tertinggi kedua daripada
kecamatan lainnya di Kota Bogor masing-masing sebesar 110,80 µg/m3 dan
0,117 µg/m3. Kecamatan Bogor Tengah merupakan pusat pemerintahan dan
ekonomi di Kota Bogor. Pada tahun 2018, jumlah penduduk di Bogor
Tengah mencapai 104.947 yang mengalami peningkatan sebanyak 94 jiwa
28

dari tahun 2017 (BPS 2018). Konsentrasi partikulat dan timbal di Bogor
Tengah relatif lebih kecil daripada kecamatan lainnya. Hal ini kemungkinan
dikarenakan ada kontribusi atau peran Kebun Raya Bogor dalam menyerap
polutan, seperti yang dinyatakan oleh Yunus et al. (1985) bahwa partikulat
dari aktivitas antropogenik akan dijerap oleh daun. Selain itu, Ramdhani dan
Fatimah (2013) menyatakan bahwa Kebun Raya Bogor memiliki
kemampuan menyerap emisi kendaraan sebesar 0,06%.
Dalam studi ini juga dilakukan analisis variasi diurnal dan musiman
konsentrasi partikulat di Kota Bogor. Analisis variasi diurnal dan musiman
menggunakan data konsentrasi PM2,5 dan PM10 real-time dan kontinyu di
Kecamatan Bogor Tengah tepatnya di sekitar Tugu Kujang dari bulan
Januari 2019 sampai Juni 2020. Selama periode pengukuran, rata-rata
konsentrasi PM2,5 sebesar 24,38 µg/m3 dengan rentang konsentrasi dari 3,78
µg/m3 hingga 63,69 µg/m3. Rata-rata konsentrasi PM10 sebesar 54,22 µg/m3
dengan rentang nilai konsentrasi PM10 dari 14,93 µg/m3 sampai 118,22
µg/m3. Rata-rata konsentrasi PM2,5 dan PM10 tersebut lebih tinggi daripada
rata-rata konsentrasi PM2,5 dan PM10 dari tahun 2017 sampai 2018 masing-
masing sebesar 20,60 µg/m3 dan 49 µg/m3 (Nurhasanah 2019). Konsentrasi
PM2,5 tertinggi terjadi pada tanggal 21 Juni 2019 sebesar 63,69 µg/m3, dan
konsentrasi PM10 tertinggi terjadi pada tanggal 25 Juni 2019 sebesar 118,22
µg/m3 (Gambar 9).

Gambar 9 Variasi konsentrasi PM2,5 dan PM10 selama tahun 2019 dan 2020
di Kota Bogor
Konsentrasi PM2,5 dan PM10 relatif rendah pada dini hari hingga pukul
07.00 dan mengalami kenaikan konsentrasi seiring dengan peningkatan
aktivitas transportasi pada pagi hari hingga siang hari. Menurunnya
konsentrasi PM2,5 dan PM10 dari dini hari hingga pagi hari disebabkan
terjadinya pembentukan deposisi kering partikulat akibat meningkatnya
kelembaban relatif (Liu et al. 2014). Konsentrasi PM2,5 mengalami
peningkatan konsentrasi setelah pukul 07.00 hingga siang dan sore hari
sekitar pukul 16.00 dan mengalami penurunan hingga pukul 22.00. Rata-
rata konsentrasi PM2,5 tertinggi terjadi pada pengukuran dengan rentang
29

pukul 13.00 hingga pukul 16.00 sebesar 31,15 µg/m3 dan rata-rata
konsentrasi terendah terjadi pada pagi hari dengan rentang pukul 04.00
hingga pukul 07.00 sebesar 17,45 µg/m3 (Gambar 10).

Gambar 10 Pola diurnal rata-rata konsentrasi PM2,5 dan PM10 selama


periode pengukuran tahun 2019 dan 2020 di Kota Bogor
Berbeda dengan PM2,5, dari pukul 10.00 sampai pukul 13.00,
konsentrasi PM10 mengalami penurunan sekitar 2 µg/m3 dan mengalami
peningkatan hingga pukul 22.00. Menurunnya konsentrasi PM10 pada siang
hari dapat disebabkan oleh pemanasan permukaan serta berkurangnya
30

aktivitas lalu lintas di sekitar lokasi pengukuran. Pada siang hari udara di
permukaan akan mudah bercampur dan menyebabkan hembusan, sehingga
angin pada siang hari akan lebih cepat. Kondisi tersebut berpengaruh
terhadap proses dispersi PM10. Rata-rata konsentrasi PM10 tertinggi terjadi
pada pukul 22.00 sebesar 57,30 µg/m3, sedangkan rata-rata konsentrasi
PM10 terendah terjadi pada rentang pengukuran pukul 04.00 sampai 07.00
sebesar 48,92 µg/m3 (Gambar 10).
Pola diurnal rata-rata konsentrasi PM2,5 dan PM10 tersebut juga relatif
sama dengan hasil analisa konsentrasi PM2,5 dan PM10 setiap jam pada bulan
Juli dan Januari. Tingginya konsentrasi PM2,5 dan PM10 pada malam hari
memiliki keterkaitan dengan kondisi atmosfer yang stabil yang
mengakibatkan terjebaknya dan tidak terdispersinya polutan di lapisan
permukaan sebagai akibat dari masa udara hangat yang tidak dapat naik ke
atmosfer. Turyanti (2016) dalam penelitiannya menunjukan hasil yang sama
bahwa konsentrasi partikulat akan meningkat menjelang malam hari hingga
dini hari.
Konsentrasi PM2,5 dan PM10 diatmosfer dapat bervariasi antara siang
dan malam hari. Aktivitas manusia dan kondisi atmosfer berpengaruh
terhadap keberadaan polutan di atmosfer. Berdasarkan uji independent t-test
two tailed, konsentrasi PM2,5 siang dan malam hari memiliki nilai Sig (2-
tailed) 0,000 < 0,005, sedangkan konsentrasi PM10 siang dan malam hari
memiliki nilai Sig (2-tailed) 0,388 > 0,005. Hasil uji tersebut menyatakan
bahwa terdapat perbedaan rata-rata konsentrasi PM2,5 antara siang dan
malam hari di Kota Bogor, namun tidak terdapat perbedaan rata-rata
konsentrasi PM10 siang dan malam hari di Kota Bogor.

Gambar 11 Variasi siang-malam rata-rata konsentrasi PM2,5 selama periode


pengukuran tahun 2019 dan 2020 di Kota Bogor
Berdasarkan Gambar 11, terlihat bahwa konsentrasi PM2,5 umumnya
lebih tinggi pada siang hari daripada malam hari. Konsentrasi PM2,5 pada
siang hari berada pada rentang 3,63 µg/m3 - 68,40 µg/m3, dan pada malam
hari berada pada rentang 2,15 µg/m3 - 65,93 µg/m3. Rata-rata konsentrasi
31

PM2,5 pada siang hari umumnya lebih tinggi daripada malam hari sebesar
25,90 µg/m3 dan 22,70 µg/m3.
Konsentrasi PM10 pada siang hari berada pada rentang 10,78 µg/m3 -
127,40 µg/m3, dan pada malam hari berada pada rentang 7,55 µg/m3 -
145,58 µg/m3, dengan masing-masing rata-rata konsentrasi sebesar 53,50
µg/m3 dan 54,90 µg/m3 (Gambar 12). Nilai rata-rata konsentrasi PM10 pada
malam hari lebih besar daripada siang hari dan hal tersebut mungkin tampak
mengejutkan, mengingat pada malam hari aktivitas transportasi di Kota
Bogor akan menurun. Kondisi tersebut dapat dipengaruhi oleh ukuran dan
waktu tinggal setiap partikulat, dimana partikulat yang lebih kecil atau halus
dapat dengan cepat bertransformasi menjadi partikulat yang lebih besar
melalui proses koagulasi (Perrino 2010).

Gambar 12 Variasi siang-malam rata-rata konsentrasi PM10 selama periode


pengukuran tahun 2019 dan 2020 di Kota Bogor
Kondisi atmosfer stabil terjadi pada malam hari saat tidak ada
matahari, sedangkan pada siang hari kondisi atmosfer berada dalam kondisi
yang tidak stabil yaitu saat terjadi pemanasan oleh radiasi matahari. Kondisi
stabilitas atmosfer tersebut akan mempengaruhi ketinggian lapisan
pencampuran yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat konsentrasi
partikulat di udara. Selain itu, tingkat konsentrasi PM2,5 dan PM10 akan
ditentukan oleh struktur dan proses yang terjadi di lapisan planetary
boundary layer (PBL) (Stull 1988; Garratt 1994; Oke 2002; Xu et al. 2018).
Lapisan ini merupakan lapisan terendah dari troposfer yang mendapat
pengaruh langsung dari permukaan bumi, sehingga lapisan ini memiliki
peran penting, diantaranya adalah dapat mempengaruhi proses pencampuran,
dispersi, transportasi ataupun deposisi polutan di udara. Secara vertikal,
lapisan PBL akan mengatur proses penyebaran polutan ke atas dan proses
pertukaran udara bersih dari atas (Oke 2002), sedangkan secara horizontal,
lapisan PBL berpengaruh terhadap proses pengenceran (Seibert et al. 2000;
Seidel et al. 2010; Miao et al. 2018; Chu et al. 2019) dan transportasi
polutan (Oke 2002; Miao et al. 2018).
32

Gambar 13 Variasi musiman rata-rata konsentrasi PM2,5 dan PM10 selama


periode pengukuran tahun 2019 dan 2020 di Kota Bogor

Selama periode bulan kering dan bulan basah, konsentrasi PM2,5


berada ada rentang 7,78 µg/m3 sampai 63,69 µg/m3 dan 5,76 µg/m3 sampai
31,96 µg/m3 dengan rata-rata konsentrasi PM2,5 masing-masing sebesar
32,91 µg/m3 dan 17,65 µg/m3. Konsentrasi PM10 periode bulan kering dan
bulan basah berada pada rentang 20,24 µg/m3 sampai 118,22 µg/m3 dan
15,3 µg/m3 sampai 81,94 µg/m3, dengan rata-rata konsentrasi PM10 pada
bulan kering dan bulan basah masing-masing sebesar 70,07 µg/m3 dan 44,85
µg/m3. Pada periode bulan kering, bulan Juli memiliki rata-rata konsentrasi
PM2,5 tertinggi sebesar 39,29 µg/m3, dan bulan Agustus memiliki rata-rata
konsentrasi PM10 tertinggi sebesar 83,70 µg/m3. Curah hujan pada bulan Juli
dan Agustus masing-masing sebesar 40,15 mm dan 95,80 mm yang
merupakan curah hujan terendah selama periode pengukuran (Gambar 13).
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam laporannya
menyatakan bahwa bulan Agustus menjadi puncak kemarau pada tahun
2019. Tingginya rata-rata konsentrasi PM2,5 pada bulan Juli mungkin
dipengaruhi juga oleh aktivitas transportasi yang cukup meningkat. Awal
bulan Juli merupakan periode libur sekolah sehingga terjadi peningkatan
aktivitas transportasi di pusat Kota Bogor. Hal ini juga terlihat dari
meningkatnya jumlah kendaraan yang masuk ke salah satu pusat
perbelanjaan di Kota Bogor yang dapat mencapai 6000 unit kendaraan dan
meningkat sampai 8500 unit kendaraan di periode liburan. Selain itu, pada
bulan Juli angin secara dominan bergerak dari arah selatan dan barat daya
yang tentunya berpengaruh terhadap pergerakan polutan dari wilayah
tersebut. Rata-rata konsentrasi PM2,5 dan PM10 terendah terjadi pada bulan
April masing-masing sebesar 18,93 µg/m3 dan 44,51 µg/m3 dengan curah
hujan yang relatif tinggi yaitu sebesar 565,79 µg/m3.
Pada periode bulan basah, rata-rata konsentrasi PM2,5 dan PM10
tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebesar 33,81 µg/m3 dan 73,84 µg/m3
dengan curah hujan bulanan mencapai 440,12 mm. Sementara itu, rata-rata
konsentrasi PM2,5 terendah terjadi pada bulan Februari sebesar 13,53 µg/m3,
33

dan rata-rata konsentrasi PM10 terendah terjadi pada bulan Maret sebesar
32,81 µg/m3 dengan curah hujan sebesar 501,29 mm. Curah hujan pada
bulan Maret merupakan curah hujan tertinggi kedua pada periode bulan
basah setelah curah hujan bulan Januari yang merupakan puncak musim
hujan tahun 2020. Meskipun bulan Januari menjadi puncak musim hujan
tahun 2020, namun kondisi tersebut tidak langsung berpengaruh terhadap
penurunan konsentrasi partikulat di Kota Bogor. Hal ini mungkin
disebabkan oleh tingginya aktivitas transportasi pada bulan Januari karena
bertepatan dengan libur akhir tahun 2019. Meningkatnya jumlah kendaraan
akan mempengaruhi laju kecepatan kendaraan di jalan raya, dan berpotensi
mempengaruhi peningkatan konsentrasi polutan di udara. Sarwar et al.
(2017) menyatakan bahwa mesin kendaraan yang diam (idling engine) akan
menghasilkan emisi gas buang yang lebih banyak daripada mesin yang
sedang bergerak serta konsumsi bahan bakar semakin meningkat hingga 1,8
galon bahan bakar setiap jam. Dalam penelitian Nurhasanah (2019),
aktivitas transportasi dengan konsentrasi PM2,5 dan PM10 memiliki nilai
korelasi sebesar 0,32 dan 0,28 yang menunjukan bahwa aktivitas
transportasi berpengaruh sebesar 32% dan 28% terhadap konsentrasi PM2,5
dan PM10 di Kota Bogor.
Analisis korelasi Pearson menunjukan bahwa terdapat hubungan
antara curah hujan dan konsentrasi PM2,5 dan PM10, dimana semakin tinggi
curah hujan, akan mengurangi tingkat konsentrasi PM2,5 dan PM10 di
atmosfer (r = –0,49; r = –0,50), dan apabila dilihat angka signifikansinya
menunjukan bahwa hubungan antara curah hujan dan konsentrasi PM2,5 dan
PM10 cukup signifikan (Sig 2-tailed PM2,5 0,038 < 0,05; Sig 2-tailed PM10
0,035 < 0,05). Yoo et al. (2014) juga menyatakan bahwa konsentrasi
partikulat PM10 berkurang secara signifikan selama musim hujan di antara
polutan lainnya seperti SO2, NO2, CO dan O3. Kwak et al. (2017) juga
menyatakan bahwa proses wash out dapat menurunkan konsentrasi
partikulat secara signifikan terutama hujan ringan. Meskipun hujan
memberikan dampak langsung dalam proses pembersihan polutan di udara,
hujan dapat memberikan dampak tidak langsung terhadap peningkatan
konsentrasi pencemar udara, terutama ketika terjadi hujan lebat. Curah
hujan yang lebat dapat meningkatkan volume kendaraan di jalan raya serta
mengakibatkan kemacetan dan menurunkan kecepatan kendaraan yang pada
akhirnya berpotensi meningkatkan konsentrasi pencemar udara. Analisis ini
sejalan dengan analisis Kwak et al. (2017) yang menyatakan bahwa curah
hujan memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan konsentrasi
pencemar udara melalui pengaruh tidak langsung.
Parameter cuaca lainnya yang dapat berpengaruh terhadap konsentrasi
PM2,5 dan PM10 adalah arah dan kecepatan angin. Arah angin dapat
mengidentifikasi asal polutan serta mengetahui daerah yang berpotensi
terpapar, serta kecepatan angin dapat berpengaruh terhadap jarak polutan
yang akan terbawa oleh angin.
34

NORTH NORTH

40.4% 36.8%
32.3% 29.4%
24.2% 22%
16.2% 14.7%
8.08% 7.35%
WEST EAST WEST EAST

WIND SPEED WIND SPEED


(m/s) (m/s)

>= 11.10 >= 11.10

8.80 - 11.10 8.80 - 11.10

5.70 - 8.80 5.70 - 8.80

SOUTH 3.60 - 5.70 SOUTH 3.60 - 5.70

2.10 - 3.60 2.10 - 3.60

0.50 - 2.10 0.50 - 2.10

Calms: 3.33% Calms: 1.34%

April 2019 Oktober 2019


NORTH
NORTH

30.4%
24.4% 35.5%

18.3% 28.4%

12.2% 21.3%

6.09% 14.2%

WEST EAST 7.1%


WEST EAST

WIND SPEED
(m/s)
WIND SPEED
>= 11.10 (m/s)
8.80 - 11.10 >= 11.10
5.70 - 8.80 8.80 - 11.10
SOUTH 3.60 - 5.70 5.70 - 8.80
2.10 - 3.60
SOUTH 3.60 - 5.70
0.50 - 2.10 2.10 - 3.60
Calms: 1.48% 0.50 - 2.10
Calms: 9.20%

Juli 2019 Februari 2020


Gambar 14 Mawar angin selama periode pengukuran di Kota Bogor

Analisis mawar angin tersebut menunjukan pergerakan polutan


didominasi bergerak dari arah barat daya dan selatan dengan kecepatan
berkisar antara 0,5 hingga 2,10 m/s (Gambar 14). Pada bulan April 2019 dan
Februari 2020, cemaran udara umumnya bergerak dari arah barat daya
dengan masing-masing persentase sebesar 39,50% dan 34,70%. Sedangkan
pada bulan Juli 2019 dan Oktober 2019, polutan umumnya bergerak dari
arah selatan dengan persentase 29,8% dan 36,02%. Kecepatan angin pada
setiap bulan umumnya berkisar antara 0,50 m/s hingga 2,10 m/s dengan
persentase sebesar 92,20% (April 2019), 93,40% (Juli 2019) 91,40%
(Oktober 2019), dan 85,60% (Februari 2020).
Angin yang bergerak dari arah barat daya dan selatan tidak berpotensi
membawa polutan PM2,5 dan PM10 secara signifikan, karena di wilayah
tersebut tidak terdapat banyak industri yang dapat menjadi sumber
pencemar utama. Hasil analisis mawar ini juga sama dengan yang dilakukan
oleh Nurhasanah (2019) yang melakukan penelitian pada tahun 2018,
dimana arah polutan bergerak dari barat daya dan barat dengan kecepatan
angin berkisar 0,50 m/s sampai 2 m/s dengan nilai korelasi sebesar –0,32
(PM2,5) dan –0,43 (PM10). Cichowicz et al. (2020) dalam penelitiannya telah
menganalisis bahwa konsentrasi PM10 lebih tinggi ketika kecepatan angin
lebih lambat yaitu berkisar antara 1,5 m/s sampai 3,0 m/s. Dalam penelitian
lainnya yang dilakukan oleh Harrison et al. (2001) menyimpulkan bahwa
konsentrasi PM2,5 dan PM10 akan berkurang sampai dengan kecepatan 4 m/s,
35

dan akan meningkat kembali pada kecepatan angin yang lebih tinggi. Hal ini
dikarenakan komponen kecil dari partikulat kasar (coarse particulate)
adalah hasil dari resuspensi yang diinduksi oleh angin.

4.2 Karakteristik Risiko dari Paparan Pencemar Udara Partikulat


dan Timbal Terhadap Kesehatan Masyarakat Kota Bogor
Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan aktivitas manusia di
Kota Bogor dapat mempengaruhi kondisi lingkungan. Aktivitas manusia
akan berinteraksi dengan kondisi lingkungan yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap kesehatan. Menurut Djafri (2014), saat ini terdapat
beberapa bentuk ancaman bahaya lingkungan diantaranya adalah energi
yang sifatnya berbahaya seperti radiasi dan gelombang elektromagnetik,
organisme patogen serta zat-zat toksik yang tersebar di lingkungan. Ketiga
jenis ancaman bahaya lingkungan tersebut tentunya dapat memberikan
risiko terhadap masyarakat sebagai akibat pajanannya.
Analisis risiko adalah karakterisasi efek yang potensial merugikan
kesehatan manusia oleh pajanan bahaya lingkungan. Analisis risiko
merupakan padanan istilah dari risk assessment (NRC 1983) yang menjadi
suatu alat pengelolaan risiko untuk memprakirakan peningkatan risiko
kesehatan pada manusia yang terpajan oleh zat toksis seperti partikulat dan
timbal. Analisis risiko atau Analisis risiko kesehatan lingkungan merupakan
suatu proses atau metode untuk menghitung atau memprakirakan risiko
kesehatan pada manusia, termasuk identifikasi adanya faktor ketidakpastian,
penelusuran pada pajanan tertentu, memperhitungkan karakteristik yang
melekat pada agen yang menjadi perhatian dan karakteristik dari sasaran
yang spesifik (Besmanto et al. 2012). Tujuan dari analisis risiko kesehatan
lingkungan adalah untuk memberikan dan menyediakan informasi secara
lengkap kepada pemegang kebijakan, khususnya kepada pemerintah sebagai
bahan pertimbangan untuk proses dalam mengambil kebijakan.

Gambar 15 Paradigma analisis risiko (NRC 1983)

Berdasarkan Gambar 15, untuk menganalisis risiko lingkungan


kesehatan lingkungan, ada beberapa langkah utama yang perlu dilakukan,
36

yaitu penelitian atau riset, analisis risiko risk assessment) serta pengelolaan
risiko (risk management). Analisis risiko terbagi ke dalam beberapa tahapan,
yaitu tahapan identifikasi bahaya, analisis dosis dan pajanan, karakterisasi
risiko serta komunikasi risiko (NRC 1983).

4.2.1 Identifikasi Bahaya


Identifikasi bahaya merupakan langkah awal untuk mengetahui
atau mengestimasi potensi risiko atau bahaya dalam proses analisis
risiko. Dalam proses ARKL dari pencemaran udara, identifikasi
bahaya bertujuan untuk mengetahui dan mengestimasi bahan-bahan
kimia atau jenis-jenis polutan yang menjadi agen risiko (risk agent)
yang berbahaya terhadap kesehatan manusia serta penyakit-penyakit
yang akan timbul akibat pajanan dari pencemar udara. Tahapan
identifikasi bahaya harus dapat menjawab agen risiko apa yang
berbahaya, bagaimana tingkat konsentrasi agen risiko tersebut di
media lingkungan serta dampak kesehatan yang akan timbul akibat
pajanannya (Besmanto et al. 2012)
Partikulat dan timbal merupakan jenis-jenis polutan yang
memiliki risiko kesehatan karsinogenik dan nonkarsinogenik yang
berbahaya terhadap kesehatan manusia. Tidak hanya berdampak
terhadap kesehatan manusia, pencemaran partikulat juga dapat
mempengaruhi penglihatan atau tingkat visibilitas, merusak kehidupan
tumbuhan serta mempengaruhi iklim regional maupun global. Adapun
dampak pencemaran partikulat terhadap kesehatan manusia
diantaranya iritasi pada mata, gangguan pernafasan, alergi serta
gangguan kesehatan lainnya. Shah et al (2013) menyatakan bahwa
paparan partikulat pada jangka pendek dapat meningkatkan risiko
kematian akibat penyakit jantung iskemik sebesar 9,7%, akibat
penyakit stroke hemoragik sebesar 4,40% dan meningkat sebesar
13,50% akibat stroke iskemik. IARC (2013) menyatakan bahwa
terdapat korelasi yang kuat antara jumlah hari paparan PM2,5 dan
dampak yang timbul terhadap kesehatan mausia. Loomis et al (2014)
menyatakan bahwa IARC (International Agency for Research on
Cancer) telah mengklasifikasikan partikulat sebagai polutan yang
bersifat karsinogenik. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan
partikulat di udara dapat meningkatkan risiko penyakit kanker pada
manusia. Sebagai contoh, penyakit kanker paru-paru dapat dikaitkan
dengan paparan jangka panjang partikulat di udara. Sementara itu
dampak pencemaran timbal lainnya yang berpengaruh terhadap
kesehatan manusia antara lain dapat menimbulkan gangguan syaraf,
gangguan terhadap sistem reproduksi, ginjal, menurunkan tingkat IQ
dan dampak kesehatn lainnya.
Konsentrasi partikulat dan timbal (risk agent) menjadi dasar
atau basis data untuk perhitungan tingkat risiko di masing-masing
kecamatan di Kota Bogor. Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa Tanah
Sareal memiliki rata-rata konsentrasi PM2,5 tertinggi diikuti Bogor
Utara dan Bogor Barat. Sementara itu, rata-rata konsentrasi PM10 dan
TSP tertinggi terjadi di Kecamatan Bogor Barat dengan masing-
37

masing konsentrasi sebesar 58,08 µg/m3 dan 122,83 µg/m3. Untuk


polutan timbal, setiap kecamatan memiliki konsentrasi yang sangat
kecil berkisar 0,092 µg/m3 sampai 0,125 µg/m3.

Tabel 7 Rata-rata konsentrasi PM2,5, PM10, TSP dan Pb tahun 2016 sampai
2020 di setiap kecamatan di Kota Bogor
Kecamatan PM2,5 (µg/m3) PM10 (µg/m3) TSP (µg/m3) Timbal (µg/m3)
Bogor Barat 35,30 58,08 122,83 0,108
Bogor Timur 24,00 39,00 75,54 0,122
Bogor Tengah 26,20 39,19 90,40 0,092
Bogor Utara 35,30 49,75 95,56 0,125
Bogor Selatan 31,70 51,04 100,56 0,108
Tanah Sareal 45,00 52,00 110,80 0,117
Sumber : DLH (2016, 2017, 2018, 2019a, 2019b, 2020)

Data pengukuran partikulat dan timbal (Tabel 7) juga dapat


menyatakan bahwa konsentrasi TSP selalu lebih besar dari konsentrasi
PM10, serta konsentrasi PM10 selalu lebih besar dari konsentrasi PM2,5.
Peters et al. (2000) menyatakan bahwa sebanyak 68% kandungan TSP
adalah PM10, dan sebanyak 75% PM10 adalah PM2,5. Dalam studi ini,
umumnya sebanyak 60 sampai 70% kandungan PM10 adalah PM2,5, dan
sebanyak 43 sampai 52% kandungan TSP adalah PM10.

4.2.2 Analisis Dosis-Respon


Analisis dosis-respon merupakan salah satu tahap dalam analisis
risiko kesehatan lingkungan yang bertujuan untuk menentukan
hubungan antara besarnya dosis pajanan bahan kimia dengan
terjadinya efek yang merugikan kesehatan manusia. Dalam
terminologi umum, dosis merupakan kadar dari sesuatu dalam hal ini
adalah agen risiko (partikulat dan timbal) yang dapat mempengaruhi
suatu organisme secara biologis, sedangkan respon merupakan efek
yang terlihat atau terasakan setelah terpapar oleh agen risiko yang
bersifat merugikan. Respon dari paparan agen risiko tersebut berupa
tanggapan awal hingga tanggapan yang lebih rumit seperti timbulnya
kanker paru-paru pada manusia.
Analisis dosis-respon atau toxicity assessment perlu dilakukan
untuk menetapkan nilai-nilai kuantitatif toksisitas dari agen risiko
untuk setiap bentuk spesi kimianya (Basri et al. 2014). Untuk
menentukan analisis risiko kesehatan lingkungan, tahapan ini menjadi
sangat penting dan menentukan serta dapat dilakukan untuk agen
risiko yang sudah mempunyai nilai dosis-responnya (USEPA 1997).
Dalam studi analisis risiko kesehatan lingkungan, tingkat toksisitas
agen risiko dapat dinyatakan dalam dosis referensi (RfD) untuk
dampak kesehatan bersifat nonkarsinogenik, serta cancer slope factor
(CSF) atau cancer unit risk (CUR) untuk dampak kesehatan yang
bersifat karsinogenik.
38

Dosis referensi dalam ARKL bertujuan untuk mengestimasi


dosis pajanan harian yang diprakirakan tidak akan menimbulkan efek
kesehatan meskipun paparan berlanjut sepanjang hayat (Rahman
2007). Berdasarkan jalur pajanannya, terdapat dua jenis dosis referensi
dalam analisis dosis-respon yaitu dosis referensi (RfD) untuk pajanan
oral atau ingesti, serta reference concentration (RfC) untuk pajanan
inhalasi. Nilai RfC/RfD dan CSF dapat dilihat di integrated risk
information system (IRIS), atau dapat diturunkan dari nilai no
observed adverse effect level (NOAEL), lowest observed adverse
effect level (LOAEL) dan national ambient air quality standard
(NAQQS) (Besmanto et al. 2012). NOAEL merupakan dosis tertinggi
zat yang bersifat kronik atau subkronik yang tidak menunjukan efek
merugikan pada hewan uji atau manusia secara biologis dan statistik,
sedangkan LOAEL merupakan dosis terendah yang masih dapat
menimbulkan efek. Secara numerik, nilai LOAEL selalu lebih tinggi
daripada nilai NOAEL.
Untuk toksisitas dari agen risiko PM2,5, PM10, TSP dan Pb yang
menyebabkan efek nonkarsinogenik melalui jalur inhalasi dapat
dinyatakan dengan RfC, sedangkan timbal yang dapat menyebabkan
efek karsinogenik dinyatakan cancer slope factor atau cancer unit risk.
Nilai RfC untuk PM10 dan TSP diperoleh dari penelitian yang
dilakukan Rahman et al. (2008) yaitu masing-masing sebesar 0,014
(mg/kg·hari) dan 0.02 (mg/kg·hari), serta RfC untuk timbal sebesar
0,0004 mg/kg·hari (Nukman et al. 2005), sedangkan untuk PM2,5
sebesar 0,0102 (mg/kg·hari) yang diperoleh dari perhitungan di bawah
ini

0,0375  0,83  24  350


RFC   0,0102mg / kghari
70  365

Nilai RfC 0,0102 mg/kg·hari diperoleh dari perbandingan antara


konsentrasi PM2,5 sebesar 0,0375 mg/m3, nilai default laju inhalasi
sebesar 0,83 m3/jam, lama pajanan 24 jam/hari, frekuensi pajanan 350
hari/tahun, dan berat badan rata-rata serta periode waktu rata-rata
masing-masing sebesar 70 kg dan 365 hari/tahun. Konsentrasi PM2,5
diturunkan dari baku mutu PM10 yang ditetapkan oleh USEPA (1990c)
sebesar 50 µg/m3, dimana sebanyak 75% konsentrasi PM10 merupakan
PM2,5 yaitu sebesar 37,5 µg/m3 atau 0,0375 mg/m3. Nilai RfC yang
diperoleh bukan merupakan dosis mutlak dari suatu agen risiko,
melainkan hanya dosis referensi. Apabila nilai dosis yang diterima
oleh suatu individu atau populasi lebih besar dari nilai RfC, maka yang
timbul adalah peluang terjadinya risiko kesehatan akan semakin besar
(Siswati dan Diyanah 2017).
Partikulat (PM2,5, PM10 dan TSP) telah diketahui menyebabkan
dampak jangka pendek dan jangka panjang terhadap kesehatan
manusia, serta berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kematian.
Selain itu, partikulat (TSP) di udara yang di dalamnya terkandung
polutan timbal dapat memberikan efek karsinogenik terhadap
39

kesehatan manusia. Timbal tersebut akan masuk ke dalam tubuh


manusia melalui pernafasan serta penetrasi melalui kulit. Paparan
timbal yang masuk ke dalam tubuh manusia dapat menyebabkan
gangguan neurologi, fungsi ginjal, sistem reproduksi, sistem syaraf,
serta dapat menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan fisik dan
mental anak anak meskipun terpapar dalam jumlah yang sedikit.

4.2.3 Analisis Pajanan


Pajanan atau pemajanan adalah suatu proses yang menyebabkan
organisme kontak dengan bahaya lingkungan dalam hal ini adalah
polutan partikulat dan timbal, yang bisa terjadi melalui inhalasi,
tertelan bersama makanan serta terserap melalui kulit (Djafri 2014).
Menurut USEPA (1992), analisis pajanan merupakan langkah evaluasi
kuantitatif dan kualitatif dari suatu kontak yang menggambarkan
intensitas, frekuensi dan durasi kontak, dimana bahan kimia atau agen
risiko melintasi batas (kulit, mulut atau pernafasan), dan menjadi
langkah kunci dan penting dalam analisis risiko kesehatan lingkungan.
Tahapan ini bertujuan untuk mengenali jalur pajanan agen risiko
(partikulat dan timbal) atau menentukan dosis agen risiko agar dapat
menghitung jumlah asupan atau intake yang diterima oleh populasi
yang berisiko.
Untuk menghitung nilai pajanan atau paparan yang diterima
oleh individu dalam suatu populasi yang berisiko, yang perlu
diperhatikan adalah rute pajanannya yang bisa ditentukan melalui
critical pathway (jalur pajanan dominan) (Djafri 2014). Jalur tersebut
menyangkut media lingkungan dan dengan cara apa agen risiko
tersebut masuk ke dalam tubuh, dimana rute pajanan partikulat dan
timbal dominan melalui proses inhalasi. Ukuran dan komposisi kimia
partikulat serta laju inhalasi individu dapat menentukan proses
pengendapan partikulat di paru-paru. Partikulat dengan diameter lebih
besar dari 0,50 µm tidak dapat tersaring di bagian nasofaring dan
cenderung mengendap di saluran pernafasan bagian atas, sedangkan
partikel dengan diameter yang lebih kecil dari 0,20 µm dapat
mengendap di dinding saluran udara ke seluruh paru-paru (Wood et al.
1997).
Nilai pajanan diperoleh dengan menghitung nilai konsentrasi
agen risiko yang masuk ke dalam tubuh melalui proses inhalasi. Untuk
menentukan nilai konsentrasi agen risiko di atmosfer, perlu
mempertimbangkan karakteristik statistikanya. Apabila data
konsentrasi agen risiko berdistribusi normal, maka data yang
digunakan adalah data mean nya, sedangkan apabila data konsentrasi
agen risiko tersebut tidak berdistribusi normal, maka data yang
digunakan adalah data log normal atau mediannya. Untuk mengetahui
normal atau tidak normalnya distribusi data konsentrasi agen risiko
dapat dilakukan dengan menghitung coefficience of variance (CoV)
(NRC 1983). Konsentrasi partikulat dan timbal yang digunakan adalah
rata-rata konsentrasi yang diukur di tiap-tiap kecamatan di Kota Bogor
yang tercantum pada Tabel 7.
40

Perhitungan nilai pajanan membutuhkan nilai variabel


antropometri berupa berat badan yang akan mempengaruhi besar dosis
agen risiko yang diterima suatu individu. Berdasarkan Persamaan 3
semakin besar berat badan akan memperkecil dosis yang diterima.
Berat badan dapat berimplikasi pada nilai baku mutu sebagai salah
satu bentuk pengendalian risiko. Berat badan suatu individu dapat
mempengaruhi laju inhalasi individu tersebut, karena laju inhalasi
merupakan fungsi dari berat badan. Laju inhalasi individu akan
berhubungan dengan laju metabolisme serta berkaitan dengan
kebutuhan energi tubuh yang pada akhirnya akan mempengaruhi
kebutuhan energi tubuh (Nukman et al. 2005). Berat badan akan
mempengaruhi kapasitas vital paru karena berhubungan dengan
kemampuan elastisitas atau mengembangnya dinding rongga dada.
Besarnya berat badan pada manusia akan memperburuk fungsi paru-
paru dan gejala pernafasan karena adanya lipatan lemak sehingga akan
menyumbat saluran pernafasan dan mengurangi ekspansi paru dan
mengurangi kapasitas paru (Poulain et al. 2006). Jarrett et al. (2010)
menyatakan bahwa pada individu yang mengalami obesitas akan
menghirup partikulat lebih banyak karena mengalami proses
pernafasan yang lebih cepat.
Untuk menentukan laju inhalasi yang merupakan peubah dalam
perhitungan nilai pajanan, dapat ditentukan berdasarkan usia individu.
Fungsi paru-paru dalam hal ini adalah laju inhalasi akan mengalami
penurunan dengan semakin bertambahnya usia. Gotschi et al. (2008)
menyatakan bahwa fungsi paru-paru akan mencapai nilai optimal pada
usia 20 sampai 25 tahun, dan akan menurun seiring dengan
penambahan usia individu tersebut. Kondisi ini tentunya dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kondisi lingkungan
ataupun riwayat penyakit yang berhubungan dengan pernafasan.
Menurut USEPA (2009a), laju inhalasi laki-laki dan perempuan akan
meningkat hingga mencapai 20,94 m3/hari dan 16,20 m3/hari ketika
berusia 51 tahun, dan akan menurun kembali sampai dengan laju
inhalasi sebesar 15,15 m3/hari dan 11,15 m3/hari. Pengukuran berat
badan dan perhitungan usia terhadap 360 responden di 6 kecamatan
menghasilkan rata-rata berat badan dan usia serta laju inhalasi
terlampir pada Tabel 8.
Berdasarkan hasil survey yang dilampirkan pada Tabel 8,
terlihat bahwa Bogor Barat memiliki rata-rata berat badan tertinggi
sebesar 68 kg untuk laki-laki dan 62 kg untuk perempuan. Rata-rata
berat badan paling rendah untuk laki-laki terjadi di Bogor Selatan dan
Tanah Sareal sebesar 61 kg, dan rata-rata berat badan perempuan
terendah terjadi di Bogor Timur sebesar 54 kg. Berat badan pada
individu ataupun populasi menjadi faktor penentu nilai pajanan,
karena berat badan tersebut menjadi pembagi dalam rasio perhitungan
nilai pajanan. Selain itu, berat badan juga dapat mempengaruhi nilai
laju inhalasi dari suatu individu ataupun populasi. Berdasarkan
Brochu et al. (2006), setiap individu atau populasi akan mengalami
penurunan laju inhalasi ketika berat badan berada pada kisaran 70,90
41

kg untuk laki-laki dan perempuan berada pada kisaran 58,80 kg. Dari
sisi usia, usia rata-rata laki-laki dan perempuan tertinggi terjadi di
Bogor Tengah dengan rata-rata usia 45 tahun. Sementara itu, Bogor
Barat memiliki usia rata-rata laki-laki dan perempuan paling rendah
yaitu masing-masing sebesar 36 dan 32 tahun.

Tabel 8 Faktor pemajanan antropometri penduduk laki-laki dan perempuan


di setiap kecamatan di Kota Bogor
Nilai Numerik
Faktor Pemajanan Bogor Bogor Bogor Bogor Bogor Tanah
Barat Timur Tengah Utara Selatan Sareal
Rata-rata berat badan laki-laki
68±11 65±14 65±10 63±11 61±11 61±10
(kg)*
Rata-rata berat badan
62±12 54±7 56±9 56±10 60±10 59±12
perempuan (kg)*
Rata-rata usia laki-laki
36±11 42±12 45±14 40±14 42±11 41±14
(tahun)*
Rata-rata usia perempuan
32±9 39±12 45±14 33±12 44±13 38+12
(tahun)*
Laju inhalasi laki-laki
0,85 0,87 0,87 0,85 0,87 0,85
(m3/jam)**
Laju inhalasi
0,62 0,62 0,68 0,62 0,68 0,62
perempuan (m3/jam)**
Waktu pajanan harian
24
(jam/hari)***
Frekuensi pajanan
350
(hari/tahun)***
durasi pajanan
30
dewasa(tahun)***
Periode waktu rata-rata untuk
10.950
non karsinogenik (hari)***
Periode waktu rata-rata untuk
25.550
karsinogenik (hari)***
Sumber : *hasil survey, **USEPA (2009a), ***(Besmanto et al. 2012)

Besmanto et al. (2012) menetapkan nilai-nilai default untuk


kriteria pemukiman (residensial), yaitu waktu pajanan harian selama
24 jam/hari, frekuensi pajanan selama 350 hari/tahun, durasi pajanan
sepanjang hayat selama 30 tahun (lifetime), periode waktu rata-rata
untuk efek nonkarsinogenik dan efek karsinogenik masing-masing
selama 10.950 hari dan 25.550 hari. Selain itu, Besmanto et al. (2012)
juga menetapkan nilai-nilai default untuk pajanan di lokasi kerja
dengan nilai waktu pajanan harian dan frekuensi pajanan masing-
masing bernilai 8 jam/hari dan 250 hari/tahun. Karakteristik aktivitas
seperti waktu dan frekuensi pajanan dapat disesuaikan dengan kondisi
aktual responden apabila kriteria responden spesifik, seperti yang
dilakukan oleh Rahman et al. (2008) dan Rahmadani dan Tualeka
(2016), dimana waktu dan frekuensi pajanannya diperoleh dari survey
dengan responden pekerja pertambangan kapur dan pekerja sol sepatu.
42

Waktu pajanan ditentukan berdasarkan berapa lama para pekerja


berada di lokasi pajanan setiap harinya, sedangkan frekuensi pajanan
dihitung berdasarkan berapa hari dalam setahun para pekerja berada di
area studi atau lokasi pajanan.
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 9, populasi laki-laki
di Tanah Sareal menjadi populasi yang memiliki nilai pajanan polutan
PM2,5 dan TSP tertinggi sebesar 1,44x10-2 mg/kg·hari dan 3,55x10-2
mg/kg·hari. Nilai pajanan PM10 tertinggi untuk penduduk laki-laki
terjadi di Kecamatan Bogor Selatan sebesar 1,69x10-2 mg/kg·hari.
Untuk nilai pajanan dari paparan timbal bersifat nonkarsinogenik
maupun karsinogenik, pajanan tertinggi terjadi pada populasi laki-laki
di kecamatan Bogor Utara sebesar 3,88x10-5 mg/kg·hari dan 1,66x10-5
mg/kg·hari. Terkait populasi perempuan, paparan tertinggi terjadi di
Tanah Sareal (1,09x10-2 mg/kg·hari PM2,5), Bogor Barat (1,35x10-2
mg/kg·hari PM10), Bogor Barat (2,85x10-2 mg/kg·hari TSP) serta
Bogor Timur (3,26x10-5 mg/kg·hari Pb nonkarsinogenik dan 1,40x10-5
mg/kg·hari Pb efek karsinogenik).

Tabel 9 Nilai asupan PM2,5, PM10, TSP, dan Pb penduduk laki-laki dan
perempuan di setiap kecamatan di Kota Bogor
Jenis PM2,5 PM10 TSP Pb Pb
Kecamatan
Kelamin (mg/kg·hari) (mg/kg·hari) (mg/kg·hari) (mg/kg·hari)* (mg/kg·hari)**
Bogor
Laki-Laki 1,01 1,66 3,51 3,08 1,32
Barat
Perempuan 0,82 1,35 2,85 2,50 1,07
Bogor
Laki-Laki 0,74 1,21 2,34 3,79 1,62
Timur
Perempuan 0,64 1,04 2,02 3,26 1,40
Bogor
Laki-Laki 0,81 1,21 2,79 2,85 1,22
Tengah
Perempuan 0,72 1,08 2,49 2,54 1,09
Bogor
Laki-Laki 1,10 1,54 2,97 3,88 1,66
Utara
Perempuan 0,90 1,27 2,44 3,19 1,37
Bogor
Laki-Laki 1,05 1,69 3,33 3,57 1,53
Selatan
Perempuan 0,81 1,31 2,59 2,78 1,19
Tanah
Laki-Laki 1,44 1,67 3,55 3,75 1,61
Sareal
Perempuan 1,09 1,26 2,68 2,83 1,21
Untuk penyederhanaan terdapat penambahan angka di area informasi, yaitu PM2,5 (x10 ), PM10
-2

(x10-2), dan TSP (x10-2), serta timbal (x10-5)


* Efek nonkarsinogenik, **efek karsinogenik

Hasil perhitungan pada Tabel 9 menunjukan bahwa konsentrasi


PM2,5 yang cukup tinggi di Tanah Sareal berpengaruh terhadap nilai
pajanan yang diterima oleh penduduk laki-laki dan perempuan. Selain
itu, variabel antropometri berupa rata-rata berat badan di Tanah Sareal
cukup rendah, sehingga berpengaruh terhadap tingginya nilai pajanan
yang diterima di lokasi tersebut. Berat badan menjadi faktor pembagi
43

dalam perhitungan nilai intake seperti pada Persamaan 3, dimana


semakin kecil berat badan individu/populasi menyebabkan nilai
pajanan yang diterima akan lebih besar. Berdasarkan hasil survey
yang tercantum pada Tabel 8, berat badan penduduk laki-laki dan
perempuan di Tanah Sareal masing-masing sebesar 61 kg dan 59 kg.
Terkait dengan polutan TSP, meskipun konsentrasi TSP di Tanah
Sareal lebih kecil dari konsentrasi TSP di Bogor Barat, penduduk laki-
laki di Tanah Sareal berpotensi terpajan TSP lebih tinggi daripada
penduduk laki-laki di Bogor Barat atau wilayah lainnya. Faktor berat
badan cukup berpengaruh terhadap nilai pajanan yang dihasilkan.
Rata-rata berat badan penduduk laki-laki di Bogor Barat (68 kg) jauh
lebih tinggi dari rata-rata berat badan di Tanah Sareal (61 kg).
Berbeda dengan nilai pajanan TSP pada penduduk laki-laki, nilai
pajanan TSP tertinggi perempuan terjadi di Kecamatan Bogor Barat.
Perbedaan yang kecil antara rata-rata berat badan penduduk
perempuan di Tanah Sareal dan Bogor Barat berpengaruh terhadap
nilai pajanan yang diperoleh.
Nilai pajanan PM10 yang tinggi pada tiap-tiap segmen penduduk
di Bogor Barat dan Bogor Selatan disebabkan oleh konsentrasi yang
besar. Berdasarkan hasil pengukuran dari periode 2016 sampai 2020,
rata-rata konsentrasi PM10 di Bogor Barat dan Bogor Selatan masing-
masing sebesar 58,08 µg/m3 dan 51,04 µg/m3. Dari Tabel 8 dan Tabel
9 terelihat bahwa meskipun konsentrasi PM10 di Bogor Selatan lebih
kecil dari konsentrasi PM10 di Tanah Sareal dan rata-rata berat badan
penduduk laki-laki di 2 lokasi tersebut sama (61 kg), tidak
menyebabkan nilai pajanan di Tanah Sareal akan lebih besar dari nilai
pajanan di Bogor Selatan. Hal ini dikarenakan terdapat faktor lain
yang berpengaruh terhadap nilai pajanan tersebut, yaitu laju inhalasi.
Laju inhalasi yang tercantum pada Tabel 8 menjelaskan bahwa
penduduk laki-laki di Bogor Selatan memiliki laju inhalasi lebih besar
(0,87 m3/jam) dari laju inhalasi penduduk laki-laki di Tanah Sareal
(0,85 m3/jam). Laju inhalasi ditentukan berdasarkan rata-rata usia
responden yang disurvey di setiap lokasi pengukuran.
Terkait nilai pajanan timbal yang berefek nonkarsinogenik dan
karsinogenik, konsentrasi timbal di Bogor Utara dan Bogor Timur
berpengaruh terhadap nilai pajanan yang diterima oleh tiap-tiap
segmen penduduk di 2 lokasi tersebut. Rata-rata konsentrasi timbal
yang terukur di Bogor Utara dan Bogor Timur lebih tinggi di antara
lokasi pengukuran lainnya yaitu sebesar 0,125 µg/m3 dan 0,122 µg/m3.
Untuk interpretasi, sebagai contoh nilai pajanan PM2,5 sebesar
1,01x10-2 (mg/kg·hari) di kecamatan Bogor Barat untuk jenis kelamin
laki-laki dapat diartikan bahwa polutan berupa PM2,5 yang terhirup
menunjukan massa sebesar 1,01x10-2 mg untuk rata-rata setiap
kilogram berat badan individu setiap harinya. Nilai pajanan yang
diterima oleh setiap individu/populasi yang bersifat pemukiman belum
tentu sama dengan nilai pajanan yang diterima oleh individu/populasi
sebenarnya. Hal ini dikarenakan setiap individu tersebut tidak selalu
berada di lokasi pemukiman atau area studi secara terus menerus.
44

4.2.4 Karakteristik Risiko


Karakteristik risiko menjadi langkah terakhir dalam proses
analisis risiko kesehatan lingkungan yang bertujuan untuk mengetahui
tingkat risiko dari pajanan polutan yang masuk ke dalam tubuh
melalui inhalasi. Karakteristik risiko dinyatakan sebagai tingkat risiko
atau risk quotient (RQ) untuk agen risiko yang berpotensi
mengakibatkan efek nonkarsinogenik seperti agen risiko PM2,5, PM10,
TSP serta timbal (nonkarsinogenik). Tingkat risiko (Persamaan 2) dari
suatu agen risiko merupakan rasio atau pembagian antara nilai pajanan
(Persamaan 3) dari suatu individu/ populasi dan dosis respon
(Persamaan 4) dari agen risiko tersebut. Tidak hanya efek
nonkarsinogenik yang dapat dihitung melalui persamaan RQ, agen
risiko yang bersifat karsinogenik juga seperti polutan timbal dapat
dihitung melalui Persamaan 5 yang dinyatakan sebagai cancer risk.
Nilai CR dapat diperoleh dengan mengalikan nilai pajanan timbal dan
faktor kemiringan karsinogen sebesar 0,042 (mg/kg·hari)-1 (Budroe et
al. 2009).

Tabel 10 Tingkat risiko PM2,5, PM10, TSP dan Pb penduduk laki-laki dan
perempuan di setiap kecamatan di Kota Bogor
Jenis
Kecamatan PM2,5 PM10 TSP Pb Kumulatif
kelamin
Bogor Barat Laki-laki 0,99 1,18 1,75 0,077 4,00
Perempuan 0,80 0,96 1,42 0,063 3,25
Bogor Timur Laki-laki 0,73 0,86 1,17 0,095 2,86
Perempuan 0,63 0,74 1,01 0,081 2,46
Bogor
Laki-laki 0,79 0,87 1,40 0,071 3,13
Tengah
Perempuan 0,71 0,77 1,24 0,063 2,79
Bogor Utara Laki-laki 1,07 1,10 1,48 0,097 3,76
Perempuan 0,88 0,91 1,22 0,080 3,09
Bogor
Laki-laki 1,03 1,21 1,66 0,089 3,99
Selatan
Perempuan 0,80 0,94 1,29 0,070 3,10
Tanah Sareal Laki-laki 1,41 1,19 1,78 0,094 4,48
Perempuan 1,07 0,90 1,34 0,071 3,37

Tabel 10 menunjukan perbedaan nilai RQ menurut konsentrasi


PM2,5, PM10, TSP dan Pb untuk kriteria penduduk pemukiman
(residensial). Berdasarkan Tabel 10, penduduk laki-laki di tiap-tiap
kecamatan di Kota Bogor memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi
dari perempuan. Terkait dengan agen risiko PM2,5, penduduk laki-laki
di kecamatan Bogor Utara, Bogor Selatan, dan Tanah Sareal memiliki
tingkat risiko kesehatan lebih dari 1 (RQ > 1), dan untuk penduduk
perempuan hanya ada di Tanah Sareal yang memiliki nilai RQ PM2,5
45

lebih dari 1. Untuk polutan PM10, penduduk laki-laki di kecamatan


Bogor Barat, Bogor Utara, Bogor Selatan dan Tanah Sareal memiliki
tingkat risiko lebih dari 1. Untuk agen risiko TSP, penduduk laki-laki
dan perempuan di setiap kecamatan memiliki nilai numerik RQ > 1.
Tingkat risiko lebih dari 1 menunjukan bahwa risiko kesehatan di
wilayah tersebut ada sehingga perlu dikendalikan atau perlu adanya
manajemen risiko. Terkait dengan polutan timbal, tingkat risiko timbal
di tiap-tiap kecamatan masih berada di bawah 1 (RQ < 1). Apabila RQ
≤ 1, maka konsentrasi polutan atau agen risiko di Kota Bogor tidak
perlu dikendalikan karena dinyatakan masih aman.
Nilai numerik RQ yang lebih tinggi pada penduduk laki-laki
dikarenakan laju inhalasi yang lebih tinggi dari perempuan. Dengan
kelompok usia yang sama seperti kelompok usia 31 sampai 41, laju
inhalasi laki-laki lebih tinggi sebesar 20,29 m3/hari dan perempuan
sebesar 14,98 m3/hari (USEPA 2009a). Laki-laki memiliki volume
absolut paru-paru (Schwartz et al. 1988; Quanjer et al. 2012a; Quanjer
et al. 2012b; Dominelli et al. 2015, rongga hidung (Garcia-Martinez et
al. 2016) dan koana (Bastir et al. 2011) yang lebih besar dari
perempuan. Rata-rata berat badan antara laki-laki dan perempuan juga
akan mempengaruhi nilai asupan yang akhirnya akan menentukan
nilai numerik RQ segmen populasi masing-masing kecamatan.
Perbandingan nilai numerik RQ penduduk laki-laki berdasarkan
wilayah menunjukan Tanah Sareal memiliki nilai RQ PM2,5 dan TSP
tertinggi sebesar 1,41 dan 1,78. Sebaliknya, penduduk laki-laki di
Bogor Timur memiliki nilai RQ PM2,5 dan TSP terendah masing-
masing sebesar 0,73 dan 1,17. Tingkat risiko PM10 penduduk laki-laki
berkisar dari 0,86 sampai 1,21 dengan Bogor Selatan dan Bogor
Timur menjadi wilayah dengan nilai RQ PM10 tertinggi dan terendah.
Sementara itu, perbandingan tingkat risiko Pb nonkarsinogenik
penduduk laki-laki berdasarkan wilayah adalah Bogor Utara menjadi
wilayah tertinggi dan Bogor Tengah sebagai wilayah terendah dengan
nilai RQ masing-masing sebesar 0,097 dan 0,071.
Terkait dengan perbandingan nilai RQ tiap polutan penduduk
perempuan berdasarkan wilayah, menunjukan bahwa Tanah Sareal
memiliki nilai RQ PM2,5 tertinggi sebesar 1,07; dan RQ terendah
terjadi di Bogor Timur sebesar 0,63. Nilai numerik RQ PM10 tertinggi
terjadi di Bogor Barat sebesar 0,96; dan terendah terjadi Bogor Timur
sebesar 0,74. Tidak hanya nilai RQ PM10, nilai RQ tertinggi dan
terendah juga terjadi di Bogor Barat dan Bogor Timur masing-masing
sebesar 1,42 dan 1,01. Sementara itu, tingkat risiko Pb
nonkarsinogenik penduduk perempuan tertinggi dan terendah terjadi
di Bogor Timur dan Bogor Barat, dimana nilai RQ yang diperoleh
sangat kecil dan masih berada di bawah 1.
Nilai RQ yang kecil pada timbal disebabkan oleh konsentrasi
timbal yang sangat kecil di tiap-tiap kecamatan. Umumnya,
konsentrasi timbal di perkotaan sangat kecil bahkan tidak terdeteksi.
Mukhtar et al. (2013) telah mengukur konsentrasi Pb di beberapa kota
besar di Indonesia, dan hanya Kota Surabaya dan Tangerang yang
46

memiliki konsentrasi Pb melebihi baku mutu udara ambien nasional


masing-masing sebesar 2,66 µg/m3 dan 2,04 µg/m3. Pemerintah telah
menerapkan strategi penghapusan timbal dari bensin sebagai upaya
mencegah pencemaran udara. Beberapa peraturan yang
melatarbelakanginya adalah UU No 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 1997), Keputusan Menteri LH
No 35 Tahun 1993 tentang Ambang Batas Gas Buang Kendaraan
Bermotor (Kepmen 1993), Keputusan Menteri LH No 15/4/1996
tentang Program Langit Biru (Kepmen 1996) serta Keputusan Kepala
Bapedal No 205 Tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian
Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak (Kepkabapedal 1996).
Secara kumulatif, Tanah Sareal memiliki tingkat risiko tertinggi
untuk penduduk laki-laki dan perempuan masing-masing sebesar 4,48
dan 3,37. Sementara itu, Bogor Timur memiliki tingkat risiko
kumulatif terendah untuk penduduk laki-laki dan perempuan masing-
masing sebesar 2,86 dan 2,46. Nilai RQ kumulatif yang tinggi tersebut
merupakan hasil penjumlahan RQ tiap-tiap agen risiko (PM2,5, PM10,
TSP dan Pb) dimana RQ TSP menjadi kontributor tertinggi dalam
penjumlahan RQ kumulatif.
Sebagai contoh interpretasi, RQ untuk pajanan PM2,5 35,30
ug/m dengan rata-rata berat badan 68 kg dengan frekuensi pajanan
3

350 hari/tahun selama 30 tahun diketahui sebesar 0,99; maka dapat


diinterpretasikan pajanan PM2,5 sebesar 35,30 ug/m3 secara inhalasi
pada laki-laki dewasa di Bogor Barat dengan rata-rata berat badan 68
kg masih aman untuk frekuensi pajanan 350 hari/tahun selama 30
tahun.
Tabel 11 menunjukan hasil rekapitulasi frekuensi nilai RQ
masing-masing agen risiko di 6 kecamatan di Kota Bogor. Secara
keseluruhan frekuensi tingkat risiko PM2,5, PM10, dan TSP lebih dari 1
di enam kecamatan untuk pajanan sepanjang hayat (lifetime) mencapai
31,10%, 42,50%, dan 90,80%. Sementara itu, frekuensi nilai RQ > 1
untuk agen risiko Pb mencapai 0% dimana tidak ada penduduk laki-
laki dan perempuan yang memiliki risiko kesehatan akibat paparan
timbal. Berdasarkan segmen wilayah, kecamatan Tanah Sareal
memiliki frekuensi nilai RQ > 1 tertinggi (61,67%), sedangkan
frekuensi nilai RQ > 1 terendah adalah Bogor Timur (20,42%). Tabel
11 juga menyatakan bahwa penduduk laki-laki mempunyai frekuensi
tingkat risiko lebih dari 1 yang lebih banyak daripada penduduk
perempuan masing-masing sebesar 49,90% dan 32,40%. Hal ini
dipengaruhi oleh laju inhalasi laki-laki lebih tinggi dan berbeda cukup
jauh dengan laju inhalasi penduduk perempuan dengan rentang usia
yang sama. Perbedaan nilai laju inhalasi yang cukup jauh antara
penduduk laki-laki dan perempuan menjadikan nilai pajanan laki-laki
selalu lebih tinggi dari nilai pajanan perempuan yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap nilai numerik tingkat risiko tiap-tiap polutan.
47

Tabel 11 Rekapitulasi frekuensi RQ > 1 PM2,5, PM10, TSP dan Pb penduduk


laki-laki dan perempuan di setiap kecamatan di Kota Bogor
Jenis PM2,5 PM10 TSP Pb
Kecamatan
kelamin RQ > 1/RQ % RQ > 1/RQ % RQ > 1/RQ % RQ > 1/RQ %
Bogor Barat Laki-laki 14/30 46,7 25/30 83,3 30/30 100 0/30 0
Perempuan 4/30 13,3 14/30 46,7 28/30 93,3 0/30 0
Bogor
Laki-laki 1/30 3,3 6/30 20 23/30 76,7 0/30 0
Timur
Perempuan 0/30 0 0/30 0 19/30 63,3 0/30 0
Bogor
Laki-laki 1/30 3,3 3/30 10 30/30 100 0/30 0
Tengah
Perempuan 0/30 0 3/30 10 26/30 86,7 0/30 0
Bogor Utara Laki-laki 19/30 63,3 19/30 63,3 30/30 100 0/30 0
Perempuan 4/30 13,3 10/30 33,3 26/30 86,7 0/30 0
Bogor
Laki-laki 18/30 60 25/30 83,3 29/30 96,7 0/30 0
Selatan
Perempuan 0/30 0 10/30 33,3 27/30 90 0/30 0
Tanah
Laki-laki 30/30 100 26/30 86,7 30/30 100 0/30 0
Sareal
Perempuan 14/30 46,7 25/30 83,3 30/30 100 0/30 0

Analisis risiko kanker atau cancer risk di 6 kecamatan di Kota


Bogor dapat dihitung menggunakan Persamaan 5 dengan variabel nilai
intake (Tabel 9) dan faktor kemiringan karsinogen sebesar 0,042
kg·hari/mg. Menurut Besmanto et al. (2012), durasi paparan dan
periode waktu rata-rata untuk kriteria pemukiman dan dewasa dengan
dampak karsinogenik masing-masing adalah 30 tahun dan 25.550 hari.
Tabel 12 merupakan hasil analisis risiko kanker polutan timbal
di Kota Bogor. Secara keseluruhan, estimasi nilai risiko kanker di
setiap lokasi pengukuran pada setiap segmen penduduk lebih kecil
dari nilai 10-6 yang berarti timbal tidak menimbulkan risiko bagi
masyarakat yang terpapar. Penduduk laki-laki di Bogor Utara dan
penduduk perempuan di Bogor Timur memiliki nilai risiko kanker
paling tinggi masing-masing sebesar 6,99x10-7 dan 5,86x10-7.
Konsentrasi Pb dan nilai pajanan yang lebih besar berperan dalam
hasil perhitungan nilai risiko kanker tersebut. Penduduk laki-laki di
Bogor Utara memiliki nilai pajanan sebesar 1,66x10-5 dan penduduk
perempuan di Bogor Timur memiliki nilai pajanan sebesar 1,40x10-5.
Kecamatan Bogor Tengah memiliki nilai CR yang lebih kecil karena
memiliki konsentrasi Pb yang paling rendah yaitu 0,09 µg/m3, serta
memiliki rata-rata berat badan yang lebih besar yang berpengaruh
dalam perhitungan nilai pajanan.
48

Tabel 12 Risiko kanker penduduk laki-laki dan perempuan di setiap


kecamatan di Kota Bogor
Kecamatan Jenis kelamin Risiko kanker
Bogor Barat Laki-laki 5,55 x 10-7
Perempuan 4,50 x 10-7
Bogor Timur Laki-laki 6,82 x 10-7
Perempuan 5,86 x 10-7
Bogor Tengah Laki-laki 5,13 x 10-7
Perempuan 4,57 x 10-7
Bogor Utara Laki-laki 6,99 x 10-7
Perempuan 5,74 x 10-7
Bogor Selatan Laki-laki 6,43 x 10-7
Perempuan 5,01 x 10-7
Tanah Sareal Laki-laki 6,75 x 10-7
Perempuan 5,09 x 10-7

Untuk interpretasi, sebagai contoh nilai risiko kanker penduduk


laki-laki di Bogor Utara sebesar 6,99x10-7, dapat diartikan bahwa
terdapat 6,99 kasus dalam 10.000.000 orang yang dapat berkembang
menjadi kasus kanker atau terdapat 6,99 orang yang berisiko terkena
kanker pada 10.000.000 orang populasi.

4.2.5 Manajemen Risiko


Manajemen atau pengelolaan risiko merupakan kelanjutan
proses dari tahapan analisis risiko. Pengelolaan risiko ditujukan untuk
merumuskan beberapa pilihan pengelolaan untuk mengurangi nilai
tingkat risiko partikulat serta risiko kanker dari cemaran timbal
dengan cara mengurangi atau memperkecil nilai asupan yang masuk
ke dalam tubuh manusia atau minimal sama dengan dosis referensinya
(RfC) (Rahman et al 2008). Pengelolaan risiko dapat dilakukan
melalui beberapa pendekatan, di antaranya adalah pendekatan
teknologi, pendekatan sosial-ekonomi, dan pendekatan institusional
(Besmanto et al. 2012).
Manajemen risiko merupakan suatu proses yang saling
berhubungan dengan proses analisis risiko. Hal ini dikarenakan
beberapa rumusan yang digunakan harus berdasarkan nilai numerik
estimasi risiko pada proses analisis risiko. Terdapat beberapa rumusan
atau pilihan-pilihan yang dapat dilakukan pada tahapan manajemen
risiko ini, yaitu menurunkan konsentrasi agen risiko apabila pola dan
waktu konsumsi tidak dapat diubah, mengurangi waktu kontak bila
konsentrasi agen risiko dan pola konsumsi tidak dapat diubah, serta
melakukan relokasi terhadap populasi yang beresiko pada area yang
lebih aman. Dari ketiga pilihan tersebut, pilihan kedua dan ketiga
yaitu mengurangi waktu kontak dan merelokasi populasi memiliki
kriteria khusus serta membutuhkan dana yang sangat besar.
Mengurangi waktu kontak ditujukan untuk pekerja yang waktu
49

kontaknya dapat diatur, serta merelokasi populasi yang beresiko ke


area yang aman merupakan pilihan yang sangat sulit, bahkan tidak
realistis karena membutuhkan dana yang yang sangat besar. Oleh
karena itu, dalam studi ini rumusan mengurangi konsentrasi agen
risiko menjadi cara yang dipilih dalam manajemen risiko.
Menurunkan konsentrasi partikulat dan timbal akan berbeda
secara kuantitatif untuk setiap segmen populasi dan kawasan.
Perbedaan tersebut dikarenakan pola pajanan dan variabel
antropometri segmen populasi seperti berat badan dan laju inhalasi
akan berbeda. Rumusan mengurangi konsentrasi agen risiko dapat
dilakukan pada semua segmen populasi serta apabila waktu pajanan
tidak dapat diubah. Rumusan menurunkan konsentrasi agen risiko
menggunakan prinsip nilai reference concentration sama dengan nilai
intake (RfC = I), yang ditetapkan menggunakan Persamaan 6 sebagai
perubahan dari Persamaan 4

RfC  Wb  t avg
C
R  te  f e  Dt
··················································· (6)

Berikut merupakan contoh perhitungan untuk menurunkan


konsentrasi PM2,5 bagi penduduk laki-laki di kecamatan Bogor Selatan.

0.0102  61 30  365


C  0,031mg / m3  31g / m3
0,87  24  350  30

Hasil perhitungan tersebut menyatakan bahwa konsentrasi PM2,5


yang aman untuk penduduk laki-laki dengan berat 61 kg dan terpajan
selama 24 jam secara terus menerus setiap hari selama 350 hari untuk
jangka waktu selama 30 tahun adalah sebesar 31 µg/m3. Tentunya
nilai numerik konsentrasi aman yang dapat diterima oleh setiap
individu/populasi akan berbeda dikarenakan perbedaan variabel
antropometrinya dan pola pajanannya.
Berdasarkan Tabel 13, tiap agen risiko memiliki nilai
konsentrasi aman yang telah melebihi atau masih di bawah baku mutu
udara ambien nasional (BMUAN) PP 22 Tahun 2021. Apabila
dibandingkan dengan peraturan tersebut, konsentrasi aman yang
tercantum dalam Tabel 13 harus dibaca sesuai dengan kriteria
pemukiman, yaitu durasi paparan 1 tahun, frekuensi paparan 350
hari/tahun dengan durasi paparan 30 tahun.
50

Tabel 13 Konsentrasi aman PM2,5, PM10, TSP dan Pb penduduk laki-laki


dan perempuan di setiap kecamatan di Kota Bogor
Kecamatan Jenis kelamin PM2,5 (µg/m3) PM10 (µg/m3) TSP (µg/m3) Pb (µg/m3)
Bogor Barat Laki-laki 35,3 49,0 70,0 0,108
Perempuan 35,3 58,1 86,0 0,108
Bogor Timur Laki-laki 24,0 39,0 64,0 0,122
Perempuan 24,0 39,0 75,0 0,122
Bogor Tengah Laki-laki 26,2 39,2 65,0 0,092
Perempuan 26,2 39,2 73,0 0,092
Bogor Utara Laki-laki 33,0 45,0 64,0 0,125
Perempuan 35,3 49,7 78,0 0,125
Bogor Selatan Laki-laki 31,0 42,0 60,0 0,108
Perempuan 31,7 51,0 78,0 0,108
Tanah Sareal Laki-laki 32,0 44,0 62,0 0,117
Perempuan 42,0 52,0 83,0 0,117

Manajemen risiko untuk mencapai konsentrasi aman di setiap


kecamatan penting untuk dilakukan. Hal ini tidak hanya bertujuan
untuk mengurangi potensi risiko kesehatan, tetapi juga sebagai upaya
untuk meningkatkan derajat kesehatan terutama dari berbagai penyakit
yang dipicu oleh hirupan agen kimia. Berdasarkan laporan dari Dinas
Kesehatan Kota Bogor Tahun 2016, penurunan kualitas udara di Kota
Bogor telah meningkatkan jumlah kasus penyakit pernafasan. Pada
tahun 2015 dan 2016, jenis penyakit infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA), dan faringitis meningkat sebanyak 6% dan 0,16%. Jenis
penyakit pernafasan ISPA yang berkelanjutan seperti pneumonia
(paru-paru basah) juga telah banyak terjadi di Kota Bogor.
Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan dalam Profil Kesehatan
Tahun 2017 (Dinkes 2018), pada tahun 2017 sebanyak 5308 kasus
penderita pneumonia telah terjadi di Kota Bogor dengan kasus
terbanyak terjadi di Bogor Barat sebesar 1571 kasus. Selain itu, jenis
penyakit ISPA nonpneumonia telah banyak terjadi di Kota Bogor
dengan jumlah mencapai 52.803 kasus.
Konsentrasi aman masing-masing agen risiko berbeda-beda
untuk setiap wilayah. Besar konsentrasi aman tersebut juga umumnya
masih berada di bawah baku mutu udara ambien yang ditetapkan
Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021. Untuk mencapai konsentrasi
aman tersebut, tentunya perlu dilakukan upaya-upaya pengendalian
terhadap aktivitas yang mendorong meningkatnya konsentrasi tiap-
tiap agen risiko. Pengendalian secara teknis dan legal menjadi dua
cara yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor terutama oleh
Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor.
Menurut Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021, pengendalian
pencemaran udara yang dapat dilakukan oleh pemerintah meliputi
51

pencegahan dan/atau penanggulangan serta pemulihan mutu udara


melalui inventarisasi mutu udara ambien serta pencegahan sumber
pencemar. Secara umum, ada beberapa langkah atau upaya
pengendalian yang dapat dilakukan seperti pemantauan kualitas udara
ambien secara kontiyu atau berkala, pembatasan usia kendaraan
bermotor, perluasan ruang terbuka hijau (RTH), mengurangi
penggunaan bahan bakar fosil di sektor transportasi dan industri,
meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar dan teknologi
kendaraan, serta upaya pengendalian lainnya.
Upaya pengendalian pencemaran udara di Kota Bogor dapat
berjalan efektif apabila ada pengawasan dari suatu lembaga atau
instansi. Upaya pengendalian seperti pemantauan kualitas udara dapat
dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor dan instansi
lainnya. Saat ini, DLH Kota Bogor secara rutin melakukan
pemantauan kualitas udara ambien secara manual di beberapa lokasi di
Kota Bogor dengan karakteristik lokasi berupa perkantoran, jalan
raya/transportasi, pemukiman serta industri. Pusat Pengelolaan Risiko
dan Peluang Iklim - IPB (CCROM-SEAP, IPB) melakukan
pemantauan kualitas udara ambien dan gas rumah kaca (GRK) secara
kontinyu yang berlokasi di Kampus Baranangsiang, Bogor.
Pemantauan secara kontinyu tersebut bermanfaat untuk mengetahui
besar konsentrasi secara real-time.
Kontribusi aktivitas transportasi terhadap pencemaran udara di
kota besar sangat tinggi sekitar 70% hingga 80%. Kota Bogor yang
merupakan salah satu kota besar tentunya juga memiliki aktivitas
transportasi yang cukup tinggi. Agar dapat melindungi kualitas udara
ambien di Kota Bogor, diperlukan upaya-upaya pengendalian dari sisi
aktivitas transportasi. Pembatasan usia kendaraan bermotor,
manajemen transportasi dan mendorong untuk beralih ke moda
transportasi masal, serta pengembangan standar emisi kendaraan
menjadi beberapa upaya yang dapat dilakukan. Saat ini, Dinas
Perhubungan Kota Bogor (Dishub) telah melakukan pembatasan
terhadap penggunaan kendaraan angkutan perkotaan (angkot)
maksimal selama 10 tahun. Dalam penelitian Satriyo (2012),
pembatasan usia kendaraan memiliki skor tertinggi 0,38 dan menjadi
prioritas utama dalam pengendalian pencemaran udara di kota besar.
Upaya ini menjadi prioritas utama dikarenakan berhubungan dengan
jumlah emisi yang dikeluarkan serta tingkat kelayakan dari kendaraan
tersebut. Dishub Kota Bogor juga telah mendorong penggunaan bahan
bakar gas (BBG) terhadap angkot di Kota Bogor. Kebijakan tersebut
tidak hanya dapat memperbaiki kualitas udara di Kota Bogor, tetapi
juga dapat meningkatkan keuntungan sopir angkot dengan R/C rasio
sebesar 1,52, dibandingkan angkot yang masih menggunakan BBM
dengan keuntungan R/C rasio sebesar 1,20 (Purnama 2018). Selain itu,
Dishub Kota Bogor melakukan uji emisi pada beberapa kendaraan di
Kota Bogor. Tercatat, pada tahun 2019 sebanyak 4445 kendaraan di
Kota Bogor telah melakukan uji emisi dengan 623 kendaraan (14%)
tidak lulus uji emisi.
52

Perluasan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Bogor menjadi


upaya selanjutnya dalam pengendalian pencemaran udara. Keberadaan
RTH di Kota Bogor tidak hanya dapat menjaga kualitas udara di Kota
Bogor, tetapi juga dapat mempertahankan kondisi iklim mikro di Kota
Bogor. Astuti et al. (2016) menyatakan bahwa luas RTH publik di
Kota Bogor mencapai 1.199,2 Ha atau sekitar 10,12% dari luas Kota
Bogor. Luas RTH publik tersebut masih belum sesuai dengan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 yaitu
20% dari luas kota (Permen 2008). Kecamatan Bogor Selatan menjadi
wilayah yang memiliki RTH terluas yaitu 412,10 Ha, sedangkan
Kecamatan Bogor Timur menjadi wilayah yang memiliki RTH
tersempit yaitu 76,32 Ha atau 0,64% dari luas Kota Bogor. Secara
umum, jenis RTH publik yang mengalami perubahan fungsi lahan di
antaranya RTH sempadan sungai, RTH sempadan rel kereta api,
sempadan jaringan listrik SUTT, RTH sempadan situ atau waduk serta
RTH jalur hijau jalan.
Kampanye berupa promosi kesehatan, pemberdayaan swasta dan
masyarakat, regulasi pemberian insentif dan disinsentif kepada pelaku
usaha (transportasi/industri) menjadi beberapa upaya nonteknis dalam
pengendalian pencemaran udara. Saat ini, upaya yang telah dilakukan
oleh Pemerintah Kota Bogor diantaranya kemitraan dengan berbagai
stakeholder dalam pengendalian pencemaran udara serta sosialisasi
pengelolaan kualitas udara kepada pelaku usaha di bidang industri
atau pelaku usaha lainnya yang menghasilkan polutan udara.
53

V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Konsentrasi PM2,5, PM10, TSP dan Pb di masing-masing kecamatan
mengalami peningkatan yang tinggi pada tahun 2017. Selama periode
pengukuran secara kontiyu, PM2,5 dan PM10 memiliki rata-rata konsentrasi
sebesar 24,38 µg/m3 dan 54,22 µg/m3. Secara diurnal, terdapat perbedaan
rata-rata konsentrasi PM2,5 pada siang dan malam hari, namun tidak terdapat
perbedaan rata-rata konsentrasi PM10 pada siang dan malam hari. Secara
musiman, konsentrasi PM2,5 dan PM10 pada periode kering dan basah
menunjukan variasi yang jelas. Pada periode bulan kering, bulan Juli dan
Agustus memiliki rata-rata konsentrasi PM2,5 dan PM10 tertinggi, sedangkan
rata-rata konsentrasi PM2,5 dan PM10 tertinggi pada periode bulan basah
terjadi pada bulan Oktober.
Melalui paparan inhalasi dan sepanjang hayat, penduduk laki-laki di
Kota Bogor memiliki tingkat risiko PM2,5, PM10, TSP dan Pb lebih tinggi
dari penduduk perempuan. Variabel antropometri berat badan dan laju
inhalasi berpengaruh terhadap tingkat risiko yang diterima oleh setiap
penduduk. Di masing-masing kecamatan, nilai RQ TSP lebih besar dari nilai
RQ polutan lainnya sehingga berkontribusi terhadap tingginya nilai RQ
secara kumulatif. Penduduk laki-laki dan perempuan di Kota Bogor tidak
memiliki risiko kanker dari paparan Pb. Konsentrasi Pb yang kecil di tiap-
tiap kecamatan berpengaruh terhadap nilai risiko kanker yang diperoleh.
Menurunkan konsentrasi partikulat dan timbal menjadi pengelolaan risiko
bagi polutan yang memiliki nilai RQ lebih dari 1.

5.2 Saran
1. Data konsentrasi partikulat dan timbal yang kontinyu diperlukan untuk
mengukur tingkat risiko suatu agen polutan untuk waktu pajanan
sepanjang hayat (lifetime).
2. Paparan secara oral dan kontak kulit perlu dilakukan agar dapat
memperoleh hasil analisis tingkat risiko dari semua jalur paparan
3. Pemerintah Kota Bogor perlu melakukan upaya manajemen risiko
dengan mengurangi konsentrasi agen risiko di setiap kecamatan.
54

DAFTAR PUSTAKA
Abiye OE, Obioh IB, Ezeh GC. 2013. Elemental characterization of urban
particulates at receptor locations in Abuja, North-Central Nigeria. ATM
Env. 81:695-701. doi:10.1016/j.atmosenv.2013.08.042.
Alvarez FF, Rodriguez MT, Espinosa AJF, Daban AG. 2004. Physical
speciation of arsenic, mercury, lead, cadmium and nickel in inhalable
atmospheric particles. Anal Chim Acta. 524:33-40.
doi:10.1016/j.aca.2004.02.004.
Annashr NN, Djaja IM, Kusharisupeni. 2020. Hubungan antara kadar timbal
dalam darah dan profil darah pada anak sekolah dasar (SD) Cinangka,
Kabupaten Bogor. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada: Jurnal Ilmu-
Ilmu Keperawatan, Analis Kesehatan dan Farmasi. 20(1):95-106.
[AQEG] Air Quality Expert Group. 2012. Fine Particulate Matter (PM2,5)
in the United Kingdom. [London]: Department for Environment, Food,
and Rural Affairs. hlm 12
Ardyanto D. 2005. Deteksi pencemaran timah hitam (Pb) dalam darah
masyarakat yang terpajan timbal (plumbum). J Kesehatan Lingkungan.
2:67-76.
Astuti W, At M, Setiawan I. 2016. Identifikasi ruang terbuka hijau (RTH) di
Kota Bogor dengan aplikasi sistem informasi geografis. Jurnal Nusa
Sylva. 16(1):24-31.
Abadin H, Taylor J, Buser M, Scinicariello F, Przybyla J, Klotzbach JM,
Diamond GL, Citra M, Chappell LL, Mcllroy LA. 2007. Toxicological
Profile for Lead. Atlanta (GA): US Department of Health and
Human Service Public Health Service, Agency for Toxic Substance
and Disease Registry.
Basri S, Bujawati E, Amansyah M, Habibi, Samsiana. 2014. Analisis risiko
kesehatan lingkungan (model pengukuran risiko pencemaran udara
terhadap kesehatan). Jurnal Kesehatan. 7(2):427-442
Bastir M, Godoy P, Rosas A. 2011. Common features of sexual dimorphism
in the cranial airways of different human populations. Am J Phys
Anthropol. 146:414–422. doi:10.1002/ajpa.21596.
Behera SN, Betha R, Huang X, Balasubramanian R. 2015. Characterization
and estimation of human airway deposition of size-resolved
particulate-bound trace elements during a recent haze episode in
Southeast Asia. Environ Sci Pollut Res. 22:4265–4280.
doi:10.1007/s11356-014-3645-6
Besmanto N, Cakrawati C, Rizal A, Sofwan, Nugroho H, Akib CR, Nazly T,
Purnama D, Syativa A, Prabaninggrum D, et al.. 2012. Pedoman
Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Direktorat Jendral PP
dan PL - Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. Kota Bogor Dalam Angka 2018. Bogor:
Badan Pusat Statistik Kota Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Kota Bogor Dalam Angka 2017. Bogor:
Badan Pusat Statistik Kota Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka 2016.
Bandung: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat.
55

Brochu P, Ducre-Robitaille JF, Brodeur J. 2006. Physiological daily


inhalation rates for free-living individuals aged 1 month to 96 years,
using data from doubly labeled water measurements: a proposal for air
quality criteria, standard calculations and health risk assessment. Hum
Ecol Risk Assess. 12:675-701. doi:10.1080/10807030600801550.
Budroe JD, Brown JP, Collins JF, Marty MA, Salmon AG, Sandy MS,
Sherman CD, Tomar RS, Zeise L. 2009. Technical Support Document
for Cancer Potency Factors: Methodologies for Derivation, Listing of
Available Values, And Adjustments to Allow for Early Life Stage
Exposures. California: California Environmental Protection Agency.
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2007. Interpreting and
Managing Blood Lead Levels <10 µg/dL in Children and Reducing
Childhood Exposures to Lead: Recommendations of CDC’s Advisory
Committee on Childhood Lead Poisoning Prevention. Atlanta (GA):
Centers for Disease Control and Prevention
Chalvatzaki E, Chatoutsidou SE, Mammi-Galani E, Almeida SM, Gini MI,
Elefthriadis K, Diapouli E, Lazaridis M. 2018. Estimation of the
personal deposited dose of particulate matter and particle-bound metals
using data from selected European cities. Atmosphere. 9(248):1-20.
doi:10.3390/atmos9070248
Chalvatzaki E, Chatoutsidou SE, Lehtomaki H, Almeida SM, Elefthriadis K,
Hanninen O, Lazaridis M. 2019. Characterization of human health
risks from particulate air pollution in selected European cities.
Atmosphere. 10(96):1-16. doi:10.3390/atmos10020096
Chandra B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC
Chen MJ, Lin CH, Lai CH. 2016. Excess lifetime cancer risk assessment of
volatile organic compounds emitted from a petrochemical industrial
complex. Association and Air Quality Research. 16:1954-1966.
doi:10.4209/aaqr.2015.05.0372
Cichowicz R, Wielgosinski G, Fetter W. 2020. Effect of wind speed on the
level of particulate matter PM10 concentration in atmospheric air during
winter season in vicinity of large combustion plant. Journal of
Atmospheric Chemistry. 77:35-48. doi: 10.1007/s10874-020-09401-w
Chimenti L, Morici G, Paterno A, Bonanno A, Vultaggio M, Bellia V,
Bonsignore M. 2009. Environmental conditions, air pollutants, and
airway cells in runners: a longitudinal field study. Journal of Sports
Sciences. 27(9):925–935. doi:10.1080/02640410902946493
Chu Y, Li J, Li C, Tan W, Su T, Li J. 2019. Seasonal and diurnal variability
of planetary boundary layer height in Beijing: intercomparison between
MPL and WRF results. Atmos Res. 227:1-13.
doi:10.1016/j.atmosres.2019.05.017
[COMEAP] Committee on the Medical Effects of Air Pollutants. 2009.
Long-Term Exposure to Air Pollution: Effect on mortality. A report by
the Committee on the Medical Effects of Air Pollutants. Oxfordshire:
Health Protection Agency
Connell DW, Miller GJ. 1995. Pollution and Chemistry Ecotoxicology.
Koestoer Y, penerjemah. Jakarta: UI-Press
56

Costa DL, Dreher KL. 1997. Bioavailable transition metals in particulate


matter mediate cardiopulmonary injury in healthy and compromised
animal models. Environmental Health Perspect. 105(supl 5):1053–
1060.
[Dinkes] Dinas Kesehatan. 2018. Profil Kesehatan Tahun 2017. Bogor:
Dinas Kesehatan Kota Bogor.
Djafri D. 2014. Prinsip dan metode analisis risiko kesehatan lingkungan.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. 8(2):100-104.
[DLH] Dinas Lingkungan Hidup. 2016. Laporan Akhir Pengujian dan
Analisa Kualitas Udara Ambien Kota Bogor 2016. Bogor: Dinas
Lingkungan Hidup Kota Bogor
[DLH] Dinas Lingkungan Hidup. 2017. Laporan Akhir Pengujian dan
Analisa Kualitas Udara Ambien Kota Bogor 2017. Bogor: Dinas
Lingkungan Hidup Kota Bogor
[DLH] Dinas Lingkungan Hidup. 2018. Laporan Pengujian dan Analisa
Kualitas Udara Ambien Kota Bogor 2018. Bogor: Dinas Lingkungan
Hidup Kota Bogor
[DLH] Dinas Lingkungan Hidup, [PTSP] PT Sky Pasific. 2020. Laporan
Pengujian dan Analisa Kualitas Udara Ambien Musim Penghujan
Kota Bogor Semester 1 Tahun 2020. Bogor: PT Sky Pasific
Dominelli PB, Molgat-Seon Y, Bingham D, Swartz PM, Road JD, Foster
GE, Sheel AW. 2015. Dysanapsis and the resistive work of breathing
during exercise in healthy men and women. J Appl Physiol. 119:1105–
1113. doi:10.1152/japplphysiol.00409.2015.
Field RD, van der Werf GR, Shen SSP. 2009. Human amplification of
drought-induced biomass burning in Indonesia since 1960. Nat Geosci.
2:185–188. doi:10.1038/NGEO443.
Finn D, Clawson KL, Carter RG, Rich JD, Biltof C, Leach M. 2010.
Analysis of urban atmosphere plume concentration fluctuation.
Boundary Layer Meteorol. 136:431-456. doi:10.1007/s10546-010-
9510-3
García-Martínez D, Torres-Tamayo N, Torres-Sanchez I, Garcia-Rio F,
Bastir M. 2016. Morphological and functional implications of sexual
dimorphism in the human skeletal thorax. Am J Phys Anthropol.
161:467–477. doi:10.1002/ajpa.23051
Garratt JR. 1994. Review: the atmospheric boundary layer [ulasan]. Earth
Sci Rev. 37:89–134. doi:10.1016/0012-8252(94)90026-4
Gopalaswami R. 2016. A study on effects of weather, vehicular traffic and
other sources of particulate air pollution on the city of Delhi for the
year 2015. J Env Poll and Human Health. 4(2):24-41.
doi:10.12691/jephh-4-2-1
Gotschi T, Sunyer J, Chinn S, Marco R, Forsberg B, Gauderman JW,
Garcia-Esteban R, Heinrich J, Jacquemin B, Jarvis D, et al.. 2008. Air
pollution and lung function in the European Community Respiratory
Health Survey. International Journal of Epidemiology. 37:1349-1358.
doi:10.1093/ije/dyn136
57

Greenstone M, Fan QC. 2019. Indonesia’s Worsening Air Quality and Its
Impact on Life Expectancy. Air Quality Life Index. Chicago (IL):
Energy Policy Institute at the University of Chicago
Gunawan G. 2015. Tingkat pencemaran udara debu dan timbal di
lingkungan gerbang tol. Jurnal Pusjatan. 32(2):115-124
Han S, Bian H, Zhang Y, Wu J, Wang Y, Tie X, Li Y, Li X, Yao Q. 2012.
Effect of aerosols on visibility and radiation in spring 2009 in Tianjin,
China. Aerosol Air Qual Res. 12:211–217.
doi:10.4209/aaqr.2011.05.0073
Harrison RM, Yin J, Mark D, Stedman J, Appleby RS, Booker J, Moorcroft
S. 2001. Studies of coarse particle (2,5-10µm) component in UK urban
atmospheres. Atmospheric Environment 35:3667-3679.
[IARC] [International Agency for Research on Cancer. 2006. IARC
Monographs for the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, Vol.
87; Inorganic and organic lead compounds. Lyon: International
Agency for Research on Cancer. hlm 378.
[IARC] International Agency for Research on Cancer. 2013. Air Pollution
and Cancer. Lyon: International Agency for Research on Cancer.
Indrayani, Asfiati S. 2018. Pencemaran udara akibat kinerja lalu lintas
kendaraan bermotor di Kota Medan. Jurnal Pemukiman. 13(1):13-20.
Jarrett B, Bloch GJ, Bennett D, Bleazard B, Hedges D. 2010. The influence
of body mass index, age and gender on current illness: a cross-sectional
study. International Journal of Obesity. 34:429-436.
doi:10.1038/ijo.2009.258.
Jiang X, Hong C, Zheng Y, Zheng B, Guan D, Gouldson A, Zhang Q, He K.
2015. To what extent can China’s near-term air pollution control policy
protect air quality and human health? a case study of the Pearl River
Delta region. Environ Res Lett. 10(10):1-13. doi:10.1088/1748-
9326/10/10/104006
Johnson TM, Guttikunda S, Wells GJ, Artaxo P, Bond TC, Russell AG,
Watson JC, West J. 2011. Tools for Improving Air Quality
Management : A review of Top-down Source Apportionment
Techniques and Their Application in Developing Countries.
Washington (WA): Energy Sector Management Assistance Program.
hlm 7-11.
[Kepmen] Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15/4/1996
Tentang Program Langit Biru. 1996
[Kepmen] Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 35 Tahun 1993
Tentang Ambang Batas Gas Buang Kendaraan Bermotor. 1993
[Kepkabapedal] Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor 205 Tahun 1996 Tentang Pedoman Teknis
Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak. 1996
Koester CJ, Hites RA. 1992. Photodegradation of polychlorinated dioxins
and dibenzofurans adsorbed to fly ash. Environ Sci Technol. 26(3):502-
507
Kusumaningtyas SDA, Aldrian E. 2016. Impact of the June 2013 Riau
province Sumatera smoke haze event on regional air pollution. Environ
Res Lett. 11(7):1-11. doi:10.1088/1748-9326/11/7/075007
58

Kwak HY, Ko J, Lee S, Joh CH. 2017. Identifying the correlation between
rainfall, traffic flow performance and air pollution concentration in
Seoul using a path analysis. Transportation Research Procedia.
25:3556-3567. doi:10.1016/j.trpro.2017.05.288
Langridge JM, Lack D, Brock CA, Bahreini R, Middlebrook AM, Neuman
JA, Nowak JB, Perring AE, Schwarz JP, Spackman JR, et al.. 2012.
Evolution of aerosol properties impacting visibility and direct climate
forcing in an ammonia-rich urban environment. J Geophys Res. 117:1-
17. doi:10.1029/2011JD017116, 2012
Latini G, Grifoni RC, Passerini G. 2002. Influence of Meteorological
Parameters on Urban and Suburban Air Pollution. Di dalam: Brebbia
CA, Martin-Duque JF, editor. Air Pollution X. Southampton: WIT
Press. hlm 753-762
Lavy V, Ebenstein A, Roth S. 2014. The Impact ff Short-Term Exposure to
Ambient Air Pollution on Cognitive Performance and Human Capital
Formation. Cambridge (MA): National Bureau of Economic Research
Lelieveld J, Evans JS, Fnais M, Giannadaki D, Pozzer A. 2015. The
contribution of outdoor air pollution sources to premature mortality on
a global scale. Nature. 525:367-371. doi:10.1038/nature15371
Lestari P, Damayanti S, Arrohman MK. 2020. Emission inventory of
pollutants (CO, SO2, PM2,5, and NOx) In Jakarta Indonesia. Earth and
Environmental Science. 489: 1-6. doi:10.1088/1755-
1315/489/1/012014
Li H, Wang J, Wang Q, Qian X, Qian Y Yang M, Li F, Lu H, Wang C.
2015. Chemical fractionation of arsenic and heavy metals in fine
particle matter and its implications for risk assessment: a case study in
Nanjing, China. Atmos Environ. 103:339-346.
doi:10.1016/j.atmosenv.2014.12.065
Lichter A, Pestel N, Sommer E. 2015. Productivity effects of air pollution:
evidence from professional soccer. Labour Economic. 48:54-66. doi:
10.1016/j.labeco.2017.06.002
Liu Z, Hu B, Wang L, Wu F, Gao W, Wang Y. 2014. Seasonal and diurnal
variation in particulate matter (PM10 and PM2,5) at an urban site of
Beijing: analyses from a 9-year study. Environ Sci Pollut Res. 1-16:
doi:10.1007/s11356-014-3347-0
Loomis D, Huang W, Chen G. 2014. The International Agency for Research
on Cancer (IARC) evaluation of the carcinogenicity of outdoor air
pollution: focus on China [ulasan]. Chinese Journal of Cancer.
33(4):189-196. doi:10.5732/cjc.014.10028
Louvar JF, Louvar BD. 1998. Health and Environmental Risk Analysis:
Fundamental with Application. New Jersey (NJ): Prentice Hall.
Lyu Y, Zhang K, Chai F, Cheng T, Yang Q, Zheng Z, Li X. 2017.
Atmospheric size-resolved trace elements in a city affected by non-
ferrous metal smelting: indications of respiratory deposition and health
risk. Environ Pollut. 224:559-571. doi:10.1016/j.envpol.2017.02.039
Marhaeni ADM. 2018. Pengaruh faktor meteorologi terhadap fluktuasi
konsentrasi PM10 dan O3 di DKI Jakarta [skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor
59

Ma’rufi I. 2017. Analisis risiko kesehatan lingkungan (SO2, H2S, NO2, dan
TSP) akibat transportasi kendaraan bermotor di Kota Surabaya. Media
Pharmaceutica Indonesia 1(4):189-196
Martono H, Sukana B, Sulistiyani N. 2003. Kandungan TSP dan PM10
Jakarta dan sekitarnya. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2(3):255-262
Miao Y, Liu S, Guo J, Huang S, Yan Y, Lou M. 2018. Unraveling the
relationships between boundary layer height and PM2,5 pollution in
China based on four-year radiosonde measurements. Environ Pollut.
243:1186-1195. doi:10.1016/j.envpol.2018.09.070
Molinelli AR, Madden MC, McGee JK, Stonehuerner JG, Ghio AJ. 2002.
Effect of metal removal on the toxicity of airborne particulate matter
from the Utah Valley. Inhal Toxicol. 14:1069-1086.
doi:10.1080/08958370290084737
Muhaimin. 2014. Permodelan dispersi polutan udara dari aktivitas pltu
cirebon pada musim kemarau dan hujan serta penggunaan 2 cerobong
asap [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Mukhtar R, Wahyudi H, Hamonangan E, Lahtiani S, Santoso M, Lestiani
DD, Kurniawati S. 2013. Kandungan logam berat dalam udara ambien
pada beberapa kota di Indonesia. Ecolab. 7(2):49-59
Mukono HJ. 2002. Epidemiologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga
University Press.
Nishihashi M, Mukai H, Terao Y, Hashimoto S, Osonoi Y, Boer R,
Ardiansyah M, Budianto B, Immanuel GS, Nugroho R, et al.. 2019.
Greenhouse gases and air pollutants monitoring project around Jakarta
megacity. Earth and Environmental Science. 303:1-12.
doi:10.1088/1755-1315/303/1/012038
Niu L, Ye H, Xu C, Yao Y, Liu W. 2015. Highly time-and size-resolved
fingerprint analysis and risk assessment of airborne elements in a
megacity in the Yangtze River Delta, China. Chemosphere. 119:112–
121. doi:10.1016/j.chemosphere.2014.05.062
[NRC] National Research Council. 1983. Risk Assessment in The Federal
Government. Managing The Process. Washington (WA): National
Academy Press.
Nukman A, Rahman A, Warouw S, Setiadi MI, Akib CR. 2005. Analisis
dan manajemen risiko kesehatan pencemaran udara: studi kasus di
sembilan Kota besar padat transportasi. Jurnal Ekologi Kesehatan
4(2):270-289.
Nurhasanah I. 2019. Pengaruh faktor meteorologi dan jumlah kendaraan
bermotor terhadap konsentrasi partikulat (studi kasus : kampus IPB
Baranangsiang) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Oke TR. 2002. Boundary Layer Climates, 2nd ed. London: Routledge.
Onabowale MK, Owoade OK. 2015. Assessment residential indoor outdoor
airborne particulate matter in Ibadan, Southwestern Nigeria. Donnish J
Physical Sci. 1(1):001 – 007.
Pal S. 2014. Monitoring depth of shallow atmospheric boundary layer to
complement LiDAR measurements affected by partial overlap [ulasan].
Rem Sens. 6(1):8468-8493. doi:10.3390/rs6098468
60

Palar H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka


Cipta
Palar H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka
Cipta
Pedersen M, Gehring U, Beelen R, Wang M, Giorgis-Allemand L, Andersen
AMN, Basagana X, Bernard C, Cirach M, Forastiere F, et al.. 2016.
Elemental constituents of particulate matter and newborn’s size in eight
European cohorts. Environ Health Perspect. 124(1):141-150.
doi:10.1289/ehp.1409546
Perrino C. 2010. Atmospheric particulate matter. Proceedings of a C.I.S.B.
Minisymposium 3(1):35-43
Peters A, Skorkovsky J, Kotesovec F, Brynda J, Spix C, Wichman HE,
Heinrich J. 2000. Association between mortality and air pollution in
Central Europe. Environmental Health Perspective. 108(4): 283-287.
Pinto E, Soares C, Couto CMCM, Almeida A. 2015. Trace elements in
ambient air at Porto Metropolitan Area-Checking for compliance with
New European Union (EU) air quality standards. J Toxicol Environ
Health. 78:848–859. doi:10.1080/15287394.2015.1051177
Pope CA III, Dockery DW. 2006. Health effects of fine particulate air
pollution: lines that connect. J Air Waste Manag Assoc. 56:709–742.
doi:10.1080/10473289.2006.10464485
Poulain M, Doucet M, Major GC, Drapeau V, Series F, Boulet LP,
Tremblay A, Maltais F. 2006. The effect of obesity on chronic
respiratory diseases: pathophysiology and therapeutic strategies
[ulasan]. Canadian Medical Accociation Journal. 174(9):1293-
1299.doi:10.1503/cmaj.051299.
Powell H, Krall JR, Wang Y, Bell ML, Peng RD. 2015. Ambient coarse
particulate matter and hospital admissions in the medicare cohort air
pollution study, 1999-2010. Environ Health Perspect. 123(11):1152–
1158. doi:10.1289/ehp.1408720
[PP] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 22 Tahun 2021 Tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2021.
[Permen] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan Perkotaan. 2008.
Pun VC, Manjouride J, Suh H. 2017. Association of ambient air pollution
with depressive and anxiety symptoms in older adults: results from the
NSHAP study. Environmental Health Perspectives. 125(3):342-
348.doi:10.1289/EHP494.
Purnama GN. 2018. Analisis kebijakan penggunaan bahan bakar gas (BBG)
terhadap usaha angkutan kota di Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Quanjer PH, Brazzale DJ, Boros PW, Pretto JJ. 2012a. Implications of
adopting the Global Lungs Initiative 2012 all-age reference equations
for spirometry. Eur Respir J. 42: 1046–1054.
doi:10.1183/09031936.00195512
61

Quanjer PH, Hall GL, Stanojevic S, Cole TJ, Stocks J. 2012b. Age-and
height-based prediction bias in spirometry reference equations. Eur
Respir J. 40: 190–197. doi:10.1183/09031936.00161011
Rahmadani, Tualeka AR. 2016. Karakteristik risiko kesehatan akibat
paparan polutan udara pada pekerja sol sepatu (di sekitar jalan raya
bubutan Kota Surabaya). Jurnal Kesehatan Lingkungan. 8(2): 164-171.
Rahman A. 2007. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (Kajian Aspek
Kesehatan Masyarakat dalam studi AMDAL dan Kasus-Kasus
Pencemaran Lingkungan). Depok: Pusat kajian Kesehatan Lingkungan
dan Industri Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indoensia.
Rahman A, Nukman A, Setyadi, Akib CR, Sofwan, Jarot. 2008. Analisis
risiko kesehatan lingkungan pertambangan kapur di Sukabumi,
Cirebon, Tegal dan Tulung Agung. Jurnal Ekologi Kesehatan. 7(1):
665-677.
Ramdhani AY, Fatimah IS. 2013. Studi potensi kanopi pohon di kebun raya
bogor dalam menyerap emisi karbondioksida dari kendaraan bermotor.
Jurnal Lanskap Indonsia. 5(1):41-46
Riadi E. 2016. Statistika Penelitian (Analisis Manual dan IBM SPSS).
Yogyakarta: Andi.
Riyanto I, Soniyati TL, Lubis R, Permatasari T, Isnaeni N, Mariam M,
Darmayanti D, Setiawati, Argarini RH, Supriatna N, et al.. 2016.
Laporan Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup
Daerah Tahun 2016 Kota Bogor. Bogor: Badan Pengelola Lingkungan
Hidup.
Romanazzi V, Casazza M, Malandrino M, Maurino V, Piano A, Schiliro TG,
Gilli G. 2014. PM10 size distribution of metals and environmental-
sanitary risk analysis in the city of Torino. Chemosphere. 112:210-216.
doi:10.1016/j.chemosphere.2014.04.034
Rundell KW. 2012. Effect of air pollution on athlete health and performance
[ulasan]. British Journal of Sports Medicine. 46:407-412.
doi:10.1136/bjsports-2011-090823
Ruzer LS, Harley NH. 2012. Aerosols Handbook: Measurement, Dosimetry
and Health Effects, 2nd ed. Boca Raton (FL): CRC Press.
Sagita HL. 2017. Analisis tingkat pencemaran udara berdasarkan musim di
Kota Tangerang [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sarudji D. 2010. Kesehatan Lingkungan. Bandung: CV Karya Putra.
Sarwar MS, Ullah S, Farooq U, Durrani MZ. 2017. Engine idling: a major
cause of emission & increased fuel costs. International Journal of
Operations and Logistics Management. 6(2): 44-54.
Sarwono J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Satriyo S. 2012. Kebijakan pengelolaan pencemaran udara Pb, debu dan CO
dari sektor transportasi darat [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Schwartz J, Katz SA, Fegley RW, Tockman MS. 1988. Sex and race
differences in the development of lung function. Am Rev Respir Dis.
138:1415–1421. doi:10.1164/ajrccm/138.6.1415
62

Seibert P, Beyrich F, Gryning SE, Joffre S, Rasmussen A, Tercier P. 2000.


Review and intercomparison of operational methods for the
determination of the mixing height. Atmos Environ. 34:1001–1027.
doi:10.1016/S1352-2310(99)00349-0
Seidel DJ, Ao CO, Li K. 2010. Estimating climatological planetary
boundary layer heights fromradiosonde observations: comparison of
methods and uncertainty analysis. J Geophys Res. 115:1-15.
doi:10.1029/2009JD013680
Shah ASV, Langrish JP, Nair H, McAllister DA, Hunter AL, Donaldson K,
Newby DE, Mills NL. 2013. Global association of air pollution and
heart failure: a systematic review and meta-analysis. Lancet. 382:1039-
1048. doi:10.1016/S0140-6736(13)60898-3
Singh DK, Gupta T. 2016. Source apportionment and risk assessment of
PM1 bound trace metals collected during foggy and non-foggy episodes
at a representative site in the Indo-Gangetic plain. Sci Total Environ.
550:80–94.doi:10.1016/j.scitotenv.2016.01.037
Siswati, Diyanah KC. 2017. Analisis risiko pajanan debu (Total Suspended
Particulate) di Unit Packer PT.X. Jurnal Kesehatan Lingkungan.
9(1):100-110.
Stroh E, Oudin A, Gustafsson S, Pilesjo P, Harrie L, Stromberg U,
Jakobsson K. 2005. Associations between socio-economic
characteristics and exposure to air pollution a question of study area
size an example from Scania, Sweden. International Journal of Health
Geographics. 4(30):1-13. doi:10.1186/1476-072X-4-30
Stull RB. 1988. An Introduction to Boundary Layer Meteorology. Vol. 13:
Atmospheric Sciences Library. Dordrecht: Springer.
Sudarmaji, Mukono J, Corie IP. 2006. Toksikologi logam berat B3 dan
dampaknya terhadap kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan.
2(2):129-142
Surani R. 2002. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Tan-Soo JS, Pattanayak SK. 2019. Seeking natural capital projects: forest
fires, haze, and early-life exposure in Indonesia. Di dalam: Polasky S,
editor. Economic, Environment and Sustainable Development; 2018
Jan 17-18; Irvine, Amerika Serikat. Irvine: PNAS. hlm 1-7.
Turyanti A, June T, Aldrian E, Noor E. 2016. Analisis pola dispersi
partikulat dan sulfurdioksida menggunakan model wrf-chem di sekitar
wilayah industri Tangerang dan Jakarta. J Manusia dan Lingkungan.
23(2):169-178
[USEPA] U.S Environmental Protection Agency. 1990a. Exposure Factors
Handbook, EPA 600/889/043. Cincinnati (OH): US Environmental
Protection Agency
[USEPA] U.S Environmental Protection Agency. 1990b. Seminar
Publication: Risk Assessment, Management and Communication of
Drinking Water Contamination EPA/625/4-89/024. Cincinnati (OH):
US Environmental Protection Agency.
63

[USEPA] U.S Environmental Protection Agency. 1990c. National Ambient


Air Quality Standards (NAQQS). Cincinnati (OH): US Environmental
Protection Agency.
[USEPA] U.S Environmental Protection Agency. 1992. Guidline for
Exposure Assessment. Washington (WA): Risk Assessment Forum U.S.
Environmental Protection Agency
[USEPA] U.S Environmental Protection Agency. 1997. Exposure Factors
Handbook. Washington (WA): U.S. Environmental Protection Agency
[USEPA] U.S Environmental Protection Agency. 2009a. Metabolically
derived human ventilation rates: a revised approach based upon
oxygen consumption rates (final report). Washington (WA): US
Environmental Protection Agency.
[USEPA] U.S Environmental Protection Agency. 2009b. Users’ Guide And
Background Technical Document For USEPA Region 9'S Preliminary
Remediation Goals (PRG) Table. Washington (WA): US
Environmental Protection Agency.
[USEPA] U.S Environmental Protection Agency. 2013. Users’ Guide and
Background Technical Document for USEPA Region 9—Preliminary
Remediation Goals (PRG) Table. Washington (WA): US
Environmental Protection Agency.
[UU] Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. 1997.
[WHO]. World Health Organization. 2006. WHO Air Quality Guidelines for
Particulate Matter, Ozone, Nitrogen Dioxide and Sulfur Dioxide,
Global Update 2005, Summary of Risk Assessment. Geneva: World
Health Organization
[WHO]. World Health Organization. 2009. Environmental Health Criteria
239 : Principles for Modelling, Dose Response for The Risk
Assessment of Chemicals. Geneva: World Health Organization.
[WHO] World Health Organization. 2016. Ambient Air Pollution: A Global
Assessment of Exposure and Burden of Disease. Geneva: World Health
Organization
Wijngaarden VE, Dosemeci M. 2006. Brain cancer mortality and potential
occupational exposure to lead: findings from the National Longitudinal
Mortality Study, 1979-1989. Int J Cancer. 119:1136-1144.
doi:10.1002/ijc.21947.
Wood P, Phillips L, Adenuga A, Koontz M, Rector H, Wilkes C, Wilson M.
1997. Exposure Factors Handbook. Washington (WA): US
Environmental Protection Agency.
Xing YF, Xu YH, Shi MH, Lian YX. 2016. The Impact of PM2,5 on the
human respiratory system [ulasan]. Journal of Thoracic Disease.
8(1):69-74. doi:10.3978/j.issn.2072-1439.2016.01.19
Xu D, Wang Y, Zhu R. 2018. Atmospheric environmental capacity and
urban atmospheric load in mainland China. Sci China Earth Sci.
61(1):33–46. doi:10.1007/s11430-017-9099-0
Yoo JM, Lee YR, Kim D, Jeong MJ, Stockwell WR, Kundu PK, Oh SM,
Shin DB, Lee SJ. 2014. New indices for wet scavenging of air
pollutants (O3, CO, NO2, SO2, and PM) by summertime rain.
64

Atmospheric Environment. 82:226-237.


doi:10.1016/j.atmosenv.2013.10.022
Yunus M, Dwivedi AK, Kulshreshtha K, Ahmad KJ. 1985. Dust loadings
on some common plants near Lucknow city. Environ Pollut Ser B.
9:71-80.

Anda mungkin juga menyukai