Anda di halaman 1dari 46

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu kebutuhan dasar makhluk hidup yang ada di bumi adalah
udara. Dalam udara terdapat oksigen untuk bernafas, ozon untuk menahan
sinar ultraviolet, karbondioksida untuk proses fotosintesis oleh klorofil daun
dan udara dapat menjadi media penyebaran penyakit pada manusia.
Pengendalian udara sangat penting untuk dilakukan agar mendapatkan udara
sesuai dengan tingkat kualitas yang diinginkan. Seiring berkembangnya
jaman telah menggeser perkembangan industri ke arah penggunaan mesin dan
alat transportasi serta pembangunan fisik kota dan pusat industri yang terus
meningkat sehingga dapat menimbulkan berbagai masalah lingkungan, salah
satunya yaitu pencemaran udara.
Pencemaran udara diartikan dengan turunnya kualitas udara dan
terkontaminasi oleh zat-zat yang tidak baik bagi kesehatan manusia, baik
dalam ruangan (indoor) maupun luar ruangan (outdoor) dengan agen fisika,
kimia, maupun biologi yang telah mengubah karakteristik alami dari
atmosfer, sehingga udara mengalami penurunan mutu dalam penggunaannya
yang akhirnya tidak dapat digunakan lagi sebagaimana mestinya sesuai
dengan fungsinya.1 Berdasarkan laporan State of Global Air (SOGA) 2019
menyebut pencemaran udara sebagai masalah lingkungan yang menimbulkan
risiko bagi kesehatan dan menempati peringkat kelima penyebab kematian
4.9 juta orang di seluruh dunia.2 Data yang ditunjukkan World Health
Organization (WHO) juga menguatkan bahwa sembilan dari sepuluh orang
menghirup udara yang tercemar setiap hari. 3 Pada tahun 2019, pencemaran
udara dianggap oleh WHO sebagai risiko lingkungan terbesar bagi kesehatan
dengan 91 % populasi dunia tinggal di wilayah – wilayah dengan kualitas
udara melebihi batas pedoman WHO.3
Pencemaran udara di kota - kota besar di negara Asia termasuk
Indonesia sudah mencapai tingkat mencemaskan dan menjadi ancaman serius
bagi kesehatan masyarakat, dilihat dari laporan World Air Quality Report
2

bahwa pencemaran udara di negara-negara Asia Tenggara disebabkan oleh


sektor transportai yang telah membunuh 5 juta orang setiap tahunnya
sepanjang 5 tahun terakhir (2013-2018).4 Hal ini didukung oleh hasil
penelitian The National Bureau of Asean Research (NBR) (2017) bahwa 90%
pencemaran udara di daerah perkotaan di Indonesia berasal dari transportasi.5
Transportasi merupakan salah satu elemen yang sangat penting bagi manusia
untuk menunjang kehidupan di masyarakat. Pertumbuhan transportasi
semakin berkembang seiring dengan pertumbuhan infrastruktur pendukung
seperti bandara, terminal, stasiun, dan jalan bebas hambatan. Salah satu jenis
transportasi yang memiliki nilai paling ekonomis dengan pengguna terbanyak
adalah transportasi darat berupa kendaraan bermotor.
Jumlah kendaraan bermotor di negara-negara Asia Tenggara
berdasarkan data yang ditunjukkan oleh Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN) Statistical Yearbook 2018 diketahui pada tahun 2016
terdapat 3.556 kendaraan bermotor per 1.000 penduduk dan mengalami
peningkatan sebesar 1.63 % pada tahun 2017 dengan 3.614 kendaraan
bermotor per 1.000 penduduk.6 Berdasarkan data statistik Badan Pusat
Statistik (BPS) bahwa dalam periode 2013 - 2017 laju pertumbuhan
kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 7.40 % tiap tahunnya. Jika dirinci
menurut jenis kendaraan, mobil penumpang mengalami pertumbuhan
tertinggi yaitu sebesar 7.77 % per tahun dan jenis kendaraan yang mengalami
pertumbuhan terendah adalah bus sebesar 2.35% per tahun.7 Pada tahun 2018
sendiri, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia menembus angka
146.283.720 unit dengan jumlah tertinggi pada jenis kendaraan mobil
penumpang yaitu sebanyak 16.548.871 unit dan jumlah terendah pada jenis
kendaraan bus yaitu sebanyak 2.512.918 unit.8 Hal ini disebabkan
karakteristik transportasi dari bus yang memiliki kapasitas yang cukup besar
dalam mengangkut penumpang, sehingga jumlah kendaraan yang digunakan
relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jenis kendaraan bermotor yang lain.
Peningkatan jumlah transportasi selalu diiringi dengan pertumbuhan
penduduk yang mengalami peningkatan secara terus menerus setiap tahunnya.
Peningkatan kebutuhan transportasi menjadi perhatian bagi pihak pemerintah
3

maupun swasta sebagai penyedia jasa layanan transportasi, salah satunya


adalah terminal bus. Terminal bus merupakan salah satu pusat kegiatan
transportasi yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan,
menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda
angkutan.9 Dilain sisi terminal bus menjadi tempat aktivitas manusia, salah
satunya adalah pedagang. Pedagang yang ada di sekitar terminal bus
merupakan orang yang melakukan aktivitas jual beli barang kepada
konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung.10 Pedagang menjadi
kelompok yang beresiko terpapar pencemaran udara akibat aktivitas
transportasi di lingkungan terminal bus yang tinggi.
Partikulat debu merupakan salah satu penyebabkan pencemaran udara.
Partikel debu (Particulate Matter) PM terdiri atas campuran kompleks
partikel seperti kotoran, asap, jelaga dan tetesan cairan yang ditemukan di
udara dengan ukuran cukup kecil.11 PM2.5 adalah salah satu polutan yang
menyebabkan polusi. Partikel debu PM2.5 (< 2,5 µm) partikel sangat halus
yang dapat masuk ke dalam jaringan dalam paru-paru sehingga dapat
menyebabkan gangguan kesehatan pada organ pernapasan salah satunya
adalah gangguan fungsi paru.12 Pada umumnya partikel yang terdapat didalam
PM2.5 mengandung logam berat lebih tinggi dibanding dengan partikel yang
terdapat pada filter kasar (PM2.5-10).13 Logam berat yang masuk kedalam
pernafasan kemudian menembus kebagian dalam paru-paru manusia. Efek
yang ditimbulkan oleh polutan ini tergantung dari besarnya pajanan
(kadar/dosis di udara dan lama/waktu pajanan) dan faktor kerentanan
individu.13
Berdasarkan hasil analisis dari Global Burden of Disease (GBD)
project tahun 2015 diketahui bahwa polusi partikel debu PM2.5 menduduki
peringkat ke 5 (lima) penyebab kematian dan penyakit dari 4,2 juta jiwa
manusia di dunia dikarenakan penyakit jantung, stroke, kanker paru-paru dan
infeksi saluran pernapasan baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang.14 Negara-negara Asia menempati posisi ke-1 yaitu China disusul
dengan India yang bertanggung jawab atas 72% dari total 3,7 juta kematian
manusia tiap tahun (1990-2015), sedangkan Indonesia menempati posisi ke-8
4

dengan angka kematian rata-rata 50 ribu kematian manusia tiap tahun. 14


Laporan tahunan Global State of the Air Report tahun 2019 diketahui bahwa
penduduk di Benua Asia terpapar partikel debu PM2.5 mencapai angka 74
µg/m3 menduduki nilai yang lebih tinggi dari penduduk di Benua Amerika
(46 µg/m3) dan Benua Eropa (32 µg/m3) yang berada diatas baku mutu PM2.5
di udara ambien untuk 1 (satu) tahun menurut United States Environmental
Protection Agency (USEPA) adalah 15 µg/m3.2
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat hubungan antara
PM2.5 terhadap gangguan fungsi paru. Studi di Amerika Serikat
mengungkapkan bahwa pajanan jangka pendek terhadap PM2.5 berhubungan
signifikan dengan kunjungan rumah sakit untuk infeksi pernafasan.
Menurunnya fungsi paru telah dihubungakan dengan peningkatan polusi
PM2.5 bahkan pada level pajanan rendah.15 didukung dengan hasil studi
Ekpenyong tahun 2012 di Nigeria telah menunjukkan penurunan fungsi paru
pada pekerja yang terpapar polusi udara kendaraan bermotor. 16 Penelitian
yang di lakukan di Terminal Bus Modern Kuala Lumpur tahun 2014
diketahui bahwa paparan PM2.5 mempengaruhi kesehatan pernapasan pada
pekerja luar ruangan (outdoor).17 Beberapa penelitian yang dilakukan di
Indonesia telah membuktikan adanya hubungan antara PM 2.5 dengan
gangguan fungsi paru pedagang di terminal. Penelitian yang dilakukan di
terminal Yogyakarta tahun 2007 menunjukkan bahwa konsentrasi PM2.5 lebih
berpengaruh dari konsentrasi debu total terhadap peningkatan gangguan
fungsi paru di terminal.18 Penelitian lain yang dilakukan oleh Yosi tahun 2012
diketahui bahwa konsentrasi PM2.5 adalah faktor risiko terhadap kejadian
gangguan fungsi paru pedagang tetap di terminal terpadu Kota depok.19
Terminal Bus Bulupitu Purwokerto merupakan area yang padat
dengan aktivitas manusia, yaitu pengelola terminal, penumpang, dan
pedagang. Selain itu sebagai satu-satunya pusat keluar masuknya berbagai
jenis kendaraan umum di wilayah Banyumas dan satu-satunya terminal
angkutan penumpang tipe A yang melayani angkutan bus kota, Angkutan
Kota Dalam Provinsi (AKDP), Angkutan Kota Antar Provinsi (AKAP) dan
angkutan kota. Lokasi terminal bus yang berada di kawasan padat lalu lintas
5

dapat meningkatkan risiko pencemaran udara dari debu serta adanya


peningkatan jumlah penumpang dan banyaknya jumlah bus yang keluar
masuk terminal dapat meningkatkan pencemaran fisik dari debu. Menurut
data dari Profil Terminal Bus Bulupitu Purwokerto tahun 2018 diketahui data
kendaraan masuk Bus AKAP rata-rata masuk per hari 308 unit dan jumlah
rata-rata bus AKDP masuk per hari 340 unit. Jumlah kios di Terminal Bus
Bulupitu Purwokerto mencapai 80 kios permanen dan semi permanen.20
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada pedagang
kaki lima di Terminal Bus Bulupitu Purwokerto pada hari Rabu, 20
November 2019 untuk mengetahui kondisi fungsi paru, didapatkan 7 dari 10
orang yang mengeluhkan sering batuk kering, terdapat 8 dari 10 orang juga
mengeluhkan mengalami bersin. Selain itu terdapat 6 dari 10 orang yang
mengeluhkan batuk yang disertai dengan sesak nafas. Hasil pemeriksaan
spirometri diperoleh hasil 2 orang (20%) kondisi parunya masih dalam
keadaan normal, 8 orang (80%) sudah mengalami gangguan fungsi paru. Hal
ini dapat memberikan gambaran bahwa pedagang tetap di Terminal Bus
Bulupitu Purwokerto berpotensi mengalami gangguan fungsi paru karena
mereka berjualan di luar ruangan (outdoor) yang tinggi tingkat paparan
terhadap pencemaran udara dalam jangka waktu yang lama. Pada penelitian
ini, penulis tertarik untuk melihat lebih jauh keluhan subjektif gangguan
fungsi paru pada pedagang tetap secara keseluruhan dan melihat gambaran
kualitas udara berupa partikel debu (PM2.5) di kawasan Terminal Bus
Bulupitu Purwokerto tahun 2019.

B. Perumusan Masalah
Terminal Bus Bulupitu Purwokerto merupakan salah satu area yang
berpotensi mengalami penurunan kualitas udara, dikarenakan fungsinya
sebagai pusat keluar masuknya berbagai jenis kendaraan umum. Salah satu
populasi yang rentan terkena dampak dari polusi kendaraan di area terminal
adalah pedagang yang beraktivitas di luar ruangan (outdoor) dan terpapar
langsung oleh polutan di udara ambien dalam jangka waktu yang lama.
Konsentrasi PM2.5 yang melebihi baku mutu atau batas aman dapat
mengakibatkan penurunan kapasitas vital paru pada pedagang.
6

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan terhadap 10


pedagang tetap di Terminal Bulupitu Purwokerto, dengan hasil 8 orang (80%)
sudah mengalami gangguan fungsi paru dan 2 orang (20%) kondisi paru
normal. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa pedagang tetap di
Terminal Bus Bulupitu Purwokerto mempunyai risiko terjadinya gangguan
fungsi paru. Jika keadaan ini diabaikan maka penyakit akibat kerja di sektor
informal yaitu pedagang akan semakin meningkat sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan secara berkala. Berangkat dari hal tersebut, maka peneliti
tertarik melihat hubungan debu respirable PM2.5 terhadap gangguan fungsi
paru pada pedagang tetap di Terminal Bus Bulupitu Purwokerto.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara
pajanan debu respirable PM2.5 dengan kejadian gangguan fungsi paru
pada pedagang tetap di Terminal Bus Bulupitu Purwokerto.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan karakteristik responden pedagang tetap di Terminal
Bus Bulupitu Purwokerto.
b. Mengukur kadar debu total lingkungan di beberapa titik di Terminal
Bus Bulupitu Purwokerto.
c. Mengukur fungsi paru pedagang tetap di Terminal Bus Bulupitu
Purwokerto Purwokerto.
d. Mengukur kadar debu respirable PM2.5 pada pedagang tetap di
Terminal Bus Bulupitu Purwokerto Purwokerto.
e. Menganalisis besar risiko lama kerja dengan gangguan fungsi paru
pada pedagang tetap di Terminal Bus Bulupitu Purwokerto.
f. Menganalisis besar risiko masa kerja dengan gangguan fungsi paru
pada pedagang tetap di Terminal Bus Bulupitu Purwokerto.
g. Menganalisis besar risiko kebiasaan merokok dengan gangguan
fungsi paru pada pedagang tetap di Terminal Bus Bulupitu
Purwokerto.
7

h. Menganalisis besar risiko Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan


gangguan fungsi paru pada pedagang tetap di Terminal Bus Bulupitu
Purwokerto.
i. Menganalisis secara bersamaan besar risiko lama kerja, masa kerja,
dan kebiasaan merokok dan IMT terhadap gangguan fungsi paru
pedagang tetap di Terminal Bus Bulupitu Purwokerto.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
ilmu kesehatan lingkungan khususnya tentang pajanan debu PM 2.5
dengan kejadian gangguan fungsi paru pada pedagang tetap di Terminal
Bus Bulupitu Purwokerto.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan mengenai pengaruh pajanan debu respirable PM2.5 dengan
kejadian gangguan fungsi paru pada pedagang tetap di Terminal Bus
Bulupitu Purwokerto.
b. Bagi Terminal Bus Bulupitu Purwokerto
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
tentang pengaruh pajanan debu respirable PM2.5 dengan kejadian
gangguan fungsi paru pada pedagang tetap di Terminal Bus Bulupitu
Purwokerto, serta memberikan sumbangan pemikiran dalam
pengembangan program manajemen lalu lintas dan transportasi di
Terminal Bus Bulupitu Purwokerto untuk menghasilkan terminal
yang sehat bagi masyarakat pengguna terminal bus.

c. Bagi Pedagang Tetap Terminal Bus


Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
kepada pedagang tetap dalam upaya melindungi diri akibat buruk
8

pencemaran debu bagi kesehatan dan mandiri dalam usaha


pencegahan kejadian gangguan fungsi paru.
d. Bagi Jurusan Kesehatan Lingkungan
Menambah pustaka tentang pengaruh pajanan debu
respirable PM2.5 terhadap kejadian gangguan fungsi paru pada
pedagang tetap di Terminal Bus Bulupitu Purwokerto.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Terminal Bus Bulupitu Purwokerto yang
membahas mengenai pengaruh pajanan debu respirable PM2.5 dengan
kejadian gangguan fungsi paru pada pedagang tetap. Adapun beberapa
penelitian yang sudah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.1 sebagai berikut:
Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu Yang Berkaitan Dengan Paparan Debu dan
Gangguan Fungsi Paru
No Peneliti Judul Tahun Metode Hasil
1 Rachmania, Hubungan 2019 Cross Terdapat hubungan antara
Helmy Paparan Debu -Sectional paparan debu dengan status
dan Karakteristik faal paru pedagang di
Individu dengan sekitar kawasan industri
Status Faal Paru Kecamatan Manyar
Pedagang di Kabupaten Gresik. Namun
Sekitar Kawasan terdapat perbedaan status
Industri Gresik faal paru antara pedagang
yang berjualan di sekitar
kawasan industri
Kecamatan Manyar dengan
pedagang yang berjualan di
sekitar kawasan wisata
religi Sunan Giri dengan
nilai p = 0.000
2 Choirul Hubungan Kadar 2018 Cross Ada hubungan antara kadar
Luluk Debu Total Dan Sectional debu total dengan
Fatimah, Masa Kerja gangguan fungsi paru pada
Yusniar Dengan pedagang kaki lima di Jalan
Hanani Gangguan Fungsi Brigjen Sudiarto Kota
Darundiati, Paru Pada Semarang, dengan nilai p =
Tri Joko Pedagang Kaki 0.020 (p<0.05), nilai (RP)
Lima Di Jalan = 2.280; 95% Cl (1.078 –
Brigjen Sudiarto 4.821).
Kota Semarang

No Peneliti Judul Tahun Metode Hasil


3 BBTKLPP Hubungan 2017 Cross Ada hubungan (p=0,028)
Yogyakarta Paparan Debu Sectional antarapaparan debu
Terhirup dengan dengan gangguan fungsi
Gangguan Fungsi paru. Serta ada perbedaan
Paru pada (p=0,009)
9

Masyarakat di gangguan fungsi paru


Dalam Terminal masyarakat di dalam
dan di Sekitar terminal
Terminal
Jogyakarta
4 Irniza PM2.5 2014 Cross Terdapat hubungan antara
respiratory Sectional paparan debu PM2.5
health risk and dengan penyakit
IL-6 levels pernapasan pada pekerja di
among workers terminal bus modern di
at a modern bus Kuala Lumpur. Ditemukan
terminal in Kuala bahwa paparan debu PM2.5
Lumpur, tertinggi berada di
Malaysia luar ruangan (outdoor)
terminal (32,19 μg/m3).
5 Marpaung, Pengaruh Pajanan 2012 Cross Adanya hubungan
Yosi Marin Debu Respirable Sectional signifikan antara gangguan
PM2.5 Terhadap fungsi paru
Kejadian dengan intake PM2.5
Gangguan Fungsi (p=0,004) dan (kebiasaan
Paru Pedagang merokok (p=0,019); jumlah
Tetap di rokok (p=0,001); dosis
Terminal Terpadu inhalasi PM2.5 (p=0,001)).
Kota Depok Serta tidak ditemukan
Tahun 2012 hubungan signifikan antara
gangguan fungsi paru
dengan umur, jenis
kelamin, status gizi,
riwayat penyakit, lama
kerja, dan masa kerja
6 Yu-Hsiang, Temporal 2012 Cross Adanya hubungan risiko
Cheng, Variations in Sectional kesehatan saluran
Hsiao-Peng Airborne pernapasan dengan PM
Chang, Particulate pada pekerja di loket tiket
Jhih-Wei Matter Levels at stasiun dalam jangka waktu
Yan an Indoor Bus yang lama di terminal bus
Terminal and
Exposure
Implications for
Terminal
Workers

Location: Taipei,
Taiwan
7 Fikri, Analisis 2011 Cross Tidak ada perbedaan antara
Elanda Perbedaan Sectional pedagang kaki lima dengan
Kapasitas Fungsi kadar debu total ambien di
Paru tiga Jalan Nasional Kota
Pada Pedangang Semarang dengan nilai
Kaki Lima prediksi
Berdasarkan %KVP (p=0,110) dan nilai
No Peneliti Judul Tahun Metode Hasil
Kadar Debu Total prediksi %VEP (p=0,829)
di Jalan Nasional
Kota Semarang
10

Berdasarkan Tabel 1.1 terdapat perbedaan penelitian yang penulis akan


lakukan dengan hasil penelitian lainnya adalah pada penelitian kali ini,
peneliti menganalisis debu respirable PM2.5 dengan gangguan fungsi paru
pada pedagang tetap di Terminal, membandingkan uji kadar debu total
lingkungan di beberapa titik bagian tempat penelitian dan penelitian ini belum
pernah dilakukan di Terminal Bus Bulupitu Purwokerto.

F. Ruang Lingkup Penelitian


1. Lingkup Keilmuan
Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari ilmu kesehatan
masyarakat khususnya kesehatan lingkungan industri.
2. Lingkup Masalah
Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah pajanan debu
respirable PM2.5 yang dikaitkan dengan gangguan fungsi paru pada
pedagang tetap.
3. Lingkup Sasaran
Sasaran dalam penelitian ini adalah semua pedagang tetap di terminal
Bus Bulupitu Purwokerto.
4. Lingkup Waktu
Pelaksanaan penelitian ini direncanakan pada bulan Desember 2019
5. Lingkup Lokasi
Penelitian akan dilaksanakan di Terminal Bus Bulupitu Purwokerto.
11

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Debu
1. Definisi Debu
Debu adalah partikel benda padat yang melayang di udara
(Suspended Particulate Matter) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan
500 mikron yang dihasilkan oleh proses mekanik seperti penggosokan,
pengeboran, pemecahan benda padat, serta cara pengolahan benda padat
lainnya, seperti asbestos dan silika.21 Debu juga diartikan sebagai partikel
padat yang terbentuk oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis yang
mengakibatkan pemecahan atau penghancuran atau pelembutan sehingga
terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis, crusher dan
letusan gunung api.21 Kasus pencemaran udara Indoor maupun Outdoor
Pollution sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang
digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap keselamatan
dan kesehatan kerja maupun terhadap lingkungan. Debu terdiri atas
partikel-partikel padat dan dibagi menjadi 3 (tiga) macam:22
a. Dust
Terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik
sampai yang besar. Debu yang berbahaya adalah ukuran yang bisa
terhirup ke dalam sistem pernafasan, umumnya lebih kecil dari 100
mikron dan bersifat dapat terhirup ke dalam paru-paru.
b. Fumes
Partikel-partikel zat padat yang terjadi karena kondensasi dari
bentuk gas, biasanya sesudah penguapan benda padat yang dipijarkan
dan biasanya disertai dengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zat-zat
seperti logam kadmium dan timbal (Plumbum).
c. Smoke
Produk dari pembakaran bahan organik yang tidak sempurna dan
berukuran sekitar 0,5 mikron.
12

2. Klasifikasi Debu
a. Klasifikasi debu berdasarkan pengendapannya
Berdasarkan kemudahan pengendapan, debu yang terdapat dalam
udara terbagi dua yaitu :23
1) Deposit Particulate Matter
Partikel debu yang hanya sementara berada di udara, partikel ini
cepat mengendap karena daya tarik bumi.
2) Suspended Particulate Matter
Partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah
mengendap. Debu dapat mengakibatkan gangguan pernafasan bagi
pekerja di lingkungan kerja.
b. Klasifikasi debu berdasarkan tingkat bahayanya
Klasifikasi debu berdasarkan tingkat bahayanya yaitu : 23
1) Debu fibrogenik (bahaya terhadap sistem pernapasan) Contoh :
silika (chert), silicate (asbestos, talk, mica, silimate), metal
fumes, biji timah putih, biji besi, carborundum, batu
bara (anthracite, bituminous).
2) Debu karsinogenik (penyebab kanker) Contoh : debu hasil
peluruhan radon, asbestos, arsenik.
3) Debu-debu beracun (toksik terhadap organ/jaringan tubuh).
Contoh : biji berillium, arsen, timbal, uranium radium, torium,
chromium, vanadium, mercuri, cadmium, antimoni, selenium,
mangan, tungsten, nikel dan perak.
4) Debu radioaktif (berbahaya karena radiasi alfa dan beta)
Contoh : biji uranium, radium, torium.
5) Debu eksplosif, contoh : debu-debu metal (magnesium,
aluminium, zing, timah putih, besi), batu bara (bituminous,
lignite), bijih-bijih sulfida.
6) Debu pengganggu (mengakibatkan kerugian yang ringan
terhadap manusia). Contoh : gypsum, koalin, batu kapur.
7) Inert dust/debu yang tidak bereaksi kimia dengan zat lain (tidak
mempunyai akibat pada paru-paru).
13

8) Respirable dust (debu yang dapat terhirup oleh manusia yang


berukuran dibawah 10 mikron).
9) Irrespirable dust (debu yang tidak dapat terhirup oleh manusia
yang berukuran diatas 10 mikron). debu-debu organik.
3. Ukuran Partikel Debu
Tubuh manusia sudah mempunyai mekanisme pertahanan untuk
menangkis sebagian besar debu yang terhirup. Mekanisme penimbunan
debu tergantung dari ukuran debu, kecepatan aliran udara dan struktur
anatomi saluran napas. Adapun ukuran debu dan hubunganya dengan
struktur saluran pernapasan sebagai berikut :24
a. Ukuran 5-10 mikron, akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian
atas.
b. Ukuran 3-5 mikron, akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian
tengah.
c. Ukuran 1-3 mikron, sampai di permukaan alveoli.
d. Ukuran 0,5-1 mikron, hinggap di permukaan alveoli/selaput lendir
sehingga menyebabkan fibrosis pada paru-paru.
e. Ukuran 0,1-0,5 mikron, melayang di permukaan alveoli dan berdifusi
dengan gerak brown keluar masuk alveoli, bila membentur maka
dapat tertimbun di tempat tersebut.

B. Identifikasi Partikulat Matter (PM25)


1. Definisi dan Karakteristik PM2.5
Particulate Matter adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan fase terkondensasi (partikel padat atau cairan) yang
tersuspensi di udara. PM terdiri dari 2 (dua) klasifikasi diantaranya
berdasarkan ukuran fisik dan mekanisme terbentuknya. Ukuran fisik
partikulat merupakan faktor penentu yang erat kaitannya dengan
pembentukan, sifat kimia dan fisika serta pembersihan partikulat di
udara. Berdasarkan mekanisme terbentuknya, partikulat terdiri dari
primary particles (partikulat yang dihasilkan langsung dari sumbernya)
dan secondary particles (terbentuk dari konversi gas-gas prekursor di
udara menjadi partikulat).25
14

PM memiliki diameter yang berada pada rentang nanometer (nm)


sampai kepada mikrometer (µm). Notasi dari PM dinyatakan sebagai
PMX dimana ukuran diameter partikulat kurang dari X (yang sering
digunakan adalah 10, 2.5, atau 1 µm). Partikulat yang kurang dari 2.5µm
dan 100 nm secara berurutan digolongkan fine sampai dengan ultrafine
particles dan Partikulat yang lebih dari 2.5µm dinamakan coarse
particles. Partikulat yang terdapat di udara (airborne dust) umumnya
terdapat pada berbagai ukuran dengan ukuran maksimum diameter 75
mikron.26
Salah satu jenis partikulat berdasarkan distribusi partikelnya
adalah PM2.5. Menurut adan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG) PM2.5 merupakan partikel yang sangat halus berukuran lebih
kecil dari 2.5 mikron atau diasumsikan dengan 3 persen dari ukuran
diameter rambut manusia.27 Partikel yang terdapat didalam PM2.5
mengandung logam berat lebih tinggi dibanding dengan partikel yang
terdapat pada filter kasar (PM2.5-10). Perbandingan ukuran diameter PM2.5
dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut:

Gambar 2.1 Perbandingan Ukuran Diameter PM


(Sumber: EPA, 2010)

PM2.5 sering dijadikan patokan dalam mengukura indeks


kesehatan karena jenis partikel ini dapat masuk ke saluran nafas bawah
15

dan kemudian masuk ke pembuluh darah, selanjutnya beredar ke seluruh


tubuh, sehingga mengubah perubahan normal menjadi peradangan kronik
seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), sistem kekebalan tubuh
yang lemah, penyakit jantung, kanker paru-paru, gejala autis, bahkan
kematian dini.28 Greenpeace  Indonesia juga menambahkan bahwa karena
sangat kecilnya partikel tersebut, PM2.5 dapat menembus masker anti
debu harian yang berwarna hijau, yang kerap dikenakan masyarakat pada
umumnya. Pemakaian masker N95 yang berwarna putih dan memiliki
penyaring di bagian depannya akan lebih efektif dalam
menangkal PM2.5.29
2. Sumber PM2.5
PM2.5 dapat bersumber dari  antropogenik (pencemaran yang tidak
alami akibat adanya pengaruh atau campur tangan manusia atau aktifitas
manusia) seperti kegiatan industri, transportasi, pembakaran biomassa
dan emisi fugitive dari lalu-lintas sedangkan sumber alami seperti
terjadinya letusan gunung berapi. PM2.5 dapat ditemukan di dalam
ruangan (indoor) seperti asap rokok dan kegiatan memasak, sedangkan di
luar ruangan (outdoor) seperti proses bahan bakar dan kebakaran hutan.28
Menurut EPA tahun 2008 Beberapa sumber-sumber dari PM2.5,
pencegahan, dan pengendalian yang dapat dilakukan menurut EPA antara
lain:26
a. Penggunaan kayu bakar
Bahan alam yang menjadi pencemar langsung PM2.5 salah satunya
adalah kayu bakar. Produksi PM2.5 yang dihasilkan akan
lebih banyak apabila kayu dibakar secara tidak tepat atau dengan
peralatan pendukung yang tidak standar. Pengendalian yang dapat
dilakukan adalah dengan program substitusi kayu bakar dengan
kompor yang lebih modern.

b. Pembakaran sampah di tempat terbuka


Membakar sampah di tempat yang terbuka merupakan kegiatan
yang berbahaya karena PM2.5 yang dihasilkannya terlokalisasi di suatu
16

area tertentu. Pengendalian yang dapat dilakukan adalah


memanfaatkan sampah organik yang dapat diolah sebagai pupuk dan
sampah anorganik yang dapat didaur ulang serta pembuangan sampah
ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
c. Pembakaran lahan dan hutan
Sumber utama PM2.5 yaitu dari pembakaran lahan dalam skala yang
besar. Pengendalian yang dapat dilakukan guna menjamin kondisi
kualitas udara tetap terjaga seperti larangan membakar,
memberlakukan no burn days dan izin membakar.
d. Sumber bergerak / diesel
Emisi dari sumber bergerak seperti mobil, truk, traktor, dan mesin
kereta merupakan sumber yang signifikan dalam menghasilkan
partikulat dan racun di udara. Pengendaliannya dengan retrofit diesel,
penggunaan bahan bakar dengan kadar sulfur yang rendah dan
kampanye untuk mengedukasi dan mendorong masyarakat untuk lebih
menggunakan kendaraan umum.

C. Mekanisme PM2.5 Masuk ke dalam Tubuh Manusia


Partikel masuk ke dalam tubuh manusia melalui sistem pernafasan,
oleh karena itu pengaruh yang merugikan langsung terjadi pada sistem
pernafasan. Proses pernapasan melibatkan pergerakan dan pertukaran udara di
beberapa tempat seperti hidung, mulut, faring, trakea, bronkus dan saluran
pernapasan paling kecil yaitu alveoli.30 Sistem pernapasan memiliki beberapa
pertahanan yang berperan untuk mencegah masuknya pertikel ke dalam paru
– paru baik berbentuk padat maupun berbentuk cair. Ketika manusia bernafas,
tidak hanya oksigen yang masuk ke dalam tubuh tetapi juga terdapat debu,
bakteri, virus, dan spora jamur.31
Ukuran partikel merupakan faktor penentu seberapa jauh partikel
masuk ke dalam sistem pernapasan serta dipengaruhi juga oleh komposisi
partikulat, durasi pajanan dan suseptibilitas. Partikel debu yang dapat dihirup
oleh pernapasan manusia mempunyai ukuran 0,1 mikron sampai 10 mikron.
PM2.5 merupakan ukuran partikulat yang sangat halus yang dapat terdeposit
sampai pada tingkat alveolar pada manusia. Ketika dalam keadaan
17

pernapasan normal partikulat halus mampu masuk ke dalam saluran


pernapasan manusia dari bronkus dan alveolus. PM2.5 yang masuk ke alveoli
dapat menyebabkan pengerasan pada jaringan (fibrosis) dan bila 10% alveoli
mengeras akibatnya mengurangi elastisitasnya dalam menampung volume
udara. Kemampuan elastisitas alveoli yang berkurang akan menyebabkan
kemampuan untuk mengikat oksigen juga menurun. Fibrosis yang terjadi ini
dapat menurunkan kapasitas vital paru.32 Letak deposit dari PM2.5 di saluran
pernapasan manusia dapat dilihat pada Gambar 2.2 sebagai berikut:

Gambar 2.2. Letak Deposit PM25 di Saluran Pernapasan Manusia


(Sumber: EPA, 2010)

Besar dan letaknya pengendapan dari partikulat di saluran pernafasan


ditentukan oleh mekanisme biologis dan fisika dari setiap individu yang
menghirup partikulat. Terdapat 5 (lima) mekanisme fisik yang paling
signifikan dari pengendapan partikulat dapat dilihat pada Gambar 2.3 sebagai
berikut:33
18

Gambar 2.3 Mekanisme Utama Dari Pengendapan Partikulat Di Saluran


Pernapasan
(Sumber: ILO, 1998)

1. Impaction
Mekanisme ini terjadi ketika terdapat tikungan dalam sistem
saluran napas yang menyebabkan partikulat yang tersuspensi tidak dapat
berubah dengan aliran udara melainkan akan menempel pada permukaan
saluran napas. Probabilitasnya tergantung kecepatan aliran udara dan
massa partikulat. Mekanisme ini biasanya terjadi pada partikulat yang
berukuran lebih besar dari 10µm.
2. Interception
Semakin dekat partikulat dengan permukaan saluran napas, maka
semakin besar kemungkinannya untuk terdeposit. Pengendapan dari
interception terjadi terjadi saat satu dari ujung partikulat menyentuh
permukaan saluran pernapasan. Interception adalah determinan penting
pada deposisi fibers. Sebagai contoh, fibers dengan diameter 1 µm dan
panjang 200 µm akan terdeposit pada cabang bronkial.
3. Electrostatic precipitation.
Pengendapan partikulat pada saluran pernapasan oleh electronic
precipitation terjadi saat partikulat yang masuk bermuatan lisrik. Jika hal
demikian berlangsung, maka partikulat dapat terdeposisi pada area yang
lebih besar berdasarkan ukuran, bentuk, dan kepadatannya.

4. Sedimentation
Pengendapan partikulat oleh mekanisme sedimentation
disebabkan adanya gaya gravitasi. Sedimentasi dari partikulat akan
19

meningkat apabila ukuran, berat jenis, dan lama waktu partikulat


bertahan di dalam saluran pernapasan juga meningkat. Partikulat akan
mengendap pada permukaan saluran paru, umumnya di bronkus dan
bronkiolus.
5. Diffusion
Di udara, gerak acak partikulat dengan ukuran <0,5µm mirip
dengan molekul gas. Pada saat partikulat bergerak secara acak, secara
kebetulan partikulat akan terdeposit pada dinding saluran paru. Gerakan
ini juga disebut dengan “Gerak Brown”. Semakin kecil ukuran partikulat,
semakin kuar pula gerakan yang dihasilkan. Difusi merupakan
mekanisme paling penting untuk pengendapan partikulat pada saluran
napas kecil dan alveoli.
Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin
lama paparan berlangsung, maka jumlah partikel yang mengendap di paru-
paru juga semakin banyak. Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik
udara, setiap alveoli paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila
konsentrasi mencapai 1000 partikel per millimeter kubik, maka 10% dari
jumlah tersebut akan tertimbun di paru-paru. Konsentrasi yang melebihi 5000
partikel per millimeter kubik sering dihubungkan dengan terjadinya
pneumokoniosis.34
D. Dampak PM2.5 Terhadap Kesehatan
Berdasarkan bentangan waktu antara mulai terpajannya PM2.5 sampai
timbulnya efek, dapat menimbulkan dampak kesehatan yang dinyatakan
dalam efek kesehatan jangka pendek yang biasanya didefinisikan dalam
rentang waktu jam sampai dengan hari dan efek kesehatan jangka panjang
didefinisikan dalam rentang bulan sampai dengan tahun. Efek jangka pendek
pajanan PM2,5 terhadap kesehatan yaitu dapat mempengaruhi reaksi radang
paru-paru, ISPA/gejala pada saluran pernapasan dan peningkatkan efek pada
sistem kardiovaskuler, sedangkan efek kesehatan jangka panjang
menunjukkan adanya peningkatan gejala saluran pernapasan bawah,
penurunan fungsi paru, peningkatan obstruktif paru-paru kronis dan timbul
kanker paru.35
20

E. Baku Mutu PM2.5


Baku mutu adalah ukuran batas atau komponen yang ada atau yang
seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya
dalam udara ambien.36 Baku mutu udara pertama kali ditetapkan oleh EPA
dan dipublikasikan pada tahun 1971. EPA mengubah standar untuk mengatur
inhalable particles yang lebih kecil atau sama dengan 10 µm pada tahun
1987. EPA merevisi kembali standar PM dan menetapkan standar terpisah
untuk PM2.5 berdasarkan masalah kesehatan serius yang ditimbulkannya
mulai dari kunjungan rumah sakit, jantung, paru-paru, sampai kematian pada
tahun 1997 sampai standar ini terus dipertahankan namun dengan sedikit
revisi untuk PM10 untuk mengatur “inhalable coarse particles” yang berkisar
2,5-10µm. EPA merevisi standarnya pada tahun 2006 dan memperketat
standar PM2,5 24-jam dari level 65µg/m3 ke 35µg/m3 dan mempertahankan
standar PM2,5 tahunan pada 15 µg/m3.37 Baku mutu PM2.5 di Indonesia diatur
oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 1999 Baku Mutu Udara
Ambien Nasional, bahwa untuk PM2.5 (Partikel <10 μm) adalah 150 μg/m3.38

F. Anatomi dan Fisiologi Paru- Paru Manusia


1. Anatomi Paru-Paru Manusia
Paru-paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang
3 mm. Pembentukan paru-paru di mulai dari sebuah Groove yang berasal
dari Foregut. Groove terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu
jaringan yang disebut Primary Lung Bud. Bagian proksimal foregut
membagi diri menjadi 2 (dua) yaitu kerongkongan (esophagus) dan
batang tenggorokan (trakea). Pada perkembangan selanjutnya trakea akan
bergabung dengan primary lung bud (cikal bakal bronchi dan cabang-
cabangnya). Bronchial-tree terbentuk setelah embrio berumur 16 minggu
sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan jumlahnya
terus meningkat hingga berumur 8 tahun. Ukuran alveoli bertambah
besar sesuai dengan perkembangan dinding toraks. Pertumbuhan dan
perkembangan paru berjalan terus menerus tanpa terputus sampai
pertumbuhan somatik berhenti.39
21

Paru-paru merupakan organ pada sistem pernapasan (respirasi)


dan berhubungan dengan sistem peredaran darah (sirkulasi). Paru-paru
manusia merupakan organ berbentuk spons yang terdapat di rongga dada
(mediastinum) dan dilindungi oleh tulang rusuk. Rongga dada dan perut
dibatasi oleh suatu sekat disebut diafragma. Paru-paru terbagi menjadi 2
(dua) yaitu paru-paru kanan dan paru-paru kiri. Berat paru sebalah kiri
orang dewasa 325-550 gram dan paru kanan memiliki berat 375-600
gram. Paru sebelah kiri memiliki 2 lobus (lobus superior dan lobus
inferior) dan bentuknya lebih kecil sedangkan paru sebelah kanan
memiliki 3 lobus (lobus superior, lobus medius dan lobus inferior) dan
bentuknya lebih besar karena jantung membutuhkan ruang lebih pada sisi
tubuh bagian kiri. Tiap lobus terdiri dari belahan yang lebih kecil
bernama segmen.39, 40
Paru kiri mempunyai 10 (sepuluh) segmen, yaitu 5 (lima) buah
segmen pada lobus superior, dan 5 (lima) buah segmen pada lobus
inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 (sepuluh) segmen, yaitu 5
(lima) buah segmen pada lobus superior, 2 (dua) buah segmen pada
lobus medial, dan 3 (tiga) buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap
segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama
lobulus. Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan
ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf serta dalam tiap-
tiap lobulus terdapat sebuah bronkeolus. Bronkeolus ini bercabang-
cabang yang disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir
pada alveolus yang memiliki diameter antara 0.2 – 0.3 mm. Struktur
anatomi paru-paru manusia ditunjukan pada Gambar 2.4 dan Gambar
2.5.40
22

Gambar 2.4 Struktur Anatomi Paru-Paru Manusia


(sumber: J. Gordon Betts, 2013)

Gambar 2.5 Struktur Anatomi Paru-Paru


(sumber: J. Gordon Betts, 2013)

Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yang bernama pleura yang


dapat bergerak saat bernapas. Pleura yang melapisi rongga dada disebut
pleura parietalis, sedangkan pleura yang menyelubungi paru-paru disebut
pleura viceralis. Di antara pleura parietalis dan pleura viceralis terdapat
celah ruangan yang disebut cavum pleura. Ruangan ini normalnya berisi
sedikit cairan serous untuk melumasi dinding dalam pleura. Cavum
pleura memiliki tekanan negatif yang saling tarik menarik, di mana
ketika diafragma dan dinding dada mengembang maka paru akan ikut
tertarik mengembang begitu juga sebaliknya.39

2. Fisiologi Paru-Paru Manusia


Fungsi utama dari paru-paru manusia adalah sebagai tempat
pertukaran gas oksigen dan karbondioksida pada pernafasan melalui
pernafasan eksterna. Tubuh melakukan usaha memenuhi kebutuhan
oksigen untuk proses metabolisme dan mengeluarkan karbondioksida
23

sebagai hasil metabolisme dengan perantara organ paru dan saluran napas
bersama kardiovaskuler sehingga dihasilkan darah yang kaya oksigen.
Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida terus berubah sesuai dengan
tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang, akan tetapi pernafasan harus
tetap dapat berjalan agar pasokan kandungan oksigen dan karbon
dioksida bisa normal.41
Masuk keluarnya udara ke dalam paru-paru oleh peristiwa
mekanik pernafasan yang dikenal sebagai inspirasi dan ekspirasi. Proses
inspirasi merupakan proses yang aktif karena dalam proses ini terjadi
kontraksi otot dan mengeluarkan energi. Pada saat proses inspirasi paru-
paru berkembang yang melibatkan otot penting yaitu diafragma, antariga
eksternal dan otot leher. Proses ekspirasi terjadi dimana paru-paru
menguncup dan merupakan proses yang pasif karena dihasilkan akibat
relaksasinya otot-otot yang berkontraksi selama inspirasi, yaitu otot
abdomen dan antariga internal.42

G. Kapasitas dan Volume Paru-Paru


Kapasitas paru adalah volume paru udara maksimal yang dapat keluar
dan masuk paru – paru selama satu siklus pernapasan yaitu inspirasi
maksimal dan ekspirasi maksimal. Kapasitas paru dapat menggambarkan
kemampuan pengembangan paru- paru dan dada. Total kapasitas paru-paru
pada pria sehat normal adalah 5700 mL sedangkan pada wanita adalah 4200,
hal tersebut tergantung pada usia, distensibilitas paru-paru, dan ada tidaknya
penyakit pernapasan. Volume dan kapasitas paru-paru juga dipengaruhi oleh
usia, jenis kelamin, dan ukuran tubuh.43 Terdapat 4 (empat) macam volume
paru dan kapasitas paru sebagai berikut:44
1. Tidal Volume (TV) adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi setiap
kali pernapasan normal dan besarnya ± 500 ml pada dewasa.
2. Inspiratory Reserve Volume (IRV) adalah volume udara ekstra yang
diinspirasi setelah volume tidal dengan nilai mencapai ± 3000 ml.
24

3. Expiratory Reserve Volume (ERV) adalah jumlah udara y ang masih dapat
dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum pada akhir ekspirasi
normal. Pada keadaan normal besarnya dapat mecapai ± 1100 ml.
4. Residual Volume (RV) adalah volume udara minimum yang tersisa di paru-paru
setelah ekspirasi maksimum dan besarnya 1200 ml.
Kapasitas paru merupakan gabungan dari beberapa volume paru
dan dibagi menjadi empat bagian, yaitu:44
1. Kapasitas Inspirasi, sama dengan volume tidal + volume cadangan
inspirasi. Merupakan jumlah udara yang dapat dihirup seseorang mulai
tingkat ekspirasi normal dan mengembangkan paru sampai jumlah
maksimum dengan besarnya mencapai ± 3500 ml.
2. Kapasitas Residu Fungsional, sama dengan volume cadangan inspirasi +
volume residu. Besarnya ± 2300 ml, dan merupakan besarnya udara yang
tersisa dalam paru pada akhir eskpirasi normal.
3. Kapasitas Vital, sama dengan volume cadangan inspirasi + volume tidal +
volume cadangan ekspirasi. Besarnya ± 4600 ml, dan merupakan jumlah
udara maksimal yang dapat dikeluarkan dari paru, setelah terlebih dahulu
mengisi paru secara maksimal dan kemudian mengeluarkannya sebanyak-
banyaknya.
4. Kapasitas Vital paksa (KVP) atau Forced Vital Capacity (FVC) adalah
volume total dari udara yg dihembuskan dari paru-paru setelah inspirasi
maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa minimum. Hasil ini didapat
setelah seseorang menginspirasi dengan usaha maksimal dan
mengekspirasi secara kuat dan cepat.
Nilai Kapasitas Vital Paru (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) dapat digunakan untuk menilai faal paru dari seorang
individu karena pemeriksaan ini cukup sensitif dan dapat menggambarkan
keadaan paru dari individu itu sendiri. Nilai KVP dan VEP 1 ini dapat
digunakan untuk mengetahui apakah telah terjadi gangguan pada paru atau
tidak. Berdasarkan ketetapan dari American Thoracis Sosciety (ATS), kriteria
gangguan fungsi paru dibedakan menjadi 4 (empat) macam dapat dilihat pada
Tabel 2.1 sebagai berikut:45
25

Tabel 2.1 Daftar nilai KVP dan VEP1 beserta interpretasinya


Klasifikasi Nilai
Normal KVP ≥ 80%, VEP1/KVP ≥75%
Gangguan Obstruksi VEP1 < 80% nilai prediksi,
VEP1/KVP < 70% nilai prediksi
Gangguan Restriksi Kapasitas Vital (KV) < 80% nilai
prediksi, KVP <80%
Gangguan Campuran KVP < 80% nilai prediksi,
VEP1/KVP < 75% nilai prediks
(Sumber: Pierce, 2007)

H. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Fungsi Paru


Gangguan fungsi paru terjadi tidak hanya dipengaruhi oleh kadar debu
yang tinggi dan lama paparan, akan tetapi dapat dipengaruhi oleh
karakteristik dari manusia itu sendiri. Faktor – faktor yang berpengaruh
terhadap fungsi paru di lingkungan kerja adalah sebagai berikut:
1. Usia
Usia merupakan faktor utama yang mempengaruhi gangguan
fungsi paru. Usia berkaitan dengan proses penuaan dimana semakin
bertambahnya usia seseorang maka secara fisiologis akan terjadi
penurunan fungsi dari organ-organ tubuh salah satunya adalah penurunan
fungsi paru. Fungsi pernafasan dan sirkulasi darah akan meningkat pada
masa anak-anak dan mencapai maksimal pada usia 20-30 tahun,
kemudian akan menurun kembali sesuai pertambahan usia.46
Pada kelompok lanjut usia (lansia) energi yang dibutuhkan lebih
sedikit dibandingkan pada saat usia pertumbuhan, sehingga oksigen yang
diperlukan relatif sedikit. Terjadi beberapa pthyyth tynghgherubahan
struktural dan fungsional pada toraks dan paru-paru pada lansia serta
ditemukan alveoli menjadi kurang elastis dan lebih berserabut serta berisi
kapiler-kapiler yang kurang berfungsi, sehingga kapasitas penggunaan
menurun karena kapasitas difusi paru-paru untuk O2 tidak dapat
memenuhi permintaan tubuh1.
Pada penelitian Yulaekah menunjukan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara paparan debu terhirup dengan gangguan fungsi paru
pada kelompok umur 31-40 tahun, sedangkan pada kelompok umur 20-
26

30 tahun tidak ada hubungan antara paparan debu dengan gangguan


fungsi paru.2
2. Jenis Kelamin
Secara biologis jenis kelamin berbeda antara pria dan wanita. Pria
memiliki ukuran paru, diameter saluran pernapasan, permukaan difusi
udara, kapasitas dan fungsi paru yang lebih besar daripada wanita. Pada
umumnya, pria membutuhkan energi lebih besar sehingga memerlukan
O2 yang lebih banyak sebesar 4-5 liter daripada wanita yang memerlukan
O2 sebesar 3-4 liter.3
3. Masa Kerja
Semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak dia telah
terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Pada
penelitian Yulaekah menunjukan bahwa pada kelompok kerja 5-10 tahun
ada hubungan yang bermakna antara paparan debu terhirup dengan
gangguan fungsi paru.20
Masa kerja menentukan lama kerja seseorang terhadap faktor
risiko terpapar debu, sehingga semakin besar lama kerja seseorang maka
semakin besar pula risiko terkena penyakit paru 15. Pekerja dengan lama
kerja kurang dari 8 jam sehari lebih sedikit yang mengalami gangguan
faal paru, sedangkan pekerja dengan lama paparan 8 jam sehari dan lebih
dari 8 jam sehari ditemukan lebih banyak pekerja yang mengalami
gangguan faal paru dengan persentase yang tidak berbeda jauh, yaitu
92,9% pekerja pada lama kerja 8 jam sehari dan 90% pekerja pada
kelompok lama kerja lebih dari 8 jam dalam sehari.4
4. Riwayat Penyakit
Seseorang yang mempunyai riwayat menderita penyakit paru
berhubungan secara bermakna dengan terjadinya gangguan fungsi paru. 5
Kondisi kesehatan dapat mempengaruhi nilai arus puncak ekspirasi
seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit,
seperti asma, pasca Tb, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik),
penyakit sistemik.
5. Kebiasaan merokok
27

Merokok merupakan salah satu hal yang sering dilakukan oleh


sebagian orang baik padamwaktu senggang ataupun pada waktu
melaksanakan pekerjaan. Orang yang merokok disebut perokok aktif,
sedangkan orang berada dekat dengan orang yang merokok disebut
perokok pasif. Bahan utama dalam pembuatan rokok adalah daun kering
tembakau (Nicotiana tabacum), yang merupakan sumber utama nikotin.
Nikotin merupakan salah satu dari alkaloid yang sudah lama
diketahui.6 Nikotin dalam asap rokok dengan cepat diabsorpsi dari paru-
paru ke dalam darah dan hampir sama efisiensinya apabila diberikan
secara intravena. Senyawa ini mencapai otak dalam waktu 8 detik setelah
inshalasi. Nikotin dalam jangka waktu lama akan terakumulasi dalam
pembuluh darah dan mengakibatkan terjadinya penyempitan dinding
pembuluh. Merokok merupakan salah satu kebiasaan buruk yang dapat
menganggu kesehatan. Menurut laporan World Health Organization
(WHO), seorang perokok memiliki risiko kematian 20 kali lebih besar
akibat kanker paru dibandingkan yang bukan perokok dan seorang
perokok memiliki resiko penyakit jantung 2-4 kali lebih besar
dibandingkan bukan perokok. Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan
jumlah perokok diatas 15 tahun sebanyak 33,8 %. Dari jumlah tersebut
62,9 % merupakan perokok laki-laki dan 4,8% perokok perempuan
menyebabkan perubahan struktur jaringan paru dan akan mempercepat
penurunan faal paru. Asap rokok dan zat iritan lain akan mengaktifkan
mikrofag dan sel epitel disaluran pernapasan yang melepaskan neutrofil
dan faktor kemotaktik termasuk interleukin-8 dan leukotrien B4. Neutrofil
dan makrofag kemudian melepaskan enzim protease yang
menghancurkan jaringan ikat di parenkim paru sehingga mengakibatkan
terjadinya emfisema dan juga merangsang hipersekresi mukus yang
menyebabkan terjadinya obstruksi saluran pernapasan.

I. Tes Fungsi Paru


Tes fungsi paru merupakan tes kuantitatif dari faal paru, digunakan
untuk menentukan kapasitas fungsi paru dan kemampuannya untuk
28

melakukan pekerjaan. Dengan demikian dapat digunakan untuk pula untuk


membantu menentukan ciri-ciri dan beratnya penyakit paru akibat kerja.
1. Spirometri
Spirometri dapat dihasilkan pengukuran volume ekspirasi dan inspirasi
individu. Membandingkan hasilnya dengan nilai normal populasi
individu yang sehat, berguna untuk menilai kegagalan fungsi paru, serta
untuk menentukan jenis-jenis penyakit paru yang berbeda.
a. Spirometri Konvensional
Spirometri konvensional hanya mengukur udara yang masuk dan
keluar dari mulut selama inspirasi dan ekspirasi maksimal, yaitu
volume paru statis, yang meliputi:
a) Kapasitas Vital (Vital capacity, VC) adalah volume ekspirasi
maksimal setelah individu melakukan inspirasi maksimal.
b) Kapasitas vital paksa (forced vitas capacity) ditentukan dengan
cara mengukur volume ekspirasi maksimal yang dimulai
secepatnya secara paksa setelah individu melakukan inspirasi
maksimal.
Vital Capacity dan Forced Vital Capacity keadaan normal adalah >
80% nilai prediksi, pada kasus obstruksi paru (asma akibat kerja)
maupun kasus penyakit paru retriktif (asbestosis), hasil pengukuran
FVC keduanya berkurang,Untuk membedakan keduanya dengan
lebih akurat, di butuhkan nilai volume paru statis lainnya, yaitu
pengukuran kapasitas total paru (Total Lung Capacity, TLC),
kapasitas residu (Residual Volume, RV) dengan cara mengukur body
plethysmography, atau dengan bantuan dilusi gas inert. Pada kasus
penyakit paru restriktif, hasil pengukuran TLC dan volume paru
lainnya akan berkurang, sedangkan pada kasus penyakit paru
obstruksi terjadi hiperinflasi, maka TLC dan rasio RV/TLC hasilnya
meningkat14.
b. Spirometri Modern
Spirometri yang lebih modern (pneumotakograf) dapat dinilai
volume paru dinamik, yang meliputi volume ekspirasi paksa detik
29

pertama (FEV-1) dan Maximal Voluntary Ventilation (MVV).


Forced Expiration Volume-1 keadaan normal adalah > 80% nilai
prediksi dan FEV-1/FVC > 75 % nilai prediksi. Pada kasus penyakit
paru obstruksi hasil pengukuran FEV-1 berkurang lebih banyak
dibanding dengan FVC, maka rasio FEV1/FVC hasilnya menurun.
Sedangkan pada kasus penyakit paru restriktif, baik hasil pengukuran
FEV-1 maupun FVC, sama-sama berkurang sedikit sehingga rasio
FEV-1/FVC hasilnya dapat kembali normal atau meningkat,
menjamin keakuratannya, pengukuran paling sedikit dilaksanakan 3
kali dan hasilnya diambil dari 2 pengukuran yang menghasilkan hasil
tertinggi14.
c. Tes Pernafasan Tunggal (Single-Breath Test)
Mini-wright peak–flow meter portable peralatan yang dapat
digunakan untuk tes pernafasan tunggal, yang merefleksikan
beratnya obstruksi saluran pernapasan, dengan mengukur kecepatan
hembusan ekspirasi paksa (peak expiratory, Flow rate, PEFR).
Pengukuran serial PEFR mencatat hembusan ekspirasi paksa
sebelum, selama, dan setelah jam kerja, serta selama liburan, paling
tidak selama 1 minggu. Setiap pengukuran diambil data maksimum,
minimum, dan rata-ratanya, yang tercatat dalam grafik. Metode ini
sangat penting dalam mendiagnosis kasus asma akibat kerja dan
bisinosis. Karena pengukuran PEFR dilaksanakan oleh pasien
sendiri, ada kemungkinan pasien berbohong sehingga hasilnya sering
kali kurang dapat dipercaya. Bila dilaksanakan dengan benar dan
jujur, sesungguhnya tes ini sangat berguna dalam mendeteksi
perubahan obstruksi saluran pernafasan dari waktu kewaktu. Variasi
diurnal atau perbedaan data maksimum dan mimimum yang berkisar
20% atau lebih akan menggambarkan adanya gejala asma14.
d. Kapasistas Difusi CO (DLCO)
Kapasistas di fusi CO ini pasien menginhalasi dosis rendah gas CO
dengan menggunakan nebulizer dengan tarikan napas tunggal
ataupun multipel yang sesuai protokol yang sudah di siapkan. Prinsip
30

penilaian hasilnya berdasarkan gas CO yang diabsorbsi O2. Dengan


demikian, berkurangnya nilai DLCO menggambarkan terjadinya
kegagalan pertukaran gas di alveoli yang dapat terjadi pada kelainan
paru obstruksi, restriktif atau akibat gangguan vaskuler14.
e. Tes Provokasi Bronkus (Bronchial Provocation Test)
Pasien asma memiliki hipertensitivitas bronkus yang nonspesifik,
sehingga akan terjadi obstruksi bronkus bila menginhalasi dosis
rendah matakolin klorida atau hastamin. Hasilnya dinyatakan positif
(+) bila terjadi penurunan FEV-1 sebesar 20 % atau lebih. Tes
dengan menggunakan antigen spesifik merupakan tes yang spesifik
untuk diagnosis asma akibat kerja dan pneumonitis hipersensitivitas,
tetapi memakan biaya dan berbahaya. Selain itu, tes ini juga harus
dilaksanakan di rumah sakit. Pada pasien asma akibat kerja.
Bronkokonstriksi dapat terjadi dini (10-20 menit) atau lambat (4-8
jam), sedangkan pada kasus pneumonitis hipersensitivitas hanya
akan terjadi sesak napas ringan dan batuk14.

J. Kerangka Teori
Berdasarkan landasan teori maka dapat disusun suatu kerangka teori
yang memuat tentang pajanan debu respirable PM2.5 terhadap gangguan
fungsi paru pada pedagang tetap di Terminal Bulupitu Purwokerto tahun
2019, seperti tampak pada Gambar 2.6 di bawah ini:
31

Faktor Alam:
Kecepatan Angin
Sumber Debu: Curah Hujan Karakteristik
Alamiah Arah Angin Pekerjaan:
Kegiatan Manusia Kelembapan Lama Paparan
Kepadatan Kendaraan Bermotor Suhu Masa Kerja

Kondisi Lingkungan Kerja Konsentrasi PM25


Udara Ambien Paparan PM25

Udara di Luar
Ruangan (outdoor) Faktor individu:
Umur
Jenis Kelamin Intake PM25
Tingkat Pendidikan
IMT
Kebiasaan Merokok
Riwayat Penyakit

Fungsi Paru

Gangguan Fungsi Paru


Fungsi Paru Normal

Restriktif
Obstruktif
Campuran

Gambar 2.6 Kerangka Teori


32

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori pada Gambar 2.6 peneliti ingin melihat
hubungan pajanan debu respirable PM2.5 terhadap gangguan fungsi paru pada
pedagang tetap di Terminal Bulupitu Purwokerto tahun 2019, maka disusun
kerangka konsep penelitian seperti yang tampak pada Gambar 3.1 sebagai
berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat


1. Lama Kerja
2. Masa Kerja Gangguan Fungsi Paru
3. Kebiasaan merokok
4. Kadar Debu
Respirable PM2.5

Variabel Pengganggu

Karakteristik Individu:
1. Umur*
2. Tingkat Pendidikan*
3. Riwayat Penyakit*
4. IMT

Lingkungan:
1. Suhu Udara*
2. Kelembaban Udara*

Keterangan :
*Tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep


33

Jenis variabel pada penelitian ini yaitu:


1. Variabel bebas (independent variabel) yaitu variabel yang mempengaruhi
atau yang menyebabkan terjadinya perubahan.a Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah lama kerja, masa kerja pedagang tetap, kebiasaan
merokok dan kadar debu respirable PM2.5 di Terminal Bulupitu
Purwokerto.
2. Variabel terikat (dependent variable) yaitu variabel yang disebabkan atau
dipengaruhi oleh adanya variabel bebas.b Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah gangguan fungsi paru pada pedagang tetap di
Terminal Bulupitu Purwokerto.
3. Variabel pengganggu (confounding variable) yaitu variabel yang secara
teoritis mempengaruhi hubungan variabel bebas dan variabel terikat yang
sedang diteliti.b Variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah variabel
karakteristik individu (umur, tingkat pendidikan, riwayat penyakit dan
IMT), variabel karakteristik lingkungan (suhu udara dan kelembaban
udara).

B. Hipotesis
Sesuai dengan judul penelitian yang diambil yaitu hubungan pajanan
debu respirable PM2.5 terhadap gangguan fungsi paru pada pedagang tetap di
Terminal Bulupitu Purwokerto tahun 2019, maka hipotesis yang diajukan
antara lain :
1. Hipotesis Mayor
PM2.5 udara ambien, variabel karakteristik individu, variabel
karakteristik pekerjaan dan variabel karakteristik lingkungan
berpengaruh terhadap gangguan fungsi paru pada pedagang tetap di
Terminal Bulupitu Purwokerto.
2. Hipotesa Minor
a. Lama kerja merupakan faktor risiko terjadinya gangguan fungsi paru
pada pedagang tetap di Terminal Bulupitu Purwokerto.
b. Masa kerja merupakan faktor risiko terjadinya gangguan fungsi paru
pada pedagang tetap di Terminal Bulupitu Purwokerto.
34

c. Riwayat Penyakit merupakan faktor risiko terjadinya gangguan


fungsi paru pada pedagang tetap di Terminal Bulupitu Purwokerto.
d. Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko terjadinya gangguan
fungsi paru pada pedagang tetap di Terminal Bulupitu Purwokerto.
e. IMT merupakan faktor risiko terjadinya gangguan fungsi paru pada
pedagang tetap di Terminal Bulupitu Purwokerto.
f. Ada perbedaan kadar debu respirable PM2.5 dibeberapa titik wilayah
di di Terminal Bulupitu Purwokerto.

C. Jenis dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional, yaitu pengukuran dilakukan terhadap kapasitas
vital paru pedagang tetap dan debu respirable PM2.5 di Terminal Bulupitu
Purwokerto. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
satu dengan variabel lain dari suatu populasi pada satu waktu tertentu .c Selain
itu, untuk memperdalam dan memperjelas hasil dari penelitian maka perlu
dilakukan wawancara pada pedagang tetap di Terminal Bulupitu Purwokerto.

D. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan
dalam penelitian.d Target populasi penelitian ini adalah seluruh pedagang
tetap di Terminal Bulupitu Purwokerto Kabupaten Banyumas
Berdasarkan Profil Terminal Bus Bulupitu Purwokerto Tahun 2019 dan
didukung dengan observasi langsung, jumlah pedagang tetap di Terminal
Bus Bulupitu Purwokerto sebanyak 102 pedagang.
2. Sampel
a. Sampel Pedagang Tetap
Sampel penelitian ini adalah pedagang tetap yang berjualan
di area terminal bus yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik
sampling yang digunakan adalah purposive dimana teknik
pengambilan sampling tersebut mencakup orang-orang yang
35

diseleksi atas dasar kriteria kriteria tertentu yang ditentukan oleh


peneliti berdasarkan tujuan penelitian. Adapun responden yang
dapat dijadikan sampel adalah jika responden tersebut memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
1) Kriteria Inklusi:
Kriteria inklusi dari sampel penelitian ini antara lain:
a) Pedagang tetap terminal bersedia menjadi
responden.
b) Pedagang tetap terminal dengan kios permanen atau semi
permanen, menetap, ketika berdagang di terminal tidak
berpindah-pindah.
c) Umur pedagang tetap dalam kategori dewasa yakni berusia
≥ 18 tahun saat penelitian dilaksanakan. Hal ini diperlukan
untuk menyesuaikan hasil spirometri dengan orang Asia
menurut Hong Kong Thoracic Society.
d) Tidak menderita penyakit pernapasan saat penelitian
dilasanakan seperti, penderita bronkitis, radang paru, TBC
paru dan asma.
2) Kriteria eksklusi dari sampel penelitian ini antara lain:
a) Pedagang tetap terminal sedang menderita sakit pada
saluran pernafasan.
b) Tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian secara
keseluruhan.
Penentuan besar sampel penelitian, dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Lemeshow sebagai berikut:e

n= (Z 1–α/2)2. P.q. N
d2.(N – 1) + (Z 1–α/2)2. p.q

Keterangan :
36

n : Besar sampel minimal yang dibutuhkan


Zα : nilai pada kurva normal untuk α tertentu
α= 0,05 Z= 1,96 pada tingkat kepercayaan 95%
d : Degree of precision (nilai biasanya 0,1 atau 10% dan
maksimal 5 % atau 0,05)
q : 1-p
N : Besar populasi (102 pedagang tetap)
P : Estimasi proporsi (prevalensi) penyakit pada populasi
dari penelitian terdahulu yakni 0,774 atau 77,4%
(Marpaung, 2012)
Berdasarkan rumus Lemeshow, maka besar sampel dalam penelitian ini
adalah:
n= (Z 1–α/2)2. P.q. N
d2.(N – 1) + (Z 1–α/2)2. p.q

n= 1,962 . 0,774 (1 – 0,774) 102


0,12. (102 – 1) + (1,96)2 . 0,774 . (1 – 0,774)

n= 3,84 . 0,774 (0.226) . 102


1,01+ 3,84 . 0,774. (0.226)

n = 3,84 . 0,17. 102


1,01+ 3,84 . 0,17

n = 3,84 . 17,34
1,01+ 0,65

n = 40,1

Hasil perhitungan didapatkan jumlah sampel minimal sebesar 40


pedagang tetap di kawasan Terminal Bus Bulupitu Purwokerto, untuk
meminimalisir terjadinya kehilangan sampel (dropout), maka
ditambahkan 10% dari jumlah sampel sehingga menjadi 44 sampel
pedagang tetap.

b. Sampel Udara/Data Pajanan PM2.5


37

E. Definisi Operasional dan Skala Pengukuran


Pengukuran variabel-variabel dan kerangka konsep, maka ditetapkan
definisi operasional seperti pada Tabel 3.1 berikut :\
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
Variabel Terikat
1 Gangguan Kondisi dimana Uji Spirometer 0= Tidak ada Rasio
Fungsi paru-paru tidak Kapasitas Portable gangguan :
Paru dapat Paru / normal FVC
memberikan Spirometri >80% dan
oksigenasi atau FEV1>80%
mengeluarkan dengan
karbon dioksida FEV1/FVC
secara memadai >70%
dengan
gambaran 1= Ada
paru restriktif, gangguan
obstruktif, atau fungsi paru:
campuran FEV1/FVC
keduanya <70% atau FVC
<80% dengan
FEV1/FV >70%
Variabel Bebas
1 PM2.5 Jumlah PM2.5 Uji PM2.5 Dust Rata-rata Rasio
Yang terdapat ambien Particle konsentrasi
pada udara Counter PM2.5
bebas udara bebas (24
lingkungan jam)
terminal

satuan: µg/Nm3

2 Lama kerja Jumlah jam Kuesioner Wawancara 0. ≤8 jam Rasio


kerja responden 0. ≥8 jam
saat berdagang
dalam satu hari

Satuan: jam
3 Masa kerja Lamanya Kuesioner Wawancara 0. ≤ 5 tahun rasio
responden pada 1. > 5 tahun
saat pertama
kali berdagang
hingga sekarang

Satuan: tahun
38

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur
4 Kebiasaan Jumlah batang Kuesioner Wawancara Tidak merokok Nominal
merokok rokok yang di =0
hisap dalam Merokok = 1
satu hari

satuan: batang
rokok
Variabel Pengganggu
1 IMT Pemantauan Kuesioner Wawancara 0.IMT tidak Rasio
(Indeks terhadap status dan normal
Masa gizi seseorang observasi 1. IMT normal
Tubuh)

F. Alat Penelitian/Instrumen penelitian


Suatu alat atau fasilitas yang digunakan untuk mengumpulkan data
sehingga pelaksanaannya lebih mudah, hasilnya lebih baik (cermat, lengkap,
dan sistematis), dan lebih mudah untuk diolah. Adapun alat penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Kuesioner terstruktur (terlampir) data pedagang tetap terminal yang
digunakan untuk mengetahui informasi umum pedagang tetap terminal
yang meliputi: variabel karakteristik individu (umur, tingkat pendidikan,
riwayat penyakit dan kebiasaan merokok), variabel karakteristik
lingkungan (suhu udara dan kelembaban udara), variabel karakteristik
pekerjaan (masa kerja dan lama kerja).
2. Pengukuran gangguan fungsi paru dengan menggunakan alat spirometer.
3. Pengukuran kadar debu personal dengan menggunakan alat Dust Particle
Counter. Dilakukan oleh tenaga ahli dari Laboratorium Kesehatan
Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto.

G. Cara Pengumpulan dan Pengambilan Data Penelitian


1. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini menurut sumber
sumber datanya yaitu data primer dan data skunder.
a. Pengumpulan data primer
Data responden diamati secara langsung dari sumbernya, antara lain:
39

1) Wawancara responden yaitu menggunakan kuesioner dan


observasi di lapangan yang meliputi variabel karakteristik
individu (umur, tingkat pendidikan, riwayat penyakit dan
kebiasaan merokok), dan variabel karakteristik pekerjaan (masa
kerja dan lama kerja).
2) Pengukuran gangguan fungsi paru dengan menggunakan alat
spirometer. Pengukuran dilakukan oleh petugas/analisis dari
petugas kesehatan setempat.
3) Pengukuran kadar debu personal dengan menggunakan alat
Dust Particle Counter. Pengukuran dilakukan oleh
petugas/analisis dari petugas kesehatan setempat.
Pengukuran konsentrasi PM25 ditempatkan di titik lokasi
aktivitas pedagang berjualan dan titik dimana bus berkumpul,
titik lokasi ini ditentukan dari hasil survei lokasi. Adapun titik
sampel pengambilan di lokasi terminal dengan titik tempat
sampel yang berbeda.
Mendapatkan data/nilai harian (24 jam) dilakukan pada salah
satu interval waktu seperti dibawah ini. Masing-masing interval
waktu diukur 1 (satu) jam. Interval waktu pengukuran adalah :
i. Pagi : interval waktu 08.00-12.00 WIB
ii. Siang : interval waktu 12.00-16.00 WIB
iii. Sore : interval waktu 16.00-20.00 WIB
Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran pada malam hari
karena mayoritas responden yang diteliti sudah meninggalkan
area terminal pada pukul 20.00/21.00 WIB. Masing-masing
pengambilan data dilakukan secara representatif dari standar
pengukuran udara ambien partikulat (24 jam). Adapun waktu
pengukuran selama 1 jam pada masing-masing titik dengan
pencatatan setiap 1 menit sekali pada data yang tercatat oleh
alat. Kemudian dilakukan pencatatan mean, median, lower dan
upper data.
40

b. Pengumpulan data sekunder


Data sekunder didapat dari hasil studi pendahuluan yang telah
dilakukan seperti data profil Terminal Bulupitu Purwokerto, dan data
dari Dinas Perhubungan.

2. Pengambilan data
Teknik pengambilan data dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan
untuk mengetahui hubungan antara variabel karakteristik individu
(umur, tingkat pendidikan, riwayat penyakit dan kebiasaan
merokok), dan variabel karakteristik pekerjaan (masa kerja dan lama
kerja) terhadap gangguan fungsi paru pada pedagang tetap di
Terminal Bulupitu Purwokerto sebagai data pendukung sebanyak 64
orang pedagang tetap.
b. Pemeriksaan fungsi paru pedagang tetap terminal dengan alat
spirometer
1) Alat harus dilakukan kalibrasi untuk volume dan arus minimal
satu kali seminggu. Penyimpangan tidak boleh lebih 1,5% dari
kalibrator.
2) Responden harus diberikan petunjuk yang tepat dan benar serta
contoh cara melakukan pemeriksaan
3) Bebas rokok minimal 2 jam sebelum pemeriksaan
4) Tidak boleh makan terlalu kenyang sebelum pemeriksaan
5) Berpakaian tidak ketat
Cara pengukuran kapasitas fungsi paru dengan spirometer
3) Menyiapkan alat spirometer lengkap dengan kertas grafiknya
4) Responden diminta untuk meniup selang yang ada pada
spirometer
41

5) Responden menarik nafas sekuat-kuatnya kemudian meniup ke


alat secara kuat tanpa menekan tombol grafik sehingga
dihasilkan garis vertikal yang menunjukkan besar vital capacity
6) Peniupan kedua, responden menarik nafas dan meniupkan
secara kuat bersama dengan tiupan tersebut disertai penekanan
tombol sehingga menghasilkan garis lengkung/kurva yang
menunjukkan FEV 1.0 (Forced Expiratory Volume). Hasil yang
diperoleh dari pemgukuran fungsi paru adalah membandingkan
% FEV 1, C: % FVC dengan kemungkinan hasil.
7) Hasil pengukuran dicatat.
c. Pengukuran kadar debu terhisap PM2.5 secara personal terhadap
responden dengan menggunakan alat Dust Particle Counter
prinsipnya sama dengan pengukuran kadar debu total dengan alat
Personal Dust Sampler (PDS) yaitu alat tersebut ditempel pada
responden setinggi alat pernafasan. Langkah-langkah sebagai
berikut:
1) Buka Penutup Inlet.
2) Hidupkan (ON) Particle Counter.
3) Tekan “Measure Mode”.
4) Kemudian Tekan “Start”.
5) Alat Dust Particle counter akan mempersiapkan diri untuk
memulai pengukuran.
6) Tekan sekali lagi “Start” untuk memulai pengukuran.
7) Tunggu sampai waktu pengambilan sample selesai, biasanya
sekitar 1 menit (60 detik).
8) Hasil pengukuran dicatat.
d. Pengukuran Kadar PM2.5
42

H. Pengolahan dan Analisis Data


Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data yang
meliputi editing, coding, entry data, dan tabulasi.
1. Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan setelah data-data tersebut dikumpulkan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing
Editing adalah mengoreksi data yang diperoleh dari jawaban
responden melalui kuesioner. Peneliti melakukan pengecekan ulang
data hasil kuesioner guna menghindari kesalahan.
b. Coding
Coding adalah membahas hasil (pengkodean) data yang diperoleh di
lapangan melalui kuesioner.
c. Entry Data
Entry data memasukkan data yang telah diperoleh dari lembar
pengisian kuesioner ke dalam perangkat komputer untuk selanjutnya
diolah.
d. Tabulating
Tabulating adalah merumuskan data dalam bentuk tabel dengan
analisa persentase secara deskriptif.7
e. Cleaning
Pembersihan data yaitu dengan dilakukan pengecekan kembali data
yang sudah dimasukkan untuk diteliti apakah ada kesalahan atau
tidak.

2. Analisis Data
a. Analisis Univariat
43

Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik


setiap variabel penelitian. Data yang diperoleh dari hasil
pengumpulan dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi, ukuran tendensi sentral atau grafik. Tabel distribusi
frekuensi digunakan untuk menyajikan data yang bersifat nominal
dan ordinal yaitu jenis kelamin dan umur. Ukuran tendensi sentral
digunakan untuk menyajikan data yang bersifat interval dan rasio.8
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara
variabel dependen dengan variabel independen. Oleh karena hasil
ukur terdiri dari variabel numerik dan variabel kategorik maka
penelitian ini menggunakan uji perbedaan mean antar 2 kelompok
yakni uji t sebagai uji statistiknya. Keputusan statistik dalam uji t
adalah, bila p-value < 0,05 maka keputusan uji statistik signifikan,
yaitu adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen. Sedangkan bila p-value>0,05, berarti tidak adahubungan
antara variabel independen dengan variabel dependen.
Keputusan uji statistik dalam uji chi-square adalah bila p-value <
0,05 maka keputusan uji statistik signifikan, yaitu adanya hubungan
antara variabel independen dengan variabel dependen. Sedangkan
bila pvalue>0,05, berarti tidak ada hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Kemudian besar risiko dinilai
dengan OR (Odds Ratio).
c. Analisis Multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk melihat variabel bebas dan
perancu yang paling dominan hubungannya dengan variabel terikat
pada kelompok tani wanita. Dalam penelitian ini analisis multivariat
yang digunakan adalah regresi logistik. Teknik ini digunakan karena
variabel bebas dan variabel terikat berskala kategorikal. Variabel
yang akan dianalisis dalam uji statistik multivatiat merupakan
variabel yang mempunyai nilai p-value < 0,25.
Langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut:
44

1) Memasukkan semua variabel independen yang terseleksi


menggunakan software statistik untuk dilakukan analisis
multivariat. Peneliti memilih metode backward dengan semua
variabel bebas dimasukkan bersama-sama, tanpa melewatkan
kriteria kemaknaan statistik tertentu.
2) Melakukan interpretasi hasil dengan mempertimbangkan nilai p-
value dan kekuatan hubungan dari variabel-variabel yang
berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu besarnya nilai
OR.

B. Jadwal Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Terminal Bulupitu Purwokerto.
Adapun rencana jadwal penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.2 sebagai
berikut:
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian

No Kegiatan Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep
1 Survey data
awal
2 Penyusunan
proposal
3 Konsultasi
4 Seminar
proposal
5 Revisi Proposal
6 Ijin penelitian
7 Penelitian
8 Pengolahan data
9 Penyusunan
hasil
10 Konsultasi
Hasil
11 Publikasi
12 Seminar hasil
13 Ujian tesis
45
1
Siti Maryam. Menengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba Medika. Jakarta. 2008.
2
Siti Yulaekah, dkk, Pajanan Debu Terhirup dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri
Batu Kapur (Studi Di Desa Mrisi Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan). J Kesehatan
Lingkungan Indonesia. Vol. 6. No. 1. 2007.
3
Evelyn Pearce. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. PT. Gramedia. Jakarta. 2009.
4
Aunillah K. & Ardam Y. Hubungan Paparan Debu Dan Lama Paparan Dengan Gangguan Faal
Paru Pekerja Overhaul Power Plant. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health.
4(2): 155–166. 2015.
5
Ganong. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta. 2002.
6
Stedman, R. L. The Chemical Composition of Tobacco and Tobacco Smoke. Chemical Re-views.
68(2). 1968.
7
Saryono. Metodelogi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Medical Book (2013). doi:10.1007/978-
1-4939-2572-8_13.
8
Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta, Jakarta 2002.
doi:10.1590/S1516-18462008000300012.

Anda mungkin juga menyukai