Anda di halaman 1dari 16

HUBUNGAN KEBIASAAN SARAPAN DAN STATUS GIZI ANTROPOMETRI

(INDEKS MASSA TUBUH) DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA REMAJA


PUTRI DI PULAU BARRANG LOMPO KOTA MAKASSAR

THE RELATIONSHIP OF BREAKFAST HABITS AND ANTHROPOMETRIC


NUTRITIONAL STATUS (BODY MASS INDEX) WITH THE INCIDENCE OF
ANEMIA IN YOUNG WOMEN IN BARRANG LOMPO ISLAND, MAKASSAR

Risma1, Healthy Hidayanti1, Abdul Salam 1


(Email/Hp: rismasaid588@yahoo.com /082347978297)
1
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin

ABSTRAK
Pendahuluan: Anemia gizi besi (AGB) adalah keadaan dimana asupan zat besi (fe) kurang
dari angka kecukupan gizi (<77%). Anemia masih banyak terjadi pada kelompok remaja
putri. Anemia pada remaja dapat membawa dampak kurang baik bagi remaja, seperti 5L
(lesu, lemah, letih, lelah dan lupa) dan menjadi berbahaya apabila tidak ditangani terutama
untuk persiapan hamil dan melahirkan. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
anemia adalah status gizi dan kebiasaan sarapan. Tujuan: untuk mengetahui hubungan
kebiasaan sarapan dan status gizi antropometri (indeks massa tubuh) dengan kejadian anemia
pada remaja putri di Pulau Barrang Lompo Kota Makassar. Bahan dan Metode: Penelitian
ini dilakukan pada 52 remaja putri. Untuk mendeteksi anemia pada remaja putri yaitu
menggunakan survei konsumsi dengan recall 24 jam. Kebiasaan sarapan menggunakan
kuesioner dan recall 24 jam. Pengukuran status gizi antropometri (imt) yaitu tinggi badan dan
berat badan menggunakan microtoice dan timbangan digital. Analisis univariat serta bivariat
menggunakan SPSS 24. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan hubungan antara kebiasaan
sarapan dengan anemia remaja putri (p=0,577), hubungan antara asupan energi, karbohidrat,
protein, lemak, serat, vitamin A, vitamin C dan zat besi dengan kejadian anemia remaja putri
diperoleh nilai masing-masing (p=1,00), (p=0,07), (p=0,564), (p=1,00), (p=0,058), (p=1,00),
(p=0,217), (p=0,08), hubungan status gizi antropometri (imt) dengan kejadian anemia remaja
putri (p=1,00). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kebiasaan sarapan dan status
gizi antropometri (imt) dengan kejadian anemia pada remaja putri di Pulau Barrang Lompo
Kota Makassar

Kata kunci: Kebiasaan Sarapan, Status Gizi Antropometri (Indeks Massa Tubuh),
Anemia, Remaja Putri

ABSTRACT
Introduction: Iron deficiency anemia (IDA) is a state when iron intake (fe) is less than the
nutrient adequacy rate (<77%). Anemia still occurs in many groups of young women.
Anemia in adolescents can have less good effects for adolescents, such as 5L (exhaustion,
weakness, fatigue, tiredness, and forgetfulness) and becomes perilous when not handled,
especially for the preparation of pregnancy and childbirth. One of the factors that influence
anemia is nutritional status and breakfast habits. Purpose: To determine the relationship
between breakfast habits and nutritional status based on anthropometry (body mass index)
with the incidence of anemia in young women in Barrang Lompo Island, Makassar. Material
and Methods: The study was conducted on 52 young women. To detect anemia in young
women is using a consumption survey with 24-hour recall. Breakfast habits were measured
using questionnaires and 24-hour recalls. Measurement of anthropometric nutritional status
(BMI) namely height and weight using microtoice and digital scales. Univariate and bivariate
analysis using SPSS 24. Result: The results showed a link between breakfast habits and
young women's anemia (p=0.577), relationship between energy intake, carbohydrates,
protein, fat, fiber, vitamin A, vitamin C and iron with the incidence of anemia young women
obtained their own value (p=1,00), (p=0,07), (p=0,564), (p=1,00), (p=0,058), (p=1,00),
(p=0,217), (p=0,08), relationship of anthropometric nutritional status (body mass index) with
the incidence of young women's anemia (p=1,00). Conclusion: There is no correlation
between breakfast habits and anthropometric nutritional status (BMI) with the incidence of
anemia in young women in Barrang Lompo Island, Makassar.

Keywords: Breakfast Habits, Anthropometric Nutritional Status (Body Mass Index),


Anemia, Young Women

PENDAHULUAN
Anemia menurut World Health Organization (WHO) merupakan sepuluh masalah
kesehatan terbesar saat ini. Anemia banyak terjadi pada kelompok remaja dan ibu hamil 1.
Anemia gizi secara global sejak tahun 1993-2005 oleh WHO pada wanita tidak hamil sebesar
30,2% dengan jumlah sebesar 468 juta orang 2. Sedangkan anemia pada wanita usia subur
umur 15–49 tahun di tahun 2000 sebesar 31,6% dan meningkat di tahun 2016 sebesar 32,8%3.
Di negara berkembang, prevalensi anemia remaja mencapai 27% dan di negara maju
mencapai 6%1. Masalah anemia di negara berkembang diperkirakan mencapai 30% atau 2
milyar orang di dunia4. Salah satu negara berkembang yaitu Indonesia mengalami anemia
remaja putri usia 15-24 tahun berdasarkan Riskesdas (2013) sebesar 18,4%, angka ini
mengalami peningkatan menjadi 32% pada tahun 20185,6.
Prevalensi kejadian anemia remaja putri di Sulawesi Selatan berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hastuti, dkk (2014) yang dilakukan di SMAN 10 Makassar
sebesar 34,5%7. Sementara itu, Islami, dkk (2019) menunjukkan kejadian anemia pada remaja
putri di Kelurahan Tamangngapa Kecamatan Manggala Kota Makassar sebesar 23,3%8. Data
prevalensi anemia remaja putri ini masih menunjukkan anemia sebagai masalah kesehatan
yang moderat sehingga perlu untuk ditangani9.
Anemia pada remaja dapat membawa dampak kurang baik bagi remaja, seperti 5L
(lesu, lemah, letih, lelah dan cepat lupa). Remaja yang mengalami 5L dapat menyebabkan
menurunnya konsentrasi belajar dan prestasi belajar, menurunnya perkembangan motorik,
terjadi penurunan mental, menurunnya tingkat kebugaran dan mengakibatkan mudah terkena
infeksi10. Anemia gizi besi pada remaja perempuan menjadi berbahaya apabila tidak ditangani
dengan baik, terutama untuk persiapan hamil dan melahirkan. Remaja perempuan yang
anemia ketika hamil akan berisiko melahirkan bayi BBLR (< 2500 gram), melahirkan bayi
prematur, infeksi neonatus, dan kematian pada ibu dan bayi saat proses persalinan9.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia adalah sosial ekonomi, kehilangan
darah yang disebabkan menstruasi, status gizi, dan kebiasaan makan 11. Remaja berisiko tinggi
menderita anemia. Pertumbuhan yang pesat, perubahan psikologis yang dramatis serta
peningkatan aktivitas yang menjadi karakteristik masa remaja, menyebabkan peningkatan
kebutuhan zat gizi. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi
status gizi remaja12.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kadar hemoglobin adalah asupan zat gizi.
Kurangnya asupan energi yang bersumber dari makronutrien dan mikronutrien akibat
melewatkan sarapan dapat berkontribusi terhadap rendahnya kadar hemoglobin. Melewatkan
sarapan pagi merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia pada remaja putri, hal ini
dikarenakan sarapan dapat memenuhi 30 % kebutuhan asupan gizi yang diperlukan tubuh13.
Penelitian di Meksiko menunjukkan bahwa defisiensi besi juga dapat terjadi 2-4 kali
pada wanita dan anak-anak obesitas. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan produksi
hepcidin yang dapat menghambat penyerapan zat besi14. Akibat kekurangan gizi terhadap
proses tubuh bergantung pada zat-zat gizi yang kurang. Kekurangan gizi secara umum
menyebabkan gangguan pada proses-proses antara lain: proses pertumbuhan, produksi
tenaga, pertambahan tubuh, struktur dan fungsi otak, dan perilaku15.
Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai hubungan antara kebiasaan sarapan dan status gizi antropometri (indeks massa
tubuh) dengan kejadian anemia pada remaja putri di Pulau Barranng Lompo Kota Makassar.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Barrang Lompo, Kecamatan Sangkarrang, Kota
Makassar. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain studi
cross-sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2020. Populasi dalam penelitian
ini adalah remaja putri usia 13-18 tahun yang masih sekolah di Pulau Barrang Lompo. Sampel
yang diambil adalah semua remaja putri usia 13-18 tahun yang memenuhi kriteria sampel
sebanyak 52 sampel. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik
purposive sampling dengan melihat adanya kriteria. Alat yang digunakan untuk mengetahui
status gizi antropometri (indeks massa tubuh) diukur dengan alat tinggi badan dan berat
bedan yaitu microtoice dan timbangan digital, bahan yang digunakan pada penelitian ini
adalah lembar informed consent, kuesioner sarapan dan recall 24 jam untuk mengetahui
asupan sarapan dan asupan zat besi remaja untuk mendeteksi kejadian anemia remaja putri.
Untuk metode pengumpulan data, data primer berupa data anemia remaja putri yang
diperoleh dengan melakukan pengukuran konsumsi fe melalui wawancara recall 24 jam
selama 3 hari tidak berturut-turut, kebiasaan sarapan yang diperoleh dari hasil kuesioner yang
diisi oleh responden dan kualitas sarapan yang diperoleh dari hasil recall 24 jam selama 3
hari tidak berturut-turut dan status gizi yaitu pengukuran berat badan dan tinggi badan
responden dengan perhitungan z-score menurut IMT/U. Adapun data sekunder meliputi
gambaran umum lokasi penelitian, daftar nama siswa dan jumlah siswa diperoleh dengan cara
melakukan observasi dan wawancara.
Pada penelitian ini, remaja putri dikategorikan mengalami anemia jika asupan fe <77%
AKG dan normal jika asupan fe ≥77% AKG. Frekuensi kebiasaan sarapan dikategorikan baik
jika sarapan 5-7 kali/minggu dan tidak baik jika sarapan <5 kali/minggu. Kualitas sarapan
dikategorikan kurang jika asupan <15% AKG dan cukup jika asupan ≥15% - 30% AKG.
Status gizi antropometri (indeks massa tubuh) dikategorikan tidak normal, jika status gizi
sangat kurus (z-score IMT/U < -3 SD), kurus (z-score IMT/U -3 SD sampai < -2 SD), gemuk
(z-score IMT/U > 1 SD sampai +2 SD), obesitas (z-score IMT/U > 2 SD) dan normal jika
status gizi z-score IMT/U -2 SD sampai +1 SD. Analisis data yakni secara univariat yang
mendeskripsikan karakteristik tiap variabel penelitian dan bivariat untuk mengetahui
hubungan antara variabel independen dan dependen dengan uji statistik yang digunakan
alternatif uji Chi-Square yakni uji Fisher dengan interpretasi jika nilai P>0,05 maka Ho
diterima dan Ha ditolak sehingga tidak terdapat hubungan dan jika nilai P≤0,05 maka Ho
ditolak dan Ha diterima sehingga terdapat hubungan yang bermakna. Data dianalisis
menggunakan program SPSS dalam bentuk distribusi frekuensi dari setiap variabel penelitian
dan dalam bentuk tabulasi silang (crosstab).

HASIL
Analisis Univariat
a. Gambaran Kejadian Anemia
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Anemia berdasarkan Rata-Rata
Asupan Zat Besi (Fe) Selama 3 hari pada Remaja Putri di Pulau
Barrang Lompo Tahun 2020
Kejadian Anemia N %
Anemia (asupan 49 94.2
Fe <77% AKG)
Normal (asupan 3 5.8
Fe ≥77% AKG)
Total 52 100.0
Sumber: Data Primer, 2020
Pada tabel 1, dapat diketahui bahwa 94,2% memiliki rata-rata asupan fe <77%
AKG yang merupakan risiko terhadap anemia, sedangkan 5,8% yang memiliki rata-rata
asupan fe ≥77% AKG atau tidak memiliki risiko anemia.
b. Gambaran Karakteristik Umum Responden
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Umum Remaja
Putri di Pulau Barrang Lompo Tahun 2020
Karakteristik N %
Umur
13-15 tahun 28 53,8
16-18 tahun 24 46,2
Tingkat Pendidikan
SMP 27 51,9
SMA 25 48,1
Suku
Makassar 49 94,2
Bugis 2 3,8
Mandar 1 1,9
Total 52 100
Sumber : Data Primer, 2020
Pada tabel 2, berdasarkan frekuensi karakteristik umum remaja putri dapat
dilihat bahwa umur responden tertinggi berada pada usia 13-15 tahun sebanyak
53,8% dan terendah berada pada usia 16-18 tahun sebanyak 46,2%. Pada tingkat
pendidikan, kelompok sampel tertinggi merupakan siswi SMP sebanyak 51,9% dan
terendah merupakan siswi SMA sebanyak 48,1%. Pada suku remaja putri, sebagian
besar bersuku Makassar sebanyak 94,2% dan paling sedikit bersuku Mandar
sebanyak 1,9%.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Orang Tua
Remaja Putri di Pulau Barrang Lompo Tahun 2020
Karakteristik n (52) %
Pendidikan Terakhir Ayah
Tamat SD 44 84,6
Tamat SMP 4 7,7
Tamat SMA/SMK 3 5,8
Tamat PT 1 1,9
Pendidikan Terakhir Ibu
Tamat SD 34 65,4
Tamat SMP 14 26,9
Tamat SMA/SMK 3 5,8
Tamat PT 1 1,9
Pekerjaan Ayah
Nelayan 36 69,2
Wiraswasta 5 9,6
Pegawai swasta 1 1,9
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 2 3,8
Lainnya 1 1,9
Pekerjaan Ibu
IRT 43 82,7
Wiraswasta 7 13,5
Lainnya 1 1,9
Sumber : Data Primer, 2020

Pada tabel 3, berdasarkan pendidikan terakhir ayah sebagian besar adalah tamat
SD sebanyak 84,6% dan paling sedikit adalah tamat PT sebanyak 1,9%. Pada pendidikan
terakhir ibu, sebagian besar adalah tamat SD sebanyak 64,5% dan paling sedikit adalah
tamat PT sebanyak 1,9%. Pada pekerjaan ayah, sebagian besar ayah responden berprofesi
sebagai nelayan sebanyak 69,2% dan paling sedikit berprofesi sebagai pegawai swasta
dan lainnya (security) sebanyak 1,9%. Pada pekerjaan ibu, sebagian besar berprofesi
sebagai ibu rumah tangga (IRT) sebanyak 82,7%, dan paling sedikit berprofesi sebagai
lainnya (petugas pembersih pemakaman) sebanyak 1,9%.
c. Kebiasaan Sarapan
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kebiasaan Sarapan pada
Remaja Putri di Pulau Barrang Lompo Tahun 2020
Kebiasaan Sarapan n (52) %
Kebiasaan Sarapan
Frekuensi n (52) %
5-7 kali/minggu
Tingkat Ketersediaan 23 44,2
3-4 kali/minggu
Ya, selalu disediakan 21
32 40,4
61,5
1-2 kali/minggu
Kadang-kadang 20
8 15,4
38,5
Waktu
Pergantian Menu Sarapan
Jam 6-9 pagi
Ya 20
40 38,5
76,9
Jam 10-11 pagi
Kadang-kadang 12
29 23,1
55,8
Tidak pernah 3 5,8
Jenis Sarapan di Rumah
Makanan lengkap (nasi, 40 76,9
lauk, pauk)
Makanan tidak lengkap 9 17,3
(kue dan biskuit)
Hanya minuman 3 5,8
Jajan di Sekolah
Ya 37 71,2
Kadang-kadang 15 28,8
Jenis Jajanan
Menu utama (nasi kuning, 38 73,1
nasi goreng)
Gorengan dan kue 3 5,8
Minuman 11 21,2
Alasan Tidak Sarapan di
Rumah
Tidak lapar 16 30,8
Tidak punya waktu 26 50,0
Tidak suka makan pagi 4 7,7
Tidak ada makanan 5 9,6
Sedang diet 1 1,9

Sumber : Data Primer, 2020


Berdasarkan tabel 4, frekuensi sarapan pada sampel sebagian besar dalam kategori
tidak baik (<5 kali/minggu) sebanyak 55,8% sedangkan dengan kategori baik (5-7
kali/minggu) sebanyak 44,2%. Waktu sarapan responden sebagian besar pada jam 6-9
pagi sebanyak 76,9%, sedangkan yang sarapan diatas waktu sarapan yakni jam 10-11
pagi sebanyak 23,1%.
Pada tingkat ketersediaan sarapan di rumah responden, sebagian besar tergolong
dalam kategori selalu disediakan sebanyak 61,8% dan yang kadang-kadang disediakan
sebanyak 38,2%. Jenis sarapan yang disedikan di rumah, sebagian besar adalah makanan
lengkap yang terdiri dari nasi, lauk dan pauk sebanyak 76,9%, sedangkan yang
mengkonsumsi hanya minuman sebanyak 5,8%. Pada pergantian menu sarapan
responden, sebagian besar tergolong dalam kategori kadang-kadang sebanyak 55,8% dan
yang paling sedikit dalam kategori tidak pernah sebanyak 5,8%.
Pada kebiasaan jajan di sekolah responden, sebagian besar tergolong kategori
melakukan jajan sebanyak 71,2% sedangkan kategori kadang-kadang sebanyak 28,8%.
Jenis jajanan yang dikonsumsi responden adalah makanan menu utama (nasi kuning dan
nasi goreng) sebanyak 73,1% sedangkan yang hanya minuman sebanyak 21,2%. Alasan
responden tidak sempat sarapan di rumah sebagian besar adalah tidak punya waktu
sebanyak 50%, sedangkan yang paling sedikit adalah sedang melakukan diet sebanyak
1,9%.
Tabel 5. Distribusi Asupan Sarapan pada Remaja Putri di Pulau Barrang
Lompo Tahun 2020
Zat Gizi n Minimum Maksimum Mean±SD %AKG
Energi (kkal) 52 80,00 1227,43 418,8±187,05 20,19
Karbohidrat (g) 52 11,43 192,23 45,74±25,55 15,25
Protein (g) 52 2,10 46,27 13,42±7,48 20,65
Lemak (g) 52 0,87 59,57 20,10±11,55 28,72
Serat (mg) 52 0,13 4,57 1,85±0,96 6,36
Vitamin A (mg) 52 0,00 336,07 76,19±72,19 12,01
Vitamin C (mg) 52 0,00 24,07 5,41±5,34 6,75
Zat Besi (mg) 52 0,20 5,50 1,68±1 15,23
Sumber : Data Primer, 2020
Berdasarkan tabel 5, diperoleh rata-rata asupan zat gizi makro dan zat gizi
makro dari asupan sarapan pada remaja putri dengan usia 13-18 tahun. Pada zat gizi
makro, rata-rata asupan energi sebesar 418,8 kkal dengan standar deviasi 187,05
kkal. Rata-rata asupan karbohidrat sebesar 45,74 g dengan standar deviasi 25,55 g.
Rata-rata asupan protein sebesar 13,42 g dengan standar deviasi 7,48 g. Rata-rata
asupan lemak 20,1 g dengan standar deviasi 11,55 g.
Pada zat gizi mikro, rata-rata asupan serat sebesar 1,85 mg dengan standar
deviasi 0,96 mg. Rata-rata asupan vitamin A sebesar 76,19 mg dengan standar
deviasi 72,19 mg. Rata-rata asupan vitamin C sebesar 5,41 mg dengan standar
deviasi 5,34 mg. Rata-rata asupan zat besi sebesar 1,68 mg dengan standar deviasi 1
mg.
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Kualitas Sarapan pada Remaja Putri
di Pulau Barrang Lompo Tahun 2020
Zat Gizi Kategori n (52) %
Energi Kurang (<15% AKG) 12 23,1
Cukup (≥15-30% AKG) 40 76,9
Karbohidrat Kurang (<15% AKG) 30 57,7
Cukup (≥15-30% AKG) 22 42,3
Protein Kurang (<15% AKG) 13 25,0
Cukup (≥15-30% AKG) 39 75,0
Lemak Kurang (<15% AKG) 7 13,5
Cukup (≥15-30% AKG) 45 86,5
Serat Kurang (<15% AKG) 51 98,1
Cukup (≥15-30% AKG) 1 1,9
Vitamin A Kurang (<15% AKG) 36 69,2
Cukup (≥15-30% AKG) 16 30,8
Vitamin C Kurang (<15% AKG) 48 92,3
Cukup (≥15-30% AKG) 4 7,7
Zat Besi Kurang (<15% AKG) 29 55,8
Cukup (≥15-30% AKG) 23 44,2
Sumber : Data Primer, 2020
Berdasarkan tabel 6, dapat dilihat kualitas sarapan responden berdasarkan asupan
energi, karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin A, vitamin C dan zat besi. Sebagian
besar responden memiliki asupan energi termasuk dalam kategori cukup (76,9%), asupan
karbohidrat termasuk dalam kategori kurang (57,7%), asupan protein termasuk alam
kategori cukup (75%), asupan lemak termasuk dalam kategori cukup (86,5%), asupan
serat termasuk dalam kategori kurang (98,1%), asupan Vitamin A termasuk dalam
kategori lebih (69,2%), asupan Vitamin C termasuk dalam kategori lebih (92,3%), dan
asupan zat besi termasuk dalam kategori kurang (55,8%).
d. Status Gizi Antropometri (Indeks Massa Tubuh)
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Status Gizi Antropometri
(Indeks Massa Tubuh) pada Remaja Putri di Pulau
Barrang Lompo Tahun 2020
Status Gizi Antropometri
n %
(Z-Score IMT/U)
Tidak normal 8 15,4
Normal 44 84,6
Total 52 100
Sumber : Data Primer, 2020
Berdasarkan tabel 7, dapat dilihat bahwa frekuensi status gizi antropometri (indeks
massa tubuh) remaja putri yang tegolong dalam kategori normal sebanyak 84,6%,
sedangkan 15,4% tergolong dalam kategori tidak normal.

Analisis Bivariat
a. Hubungan antara Kebiasaan Sarapan dengan Anemia
Tabel 8. Hubungan Frekuensi Sarapan dengan Kejadian Anemia
pada Remaja Putri di Pulau Barrang Lompo Tahun 2020
Kejadian Anemia
Kebiasaan Total P
Anemia Normal
Sarapan
n % n % n %
Tidak baik
28 96,6 1 3,4 29 100
(<5 kali/minggu)
0,577
Baik
21 91,3 2 8,7 23 100
(5-7 kali/minggu)
Total 49 94,2 3 5,8 52 100
Sumber : Data Primer, 2020 (uji fisher’s exact tes)
Tabel 8 menunjukkan bahwa remaja putri yang mengalami anemia lebih banyak
pada mereka yang memiliki kebiasaan sarapan yang tidak baik sebanyak 96,6%
dibandingkan dengan remaja putri yang mengalami anemia yang memiliki kebiasaan
sarapan yang baik sebanyak 91,3%. Berdasarkan hasil analisis uji alternatif fisher’s exact
test diperoleh nilai p=0,577 (p>0,05) sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan antara kebiasaan sarapan dengan kejadian anemia pada remaja putri di Pulau
Barrang Lompo.
Tabel 9. Hubungan Kualitas Sarapan dengan Kejadian Anemia
pada Remaja Putri di Pulau Barrang Lompo Tahun 2020
Kejadian Anemia
Total P
Kualitas Sarapan Anemia Normal
n % n % n %
Energi
Kurang (<15% AKG) 12 100 0 0 12 100 1,00
Cukup (≥15-30% AKG) 37 92,5 3 5,8 40 100
Karbohidrat
Kurang (<15% AKG) 30 100 0 0 30 100 0,07
Cukup (≥15-30% AKG) 19 86,4 3 13,6 22 100
Protein
Kurang (<15% AKG) 13 100 0 0 13 100 0,564
Cukup (≥15-30% AKG) 36 92,3 3 7,7 39 100
Lemak
Kurang (<15% AKG) 7 100 0 0 7 100 1,00
Cukup (≥15-30% AKG) 42 93,3 3 6,7 45 100
Serat
Kurang (<15% AKG) 49 96,1 2 3,9 51 100 0,058
Cukup (≥15-30% AKG) 0 0 1 100 1 100
Vitamin A
Kurang (<15% AKG) 34 94,4 2 5,6 36 100 1,00
Cukup (≥15-30% AKG) 15 93,8 1 6,3 16 100
Vitamin C
Kurang (<15% AKG) 46 95,8 2 4,2 48 100 0,217
Cukup (≥15-30% AKG) 3 75 1 25 4 100
Zat Besi
Kurang (<15% AKG) 29 100 0 0 29 100 0,08
Cukup (≥15-30% AKG) 20 87 3 13 23 100
Total 49 94,2 3 5,8 52 100
Sumber : Data Primer, 2020 (uji fisher’s exact tes)
Berdasarkan tabel 9, pada tingkat kecukupan energi, protein dan lemak pada
kelompok anemia tergolong kategori cukup (≥15-30% AKG). Sedangkan untuk tingkat
kecukupan karbohidrat, serat, vitamin A, vitamin C dan zat besi pada kelompok anemia
tergolong dalam kategori kurang (<15% AKG). Berdasarkan hasil uji alternatif fisher’s
exact test, nilai p value energi diperoleh p=1,00, karbohidrat diperoleh nilai p=0,007,
protein diperoleh nilai p=0,564, lemak diperoleh nilai p=1,00, serat diperoleh nilai p=
0,058, vitamin A diperoleh nilai p=1,00, vitamin C diperoleh nilai p=0,217 dan zat besi
diperoleh nilai p=0,08 yang berarti bahwa nilai p>0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa
tidak terdapat hubungan antara asupan energi, karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin
A, vitamin C dan zat besi dengan kejadian anemia pada remaja putri di Pulau Barrang
Lompo.
b. Hubungan antara Status Gizi Antropometri (Indeks Massa Tubuh) dengan Anemia
Tabel 10. Hubungan Status Gizi Antropometri (Indeks Massa Tubuh)
dengan Kejadian Anemia pada Remaja Putri di Pulau Barrang Lompo
Tahun 2020
Kejadian Anemia
Status Gizi Total P
Anemia Normal
Antropometri (IMT/U)
n % n % n %
Tidak normal 8 100 0 0 8 100
1,00
Normal 41 93,2 3 6,8 44 100
Total 49 94,2 3 5,8 52 100
Sumber : Data Primer, 2020 (uji fisher’s exact tes)
Tabel 10 menunjukkan bahwa remaja putri yang mengalami anemia lebih banyak
pada mereka yang memiliki status gizi tidak normal normal sebanyak 100% sedangkan
remaja putri yang mengalami anemia memiliki status gizi tidak normal sebanyak 93,2%.
Berdasarkan hasil analisis uji alternatif fisher’s exact test diperoleh nilai p=1,00 yang
menunjukkan bahwa p>0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
antara status gizi antropometri (IMT) dengan kejadian anemia pada remaja putri di Pulau
Barrang Lompo.

PEMBAHASAN
Gambaran Kejadian Anemia pada Remaja Putri
Anemia gizi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah,
artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan
sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar besi dalam darah. Semakin berat kekurangan zat
besi yang terjadi akan semakin berat pula anemia yang diderita 16. Anemia Gizi Besi terjadi
jika asupan zat besi (fe) kurang dari angka kecukupan gizi (<77%)17.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa 94,3% remaja putri usia 13-18 tahun tidak
memenuhi kebutuhan zat besinya (fe <77% AKG) atau memiliki risiko anemia sedangkan
5,8% remaja putri telah memenuhi kebutuhan zat besinya (fe ≥77% AKG) atau tidak berisiko
anemia. Usia remaja 13-18 tahun merupakan remaja usia sekolah pada tingkat Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas yang membutuhkan perhatian khusus untuk
tingkah laku dan gaya hidup yang akan berpengaruh pada status gizinya kemudian18.
Anemia pada remaja putri ini terjadi karena mayoritas memiliki kebiasaan jarang
mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi yang tinggi seperti daging-dagingan dan
sayuran hijau, lebih banyak mengonsumsi makanan snack atau makanan ringan. Hal ini
sesuai dengan teori Hapzah dan Yulita (2012), yang menyatakan bahwa pada dasarnya
anemia dipengaruhi secara langsung oleh konsumsi makanan sehari-hari yang kurang
mengandung zat besi selain faktor infeksi sebagai pemicunya19.
Pada penelitian Sari dkk (2017) menunjukkan bahwa semakin tinggi asupan zat besi
maka semakin tinggi pula kadar hemoglobin. Risiko anemia pada orang yang memiliki
asupan zat besi kurang dari AKG, 13,65 kali lebih besar dibandingkan dengan orang
yang memiliki asupan zat besi lebih dari AKG20. Asupan zat besi akan membentuk simpanan
besi (ferritin) di dalam tubuh yang digunakan sebagai bahan untuk membentuk sel darah
merah. Apabila simpanan besi di dalam tubuh dalam jumlah yang kurang dan asupan zat besi
yang diperoleh dari makanan juga rendah, maka terjadi ketidakseimbangan zat besi dalam
tubuh sehingga kadar hemoglobin menurun21.
Selain dari faktor konsumsi makanan yang tinggi zat besi, tingkat penyediaan makanan
yang kurang beragam juga turut mempengaruhi akan kecukupan zat besi. Penyediaan
makanan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pekerjaan dari orang tua. Pada hasil
penelitian terkait pendidikan orang tua, mayoritas pendidikan terakhir ibu adalah SD (65,4%).
Pendidikan ibu sangat menentukan menu makanan bagi keluarganya. Kurangnya
pengetahuan dan keterampilan dalam pemilihan makanan dan jenis masakan akan
mempengaruhi asupan makan anggota keluarga. Menurut Arisman (2009), semakin tinggi
tingkat pendidikan ibu, maka semakin mudah untuk menerima informasi kesehatan
khususnya bidang gizi, sehingga dapat menambah pengetahuan gizi dan mampu
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari22.
Pada hasil penelitian terkait pekerjaan orang tua, mayoritas pekerjaan ayah responden
adalah nelayan (69,2%) dan pekerjaan ibu responden sebagai ibu rumah tangga (82,7%).
Pekerjaan orang tua akan berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Hal itu menunjukkan
bahwa pendapatan utama dari orang tua responden berasal dari pendapatan ayah. Berdasarkan
hasil wawancara, didapatkan bahwa mayoritas jumlah pendapatan keluarga masih tergolong
rendah (< Rp. 3.103.800/bulan).
Menurut Rahayu dan Dieny (2012) mengatakan bahwa pendapatan keluarga
mempunyai hubungan positif dengan pengeluaran belanja pangan artinya semakin rendah
pendapatan keluarga, maka pengeluaran belanja pangan semakin rendah. Keluarga yang
memiliki pendapatan yang tinggi akan memudahkan untuk membeli dan memilih bahan
makanan sumber zat besi seperti daging, ikan, telur dan lainnya yang akan disajikan23.
Penyediaan bahan makanan juga dipengaruhi oleh faktor tempat tinggal. Penyediaan
bahan makanan di pulau Barrang Lompo sangat bergantung pada bahan makanan yang dibeli
di Kota Makassar yang diangkut melalui kapal. Bahan makanan yang dibeli dalam jumlah
yang banyak untuk kebutuhan beberapa hari ke depan. Sehingga dalam pemenuhan menu
makanan di rumah juga kurang beragam.
Selain faktor tempat tinggal, metode penentuan status anemia menjadi faktor pembeda
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Pada penelitian sebelumnya pengukuran
kejadian anemia menggunakan metode biokimia dengan alat ukur kadar hemoglobin (Hb)
digital yaitu Hemocue. Berbeda dengan penelitian ini menggunakan metode pengukuran
survei konsumsi recall 3x24 jam tidak berturut-turut. Secara teori pengukuran secara
biokimia lebih menginterpretasikan status anemia24.

Hubungan antara Kebiasaan Sarapan dengan Kejadian Anemia pada Remaja Putri
1. Hubungan kebiasaan sarapan dengan kejadian anemia
Kebiasaan sarapan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam
memenuhi kebutuhannya akan sarapan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan
makanan25. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja putri yang mengalami
anemia lebih banyak pada mereka yang memiliki kebiasaan sarapan yang tidak baik
(53,8%) dibandingkan remaja putri yang memiliki kebiasaan sarapan yang baik (40,4%).
Berdasarkan hasil analisis uji alternatif Fisher’s Exact Test diperoleh nilai p=0,577
(p>0,05) sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara kebiasaan
sarapan dengan kejadian anemia pada remaja putri di Pulau Barrang Lompo, Kota
Makassar.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Basuki (2019) menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan antara kebiasaan sarapan dengan kadar hemoglobin 26. Namun
penelitian ini tidak sejalan dengan Alfritayeni (2019) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan kebiasaan sarapan pagi dengan kejadian anemia di SMP Negeri 20
Pekanbaru13.
Anemia ditandai dengan penurunan cadangan Fe yang tercermin dari berkurangnya
konsentrasi serum ferritin. Selanjutnya terjadi peningkatan absorpsi Fe akibat
menurunnya level Fe tubuh. Pengangkutan zat besi yang berkurang dan menyebabkan
penurunan saturasi transferin zat besi yaitu suplai Fe ke sumsum tulang tidak cukup.
Pada tahap selanjutnya terjadi defisit transportasi besi yang khas yang menghambat
produksi hemoglobin. Protoporfirin eritrosit meningkat, dan reseptor transferin menjadi
lebih banyak sebagai respon terhadap keadaan zat besi yang buruk27.
Remaja putri yang memiliki perilaku melewatkan makan berisiko untuk mengalami
anemia 3,4 kali lebih besar dibandingkan dengan remaja putri yang tidak melewatkan
makan. Perilaku melewatkan makan, terutama sarapan, mempunyai dampak pada
rendahnya asupan energi total, vitamin dan mineral. Penelitian Ruxton & Kirk (1997)
menunjukkan kebiasaan tidak sarapan dapat menyebabkan defisiensi vitamin A, vitamin
B6, kalsium, tembaga, besi, magnesium, seng, dan zat besi28.
2. Hubungan kualitas sarapan dengan kejadian anemia
Berdasarkan hasil penelitian, pada kelompok anemia lebih banyak memiliki asupan
energi cukup (92,5%), karbohidrat kurang (100%), protein cukup (92,3%), lemak cukup
(93,3%), serat kurang (96,1%), vitamin A kurang (94,4%), vitamin C kurang (95,8%)
dan zat besi kurang (100%). Berdasarkan hasil uji alternatif Fisher’s Exact Test
didapatkan nilai p energi (p=1,00), karbohidrat (p=0,07), protein (p=0,564), lemak
(p=1,00), serat (p=0,058), vitamin A (p=1,00), vitamin C (p=0,217) dan zat besi (p=0,08)
dimana p>0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara asupan
energi, karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin A, vitamin C dan zat besi dari sarapan
dengan kejadian anemia.
Kurangnya tingkat asupan zat gizi remaja putri dipengaruhi oleh kebiasaan makan
yang melewatkan satu maupun dua waktu makan. Berdasarkan hasil recall 24 jam
diketahui bahwa masih banyak remaja putri di Pulau Barrang Lompo memiliki pola
konsumsi makanan pokok 2x sehari dan menggantinya dengan kebiasaan mengkonsumsi
makanan selingan berupa snack atau makanan ringan. Hasil wawancara kepada remaja
putri di Pulau Barrang Lompo juga menunjukkan bahwa remaja putri memiliki kebiasaan
mengkonsumsi jenis makanan yang sama, yang tanpa sadar telah membatasi asupan
vitamin dan mineral. Dari penelitian Hardinsyah dan Perdana (2013) juga menyatakan
bahwa 69.6% anak Indonesia belum mengonsumsi sarapan sesuai dengan anjuran gizi
seimbang (25% kebutuhan sehari)29.
Kualitas sarapan remaja putri di Pulau Barrang Lompo juga dipengaruhi oleh
keadaan datangnya menstruasi. Banyak remaja yang pada saat menstruasi mengalami
perubahan nafsu makan. Menurut Dye, L dan J.E Blundell (1997) mengatakan bahwa
sindrom pramenstruasi berdampak pada perubahan nafsu makan dan asupan makan
hingga berujung pada perubahan perilaku makan remaja putri. Tingkat keparahan
sindrom pramenstruasi memiliki hubungan yang signifikan dengan perubahan konsumsi
nutrisi30.
Selain itu, kualitas sarapan remaja putri dapat dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan remaja putri dan orang tua serta ketersediaan makanan di rumah.
Pengetahuan orang tua akan mempengaruhi dalam pemilihan bahan makanan untuk
dikonsumsi. Menurut Sofianita dkk (2015), pengetahuan gizi seseorang tinggi maka
cenderung untuk memilih makanan yang lebih murah dengan nilai gizi yang tinggi.
Peningkatan pengetahuan ini juga dimungkinkan karena terdapat kesadaran remaja putri
setelah mendapatkan informasi dari berbagai media baik dari lingkungan sekolah,
keluarga, atau dari masyarakat tempat remaja putri beraktivitas31.
Kontribusi zat gizi sarapan meningkat seiring dengan semakin baiknya pendidikan
orang tua dan status ekonomi. Berdasarkan pendidikan orang tua rata-rata penidikan
terakhir tamat SD dan pekerjaan orang tua yaitu ayah rata-rata berprofesi sebagai
nelayan. Hal ini juga dikemukakan oleh Perdana dan Hardinsyah (2013) bahwa semakin
tinggi status pendidikan orang tua dan semakin baiknya status ekonomi rumah tangga
maka mutu gizi konsumsi pangan sarapan semakin meningkat. Karakteristik status
ekonomi memiliki hubungan korelasi yang lebih kuat terhadap kontribusi energi
sarapan29.

Hubungan antara Status Gizi Antropometri (Indeks Massa Tubuh) dengan Kejadian
Anemia pada Remaja Putri
Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat gizi. Dibedakan atas status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik dan gizi lebih 32.
Berdasarkan hasil hubungan status gizi antropometri (imt) dengan kejadian anemia
menunjukkan bahwa remaja putri yang mengalami anemia lebih banyak pada mereka yang
memiliki status gizi tidak normal sebanyak (100%) sedangkan 93,2% remaja putri yang
anemia memiliki status gizi tidak normal. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Amarico dkk (2017) yang menyatakan bahwa siswi di MAN Simpang Kiri Kota
Subulussalam yang mengalami anemia namun memiliki status gizi normal disebabkan
pemenuhan zat gizi makro dalam tubuh seimbang (energi dan protein) 33.
Berdasarkan hasil analisis uji alternatif Fisher’s Exact Test diperoleh nilai p=1,00
(p>0,05) sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara status gizi
antropometri (IMT) dengan kejadian anemia pada remaja putri di Pulau Barrang Lompo,
Kota Makassar. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sya’ Bani dan Sumarmi (2016) yang
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan status anemia pada
santriwati34.
Menurut Dhita dkk (2016) anemia pada siswi di SMK Widya Praja Ungaran
disebabkan oleh faktor lain selain status gizi, seperti gangguan penyerapan zat besi. Wanita
dengan status gizi kurus bukan merupakan faktor resiko terjadinya anemia, namun wanita
dengan status gizi kurus merupakan faktor resiko kekurangan dan penyusutan
cadangan/simpanan zat besi di dalam tubuh 35.
Penelitian Amato et al. (2010), menunjukkan bahwa pada anak obesitas, penurunan
IMT berhubungan dengan penurunan kadar hepsidin dan berpotensi dapat memperbaiki
status dan penyerapan zat besi. Dalam keadaan infeksi maupun terjadi proses inflamasi
seperti pada keadaan obesitas, produksi hepsidin meningkat dan keadaan ini menghambat
penyerapan zat besi pada saluran cerna serta menghambat pelepasan zat besi dari makrofag
ke dalam plasma. Situasi ini menyebabkan terjadinya defisiensi besi dan apabila berlangsung
lama dapat terjadi anemia defisiensi besi 36,37 (Sidiartha 2013).

Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat keterbatasan pada saat pengumpulan data, yakni pada
awalnya penentuan varibel dependen yakni anemia digunakan metode biokimia dengan
pemeriksaan menggunakan alat Hemocue. Namun setelah peneliti tiba di lokasi penelitian,
pemeriksaan dengan menggunakan alat Hemocue yang harus melakukan pengambilan darah
sampel tidak bisa dilakukan karena kondisi pandemi covid-19 dan adanya trauma rapid test di
masyarakat sehingga responden menolak jika dilakukan pengambilan darah. Kemudian
pengukuran anemia remaja putri akhirnya diubah menjadi pengukuran secara tidak langsung
dengan menggunakan metode survei konsumsi dengan food recall 24 jam selama 3 hari tidak
berturut-turut.
Jumlah sampel pada saat proposal sebanyak 160 orang dengan menggunakan rumus
komparatif kategorik-kategorik. Namun, setelah peneliti tiba di lokasi penelitian dan telah
melakukan pengumpulan data sekunder remaja putri usia 13-18 tahun yang duduk di bangku
sekolah didapatkan hasil jumlah remaja putri tidak memenuhi jumlah sampel yang
diinginkan. Selain itu, kondisi pandemi covid-19 juga mempengaruhi sulitnya
mengumpulkan remaja putri. Hal ini membuat peneliti mengubah rumus jumlah sampel
dengan menggunakan rumus Lameshow sehingga diperoleh jumlah sampel sebanyak 52
orang.

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa, remaja yang
mengalami anemia berdasarkan ditemukan sebanyak 49 orang (94,2%). Tidak terdapat
hubungan antara kebiasaan sarapan dengan kejadian anemia pada remaja putri, tidak terdapat
hubungan antara asupan energi, karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin A, vitamin C dan
zat besi dengan anemia pada remaja putri dan tidak terdapat hubungan bermakna antara status
gizi antropometri (indeks massa tubuh) dengan anemia pada remaja putri di Pulau Barrang
Lompo, Kota Makassar

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization (WHO). 2013. Baseline Report on Global Sexually
transmitted Infection Surveillance 2012. The WHO Department of Reproductive Health
and Research (WHO/RHR) Coordinated Development.
2. World Health Organization (WHO). 2008. Worldwide Prevalence of Anemia 1993-
2005.
3. Global Nutrition Report. 2018. Shining a light to spur action on nutrition. Bristol, UK:
Development Initiatives.
4. World Health Organization (WHO). 2015. Micronutrient Deficience : Iron Defecience
Anemia
5. Kementerian Kesehatan RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
6. Kementerian Kesehatan RI, 2018. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
7. Hastuti, SA, Rahayu, I dan Najamudin, U., 2014. Hubungan Kebiasaan Sarapan dan
Konsumsi Suplemen dengan Status Hemoglobin Pada Remaja Putri di SMAN 10
Makassar. Makassar: Universitas Hasanuddin. 1(1). hal:3-10.
8. Islami, Nofrida, Taiyeb, M, Suryani, I. 2019. Hubungan antara pola makan dan status
gizi terhadap kejadian anemia pada remaja putri di Kelurahan Tamangngapa Kota
Makassar. Seminar Nasional Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Negeri Makassar
9. World Health Organization (WHO). 2001. Iron Deficiency Anaemia : Assessment,
Prevention, and Control. Geneva, Switzerland (CH)
10. Andriani. M dan Wirjatmadi B. 2013. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: Kencana
Pranada Media Grup.
11. Briawan, D., 2016. Anemia Masalah Gizi pada Remaja. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
12. Nursari, D. 2010. Gambaran Kejadian Anemia pada Remaja Putri SMP Negeri 18 Kota
Bogor Tahun 2009. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
13. Afritayeni, Ritawani, E dan Liwanti, L. 2019. Hubungan kebiasaan sarapan pagi
dengan kejadian anemia pada remaja putri di SMP Negeri 20 Pekanbaru. Jurnal Ilmu
Kebidanan (Journal of Midwifery Sciences). 8(1)
14. Capeda-Lopez AC, Osendarp SJ, Melse-Boonstra A, Aeberli I, Gonzalez-Salazar,
Feskens E,Villalpando S & Zimmermann MB. 2011. Sharply higher rate of iron
deficiency in obese Mexican women and children are predicted by obesity-related
inflammation rether by differences in dietary iron intake. Am J Clin Nutr 93(5):975-83
15. Moehji, S. 2003. Penanggulangan Gizi Buruk. Papar Sinar Sinanti, Jakarta.
16. Gibney. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: ECG.
17. Gibson, RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment: Second Edition. New York
(US): Oxford University Press.
18. Zahra, Aklima M, dkk.. 2012. Gambaran Pola Makan, Aktifitas Fisik Dan Status Gizi
Pada Karyawan Ud Alfa Star Busana Dan Pls Ervina Medan Tahun 2012. Semarang:
Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.
19. Hapzah & Yulita, R. 2012. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Status Gizi terhadap
Kejadian Anemia Remaja Putri pada Siswi Kelas III di SMA N 1 Tinambung
Kabupaten Polewali Mandar. Jurnal Media Gizi Pangan, Vol 4(12).
20. Sari, Arum, Pamungkasari, E, T, Dewi Y. 2017. Hubungan Asupan Fe dengan Kadar
Hemoglobin pada Remaja Putri Anemia di SMK 2 Muhammadiyah
21. Duque, X., et.al. 2014. Effect of Supplementation with Ferrous Sulfate or iron
Bis-GlycinateChelate on Ferritin Concentration in Mexican Schoolchildern : a
Randomozed Controlled Trial. Nutrition Journal
22. Arisman MB. 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi.Edisi II. Jakarta
: ECG
23. Rahayu, SD dan Dieny, FF. 2012. Citra Tubuh, pendidikan ibu, pendapatan keluarga,
pengetahuan gizi, perilaku makanan dan asupan zat besi pada siswi SMA. Jurnal Media
Medika Indonesiana. 46(3). hal. 184-194
24. Supariasa, I.D.N., Bakri, B., & Fajar, I., 2002. Penilaian status gizi. Jakarta: EGC
25. Khomsan, A. 2010. Pangan dan gizi kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
26. Basuki. 2019. Hubungan Kebiasaan Sarapan dan Aktivitas Fisik Dengan Kadar
Hemoglobin Remaja Putri di SmMK Muhammadiyah 2 Karanganyar. Skripsi.
Surakarta: Institut Teknologi Sains Dan Kesehatan
27. Williams MA, Snyder Lm, and Wallach JB. 2011. Wallach’s interpretation of
diagnostic tests. 9th ed. Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins Health:
Philadelphia.
28. Ruxton & Kirk. 1997. Breakfast: a review of associations with measures of dietary
intake, physiology and biochemistry. 78(2):199-213.
29. Hardinsyah & Perdana F. 2013. Analisis jenis, jumlah, dan mutu gizi konsumsi sarapan
anak Indonesia. Jurnal Gizi Pangan. 8(1). hal:39-46
30. Dye, L dan J.E Blundell. 1997. Menstrual cycle and appetite control: implications for
weight regulation. Human Reproduction vol. 12(6). hal:42-51.
31. Sofianita NI, Arini FA, Meiyetriani E. 2015. Peran Pengetahuan Gizi dalam
Menentukan Kebiasaan Sarapan Anak-Anak Sekolah Dasar Negeri di Pondok Labu,
Jakarta Selatan. Jurnal Gizi Pangan. 10(1):57-62
32. Almatsier, S. (2006), Prinsip Dasar Ilmu Gizi, edisi ke-6. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
33. Amarico B, Siketang NW, Nur A. 2017. Hubungan asupan gizi, aktivitas fisik,
mestruasi, dan anemia dengan status gizi pada siswi madrasah aliyah negeri (MAN)
Simpang Kiri Kota Subulussalam. Jurnal Penelitian Kesehatan. 4(1). hal: 21-30.
34. Sya`Bani IRN, Sumarmi S. 2016. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Anemia pada
Santriwati di Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang. Jurnal Keperawatan
Muhammadiyah. 1(1). hal:7-15
35. Dhita AUA, Siswanto Y, Pontang GS. 2016. Hubungan status gizi dengan kejadian
anemia pada siswi SMK Widya Praja Ungaran tahun 2016. Skripsi.
36. Amato A, Santoro N, Calabro P, Grandone A, Swinkels DW, Perrone L, del Giudice
EM. 2010. Effect of body mass index reduction on serum hepcidin levels and iron
status in obese children. Int J Obesity 34(12): 1772-1774.
37. Sidiartha IGL. 2013. Obesitas dan defisiensi besi: beban gizi ganda pada seorang anak.
Jurnal Ilmiah Kedokteran 44(4).

Anda mungkin juga menyukai