Anda di halaman 1dari 55

HUBUNGAN ANTARA LAMA MENDERITA DIABETES MELLITUS

DENGAN KEPUTUASASAAN PADA LANSIA DENGAN KADAR


GULA DARAH TIDAK TERKONTROL DI PUSKESMAS
SAMUDERA ACEH UTARA

Diajukan sebagai salah satu syarat


untuk Melaksanakan tugas akhir

Disusun Oleh :

ULFA AULIA SUCI YUSUF


210106684

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)
BUMI PERSADA LHOKSEUMAWE
TAHUN 2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seseorang yang memasuki masa remaja umumnya memiliki emosi

yang labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan dan orang-orang sekitarnya,

serta mudah mengikuti perkembangan zaman seperti mode dan tren yang

sedang berkembang di masyarakat. Pengaruh tren ini berdampak pada

munculnya berbagai macam jenis makanan yang dikonsumsi para remaja.

Namun kesukaan remaja pada makanan dan pemilihan makanan yang tidak

tepat akan berdampak buruk pada kesehatan remaja (Anggareni, 2018: 1).

Menurut World Health Organization (WHO) yang dikutip oleh

(Syafitri, 2019) menunjukkan bahwa anak yang mengonsumsi makanan

utama sebanyak 18 (18,9%), makanan cemilan sebanyak 47 (49,5%), dan

minuman sebanyak 30 (31,6). Anak dengan status gizi normal lebih menyukai

jajanan seperti kue, biskuit, minuman kemasan dan soda, sedangkan anak

dengan status gizi gemuk lebih menyukai jenis jajanan seperti gorengan,

minuman kemasan, dan fastfood. Laporan akhir hasil monitoring dan

verifikasi profil Pangan Jajanan Anak Balita Nasional tahun 2018,

menunjukan bahwa 98,9% anak jajan dan hanya 1% yang tidak pernah jajan.

1
2

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebutkan bahwa

78% anak balita mengkonsumsi makanan jajanan di Lingkungan. Sebuah

survei di 220 Kabupaten dan kota di Indonesia menemukan hanya 16%

yang memenuhi syarat. Berdasarkan data dari puskesmas Kec. Matangkuli.

Hasil studi yang dilakukan melalui wawancara dan pengisian kuesioner

kasus gizi kurang dan gizi buruk di Desa Tumpok Barat yang memiliki anak

balita (usia 2-4 tahun). Status gizi kurang para balita diketahui dari

perbedaan berat badan balita (berat yang seharusnya) dengan berat badan

mereka secara faktual sesuai usia mereka yang diukur dengan timbangan

dan ayun/timbangan digital. Ada beberapa anak yang memiliki kekurangan

gizi, di antaranya 15 orang anak laki-laki, 22 orang anak perempuan dan 3

orang yang memiliki gizi kurang, jadi jumlah rata-rata anak didesa tumpok

barat adalah 37 orang.

Para ahli kesehatan dan gizi menyatakan bahwa masa balita

merupakan periode yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak

(Kasmini 2012; Anggraini 2014). Tiga tahun pertama dalam kehidupan anak

bukan saja menjadi tahap yang sangat penting dalam perkembangan sel-sel

otak yang akan menentukan berbagai kemampuan dasar anak, tetapi juga

periode yang rentan terhadap berbagai macam penyakit, terutama bagi

mereka yang mengalami masalah gizi buruk/gizi kurang (Apriyanto, dkk.

2016 ). Hasil yang diperoleh dan dianalisis dengan Food Frequency

Questionnaire (FFQ) bahwa nilai menunjukkan status gizi sangat kurus dan

masih ada pada usia batita tetapi tidak ada di usia prasekolah. Sebagian

besar subjek yang berusia batita memiliki rata-rata nilai perkembangan lebih

besar dibandingkan subjek yang berusia prasekolah.


3

Anak-anak dengan gizi kurang masih ditemukan kasusnya di

Indonesia, termasuk di daerah Pendesaan, salah satunya di desa Tumpok

Barat, Kec. Matangkuli.

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk,

diantaranya adalah status sosial ekonomi, ketidaktahuan ibu tentang

pemberian gizi yang baik untuk anak, dan Berat Badan Lahir Rendah

(BBLR).8,9 Sumber lain menyebutkan asupan makanan keluarga, faktor

infeksi, dan pendidikan ibu menjadi penyebab kasus gizi buruk

Menurut penelitian Nasrudin; Rumagit, Fred A.; Pascoal, Meildy E./

2016 Hubungan frekuensi konsumsi jajanan dengan status gizi dan prestasi

belajar anak Sekolah Dasar Negeri Malalayang Kota Manado. Desain

penelitian menggunakan observasional analitik dengan pendekatan cross

sectional study. Artinya terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi

konsumsi makanan jajanan dengan status gizi siswa di Sekolah Dasar

Negeri Malalayang Kota Manado (p=0,012). Selain itu menurut penelitian

Ayuningtyas, Nurina Vidya/ 2012. Hubungan frekuensi jajan anak dengan

kejadian diare akut pada anak sekolah dasar di SDN Sukatani 4 dan SDN

Sukatani 7 Kelurahan Sukatani Depok. Variabel bebasnya meneliti

frekuensi jajanan anak, variabel terikatnya meneliti kejadian diare akut.

Yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi jajan anak

SD dengan kejadian diare akut (p=0,009).

Sedangkan, menurut penelitian Musralianti, Feby; Rattu A. J. M;

Kaunang./ 2015 Hubungan antara aktivitas fisik dan pola makan dengan

kejadian obesitas pada siswa di SMP 1 Manado. Desain penelitiannya

menggunakan penelitian observasional dengan pendekatan case control.


4

Yang artinya aktivitas fisik secara statistik mempunyai hubungan yang

bermakna dengan kejadian obesitas pada pelajar SMP 1 Manado (p<0,05).

Variabel bebasnya meneliti aktivitas fisik. Perbedaan Variabel bebasnya

meneliti pola makan dan tidak meneliti frekuensi konsumsi jajanan.

Hasil pengambilan data awal pada balita yang memiliki gizi kurang

yang berkunjung ke desa Tumpok Barat kec. Matangkuli, didapatkan bahwa

3 dari 37 anak balita yang memiliki kebiasaan jajan sering kali membuat

balita tidak memiliki selera untuk mengonsumsi makanan yang dimasak

oleh orang tuanya.

Berdasarkan paparan/pembahasan di atas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul hubungan antara jenis dan frekuensi

jajanan dengan risiko kekurangan gizi pada anak balita di desa tumpok

barat.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah

“bagaimanakah hubungan antara jenis dan frekuensi jajanan dengan risiko

kekurangan gizi pada anak balita di desa tumpok barat.?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara jenis dan frekuensi dengan risiko

kekurangan gizi pada anak balita di desa tumpok barat.


5

2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi jenis dan frekuensi dengan risiko

kekurangan gizi pada anak balita di desa tumpok barat.

2. Untuk mengidentifikasi keputusan pada balita kekurangan gizi

di desa tumpok barat.

3. Untuk mengidentifikasi frekuensi dan risiko pada balita

kekurangan gizi pada balita didesa tumpok barat.


6
7
8

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Perawat

Dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk menambahkan ilmu

pengetahuan dan wawasanya terkait dengan hubungan antara lama

menderita diabetes mellitus dengan keputuasasaan pada lansia dengan

kadar gula darah tidak terkontrol di Puskesmas Samudera Aceh Utara.

2. Tempat penelitian
9

Sebagai masukan atau penambahan wawasan yang nantinya dapat dipraktikan

sendiri oleh perawat mengenai hubungan antara lama menderita diabetes

mellitus dengan keputuasasaan pada lansia dengan kadar gula darah tidak

terkontrol di Puskesmas Samudera Aceh Utara.

3. Akademik

Memberikan informasi ilmu tambahan yang akan memperdalam

wawasan keilmuan sehingga dapat dijadikan bahan penelitian mendatang

serta sebagai sumber informasi bagi institusi pendidikan.

4. Peneliti

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberi pengetahuan

serta wawasan lebih dalam lagi bagi peneliti khususnya dan bagi

pembaca umumnya tentang hubungan antara lama menderita diabetes

mellitus dengan keputuasasaan pada lansia dengan kadar gula darah tidak

terkontrol di Puskesmas Samudera Aceh Utara.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Dan Konsep Terkait

1. Konsep Lansia

a. Pengertian Lansia

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam

puluh) tahun keatas (Dahlan dkk, 2018). Masa tua merupakan salah satu

masa dalam rangka perjalanan hidup dan perkembangan individu.

Segala sesuatu yang terjadi dalam diri individu lanjut usia, atau yang

kerap disebut ringkas dengan kata lansia, merupakan akumulasi dari

perjalanan panjang kehidupan, sejak tahap-tahap perkembangan

sebelumnya (Hendriani, 2021)

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke

atas. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang

berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan

proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan

dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam Undang-Undang No 13

tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan

nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah

menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin membaik dan usia

harapan hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin

7
8

bertambah. Banyak diantara lanjut usia yang masih produktif dan

mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada

hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya

bangsa (Damanik & Hasian, 2019).

b. Batas Usia Lansia

Menurut (Muiadi dan Rachmah, 2022), menjelaskan batasan-

batasan usia pada lansia adalah sebagai berikut:

1) Menurut WHO

Menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization)

klasifikasi lansia adalah sebagai beriku:

a) Usia pertengahan (middle aga), yaitu kelompok usia 45 – 54

tahun.

b) Lansia (elderly), yaitu kelompok usia 55 – 65 tahun.

c) Lansia muda (young old), yaitu kelompok usia 66 – 74 tahun.

d) Lansia sangat tua (very old), yaitu kelompok usia lebih dari 90

tahun.

2) Menurut Depkes RI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI)

klasifikasi lansia sebagai berikut:

a) Pra lansia yaitu seseorang yang berusia antara 45-69 tahun.

b) Lansia ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih


9

c) Lansia risiko tinggi ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih

dengan masalah kesehatan.

d) Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan

pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau

jasa.

e) Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari

nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

c. Tugas Tumbuh Kembang Lansia

Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus

kehidupan manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai

akhir kehidupan. Lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses

penuaan. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua (tahap

penuaan). Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir,

dimana pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental

dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat melakukan

tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan) (Damanik & Hasian, 2019).

Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup,

termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas

fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan

degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru,

saraf dan jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan regeneratif yang

terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai penyakit, sindroma dan

kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa lain. Untuk menjelaskan

penurunan pada tahap ini, terdapat berbagai perbedaan teori, namun


10

para ahli pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak

ditemukan pada faktor genetic (Damanik & Hasian, 2019).

d. Masalah Kesehatan Yang Teradi Pada Lanjut Usia

Menurut (Gemini dkk, 2021), menyatakan berbagai masalah

kesehatan dan penyakit yang cenderung teradi pada lansia yang terlkait

masalah fisik, antara lain sebagai berikut:

1) Kurang Bergerak

Gangguan fisik, iwa dan faktor lingkungan dapat

menyebabkan lansia kurang bergerak, penyebab yang paling sering

adalah gangguan tulang, sendi dan otot, gangguan saraf, serta

penyakit antung dan pembuluh darah.

2) Instabilitas (mudah jatuh)

Jatuh pada usila merupakan masalah yang sering teradi

penyebabnya multi faktor, banyak yang berperan di dalamnya baik

faktor intriksik maupun dari dalam diri usila sendiri. sekitar 30 –

50% dari populasi usila mengalami jatuh setiap tahunnya. Sepuluh

dari angka tersebut mengalami atuh ulang. Perempuan lebih sering

jatuh dibandingkan dengan lanjut usia laki-laki.

3) Mudah lelah

Mudah lelah disebabkan, faktor fisiologis (perasaan bosan

keletihan dan depresi) gangguan organis misalnya anemia, kurang

vitamin, perubahan tulang, gangguan pencernaan, gangguan sistem

peredaran darah dan melelahkan daya kerja otot.


11

4) Ikontinensia urine/ gangguan eliminasi

Sering ngompol yang tanpa disadari merupakan salah satu

keluhan utama pada lanjut usia. Inkontinensia adalah pengeluaran

urine atau fases yang tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi

yang cukup, sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan

atau sosial.

5) Gangguan intelektual

Gangguan intelektual merupakan kumpulan geala klinik yang

meliputi gangguan fungsi intelektual dan ingatan yang cukup berat

sehingga menyebabkan terganggunya aktivitas kehidupan sehari-

hari.

6) Gangguan panca indra, komunikasi, penyembuhan dan kulit

Akibat proses menua semua panca idra berkurang fungsinya,

demikian juga gangguan pada otak, saraf dan otot-otot yang

digunakan untuk berbicara dapat menyebabkan terganggunya

komunikasi.

7) Infeksi

Infeksi merupakan salah satu masalah pada lansia. Beberapa

faktor resiko yang menyebabkan lansia mudah mendapat penyakit

infeksi karena kurang gizi, kekebalan tubuh yang menurun,

berkurangnya fungsi berbagai organ tubuh, terdapat berbagai

penyakit sekaligus yang menyebabkan daya tahan tubuh yang sangat


12

berkurang, selain itu faktor lingkungan dan keganasan kuman akan

mempermudah tubuh mengalami infeksi.

8) Depresi

Perubahan status sosial, serta perubahan akibat proses menua

menadi salah satu pemicu munculnya depresi pada lansia. Geala

depresi sering tidak dapat diketahui penyebabnya, karena gejala

depresi yang muncul sering kali dianggap sebagai suatu bagian dari

proses menua yang normal ataupun tidak khas.

9) Berat badan menurun

Berat badan menurun disebabkan oleh pada umumnya nafsu

makan menurun karena kurang adanya gairah hidup atau kelesuhan.

Adanya penyakit kronis, gangguan pada saluran pencernaan

sehingga penyerapan makan terganggu, faktor sosial ekonomi.

10) Sulit buang air besar

Seperti kurangya gerakan fisik, makan yang kurang

mengandung serat, kurang minum, ataupun akibat pemberian obat-

obat tertentu. Akibat pengosongan isi usus menjadi sulit teradi atau

isi usus menjadi tertahan dan kotoran menjadi keras dan kering pada

keadaan tertentu ndapat mengakibatkan berupa penyumbatan pada

usus disertai rasa saki daerah perut.

11) Kurang gizi

Kekurangan gizi pada lansia disebabkan perubahan lingkungan

maupun kondisi kesehatan. Faktor lingkungan dapat berupa


13

ketidaktahuan untuk memilih makanan yang bergizi, isolasi sosial,

gangguan panca indra, kemiskinan hidup seorang diri, gangguan

mental, gangguan tidur, obat-obatan dan lainnya.

12) Impotensia

Merupakan ketidakmampuan untuk mencapai atau

mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan senggama

yang memuaskan, yang terjadi paling sekitar 3 bulan.

13) Gangguan tidur

Lance dan Segal mengungkapkan bahwa faktor usia

merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap kualitas tidur.

Keluhan kualitas tidur seiring dengan bertambahnya usia.

e. Ciri-Ciri Lansia

Menurut (Muiadi dan Rachmah, 2022), membagi ciri-ciri lansia

menjadi 4 bagian sebagai berikut:

1) Lansia merupakan periode kemunduran

Kemunduran pada lansia sebagian dating dari faktor fisik dan

faktor psikologis.motivasi memiliki peran yang penting dalam

kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi

yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat

proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki

motivasi yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih

lama terjadi.
14

2) Lansia memiliki status kelompok

Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak

menyenangkan terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang

kurang baik, misalnya lansia yang lebih senang mempertahankan

pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat menjadi negative,

tetapi ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada orang

lain sehingga sikap sosial masyarakat menjadi positif.

3) Menua membutuhkan perubahan peran

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai

mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada

lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan dasar

tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia menduduki abatan sosial di

masyarakat tidak memberhentikan lansia sebagai ketua RW karena

usia.

4) Penyesuaian yang buruk pada lansia

Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka

cederung mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat

memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan

yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menadi buruk,

contohnya lansia yang tidak tinggal bersama keluarga sering tidak

dilibatkan untuk pengambilan keputusan karena dianggap pola piker

kuno, kondisi inilah yang menyebabkan lansia menarik diri dari


15

lingkungan, cepat tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang

rendah.

2. Konsep Diabetes Mellitus

a. Pengertian

Menurut (Febrinasari dkk, 2020), Diabetes Melitus (DM) atau

yang biasa disebut dengan kencing manis merupakan penyakit

gangguan metabolisme tubuh yang menahun akibat hormon insulin

dalam tubuh yang tidak dapat digunakan secara efektif dalam mengatur

keseimbangan gula darah sehingga meningkatkan konsentrasi kadar

gula di dalam darah (hiperglikemia). Kencing manis merupakan suatu

penyakit yang ditandai dengan tingginya gula darah akibat kerusakan

sel beta pankreas (pabrik yang memproduksi insulin).

Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang

umumnya terjadi pada dewasa yang membutuhkan supervisi medis

berkelajutan dan edukasi perawatan mandiri pada pasien. Namum,

bergantung pada tipe DM dan usia pasien, kebutuhan dan asuhan

keperawatan pasien dapat sangat berbeda (Maria, 2021). DM adalah

defisiensi produksi insulin, fungsi insulin atau keduanya yang

mengganggu proses lemak, karbohidrat dan protein atau disebut juga

gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia kronis

(Parliani, MNS dkk, 2021).


16

Diabetes mellitus adalah penyakit yang disebabkan tubuh tidak

dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat sehingga

kadar glukosa (gula sederhana) didalam darah tinggi, diabetes melitus

juga suatu penyakit yang termasuk ke dalam kelompok penyakit

metabolik, dimana karakteristik utamanya yaitu tinggi kadar glukosa

dalam darah (Suryati, 2021)

b. Etiologi

Menurut Maria (2021), Diabetes Mellitus diklasifikasikan, baik

secara Insuline Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) maupun non

Insuline Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Dengan penggunaan

terapi insulin yang sudah biasa dengan kedua tipe DM. IDDM sekarang

disebut DM tipe 1 (juvenile) dan NIDDM sebagai DM tipe 2 (maturity

onset).

1) Diabetes Mellitus Tipe I

Disebabkan destruktur sel beta autoimun biasanya memicu

terjadinya defisiensi insulin absolut. Faktor herditer berupa antibodi

sel islet, tingginya insiden HLA tipe DR 3 dan DR 4. Faktor

lingkungan berupa infeksi virus (virus, coxsacie, enterovirus,

retrovirus dan mumps), defisiensi vitamin D, toksin lingkungan,

menyusui jangka pendek, paparan dini terhadap protein klompleks.

Berbagai modifikasi epigenetik ekspresi gen juga terobsesi sebagai

penyebab genetik berkembanganya Diabetes Melitus tipe I. Individu

dengan diabetes mellitus tipe I mengalami defisiensi insulin absolut.


17

2) Diabetes Melitus Tipe II

Akibat resistensi insulin perifer, defek progresif sekresi

insulin, peningkatan gluconeogenesis. Diabetes Melitus tipe II

dipengaruhi faktor lingkungan berupa obesitas, gaya hidup tidak

sehat, diet tinggi karbohidrat. Diabetes Mellitus tipe II memiliki

presimtomatis yang panjang menyebabkan penegakan diabetes

mellitus tipe II dapat tertunda 4-7 tahun.

3) Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes Melitus Gestasional (2%-5% dari semua

kehamilan). DM yang diagnosis selama hamil. DM gestasional

merupakan diagnosis DM yang menerapkan untuk perempuan

dengan intoleransi glukosa atau ditemukan pertama kali selama

kehamilan. DM gestasional terjadi pada 2-5% perempuan hamil

namun menghilang ketika kehamilanya berakhir. DM ini lebih sering

terjadi pada keturunan Amerika-Afrika, Amerika Hispanik, Amerika

pribumi dan perempuan dengan riwayat keluarga DM atau lebih dari

4 kg saat lahir, obesitas juga merupakan faktor resiko. Riwayat DM

gestasional sindrom ovarium polikistik, atau melahirkan bayi dengan

berat badan lebih dari 4,5.

4) Diabetes Melitus Tipe Lainnya

DM tipe spesifik lain (1%-2% kasus terdiagnosis). Mungkin

sebagai akibat dari efek genetik fungsi sel beta, penyakit pankreas

(misalnya kistik fibrosis), atau penyakit yang diinduksi oleh obat-


18

obatan. DM mungkin juga akibat dari gangguan-gangguan lain atau

pengobatan. Efek genetik pada sel beta dapat mengarah

perkembangan DM. Beberapa hormon seperti hormon pertumbuhan,

kortisol, glukagon dan epinefrin, merupakan antagosis atau

menghambat insulin. Jumlah berlebihan dari hormon-hormon ini

(seperti pada akromegalin, sindrom cushing, glukogonoma dan

feokromonositoma) menyebabkan DM. Selain itu, obat-obatan

tertentu (glukokortikoid dan tiazid) mungkin menyebabkan DM.

Tipe DM sekunder tersebut terhitung 1-2% dari semua kasus DM

terdiagnosis.

Tabel 1. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis

diabetes dan prediabetes (Perkeni, 2015)

HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma


puasa (mg/dl) 2 jam setelah
TTGO (mg/dl)
Diabetes ≥6,5 ≥126 mg/dl ≥200 mg/dl
Prediabetes 5,7 – 6,4 100 – 125 140 – 199
Normal <5,7 <100 <140

c. Patofisiologi

1. Diabetes Mellitus Tipe I

Menurut Maria (2021), mekanisme DM tipe I terjadi akibat

kekurangan insulin untuk menghantarkan glukosa menembus

membran sel ke dalam sel. Molekul glukosa menumpuk dalam

peredaran darah, mengakibatkan hiperglikemia. Hiperglikemia

menyebabkan hiperosmolaritas serum, yang menarik air dari ruang


19

intraseluler kedalam sirkulasi umum. Peningkatan volume darah

meningkatkan aliran darah ginjal dan hiperglikemia bertindak

sebagai diuretik osmosis. Diuretik osmosis yang dihasilkan

meningkat haluaran urine. Kondisi ini disebut poliuria. Ketika kadar

glukosa darah melebihi ambang batas glukosa biasanya sekitar 180

mg/dl glukosa diekskresikan ke dalam urine, suatu kondisi yang

disebut glukosuria.

Penurunan volume intraseluler dan peningkatan haluaran

urine menyebabkan dehidrasi, mulut menjadi kering dan sensor haus

diaktifkan, yang menyebabkan orang tersebut minum jumlah air

yang banyak (polidipsia). Glukosa tidak dapat masuk kedalam sel

tanpa insulin. Produksi energi menurun. Penurunan energi ini

menstimulasi rasa lapar dan orang makan lebih banyak (polifagia)

meski asupan makanan meningkat, berat badan orang tersebut turun

saat tubuh kehilangan air dan memecah protein dan lemak sebagai

upaya memulihkan sumber energi. Malaise dan keletihan menyertai

penurunan energi, penglihatan yang buram juga umum terjadi, akibat

pengaruh osmotik yang menyebabkan pembengkakan lensa mata.

Oleh sebab itu, manifestasi klasik meliputi poliuria, polidipsia, dan

polifagia, disertai dengan penurunan berat badan. Orang dengan DM

tipe I membutuhkan sumber insulin eksogen (eksternal) untuk

mempertahankan hidup (Maria, 2021).


20

2. Diabetes Mellitus Tipe II

Patogenesis DM tipe 2 berada signifikan dari DM tipe I.

Respons terbetas sel beta terhadap hiperglikemia tanpa menjadi

faktormayor dan perkembangannya. Sel beta terpapar secara kronis

terhadap kadar gula darah tinggi menjadi secara prgresif kurang

efisien ketika merespons peningkaan glukosa lebih lanjut. Fenomena

ini dinamai desensitisasi. Dapat kembali dengan menormakan kadar

glukosa. Rasio proisulin (prekursor insulin) terhada insulin

tersekresi juga meningkat.

Diabetes Mellitus tipe II adalah suatu kondisi hiperglikemia

puasa yang terjadi meski tersedia insulin endogen. Kadar insulin

yang dihasilkan pada Diabetes Melius tipe II berbeda-beda dan

meski ada, fungsinya dirusak oleh resistensi insulin di jaringan

perifer. Hai memproduksi glukosa lebih dari normal. Karbohidrat

dalam makanan tidak dimetabolisme dengan baik. Dan akhirnya

prankreas mengeluarkan jumlah insulin yang kurang dari yang

dibutuhkan.

Faktor utama perkemangan Diabetes Mellitus tipe II adalah

resistensi seluler terhadap efek insulin. Resistensi ini ditingkatkan

oleh kegemukan, tidak beraktivitas, penyakit, obat-obatan, dan

pertambahan usia. Pada kegemuan insulin mengalami penuruna n

kemampuan untuk memengaruhi absorsi dan metabolisme glukosa

oleh hati, otot rangka dan jaringan adiposa. Hiperglikemia meningat


21

secara perlahandan dapat berlangsung lama sebelum DM

didiagnosis, sehingga kira-kira separuh diagnosis DM tipe II yang

didiagnosis sudah mengalami komplikasi.

Proses patofisiologi dalam DM tipe II adalah resistensi

terhadap aktivitas insulin biologis, baik dari hati maupun jaringan

perifer. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin. Orang dengan

DM tipe II memiliki penurunan sensitivitas insuin terhadap kadar

glukosa. Yang mengakibatkan produksi glukosa hepaik berlanjut.

Bahkan sampai dengan kadar gula darah tinggi. Hal ini bersamaan

dengan ketidakmampuan otot dengan jaringan lemak untuk

meningkatkan ambilan glukosa. Mekanisme penyebab resistansi

insulin berkaitan terhadap respon pada permukaan sel.

Insulin adlah hormon pembangun (anabolik). Tanpa insulin,

tiga masalah metabolik mayor terjadi: penurunan pemanfaatan

glukosa, peningktan mobiilisasi lemak dan peningkatan pemanfaatan

protein.

d. Tanda dan Gejala

Menurut (Tobroni, dkk 2021), seseorang dikatakan menderita

Diabetes Mellitus bila menderita dua dari tiga gejala dibawah ini :

1) Keluhan “TRIAS” Diabetes Mellitus (polidipsi, poliuria dan

penurunan berat badan)

2) Kadar glukosa darah acak atau dua jam sesudah makan ≥200 mg/dl
22

3) Kadar glukosa darah pada waktu puasa ≥126 mg/dl (dikatakan puasa

artinya selama 8 jam tidak ada kalori.

4) HbA1C ≥6,5%. HbA1C dipakai untuk memberikan informasi yang

jelas dan mengetahui sampai seberapa efekif terapi yang diberikan.

Gelaja Diabetes Mellitus dibedakan menjadi 2 akut dan kronik

adalah sebagai berikut:

1) Gejala akut diabetes mellitus adalah sebagai berikut :

a) Poliphagia (banyak makan)

b) Polidipsia (banyak minun)

c) Poliuria (banyak kencing atau sering kecing di malam hari)

d) Nafsu makan bertambah namun berat badan turun secara cepat

yaitu antara (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu) dan mudah lelah.

2) Sedangkan gejal kronik diabetes mellitus adalah sebagai berikut :

a) Sering kesemutan

b) Kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum

c) Rasa kebas dikulit

d) Sering kram

e) Mudah mengantuk

f) Kelelahan

g) Padangan mudah kabur

h) Gigi mudah goyang dan mudah lepas

i) Kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi

impotensi
23

j) Pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin

dalam kandungan atau berat bayi lebih dari 4 kg atau 4000 gram.

e. Komplikasi

Menurut (Febrinasari dkk, 2020), komplikasi DM akut bisa

disebabkan oleh dua hal, yakni peningkatan dan penurunan kadar gula

darah yang drastis. Kondisi ini memerlukan penanganan medis segera,

karena jika terlambat ditangani akan menyebabkan hilangnya

kesadaran, kejang, hingga kematian. Terdapat 3 macam komplikasi

diabetes melitus akut yaitu:

1) Hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan kondisi turunnya kadar gula darah

yang drastis akibat terlalu banyak insulin dalam tubuh, terlalu

banyak mengonsumsi obat penurun gula darah, atau terlambat

makan. Gejalanya meliputi penglihatan kabur, detak jantung cepat,

sakit kepala, gemetar, keringat dingin, dan pusing. Kadar gula darah

yang terlalu rendah bisa menyebabkan pingsan, kejang, bahkan

koma.

2) Ketosiadosis diabetik (KAD)

Ketosiadosis diabetik adalah kondisi kegawatan medis akibat

peningkatan kadar gula darah yang terlalu tinggi. Ini adalah

komplikasi diabetes melitus yang terjadi ketika tubuh tidak dapat

menggunakan gula atau glukosa sebagai sumber bahan bakar,

sehingga tubuh mengolah lemak dan menghasilkan zat keton sebagai


24

sumber energi. Kondisi ini dapat menimbulkan penumpukan zat

asam yang berbahaya di dalam darah, sehingga menyebabkan

dehidrasi, koma, sesak napas, bahkan kematian, jika tidak segera

mendapat penanganan medis.

3) Hyperosmolar hyperglycemic state (HHS)

Kondisi ini juga merupakan salah satu kegawatan dengan

tingkat kematian mencapai 20%. HHS terjadi akibat adanya lonjakan

kadargula darah yang sangat tinggi dalam waktu tertentu. Gejala

HHS ditandai dengan haus yang berat, kejang, lemas, dan gangguan

kesadaran hingga koma. Selain itu, diabetes yang tidak terkontrol

juga dapat menimbulkan komplikasi serius lain, yaitu sindrom

hiperglikemi hiperosmolar nonketotik. Komplikasi akut diabetes

adalah kondisi medis serius yang perlu mendapat penanganan dan

pemantauan dokter di rumah sakit.

Komplikasi diabetes melitus kronis, komplikasi jangka

panjang biasanya berkembang secara bertahap dan terjadi ketika

diabetes tidak dikendalikan dengan baik. Tingginya kadar gula darah

yang tidak terkontrol dari waktu ke waktu akan menimbulkan

kerusakan serius pada seluruh organ tubuh. Beberapa komplikasi

jangka panjang pada penyakit diabetes melitus yaitu:

4) Gangguan pada mata (retinopati diabetik)

Tingginya kadar gula darah dapat merusak pembuluh darah di

retina yang berpotensi menyebabkan kebutaan. Kerusakan pembuluh


25

darah di mata juga meningkatkan risiko gangguan penglihatan,

seperti katarak dan glaukoma. Deteksi dini dan pengobatan retinopati

secepatnya dapat mencegah atau menunda kebutaan. Penderita

diabetes dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mata secara

teratur.

5) Kerusakan ginjal (nefropati diabetik)

Kerusakan ginjal akibat DM disebut dengan nefropati diabetik.

Kondisi ini bisa menyebabkan gagal ginjal, bahkan bisa berujung

kematian jika tidak ditangani dengan baik. Saat terjadi gagal ginjal,

penderita harus melakukan cuci darah rutin ataupun transplantasi

ginjal. Diabetes dikatakan sebagai silent killer, karena sering kali

tidak menimbulkan gejala khas pada tahap awal.

Namun pada tahap lanjut, dapat muncul gejala seperti anemia,

mudah lelah, pembengkakan pada kaki, dan gangguan elektrolit.

Diagnosis sejak dini, mengontrol glukosa darah dan tekanan darah,

pemberian obat-obatan pada tahap awal kerusakan ginjal, dan

membatasi asupan protein adalah cara yang bisa dilakukan untuk

menghambat perkembangan diabetes yang mengarah ke gagal ginjal

6) Kerusakan saraf (neuropati diabetik)

Diabetes juga dapat merusak pembuluh darah dan saraf di

tubuh terutama bagian kaki. Kondisi ini biasa disebut dengan

neuropati diabetik, yang terjadi karena saraf mengalami kerusakan,

baik secara langsung akibat tingginya gula darah, maupun karena


26

penurunan aliran darah menuju saraf. Rusaknya saraf akan

menyebabkan gangguan sensorik, yang gejalanya dapat berupa

kesemutan, mati rasa, atau nyeri.

Kerusakan saraf juga dapat memengaruhi saluran pencernaan

atau disebut gastroparesis. Gejalanya berupa mual, muntah, dan

merasa cepat kenyang saat makan. Pada pria, komplikasi diabetes

melitus dapat menyebabkan disfungsi ereksi atau impotensi.

Komplikasi jenis ini bisa dicegah dan ditunda hanya jika diabetes

terdeteksi sejak dini, sehingga kadar gula darah bisa dikendalikan

dengan menerapkan pola makan dan pola hidup yang sehat, serta

mengonsumsi obat sesuai anjuran dokter.

7) Masalah kaki dan kulit

Komplikasi yang juga umum terjadi adalah masalah pada

kulit dan luka pada kaki yang sulit sembuh. Hal tersebut disebabkan

oleh kerusakan pembuluh darah dan saraf, serta aliran darah ke kaki

yang sangat terbatas. Gula darah yang tinggi mempermudah bakteri

dan jamur untuk berkembang biak. Terlebih lagi akibat diabetes juga

terjadi penurunan kemampuan tubuh untuk menyembuhkan diri. Jika

tidak dirawat dengan baik, kaki penderita diabetes berisiko untuk

mudah luka dan terinfeksi sehingga menimbulkan gangren dan ulkus

diabetikum. Penanganan luka pada kaki penderita diabetes adalah

dengan pemberian antibiotik, perawatan luka yang baik, hingga

kemungkinan amputasi bila kerusakan jaringan sudah parah.


27

8) Penyakit kardiovaskular

Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan

pembuluh darah sehingga terjadi gangguan pada sirkulasi darah di

seluruh tubuh termasuk pada jantung. Komplikasi yang menyerang

jantung dan pembuluh darah meliputi penyakit jantung, stroke,

serangan jantung, dan penyempitan arteri (aterosklerosis).

Mengontrol kadar gula darah dan faktor risiko lainnya dapat

mencegah dan menunda komplikasi pada penyakit kardiovaskular.

Komplikasi diabetes melitus lainnya bisa berupa gangguan

pendengaran, penyakit alzheimer, depresi, dan masalah pada gigi dan

mulut. Karena dapat terjadi berbagai komplikasi seperti yang telah

disebutkan diatas maka kepatuhan berobat pada penderita diabetes

mellitus sangatlah penting.

f. Faktor Yang Mempengaruhi Lama Menderita Diabetes

faktor-faktor yang mempengaruhi lama menderita, sebagai

berikut:

1) Lama Menderita Diabetes Melitus

Lama menderita diabetes melitus merupakan durasi waktu sejak

awal di diagnosa sampai saat penelitian dilakukan, seseorang yang

lama menderita ≥ 10 tahun memiliki efikasi diri yang baik, karena

semakin lama seseorang menderita maka berarti semakin lama

kesempatan untuk belajar menghadapi masalah yang timbul terkait

penyakitnya sehingga hal itulah yang bisa meningkatkan kualitas


28

hidupnya dibanding seseorang yang menderita < 10 tahun (Arda et

al., 2020). Lama menderita penyakit diabetes melitus dan adanya

komplikasi memiliki hubungan dengan kualitas hidup penderitanya

(Prasestiyo, 2017).

2) Usia

Perkeni (2015) menyatakan bahwa kelompok usia 45 tahun

keatas adalah kelompok yang beresiko mengalami diabetes melitus.

Semakin meningkatnya umur maka resiko mengalami diabetes

melitus semakin tinggi hal ini diakarenakan produksi hormon insulin

mengalami penurunan (Prasetyani & Sodikin,2017).

3) Jenis Kelamin

Perbedaan jenis kelamin dapat memengaruhi kualitas hidup.

Jenis kelamin laki-laki biasanya memiliki derajat kualitas hidup yang

lebih baik dibandingkan perempuan, hal ini dikarenakan laki-laki

lebih dapat menerima keadaan dari pada perempuan (Purwaningsih,

2018). Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Umam et al., 2020)

menyatakan bahwa perempuan lebih beresiko terkena penyakit

diabetes melitus dibandingkan laki-laki.

4) Tingkat Pendidikan

Arda et al, (2020) menyatakan seamkin tinggi pendidikan

seseorang maka diharapkan akan semakin baik pula kualitas

hidupnya, karena akan memiliki pengalaman yang cukup dalam


29

manajemen diri termasuk dalam hal mencari perawatan dan

pengobatan terhadap penyakit yang diderita (Siwiutami, 2017).

3. Konsep Keputusasaan

a. Pengertian

Keputusasaan adalah suat kondisi emosional subyektif yang

dipertahankan klien karena ia tidak melihat adanya pilihan pribadi atau

pilihan alternative untuk memecahkan masalah (Murharyati dkk, 2021).

Pengertian Keputusasaan merupakan keyakinan seseorang bahwa

dirinya maupun orang lain tidak dapat melakukan sesuatu untuk

mengatasi masalahnya, memandang adanya keterbatasan atau tidak

tersedianya alternatif pemecahan masalah dan tidak mampu

memobilisasi energi demi kepentingannya sendiri (Mundakir, 2021).

Keputusasaan merupakan kondisi subjektif, atau ketika

seseorang melihat keterbatasan atau pilihan individu serta dapat

mengerahkan kekuatan untuk kepentingan individu. Kondisi individu

melihat keadaan pribadi dari ketidakmampuan ataupun tidak ada solusi

dalam penyelesaian problem saat ini (Nanda, 2018). Keputusasaan

adalah perasaan seorang individu, ia melihat keterbatasan dalam

menyelesaikan masalahnya sendiri atau kurangnya pilihan atau pilihan

lain (PPNI, 2017)


30

b. Penyebab

Penyebab timbulnya keputusasaan adalah stres jangka panjang,

penurunan kondisi fisiologis, kehilangan kepercayaan pada kekuatan

spiritual, kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai penting, pembatasan

aktivitas jangka panjang dan pengasingan (PPNI, 2016).

Menurut (Mundakir, 2021), penyebab keputusasaan adalah

sebagai berikut:

1) Stres jangka panjang

2) Penurunan kondisi fisiologis, penyakit kronis.

3) Kehilangan kepercayaan pada kekuatan spiritual.

4) Kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai penting

5) Pembatasan aktivitas jangka panjang

6) Isolasi sosial

c. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala subyektif: mengungkapkan keputusasaan, sulit

tidur, dan selera makan menurun sedangakan tanda dan gejala obyektif

yakni pasien kurang terlibat dalam aktivitas perawata, afek datar,

berperilaku pasif, kurang inisiatif, meninggalkan lawan bicara dan

mengangkat bahu sebagai respon terhadap lawan bicara (PPNI, 2016).

d. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan keputusasaan meliputi dukungan emosional,

promosi harapan, dan promosi koping (PPNI, 2018). Penatalaksanaan

psikoterapi meliputi terapi individu (Terapi nafas dalam, Terapi


31

Penghentian pikiran, Terapi latihan relaksasi, Terapi meditasi, Rational

Emotif Therapy), terapi keluarga (FPE) dan terapi kelompok

(supportive therapy) (Keliat, et al., 2015)

e. Alat Ukur Keputusasaan

Alat ukur yang digunakan dalam penulisan ini adalah Beck

Hopelessness Scale (BHS), yang terdiri dari pernyataan tentang harapan

tentang masa depan, motivasi dan perasaan tentang masa depan (Ardi,

2011). Kuesioner ini terdiri dari 20 pernyataan positif dan negative

dengan rentang nilai 0-20. Ardi (2011) menyebutkan bahwa nilai BHS

orang normal adalah 0-3 dan seseorang mengalami keputusasaan jika

memiliki nilai BHS > 3 dengan klasifikasi nilai 4-8 keputusasaan

ringan, 9-14 keputusasaan sedang dan ≥ 15 keputusasaan berat.

4. Konsep Kadar Gula Darah

a. Pengertian Kadar Gula Darah

Kadar gula darah ialah terjadinya peningkatan glukosa setelah

makan dan mengalami penurunan di waktu pagi hari dan ketika bangun

tidur. Kadar gula darah adalah jumlah kandungan glukosa dalam plasma

darah. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kadar glukosa darah

antara lain, bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi,

meningkatnya stress dan faktor emosi, pertambahan berat badan dan

usia, serta berolahraga (Yunan Jiwintarum, 2019).


32

b. Pemeriksaan Kadar Gula Darah

Pemeriksaan kadar gula darah menurut (Gayatri, dkk, 2019)

adalah sebagai berikut :

1) Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) dimana hasil pemeriksaan

glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan Tes

Toleransi Glukosa Oral (TTGO) glukosa plasma 2-jam < 140 mg/dl

2) Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dimana hasil pemeriksaan

glukosa plasma 2-jam setengah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa < 100mg/dl

3) Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

4) Diagnosis prediabetes juga dapat ditegakkan berdasarkan hasil

pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7- 6,4%.

B. Penelitian Terkait

Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Roifah, 2017), hasil tabulasi

silang dapat disimpulkan bahwa semakin lama menderita maka semakin

tinggi kulaitas hidup pasien DM. Hasil uji spearman rho diperoleh data p

value = 0,027 < α = 0,05 H0 ditolak artinya ada hubungan antara lama

menderita dengan kualitas hidup penderita diabetes mellitus.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Sarfika, 2019), hasil uji

Chisquare menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara

keputusasaan dengan depresi pada pasien diabetes melitus (pValue: 0.001).

Pasien diabetes melitus yang mengalami keputusasaan memiliki peluang


33

sebanyak 7.03 kali mengalami depresi dibanding pasien diabetes yang tidak

mengalami keputusasaan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Andrian dan Purwanti, 2023), hasil

uji spearman’s rho yang ditampilkan menunjukkan hasil nilai Sig.(2-tailed) 0,02 <

0,05 Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara tingkat spiritual dengan tingkat

depresi pada penyandang diabetes mellitus dengan komplikasi. Dengan korelasi

cukup dan tidak searah, hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat spiritual maka

akan semakin rendah tingkat depresi.


34

C. Kerangka Penelitian

Diabetes Mellitus

Lama Menderita
Diabetes Mellitus

Keputusasaan Lansia

Lansia adalah seseorang


Penyebab yang telah mencapai usia
60 (enam puluh) tahun
1) Stres jangka panjang keatas (Dahlan dkk,
2) Penurunan kondisi 2018).
fisiologis, penyakit
kronis.
3) Kehilangan
kepercayaan pada
kekuatan spiritual.
4) Kehilangan
kepercayaan pada
nilai-nilai penting
5) Pembatasan aktivitas
jangka panjang
6) Isolasi sosial

Kadar Gula Darah


Tidak Terkontrol
BAB III

KERANGKA KERJA PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep pada penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan

antara lama menderita diabetes mellitus dengan keputuasasaan pada lansia

dengan kadar gula darah tidak terkontrol di Puskesmas Samudera Aceh Utara.

Variabel Independen Variabel Dependen

lama menderita diabetes keputuasasaan


mellitus

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

B. Varibel Penelitian

variabel adalah segala sesuatu yang bervariasi atau berubah nilainya.

Karena suatu variabel mewakili kualitas yang dapat menunjukkan perbedaan

nilai, berupa besar atau kekuatannya. Secara umum variabel adalah segala

sesuatu yang mungkin diasumsikan dengan nilai numerik atau kategori yang

berbeda (Adiputra dkk, 2021). Dalam penelitian ini terdapat dua variabel

yaitu :

35
36

1. Variabel Independen (Bebas)

Variabel independen adalah variabel yang dapat mempengaruhi

variabel lain, apabila variabel independen berubah maka dapat

menyebabkan variabel lain berubah. Nama lain dari variabel independen

atau variabel bebas adalah prediktor, risiko, determinan, kausa (Anggreni,

2022). Variabel independen dalam penelitian ini adalah lama menderita

diabetes mellitus.

2. Variabel Dependen (Terikat)

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel

independen, artinya variabel dependen berubah karena disebabkan oleh

perubahan pada variabel independen (Anggreni, 2022). Variabel dependen

dalam penelitian ini adalah keputusasaan.

C. Hipotesis

Hipotesis merupakan dugaan sementara dari jawaban rumusan masalah

penelitian (Sujarweni, 2019). Hipotesis sebagai hubunganyang diperkirakan

secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk

pernyataan yang dapat di uji (Noor, 2018).

Dari kajian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

Ha : Ada hubungan antara lama menderita diabetes mellitus dengan

keputuasasaan pada lansia dengan kadar gula darah tidak terkontrol

di Puskesmas Samudera Aceh Utara.


37

Ha : Tidak ada hubungan antara lama menderita diabetes mellitus dengan

keputuasasaan pada lansia dengan kadar gula darah tidak terkontrol di

Puskesmas Samudera Aceh Utara.

D. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Tabel. 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Skala Hasil


Operasional Ukur
Variabel Independen
1. Lama Lama Lembar Membagikan Ordinal 1. Lama
menderita menderita kuesioner kuesioner menderita
diabetes diabetes > 10
mellitus melitus tahun
merupakan 2. Lama
durasi waktu menderita
sejak awal di < 10
diagnosa tahun
sampai saat
penelitian
dilakukan

Variabel Dependen
1. Keputus Keputusasaan kuesioner Membagikan Ordinal 1. Nilai 0-3:
asaan adalah Beck kuesioner Normal
perasaan Hopelesness 2. Nilai 4-8:
seorang Scale Menunjuk
individu, ia (BHS) kan
melihat keputusas
keterbatasan aan ringan
dalam 3. Nilai 9-
menyelesaikan 14:
masalahnya Menunjuk
sendiri atau kan
kurangnya keputusas
pilihan atau aan
pilihan lain sedang
4. Nilai 15-
20:
Menunjuk
38

kan
keputusas
aan berat

E. Metode Pengukuran Variabel

1) Metode pengukuran Lama menderita diabetes

Lama menderita diabetes melitus merupakan durasi waktu sejak

awal di diagnosa sampai saat penelitian dilakukan, seseorang yang lama

menderita ≥ 10 tahun memiliki efikasi diri yang baik, karena semakin lama

seseorang menderita maka berarti semakin lama kesempatan untuk belajar

menghadapi masalah yang timbul terkait penyakitnya sehingga hal itulah

yang bisa meningkatkan kualitas hidupnya dibanding seseorang yang

menderita < 10 tahun (Arda et al., 2020).

2) Metode pengukuran Keputusasaan

Alat ukur yang digunakan dalam penulisan ini adalah Beck

Hopelessness Scale (BHS), yang terdiri dari pernyataan tentang harapan

tentang masa depan, motivasi dan perasaan tentang masa depan (Ardi,

2011). Kuesioner ini terdiri dari 20 pernyataan positif dan negative dengan

rentang nilai 0-20. Ardi (2011) menyebutkan bahwa nilai BHS orang

normal adalah 0-3 dan seseorang mengalami keputusasaan jika memiliki

nilai BHS > 3 dengan klasifikasi nilai 4-8 keputusasaan ringan, 9-14

keputusasaan sedang dan ≥ 15 keputusasaan berat.


BAB IV

METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Jenis Penelitin yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

analitik merupakan suatu penelitian untuk mengetahui bagaimana dan

mengapa suatu fenomena terjadi, dengan menggunakan pendekatan Cross

Sectional dimana penelitian yang mempelajari anatar paparan dan faktor

resiko (independen) dengan akibat atau efek (dependen) dengan pengumpulan

data dilakukan bersamaan secara serentak dalam satu waktu antara faktor

resiko dan efeknya (point time approach) (Anggreni, 2022). Pada penelitian

ini peneliti ingin melihat hubungan antara lama menderita diabetes mellitus

dengan keputuasasaan pada lansia dengan kadar gula darah tidak terkontrol di

Puskesmas Samudera Aceh Utara.

B. Populasi Dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek

atau objek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan

bendabenda alam yang lain. Populasi juga bukan hanya sekedar jumlah

yang ada pada objek atau subjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh

karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh subjek atau objek tersebut

39
40

(Adiputra, dkk, 2021). Populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 251

responden.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dipilih dengan cara

tertentu sehingga dianggap dapat mewakili atau representatif populasi.

Sampel sebaiknya memenuhi kriteria yang dikehendaki (Adiputra, dkk,

2021). besar sampel yang di ambil dalam penelitian ini menggunakan

rumus Slovin (Masturo & Anggita, 2018) yaitu :

𝑁
n =
1 + Ne²

251
n = 1 + 251 (0,05)²

251
n = 1 + 251 (0,0025)

251
n = 1 +0,6275

251
n = 1,6275

n = 154,22

= 150 sampel

Keterangan :

n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

e = tingkat kesalahan dalam penelitian = 0,05

Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini

adalah teknik accidental sampling yaitu teknik penentuan sampel


41

berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja secara kebetulan/insidental

bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang

orang yang kebetulan ditemui itu cocok dengan sumber data (Masturo &

Anggita, 2018).

3. Kriteria Sampel

Sampel penelitian yang diambil adalah responden yang berobat di

Puskesmas Samudera Aceh Utara dan memenuhi kriteria inklusif dan

eklusif sebagai berikut:

a. Kriteria inklusif

1) Lansia yang menderita diabetes mellitus

2) Bersedia menjadi responden

3) Koperatif dalam penelitian

b. Kriteria eklusif

1) Meninggal saat melakukan penelitian

2) Pasien dengan komplikasi

C. Tempat Dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini sudah dilakukan di Puskesmas Samudera Aceh Utara

tahun 2024.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dilakukan pada bulan Maret sampai

tahun 2024.
42

D. Etika Penelitian

Prinsip-prinsip etik tersebut meliputi (Notoatmodjo, 2015) :

1. Otonomi

Peneliti memberikan inform consent sebelum melakukan

pengumpulan data, memberikan hak kepada responden untuk mundur dari

penelitian dan tidak ada pemaksaan dari peneliti.

2. Berbuat baik

Peneliti bersikap baik kepada responden, peneliti memberikan

penjelasan mengenai manfaat dari penelitian bagi responden dan peneliti

menjawab setiap pertanyaan responden dengan baik Keadilan

3. Tidak merugikan

Peneliti dalam melakukan penelitian berusaha meminimalisir dampak

yang merugikan bagi responden.

4. Kejujuran

Peneliti memberikan informasi tentang penelitian secara akurat,

komprehensif dan objektif. Peneliti menyampaikan kebenaran dengan

sejujur-jujurnya untuk meyakinkan responden.

5. Menepati janji

Peneliti berkomitmen menepati janji dan menyimpan rahasia yang

diberikan responden dalam penelitian dan bertanggung jawab penuh dalam

penelitian ini.
43

6. Kerahasiaan

Peneliti menjamin kerahasiaan informasi responden. Data yang

diperoleh hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian dan akan dijaga

kerahasiaannya. Data seperti nama responden menggunakan inisial

(anonymity) atau nomor responden seperti angka 1 dan seterusnya.

7. Akuntabilitas

Penelitian ini dibuat sesuai standar penelitian dan dapat dipertanggung

jawabkan oleh peneliti menurut sumber-sumber terpecaya dan data-data

yang ada.

E. Pengumpulan Data

1. Janis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan

data skunder.

a. Data Primer

Data primer disebut juga sebagai data asli atau data baru yang up

to date. Untuk mendapatkan data primer, peneliti dapat

mengumpulkannya dengan menggunakan teknik wawancara, observasi,

diskusi kelompok terarah, dan penyebaran kuesioner (Masturo &

Anggita, 2018). Data primer diperoleh dari observasi langsung dari

responden yang berobat dengan diagnosa medis diabetes mellitus di

Puskesmas Samudera Aceh Utara.


44

b. Data Sekunder

Data yang diperoleh peneliti dari berbagai sumber yang telah ada.

Data sekunder dapat diperoleh dari jurnal, lembaga, laporan, dan lain-

lain (Masturo & Anggita, 2018). Data sekunder dalam penelitian ini

adalah data yang di peroleh langsung dari Puskesmas Samudera Aceh

Utara.

2. Tehnik Pengumpulan Data

a. Tahap Persiapan

Tahap persiapan yang akan dilakukan melalui proses administrasi

dengan cara mendapat surat izin penelitian dari Universitas Bumi

Persada Lhokseumawe dan izin dari Puskesmas Samudera Aceh Utara

untuk melakukan penelitian.

b. Tahap Pelaksanaan

Setelah mendapat izin dari Puskesmas Samudera Aceh Utara,

peneliti akan mendatangi lokasi penelitian dan menentukan subjek

penelitian yang memenuhi kriteria inklusi yang akan menjadi

responden.

a. Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan lebih dahulu kepada

responden tentang maksud dan tujuan penelitian dengan

mengajukan surat permohonan menjadi responden.

b. pasien bersedia menjadi responden dimana menandatangani surat

peryataan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian (informed

consent).
45

c. Pengumpulan data primer melalui pembagian kuesioner.

c. Tahap Terminasi

Setelah data dikumpulkan kemudian peneliti menyampaikan

kepada pihak Puskesmas Samudera Aceh Utara, bahwa peneliti telah

selesai dan untuk mendapatkan surat selesai melakukan penelitian.

Selanjutnya peneliti melakukan pengolahan data terhadap data yang

telah dikumpulkan.

3. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpulan data dalam

penelitian ini adalah kuesioner. Bentuk lembaran kuesioner dapat berupa

sejumlah pertanyaan tertulis, tujuannya untuk memperoleh informasi dari

responden tentang apa yang ia alami dan ketahuinya Siyanto dan Sodik

(2015).

Kuesioner yang digunakan oleh peneliti berdasarkan tinjauan

pustaka, yang terdiri dari tiga bagian :

a. Bagian A merupakan lembar kuesioner yang berisi tentang data

demografi responden yang meliputi : Inisial responden, umur,

pendidiklan, pekerjaan .

b. Bagian B merupakan lembaran kuesioner yang berisi mengenai lama

menderita diabetes mellitus

c. Bagian C merupakan lembaran kuesioner yang berisi mengenai

keputusasaan.
46

F. Pengolahan Dan Analisa Data

1. Pengolahan Data

Menurut Rinnaldi dan Mujianto (2017), data yang telah terkumpul

kemudian diolah dengan menggunakan aplikasi perangkat lunak yang

sesuai adapun cara pengolahan datanya adalah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan data (editing)

Editing dilakukan untuk memeriksa kelengkapan data yang telah

didapat dari hasil kuisioner.

b. Pemberian kode (coding)

Coding hasil kuisioner yang diperoleh diklasifikasikan menurut

jenisnya kedalam bentuk yang lebih ringkas setelah diberi skor atau

pemberian kode-kode tertentu sebelum diolah komputer melalui

aplikasi perangkat lunak.

c. Memasukkan data (data entry) atau processing

Entry proses memasukan data-data yang telah mengalami proses editing

dan coding kedalam alat pengolah data (computer) menggunakan

aplikasi perangkat lunak.

d. Pembersihan data (cleaning)

Cleaning membersihkan atau mengkoreksi data-data yang sudah

diklasifikasikan untuk memastikan bahwa data tersebut sudah baik dan

benar serta siap untuk dilakukan dianalisa data.


47

2. Analisa Data

a. Analisa Data Univariat

Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil

penelitian. Pada umunya dalam analisa ini hanya menghasilkan

distribusi dan presentasi dari tiap variabel (Notoadmodjo,2017).

Kemudian ditentukan presentasi (P) dengan menentukan rumus sebagai

berikut :

P = fi x 100%

Keterangan :

P = Persentase

fi = frekuensi teramati

n = jumlah responden yang menjadi sampel

b. Analisa Data Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara

lama menderita diabetes mellitus dengan keputuasasaan pada lansia

dengan kadar gula darah tidak terkontrol, untuk melihat hubungan

antara variabel independen dengan variabel dependen menggunakan uji

statistik chi square.

Pada tingkat kepercayaan 95%. Dengan tingkat kepercayaan

tersebut, maka apabila p-value < 0,05 maka hasil perhitungan statistik
48

bermakna dan bila p-value > 0,05 maka hasil perhitungan statistik tidak

bermakna.

Rumus Chi-Square :

(ƒ° − ƒ𝑒)
𝗑2 = ∑ f𝑒

Keterangan :

𝑥2 : Chi square

ƒ𝑜 : Frekuensi observasi

ƒ𝑒 : frekuensi yang diharapkan


49

KUESIONER

HUBUNGAN ANTARA LAMA MENDERITA DIABETES MELLITUS


DENGAN KEPUTUASASAAN PADA LANSIA DENGAN KADAR
GULA DARAH TIDAK TERKONTROL DI PUSKESMAS
SAMUDERA ACEH UTARA

1. Indentitas Responden

a. Inisial responden :

b. Umur :

c. pendidikan :

d. pekerjaan :

Petunjuk Pengisian:

Mohon dengan hormat bantuan dan kesediaan bapak/ibu/saudara untuk

menjawab seluruh pertanyaan yang ada. Semua keterangan dan jawaban yang

diperoleh semata-mata hanya untuk kepentingan penelitian dan dijamin

kerahasiaannya.

2. Variabel Independen Lama Menderita Diabetes Mellitus

Pertanyaan Dibawah 10 tahun Diatas 10 tahun

Berapa lama ibu bapak/ibu menderita

diabetes mellitus

3. Variabel Independen keputusasaan

No Pertanyaan Benar Salah


1 Saya memandang masa depan saya dengan penuh harapan dan
semangat
50

2 Saya mungkin sudah menyerah karena saya tidak dapat


berbuat sesuatu hal yang lebih baik bagi diri saya sendiri
3 Saat saya merasa tidak lagi memiliki harapan, saya yakin
bahwa kondisi tersebut tidak akan seperti ini selamanya
4 Saya tidak dapat membayangkan, akan seperti apa hidup saya
dalam 10 tahun kedepa
5 Saya memiliki cukup waktu untuk melakukan hal-hal yang
ingin saya lakukan
6 Di masa yang akan datang, saya berharap dapat sukses dengan
apa yang saya tekuni
7 Masa depan saya terlihat gelap bagi saya
8 Saya merasa beruntung, dan saya berharap dapat sukses
dengan apa yang saya tekuni
9 Saya tidak mendapatkan kesempatan untuk beristirahat, dan
tidak punya alasan untuk mendapatkan kesempatan itu di
masa yang akan datang
10 Pengalaman masa lalu saya telah dipersiapkan dengan baik
untuk masa depan
11 Semua yang akan terjadi di masa depan saya nampak lebih
banyak yang tidak menyenangkan daripada yang
menyenangkan
12 Saya tidak berharap bisa memperoleh apa benar - benar saya
inginkan
13 Jika saya memandang ke masa depan, saya berharap bisa lebih
bahagia daripada saat ini
14 Segala sesuatunya tidak berjalan sesuai dengan yang saya
inginkan
15 Saya memiliki keyakinan yang kuat tentang masa depan
16 Saya tidak pernah mendapatkan apa yang saya inginkan, jadi
merupakan suatu hal percuma bagi saya jika mengharapkan
51

sesuatu
17 Sangat tidak lazim bahwa saya akan mendapat kepuasan yang
nyata di masa depan
18 Masa depan terlihat samar dan tidak pasti bagi saya
19 Saya dapat menanti datangnya masa yang baik daripada masa
yang buruk
20 Tidak ada gunanya bersungguh-sungguh mencoba
mendapatkan segala yang saya inginkan, karena saya mungkin
tidak akan mendapatkannya.

Cara penilaian keputusasaan menggunakan kuesioner Beck Hopelesness Scale

(BHS) :

Nilai 0-3: Normal

Nilai 4-8: Menunjukkan keputusasaan ringan

Nilai 9-14: Menunjukkan keputusasaan sedang

Nilai 15-20: Menunjukkan keputusasaan berat

Anda mungkin juga menyukai