Anda di halaman 1dari 57

1

HUBUNGAN KEBIASAAN MAKAN DENGAN KEJADIAN


GASTRITIS PADA REMAJA DI SMA PGRI 1 DEPOK

Proposal Riset Ini Sebagai Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

OLEH:

ENDANG ROSALINA
08190100041

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU

JAKARTA

2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun sumber daya
manusia yang sehat, cerdas dan produktif. Keberhasilan pembangunan nasional suatu
bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas yaitu, sumber
daya manusia yang mempunyai fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang
prima disamping penggunaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat sehat
diawali dengan remaja yang sehat sebagai calon generasi penerus yang akan datang,
dimana pada masa remaja merupakan suatu fase perkembangan yang dinamis dalam
kehidupan seorang individu. Masa remaja merupakan masa peralihan dimana remaja mulai
mencari jati diri dan tertarik pada lawan jenisnya, hal ini membuat remaja cenderung
menjaga penampilannya, dengan salah satu cara yang dilakukan adalah kebiasaan makan
yang tidak sehat. Kebanyakan remaja lebih menyukai hal – hal yang bersifat instan dan
modern sesuai dengan perkembangan zaman saat ini.

Remaja lebih menyukai untuk mengkonsumsi makanan – makanan cepat saji dan makanan
yang tinggi kolesterol , serta makanan yang pedas dan asam seperti rujak, bakso, mie ayam
dan lainnya sangat disukai oleh remaja. Selain itu remaja juga beranggapan bahwa
makanan yang biasa mereka konsumsi tersebut lebih praktis, hemat waktu, hemat tenaga,
mudah dicari, mudah didapatkan dengan muculnya teknologi aplikasi zaman sekarang yang
menawarkan pesan antar makanan dengan cepat serta harga yang juga terjangkau. Padahal
tanpa disadari bahwa ternyata kebiasaan remaja yang seperti itu bisa menimbulkan berbagai
macam penyakit, salah satunya adalah penyakit gastritis.
2

Menurut WHO, (2010) angka kejadian gastritis didunia banyak terjadi, diantaranya Inggris
22%, China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35%, dan Prancis 29,5%. Di dunia insiden
gastritis sekitar 1,8 – 2,1 juta dari jumlah penduduk setiap tahun. (Depkes, 2011) Insiden
terjadinya gastritis di Asia Tenggara sekitar 583.635 dari jumlah penduduk setiap
tahunnya. Bahkan gastritis adalah penyakit terbesar di seluruh dunia dan bahkan
diperkirakan diderita lebih dari 1,7 milyar penduduk. Presentase dari angka kejadian
gastritis di Indonesia menurut (WHO, 2012) adalah 40,8%. Berdasarkan profil kesehatan di
Indonesia tahun (2011), gastritis merupakan salah satu penyakit dalam 10 penyakit
terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus (4,9%).

Menurut (Depkes RI, 2011) sekitar 60% penduduk Jakarta yang termasuk dalam usia
produktif sudah terkena gastritis. Berdasarkan data Dinas Kesehatan di Kota Depok ,
insiden terjadinya gastritis sekitar 3.726 kasus dari jumlah penduduk kota Depok pada
tahun (2015) dan meningkat sekitar 13.981 kasus pada tahun (2016). Tingginya angka
kejadian tersebut lantaran masih banyak masyarakat khususnya anak – anak muda yang
menganggap sepele keberadaan penyakit gastritis.

Masalah gastritis pada usia muda memang tidak terlalu diperhatikan. Keadaan inilah yang
menimbulkan gastritis muncul dan berkembang menjadi lebih buruk sehingga dapat
menyebabkan kekurangan gizi pada remaja. Kekurangan gizi juga akan berdampak kepada
pertumbuhan dan perkembangan prestasi pada remaja. Selain itu juga dapat mengakibatkan
turunnya ketahanan tubuh terhadap infeksi dan mudah untuk terserang penyakit, sehingga
dapat mengalami gastritis kronis. Adapun komplikasi dari gastritis adalah perdarahan,
perforasi gaster, peritonitis dan bahkan kematian.

Dari hasil observasi pendahuluan yang peneliti lakukan di SMA PGRI 1 Depok terhadap 10
orang siswa, terdapat 7 orang siswa sering jajan di kantin sekolah rata – rata siswa
memakan makanan yang pedas dan berbumbu seperti : mie goreng/rebus, bakso dengan
menambahkan cuka dan saos yang banyak kedalam makanan tersebut. Juga tampak siswa
yang hanya makan snack dan minum – minuman kaleng yang mengandung gas/soda. Serta

2
dari data buku kunjungan UKS di SMA PGRI 1 Depok, kasus gastritis pada bulan juli –
desember 2017 diperoleh sekitar 63 kasus.

Peneliti memilih para remaja karena pada umumnya Remaja memiliki gaya hidup yang
kurang sehat seperti kurang memperhatikan makanan yang dikonsumsi, kebiasaan makan,
maupun jenis makanan. Menyediakan variasi makanan juga sangat berpengaruh, karena
menyediakan variasi makanan yang kurang menarik dapat menimbulkan kebosanan,
sehingga mengurangi selera makan, dan lebih memilih makanan cepat saji. Maka dari itu
pentingnya pola hidup sehat dan melakukan kebiasaan yang baik sehingga remaja dapat
terhindar dari penyakit gastritis. Berdasarkan hal – hal yang telah peneliti jelaskan diatas
sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan kebiasaan makan
dengan Kejadian Gastritis pada Remaja di SMA PGRI 1 Depok”.

B. Perumusan Masalah
Presentase dari angka kejadian gastritis di Indonesia menurut (WHO, 2012) adalah
40,8%. Serta berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti terhadap
beberapa siswa di SMA PGRI 1 Depok yang sering telat makan, suka makan – makanan
pedas, dan mengkonsumsi makanan sembarangan. Para siswa lebih menyukai makan –
makanan siap saji (fast food). Kebiasaan makan yang tidak baik sangat mempengaruhi
terjadinya gastritis, tidak jarang kondisi seperti ini menimbulkan luka pada dinding
lambung. Dilihat dari data buku kunjungan UKS di SMA PGRI 1 Depok, kasus gastritis
pada bulan juli – desember 2017 diperoleh sekitar 63 kasus. Serta belum adanya
penelitian terkait gastritis di sekolah SMA PGRI 1 Depok. Berdasarkan data – data
tersebut peneliti ingin mengangkat masalah untuk meneliti mengenai “Adakah
Hubungan Kebiasan Makan dengan Kejadian Gastritis pada Remaja di SMA PGRI 1
Depok ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:

Untuk mengetahui Hubungan Kebiasaan Makan dengan Kejadian Gastritis pada Remaja
di SMA PGRI 1 Depok

Tujuan Khusus:

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengidentifikasi demografi (Usia dan Jenis kelamin) pada siswa di SMA
PGRI 1 Depok.
b. Untuk mengidentifikasi Kebiasaan Makan pada siswa di SMA PGRI 1 Depok.
c. Untuk mengidentifikasi kejadian Gastritis pada siswa di SMA PGRI 1 Depok.
d. Untuk mengidentifikasi Hubungan Kebiasaan Makan dengan kejadian Gastritis
pada siswa SMA PGRI 1 Depok.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti

Untuk menambah wawasan peneliti tentang hubungan kebiasaan makan dengan


kejadian gastritis dan sebagai dasar dalam membuat penelitian selanjutnya terkait
gastritis.

2. Bagi Institusi Keperawatan STIKes Jayakarta

Sebagai dasar untuk dilakukan penelitian lanjutan di kampus STIKes Jayakarta.

3. Bagi Institusi Pendidikan SMA PGRI 1 Depok

Dapat memberikan informasi kepada institusi pendidikan SMA PGRI 1 Depok


tentang kebiasaan makan dengan kejadian gastritis pada siswa SMA PGRI 1 Depok.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam ruang lingkup penelitian ini, penulis hanya membatasi pada kebiasaan makan
terhadap kejadian gastritis. Adapun tempat yang akan dilakukan penelitian tersebut di
SMA PGRI 1 Depok.
7

BAB II

TINJAUAN TEORI

1. Kebiasaan Makan
a. Definisi
Kebiasaan makan diartikan sebagai cara seseorang atau sekelompok orang
untuk memilih makanan dan mengkonsumsi sebagai reaksi terhadap
pengaruh – pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial (Suhardjo,
2005).
Sedangkan menurut Hudha, (2006) kebiasaan makan adalah cara atau
perilaku yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang dalam memilih,
menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari
berdasarkan faktor – faktor sosial, budaya dimana mereka hidup.

b. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Makan


Pola makan yang terbentuk sangat erat kaitannya dengan kebiasaan makan
seseorang. Secara umum faktor yang mempengaruhi terbentuknya kebiasaan
makan adalah faktor ekonomi, sosial budaya, agama, pendidikan dan
lingkungan, umur dan jenis kelamin (Sulistiyoningsih, 2011).
1) Faktor ekonomi
Faktor ekonomi yang cukup dominan dalam mempengaruhi konsumsi
pangan adalah pendapatan keluarga dan harga. Meningkatnya
pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan
kuantitas dan kualitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan
akan menyebabkan menurunnya daya beli pangan baik secara kualitas
maupun kuantitas.

7
Meningkatnya taraf hidup (kesejahteraan) masyarakat pengaruh promosi
melalui iklan, serta kemudahan informasi, dapat menyebabkan
9

gaya hidup dan timbulnya kebutuhan psikogenik baru dikalangan


masyarakat ekonomi menengah ke atas. Tingginya pendapatan yang
tidak diimbangi pengetahuan gizi yang cukup, akan menyebabkan
seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pemilihan makanan sehari –
hari. Sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan
terhadap pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi. Kecendrungan
untuk mengkonsumsi makanan impor, terutama jenis siap santap (fast
food). Seperti ayam goreng, pizza, hamburger, dan lain – lain, telah
meningkat tajam terutama dikalangan generasi muda dan kelompok
masyarakat ekonomi menengah ke atas.
2) Faktor sosial budaya
Pantangan dalam mengkonsumsi jenis makanan tertentu dapat
dipengaruhi oleh faktor budaya/kepercayaan. Pantangan yang didasari
oleh kepercayaan pada umumnya mengandung perlambang atau nasehat
yang dianggap baik ataupun tidak baik yang lambat laun akan menjadi
kebiasaan/adat. Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan
yang cukup besar untuk mempengaruhi seseorang dalam mempengaruhi
seseorang dalam memilih dan mengolah pangan yang akan dikonsumsi.
Kebudayaan menuntun orang dalam cara bertingkah laku dan memenuhi
kebutuhan dasar biologinya termasuk kebutuhan terhadap pangan.
Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa yang akan
dimakan, bagaimana pengolahan, persiapan, dan penyajian serta untuk
siapa dan dalam kondisi bagaimana pangan tersebut dikonsumsi.
Kebudayaan juga menentukan kapan seseorang boleh dan tidak boleh
mengonsumsi suatu makanan ( dikenal dengan istilah tabu), meskipun
tidak semua hal yang tabu masuk akal dan baik dari sisi kesehatan. Tidak
sedikit hal yang ditabukan merupakan hal yang baik jika ditinjau dari
kesehatan, salah satu contohnya adalah anak balita tabu mengonsumsi
ikan laut karena dikhawatirkan akan menyebabkan cacingan. Padahal

9
dari sisi kesehatan berlaku sebaliknya, mengkonsumsi ikan sangat baik
bagi balita karena memiliki kandungan protein yang sangat dibutuhkan
untuk pertumbuhan. Terdapat 3 kelompok anggota masyarakat yang
biasanya memiliki pantangan makanan tertentu yaitu balita, ibu hamil,
dan ibu menyusui.
3) Agama
Pantangan yang didasari Agama, khususnya Agama Islam disebut haram
dan individu yang melanggar mendapat hukum berdosa. Adanya
makanan terhadap makanan/minuman tertentu di sisi agama dikarenakan
makanan/minuman tersebut membahayakan jasmani dan rohani bagi
yang mengonsumsinya. Konsep halal da haram sangat mempengaruhi
pemilihan bahan makanan yang akan dikonsumsi.
4) Pendidikan
Pendidikan dalam hal ini biasanya dikaitkan dengan pengetahuan, akan
berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan pemenuhan
kebutuhan gizi. Salah satu contoh prinsip yang dimiliki seseorang
dengan pendidikan rendah biasanya adalah “yang penting
mengenyangkan”, sehingga porsi bahan makanan sumber karbohidrat
lebih banyak dibandingkan dengan kelompok bahana makanan lain.
Sebaliknya, sekelompok orang dengan pendidikan tinggi memiliki
kecenderungan memilih bahan makanan sumber protein dan akan
berusaha menyeimbangkan dengan kebutuhan gizi lain.
5) Lingkungan
Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan
perilaku makan. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan
keluarga, sekolah serta adanya promosi melalui media elektronik
maupun cetak. Kebiasaan makan dalam keluarga sangat berpengaruh
besar terhadap pola makan seseorang. Kesukaan seseorang terhadap
makanan terbentuk dari kebiasaan makan yang terdapat dalam keluarga.
Lingkungan sekolah, termasuk di dalamnya para guru, teman sebaya,
dan keberadaan tempat jajan sangat mempengaruhi terbentuknya pola
makan, khusunya bagi siswa sekolah. Anak – anak yang mendapatkan
informasi yang tepat tentang makanan sehat dari para gurunya dan
didukung oleh tersedianya kantin dan tempat jajan yang menjual
makanan yang sehat akan membentuk pola makan yang baik pada anak.
Sekolah diluar negeri menerapkan makan siang bersama di sekolah. Hal
ini akan membentuk pola makan yang positif pada anak, karena akan
memiliki kebiasaan makan yang teratur, memenuhi kebutuhan biologis
pencernaan dengan mengkonsumsi makanan bergizi, tidak hanya asal
kenyang dengan jajanan.
Keberadaan iklan/promosi makanan ataupun minuman melalui media
elektronik maupun cetak sangat besar pengaruhnya dalam membentuk
kebiasaan makan. Tidak sedikit orang tertarik untuk mengonsumsi atau
membeli jenis makanan tertentu setelah melihat promosinya melalui
iklan di televisi, sehingga masyarakat dapat memilih bahan makanan
yang diinginkan dengan tetap menerapkan prinsip gizi seimbang.
6) Faktor usia
Usia sangat berpengaruh terhadap penyakit gastritis, karena Masa remaja
adalah masa mencari identitas diri, adanya keinginan untuk dapat
diterima oleh teman sebaya dan mulai tertarik oleh lawan jenis
menyebabkan remaja sangat menjaga penampilan. Semua itu sangat
mempengaruhi kebiasaan makan remaja, termasuk pemeilihan bahan
makanan dan frekuensi makan. Remaja takut merasa gemuk sehingga
remaja menghindari sarapan dan makan siang atau hanya makan sehari
sekali (Baliwati, 2004).
7) Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah karakteristik remaja yang terdiri dari laki – laki dan
perempuan. Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan
gizi bagi seseorang. Pria lebih banyak membutuhkan kebutuhan zat
tenaga dan protein daripada wanita, karena secara kodrat pria diciptakan
untuk tampil lebih aktif dan lebih kuat dari pada wanita (Baliwati, 2004).
Kebutuhan energi pada remaja laki – laki sangat tinggi dibanding remaja
perempuan. Remaja laki – laki kemungkinan mengkonsumsi jumlah
yang cukup untuk hampir semua zat gizi, walaupun pilihan makanannya
bukanlah yang terbaik. Remaja perempuan kesulitan lebih banyak untuk
mendapatkan vitamin dan mineral yang cukup dalam selang kalori yang
dibutuhkan (Moore, 2005).

2. Remaja
a. Definisi
Istilah remaja atau adolesence berasal dari bahasa latin adolesscere (kata
bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang artinya “tumbuh” atau
“tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 2006). Remaja adalah periode
perkembangan dimana individu mengalami perubahan dari masa kanak –
kanak menuju masa dewasa, biasanya antara usia 13 dan 20 tahun
(potter&perry, 2005). Remaja berada dalam status interim sebagai akibat
dari posisi yang diberikan oleh orang tua dan masyarakat dan melalui
usahanya sendiri yang selanjutnya memberikan prestasi tertentu bagi dirinya
(Soetjiningsih, 2005). Masa peralihan dari yang sangat bergantung dengan
orang tua ke masa yang penuh tanggung jawab serta keharusan untuk
sanggup berdiri sendiri. Berdasarkan dari definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa remaja merupakan suatu periode dalam kehidupan manusia dimana
dapat menjadi sebuah titik awal sebagai sebuah usaha mencapai
kemandirian.
b. Pertumbuhan dan Perkembangan
Carlson (2008) membagi remaja menjadi 3 fase, yaitu :
1) Remaja awal (early adolesence) sebagai awal pubertas, terjadi
pematangan fisik dan perkembangan karakteristik seks primer dan
sekunder. Rentang usia 11 – 13 tahun pada perempuan dan 12 – 14 tahun
pada laki – laki.
2) Remaja pertengahan (middle adolesence), kira – kira 14 – 16 tahun pada
perempuan dan 15 – 17 tahun pada laki – laki, ditandai dengan usaha
mencapai kemandirian.
3) Remaja akhir (late adolesence), sekitar 19 tahun, relatif stabil dalam
hubungan dengan teman sebaya, akademik dan aktifitas waktu senggang,
dan tanggung jawab keuangan.
Selain Carlson (2008), ahli lain juga membagi masa remaja menjadi tiga
periode kehidupan diantaranya Kozier, Stanhope&Lancaster serta Wong.
Konzier (2006) membagi masa remaja menjadi remaja awal (12 – 13
tahun), remaja tengah (14 – 16 tahun), dan remaja akhir (17 – 20 tahun).
Sedangkan Stanhope&Lancaster membagi menjadi remaja awal (10 – 13
tahun), remaja tengah (14 – 16 tahun), remaja akhir (17 – 21 tahun).

c. Karakteristik Kebiasaan Makan Remaja


Menurut Sulistiyoningsih, (2011) Masa remaja adalah masa mencari
identitas diri, adanya keinginan untuk dapat diterima oleh teman sebaya dan
mulai tertarik oleh lawan jenis menyebabkan remaja sangat menjaga
penampilan. Semua itu sangat mempengaruhi kebiasaan makan remaja,
termasuk pemilihan bahan makanan dan frekuensi makan. Remaja takut
merasa gemuk sehingga remaja menghindari sarapan dan makan siang atau
hanya makan sehari sekali. Hal ini menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangan tubuh akan lambat. Berikut ini karakteristik kebiasaan makan
yang dimiliki remaja :
1) Kebiasaan tidak sarapan pagi
2) Gadis remaja sering terjebak dengan kebiasaan makan tak sehat,
menginginkan penurunan berat badan secara drastis, bahkan sampai
gangguan pola makan. Hal ini dikarenkan remaja memiliki body image
(citra diri) yang mengacu pada idola mereka yang biasanya adalah para
artis, pragawati, selebritis yang cenderung memiliki tubuh kurus, tinggi,
dan semampai.
3) Kebiasaan mengkonsumsi makanan yang rendah gizi (kurang kalori,
protein, vitamin dan mineral) seperti makanan ringan dan chips.
4) Kebiasaan mengkonnsumsi makanan siap saji (fast food) yang komposisi
gizinya tidak seimbang yaitu terlalu tinggi kandungan energinya, seperti
pasta, fried chicken, dan biasanya juga disertai dengan mengkonsumsi
minumanan bersoda yang berlebihan.

d. Dampak Masalah gizi pada Remaja


Menurut Sulistiyoningsih, (2011) Permasalahan gizi yang timbul pada masa
remaja dipicu oleh beberapa faktor, diantaranya adalah :
1) Kebiasaan makan yang buruk
Timbulnya kebiasaan makan yang buruk pada remaja bisa dikarenakan
kebiasaan makanan yang juga tidak baik yang tertanam sejak kecil.
2) Pemahaman gizi yang salah
Remaja sering memiliki pemahaman bahwa tubuh yang menjadi idaman
adalah tubuh yang langsing. Sehingga untuk mempertahankan
kelangsingannya remaja melakukan pengaturan makan yang salah.
3) Kesukaan yang berlebihan terhadap satu jenis makanan tertentu
Kesukaan yang berlebihan terhadap satu jenis makanan terlebih lagi jika
makanan tersebut sedikit kandungan gizi akan menyebabkan tidak
terpenuhinya kebutuhan gizi.
4) Promosi yang berlebihan di media massa tentang produk makanan
Usia remaja merupakan usia yang mudah tertarik dengan hal – hal baru,
termasuk produk makanan yang diiklankan, padahal makanan tersebut
belum tentu memiliki kandungan gizi yang baik.
5) Maraknya produk makanan impor
Jenis makanan siap saji seperti hotdog, hamburger, fried chicken, dan
frenchfries semakin banyak di pasaran. Secara nilai gizi makanan
tersebut tidak terlalu bagus karena memiliki kolesterol, lemak jenuh, dan
kadar natrium yang tinggi yang tentunya berakibat buruk bagi kesehatan.

Menurut Sulistiyoningsih, (2011) Beberapa masalah yang berkaitan dengan


gizi yang ditemukan pada remaja antara lain indeks masa tubuh kurang dari
batas normal atau sebaliknya, memiliki IMT yang berlebihan (obesitas), dan
anemia dan masalah yang berhubungan dengan gangguan perilaku makan
berupa anoreksia nervosa, dan bulimia.
1) Kurus
Menurut Susenas, (2003) Kurus merupakan masalah gizi yang
umumnya lebih banyak ditemukan pada remaja perempuan.
Seringkali remaja perempuan memiliki motto bahwa “kurus itu
indah” sehingga mereka sering melakukan diet tanpa pengawasan
dari dokter atau ahli gizi sehingga zat – zat gizi penting tidak dapat
dipenuhi. Remaja yang kurus penampilannya malah cenderung
kurang menarik, mudah letih dan resiko sakit pun tinggi. Selain itu
remaja yang kurus akan kurang mampu bekerja keras.
2) Obesitas
Menurut Sulistiyoningsih, (2011) Obesitas biasanya disebabkan
karena remaja tidak dapat mengontrol makanannya, makan dalam
jumlah berlebihan sehingga badannya melebihi ukuran normal. Pada
beberapa kasus obesitas terjadi karena binge eating disorder, yaitu
keadaan seseorang yang makan dalam jumlah yang besar secara terus
menerus dan cepat tanpa terkontrol. Setelah menyadari baru merasa
bersalah tapi jika keadaan binge datang lagi dia akan kembali
melakukannya tanpa sadar. Hal ini yang akhirnya akan menimbulkan
terjadinya depresi dan akhirnya akan menjadi obesitas. Remaja putri
yang melakukan diet untuk mengurangi berat badannya sejak dini
akan membawa resiko kegemuka pada saat mereka dewasa nanti.
Semakin keras mereka melakukan diet, semakin besar resiko
kegemukan yang akan dialami. Penelitian di luar negeri menunjukan
80% anak remaja yang obesitas cenderung menjadi dewasa yang
obesitas juga.
Penatalaksanaan yang bisa dilakukan untuk penderita obesitas ini
adalah mengembangkan diet yang sehat, olahraga secara bertahap,
dan untuk menderita obesitas yang luar biasa gemuk sehingga bisa
mengancam hidupnya dilakukan operasi untuk mengecilkan lambung
yang dinamakan gastroplasti atau prosedur penjepitan lambung.
Setelah operasi pasien hanya makan dengan sejumlah kecil makanan
saja sudah menjadi kenyang.
3) Anemia
Menurut Sulistiyoningsih, (2011) Masalah gizi lain yang banyak
terjadi pada remaja khususnya remaja perempuan adalah kurangnya
zat besi atau anemia. Anemia merupakan kelanjutan dampak dari
kurang zat gizi makro (karbohidrat, protein, dan lemak) dan kurang
zat makro (vitamin, mineral).
Dampak anemia pada remaja perempuan yaitu pertumbuhan
terhambat, tubuh pada masa pertumbuhan mudah terinfeksi,
mengakibatkan kebugaran/kesegaran tubuh berkurang, semangat
belajar/prestasi menurun, pada saat akan menjadi calon ibu maka
akan menjadi calon ibu yang beresiko tinggi untuk kehamilan dan
melahirkan. Dampak anemia pada ibu hamil diantaranya pendarahan
pada waktu melahirkan sehingga dapat menyebabkan kematian pada
ibu.
Masalah anemia pada remaja terutama remaja perempuan dapat
diatasi dengan suplementasi iron/zinc. Makanan sumber zat besi/zinc
yaitu sumber hewani seperti daging, produk laut dan sumber nabati
seperti kacang – kacangan. Adanya suplementasi besi/zinc pada
remaja perempuan diharapkan akan menjadi salah satu cara untuk
meningkatkan status gizi dan kesehatan pada remaja perempuan.
Selain itu juga diharapkan menjadi salah satu cara untuk
meningkatkan status gizi dan kesehatan calon ibu sehingga dapat
menurunkan kematian ibu melahirkan akibat perdarahan dan
menurunnya bayi lahir berat badan rendah.
4) Anoreksia Nervosa dan Bulimia
Anoreksia dan bulimia merupakan bentuk eating disorder yaitu
kelainan pola makan yang biasanya lebih sering terjadi pada
perempuan. Kelainan tersebut biasanya merupakan gangguan makan
yang menyiksa bahkan bisa dikatakan suatu bentuk penyiksaan
terhadap diri sendiri. Gangguan tersebut dihasilkan oleh ketakutan
bahwa tubuh akan menjadi gemuk setelah makan dan ketakutan
mental ini akan terpancar melalui penyiksaan fisik. Angka kejadian
anoreksia dan bulimia mengalami peningkatan selama dekade
terakhir. Sekitar 1 dari 100 remaja perempuan umur antara 16 sampai
18 tahun menderita anoreksia. Puncak angka kejadian anoreksia pada
remaja terjadi pada umur 14 tahun, dan remaja perempuan lebih
banyak mengalami gangguan makan dibandingkan dengan remaja
laki – laki dengan perbandingan 10:1 (Soedjiningsih, 2009).
Anoreksia nervosa adalah hilangnya nafsu makan atau terganggunya
pusat nafsu makan. Hal ini disebabkan oleh konsep yang terputar
balik mengenai penampilan tubuh sehingga penderita mempunyai
rasa takut yang berlebihan terhadap kegemukan. Karena
ketakutannya itu penderita Anoreksia nervosa melaku kan diet yang
sangat ketat sehingga berat badannya turun secara drastis dalam
waktu yang singkat. Kelainan ini juga bisa dikarenakan sakit seperti
demam, pilek, malaria, tipes, dan peradangan. Selain itu penyakit
muncul karena emosi, gelisah, dan kebingungan. Bila disebabkan
demam, pilek, dan penyakit lain biasanya bila sudah sembuh selera
makan kembali normal. Akibat berat badan yang turun jauh dibawah
batas normal, fungsi normal tubuh akan terganggu. Pertumbuhan
akan terhambat, rambut rontok, siklus haid terganggu, dan tubuh
mudah terserang penyakit, misalnya anemia, kekurangan vitamin,
dan penyakit infeksi.
Hal yang paling berbahaya adalah kelainan jantung serta kekurangan
cairan dan elektrolit (natrium, kalium, klorida). Jantung menjadi
semakin lemah dan memompa lebih sedikit darah ke seluruh tubuh
penderita bisa mengalami dehidrasi dan cenderung mengalami
pingsan. Darah menjadi asam dan kadar kalium dalam darah
berkurang. Bisa terjadi kematian mendadak yang kemungkinan
disebabkan irama jantung yang abnormal. Selain itu terjadi juga
perubahan hormonal yaitu berkurangnya kadar hormon estrogen dan
tiroid serta meningkatnya kadar hormon kortisol (Sediaoetama,
2004).
Penderita bulimia mempunyai ciri khas yang hampir sama dengan
penderita anoreksia, namun pada bulimia penderita lebih sulit
dideteksi karena berat tubuh mereka bisa saja melebihi batas normal,
di bawah batas normal atau bahkan normal. Ciri utamanya adalah
makan dalam jumlah yang banyak kemudian dimuntahkan kembali
atau mengkonsumsi obat pencahar dan obat diuretik untuk
memuntahkan kembali makanannya. Masalah kesehatan yang
muncul juga sama dengan anoreksia namun penderita bulimia
biasanya mengalami kerusakan email gigi karena terciptanya
produksi asam yang berlebihan ketika muntah. Bulimia dapat diikuti
dengan terjadinya anoreksia begitu pula sebaliknya. Berbeda dengan
korban kelaparan, penderita kelainan ini mampu menjaga kekuatan
dan kegiatan sehari – hari mendekati normal. Ia merasa tidak lapar
dan tidak cemas terhadap kondisinya. Penyakit ini menyebabkan
kematian pada 10% penderitanya.
Upaya penatalaksanaan anoreksia dan bulimia nervosa pada
umumnya terdiri dari 2 tahap pengobatan, yaitu mengembalikan
berat badan normal, serta terapi psikis yang sering dibarengi dengan
pemberian obat – obatan. Jika berat badan turun sangat cepat atau
sangat berat (sampai 20% dibawah berat badan normal) maka sangat
penting untuk mengembalikan berat badan karena bisa berakibat
fatal. Pengobatan awal biasanya dilakukan di Rumah Sakit dimana
penderita di dorong untuk makan. Kadang diberikan makan melalui
infus atau selang nasogastrik. Jika status gizinya sudah baik maka
mulai diterapi jangka panjang oleh ahli gizi. Jika ditemukan depresi
maka diberikan obat anti depesi.
5) Gastritis
Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung paling sering
diakibatkan oleh ketidakteraturan diet, misalnya makan terlalu
banyak dan cepat atau makan makanan yang terlalu berbumbu atau
terinfeksi oleh penyebab yang lain seperti alkohol, aspirin, refluks
empedu atau terapi radiasi (Brunner, 2000).

3. Gastritis
a. Definisi
Gastritis merupakan suatu peradangan dan perdarahan mukosa lambung
yang bersifat akut, kronik, difus atau lokal, dengan karakteristik anoreksia,
perasaan penuh di perut (begah), tidak nyaman pada epigastrium, mual, dan
muntah (Price & Wilson, 2006).
Gastritis adalah inflamasi mukosa lambung sering akibat diet yang
sembarangan. Biasanya individu ini makan terlalu banyak, terlalu cepat,
makan – makanan yang berbumbu atau mengandung mikroorganisme
penyebab penyakit (Smeltzer, 2005).

b. Etiologi
Menurut (Lusianah, 2010). Penyebab timbulnya gastritis diantaranya :
1) Komsumsi obat – obatan kimia digitalis (Asetamenofen/Aspirin, steroid
kortikosteroid). Asetamenofen dan kortikosteroid dapat mengakibatkan
iritasi pada mukosa lambung. NSAIDS (Non Steroid Anti Inflamasi
Drugs) dan kortikosteroid menghambat sintesisprostaglandin, sehingga
sekresi HCL meningkat dan menyebabkan suasana lambung menjadi
sangat asam dan menimbulkan iritasi mukosa lambung.
2) Konsumsi alkohol dapat menyebabkan kerusakan mukosa lambung.
3) Terapi radiasi, refluk empedu, zat – zat korosif (cuka dan lada) dapat
menyebabkan kerusakan mukosa gaster dan menimbulkan edema serta
pendarahan.
4) Kondisi stres atau tertekan (trauma, luka bakar, kemoterapi, dan
kerusakan susunan saraf pusat) merangsang peningkatan produksi HCL
lambung.
5) Infeksi oleh bakteri, seperti Helicobakter pylori, Esobericia Coli,
Salmonella, dan lain – lain.
6) Penggunaan antibiotik, terutama untuk infeksi paru, perlu dicurigai turut
mempengaruhi penularan kuman di komunitas, karena antibiotik tersebut
mampu mengeradikasi infeksi Helicobacter pylori, walaupun persentase
keberhasilannya sangat rendah.

c. Klasifikasi Gastritis
Menurut (Suratun, 2010) Klasifikasi gastritis Berdasarkan Tingkat
Keparahannya :
1) Gastritis Akut
Gastritis akut merupakan peradangan pada mukosa lambung yang
menyebabkan erosif dan pendarahan pada mukosa lambung setelah
terpapar oleh zat iritan. Gastritis disebut erosif apabila kerusakan yang
terjadi tidak lebih dalam dari pada mukosa muskularis. Erosinya juga
tidak mengenai lapisan otot lambung.
2) Gastritis Kronis
Gastritis kronis merupakan suatu peradangan bagian permukaan mukosa
lambung yang sifatnya menahun dan berulang. Peradangan tersebut
terjadi di bagian permukaan mukosa lambung dan berkepanjangan, yang
bisa disebabkan karena ulkus lambung jinak maupun ulkus lambung
ganas, bisa juga karena bakteri Helicobacter pylori. Gastritis ini dapat
pula terkait dengan atopi mukosa gastrik, sehingga menimbulkan HCL
menurun dan menimbulkan kondisi acblorbidria dan ulserasi peptic
(tukak pada saluran pencernaan).
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari gangguan ini cukup bervariasi, mulai dari keluhan
ringan hingga muncul pendarahan pada saluran cerna bagian atas. Pada
beberapa pasien, gangguan ini tidak menimbulkan gejala yang khas.
(Lusianah, 2010). Manifestasi gastritis akut dan kronis hampir sama. Seperti
di bawah ini :
1) Anoreksia
2) Nyeri pada epigastrium
3) Mual dan muntah
4) Perdarahan saluran cerna (Hematemesis Melena)
5) Anemia (tanda lebih lanjut)
6) Mengeluh nyeri ulu hati
7) Nausea

e. Patofisiologi
Obat – obatan, alkohol, garam empedu, zat iritan lainnya dapat merusak
mukosa lambung (gastritis erosif). Mukosa lambung berperan penting dalam
melindungi lambung dari autodigesti oleh HCI dan pepsin. Bila mukosa
lambung rusak maka terjadi difus HCI ke mukosa dan HCI akan merusak
mukosa. Kehadiran HCI di mukosa lambung menstimulasi perubahan
pepsinogen menjadi pepsin. Pepsin merangsang pelepasan histamin dari sel
mast. Histamin akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
sehingga terjadi perpindahan cairan dari intrasel ke ekstrasel dan
menyebabkan edema dan kerusakan kapiler sehingga timbul perdarahan
pada lambung. Biasanya lambung dapat melakukan regenerasi mukosa oleh
karena itu gangguan tersebut menghilang dengan sendirinya.
Namun bila lambung sering terpapar dengan zat iritan maka inflamasi akan
terjadi terus menerus. Jaringan yang meradang akan di isi oleh jaringan
fibrin sehingga lapisan mukosa lambung dapat hilang dan terjadi atropi sel
mukosa lambung. Faktor intrinsik yang dihasilkan oleh sel mukosa lambung
akan menurun atau hilang sehingga cobalamin (vitamin B12) tidak dapat
diserap di usus halus. Sementara vitamin B12 ini berperan penting dalam
pertumbuhan dan maturasi sel darah merah. Pada akhirnya klien gastritis
dapat mengalami anemia. Selain itu dinding lambung menipis rentan
terhadap perforasi lambung dan pendarahan (Lusianah, 2010).

f. Penatalaksanaan
1) Pengobatan pada gastritis meliputi :
a) Antikoagulan: bila ada pendarahan pada lambung
b) Antasida: pada gastritis yang parah, cairan dan elektrolit diberikan
intravena untuk mempertahankan keseimbangan cairan sampai gejala
– gejala mereda, untuk gastritis yang tidak parah dapat diobati
dengan antasida dan istirahat.
c) Histonin: ranitidin dapat diberikan untuk menghambat pembentukan
asam lambung dan kemudian menurunkan iritasi lambung.
d) Sulcralfate: diberikan untuk melindungi mukosa lambung dengan
cara menyeliputinya, untuk mencegah difusi kembali asam dan
pepsin yang menyebabkan iritasi.
e) Pembedahan: untuk mengangkat gangrene dan perforasi,
Gastrojejunuuskopi/reseksi lambung: mengatasi obstruksi pilorus.
(Dermawan, 2010).

2) Penatalaksanaan pada gastritis secara medis yaitu:


Pada klien yang mengalami mual dan muntah anjurkan pasien untuk
bedrest, status NPO (Nothing Peroral), pemberian antiemetik dan pasang
infuse untuk mempertahankan cairan tubuh klien. Pasien biasanya
sembuh spontan dalam beberapa hari. Bila muntah berlanjut perlu
dipertimbangkan pemasangan NGT (Naso Gastric Tube). Antasida
diberikan untuk mengatasi perasaan begah (penuh) dan tidak enak di
abdomen dan menetralisir asam lambung dengan meningkatkan pH
lambung sekitar 6. Antagonis H2 (seperti rantin atau ranitidine, simetidin)
dan inhibitor pompa proton (seperti omeprazole atau lansoprazole)
mampu menurunkan sekresi asam lambung. Antibiotik diberikan bila
dicurigai adanya infeksi oleh helicobacter pylori. Kombinasi dua atau
tiga antibiotik dapat diberikan untuk mengeradikasi helicobacter pylori
(seperti clarithromycin dan amoksisilin).
Bila telah terjadi perdarahan akibat erosi mukosa lambung maka perlu
dilakukan transfusi darah untuk mengganti cairan yang keluar dari tubuh
dan dilakukan lavage (bilas) lambung. Bila tidak dapat dikoreksi maka
pembedahan dapat menjadi alternatif. Pembedahan yang dapat dilakukan
pada klien gastritis adalah gastrectomi parsial, vagotomi atau
pyloroplasti. Injeksi intravena cobalamin dilakukan bila terdapat anemia
pernisiosa (Suratun, 2010).

3) Penatalaksanaan secara keperawatan Menurut (Amin Huda, 2015)


meliputi:
a) Hindari minuman alkohol karena dapat mengiritasi lambung
sehingga terjadi inflamasi dan perdarahan.
b) Hindari merokok karena dapat mengganggu lapisan dinding lambung
sehingga lambung lebih mudah mengalami gastritis dan tukak/ulkus.
Dan rokok dapat meningkatkan asam lambung dan memperlambat
penyembuhan tukak.
c) Atasi stress sebaik mungkin.
d) Makan makanan yang kaya akan buah dan sayur, namun hindari
sayur dan buah yang sifat asam (misal: jeruk, lemon, anggur, nanas,
tomat).
e) Jangan berbaring setelah makan untuk menghindari refluks (aliran
balik) asam lambung.
f) Berolahraga secara teratur untuk membantu mempercepat aliran
makanan melalui usus.
g) Bila perut mudah mengalami kembung (banyak gas) untuk sementara
waktu kurangi konsumsi makanan tinggi serat.
h) Makan dalam porsi sedang (tidak banyak) tetapi sering. Berupa
makanan lunak dan rendah lemak. Makanlah secara perlahan dan
rileks.

g. Komplikasi
1) Gastritis Akut
Komplikasi yang timbul pada gastritis akut adalah pendarahan saluran
cerna bagian atas (SCBA), berupa hematemesis dan melena, yang
berakhir dengan shock hemoragik. Apabila prosesnya hebat, sering juga
terjadi ulkus, namun jarang terjadi perforasi.
2) Gastritis Kronis
Komplikasi yang timbul pada kasus gastritis kronis adalah gangguan
penyerapan vitamin B12. Akibat kurangnya penyerapan vitamin B12 ini,
menyebabkan timbulnya ulkus, perforasi dan anemia (Suratun, 2010).

h. Faktor – faktor resiko gastritis


Menurut Brunner & Suddarth (2002) Faktor – faktor resiko yang sering
menyebabkan gastritis diantaranya :
1) Kebiasaan makan
Gastritis biasanya diawali oleh pola makan yang tidak teratur sehingga
asam lambung meningkat dan lambung menjadi sensitif. Pola makan
adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran macam dan
model bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari. Pola makan terdiri
dari kebiasaan makan dan jenis makanan. Dengan menu yang seimbang
akan membentuk kebiasaan makan yang baik dan teratur, sedangkan
kebiasaan makan – makanan pedas, asam, dan cepat saji akan
mengiritasi lambung yang akhirnya dapat menimbulkan penyakit maag.
Jadi dengan kebiasaan makan yang baik dan teratur, kita bisa terhindar
dari penyakit maag atau gastritis (Yuliarti, 2009).
2) Rokok
Akibat negatif dari rokok, sesungguhnya sudah mulai terasa pada waktu
orang baru mulai menghisap rokok. Dalam asap rokok diisap, terdapat
kurang lebih 300 macam bahan kimia, diantaranya acrolein, nikotin, asap
rokok, gas CO. Nikotin itulah yang menghalangi terjadinya rasa lapar.
Itu sebabnya seseorang menjadi tidak lapar karena merokok, sehingga
akan meningkatkan asam lambung dan dapat menyebabkan gastritis.
3) Kopi
Zat yang terkandung dalam kopi adalah kafein, kafein ternyata dapat
menimbulkan perangsangan terhadap sususan saraf pusat (otak), sistem
pernafasan, sistem pembuluh darah dan jantung. Oleh sebab itu tidak
heran setiap minum kopi dalam jumlah wajar (1 – 3 cangkir), tubuh kita
terasa segar, bergairah, daya pikir lebih cepat, tidak mudah lelah atau
mengantuk. Kafein dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat
sehingga dapat meningkatkan aktivitas lambung dan sekresi hormon
gastrin pada lambung dan pepsin. Sekresi asam yang meningkat dapat
menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa lambung sehingga
menjadi gastritis.
4) Helicobacter pylori
Helicobacter pylori adalah kuman gram negatif, basil yang berbentuk
kurva dan batang Helicobacter pylori adalah suatu bakteri yang
menyebabkan peradangan lapisan lambung yang kronis (gastritis) pada
manusia. Infeksi H.pylori ini sering diketahui sebagai penyebab utama
terjadi ulkus peptikum dan penyebab tersering terjadinya gastritis.
5) AINS (Anti Inflamasi Non Steroid)
Obat AINS adalah salah satu golongan obat besar yang secara kimia
heterogen menghambat aktifitas siklooksigenasi, menyebabkan
penurunan sintesis prostaglandin dan prekusor tromboksan dari asam
arakhidonat. Misalnya aspirinibuprofen dan naproxen yang dapat
menyebabkan peradangan pada lambung. Jika pemakaian obat – obatan
tersebut hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya masalah lambung.
6) Alkohol
Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung
dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung
walaupun pada kondisi normal. Berdasarkan penelitian, orang minum
alkohol 75gr (4 gelas/minggu) selama 6 bulan dapat menyebabkan
gastritis.
7) Terlambat makan
Secara alami lambung akan terus memproduksi asam lambung setiap
waktu dalam jumlah yang kecil, setelah 4 – 6 jam sesudah makan
biasanya kadar glukosa dalam darah telah banyak terserap dan terpakai
sehingga tubuh akan merasa lapar dan pada saat itu jumlah asam
lambung terstimulasi. Bila seseorang telat makan sampai 2 – 3 jam,
maka asam lambung yang diproduksi semakin banyak dan berlebih
sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung serta menimbulkan rasa
nyeri disekitar epigastrium (Sediaoetama, 2004).
8) Makanan pedas
Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang
sistem pencernaan, terutama lambung dan usus kontraksi. Hal ini akan
mengakibatkan rasa panas dan nyeri di ulu hati yang disertai dengan
mual dan muntah. Gejala tersebut membuat penderita semakin berkurang
berkurang nafsu makannya. Bila kebiasaan mengkonsumsi makanan
pedas ≥ 1x dalam 1 minggu selama minimal 6 bulan dibiarkan terus
menerus dapat menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut dengan
gastritis (Sediaoetama, 2004).
9) Usia
Usia tua memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita gastritis dibanding
dengan usia muda. Hal ini menunjukan dengan seiring bertambah usia
mukosa gaster cenderung menjadi tipis sehingga lebih cenderung
memiliki infeksi H.pylori atau gangguan autoimun dari pada orang yang
lebih muda. Sebaliknya, jika mengenai usia muda biasanya lebih
berhubungan dengan pola hidup yang tidak sehat (Soetjiningsih, 2005).
10) Stres psikis
Produksi asam lambung akan meningkat pada keadaan stres, misalnya
pada beban kerja berat, panik dan tergesa – gesa. Kadar asam lambung
yang meningkat dapat mengiritasi mukosa lambung dan jika hal itu
dibiarkan, lama – kelamaan akan menyebabkan terjadinya gastritis.
11) Stres fisik
Stres fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar, refluk
empedu atau infeksi berat dapat menyebabkan gastritis dan juga ulkus
dan pendarahan pada lambung.

i. Diet pada gastritis


Penyembuhan gastritis membutuhkan pengaturan makanan selain upaya
untuk memperbaiki kondisi pencernaan. Perlu diketahui bahwa kedua unsur
ini mempunyai hubungan yang erat. Pemberian diet untuk penderita gastritis
antara lain bertujuan untuk (Sediaoetama, 2004) :
1) Memberikan makanan yang adekuat dan tidak mengiritasi lambung.
2) Menghilangkan gejala penyakit.
3) Menetralisir asam lambung dan mengurangi produksi asam lambung.
4) Mempertahankan keseimbangan cairan.
5) Mengurangi gerakan peristaltik lambung.
6) Memperbaiki kebiasaan makan pagi.

Adapun petunjuk umum untuk diet pada penderitas gastritis antara lain :

1) Syarat diet penyakit gastritis


Makanan yang disajikan harus mudah dicerna dan tidak merangsang,
tetapi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi. Jumlah energi pun
harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Sebaliknya, asupan protein
harus cukup tinggi (20 – 25%) dari total jumlah energi yang biasa
diberikan), sedangkan lemak perlu dibatasi. Protein ini berperan dalam
menetralisir asam lambung, bila dipaksa menggunakan lemak, pilih jenis
lemak yang mengandung asam lemak tidak jenuh. Pemberian lemak dan
minyak perlu dipertimbangkan secara teliti. Lemak berlebihan dapat
menimbulkan rasa mual, rasa tidak enak di ulu hati dan muntah karena
tekanan dalam lambung meningkat.
Mengkonsumsi jenis makanan yang mengandung asam lemak tak jenuh
secara cukup merupakan pilihan yang tepat, sebab lemak jenis ini lebih
mudah dicerna. Porsi makanan yang diberikan dalam porsi kecil tapi
sering, hindari makan secara berlebihan. Demikian pula jumlah vitamin
dan mineral yang diberikan pun harus dalam jumlah cukup. Akan tetapi,
karena keterbatasan bahan makanan sumber vitamin dan mineral,
biasanya pasien diberikan vitamin dan mineral dan bentuk obat.
2) Kebutuhan zat gizi
Jumlah energi yang dikonsumsi harus disesuaikan dengan berat badan,
umur, jenis kelamin, aktivitas dan jenis penyakit. Kebutuhan energi bagi
pasien gangguan saluran pencernaan berdasarkan kelompok umur.
3) Jenis dan bentuk makanan
Pada penderita gastritis sebaiknya menghindari makanan yang bersifat
merangsang, diantaranya makanan berserat dan penghasil gas, maupun
banyak mengandung bumbu dan rempah. Selain itu, penderita juga harus
menghindari alkohol, kopi, dan minuman ringan. Dan perlu juga
memperhatikan tehnik memasaknya, direbus, dikukus dan dipanggang
adalah tehnik memasak yang dianjurkan, sebaliknya menggoreng bahan
makanan tidak dianjurkan.

j. Penelitian Terkait
1) Penelitian yang dilakukan oleh Suryani Hartati dkk dengan judul
“Hubungan perilaku makan dengan kejadian gastritis pada mahasiswa
AKPER Manggala Husada Jakarta” tahun 2013. Dari hasil penelitian,
bahwa data demografi seperti usia responden terbanyak adalah diatas 20
tahun sebanyak 106 orang atau sekitar (74,1%). Didapatkan jenis
kelamin terbanyak dari jumlah gastritis antara pria dan wanita, ternyata
jenis kelamin terbanyak mengenai gastritis adalah perempuan sebanyak
86 orang atau sekitar (60,1%).
2) Penelitian yang dilakukan oleh Syamsu dkk dengan judul “Hubungan
pola makan dengan kejadian gastritis pada remaja di Pondok Pesantren
Al-Munjiyah Durisawo Ponogoro”. Berdasarkan hasil penelitian
disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki pola makan
kurang baik yaitu sebanyak 52 responden (54.7%) dan sebagian besar
responden terjadi gastritis yaitu sebanyak 62 responden (65.3%).
3) Penelitian yang dilakukan oleh Bryan Kevin dkk dengan judul
“Hubungan kebiasaan makan dengan pencegahan gastritis pada siswa
kelas X di SMAN 1 Likupang”. Berdasarkan hasil penelitian
disimpulkan bahwa hasil penelitian di SMA Negeri 1 Likupang sesuai
dengan kenyataan bahwa siswa seringkali mengabaikan kebiasaan
makan yang baik dan tidak melakukan pencegahan gastritis sebagai
upaya menghindari terjadinya penyakit gastritis. Hal ini dibuktikan
dengan adanya siswa yang mengonsumsi makanan pedas asam dan
makan tidak tepat waktu. Dan ada juga yang minum-minuman bersoda,
kopi dan minuman beralkohol.
4) Penelitian yang dilakukan oleh Bagas Diatsa “Hubungan pola makan
dengan kejadian gastritis pada Remaja di Pondok Al-Hikmah, Trayon,
Karanggede, Boyolali” berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa
santri yang mempunyai pola makan yang buruk (66.7%). Santri yang
mempunyai kejadian gastritis yang tinggi (63.0%). Terdapat hubungan
bermakna antara pola makan dengan kejadian gastritis pada Santri
Pondok Pesantren Al-Hikmah Trayon, Karanggede, Boyolali.
k. Kerangka Teori
Kerangka Teori menurut Brunner & Suddarth (2002), Hudha (2006), dan
Soetjiningsih (2005).

Perkembangan Teknologi (Media Massa, Cetak/Elektronik)

Kebiasaan Makan Permasalahan Pola Makan pada Remaja

Memicu berbagai macam penyakit


Penatalaksanaan
(Kurang gizi, obesitas, anemia, gastritis) keperawatan
(Amin Huda, 2005) :
Gastritis
1. Hindari Alkohol
2. Hindari Rokok
3. Mengurangi stres
Faktor Resiko 4. Konsumsi buah
1. Kebiasaan makan dan sayuran
2. Rokok
3. Kopi
4. Helicobacter
phylori/bakteri
5. AINS
6. Alkohol
7. Terlambat makan
8. Pedas
9. Usia
10. Stres
BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Kerangka konsep penelitian yaitu kerangka hubungan antara konsep – konsep yang ingin
diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan. Tujuan dibuatnya kerangka
konsep yaitu agar penelitian ini lebih terarah dalam menganalisa hasil penelitian
(Notoatmodjo, 2012).

A. Kerangka Konsep

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Kebiasaan Makan

Terjadinya Gastritis
Faktor yang mempengaruhi :

1. Usia
2. Jenis kelamin

Keterangan :

Area yang diteliti


Dihubungkan

B. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Ha : Menyatakan ada hubungan antara kebiasaan makan dengan kejadian
gastritis
pada remaja di SMA PGRI 1 Depok.
Ho : Menyatakan tidak ada hubungan antara kebiasaan makan dengan
kejadian gastritis pada remaja di SMA PGRI 1 Depok.

C. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah unsur penelitian yang menjelaskan bagaimana
cara menentukan variabel dan mengukur suatu variabel (Setiadi, 2007 :165).
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
Kebiasaan Kebiasaan Kebiasaan Responden Dikategorikan : Ordinal
makan responden makan diukur mengisi 1. Kebiasaan
dalam menggunakkan kuesioner makan baik
mengkonsumsi skala penelitian jika skor ≥
makanan Guttman. yang terdiri 10.45
sehari-hari Jawaban benar dari 17 2. Kebiasaan
berdasarkan atau ya = skor pernyataan makan
keteraturan 1 dan salah kebiasaan kurang baik
makan dan atau tidak = 0 makan jika skor ≤
konsumsi 10.44
makanan
pedas, asam, Nilai mean =
panas. Terdistribusi
normal
Usia Usia adalah Data Kuesioner Data numerik Ordinal
rentang demografi penelitian 1. 16 tahun
kehidupan pada kuesioner didapatkan 2. 17 tahun
yang diukur penelitian dari data
dengan tahun. demografi
responden
pada point
ke-2
Jenis Adalah tanda Data Kuesioner 1. Laki - laki Nominal
kelamin biologis yang demografi penelitian 2. Perempuan
membedakan pada kuesioner didapatkan
manusia penelitian dari data
berdasarkan demografi
kelompok. responden
pada point
ke-3
Terjadinya Gastritis Terjadinya Responden 1. Dikatakan Ordinal
gastritis merupakan gastritis diukur mengisi tidak gastritis
suatu menggunakan kuesioner jika skor ≥
peradangan skala penelitian 5.01 (nilai
atau Guttman. dengan 8 mean)
perdarahan Jawaban benar pertanyaan 2. Dikatakan
pada mukosa atau ya = skor tentang gastritis jika
lambung 1 dan salah gastritis skor ≤ 5.00
dengan atau tidak = 0 (nilai mean)
karakteristik
anoreksia,
perasaan penuh
di perut
(begah), tidak
nyaman pada
epigastrium,
mual dan
muntah.
BAB IV

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai desain penelitian, tempat dan waktu
penelitian, populasi, sampel penelitian, instrument penelitian, etika penelitian,
validitas dan reliabilitas, prosedur penelitian dan pengolahan data serta analisa
data.

A. Desain Penelitian
Desain penelitian ini merupakan rancangan untuk mengarahkan penelitian
yang mengontrol faktor yang mungkin akan mempengaruhi validitas
penemuan (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini menggunakan desain deskriptif
analitik serta menggunakan pendekatan cross sectional. Pada penelitian ini
dimana seluruh variabel yang diamati, diukur pada saat bersamaan ketika
penelitian berlangsung. Penelitian ini menggunakan data primer untuk
mengetahui hubungan kebiasaan makan dengan gastritis pada remaja di SMA
PGRI 1 Depok tahun 2018. Dimana variabel bebas yaitu pola makan dan
variabel terikat yaitu terjadinya penyakit gastritis akan dikumpulkan dalam
waktu yang bersamaan.
Keuntungan metode cross sectional ini adalah kemudahan dalam melakukan
penelitian, sederhana, ekonomis dalam hal waktu dan hasilnya dapat diperoleh
dengan cepat. Penelitian ini dilakukan melalui tahap penyebaran kuesioner
kepada siswa di SMA PGRI 1 Depok.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi
Penelitian ini dilakukan di SMA PGRI 1 Depok, dan dilakukan kepada
siswa di SMA PGRI 1 Depok, Tahun 2018. Alasan peneliti memilih lokasi
penelitian di SMA PGRI 1 Depok karena SMA PGRI 1 Depok adalah
salah satu sekolah yang berkembang di Depok dengan angka kejadian
gastritis pada remaja cukup tinggi yaitu 63 kasus pada bulan Juli –
Desember 2017.
2. Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2018.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Menurut Notoatmodjo (2010), populasi adalah keseluruhan objek
penelitian atau objek yang diteliti, sedangkan Dahlan (2010)
mendefinisikan populasi sebagai semua elemen (individu, objek atau
subtansi) yang memenuhi kriteria yang diberikan secara umum. Jadi yang
dimaksud dengan populasi adalah seluruh objek yang akan diteliti.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X, XI SMA PGRI
1 Depok yang berjumlah 277 orang.

2. Sampel
Sampel mengikutsertakan kelompok orang tertentu, kejadian, perilaku,
atau elemen lain yang berhubungan dengan penelitian. Definisi sampel
adalah bagian dari populasi yang dipilih untuk menjadi subjek sebuah
penelitian. Peneliti menggunakan populasi remaja di SMA PGRI 1 Depok
dengan kriteria sebagai berikut :
Kriteria Inklusi
a. Siswa kelas X, XI SMA PGRI 1 Depok.
b. Hadir pada saat penyebaran kuesioner.
c. Bersedia menjadi responden dalam penelitian dan menyetujui
informed consent.

Dalam perhitungan jumlah sampel menggunakan rumus uji beda 2


proporsi (chi-square).

Perhitungan sampel menggunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi


yaitu:

n = (Z1-α / 2 √ 2 P (1 – P ) + Z1-β √ P1 ( 1 – P1 ) + P2 ( 1- P2 ) )²
(P1 - P2 )²

Sumber : Lemeshow. et al,. (1990)

Keterangan :

n = Besar sampel

P1 = Responden yang memiliki kebiasaan makan baik = (0,21) (Hartati &

Cahyaningsih, 2013)

P2 = Responden yang memiliki kebiasaan makan yang kurang baik =


(0,67)

(Hartati & Cahyaningsih, 2013)

P = Rata – rata P1 dan P2 (P1+P2)/2

Z1-α/2 = 1,96 (Derajat kemaknaan 95% (CI) selang kepercayaan dengan (α)
sebesar

5%)

Z1-β = 1,28 (kekuatan uji sebesar 90%)

Data yang dimasukkan adalah :

n = (1.96 / 2 √ 2 0.44 (1 – 0.44 ) + 1.28 √ 0.21 ( 1 – 0.21 ) + 0.67 ( 1- 0.67 ) )²


( 0,21 – 0.67 )²
Hasil dari perhitungan menggunakan sample size adalah 19 x 2 = 38.
Selanjutnya, Total sampel dilakukan secara acak stratifikasi (Stratified
random sampling) menggunakan Design effect yaitu total 38 x 2 = 76
responden.

Setelah dilakukan penghitungan, maka didapat n (sampel) = 76 responden.


Selanjutnya hasil sampel dikalikan 10% untuk mengantisipasi adanya
kemungkinan hilangnya data atau ketidaklengkapan pengisian kuesioner, 76 +
10% = 7,6 = 8. Maka total sampel dalam penelitian adalah 76 + 8 = 84
responden.

Pada penelitian ini metode pengambilan sampel dilakukan secara acak


stratifikasi (Stratified random sampling) yang dilakukan pada siswa kelas X
dan XI di SMA PGRI 1 Depok dengan membagi jumlah sampel 84 menjadi 2
yaitu dengan cara mengambil sampel pada kelas X sebanyak 42 orang dari 67
siswa dan kelas XI sebanyak 42 orang dari 142 siswa dengan cara pengocokan
atau dilakukan secara acak (random sampling) melalui absen masing – masing
kelas. Pelaksanaan pengambilan sampel dengan stratified, mula-mula kita
menetapkan unit-unit anggota populasi dalam bentuk strata yang didasarkan
pada karakteristik umum dari anggota-anggota populasi yang berbeda-beda.
Setiap unit yang mempunyai karakteristik umum yang sama, dikelompokkan
pada satu strata, kemudian dari masing-masing strata diambil sampel yang
mewakilinya. (Notoatmodjo, 2010).

D. Etika Penelitian
Penelitian ini menggunakan manusia sebagai subjek, tidak boleh bertentangan
dengan etika. Tujuan penelitian ini harus etis dalam arti hak responden harus
dilindungi. Pada penelitian ini, maka peneliti mendapat pengantar dari STIKes
Jayakarta PKP DKI Jakarta dengan menyerahkan surat kepada kepala sekolah
SMA PGRI 1 Depok, setelah mendapatkan persetujuan baru melakukan
penelitian dengan menekankan prinsip etika meliputi :
1. Menghormati Harkat dan Martabat Manusia (Respect for human dignity)
Lembar persetujuan penelitian (informed consent) diedarkan sebelum
penelitian dilaksanakan agar responden mengetahui maksud dan tujuan
peneliti, serta dampak yang akan terjadi selama dalam pengumpulan data.
Jika responden bersedia diteliti mereka harus menandatangani lembar
persetujuan tersebut, jika tidak peneliti harus menghargai hak-hak
responden.
2. Menghormati Privasi dan Kerahasian Subjek Penelitian (Respect for
privacy and confidentiality)
Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan
kebebasan individu dalam memberikan informasi, Setiap orang berhak
untuk tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Oleh
sebab itu, peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas
dan kerahasiaan identitas subjek. Peneliti cukup menggunakan coding
sebagai pengganti identitas responden.
3. Keadilan dan Inklusivitas/ Keterbukaan (Respect for justice and
inclusiveness)
Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan kejujuran,
keterbukaan, dan kehati-hatian. Untuk itu, lingkungan penelitian perlu
dikondisikan sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, yakni dengan
menjelaskan prosedur penelitian. Prinsip keadilan ini menjamin bahwa
semua subjek penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang
sama, tanpa membedakan jender, agama, etnis, dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2010).
4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing
harms and benefits).
Sebuah penelitian hendaknya memperoleh manfaat semaksimal mungkin
bagi masyarakat pada umumnya, dan subjek penelitian pada khusunya.
Peneliti hendaknya berusaha meminimalisasi dampak yang merugikan
bagi subjek. Oleh sebab itu, pelaksanaan penelitian harus dapat dicegah
atau paling tidak mengurangi rasa sakit, cedera, stress maupun kematian
subjek penelitian.

E. Uji Validitas dan Reliabilitas


1. Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat – tingkat
kevalidan suatu instrumen. Instrumen yang dapat dikatakan valid apabila
mampu mengukur apa yang diinginkan atau dapat mengungkapkan data
dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2014). Uji validitas
minimal dilakukan dengan 30 responden (Sugiyono, 2015). Untuk
kegiatan penelitian, responden uji kuesioner tidak di ikut sertakan.

Suatu pertanyaan dikatakan valid bila skor variabel tersebut berkolerasi


secara signifikan dengan skor totalnya (Hastono, 2011). jika pertanyaan
tidak valid, maka pertanyaan tersebut dibuang. Uji validitas pada penelitian
ini akan dilakukan di SMA Kasih Depok.

Teknik yang digunakan untuk mengetahui validitas kuesioner yaitu dengan


rumus “product moment” sebagai berikut:

N ∑ xy−( ∑ x ) . ( ∑ y )
R=
√¿¿¿

Sumber : Hastono, 2011

Keterangan:
R : koefisien item yang dicari
N : banyak subyek
X : skor objek pada item nomor 1
rxy : koefisien korelasi product momen
y : skor total subyek
Xy : skor pertanyaan nomor 1 dikalikan total skor

Keputusan uji :
a. Bila r hitung lebih besar dari r tabel maka Ho ditolak, artinya variabel
valid.
b. Bila r hitung lebih kecil dari r tabel maka Ho gagal ditolak, artinya
variabel tidak valid

Sebelum melakukan pengumpulan data untuk menghindari kesalahan


dalam kuisioner dan memperoleh data yang valid, terlebih dahulu kuisioner
diuji coba kepada 30 responden yang memiliki kriteria yang sama. Hal uji
coba kuisioner kemudian digunakan untuk mengetahui sejauh mana
kuisioner yang telah disusun memiliki validitas dan reabilitas.

Uji validitas pada penelitian ini dilakukan 2 kali. Pada pengujian yang
pertama dengan 18 pernyataan dan 8 pertanyaan, didapatkan hasil uji
validitas yaitu sebanyak 15 pernyataan serta 7 pertanyaan yang valid
karena nilai r hitung > dari nilai r tabel (0,361) dan 3 pernyataan serta 1
pertanyaan yang belum valid karena nilai r hitung < dari nilai r tabel
(0,361).
Pengujian validitas yang kedua yaitu pernyataan dan pertanyaan yang sudah
valid tidak di uji kembali, dilakukan pengujian validitas pada pernyataan
dan pertanyaan yang belum valid pada nomor 4, 9, 13, 26. Dan didapatkan
hasil uji validitas kedua yaitu sebanyak 25 pernyataan serta pertanyaan valid
dan 1 pertanyaan yang belum valid karena nilai r hitung < dari nilai r tabel
(0,361).
Hasil uji validitas yang digunakan oleh peneliti dari 26 pernyataan dan
pertanyaan, hanya 3 pertanyaan yang dinyatakan valid dengan nilai alpha
0,920, maka 1 pertanyaan yang tidak valid tersebut tidak dipakai dalam
pertanyaan kuesioner peneliti. Jumlah kuesioner sebanyak 25 butir
pertanyaan yang terdiri dari 17 pernyataan tentang kebiasaan makan dan 8
pertanyaan tentang kejadian gastritis.

2. Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti sejauh
mana hasil pengukuran tetap konsisten atau tetap asas (ajeg) bila
dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama,
dengan menggunakan alat ukur yang sama. Untuk itu sebelum digunakan
untuk penelitian harus dites (diuji coba) sekurang-kurangnya dua kali. Uji
coba tersebut kemudian diuji dengan tes menggunakan rumus korelasi
product moment (Notoatmodjo, 2010).

Untuk menguji reliabilitas adalah dengan menggunakan Alpha Cronbach.


Standar yang digunakan dalam menentukan reliabel atau tidaknya suatu
instrument penelitian umumnya adalah perbandingan dari nilai r hitung
diikuti dengan Alpha dengan r tabel pada taraf tingkat kepercayaan 95%
atau tingkat signifikan 5%. Tingkat reliabilitas dengan metode Alpha
Cronbach diukur berdasarkan skala alpha 0,1.
Alpha Tingkat Reliabilitas
0,00 s.d 0,20 Kurang reliabel
0,20 s.d 0,40 Agak reliabel
0,40 s.d 0,60 Cukup reliabel
0,60 s.d 0,80 Reliabel
0,80 s.d 1,00 Sangat reliabel

Tabel 4.1
Reliabilitas Berdasarkan Nilai Alpha

(Sugiyono, 2005)

Caranya adalah membanding r hasil dengan nilai konstans (0,06). Dalam


uji reliabilitas sebagai nilai r hasil adalah nilai alpha. Keuntungannya bila
r alpha > konstanta (0,06) maka pertanyaan tersebut reliabel. Rumus
koefesiens reliabelitas alpha-cronbach:

r=
Sumber: Sujarweni, (2014).
Keterangan:
r = Koefisien reliability instrument (Cronbach’s Alpha)
k = Banyaknya butir pertanyaan
 2b = total varian butir
2t = total varian

Setelah dilakukan uji kuesioner pada variabel kebiasaan makan dengan


kejadian gastritis diperoleh hasil Cronbach’s Alpha sebesar 0,920 yang
berarti pernyataan dan pertanyaan pada variabel ini reliabel.

F. Instrumen penelitian
Pada penelitian “Hubungan kebiasaan makan dengan kejadian Gastritis pada
Remaja di SMA PGRI 1 Depok”. Alat pengumpulan data yang digunakan
berupa kuesioner. Kuesioner ini diartikan sebagai daftar pertanyaan yang
sudah disusun dengan baik dan matang. Dimana responden tinggal
memberikan jawaban dengan memberikan tanda – tanda tertentu
(Notoadmodjo, 2010).

Dalam penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner dari


penelitian oleh Unun Maulidiyah (2006) “Hubungan antara stres dan
kebiasaan makan dengan terjadinya kekambuhan penyakit Gastritis,
Mojokerto”. Instrumen berisi pernyataan berupa data demografi responden
yang meliputi nama inisial, usia, jenis kelamin, pertanyaan tentang perilaku
merokok, konsumsi obat maag serta sumber informasi dan pernyataan tentang
kebiasaan makan dan pertanyaan tentang penyakit gastritis. Penggunaan
kuesioner sebagai alat pengumpulan data terbagi menjadi dua bagian (A dan
B). Bagian A adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data
demografi responden yang meliputi: nama inisial, usia, jenis kelamin, tanggal
pengisian, sumber informasi. Bagian B adalah alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data mengenai kebiasaan makan dengan penyakit gastritis.

Cara menjawabnya hanya dengan menceklist (√) dari setiap pernyataan yang
diberikan di lembar kuesioner. Skala pengukuran yang digunakan ini
menggunakan penelitian skala Guttman. Jika menggunakan skala Guttman
yaitu hanya ada dua jawaban yaitu ya atau tidak, benar atau salah (Sugiyono,
2015). Untuk pernyataan tentang kebiasaan makan, instrumen yang diberikan
sebanyak 17 pernyataan dengan 4 pernyataan positif yaitu nomor (2, 4, 5, 10)
dan jumlah pernyataan negatif sebanyak 13 pernyataan yaitu nomor (1, 3, 6, 7,
8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17). Untuk pertanyaan tentang gastritis, instrumen
yang diberikan sebanyak 10 pertanyaan dengan jumlah pertanyaan negatif
seluruhnya sebanyak 10 pertanyaan yaitu nomor (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,10).

G. Prosedur pengumpulan data


1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data primer. Data primer penelitian ini
diperoleh dari jawaban kuisioner yang sudah diisi oleh responden, namun
sebelum diberikan kuisioner responden telah diberikan informasi tentang
petunjuk atau gambaran dari isi kuisioner yang diberikan
2. Sumber Data
Sumber data diperoleh dari siswa SMA PGRI 1 Depok yang bersedia
dijadikan responden dan bersedia mengisi kuisioner yang diberikan oleh
peneliti.
3. Instrument Pengambilan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan berupa kuisioner. Kuisioner ini
diartikan sebagai daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik,
sudah matang, dimana responden tinggal memberikan jawaban dengan
memberikan tanda-tanda tertentu (Notoatmodjo, 2010). Kuisioner ini
berisi pertanyaan berupa data demografi responden yang meliputi nama
inisial, usia, jenis kelamin, pernyataan tentang kebiasaan makan dan
pertanyaan tentang penyakit gastritis.
4. Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data dapat menggunakan tiga cara yaitu pengamatan
(observasi), wawancara (interview) dan kuisioner tergantung dari
kebutuhan masing-masing peneliti. Pada penelitian ini dengan
menggunakan cara pengumpulan data kuisioner.
Kuisioner adalah suatu cara pengumpulan data atau suatu penelitian
mengenai suatu masalah yang umum dan banyak menyangkut orang
banyak. Kuisioner ini dilakukan dengan mengedarkan daftar pertanyaan
yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang, dimana responden
tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan tanda-tanda
tertentu (Notoatmodjo, 2010).
5. Prosedur Administrasi
a. Mengajukan pembuatan permohonan pengambilan data awal untuk
menyusun skripsi.
b. Mengajukan pembuatan surat ijin penelitian
c. Peneliti meminta izin kepada ketua jurusan S1 keperawatan STIKes
Jayakarta untuk melakukan penelitian kepada Siswa di SMA PGRI 1
Depok.
6. Prosedur Teknis dari penelitian
a. Mencari fenomena yang terjadi di SMA PGRI 1 Depok.
b. Mengolah materi dan data-data yang telah diperoleh untuk disusun
menjadi proposal
c. Menyusun proposal penelitian
d. Melakukan sidang proposal
e. Penelitian meminta jumlah data keseluruhan di SMA PGRI 1 Depok
f. Setelah peneliti mendapatkan jumlah siswa di SMA PGRI 1 Depok,
peneliti mendata secara mandiri untuk mengetahui jumlah siswi yang
bersekolah di SMA PGRI 1 Depok.
g. Peneliti melakukan uji kuesioner menggunakan Uji Validitas dan
Reliabilitas.
h. Setelah penelitian mendapatkan jumlah siswa SMA PGRI 1 Depok,
peneliti siap uji kuisioner kepada siswa SMA PGRI 1 Depok yang
telah tersaring dalam kriteria inklusi yang sudah ditentukan
sebelumnya.
i. Pengambilan sampel dengan cara mendatangi siswa SMA PGRI 1
Depok, kemudian memberikan kuisioner kepada siswa SMA PGRI 1
Depok yang telah ditetapkan sesuai dengan kriteria inklusi
j. Kemudian peneliti menjelaskan tujuan penelitian dan cara mengisi
kuesioner pada responden. Responden diminta untuk menandatangani
surat pernyataan mengenai kesediaannya menjadi responden dalam
kegiatan penelitian
k. Jika kuesioner sudah diisi, peneliti melihat kelengkapan dari kuesioner
untuk dilakukan analisa dan pengolaan data.
l. Data yang sudah lengkap kemudian dianalisa hasilnya lalu diolah
dengan menggunakan komputer
m. Membuat laporan skripsi
n. Melakukan sidang skripsi

H. Pengolahan Data

Data yang didapatkan harus diolah terlebih dahulu dengan tujuan mengubah
data menjadi informasi. Menurut Hidayat (2007), mengungkapkan dalam
proses pengolahan data terhadap langkah – langkah yang harus ditempuh,
diantaranya dapat digolongkan menjadi :
1. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau dikumpulkan dan dilakukan setelah data terkumpul. Pada
tahapan ini peneliti menghitung banyaknya kuesioner yang telah diisi,
kemudian dijumlahkan semuanya. Pada proses pengecekan tersebut
diperiksa apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah lengkap (semua
pertanyaan sudah terisi jawabannya), jelas ( jawaban pertanyaan apakah
tulisannya cukup jelas terbaca), relevan (jawaban yang tertulis apakah
relevan dengan pertanyaan), dan konsisten (apakah antara beberapa
pertanyaan yang berkaitan dengan isi jawabannya konsisten). Dan ternyata
semua responden telah memenuhi persyaratan maka dialnjutkan ke proses
pemberian kode.
2. Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap
data yang terdiri atas beberapa kategori. Coding juga merupakan kegiatan
merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka/bilangan
coding (Hastono, 2006). Pemberian kode dilakukan setelah semua data
telah dikumpulkan.
Koding atau pemberian kode ini sangat berguna dalam memasukkan data
(data entry). Pemberian kode ini dilakukan terhadap kuesioner A, B, dan
C.
Kuesioner A
a. Usia responden
 16 tahun = 1
 17 tahun = 2
b. Jenis kelamin
 Laki – laki = 1
 Perempuan = 2
c. Informasi tentang rokok
 Ya = 1
 Tidak = 2
 ≤ 6 bulan = 1
 ≥ 6 bulan = 2
 ≤ 4 batang = 1
 ≥ 4 batang = 2
d. Informasi konsumsi obat maag
 Ya = 1
 Tidak = 2
Kuesioner B
a. Pernyataan tentang kebiasaan makan
 Pernyataan positif
Benar = 1
Salah = 0
 Pernyataan negatif
Benar = 0
Salah = 1
Kuesioner C
a. Pertanyaan tentang kejadian gastritis
 Pertanyaan positif
Benar = 1
Salah = 0
 Pertanyaan negatif
Benar = 0
Salah = 1
3. Entry data
Data yang dikumpulkan kemudian dimasukan ke dalam program
pengolahan data dan kemudian membuat distribusi tentang variabel –
variabel yang diteliti meliputi umur, jenis kelamin, frekuensi makan, porsi
makanan dan jenis makanan.
4. Cleaning (pembersihan data)
Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali
data yang sudah dimasukan apakah ada kesalahan atau tidak (Hastono,
2006). Proses yang dilakukan setelah data masuk ke dalam komputer.
Data akan diperiksa apakah ada kesalahan atau tidak, jika terdapat data
yang salah, diperiksa oleh proses cleaning ini.
5. Tabulasi langsung
Sistem pengolahan data langsung yang dibatasi oleh kuesioner. Ini juga
metode paling sederhana bila dibandingkan dengan metode yang lain.
Tabulasi ini dilakukan dengan memasukkan data dari kuesioner ke dalam
kerangka tabel yang telah disiapkan, tanpa proses perantara yang lain.
Tabulasi langsung biasanya dilakukan dengan system tally yaitu cara
menghitung data menurut klasifikasi yang telah ditentukan. Cara lain
adalah kuesioner dikelompokkan menurut jawaban yang diberikan,
kemudian dihitung jumlahnya, lalu dimasukkan ke dalam tabel yang telah
dipersiapkan. Dengan cara ini kemungkinan salah karena lupa dapat
diatasi. Kelemahannya adalah pengaturannya menjadi rumit bila jumlah
klasifikasi dan sampelnya besar.
6. Komputer
Untuk mengolah data dengan komputer penulis terlebih dahulu perlu
menggunakan program tertentu, baik yang sudah tersedia maupun
program yang sudah dipersiapkan. Dengan menggunakan program
tersebut dapat dilakukan tabulasi sederhana, tebulasi silang, regresi,
korelasi, analisa faktor dan berbagai tes statistik.
Penyajian data :
a. Tulisan atau narasi, dibuat dalam bentuk narasi mulai dari
pengambilan data sampai kesimpulan.
b. Tabel atau daftar penyajian dalam bentuk angka yang disususn
dalam kolom dan baris dengan tujuan untuk menunjukkan
frekuensi kejadian dalam kategori yang berbeda.
J. Analisa Data

Data yang ada setelah dilakukan proses pengolahan setelah itu dilakukan
tehnik analisa data. Analisa data yang digunakan adalah uji statistik dengan
melalui 2 tahap yaitu analisis univariat dan bivariat. Analisa data dengan
univariat yang dilakukan pada setiap variabel hasil penelitian, dan analisa
bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan.
(Notoatmojo, 2010).
1. Analisa Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian, bentuk analisis univariat
tergantung dari jenis datanya. Untuk data numerik digunakan nilai mean
atau rata-rata, median, dan standar devisiasi. Dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel
(Notoatmodjo, 2010).
Data yang diperoleh akan ditampilkan dalam tabel, diagram pie, dan
diagram batang yang menggunakan persentase dengan menggunakan
rumus :

Analisis univariat ini menggunakan presentase dengan rumus sebagai


berikut:
f
P= X 100 %
n

Keterangan :
P = Persentase
f = Jumlah jawaban
n = Jumlah skor maksimal
2. Analisa Bivariat
Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi untuk mengetahui antara variabel
independen dan variabel dependen (Notoatmodjo, 2010). Jenis data pada
variabel independent dan variabel dependen pada penelitian ini adalah
kategorik, sehingga uji hipotesis dengan menggunakan chi square dengan
tingkat kemaknaan 5% atau 0,05 dengan rumus sebagai berikut :

X2 = Ʃ (O – E)²
E

Keterangan :
X2 = Nilai Chi-Square
O = Nilai observasi
E = Nilai Ekspektasi (harapan)
DF = (k-1) (b-1)
Keterangan :
DF = degree of freedom (derajat kebebasan)
B = jumlah baris
K = jumlah kolom

Keputusan yang diambil dari hasil uji Chi Square adalah :


a. Bila X2 hitung ≥ X2 tabel atau nilai p≤ α (0.5), tolak H0 : berarti data sampel
mendukung adanya hubungan yang bermakna (signifikan).
b. Bila X2 hitung ≤ X2 tabel atau nilai p ≥ α (0.5), gagal tolak H0 : berarti data
sampel tidak mendukung adanya hubungan yang bermakna (tidak
signifikan).
DAFTAR PUSTAKA

Baliwati (2004). Pengantar Pangan dan Gizi. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

Brunner & Suddarth. (2000). Keperawatan Medical Medah.(Edisi 8). Volume 1.


Jakarta : EGC.

Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8
volume 2. Jakarta : EGC.

Carlson. (2008). Physical Education and Academic Achievement in


Elementary School : Data From the Early Childhood Longitudinal Study
April 2008, Vol 98, No. 4 | American Journal of Public Health.

Dahlan, Sopiyudin. (2010). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Jakarta:
Salemba Medika.

Departemen Kesehatan RI, (2012), Profil Kesehatan RI Tahun 2011,


www.depkes.go.id.

Dermawan. (2010). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Gosyen.

Hartati & Cahyaningsih. (2016). Hubungan Perilaku Makan Dengan Kejadian


Gastritis Pada Mahasiswa Akper Manggala Husada Jakarta Tahun 2013.
Jurnal Keperawatan, 6(1).

Hidayat. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan teknik Analisa Data,.


Penerbit Salemba medika.
Huda, Amin. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC-NOC. Jakarta : Mediaction.

Hudha. (2006). Hubungan Pola Makan dan Aktifitas Fisik. Jakarta: Gramedia
Pustaka
Utama.

Hurlock, Elizabeth. (2006). Psikologi Perkembangan, Erlangga, Jakarta.

Kemenkes. Profil Kesehatan Indonesia (2011). www.depkes.go.id. 2011

Maulidiyah. (2006). Hubungan Antara Stres Dan Kebiasaan Makan Dengan


Terjadinya Kekambuhan Penyakit Gastritis: Studi Pada Penderita Gastritis
di Balai Pengobatan Dan Rumah Bersalin Mawaddah Kecamatan Ngoro
Kabupaten Mojokerto (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS
AIRLANGGA).

Mawey dkk. (2014). Hubungan Kebiasaan Makan Dengan Pencegahan Gastritis


Pada Siswa Kelas X Di Sma Negeri 1 Likupang. Jurnal Keperawatan, 2(2).

Moore, Frazier. (2005). Humas Membangun Citra Dengan Komunikasi. Bandung :


Rosdakarya.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT.


Rineka Cipta.

Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik.Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata Komalasari,dkk. Jakarta:EGC.
Price, Wilson. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih
Bahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC.

Sabri, Luknis dan Sutanto Priyo Hastono. (2006). Statistik Kesehatan. Jakarta : PT.
Raja Gravindo Persada.

Sediaoetama, Achmad. (2004). Ilmu Gizi untuk mahasiswa dan profesi. edisi
kelima. Jakarta: Dian Rakyat. hal. 1-244.

Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Smeltzer, Suzanne. (2005). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

Soetjiningsih. (2005). Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC.

Soetjiningsih. (2009). Bahan Ajar: Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya.


Jakarta: Sagung Seto.

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif


dan R&D). Penerbit CV. Alfabeta: Bandung.

Suhardjo. (2005). Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta : Bumi Aksara.

Sulistyoningsih. (2011). Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. PT Graha Ilmu
Yogyakarta.

Suratun dan Lusianah. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem


Gastrointestinal. TIM. Jakarta.

Wahyuni dkk. (2017). Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Gastritis Pada
Remaja. Global Health Science (GHS), 2(2).

WHO. (2010). World health statistics. (diakses tanggal 27 Maret 2014).


http://www.who.int/entity/whosis/wh ostat/EN_WHS10_Full.pdf?ua=1

Wong, Donna. (2006). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

Yektiningsih & Kurniyawan. (2017). Gambaran Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Kekambuhan Gastritis. Jurnal AKP, 5(2).

Yuliarti, Nurheti, (2009). The Vegetarian Way. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai