Anda di halaman 1dari 15

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Relevansi Metode

Penelitian dilakukan menggunakan desain non eksperimental atau

studi literatur bertujuan untuk melihat hubungan pola makan dengan kejadian

anemia pada remaja putri pada jurnal-jurnal terkait. Kelima artikel jurnal hasil

penelitian yang telah direview secara umum juga menggunakan desain

penelitian yang sama yaitu kuantitatif non eksperimental yaitu survey dan

observasional. Artikel yang digunakan seluruhnya publish pada rentang tahun

2016-2020.

Anemia adalah suatu kondisi ketika terdapat defisiensi ukuran/ jumlah

eritrosit atau kandungan hemoglobin. Anemia tidak pernah menjadi sebab

utama dari suatu penyakit. Biasanya anemia selalu menjadi akibat sampingan

dari keadaan etilogis atau suatu penyakit tertentu. Rendahnya kadar

hemoglobin dapat dilihat pada bagian dalam kelopak mata, yaitu kelopak

mata berwarna pucat. Semakin rendah kadar Hb maka anemia yang diderita

makin berat. Zat besi penting dalam pembentukan hemoglobin, suatu

komponen darah (Supariasa, 2011).

Salah satu penyebab terjadinya anemia adalah faktor pola makan. Pola

makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai


jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan

merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan

dapat diartikan suatu kebiasaan menetap dalam hubungan dengan konsumsi

makan yaitu berdasarkan jenis bahan makanan : makanan pokok, sumber

protein, sayur, buah, dan berdasarkan frekuensi: harian, mingguan, pernah,

dan tidak pernah sama sekali. Dalam hal pemilihan makanan dan waktu

makan manusia dipengaruhi oleh usia, selera pribadi, kebiasaan, budaya dan

sosial ekonomi (Almatsier, 2012).

Seperti kebiasaan sarapan pada remaja putri, sarapan atau makan pagi

penting dilakukan karena saat tidur selama kurang lebih 8 jam tubuh kita tidak

ada makanan yang masuk dalam tubuh sedangkan tubuh tetap melakukan

metablisme basal. Sedangkan pagi hari aktivitas fisik mulai berjalan seperti

perjalanan ke sekolah, berfikir atau perlunya kosentrasi agar dapat melakukan

kegiatan dengan baik. Semua memerlukan energi dan energi didapat dari

makanan yang disantap. Sarapan akan membuat tubuh mendapatkan asupan

lebih banyak vitamin A, D, E, zat besi dan kalsium dibandingkan dengan

mereka yang tidak sarapan.

Menurut hasil penelitian Dzul (2016) yang penelitiannya bertujuan

untuk mengetahui hubungan pola makan dengan kejadian anemia pada remaja

putri di SMA Negeri 2 Pringsewu Tahun 2016 menggunakan desain penelitian

surveu analitik dengan pendekatan cross sectional, menggunakan teknik


pengambilan sampel menggunakan total sampling, menunjukkan hasil dari

159 responden yang menyelesaikan penelitian, bahwa ada hubungan antara

pola makan dengan kejadian anemia pada remaja putri bahwa ada sebanyak

74 dari 83 orang (89,2%) remaja putri dengan pola makan tidak normal yang

mengalami anemia, sedangkan diantara remaja putri dengan pola makan

normal ada sebanyak 51 dari 76 orang (67,1%) mengalami anemia. Hasil uji

statistik chi square menunjukkan bahwa nilai p= 0,001 (p ≤0,05), maka dapat

disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan

kejadian anemia pada pada remaja putri di SMA Negeri 2 Pringsewu tahun

2016. Dengan nilai OR 4,031 (95% CI = 1,738-9,348), hal ini berarti bahwa

pola makan tidak normal akan meningkatkan risiko kejadian kejadian anemia

sebanyak 4 kali dibandingkan pola makan normal pada remaja putri di SMA

Negeri 2 Pringsewu tahun 2016.

Anemia kekurangan zat besi dapat menimbulkan berbagai dampak

pada remaja putri antara lain menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah

terkena penyakit, menurunnya aktivitas dan prestasi belajar. Remaja putri

yang menderita anemia kebugarannya juga akan menurun, sehingga

menghambat prestasi olahraga dan produktivitasnya. Masa remaja merupakan

masa pertumbuhan yang sangat cepat, kekurangan zat besi pada masa ini akan

mengakibatkan tidak tercapainya tinggi badan optimal (Arisman, 2014).


Ada tiga alasan mengapa remaja dikategorikan rentan. Pertama,

percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan zat

gizi yang lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan pangan

menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan,

keikutsertaan dalam olahraga, kecanduan alkohol dan obat, meningkatkan

kebutuhan energi dan zat gizi, di samping itu tidak sedikit remaja yang makan

secara berlebihan dan akhirnya mengalami obesitas. Konsekuensi fungsional

yang dapat timbul karena kurang zat besi, antara lain konsentrasi belajar

menurun, produktifitas kerja rendah dan ketahanan tubuh terhdap penyakit

infeksi menurun (Arisman, 2014).

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah pola makan yang tidak normal

pada remaja sebanyak 52,2% dan sisanya sebanyak 47,8% memiliki pola

makan normal. Sebagian besar remaja putri didiagnosis anemia (78,5%),

sedangkan sisanya tidak anemia (21,4%). Pola makan tidak normal akan

meningkatkan risiko kejadian kejadian anemia sebanyak 4 kali dibandingkan

pola makan normal pada remaja putri di SMA Negeri 2 Pringsewu tahun

2016.

Sejalan dengan hasil penelitian Sumy dkk (2020) yang bertujuan untuk

hubungan pola makan pada remaja dengan kejadian anemia pada siswi kelas

VII MTs Sunan kalijaga Kranding Mojo Kediri menggunakan desain

penelitian survey analitik, dengan pendekatan cross sectional, teknik


pengambilan sampel menggunakan stratified random sampling, dari 65

responden yang diteliti menunjukkan hasil analisis karakteristik responden,

berdasarkan kelas, sebagian besar responden penelitian berada pada kelas VII

F dan VII G yaitu sejumlah masing-masing kelas 16 responden (24,3%).

Kemudian untuk karakteristik responden berdasarkan umur didapatkan

hampir seluruh responden berada pada kelompok umur 13 tahun yang

berjumlah 46 responden (69,7%).

Hasil analisis menggunakan uji statistic Chi Square dengan taraf

kesalahan (α) sebesar 5% (0,05) maka diperoleh bahwa nilai p-value pada

kolom chi-square tidak memenuhi persyaratan karena masih terdapat nilai

expected count cell sebanyak 50% (kurang dari 5), sehingga digunakan uji

lanjut yaitu Fisher's Exact Test dengan perolehan nilai signifikan sebesar =

0,02 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa Ha diterima atau terdapat

hubungan antara pola makan dengan kejadian anemia pada remaja.

Kesimpulan yang diperoleh yaitu sebagian besar siswi kelas VII

memiliki pola makan kurang baik, sebagian besar siswi kelas VII tidak

mengalami anemia, terdapat hubungan antara pola makan pada remaja dengan

kejadian anemia pada siswi kelas VII MTs Sunan Kalijaga di Wilayah Kerja

Puskesmas Ngadi kabupaten Kediri, dengan tingkat keeratan hubungan sangat

rendah.
Zubir (2018) dalam penelitiannya bertujuan mengetahui hubungan

pola makan dengan anemia pada remaja putri di SMK Kesehatan Assyifa

School Banda Aceh menggunakan desain penelitian survey analitik dengan

pendekatan cross sectional, menggunakan teknik pengambilan sampel

stratified random sampling, menunjukkan hasil dari 65 responden anemia

pada remaja putri dalam penelitian ini adalah anemia sedang yang berjumlah

29 orang (44,6%). Pola makan remaja adalah tidak baik yang berjumlah 44

orang (67,7%). Diketahui bahwa dari 21 responden dengan pola makan baik

sebanyak 15 orang (71,4%) anemia pada remaja putri ringan, 5 orang (23,8%)

anemia pada remaja putri sedang dan 1 orang (4,8%) anemia berat.

Sedangkan dari 44 responden dengan pola makan tidak baik sebanyak 11

orang (25%) anemia pada remaja putri ringan, 24 orang (54,4%) anemia

sedangn dan 9 orang (20,5%) anemia berat. Setelah dilakukan uji statistik

maka diperoleh nilai P=0,004, artinya hipotesis diterima atau ada hubungan

antara pola makan dengan anemia pada remaja putri di SMK Kesehatan

Assyifa School Banda Aceh

Zubir (2018) menemukan pada saat penelitian dilakukan, terdapat

sebagian remaja putri di SMK Kesehatan Assyifa School Banda Aceh masih

mengalami anemia ringan, hal ini disebabkan karena pola makan remaja

biasanya berbeda dengan kelompok umur lainnya, pengalaman baru,

kegembiraan di sekolah, rasa takut kalau terlambat di sekolah, menyebabkan


para remaja sering menyimpang dari kebiasaan makan yang sudah

menyimpang dari kebiasaan waktu makan yang sudah diberikan pada mereka.

Selain itu kebiasaan remaja yang sering mengkonsumsi makanan siap saji

juga merupakan faktor terjadinya anemia, sehingga perlu dirubah pola tingkah

laku remaja dalam membeli jajanana.Masalah gizi pada remaja akan

berdampak negatif pada tingkat kesehatan, misalnya penurunan konsentarsi

belajar, resiko melahirkan bayi dengan BBLR, serta penurunan kesegaran

jasmani.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sulistyoningsih (2012) bahwa

pola makan adalah tingkah laku manusia atau sekelompok manusia dalam

memenuhi akan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan, dan pilihan

makanan. Sedangkan menurut Suhardjo (2012) pola makan diartikan sebagai

cara seseorang atau sekelompok orang untuk memilih makan atau

mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh fisiologis,

psikologis, budaya dan sosial. Pola makan didefinisikan sebagai karakteristik

dan kegiatan yang berulang kali dari individu dalam memenuhi kebutuhannya

akan makanan sehingga kebutuhan fisiologis, sosial dan emosionalnya dapat

terpenuhi.

Remaja putri mempunyai risiko yang lebih tinggi terkena anemia dari

pada remaja putra. Alasan pertama karena setiap bulan pada remaja putri

mengalami haid. Seorang wanita yang mengalami haid yang banyak selama
lebih dari lima hari dikhawatirkan akan kehilangan besi, sehingga

membutuhkan besi pengganti lebih banyak dari pada wanita yang haidnya

hanya tiga hari dan sedikit (Arisman, 2014).

Penyebab terjadinya perbedaan angka prevalensi kemungkinan karena

metode pemeriksaan kadar hemoglobin yang berbeda di dalam suatu

penelitian atau dapat disebabkan karena siklus menstruasinya yang tidak

teratur. Remaja putri pada umumnya memiliki karakteristik kebiasaan makan

tidak sehat. Antara lain kebiasaan tidak makan pagi, malas minum air putih,

diet tidak sehat karena ingin langsing (mengabaikan sumber protein,

karbohidrat, vitamin dan mineral), kebiasaan ngemil makanan rendah gizi dan

makan makanan siap saji. Sehingga remaja tidak mampu memenuhi

keanekaragaman zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuhnya untuk proses

sintesis pembentukan hemoglobin (Hb). Bila hal ini terjadi dalam jangka

waktu yang lama akan menyebabkan kadar Hb terus berkurang dan

menimbulkan anemia (Tarwoto danWasnidar, 2017).

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah jumlah

responden sebanyak 65 orang dengan aspek yang diteliti umur, pendidikan

dan pekerjaan, maka diperoleh hasil, ada hubungan antara pola makan dengan

anemia pada remaja putri di SMK Kesehatan Assyifa School Banda Aceh,

diperoleh nilai p value =0,004.


Ayu (2018) melalui penelitiannya yang bertujuan untuk mengetahui

pengaruh pola makan terhadap kejadian anemia pada mahasiswi yang tinggal

di kos-kosan menggunakan desain penelitin survey analitik dengan

pendekatan cross sectional, dan menggunakan teknik sampel purposive

sampling, menunjukkan hasil dari 100 responden, sebagian besar responden

berumur 19 tahun yaitu sebanyak 42 orang (42%) dan berumur 20 tahun yaitu

sebanyak 26 orang (26%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian

besar responden sudah mencukupi Pola Makan atas Angka Kecukupan Gizi

(AKG) yang telah ditentukan sebelumnya yaitu sebanyak 83 orang dan hanya

17 orang yang tidak mencukupi pola makannya atau AKG. 100 orang

responden yang diteliti dan diperiksa kadar hemoglobinnya diperoleh data,

bahwa sebanyak 39 orang yang mengalami anemia dan 61 orang yang tidak

mengalami anemia.

Mahasiswi tergolong dalam kelompok usia peralihan dari masa remaja

menjadi dewasa. Pola makan pada masa peralihan tersebut terkadang tidak

diperhatikan, sehingga tidak sedikit yang mengalami gangguan kesehatan,

salah satunya adalah anemia. Anemia pada mahasiswi atau remaja putri

seringkali disepelekan, sementara itu kelompok umur remaja putri beresiko

untuk menderita anemia. Hal ini dapat disebabkan karena pada priode tersebut

terjadi pertumbuhan pesat kedua setelah priode bayi, serta terjadinya


menstruasi.2 Secara nasional prevalensi anemia gizi pada kelompok usia

remaja (15-24 tahun) yaitu sebesar 18,4% (Kemenkes RI, 2013).

Hasil uji bivariat antara pola makan dengan kejadian anemia, diketahui

sebanyak 11 orang yang tidak mencukupi pola makannya dan mengalami

anemia, sebanyak 6 orang yang tidak mencukupi pola makannya tetapi tidak

mengalami anemia, selain itu sebanyak 28 orang yang mencukupi pola

makannya tetapi mengalami anemia, sedangkan sebanyak 55 orang yang

mencukupi pola makannya dan tidak mengalami anemia. Setelah diuji dengan

menggunakan uji chi-square diperoleh hasil OR sebesar 1,206 dengan nilai p

value sebsar 0,018. Hasil ini dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pola

makan dengan kejadian anemia pada mahasiswi Fikes UMPAR. Kemudian

dari hasil analisis diperoleh OR sebesar 1,206 artinya responden yang

mempunyai pola makan tidak cukup cenderung 1,206 kali lebih besar

mengalami anemia dibandingkan responden yang mempunyai pola makan

cukup.

Remaja putri dalam hal ini mahasiswi merupakan kelompok yang

rawat menderita anemia. Anemia pada mahasiswi akan berdampak pada

penurunan konsentrasi belajar, penurunan kesegaran jasmani dan gangguan

pertumbuhan hingga perubahan siklus menstruasi. Beberapa faktor yang dapat

menyebabkan terjadinya anemia antara lain yaitu perdarahan karena haid,

penyakit infeksi, penyakit kronik, aktifitas fisik dan paling umum adalah
karena ketidakcukupan asupan zat besi di dalam tubuh (Masthalina & Laraeni,

2015).

Pola makan berpengaruh terhadap kejadian anemia karena banyak

mahasiswi yang tidak teratur pola makannya, kurang mengkonsumsi protein,

suka mengkonsumsi fast food dan junk food, sering mengkonsumsi minuman

teh kemasan, serta aktifitas kampus yang padat sehingga membuat mereka

sulit untuk menyiapkan makanan yang bergizi. Diketahui bersama bahwa

pada umumnya remaja putri memiliki karakteristik kebiasaan makan tidak

sehat. Antara lain kebiasaan tidak makan pagi, malas minum air putih, diet

tidak sehat karena ingin langsing (mengabaikan sumber protein, karbohidrat,

vitamin dan mineral), kebiasaan mengemil makanan rendah gizi dan makanan

siap saji. Sehingga remaja tidak mampu memenuhi keanekaragaman zat

makanan yang dibutuhkan oleh tubuhnya untuk proses sintesis pembentukan

hemoglobin (Hb) (Suryani dkk, 2018).

Faktor lain yang dapat menyebabkan pola makan mahasiswa adalah

waktu makan siang yang sangat terbatas, jadwal kuliah yang padat dan jam

kuliah kosong karena dosen tidak datang. Selain itu tinggal di indekost juga

berpengaruh karena mereka harus mempersiapkan makan sendiri, terlambat

makan atau diluar jadwal kebiasaan karena waktu yang terbatas, dan harus

memperhitungkan uang yang mereka punya. Pilihan lainnya adalah membeli

makanan di warung atau penjaja makanan (2013).


Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah prevalensi

anemia pada mahasiswi Fikes UM Parepare sebesar 39% dan pola makan

yang tidak mencukupi sebesar 17%. Terdapat pengaruh pola makan dengan

kejadian anemia pada mahasiswi p value 0,018 dan responden yang

mempunyai pola makan tidak cukup cenderung 1,206 kali lebih besar

mengalami anemia dibandingkan responden yang mempunyai pola makan

cukup. Mengingat masih tingginya prevalensi anemia pada mahasiswi Fikes

UM Parepare, diharapkan untuk merubah pola makan yang baik dan teratur

dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung protein baik nabati

maupun hewani. Selain itu mengurangi mengkonsumsi junk food dan fast

food, serta mengurangi mengkonsumsi teh kemasan.

Penelitian Deepak dkk (2017) bertujuan untuk korelasi kebiasaan diet

dengan anemia di kalangan remaja putri menggunakan desain penelitian

survey analitik dengan pendekatan case control, menggunakan teknik sampel

purposive sampling. Dari 300 responden hasil penelitian menunjukkan bahwa

untuk korelasi yang lebih baik dari data jumlah total partisipan dalam

penelitian dibagi menjadi 3 sub-kelompok remaja awal (10 sampai 12 tahun),

remaja pertengahan (13 sampai 15 tahun) dan remaja akhir (16 sampai 19

tahun). Setiap sub kelompok ada 100 orang.

Kebiasaan makan yang sering dari 300 anak perempuan yang

berpartisipasi. Dari 32% ini sering minum teh/ kopi setelah makan, 36%
sering mengonsumsi jus buah/ buah, 39% sering makan sayuran berdaun hijau

dan yang mengejutkan 78% memiliki kebiasaan sering mengonsumsi junk

food.

Di antara 300 peserta, 246 (82%) menderita anemia, 102 (34%) anak

perempuan mengalami Anemia Ringan (Hb: 9-12gm%), 91 (30,3%)

mengalami anemia sedang (Hb: 6-9gm%) dan 53 (17,6%). %) adalah Anemia

berat (Hb <6gm%) Pada kelompok remaja awal dan akhir kasus anemia

ringan sering terjadi, sedangkan pada remaja pertengahan anemia sedang

diamati secara umum. Tingkat keparahan anemia secara bertahap meningkat

dari kelompok remaja awal hingga akhir.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah remaja putri berisiko lebih

tinggi mengalami anemia. Anemia ringan (34%) ditemukan lebih umum

daripada bentuk anemia lainnya. Tingkat keparahan anemia ditemukan

meningkat secara bertahap dari kelompok remaja awal hingga akhir. Anemia

tercatat pada 82% meskipun mayoritas (91,7%) anak perempuan memiliki

BMI normal. Anemia lebih sering terjadi pada vegetarian daripada non-

vegetarian dan di antara vegetarian lebih umum dengan pola makan berbasis

nasi ('r' = 0.871). Ada peningkatan asosiasi pada konsumsi teh dan kopi

setelah makan (‘r '= 0,892). Maksimal perempuan (78%) berada dalam

kebiasaan sering mengonsumsi junk food. Penelitian menunjukkan bahwa


85,83% remaja putri (200/233) yang sering mengonsumsi junk food

mengalami anemia (‘r’ = 0,917).

B. Keterbatasan

Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu untuk teknik pengambilan

sampel pada masing-masing jurnal masih berbeda sehingga masih

memungkinkan terjadinya bias dalam membahas hasil kesimpulan

keseluruhan review artikel.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil review melalui 5 artikel terkait, sebagian besar hasil penelitian

menunjukkan responden ada hubungan pola makan dengan kejadian anemia pada

remaja putri. Perbedaan dari masing-masing jurnal yaitu dari teknik pengambilan

sampel, dan indikator pertanyaan dalam kuesioner antara satu jurnal dengan

lainnya berbeda. Sedangkan persamaan dari kelima jurnal yaitu dari segi jenis

penelitian, metode penelitian, analisis data, responden penelitian yaitu remaja,

dan inttrumen penelitian (berupa kuesioner).

B. Saran

Pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan memasukkan kuesioner

pola makan yang lebih spesifik menggunakan food recall agar hasil penelitian dan

apa yang dikonsumsi oleh responden secara detail dan mengurangi bias

penelitian.

Anda mungkin juga menyukai