Pendahuluan
Akibat pandemi, berbagai sektor kehidupan manusia menjadi terkendala, mulai dari sektor
kesehatan, sosial, hingga ekonomi. Indonesia bahkan menjadi salah satu negara yang
mengalami dampak paling besar dari pandemi dan angka penderitanya masih tergolong
tinggi dibanding negara lainnya. Data World Health Organization (WHO) per 13 Mei 2021
menunjukkan angka total kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 1.728.204 orang atau
peringkat ke-18 di dunia. Untuk mengatasi pandemi yang disebabkan oleh virus COVID-19
pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan juga penyebaran vaksin dalam
Meski demikian, usaha pemerintah tersebut dianggap belum cukup untuk memulihkan
ekonomi, terutama bagi para pelaku usaha yang bergerak di wilayah usaha mikro, kecil, dan
menengah atau UMKM. Usaha yang digolongkan sebagai UMKM secara umum adalah usaha
produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan atau badan usaha yang
bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,
atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Besar dengan kisaran
kekayaan bersih antara 50 juta hingga 10 miliar atau hasil penjualan sekitar Rp 300 juta
sampai Rp 50 miliar setahun. Keberadaan UMKM ini sangat dominan di Indonesia. Data
Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa pada 2018 terdapat 64.194.057
UMKM yang ada di Indonesia atau sekitar 99 persen dari total unit usaha. UMKM tersebut
mempekerjakan 116.978.631 tenaga kerja atau sekitar 97 persen dari total tenaga kerja di
ini, berdasarkan data tahun 2018, menyumbang 61,1 persen dari total PDB nasional.
LPEM FEB UI tahun 2020 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 88 persen UMKM mengalami
penurunan permintaan (demand) sebesar 40%-60%. Dampak perubahan margin profit pada
UMKM secara keseluruhan dilaporkan mencapai sekitar 30%. Sebanyak 30% responden
mengalami penurunan sebesar 40%-60% dan 28% lainnya sebesar 20%-40% pada tahun
2020. Mayoritas usaha menengah mengalami penurunan margin profit tertinggi yaitu 40%
hingga 80%, sedangkan usaha mikro dan kecil sebagian besar mengalami menurunan
sebesar 20%-50%. Mayoritas UMKM pada penelitian ini (56%) dilaporkan melakukan
pengurangan jumlah karyawan sebesar 20%-60%, bahkan 22% UMKM memilih menutup
usaha sebagai strategi jangka pendek dalam menghadapi pandemi. Melemahnya UMKM
berdampak pada turunnya kinerja ekonomi Indonesia sejak triwulan I tahun 2020, yang
tercermin dari laju pertumbuhan ekonomi triwulan I tahun 2020 yang hanya mencapai 2,97
persen dan kembali menurun signifikan pada triwulan II tahun 2020 yang tumbuh minus
5,32 persen., Hingga penelitian ini ditulis pada awal tahun 2021, jumlah UMKM yang
Hasil survei dampak Covid-19 terhadap pelaku usaha oleh Badan Pusat Statistik terhadap
34.559 UMKM di Indonesia secara umum menunjukan bahwa 4 dari 6 badan usaha berhenti
beroperasi akibat pandemi. Provinsi Bali, DI Yogyakarta, Banten, dan DKI Jakarta adalah
empat provinsi yang pelaku usahanya paling terdampak oleh pandemi berdasarkan
persentase perusahaan yang mengalami penurunan pendapatan dengan tiga sektor usaha
tertinggi yaitu akomodasi dan makan minum (92,47%), jasa lainnya (90,90%), serta
Covid-19 dominan dialami oleh perusahaan pada sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum (87%), Transportasi dan Pergudangan (85%), dan Jasa Lainnya (85%).
Banyaknya UMKM, khususnya di bidang industri kreatif yang terdampak Covid-19 ini
membuat para pelaku harus membuat langkah-langkah yang lebih adaptif agar bisnisnya
mampu bertahan. Salah satu langkah yang mungkin dilakukan adalah perbaikan di sisi
komunikasi bisnis. Model komunikasi bisnis yang dibangun UMKM di masa pandemi ini
terutama terkait model transaksi yang berpindah dari luar jaringan atau luring (offline) ke
dalam jaringan atau daring (online). Perubahan perilaku ini tidak hanya mensyaratkan
pengadaan teknologi baru, tetapi juga pemahaman terkait literasi digital dari para pelaku
UMKM, baik secara eksternal maupun internal. Artinya, hal yang bertransformasi tidak
hanya sekadar dari aspek fasilitas dan juga tampilan, tetapi juga aspek manajemen,
Penelitian ini akan mengkaji serta menganalisa sejumlah UMKM di Jawa Barat yang bergerak
di bidang industri kreatif dalam melakukan adaptasi terkait kondisi pandemi di Indonesia
terutama dari sisi komunikasi bisnis. Berdasarkan penelitian atas sejumlah UMKM tersebut,
kemudian akan dirumuskan sekaligus digagas model komunikasi bisnis yang lebih
komprehensif untuk diterapkan pada berbagai UMKM lainnya sebagai bagian dari solusi
dalam berbisnis di era pandemi. Pertanyaan penelitian akan diurai dalam empat poin
berikut ini:
1. Bagaimana upaya UKM dalam menghadapi perubahan lingkungan bisnis pada saat
pandemi COVID-19?
2. Bagaimana model bisnis yang dilakukan UMKM di Jawa Barat pada saat pandemi
3. Bagaimana proses komunikasi bisnis yang dilakukan UMKM di Jawa Barat dalam
Jawa Barat?
Tinjauan Pustaka
Komunikasi Bisnis
Komunikasi bisnis adalah komunikasi yang ditujukan untuk sasaran paling fundamental
Meskipun memiliki perbedaan dengan jenis komunikasi lain di dalam perusahaan seperti
dalam pembahasan mengenai komunikasi bisnis. Sebagai contoh, komunikasi bisnis juga
membangun tim yang solid dan efektif, berinteraksi secara interpersonal, melakukan riset
pasar, menjalankan promosi, memilih media sebagai jembatan dengan konsumen, dan
Namun secara umum, pembahasan mengenai komunikasi bisnis pada dasarnya adalah
pembahasan mengenai konsep komunikasi itu sendiri. Hanya saja, ruang lingkupnya
kemudian lebih dititikberatkan pada konteks bisnis. Maka itu, melalui pemaparan tentang
empat fungsi komunikasi di dalam manajemen dan organisasi berikut ini, tujuan-tujuan di
dalam bisnis juga dapat ikut tercapai. Empat fungsi komunikasi tersebut adalah sebagai
berikut: (1) Kejelasan tujuan (clarity of purpose), yaitu bagaimana bisnis dapat menentukan
pencapaian dan prioritas yang dapat dimengerti oleh siapapun yang bekerja di dalamnya;
(2) saling percaya antara satu dengan yang lainnya di berbagai tingkatan (trusting interfaces
between people at all levels), dibangun antara pimpinan dan bawahan, manajer dan
berbagai laporan yang masuk, pekerja dengan sesama pekerja lainnya, ataupun perusahaan
dan pelanggan serta distributor; (3) penyebaran informasi yang efektif (effective sharing of
information), yaitu ketika sistem dan juga jaringan memungkinkan orang untuk
mendapatkan informasi dan waktu yang tepat untuk melakukan tugasnya; berbagi opini dan
mendiskusikan ide; dan belajar dari satu sama lain; (4) komunikasi dari pihak manajemen
antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan, baik secara formal maupun informal,
akan membuat mereka dipandang oleh bawahannya sebagai model yang ideal dalam
berkomunikasi.
Pemaparan tentang empat butir fungsi komunikasi di dalam manajemen dan organisasi di
atas, menunjukkan pentingnya komunikasi dalam perusahaan secara umum. Bahkan dapat
perusahaan. Artinya, keterbukaan, atau dalam hal ini, keterbukaan komunikasi, menjadi
kunci penting dalam berbisnis. Dalam masyarakat informasi sekarang ini, menyebarkan
informasi seluas-luasnya justru akan memperkuat posisi perusahaan, baik di mata internal
dapat dirumuskan melalui level sebagai berikut: (1) Baru lahir (nascent), yaitu tahap
berkomunikasi seperlunya, dan segala hal serba dirahasiakan. Di tahap ini, komunikasi
berlangsung secara serampangan; (2) belum matang (immature), yaitu tahap berkomunikasi
yang terpisah-pisah dan acak di antara anggota perusahaan, tetapi cukup solid di kalangan
pimpinan; (3) remaja (adolescent), yaitu tahap berkomunikasi yang mulai terintegrasi, tetapi
terbatas pada hubungannya dengan konsumen dan pola relasi atasan – bawahan; (4)
matang (adult), yaitu tahap berkomunikasi yang keseluruhannya terintegrasi dan berlaku
Social Commerce
Konsep social commerce terbentuk seiring dengan perkembangan aplikasi-aplikasi Web 2.0
yang mempercepat laju tren baru berupa evaluasi ulang marketing media sosial. Teknologi
ini memungkinkan konsumen membuat konten dan membagian informasi produk. Selain
itu, konsumen juga dapat menunjukan dukungan sosial terhadap suatu produk kepada calon
konsumen dengan cara memberi ulasan, penilaian (rating), dan merekomendasikan suatu
brand atau produk tertentu. Aktivitas dalam sosial media tersebut dapat memengaruhi
konsumen lain melalui social commerce sehingga menciptakan suatu “kepercayaan sosial”.
Kepercayaan sosial (social trust) dapat dibangun dari dua hal: (1) konten dan ulasan produk
yang diberikan oleh konsumen memberi asumsi besaran kesan terhadap produk tersebut
bagi konsumen lain, dan (2) konsumen cenderung lebih mempercayai opini publik
konsumen memiliki nilai yang lebih tinggi. Dengan adanya kepercayaan sosial, para
konsumen secara simultan akan terus memproduksi nilai otentik suatu produk secara
organik seiring dengan peningkatan interaksi antara konsumen dan perusahaan serta antar
memungkinkan konsumen berpartisipasi aktif dalam proses komunikasi bisnis melalui media
sosial (Rana et al., 2019; Shareef et al., 2019; Shiau et al., 2017). Saat ini, terdapat dua jenis
social commerce yang tersedia (Algharabat et al., 2020): (1) situs dengan perangkat Web 2.0
(contohnya Amazon) dan fitur promosi konten konsumen. Namun, jenis ini memiliki
keterbatasan interaksi antar konsumen, contohnya, konsumen tidak dapat mengirim pesan
pribadi atau menandai (tag) konsumen lain (Huang & Benyoucef, 2013); (2) layanan jejaring
sosial (social networking services) dengan fungsi e-commerce yang menyediakan kanal
interaksi sosial antar konsumen, mendorong pembentukan nilai suatu produk berdasarkan
Social commerce, sebagai aktivitas bisnis dalam wadah media sosial terdiri dari tiga dimensi
(Gonçalves Curty & Zhang, 2013): ulasan dan penilaian (menyediakan informasi suatu brand
atau produk tertentu pada suatu wadah media sosial dari konsumen pada konsumen
lainnya), rekomendasi dan rujukan (berdasarkan pengalaman konsumen), serta forum dan
komunitas (wadah interaksi sosial yang lebih spesifik untuk suatu brand) (Hajli, 2015).
bahwa konsep ini terbentuk dari interaksi dan diskusi antara produsen dan konsumen serta
evaluasi nilai dengan menggabungkan nilai-nilai personal (Alalwan et al., 2017; Baabdullah
et al., 2019). Penelitian lain pun menunjukan bahwa media sosial dapat membentuk nilai
bersama bersadarkan interaksi antar konsumen serta konsumen dan perusahaan (Schau et
al., 2009). Karena itu, konstruksi nilai dapat fluktuatif seiring berjalannya interaksi sosial
(Baabdullah, 2018).
Penelitian lain menekankan bahwa pembentukan nilai bersama terdiri dari tiga dimensi
(Foster, 2010; Shareef et al., 2017): (1) fungsional (menemukan dan memperbarui
informasi) (Lee et al., 2014), 2) hedonis (suasana hati dan sentimen) (Zhang et al., 2017), dan
(3) nilai sosial (konsepsi diri konsumen dan komunikasi sosial antar konsumen melalui
berbagai wadah media sosial) (B. Jahn & Kunz, 2012; Yu et al., 2013). Dengan kata lain, para
konsumen yang memiliki kesamaan nilai akan bergabung ke dalam wadah media sosial yang
Metodologi
dengan metode studi kasus. Studi kasus ini kemudian akan ditelaah dan dicari pola-pola
yang dianggap bisa diabstraksikan menjadi sebuah model untuk diterapkan pada kasus
lainnya yang serupa. Menurut Yin (2009), metode penelitian studi kasus merupakan strategi
yang tepat untuk digunakan dalam penelitian yang menggunakan pokok pertanyaan
penelitian how atau why, sedikit waktu yang dimiliki peneliti untuk mengontrol peristiwa
yang diteliti, dan fokus penelitiannya adalah fenomena kontemporer, untuk melacak
peristiwa kontemporer.
Penelitian ini memilih informan dengan menggunakan teknik sampel purposif yang mengacu
pada tema serta tujuan penelitian. Adapun kriteria yang diajukan di dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut: (1) UMKM yang ada di wilayah Jawa Barat, Indonesia; (2) UMKM
yang bergerak di wilayah industri kreatif; (3) UMKM yang dalam kegiatan jual-belinya turut
melibatkan saluran daring. Berdasarkan tiga poin tersebut, UMKM yang dianggap
memenuhi kriteria kemudian dibagi lagi ke dalam tiga kategori yaitu kategori A, kategori B,
dan kategori C.
Kategori A adalah UMKM di bidang industri kreatif yang bisnisnya tetap bertahan di masa
pandemi dan tidak melakukan perombakan berarti. Tetap beroperasinya UMKM tanpa
perombakan berarti ini ditandai dengan tidak adanya perubahan signifikan dalam hal jumlah
karyawan, jam operasional, dan kegiatan produksi dari sebelum masa pandemi hingga
Kategori B adalah UMKM di bidang industri kreatif yang bisnisnya tetap bertahan di masa
pemutusan hubungan kerja pada beberapa karyawan, perubahan jam operasional menjadi
Kategori C adalah UMKM di bidang industri kreatif yang mengalami kebangkrutan di masa
pandemi. Tidak beroperasinya UMKM ini ditandai dengan berhentinya kegiatan produksi,
mendalam (in-depth interview) untuk mengetahui aspek internal maupun eksternal dari
perusahaan yang kemudian dijadikan referensi pembuatan model. Aspek internal dari
perusahaan berkaitan dengan tahapan dalam kematangan berkomunikasi, yang
2. Seberapa erat rantai komunikasi antara karyawan dan konsumen, serta antar
penyampaian informasi?
5. Sejauh apa kepercayaan karyawan terhadap karyawan lain atau pihak manajemen?
atau sebaliknya?
target?
9. Seberapa besar pengaruh komunikasi dalam memerbaiki perilaku karyawan dan rasa
kematangan berkomunikasi dalam suatu perusahaan, maka respons dari informan akan
dikelompokkan pada tiga bagian yaitu terkait relasi internal, adaptasi teknologi baru, dan
kehadiran role model komunikasi di dalam UMKM. Relasi internal ini berhubungan dengan
Dalam UMKM yang diteliti dalam artikel ini, pada ketiga kategori (A, B, dan C), umumnya
pihak manajemen, beberapa di antaranya atau bisa juga seluruhnya, adalah juga merangkap
tenaga kerja. Adapun jika terdapat tenaga kerja yang terpisah dari jajaran manajemen atau
tenaga kerja non-manajemen, maka paling banyak adalah sekitar sepuluh orang.
Sementara itu, aspek eksternal dari perusahaan berkaitan dengan strategi pemasaran
UMKM dengan menggunakan saluran daring. Observasi dan wawancara dilakukan untuk
dengan social commerce yang melibatkan konsumen ataupun calon konsumen untuk turut
Pengukuran
antara manajemen-
karyawan, dan antar
karyawan
peranan teknologi
bagi komunikasi
internal dan
perencanaan usaha
ahli komunikasi
terhadap praktik
komunikasi internal
menurut manajemen
dan karyawan
digital bagi
keberlangsungan
UMKM
untuk menarik
engagement
konsumen
jam operasional
perubahan laju
sesudah pandemi
digolongkan ke dalam adult atau sekurang-kurangnya adolescent. Pada UMKM kategori ini,
diadakan musyawarah terlebih dahulu dalam rangka membahas posisi perusahaan di masa
pandemi. UMKM tersebut menjabarkan secara utuh kondisi keuangan perusahaan dengan
berbagai alternatif jalan keluar dan setiap manajemen/ tenaga kerja dimintai pendapatnya
secara demokratis. Keterbukaan diskusi semacam itu menunjukkan keterbukaan antara
anggota di dalam UMKM. Dampak dari keterbukaan tersebut, berdampak pada rasa
memiliki yang besar terhadap semua anggota perusahaan termasuk kelompok tenaga kerja
yang non-manajemen. Rasa memiliki menjadi faktor yang sangat penting di masa krisis
seperti pandemi sekarang ini, karena dengan demikian, alih-alih motivasi kerja menjadi
menurun, malah sebaliknya, menjadi lebih meningkat karena sama-sama ingin menjaga
Berdasarkan wawancara dengan UMKM lain yang termasuk pada kategori A, disebutkan
bahwa keterbukaan terhadap komunikasi ini juga ditunjukkan melalui penerimaan terhadap
teknologi baru. Dengan adanya pandemi yang membatasi aktivitas luring, maka keterbukaan
terhadap media digital menjadi suatu keharusan sebagai upaya menjaga kelancaran
usaha para anggota perusahaan untuk beradaptasi dengan aplikasi seperti Google Meet
tergolong lancar dan terbuka karena rata-rata anggota perusahaan, terutama yang
Keberadaan role model ini menjadi kunci bagaimana jalannya komunikasi di perusahaan
seperti misalnya, jika manajer menunjukkan sikap egaliter dalam berbicara dengan anggota
perusahaan lain, maka akan berpengaruh juga pada bagaimana tenaga kerja bersikap pada
tenaga kerja lainnya dalam konteks yang lebih horizontal. Bahkan tenaga kerja non-
manajemen dalam hal ini malah menjadi lebih hormat pada manajemen, dan bukan
sebaliknya. Role model dengan kemampuan komunikasi yang baik dan terbuka membuat
seluruh anggota perusahaan menjadi percaya pada saat manajemen memaparkan kondisi
digolongkan ke dalam adolescent meski pada kasus tertentu dapat dikatakan immature.
Sebagaimana hasil wawancara dengan UMKM yang melakukan efisiensi tenaga kerja dari
sebelumnya delapan orang menjadi empat orang dan jam kerja yang seharusnya per hari
adalah empat belas jam (dua shift) menjadi sepuluh jam, diketahui bahwa pihak manajemen
cukup terbuka terkait kondisi pandemi dan dampaknya bagi perusahaan, tetapi tetap
melakukan diskusi secara tertutup tentang tenaga kerja mana yang dirumahkan dan mana
yang tidak.
Kemudian pada UMKM lainnya dalam kategori B, keterbukaan terhadap teknologi baru
memang dilakukan, tetapi hanya untuk jajaran manajemen atau tenaga kerja merangkap
manajemen saja. Terhadap tenaga kerja non manajemen, teknologi baru, atau dalam hal ini,
teknologi digital, tidak menjadi keharusan sebagai bagian dari aktivitas komunikasi sehari-
hari di dalam perusahaan. Tenaga kerja secara umum mengetahui bahwa terdapat
penerimaan terhadap teknologi digital pada UMKM dan diaplikasikan pada aspek tertentu di
dalam perusahaan, tetapi tidak secara rinci. Kalaupun tenaga kerja diharuskan
secara spesifik seperti misalnya, menjadi administrator bagi divisi penjualan daring. Artinya,
teknologi digital diserap, tetapi tidak diterapkan untuk komunikasi internal UMKM.
Hasil wawancara dengan UMKM yang masih digolongkan ke dalam kategori B, menunjukkan
adanya komunikasi yang cukup terbuka, tetapi diarahkan sebatas pada konsumen. Artinya,
manajemen sekaligus tenaga kerja diberi pelatihan yang intensif terkait bagaimana
menghadapi pembeli, tetapi kurang diberikan pelatihan serupa untuk berkomunikasi di
lingkungan internal. Komunikasi internal diarahkan untuk berlaku “alamiah” saja seolah-olah
dengan sendirinya sudah saling mengerti satu sama lain. Hal ini memang berjalan wajar
hingga sebelum pandemi, tetapi saat terjadi krisis, maka menjadi sulit bagi pihak
Dengan demikian, hasil wawancara ini juga menjawab terkait peran role model di dalam
perusahaan, yang sebatas berorientasi pada bagaimana sikap anggota perusahaan terhadap
Pada UMKM kategori C, tahap kematangan berkomunikasi digolongkan pada immature dan
pada kasus tertentu bahkan dapat dikatakan ada di tahap nascent. Seperti hasil wawancara
dengan salah satu UMKM pada kategori ini, diperoleh hasil bahwa ada hierarki yang tegas
antara jajaran manajemen dengan tenaga kerja non-manajemen, yang ditunjukkan lewat
bentuk komunikasi yang umumnya bersifat formal. Di perusahaan ini, tenaga kerja hanya
tahu tugas-tugasnya sendiri dan tidak mengetahui secara umum apa yang terjadi di wilayah
manajemen. Di jajaran manajemen sendiri terjadi hal yang sama, yaitu hal-hal terkait
perusahaan secara umum disimpan secara terbatas informasinya bagi pihak manajemen dan
tenaga kerja non-manajemen dianggap tidak boleh mengetahuinya. Tenaga kerja non-
manajemen hanya diberikan informasi mengenai tugas-tugas yang perlu dikerjakan, standar
pelayanan terhadap konsumen, dan upah yang diterima setiap bulannya. Selebihnya, tidak
ada komunikasi internal antar hierarki, terutama terkait hal-hal yang informal.
Adaptasi teknologi baru terjadi pada UMKM kategori C, tetapi dapat dikatakan sudah
dilakukan dari sebelum terjadi pandemi dan tidak ada perubahan berarti di masa krisis.
Artinya, teknologi baru, atau dalam hal ini teknologi digital, tidak dijadikan pertimbangan
untuk menjadi solusi keadaan perusahaan di tengah pandemi. Hal tersebut mengacu pada
hasil wawancara yang mengatakan bahwa teknologi digital sudah lama diadopsi untuk
berjualan secara daring, tetapi sifatnya hanya perpanjangan dari apa yang sudah dipasarkan
secara luring, sehingga tidak ada strategi pemasaran digital khusus. Sedangkan untuk
kepentingan internal, berdasarkan wawancara dengan salah satu UMKM pada kategori ini,
tidak ada adaptasi teknologi baru secara signifikan dan masih memanfaatkan fasilitas yang
sudah digunakan dari sebelum pandemi, seperti misalnya aplikasi Whatsapp Group atau
Telegram.
Role model di dalam UMKM kategori C, secara umum kurang memberi contoh bagaimana
berkomunikasi yang baik dan terbuka. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas komunikasi yang
umumnya dilakukan dalam konteks formal saja, misalnya, terkait pekerjaan serta upah.
Kalaupun ada percakapan informal, ini dilakukan sangat sedikit di jam istirahat dan tidak
pernah menyinggung kondisi perusahaan secara terbuka. Role model semacam ini membuat
kepedulian dan rasa memiliki terhadap perusahaan. Dampaknya, pada saat UMKM
mengumumkan situasi krisis yang berakibat pada pemotongan gaji dan bahkan efisiensi
tenaga kerja, sejumlah tenaga kerja non-manajemen langsung memutuskan untuk mundur
dari perusahaan.
Berdasarkan wawancara dan observasi terhadap sejumlah UMKM yang dijadikan informan,
Komunikasi
Relasi internal Adaptasi teknologi Role model Tahapan
baru Kematangan
Komunikasi
Kategori Dinamis dan terbuka di Teknologi digital Role model dari Adult,
Meet. terbuka.
Kategori Jajaran manajemen dan Teknologi digital Role model dari Adolescent,
Whatsapp Group
atau Telegram.
Kategori Terdapat hierarki yang Teknologi digital Role model dari Immature,
cenderung sudah ada pada tahap kematangan komunikasi internal yang disebut dengan
adolescent atau bahkan adult. Sedangkan UMKM yang berhasil bertahan di masa pandemi
tetapi dengan sejumlah perubahan cukup signifikan terkait efiensi jumlah tenaga kerja,
jumlah jam kerja, serta aktivitas produksi, ternyata bisa digolongkan ada pada tahap
komunikasi internal yang disebut dengan adolescent atau immature. Terlihat juga pada
UMKM yang tidak mampu bertahan di masa pandemi atau dapat dikatakan bangkrut,
adalah UMKM yang tahap kematangan komunikasi internalnya disebut dengan immature
Berdasarkan wawancara dengan UMKM dan juga observasi terhadap aktivitasnya di dunia
digital, maka dapat dilihat bahwa UMKM tersebut memiliki akun di media sosial, khususnya
Twitter dan Instagram. UMKM tersebut juga memiliki akun di sistem transaksi otomatis
seperti Tokopedia atau Shopee sehingga konsumen dapat langsung membayar dan
diantarkan oleh jasa pengiriman barang langsung ke lokasi masing-masing. Aspek utama
yang membedakan UMKM yang berada pada kategori A ini adalah kemampuannya dalam
melakukan social commerce. Misalnya, pada salah satu UMKM kategori A terlihat bahwa
social commerce ini begitu diperhatikan sehingga berdampak pada ikatan yang kuat dengan
konsumen. Terlihat dari bagaimana konsumen kemudian tidak hanya menjadi followers bagi
akunnya, tetapi juga seringkali turut mempromosikan dan merekomendasikan pada orang
lain.
Perhatian terhadap social commerce ini, sebagaimana terjadi pada salah satu UMKM
menggunakan produk tersebut. UMKM ini memanfaatkan media sosial untuk menerima
saran dan masukan melalui komentar di media sosial atau kolom ulasan di sistem transaksi
otomatis. Pada UMKM lainnya, website juga dipergunakan untuk memberikan informasi
sedetail mungkin tentang produk, baik melalui visual maupun penambahan keterangan
(caption). UMKM ini juga menitikberatkan pada konten-konten yang punya nilai sosial, yang
artinya tidak hanya berpusat pada aspek hard selling saja, tetapi seputar informasi yang
Social commerce, selain hal terkait aspek fungsional dan sosial, juga mesti menghadirkan
aspek hedonistik, suatu efek kesenangan terhadap konsumen. Kesenangan ini secara visual
dapat berupa desain yang menarik dan mudah dicerna (tidak terlalu simbolik). Selain itu,
penggunaan video singkat, turut memberikan efek hedonistik, dengan memenuhi kepuasan
akan gambar yang lebih dinamis, ketimbang statis. Dalam konteks media sosial, teks yang
berfungsi sebagai caption, dibuat sesingkat dan sejelas mungkin, tanpa perlu memerlukan
waktu yang lama untuk membacanya. Hal ini, menurut salah satu UMKM menjadi tantangan
untuk mendamaikan aspek fungsional dan hedonistik karena yang satu memerlukan teks
yang detail, sedangkan lainnya lebih memerlukan teks yang ringan, tapi jelas dan tegas.
Hal yang dapat dikatakan krusial pada kategori A ini adalah dalam melihat pentingnya
membangun kepercayaan konsumen melalui fitur ulasan seperti yang ada dalam sistem
transaksi otomatis. UMKM kategori A sangat memperhatikan pemberian nilai dan komentar
dari konsumen sehingga saat transaksi sudah selesai dilakukan, pihak UMKM akan segera
melakukan tindak lanjut terhadap konsumen untuk meminta ulasan. Menurut salah satu
UMKM yang tergolong pada kategori ini, banyaknya ulasan dan komentar positif akan
membuat calon konsumen lain berdatangan untuk membeli produknya. Inilah yang
Pada UMKM kategori B mereka menaruh perhatian pada media sosial, website, dan sistem
transaksi otomatis, tetapi kurang memperhatikan aspek social commerce. Memang dalam
konten-konten di media sosial pada UMKM tersebut, terdapat usaha untuk menghasilkan
konten yang bagus, menarik, sekaligus informatif, tetapi tidak dalam suatu intensi khusus
yang dijalankan melalui strategi pemasaran yang spesifik. Dalam artian, konten-konten
tersebut diperlihatkan begitu saja pada publik atau calon konsumen tanpa ada
pertimbangan nantinya akan menghasilkan suatu ikatan atau ulasan yang menarik atau
tidak. Intinya, pada UMKM kategori B, penjualan daring hanya dilakukan dalam kerangka
pemasaran yang satu arah: dari produsen ke konsumen (tidak memikirkan soal apakah
konsumen tersebut akan memberikan umpan balik atau menyebarkannya lebih luas ke
konsumen lainnya).
Wawancara lain dengan UMKM kategori B menunjukkan bahwa media sosial, website, dan
sistem transaksi otomatis memang sangat membantu, tetapi itu semua merupakan
perpanjangan saja dari apa yang sudah dilakukan secara luring. Artinya, media sosial,
website, dan sistem transaksi otomatis hanyalah melakukan semacam amplifikasi dari apa
yang telah berjalan dari sebelum digunakannya teknologi digital tersebut. Dapat dikatakan
juga bahwa UMKM tersebut tidak merasa perlu adanya strategi tersendiri dalam pemasaran
digital seperti misalnya bagaimana mengikat konsumen daring dan membuat mereka turut
mempromosikan.
Saat pandemi mulai memasuki Indonesia, UMKM tertentu memang menyadari pentingnya
menggunakan teknologi digital seperti media sosial, website, dan sistem transaksi otomatis.
Itu sebabnya, dalam melakukan efisiensi tenaga kerja, yang dirumahkan pertama-tama
terutama adalah mereka yang hanya bisa melakukan aktivitas luring. Sedangkan tenaga
kerja yang dipertahankan adalah tenaga kerja yang dapat berfungsi baik luring ataupun
daring. Namun dalam kasus ini, karena sifatnya yang merangkap, maka tidak ada strategi
khusus dalam hal pemasaran digital dan apa yang dijalankan hanya sebatas pemuatan
konten digital secara umum saja seperti misalnya foto produk beserta keterangannya (tanpa
Hal yang krusial membedakan antara UMKM kategori B dan kategori C ini adalah
penggunaan sistem transaksi otomatis. Meski harus diakui, menurut salah satu UMKM,
penggunaan sistem transaksi otomatis ada kalanya lebih mudah daripada pemasaran
melalui media sosial, tetapi tetap saja transaksi otomatis ini memerlukan proses registrasi
dan verifikasi. Namun hal yang lebih mendasari keengganan untuk menggunakan sistem
transaksi otomatis ini secara umum lebih pada kurangnya rasa percaya pada sistem daring.
Salah satu UMKM yang berasal dari kategori C merasa bahwa media sosial saja cukup dan
itu pun dijalankan secara wajar. Sama halnya dengan umumnya UMKM kategori B, media
sosial ini dianggap merupakan perpanjangan dari apa yang telah dijalankan secara luring.
Selain kurangnya rasa percaya pada sistem daring, umumnya UMKM kategori C ini juga pada
saat Indonesia dilanda pandemi, terlalu sibuk untuk menyelamatkan kondisi internal
perusahaan terkait biaya produksi, sewa tempat, dan upah tenaga kerja. Artinya, opsi untuk
lebih banyak menggunakan teknologi digital tidak terlalu menjadi pertimbangan utama
(karena skala prioritas pada kondisi internal terlebih dahulu). Salah satu UMKM bahkan
mengeluarkan lebih banyak biaya dan bertentangan dengan upaya efisiensi yang tengah
dilakukan.
Berdasarkan wawancara dengan salah satu UMKM mereka bahkan sudah kehilangan jalan
keluar sejak kebijakan lockdown dari pemerintah di bulan-bulan awal pandemi. Sedikit
berbeda dengan UMKM kategori B yang justru melakukan efisiensi terhadap tenaga kerja
yang hanya beroperasi di wilayah luring saja, UMKM kategori C justru melakukan efisiensi
mula-mula terhadap tenaga kerja yang hanya beroperasi di wilayah daring (meski umumnya
tenaga kerja yang beroperasi di wilayah daring adalah juga bekerja di wilayah luring).
Namun artinya, dari prioritas tenaga kerja yang dirumahkan, umumnya UMKM kategori C ini
memang kurang berminat untuk meneruskan usaha ke wilayah daring. Kalaupun ada media
sosial, menurut UMKM ini, menjadi hanya semacam “formalitas” karena mengikuti apa yang
Hasil wawancara dan observasi di atas kemudian dipetakan dalam tabel berikut ini:
Website dan/ atau Media Sosial Sistem Transaksi Otomatis Social Commerce
Kategori A ✔ ✔ ✔
Kategori B ✔ ✔ -
Kategori C ✔ - -
Berdasarkan wawancara dan observasi terhadap UMKM yang menjadi informan baik dari
kategori A, kategori B, maupun kategori C, maka dapat terlihat bahwa ada perbedaan dalam
penggunaan media digital dalam kaitannya dengan komunikasi bisnis secara eksternal. Pada
dan sistem transaksi otomatis, mereka juga memikirkan aspek social commerce yang terdiri
dari tiga unsur yaitu fungsional, hedonistik, dan sosial. Perhatian terhadap aspek social
commerce ini dianggap menjadi faktor penting dalam bertahannya UMKM kategori A. Di
masa pandemi, konsumen tetap setia karena selama ini terikat oleh konten-konten yang
Sementara itu, pada UMKM kategori B dan C, aspek social commerce ini kurang diperhatikan
sehingga dapat dikatakan bahwa pemasaran daring dijalankan hanya sebagai perpanjangan
dari apa yang sudah dilakukan lewat jalur luring. Secara umum dapat dilihat bahwa
perbedaan utama dari UMKM kategori B dan C ini adalah penggunaan sistem transaksi
otomatis. UMKM kategori B masih menganggap perlu sistem transaksi otomatis untuk
umumnya sama sekali tidak menganggap hal tersebut penting di masa krisis.
Berdasarkan wawancara dan observasi terhadap UMKM yang bergerak di industri kreatif
yang berlokasi di Jawa Barat, Indonesia, maka disusun sebuah model yang diharapkan dapat
dieksperimentasikan pada UMKM lainnya yang kurang lebih sejenis. Sejenis di sini diartikan
sebagai pertama, sama-sama bergerak di wilayah industri kreatif dan yang kedua,
mengalami situasi lingkungan yang kurang menguntungkan (dalam hal ini adalah pandemi).
Model ini diharapkan dapat meningkatkan ketahanan UMKM agar tidak hanya mampu tetap
Model ini fokus pada analisis terkait komunikasi bisnis yang dibagi ke dalam dua aspek yaitu
aspek internal dan aspek eksternal. Aspek internal mensyaratkan UMKM yang mampu
teknologi digital secara menyeluruh untuk komunikasi antar anggota perusahaan, dan
adanya role model manajemen yang mempraktikkan gaya komunikasi yang egaliter dan
transparan. Pemenuhan syarat komunikasi bisnis internal tersebut akan membuat UMKM
tersebut masuk pada kategori tahapan kematangan komunikasi yang disebut adult atau
adolescent.
Sementara komunikasi bisnis pada aspek eksternal mensyaratkan UMKM yang mampu
media sosial serta sistem transaksi otomatis. Penggunaan fasilitas tersebut tidak hanya
sekadar formalitas saja, tetapi juga dijalankan dengan suatu strategi yang mengacu pada
social commerce, dalam hal ini terkait tiga aspek di dalamnya yaitu unsur fungsional,
Kuantitatif
validitas dan reabilitas menggunakan metode korelasi Pearson Product Moment dan
Cronbach’s Alpha.
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keabsahan suatu instrumen. Suatu
instrumen dinyatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Uji validitas
adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui tepat tidaknya suatu butir pertanyaan
kuesioner yang dibuat. Pengujian validitas butir-butir pertanyaan dengan skala ukur ordinal
dilakukan melalui analisa butir, yaitu mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total yang
merupakan jumlah tiap skor butir menggunakan metode Pearson Product Moment.
Keterangan :
X = skor item
n = jumlah responden
Jika koefisien korelasi bernilai positif dan signifikan, maka butir yang bersangkutan adalah
valid, sebaliknya jika tidak signifikan atau bernilai negatif, maka butir tersebut tidak valid
dan harus dikeluarkan dari kuesioner (Sugiyono, 2014). Lebih lanjut menurut Sugiyono,
suatu item pertanyaan dikatakan valid atau dapat mengukur variabel penelitian yang
dimaksud jika nilai koefisien validitasnya lebih dari atau sama dengan nilai Rtabel yang didapat
Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil
pengukuran relatif konsisten apabila alat ukur digunakan berulang kali. (Umar, 2003 : 87).
Reliabilitas mencakup tiga aspek penting, yaitu: alat ukur yang digunakan harus stabil, dapat
tersebut mempunyai realibilitas yang tinggi atau dapat dipercaya (Natzir, 2013: 61).
Untuk mengetahui ketepatan alat ukur yang digunakan adalah reliabilitas Alpha Cronbach
rxx =
n
∑ ( X i −X ) 2
i=1
s = 2
xi
n−1
n
∑ ( Y i−Y )2
i=1
2
sy= n−1
Dimana :
Sekumpulan pertanyaan untuk mengukur suatu variabel dikatakan reliabel dan berhasil
mengukur variabel-variabel yang kita ukur jika koefisien reliabilitasnya lebih dari sama
dengan 0,70 (Ghozali, 2011:48). Kaplan menyatakan: “It has been suggested that reability
estimates in the range of 0,70 to 0,80 are good enough for most purposes in basic research”
Berikut disajikan hasil uji validitas dan reliabilitas untuk seluruh pernyataan.
Validitas Reliabilitas
Ite
Variabel Titik Titik
m R Keterangan α Keterangan
Kritis Kritis
8
Q2 0,791 0,30 Valid
Berdasarkan hasil rekapitulasi yang disajikan melalui tabel diatas terlihat bahwa seluruh
butir pernyataan menunjukkan hasil yang valid, dimana nilai koefisien validitas masing-
masing butir pernyataan lebih besar dari titik kritis 0,361. Demikian halnya dengan hasil uji
reliabilitas yang menunjukkan hasil yang reliabel di seluruh faktor yang diuji, dimana seluruh
nilai koefisien reliabilitas yang didapat lebih besar dari titik kritis 0,70. Dengan demikian
instrumen penelitian memiliki validitas dan reliabilitas yang baik dan dapat digunakan untuk
analisis selanjutnya.
Gambaran data hasil penelitian dapat digunakan untuk memperkaya pembahasan, melalui
terhadap setiap variabel yang sedang diteliti. Agar lebih mudah menginterpretasikan
variabel yang sedang diteliti, dilakukan analisis kategorisasi terhadap skor tanggapan
responden. Prinsip kategorisasi jumlah skor tanggapan responden di adopsi dari Arikunto
(2008:353). Dari jawaban responden, kemudian disusun kriteria penilaian untuk setiap item
1. Nilai kumulatif adalah nilai dari setiap pertanyaan yang merupakan jawaban dari setiap
responden.
2. Presentase adalah nilai kumulatif item dibagi dengan nilai frekuensinya dikalikan 100%.
3. Jumlah responden adalah 102 orang, dan nilai skala pengukuran terbesar adalah 5,
terbesar = 102 × 5 = 510. Dan jumlah kumulatrif terkecil = 102 × 1 = 102. Adapun nilai
persentase terkecil adalah (102/510) × 100% = 20,00%, dengan nilai rentang = 100% -
20,00% = 80,00%. Jika dibagi 5 kategori, maka di dapat nilai interval persentase sebesar
16,00%.
Tabel 5. Kriteria Interpretasi Skor
Hasil persentase pencapaian total skor terhadap skor ideal dipetakan ke dalam interval
kriteria penilaian tersebut di atas yang disajikan melalui sebuah garis kontinum.
Data hasil kuesioner untuk variabel Komunikasi Bisnis diukur melalui 14 butir pernyataan.
Berdasarkan hasil perhitungan, gambaran variabel Komunikasi Bisnis dapat dilihat melalui
tabel berikut.
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Mengenai Komunikasi Bisnis
Rata-rata 82,65%
Berdasarkan tabel di atas didapat rata-rata persentase pencapaian total skor terhadap skor
ideal sebesar 82,65%. Persentase tersebut kemudian dipetakan ke dalam garis kontinum
sebagai berikut:
82,65%
100%
Dari tanggapan 102 orang responden terhadap 14 butir pernyataan, didapat persentase
pencapaian total skor terhadap skor ideal sebesar 82,65%, di mana persentase tersebut
berada diantara rentang 68% sampai dengan 83,99%. Dengan demikian dapat disimpulkan
“Baik”.
Data hasil kuesioner untuk variabel Keberlanjutan Usaha UMKM diukur melalui 7 butir
(Y)
Q19 24 59 15 3 1 408 510 80,00%
Rata-rata 82,75%
Berdasarkan tabel di atas didapat rata-rata persentase pencapaian total skor terhadap skor
ideal sebesar 82,75%. Persentase tersebut kemudian dipetakan ke dalam garis kontinum
sebagai berikut:
82,75%
20% 36% 52% 68% 84%
100%
Dari tanggapan 102 orang responden terhadap 7 butir pernyataan, didapat persentase
pencapaian total skor terhadap skor ideal sebesar 82,75%, di mana persentase tersebut
berada diantara rentang 68% sampai dengan 83,99%. Dengan demikian dapat disimpulkan
kategori “Baik”.
Data penelitian dari kuesioner merupakan sejumlah skor yang diperoleh dari jawaban
variabel penelitian, yaitu Komunikasi Bisnis dan Keberlanjutan Usaha UMKM. Variabel-
serta gabungan dari dua konsep statistik, yaitu analisis faktor (factor analysis) sebagai model
pengukuran dan analisis jalur (path analysis) sebagai model struktural. Dalam analisis model
variabel laten yang memiliki indikator-indikator yang baik. Dengan menggunakan bantuan
aplikasi program LISREL akan diuji kesesuaian antara model teoritik dengan data penelitian
serta dapat diuji tingkat kebermaknaan dari setiap koefisien hubungan kausal.
Asumsi yang paling fundamental dalam analisis multivariate adalah normalitas, yang
merupakan bentuk suatu distribusi data pada suatu variabel metrik tunggal dalam
menghasilkan distribusi normal (Hair, 1998). Suatu distribusi data yang tidak membentuk
distribusi normal, maka data tersebut tidak normal, sebaliknya data dikatakan normal
apabila ia membentuk suatu distribusi normal. Apabila asumsi normalitas tidak dipenuhi dan
penyimpangan normalitas tersebut besar, maka seluruh hasil uji statistik adalah tidak valid
karena perhitungan uji-t dan lain sebagainya dihitung dengan asumsi data normal (Ghozali,
Kurtosis
Variable Z-Score P-Value Z-Score P-Value Chi-Square P-
Value
0.000
0.001
0.000
0.000
0.000
0.006
0.008
0.000
0.000
Chi-Square P-Value
---------- -------
65.042 0.000
Berdasarkan hasiil Test of Multivariate Normality for Continuous Variables tersebut di atas,
value Skewness and Kurtosis sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05. Namun LISREL memiliki
beberapa solusi yang dapat dilakukan ketika asumsi normalitas tidak terpenuhi, salah satu
diantaranya adalah dengan cara menambahkan estimasi asymptotic covariance matrix. Hal
tersebut akan mengakibatkan estimasi parameter beserta goodness of fit statistics akan
dianalisis berdasarkan pada keadaan data yang tidak normal. Apabila matriks asymptotic
covariance matrix tidak dimasukkan, sedangkan data tidak normal, sebagai input data
suplemen, maka model akan diestimasi berdasarkan keadaan data normal, dan tentu
b. Spesifikasi Model
Tahap ini berkaitan dengan pembentukan model awal model awal persamaan struktural,
sebelum dilakukan estimasi. Model awal ini diformulasikan berdasarkan suatu teori atau
penelitian sebelumnya. Spesifikasi model penelitian, yang merepersentasikan permasalahan
yang diteliti, adalah penting di dalam SEM. Hoyle (1995) mengatakan bahwa analisis tidak
akan dimulai sampai peneliti menspesifikasikan sebuah model yang menunjukkan hubungan
Variabel Keberlanjutan Usaha UMKM (η1) dipengaruhi oleh variabel Komunikasi Bisnis (ξ1).
η1 = (γ11 × ξ1) + ζ1
di mana:
Variabel laten Komunikasi Bisnis (ξ1) diukur oleh 6 variabel teramati, yaitu: Relasi Internal
(X11), Adaptasi Teknologi (X12), Role Model Komunikator (X13), Pemanfaatan Platform Digital
(X14), Penggunaan Sistem Transaksi Otomatis (X15), dan Perhatian Terhadap Social Commerce
(X16).
Variabel laten Keberlanjutan Usaha UMKM (η1) diukur oleh 7 variabel teramati, yaitu:
Efisiensi Jumlah Karyawan (Y1), Perubahan Jam Operasional (Y2), dan Laju Produksi (Y3).
Y1 = (λY11 × η1) + ε1
Y2 = (λY12 × η1) + ε2
Y3 = (λY13 × η1) + ε3
c. Identifikasi Model
Di dalam tahap analisis model struktural sering dijumpai adanya permasalahan yaitu pada
Beberapa gejala yang sering muncul akibat adanya ketidaktepatan identifikasi, yang biasa
disebut offending estimates (nilai-nilai estimasi yang melebihi batas yang dapat diterima), ini
4. Terdapat negative error variance (juga dikenal dengan Heywood cases) atau non
5. Terdapat nilai standardized coefficient yang melebihi atau sangat dekat dengan 1
Dalam banyak hal, keadaan diatas sebagai akibat dari model yang dibentuk tanpa justifikasi
teori yang mencukupi atau modifikasi model dilakukan hanya berdasarkan pertimbangan
empiris (Hair et.al., 1998). Aplikasi program LISREL secara default akan memeriksa
dalam model tidak ditemui permasalahan yang berkaitan dengan gejala pada poin-poin
tersebut di atas. Dengan demikian model layak digunakan, di mana model yang dibentuk
telah dijustifikasi menggunakan teori yang mencukupi dan modifikasi model dilakukan tidak
Estimator yang digunakan dalam penelitian ini adalah Maximum Likelihood Estimator (MLE)
estimator seperti ini disebut juga dengan Robust Maximum Likelihood (Wijanto, 2008:87).
MLE merupakan estimator yang populer dan paling banyak digunakan dalam SEM. MLE
mempunyai beberapa karakteristik yang penting dan karakteristik ini asimptotik sehingga
berlaku untuk sampel yang besar (Bollen, 1989). Pertama, meskipun estimator tersebut
mungkin bias untuk sampel kecil, MLE secara asimptotik tidak bias. Kedua, MLE memiliki
konsistensi yang baik. Ketiga, MLE adalah asymptotically efficient, sedemikian sehingga
diantara estimators yang konsisten, tidak ada yang mempunyai asymptotic variance lebih
kecil. Lebih lanjut, distribusi dari estimator mendekati distribusi normal ketika ukuran
sampel meningkat.
Model Pengukuran
Evaluasi ini dilakukan terhadap setiap konstruk atau model pengukuran (hubungan antara
variabel laten dengan variabel teramati) secara terpisah melalui validitas dan reliabilitas dari
model pengukuran. Pengukuran validitas model SEM di dalam penelitian ini menggunakan
First Order Confirmatory Factor Analysis (First Order CFA), dimana suatu variabel dikatakan
mempunyai validitas yang baik terhadap konstruk atau variabel latennya jika nilai muatan
faktornya standarnya (standardized loading factor) lebih besar dari atau sama dengan nilai
kritis sebesar 0,50 (Igbaria et.al., 1997; Hair et.al., 1995) atau nilai t muatan faktornya
standarnya (standardized loading factor) lebih besar dari atau sama dengan nilai kritis
reliability measure dan average variance extracted dengan rumus sebagai berikut:
Standardized Loading
2
Variance Extracted =
Standardized Loading
2
j
di mana standardized loading dapat diperoleh secara langsung melalui output aplikasi
program LISREL, dan εj adalah measurement error untuk setiap indikator atau variabel
teramati (Fornel dan Larcker, 1981). Tingkat cut-off untuk dapat mengatakan bahwa
construct reliability baik adalah lebih besar dari 0,60 (Bagozzi dan Yi, 1992; Ghozali, 2014),
sedangkan tingkat cut-off untuk dapat mengatakan bahwa average variance extracted baik
Berdasarkan output hasil perhitungan LISREL didapatkan nilai-nilai muatan faktor standar
dan kemudian digunakan untuk menghitung nilai koefisien reliabilitas konstruk yang
Bisnis
Berdasarkan hasil estimasi nilai standardized loading factor yang disajikan melalui gambar di
atas terlihat bahwa seluruh variabel teramati memiliki nilai muatan faktor standar yang
lebih besar daripada 0,50. Jika terdapat nilai muatan faktor standar yang lebih kecil dari nilai
kritis, maka variabel teramati terkait bisa dihapuskan dari model. Akan tetapi apabila nilai
muatan faktor standar tersebut masih ≥ 0,30 maka variabel terkait masih dapat
dipertimbangkan untuk tidak dihapus (Igbaria et.al., 1997). Dikarenakan seluruh nilai
muatan faktor standar variabel teramati tersebut lebih besar dari nilai kritis, maka seluruh
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa variabel laten Komunikasi Bisnis dan variabel
Keberlanjutan Usaha UMKM memiliki nilai koefisien construct reliability (CR) yang lebih
besar dari atau sama dengan nilai kritis (CR ≥ 0,60) dan memiliki nilai koefisien average
variance extracted (AVE) yang lebih besar dari atau sama dengan nilai kritis (AVE ≥ 0,50). Hal
ini menunjukkan bahwa ketiga konstruk laten tersebut tersebut memiliki reliabilitas yang
baik.
Model Struktural
parameter yang menunjukkan hubungan kausal atau pengaruh satu variabel laten terhadap
variabel laten lainnya. Secara ringkas hasil perhitungan koefisien-koefisien tersebut disajikan
Kriteria pengujian signifikan di dalam SEM didasarkan atas nilai titik kritis sebesar 1,96
dimana nilai t (t-value) yang lebih besar dari atau sama dengan titik kritis (t-value ≥ 1,96)
menunjukkan bahwa nilai parameter tersebut signifikan secara statistik. Pada kolom
berikutnya berisi hasil estimasi koefisien regresi yang telah dibakukan (standardized
coefficients) antara variabel laten satu dengan variabel laten lainnya. Sedangkan pada kolom
R2 berisi nilai-nilai koefisien determinasi. Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa,
Komunikasi Bisnis (ξ1) berpengaruh signifikan terhadap Keberlanjutan Usaha UMKM (η1)
sebesar 0,844 dengan nilai t lebih besar dari nilai kritis (4,957 ≥ 1,96). Nilai R2 yang didapat
adalah sebesar 0,713, dimana hal ini menunjukkan bahwa kontribusi variabel Komunikasi
Bisnis dalam mempengaruhi variabel Keberlanjutan Usaha UMKM adalah sebesar 71,3%,
sedangkan sisanya sebesar 28,7% merupakan kontribusi pengaruh variabel lain yang tidak
Dalam tahap ini dilakukan pengujian terhadap tingkat kecocokan antara data dengan model.
Penilaian Goodness of Fit pada SEM secara menyeluruh (overall) tidak dapat dilakukan
secara langsung seperti pada teknik multivariat yang lain. SEM tidak mempunyai satu uji
statistik terbaik yang dapat menjelaskan “kekuatan” prediksi model. Sebagai gantinya, para
peneliti telah mengembangkan berbagai ukuran Goodness of Fit atau Goodness of Fit Indices
(GOFI) yang dapat dipergunakan secara bersama-sama atau kombinasi. Keadaan ini
Terdapat 16 kriteria fit model yang menjadi justifikasi model penelitian ini. Berikut disajikan
1. Chi-Square (χ2)
Nilai chi-square menunjukkan adanya penyimpangan antara sampel covariance matrix dan
model (fitted) covariance matrix. Namun nilai chi-square ini hanya akan valid jika asumsi
normalitas data terpenuhi dan ukuran sampel adalah besar (Ghozali, 2005). Chi-square ini
merupakan ukuran mengenai buruknya fit suatu model. Nilai Chi Square sebesar 0
menunjukkan bahwa model memiliki fit yang sempurna (perfect fit). Probabilitas chi-square
ini diharapkan tidak signifikan, sehingga nilai chi-square yang signifikan (kurang dari 0,05)
menunjukkan bahwa data empiris yang diperoleh memiliki perbedaan dengan teori yang
telah dibangun berdasarkan structural equation modeling, sedangkan nilai probalilitas yang
lebih besar dari 0,05 adalah yang diharapkan yang menunjukkan bahwa data empiris sesuai
dengan model.
Probabilitas ini sangat sensitif dimana ketidaksesuaian antara data dengan teori (model)
sangat dipengaruhi oleh besarnya ukuran sampel (Cochran, 1952 dalam Ghozali, 2005). Jika
ukuran sampel kecil, maka uji chi-square ini akan menunjukkan data secara signifikan tidak
berbeda dengan model dan teori yang mendasarinya. Sedangkan jika ukuran sampel adalah
besar, maka uji chi-square akan menunjukkan bahwa data secara signifikan berbeda dengan
teori, meskipun perbedaan tersebut adalah sangat kecil. Sehingga prosedur untuk menilai
model fit hanya dengan menggunakan probabilitas ini kurang dapat dibenarkan (Bentler,
1980 dalam Ghozali, 2005), karena probabilitas dapat dijadikan tidak signifikan dengan
Indikator RMSEA mengukur penyimpangan nilai parameter pada suatu model dengan
matriks kovarians populasinya (Browne dan Cudeck, 1993 dalam Ghozali, 2005) Nilai RMSEA
yang kurang dari atau 0.05 mengindikasikan adanya model fit, dan nilai RMSEA yang
berkisar antara 0,05 sampai dengan 0,08 menyatakan bahwa model memiliki perkiraan
kesalahan yang reasonable (Byrne, 1998 dalam Ghozali, 2005). Sedangkan RMSEA yang lebih
ECVI digunakan untuk mengukur penyimpangan antara fitted (model) covariance matrik
pada sampel yang dianalisis dan kovarians matrik yang diperoleh pada sampel lain (Byrne,
1998 dalam Ghozali, 2005), karena nilai ECVI tidak dapat ditentukan, maka kita tidak dapat
memberikan suatu judgment nilai ECVI berapa yang diharapkan agar model dapat dikatakan
baik. Namun nilai ECVI model yang lebih rendah daripada ECVI yang diperoleh pada
saturated model dan independence model, mengindikasikan bahwa model adalah fit (Byrne,
AIC digunakan untuk menilai mengenai masalah parsimony dalam penilaian model fit. Sama
seperti ECVI batasan nilai untuk AIC juga tidak dapat ditentukan, sehingga peneliti tidak
dapat menentukan nilai berapa yang harus ditetapkan agar model memiliki fit yang baik,
namun jika nilai AIC model lebih rendah daripada nilai AIC pada saturated dan lebih rendah
daripada AIC independence, maka mengindikasikan bahwa model adalah fit (Bentler, 1995
Bozdogan (1987) menyatakan bahwa AIC memberikan penalti hanya berkaitan dengan
degree of freedom dan tidak berkaitan dengan ukuran sampel. Oleh karena itu ia
mengusulkan CAIC yang mengikutsertakan ukuran sampel. Nilai CAIC model lebih rendah
daripada nilai CAIC pada saturated dan lebih rendah daripada CAIC independence, maka
mengindikasikan bahwa model adalah fit (Hu dan Bentler, 1995 dalam Ghozali, 2014).
Normed Fit Index (NFI) yang ditemukan oleh Bentler (1980) merupakan salah satu alternatif
untuk menentukan model fit. Namun, NFI memiliki tendensi untuk merendahkan fit pada
sampel yang kecil, Bentler (1990) merevisi indeks ini dengan nama Comparative Fit Index
(CFI). Nilai NFI dan CFI berkisar antara 0 dan 1, suatu model dikatakan fit apabila memiliki
nilai NFI dan CFI lebih besar dari atau sama dengan 0,90 (Bentler, 1992 dalam Ghozali,
2005). Pada model yang diajukan dalam penelitian ini memiliki nilai NFI antara 0,80 sampai
dengan 0,90 serta nilai CFI antara 0,80 sampai dengan 0,90, maka dapat disimpulkan bahwa
Non Normed Fit Index (NNFI) digunakan untuk mengatasi permasalahan yang timbul akibat
kompleksitas model. Akan tetapi karena NNFI adalah “non normed” nilainya bisa lebih besar
daripada 1, sehingga susah untuk diintepretasikan (Ghozali, 2005). Meskipun ketiga indeks
tersebut dihasilkan oleh output LISREL, tetapi Bentler (1990) menganjurkan penggunaan CFI
sebagai ukuran fit. Nilai NNFI ≥ 0,90 menunjukkan good fit dan 0,80 ≤ NNFI < 0,90 adalah
Incremental Fit Index (IFI) digunakan untuk mengatasi masalah parsimony dan ukuran
sampel, dimana hal tersebut berhubungan dengan NFI. Batas cut-off IFI adalah 0,90 (Byrne,
Relative Fit Index (RFI) digunakan untuk mengukur fit model, dimana nilainya adalah antara
0 sampai dengan 1. Model penelitian yang memiliki nilai RFI lebih besar dari atau sama
dengan 0,90 menunjukkan bahwa model adalah fit, sedangkan nilai RFI antara 0,80 sampai
Goodness of Fit Indices (GFI) merupakan suatu ukuran mengenai ketepatan model dalam
menghasilkan observed matriks kovarians. Nilai GFI ini harus berkisar antara 0 sampai
dengan 1. Meskipun secara teori GFI mungkin memiliki nilai negatif tetapi hal tersebut
seharusnya tidak terjadi, karena model yang memiliki nilai negatif adalah model yang paling
buruk. Nilai GFI yang lebih besar dari atau sama dengan 0,90 menunjukkan fit suatu model
Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) adalah sama seperti GFI, akan tetapi telah
menyesuaikan pengharuh degrees of freedom pada suatu model. Sama seperti GFI, nilai
AGFI sebesar 1 berarti model memiliki kesesuaian yang sangat sempurna, sedangkan model
yang fit adalah memiliki nilai AGFI nilai AGFI lebih besar dari atau sama dengan 0,90
Ukuran yang hampir sama dengan AGFI adalah Parsimonious Goodness-of-Fit Index (PGFI)
yang telah menyesuaikan dengan dampak dari degree of freedom dan kompleksitas model.
Interpretasi PGFI ini sebaiknya diikuti dengan indeks model fit lainnya. Model yang baik
apabila memiliki nilai PGFI jauh lebih besar dari atau sama dengan 0,60 (Byrne, 1998 dalam
Ghozali, 2005).
PNFI merupakan modifikasi dari NFI. PNFI memperhitungkan banyaknya degree of freedom
untuk mencapai suatu tingkat kecocokan. Nilai PNFI yang lebih tinggi yang lebih baik.
Penggunaan PNFI terutama untuk perbandingan dua atau lebih model yang mempunyai
dan tidak ada rekomendasi tingkat kecocokan yang dapat diterima. Meskipun demikian
ketika membandingkan 2 model, perbedaan nilai PNFI sebesar 0,06 sampai dengan 0,09
RMR mewakili nilai rerata residual yang diperoleh dari mencocokkan matrik varian-kovarian
dari model yang dihipotesiskan dengan matrik varian-kovarian dari data sampel. Residual-
residual ini adalah relatif terhadap ukuran dari varian-kovarian teramati, sehingga sukar
diinterpretasikan. Oleh karena itu residual-residual ini paling baik diinterpretasikan dalam
metrik dari matrik korelasi (Hu dan Bentler, 1995). Standardized RMR mewakili nilai rerata
seluruh standardized residual, dan mempunyai rentang dari 0 menuju 1. Model yang
mempunyai kecocokan baik (good fit) akan mempunyai nilai Standardized RMR lebih kecil
dari 0,05.
CN adalah ukuran sampel terbesar yang dapat digunakan untuk menerima hipotesis bahwa
model tersebut benar (Hoelter, 1983). Hoelter’s CN digunakan untuk mengestimasi ukuran
sampel yang mencukupi untuk menghasilkan kecocokan model bagi sebuah uji χ 2 (Hu dan
Bentler, 1995). Hoelter mengusulkan bahwa nilai CN ≥ 200 merupakan indikasi bahwa
sebuah kecocokan yang baik atau memuaskan dicapai (Arbuckle dan Wothke, 1999).
Satorra-Bentler Scaled
1 p-value > 0,05 0,007 Poor fit
Chi-Square
AIC 84,97
CAIC 153,85
Goodness of Fit yang kurang baik, 2 ukuran Goodness of Fit yang cukup baik, dan 11 ukuran
Goodness of Fit yang menunjukkan hasil yang baik. Dengan demikian, kecocokan model
terhadap UMKM industri kreatif di Jawa barat, Indonesia, diajukan desain model komunikasi
bisnis bagi UMKM di masa pandemi (Gambar 8). Model ini diharapkan dapat diadaptasi oleh
Model ini berpusat pada analisis komunikasi bisnis yang terbagi menjadi dua aspek: aspek
internal dan eksternal. Aspek internal mencakup hubungan internal yang terbuka dan
dan memiliki role model dari jajaran manajemen ataupun manajemen / tenaga kerja dengan
gaya komunikasi egaliter dan terbuka. Pemenuhan faktor-faktor aspek komunikasi internal
ini dapat membantu UMKM mencapai tahap kematangan komunikasi pada tingkat adult
atau adolescent.
Sementara aspek eksternal mencakup pemanfaatan penjualan daring melalui laman web,
media sosialm dan sistem transaksi otomatis. Adaptasi fasilitas ini tidak hanya dilakukan
sebagai formalitas melainkan turut dijalankan dengan strategi social commerce yang
Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut
1. Upaya UMKM dalam menghadapi perubahan lingkungan bisnis pada saat pandemi
perbaikan di bidang relasi internal, adaptasi teknologi baru, dan role model. UMKM
yang bertahan menghadapi perubahan lingkungan bisnis adalah UMKM yang secara
relasi internal dinamis dan terbuka di jajaran manajemen, antara manajemen dan
digital untuk pemasaran dan juga memperlancar komunikasi antar anggota melalui
pertemuan rutin melalui aplikasi; mempraktikkan role model dari jajaran manajemen
dengan gaya komunikasi yang cenderung egaliter dan terbuka. Pemenuhan syarat
komunikasi bisnis internal tersebut akan membuat UMKM tersebut masuk pada
2. Model bisnis yang dilakukan UMKM di Jawa Barat pada saat pandemi COVID-19 dan
internal dan eksternal terkait komunikasi bisnis yang dibagi lagi ke dalam unsur
sebagai berikut: aspek internal yang terdiri dari relasi internal yang dinamis dan
terbuka, adaptasi teknologi digital yang menyeluruh untuk komunikasi antar anggota
perusahaan dan role model manajemen yang mempraktikkan gaya komunikasi yang
egaliter dan transparan; serta aspek eksternal yang terdiri dari pemanfaatan website
dan/ atau media sosial, sistem transaksi otomatis dan social commerce.
3. Proses komunikasi bisnis yang dilakukan UMKM di Jawa Barat dalam masa pandemi
saja, tetapi juga dijalankan dengan suatu strategi yang mengacu pada social
commerce, dalam hal ini terkait tiga aspek di dalamnya yaitu unsur fungsional,
sebesar 0,844 dengan nilai t lebih besar dari nilai kritis (4,957 ≥ 1,96). Nilai R2 yang
didapat adalah sebesar 0,713. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi variabel
sebesar 71,3%.
Daftar Pustaka
Algharabat, R. S., Rana, N. P., Alalwan, A. A., & Baabdullah, A. M. (2020). Investigating the
Impact of Social Media Commerce Constructs on Social Trust and Customer Value Co-
creation: A Theoretical Analysis. In Digital and Social Media Marketing: Emerging
Applications and Theoretical Development. Switzerland: Springer.
https://doi.org/10.1007/978-3-030-24374-6_3
Central Bureau of Statistics Indonesia. Indonesian Economic Growth First Quarter 2020. ,
Pub. L. No. 39/05/Th. XXIII, Central Bureau of Statistics Indonesia (2020). The Republic
of Indonesia: Central Bureau of Statistics Indonesia.
Central Bureau of Statistics Indonesia. Indonesian Economic Growth Second Quarter 2020. ,
Pub. L. No. 64/08/Th. XXIII, Central Bureau of Statistics Indonesia (2020). The Republic
of Indonesia: Central Bureau of Statistics Indonesia.
Clutterbuck, D., & Hirst, S. (2002). Business Performance and Communication Excellence. In
Talking Business: Making Communication Work (pp. 1–17). Burlington, MA:
Butterworth-Heinemann.
Cornelissen, J. P. (2017). Corporate Communication: A Guide to Theory and Practice (5th
ed.). California: SAGE Publications Ltd.
Handayani, N., Dewi, S. N. F., Sutikno, & Satriawan, E. (2020). The Mechanism of Micro,
Small, and Medium Enterprise’s Data Integration in Indonesia for Targeting Social
Assistance and Empowerment Programs Policy Brief Primary Messages. Jakarta.
Ministry of Cooperatives and SMEs. Updated Data of Micro, Small, Medium, and Large
Enterprises on 2018-2019. , Ministry of Cooperatives and SMEs § (2020). The Republic
of Indonesia.
Quintanilla, K. M., & Wahl, S. T. (2020). Business and professional communication: Keys for
workplace excellence (3rd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage.
Reinsch, L. (1991). Editorial: What Is Business Communication? Journal of Business
Communication, 28(4). https://doi.org/10.1177/002194369102800401
Rezki, J. F., Meisari, D., Fachrizah, H., Iskandar, S. D., Bintara, H., Sholihah, N. K., & Revindo,
M. D. (2020). Impact of COVID-19 Pandemic on MSMEs in Indonesia. Jakarta.
Sub Directorate of Statistical Indicators Central Bureau of Statistics. (2020). Analysis of the
Results of the Covid-19 Impact Survey on Businessmen. Jakarta.
The Republic of Indonesia. Micro, Small, and Medium Enterprises. , Pub. L. No. 20 (2008).
The Republic of Indonesia.
The Republic of Indonesia. Creative Economy. , Pub. L. No. 24, The Republic of Indonesia
(2019). The Republic of Indonesia: The Republic of Indonesia.
World Health Organization. (2021, May 15). WHO COVID-19 Dashboard. Retrieved May 28,
2021, from World Health Organization website: https://covid19.who.int