Anda di halaman 1dari 60

KONSTRUKSI KOMUNIKASI BISNIS UMKM PADA SAAT PANDEMI COVID-19 DAN ADAPTASI

KEBIASAAN BARU SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KEBERLANJUTAN USAHA

Pendahuluan

Akibat pandemi, berbagai sektor kehidupan manusia menjadi terkendala, mulai dari sektor

kesehatan, sosial, hingga ekonomi. Indonesia bahkan menjadi salah satu negara yang

mengalami dampak paling besar dari pandemi dan angka penderitanya masih tergolong

tinggi dibanding negara lainnya. Data World Health Organization (WHO) per 13 Mei 2021

menunjukkan angka total kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 1.728.204 orang atau

peringkat ke-18 di dunia. Untuk mengatasi pandemi yang disebabkan oleh virus COVID-19

ini, pemerintah Indonesia sudah melakukan berbagai kebijakan seperti misalnya

pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan juga penyebaran vaksin dalam

beberapa bulan belakangan ini.

Meski demikian, usaha pemerintah tersebut dianggap belum cukup untuk memulihkan

ekonomi, terutama bagi para pelaku usaha yang bergerak di wilayah usaha mikro, kecil, dan

menengah atau UMKM. Usaha yang digolongkan sebagai UMKM secara umum adalah usaha

produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan atau badan usaha yang

bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,

atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Besar dengan kisaran

kekayaan bersih antara 50 juta hingga 10 miliar atau hasil penjualan sekitar Rp 300 juta

sampai Rp 50 miliar setahun. Keberadaan UMKM ini sangat dominan di Indonesia. Data

Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa pada 2018 terdapat 64.194.057

UMKM yang ada di Indonesia atau sekitar 99 persen dari total unit usaha. UMKM tersebut
mempekerjakan 116.978.631 tenaga kerja atau sekitar 97 persen dari total tenaga kerja di

sektor ekonomi.3 Sebagai gambaran, pengaruh UMKM terhadap perekonomian di Indonesia

ini, berdasarkan data tahun 2018, menyumbang 61,1 persen dari total PDB nasional.

Pandemi Covid-19 kemudian mengubah kondisi UMKM secara besar-besaran. Penelitian

LPEM FEB UI tahun 2020 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 88 persen UMKM mengalami

penurunan permintaan (demand) sebesar 40%-60%. Dampak perubahan margin profit pada

UMKM secara keseluruhan dilaporkan mencapai sekitar 30%. Sebanyak 30% responden

mengalami penurunan sebesar 40%-60% dan 28% lainnya sebesar 20%-40% pada tahun

2020. Mayoritas usaha menengah mengalami penurunan margin profit tertinggi yaitu 40%

hingga 80%, sedangkan usaha mikro dan kecil sebagian besar mengalami menurunan

sebesar 20%-50%. Mayoritas UMKM pada penelitian ini (56%) dilaporkan melakukan

pengurangan jumlah karyawan sebesar 20%-60%, bahkan 22% UMKM memilih menutup

usaha sebagai strategi jangka pendek dalam menghadapi pandemi. Melemahnya UMKM

berdampak pada turunnya kinerja ekonomi Indonesia sejak triwulan I tahun 2020, yang

tercermin dari laju pertumbuhan ekonomi triwulan I tahun 2020 yang hanya mencapai 2,97

persen dan kembali menurun signifikan pada triwulan II tahun 2020 yang tumbuh minus

5,32 persen., Hingga penelitian ini ditulis pada awal tahun 2021, jumlah UMKM yang

terdampak diperkirakan terus meningkat.

Hasil survei dampak Covid-19 terhadap pelaku usaha oleh Badan Pusat Statistik terhadap

34.559 UMKM di Indonesia secara umum menunjukan bahwa 4 dari 6 badan usaha berhenti

beroperasi akibat pandemi. Provinsi Bali, DI Yogyakarta, Banten, dan DKI Jakarta adalah

empat provinsi yang pelaku usahanya paling terdampak oleh pandemi berdasarkan

persentase perusahaan yang mengalami penurunan pendapatan dengan tiga sektor usaha
tertinggi yaitu akomodasi dan makan minum (92,47%), jasa lainnya (90,90%), serta

transportasi dan pergudangan (90,34%). Penurunan permintaan dari konsumen akibat

Covid-19 dominan dialami oleh perusahaan pada sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan

Minum (87%), Transportasi dan Pergudangan (85%), dan Jasa Lainnya (85%).

Banyaknya UMKM, khususnya di bidang industri kreatif yang terdampak Covid-19 ini

membuat para pelaku harus membuat langkah-langkah yang lebih adaptif agar bisnisnya

mampu bertahan. Salah satu langkah yang mungkin dilakukan adalah perbaikan di sisi

komunikasi bisnis. Model komunikasi bisnis yang dibangun UMKM di masa pandemi ini

harus mempertimbangkan perilaku konsumen yang mengalami perubahan signifikan

terutama terkait model transaksi yang berpindah dari luar jaringan atau luring (offline) ke

dalam jaringan atau daring (online). Perubahan perilaku ini tidak hanya mensyaratkan

pengadaan teknologi baru, tetapi juga pemahaman terkait literasi digital dari para pelaku

UMKM, baik secara eksternal maupun internal. Artinya, hal yang bertransformasi tidak

hanya sekadar dari aspek fasilitas dan juga tampilan, tetapi juga aspek manajemen,

organisasi, dan juga branding perusahaan secara umum.

Penelitian ini akan mengkaji serta menganalisa sejumlah UMKM di Jawa Barat yang bergerak

di bidang industri kreatif dalam melakukan adaptasi terkait kondisi pandemi di Indonesia

terutama dari sisi komunikasi bisnis. Berdasarkan penelitian atas sejumlah UMKM tersebut,

kemudian akan dirumuskan sekaligus digagas model komunikasi bisnis yang lebih

komprehensif untuk diterapkan pada berbagai UMKM lainnya sebagai bagian dari solusi

dalam berbisnis di era pandemi. Pertanyaan penelitian akan diurai dalam empat poin

berikut ini:
1. Bagaimana upaya UKM dalam menghadapi perubahan lingkungan bisnis pada saat

pandemi COVID-19?

2. Bagaimana model bisnis yang dilakukan UMKM di Jawa Barat pada saat pandemi

COVID-19 dan untuk memasuki adaptasi kebiasaan baru?

3. Bagaimana proses komunikasi bisnis yang dilakukan UMKM di Jawa Barat dalam

masa pandemi COVID-19 dan dalam memasuksi adaptasi kebiasaan baru

4. Seberapa besar pengaruh komunikasi bisnis terhadap keberlanjutan usaha UMKM di

Jawa Barat?

Tinjauan Pustaka

Komunikasi Bisnis

Komunikasi bisnis adalah komunikasi yang ditujukan untuk sasaran paling fundamental

dalam bisnis, yaitu memaksimalkan keuntungan dan kesejahteraan (Reinsch, 1991).

Meskipun memiliki perbedaan dengan jenis komunikasi lain di dalam perusahaan seperti

komunikasi manajemen atau komunikasi organisasi, ketiganya seringkali tidak dipisahkan di

dalam pembahasan mengenai komunikasi bisnis. Sebagai contoh, komunikasi bisnis juga

melibatkan bagaimana membentuk pemahaman antar budaya di dalam organisasi,

membangun tim yang solid dan efektif, berinteraksi secara interpersonal, melakukan riset

pasar, menjalankan promosi, memilih media sebagai jembatan dengan konsumen, dan

sebagainya (Quintanilla & Wahl, 2020)

Namun secara umum, pembahasan mengenai komunikasi bisnis pada dasarnya adalah

pembahasan mengenai konsep komunikasi itu sendiri. Hanya saja, ruang lingkupnya
kemudian lebih dititikberatkan pada konteks bisnis. Maka itu, melalui pemaparan tentang

empat fungsi komunikasi di dalam manajemen dan organisasi berikut ini, tujuan-tujuan di

dalam bisnis juga dapat ikut tercapai. Empat fungsi komunikasi tersebut adalah sebagai

berikut: (1) Kejelasan tujuan (clarity of purpose), yaitu bagaimana bisnis dapat menentukan

pencapaian dan prioritas yang dapat dimengerti oleh siapapun yang bekerja di dalamnya;

(2) saling percaya antara satu dengan yang lainnya di berbagai tingkatan (trusting interfaces

between people at all levels), dibangun antara pimpinan dan bawahan, manajer dan

berbagai laporan yang masuk, pekerja dengan sesama pekerja lainnya, ataupun perusahaan

dan pelanggan serta distributor; (3) penyebaran informasi yang efektif (effective sharing of

information), yaitu ketika sistem dan juga jaringan memungkinkan orang untuk

mendapatkan informasi dan waktu yang tepat untuk melakukan tugasnya; berbagi opini dan

mendiskusikan ide; dan belajar dari satu sama lain; (4) komunikasi dari pihak manajemen

(top management communication), yaitu ketika pimpinan organisasi bersikap konsisten

antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan, baik secara formal maupun informal,

akan membuat mereka dipandang oleh bawahannya sebagai model yang ideal dalam

berkomunikasi.

Pemaparan tentang empat butir fungsi komunikasi di dalam manajemen dan organisasi di

atas, menunjukkan pentingnya komunikasi dalam perusahaan secara umum. Bahkan dapat

dikatakan, transparansi informasi menjadi realitas baru dalam mempertahankan suatu

perusahaan. Artinya, keterbukaan, atau dalam hal ini, keterbukaan komunikasi, menjadi

kunci penting dalam berbisnis. Dalam masyarakat informasi sekarang ini, menyebarkan

informasi seluas-luasnya justru akan memperkuat posisi perusahaan, baik di mata internal

ataupun eksternal, daripada merahasiakannya.


Untuk memperlihatkan tahapan dalam kematangan berkomunikasi dapat suatu perusahaan,

dapat dirumuskan melalui level sebagai berikut: (1) Baru lahir (nascent), yaitu tahap

berkomunikasi seperlunya, dan segala hal serba dirahasiakan. Di tahap ini, komunikasi

berlangsung secara serampangan; (2) belum matang (immature), yaitu tahap berkomunikasi

yang terpisah-pisah dan acak di antara anggota perusahaan, tetapi cukup solid di kalangan

pimpinan; (3) remaja (adolescent), yaitu tahap berkomunikasi yang mulai terintegrasi, tetapi

terbatas pada hubungannya dengan konsumen dan pola relasi atasan – bawahan; (4)

matang (adult), yaitu tahap berkomunikasi yang keseluruhannya terintegrasi dan berlaku

antar pegawai dari segala tingkatan (termasuk dengan atasan).

Social Commerce

Konsep social commerce terbentuk seiring dengan perkembangan aplikasi-aplikasi Web 2.0

yang mempercepat laju tren baru berupa evaluasi ulang marketing media sosial. Teknologi

ini memungkinkan konsumen membuat konten dan membagian informasi produk. Selain

itu, konsumen juga dapat menunjukan dukungan sosial terhadap suatu produk kepada calon

konsumen dengan cara memberi ulasan, penilaian (rating), dan merekomendasikan suatu

brand atau produk tertentu. Aktivitas dalam sosial media tersebut dapat memengaruhi

konsumen lain melalui social commerce sehingga menciptakan suatu “kepercayaan sosial”.

Kepercayaan sosial (social trust) dapat dibangun dari dua hal: (1) konten dan ulasan produk

yang diberikan oleh konsumen memberi asumsi besaran kesan terhadap produk tersebut

bagi konsumen lain, dan (2) konsumen cenderung lebih mempercayai opini publik

dibandingkan konten promosi dari perusahaan.


Dengan kata lain, proses pembentukan kepercayaan sosial berdasarkan sudut pandang

konsumen memiliki nilai yang lebih tinggi. Dengan adanya kepercayaan sosial, para

konsumen secara simultan akan terus memproduksi nilai otentik suatu produk secara

organik seiring dengan peningkatan interaksi antara konsumen dan perusahaan serta antar

konsumen itu sendiri (Algharabat et al., 2020).

Social commerce merupakan bagian dari sistem perdagangan elektronik yang

memungkinkan konsumen berpartisipasi aktif dalam proses komunikasi bisnis melalui media

sosial (Rana et al., 2019; Shareef et al., 2019; Shiau et al., 2017). Saat ini, terdapat dua jenis

social commerce yang tersedia (Algharabat et al., 2020): (1) situs dengan perangkat Web 2.0

(contohnya Amazon) dan fitur promosi konten konsumen. Namun, jenis ini memiliki

keterbatasan interaksi antar konsumen, contohnya, konsumen tidak dapat mengirim pesan

pribadi atau menandai (tag) konsumen lain (Huang & Benyoucef, 2013); (2) layanan jejaring

sosial (social networking services) dengan fungsi e-commerce yang menyediakan kanal

interaksi sosial antar konsumen, mendorong pembentukan nilai suatu produk berdasarkan

pengalaman dan konten yang dibagikan oleh publik.

Social commerce, sebagai aktivitas bisnis dalam wadah media sosial terdiri dari tiga dimensi

(Gonçalves Curty & Zhang, 2013): ulasan dan penilaian (menyediakan informasi suatu brand

atau produk tertentu pada suatu wadah media sosial dari konsumen pada konsumen

lainnya), rekomendasi dan rujukan (berdasarkan pengalaman konsumen), serta forum dan

komunitas (wadah interaksi sosial yang lebih spesifik untuk suatu brand) (Hajli, 2015).

Penelitian sebelumnya terkait pembentukan nilai bersama (value co-creation) menunjukkan

bahwa konsep ini terbentuk dari interaksi dan diskusi antara produsen dan konsumen serta

evaluasi nilai dengan menggabungkan nilai-nilai personal (Alalwan et al., 2017; Baabdullah
et al., 2019). Penelitian lain pun menunjukan bahwa media sosial dapat membentuk nilai

bersama bersadarkan interaksi antar konsumen serta konsumen dan perusahaan (Schau et

al., 2009). Karena itu, konstruksi nilai dapat fluktuatif seiring berjalannya interaksi sosial

(Baabdullah, 2018).

Penelitian lain menekankan bahwa pembentukan nilai bersama terdiri dari tiga dimensi

(Foster, 2010; Shareef et al., 2017): (1) fungsional (menemukan dan memperbarui

informasi) (Lee et al., 2014), 2) hedonis (suasana hati dan sentimen) (Zhang et al., 2017), dan

(3) nilai sosial (konsepsi diri konsumen dan komunikasi sosial antar konsumen melalui

berbagai wadah media sosial) (B. Jahn & Kunz, 2012; Yu et al., 2013). Dengan kata lain, para

konsumen yang memiliki kesamaan nilai akan bergabung ke dalam wadah media sosial yang

sama secara natural. (Algharabat et al., 2020).

Metodologi

Untuk menjawab pertanyaan penelitian nomor 1, 2, dan 3, digunakan pendekatan kualitatif

dengan metode studi kasus. Studi kasus ini kemudian akan ditelaah dan dicari pola-pola

yang dianggap bisa diabstraksikan menjadi sebuah model untuk diterapkan pada kasus

lainnya yang serupa. Menurut Yin (2009), metode penelitian studi kasus merupakan strategi

yang tepat untuk digunakan dalam penelitian yang menggunakan pokok pertanyaan

penelitian how atau why, sedikit waktu yang dimiliki peneliti untuk mengontrol peristiwa

yang diteliti, dan fokus penelitiannya adalah fenomena kontemporer, untuk melacak

peristiwa kontemporer.
Penelitian ini memilih informan dengan menggunakan teknik sampel purposif yang mengacu

pada tema serta tujuan penelitian. Adapun kriteria yang diajukan di dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut: (1) UMKM yang ada di wilayah Jawa Barat, Indonesia; (2) UMKM

yang bergerak di wilayah industri kreatif; (3) UMKM yang dalam kegiatan jual-belinya turut

melibatkan saluran daring. Berdasarkan tiga poin tersebut, UMKM yang dianggap

memenuhi kriteria kemudian dibagi lagi ke dalam tiga kategori yaitu kategori A, kategori B,

dan kategori C.

Kategori A adalah UMKM di bidang industri kreatif yang bisnisnya tetap bertahan di masa

pandemi dan tidak melakukan perombakan berarti. Tetap beroperasinya UMKM tanpa

perombakan berarti ini ditandai dengan tidak adanya perubahan signifikan dalam hal jumlah

karyawan, jam operasional, dan kegiatan produksi dari sebelum masa pandemi hingga

dimulainya masa pandemi di Indonesia.

Kategori B adalah UMKM di bidang industri kreatif yang bisnisnya tetap bertahan di masa

pandemi dengan melakukan perubahan cukup besar. Misalnya, dengan melakukan

pemutusan hubungan kerja pada beberapa karyawan, perubahan jam operasional menjadi

lebih sedikit, atau penyesuaian pada biaya produksi. Perubahan-perubahan tersebut

dilakukan terutama di masa pandemi di Indonesia.

Kategori C adalah UMKM di bidang industri kreatif yang mengalami kebangkrutan di masa

pandemi. Tidak beroperasinya UMKM ini ditandai dengan berhentinya kegiatan produksi,

terutama di masa pandemi di Indonesia.

UMKM tersebut kemudian akan diobservasi dan perwakilannya diwawancarai secara

mendalam (in-depth interview) untuk mengetahui aspek internal maupun eksternal dari

perusahaan yang kemudian dijadikan referensi pembuatan model. Aspek internal dari
perusahaan berkaitan dengan tahapan dalam kematangan berkomunikasi, yang

wawancaranya dipandu oleh pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsistensi informasi yang diterima antar jabatan?

2. Seberapa erat rantai komunikasi antara karyawan dan konsumen, serta antar

karyawan dan pihak manajemen?

3. Bagimana kompetensi komunikasi antar jabatan dalam berdiskusi, mengkritik, dan

penyampaian informasi?

4. Bagaimana pengaruh interaksi informal terhadap keberlangsungan usaha?

5. Sejauh apa kepercayaan karyawan terhadap karyawan lain atau pihak manajemen?

6. Seberapa signifikan pengaruh teknologi terhadap komunikasi, apakah semakin baik

atau sebaliknya?

7. Bagaimana peningkatan performa komunikasi dapat meningkatkan pencapaian

target?

8. Bagaimana sosok role model komunikator efektif?

9. Seberapa besar pengaruh komunikasi dalam memerbaiki perilaku karyawan dan rasa

kepemilikan terhadap badan usaha?

Berdasarkan panduan pertanyaan di atas yang ditujukan untuk mengetahui tahapan

kematangan berkomunikasi dalam suatu perusahaan, maka respons dari informan akan

dikelompokkan pada tiga bagian yaitu terkait relasi internal, adaptasi teknologi baru, dan

kehadiran role model komunikasi di dalam UMKM. Relasi internal ini berhubungan dengan

keterbukaan komunikasi di jajaran manajemen, antara manajemen - manajemen / tenaga


kerja - tenaga kerja non-manajemen, serta sesama tenaga kerja non-manajemen.

Sedangkan adaptasi teknologi baru lebih berhubungan dengan penerapan teknologi

informasi bagi komunikasi internal untuk meningkatkan keberlanjutan usaha.

Dalam UMKM yang diteliti dalam artikel ini, pada ketiga kategori (A, B, dan C), umumnya

pihak manajemen, beberapa di antaranya atau bisa juga seluruhnya, adalah juga merangkap

tenaga kerja. Adapun jika terdapat tenaga kerja yang terpisah dari jajaran manajemen atau

tenaga kerja non-manajemen, maka paling banyak adalah sekitar sepuluh orang.

Sementara itu, aspek eksternal dari perusahaan berkaitan dengan strategi pemasaran

UMKM dengan menggunakan saluran daring. Observasi dan wawancara dilakukan untuk

melihat bagaimana UMKM tersebut menjalankan strategi daring terutama hubungannya

dengan social commerce yang melibatkan konsumen ataupun calon konsumen untuk turut

mempromosikan produk-produk dari UMKM.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian nomor 4, digunakan pendekatan kuantitatif dengan

variabel berikut ini:

1. Variabel bebas (X): komunikais bisnis

2. Variabel terikat (Y): keberlanjutan usaha UMKM

Tabel. 1 Operasionalisasi Variabel

Variabel Dimensi Indikator Ukuran Skala

Pengukuran

Komunikasi Internal Relasi internal Tingkat keterbukaan Ordinal

bisnis (X) dan dinamika di

antara manajemen-
karyawan, dan antar

karyawan

Adaptasi teknologi Seberapa besar

peranan teknologi

bagi komunikasi

internal dan

perencanaan usaha

Ahli komunikasi Seberapa besar

sebagai role model pengaruh keterlibatan

ahli komunikasi

terhadap praktik

komunikasi internal

menurut manajemen

dan karyawan

Eksternal Pemanfaatan Seberapa penting

platform digital pemanfaatan platform

digital bagi

keberlangsungan

UMKM

Penggunaan Apakah penggunaan

sistem transaksi sistem transaksi

otomatis otomatis diperlukan

dalam proses jual-beli

Perhatian Seberapa penting


terhadap social penerapan konsep

commerce social commerce

untuk menarik

engagement

konsumen

Keberlanjutan Operasional Efisiensi jumlah Seberapa perlu untuk

usaha UMKM karyawan melakukan efisiensi

(Y) jumlah karyawan

Perubahan jam Seberapa perlu untuk

operasional melakukan perubahan

jam operasional

Laju produksi Seberapa besar

perubahan laju

produksi sebelum dan

sesudah pandemi

Hasil dan Pembahasan

Pendekatan Kualitatif dengan Metode Studi Kasus

Pada UMKM kategori A, ditemukan bahwa tahap kematangan berkomunikasinya dapat

digolongkan ke dalam adult atau sekurang-kurangnya adolescent. Pada UMKM kategori ini,

diadakan musyawarah terlebih dahulu dalam rangka membahas posisi perusahaan di masa

pandemi. UMKM tersebut menjabarkan secara utuh kondisi keuangan perusahaan dengan

berbagai alternatif jalan keluar dan setiap manajemen/ tenaga kerja dimintai pendapatnya
secara demokratis. Keterbukaan diskusi semacam itu menunjukkan keterbukaan antara

anggota di dalam UMKM. Dampak dari keterbukaan tersebut, berdampak pada rasa

memiliki yang besar terhadap semua anggota perusahaan termasuk kelompok tenaga kerja

yang non-manajemen. Rasa memiliki menjadi faktor yang sangat penting di masa krisis

seperti pandemi sekarang ini, karena dengan demikian, alih-alih motivasi kerja menjadi

menurun, malah sebaliknya, menjadi lebih meningkat karena sama-sama ingin menjaga

kelangsungan perusahaan sebagai sumber penghidupan para anggotanya.

Berdasarkan wawancara dengan UMKM lain yang termasuk pada kategori A, disebutkan

bahwa keterbukaan terhadap komunikasi ini juga ditunjukkan melalui penerimaan terhadap

teknologi baru. Dengan adanya pandemi yang membatasi aktivitas luring, maka keterbukaan

terhadap media digital menjadi suatu keharusan sebagai upaya menjaga kelancaran

komunikasi di dalam perusahaan. Penerimaan terhadap teknologi baru ditunjukkan dengan

usaha para anggota perusahaan untuk beradaptasi dengan aplikasi seperti Google Meet

atau Zoom Meeting sehingga aktivitas UMKM tetap berjalan. 

UMKM lain dalam kategori A mengatakan bahwa komunikasi di dalam perusahaan

tergolong lancar dan terbuka karena rata-rata anggota perusahaan, terutama yang

menduduki posisi manajemen, juga menunjukkan kemampuan komunikasi yang baik.

Keberadaan role model ini menjadi kunci bagaimana jalannya komunikasi di perusahaan

seperti misalnya, jika manajer menunjukkan sikap egaliter dalam berbicara dengan anggota

perusahaan lain, maka akan berpengaruh juga pada bagaimana tenaga kerja bersikap pada

tenaga kerja lainnya dalam konteks yang lebih horizontal. Bahkan tenaga kerja non-

manajemen dalam hal ini malah menjadi lebih hormat pada manajemen, dan bukan

sebaliknya. Role model dengan kemampuan komunikasi yang baik dan terbuka membuat
seluruh anggota perusahaan menjadi percaya pada saat manajemen memaparkan kondisi

perusahaan di masa pandemi. 

Sementara itu, pada UMKM kategori B, tahapan kematangan berkomunikasinya dapat

digolongkan ke dalam adolescent meski pada kasus tertentu dapat dikatakan immature.

Sebagaimana hasil wawancara dengan UMKM yang melakukan efisiensi tenaga kerja dari

sebelumnya delapan orang menjadi empat orang dan jam kerja yang seharusnya per hari

adalah empat belas jam (dua shift) menjadi sepuluh jam, diketahui bahwa pihak manajemen

cukup terbuka terkait kondisi pandemi dan dampaknya bagi perusahaan, tetapi tetap

melakukan diskusi secara tertutup tentang tenaga kerja mana yang dirumahkan dan mana

yang tidak.

Kemudian pada UMKM lainnya dalam kategori B, keterbukaan terhadap teknologi baru

memang dilakukan, tetapi hanya untuk jajaran manajemen atau tenaga kerja merangkap

manajemen saja. Terhadap tenaga kerja non manajemen, teknologi baru, atau dalam hal ini,

teknologi digital, tidak menjadi keharusan sebagai bagian dari aktivitas komunikasi sehari-

hari di dalam perusahaan. Tenaga kerja secara umum mengetahui bahwa terdapat

penerimaan terhadap teknologi digital pada UMKM dan diaplikasikan pada aspek tertentu di

dalam perusahaan, tetapi tidak secara rinci. Kalaupun tenaga kerja diharuskan

menggunakan teknologi digital di dalam UMKM, biasanya terkait tugas-tugas tertentu

secara spesifik seperti misalnya, menjadi administrator bagi divisi penjualan daring. Artinya,

teknologi digital diserap, tetapi tidak diterapkan untuk komunikasi internal UMKM. 

Hasil wawancara dengan UMKM yang masih digolongkan ke dalam kategori B, menunjukkan

adanya komunikasi yang cukup terbuka, tetapi diarahkan sebatas pada konsumen. Artinya,

manajemen sekaligus tenaga kerja diberi pelatihan yang intensif terkait bagaimana
menghadapi pembeli, tetapi kurang diberikan pelatihan serupa untuk berkomunikasi di

lingkungan internal. Komunikasi internal diarahkan untuk berlaku “alamiah” saja seolah-olah

dengan sendirinya sudah saling mengerti satu sama lain. Hal ini memang berjalan wajar

hingga sebelum pandemi, tetapi saat terjadi krisis, maka menjadi sulit bagi pihak

manajemen untuk mengkomunikasikan keadaan pada pihak tenaga kerja non-manajemen.

Dengan demikian, hasil wawancara ini juga menjawab terkait peran role model di dalam

perusahaan, yang sebatas berorientasi pada bagaimana sikap anggota perusahaan terhadap

publik atau konsumen. 

Pada UMKM kategori C, tahap kematangan berkomunikasi digolongkan pada immature dan

pada kasus tertentu bahkan dapat dikatakan ada di tahap nascent. Seperti hasil wawancara

dengan salah satu UMKM pada kategori ini, diperoleh hasil bahwa ada hierarki yang tegas

antara jajaran manajemen dengan tenaga kerja non-manajemen, yang ditunjukkan lewat

bentuk komunikasi yang umumnya bersifat formal. Di perusahaan ini, tenaga kerja hanya

tahu tugas-tugasnya sendiri dan tidak mengetahui secara umum apa yang terjadi di wilayah

manajemen. Di jajaran manajemen sendiri terjadi hal yang sama, yaitu hal-hal terkait

perusahaan secara umum disimpan secara terbatas informasinya bagi pihak manajemen dan

tenaga kerja non-manajemen dianggap tidak boleh mengetahuinya. Tenaga kerja non-

manajemen hanya diberikan informasi mengenai tugas-tugas yang perlu dikerjakan, standar

pelayanan terhadap konsumen, dan upah yang diterima setiap bulannya. Selebihnya, tidak

ada komunikasi internal antar hierarki, terutama terkait hal-hal yang informal. 

Adaptasi teknologi baru terjadi pada UMKM kategori C, tetapi dapat dikatakan sudah

dilakukan dari sebelum terjadi pandemi dan tidak ada perubahan berarti di masa krisis.

Artinya, teknologi baru, atau dalam hal ini teknologi digital, tidak dijadikan pertimbangan
untuk menjadi solusi keadaan perusahaan di tengah pandemi. Hal tersebut mengacu pada

hasil wawancara yang mengatakan bahwa teknologi digital sudah lama diadopsi untuk

berjualan secara daring, tetapi sifatnya hanya perpanjangan dari apa yang sudah dipasarkan

secara luring, sehingga tidak ada strategi pemasaran digital khusus. Sedangkan untuk

kepentingan internal, berdasarkan wawancara dengan salah satu UMKM pada kategori ini,

tidak ada adaptasi teknologi baru secara signifikan dan masih memanfaatkan fasilitas yang

sudah digunakan dari sebelum pandemi, seperti misalnya aplikasi Whatsapp Group atau

Telegram. 

Role model di dalam UMKM kategori C, secara umum kurang memberi contoh bagaimana

berkomunikasi yang baik dan terbuka. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas komunikasi yang

umumnya dilakukan dalam konteks formal saja, misalnya, terkait pekerjaan serta upah.

Kalaupun ada percakapan informal, ini dilakukan sangat sedikit di jam istirahat dan tidak

pernah menyinggung kondisi perusahaan secara terbuka. Role model semacam ini membuat

tenaga kerja, khususnya tenaga kerja non-manajemen, menjadi kurang mempunyai

kepedulian dan rasa memiliki terhadap perusahaan. Dampaknya, pada saat UMKM

mengumumkan situasi krisis yang berakibat pada pemotongan gaji dan bahkan efisiensi

tenaga kerja, sejumlah tenaga kerja non-manajemen langsung memutuskan untuk mundur

dari perusahaan. 

Berdasarkan wawancara dan observasi terhadap sejumlah UMKM yang dijadikan informan,

maka hasilnya dapat dikelompokkan ke dalam tabel berikut ini:

Tabel 2. Klasifikasi Komunikasi Bisnis Internal berdasarkan Tahapan Kematangan

Komunikasi
Relasi internal Adaptasi teknologi Role model Tahapan

baru Kematangan

Komunikasi

Kategori Dinamis dan terbuka di Teknologi digital Role model dari Adult,

A jajaran manajemen, digunakan selain jajaran adolescent

antara manajemen - untuk pemasaran ke manajemen

manajemen / tenaga luar, juga untuk ataupun

kerja - tenaga kerja non- memperlancar manajemen /

manajemen, dan sesama komunikasi antar tenaga kerja

tenaga kerja non- anggota perusahaan dengan gaya

manajemen. melalui pertemuan komunikasi yang

rutin lewat aplikasi cenderung

Zoom atau Google egaliter dan

Meet. terbuka.

Kategori Jajaran manajemen dan Teknologi digital Role model dari Adolescent,

B manajemen / tenaga diadaptasi untuk jajaran immature

kerja cukup terbuka memperkuat manajemen

dalam memaparkan komunikasi ataupun

kondisi perusahaan eksternal atau lebih manajemen /

tetapi hanya sampai ke arah pemasaran tenaga kerja

pada gambaran umum. tetapi kurang cenderung

Pada saat melakukan dimaksimalkan menunjukkan


perubahan signifikan, untuk komunikasi keterbukaan

komunikasi tetap internal atau hanya pada hal-hal

dibatasi dan tidak menggunakan fitur- yang berkaitan

sampai ke tenaga kerja fitur yang sudah dengan publik

non-manajemen. biasa seperti atau konsumen.

Whatsapp Group

atau Telegram.

Kategori Terdapat hierarki yang Teknologi digital Role model dari Immature,

C tegas antara manajemen diadaptasi tanpa jajaran nascent

dan tenaga kerja non- suatu strategi manajemen

manajemen. Informasi- pemasaran khusus ataupun

informasi perusahaan dan hanya menjadi manajemen /

sebagian besar disimpan perpanjangan dari tenaga kerja

oleh jajaran manajemen penjualan luring lebih sering

dan pihak tenaga kerja saja. Komunikasi bersikap formal

non-manajemenhanya internal cenderung dan berjarak

mengetahui apa yang menggunakan fitur- dengan tenaga

menjadi bagiannya saja. fitur yang sudah kerja non-

Pihak tenaga kerja non- biasa seperti manajemen.

manajemen hampir Whatsapp Group

tidak pernah dimintai atau Telegram.

pendapat terkait kondisi


perusahaan.

Berdasarkan pengelompokkan di atas, terlihat bahwa UMKM yang berhasil bertahan di

masa pandemi tanpa melakukan perubahan berarti di dalam aktivitas perusahaannya,

cenderung sudah ada pada tahap kematangan komunikasi internal yang disebut dengan

adolescent atau bahkan adult. Sedangkan UMKM yang berhasil bertahan di masa pandemi

tetapi dengan sejumlah perubahan cukup signifikan terkait efiensi jumlah tenaga kerja,

jumlah jam kerja, serta aktivitas produksi, ternyata bisa digolongkan ada pada tahap

komunikasi internal yang disebut dengan adolescent atau immature. Terlihat juga pada

UMKM yang tidak mampu bertahan di masa pandemi atau dapat dikatakan bangkrut,

adalah UMKM yang tahap kematangan komunikasi internalnya disebut dengan immature

atau bahkan nascent.

Berdasarkan wawancara dengan UMKM dan juga observasi terhadap aktivitasnya di dunia

digital, maka dapat dilihat bahwa UMKM tersebut memiliki akun di media sosial, khususnya

Twitter dan Instagram. UMKM tersebut juga memiliki akun di sistem transaksi otomatis

seperti Tokopedia atau Shopee sehingga konsumen dapat langsung membayar dan

diantarkan oleh jasa pengiriman barang langsung ke lokasi masing-masing. Aspek utama

yang membedakan UMKM yang berada pada kategori A ini adalah kemampuannya dalam

melakukan social commerce. Misalnya, pada salah satu UMKM kategori A terlihat bahwa

social commerce ini begitu diperhatikan sehingga berdampak pada ikatan yang kuat dengan

konsumen. Terlihat dari bagaimana konsumen kemudian tidak hanya menjadi followers bagi

akunnya, tetapi juga seringkali turut mempromosikan dan merekomendasikan pada orang

lain.
Perhatian terhadap social commerce ini, sebagaimana terjadi pada salah satu UMKM

ditunjukkan lewat pertama, memberikan informasi serinci mungkin terkait produk,

termasuk dengan mencantumkan berbagai ulasan dari konsumen yang pernah

menggunakan produk tersebut. UMKM ini memanfaatkan media sosial untuk menerima

saran dan masukan melalui komentar di media sosial atau kolom ulasan di sistem transaksi

otomatis. Pada UMKM lainnya, website juga dipergunakan untuk memberikan informasi

sedetail mungkin tentang produk, baik melalui visual maupun penambahan keterangan

(caption). UMKM ini juga menitikberatkan pada konten-konten yang punya nilai sosial, yang

artinya tidak hanya berpusat pada aspek hard selling saja, tetapi seputar informasi yang

memiliki nilai edukasi. 

Social commerce, selain hal terkait aspek fungsional dan sosial, juga mesti menghadirkan

aspek hedonistik, suatu efek kesenangan terhadap konsumen. Kesenangan ini secara visual

dapat berupa desain yang menarik dan mudah dicerna (tidak terlalu simbolik). Selain itu,

penggunaan video singkat, turut memberikan efek hedonistik, dengan memenuhi kepuasan

akan gambar yang lebih dinamis, ketimbang statis. Dalam konteks media sosial, teks yang

berfungsi sebagai caption, dibuat sesingkat dan sejelas mungkin, tanpa perlu memerlukan

waktu yang lama untuk membacanya. Hal ini, menurut salah satu UMKM menjadi tantangan

untuk mendamaikan aspek fungsional dan hedonistik karena yang satu memerlukan teks

yang detail, sedangkan lainnya lebih memerlukan teks yang ringan, tapi jelas dan tegas.

UMKM tersebut kemudian mempekerjakan sejumlah copywriter berpengalaman untuk

mengatasi hal tersebut. 

Hal yang dapat dikatakan krusial pada kategori A ini adalah dalam melihat pentingnya

membangun kepercayaan konsumen melalui fitur ulasan seperti yang ada dalam sistem
transaksi otomatis. UMKM kategori A sangat memperhatikan pemberian nilai dan komentar

dari konsumen sehingga saat transaksi sudah selesai dilakukan, pihak UMKM akan segera

melakukan tindak lanjut terhadap konsumen untuk meminta ulasan. Menurut salah satu

UMKM yang tergolong pada kategori ini, banyaknya ulasan dan komentar positif akan

membuat calon konsumen lain berdatangan untuk membeli produknya. Inilah yang

kemudian disebut sebagai social trust dalam konteks media sosial. 

Pada UMKM kategori B mereka menaruh perhatian pada media sosial, website, dan sistem

transaksi otomatis, tetapi kurang memperhatikan aspek social commerce. Memang dalam

konten-konten di media sosial pada UMKM tersebut, terdapat usaha untuk menghasilkan

konten yang bagus, menarik, sekaligus informatif, tetapi tidak dalam suatu intensi khusus

yang dijalankan melalui strategi pemasaran yang spesifik. Dalam artian, konten-konten

tersebut diperlihatkan begitu saja pada publik atau calon konsumen tanpa ada

pertimbangan nantinya akan menghasilkan suatu ikatan atau ulasan yang menarik atau

tidak. Intinya, pada UMKM kategori B, penjualan daring hanya dilakukan dalam kerangka

pemasaran yang satu arah: dari produsen ke konsumen (tidak memikirkan soal apakah

konsumen tersebut akan memberikan umpan balik atau menyebarkannya lebih luas ke

konsumen lainnya).

Wawancara lain dengan UMKM kategori B menunjukkan bahwa media sosial, website, dan

sistem transaksi otomatis memang sangat membantu, tetapi itu semua merupakan

perpanjangan saja dari apa yang sudah dilakukan secara luring. Artinya, media sosial,

website, dan sistem transaksi otomatis hanyalah melakukan semacam amplifikasi dari apa

yang telah berjalan dari sebelum digunakannya teknologi digital tersebut. Dapat dikatakan

juga bahwa UMKM tersebut tidak merasa perlu adanya strategi tersendiri dalam pemasaran
digital seperti misalnya bagaimana mengikat konsumen daring dan membuat mereka turut

mempromosikan. 

Saat pandemi mulai memasuki Indonesia, UMKM tertentu memang menyadari pentingnya

menggunakan teknologi digital seperti media sosial, website, dan sistem transaksi otomatis.

Itu sebabnya, dalam melakukan efisiensi tenaga kerja, yang dirumahkan pertama-tama

terutama adalah mereka yang hanya bisa melakukan aktivitas luring. Sedangkan tenaga

kerja yang dipertahankan adalah tenaga kerja yang dapat berfungsi baik luring ataupun

daring. Namun dalam kasus ini, karena sifatnya yang merangkap, maka tidak ada strategi

khusus dalam hal pemasaran digital dan apa yang dijalankan hanya sebatas pemuatan

konten digital secara umum saja seperti misalnya foto produk beserta keterangannya (tanpa

diberikan pertimbangan estetika tertentu). 

Hal yang krusial membedakan antara UMKM kategori B dan kategori C ini adalah

penggunaan sistem transaksi otomatis. Meski harus diakui, menurut salah satu UMKM,

penggunaan sistem transaksi otomatis ada kalanya lebih mudah daripada pemasaran

melalui media sosial, tetapi tetap saja transaksi otomatis ini memerlukan proses registrasi

dan verifikasi. Namun hal yang lebih mendasari keengganan untuk menggunakan sistem

transaksi otomatis ini secara umum lebih pada kurangnya rasa percaya pada sistem daring.

Salah satu UMKM yang berasal dari kategori C merasa bahwa media sosial saja cukup dan

itu pun dijalankan secara wajar. Sama halnya dengan umumnya UMKM kategori B, media

sosial ini dianggap merupakan perpanjangan dari apa yang telah dijalankan secara luring. 

Selain kurangnya rasa percaya pada sistem daring, umumnya UMKM kategori C ini juga pada

saat Indonesia dilanda pandemi, terlalu sibuk untuk menyelamatkan kondisi internal

perusahaan terkait biaya produksi, sewa tempat, dan upah tenaga kerja. Artinya, opsi untuk
lebih banyak menggunakan teknologi digital tidak terlalu menjadi pertimbangan utama

(karena skala prioritas pada kondisi internal terlebih dahulu). Salah satu UMKM bahkan

menyatakan bahwa menggunakan sistem daring malah akan membuat perusahaan

mengeluarkan lebih banyak biaya dan bertentangan dengan upaya efisiensi yang tengah

dilakukan. 

Berdasarkan wawancara dengan salah satu UMKM mereka bahkan sudah kehilangan jalan

keluar sejak kebijakan lockdown dari pemerintah di bulan-bulan awal pandemi. Sedikit

berbeda dengan UMKM kategori B yang justru melakukan efisiensi terhadap tenaga kerja

yang hanya beroperasi di wilayah luring saja, UMKM kategori C justru melakukan efisiensi

mula-mula terhadap tenaga kerja yang hanya beroperasi di wilayah daring (meski umumnya

tenaga kerja yang beroperasi di wilayah daring adalah juga bekerja di wilayah luring).

Namun artinya, dari prioritas tenaga kerja yang dirumahkan, umumnya UMKM kategori C ini

memang kurang berminat untuk meneruskan usaha ke wilayah daring. Kalaupun ada media

sosial, menurut UMKM ini, menjadi hanya semacam “formalitas” karena mengikuti apa yang

sedang tren dilakukan oleh UMKM lainnya. 

Hasil wawancara dan observasi di atas kemudian dipetakan dalam tabel berikut ini:

Tabel 3. Analisis Komunikasi Bisnis Eksternal antara UMKM Kategori A, B, dan C

Komunikasi Bisnis Eksternal

Website dan/ atau Media Sosial Sistem Transaksi Otomatis Social Commerce

Kategori A ✔ ✔ ✔
Kategori B ✔ ✔ -

Kategori C ✔ - -

Berdasarkan wawancara dan observasi terhadap UMKM yang menjadi informan baik dari

kategori A, kategori B, maupun kategori C, maka dapat terlihat bahwa ada perbedaan dalam

penggunaan media digital dalam kaitannya dengan komunikasi bisnis secara eksternal. Pada

umumnya UMKM kategori A, selain mempertimbangkan penggunaan website, media sosial,

dan sistem transaksi otomatis, mereka juga memikirkan aspek social commerce yang terdiri

dari tiga unsur yaitu fungsional, hedonistik, dan sosial. Perhatian terhadap aspek social

commerce ini dianggap menjadi faktor penting dalam bertahannya UMKM kategori A. Di

masa pandemi, konsumen tetap setia karena selama ini terikat oleh konten-konten yang

menarik, informatif, dan edukatif dari umumnya UMKM kategori A tersebut. 

Sementara itu, pada UMKM kategori B dan C, aspek social commerce ini kurang diperhatikan

sehingga dapat dikatakan bahwa pemasaran daring dijalankan hanya sebagai perpanjangan

dari apa yang sudah dilakukan lewat jalur luring. Secara umum dapat dilihat bahwa

perbedaan utama dari UMKM kategori B dan C ini adalah penggunaan sistem transaksi

otomatis. UMKM kategori B masih menganggap perlu sistem transaksi otomatis untuk

menjaga keberlangsungan proses produksi - konsumsi, sementara UMKM kategori C

umumnya sama sekali tidak menganggap hal tersebut penting di masa krisis. 

Berdasarkan wawancara dan observasi terhadap UMKM yang bergerak di industri kreatif

yang berlokasi di Jawa Barat, Indonesia, maka disusun sebuah model yang diharapkan dapat

dieksperimentasikan pada UMKM lainnya yang kurang lebih sejenis. Sejenis di sini diartikan
sebagai pertama, sama-sama bergerak di wilayah industri kreatif dan yang kedua,

mengalami situasi lingkungan yang kurang menguntungkan (dalam hal ini adalah pandemi).

Model ini diharapkan dapat meningkatkan ketahanan UMKM agar tidak hanya mampu tetap

berdiri di masa krisis, tetapi juga mampu berkembang.

Model ini fokus pada analisis terkait komunikasi bisnis yang dibagi ke dalam dua aspek yaitu

aspek internal dan aspek eksternal. Aspek internal mensyaratkan UMKM yang mampu

menjalankan relasi internal secara dinamis dan terbuka, kemampuan mengadaptasikan

teknologi digital secara menyeluruh untuk komunikasi antar anggota perusahaan, dan

adanya role model manajemen yang mempraktikkan gaya komunikasi yang egaliter dan

transparan. Pemenuhan syarat komunikasi bisnis internal tersebut akan membuat UMKM

tersebut masuk pada kategori tahapan kematangan komunikasi yang disebut adult atau

adolescent.

Sementara komunikasi bisnis pada aspek eksternal mensyaratkan UMKM yang mampu

menjalankan pemasaran daring dengan mempertimbangkan penggunaan website dan/atau

media sosial serta sistem transaksi otomatis. Penggunaan fasilitas tersebut tidak hanya

sekadar formalitas saja, tetapi juga dijalankan dengan suatu strategi yang mengacu pada

social commerce, dalam hal ini terkait tiga aspek di dalamnya yaitu unsur fungsional,

hedonistik, dan sosial. 

Analisis Pengaruh Komunikasi Bisnis terhadap Keberlanjutan UMKM dengan Pendekatan

Kuantitatif

Uji Validitas & Reliabilitas Instrumen


Sebelum angket digunakan untuk pengumpulan data, maka terlebih dahulu diuji melalui

validitas dan reabilitas menggunakan metode korelasi Pearson Product Moment dan

Cronbach’s Alpha.

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keabsahan suatu instrumen. Suatu

instrumen dinyatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Uji validitas

adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui tepat tidaknya suatu butir pertanyaan

kuesioner yang dibuat. Pengujian validitas butir-butir pertanyaan dengan skala ukur ordinal

dilakukan melalui analisa butir, yaitu mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total yang

merupakan jumlah tiap skor butir menggunakan metode Pearson Product Moment.

Keterangan :

ryx = koefisien korelasi Pearson Product Moment

X = skor item

Y = skor item total

n = jumlah responden

Jika koefisien korelasi bernilai positif dan signifikan, maka butir yang bersangkutan adalah

valid, sebaliknya jika tidak signifikan atau bernilai negatif, maka butir tersebut tidak valid

dan harus dikeluarkan dari kuesioner (Sugiyono, 2014). Lebih lanjut menurut Sugiyono,
suatu item pertanyaan dikatakan valid atau dapat mengukur variabel penelitian yang

dimaksud jika nilai koefisien validitasnya lebih dari atau sama dengan nilai Rtabel yang didapat

dari tabel nilai kritis R untuk korelasi Pearson Product Moment.

Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil

pengukuran relatif konsisten apabila alat ukur digunakan berulang kali. (Umar, 2003 : 87).

Reliabilitas mencakup tiga aspek penting, yaitu: alat ukur yang digunakan harus stabil, dapat

diandalkan (dependability) dan dapat diramalkan (predictability), sehingga alat ukur

tersebut mempunyai realibilitas yang tinggi atau dapat dipercaya (Natzir, 2013: 61).

Untuk mengetahui ketepatan alat ukur yang digunakan adalah reliabilitas Alpha Cronbach

yang rumusnya adalah:

rxx =

n
∑ ( X i −X ) 2
i=1

s = 2
xi
n−1

n
∑ ( Y i−Y )2
i=1
2
sy= n−1

Dimana :

rxx = Nilai koefisien reliabilitas Alpha Cronbach

k = Jumlah item pertanyaan


s²xi = Varians masing-masing item

s²y = Varians skor total item dari responden

Sekumpulan pertanyaan untuk mengukur suatu variabel dikatakan reliabel dan berhasil

mengukur variabel-variabel yang kita ukur jika koefisien reliabilitasnya lebih dari sama

dengan 0,70 (Ghozali, 2011:48). Kaplan menyatakan: “It has been suggested that reability

estimates in the range of 0,70 to 0,80 are good enough for most purposes in basic research”

(Kaplan & Saccuzzo, 1993:126).

Berikut disajikan hasil uji validitas dan reliabilitas untuk seluruh pernyataan.

Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Validitas Reliabilitas
Ite
Variabel Titik Titik
m R Keterangan α Keterangan
Kritis Kritis

Komunikasi Bisnis (X) Q1 0,719 0,30 Valid 0,89 0,70 Reliabel

8
Q2 0,791 0,30 Valid

Q3 0,747 0,30 Valid

Q4 0,578 0,30 Valid

Q5 0,511 0,30 Valid

Q6 0,586 0,30 Valid


Q7 0,573 0,30 Valid

Q8 0,671 0,30 Valid

Q9 0,753 0,30 Valid

Q10 0,784 0,30 Valid

Q11 0,670 0,30 Valid

Q12 0,671 0,30 Valid

Q13 0,700 0,30 Valid

Q14 0,658 0,30 Valid

Q15 0,476 0,30 Valid

Q16 0,630 0,30 Valid

Q17 0,761 0,30 Valid


Keberlanjutan Usaha 0,77
Q18 0,700 0,30 Valid 0,70 Reliabel
UMKM (Y) 0
Q19 0,749 0,30 Valid

Q20 0,615 0,30 Valid

Q21 0,576 0,30 Valid

Berdasarkan hasil rekapitulasi yang disajikan melalui tabel diatas terlihat bahwa seluruh

butir pernyataan menunjukkan hasil yang valid, dimana nilai koefisien validitas masing-

masing butir pernyataan lebih besar dari titik kritis 0,361. Demikian halnya dengan hasil uji

reliabilitas yang menunjukkan hasil yang reliabel di seluruh faktor yang diuji, dimana seluruh
nilai koefisien reliabilitas yang didapat lebih besar dari titik kritis 0,70. Dengan demikian

instrumen penelitian memiliki validitas dan reliabilitas yang baik dan dapat digunakan untuk

analisis selanjutnya.

Analisis Deskriptif Data Penelitian

Gambaran data hasil penelitian dapat digunakan untuk memperkaya pembahasan, melalui

gambaran data tanggapan responden dapat diketahui bagaimana tanggapan responden

terhadap setiap variabel yang sedang diteliti. Agar lebih mudah menginterpretasikan

variabel yang sedang diteliti, dilakukan analisis kategorisasi terhadap skor tanggapan

responden. Prinsip kategorisasi jumlah skor tanggapan responden di adopsi dari Arikunto

(2008:353). Dari jawaban responden, kemudian disusun kriteria penilaian untuk setiap item

pertanyaan berdasarkan persentase dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Nilai kumulatif adalah nilai dari setiap pertanyaan yang merupakan jawaban dari setiap

responden.

2. Presentase adalah nilai kumulatif item dibagi dengan nilai frekuensinya dikalikan 100%.

3. Jumlah responden adalah 102 orang, dan nilai skala pengukuran terbesar adalah 5,

sedangkan skala pengukuran terkecil adalah 1. Sehingga diperoleh jumlah kumulatif

terbesar = 102 × 5 = 510. Dan jumlah kumulatrif terkecil = 102 × 1 = 102. Adapun nilai

persentase terkecil adalah (102/510) × 100% = 20,00%, dengan nilai rentang = 100% -

20,00% = 80,00%. Jika dibagi 5 kategori, maka di dapat nilai interval persentase sebesar

16,00%.
Tabel 5. Kriteria Interpretasi Skor

NO Interval Kriteria Penilaian

1. 20,00% – 35,99% Sangat Tidak Baik

2. 36,00% – 51,99% Tidak Baik

3. 52,00% – 67,99% Cukup Baik

4. 68,00% – 83,99 % Baik

5. 84,00% – 100% Sangat Baik

Sumber : Arikunto: 2008

Hasil persentase pencapaian total skor terhadap skor ideal dipetakan ke dalam interval

kriteria penilaian tersebut di atas yang disajikan melalui sebuah garis kontinum.

Data hasil kuesioner untuk variabel Komunikasi Bisnis diukur melalui 14 butir pernyataan.

Berdasarkan hasil perhitungan, gambaran variabel Komunikasi Bisnis dapat dilihat melalui

tabel berikut.
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Mengenai Komunikasi Bisnis

Jawaban Responden Total Skor


Variabel Item Persentase
5 4 3 2 1 Skor Ideal

Q1 41 46 13 2 0 432 510 84,71%

Q2 36 54 8 4 0 428 510 83,92%

Q3 40 47 12 3 0 430 510 84,31%

Q4 25 43 28 6 0 393 510 77,06%

Q5 42 41 14 3 2 424 510 83,14%

Q6 34 52 10 6 0 420 510 82,35%

Komunikasi Q7 31 43 16 10 2 397 510 77,84%

Bisnis (X) Q8 49 38 10 3 2 435 510 85,29%

Q9 31 49 18 3 1 412 510 80,78%

Q10 34 54 10 3 1 423 510 82,94%

Q11 44 46 11 1 0 439 510 86,08%

Q12 49 44 6 3 0 445 510 87,25%

Q13 34 58 7 2 1 428 510 83,92%

Q14 23 53 16 10 0 395 510 77,45%

Rata-rata 82,65%
Berdasarkan tabel di atas didapat rata-rata persentase pencapaian total skor terhadap skor

ideal sebesar 82,65%. Persentase tersebut kemudian dipetakan ke dalam garis kontinum

sebagai berikut:

82,65%

20% 36% 52% 68% 84%

100%

Sangat Tidak Baik Tidak Baik Cukup Baik

Baik Sangat Baik

Gambar 1. Garis Kontinum Kategori Komunikasi Bisnis

Dari tanggapan 102 orang responden terhadap 14 butir pernyataan, didapat persentase

pencapaian total skor terhadap skor ideal sebesar 82,65%, di mana persentase tersebut

berada diantara rentang 68% sampai dengan 83,99%. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa berdasarkan tanggapan responden, Komunikasi Bisnis termasuk ke dalam kategori

“Baik”.
Data hasil kuesioner untuk variabel Keberlanjutan Usaha UMKM diukur melalui 7 butir

pernyataan. Berdasarkan hasil perhitungan, gambaran variabel Keberlanjutan Usaha UMKM

dapat dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Mengenai Keberlanjutan Usaha UMKM

Jawaban Responden Total Skor


Variabel Item Persentase
5 4 3 2 1 Skor Ideal

Q15 35 53 10 4 0 425 510 83,33%

Q16 36 50 14 1 1 425 510 83,33%

Q17 41 47 6 5 3 424 510 83,14%


Keberlanjutan

Usaha UMKM Q18 34 54 10 3 1 423 510 82,94%

(Y)
Q19 24 59 15 3 1 408 510 80,00%

Q20 39 50 9 4 0 430 510 84,31%

Q21 29 61 7 4 1 419 510 82,16%

Rata-rata 82,75%

Berdasarkan tabel di atas didapat rata-rata persentase pencapaian total skor terhadap skor

ideal sebesar 82,75%. Persentase tersebut kemudian dipetakan ke dalam garis kontinum

sebagai berikut:

82,75%
20% 36% 52% 68% 84%

100%

Sangat Tidak Baik Tidak Baik Cukup Baik

Baik Sangat Baik

Gambar 2. Garis Kontinum Kategori Keberlanjutan Usaha UMKM

Dari tanggapan 102 orang responden terhadap 7 butir pernyataan, didapat persentase

pencapaian total skor terhadap skor ideal sebesar 82,75%, di mana persentase tersebut

berada diantara rentang 68% sampai dengan 83,99%. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa berdasarkan tanggapan responden, Keberlanjutan Usaha UMKM termasuk ke dalam

kategori “Baik”.

Analisis Pengaruh Komunikasi Bisnis Terhadap Keberlanjutan Usaha UMKM

Data penelitian dari kuesioner merupakan sejumlah skor yang diperoleh dari jawaban

responden atas pertanyaan atau pernyataan mengenai indikator-indikator dari beberapa

variabel penelitian, yaitu Komunikasi Bisnis dan Keberlanjutan Usaha UMKM. Variabel-

variabel tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis Structural Equation Modeling

(SEM). Structural Equation Modeling merupakan model yang menggambarkan hubungan


kausal antara variabel eksogen (variabel penyebab) dan variabel endogen (variabel akibat),

serta gabungan dari dua konsep statistik, yaitu analisis faktor (factor analysis) sebagai model

pengukuran dan analisis jalur (path analysis) sebagai model struktural. Dalam analisis model

persamaan struktural, hubungan antara variabel-variabel penelitian didasarkan pada

variabel laten yang memiliki indikator-indikator yang baik. Dengan menggunakan bantuan

aplikasi program LISREL akan diuji kesesuaian antara model teoritik dengan data penelitian

serta dapat diuji tingkat kebermaknaan dari setiap koefisien hubungan kausal.

a. Uji Normalitas Data

Asumsi yang paling fundamental dalam analisis multivariate adalah normalitas, yang

merupakan bentuk suatu distribusi data pada suatu variabel metrik tunggal dalam

menghasilkan distribusi normal (Hair, 1998). Suatu distribusi data yang tidak membentuk

distribusi normal, maka data tersebut tidak normal, sebaliknya data dikatakan normal

apabila ia membentuk suatu distribusi normal. Apabila asumsi normalitas tidak dipenuhi dan

penyimpangan normalitas tersebut besar, maka seluruh hasil uji statistik adalah tidak valid

karena perhitungan uji-t dan lain sebagainya dihitung dengan asumsi data normal (Ghozali,

2014:37). Berdasarkan hasil estimasi didapat output LISREL sebagai berikut:

Tabel 8. Hasil Uji Normalitas Data

Test of Univariate Normality for Continuous Variables

Skewness Kurtosis Skewness and

Kurtosis
Variable Z-Score P-Value Z-Score P-Value Chi-Square P-

Value

X1 -3.704 0.000 2.402 0.016 19.486

0.000

X2 -3.425 0.001 1.231 0.218 13.249

0.001

X3 -4.577 0.000 2.711 0.007 28.293

0.000

X4 -4.606 0.000 3.401 0.001 32.783

0.000

X5 -4.011 0.000 1.961 0.050 19.933

0.000

X6 -2.924 0.003 1.248 0.212 10.107

0.006

Y1 -2.838 0.005 1.247 0.212 9.607

0.008

Y2 -5.494 0.000 3.887 0.000 45.289

0.000

Y3 -5.589 0.000 4.632 0.000 52.696

0.000

Relative Multivariate Kurtosis = 1.136

Test of Multivariate Normality for Continuous Variables


Skewness Kurtosis

Skewness and Kurtosis

Value Z-Score P-Value Value Z-Score P-Value

Chi-Square P-Value

------ ------- ------- ------- ------- -------

---------- -------

19.195 6.991 0.000 112.417 4.021 0.000

65.042 0.000

Berdasarkan hasiil Test of Multivariate Normality for Continuous Variables tersebut di atas,

model secara keseluruhan menunjukkan tidak memenuhi asumsi normalitas, dimana p-

value Skewness and Kurtosis sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05. Namun LISREL memiliki

beberapa solusi yang dapat dilakukan ketika asumsi normalitas tidak terpenuhi, salah satu

diantaranya adalah dengan cara menambahkan estimasi asymptotic covariance matrix. Hal

tersebut akan mengakibatkan estimasi parameter beserta goodness of fit statistics akan

dianalisis berdasarkan pada keadaan data yang tidak normal. Apabila matriks asymptotic

covariance matrix tidak dimasukkan, sedangkan data tidak normal, sebagai input data

suplemen, maka model akan diestimasi berdasarkan keadaan data normal, dan tentu

hasilnya akan bias (Ghozali, 2005:39).

b. Spesifikasi Model

Tahap ini berkaitan dengan pembentukan model awal model awal persamaan struktural,

sebelum dilakukan estimasi. Model awal ini diformulasikan berdasarkan suatu teori atau
penelitian sebelumnya. Spesifikasi model penelitian, yang merepersentasikan permasalahan

yang diteliti, adalah penting di dalam SEM. Hoyle (1995) mengatakan bahwa analisis tidak

akan dimulai sampai peneliti menspesifikasikan sebuah model yang menunjukkan hubungan

di antara variabel-variabel yang akan dianalisis.

Gambar 3. Skema Spesifikasi Model

 Spesifikasi Model Struktural

Variabel Keberlanjutan Usaha UMKM (η1) dipengaruhi oleh variabel Komunikasi Bisnis (ξ1).

Secara umum spesifikasi tersebut dapat ditulis sebagai berikut:

η1 = (γ11 × ξ1) + ζ1

di mana:

ξ1 (Ksi 1) = Variabel eksogen Komunikasi Bisnis.

η1 (Eta 1) = Variabel endogen Keberlanjutan Usaha UMKM.

γ11 (Gamma 11) Koefisien pengaruh variabel eksogen

Komunikasi Bisnis terhadap variabel endogen


Keberlanjuta Usaha UMKM.

Peluang galat model pada variabel endogen

Keberlanjutan Usaha UMKM.


ζ1 (Zeta 1) =

 Spesifikasi Model Pengukuran

Variabel laten Komunikasi Bisnis (ξ1) diukur oleh 6 variabel teramati, yaitu: Relasi Internal

(X11), Adaptasi Teknologi (X12), Role Model Komunikator (X13), Pemanfaatan Platform Digital

(X14), Penggunaan Sistem Transaksi Otomatis (X15), dan Perhatian Terhadap Social Commerce

(X16).

X11 = (λX111 × ξ1) + δ1

X12 = (λX121 × ξ1) + δ2

X13 = (λX131 × ξ1) + δ3

X14 = (λX141 × ξ1) + δ4

X15 = (λX151 × ξ1) + δ5

X16 = (λX161 × ξ1) + δ6

Variabel laten Keberlanjutan Usaha UMKM (η1) diukur oleh 7 variabel teramati, yaitu:

Efisiensi Jumlah Karyawan (Y1), Perubahan Jam Operasional (Y2), dan Laju Produksi (Y3).

Y1 = (λY11 × η1) + ε1

Y2 = (λY12 × η1) + ε2

Y3 = (λY13 × η1) + ε3
c. Identifikasi Model

Di dalam tahap analisis model struktural sering dijumpai adanya permasalahan yaitu pada

proses pendugaan parameter. Jika di dalam prosesnya terdapat un-identified maka

pendugaan parameter akan menemui banyak kendala. Ketidak-mampuan model

mengasilkan identifikasi yang tepat menyebabkan proses perhitungan menjadi terganggu.

Beberapa gejala yang sering muncul akibat adanya ketidaktepatan identifikasi, yang biasa

disebut offending estimates (nilai-nilai estimasi yang melebihi batas yang dapat diterima), ini

antara lain yaitu (Hair et.al., 1998):

1. Standard errors yang berhubungan dengan koefisien-koefisien yang diestimasi

mempunyai nilai yang sangat besar

2. Matriks informasi yang disajikan tidak sesuai harapan

3. Matriks yang diperoleh tidak definitif positif

4. Terdapat negative error variance (juga dikenal dengan Heywood cases) atau non

significant error variance untuk konstruk-konstruk yang ada

5. Terdapat nilai standardized coefficient yang melebihi atau sangat dekat dengan 1

Dalam banyak hal, keadaan diatas sebagai akibat dari model yang dibentuk tanpa justifikasi

teori yang mencukupi atau modifikasi model dilakukan hanya berdasarkan pertimbangan

empiris (Hair et.al., 1998). Aplikasi program LISREL secara default akan memeriksa

kemungkinan adanya beberapa masalah tersebut dan kemudian memberikan notifikasi

peringatan melalui output hasil estimasinya apabila kemudian terdapat masalah.


Berdasarkan output hasil estimasi yang disajikan pada lampiran menunjukkan bahwa di

dalam model tidak ditemui permasalahan yang berkaitan dengan gejala pada poin-poin

tersebut di atas. Dengan demikian model layak digunakan, di mana model yang dibentuk

telah dijustifikasi menggunakan teori yang mencukupi dan modifikasi model dilakukan tidak

hanya berdasarkan pertimbangan empiris.

d. Hasil Estimasi Parameter

Estimator yang digunakan dalam penelitian ini adalah Maximum Likelihood Estimator (MLE)

dengan menambahkan estimasi asymptotic covariance matrix (Ghozali, 2014:365),

estimator seperti ini disebut juga dengan Robust Maximum Likelihood (Wijanto, 2008:87).

MLE merupakan estimator yang populer dan paling banyak digunakan dalam SEM. MLE

mempunyai beberapa karakteristik yang penting dan karakteristik ini asimptotik sehingga

berlaku untuk sampel yang besar (Bollen, 1989). Pertama, meskipun estimator tersebut

mungkin bias untuk sampel kecil, MLE secara asimptotik tidak bias. Kedua, MLE memiliki

konsistensi yang baik. Ketiga, MLE adalah asymptotically efficient, sedemikian sehingga

diantara estimators yang konsisten, tidak ada yang mempunyai asymptotic variance lebih

kecil. Lebih lanjut, distribusi dari estimator mendekati distribusi normal ketika ukuran

sampel meningkat.

 Model Pengukuran

Evaluasi ini dilakukan terhadap setiap konstruk atau model pengukuran (hubungan antara

variabel laten dengan variabel teramati) secara terpisah melalui validitas dan reliabilitas dari

model pengukuran. Pengukuran validitas model SEM di dalam penelitian ini menggunakan

First Order Confirmatory Factor Analysis (First Order CFA), dimana suatu variabel dikatakan

mempunyai validitas yang baik terhadap konstruk atau variabel latennya jika nilai muatan
faktornya standarnya (standardized loading factor) lebih besar dari atau sama dengan nilai

kritis sebesar 0,50 (Igbaria et.al., 1997; Hair et.al., 1995) atau nilai t muatan faktornya

standarnya (standardized loading factor) lebih besar dari atau sama dengan nilai kritis

sebesar 1,96 (Ghozali, 2014). Sedangkan pengukuran reliabilitas menggunakan construct

reliability measure dan average variance extracted dengan rumus sebagai berikut:

 Standardized Loading
2

Variance Extracted =
 Standardized Loading   
2
j

di mana standardized loading dapat diperoleh secara langsung melalui output aplikasi

program LISREL, dan εj adalah measurement error untuk setiap indikator atau variabel

teramati (Fornel dan Larcker, 1981). Tingkat cut-off untuk dapat mengatakan bahwa

construct reliability baik adalah lebih besar dari 0,60 (Bagozzi dan Yi, 1992; Ghozali, 2014),

sedangkan tingkat cut-off untuk dapat mengatakan bahwa average variance extracted baik

adalah lebih besar dari 0,50 (Ghozali, 2014).

Berdasarkan output hasil perhitungan LISREL didapatkan nilai-nilai muatan faktor standar

dan kemudian digunakan untuk menghitung nilai koefisien reliabilitas konstruk yang

dirangkum pada bagan berikut:


Gambar 4. Hasil Estimasi Standardized Loading Factors Pengukuran Variabel Komunikasi

Bisnis

Gambar 5. Hasil Estimasi Standardized Loading Factors Pengukuran Variabel

Keberlanjutan Usaha UMKM

Berdasarkan hasil estimasi nilai standardized loading factor yang disajikan melalui gambar di

atas terlihat bahwa seluruh variabel teramati memiliki nilai muatan faktor standar yang

lebih besar daripada 0,50. Jika terdapat nilai muatan faktor standar yang lebih kecil dari nilai
kritis, maka variabel teramati terkait bisa dihapuskan dari model. Akan tetapi apabila nilai

muatan faktor standar tersebut masih ≥ 0,30 maka variabel terkait masih dapat

dipertimbangkan untuk tidak dihapus (Igbaria et.al., 1997). Dikarenakan seluruh nilai

muatan faktor standar variabel teramati tersebut lebih besar dari nilai kritis, maka seluruh

variabel telah memiliki validitas pengukuran yang baik.

Tabel 9. Muatan Faktor Standar dan Reliabilitas Konstruk

Standardized Sum of Average


Konstruk Variabel Sum of Measurement Sum of Construct Squared
Loading Factors Squared Variance
Laten Teramati SLF Errors (ME) ME Reliability SLF
(SLF) SLF Extracted

X1 0.810 0.344 0.656


X2 0.797 0.365 0.635
Komunikasi X3 0.862 0.257 0.743
4.720 2.271 0.908 3.729 0.622
Bisnis (X) X4 0.812 0.341 0.659
X5 0.732 0.464 0.536
X6 0.707 0.500 0.500
Keberlanjutan Y1 0.735 0.460 0.540
Usaha UMKM 2.350 1.154 0.827 1.846 0.615
(Y)

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa variabel laten Komunikasi Bisnis dan variabel

Keberlanjutan Usaha UMKM memiliki nilai koefisien construct reliability (CR) yang lebih

besar dari atau sama dengan nilai kritis (CR ≥ 0,60) dan memiliki nilai koefisien average

variance extracted (AVE) yang lebih besar dari atau sama dengan nilai kritis (AVE ≥ 0,50). Hal

ini menunjukkan bahwa ketiga konstruk laten tersebut tersebut memiliki reliabilitas yang

baik.

 Model Struktural

Bagian ini berhubungan dengan evaluasi terhadap koefisien-kofisien atau parameter-

parameter yang menunjukkan hubungan kausal atau pengaruh satu variabel laten terhadap

variabel laten lainnya. Secara ringkas hasil perhitungan koefisien-koefisien tersebut disajikan

dalam tabel berikut:


Tabel 10. Nilai t, Nilai Standardized Coefficient, dan Nilai R-Square

Persamaan Struktural Pengaruh Nilai t SPC R2

η1 = (γ11 × ξ1) + ζ1 ξ1 terhadap η1 4,957 0,844 0,713

Kriteria pengujian signifikan di dalam SEM didasarkan atas nilai titik kritis sebesar 1,96

dimana nilai t (t-value) yang lebih besar dari atau sama dengan titik kritis (t-value ≥ 1,96)

menunjukkan bahwa nilai parameter tersebut signifikan secara statistik. Pada kolom

berikutnya berisi hasil estimasi koefisien regresi yang telah dibakukan (standardized

coefficients) antara variabel laten satu dengan variabel laten lainnya. Sedangkan pada kolom

R2 berisi nilai-nilai koefisien determinasi. Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa,

Komunikasi Bisnis (ξ1) berpengaruh signifikan terhadap Keberlanjutan Usaha UMKM (η1)

sebesar 0,844 dengan nilai t lebih besar dari nilai kritis (4,957 ≥ 1,96). Nilai R2 yang didapat

adalah sebesar 0,713, dimana hal ini menunjukkan bahwa kontribusi variabel Komunikasi

Bisnis dalam mempengaruhi variabel Keberlanjutan Usaha UMKM adalah sebesar 71,3%,

sedangkan sisanya sebesar 28,7% merupakan kontribusi pengaruh variabel lain yang tidak

diamati di dalam penelitian ini.


Gambar 6. Hasil Estimasi Standardized Coefficient

Gambar 7. Hasil Estimasi t-values

e. Uji Kecocokan Model (Goodness of Fit)

Dalam tahap ini dilakukan pengujian terhadap tingkat kecocokan antara data dengan model.

Penilaian Goodness of Fit pada SEM secara menyeluruh (overall) tidak dapat dilakukan

secara langsung seperti pada teknik multivariat yang lain. SEM tidak mempunyai satu uji
statistik terbaik yang dapat menjelaskan “kekuatan” prediksi model. Sebagai gantinya, para

peneliti telah mengembangkan berbagai ukuran Goodness of Fit atau Goodness of Fit Indices

(GOFI) yang dapat dipergunakan secara bersama-sama atau kombinasi. Keadaan ini

menyebabkan tahap uji kecocokan menyeluruh merupakan langkah yang banyak

mengundang perdebatan dan kontroversi (Bollen dan Long, 1993).

Terdapat 16 kriteria fit model yang menjadi justifikasi model penelitian ini. Berikut disajikan

hasil evaluasi kecocokan model struktural (Goodness of Fit) setelah respesifikasi.

1. Chi-Square (χ2)

Nilai chi-square menunjukkan adanya penyimpangan antara sampel covariance matrix dan

model (fitted) covariance matrix. Namun nilai chi-square ini hanya akan valid jika asumsi

normalitas data terpenuhi dan ukuran sampel adalah besar (Ghozali, 2005). Chi-square ini

merupakan ukuran mengenai buruknya fit suatu model. Nilai Chi Square sebesar 0

menunjukkan bahwa model memiliki fit yang sempurna (perfect fit). Probabilitas chi-square

ini diharapkan tidak signifikan, sehingga nilai chi-square yang signifikan (kurang dari 0,05)

menunjukkan bahwa data empiris yang diperoleh memiliki perbedaan dengan teori yang

telah dibangun berdasarkan structural equation modeling, sedangkan nilai probalilitas yang

lebih besar dari 0,05 adalah yang diharapkan yang menunjukkan bahwa data empiris sesuai

dengan model.

Nilai probabilitas chi-square memiliki permasalahan yang fundamental dalam validitasnya.

Probabilitas ini sangat sensitif dimana ketidaksesuaian antara data dengan teori (model)

sangat dipengaruhi oleh besarnya ukuran sampel (Cochran, 1952 dalam Ghozali, 2005). Jika
ukuran sampel kecil, maka uji chi-square ini akan menunjukkan data secara signifikan tidak

berbeda dengan model dan teori yang mendasarinya. Sedangkan jika ukuran sampel adalah

besar, maka uji chi-square akan menunjukkan bahwa data secara signifikan berbeda dengan

teori, meskipun perbedaan tersebut adalah sangat kecil. Sehingga prosedur untuk menilai

model fit hanya dengan menggunakan probabilitas ini kurang dapat dibenarkan (Bentler,

1980 dalam Ghozali, 2005), karena probabilitas dapat dijadikan tidak signifikan dengan

cukup menurunkan nilai chi-square, sehingga dibutuhkan indikator-indikator lainnya untuk

menghasilkan justifikasi yang pasti mengenai model fit (Ghozali, 2005).

2. Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA)

Indikator RMSEA mengukur penyimpangan nilai parameter pada suatu model dengan

matriks kovarians populasinya (Browne dan Cudeck, 1993 dalam Ghozali, 2005) Nilai RMSEA

yang kurang dari atau 0.05 mengindikasikan adanya model fit, dan nilai RMSEA yang

berkisar antara 0,05 sampai dengan 0,08 menyatakan bahwa model memiliki perkiraan

kesalahan yang reasonable (Byrne, 1998 dalam Ghozali, 2005). Sedangkan RMSEA yang lebih

besar daripada 0,08 mengindikasikan model fit yang kurang baik.

3. Expected Cross-Validation Index (ECVI)

ECVI digunakan untuk mengukur penyimpangan antara fitted (model) covariance matrik

pada sampel yang dianalisis dan kovarians matrik yang diperoleh pada sampel lain (Byrne,

1998 dalam Ghozali, 2005), karena nilai ECVI tidak dapat ditentukan, maka kita tidak dapat

memberikan suatu judgment nilai ECVI berapa yang diharapkan agar model dapat dikatakan

baik. Namun nilai ECVI model yang lebih rendah daripada ECVI yang diperoleh pada

saturated model dan independence model, mengindikasikan bahwa model adalah fit (Byrne,

1998 dalam Ghozali, 2005).


4. Akaike Information Criterion (AIC)

AIC digunakan untuk menilai mengenai masalah parsimony dalam penilaian model fit. Sama

seperti ECVI batasan nilai untuk AIC juga tidak dapat ditentukan, sehingga peneliti tidak

dapat menentukan nilai berapa yang harus ditetapkan agar model memiliki fit yang baik,

namun jika nilai AIC model lebih rendah daripada nilai AIC pada saturated dan lebih rendah

daripada AIC independence, maka mengindikasikan bahwa model adalah fit (Bentler, 1995

dalam Ghozali, 2005).

5. Consistent Akaike Information Criterion (CAIC)

Bozdogan (1987) menyatakan bahwa AIC memberikan penalti hanya berkaitan dengan

degree of freedom dan tidak berkaitan dengan ukuran sampel. Oleh karena itu ia

mengusulkan CAIC yang mengikutsertakan ukuran sampel. Nilai CAIC model lebih rendah

daripada nilai CAIC pada saturated dan lebih rendah daripada CAIC independence, maka

mengindikasikan bahwa model adalah fit (Hu dan Bentler, 1995 dalam Ghozali, 2014).

6. Normed Fit Index (NFI) dan Comparative Fit Index (CFI)

Normed Fit Index (NFI) yang ditemukan oleh Bentler (1980) merupakan salah satu alternatif

untuk menentukan model fit. Namun, NFI memiliki tendensi untuk merendahkan fit pada

sampel yang kecil, Bentler (1990) merevisi indeks ini dengan nama Comparative Fit Index

(CFI). Nilai NFI dan CFI berkisar antara 0 dan 1, suatu model dikatakan fit apabila memiliki

nilai NFI dan CFI lebih besar dari atau sama dengan 0,90 (Bentler, 1992 dalam Ghozali,

2005). Pada model yang diajukan dalam penelitian ini memiliki nilai NFI antara 0,80 sampai

dengan 0,90 serta nilai CFI antara 0,80 sampai dengan 0,90, maka dapat disimpulkan bahwa

model yang diajukan memiliki kesesuaian yang kurang baik.


7. Non Normed Fit Index (NNFI)

Non Normed Fit Index (NNFI) digunakan untuk mengatasi permasalahan yang timbul akibat

kompleksitas model. Akan tetapi karena NNFI adalah “non normed” nilainya bisa lebih besar

daripada 1, sehingga susah untuk diintepretasikan (Ghozali, 2005). Meskipun ketiga indeks

tersebut dihasilkan oleh output LISREL, tetapi Bentler (1990) menganjurkan penggunaan CFI

sebagai ukuran fit. Nilai NNFI ≥ 0,90 menunjukkan good fit dan 0,80 ≤ NNFI < 0,90 adalah

marginal fit (Wijanto, 2007).

8. Incremental Fit Index (IFI)

Incremental Fit Index (IFI) digunakan untuk mengatasi masalah parsimony dan ukuran

sampel, dimana hal tersebut berhubungan dengan NFI. Batas cut-off IFI adalah 0,90 (Byrne,

1998 dalam Ghozali, 2005).

9. Relative Fit Index (RFI)

Relative Fit Index (RFI) digunakan untuk mengukur fit model, dimana nilainya adalah antara

0 sampai dengan 1. Model penelitian yang memiliki nilai RFI lebih besar dari atau sama

dengan 0,90 menunjukkan bahwa model adalah fit, sedangkan nilai RFI antara 0,80 sampai

dengan 0,90 menunjukkan bahwa model tergolong marginal fit.

10. Goodness of Fit Indices (GFI)

Goodness of Fit Indices (GFI) merupakan suatu ukuran mengenai ketepatan model dalam

menghasilkan observed matriks kovarians. Nilai GFI ini harus berkisar antara 0 sampai

dengan 1. Meskipun secara teori GFI mungkin memiliki nilai negatif tetapi hal tersebut

seharusnya tidak terjadi, karena model yang memiliki nilai negatif adalah model yang paling
buruk. Nilai GFI yang lebih besar dari atau sama dengan 0,90 menunjukkan fit suatu model

yang baik (Diamantopaulus, 2000 dalam Ghozali, 2005).

11. Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI)

Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) adalah sama seperti GFI, akan tetapi telah

menyesuaikan pengharuh degrees of freedom pada suatu model. Sama seperti GFI, nilai

AGFI sebesar 1 berarti model memiliki kesesuaian yang sangat sempurna, sedangkan model

yang fit adalah memiliki nilai AGFI nilai AGFI lebih besar dari atau sama dengan 0,90

(Diamantopaulus, 2000 dalam Ghozali, 2005).

12. Parsimonious Goodness-of-Fit Index (PGFI)

Ukuran yang hampir sama dengan AGFI adalah Parsimonious Goodness-of-Fit Index (PGFI)

yang telah menyesuaikan dengan dampak dari degree of freedom dan kompleksitas model.

Interpretasi PGFI ini sebaiknya diikuti dengan indeks model fit lainnya. Model yang baik

apabila memiliki nilai PGFI jauh lebih besar dari atau sama dengan 0,60 (Byrne, 1998 dalam

Ghozali, 2005).

13. Parsimonious Normed Fit Index (PNFI)

PNFI merupakan modifikasi dari NFI. PNFI memperhitungkan banyaknya degree of freedom

untuk mencapai suatu tingkat kecocokan. Nilai PNFI yang lebih tinggi yang lebih baik.

Penggunaan PNFI terutama untuk perbandingan dua atau lebih model yang mempunyai

degree of freedom berbeda. PNFI digunakan untuk membandingkan model-model alternatif,

dan tidak ada rekomendasi tingkat kecocokan yang dapat diterima. Meskipun demikian

ketika membandingkan 2 model, perbedaan nilai PNFI sebesar 0,06 sampai dengan 0,09

menandakan perbedaan model yang cukup besar (Hair et.al., 1998).


14. Root Mean Square Residual (RMR)

RMR mewakili nilai rerata residual yang diperoleh dari mencocokkan matrik varian-kovarian

dari model yang dihipotesiskan dengan matrik varian-kovarian dari data sampel. Residual-

residual ini adalah relatif terhadap ukuran dari varian-kovarian teramati, sehingga sukar

diinterpretasikan. Oleh karena itu residual-residual ini paling baik diinterpretasikan dalam

metrik dari matrik korelasi (Hu dan Bentler, 1995). Standardized RMR mewakili nilai rerata

seluruh standardized residual, dan mempunyai rentang dari 0 menuju 1. Model yang

mempunyai kecocokan baik (good fit) akan mempunyai nilai Standardized RMR lebih kecil

dari 0,05.

15. Critical N (CN)

CN adalah ukuran sampel terbesar yang dapat digunakan untuk menerima hipotesis bahwa

model tersebut benar (Hoelter, 1983). Hoelter’s CN digunakan untuk mengestimasi ukuran

sampel yang mencukupi untuk menghasilkan kecocokan model bagi sebuah uji χ 2 (Hu dan

Bentler, 1995). Hoelter mengusulkan bahwa nilai CN ≥ 200 merupakan indikasi bahwa

sebuah kecocokan yang baik atau memuaskan dicapai (Arbuckle dan Wothke, 1999).

Tabel 11. Evaluasi Kriteria Goodness of Fit

Target Tingkat Hasil Tingkat


Ukuran Goodness of Fit
Kecocokan Estimasi Kecocokan

Satorra-Bentler Scaled
1 p-value > 0,05 0,007 Poor fit
Chi-Square

2 RMSEA RMSEA < 0,05 0,0894 Poor fit

3 ECVI ECVI 0,841 Good fit


ECVI Saturated 0,891

ECVI Independence 12,192

AIC 84,97

4 AIC AIC Saturated 90,00 Good fit

AIC Independence 1231,34

CAIC 153,85

5 CAIC CAIC Saturated 153,85 Good fit

CAIC Independence 1263,97

6 NFI NFI ≥ 0,90 0,961 Good fit

7 CFI CFI ≥ 0,90 0,982 Good fit

8 NNFI NNFI ≥ 0,90 0,975 Good fit

9 IFI IFI ≥ 0,90 0,982 Good fit

10 RFI RFI ≥ 0,90 0,946 Good fit

11 GFI GFI ≥ 0,90 0,904 Good fit

12 AGFI AGFI ≥ 0,90 0,833 Moderate fit

13 PGFI PGFI ≥ 0,60 0,522 Moderate fit

14 PNFI PNFI > 0,09 0,694 Good fit

15 RMR Standardized RMR < 0,05 0,047 Good fit


16 Critical N CN ≥ 200 99,14 Poor fit

Dari keseluruhan analisa kococokan model menunjukkan bahwa terdapat 3 ukuran

Goodness of Fit yang kurang baik, 2 ukuran Goodness of Fit yang cukup baik, dan 11 ukuran

Goodness of Fit yang menunjukkan hasil yang baik. Dengan demikian, kecocokan model

secara keseluruhan telah baik.

Desain Model Komunikasi Bisnis

Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan analisis dengan pendekatan kuantitatif

terhadap UMKM industri kreatif di Jawa barat, Indonesia, diajukan desain model komunikasi

bisnis bagi UMKM di masa pandemi (Gambar 8). Model ini diharapkan dapat diadaptasi oleh

UMKM industri kreatif terdampak pandemi untuk menjaga keberlangsungan serta

pengembangan UMKM di masa krisis.


Gambar 8. Model Komunikasi Bisnis bagi UMKM di Masa Pandemi

Model ini berpusat pada analisis komunikasi bisnis yang terbagi menjadi dua aspek: aspek

internal dan eksternal. Aspek internal mencakup hubungan internal yang terbuka dan

dinamis, adaptasi teknologi untuk memperlancar komunikasi antar anggota perusahaan,

dan memiliki role model dari jajaran manajemen ataupun manajemen / tenaga kerja dengan

gaya komunikasi egaliter dan terbuka. Pemenuhan faktor-faktor aspek komunikasi internal

ini dapat membantu UMKM mencapai tahap kematangan komunikasi pada tingkat adult

atau adolescent.

Sementara aspek eksternal mencakup pemanfaatan penjualan daring melalui laman web,

media sosialm dan sistem transaksi otomatis. Adaptasi fasilitas ini tidak hanya dilakukan

sebagai formalitas melainkan turut dijalankan dengan strategi social commerce yang

mencakup tiga aspek berikut: fungsional, hedonistik, dan sosial.


Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut

yang menjawab pertanyaan penelitian:

1. Upaya UMKM dalam menghadapi perubahan lingkungan bisnis pada saat pandemi

COVID-19 adalah dengan membenahi aspek internal dari organisasi melalui

perbaikan di bidang relasi internal, adaptasi teknologi baru, dan role model. UMKM

yang bertahan menghadapi perubahan lingkungan bisnis adalah UMKM yang secara

relasi internal dinamis dan terbuka di jajaran manajemen, antara manajemen dan

tenaga kerja, serta sesama tenaga kerja non-manajemen; menggunakan teknologi

digital untuk pemasaran dan juga memperlancar komunikasi antar anggota melalui

pertemuan rutin melalui aplikasi; mempraktikkan role model dari jajaran manajemen

dengan gaya komunikasi yang cenderung egaliter dan terbuka. Pemenuhan syarat

komunikasi bisnis internal tersebut akan membuat UMKM tersebut masuk pada

kategori tahapan kematangan komunikasi yang disebut adult atau adolescent.

2. Model bisnis yang dilakukan UMKM di Jawa Barat pada saat pandemi COVID-19 dan

untuk memasuki adaptasi kebiasaan baru adalah dengan menyeimbangkan aspek

internal dan eksternal terkait komunikasi bisnis yang dibagi lagi ke dalam unsur

sebagai berikut: aspek internal yang terdiri dari relasi internal yang dinamis dan

terbuka, adaptasi teknologi digital yang menyeluruh untuk komunikasi antar anggota

perusahaan dan role model manajemen yang mempraktikkan gaya komunikasi yang

egaliter dan transparan; serta aspek eksternal yang terdiri dari pemanfaatan website

dan/ atau media sosial, sistem transaksi otomatis dan social commerce.
3. Proses komunikasi bisnis yang dilakukan UMKM di Jawa Barat dalam masa pandemi

COVID-19 dan dalam memasuki adaptasi kebiasaan baru adalah dengan

mensyaratkan UMKM yang mampu menjalankan pemasaran daring dengan

mempertimbangkan penggunaan website dan/atau media sosial serta sistem

transaksi otomatis. Penggunaan fasilitas tersebut tidak hanya sekadar formalitas

saja, tetapi juga dijalankan dengan suatu strategi yang mengacu pada social

commerce, dalam hal ini terkait tiga aspek di dalamnya yaitu unsur fungsional,

hedonistik, dan sosial. 

4. Berdasarkan hasil analisis dengan pendekatan kuantitatif dapat diketahui bahwa

komunikasi bisnis berpengaruh signifikan terhadap keberlanjutan usaha UMKM

sebesar 0,844 dengan nilai t lebih besar dari nilai kritis (4,957 ≥ 1,96). Nilai R2 yang

didapat adalah sebesar 0,713. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi variabel

komunikasi bisnis dalam mempengaruhi variabel keberlanjutan usaha UMKM adalah

sebesar 71,3%.

Daftar Pustaka
Algharabat, R. S., Rana, N. P., Alalwan, A. A., & Baabdullah, A. M. (2020). Investigating the
Impact of Social Media Commerce Constructs on Social Trust and Customer Value Co-
creation: A Theoretical Analysis. In Digital and Social Media Marketing: Emerging
Applications and Theoretical Development. Switzerland: Springer.
https://doi.org/10.1007/978-3-030-24374-6_3
Central Bureau of Statistics Indonesia. Indonesian Economic Growth First Quarter 2020. ,
Pub. L. No. 39/05/Th. XXIII, Central Bureau of Statistics Indonesia (2020). The Republic
of Indonesia: Central Bureau of Statistics Indonesia.
Central Bureau of Statistics Indonesia. Indonesian Economic Growth Second Quarter 2020. ,
Pub. L. No. 64/08/Th. XXIII, Central Bureau of Statistics Indonesia (2020). The Republic
of Indonesia: Central Bureau of Statistics Indonesia.
Clutterbuck, D., & Hirst, S. (2002). Business Performance and Communication Excellence. In
Talking Business: Making Communication Work (pp. 1–17). Burlington, MA:
Butterworth-Heinemann.
Cornelissen, J. P. (2017). Corporate Communication: A Guide to Theory and Practice (5th
ed.). California: SAGE Publications Ltd.
Handayani, N., Dewi, S. N. F., Sutikno, & Satriawan, E. (2020). The Mechanism of Micro,
Small, and Medium Enterprise’s Data Integration in Indonesia for Targeting Social
Assistance and Empowerment Programs Policy Brief Primary Messages. Jakarta.
Ministry of Cooperatives and SMEs. Updated Data of Micro, Small, Medium, and Large
Enterprises on 2018-2019. , Ministry of Cooperatives and SMEs § (2020). The Republic
of Indonesia.
Quintanilla, K. M., & Wahl, S. T. (2020). Business and professional communication: Keys for
workplace excellence (3rd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage.
Reinsch, L. (1991). Editorial: What Is Business Communication? Journal of Business
Communication, 28(4). https://doi.org/10.1177/002194369102800401
Rezki, J. F., Meisari, D., Fachrizah, H., Iskandar, S. D., Bintara, H., Sholihah, N. K., & Revindo,
M. D. (2020). Impact of COVID-19 Pandemic on MSMEs in Indonesia. Jakarta.
Sub Directorate of Statistical Indicators Central Bureau of Statistics. (2020). Analysis of the
Results of the Covid-19 Impact Survey on Businessmen. Jakarta.
The Republic of Indonesia. Micro, Small, and Medium Enterprises. , Pub. L. No. 20 (2008).
The Republic of Indonesia.
The Republic of Indonesia. Creative Economy. , Pub. L. No. 24, The Republic of Indonesia
(2019). The Republic of Indonesia: The Republic of Indonesia.
World Health Organization. (2021, May 15). WHO COVID-19 Dashboard. Retrieved May 28,
2021, from World Health Organization website: https://covid19.who.int

Anda mungkin juga menyukai