Anda di halaman 1dari 76

BUPATI JOMBANG

PROVINSI JAWA TIMUR


PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG
NOMOR 10 TAHUN 2021
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2021-2041

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


BUPATI JOMBANG,
Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Kabupaten Jombang merupakan
karunia Tuhan Yang Maha Esa dengan keanekaragaman
ekosistemnya serta keterbatasan daya dukungnya perlu
dimanfaatkan secara bijaksana agar tercapai kehidupan
yang sejahtera, adil, dan lestari;
b. bahwa agar upaya pemanfaatan secara bijaksana dapat
dilaksanakan secara berhasil guna dan berdaya guna
perlu dirumuskan penetapan struktur dan pola ruang
wilayah, kebijakan dan strategi pengembangan serta
pengelolaannya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah;
c. bahwa Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2009 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jombang Tahun
2009-2029 sudah tidak sesuai dengan kebutuhan
pengaturan penataan ruang di Kabupaten Jombang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan
Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Jombang Tahun 2021-2041;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan
Provinsi Jawa Timur (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 1950 Nomor 41) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 tentang Perubahan
Batas Wilayah Kotapraja Surabaya dan Daerah Tingkat II
Surabaya Dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota
Besar Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat dan Daerah Istimewa Jogyakarta (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2730);
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3888);
2

4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan


Negara (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 3, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia
Nomor 4169);
5. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4444);
6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);
7. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4925);
8. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4966);
9. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4966);
10. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5025);
11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5059);
12. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5168);
13. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5068)
14. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5188);
3

15. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
16. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432);
17. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5492);
18. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5512);
19. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5679) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679);
20. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
21. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6398);
22. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan
Tol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4489);
23. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
68, Tambahan Lembar Negera Republik Indonesia Nomor
4655);
4

24. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang


Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 77, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6042);
25. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk
dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5160);
26. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 193, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468);
27. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang
Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 365, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2806);
28. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun
2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 228, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5941);
29. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
tentang Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 77, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6042);
30. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 Tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 31);
31. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang
Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 163);
32. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2019 tentang
Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik -
Bangkalan - Mojokerto - Surabaya - Sidoarjo - Lamongan,
Kawasan Bromo - Tengger – Semeru serta Kawasan Selingkar
Wilis dan Lintas Selatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 225);
33. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN
Tahun 2020-2024 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 10);
34. Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun
2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 259);
5

35. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2012


tentang Penetapan Fungsi Jalan dan Status Jalan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 137);
36. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 157);
37. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi,
Kabupaten dan Kota (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 394);
38. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2019 tentang Izin
Lokasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor
1085);
39. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2020 tentang Pedoman Penyusunan Basis Data Peta Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota, Serta
Peta Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1093);
40. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2021 tentang Koordinasi Penyelenggaraan Penataan Ruang
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 327);
41. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2017
tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Provinsi Jawa Timur Tahun 2017-2032 (Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Timur Tahun 2017 Nomor 5 Seri D)

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN JOMBANG
dan
BUPATI JOMBANG
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG
WILAYAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2021-2041.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Jombang.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten
Jombang.
3. Bupati adalah Bupati Jombang
6

4. Perangkat Daerah adalah perangkat daerah di lingkungan


pemerintah kabupaten yakni pelaksana fungsi eksekutif
sebagai penyelenggaraan pemerintahan.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat
DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Jombang sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.
6. Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat
daerah kabupaten.
7. Kelurahan adalah wilayah kerja Lurah sebagai perangkat
daerah kabupaten dalam wilayah kerja Kecamatan.
8. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
9. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut
dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain
hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya.
10. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
11. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman
dan sistim jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi
sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat
yang secara hierarkhis memiliki hubungan fungsional.
12. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam
suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk
fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi
budidaya.
13. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
14. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jombang yang
selanjutnya disingkat RTRW adalah arahan kebijakan dan
strategi pemanfaatan ruang wilayah daerah yang menjadi
pedoman bagi penataan wilayah yang merupakan dasar
dalam penyusunan program pembangunan.
15. Wilayah Daerah adalah ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas
dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif
dan/atau aspek fungsional.
16. Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan
sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai
dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau
sama dengan 2.000 km2.
17. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau
atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah
perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
7

18. Sempadan Sungai adalah ruang yang tidak boleh dibangun


yang berada diantara tepi air sungai tertinggi sampai batas
kawasan boleh dibangun.
19. Limbah Bahan Beracun Berbahaya yang kemudian akan
disingkat LB3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan
yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun
yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dapat mencemarkan dan/atau merusakan lingkungan
hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk
hidup lain.
20. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung
atau budidaya.
21. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah
kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani
kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.
22. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK
merupakan kawasan perkotaan yang berfungsi untuk
melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa.
23. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL
adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani
kegiatan sekala antar desa.
24. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan
fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan
hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan.
25. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan
fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan
potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan
sumber daya buatan.
26. Kawasan Agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas
satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan
sebagai sistem produksi pertanian dan pengolahan sumber
daya alam tertentu yang ditunjukan oleh adanya
keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan
sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
27. Kawasan Strategis Kabupaten adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten
terhadap ekonomi, sosial, budaya dan atau lingkungan.
28. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur
dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam, dengan
mempertimbangkan aspek fungsi ekologis, resapan air,
ekonomi, sosial budaya, dan estetika.
29. Peraturan Zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang
persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan
pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona
peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci
tata ruang.
8

30. Masyarakat adalah orang peseorangan, kelompok orang,


termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau
pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam
penyelenggaraan penataan ruang.
31. Peran Masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat
dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
32. Forum Penataan Ruang adalah wadah di tingkat pusat dan
daerah yang bertugas untuk membantu Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah dengan memberikan pertimbangan
dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang.
33. Forum Penataan Ruang Daerah Kabupaten Jombang
adalah wadah yang bertugas untuk membantu Pemerintah
Kabupaten Jombang dengan memberikan pertimbangan
dalam penyelenggaraan penataan ruang.
34. Forum Penataan Ruang kabupaten ditetapkan dengan
keputusan bupati.
35. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang
ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk
kepentingan pertahanan.
36. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan
atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap.
37. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
satu kesatuan lainnya tidak dapat dipisahkan.
38. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang
tidak dibebani hak atas tanah.
39. Hutan Rakyat adalah hutan yang tumbuh, ditanam dan
dikelola di atas tanah yang dibebani hak milik atau pun
hak lainnya dan arealnya berada diluar kawasan hutan
negara. Hutan Rakyat dapat dimiliki oleh orang baik
sendiri maupun bersama orang lain atau badan hukum.
40. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
41. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah.
42. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
43. Kawasan Hutan Suaka adalah hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem
penyangga kehidupan.
9

44. Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah hutan dengan ciri


khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
45. Zona adalah kawasan dengan peruntukan khusus yang
memiliki batasan ukuran dan standar tertentu.
46. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah
kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang
dengan Rencana Tata Ruang.
47. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
48. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam bidang penataan ruang.
49. Kawasan Peruntukan Pertambangan yang selanjutnya
disingkat KPP adalah wilayah yang memiliki potensi
sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair,
atau gas berdasarkan peta/data geologi dan merupakan
tempat dilakukannya sebagian atau seluruh tahapan
kegiatan pertambangan yang meliputi penelitian,
penyelidikan umum, eksplorasi, operasi
produksi/eksploitasi dan pasca tambang, baik diwilayah
daratan maupun perairan, serta tidak dibatasi oleh
penggunaan lahan, baik kawasan budidaya maupun
lindung.
50. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi
segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang
berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah,
di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas
permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan
jalan kabel.
51. Jalan Umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu
lintas umum.
52. Jalan Khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi,
badan usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat
untuk kepentingan sendiri.
53. Jalan Tol adalah jalan umum yang merupakan bagian
sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang
penggunanya diwajibkan membayar tol.
54. Jalan Bebas Hambatan adalah jalan umum untuk lalu
lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk secara
penuh dan tanpa adanya persimpangan sebidang serta
dilengkapi dengan pagar ruang milik jalan.
55. Sistem Jaringan Jalan terdiri atas sistem jaringan jalan
primer dan sistem jaringan jalan sekunder.
56. Sistem Jaringan Jalan Primer adalah sistem jaringan jalan
dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa
untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional,
dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi
yang berwujud pusat-pusat kegiatan.
10

57. Sistem Jaringan Jalan Sekunder adalah sistem jaringan


jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa
untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan.
58. Jalan Arteri Primer adalah jalan yang menghubungkan
secara berdaya guna antarpusat kegiatan nasional atau
antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan
wilayah.
59. Jalan Kolektor Primer adalah jalan yang menghubungkan
secara berdaya guna antara pusat kegiatan nasional
dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan wilayah,
atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan
lokal.
60. Jalan Lokal Primer adalah jalan yang menghubungkan
secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat
kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat
kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat
kegiatan local dengan pusat kegiatan lingkungan, serta
antarpusat kegiatan lingkungan.
61. Jalan Lingkungan Primer adalah jalan yang
menghubungkan antarpusat kegiatan di dalam kawasan
perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan
perdesaan.
62. Jalan Arteri Sekunder adalah jalan yang menghubungkan
kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu,
kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder
kesatu, atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan
sekunder kedua.
63. Jalan Kolektor Sekunder adalah jalan yang
menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan
kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua
dengan kawasan sekunder ketiga.
64. Jalan Lokal Sekunder adalah jalan yang menghubungkan
kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan
sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder
ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.
65. Jalan Lingkungan Sekunder adalah jalan yang
menghubungkan antarpersil dalam kawasan perkotaan.
66. Ruang Manfaat Jalan adalah ruang sepanjang jalan yang
dibatasi oleh lebar, tinggi dan kedalaman tertentu yang
ditetapkan oleh penyelenggara jalan dan digunakan untuk
badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya.
67. Ruang Milik Jalan adalah ruang manfaat jalan dan sejalur
tanah tertentu di luar manfaat jalan yang diperuntukkan
bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan, penambahan
jalur lalu lintas di masa datang serta kebutuhan ruangan
untuk pengamanan jalan dan dibatasi oleh lebar,
kedalaman dan tinggi tertentu.
68. Ruang Pengawasan Jalan adalah ruang tertentu di luar
ruang milik jalan yang penggunaannya diawasi oleh
penyelenggara jalan agar tidak mengganggu pandangan
bebas pengemudi, konstruksi jalan, dan fungsi jalan.
11

69. Garis Sempadan Bangunan yang selanjutnya disingkat


GSB adalah sempadan yang membatasi jarak terdekat
bangunan terhadap tepi jalan; dihitung dari batas terluar
saluran air kotor (riol) sampai batas terluar muka
bangunan, berfungsi sebagai pembatas ruang, atau jarak
bebas minimum dari bidang terluar suatu massa
bangunan terhadap lahan yang dikuasai, batas tepi sungai
atau pantai, antara massa bangunan yang lain atau
rencana saluran, jaringan tegangan tinggi listrik, jaringan
pipa gas, dsb (buildingline).
70. Antar Kota Dalam Provinsi yang selanjutnya disebut AKDP
adalah jaringan trayek angkutan kota dalam provinsi yang
dilayani oleh terminal penumpang tipe B.
71. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro yang selanjutnya
disebut PLTMH adalah pembangkit listrik skala kecil yang
menggunakan tenaga air sebagai penggeraknya, seperti
saluran irigasi, sungai atau air terjun alam dengan cara
memanfaatkan tinggi terjunan dan jumlah debit air.
72. Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang selanjutnya disebut
PLTS adalah pembangkit listrik yang menggunakan energi
matahari sebagai penggeraknya.
73. Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang selanjutnya disebut
PLTU adalah pembangkit yang mengandalkan energi
kinetik dari uap untuk menghasilkan energi listrik.
74. Tempat Penampungan Sementara yang selanjutnya disebut
sebagai TPS adalah tempat sebelum sampah diangkut ke
tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat
pengolahan sampah terpadu.
75. Tempat Pemrosesan Akhir yang selanjutnya disebut
sebagai TPA adalah tempat memroses dan mengembalikan
sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia
dan lingkungan.
76. Instalasi Pengolahan Air Limbah yang selanjtunya disebut
sebagai IPAL adalah sebuah struktur yang dirancang
untuk membuag limbah biologis dan kimiasi dan air
sehingga memungkinkan air tersebut untuk digunakan
pada aktivitas lainnya.
77. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang selanjutnya
disebut KKPR adalah kesesuaian antara rencana kegiatan
pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang.
78. Insentif adalah pengaturan yang bertujuan memberikan
rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan rencana
tata ruang.
79. Disinsentif adalah pengaturan yang bertujuan membatasi
pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan
dengan rencana tata ruang.
12

Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Paragraf 1
Ruang Lingkup Materi
Pasal 2
RTRW Kabupaten Jombang memuat:
a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang;
b. rencana struktur ruang;
c. rencana pola ruang;
d. penetapan kawasan strategis;
e. arahan pemanfaatan ruang;
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang;
g. penyidikan;
h. kelembagaan;
i. hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penataan
ruang;
j. ketentuan lain-lain; dan
k. ketentuan peralihan.

Paragraf 2
Ruang Lingkup Wilayah
Pasal 3
(1) Lingkup wilayah perencanaan merupakan daerah dengan
batas yang ditentukan berdasarkan aspek administratif
mencakup wilayah daratan.
(2) Wilayah perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Kecamatan Bandarkedungmulyo;
b. Kecamatan Perak;
c. Kecamatan Gudo;
d. Kecamatan Diwek;
e. Kecamatan Ngoro;
f. Kecamatan Mojowarno;
g. Kecamatan Bareng;
h. Kecamatan Wonosalam;
i. Kecamatan Mojoagung;
j. Kecamatan Sumobito;
k. Kecamatan Jogoroto;
l. Kecamatan Peterongan;
m. Kecamatan Jombang;
n. Kecamatan Megaluh;
o. Kecamatan Tembelang;
p. Kecamatan Kesamben;
q. Kecamatan Kudu;
r. Kecamatan Ngusikan;
s. Kecamatan Ploso;
t. Kecamatan Kabuh; dan
u. Kecamatan Plandaan.
(3) Wilayah perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memiliki 302 (tiga ratus dua) desa dan 4 (empat) kelurahan.
13

(4) Batas-batas wilayah kabupaten meliputi:


a. sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lamongan
dan Kabupaten Bojonegoro;
b. sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kediri
dan Kabupaten Malang;
c. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto;
dan
d. sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk.
(5) Letak geografis wilayah administrasi Kabupaten Jombang
terletak antara 7° 20’ 48,60” dan 7° 46’ 41,26” Lintang
Selatan serta antara 112° 03’ 46,57” dan 112° 27’ 21,26”
Timur.
(6) Luas wilayah administrasi Kabupaten Jombang yaitu
110.963 ha (seratus sepuluh ribu sembilan ratus enam
puluh tiga hektar).

BAB II
TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG
Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang
Pasal 4
Penataan ruang kabupaten bertujuan untuk mewujudkan
ruang wilayah Kabupaten Jombang sebagai pusat agribisnis
dan pengembangan budaya didukung potensi pertanian,
industri, perdagangan, pariwisata, dan seni tradisi untuk
pemerataan pembangunan berkelanjutan.

Bagian Kedua
Kebijakan Penataan Ruang
Pasal 5
(1) Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan Kebijakan Penataan
Ruang Wilayah Kabupaten.
(2) Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. pengembangan kegiatan agribisnis dengan
mengoptimalkan potensi sumberdaya alam;
b. pengembangan sistem perkotaan yang mendukung
wilayah Gerbangkertosusila;
c. pengembangan sistem pusat pelayanan;
d. pengembangan sistem jaringan transportasi dan
prasarana wilayah;
e. pengembangan sistem jaringan prasarana wilayah
jaringan sumberdaya air;
f. pengembangan sistem jaringan prasarana wilayah
jaringan prasarana lainnya;
g. pengembangan kawasan lindung pada kawasan
yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya;
h. pengembangan kawasan lindung pada kawasan
perlindungan setempat;
14

i. pengembangan kawasan lindung pada kawasan


konservasi;
j. pengembangan kawasan lindung pada kawasan rawan
bencana;
k. pengembangan kawasan lindung pada kawasan lindung
geologi;
l. pengembangan kawasan lindung pada kawasan cagar
budaya;
m. pengembangan kawasan budidaya pada kawasan
pertanian;
n. pengembangan kawasan budidaya pada kawasan
pertambangan dan energi;
o. pengembangan kawasan budidaya pada kawasan
industri;
p. pengembangan kawasan budidaya pada kawasan
pariwisata;
q. pengembangan kawasan budidaya pada kawasan
permukiman;
r. pengembangan kawasan prioritas bidang ekonomi;
s. pemantapan dan peningkatan fungsi dan peran kawasan
prioritas bidang sosial dan budaya; dan
t. pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup untuk mempertahankan dan
meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan
keanekaragaman hayati, mempertahankan dan
meningkatkan fungsi perlindungan kawasan.

Bagian Ketiga
Strategi Penataan Ruang
Pasal 6
(1) Untuk melaksanakan kebijakan penataan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditetapkan
strategi penataan ruang wilayah.
(2) Strategi pengembangan kegiatan agribisnis dengan
mengoptimalkan potensi sumberdaya alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, meliputi:
a. pengembangan sentra-sentra produksi unggulan;
b. pengembangan sarana dan prasarana produksi ke
pusat-pusat pemasaran;
c. pengembangan pemasaran hasil produksi; dan
d. pengembangan produk unggulan berbasis potensi lokal.
(3) Strategi pengembangan sistem perkotaan yang mendukung
wilayah Gerbangkertosusila sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf b, meliputi:
a. pemantapan pusat-pusat kegiatan lokal;
b. pengembangan fasilitas perdagangan dan jasa;
c. peningkatan fasilitasi kemudahan investasi;
d. peningkatan akses menuju pusat perkotaan; dan
e. menyediakan pemenuhan kebutuhan ruang terbuka
hijau pada kawasan perkotaan dengan minimal seluas
30 % (tiga puluh perseratus) dari luas kawasan
perkotaan, meliputi 20% (dua puluh perseratus) RTH
publik dan 10% (sepuluh perseratus) RTH privat.
15

(4) Strategi pengembangan sistem pusat pelayanan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c,
meliputi:
a. pembentukan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) Jombang,
Ploso dan Mojoagung;
b. revitalisasi perkotaan Jombang sebagai pusat kegiatan
perdagangan dan jasa skala regional; dan
c. peningkatan fungsi infrastruktur wilayah perkotaan.
(5) Strategi pengembangan sistem jaringan prasarana wilayah
jaringan sumberdaya air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf d, meliputi:
a. pengembangan pemanfaatan air permukaan;
b. Pengembangan Cakupan Pelayanan Sistem Penyediaan
Air Minum (SPAM);
c. perlindungan dan pelestarian sumber air melalui
konservasi kawasan lindung;
d. peningkatan kualitas air dan pengendalian pencemaran
air;
e. pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi; dan
f. pengembangan sarana pengendali banjir yang didukung
kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah
provinsi.
(6) Strategi pengembangan sistem jaringan prasarana wilayah
jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf f, meliputi:
a. pembangunan sarana pengelolaan sampah yang
didukung pemerintah pusat dan propinsi;
b. pembangunan dan pengembangan sistem pengelolaan
limbah B3;
c. pengendalian pencemaran di sekitar tempat pengolahan
sampah dan limbah B3; dan
d. mengkoordinasi pengembangan sistem drainase di
kawasan perkotaan.
(7) Strategi pengembangan kawasan lindung pada kawasan
yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf g, meliputi:
a. mempertahankan fungsi kawasan sesuai dengan
peruntukannya; dan
b. menetapkan deliniasi kawasan lindung bawahannya.
(8) Strategi pengembangan kawasan lindung pada kawasan
perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (2) huruf h, meliputi:
a. penetapan dan/atau penegasan batas lapangan
kawasan perlindungan setempat;
b. pengamanan kawasan perlindungan setempat dengan
prinsip konservasi;
c. pengendalian kegiatan yang tidak berkaitan dengan
perlindungan; dan
d. peningkatan nilai ekonomis kawasan dengan tetap
mempertahankan fungsi lindungnya.
16

(9) Strategi pengembangan kawasan lindung pada kawasan


konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf i, meliputi:
a. mempertahankan dan peningkatan kelestarian
keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya;
b. peningkatan nilai ekonomis kawasan dengan tetap
mempertahankan fungsi lindung kawasan; dan
c. peningkatan keterpaduan pembangunan kawasan
konservasi dengan pembangunan wilayah, terutama
peningkatan kesejahteraan dan kepedulian masyarakat
di sekitar kawasan konservasi.
(10) Strategi pengembangan kawasan lindung pada kawasan
rawan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) huruf j, meliputi:
a. penetapan Desa Tangguh Bencana;
b. penetapan kawasan rawan bencana alam; dan
c. pengidentifikasian tingkat risiko wilayah pada kawasan
kawan bencana alam.
(11) Strategi pengembangan kawasan lindung pada kawasan
lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) huruf k, meliputi:
a. menetapkan kawasan lindung geologi;
b. mengembangkan pengelolaan kawasan cagar alam
geologi; dan
c. mengidentifikasi tingkat risiko wilayah pada kawasan
rawan bencana alam geologi
(12) Strategi pengembangan kawasan lindung pada kawasan
cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf l, meliputi:
a. penetapan dan/atau penegasan batas lapangan
kawasan cagar budaya;
b. pemantapan perlindungan kawasan cagar budaya;
c. mempertahankan dan peningkatan kelestarian
keanekaragaman hayati yang masih berkembang beserta
ekosistemnya;
d. peningkatan nilai ekonomis kawasan dengan tetap
mempertahankan fungsi lindung kawasan; dan
e. peningkatan keterpaduan pembangunan kawasan
konservasi dengan pembangunan wilayah, terutama
peningkatan kesejahteraan dan kepedulian masyarakat
di sekitar kawasan konservasi.
(13) Strategi pengembangan kawasan budidaya pada kawasan
pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf m, meliputi:
a. pemetaan lahan pertanian pangan berkelanjutan;
b. pengendalian secara ketat alih fungsi sawah dan lahan
produktif;
c. peningkatan hasil produksi pertanian;
d. peningkatan nilai tambah hasil produksi pertanian
melalui pengembangan agropolitan;
17

e. peningkatan pemasaran yang terintegrasi dengan


kawasan produksi;
f. peningkatan pembinaan, penyuluhan, dan pelatihan
untuk pengembangan pertanian; dan
g. pengembangan kawasan tanaman substitusi impor
(tebu).
(14) Strategi pengembangan kawasan budidaya pada kawasan
pertambangan dan energi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf n, meliputi:
a. identifikasi kawasan tambang non mineral;
b. pengendalian ketat kawasan peruntukan pertambangan
terutama bahan tambang non mineral;
c. pengawasan ketat terhadap aktifitas petambangan; dan
d. pengembangan kawasan pasca kegiatan eksploitasi
tambang.
(15) Strategi pengembangan kawasan budidaya pada kawasan
industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf o, meliputi:
a. penetapan kawasan peruntukan industri;
b. pengembangan kawasan peruntukan industri yang
memperhatikan daya dukung dan daya tampung
lingkungan dan didukung pengembangan infrastruktur
wilayah; dan
c. pengembangan industri kecil, menengah, dan rumah
tangga.
(16) Strategi pengembangan kawasan budidaya pada kawasan
pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf p, meliputi:
a. pengembangan potensi daya tarik wisata alam, budaya,
dan hasil buatan manusia;
b. penetapan potensi daya tarik wisata unggulan;
c. pembentukan jalur pengembangan wisata yang
terintegrasi dengan pengembangan infrastruktur
wilayah;
d. pelestarian tradisi atau kearifan masyarakat lokal; dan
e. peningkatan pembinaan, penyuluhan, dan pelatihan
kepada masyarakat dan/atau perajin lokal untuk
pengembangan pariwisata.
(17) Strategi pengembangan kawasan budidaya pada kawasan
permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf q, meliputi:
a. pengembangan kawasan permukiman perkotaan, yang
efisien dan terintegrasi dengan sistem transportasi;
b. pengembangan kawasan permukiman yang mendukung
pengembangan agropolitan dan pengembangan pusat-
pusat kegiatan ekonomi;
c. pengembangan penyediaan perumahan layak huni dan
tahan bencana; dan
d. pengembangan kawasan perumahan yang berwawasan
lingkungan dan berkelanjutan dengan dukungan sarana
dan prasarana permukiman yang memadai.
18

(18) Strategi pengembangan kawasan prioritas bidang ekonomi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf r,
meliputi:
a. pengembangan kawasan ekonomi potensial yang dapat
mempercepat perkembangan wilayah;
b. pemantapan dan peningkatan fungsi dan peran kawasan
sosial dan budaya;
c. pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup untuk mempertahankan dan
meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan
keanekaragaman hayati, mempertahankan dan
meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, serta
melestarikan keunikan bentang alam; dan
d. meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia, dengan melalui pendidikan dan pelatihan.
(19) Strategi pemantapan dan peningkatan fungsi dan peran
kawasan prioritas bidang sosial dan budaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf s, meliputi:
a. pelestarian kawasan sosial dan budaya;
b. peningkatan nilai ekonomis kawasan, antara lain
pemanfaatan sebagai aset wisata, penelitian, dan
pendidikan; dan
c. pembinaan masyarakat sekitar untuk ikut berperan
dalam meningkatkan peran dan fungsi kawasan.
(20) Strategi pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya
dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan
meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan
keanekaragaman hayati, mempertahankan dan
meningkatkan fungsi perlindungan kawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf t, meliputi:
a. pembatasan dan pencegahan pemanfaatan ruang yang
berpotensi mengurangi fungsi perlindungan kawasan;
b. pengendalian ketat terhadap rencana alih fungsi pada
kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan
lindung;
c. pembatasan pengembangan sarana dan prasarana di
dalam dan di sekitar kawasan yang ditetapkan untuk
fungsi lindung yang dapat memicu perkembangan
kegiatan budidaya;
d. pengoptimalan pengembangan kawasan dengan
peningkatan nilai ekonomis kawasan lindung melalui
pemanfaatan untuk daya tarik wisata, pendidikan, dan
penelitian berbasis lingkungan hidup; dan
e. peningkatan keanekaragaman hayati kawasan lindung.

BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
(1) Rencana struktur ruang wilayah kabupaten terdiri atas:
a. sistem perkotaan; dan
19

b. sistem jaringan prasarana.


(2) Rencana struktur ruang wilayah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat
ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Sistem Perkotaan
Pasal 8
(1) Sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) terdiri dari:
a. Pusat Kegiatan Lokal (PKL);
b. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK); dan
c. Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL).
(2) Pusat Kegiatan Lokal (PKL) sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a terdiri dari :
a. Perkotaan Jombang meliputi Kecamatan Jombang,
Kecamatan Tembelang, Kecamatan Perak, Kecamatan
Diwek dan Kecamatan Peterongan;
b. Perkotaan Mojoagung meliputi Kecamatan Mojoagung,
Kecamatan Jogoroto dan Kecamatan Sumobito; dan
c. Perkotaan Ploso meliputi Kecamatan Ploso, Kecamatan
Kabuh dan Kecamatan Kudu.
(3) Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b terdiri dari :
a. Desa Banjarsari di Kecamatan Bandarkedungmulyo;
b. Desa Gudo di Kecamatan Gudo;
c. Desa Ngoro di Kecamatan Ngoro;
d. Desa Mojowarno di Kecamatan Mojowarno;
e. Desa Bareng di Kecamatan Bareng;
f. Desa Wonosalam di Kecamatan Wonosalam;
g. Desa Megaluh di Kecamatan Megaluh;
h. Desa Kesamben di Kecamatan Kesamben;
i. Desa Ngusikan di Kecamatan Ngusikan; dan
j. Desa Bangsri di Kecamatan Plandaan.
(4) Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf c terdiri dari :
a. Desa Keboan di Kecamatan Ngusikan;
b. Desa Mojoduwur di Kecamatan Mojowarno;
c. Desa Bandarkedungmulyo Kecamatan
Bandarkedungmulyo; dan
d. Desa Blimbing Kecamatan Gudo.
(5) Sistem pelayanan perdesaan dikembangkan seiring dengan
pengembangan sistem agropolitan, yang rencana
pengembangan dan pengelolaannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Bupati.
20

Pasal 9
Sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 8 ayat (1) akan dituangkan dalam Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR).

Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Prasarana
Pasal 10
Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b terdiri
dari:
a. sistem jaringan transportasi;
b. sistem jaringan energi;
c. sistem jaringan telekomunikasi;
d. sistem jaringan sumber daya air; dan
e. sistem jaringan prasarana lainnya.

Paragraf 1
Sistem Jaringan Transportasi
Pasal 11
(1) Rencana pengembangan sistem jaringan transportasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a terdiri dari
sistem jaringan transportasi darat.
(2) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari :
a. sistem jaringan jalan; dan
b. sistem jaringan kereta api.

Pasal 12
(1) Sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (2) huruf a terdiri dari :
a. jaringan jalan nasional yang ada dalam wilayah
kabupaten;
b. jaringan jalan provinsi yang ada di wilayah kabupaten;
c. jaringan jalan yang menjadi kewenangan kabupaten;
d. jalan lingkungan;
e. terminal penumpang; dan
f. jembatan timbang.
(2) Jaringan jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2) huruf a terdiri dari :
a. jaringan jalan nasional (Jalan tol) terdiri dari :
1. Jalan Tol Kertosono – Mojokerto; dan
2. Jalan Tol Mojokerto – Lamongan;
3. Jalan Tol Mojokerto – Gempol; dan
4. Jalan Tol Kertosono – Babat.
b. jaringan jalan nasional arteri primer terdiri dari :
1. batas Kab. Kediri – batas Kota Jombang;
2. Jalan Yos Sudarso (Jalan Prof. Dr. Nurcholish
Madjid);
21

3. Jalan P. Sudirman;
4. Jalan Abdurachman Saleh;
5. Jalan Mastrip;
6. Jalan Brigjen Kretarto;
7. batas Kota Jombang – batas Kab. Mojokerto;
8. Jalan Basuki Rahmat;
9. Jalan Gatot Subroto; dan
10. Jalan Soekarno Hatta.
c. rencana peningkatan fungsi jalan meliputi: Jalan
Lingkar Mojoagung dan Jalan Cempaka.
(3) Jaringan jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b terdiri atas:
a. jalan kolektor primer yang menghubungkan antar
ibukota kabupaten/kota, terdiri dari:
1. batas Kab. Lamongan – Ploso;
2. Ploso – batas Kota Jombang,;
3. Jalan Wahab Hasbulla;
4. Jalan Hasyim Ashari;
5. Batas Kota Jombang – Pulorejo;
6. Pulorejo - Batas Kabupaten Kediri (Pare); dan
7. Pulorejo - Batas Kabupaten Kediri (Kandangan).
b. rencana jaringan jalan kolektor primer yang
menghubungkan antaribukota kabupaten/kota adalah
batas Kab. Mojokerto – Ploso; dan
c. rencana pengembangan Jembatan Ploso yang
menghubungkan ruas jalan Ploso – batas Kota Jombang
dengan batas Kab. Lamongan – Ploso.
(4) Jaringan jalan yang menjadi kewenangan kabupaten
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c terdiri dari :
a. rencana jaringan jalan kolektor primer yang
menghubungkan antara ibukota kabupaten dan ibukota
kecamatan, terdiri dari :
1. Gudo – Kesamben;
2. Jatipelem – Tanggungan;
3. Kayen – Kertorejo; dan
4. jalan kabupaten disebutkan dalam lampiran
b. rencana peningkatan fungsi jalan menjadi kolektor
primer meliputi ruas jalan : Kesamben – Talun Kidul,
Talun Kidul – Sumobito, Sumobito – Betek, Betek –
Gambiran, Mojoagung – Mojoduwur, Mojoduwur -
Penggaron, Penggaron – Bareng, Bareng – Ngoro, Ngoro
Ngoro Kota dalam rangka menghubungkan rencana Exit
Tol Kesamben; dan
c. Jalan lokal primer yang lokasinya tersebar di seluruh
wilayah kabupaten.
(5) Jalan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf d jalan lingkungan primer yang lokasinya tersebar di
seluruh wilayah kabupaten.
(6) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf e terdiri dari:
22

a. terminal tipe B, yaitu Terminal Kepuhsari di Desa


Kepuhkembeng dan Desa Keplaksari Kecamatan
Peterongan; dan
b. terminal penumpang tipe C yang merupakan
kewenangan pemerintah kabupaten, yaitu Sub Terminal
Mojoagung di Kecamatan Mojoagung, Sub Terminal
Ngoro di Kecamatan Ngoro, dan Terminal Ploso di
Kecamatan Ploso.
(7) Jembatan timbang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf f terdiri dari jembatan timbang eksisting di
Kecamatan Mojoagung dan di lokasi lain sesuai kebutuhan
sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 13
(1) Sistem jaringan kereta api sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) huruf b terdiri dari :
a. jaringan jalur kereta api; dan
b. stasiun kereta api
(2) Sistem jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a terdiri atas jaringan jalur kereta api
umum.
(3) Sistem jaringan jalur kereta api umum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) terdiri atas jaringan jalur kereta
api antarkota yang melintasi wilayah kabupaten, yang
terdiri dari:
a. rencana pengembangan jalur perkeretaapian umum
jalur tengah Surabaya (Semut) – Surabaya (Gubeng) –
Surabaya (Wonokromo) – Jombang – Kertosono –
Nganjuk – Madiun – Solo;
b. fasilitasi pengembangan jalur rel kereta api ganda
(double track) Lintas Selatan Jawa (Wonokromo –
Mojokerto – Jombang); dan
c. reaktivasi jalur kereta api Jombang-Babat-Tuban.
(4) Stasiun kereta api sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b yaitu stasiun penumpang, yaitu Stasiun Besar
Jombang, Stasiun Sembung, Stasiun Peterongan, Stasiun
Sumobito, dan Stasiun Curahmalang.

Paragraf 2
Sistem Jaringan Energi
Pasal 14
Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf b terdiri dari :
a. jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi; dan
b. jaringan infrastruktur ketenagalistrikan.
23

Pasal 15
Jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf a terdiri dari:
a. jaringan yang menyalurkan gas bumi dari kilang pengolahan
ke konsumen, meliputi: jaringan pipa gas Mojokerto – Ploso,
Mojokerto – Jombang, Jombang – Nganjuk; yang berada di
Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Kecamatan Gudo,
Kecamatan Jombang, Kecamatan Kabuh, Kecamatan Kudu,
Kecamatan Perak, Kecamatan, Plandaan, Kecamatan Ploso,
Kecamatan Tembelang; dan
b. rencana pengembangan sumber dan sarana prasarana
minyak dan gas bumi berdasarkan hasil kajian dan
eksplorasi.

Pasal 16
(1) Jaringan infrastruktur ketenagalistrikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf b terdiri dari:
a. infrastruktur pembangkitan tenaga listrik dan sarana
pendukungnya; dan
b. infrastruktur penyaluran tenaga listrik dan sarana
pendukungnya.
(2) Infrastruktur pembangkitan tenaga listrik dan sarana
pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan
Pembangkit Listrik Lainnya.
(3) Infrastruktur penyaluran tenaga listrik dan sarana
pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b meliputi:
a. jaringan transmisi tenaga listrik antarsistem, yang
terdiri dari Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT);
b. jaringan distribusi tenaga listrik, terdiri dari Saluran
Udara Tegangan Menengah (SUTM); dan
c. gardu induk.
(4) Rencana infrastruktur pembangkitan tenaga listrik dan
sarana pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri dari:
a. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)
terdapat di Kecamatan Bareng, Kecamatan Wonosalam,
dan Kecamatan Mojoagung;
b. pembangkit listrik energi lainnya berupa biogas di sentra
peternakan sapi di Kecamatan Mojoagung dan
Kecamatan Wonosalam; dan
c. pengembangan energi baru terbarukan ditetapkan
berdasarkan hasil kajian serta sesuai dengan peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku
(5) Jaringan transmisi tenaga listrik antarsistem, yang terdiri
dari Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) yang ada di
Kabupaten Jombang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
huruf a terdiri dari:
a. jaringan transmisi Jatigedong – Ngimbang (150 kV);
b. jaringan transmisi Kediri – Jayakertas/Kertosono (150
kV);
c. jaringan transmisi Sekarputih – Kertosono (150 kV); dan
24

d. jaringan transmisi Kediri – Tx Mojoagung (150 kV).


(6) Pengembangan jaringan transmisi tenaga listrik di
Kabupaten Jombang menyesuaikan dengan peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku.
(7) Gardu induk sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c
terdiri dari:
a. gardu induk GI 150 kV Jombang di Kecamatan
Jombang, GI 150 kV Jatigedong di Kecamatan Ploso, GI
150 kV Mojoagung di Kecamatan Mojoagung, GI 150 kV
Jayakertas dan GI 70 kV Ploso di Desa Sentul
Kecamatan Tembelang; dan
b. rencana pengembangan gardu induk sesuai kebutuhan
dengan memperhatikan ketentuan peraturan dan
perundang-undangan.

Paragraf 3
Sistem Jaringan Telekomunikasi
Pasal 17
(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf c terdiri dari :
a. sistem jaringan tetap; dan
b. sistem jaringan bergerak.
(2) Sistem jaringan tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a merupakan jaringan telekomunikasi untuk layanan
telekomunikasi bergerak yang terdiri dari:
a. Pengembangan dan peningkatan fungsi jaringan
teknologi informasi dan komunikasi berbasis kabel dan
serat optik beserta infrastruktur pendukungnya
dikembangkan di seluruh wilayah Kabupaten Jombang;
b. Pengembangan dan peningkatan jaringan teknologi
informasi dan komunikasi pada setiap instansi
pemerintahan, instansi swasta, fasilitas umum, dan
kawasan permukiman yang dikembangkan menuju
ekosistem kabupaten cerdas (smart regency); dan
c. Pembangunan dan pengembangan transmisi penyiaran
televisi dan radio.
(3) Sistem jaringan bergerak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b merupakan sistem jaringan bergerak seluler
yang terdiri dari:
a. Pengembangan menara telekomunikasi / base
transceiver station yang diprioritaskan penggunaan
menara bersama dengan memperhatikan pertumbuhan
industri telekomunikasi; dan
b. Pengembangan menara telekomunikasi monopole
maupun menara mikroseluler dikembangkan di seluruh
wilayah kabupaten.
(4) Peningkatan maupun pengembangan sistem jaringan
telekomunikasi disesuaikan dengan kondisi wilayah sesuai
dengan peraturan dan perundang-undangan.
25

Paragraf 4
Sistem Jaringan Sumber Daya Air
Pasal 18
(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 Huruf d, terdiri dari:
a. Sistem jaringan sumber daya air lintas kabupaten/kota;
dan
b. Sistem jaringan sumber daya air kabupaten.
(2) Sistem jaringan sumber daya air lintas kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (a) adalah
jaringan prasarana sumber daya air lintas kabupaten/kota
yang terdiri dari Sungai Brantas yang melewati Kecamatan
Kesamben, Kecamatan Ngusikan, Kecamatan Kudu,
Kecamatan Ploso, Kecamatan Plandaan, Kecamatan
Tembelang, Kecamatan Megaluh dan Kecamatan
Bandarkedungmulyo.
(3) Sistem jaringan sumber daya air kabupaten sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b terdiri dari:
a. sumber air Kabupaten;
b. jaringan prasarana sumber daya air; dan
c. infrastruktur prasarana sumber daya air Kabupaten.
(4) Sumber air Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf (a) terdiri dari:
a. air permukaan pada sungai yang tersebar di wilayah
kabupaten;
b. air permukaan pada mata air yang tersebar di wilayah
kabupaten; dan
c. air permukaan pada embung atau waduk yang tersebar
di wilayah kabupaten, termasuk rencana pembangunan
Waduk Kedunglumpang di Kecamatan Mojoagung,
Waduk Karangan di Kecamatan Bareng dan Waduk
Jarak di Kecamatan Wonosalam.
(5) Jaringan prasarana sumber daya air Kabupaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf (b) terdiri dari:
a. sistem jaringan irigasi; dan
b. sistem pengendalian banjir.
(6) Sistem jaringan irigasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5) huruf (a) terdiri dari:
a. jaringan irigasi primer dan jaringan irigasi sekunder,
yang daerah irigasinya ditetapkan dengan peraturan
menteri yang membidangi sumber daya air tersebar di
seluruh wilayah Kabupaten Jombang;
b. jaringan irigasi tersier dan jaringan irigasi desa, yang
dibangun dan dikelola oleh masyarakat dan/atau
pemerintah desa tersebar di seluruh wilayah Kabupaten
Jombang;
c. jaringan irigasi air tanah, yang tersebar di seluruh
wilayah kabupaten; dan
d. Jaringan Irigasi Peterongan di Kecamatan Perak,
Kecamatan Gudo, Kecamatan Diwek, Kecamatan
Jogoroto, dan Kecamatan Mojowarno.
26

(7) Sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud dalam


ayat (5) huruf (b) terdiri dari jaringan pengendali banjir dan
bangunan pengendali banjir, terutama Kali Gunting, Kali
Konto, Kali Ngotok Ring Kanal, dan Kali Marmoyo beserta
anak sungai dan jaringannya dengan cara normalisasi
sungai, peninggian parapet/talut/tanggul, mengembangkan
pompa air pencegah banjir di kecamatan yang rawan banjir.
(8) Infrastruktur prasarana sumber daya air Kabupaten
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c yaitu sistem
pengendalian banjir terdiri dari:
a. pemasangan early warning system di hulu sungai
potensi banjir;
b. pembangunan dam-dam penahan air di sepanjang
sungai rawan banjir;
c. pembangunan embung di 4 (empat) titik yaitu Embung
Karangan di Kecamatan Bareng, Embung Karangan II di
Kecamatan Wonosalam, Embung Bareng di Kecamatan
Bareng, dan Embung Puri Semanding di Kecamatan
Plandaan;
d. konservasi lahan kritis dengan cara penanaman
tanaman keras, memperluas tutupan lahan kosong
untuk menngkatkan peresapan air tanah; dan
e. pengembangan kolam retensi, sumur resapan dan
biopori pada setiap perumahan.
(9) Prasarana sistem sumber daya air sebagaimana dimaksud
dalam ayat (5) dapat dikembangkan dengan prinsip
berkelanjutan dan kesamaan hak sesuai dengan peraturan
dan perundang-undangan.

Paragraf 5
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya
Pasal 19
(1) Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf e terdiri dari:
a. Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM);
b. Sistem Pengelolaan Air Limbah (SPAL);
c. Sistem Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (LB3);
d. sistem jaringan persampahan wilayah; dan
e. sistem jaringan evakuasi bencana.
(2) Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) untuk kebutuhan air
bersih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a terdiri
dari:
a. jaringan perpipaan; dan
b. bukan jaringan perpipaan.
(3) Jaringan perpipaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf a terdiri dari:
a. jaringan produksi terdapat di Kecamatan Diwek,
Kecamatan Jogoroto, Kecamatan Jombang, Kecamatan
Kudu, Kecamatan Mojoagung, Kecamatan Mojowarno,
Kecamatan Ngusikan, dan Kecamatan Ploso;
27

b. jaringan distribusi terdapat di Kecamatan Bareng,


Kecamatan Diwek, Kecamatan Jogoroto, Kecamatan
Jombang, Kecamatan Kabuh, Kecamatan Kudu,
Kecamatan Mojoagung, Kecamatan Mojowarno,
Kecamatan Ngoro, Kecamatan Ngusikan, Kecamatan
Perak, Kecamatan Peterongan, Kecamatan Plandaan,
Kecamatan Ploso, dan Kecamatan Wonosalam;
c. unit air baku terdapat di Kecamatan Bareng, Kecamatan
Diwek, Kecamatan Jombang, Kecamatan Kabuh,
Kecamatan Mojoagung, Kecamatan Ngoro, Kecamatan
Plandaan, Kecamatan Ploso, dan Kecamatan
Wonosalam; dan
d. pengembangan SPAM Regional Lintas Tengah kapasitas
Kab. Kediri, Kab. Nganjuk, Kab. Jombang (Sumber air
baku dari Sungai Brantas) terdapat di Kecamatan
Bandarkedungmulyo.
(4) Bukan jaringan perpipaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf b yaitu sumur pompa yang terdapat di
Kecamatan Bareng, Kecamatan Diwek, Kecamatan
Jogoroto, Kecamatan Jombang, Kecamatan Kabuh,
Kecamatan Kudu, Kecamatan Mojoagung, Kecamatan
Mojowarno, Kecamatan Ngoro, Kecamatan Ngusikan,
Kecamatan Peterongan, Kecamatan Plandaan, Kecamatan
Ploso, dan Kecamatan Wonosalam.
(5) Sistem Pengelolaan Air Limbah (SPAL) sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b yaitu sistem
pembuangan air limbah rumah tangga (sewerage) baik
individual maupun komunal yang terdiri dari :
a. Sistem Pembuangan Air Limbah Domestik yang
tersebar di kawasan perkotaan Jombang; dan
b. Sistem Pembuangan Air Limbah Non Domestik yang
tersebar di Kawasan Industri Ploso.
(6) Sistem pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun
(LB3) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c
terdapat di Kecamatan Diwek, Kecamatan Jombang,
Kecamatan Kabuh, Kecamatan Kesamben, dan Kecamatan
Sumobito, serta pengembangan pada lokasi lain
berdasarkan rekomendasi hasil kajian dan ditetapkan
dengan Keputusan Bupati.
(7) Sistem jaringan persampahan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf (d) terdiri dari:
a. Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, Recycle
(TPS 3R);
b. Tempat Penampungan Sementara (TPS); dan
c. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
(8) Tempat Pengolahan Sampah 3R (Reduce, Reuse dan
Recycle) sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) huruf (a)
rencana pengembangannya berada di setiap kecamatan
sesuai dengan kebutuhan dan sesuai dengan peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku, dimana yang
sudah ada terdiri dari Kecamatan Diwek, Kecamatan
Gudo, Kecamatan Mojoagung, Kecamatan Mojowarno, dan
Kecamatan Ploso.
28

(9) Tempat Penampungan Sementara (TPS) sebagaimana


dimaksud dalam ayat (7) huruf b rencana
pengembangannya berada di setiap kecamatan sesuai
dengan kebutuhan dan sesuai dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku, dimana yang sudah
ada terdiri dari :
a. Kecamatan Bareng;
b. Kecamatan Diwek;
c. Kecamatan Jombang;
d. Kecamatan Gudo;
e. Kecamatan Mojoagung;
f. Kecamatan Mojowarno;
g. Kecamatan Ngoro;
h. Kecamatan Perak;
i. Kecamatan Peterongan;
j. Kecamatan Ploso; dan
k. Kecamatan Sumobito.
(10) Tempat Pemroresan Akhir (TPA) sebagaimana dimaksud
dalam ayat (7) huruf (c) menggunakan sistem sanitary
landfill di Desa Banjardowo Kecamatan Jombang serta
rencana pengembangannya di lokasi lain sesuai dengan
hasil kajian.
(11) Sistem jaringan evakuasi bencana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf (e) terdiri dari:
a. jalur evakuasi bencana dan ruang evakuasi bencana,
yang memanfaatkan jaringan jalan yang sudah ada
terdapat di:
1. Kecamatan Bandarkedungmulyo;
2. Kecamatan Bareng;
3. Kecamatan Jombang;
4. Kecamatan Kabuh;
5. Kecamatan Kesamben;
6. Kecamatan Kudu;
7. Kecamatan Mojoagung;
8. Kecamatan Perak;
9. Kecamatan Peterongan;
10. Kecamatan Plandaan;
11. Kecamatan Ploso;
12. Kecamatan Sumobito;
13. Kecamatan Tembelang;
14. Kecamatan Wonosalam.
b. ruang evakuasi bencana, yang memanfaatkan
bangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, perkantoran
pemerintahan, serta ruang terbuka termasuk taman
dan lapangan yang sudah ada sebagai ruang evakuasi
sementara, dengan menyediakan fasilitas pelayanan
kesehatan, pelayanan logistik, pelayanan informasi dan
pendukung lainnya sesuai kebutuhan terdapat di :
1. Kecamatan Bandarkedungmulyo;
2. Kecamatan Bareng;
3. Kecamatan Jombang;
4. Kecamatan Kabuh;
5. Kecamatan Kesamben;
6. Kecamatan Kudu;
29

7. Kecamatan Mojoagung;
8. Kecamatan Perak;
9. Kecamatan Peterongan;
10. Kecamatan Plandaan;
11. Kecamatan Ploso;
12. Kecamatan Sumobito;
13. Kecamatan Tembelang;
14. Kecamatan Wonosalam.

BAB IV
RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 20
(1) Rencana pola ruang wilayah kabupaten terdiri dari:
a. kawasan peruntukan lindung; dan
b. kawasan peruntukan budidaya.
(2) Rencana pola ruang wilayah kabupaten digambarkan dalam
peta dengan tingkat ketelitian 1 : 50.000 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Kawasan Peruntukan Lindung
Pasal 21
(1) Kawasan peruntukan lindung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 Ayat (1) huruf a meliputi semua upaya
perlindungan, konservasi, dan pelestarian fungsi sumber
daya alam dan lingkungannya guna mendukung kehidupan
secara serasi yang berkelanjutan dan tidak dapat
dialihfungsikan menjadi kawasan budidaya.
(2) Kawasan peruntukan lindung sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) terdiri dari:
a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap
kawasan bawahannya;
b. kawasan konservasi; dan
c. kawasan cagar budaya.

Pasal 22
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
huruf a adalah kawasan hutan lindung memiliki luas 1.102,85
(seribu seratus dua koma delapan lima) hektar, yang ditetapkan
oleh Pemerintah melalui keputusan menteri yang berwenang di
bidang kehutanan yang terdiri dari :
a. Kecamatan Bareng;
b. Kecamatan Mojoagung;
c. Kecamatan Plandaan; dan
d. Kecamatan Wonosalam.
30

Pasal 23
Kawasan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(2) huruf b terdiri dari Taman Hutan Raya R. Soerjo memiliki
luas 2.662,19 (dua ribu enam ratus enam puluh dua koma satu
sembilan) hektar di Kecamatan Wonosalam.

Pasal 24
Kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (2) huruf c terdiri dari:
a. lingkungan nonbangunan, yang terdiri terdiri dari :
1. Sendang Made di Kecamatan Kudu;
2. Sendang Sumberbeji di Kecamatan Ngoro;
3. Candi Rimbi di Kecamatan Bareng; dan
4. Sendang Sumber Penganten di Kecamatan Jogoroto.
b. lingkungan bangunan non gedung dan bangunan gedung
dan halamannya, yang terdiri terdiri dari :
1. Kawasan Makam Presiden RI IV K.H. Abdurrahman
Wahid, Makam K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahid Hasyim
di Kecamatan Diwek, dan Makam Pahlawan Nasional K.H.
Abdul Wahab Chasbullah di Kecamatan Jombang;
2. Kawasan Makam Sayyid Sulaiman di Kecamatan
Mojoagung;
3. Kelenteng Hong San Kiong di Kecamatan Gudo; dan
4. Gereja Kristen Jawi Wetan di Kecamatan Mojowarno.
c. lingkungan nonbangunan dan/atau lingkungan bangunan
bersejarah dan cagar lainnya yang ditetapkan dengan
peraturan perundangan dan keputusan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Kawasan Peruntukan Budidaya
Pasal 25
Kawasan peruntukan budidaya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 Ayat (1) huruf b terdiri dari:
a. kawasan hutan produksi tetap;
b. kawasan pertanian;
c. kawasan pertambangan dan energi;
d. kawasan peruntukan industri;
e. kawasan pariwisata;
f. kawasan permukiman; dan
g. kawasan pertahanan dan keamanan.

Pasal 26
Kawasan hutan produksi di Kabupaten Jombang sebagaimana
dimaksud pada pasal 25 huruf a yaitu kawasan hutan produksi
tetap memiliki luas 21.480,22 (dua puluh satu ribu empat ratus
delapan puluh koma dua dua) hektar terdiri dari:
a. Kecamatan Kabuh;
b. Kecamatan Kudu;
c. Kecamatan Ngusikan;
d. Kecamatan Plandaan;
31

e. Kecamatan Bareng;
f. Kecamatan Mojoagung;
g. Kecamatan Mojowarno; dan
h. Kecamatan Wonosalam.

Pasal 27
(1) Kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
huruf b terdiri dari :
a. kawasan tanaman pangan;
b. kawasan hortikultura;
c. kawasan perkebunan; dan/atau
d. kawasasan peternakan.
(2) Kawasan tanaman pangan memiliki luas kurang lebih 38.149
(tiga puluh delapan ribu seratus empat puluh sembilan)
hektar. yang diarahkan pada Kawasan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (KP2B) dengan lokasi tersebar pada 20 (dua
puluh) kecamatan, terdiri dari:
a. Kecamatan Bandarkedungmulyo;
b. Kecamatan Bareng;
c. Kecamatan Diwek;
d. Kecamatan Gudo;
e. Kecamatan Jogoroto;
f. Kecamatan Jombang;
g. Kecamatan Kabuh;
h. Kecamatan Kesamben;
i. Kecamatan Kudu;
j. Kecamatan Megaluh;
k. Kecamatan Mojoagung;
l. Kecamatan Mojowarno;
m. Kecamatan Ngoro;
n. Kecamatan Ngusikan;
o. Kecamatan Perak;
p. Kecamatan Peterongan;
q. Kecamatan Plandaan;
r. Kecamatan Ploso;
s. Kecamatan Sumobito; dan
t. Kecamatan Tembelang.
(3) Kawasan hortikultura memiliki luas kurang lebih 3.924 (tiga
ribu sembilan ratus dua puluh empat) hektar dikembangkan
di:
a. Kecamatan Bareng;
b. Kecamatan Ngoro;
c. Kecamatan Tembelang; dan
d. Kecamatan Wonosalam.
(4) Kawasan perkebunan memiliki luas kurang lebih 10.417
(sepuluh ribu empat ratus tujuh belas) hektar terdiri dari:
a. Kecamatan Bandarkedungmulyo;
b. Kecamatan Bareng;
32

c. Kecamatan Diwek;
d. Kecamatan Gudo;
e. Kecamatan Jogoroto;
f. Kecamatan Jombang;
g. Kecamatan Kabuh;
h. Kecamatan Kesamben;
i. Kecamatan Kudu;
j. Kecamatan Mojoagung;
k. Kecamatan Mojowarno;
l. Kecamatan Ngoro;
m. Kecamatan Ngusikan;
n. Kecamatan Peterongan;
o. Kecamatan Plandaan;
p. Kecamatan Ploso;
q. Kecamatan Sumobito;
r. Kecamatan Tembelang; dan
s. Kecamatan Wonosalam.
(5) Kawasan peternakan memiliki luas kurang lebih 244 (dua
ratus empat puluh empat) hektar terdiri dari:
a. Kecamatan Bareng;
b. Kecamatan Diwek;
c. Kecamatan Gudo;
d. Kecamatan Jombang;
e. Kecamatan Kesamben;
f. Kecamatan Kudu;
g. Kecamatan Megaluh;
h. Kecamatan Mojowarno;
i. Kecamatan Ngoro;
j. Kecamatan Perak;
k. Kecamatan Plandaan;
l. Kecamatan Tembelang; dan
m. Kecamatan Wonosalam.

Pasal 28
(1) Kawasan pertambangan dan energi memiliki luas kurang
lebih 157 (seratus lima puluh tujuh) hektar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 huruf c berupa kawasan
pertambangan mineral.
(2) Kawasan pertambangan mineral sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) terdiri dari :
a. kawasan pertambangan mineral bukan logam; dan
b. kawasan pertambangan batuan.
(3) Kawasan pertambangan mineral bukan logam sebagaimana
dimaksud Pasal 28 ayat (2) huruf a berupa yodium yang
dikembangkan di Kecamatan Kesamben.
33

(4) Kawasan pertambangan batuan sebagaimana dimaksud


Pasal 28 ayat (2) huruf b di Kabupaten Jombang terdiri dari
tanah urug, andesit, pasir batu, tanah liat, dan pasir yang
berada di wilayah:
a. Kecamatan Bareng;
b. Kecamatan Jombang;
c. Kecamatan Kabuh;
d. Kecamatan Megaluh;
e. Kecamatan Ngoro; dan
f. Kecamatan Perak.
(5) Pengembangan kawasan pertambangan di Kabupaten
Jombang selain yang telah disebutkan di atas akan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 29
(1) Kawasan peruntukan industri memiliki luas kurang lebih
2.685 (dua ribu enam ratus delapan puluh lima) hektar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d terdiri dari:
a. Kecamatan Bandarkedungmulyo;
b. Kecamatan Bareng;
c. Kecamatan Diwek;
d. Kecamatan Gudo;
e. Kecamatan Jogoroto;
f. Kecamatan Jombang;
g. Kecamatan Kabuh;
h. Kecamatan Kesamben;
i. Kecamatan Kudu;
j. Kecamatan Megaluh;
k. Kecamatan Mojoagung;
l. Kecamatan Mojowarno;
m. Kecamatan Ngoro;
n. Kecamatan Perak;
o. Kecamatan Peterongan;
p. Kecamatan Plandaan;
q. Kecamatan Ploso;
r. Kecamatan Sumobito; dan
s. Kecamatan Tembelang.
(2) Rencana pengembangan Rencana Kawasan Industri (RKI)
terdiri dari:
a. Kecamatan Bandarkedungmulyo;
b. Kecamatan Kabuh;
c. Kecamatan Kudu; dan
d. Kecamatan Ploso.

Pasal 30
Kawasan pariwisata memiliki luas kurang lebih 26 (dua puluh
enam) hektar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf e
antara lain terdiri dari:
a. Kawasan wisata religi di Kecamatan Diwek dan Kecamatan
Jombang;
34

b. Kawasan wisata alam di Kecamatan Mojowarno, Kecamatan


Plandaan, dan Kecamatan Wonosalam;
c. Kawasan wisata buatan di Kecamatan Peterongan; dan
d. Kawasan lain yang ditetapkan pada Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA).

Pasal 31
(1) Kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 huruf f terdiri dari:
a. kawasan permukiman perkotaan; dan/atau
b. kawasan permukiman perdesaan
(2) Kawasan permukiman perkotaan memiliki luas kurang lebih
17.564 (tujuh belas ribu lima ratus enam puluh empat)
hektar yang dikembangakan di seluruh wilayah kecamatan,
terdiri dari:
a. Kecamatan Bandarkedungmulyo;
b. Kecamatan Bareng;
c. Kecamatan Diwek;
d. Kecamatan Gudo;
e. Kecamatan Jogoroto;
f. Kecamatan Jombang;
g. Kecamatan Kabuh;
h. Kecamatan Kesamben;
i. Kecamatan Kudu;
j. Kecamatan Megaluh;
k. Kecamatan Mojoagung;
l. Kecamatan Mojowarno;
m. Kecamatan Ngoro;
n. Kecamatan Ngusikan;
o. Kecamatan Perak;
p. Kecamatan Peterongan;
q. Kecamatan Plandaan;
r. Kecamatan Ploso;
s. Kecamatan Sumobito; dan
t. Kecamatan Tembelang.
(3) Kawasan permukiman perdesaan memiliki luas kurang lebih
11.234 (sebelas ribu dua ratus tiga puluh empat) hektar yang
dikembangkan di seluruh wilayah kecamatan, terdiri dari:
a. Kecamatan Bandarkedungmulyo;
b. Kecamatan Bareng;
c. Kecamatan Diwek;
d. Kecamatan Gudo;
e. Kecamatan Jogoroto;
f. Kecamatan Jombang;
g. Kecamatan Kabuh;
h. Kecamatan Kesamben;
35

i. Kecamatan Kudu;
j. Kecamatan Megaluh;
k. Kecamatan Mojoagung;
l. Kecamatan Mojowarno;
m. Kecamatan Ngoro;
n. Kecamatan Ngusikan;
o. Kecamatan Perak;
p. Kecamatan Peterongan;
q. Kecamatan Plandaan;
r. Kecamatan Ploso;
s. Kecamatan Sumobito;
t. Kecamatan Tembelang; dan
u. Kecamatan Wonosalam.

Pasal 32
Kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 huruf g memiliki luas kurang lebih 3 (tiga) hektar
terdiri dari:
a. Satrad 222 di Kecamatan Kabuh;
b. Kodim 0814 di Kecamatan Jombang beserta satuan di
Kecamatan Jombang; dan
c. instalasi pertahanan dan keamanan lainnya baik yang sudah
ada maupun rencana pengembangannya sesuai dengan
peraturan dan perundang- undangan.

Pasal 33
Kawasan budidaya sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai
dengan Pasal 32 memiliki fungsi kawasan budidaya yang
bertampalan dengan rawan bencana sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IX tentang ketentuan umum zonasi yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini,
dalam pemanfaatan ruangnya perlu mempertimbangkan mitigasi
bencana.

BAB V
KAWASAN STRATEGIS
Pasal 34
(1) Kawasan Strategis ditetapkan sesuai dengan prioritas
kebutuhan dan kegunaannya.
(2) Kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari:
a. kawasan strategis nasional yang berada di wilayah
Kabupaten;
b. kawasan strategis provinsi yang berada di wilayah
Kabupaten; dan
c. kawasan strategis kabupaten.
(3) Kawasan strategis digambarkan dalam peta dengan tingkat
ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran
III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
36

Pasal 35
(1) Kawasan strategis nasional yang berada di wilayah
Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2)
huruf a yaitu kawasan strategis dari sudut kepentingan
sosial dan budaya.
(2) Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan sosial
dan budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu
Kawasan Strategis Nasional Kawasan Kerajaan Majapahit
Trowulan.
(3) Kawasan strategis provinsi yang berada di wilayah
Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2)
huruf b terdiri dari:
a. kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan
daya dukung lingkungan hidup; dan
b. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan
budaya.
(4) Kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya
dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) huruf a terdiri dari Kawasan Strategis Provinsi
Sekitar DAS Brantas.
(5) Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b terdiri dari
Kawasan Strategis Provinsi Majapahit Park.

Pasal 36
(1) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (2) huruf c terdiri dari:
a. kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan
ekonomi;
b. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan
budaya; dan
c. kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan
daya dukung lingkungan hidup.
(2) Kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan
ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri
dari:
a. Kawasan Agropolitan, meliputi wilayah Kecamatan
Bareng, Kecamatan Ngoro, Kecamatan Mojowarno dan
Kecamatan Wonosalam;
b. Kawasan Cepat Tumbuh Bandarkedungmulyo dan Perak
meliputi Desa Banjarsari, Bandarkedungmulyo,
Gadingmangu, Gondangmanis, Kayen, Pagerwojo, dan
Perak;
c. Kawasan Cepat Tumbuh Tembelang meliputi Desa
Mojokrapak, Pesantren, Tampingmojo dan Tembelang;
dan
d. Kawasan Cepat Tumbuh Ploso meliputi Desa Banjardowo,
Manduro, Pengampon, Sukodadi, Karangpakis, Kabuh,
Kedungjati, Sumberingin, Sumbergondang,
Genenganjasem, Munungkerep, Katemas, Kepuhrejo dan
Pandanblole.
(3) Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b terdiri dari:
a. Kawasan Cagar Budaya Made di Desa Made Kecamatan
Kudu;
37

b. Kawasan Pondok Pesantren yang terdapat di Desa


Peterongan, Denanyar, Cukir, Tambakrejo, Losari dan
pondok pesantren lainnya; dan
c. Kawasan Tertinggal di wilayah Kecamatan Kabuh,
Plandaan dan Ngusikan.
(4) Kawasan strategis Kabupaten dari sudut kepentingan fungsi
dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf c terdiri dari Kawasan Strategis
Kabupaten Pengelolaan LB3 di Kecamatan Sumobito,
Kecamatan Kesamben, Kecamatan Diwek, Kecamatan
Jombang, dan Kecamatan Kabuh.
(5) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1) dapat dituangkan dalam Rencana Detail
Tata Ruang (RDTR).

BAB VI
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG
Pasal 37
(1) Arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Jombang
dirumuskan dengan kriteria:
a. berdasarkan rencana struktur ruang, rencana pola ruang
dan penetapan kawasan strategis kabupaten;
b. mendukung program utama penetapan ruang nasional
dan provinsi;
c. dapat diacu dalam penyusunan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) kabupaten;
d. realistis, objektif, terukur dan dapat dilaksanakan dalam
jangka waktu perencanaan;
e. mempertimbangakan keterpaduan antar program
pengembangan wilayah kabupaten dan rencana induk
sektor di daerah;
f. konsisten dan berkesinambungan terhadap program yang
disusun, baik dalam jangka waktu tahunan maupun lima
tahunan;
g. mempertimbangkan kemampuan pembiayaan dan
kapasitas daerah serta pertumbuhan investasi;
h. mempertimbangkan apresiasi masyarakat; dan
i. mengacu pada ketentuan perundang-undangan.
(2) Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Jombang
berpedoman pada rencana struktur ruang, pola ruang dan
kawasan strategis.
(3) Pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten
Jombang dilaksanakan melalui :
a. penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan
ruang; dan
b. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR).
(4) Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang disusun
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) disusun berdasarkan indikasi program utama lima
tahunan yang ditetapkan dalam Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah
ini.
(6) Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, investasi swasta dan
kerjasama pendanaan.
38

(7) Kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) menjadi
pertimbangan dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan
ruang.
(9) Pelaksanaan KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
dilakukan melalui:
a. konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
(KKKPR);
b. persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
(PKKPR); dan
c. rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
(10) Pelaksanaan KKPR dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.

BAB VII
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 38
(1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten didasarkan pada Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang (KKPR) sebagai acuan dalam
pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten.
(2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri dari :
a. ketentuan umum zonasi;
b. ketentuan khusus zonasi;
c. Penilaian pelaksanaan pemanfaatan ruang;
d. ketentuan insentif dan disinsentif; dan
e. arahan sanksi.

Bagian Kedua
Ketentuan Umum Zonasi
Pasal 39
(1) Ketentuan umum zonasi sistem Kabupaten sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a digunakan sebagai
pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun
peraturan zonasi.
(2) Ketentuan umum zonasi terdiri dari:
a. Ketentuan umum zonasi sistem pusat kegiatan, terdiri
dari:
1. Pusat Kegiatan Lokal (PKL);
2. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK); dan
3. Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL).
b. Ketentuan umum zonasi untuk kawasan sekitar sistem
prasarana wilayah, terdiri dari:
1. kawasan sekitar prasarana transportasi;
2. kawasan sekitar prasarana energi;
3. kawasan sekitar prasarana telekomunikasi;
4. kawasan sekitar prasarana sumber daya air; dan
5. kawasan sekitar prasarana lainnya.
c. Ketentuan umum zonasi untuk kawasan lindung, terdiri
dari:
1. kawasan hutan lindung;
2. kawasan konservasi (taman hutan raya); dan
39

3. kawasan cagar budaya.


d. Ketentuan umum zonasi untuk kawasan budidaya,
meliputi:
1. kawasan hutan produksi;
2. kawasan tanaman pangan;
3. kawasan hortikultura;
4. kawasan perkebunan;
5. kawasan peternakan;
6. kawasan pertambangan dan energi;
7. kawasan peruntukan industri;
8. kawasan pariwisata;
9. kawasan permukiman perkotaan;
10. kawasan permukiman perdesaan; dan
11. kawasan pertahanan dan keamanan.
e. Ketentuan umum zonasi untuk kawasan strategis
(3) Ketentuan Umum Zonasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf a, b, c, dan d tercantum pada Lampiran berupa
tabel matriks indikasi KUZ.
(4) Ketentuan Umum Zonasi kawasan strategis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf e mengacu pada rencana tata
ruang kawasan strategis yang berlaku.

Paragraf 1
Ketentuan Umum Zonasi Sistem Pusat Kegiatan
Pasal 40
(1) Ketentuan umum zonasi untuk Pusat Kegiatan Lokal (PKL)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf a
nomor 1 terdiri dari:
a. diperbolehkan untuk kegiatan ekonomi dengan skala
layanan Kabupaten dan/atau yang lebih tinggi;
b. diizinkan kegiatan pemanfaatan ruang dengan fungsi
utama sebagai kawasan permukiman, pertanian dan
industri skala kecil;
c. diizinkan kegiatan pengembangan sistem jaringan
prasarana pendukung;
d. diizinkan kegiatan pemanfaatan ruang lindung meliputi
pengembangan kawasan perlindungan setempat, rawan
bencana, cagar budaya dan ruang terbuka hijau;
e. diizinkan dengan terbatas kegiatan pemanfaatan ruang
budidaya meliputi kawasan pertambangan dan energi,
peruntukan industri skala sedang, serta pertahanan dan
keamanan;
f. diizinkan dengan terbatas kegiatan pemanfaatan ruang
lindung meliputi pengembangan kawasan resapan air;
dan
g. dilarang kegiatan pemanfaatan ruang budidaya meliputi
kawasan peruntukan industri skala besar.
(2) Ketentuan umum zonasi untuk pusat pelayanan kawasan
(PPK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf a
nomor 2 terdiri dari:
a. diperbolehkan untuk kegiatan ekonomi dengan skala
layanan kecamatan dan/atau skala layanan kabupaten;
40

b. diizinkan kegiatan pemanfaatan ruang dengan fungsi


utama sebagai kawasan permukiman, pertanian dan
industri skala kecil;
c. diizinkan kegiatan pengembangan sistem jaringan
prasarana pendukung;
d. diizinkan kegiatan pemanfaatan ruang lindung meliputi
pengembangan kawasan perlindungan setempat, rawan
bencana, cagar budaya dan ruang terbuka hijau.
e. diizinkan dengan terbatas kegiatan pemanfaatan ruang
budidaya meliputi kawasan pertambangan dan energi,
peruntukan industri skala sedang, serta pertahanan dan
keamanan;
f. diizinkan dengan terbatas kegiatan pemanfaatan ruang
lindung meliputi pengembangan kawasan resapan air.
(3) Ketentuan umum zonasi untuk pusat pelayanan lingkungan
(PPL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf a
nomor 3 terdiri dari :
a. diperbolehkan untuk kegiatan ekonomi dengan skala
layanan lingkungan dan/atau skala layanan kecamatan;
b. diizinkan kegiatan pemanfaatan ruang dengan fungsi
utama sebagai kawasan permukiman, pertanian dan
industri skala kecil;
c. diizinkan kegiatan pengembangan sistem jaringan
prasarana pendukung;
d. diizinkan kegiatan pemanfaatan ruang lindung meliputi
pengembangan kawasan perlindungan setempat, rawan
bencana, cagar budaya dan ruang terbuka hijau.
e. diizinkan dengan terbatas kegiatan pemanfaatan ruang
budidaya meliputi kawasan pertambangan dan energi,
peruntukan industri skala sedang, serta pertahanan dan
keamanan;
f. diizinkan dengan terbatas kegiatan pemanfaatan ruang
lindung meliputi pengembangan kawasan resapan air.

Paragraf 2
Ketentuan Umum Zonasi untuk Kawasan Sekitar Sistem
Prasarana Wilayah
Pasal 41
(1) Ketentuan umum zonasi sistem jaringan prasarana
transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2)
huruf b nomor 1, terdiri dari:
a. sistem jaringan jalan; dan
b. sistem jaringan kereta api.
(2) Ketentuan umum zonasi sistem jaringan jalan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a, terdiri dari:
a. ketentuan umum zonasi untuk jaringan jalan nasional
yang ada dalam wilayah kabupaten;
b. ketentuan umum zonasi untuk jaringan jalan provinsi
yang ada di wilayah kabupaten;
c. ketentuan umum zonasi untuk jaringan jalan yang
menjadi kewenangan kabupaten;
d. ketentuan umum zonasi untuk jaringan jalan lingkungan;
41

e. ketentuan umum zonasi untuk terminal penumpang;


f. ketentuan umum zonasi untuk jembatan timbang.
(3) ketentuan umum zonasi untuk jaringan jalan nasional yang
ada dalam wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf a, terdiri dari:
a. diizinkan peruntukan ruang di sepanjang sisi jalan
perkotaan dengan tingkat intensitas menengah hingga
tinggi;
b. diizinkan penambahan jumlah armada rute untuk
peningkatan integrasi perpindahan antar moda baik
angkutan yang melayani perkotaan, angkutan yang
melayani perdesaan dan angkutan yang melayani hingga
perbatasan;
c. diizinkan upaya pelebaran dan rehabilitasi jalan untuk
peningkatan pemanfaatan jaringan jalan;
d. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan pembangunan jaringan jalan
harus sesuai dengan persyaratan teknis jalan meliputi
kecepatan rencana, lebar badan jalan, kapasitas, jalan
masuk, persimpangan sebidang, bangunan pelengkap,
perlengkapan jalan, penggunaan jalan sesuai dengan
fungsinya, dan tidak terputus serta memenuhi memenuhi
ketentuan keamanan, keselamatan, dan lingkungan;
e. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan menyediakan ruang terbuka
hijau berupa jalur hijau di sempadan dan/atau median
jaringan jalan;
f. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan jaringan jalan harus
dilengkapi dengan bangunan pelengkap yang harus
disesuaikan dengan fungsi jalan yang bersangkutan.
Perlengkapan jalan sebagaimana terdiri atas
perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dan tidak
langsung dengan pengguna jalan;
g. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan upaya peningkatan hubungan
interaksi antar wilayah perkotaan maupun perdesaan,
dengan membangun jembatan penyeberangan;
h. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan dan pengaturan
pelaksanaannya dalam hal ruang manfaat jalan dan/atau
ruang milik jalan bersilangan, berpotongan, berhimpit,
melintas, atau di bawah bangunan utilitas, ditetapkan
bersama oleh penyelenggara jalan dan pemilik bangunan
utilitas yang bersangkutan, dengan mengutamakan
kepentingan umum;
i. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan dalam hal ruang milik jalan
diizinkan untuk prasarana moda transportasi lain,
dengan ditetapkan persyaratan teknis dan pengaturan
pelaksanaannya bersama oleh penyelenggara jalan dan
instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang prasarana moda transportasi yang bersangkutan
dengan mengutamakan kepentingan umum. yang
termasuk prasarana moda transportasi lain antara lain
jalan kabel;
42

j. diizinkan dengan bersyarat sempadan jalan diarahkan


sebagai RTH;
k. diizinkan dengan bersyarat mempertahankan kawasan
pertanian di sepanjang jalan TOL;
l. diizinkan dengan bersyarat pengembangan kawasan
budidaya di sekitar jalan tol harus dilengkapi dengan
frontage road sebagai jalur sirkulasi lokal yang terhubung
dengan pintu TOL;
m. diizinkan dengan bersyarat pengembangan kawasan di
sepanjang jalan TOL harus sesuai dengan rencana
pengembangan yang tertuang dalam dokumen RTRW;
n. tidak diizinkan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung
di sepanjang sisi jalan perkotaan sebagai lahan
terbangun. Ketentuan lebih lanjut sesuai dengan
penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan
perkotaan yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan
jalan. Ruang pengawasan jalan merupakan ruang
tertentu di luar ruang milik jalan, yang penggunaannya di
bawah pengawasan penyelenggara jalan, dan yang
diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan
pengamanan konstruksi jalan serta manfaat jalan; dan
o. tidak diizinkan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung
di sisi jalan TOL sebagai lahan terbangun.
(4) ketentuan umum zonasi untuk jaringan jalan provinsi yang
ada di wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf b, terdiri dari:
a. diizinkan peruntukan ruang di sepanjang sisi jalan
perkotaan dengan tingkat intensitas menengah hingga
tinggi;
b. diizinkan penambahan jumlah armada rute untuk
peningkatan integrasi perpindahan antar moda baik
angkutan yang melayani perkotaan, angkutan yang
melayani perdesaan dan angkutan yang melayani hingga
perbatasan;
c. diizinkan upaya pelebaran dan rehabilitasi jalan untuk
peningkatan pemanfaatan jaringan jalan;
d. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan pembangunan jaringan jalan
harus sesuai dengan persyaratan teknis jalan meliputi
kecepatan rencana, lebar badan jalan, kapasitas, jalan
masuk, persimpangan sebidang, bangunan pelengkap,
perlengkapan jalan, penggunaan jalan sesuai dengan
fungsinya, dan tidak terputus serta memenuhi memenuhi
ketentuan keamanan, keselamatan, dan lingkungan;
e. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan menyediakan ruang terbuka
hijau berupa jalur hijau di sempadan dan/atau median
jaringan jalan;
43

f. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara


terbatas dengan ketentuan jaringan jalan harus
dilengkapi dengan bangunan pelengkap yang harus
disesuaikan dengan fungsi jalan yang bersangkutan.
Perlengkapan jalan sebagaimana terdiri atas
perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dan tidak
langsung dengan pengguna jalan;
g. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan upaya peningkatan hubungan
interaksi antar wilayah perkotaan maupun perdesaan,
dengan membangun jembatan penyeberangan;
h. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan dan pengaturan
pelaksanaannya dalam hal ruang manfaat jalan dan/atau
ruang milik jalan bersilangan, berpotongan, berhimpit,
melintas, atau di bawah bangunan utilitas, ditetapkan
bersama oleh penyelenggara jalan dan pemilik bangunan
utilitas yang bersangkutan, dengan mengutamakan
kepentingan umum;
i. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan dalam hal ruang milik jalan
diizinkan untuk prasarana moda transportasi lain,
dengan ditetapkan persyaratan teknis dan pengaturan
pelaksanaannya bersama oleh penyelenggara jalan dan
instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang prasarana moda transportasi yang bersangkutan
dengan mengutamakan kepentingan umum. yang
termasuk prasarana moda transportasi lain antara lain
jalan kabel; dan
j. tidak diizinkan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung
di sepanjang sisi jalan perkotaan sebagai lahan
terbangun. Ketentuan lebih lanjut sesuai dengan
penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan
perkotaan yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan
jalan. Ruang pengawasan jalan merupakan ruang
tertentu di luar ruang milik jalan, yang penggunaannya di
bawah pengawasan penyelenggara jalan, dan yang
diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan
pengamanan konstruksi jalan serta manfaat jalan.
(5) ketentuan umum zonasi untuk jaringan jalan yang menjadi
kewenangan kabupaten sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf c, terdiri dari:
a. diizinkan peruntukan ruang di sepanjang sisi jalan
perkotaan dengan tingkat intensitas menengah hingga
tinggi;
b. diizinkan penambahan jumlah armada rute untuk
peningkatan integrasi perpindahan antar moda baik
angkutan yang melayani perkotaan, angkutan yang
melayani perdesaan dan angkutan yang melayani hingga
perbatasan;
c. diizinkan upaya pelebaran dan rehabilitasi jalan untuk
peningkatan pemanfaatan jaringan jalan;
d. diizinkan pengembangan jalur pejalan kaki;
44

e. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara


terbatas dengan ketentuan pembangunan jaringan jalan
harus sesuai dengan persyaratan teknis jalan meliputi
kecepatan rencana, lebar badan jalan, kapasitas, jalan
masuk, persimpangan sebidang, bangunan pelengkap,
perlengkapan jalan, penggunaan jalan sesuai dengan
fungsinya, dan tidak terputus serta memenuhi memenuhi
ketentuan keamanan, keselamatan, dan lingkungan;
f. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan menyediakan ruang terbuka
hijau berupa jalur hijau di sempadan dan/atau median
jaringan jalan;
g. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan jaringan jalan harus
dilengkapi dengan bangunan pelengkap yang harus
disesuaikan dengan fungsi jalan yang bersangkutan.
Perlengkapan jalan sebagaimana terdiri atas
perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dan tidak
langsung dengan pengguna jalan;
h. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan upaya peningkatan hubungan
interaksi antar wilayah perkotaan maupun perdesaan,
dengan membangun jembatan penyeberangan;
i. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan dan pengaturan
pelaksanaannya dalam hal ruang manfaat jalan dan/atau
ruang milik jalan bersilangan, berpotongan, berhimpit,
melintas, atau di bawah bangunan utilitas, ditetapkan
bersama oleh penyelenggara jalan dan pemilik bangunan
utilitas yang bersangkutan, dengan mengutamakan
kepentingan umum;
j. diizinkan pembangunan jaringan jalan raya secara
terbatas dengan ketentuan dalam hal ruang milik jalan
diizinkan untuk prasarana moda transportasi lain,
dengan ditetapkan persyaratan teknis dan pengaturan
pelaksanaannya bersama oleh penyelenggara jalan dan
instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang prasarana moda transportasi yang bersangkutan
dengan mengutamakan kepentingan umum. yang
termasuk prasarana moda transportasi lain antara lain
jalan kabel; dan
k. Tidak diizinkan pemanfaatan ruang milik jalan, ruang
manfaat jalan, dan ruang pengawasan jalan yang
mengakibatkan terganggunya kelancaran lalu lintas dan
keselamatan pengguna jalan.
(6) ketentuan umum zonasi untuk jaringan jalan lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d, terdiri dari:
a. diizinkan pengembangan prasarana pelengkap jalan
dengan syarat sesuai dengan kondisi dan kelas jalan;
b. diizinkan pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan
sesuai dengan peruntukkannya;
c. diizinkan bersyarat pembangunan atau pengembangan
jaringan prasarana, utilitas dan ruang terbuka hijau
(RTH) di ruang milik jalan wajib memperoleh izindari
penyelenggara jalan sesuai kewenangannya;
45

d. diizinkan bersyarat memanfaatkan ruang dengan tidak


berdampak langsung terhadap hambatan samping lalu
lintas sepanjang sisi jalan; dan
e. diizinkan bersyarat pemanfaatan ruang harus
mempertimbangkan garis sempadan sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
(7) ketentuan umum zonasi untuk terminal penumpang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf e, terdiri dari:
a. diizinkan bersyarat memanfaatkan ruang teriminal untuk
penyediaan fasilitas utama dan fasilitas penunjang yang
memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan;
b. diizinkan bersyarat untuk kegiatan yang mendukung
aktivitas pelayanan terminal penumpang;
c. diizinkan bersyarat memanfaatkan ruang terminal untuk
kegiatan bongkar muat barang sepanjang tidak
mengganggu fungsi terminal penumpang dan
memperhatikan keselamatan dan keamanan; dan
d. diizinkan bersyarat memanfaatkan ruang terminal untuk
pemasangan reklame dengan mempertimbangkan
keselamatan dan keamanan serta wajib memperoleh izin
penyelenggara terminal sesuai kewenangannya.
(8) ketentuan umum zonasi untuk jaringan jembatan timbang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf f, terdiri dari:
a. diizinkan bersyarat memanfaatkan ruang sekitar
jembatan timbang untuk penyediaan fasilitas utama dan
fasilitas penunjang yang memenuhi persyaratan
keselamatan dan keamanan; dan
b. diizinkan bersyarat memanfaatkan ruang di sekitar
jembatan timbang untuk pemasangan reklame dengan
mempertimbangkan keselamatan dan keamanan serta
wajib memperoleh izin dari penyelenggara jembatan
timbang sesuai kewenangannya.
(9) Ketentuan umum zonasi sistem jaringan kereta api
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b di Kabupaten
Jombang terdiri dari :
a. kegiatan usaha penunjang perkeretaapian diizinkan
meliputi aktivitas usaha untuk mendukung pengusahaan
perkeretaapian, antara lain usaha pertokoan, restoran,
perkantoran, dan perhotelan;
b. diizinkan peruntukan ruang di sepanjang sisi rel
perkeretaapian dengan tingkat intensitas menengah
hingga tinggi dengan kecenderungan pengembangan
ruangnya dibatasi;
c. diizinkan terbatas pengembangan transportasi kereta api
dengan ketentuan dengan menyediakan sarana dan
prasarana perkeretaapian yang berpedoman kepada
rencana induk perkeretaapian dan rencana teknis
perkeretaapian;
46

d. rel keretaapian harus dilengkapi dengan bangunan


pelengkap yang harus disesuaikan dengan fungsi
perkeretaapian yang bersangkutan. Perlengkapan
perkeretaapian berkaitan langsung dan tidak langsung
dengan pengguna jalan yang berpotongan dengan rel
perkeretaapian;
e. untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai
jalan, perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin
harus ditutup;
f. batas ruang milik jalur kereta api merupakan ruang di
sisi kiri dan kanan ruang manfaat jalur kereta api yang
lebarnya tidak boleh lebih kurang dari 6 (enam) meter;
g. batas ruang pengawasan jalur kereta api merupakan
ruang di sisi kiri dan kanan ruang milik jalur kereta api
yang lebarnya tidak boleh lebih kurang dari 9 (sembilan)
meter;
h. tidak diizinkan membangun gedung, membuat tembok,
pagar, tanggul, bangunan lainnya, menanam jenis pohon
yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta
api yang dapat mengganggu pandangan bebas dan
membahayakan keselamatan perjalanan kereta api; dan
i. alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi
rel kereta api tidak diizinkan sebagai lahan terbangun,
sesuai penetapan garis sempadan bangunan di sisi rel
kereta api.
(10) Ketentuan umum zonasi sistem jaringan prasarana energi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b
nomor 2, terdiri dari :
a. diizinkan regulasi keteknikan untuk menjamin
penyediaan dan pemanfaatan energi alternatif dan
konservasi energi yang berkualitas tinggi, aman, andal,
akrab lingkungan;
b. diperbolehkan pengembangan energi baru dan
terbarukan seperti pengembangan energi mikrohidro bagi
pembangkit listrik oleh badan usaha dengan
memperhatikan keseimbangan sumber daya alam dan
kelestarian lingkungan hidup serta pengaruh lingkungan,
dan persyaratan bagi keamanan instalasi dan
kemampuan pelaksanaannya;
c. diperbolehkan pemanfaatan lahan bukan milik umum
yang bersetifikat untuk sarana kelistrikan, diwajibkan
menyelesaikan ganti kerugian atau kompensasi yang
berhubungan dengan tanah, bangunan, dan atau
tanaman;
d. sistem peraturan zonasi untuk pembangkit tenaga listrik
disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang di
sekitar pembangkit listrik harus memperhatikan jarak
aman dari kegiatan lain;
e. peraturan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik
disusun dengan memperhatikan ketentuan pelarangan
pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
47

f. jarak minimum saluran udara tegangan tinggi 66/150 KV


seluas 20 (dua puluh) meter dari riang kiri dan kanan
dengan katalain batas aman dari atas tiang transmisi ke
bumi adalah 450;
g. luas lahan sebanyak 90% (sembilan pulh perseratus) dari
luas SUTT harus di hijaukan;
h. untuk penyesuaian dengan keadaan permukaan tanah
jalan dan sebagainya, diizinkan diambil jarak tiang antara
30 meter – 45 meter;
i. jarak kawat pengantar (konduktor) terhadap unsur-unsur
didalam lingkungan antara lain bangunan, pohon, jarak
tiang dan lain-lain harus dengan peraturan PLN yang
sudah berlaku. Penempatan tiang dan penarikan kawat
harus sempurna dan tinggi kawat minimum 7 (tujuh)
meter diatas permukaan tanah; dan
j. dilarang kegiatan pembangunan fisik dan pengembangan
ruang lain di sekitar jaringan yang mengganggu fungsi
jaringan prasarana energi listrik serta merusak
lingkungan sekitar jaringan.
(11) Ketentuan umum zonasi sistem jaringan prasarana
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat
(2) huruf b nomor 3, terdiri dari:
a. dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau
pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara
telekomunikasi diizinkan memanfaatkan atau melintasi
tanah dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai
Pemerintah. Pemanfaatan atau pelintasan tanah dan atau
bangunan di Kabupaten Jombang berlaku pula terhadap
sungai, baik permukaan maupun dasar;
b. dalam penyelenggaraan telekomunikasi diizinkan
memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan
milik perseorangan untuk tujuan pembangunan,
pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan
telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara
para pihak;
c. sistem jaringan telekomunikasi diizinkan dengan
memperhatikan pemanfaatan ruang untuk penempatan
stasiun bumi dan menara pemancar telekomunikasi yang
memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan
aktivitas kawasan di sekitarnya;
d. Pengembangan sistem telekomunikasi dengan
menggunakan sistem satelit diperbolehkan dengan
pengalokasian secara khusus bagi tiang pemancar dan
lokasinya tereletak jauh dari permukiman, sehingga pada
kawasan perkotaan yang direncanakan pengembangan
telematika perlu didata dan pembangunan tower untuk
jaringan telematika dibatasi;
e. Pengembangan sampai wilayah yang belum terjangkau
sarana prasarana telematika diperbolehkan dengan
memanfaatkan PLC atau Powerline Communication;
f. setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi yang
diizinkan wajib memasang rambu-rambu (tanda-tanda)
keberadaan jaringan telekomunikasi;
g. Jarak Menara BTS dengan bangunan terdekat adalah:
48

1. 20 (dua puluh) meter untuk ketinggian menara di atas


60 (enam puluh) meter;
2. 10 (sepuluh) meter untuk ketinggian menara di bawah
60 (enam puluh) meter.
h. jangkauan pelayanan maksimal (pada daerah layanan
padat dan/atau peak hour) per antena BTS diarahkan
limit ( + ) 3 km;
i. jarak antar tower minimum (antar provider/kelompok
provider yang tergabung dalam tower pemanfaatan
bersama) diarahkan mendekati (limit) 6 Km; dan
j. untuk penguatan spektrum layanan dapat menggunakan
antena transmiter yang dapat ditempatkan pada mini
tower, gedung tinggi, dengan disamarkan menyesuaikan
karateristik estetika kawasan.
(12) Ketentuan umum zonasi sistem jaringan prasarana sumber
daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2)
huruf b nomor 4, terdiri dari:
a. sumber daya air untuk irigasi diizinkan untuk
dimanfaatkan dengan memperhatikan kepentingan
pengguna di bagian hulu, tengah, dan hilir secara
seimbang;
b. kegiatan pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar
wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian
lingkungan dan fungsi lindung kawasan, memperhatikan
daerah tangkapan hujan, tidak mengurangi kuantitas dan
kualitas air, pengendalian banjir dan lingkungan sungai
serta mata air;
c. mendukung keandalan air irigasi, diizinkan membangun
waduk dan/atau waduk lapangan, mengendalikan
kualitas air, jaringan drainase yang sepadan, dan
memanfaatkan kembali air pembuangan/drainase;
d. diizinkan pengembangkan daerah wisata air di sekitar
lingkungan sungai Brantas;
e. diizinkan pengembangan jaringan sumber daya air
dengan memperhatikan bantaran sungai harus bebas
dari bangunan kecuali untuk bangunan inspeksi dengan
memperhatikan aturan jarak untuk sempadan sungai
bertanggul dan tidak bertanggul;
f. diizinkan pengembangan jaringan sumber daya air
dengan memperhatikan sepanjang ruang sempadan dapat
dikembangkan RTH produktif;
g. prasarana dan sarana minimum berupa pelindung sungai
berupa jalan setapak, kelengkapan bangunan yang
diijinkan, dan bangunan pelindung terhadap
kemungkinan banjir;
h. diizinkan pemanfaatan mata air dengan menjaga
kuantitas air, terdiri dari:
1. pelestarian hutan lindung, kawasan suaka, dan
kawasan pelestarian alam yang berfungsi sebagai
resapan air;
2. menjaga kelestarian daerah tangkapan air;
3. perlindungan dan pelestarian sumber mata air; dan
4. pengaturan daerah sempadan sumber mata air.
49

i. diizinkan pemanfaatan mata air dengan menjaga kualitas


air, terdiri dari :
1. pengendalian kegiatan yang telah ada di sekitar
sumber mata air;
2. pengamanan daerah aliran mata air;
3. kawasan dengan radius 200 (dua ratus) meter dari
mata air harus bebas dari bangunan kecuali
bangunan penyaluran air;
4. melakukan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah
dalam mencegah terjadinya erosi;
5. pembangunan sistem sanitasi perumahan yang baik
sehingga mencegah terjadinya degradasi air tanah;
6. pengaturan prasarana dan sarana sanitasi meliputi
prasarana sarana air limbah dan persampahan; dan
7. perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan
kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada
sumber air.
j. dalam pengendalian banjir diizinkan penentuan zona
atau pengaturan tata guna lahan untuk kawasan
terbangun dan tidak terbangun; dan
k. tidak diizinkan penempatan lokasi industri yang
berdekatan dengan daerah aliran sungai dan dapat
mencemari sungai.
(13) Ketentuan umum zonasi system jaringan prasarana lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b
nomor 5, terdiri dari:
a. sistem penyediaan air minum (SPAM);
b. sistem pengolahan air limbah (SPAL);
c. sistem pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun
(B3);
d. sistem jaringan persampahan wilayah; dan
e. jalur evakuasi bencana;
(14) Ketentuan umum zonasi untuk sistem penyediaan air minum
(SPAM) sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) huruf a terdiri
dari:
a. diizinkan kegiatan pembangunan atau pengembangan
sistem penyediaan air minum serta bangunan
pendukungnya pada kawasan budidaya;
b. diizinkan kegiatan pengembangan ruang untuk fungsi
lindung di sekitar jaringan;
c. diizinkan kegiatan pembangunan dan pemasangan
jaringan perpipaan primer, sekunder serta distribusi ke
rumah tangga;
d. diizinkan kegiatan pengembangan jaringan perpipaan air
minum dengan jaringan prasarana lain dalam bentuk
sistem jaringan prasarana bawah tanah;
e. diizinkan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber-
sumber air minum;
f. diizinkan dengan terbatas pembangunan fasilitas
pendukung pengolahan air minum meliputi kantor
pengelola, bak penampungan, tower air, bak pengolahan
air dan bangunan untuk sumber energi listrik dengan
syarat:
50

1. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) paling tinggi 30 %


(tiga puluh persen);
2. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) paling tinggi 60 %
(enam puluh persen);
3. sempadan bangunan paling sedikit sama dengan lebar
jalan atau sesuai dengan Keputusan Gubernur
dan/atau Keputusan Bupati;
4. diatur sesuai dengan rencana detail tata ruang dan
peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan
5. pembangunan dan pemasangan jaringan primer,
sekunder dan Sambungan Rumah (SR) yang melintasi
tanah milik perorangan wajib dilengkapi pernyataan
tidak keberatan dari pemilik tanah.
g. dilarang pembangunan instalasi pengolahan air minum
yang dibangun langsung pada sumber air baku.
(15) Ketentuan umum zonasi untuk sistem pengolahan air limbah
(SPAL) sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) huruf b terdiri
dari:
a. diizinkan kegiatan pengembangan ruang untuk fungsi
lindung di sekitar jaringan air limbah;
b. diizinkan dengan terbatas kegiatan pembangunan atau
pengembangan jaringan pengelolaan air limbah dan
bangunan pendukungnya pada kawasan budidaya;
c. diizinkan dengan terbatas kegiatan pembangunan atau
pengembangan prasarana pengelolaan limbah kotoran
hewan pada kawasan budidaya;
d. ketentuan teknis system pengolahan air limbah antara
lain:
1. prasarana dan sarana minimum berupa bak
pengolahan limbah, saluran limbah, tempat
penampungan sementara limbah sebelum diolah, dan
alat pencegah pencemaran limbah;
2. memiliki perlengkapan untuk penanggulangan
terjadinya kecelakaan;
3. mempunyai lokasi pengumpulan yang bebas banjir.
e. dilarang kegiatan pembangunan fisik dan pengembangan
ruang lain diatas jaringan air limbah.
(16) Ketentuan umum zonasi untuk Sistem pengolahan LB3
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) huruf c terdiri dari:
a. diizinkan kegiatan pengembangan ruang terbuka hijau di
sekitar jaringan;
b. diizinkan dengan terbatas kegiatan pengembangan atau
pembangunan jaringan pengelolaan limbah bahan
berbahaya dan beracun dan bangunan pendukungnya
pada kawasan budidaya dengan syarat :
1. memiliki studi kelayakan dan dokumen lingkungan;
2. berada pada minimal radius 300 (tiga ratus) m untuk
fasilitas umum, sumber air, kawasan lindung dan
jalan serta tidak diizinkan untuk kawasan
permukiman dan pariwisata;
3. tidak pada lokasi yang rawan bencana;
4. LB3 harus terlindung dari hujan dan sinar matahari;
5. bangunan dilengkapi dengan saluran dan bak
penampung tumpahan;
51

6. dilengkapi sarana dan prasarana penunjang lainnya.


c. ketentuan teknis sistem pengelolaan LB3 antara lain :
1. prasarana dan sarana minimum berupa bak
pengolahan limbah, saluran limbah, tempat
penampungan sementara limbah sebelum diolah, alat
pencegah pencemaran limbah, tempat parkir
kendaraan angkutan dan pagar tembok keliling
lengkap;
2. memperhatikan karakteristik LB3;
3. mempunyai laboratorium yang dapat mendeteksi
karakteristik LB3;
4. memiliki perlengkapan untuk penanggulangan
terjadinya kecelakaan;
5. memiliki konstruksi bangunan kedap air dan bahan
bangunan disesuaikan dengan karakteristik LB3; dan
6. mempunyai lokasi pengumpulan yang bebas banjir.
d. dilarang kegiatan pengembangan atau pembangunan
jaringan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun dan bangunan pendukungnya pada kawasan
lindung; dan
e. dilarang kegiatan pembangunan fisik dan pengembangan
ruang lain di sekitar yang mengganggu fungsi sistem
pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.
(17) Ketentuan umum zonasi untuk sistem jaringan persampahan
sebagaiman dimaksud dalam ayat (8) huruf d disusun
dengan terdiri dari :
a. diizinkan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di dalam
kawasan perkotaan;
b. diizinkan pengembangan TPS secara terpusat pada unit-
unit lingkungan yang terdapat pada pusat-pusat
perkotaan dan pusat kegiatan;
c. diizinkan pengembangan lokasi pengolahan sampah
dengan composting dan daur ulang;
d. diizinkan memiliki area land fill untuk penimbunan
sampah organik;
e. diizinkan dengan bersyarat;
f. diizinkan dengan bersyarat penentuan TPA terpadu yang
lokasinya diharuskan jauh dari permukiman penduduk;
g. kegiatan daur ulang sampah sepanjang tidak merusak
lingkungan dan bentang alam maupun perairan
setempat;
h. diizinkan dengan bersyarat menentukan lokasi jaringan
persampahan diharuskan dengan memerhatikan faktor-
faktor seperti area pelayanan, pertimbangan persyaratan
lingkungan, metode pengelolaan sampah yang dipilih
serta persyarakatan teknis lain;
i. diizinkan dengan bersyarat dilokasi TPA diwajibkan
memiliki aktivitas utama penanganan sampah yaitu:
pemilihan sampah, daur ulang sampah non hayati (non
organik), pengomposan sampah hayati (organik) dan
pengurugan/penimbunan sampah;
j. ketentuan teknis pada sistem jaringan persampahan
terdiri atas:
52

1. pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial,


kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum,
fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya diwajibkan
menyediakan fasilitas pemilahan sampah, TPS, TPS
3R dan/atau alat pengumpul untuk sampah terpilah;
2. diwajibkan menanam pohon/ tanaman sebagai jalur
hijau di sekeliling TPST, TPS 3R, SPA maupun TPA;
3. Prasarana dan sarana minimum berupa unit
pengelolaan sampah antara lain pembuatan kompos
dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTS), bak
penampung dan bak pengelolaan sampah; dan
4. Menentukan lokasi pembuangan sampah diharuskan
dengan memerhatikan faktor-faktor seperti topografis,
geologis, hidrologis, serta metode pengelolaan sampah
itu sendiri.
k. dilarang mengoperasikan tempat pengolahan akhir
dengan metode open dumping serta mengimpor dan
mengekspor sampah.
(18) Ketentuan umum zonasi untuk jalur evakuasi bencana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) huruf e terdiri dari :
a. diizinkan untuk kegiatan pengembangan ruang terbuka
hijau;
b. diizinkan untuk kegiatan pengembangan sarana dan
prasana pendukung dalam hal edukasi, evakuasi dan
mitigasi bencana;
c. diizinkan untuk kegiatan penyediaan dan pemasangan
penanda atau rambu- rambu evakuasi bencana;
d. diizinkan dengan terbatas kegiatan penyediaan dan
pengembangan jalur serta ruang evakuasi bencana pada
kawasan budidaya dan lindung;
e. diizinkan dengan terbatas untuk kegiatan pengembangan
kawasan terbangun di sekitar jalur evakuasi bencana
hanya untuk mendukung fungsi mitigasi bencana dan
keperluan evakuasi bencana;
f. ketentuan teknis sarana dan prasana minimum :
1. rambu petunjuk jalur dan ruang evakuasi;
2. kebutuhan air bersih dan sanitasi;
3. sarana kesehatan; dan
4. penampungan dan tempat hunian sementara.
g. dilarang kegiatan pembangunan yang berpotensi
menghambat kelancaran akses jalur evakuasi; dan
h. dilarang kegiatan pembangunan fisik dan pengembangan
ruang lain di sekitar yang mengganggu dan/atau
menghambat kelancaran akses dan fungsi jalur evakuasi
bencana.

Paragraf 3
Ketentuan Umum Zonasi untuk Kawasan Lindung
Pasal 42
(1) Ketentuan umum zonasi untuk kawasan hutan lindung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf c
nomor 1, terdiri dari:
53

a. diizinkan pemanfaatan kawasan hutan untuk lokasi


evakuasi bencana dengan tidak merubah bentang alam;
b. diizinkan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan di dalam
kawasan hutan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan
hutan;
c. diizinkan terbatas pemanfaatan hutan lindung berupa
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan,
dan pemungutan hasil hutan bukan kayu dengan syarat
tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi
utama hutan lindung;
d. dilarang kegiatan yang berpotensi mengurangi fungsi
utama kawasan dan luas kawasan hutan;
e. dilarang kegiatan yang berpotensi mengurangi fungsi
utama kawasan dan luas kawasan hutan;
f. dilarang kegiatan pertambangan;
g. dilarang kegiatan budidaya baru dan budidaya yang telah
ada di kawasan lindung yang dapat mengganggu fungsi
lindung dan kelestarian hutan; dan
h. intensitas pemanfaatan ruang selain hutan lindung yang
diizinkan maksimum adalah 10% berupa kegiatan yang
tidak mengurangi fungsi lindung.
(2) Ketentuan umum zonasi untuk kawasan konservasi (taman
hutan raya) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2)
huruf c nomor 2, terdiri dari:
a. diizinkan aktivitas pendidikan, penelitian, dan wisata
alam;
b. diizinkan pendirian bangunan dibatasi hanya untuk
menunjang kegiatan pendidikan, penelitian, dan wisata
alam;
c. dilarang kegiatan lainnya yang merusak atau
mengganggu koleksi flora dan fauna; dan
d. dilarang kegiatan lainnya yang mengubah bentang alam
dan ekosistem, mengganggu kelestarian flora fauna serta
keanekaragaman hayati. ketentuan intensitas
pemanfaatan ruang berupa kegiatan budidaya pada
kawasan taman hutan raya yang diizinkan adalah sebesar
maksimum 5% (lima perseratus) untuk kegiatan yang
mendukung konservasi.
(3) Ketentuan umum zonasi untuk kawasan cagar budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf c
nomor 3, terdiri dari:
a. diizinkan pemanfaatan dan pendirian bangunan untuk
kegiatan pendidikan, penelitian, dan wisata;
b. dilarang kegiatan yang mengubah bentukan geologi
tertentu yang mempunyai manfaat untuk pengembangan
ilmu pengetahuan;
c. dilarang kegiatan yang mengganggu atau merusak
kekayaan budaya dan upaya pelestariannya;
d. dilarang kegiatan yang mengganggu kelestarian
lingkungan di sekitar peninggalan sejarah, bangunan
arkeologi, serta wilayah dengan bentukan geologi
tertentu; dan
54

e. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang berupa kegiatan


budidaya pada kawasan cagar budaya yang diizinkan
adalah sebesar maksimum 10% untuk kegiatan yang
mendukung fungsi cagar budaya.

Paragraf 4
Ketentuan Umum Zonasi untuk Kawasan Budidaya
Pasal 43
(1) Ketentuan umum zonasi untuk kawasan hutan produksi
tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf d
nomor 1, terdiri dari:
a. diizinkan aktivitas yang tidak mengolah tanah secara
intensif seperti pertanian tumpang sari;
b. diizinkan terbatas kegiatan pertambangan melalui
pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri terkait dengan
memperhatikan batasan luas dan jangka waktu tertentu
serta kelestarian hutan/lingkungan;
c. diizinkan terbatas kegiatan wisata alam berbasis
ekowisata, penelitian dan pendidikan;
d. dilarang pemanfaatan selain peruntukan hutan produksi
yang berpotensi mengganggu produtivitas hasil hutan;
dan
e. dilarang kegiatan eksploitasi hutan produksi yang
beresiko merusak kelestarian hayati serta berdampak
pada penurunan daya dukung lingkungan hidup dan
menimbulkan bencana; dan
f. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk
klasifikasi non hutan adalah maksimum 20% dan berupa
jenis pemanfaatan ruang yang tidak mengganggu
aktivitas kehutanan.
(2) Ketentuan umum zonasi untuk kawasan tanaman pangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf d
nomor 2, terdiri dari:
a. diizinkan pemanfaatan ruang untuk permukiman
perdesaan dengan kepadatan rendah terutama pada
lahan pertanian non irigasi;
b. diizinkan terbatas pemanfaatan ruang untuk kegiatan
perkebunan tanaman tahunan tanpa mengganggu sistem
ketahanan pangan;
c. diizinkan terbatas kegiatan penunjang pertanian, wisata
alam berbasis ekowisata, penelitian dan pendidikan;
d. diizinkan terbatas pembangunan fasilitas umum dengan
tanpa mengganggu sistem ketahanan pangan;
e. diizinkan terbatas kegiatan pengembangan kawasan
pertambangan khusus dengan metode tertutup sesuai
dengan peta Wilayah Pertambangan dan jaringan
prasarana pengelolaan limbah pertambangan;
f. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk
klasifikasi non pertanian adalah maksimum 30% dan
berupa jenis pemanfaatan ruang yang tidak mengganggu
aktivitas pertanian;
55

g. dilarang adanya aktivitas budidaya yang mengurangi luas


kawasan sawah irigasi dan/atau memutus jaringan
irigasi, kecuali untuk pembangunan jaringan prasarana,
dan kepentingan umum sesuai peraturan perundang-
undangan; dan
h. dilarang melaksanakan atau mendirikan seluruh kegiatan
yang tidak diatur dalam ketentuan diperbolehkan dan
terbatas.
(3) Ketentuan umum zonasi untuk kawasan hortikultura
sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (2) huruf d
nomor 3, terdiri dari:
a. diizinkan kegiatan pengembangan dan pendirian
bangunan pendukung kegiatan holtikultura;
b. diizinkan kegiatan pengembangan kawasan agropolitan
berbasis komoditas pertanian unggulan dan andalan
daerah;
c. diizinkan kegiatan pengembangan kawasan agroindustri
berbasis komoditas unggulan dan agrowisata serta
penyiapan sarana-prasarana pendukungnya;
d. diizinkan kegiatan pengembangan sistem pengairan dan
kolam yang ramah lingkungan;
e. diizinkan kegiatan aktivitas untuk pendukung kawasan
hortikultura;
f. diizinkan kegiatan pengembangan RTH;
g. diizinkan terbatas kegiatan pengembangan kawasan
budidaya permukiman;
h. diizinkan terbatas kegiatan pengembangan industri skala
kecil dengan syarat tidak menimbulkan polusi;
i. diizinkan terbatas kegiatan pemanfaatan dan
pengambilan air tanah;
j. diizinkan terbatas kegiatan pengembangan kawasan
pertambangan dan jaringan prasarana pengelolaan
limbah pertambangan;
k. diizinkan terbatas kegiatan pengembangan Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL), bangunan pendukung dan
jaringan sumber daya air, fasilitas jembatan, jalur pipa
gas dan air minum, rentangan kabel listrik dan
telekomunikasi, bangunan ketenagalistrikan serta
jaringan prasarana lainnya;
l. diizinkan terbatas kegiatan pengembangan kawasan
pertambangan khusus dengan metode tertutup sesuai
dengan peta Wilayah Pertambangan dan jaringan
prasarana pengelolaan limbah pertambangan;
m. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang maksimum 30%
(tiga puluh perseratus) dan berupa jenis pemanfaatan
ruang yang tidak mengganggu aktivitas hortikultura;
n. ketentuan koefisien dasar hijau minimal 50% (lima puluh
perseratus);
o. dilarang aktivitas budidaya yang mengurangi atau
merusak fungsi lahan dan kualitas tanah untuk
hortikultura dan/atau memiliki potensi pencemaran pada
kawasan holtikultura; dan
56

p. ketentuan khusus berupa penggunaan lahan hortikultura


untuk kegiatan yang lain diizinkan selama tidak
mengganggu produk unggulan daerah dan merusak
lingkungan hidup.
(4) Ketentuan umum zonasi untuk kawasan perkebunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf d
nomor 4, terdiri dari:
a. diizinkan pemanfaatan ruang untuk permukiman
perdesaan dengan kepadatan rendah;
b. diizinkan pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertanian
non irigasi tanpa mengganggu produktivitas perkebunan;
c. diizinkan aktivitas pendukung perkebunan, misalnya
penyelenggaraan aktivitas pembenihan;
d. diizinkan pemanfaatan lahan untuk kegiatan budidaya
pertanian meliputi hortikultura, tanaman pangan,
peternakan dan perikanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan;
e. diizinkan terbatas kegiatan penunjang perkebunan,
wisata alam berbasis ekowisata, penelitian dan
pendidikan;
f. diizinkan terbatas industri pengolahan hasil peternakan
di Kecamatan Kabuh;
g. diizinkan terbatas kegiatan pengembangan kawasan
pertambangan khusus dengan metode tertutup sesuai
dengan peta Wilayah Pertambangan dan jaringan
prasarana pengelolaan limbah pertambangan;
h. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang maksimum 30%
dan berupa jenis pemanfaatan ruang yang tidak
mengganggu aktivitas perkebunan;
i. dilarang kegiatan industri skala sedang dan besar di
Kecamatan Wonosalam;
j. dilarang aktivitas budidaya yang mengurangi atau
merusak fungsi lahan dan kualitas tanah untuk
perkebunan dan/atau memiliki potensi pencemaran; dan
k. dilarang pengembangan kawasan terbangun pada lahan
yang ditetapkan sebagai lahan perkebunan yang
produktivitasnya tinggi.
(5) Ketentuan umum zonasi untuk kawasan peternakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf d
nomor 5, terdiri dari:
a. diizinkan pemanfaatan ruang untuk permukiman
perdesaan dengan kepadatan rendah;
b. diizinkan pemanfaatan ruang untuk kawasan pemijahan;
c. diizinkan pemanfaatan ruang untuk usaha tani baik
berbasis tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
maupun perikanan tanpa mengganggu produktivitas
peternakan;
d. diizinkan terbatas kegiatan penunjang peternakan, wisata
alam berbasis ekowisata, penelitian dan pendidikan;
e. dilarang adanya aktivitas maupun kawasan terbangun
yang mengganggu produktivitas peternakan; dan
57

f. ketentuan Intensitas pemanfaatan ruang berupa untuk


klasifikasi non peternakan adalah maksimum 30% dan
berupa jenis pemanfaatan ruang yang tidak mengganggu
aktivitas peternakan.
(6) Ketentuan umum zonasi untuk kawasan pertambangan dan
energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf
d nomor 7, terdiri dari:
a. diizinkan pengembangan kegiatan pertambangan;
b. diizinkan pemanfaatan ruang untuk mengembangkan
aktivitas pertanian, perkebunan, peternakan dan
kehutanan pada zona penyangga;
c. diizinkan secara terbatas kegiatan budi daya lainnya di
kawasan pertambangan dengan menyesuaikan dengan
rencana pengembangan dan reklamasi, tidak mendirikan
bangunan permanen, tidak mengganggu aktivitas
penambangan, serta memperhatikan ketentuan yang
berlaku dalam lingkungan kegiatan eksploitasi;
d. diizinkan pengembangan kawasan pertambangan secara
bersama-sama dengan penelitian dan pendidikan;
diizinkan pengembangan infrastruktur yang mendukung
kegiatan pertambangan;
e. khusus kawasan pertambangan pasca tambang di
Kecamatan Kabuh diizinkan untuk kegiatan industri dan
peternakan;
f. khusus kawasan pertambangan pasca tambang di
Kecamatan Kesamben diizinkan untuk kegiatan
peternakan, perikanan dan perumahan;
g. khusus kawasan pertambangan pasca tambang di
Kecamatan Perak – Megaluh – Jombang diizinkan untuk
kegiatan perumahan dan industri manufaktur padat
karya;
h. khusus kawasan pertambangan pasca tambang di
Kecamatan Ngoro diizinkan untuk kegiatan pariwisata,
perumahan, peternakan dan perikanan;
i. diizinkan terbatas, pengembangan industri terkait dengan
pengolahan pertambangan di luar zona inti
pertambangan;
j. dilarang pengembangan permukiman di kawasan
penyangga;
k. dilarang pengembangan industri yang tidak berhubungan
dengan kegiatan pertambangan; dan
l. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk
klasifikasi non pertambangan disesuaikan dengan jenis
tambang.
(7) Ketentuan umum zonasi untuk kawasan peruntukan industri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf d
nomor 8, terdiri dari:
a. diizinkan pembangunan dan pengembangan kegiatan
budidaya yang mendukung kegiatan industri.
b. Khusus di Kawasan Industri Ploso diizinkan
pembangunan infrastruktur dasar penunjang kegiatan
industri;
58

c. Khusus di Kawasan Industri Ploso diizinkan


mengembangkan aktivitas permukiman skala kecil untuk
buruh/karyawan di dalam kawasan industri dengan
intensitas bangunan berkepadatan sedang;
d. Khusus di Kawasan Industri Ploso diizinkan
mengembangkan aktivitas budidaya produktif contohnya
seperti rumah sakit, klinik, pusat perdagangan dan jasa
di luar zona penyangga peruntukan industri;
e. dilarang kegiatan atau pemanfaatan ruang yang
mengurangi fungsi perindustrian pada kawasan
peruntukan industri;
f. dilarang pengembangan kawasan peruntukan industri
yang tidak disertai dengan upaya-upaya mengurangi
dampak buruk aktivitas perindustrian.
g. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang berupa ruang
untuk klasifikasi non industri adalah maksimum 30%
dan pada kawasan sentra industri mengikuti ketentuan
kawasan permukiman.
h. pengembangan kawasan industri harus dilengkapi
dengan jalur hijau (greenbelt) sebagai penyangga antar
fungsi kawasan, dan sarana pengolahan limbah;
i. pengembangan zona industri yang terletak pada
sepanjang jalan arteri atau kolektor harus dilengkapi
dengan frontage road untuk kelancaran aksesibilitas;
j. kegiatan industri harus dilengkapi dengan instalasi
pengolahan limbah;
k. pengembangan zona industri harus dilengkapi dengan
upaya pengelolaan lingkungan, sistem pengelolaan
limbah dan upaya pemantauan lingkungan; dan
l. pengembangan sentra industri menjadi bagian dari
kawasan permukiman serta harus memperhatikan upaya
pelestarian lingkungan hidup dan tidak boleh
mengganggu kegiatan permukiman.
(8) Ketentuan umum zonasi untuk kawasan pariwisata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf d
nomor 9, terdiri dari:
a. diizinkan pengembangan aktivitas dan bangunan
komersial sesuai dengan skala daya tarik pariwisata
dengan syarat di luar zona utama pariwisata dan tidak
mengganggu bentang alam daya tarik pariwisata;
b. diizinkan terbatas pengembangan aktivitas permukiman
dengan syarat di luar zona utama pariwisata dan tidak
mengganggu bentang alam daya tarik pariwisata;
c. diizinkan terbatas pengembangan bangunan penunjang
pendidikan dan pelatihan;
d. dilarang kegiatan dan penggunaan lahan yang
mengganggu dan mengurangi kualitas daya tarik wisata;
e. dilarang mendirikan bangunan selain untuk menunjang
pariwisata pada zona inti pariwisata;
f. dilarang pengembangan aktivitas industri dan
pertambangan skala besar yang mengganggu fungsi daya
tarik wisata;
59

g. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk kegiatan


lainnya di kawasan pariwisata mengikuti jenis dan
karakter daya tarik wisata; dan
h. ketentuan khusus pada kawasan pariwisata yang
bersinergi dengan fungsi lindung berupa tidak boleh
mengganggu fungsi konservasi.
(9) Ketentuan umum zonasi untuk kawasan permukiman
perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2)
huruf d nomor 10, terdiri dari:
a. diizinkan pengembangan kawasan lindung setempat;
b. diizinkan pengembangan sarana dan prasarana
pendukung permukiman seperti fasilitas umum, fasilitas
sosial serta fasilitas ekonomi dengan syarat disesuaikan
dengan skalanya;
c. diizinkan kegiatan pariwisata yang bersinergis dengan
kawasan permukiman;
d. diizinkan pengembangan kawasan permukiman dengan
intensitas bangunan berkepadatan rendah sampai tinggi
dan bangunan vertikal;
e. diizinkan pemindahan permukiman yang terletak pada
kawasan rawan bencana, kawasan perlindungan
setempat, hutan lindung maupun fungsi lindung lainnya
harus memperhatikan kaidah keberlanjutan
permukiman;
f. diizinkan terbatas pembangunan dan pengembangan
kegiatan industri kecil yang tidak menimbulkan gangguan
terhadap lingkungan dan/atau menghasilkan limbah
bahan beracun dan berbahaya (B3);
g. dilarang pembangunan dan pengembangan kegiatan
peternakan;
h. dilarang pembangunan dan pengembangan kegiatan
industri selain industri kecil;
i. dilarang pembangunan dan pengembangan kegiatan
pertambangan;
j. dilarang pengembangan kawasan permukiman yang bisa
menyebabkan alih fungsi lahan pertanian pangan
berkelanjutan dan kawasan lindung.
k. penyediaan RTH secara proporsional dengan fungsi
kawasan setidaknya 30% (tiga puluh perseratus) dari
kawasan peruntukan permukiman; dan
l. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk
klasifikasi non permukiman adalah maksimum 50% dan
berupa jenis pemanfaatan ruang yang tidak mengganggu
aktivitas permukiman.
(10) Ketentuan umum zonasi untuk kawasan permukiman
perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2)
huruf d nomor 11, terdiri dari:
a. diizinkan pengembangan kawasan lindung setempat;
b. diizinkan pengembangan sarana dan prasarana
pendukung permukiman seperti fasilitas umum, fasilitas
sosial serta fasilitas ekonomi dengan syarat disesuaikan
dengan skalanya;
60

c. diizinkan kegiatan pariwisata yang bersinergis dengan


kawasan permukiman;
d. diizinkan pengembangan kawasan permukiman dengan
intensitas bangunan berkepadatan rendah sampai
sedang;
e. diizinkan pemindahan permukiman yang terletak pada
kawasan rawan bencana, kawasan perlindungan
setempat, hutan lindung maupun fungsi lindung lainnya
harus memperhatikan kaidah keberlanjutan
permukiman;
f. diizinkan terbatas pembangunan dan pengembangan
kegiatan industri kecil yang tidak menimbulkan
gangguan terhadap lingkungan dan/atau menghasilkan
limbah bahan beracun dan berbahaya (B3);
g. diizinkan terbatas kegiatan pengembangan kawasan
pertambangan khusus dengan metode tertutup sesuai
dengan peta Wilayah Pertambangan dan jaringan
prasarana pengelolaan limbah pertambangan;
g. dilarang pembangunan dan pengembangan kegiatan
peternakan;
h. dilarang pembangunan dan pengembangan kegiatan
industri selain industri kecil;
i. dilarang pembangunan dan pengembangan kegiatan
pertambangan;
j. dilarang pengembangan kawasan permukiman yang bisa
menyebabkan alih fungsi lahan pertanian pangan
berkelanjutan dan kawasan lindung;
k. penyediaan RTH secara proporsional dengan fungsi
kawasan setidaknya 30% dari kawasan peruntukan
permukiman; dan
l. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk
klasifikasi non permukiman adalah maksimum 70% dan
berupa jenis pemanfaatan ruang yang tidak mengganggu
aktivitas permukiman.
(11) Ketentuan umum zonasi untuk kawasan pertahanan dan
keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2)
huruf d nomor 12, terdiri dari:
a. diizinkan pengembangan kegiatan budidaya non
terbangun di sekitar zona penyangga;
b. dilarang menyelenggarakan kegiatan yang menyebabkan
terganggunya fungsi pertahanan keamanan seperti
pengembangan industri yang menyerap banyak tenaga
kerja sehingga berpotensi mengganggu mobilisasi
kepentingan hankam;
c. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk
klasifikasi kawasan pertahanan keamanan diatur sesuai
dengan peraturan perundangan terkait; dan
d. ketentuan khusus untuk kawasan sekitar pertahanan
dan keamanan memperhatikan karakter, tingkat
keamanan dan resiko konflik yang ditimbulkan terhadap
kegiatan budidaya lain di sekitarnya.
61

Bagian Ketiga
Ketentuan Khusus
Pasal 44
(1) Ketentuan khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 38
ayat (2) huruf b digunakan sebagai pedoman bagi Pemerintah
Kabupaten dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan
ruang wilayah Kabupaten yang memerlukan ketentuan
khusus.
(2) Ketentuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas :
a. ketentuan khusus kawasan rawan bencana;
b. ketentuan khusus KP2B; dan
c. ketentuan khusus kawasan sempadan.
(3) Ketentuan khusus kawasan rawan bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri dari :
a. diizinkan untuk pengembangan sistem jaringan evakuasi
bencana pada kawasan konservasi, hutan produksi,
kawasan pertanian tanaman pangan, kawasan
hortikultura, kawasan perkebunan, kawasan peternakan,
kawasan pertambangan, kawasan peruntukan industri,
dan kawasan permukiman diantaranya adalah jalur
evakuasi dan titik kumpul;
b. diizinkan terbatas pemanfaatan ruang pada kawasan
rawan gerakan tanah untuk peruntukan kawasan hutan
lindung, kawasan konservasi, kawasan hutan produksi,
kawasan tanaman pangan, kawasan hortikultura,
kawasan perkebunan, dan kawasan permukiman dengan
ketentuan :
1. tingkat kelerengan rendah (≤15%);
2. penataan terasering dan drainase yang tepat;
3. pembuatan bangunan penahan, jangkar dan pilling.
c. dilarang pengembangan pemanfaatan ruang pada
kawasan pertambangan dan kawasan permukiman
dengan kelerengan >40%.
(4) Ketentuan khusus KP2B sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b, disusun dengan ketentuan :
a. diizinkan untuk kegiatan :
1. pemantapan lahan sawah dan upaya peningkatan
produktivitas tanaman pangan serta kegiatan lain
yang sifatnya mendukung kegiatan pertanian; dan
2. pemeliharaan dan peningkatan prasarana pertanian
pada lahan sawah.
b. diizinkan kegiatan yang tidak mengurani luasan KP2B
serta tidak merusak fungsi lahan dan kualitas tanah; dan
c. tidak diperbolehkan adanya fungsi kawasan tanaman
pangan yang merupakan KP2B, kecuali untuk
pertahanan dan keamanan, kepentingan umum, proyek
strategis nasional dan/atau karena bencana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
62

(5) Ketentuan khusus Zonasi Kawasan Sempadan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (2) huruf c terdiri dari :
a. Sempadan sungai, disusun dengan ketentuan:
1. diizinkan untuk budidaya perikanan, hutan produksi,
pertanian, serta perkebunan dengan jenis tanaman
yang diizinkan antara lain tanaman keras, perdu,
tanaman pelindung sungai;
2. diizinkan untuk pemasangan papan reklame, papan
penyuluhan dan peringatan, serta rambu-rambu
pekerjaan/pengamanan;
3. diizinkan untuk pemasangan rentangan kabel listrik,
kabel telepon, dan pipa air minum;
4. diizinkan pemancangan tiang atau pondasi prasarana
jalan/jembatan baik umum maupun kereta api;
5. diizinkan untuk pembangunan prasarana lalu lintas
air dan bangunan pengambilan dan pembuangan air;
6. diizinkan kegiatan bangunan untuk menunjang
pengelolaan sungai seperti pengontrol debit dan
kualitas air;
7. diizinkan terbatas kegiatan pertambangan mineral
dan batuan non logam di sungai dengan syarat tidak
mengganggu fungsi konservasi dan kegiatan budidaya
lainnya;
8. diizinkan terbatas kegiatan/bangunan penunjang
pariwisata dengan memperhatikan prinsip-prinsip
konservasi;
9. dilarang pendirian bangunan yang tidak berhubungan
secara langsung dengan fungsi sungai;
10. dilarang kegiatan budidaya yang berpotensi
mencemari sungai dan mengganggu fungsi sungai;
dan
11. intensitas pemanfaatan ruang berupa kegiatan
budidaya pada sempadan sungai yang diizinkan
adalah sebesar maksimum 90% untuk kegiatan non
terbangun selain pertambangan dan 30% pada
kegiatan terbangun.
b. Kawasan sekitar danau atau waduk atau embung,
disusun dengan ketentuan:
1. diizinkan untuk budidaya perikanan, hutan produksi,
pertanian, serta perkebunan dengan jenis tanaman
yang diizinkan antara lain tanaman keras, perdu, dan
tanaman pelindung;
2. diizinkan untuk pemasangan papan reklame, papan
penyuluhan dan peringatan, serta rambu-rambu
pekerjaan/pengamanan;
3. diizinkan kegiatan budidaya yang terkait dengan
keberadaaan embung atau waduk antara lain
pengolahan ikan, pariwisata dan lainnya selama tidak
mengganggu kualitas tata air;
4. dilarang kegiatan dan pemanfaatan lahan yang
mengganggu konservasi waduk; dan
63

5. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang berupa


kegiatan budidaya pada sempadan sungai yang
diizinkan adalah sebesar maksimum 90% untuk
kegiatan non terbangun selain pertambangan dan
30% (tiga puluh perseratus) pada kegiatan terbangun.

Bagian Ketiga
Penilaian Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang
Pasal 45
(1) Penilaian pelaksanaan pemanfaatan ruang dilakukan
melalui:
a. penilaian pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang; dan
b. penilaian perwujudan RTR.
(2) Penilaian pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a untuk memastikan:
a. kepatuhan pelaksanaan ketentuan Kesesuaian Kegiatan
Pernanfaatan Ruang; dan
b. pemenuhan prosedur perolehan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang.
(3) Penilaian perwujudan RTR dilaksanakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan penilaian
perwujudan rencana Struktur Ruang dan rencana Pola
Ruang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penilaian pelaksanaan
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dilaksanakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Penilaian
perwujudan RTR dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif
Pasal 46
(1) Ketentuan insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 ayat (2) huruf d merupakan acuan bagi
pemerintah daerah dalam pelayanan perizinan berusaha.
(2) Insentif diberikan apabila rencana kegiatan usaha yang
sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang,
dan ketentuan umum zonasi yang diatur dalam Peraturan
Daerah ini.
(3) Disinsentif dikenakan terhadap rencana kegiatan usaha yang
perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya
berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

Pasal 47
(1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam rencana
kegiatan usaha dilakukan oleh pemerintah daerah kepada
masyarakat.
64

(2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh


instansi berwenang sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 48
(1) Insentif yang diberikan kepada masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2), dapat berbentuk :
a. pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak
daerah;
b. pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi
daerah;
c. pemberian bantuan Modal kepada usaha mikro, kecil,
dan/atau koperasi di daerah;
d. bantuan untuk riset dan pengembangan untuk usaha
mikro, kecil, dan/atau koperasi di daerah;
e. bantuan fasilitas pelatihan vokasi usaha mikro, kecil,
dan/atau koperasi di daerah;
f. bunga pinjaman rendah;
g. penyediaan data dan informasi peluang penanaman
modal;
h. penyediaan sarana dan prasarana;
i. fasilitasi penyediaan lahan atau lokasi;
j. pemberian bantuan teknis;
k. penyederhanaan dan percepatan pemberian perizinan .
melalui pelayanan terpadu satu pintu;
l. kemudahan akses pemasaran hasil produksi;
m. kemudahan investasi langsung konstruksi;
n. kemudahan investasi di kawasan strategis yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang
berpotensi pada pembangunan daerah;
o. pemberian kenyamanan dan keamanan berinvestasi di
daerah;
p. kemudahan proses sertifikasi dan standardisasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
q. kemudahan akses tenaga kerja siap pakai dan terampil;
r. kemudahan akses pasokan bahan baku; dan/atau
s. fasilitasi promosi sesuai dengan kewenangan daerah.
(2) Ketentuan teknis lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
insentif diatur dalam Peraturan Bupati.

Pasal 49
(1) Disinsentif yang dikenakan kepada masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3), dapat berbentuk:
a. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan
besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi
dampak yang dibutuhkan akibat pemanfaatan ruang; dan
b. pembatasan penyediaan sarana dan prasarana
infrastruktur, pengenaan kompensasi dan penalti.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
disinsentif diatur dalam Peraturan Bupati.
65

Bagian Kelima
Arahan Sanksi
Pasal 50
(1) Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat
(2) huruf e merupakan tindakan atas pelanggaran terhadap
pemanfaatan ruang.
(2) Arahan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sanksi administratif; dan/atau
b. sanksi pidana.
(3) Pengenaan sanksi dilakukan terhadap:
a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana
struktur ruang dan pola ruang;
b. pelanggaran ketentuan umum zonasi;
c. pemanfaatan ruang tanpa kesesuaian kegiatan
pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan
rencana tata ruang wilayah Kabupaten;
d. pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan kesesuaian
kegiatan pemanfaatan ruang yang diterbitkan
berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kabupaten;
e. pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang
yang diterbitkan berdasarkan rencana tata ruang wilayah
Kabupaten;
f. pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap
kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau
g. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh melalui
prosedur yang tidak benar.

Pasal 51
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian tetap kegiatan;
d. penghentian sementara pelayanan umum;
e. penutupan lokasi;
f. pencabutan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
g. pembatalan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
h. pembongkaran bangunan;
i. pemulihan fungsi ruang;
j. denda administratif;
k. sanksi administratif tertentu lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati
dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 52
(1) Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
b mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
66

(2) Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap rencana


tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB VIII
PENYIDIKAN
Pasal 53
(1) Selain Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia,
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan perangkat
daerah yang mempunyai kewenangan penegakan peraturan
daerah dan Peraturan Bupati dan/atau Penyidik Pegawai
Negeri Sipil pada instansi penataan ruang diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana dalam
bidang penataan ruang;
c. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
d. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dalam
bidang penataan ruang;
e. melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang
berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan
ruang;
f. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan
penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang
hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam
perkara tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
h. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang penataan
ruang; dan
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat
dipertanggung jawabkan.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada
pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia.
(4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan dan
penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan
koordinasi dengan pejabat penyidik kepolisian negara
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut
umum melalui pejabat penyidik kepolisian negara Republik
Indonesia.
67

(6) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata


cara serta proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.

BAB IX
KELEMBAGAAN
Pasal 54
(1) Dalam rangka mengoordinasikan penataan ruang dan
Kerjasama antarsektor/daerah di bidang penataan ruang,
dibentuk Forum Penataan Ruang Daerah Kabupaten
Jombang.
(2) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Forum Penataan
Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Keputusan Bupati.

BAB X
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT DALAM
PENATAAN RUANG
Bagian Kesatu
Hak Masyarakat
Pasal 55
Dalam kegiatan mewujudkan penataan ruang wilayah,
masyarakat berhak:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan
ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang
timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang
sesuai dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
kepada pejabat berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti rugi kepada pemerintah dan/atau
pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang dan menimbulkan
kerugian.

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat
Pasal 56
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang
dari pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik
umum.
68

Pasal 57
(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dilaksanakan dengan
mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu, dan
aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilakukan


masyarakat secara turun temurun dapat diterapkan
sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung
lingkungan, estetika lingkungan, lokasi, dan struktur
pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan
ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.

Bagian Ketiga
Peran Masyarakat
Pasal 58
Peran masyarakat dalam penataan ruang di Daerah dilakukan
antara lain melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

Pasal 59
Bentuk peran masyarakat pada tahap penyusunan tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a dapat berupa :
a. memberikan masukan mengenai :
1. persiapan penyusunan rencana tata ruang;
2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;
3. pengidentifikasian potensi dan masalah wilayah atau
kawasan;
4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau
5. penetapan rencana tata ruang.
b. melakukan kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah
daerah dan/atau sesama unsur masyarakat dalam
perencanaan tata ruang.
69

Pasal 60
Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b dapat berupa:
a. masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;
b. kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan
ruang;
c. kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan
lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
d. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam
pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan
ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal
serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan
serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi
lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan
f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 61
Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan
ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf c dapat
berupa:
a. masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi,
perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan
sanksi;
b. keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi;
c. pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
d. pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang
dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau
pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar
rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan
e. pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang
berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak
sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 62
(1) Peran masyarakat di bidang penataan ruang dapat
disampaikan secara langsung dan/atau tertulis.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat disampaikan kepada Bupati.
(3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dapat disampaikan melalui unit kerja terkait yang ditunjuk
oleh Bupati.
70

Pasal 63
Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah
daerah membangun sistem informasi dan dokumentasi penataan
ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Pasal 64
Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 65
Rencana tata ruang wilayah Kabupaten menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah
daerah;
c. penyusunan rencana detail tata ruang perkotaan kabupaten;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di
wilayah kabupaten;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
antar sektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f. penataan ruang kawasan strategis Kabupaten.

Pasal 66
(1) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Jombang adalah 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau
kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan
dengan bencana alam skala besar dan/atau perubahan batas
teritorial wilayah yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan, Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Jombang dapat ditinjau kembali lebih dari 1
(satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(3) Peraturan Daerah tentang RTRW Kabupaten Jombang tahun
2021-2041 dilengkapi dengan Rencana dan Album Peta yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
(4) Dalam hal terdapat penetapan kawasan hutan oleh Menteri
Kehutanan terhadap bagian wilayah kabupaten yang
kawasan hutannya belum disepakati pada saat Perda ini
ditetapkan, rencana dan album peta sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) disesuaikan dengan peruntukan kawasan
hutan berdasarkan hasil kesepakatan Menteri Kehutanan.
71

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 67
(1) Pada saat rencana tata ruang ditetapkan, semua
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang harus disesuaikan dengan rencana tata ruang melalui
kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka:
a. kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang yang telah
dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan
peraturan daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa
berlakunya;
b. kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang yang telah
dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan daerah ini berlaku ketentuan :
1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya,
izin pemanfaatan ruang atau KKPR disesuaikan
dengan fungsi kawasan berdasarkan peraturan
daerah ini;
2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya
dilakukan penyesuaian dengan masa transisi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya
dan tidak memungkinkan untuk dilakukan
penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan
peraturan daerah ini, izin pemanfaatan ruang atau
KKPR yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan
terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat
pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian
yang layak; dan
4. mekanisme penggantian yang layak akan diatur
dengan peraturan bupati.
c. pemanfaatan ruang di kabupaten yang diselenggarakan
tanpa izin pemanfaatan ruang atau KKPR dan
bertentangan dengan ketentuan peraturan daerah ini,
akan ditertibkan dan disesuaikan dengan peraturan
daerah ini; dan
d. pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketentuan
peraturan daerah ini, agar dipercepat untuk
mendapatkan izin pemanfaatan ruang atau KKPR.
(3) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua
peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan
ruang yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 68
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku maka Peraturan Daerah
Kabupaten Jombang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jombang (Lembaran Daerah
Kabupaten Jombang Tahun 2009 Nomor 21/E) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
72

Pasal 69
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Jombang.

Ditetapkan di Jombang
pada tanggal 22 Nopember 2021
BUPATI JOMBANG,

ttd

MUNDJIDAH WAHAB

Diundangkan di Jombang
pada tanggal 22 Nopember 2021
Pj. SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN JOMBANG,

ttd

SENEN
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2021 NOMOR 10/E
NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 240-10/2021

D:\HUKUM 0\HIMPUNAN PERDA\PERDA 2021\10 TH 2021 RTRW 21-41-edited 211108 compress.doc


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH
NOMOR 10 TAHUN 2021
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG
TAHUN 2021-2041

I. PENJELASAN UMUM
Ruang wilayah Kabupaten Jombang sebagai bagian wilayah
Provinsi Jawa Timur maupun bagian dari Negara Republik Indonesia
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Ruang tersebut di samping
berfungsi sebagai sumber daya, juga sebagai wadah kegiatan, perlu
dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan untuk memenuhi
kebutuhan manusia, menciptakan kesejahteraan masyarakat dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Ruang wilayah
Kabupaten Jombang selain memiliki potensi juga keterbatasan. Oleh
karena itu di dalam memanfaatkan ruang wilayah Kabupaten Jombang
baik untuk kegiatan pembangunan maupun untuk kegiatan lain perlu
dilaksanakan secara bijaksana, dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan azas terpadu, tertib, serasi, seimbang dan lestari.
Dengan demikian baik ruang sebagai wadah kehidupan dan penghidupan
maupun sebagai sumber daya perlu dilindungi guna mempertahankan
kemampuan daya dukung dan daya tampung bagi kehidupan manusia.
Agar pemanfaatan dan perlindungan ruang dapat dilaksanakan secara
berdaya guna dan berhasil guna perlu dirumuskan penetapan struktur
dan pola ruang wilayah, kebijaksanaan, strategi pengembangan dan
pengelolaannya di dalam suatu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Jombang yang merupakan penjabaran dari Rencana Tata Ruang Nasional
Rencana Tata Ruang Provinsi Jawa Timur, serta merupakan acuan
penyusunan Rencana Detail Tata Ruang maupun Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Kabupaten. Atas dasar hal-hal tersebut di atas dan
demi kepastian hukum, perlu ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten
Jombang tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jombang.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
74

Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup Jjelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
75

Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup Jjelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup Jjelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
76

Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 10/E

Versi lengkap dapat diunduh pada link di bawah ini:

https://drive.google.com/file/d/1VyqGZNxSwk2G7FKV8mAmGiIY8uo-
BfUQ/view?usp=sharing

Anda mungkin juga menyukai