Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut sumber diperolehnya zat warna tekstil digolongkan menjadi


2 yaitu : pertama, Zat Pewarna Alam (ZPA) yaitu zat warna yang berasal
dari bahan-bahan alam pada umumnya dari hasil ekstrak tumbuhan atau
hewan. Kedua, Zat Pewarna Sintesis (ZPS) yaitu zat warna buatan atau
sintesis dibuat dengan reaksi kimia dengan bahan dasar ter arang batu bara
atau minyak bumi yang merupakan hasil senyawa turunan hidrokarbon
aromatic seperti benzene, naftalena dan antrasena. (Ismaningsih, 1978).
Rameyza Arohman (2016) melakukan penelitian mengenai
pemanfaatan ekstrak kulit akar mengkudu sebagai pewarna tekstil. Ekstraksi
zat warna pada kulit akar mengkudu menggunakan teknik maserasi dengan
pelarut methanol dan ekstraksi dengan pelarut aquadest, dengan
perbandingan 1:20 (b/v) (10 gr sampel : 200 ml pelarut). Hasil ekstrak yang
diperoleh dari pelarut air berwarna coklat kehitaman, sedangkan dari pelarut
metanol berwarna merah. Ekstrak yang diperoleh digunakan untuk
mewarnai kain katun dengan penambahan kapur sirih sebagai mordan
sebanyak 1,00 g. Pada proses perendaman kain katun dilakukan variasi lama
waktu perendaman yaitu 16, 24, 28, 32 dan 36 jam. Sehingga diperoleh
waktu terbaik yaitu perendaman selama 32 jam. Ekstrak dari kedua pelarut
tersebut dapat mewarnai kain katun dengan warna bervariasi yaitu kuning
dan merah.
Zat warna tekstil adalah semua zat berwarna yang mempunyai
kemampuan untuk diserap oleh serat tekstil dan mudah dihilangkan kembali
di Indonesia. Belum ada undang – undang yang mengaturnya tentang
penggunaan zat pewarna sehingga masih ada penyalahgunaan pemakaian zat

1
pewarna untuk sembarang bahan pangan, misal zat pewarna untuk tekstil
dan
kulit dipakai untuk mewarnai bahan makanan. Hal ini jelas sangat
berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat
pewarna tersebut. Timbulnya penyalahgunaan zat pewarna tersebut
disebabkan oleh ketidaktahuaan rakyat mengenai zat pewarna untuk
makanan (Winarno, 1984)
Antosianin merupakan senyawa berwarna yang menghasilkan warna
merah, ungu, biru, kuning, banyak terdapat pada bunga dan buah-buahan
seperti buah anggur, strawberry, duwet, bunga mawar, kana, rosella, pacar
air, kulit manggis, kulit rambutan, ubi jalar ungu, dan daun bayam merah.
(Endang Kwartiningsih, 2009)
Salah satu sumber antosianin yang murah dan banyak terdapat di
Indonesia adalah pada ubi jalar ungu karena pada ubi jalar ungu memiliki
kandungan antosianin yang lebih besar dari pada ubi jalar dengan varietas
yang lain yaitu sebesar 11,051 mg/100 gr (Arixs, 2006). Antosianin telah
memenuhi persyaratan sebagai zat pewarna makanan tambahan, diantaranya
tidak menimbulkan kerusakan pada bahan makanan maupun kemasannya
dan bukan merupakan zat yang beracun bagi tubuh, sehingga secara
internasional telah diijinkan sebagai zat pewarna alami.
Ubi Jalar Ungu (Impomoea Batatas L) merupakan tumbuhan
merambat disegala cuaca, didaerah pengunungan maupun pantai. Dipilihnya
Ubi Jalar Ungu dalam penelitian ini karena komoditas ini telah banyak di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sehingga mudah didapat, harganya
relative murah, tidak memberikan efek merugikan bagi kesehatan, memiliki
kulit dan daging yang berwarna ungu sehingga kaya akan pigmen antosianin
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan varietas lain sehingga dapat
digunakan sebagai pewarna baik untuk minuman maupun makanan.
Kestabilan antosianin dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pH,
Suhu, Cahaya, dan Oksigen. (Basuki, dkk, 2005). Pigmen antosianin
(merah, ungu, dan biru) merupakan molekul yang tidak stabil terjadi
2
perubahan pada Suhu, pH, Oksigen, Cahaya. (Markakis, 1982).

Penelitian ini akan menggunakan ubi ungu sebagai pewarna pada kain.
Proses pewarnaan kain perlu dilakukan proses mordanting dan fiksasi agar
zat warna yang digunakan untuk pencelupan memiliki kekuatan, ketahanan
dan ketuaan warna yang baik.
Bahan tekstil yang berasal dari serat alami lebih mudah diwarnai
dengan zat warna lam seperti sutera, wol dan kapas/katun.Berbeda dengan
serat sintetis seperty polyester, nilon dan lainnya kurang memiliki afinitas
atau daya tarik terhadap zat warna alam. Jadi untuk mewarnai serat sintestis
dengan pewarna alami, diperlukan teknik tersendiri. (Sulaeman dkk,
1999/2000).
Berdasarkan hal di atas, maka pada penelitian ini dilakukan ekstraksi
antosianin dari ubi ungu menggunakan Teknik ekstraksi maserasi
menggunakan variable jenis pelarut yaitu menggunakan metanol. Zat warna
yang diperoleh digunakan untuk pewarna tekstil khususnya pada kain katun,
karena kain katun merupakan bahan dasar yang banyak digunakan pada
industri tekstil di Indonesia. Proses pewarnaan dilakukan secara pre-
mordanting dan tanpa mordan. Senyawa yang digunakan adalah tawas. Pada
proses pencelupan kain pada ekstrak antosianin dilakukan variasi lama
waktu perendaman yaitu 12, 18, 24 dan 30 jam. Selanjutnya diuji tahan
luntur warna terhadap pencucian, penodaan, gosokan basah dan gosokan
kering.

3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan yang
timbul pada proses ekstraksi antosianin dari ubi ungu sebagai pewarna pada
kain dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana memperoleh kadar antosianin dari ubi ungu mencapai
120,64 mg/100 gr?
1.2.2 Bagaimana pengaruh lama perendaman kain terhadap hasil warna dari
ekstraksi ubi ungu pada kain katun?
1.2.3 Bagaimana pengaruh pre-mordanting dan tanpa mordan terhadap
hasil uji tahan luntur warna terhadap pencucian 40°C, penodaan,
gosokan kering?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Memperoleh ekstraksi antosianin dari ubi ungu sebesar
120,64mg/100gr.
1.3.2 Mengetahui pengaruh lama perendaman kain terhadap hasil warna
dari ekstraksi ubi ungu pada kain katun.
1.3.3 Mengetahui pengaruh pre-mordanting dan tanpa mordan terhadap
hasil uji tahan warna terhadap pencucian, penodaan dan gosokan
kering.

1.4 Luaran
Publikasi Jurnal Terindex Sinta

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Ubi Ungu


2.1.1 Klasifikasi Ubi Ungu
Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lamb)
mempunyai banyak nama atau sebutan, antara lain ketela rambat, huwi
boled (Sunda), tela rambat (jawa), sweet potato (Inggris), dan shoyu
(Jepang) (Rukmana, 1997).
Taksonomi dalam budi daya dan usaha pertanian, ubi jalar tergolong
tanaman palawija. Tanaman ini membentuk umbi di dalam tanah. Umbi
itulah yang menjadi produk utamanya. Adapun kedudukan tanaman ubi jalar
dalam tatanama (sistematika) sebagaimana dinyatakan Rukmana (1997):
Klasifikasi Tanaman Ubi Ungu adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Convolvulales
Famili : Convolvulaceae
Genus : Ipomoea
Spesies : I. batatas
Nama Inggris : Sweet potato
Nama Indonesia : Ubi jalar
Nama Lokal : Ketela rambat (Jawa), huwi boled
(Sunda)
5
Sinonim : Convolvulus batatas L. (1753),
Convolvulus edulis Thunb (1784),
Batatas edulis (Thunb.) Choisy (1833).

2.1.2 Kandungan dan Manfaat Ubi Ungu


Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat non beras tertinggi keempat
setelah padi, jagung, dan ubi kayu, serta mampu meningkatkan ketersediaan
pangan dan diversifikasi pangan di dalam masyarakat. Sebagai sumber
pangan tanaman ini mengandung energi, β-karoten, vitamin C, niacin,
riboflavin, thiamin dan mineral (Ambarsari, dkk., 2009). Ubi jalar (Ipomoea
batatas) merupakan sumber karbohidrat dan sumber kalori (energi) yang
cukup tinggi. Ubi jalar juga mengandung mineral seperti zat besi (Fe),
Fosfor (P), Kalsium (Ca), dan Natrium (Na). Kandungan gizi lain dari ubi
jalar adalah protein dan lemak. Selain mengandung karbohidrat,protein,
lemak dan mineral, ubi jalar juga mengandung vitamin. Beberapa vitamin
yang terdapat pada ubi jalar antara lain vitamin A (terdapat dalam bentuk β-
karoten) dan vitamin C (K’osambo, dkk; 1999).

Tabel 2.1. Kandungan Gizi dalam Tiap 100 Gram Ubi Jalar Segar

Varietas
Kandungan gizi
Ubi Ubi Ubi
Putih Ungu Kuning
Pati (%) 28,79 22,64 24,47
Gula Reduksi (%) 0,32 0,30 0,11
Lemak (%) 0,77 0,94 0,68
Protein (%) 0,89 0,77 0,49
Air (%) 62,24 70,46 68,78
Abu (%) 0,93 0,84 0,99
Serat 2,79 3,00 2,79
(%)
Vitamin C (mg/100g) 28,68 21,43 25,00
Vitamin A (SI) 60,00 - 9.000
Antosianin (mg/100 g) - 110,51
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI,1981 dalam Ginting 2011.
6
Ubi jalar ungu mengandung pigmen antosianin yang lebih tinggi dari
pada ubi jalar jenis lain (Kumalaningsih, 2006). Ubi jalar ungu memiliki
kandungan antosianin, kandungan antosianinnya berkisar 51,50 mg/100 g
sampai dengan 174,70 mg/100 g (Steed dan Truong; Susilawati, dkk.,
2014). Sekelompok antosianin yang tersimpan dalam ubi jalar mampu
menghalangi
laju perusakan sel radikal bebas akibat Nikotin, polusi udara dan bahan
kimia lainnya. Antosianin berperan dalam mencegah terjadinya penuaan,
kemerosotan daya ingat dan kepikunan, polyp, asam urat, penderita sakit
maag (asam lambung), penyakit jantung koroner, penyakit kanker dan
penyakit-penyakit degeneratif, seperti arteosklerosis. Selain itu, antosianin
juga memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik
terhadap mutagen dan karsinogen yang terdapat pada bahan pangan dan
olahannya, mencegah gangguan pada fungsi hati, antihipertensi dan
menurunkan kadar gula darah (antihiperglisemik) (Jaya, 2013)
Menurut Winarno (1980), proses pembuatan pati ubi jalar dilakukan
dengan memberikan suasana alkali (pH 8,6) menggunakan kapur. Ubi
direndam dalam air kapur dan pati dipisahkan dari pulp dengan pencucian
yang berlebih pada penyaring. Suspensi pati dipucatkan dengan sodium
hipoklorit jika diperlukan dan disentrifuse. Pati basah disimpan dalam
concreate tank atau dikeringkan dengan pengering vakum sampai kadar air
12 %, digiling dan disaring.

Menurut Compton (1967), peranan pati dalam industri tekstil adalah


(1) memberikan kekuatan dan resistensi terhadap gesekan pada kain, (2)
tahap penyelesaian, untuk memperbaiki struktur permukaan setelah proses
bleaching, pencelupan dan pewarnaan, (3) pewarnaan, untuk meningkatkan
konsistensi pewarna, dan (4) merupakan komponen untuk proses pelapisan
dan penghalusan permukaan kain. Selain itu, pemanfaatan kulit ubi jalar
ungu sebagai pewarna tekstil adalah kulit ubi jalar ungu mengandung zat
pewarna alami Antosianin penyebab warna merah, oranye, ungu dan biru.
7
Pembuatan bahan warna alami sebenarnya sangatlah mudah. Bahan-bahan
yang dapat digunakan sebagai pewarna alami ditumbuk, dapat pula
menggunakan blender atau penumbuk biasa dengan sedikit ditambah air,
lalu diperas dan saring dengan alat penyaring. Agar warnanya cerah dapat
ditambahkan sedikit air kapur atau air jeruk nipis. Setelah diperoleh air
perasan pewarna.

2.2 Zat Pewarna Tekstil


Dalam dunia tekstil ada banyak jenis zat pewarna alam yang
digunakan, mulai dari zat pewarna sintetis sampai zat pewarna alam.
Widihastuti (2014:7), menyebutkan bahwa, zat warna adalah semua zat
berwarna yang mempunyai kemampuan untuk mencelup serat tekstil dan
mudah dihilangkan kembali. Menurut Santosa (2014:18), “zat warna adalah
bahan pewarna yang mudah larut dalam air, atau dilarutkan dalam air serta
mempunyai daya tarik terhadap serat”. Sedangkan menurut Sunarto
(2008:155), “zat warna adalah semua zat berwarna yang mempunyai
kemampuan untuk dicelupkan pada serat tekstil dan memiliki sifat
ketahanan luntur warna (permanent)”. Jadi dapat disimpulkan bahwa zat
warna adalah zat berwarna yang memiliki kemampuan mudah larut dalam
air, dapat dicelupkan pada serat tekstil, mempunyai daya tarik terhadap serat
serta memiliki sifat ketahanan luntur. Zat warna tekstil adalah suatu
senyawa organik dan anorganik yang mengandung gugus kromofor dan
auksokrom sehingga mampu mewarnai bahan tekstil. Gugus kromofor
adalah gugus penimbul warna yang menyebabkan molekul serat berwarna.
Salah satu ciri gugus kromosof adalah titik jenuh seperti gugus azo ( - N=N
- ), gugus nitroso ( - NO ), gugus nitro ( - NO2 ), gugus karbonil ( C=O )
gugus ini dari golongan antrakinon.
Menurut Soesanto (1980: 70), zat warna tekstil ada dua macam yaitu
zat warna alami, dan zat warna sintesis.
a. Zat warna alami merupakan zat warna yang berasal dari alam atau

8
bagian- bagian tumbuhan antara lain: akar, batang (kayu), kulit (bast),
daun, bunga (kuncup) yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak
langsung. Bahan- bahan yang digunakan untuk zat-zat warna alami,
antara lain: nila atau indigo, rambutan, mangga, jengkol, alpukat,
mengkudu
b. Zat warna sintetis (synthetic dyes) atau zat warna kimia mudah diperoleh,
stabil dan praktis pemakaiannya. Zat warna sintetis dibuat dari pabrik dan
terdapat berbagai jenis zat warna sintesis antara lain: napthol, rapid,
indigosol, basis, reaktif dan procion.

Zat warna sintetis merupakan turunan hidro karbon aromatik seperti


benzena, toluena, naftalena, dan antrasena diperoleh dari ter arang
batubara (coal, tar, dyestuff) yang merupakan cairan kental berwarna
hitam dan terdiri dari karbon dalam minyak (pustakamateri.web.id.2015).

Penggolongan zat warna dapat dibedakan berdasarkan cara diperoleh,


berdasarkan sifat pencelupan, berdasarkan cara pemakaian dan berdasarkan
susunan kimia atau inti zat warna. Penggolongan zat warna ditunjukan pada
tabel berikut :
Tabel 2.2. Penggolongan Zat Warna

9
PENGGOLONGAN ZAT WARNA

Berdasarkan Berdasarkan Sifat Berdasarkan Cara Berdasarkan Susunan


Cara Pencelupannya Pemakaiannya Kimia atau Inti Zat
Diperolehnya Warna

1. Zat 1. Zat warna 1. Zat warna direk 1. ZW nitroso


Pewarna langsung 2. Zat warna basis 2. ZW nitroazo
Alam (substantif) 3. Zat warna reaktif 3. ZW
antrakuinon
(ZPA) 2. Zat warna 4. Zat warna pigmen
4. ZW
2. Zat tidak 5. Zat warna bejana
indigoida
Pewarna langsung 6. Zat warna
5. ZW poliazo
belerang
Sintesis (ajektif)
6. ZW azoic
7. Zat warna asam
(ZPS)
7. ZW
8. Zat warna naftol
acridine
9. Zat warna dispersi
8. ZW
10. Zat warna stilbene
mordan
9. ZW
ptalosianin
10. Dll
Sumber: Bahan Ajar Teknologi Pencelupan Bahan Tekstil, Widihastuti, 2014

Dua jenis zat warna naik pewarna alami maupun buatan tersebut memiliki
kekurangan dan kelebihan, adapun kelebihan dan kekurangan dari zat pewarna
sintetis yaitu, memiliki zat warna yang beragam dan memiliki kestabilan warna
yang baik dan praktis, tidak mudah luntur namun kekurangannya yaitu harus
impor, limbah dari bahan pewarna sintetis ini memiliki kekurangan yang dapat
menimbukan masalah pada lingkungan, berbahaya bagi kesehatan lingkunan
karena memiliki kandungan zat yang membahayakan, sedangkan kelebihan dan
kekurangan dari zat pewarna alam adalah, menghasilkan warna yang natural,
limbah bekas larutan ramah lingkungan, ketersediaan bahan baku yang melimpah,
proses ekstraksi mudah karena hanya melalui proses perebusan, sedangkan
kekurangannya adalah keseragaman warna rendah, proses pencelupan harus
10
berulang-ulang agar menghasilkan warna yang baik dan zat warna hanya
bisa digunakan pada kain yang berasal dari serat alam juga. zat pewarna
alami memiliki kelemahan antara lain warna tidak stabil, keseragaman
warna yang kurang baik, konsentrasi pigmen rendah, spektrum warna
terbatas (Paryanto dkk., 2012). Disamping spektrum warna yang terbatas,
juga mudah kusam dan ketahanan luntur rendah bila dicuci serta kena sinar
matahari (Kant, 2012).

Sebagai zat warna ada lima syarat-syarat zat warna,

yaitu:

a. Mudah larut dalam zat pelarut

b. Mudah masuk kedalam bahan

c. Stabil berada didalam bahan

d. Mempunyai gugus penimbul warna

e. Mempunyai gugus afinitas terhadap serat tekstil.

Berdasarkan sifat pencelupan, penggolongan zat warna


dibagi menjadi dua, sebagai zat warna substansif, yaitu zat warna yang
langsung dapat mewarnai serat dan sebagai zat warna ajekti, yaitu zat warna
yang memerlukan zat pembantu pokok untuk dapat mewarnai serat (Chotib,
1980 : 47).
Penggolongan zat warna alam berdasarkan cara pemakaiannya dibagi
menjadi empat golongan, golongan I yaitu zat warna mordan, golongan II
yaitu zat warna bejana, golongan III yaitu zat warna direk dan golongan VI
yaitu zat warna asam atau basa.

11
Gambar 2.1. Struktur Kimia Zat Warna Alam
Sumber: Bahan Ajar Teknologi Pencelupan Bahan Tekstil, Widihastuti , 2014

Pigmen zat pewarna yang diperoleh dari bahan alami antara lain (Hidayat,
N., & Saati, E.A., 2006) :
a. Karoten, menghasilkan warna jingga sampai merah, dapat diperoleh dari
wortel, pepaya, dll.
b. Biksin, menghasilkan warna kuning, diperoleh dari biji pohon Bixa
orellana
c. Karamel, menghasilkan warna coklat gelap merupakan hasil dari
hidrolisis karbohidrat, gulapasir, laktosa, dll
d. Klorofil, menghasilkan warna hijau, diperolehdari daun suji, pandan, dll.
e. Tanin, menghasilkan warna coklat, terdapat dalam getah.
f. Antosianin menghasilkan warna merah,oranye, ungu, biru, kuning,
banyak terdapat pada bunga dan buah-buahan seperti buah anggur,
stroberi, duwet, bunga mawar, kana, rosella, pacar air, kulit manggis,
kulit rambutan, ubi jalar ungu, daun bayam merah,dll.

12
2.3 Antosianin

Gambar 2.2. Rumus Struktur Antosianin

Anthosianin berasal dari bahasa Yunani yaitu”anthos” yang berarti


bunga dan “kyanos” yang berarti biru gelap dan termasuk senyawa
flavonoid. Anthosianin merupakan senyawa yang larut air dan menyebar di
dunia tumbuh-tumbuhan. Warna yang terbentuk dari kandungan antosianin
ini biasanya tidak dibentuk oleh satu pigmen saja tapi dibentuk dari
beberapa pigmen, umumnya buah-buahan dan sayuran terdiri dari 4-6
pigmen (Kumalaningsih,2006).
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang
ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru
dan sebagian zat warna kuning yang terdapat dalam tanaman. Beberapa
kemungkinan fungsi flavonoid yang lain bagi tumbuhan adalah sebagai zat
pengatur tumbuh, pengatur proses fotosintesis, sebagai zat antimikroba,
antivirus dan anti insektisida. Beberapa flavonoid sengaja dihasilkan oleh
jaringan tumbuhan sebagai respon terhadap infeksi atau luka yang kemudian
berfungsi menghambat fungsi menyerangnya (Kristanti, et.al, 2008).
Secara kimia semua antosianin merupakan turunan suatu struktur
senyawa aromatik tunggal, yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk dari
pigmen sianidin dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau
dengan metilasi atau dengan glikosilasi (Kumalaningsih, 2006). Pada pH <
2, antosianin berada dalam bentuk kation (ion flavilium), tetapi pada pH
yang sedikit asam, bentuk kuinonoid yang terbentuk. Bentuk ini dioksidasi
13
dengan cepat oleh udara dan rusak, oleh karena itu pengerjaan terhadap
antosianin aman dilakukan dalam larutan yang asam (Kristanti, et.al, 2008).
Antosianin adalah kelompok zat warna yang berwarna merah dan biru.
Zat warna antosianin tersusun dari sebuah aglikon antosianin (antosianidin)
yang teresterifikasi dengan molekul gula yang bisa satu atau lebih. Gula
yang sering ditemukan adalah glukosa, ramnosa, galaktosa, xilosa, dan
arabinosa (Afrianti,2008).
Antosianin terdiri atas 3 gugus penting, yaitu: aglikon (antosianidin),
glikon:glukosa, fruktosa, arabinosa dan asam organik: asam kumarat, asam
kafeat, asam ferulat. Sedangkan warna yang ditampilkan tergantung, pada
konsentrasi rendah berwarna ungu dan konsentrasi tinggi berwarna hitam,
pH rendah berwarna merah (pH 3), biru violet (pH 8,5), pH tinggi berwarna
biru tua (pH 11) dan warna antosianin tergantung dari pigmen lain yang
terkandung di dalamnya (Pujimulyani,2009).
Tabel 2.3. Sifat-Sifat Fisika dan Kimia Antosianin
Penampakan Warna merah marak, merah senduduk, ungu, dan
biru
Kelarutan Larut dalam air dan pelarut-pelarut (methanol, HCl,
etanol, dan asam sitrat)
pH Stabil pada pH 1-3
Temperatur Pada pH 3,5 50oC
Berat Molekul 207,08
Rumus Molekul C15H 11O
Sumber : Fennema, 1996
Pada penelitian ini penambahan asam asetat bertujuan untuk membuat
ekstrak stabil pada pH asam. Menurut Markakis (1982) pada pH 5 keatas
mengakibatkan kerusakan pigmen antosianin yang warnanya berubah
menjadi tidak berwarna (terjadi pemucatan warna). Hal ini sesuai dengan
penelitian Hanum (2000, bahwa konsentrat beras ketan hitam pada pH 5,5
menunjukkan penurunan kadar pigmen yang lebih besar atau paling tidak
stabil dibandingkan dengan kondisi pH dibawah yaitu pH 3,5 dan 4,5.

14
2.4 Ekstraksi
Ekstraksi adalah pemisahan senyawa berdasarkan daya larut
terhadap pelarut (solvent). Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk
mengambil senyawa kimia yang terdapat pada bahan alam (Harbone, 1987).
Secara umum, ekstraksi dapat dibedakan menjadi dua yaitu ekstraksi padat-
cair dan ekstraksi cair-cair.

Secara garis besar, proses pemisahan secara ekstraksi terdiri dari tiga
langkah dasar yaitu :
1. Penambahan sejumlah massa pelarut untuk dikontakkan dengan sampel,
biasanya melalui proses difusi.
2. Zat terlarut akan terpisah dari sampel dan larut oleh pelarut membentuk
fase ekstrak.
3. Pemisahan fase ekstrak dengan sampel.
(Wilson, et al., 2000).
Proses pemisahan senyawa bahan alami secara umum dari daun,
kulit, batang, buah, akar, atau bagian lainnya dari tumbuhan, salah
satunya adalah dengan metode maserasi.
Metode maserasi disebutkan sebagai salah satu cara pengekstrasian
yang paling sederhana untuk memisahkan zat kimia bahan alam dan
biasanya dilakukan dengan cara merendam bagian tumbuhan (daun, kulit,
batang, akar, bungan, buah, dll) dengan pelarut yang sesuai. Umumnya
pelarut untuk simplesia yang biasanya digunakan adalah etanol.
Menurut Treybel secara umum pemilihan pelarut didasarkan pada
sifat- sifat sebagai berikut :
1. Selektifitas
Pelarut harus mempunyai selektifitas yang tinggi, artinya pelarut
tersebut dapat memisahkan hanya komponen yang akan diekstrak.
2. Kapasitas
Kapasitas pelarut adalah besarnya kelarutan solute dalam pelarut
tersebut.

15
3. Kemudahan untuk dipisahkan
Pelarut yang dipilih biasanya mempunyai titik didih yang rendah.
4. Viskositas dan densitas pelarut
Viskositas akan mempengaruhi pemakaian daya dan laju difusi
sedangkan pengaruh densitas terjadi pemisahan.

2.4.1 Metode Ekstraksi


Metode ekstraksi berdasarkan ada tidaknya proses pemanasan dapat
dibagi menjadi dua macam yaitu ekstraksi cara dingin dan ekstrasi cara
panas (Hamdani, 2009) :
1. Ekstraksi Cara Dingin
Metoda ini artinya tidak ada proses pemanasan selama proses ekstraksi
berlangsung, tujuannya untuk menghindari rusaknya senyawa yang
dimaksud rusak karena pemanasan. Jenis ekstrasi dingin adalah :

a. Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut


diam atau dengan adanya pengadukan beberapa kali pada suhu
ruangan. Metoda ini dapat dilakukan dengan cara merendam bahan
dengan sekali-sekali dilakukan pengadukan. Pada umumnya
perendaman dilakukan selama 24 jam, kemudian pelarut diganti
dengan pelarut baru. Maserasi juga dapat dilakukan dengan
pengadukan secara sinambung (maserasi kinetik). Kelebihan dari
metode ini yaitu efektif untuk senyawa yang tidak tahan panas
(terdegradasi karena panas), peralatan yang digunakan relatif
sederhana, murah, dan mudah didapat. Namun metode ini juga
memiliki beberapa kelemahan yaitu waktu ekstraksi yang lama,
membutuhkan pelarut dalam jumlah yang banyak, dan adanya
kemungkinan bahwa senyawa tertentu tidak dapat diekstrak karena
kelarutannya yang rendah pada suhu ruang (Sarker, S.D., et al, 2006).

16
b. Perkolasi merupakan ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang
selalu baru sampel sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya
dilakukan pada suhu ruangan.
2. Ektraksi Cara Panas

Metoda ini pastinya melibatkan panas dalam prosesnya. Dengan


adanya panas secara otomatis akan mempercepat proses penyarian
dibandingkan dengan cara dingin. Metodanya adalah :
a. Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut yang dilakukan pada titik
didih pelarut tersebut, selama waktu tertentu dan sejumlah pelarut
tertentu dengan adanya pendingin balik (kondensor). Umumnya
dilakukan tiga sampai lima kali pengulangan proses pada residu
pertama, sehingga termasuk proses ekstraksi sempurna.
b. Soxhlet merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru,
umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi
ekstraksi konstan dengan adanya pendingin balik (kondensor). Disini
sampel disimpan dalam alat soxhlet dan tidak dicampur langsung
dengan pelarut dalam wadah yang dipanaskan, yang dipanaskan
hanyalah pelarutnya. Pelarut terdingin dalam kondensor dan pelarut
dingin inilah yang selanjutnya mengekstraksi sampel.
c. Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu)
yang dilakukan pada suhu lebih tinggi dari suhu ruangan, secara
umum dilakukan pada suhu 40º-50ºC.
d. Distilasi uap merupakan metoda yang popular untuk ekstraksi
minyak-minyak menguap (esensial) dari sampel tanaman. Metoda
destilasi uap air diperuntukan untuk menyari simplisia yang
mengandung minyak menguap atau mengandung komponen kimia
yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal
(Sutriani, L. 2008)
e. Infuse merupakan ekstraksi pelarut air pada temperatur penangas air
96º-98ºC selama 15-20 menit.

17
2.4.2 Faktor yang Berpengaruh dalam Proses Ekstraksi
Menurut Binter, 2018, faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses
ekstraksi adalah sebagai berikut:
a. Ukuran partikel
Pengecilan ukuran bertujuan untuk memperluas permukaan bahan
sehingga mempercepat penetrasi pelarut kedalam bahan yang akan di
ekstrak dan mempercepat waktu ekstraksi.

b. Suhu Ekstraksi
Suhu mempunyai sifat saling melarutkan, sehingga semakin tinggi suhu,
kecepatan pelarutan semakin besar. Ekstraksi akan lebih cepat dilakukan
pada suhu tinggi, tetapi untuk beberapa komoditi dapat menimbulkan
kerusakan. Ekstraksi baik dilakukan pada kisaran suhu 30 – 50 0C.

c. Pelarut
Jenis pelarut yang digunakan merupakan faktor penting dalam ekstraksi.
d. Jumlah Pelarut
Semakin banyak volume pelarut maka semakin banyak zat yang terlarut.
e. Pengadukan
Kecepatan pengadukan juga mempengaruhi sifat saling melarutkan,
dengan pengadukan maka tumbukan semakin besar sehingga simplisa
yang terekstrak juga besar.

2.5 Solvent/Pelarut
2.5.1 Syarat-Syarat Pelarut
a. Selektifitas
Pelarut hanya boleh melarutkan zat yang diinginkan, bukan komponen –
komponen lain (zat yang tidak diinginkan).
b. Kelarutan
Pelarut sedapat mungkin memiliki kemampuan melarutkan zat yang
diambil besar.

18
c. Kemampuan untuk tidak saling bercampur
Pada ekstraksi cair-cair, pelarut tidak boleh atau hanya secara terbatas
larut dalam bahan ekstraksi.
d. Kerapatan
Terutama pada ekstraksi cair – cair, sedapat mungkin terdapat perbedaan
kerapatan yang besar antara pelarut dan bahan ekstraksi.
e. Reaktifitas
Pelarut tidak boleh menyebabkan perubahan secara kimia pada
komponen – komponen bahan ekstraksi.
f. Titik didih
Ekstrak dan pelarut umumnya dipisahkan dengan penguapan, distilasi,
atau kereaktifikasi titik didih kedua bahan.
g. Pelarut tersedia dalam jumlah besar, murah, tidak beracun, tidak terbakar,
tidak eksplosif bila dicampur dengan udara, tidak korosif, tidak
menyebabkan terjadinya emulsi, memiliki viskositas rendah dan stabil
secara termis.

2.5.2 Metanol
Metil alkohol atau metanol salah satu zat kimia yang termasuk ke
dalam golongan alkohol dan memilki bentuk paling sederhana dari alkohol
(Abramson and Singh, 2009).

Metanol memiliki struktur kimia CH3OH dengan rumus struktur pada


(Gambar 3), tidak berwarna, berbau khas jumlah atom karbon satu dan
bersifat polar sehingga bisa larut sempurna dalam 100 ml/g air pada suhu
200C (Epker and Bakker, 2010). Metanol memiliki titik didih sebesar
64,50C sehingga metanol juga termasuk salah satu zat kimia yang mudah
terbakar (Bradley et al., 2003). Menurut Bebarta et al., (2005) metanol akan
berbentuk seperti cairan yang ringan, mudah menguap, dan beracun dengan
baunya yang khas pada keadaan atmosfer. Metanol sering digunakan

19
sebagai pelarut dalam cat, cairan mesin fotokopi, pembuatan formaldehid,
asam asetat, metil derivat dan asam anorganik (Perala et al., 2010).

Gambar 2.3. Struktur Kimia Metanol (Sebayang, 2006)

Ika Okhtora Angelia (2019) telah melakukan penelitian yang berjudul


Variasi Konsentrasi Solven Pada Proses Ekstraksi Antosianin Dari Ubi Jalar
Ungu. Mengekstrak ubi jalar ungu dengan campuran pelarut (1:2 = bahan :
pelarut) selama 24 jam. Perbandingan Pelarut metanol : asam asetat : air)
yaitu A1 = 20 : 1 : 20, A2 = 25 : 1 : 15, A3 = 30 : 1 : 10.
Kadar antosianin yang terkandung adalah A1 = 63,34 mg/100gr, A2 =
39,35 mg/100 gr dan A3= 34,40 mg/100 gr.

2.6 Proses Mordanting


Sebelum dilakukan pencelupan dengan larutan zat warna alam pada
kain maka dilakukan proses mordanting terlebih dahulu. Proses mordanting
ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya tarik zat warna alam terhadap
bahan tekstil serta berguna untuk menghasilkan kerataan dan ketajaman
warna yang baik.
Zat warna alam dibedakan menjadi dua golongaan yaitu subtantif dan
ajektif. Zat warna subtantif dapat mewarnai serat tanpa proses mordanting
terlebih dahulu, misalnya indigo. Penggunaan mordant pada zat warna
subtantif akan meningkatkan potensi warna dan mempercepat proses
pewarnaan, sedangkan zat warna ajektif membutuhkan penggunaan mordant
untuk memperkuat warna dan menjadikan permanen. Sebagian besar zat
warna alam tergolong dalam kelompok zat warna ajektif.
Namun harus diperhatikan bahwa sebenernya semua zat warna alam
dapat digunakan tanpa mordant, walaupun tahan cuci, tahan gosok dan
20
tahan sinarnya sangat rendah serta potensi warnanya terbatas.
Mordant merupakan logam atau garam mineral yang ditambahkan
pada larutan celup untuk meningkatkan intensitas warna atau mengubah
warna. Mordant juga berperan penting dalam menghasilkan celupan yang
lebih tahan cuci dan tahan sinar. Penggunaan mordant yang berbeda pada
suatu zat warna alam akan menghasilkan warna yang berbeda pula.
Zat mordan dibagi menjadi dua yaitu; mordan kimia seperti : krom,
timah, tembaga, seng dan besi, Dekranas, dan mordan alam seperti jeruk
citrun, jeruk nipis, cuka, sendawa (salpenter), pijer (borax), tawas (alum),
gula batu, gula jawa (aren), tunjung (ijzer-vitriool), prusi (copper sulfat),
tetes (stroop tebu atau melasse), air kapur, tapai ketan atau ketela, pisang
klutuk dan daun jambu klutuk, Sewan (dalam Santosa, 2014:17)
Umumnya serat di-perMordant dengan tawas yang tidak
mempengaruhi warna yang dihasilkan. Tawas juga meningkatkan tahan cuci
dan tahan sinar. Mordant yang lain dapat mengubah warna larutan celup.
Penggunaan Mordant yang terlalu banyak dapat mengakibatkan
kerusakan serat.
Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses
Mordanting :

1. Jangan memasukkan kain ke dalam larutan celup sebelum Mordant


dilarutkan. Hal ini juga melindungi serat dari kerusakan akibat
konsentrasi bahan kimia yang terlalu tinggi.
2. Jangan memasukkan kain kering ke dalam larutan celup, untuk
menghindari pencelupan yang tidak rat dan bergaris-garis.
Proses pre-Mordanting dilakukan sebelum pencelupan, pada
umumnya dilakukan dengan tawas dan dapat juga dilakukan dengan
tembaga sulfat. Setelah Mordanting serat dapat disimpan dalam keadaan
kering maupun basah. Dalam keadaan basah serat dalam disimpan selama 6
minggu dalam udara terbuka untuk mencegah timbulnya jamur.
Penyimpanan dalam keadaan kering dapat dilakukan begitu saja tanpa

21
perlakuan tertentu. Mordant dapat juga ditmbahkan dalam larutan selup,
sehingga proses Mordanting dan pencelupan berlangsung bersamaan dalam
sebuah wadah.
Keuntungannya, kain hanya diproses sekali, proses ini sangat cocok
digunakan pada kain sutra yang cepat mengalami kerusakan serat dengan
keberadaan bahan kimia. Selain itu, proses tersebut hemat waktu. Metode
ini dapat menghasilkan warna celupan yang berbeda untuk satu zat warna.
2.7 Proses Pewarnaan

Pada awalnya proses pewarnaan tekstil menggunakan zat warna alam.


Namum, sering kemajuan teknologi dengan ditemukannya zat warna
sintetis untuk tekstil maka semakin terkikislah penggunaan zat warna alam.
Keunggulan zat warna sintetis adalah lebih mudah diperoleh, ketersediaan
warna terjamin, jenis warna bermacam-macam, dan lebih praktis dalam
penggunaanya. Meskipun dewasa ini penggunaan zat warna alam telah
bergeser oleh keberadaan zat warna sintetis namun penggunaan zat warna
alam yang merupakan keberdayaannya khususnya pada proses pembatikan
dan perancangan busana.
Peristiwa difusi menyebabkan zat warna berkumpul pada permukaan
serat. Daya adsorpsi akan terpusat pada permukaan. Pencelupaan adalah
pemberiaan warna pada bahan secara merata dan permanen. Metode
pemberiaan warna dilakukan dengan berbagai sudah tercapai kondisi
kesetimbangan, yaitu zat warna yang terserap ke dalam bahan mencapi titk
maksimum
Tahap – tahap pencelupan :
1. Migrasi, pada tahap ini zat warna dilarutkan dan diusahakan agar larutan
zat warna bergerak menempel pada bahan. Zat warna dalam larutan
mempunyai muatan listrik sehingga dapat bergerak kian kemari. Gerakan
trsebut menimbulkan tekana osmosis yang berusaha untuk mencapai
kesetimbangan konsentrasi, sehingga terjadi difusi dari bagian larutan
dengan konsentrasi tinggi menuju konsentrasi rendah. Bagian dengan

22
konsentrasi rendah terletak dipermukaan serat, yaitu pada kapiler serat.
Jadi zat warna akan bergerak mendekati permukaan serat.
2. Adsorpsi, serat sehingga zat warna akan terserap menempel pada bahan

3. Difusi, peristiwa ini terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi zat


warna di permukaan serat dengan konsentrasi zat warna di dalam serat.
Karena konsentrasi di permukaan lebih tinggi, maka zat warna akan
terserap untuk ke dalam serat.
4. Fiksasi, terjadi karena adanya ikatan antara molekul zat warna dengan
serat, yaitu ikatan antara gugus auksokrom dengan serat cara
tergantung dari jenis zat warna dan serat yang akan diwarnai. Proses
pewarnaan secara pencelupan dianggap sempurna apabila zat warna alam
sintetis, walaupun zat warna sintentis lebih praktis dan ekonomis. Hal ini
didorong oleh adanya isu back to nature.
Penggunaaan zat warna alam juga memberikan pilihan warna yang
beragam. Masing-masing tanaman menghasilkan corak warna yang lembut
dan beragam. Satu tanaman dapat menghasilkan 5 hingga 15 corak warna
yang berbeda. Warna-warnanya halus dan cenderung harmonis satu dengan
yang lain.
Pencelupannya menghasilkan warna yang sangat sulit untuk ditiru
atau diulang, bahkan oleh pengrajinnya sendiri. Kepedulian masyarakt
terhadap lingkungan merupakan pendorong utama penggunaan zat warna
alam. Zat warna alam lebih ramah lingkungan dibandingkan zat warna
sintetik.
Obat bantu yang digunakan relative aman. Larutan celupnya dapat
dinetralisir menggunakan hasil celupan yang sama, catat baik-baik proses
pencelupan.
Pencelupan serat sintetis tidak memerlukan perhatian yang khusus.
Sebagian besar serat akrilik dapat menyerap zat warna alam, terkadang
memberikan hasil celupan yang lebih cerah dibandingkan wol. Nilon juga
dapat dicelup dengan zat warna, walaupun hasilnya lemah. Pencelupan pada

23
suhu tinggi tidak akan merusak serat sintetis, oleh karena itu pencelupan
yang berulang-ulang untuk mendapat warna yang lebih kuat tidakn menjadi
soal. Semua serat yang akan dicelup harus berseih dan kanji minyak, atau
kotoran yang lain. Sebelum dicelup, hendaknya serat dicuci dengan sabun
netral.

2.8 Pengujian Tahan Luntur Warna


Pengujian tahan luntur warna biasanya dilakukan dengan mengamati
adanya perubahan warna secara pengamtan visual. Nilai ketahanan luntur
ini tergantung sifat dari serat, zat warna dan penggunaan dari bahan tekstil
(Wibowo 1975:151).
Penilaian secara visual dilakukan dengan membandingkan perubahan
warna yang terjadi dengan suatu standar perubahan warna. Standar yang
dikenal adalah standar yang dikeluarkan oleh International Standar
Organization (I.S.O), yaitu standar skala abu – abu untuk menilai perubahan
warna contoh uji dan standar skala penodaan untuk menilai penodaan
warna pada kain putih. Ada 2 standar dalam uji tahan luntur yaitu
(Moerdoko,1975) :
a. Standar skala abu-abu (Grey scale)

Standar skala abu – abu digunakan untuk menilai perubahan warna pada
uji tahan luntur warna. Standar skala abu – abu terdiri dari 5 pasang
lempeng standar abu –abu dan setiap pasang menunjukkan perbedaan
atau kekontrasan warna yang sesuai dengan nilai tahan luntur warnanya.
Nilai skala abu–abu menentukan tingkat perbedaan atau kekontrasan
warna dari tingkat terendah sampai tertinggi. Tingkat nilai tersebut
adalah 5, 4, 3, 2 dan 1. Berikut adalah table pengujian warna pada skala
grey scale menurut Moerdoko, dkk (1975) :

24
Tabel 2.4 Tingkat Nilai Pengujian warna pada skala grey scale

Nilai Perbedaan Penilaian


tahan warna
luntur (dalam
warna suatu CD)
5 0 Baik sekali
4–5 0,8 Baik
4 1,5 Baik
3–4 2,1 Cukup baik
3 3,0 Cukup
2–3 4,2 Kurang
2 6,0 Kurang
1–2 8,5 Jelek
1 12,.0 Jelek
(Sumber: Evaluasi Tekstile Bagian Kimia, Moerdoko(1975))

Gambar 2.4 Grey Scale


b. Standar skala penodaan (staining scale)

Standar skala penodaan dipakai untuk menilai penodaan warna pada kain
putih yang digunakan dalam menentukan tahan luntur warna. Seperti
pada standar skala abu – abu, penilaian penodaan pada kain adalah 5, 4,
3, 2 dan 1 yang menyatakan perbedaan penodaan terkecil sampai
tersebar. Standar skala penodaan terdiri dari 5 pasang lempeng standar
putih dan abu – abu, yang setiap pasang menunjukkan perbedaan atau

25
kekontrasan warna yang sesuai dengan nilai penodaan warna. Berikut
adalah tabel pengujian warna pada Staining scale menurut Moerdoko,
dkk (1975):

Tabel 3. Tingkat Nilai Pengujian warna pada skala staining scale

(
suatuCD

Baik
4– Bai
Bai
3– Cukup

2–

1– Jele
Jele

Sumber: Evaluasi Tekstile Bagian Kimia, Moerdoko(1975))

Gambar 2.5 Staining Scale

26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Percobaan


3.1.1 Metodologi Penelitian
Analisa varians dipergunakan untuk menguji perbedaan rata-rata
hitung jika kelompok sampel yang diuji lebih dari dua buah yang berasal
dari populasi yang berbeda. Namun, jika dikehendaki metode ini juga
dipergunakan walaupun kelompok itu hanya dua buah. Dengan demikian,
metode anova dapat dipandang sebagai teknik tes yang diperluas. Hasil
perhitungan uji analisis varians dinyatakan dengan nilai F.
Analisa ragam merupakan suatu metode untuk menguraikan
keragaman total data menjadi komponen-komponen yang mengukur
berbagai sumber keragaman. Percobaan analisis ragam akan memperoleh
dua komponen yaitu komponen mengukur keragaman yang disebabkan oleh
percobaan ditambah keragaman yang disebabkanoleh perbedaan varitas.
ANOVA dua arah ini digunakan bila sumber keragaman yang terjadi
tidak hanya karena satu faktor (perlakuan). Faktor lain yang mungkin
menjadi sumber keragaman respon jugaharus diperhatikan. Faktor lain ini
bisa perlakuan lain atau faktor yang sudah terkondisi. Pertimbangan
memasukkan faktor kedua sebagai keragaman ini perlu bila faktor itu
dikelompokkan (blok), sehingga keragaman antar kelompok sangat besar ,
tetapi kecil dalam kelompok sendiri. Tujuan dan pengujian ANOVA 2 arah
ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh dari berbagai kriteria
yang diuji terhadap hasil yang diinginkan (Hasan:2003).
27
Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah analisa varian 2
sisi. Metode ini digunakan untuk menguji hypotesa mengenai pengaruh
/effek dari dua variabel yang bebas/independent yang masing-masing
mempunyai sifta atitive (saling menambah). Misalnya variabel-variabel
diberi notasi A dan B.
Variabel A = perlakuan/treatment (effek perlakuan)
Variabel B = blok/kolom (effek kolom)
Model : Xij = µi + αi + βj + εij
Dimana : i = 1,2,3,…………a
j = 1,2,3,…………b
αi = effek dari klasifikasi A ke i
βj = effek dari klasifikasi B ke j
Hypotesa :
1. untuk variabel A
Ho : αi = 0 untuk semua harga i
H1 : tidak semua αi = 0
2. untuk variabel B
Ho : βj = 0 untuk semua harga j
H1 : tidak semua βj = 0
Dilakukan hypotesa perhitungan sebagai berikut :
2
T
1. c=
a.b
2. Jumlah kuadrat diantara klasifikasi A
α

SSA = ∑ Ti
2

j =1
−c
b
3. Jumlah kuadrat diantara klasifikasi B
α

SSB = ∑
2
Tj
j =1
−c
b
a b
4. SST =∑ . ∑ . x ij −c
2

i=1 j=1

28
5. SSE = SST - SSA – SSB
6. Tabel ANOVA

Sumber Variasi Derajat Jumlah Kuadrat Nilai rata2 kuadrat


Kebebasan (mean square)
Diantara (a-1) SSA SSA
MSA=
Klasifikasi A (a−1)
Diantara (b-1) SSB SSB
MSB=
Klasifikasi A (b−1)
Penyimpangan (a-1) (b-1) SSE SSE
MSB=
(a−1)( b−1)
Total ab - 1 SST

7. Statistik F
MSA MSB
FA= FB=
MSE MSE

8. Pengujian Hypotesa
1. H0 ditolak bila FA > Fα dk :
H0 diterima bila FA ≤ Fα (a-1) dan [(n-1)(b-1)]
2. H0 ditolak bila FB > Fα dk :
H0 diterima bila FB ≤ Fα (b-1) dan [(n-1)(b-1)]
3. Perkiraan µ
T
µ1=
a.b
Ti T
α1 ¿ −
b a.b
Tj T
α1 ¿ −
b a.b
Untuk α = 5%
 Ho ditolak berarti ada pengaruh variabel terhadap pengamatan
 Ho diterima berarti tidak ada pengaruh variabel terhadap
pengamatan.

3.1.2 Penetapan Variabel Penelitian


1. Variabel tetap

29
 Volume ekstrak ubi ungu = 100 ml
 Suhu = Suhu Kamar (27 - 32⁰C)
2. Variabel berubah
 Lama perendaman : 12, 18, 24, 30 jam
 Variasi antara penambahan zat mordan (tawas)
a. Tidak diberi zat mordan
b. Diberi zat mordan
3. Variabel dependent
a. Uji tahan luntur warna terhadap pencucian 40°C
b. Uji tahan luntur warna terhadap penodaan
c. Uji tahan luntur warna terhadap gosokan kering
Penelitian ini menggunakan analisa varian dua sisi. Penelitian ini
dilakukan agar mengetahui pengaruh lama perendaman kain terhadap hasil
warna dari ekstraksi ubi ungu pada kain katun dan pengaruh pre-
mordanting dan tanpa mordan terhadap hasil uji ketahanan terhadap
pencucian, penodaan, gosokan basah dan gosokan kering.
Tabel analisa varian dua sisi disajikan dalam Tabel 3.1 s.d Tabel 3.3
Tabel disajikan sebagai berikut :
Tabel 3.1. Desain Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Pencucian 40°C
Lama Perendaman (jam)
Perlakuan
12 18 24 30
Mordan A1 A2 A3 A4
Tanpa Mordan B1 B2 B3 B4

Tabel 3.2. Desain Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Penodaan


Lama Perendaman (jam)
Perlakuan
12 18 24 30
Mordan A1 A2 A3 A4
Tanpa Mordan B1 B2 B3 B4

30
Tabel 3.3. Desain Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Gosokan
Kering
Lama Perendaman (jam)
Perlakuan
12 18 24 30
Mordan A1 A2 A3 A4
Tanpa Mordan B1 B2 B3 B4

3.2 Bahan dan Alat Yang Digunakan


3.2.1 Bahan yang digunakan
1. Ubi Ungu
2. Metanol 70%
3. HCl
4. Aluminium Foil
5. Kain Katun
6. Tawas
7. Soda abu (Na2CO3)
8. Aquadest
9. KCl
10. CH3COONa.3H2O
11. Kertas Ph

3.2.2 Rangkaian Alat

31
Termometer
1

Beaker Glass

Hot Plate dan


Magnetic Stirer

3.3 Diagram Alir Prosedur Percobaan


3.3.1 Persiapan sampel ubi ungu

Ubi ungu dicuci dengan air

Ubi ungu dipotong tipis-tipis


dengan ketebalan 1mm

Ditimbang sebanyak 200 gram dan dikeringkan dengan


oven pada suhu 60ºC selama 72 jam hingga kering

Ubi ungu diblender hingga didapat bubuk ubi ungu

Ubi ungu diayak dengan ayakan 100 mesh

Bubuk Ubi ungu

32
Disimpan

3.3.2 Ekstraksi antosianin dari ubi ungu

Bubuk Ubi ungu ditimbang sebanyak 10 gram

Bubuk Ubi ungu ditambahkan metanol 70% sebanyak


250ml, diasamkan dengan HCl 1% (pH 3,5)

Diekstraksi maserasi selama 24 jam pada suhu


kamar dan dilakukan pengocokan dengan stirer

Tabung dimasukkan kedalam waterbath suhu 80ºC selama 1 jam

Tabung disentrifugasi

Ekstrak ubi ungu


residu

33
Dilakukan analisa

3.3.3 Diagram Alir Proses Pewarnaan Ubi Ungu


Ekstrak Ubi Ungu (100 ml)
Perendaman
Kain katun
Suhu Kamar (27 - 32⁰C)
Tawas Waktu= 12, 18, 24, 30 jam
Pre-mordanting

Air bersih
Pembilasan Air cucian

Air bersih Pengeringan H2O

Uji tahan luntur warna terhadap


pencucian, penodaan dan gosokan
kering

Hasil uji tahan luntur warna

34
3.4 Cara Kerja

3.4.1 Proses Ekstraksi Antosianin dari ubi ungu

1. Persiapan sampel ubi ungu

a. Ubi ungu dicuci bersih dengan air mengalir, dikeringkan dengan tisu
lalu diiris tipis dengan ketebalan 1mm. Ditimbang sebanyak 200 gram
.Ubi ungu yang telah diiris tersebut kemudian dikeringkan
menggunakan oven suhu 60ºC selama 72 jam hingga kering.
b. Ubi ungu yang telah kering selanjutnya diblender hingga didapat
bubuk ubi jalar ungu.
c. Bubuk ubi ungu tersebut diayak dengan ayakan 100 mesh untuk
memperoleh ukuran partikel yang sama.
2. Ekstraksi antosianin

a. Bubuk ubi ungu ditimbang sebanyak 10 gram kemudian dimasukkan


ke dalam Erlenmeyer 250ml. Pada tabung tersebut ditambahkan
metanol 70%, diasamkan dengan HCl 1% sampai pH 3,5, selanjutnya
tabung diekstraksi maserasi selama 24 jam suhu kamar dan dilakukan

35
pengocokan dengan stirer.
b. Tabung tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam waterbath suhu
80ºC selama 1 jam. Setelah inkubasi dalam waterbath selesai, tabung
disentrifugasi sehingga terpisah ekstrak dan residunya.
c. Ekstrak antosianin dipisahkan dari residunya dengan cara disaring.
Ekstrak antosianin disimpan dalam tabung yang telah dilapisi
aluminium. Pada penelitian ini pengulangan dibuat 3x.
3. Membuat larutan pH 1 dan 4,5 (Giusti dan Worldstad, 2001)
a. Larutan pH 1 dibuat dengan cara menimbang 0,186 gram KCl
dimasukkan ke dalam beaker glass kemudian ditambahkan 100 ml
aquadest. Larutan tersebut selanjutnya ditambahkan HCl pekat sedikit
demi sedikit sehingga pH larutan menjadi pH 1.

b. Larutan pH 4,5 dibuat dengan cara menimbang 5,443 gram


CH3COONa.3H2O dimasukkan ke dalam beaker glass kemudian
ditambahkan 100 ml aquadest. Larutan tersebut selanjutnya
ditambahkan HCl 2 N sedikit demi sedikit sehingga pH larutan
menjadi pH 4,5
4. Penentuan total konsentrasi antosianin menggunakan metode pH
diferensial spektrofotometri.
a. Antosianin yang didapat dimasukkan ke dalam kuvet dan diukur
absorbansinya menggunakan spektrofotometri UV-Vis.
b. Pengukuran absorbansi dimulai pada daerah serapan 400 nm - 700
nm. Panjang gelombang maksimum antosianin ditentukan dari nilai
absorbansi optimumnya.
c. Ekstrak antosianin diambil sebanyak 1 ml kemudian dilarutkan
dengan 9 ml larutan pH 1. Hal yang sama juga dilakukan untuk pH
4,5. Setelah pelarutan antosianin dengan pH 1 dan pH 4,5 selesai,
pengukuran absorbansi dilakukan menggunakan spektrofotometri UV-
Vis.
d. Perhitungan total konsentrasi antosianin.
36
Nilai absorbansi dihitung dengan rumus :

A = [(A max – A 700) pH=1 – (Amax – A 700 ) pH= 4.5]

Kandungan pigmen antosianin pada sampel dihitung dengan rumus:


A v
C= x MW x DF x x 100%
εxL Wt

Keterangan :
A =
Absorbansi

ε = Absorptivitas molar Sianidin-3-glukosida = 26900 L/(mol.cm)

L = Lebar kuvet = 1 cm

MW = Berat molekul Sianidin-3-glukosida = 449,2/mol

DF = Faktor pengenceran

V = Volume ekstrak pigmen (L)

Wt = Berat bahan awal

3.4.2 Ekstraksi Antosianin dari Ubi Ungu untuk Pewarna Kain

a. Bubuk ubi ungu ditimbang sebanyak 40 gram kemudian dimasukkan ke


dalam Erlenmeyer 1000 ml. Pada tabung tersebut ditambahkan metanol
70%, diasamkan dengan HCl 1% sampai pH 3,5, selanjutnya tabung
diekstraksi maserasi selama 24 jam suhu kamar dan dilakukan
pengocokan dengan stirer.
b. Tabung tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam waterbath suhu 80ºC
selama 1 jam. Setelah inkubasi dalam waterbath selesai, tabung
disentrifugasi sehingga terpisah ekstrak dan residunya.
c. Ekstrak antosianin dipisahkan dari residunya dengan cara disaring.
Ekstrak antosianin disimpan dalam tabung yang telah dilapisi aluminium.
Pada penelitian ini pengulangan dibuat 3x.

37
3.4.3 Pemotongan Kain

1. Potong kain katun sebagai sample untuk diwarna dengan ukuran 40 X 40


cm sebanyak delapan lembar.
2. Memberi kode pada kain katun tersebut A1, A2, A3, A4, B1, B2, B3, B4,
dimana kode A adalah pelarut metanol memakai mordan, kode B adalah
pelarut metanol tanpa mordant. Untuk kode 1 adalah Perendaman 12 jam,
kode 2 adalah perendaman 18 jam, kode 3 adalah perendaman 24 jam
dan kode 4 adalah perendaman 30 jam.

3.4.4 Aplikasi Zat Warna Antosianin Menggunakan Mordan

1. Membuat larutan mordan yang mengandung 8 gram tawas dan 2 gram


soda abu (Na2CO3) ke dalam 1 liter air. Aduk hingga larut. Memanaskan
mordanting larutan hingga mendidih kemudian masukkan kain katun
(A1,A2,A3,A4) dan direbus selama 1 jam. Setelah itu matikan api dan
kain katun dibiarkan terendam dalam larutan selama semalam. Setelah
direndam semalaman dalam larutan tersebut, kain diangkat dan dibilas
(jangan diperas) dengan air bersih lalu dikeringkan dan disetrika. Kain
katun tersebut siap dicelup.
2. Kain berkode A (A1, A2,A3,A4) direndam pada ekstrak pelarut metanol.
3. Perendaman dilakukan selama 12, 18, 24 dan 30 jam.
4. Kain dikeringkan sampai kering

3.4.5 Aplikasi Zat Warna Antosianin Tanpa Mordan


1. Kain katun yang sudah diberi label B (B1, B2, B3, B4) direndam ke
dalam ekstrak pelarut metanol.
2. Perendaman dilakukan selama 12, 18, 24 dan 30 jam.
3. Kain dikeringkan sampai kering

3.4.6 Uji Laboratorium


1. Setelah melalui proses pencelupan, bahan dipisahkan sesuai dengan label
penggolongan mordanting dan perendaman yang digunakan untuk
menjadi sampel uji
38
2. Sampel uji dibawa kelaboratorium untuk diuji nilai ketahanan luntur
warnanya.

39

Anda mungkin juga menyukai