PENDAHULUAN
1
pewarna untuk sembarang bahan pangan, misal zat pewarna untuk tekstil
dan
kulit dipakai untuk mewarnai bahan makanan. Hal ini jelas sangat
berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat
pewarna tersebut. Timbulnya penyalahgunaan zat pewarna tersebut
disebabkan oleh ketidaktahuaan rakyat mengenai zat pewarna untuk
makanan (Winarno, 1984)
Antosianin merupakan senyawa berwarna yang menghasilkan warna
merah, ungu, biru, kuning, banyak terdapat pada bunga dan buah-buahan
seperti buah anggur, strawberry, duwet, bunga mawar, kana, rosella, pacar
air, kulit manggis, kulit rambutan, ubi jalar ungu, dan daun bayam merah.
(Endang Kwartiningsih, 2009)
Salah satu sumber antosianin yang murah dan banyak terdapat di
Indonesia adalah pada ubi jalar ungu karena pada ubi jalar ungu memiliki
kandungan antosianin yang lebih besar dari pada ubi jalar dengan varietas
yang lain yaitu sebesar 11,051 mg/100 gr (Arixs, 2006). Antosianin telah
memenuhi persyaratan sebagai zat pewarna makanan tambahan, diantaranya
tidak menimbulkan kerusakan pada bahan makanan maupun kemasannya
dan bukan merupakan zat yang beracun bagi tubuh, sehingga secara
internasional telah diijinkan sebagai zat pewarna alami.
Ubi Jalar Ungu (Impomoea Batatas L) merupakan tumbuhan
merambat disegala cuaca, didaerah pengunungan maupun pantai. Dipilihnya
Ubi Jalar Ungu dalam penelitian ini karena komoditas ini telah banyak di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sehingga mudah didapat, harganya
relative murah, tidak memberikan efek merugikan bagi kesehatan, memiliki
kulit dan daging yang berwarna ungu sehingga kaya akan pigmen antosianin
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan varietas lain sehingga dapat
digunakan sebagai pewarna baik untuk minuman maupun makanan.
Kestabilan antosianin dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pH,
Suhu, Cahaya, dan Oksigen. (Basuki, dkk, 2005). Pigmen antosianin
(merah, ungu, dan biru) merupakan molekul yang tidak stabil terjadi
2
perubahan pada Suhu, pH, Oksigen, Cahaya. (Markakis, 1982).
Penelitian ini akan menggunakan ubi ungu sebagai pewarna pada kain.
Proses pewarnaan kain perlu dilakukan proses mordanting dan fiksasi agar
zat warna yang digunakan untuk pencelupan memiliki kekuatan, ketahanan
dan ketuaan warna yang baik.
Bahan tekstil yang berasal dari serat alami lebih mudah diwarnai
dengan zat warna lam seperti sutera, wol dan kapas/katun.Berbeda dengan
serat sintetis seperty polyester, nilon dan lainnya kurang memiliki afinitas
atau daya tarik terhadap zat warna alam. Jadi untuk mewarnai serat sintestis
dengan pewarna alami, diperlukan teknik tersendiri. (Sulaeman dkk,
1999/2000).
Berdasarkan hal di atas, maka pada penelitian ini dilakukan ekstraksi
antosianin dari ubi ungu menggunakan Teknik ekstraksi maserasi
menggunakan variable jenis pelarut yaitu menggunakan metanol. Zat warna
yang diperoleh digunakan untuk pewarna tekstil khususnya pada kain katun,
karena kain katun merupakan bahan dasar yang banyak digunakan pada
industri tekstil di Indonesia. Proses pewarnaan dilakukan secara pre-
mordanting dan tanpa mordan. Senyawa yang digunakan adalah tawas. Pada
proses pencelupan kain pada ekstrak antosianin dilakukan variasi lama
waktu perendaman yaitu 12, 18, 24 dan 30 jam. Selanjutnya diuji tahan
luntur warna terhadap pencucian, penodaan, gosokan basah dan gosokan
kering.
3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan yang
timbul pada proses ekstraksi antosianin dari ubi ungu sebagai pewarna pada
kain dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana memperoleh kadar antosianin dari ubi ungu mencapai
120,64 mg/100 gr?
1.2.2 Bagaimana pengaruh lama perendaman kain terhadap hasil warna dari
ekstraksi ubi ungu pada kain katun?
1.2.3 Bagaimana pengaruh pre-mordanting dan tanpa mordan terhadap
hasil uji tahan luntur warna terhadap pencucian 40°C, penodaan,
gosokan kering?
1.4 Luaran
Publikasi Jurnal Terindex Sinta
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 2.1. Kandungan Gizi dalam Tiap 100 Gram Ubi Jalar Segar
Varietas
Kandungan gizi
Ubi Ubi Ubi
Putih Ungu Kuning
Pati (%) 28,79 22,64 24,47
Gula Reduksi (%) 0,32 0,30 0,11
Lemak (%) 0,77 0,94 0,68
Protein (%) 0,89 0,77 0,49
Air (%) 62,24 70,46 68,78
Abu (%) 0,93 0,84 0,99
Serat 2,79 3,00 2,79
(%)
Vitamin C (mg/100g) 28,68 21,43 25,00
Vitamin A (SI) 60,00 - 9.000
Antosianin (mg/100 g) - 110,51
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI,1981 dalam Ginting 2011.
6
Ubi jalar ungu mengandung pigmen antosianin yang lebih tinggi dari
pada ubi jalar jenis lain (Kumalaningsih, 2006). Ubi jalar ungu memiliki
kandungan antosianin, kandungan antosianinnya berkisar 51,50 mg/100 g
sampai dengan 174,70 mg/100 g (Steed dan Truong; Susilawati, dkk.,
2014). Sekelompok antosianin yang tersimpan dalam ubi jalar mampu
menghalangi
laju perusakan sel radikal bebas akibat Nikotin, polusi udara dan bahan
kimia lainnya. Antosianin berperan dalam mencegah terjadinya penuaan,
kemerosotan daya ingat dan kepikunan, polyp, asam urat, penderita sakit
maag (asam lambung), penyakit jantung koroner, penyakit kanker dan
penyakit-penyakit degeneratif, seperti arteosklerosis. Selain itu, antosianin
juga memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik
terhadap mutagen dan karsinogen yang terdapat pada bahan pangan dan
olahannya, mencegah gangguan pada fungsi hati, antihipertensi dan
menurunkan kadar gula darah (antihiperglisemik) (Jaya, 2013)
Menurut Winarno (1980), proses pembuatan pati ubi jalar dilakukan
dengan memberikan suasana alkali (pH 8,6) menggunakan kapur. Ubi
direndam dalam air kapur dan pati dipisahkan dari pulp dengan pencucian
yang berlebih pada penyaring. Suspensi pati dipucatkan dengan sodium
hipoklorit jika diperlukan dan disentrifuse. Pati basah disimpan dalam
concreate tank atau dikeringkan dengan pengering vakum sampai kadar air
12 %, digiling dan disaring.
8
bagian- bagian tumbuhan antara lain: akar, batang (kayu), kulit (bast),
daun, bunga (kuncup) yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak
langsung. Bahan- bahan yang digunakan untuk zat-zat warna alami,
antara lain: nila atau indigo, rambutan, mangga, jengkol, alpukat,
mengkudu
b. Zat warna sintetis (synthetic dyes) atau zat warna kimia mudah diperoleh,
stabil dan praktis pemakaiannya. Zat warna sintetis dibuat dari pabrik dan
terdapat berbagai jenis zat warna sintesis antara lain: napthol, rapid,
indigosol, basis, reaktif dan procion.
9
PENGGOLONGAN ZAT WARNA
Dua jenis zat warna naik pewarna alami maupun buatan tersebut memiliki
kekurangan dan kelebihan, adapun kelebihan dan kekurangan dari zat pewarna
sintetis yaitu, memiliki zat warna yang beragam dan memiliki kestabilan warna
yang baik dan praktis, tidak mudah luntur namun kekurangannya yaitu harus
impor, limbah dari bahan pewarna sintetis ini memiliki kekurangan yang dapat
menimbukan masalah pada lingkungan, berbahaya bagi kesehatan lingkunan
karena memiliki kandungan zat yang membahayakan, sedangkan kelebihan dan
kekurangan dari zat pewarna alam adalah, menghasilkan warna yang natural,
limbah bekas larutan ramah lingkungan, ketersediaan bahan baku yang melimpah,
proses ekstraksi mudah karena hanya melalui proses perebusan, sedangkan
kekurangannya adalah keseragaman warna rendah, proses pencelupan harus
10
berulang-ulang agar menghasilkan warna yang baik dan zat warna hanya
bisa digunakan pada kain yang berasal dari serat alam juga. zat pewarna
alami memiliki kelemahan antara lain warna tidak stabil, keseragaman
warna yang kurang baik, konsentrasi pigmen rendah, spektrum warna
terbatas (Paryanto dkk., 2012). Disamping spektrum warna yang terbatas,
juga mudah kusam dan ketahanan luntur rendah bila dicuci serta kena sinar
matahari (Kant, 2012).
yaitu:
11
Gambar 2.1. Struktur Kimia Zat Warna Alam
Sumber: Bahan Ajar Teknologi Pencelupan Bahan Tekstil, Widihastuti , 2014
Pigmen zat pewarna yang diperoleh dari bahan alami antara lain (Hidayat,
N., & Saati, E.A., 2006) :
a. Karoten, menghasilkan warna jingga sampai merah, dapat diperoleh dari
wortel, pepaya, dll.
b. Biksin, menghasilkan warna kuning, diperoleh dari biji pohon Bixa
orellana
c. Karamel, menghasilkan warna coklat gelap merupakan hasil dari
hidrolisis karbohidrat, gulapasir, laktosa, dll
d. Klorofil, menghasilkan warna hijau, diperolehdari daun suji, pandan, dll.
e. Tanin, menghasilkan warna coklat, terdapat dalam getah.
f. Antosianin menghasilkan warna merah,oranye, ungu, biru, kuning,
banyak terdapat pada bunga dan buah-buahan seperti buah anggur,
stroberi, duwet, bunga mawar, kana, rosella, pacar air, kulit manggis,
kulit rambutan, ubi jalar ungu, daun bayam merah,dll.
12
2.3 Antosianin
14
2.4 Ekstraksi
Ekstraksi adalah pemisahan senyawa berdasarkan daya larut
terhadap pelarut (solvent). Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk
mengambil senyawa kimia yang terdapat pada bahan alam (Harbone, 1987).
Secara umum, ekstraksi dapat dibedakan menjadi dua yaitu ekstraksi padat-
cair dan ekstraksi cair-cair.
Secara garis besar, proses pemisahan secara ekstraksi terdiri dari tiga
langkah dasar yaitu :
1. Penambahan sejumlah massa pelarut untuk dikontakkan dengan sampel,
biasanya melalui proses difusi.
2. Zat terlarut akan terpisah dari sampel dan larut oleh pelarut membentuk
fase ekstrak.
3. Pemisahan fase ekstrak dengan sampel.
(Wilson, et al., 2000).
Proses pemisahan senyawa bahan alami secara umum dari daun,
kulit, batang, buah, akar, atau bagian lainnya dari tumbuhan, salah
satunya adalah dengan metode maserasi.
Metode maserasi disebutkan sebagai salah satu cara pengekstrasian
yang paling sederhana untuk memisahkan zat kimia bahan alam dan
biasanya dilakukan dengan cara merendam bagian tumbuhan (daun, kulit,
batang, akar, bungan, buah, dll) dengan pelarut yang sesuai. Umumnya
pelarut untuk simplesia yang biasanya digunakan adalah etanol.
Menurut Treybel secara umum pemilihan pelarut didasarkan pada
sifat- sifat sebagai berikut :
1. Selektifitas
Pelarut harus mempunyai selektifitas yang tinggi, artinya pelarut
tersebut dapat memisahkan hanya komponen yang akan diekstrak.
2. Kapasitas
Kapasitas pelarut adalah besarnya kelarutan solute dalam pelarut
tersebut.
15
3. Kemudahan untuk dipisahkan
Pelarut yang dipilih biasanya mempunyai titik didih yang rendah.
4. Viskositas dan densitas pelarut
Viskositas akan mempengaruhi pemakaian daya dan laju difusi
sedangkan pengaruh densitas terjadi pemisahan.
16
b. Perkolasi merupakan ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang
selalu baru sampel sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya
dilakukan pada suhu ruangan.
2. Ektraksi Cara Panas
17
2.4.2 Faktor yang Berpengaruh dalam Proses Ekstraksi
Menurut Binter, 2018, faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses
ekstraksi adalah sebagai berikut:
a. Ukuran partikel
Pengecilan ukuran bertujuan untuk memperluas permukaan bahan
sehingga mempercepat penetrasi pelarut kedalam bahan yang akan di
ekstrak dan mempercepat waktu ekstraksi.
b. Suhu Ekstraksi
Suhu mempunyai sifat saling melarutkan, sehingga semakin tinggi suhu,
kecepatan pelarutan semakin besar. Ekstraksi akan lebih cepat dilakukan
pada suhu tinggi, tetapi untuk beberapa komoditi dapat menimbulkan
kerusakan. Ekstraksi baik dilakukan pada kisaran suhu 30 – 50 0C.
c. Pelarut
Jenis pelarut yang digunakan merupakan faktor penting dalam ekstraksi.
d. Jumlah Pelarut
Semakin banyak volume pelarut maka semakin banyak zat yang terlarut.
e. Pengadukan
Kecepatan pengadukan juga mempengaruhi sifat saling melarutkan,
dengan pengadukan maka tumbukan semakin besar sehingga simplisa
yang terekstrak juga besar.
2.5 Solvent/Pelarut
2.5.1 Syarat-Syarat Pelarut
a. Selektifitas
Pelarut hanya boleh melarutkan zat yang diinginkan, bukan komponen –
komponen lain (zat yang tidak diinginkan).
b. Kelarutan
Pelarut sedapat mungkin memiliki kemampuan melarutkan zat yang
diambil besar.
18
c. Kemampuan untuk tidak saling bercampur
Pada ekstraksi cair-cair, pelarut tidak boleh atau hanya secara terbatas
larut dalam bahan ekstraksi.
d. Kerapatan
Terutama pada ekstraksi cair – cair, sedapat mungkin terdapat perbedaan
kerapatan yang besar antara pelarut dan bahan ekstraksi.
e. Reaktifitas
Pelarut tidak boleh menyebabkan perubahan secara kimia pada
komponen – komponen bahan ekstraksi.
f. Titik didih
Ekstrak dan pelarut umumnya dipisahkan dengan penguapan, distilasi,
atau kereaktifikasi titik didih kedua bahan.
g. Pelarut tersedia dalam jumlah besar, murah, tidak beracun, tidak terbakar,
tidak eksplosif bila dicampur dengan udara, tidak korosif, tidak
menyebabkan terjadinya emulsi, memiliki viskositas rendah dan stabil
secara termis.
2.5.2 Metanol
Metil alkohol atau metanol salah satu zat kimia yang termasuk ke
dalam golongan alkohol dan memilki bentuk paling sederhana dari alkohol
(Abramson and Singh, 2009).
19
sebagai pelarut dalam cat, cairan mesin fotokopi, pembuatan formaldehid,
asam asetat, metil derivat dan asam anorganik (Perala et al., 2010).
21
perlakuan tertentu. Mordant dapat juga ditmbahkan dalam larutan selup,
sehingga proses Mordanting dan pencelupan berlangsung bersamaan dalam
sebuah wadah.
Keuntungannya, kain hanya diproses sekali, proses ini sangat cocok
digunakan pada kain sutra yang cepat mengalami kerusakan serat dengan
keberadaan bahan kimia. Selain itu, proses tersebut hemat waktu. Metode
ini dapat menghasilkan warna celupan yang berbeda untuk satu zat warna.
2.7 Proses Pewarnaan
22
konsentrasi rendah terletak dipermukaan serat, yaitu pada kapiler serat.
Jadi zat warna akan bergerak mendekati permukaan serat.
2. Adsorpsi, serat sehingga zat warna akan terserap menempel pada bahan
23
suhu tinggi tidak akan merusak serat sintetis, oleh karena itu pencelupan
yang berulang-ulang untuk mendapat warna yang lebih kuat tidakn menjadi
soal. Semua serat yang akan dicelup harus berseih dan kanji minyak, atau
kotoran yang lain. Sebelum dicelup, hendaknya serat dicuci dengan sabun
netral.
Standar skala abu – abu digunakan untuk menilai perubahan warna pada
uji tahan luntur warna. Standar skala abu – abu terdiri dari 5 pasang
lempeng standar abu –abu dan setiap pasang menunjukkan perbedaan
atau kekontrasan warna yang sesuai dengan nilai tahan luntur warnanya.
Nilai skala abu–abu menentukan tingkat perbedaan atau kekontrasan
warna dari tingkat terendah sampai tertinggi. Tingkat nilai tersebut
adalah 5, 4, 3, 2 dan 1. Berikut adalah table pengujian warna pada skala
grey scale menurut Moerdoko, dkk (1975) :
24
Tabel 2.4 Tingkat Nilai Pengujian warna pada skala grey scale
Standar skala penodaan dipakai untuk menilai penodaan warna pada kain
putih yang digunakan dalam menentukan tahan luntur warna. Seperti
pada standar skala abu – abu, penilaian penodaan pada kain adalah 5, 4,
3, 2 dan 1 yang menyatakan perbedaan penodaan terkecil sampai
tersebar. Standar skala penodaan terdiri dari 5 pasang lempeng standar
putih dan abu – abu, yang setiap pasang menunjukkan perbedaan atau
25
kekontrasan warna yang sesuai dengan nilai penodaan warna. Berikut
adalah tabel pengujian warna pada Staining scale menurut Moerdoko,
dkk (1975):
(
suatuCD
Baik
4– Bai
Bai
3– Cukup
2–
1– Jele
Jele
26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
SSA = ∑ Ti
2
j =1
−c
b
3. Jumlah kuadrat diantara klasifikasi B
α
SSB = ∑
2
Tj
j =1
−c
b
a b
4. SST =∑ . ∑ . x ij −c
2
i=1 j=1
28
5. SSE = SST - SSA – SSB
6. Tabel ANOVA
7. Statistik F
MSA MSB
FA= FB=
MSE MSE
8. Pengujian Hypotesa
1. H0 ditolak bila FA > Fα dk :
H0 diterima bila FA ≤ Fα (a-1) dan [(n-1)(b-1)]
2. H0 ditolak bila FB > Fα dk :
H0 diterima bila FB ≤ Fα (b-1) dan [(n-1)(b-1)]
3. Perkiraan µ
T
µ1=
a.b
Ti T
α1 ¿ −
b a.b
Tj T
α1 ¿ −
b a.b
Untuk α = 5%
Ho ditolak berarti ada pengaruh variabel terhadap pengamatan
Ho diterima berarti tidak ada pengaruh variabel terhadap
pengamatan.
29
Volume ekstrak ubi ungu = 100 ml
Suhu = Suhu Kamar (27 - 32⁰C)
2. Variabel berubah
Lama perendaman : 12, 18, 24, 30 jam
Variasi antara penambahan zat mordan (tawas)
a. Tidak diberi zat mordan
b. Diberi zat mordan
3. Variabel dependent
a. Uji tahan luntur warna terhadap pencucian 40°C
b. Uji tahan luntur warna terhadap penodaan
c. Uji tahan luntur warna terhadap gosokan kering
Penelitian ini menggunakan analisa varian dua sisi. Penelitian ini
dilakukan agar mengetahui pengaruh lama perendaman kain terhadap hasil
warna dari ekstraksi ubi ungu pada kain katun dan pengaruh pre-
mordanting dan tanpa mordan terhadap hasil uji ketahanan terhadap
pencucian, penodaan, gosokan basah dan gosokan kering.
Tabel analisa varian dua sisi disajikan dalam Tabel 3.1 s.d Tabel 3.3
Tabel disajikan sebagai berikut :
Tabel 3.1. Desain Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Pencucian 40°C
Lama Perendaman (jam)
Perlakuan
12 18 24 30
Mordan A1 A2 A3 A4
Tanpa Mordan B1 B2 B3 B4
30
Tabel 3.3. Desain Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Gosokan
Kering
Lama Perendaman (jam)
Perlakuan
12 18 24 30
Mordan A1 A2 A3 A4
Tanpa Mordan B1 B2 B3 B4
31
Termometer
1
Beaker Glass
32
Disimpan
Tabung disentrifugasi
33
Dilakukan analisa
Air bersih
Pembilasan Air cucian
34
3.4 Cara Kerja
a. Ubi ungu dicuci bersih dengan air mengalir, dikeringkan dengan tisu
lalu diiris tipis dengan ketebalan 1mm. Ditimbang sebanyak 200 gram
.Ubi ungu yang telah diiris tersebut kemudian dikeringkan
menggunakan oven suhu 60ºC selama 72 jam hingga kering.
b. Ubi ungu yang telah kering selanjutnya diblender hingga didapat
bubuk ubi jalar ungu.
c. Bubuk ubi ungu tersebut diayak dengan ayakan 100 mesh untuk
memperoleh ukuran partikel yang sama.
2. Ekstraksi antosianin
35
pengocokan dengan stirer.
b. Tabung tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam waterbath suhu
80ºC selama 1 jam. Setelah inkubasi dalam waterbath selesai, tabung
disentrifugasi sehingga terpisah ekstrak dan residunya.
c. Ekstrak antosianin dipisahkan dari residunya dengan cara disaring.
Ekstrak antosianin disimpan dalam tabung yang telah dilapisi
aluminium. Pada penelitian ini pengulangan dibuat 3x.
3. Membuat larutan pH 1 dan 4,5 (Giusti dan Worldstad, 2001)
a. Larutan pH 1 dibuat dengan cara menimbang 0,186 gram KCl
dimasukkan ke dalam beaker glass kemudian ditambahkan 100 ml
aquadest. Larutan tersebut selanjutnya ditambahkan HCl pekat sedikit
demi sedikit sehingga pH larutan menjadi pH 1.
Keterangan :
A =
Absorbansi
L = Lebar kuvet = 1 cm
DF = Faktor pengenceran
37
3.4.3 Pemotongan Kain
39