Anda di halaman 1dari 17

Tugas Etnobotani

ETNOBOTANI SEBAGAI PEWARNA DAN PENGAWET

OLEH :

1. 2005101050022 AISYAH FITRI


2. 2005101050036 ATHIYAH ZAHRA LUBIS

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

BANDA ACEH

2023
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat


tinggi. Indonesia menjadi salah satu negara yang dikenal dengan pusat keanekaragaman
hayati di dunia atau dikenal dengan negara mega-biodiversity (Sunarmi, 2014).
Keanekaragaman tumbuhan yang ada diperkirakan mencapai 20.000 spesies, dimana
40% merupakan tumbuhan endemik asli Indonesia (Kusmana, dan Hikmat, 2015).
Etnobotani dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mendokumentasikan
pengetahuan masyarakat tradisional, masyarakat awam yang telah menggunakan
berbagai jenis tumbuhan untuk menunjang kehidupannya. Pendukung kehidupan untuk
kepentingan sehari-hari seperti bahan makanan, pengobatan, bahan bangunan, upacara
adat, budaya, bahan pewarna dan lainnya (Zulfiani et al, 2013). Pengetahuan lokal
masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam yakni tumbuhan pewarna dapat
memberikan pengaruh positif untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Etnobotani merupakan suatu bidang yang mempelajari keterkaitan antara
manusia dengan tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari yang tercermin dalam
kebudayaan dan realitas kehidupan. Etnobotani tidak hanya terfokus mempelajari
pengembangan wawasan masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatannya tumbuhan,
tetapi etnobotani juga melekat -pada kehidupan masyarakat dalam pemanfaatnanya
(Suryadarma, 2008). Pewarna alam merupakan warisan nenek moyang yang dibuat
sejak lama dan sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat untuk pewarna
tenun ikat di salah satu desa di Kalimantan Barat. Tenun ikat merupakan salah satu hasil
budaya Kalimantan Barat dengan beraneka ragam desain/motif maupun warna yang
mudah dijumpai di berbagai kawasan atau daerah wisata Kalimantan Barat termasuk di
Kabupaten Kapuas Hulu. Penggunaan pewarna alam di daerah Kapuas Hulu dalam
mengalami peningkatan. Proses pewarnaan alami terus digiatkan untuk menghasilkan
kain tenun ramah lingkungan dan juga sebagai bentuk pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu (Hardian, 2017).
Tumbuhan pewarna alami dapat diartikan sebagai tumbuhan yang secara
keseluruhan maupun salah satu bagiannya baik batang, kulit, buah, bunga, maupun

1
daunnya dapat menghasilkan suatu zat warna tertentu setelah melalui proses perebusan,
penghancuran maupun proses lain. Zat warna diperoleh dari tumbuhan yang diambil
dari hutan atau sengaja ditanam, digunakan untuk mewarnai ukiran, makanan, tenun
serta bahan kerajinan lainnya berasal dari pohon, perdu, semak, terna yang diolah secara
tradisional (Nugraheni, 2013). Pewarna alami merupakan pewarna yang diperoleh dari
bahan tumbuhan yang memliki zat warna. Pewarna alami dapat diperoleh mulai dari
daun, kulit batang pohon, bunga bahkan juga dapat diperoleh dari biji-bijian dan kulit
buah tertentu. Salah satu pewarna alami yang berasal dari tumbuhan yaitu pepaya.
Pepaya digunakan sebagai bahan pewarna untuk kosmetik baik daunnya maupun
bijinya. Secara umum pewarna alami berasal dari tumbuhan yang berbeda- beda
kandungan zat di dalamnya, dan ditandai dengan warna yang dihasilkan (Achir, 2015).
Menurut Darmanto, (Hadrian, 2017) pembinaan kepada pengrajin agar tetap
menggunakan pewarna alam untuk melestarikan budaya setempat dan nilai jual yang
lebih tinggi. Selain itu transformasi ilmu tanaman sebagai sumber pewarna alam
terancam punah apabila penggunaan pewarna alam ditinggalkan. Dalam hal ini
pengawet alami merupakan pengawet yang terbuat dari tumbuhan yang
mempertahankan keadaan makanan, ataupun hewan menjadi berbentuk tetap sehingga
dapat di konsumsi lebih lama lagi, pengawet alami ini biasanya terbuat dari tanaman.
Komponen pengawet atau antimikroba adalah suatu komponen yang bersifat dapat
menghambat pertumbuhan bakteri atau kapang (bakteristatik atau fungistatik) atau
membunuh bakteri atau kapang (bakterisidal atau fungisidal). Zat aktif yang terkandung
dalam berbagai jenis ekstrak tumbuhan diketahui dapat menghambat beberapa mikroba
patogen maupun perusak makanan. Zat aktif tersebut dapat berasal dari bagian
tumbuhan seperti biji, buah, rimpang, batang, daun, dan umbi. Sebagai contoh misalnya
biji picung mengandung senyawa antioksidan dan golongan flavonoid. Senyawa
antioksidan yang berfungsi sebagai antikanker dalam biji picung antara lain: vitamin C,
ion besi, dan B karoten. Sedangkan golongan flavonoid biji picung yang memiliki
aktivitas antibakteri yakni asam sianida, asam hidnokarpat, asam khaulmograt, asam
gorlat dan tanin. Khusus senyawa asam sianida dan tanin, kedua senyawa inilah yang
mampu memberikan efek pengawetan terhadap ikan. Contoh lainnya adalah tanaman
yang dijumpai bumbu dapur dan obat tradisional ini, ternyata memiliki potensi sebagai
bahan pengawet alami yang banyak memberikan keuntungan. Khususnya zat kimia

2
yang terdapat dalam umbi tanaman lengkuas (Alpinia galanga). Merupakan tanaman
terna tahunan, berbatang semu yang tumbuh tegak dengan tinggil-3 meter (Oddy, 2009).
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tidak pernah terlepas dari proses
pengawetan dan pewarnaan karena bahan pengawet dan bahan pewarna memberikan
banyak keuntungan dalam penggunaannya. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam
penggunaan bahan pengawet dan pewarna adalah pemilihan bahan pengawet dan
pewarna yang aman dan tidak memberikan efek samping yang membahayakan. Namun
ternyata pengawet dan pewarna yang banyak digunakan saat ini, khususnya untuk
makanan sangat berbahaya. Bahan pengawet makanan yang banyak digunakan saat ini
berbahaya bagi kesehatan manusia, contohnya asam borak (boric acid) atau boraks dan
formalin (formaldehyde). Dari jurnal yang kami baca diperoleh 8 spesies tumbuhan
yang digunakan sebagai pengawet alami oleh masyarakat Using yang termasuk dalam 7
famili, yaitu famili Araceae, Menispermaceae, Rutaceae, Euphorbiaceae, Arecaceae,
dan Musaceae. Dari 8 spesies tumbuhan tersebut terdapat 4 spesies tumbuhan yang
paling banyak digunakan sebagai pengawet alami, yaitu pisang (Musa paradisiaca) yang
mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol yang berfungsi sebagai senyawa
antifungal alami pada tumbuhan, pinang (Areca catechu L.) mengandung senyawa
alkaloid arekolin yang memiliki efek antioksidan dan antimutagenik, serta kemiri
(Aleurites moluccana) yang mengandung saponin dan polifenol.

1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui etnobotani sebagai
pewarna dan pengawet serta mengetahui contoh-contohnya.

3
BAB II. ISI

1.1. Etnobotani Sebagai Pewarna


Sejak lama, masyarakat Indonesia telah memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan
untuk digunakan sebagai pewarna alami. Menurut Lemmens et al. (1999) sebagian
besar warna dapat diperoleh dari produk tumbuhan, pada jaringan tumbuhan terdapat
pigmen tumbuhan penghasil warna yang berbeda tergantung menurut struktur kimianya.
Golongan pigmen tumbuhan tersebut dapat berbentuk klorofil, karotenoid, flavonoid
dan kuinon. Pewarna alami ini digunakan dalam industri tekstil, makanan, farmasi,
kosmetik, kerajinan dan penyamakan kulit. Penyamakan kulit adalah suatu proses
mengubah kulit mentah menjadi kulit tersamak (leather). Penyamakan kulit biasanya
digunakan pada hampir semua jenis ternak antara lain kulit sapi, kerbau, kambing,
kelinci, domba, ikan pari dll, bahkan beberapa hewan ekstrim diantaranya ular, harimau
dan buaya. Berikut beberapa contoh tumbuhan yang digunakan sebagai pewarna alami:

Tabel 1. Jenis Tumbuhan Pewarna Alam, bagian yang digunakan, dan warna yang
dihasilkan (The natural color plant, plant organs utilized, and color produced)
Bagian yang Warna yang
No. Spesies Nama Lokal
digunakan dihasilkan
1 Melastoma polyanthum Bt Kemunting Bunga dan buah Ungu
Psychotria viridiflora Reinw. Ex
2 Rengat Daun Hijau
Blume
3 Albizia procera (Roxb.) Benth Engkerebai Daun Coklat
4 Eusideraxylon zwageri Teijsm. & Binn Ulin Batang Merah marun
5 Shorea spp Tengkawang Daun Kuning
6 Morinda citrifolia L. Mengkudu Akar Kuning
7 Garcinia mangostana L. Manggis Daun Coklat
8 Areca catechu L. Pinang Buah Coklat
9 Mangifera indica L. Mangga Daun Kuning
10 Cocos nucifera L. Kelapa Buah Coklat
11 Nephelium lappaceum L. Rambutan Buah Merah
12 Durio zibethinus Murs. Durian Kulit batang Kuning
13 Artocarpus heterophyllus Lamk. Nangka Daun Kuning

Berdasarkan Tabel 1, yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan tersebut ternyata


bermacam-macam warna. Pengolahan tumbuhan dari tahap pemanenan sampai
menghasilkan warna yang khas dari masing-masing tumbuhan tersebut yaitu:

4
1. Kemunting (M. polyanthum BI).

Gambar 1. Melastoma polyanthum Bt

Waktu pengambilan bunga dan buah pagi atau sore hari. Bunga dan buah
ditumbuk atau dihaluskan kemudian direbus sampai mendidih. Tambahkan kapur sirih
secukupnya (± 1 sendok makan) kemudian diangkat dan diamkan selama kurang lebih
15 menit. Langkah berikutnya adalah menyaring rebusan dan mencelupkan benang
kedalamnya. Benang selanjutnya di cuci bersih dengan detergen dan dibiarkan sampai
meresap pada keseluruhan benang dan menghasilkan warna ungu.
2. Rengat

Gambar 2. Psychotria viridiflora Reinw. Ex Blume


Daun tua dipetik pada pagi atau sore hari. Daun di potong-potong kecil
dimasukkan ke dalam wadah kemudian direndam selama kurang lebih 3 jam sambil
diaduk. Tambahkan Tunjung secukupnya ke dalam rendaman. Setelah benang dicuci
sampai bersih dengan detergen lalu celupkan benang yang sudah diikat sesuai motif
yang dibuat oleh penenun kurang lebih 15 menit sampai warna menyerap keseluruh
bagian benang sampai menghasilkan warna hijau.

5
3. Engkerebai (A. procera)

Gambar 3. Albizia procera (Roxb.) Benth


Pengambilan daun dapat dilakukan pada pagi hari atau sore hari. Daun yang
sudah tua dimasak sampai mendidih kurang lebih 2 jam, takaran air ½ dengan bahan
baku pewarna yang digunakan, kemudian dihangatkan dan didiamkan selama kurang
lebih 15 menit dan tambahkan kapur sirih secukupnya. Cuci benang dengan detergen
sampai bersih selanjutnya celupkan benang yang sudah diikat sesuai motif yang di buat
oleh penenun tunggu beberapa menit sampai warna menyerap ke seluruh bagian benang
kurang lebih 15 menit dan menghasilkan warna coklat.
4. Ulin (Ezwageri)

Gambar4. Eusideraxylon zwageri Teijsm. & Binn


Pengambilan dapat dilakukan pada pagi, siang, sore atau malam hari dengan
mengambil batang yang sudah tua atau yang sudah ditebang untuk keperluan lain.
Batang dipotong-potong halus kemudian direbus, takaran air ½ dari sampel bahan baku
pewarna yang digunakan, direbus sampai mendidih selama kurang lebih 3 jam.
Tambahkan kapur sirih secukupnya setelah itu angkat panci dan diamkan selama kurang

6
lebih 15 menit. Selanjutnya disaring dan celupkan benang yang sudah dicuci bersih
dengan detergen. Tunggu beberapa menit sampai warna meresap pada keseluruhan
benang dan menghasilkan warna merah marun.
5. Tengkawang (Shorea spp)

Gambar 5. Shorea spp


Pengambilan dilakukan pada pagi hari atau sore hari. Daun tua dimasak sampai
mendidih takaran air ½ kemudian diangkat dan didiamkan selama kurang lebih 15 menit
dan tambahkan kapur sirih secukupnya kemudian cuci benang dengan detergen sampai
bersih. Celupkan benang yang sudah diikat sesuai motif yang di buat oleh penenun
tunggu kurang lebih 15 menit sampai warna menyerap ke seluruh bagian benang dan
menghasilkan warna kuning.
6. Mengkudu (M. citrifolia L.)

Gambar 6. Morinda citrifolia L.

7
Pengambilan dapat dilakukan pada pagi, siang, sore atau malam hari. Dengan
mengambil akar seperlunya kemudian dipotong-potong kecil dan direbus. Takaran air ½
dari sampel bahan baku pewarna, direbus sampai air mendidih selama kurang lebih 2
jam, campurkan kapur sirih secukupnya setelah itu angkat panci dan diamkan selama
kurang lebih 15 menit selanjutnya air disaring kemudian celupkan benang yang sudah di
cuci bersih dengan detergen dan tunggu beberapa menit (15 menit) sampai warna
meresap pada keseluruhan benang dan menghasilkan warna kuning.
7. Manggis (G. mangostana L.)

Gambar 7. Garcinia mangostana L.


Pengambilan dapat dilakukan pada pagi atau sore hari. Daun yang sudah tua
dicincang dan direbus sampai mendidih dengan perbandingan air ½ dengan bahan baku
dan campurkan kapur sirih secukupnya. Angkat dan diamkan selama kurang lebih 15
menit setelah itu masukan benang yang sudah dicuci bersih dengan detergen dan tunggu
beberapa menit sampai warna menyerap pada keseluruhan benang dan menghasilkan
warna coklat.
8. Pinang (A.catechu L.)

Gambar 8. Areca catechu L

8
Buah yang sudah tua atau berwarna kuning dapat diambil pada pagi, siang, sore
atau malam hari. Buah yang sudah tua dibersihkan dan ambil bakal biji. Biji dicincang-
cincang atau dipukul menggunakan palu agar didapatkan hasil yang halus. Rebus dalam
panci sampai mendidih dengan takaran air ½ sampai airnya berkurang kurang lebih 1
jam setelah itu angkat dan didiamkan selama 15 menit kemudian tambahkan kapur sirih
secukupnya untuk mencerahkan warna dan lebih tahan lama. Siapkan benang yang
sudah dicuci dengan detergen agar pewarna mudah meresap Celupkan benang yang
sudah diikat sesuai motif yang diiginkan oleh penenun dalam air panas sampai warna
menyerap kesemua bagian benang dan menghasilkan warna coklat.
9. Mangga (M.indica L.)

Gambar 9. Mangifera indica L


Pengambilan dapat dilakukan pada pagi atau sore hari. Daun yang sudah tua
dimasak sampai mendidih dengan takaran air ½ dengan bahan baku yang digunakan
selama kurang lebih 2 jam, kemudian angkat dan didiamkan selama kurang lebih 15
menit dan tambahkan tawas secukupnya kemudian cuci benang dengan detergen sampai
bersih selanjutnya celupkan benang yang sudah diikat. Tunggu beberapa menit sampai
warna menyerap ke seluruh bagian benang dan menghasilkan warna kuning.
10. Kelapa (C.nucifera L)

Gambar 10. Cocos nucifera L.

9
Buah kelapa yang sudah tua/sudah jatuh ditanah dikupas buang kulit luar buah
kelapa, ambil serabut kelapa yang lembut setelah itu sabut kelapa dimasak sampai air
mendidih dengan takaran air ½ dengan bahan baku yang digunakan, rebus selama
kurang lebih 2 jam, kemudian angkat dan didinginkan selama kurang lebih 15 menit,
tambahkan kapur sirihsecukupnya, setelah itu celupkan benang dalam air rebusan sabut
kelapa yang sudah di cuci bersih dengan detergen dan tunggu beberapa menit sampai
warna menyerap pada keseluruhan benang dan menghasilkan warna coklat.
11. Rambutan (N. lappaceum L.)

Gambar 11. Nephelium lappaceum L


Buah yang sudah masak diambil kulit buahnya lalu dicincang dan direbus
sampai air mendidih kurang lebih 2 jam dengan takaran air ½ dengan bahan baku yang
digunakan, kemudian diangkat dan didiamkan selama kurang lebih 15 menit setelah itu
tambahkan kapur sirih secukupnya. Selanjutnya celupkan benang yang sudah dicuci
bersih dengan detergen dan tunggu 15 menit sampai warna menyerap pada keseluruhan
benang dan menghasilkan warna merah.
12. Durian (D. zubethimus Murr.)

Gambar 12. Durio zibethinus Murs.

10
Pengambilan dapat dilakukan pada pagi, siang, sore atau malam hari. Kulit
batang secukupnya dipotong halus kemudian direbus. Takaran air ½ dari sampel bahan
baku pewarna yang digunakan. Tambahkan kapur sirih secukupnya, angkat dan
diamkan selama kurang lebih 15 menit. Selanjutnya air disaring kemudian celupkan
benang yang sudah dicuci bersih dengan detergen. Diamkan beberapa menit (15 menit)
sampai warna meresap pada keseluruhan benang dan menghasilkan warna kuning.
13. Nangka (A.heterophyllus Lamk)

Gambar 13. Artocarpus heterophyllus Lamk


Pengambilan daun yang sudah tua dapat dilakukan pada pagi atau sore. Daun
dimasak selama 2 jam sampai mendidih dengan takaran air ½ kemudian di angat dan
didiamkan selama kurang lebih 15 menit dan tambahkan kapur sirih secukupnya
kemudian cuci benang dengan detergen sampai bersih selanjutnya celupkan benang
yang sudah diikat sesuai motif yang di buat oleh penenun tunggu beberapa menit
sampai warna menyerap ke seluruh bagian benang dan menghasilkan warna kuning.
Setelah menghasilkan warna yang diinginkan maka benang dikeringanginkan selama
satu sampai dua hari dan terhindar dari sinar matahari. Langkah berikutnya adalah
menjemur dibawah sinar matahari sampai benang kering dan siap untuk ditenun.
Pengolahan tumbuhan penghasil warna oleh responden semuanya dilakukan dengan
cara direbus. Daun Rengat dan daun Engkerebai pada penelitian Santa (2015) juga
diolah dengan cara direbus untuk menghasilkan bahan pewarna.
Penambahan bahan lain seperti tunjung dan kapur sirih dilakukan untuk
mengikat warna agar tidak mudah luntur (fiksasi). Tujuan proses fiksasi setelah
ekstraksi bahan pewarna adalah untuk mengunci zat warna, menguatkan warna dan

11
memberikan efek warna yang berbeda-beda sesuai dengan zat fiksasi yang digunakan.
Proses fiksasi pada prinsipnya adalah mengkondisikan zat pewarna yang telah terserap
dalam waktu tertentu agar terjadi reaksi antara bahan yang diwarnai dengan zat warna
dan bahan yang digunakan untuk fiksasi (Pujilestari, 2014).

2.2. Etnobotani Sebagai Pengawet


Secara tradisional masyarakat telah menggunakan bahan-bahan tumbuhan untuk
mengawetkan bahan pangan. Seperti misalnya untuk mengawetkan nira kelapa, aren
maupun lontar, mereka biasanya menggunakan bahan-bahan tumbuhan seperti: daun
manggis, kulit buah manggis, daun manggis hutan, daun jambu biji, daun jambu mete
dan kayu nangka. Bahan-bahan tumbuhan ini ternyata dapat menghambat proses
kerusakan nira selama proses penyadapan, sehingga diperoleh nira yang lebih baik.
Bumbu makanan seperti kunyit, bawang putih, lengkuas, sereh dan lain-lain digunakan
oleh masyarakat untuk mengawetkan makanan seperti dendeng. Bahan-bahan tersebut
setelah diteliti ternyata mengandung berbagai senyawa bioaktif yang mampu
menghambat pertumbuhan mikroba. Kunir digunakan untuk menghambat ketengikan
minyak kelapa. Pada kunyit telah ditemukan senyawa yang mempunyai sifat sebagai
antioksidan yaitu kurkuminoid.
Eksplorasi bahan alami yang memiliki potensi sebagai pengawet pangan sangat
diperlukan dewasa ini, untuk mengurangi penggunaan bahan kimia sintetik. Berbagai
kendala ditemui dalam memanfaatkan bahan alami sebagai pengawet pangan seperti
efektifitas yang masih rendah, kurang stabil terhadap kondisi pengolahan, memiliki
aroma yang kadang-kadang tidak disukai, serta kurang praktis. Preparasi bahan
pengawet pangan bersumber dari bahan alami dalam bentuk ekstrak diharapkan dapat
mengatasi permasalahan tersebut. Berbagai jenis tumbuh-tumbuhan telah dinyatakan
dapat menghasilkan ekstrak yang efektif menghambat pertumbuhan mikroba pencemar
bahan pangan. Ekstrak metanol dan etanol kulit kayu Saccoglottis gabonensis efektif
menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri yang biasanya berkembang pada nira seperti
Leuconostoc mesenteroides dan Lactobacillus plantarum, yang mana ekstrak
metanolnya lebih efektif dibandingkan ekstrak etanolnya (Putra, 2014).
Ekstrak bawang merah dan cabai merah menghambat Candida crucei dan
Candida utilis dengan diameter zona penghambatan berturut-turut 18 dan 20 mm (pada

12
dosis 0,1 ml per cakram), sedangkan ekstrak bawang putih menghambat Bacillus cereus
dan Escherichia coli dengan diameter zona penghambatan berturut-turut 20 dan 26 mm
(pada dosis 0,1 ml per cakram). Ekstrak etanol maupun air dari Eugenia jambos
memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri-bakteri seperti: Staphylococcus aureus,
Yersenia enterocolitica, Staphylococcus hominis, Staphylococcus cohnii,
Staphylococcus warneri (Djipa, et al., 2000). Ekstrak biji picung (Pagium edule) segar
efektif menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus dengan konsentrasi
penghambatan minimal 3,46 persen. Velickovic, et al. (2002), menyatakan ekstrak
etanol daun Salvia pratensis mampu menghambat Escherichia coli, Bacillus cereus dan
Saccharomyces cerevisiae.
Adapun jenis-jenis antimikroba pada tumbuhan adalah:
1. Senyawa-senyawa fenol dan turunannya
a) Fenol sederhana dan asam fenolat
b) Kuinon
c) Ksanton
d) Flavonoid
e) Tanin
f) Koumarin
2. Terpena dan Terpenoid
3. Alkaloid
4. Polipeptida
5. Steroid
Tabel 1. Jenis-jenis pelarut yang digunakan untuk mengekstrak berbagai jenis
antimikroba dari tumbuhan

13
Dalam proses ekstraksi, jumlah dan jenis senyawa yang masuk ke dalam cairan
pelarut sangat ditentukan oleh jenis pelarut yang digunakan. Proses ekstraksi bahan
tumbuhan meliputi dua fase yaitu fase pembilasan dan fase ekstraksi. Pada fase
ekstraksi digunakan larutan untuk melarutkan senyawa antimikroba dari bagian
tumbuhan. Pada Tabel 1 ditunjukkan jenis-jenis pelarut yang sering digunakan untuk
mengekstrak berbagai jenis senyawa antimikroba pada bahan tumbuhan. Etanol dan
metanol merupakan pelarut-pelarut yang paling sering digunakan untuk mengekstrak
senyawa antimikroba dari tumbuhan, oleh karena seyawa-senyawa tersebut umumnya
merupakan seyawa aromatik dan organik jenuh.

14
BAB III. PENUTUP

3.1. Simpulan
Adapun simpulan dari Etnobotani sebagai pewarna dan pengawet yaitu:
1. Etnobotani merupakan suatu bidang yang mempelajari keterkaitan antara manusia
dengan tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari yang tercermin dalam kebudayaan
dan realitas kehidupan. Etnobotani tidak hanya terfokus mempelajari pengembangan
wawasan masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatannya tumbuhan, tetapi
etnobotani juga melekat pada kehidupan masyarakat dalam pemanfaatanya
(Suryadarma, 2008).
2. Tumbuhan pewarna alami dapat diartikan sebagai tumbuhan yang secara
keseluruhan maupun salah satu bagiannya baik batang, kulit, buah, bunga, maupun
daunnya dapat menghasilkan suatu zat warna tertentu setelah melalui proses
perebusan, penghancuran maupun proses lain. Zat warna diperoleh dari tumbuhan
yang diambil dari hutan atau sengaja ditanam, digunakan untuk mewarnai ukiran,
makanan, tenun serta bahan kerajinan lainnya berasal dari pohon, perdu, semak,
terna yang diolah secara tradisional.
3. Pengawet alami merupakan pengawet yang terbuat dari tumbuhan yang
mempertahankan keadaan makanan, ataupun hewan menjadi berbentuk tetap
sehingga dapat di konsumsi lebih lama lagi, pengawet alami ini biasanya terbuat
dari tanaman.

15
DAFTAR PUSTAKA

Putra, Nengah Kencana. 2014. Potensi Ekstrak Tumbuhan Sebagai Pengawet Produk
Pangan. Media Ilmiah Teknologi Pangan. Vol. 1, No. 1, 81 – 95.
Velickovic. 2002. Chemical composition and antimicrobial action of the ethanol
extracts of Salvia pratensis L., Salvia glutinosa L. and Salvia aethiopis L. J.
Serb. Chem. Soc., 67 (10): 639-646.

16

Anda mungkin juga menyukai