Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Paparan radikal bebas semakin banyak terdapat pada lingkungan, seperti

paparan dari bahan pencemar udara (timbal, asap knalpot yang mengandung

timah hitam, asap rokok, radiasi sinar matahari dan sinar X) (Kurniali dan

Abikusno, 2007). Radikal bebas dapat pula berasal dari limbah pabrik, ozon

atmosfer, dan lain-lain (Tambayong, 2000). Selain faktor lingkungan, tanpa

disadari radikal bebas terbentuk secara terus menerus didalam tubuh manusia,

baik melalui proses metabolism sel normal, peradangan dan kekurangan gizi

(Winarsi, 2011). Radikal bebas merupakan molekul yang tidak memiliki elektron

berpasangan yang mudah bereaksi dengan senyawa lain (Kurniali dan Abikusno,

2007). Radikal bebas yang masuk kedalam tubuh sangat merusak sel sehingga

tubuh mengalami oksidasi dan penuaan (Planck, 2007). Tingginya radikal bebas

dalam tubuh ditunjukan dengan rendahnya aktivitas enzim antioksidan dan

tingginya kadar malondialdehid (MDA) dalam plasma (Winarsi, 2011).

Cara menetralisir radikal bebas yang masuk kedalam tubuh yaitu

dinetralkan dengan adanya antioksidan (Silalahi, 2010). Adanya oksidasi karena

radikal bebas dalam tubuh dapat dikendalikan oleh antioksidan. Antioksidan

bekerja dengan cara mendonorkan atom hidrogen ke radikal hidroksil sehingga

akan membentuk air. Kerusakan yang terjadi karena radikal bebas dapat

dikurangi dengan antioksidan. Dengan adanya antioksidan juga dapat mencegah

produksi radikal yang masuk kedalam tubuh (Youngson, 2005). Bahan makanan

yang mengandung antioksidan yang cukup tinggi salah satunya yaitu beras

hitam.

1
2

Beras hitam merupakan beras lokal yang mengandung pigmen paling baik

dibandingkan beras lainnya, beras ini memiliki khasiat yang lebih banyak

dibandingkan beras lainnya (Suardi dan Ridwan, 2009). Beras hitam merupakan

komoditi yang makin marak dipromosikan oleh industri pengolahan makanan dan

minuman di Asia dan Barat (Suardi dan Ridwan, 2009).

Di beberapa Negara sudah mulai dikenal nasi kecambah. Di Thailand

biasanya masyarakat mengonsumsi nasi kecambah, terutama nasi kecambah

dari beras putih. Salah satu alternatif untuk membuat nasi kecambah yaitu dari

beras hitam. Sedangkan di Indonesia, masyarakat masih sangat jarang

mengkonsumsi nasi beras hitam (Rahmawati, 2010).

Beras hitam memiliki kandungan antioksidan yang tinggi termasuk

kandungan antosianin yang tinggi 3,26 mg/100 g (Sutharut dan Sudarat, 2012).

Beras hitam juga mengandung hemiselulosa sebanyak 5,8% dan serat pangan

sebesar 7,5% (Sa’adah et al., 2013). Beras hitam yang dikecambahkan akan

mengalami peningkatan aktivitas antioksidan sebesar 10,11 µmol Trolox eqoiv./g

beras (Sutharut dan Sudarat, 2012). Beras dengan pericarp hitam mengandung

aktivitas antioksidan sebesar 60,04 mmol TE g (Walter et al., 2011), adapula

yang menyebutkan beras dengan pericarp hitam mengandung aktivitas

antioksidan sebesar 345,3 µmol TE g (Goffman dan Berman dalam Walter et al.,

2011). Adapula yang menyebutkan bahwa, aktivitas antioksidan dalam 100

µg/mL antosianin sebanyak 55,20% (Park, 2008).

Kandungan antioksidan dalam suatu bahan makanan akan menurun ketika

mengalami pengolahan terutama pemanasan. Proses perendaman biji

kerandang dapat menurunkan senyawa bioaktif (fenolik) sekitar 22,91% - 54,18%

sedangkan proses perebusan dapat menurunkan kandungan fenolik sekitar

27,49% - 38,41%. Apabila proses perendaman dan perebusan pada biji

kerandang, maka kandungan bioaktif (fenolik) menurun sekitar 34,10% - 75,34%.


3

Proses pengolahan juga menurunkan kemampuan antioksidan dalam menangkal

radikalpun. Perebusan biji kerandang selama 20 menit dapat menurunkan

aktivitas antioksidan sebesar 8,74%, sedangkan perendaman yang

dikombinasikan dengan perebusan dapat menurunkan aktivitas antioksidan

sebesar 62,43% (Djaafar, et al., 2012). Oleh karena itu, untuk mencegah

penurunan aktivitas antioksidan yang terlalu besar dapat menggunakan elisitor.

Peningkatan aktivitas antioksidan dalam beras hitam dapat ditingkatkan

dengan cara pemberian elisitor dengan metode elisitasi. Elisitor merupakan

molekul yang dapat meningkatkan sintesis metabolit sekunder (Radman et al.,

2003). Elisitasi adalah suatu metode yang digunakan untuk meningkatkan

produksi metabolit sekunder pada tanaman. Peningkatan aktivitas antioksidan

dipengaruhi oleh lama elisitasi (Garcia dan Encarna, 2013). Penambahan elisitor

gum xanthan 50 ppm pada sorgum dapat meningkatkan aktivitas antioksidan

sebesar 77,85% (Harahap, 2007). Dalam proses elisitasi dibutuhkan konsentrasi

elisitor, dimana konsentrasi elisitor sangat berperan penting dalam proses

tersebut. Konsentrasi elisitor yang terlalu tinggi dapat menginduksi hipersensitif

yang mengarah ke kematian sel, sedangkan pada tingkat yang optimal

dibutuhkan dalam proses induksi (Namdeo, 2007). Menurut Anggraeni

konsentrasi 100 ppm natrium alginat dapat memicu produksi senyawa fenolik.

Proses elisitasi tidak hanya meningkatkan kadar senyawa antioksidan tetapi juga

meningkatkan kemampuan sebagai antioksidan (aktivitas antioksidan)

(Anggraeni, 2003).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti perbedaan

konsentrasi elisitor dan lama elisitasi terhadap aktivitas antioksidan pada

kecambah beras hitam.


4

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana perbedaan konsentrasi elisitor dan lama elisitasi terhadap

aktivitas antioksidan pada kecambah beras hitam?

1.3. Tujuan penelitian

Mengetahui perbedaan konsentrasi elisitor dan lama elisitasi terhadap

aktivitas antioksidan pada kecambah beras hitam

1.4. Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat untuk akademik

Diharapkan penelitian ini dapat lebih mengenalkan beras hitam di

kalangan akademik dan mengetahui kandungan senyawa bioaktif yang

terkandung dalam beras hitam. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai salah

satu bahan untuk penelitian selanjutnya seperti penggunaan ellisitor untuk

meningkatkan senyawa bioaktif. Penelitian ini merupakan dasar dari

pengembangan produk beras hitam, dimana pada penelitian ini bertujuan untuk

meningkatkan aktivitas antioksidan pada beras hitam yang dikecambahkan.

1.4.2 Manfaat untuk praktisi

Diharapkan beras hitam dapat lebih dikenal di masyarakat. Masyarakat

dapat mengetahui kemampuan antioksidan dalam menangkal/menetralisir radikal

bebas serta manfaat beras hitam bagi kesehatan.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Beras Hitam

Beras hitam merupakan varietas lokal yang mengandung pigmen yang

paling baik dibandingkan dengan beras putih maupun beras lain. Warna beras

hitam diatur secara genetik sehingga perbedaan gen dapat mengatur warna

aleuron, endosperma dan komposisi pati pada endosperma (Suardi dan Ridwan,

2009) .

Gambar 2.1 Beras Hitam (Purwasaswita dan Sutaryat, 2014)

2.1.1 Klasifikasi beras hitam

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Traceobionta

Super divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Subkelas : Commelinidae

Ordo : Glumiflorae

5
6

Famili : Poaceae/Gramineae

Subfamili : Oryzoideae

Suku : Oryzeae

Genus : Oryza

Spesies : Oryza sativa L.

Sub spesies : japonica/sinica (Vaughan dalam Rahmawati, 2010)

2.1.2 Nama Lain beras hitam

Beras hitam dikenal dengan beberapa nama yaitu beras wulung (Solo),

beras gadog (Cibeusi, Subang, dan Jawa barat), cempo ireng / beras jlitheng

(Sleman), beras melik (Bantul), sedangkan orang china kuno mengenal beras

hitam dengan sebutan beras terlarang (Forbidden Rice) (Kristamtini, 2009).

2.1.3 Morfologi Beras hitam

Tanaman padi beras hitam memiliki tubuh yang tegap dan tinggi, rata-rata

mencapai 2 meter (DPPKP kab Purworejo, 2012). Batang padi mempunyai

bentuk ruas-ruas dengan rangkaian ruas-ruas yang panjangnya berbeda-bbeda.

Pada batang bagian bawah memiliki ruas yang pendek, semakin keatas maka

ruasnya akan semakin panjang. Daun tanaman padi ini memiliki ciri khas yaitu

adanya sisik dan telinga daun. Hal ini dapat membedakan padi beras hitam

dengan rumpun yang lain (Sucipto dalam Rahmawati, 2010).

Beras hitam memiliki perikarp, aleuron dan endosperm yang berwarna

merah, biru dan ungu pekat, warna tersebut menunjukan adanya kandungan

antosianin (Sa’adah et al., 2013).


7

2.1.4 Kandungan senyawa kimiawi fraksi pigmen pada beras hitam

Kandungan senyawa kimiawi fraksi pigmen pada 100 gram beras hitam

dapat dilihat pada tabel 2.1.4.

Tabel 2.1.4 Kandungan Senyawa Kimiawi Fraksi Pigmen Pada 100 Gram
Beras Hitam

Unsur Kadar (Unit/100 g)


Protein (g) 13,90
Lemak (g) 13,20
Karbohidrat (g) 47,36
Moisture (g) 9,80
Serat kasar (g) 8,32
Mineral (mg) 7420
Fosfor 1694,10
Kalsium 60,20
Magnesium 673,70
Natrium 79,40
Besi 2,11
Zinc 16,46
Tembaga 8,96
Selenium 1,49
Vitamin B1 (mg) 0,15
Vitamin B2 (mg) 2,30
Vitamin E (mg) 0,40
Asam Nikotinat 0,60
Flavonoids (g) 21,00
Sumber : (Xia, et al., 2003)

2.1.5 Khasiat beras hitam

Menurut (Suardi dan Ridwan, 2009) beras hitam berkhasiat untuk :

- Meningkatkan daya tahan tubuh

- Memperbaiki kerusakan sel hati

- Mencegah gangguan fungsi ginjal

- Mencegah kanker/tumor

- Memperlambat penuaan

- Antioksidan

- Membersihkan kolesterol dalam darah, dan

- Mencegah anemia
8

2.2 Perkecambahan

Perkecambahan (germinasi) adalah suatu proses keluarnya bakal

tanaman (tunas) dari lembaga disertai dengan terjadinya mobilisasi cadangan

makanan dari jaringan penyimpanan atau keping biji ke bagian vegetatif (sumbu

embrio) (Astawan, 2009). Perkecambahan merupakan proses metabolism biji

sampai menghasilkan pertumbuhan dari komponen kecambah (plumula dan

radikula). Perkecambahan adalah peristiwa tumbuhnya suatu embrio didalam biji

yang akan menjadi tanaman baru. Struktur biji pada tumbuhan monokotil dan

dikotil akan menghasilkan tsruktur kecambahn yang berbeda. Pada tumbuhan

monokotil, struktur kecambah meliputi radikula, akar primer, plumula, koleoptil,

dan daun pertama. Sedangkan pada tumbuhan dikotil meliputi akar primer,

hipokotil, kotiledon, epikotil dan daun pertama. Berdasarkan letak kotiledonnya,

perkecambahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu epigeal dan hypogeal

(Purnobasuki, 2011).

Kecambah adalah tumbuhan yang baru muncul dari biji dan bergantung

pada persediaan makanan yang terdapat pada biji (Mudiana, 2006).

2.2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Perkecambahan

2.2.1.1 Faktor dalam Biji

Faktor ini meliputi keadaan cadangan makanan (endosperm) dan keadaan

embrio. Cadangan makanan (endosperm) dalam biji berupa karbohidrat.

Cadangan makanan tersebut harus mencukupi persediaan makanan selama

proses perkecambahan. Dalam proses perkecambahan embrio harus dalam

keadaan hidup dan sehat karena akan menentukan proses pertumbuhan dan

sangat menentukan produksi yang akan dicapai (Aak, 2010).


9

2.2.1.2 Faktor Lingkungan

Merupakan faktor dari luar biji dan dapat membantu proses

perkecambahan biji (Aak, 2010). Faktor tersebut antara lain : air yang memadai,

komposisi udara, suhu yang cocok, cahaya, kelembaban dan waktu

(Purnobasuki, 2011). Air sebagai media untuk mengaktifkan zat-zat

pertumbuhan. Air dapat mengikat senyawa-senyawa yang mempunyai kutub O

dan N seperti senyawa methanol dan karbohidrat yang mempunyai gugus

hidroksil (OH) yang banyak terdapat pada biji. Ikatan air dengan senyawa lain

akan membentuk ikatan hidrat melalui ikatan hidrogen (Winarno dalam harahap,

2007). Pembentukan hidrat akan mengakibatkan pembengkakan dan

pemecahan kulit biji. Pada umumnya proses perkecambahan biji memerlukan

kadar air sebanyak 30-35% (Kamil dalam Harahap, 2007).

Komposisi udara akan mempengaruhi proses respirasi pada

perkecambahan. Pada umumnya, biji akan berkecambah dengan baik jika

kandungan oksigen dalam udara sebanyak 20% (Abidin dalam Harahap, 2007).

Suhu optimum bagi perkecambahan adalah 15-300C dan maksimal 34-400C

(kamil dalam Harahap, 2007).

Cahaya juga dapat mempengaruhi kecambah yang dihasilkan. Dimana

benih dapat digolonglan menjadi empat golongan. Golongan pertama, benih

membutuhkan cahaya mutlak untuk perkecambahan. Golongan kedua, benih

membutuhkan cahaya untuk mempercepat perkecambahan. Golongan ketiga,

cahaya dapat menghambat perkecambahan. Golongan empat, benih dapat

berkecambah dengan baik ditempat yang gelap maupun ada cahaya (Yuliana

dalam Harahap, 2007). Faktor terakhir yang mempengaruhi perkecambahan

yaitu waktu. Pada awal perkecambahan, asam gliberelik keluar dari embriotik

axis lalu masuk kedalam scatelium dan aleuron kira-kira 12 – 18 jam


10

perkecambahan yang dibutuhkan untuk mencerna amilosa dan amilopektin dan

merombak pati menjadi glukosa (Susanto dan Saneto dalam Harahap, 2007).

2.2.2 Pengaruh Perkecambahan Terhadap Nilai Gizi

Perkecambahan dapat mempengaruhi kandungan gizi yang ada didalam

biji. Sebelum dikecambahkan, zat gizi dalam kondisi terikat (tidak aktif). Setelah

dikecambahkan, zat gizi diubah dalam bentuk aktif sehingga dapat meningkatkan

daya cerna (Astawan, 2009). Sebagai contoh, pada perkecambahan kacang

hijau dapat meningkatkan produksi senyawa bioaktif seperti α-tokoferol dan

kadar air. Kadar protein, karbohidrat dan kadar abu tidak menurun, sedangkan

kadar lemaknya menurun (Anggrahini, 2007).

2.3 Elisitor

Elisitor merupakan molekul yang dapat meningkatkan sintesis metabolit

sekunder (Radman et al., 2003).

2.3.1 Kitosan

Kitosan merupakan komponen makromolekular alami dari kitin yaitu suatu

polisakarida yang dihubungkan oleh ikatan N-acetyl-2-Amino-2-deoxy-D-glucose

dengan ikatan β-(1,4) glycoside. Kitosan dibentuk dari kitin yang diubah menjadi

beberapa asetil. untuk mengubah kitin menjadi kitosan, perlu dilakukan eliminasi/

menghilangkan beberapa asetil. Sehingga pembentukan kitosan dilakukan

dengan deasetilasi (menghilangkan sebagian asetil), proses ini terdiri dari dua

metode yaitu metode kimia dan metode enzim (Yao et al., 2012).

Struktur kitosan merupakan kopolimer rantai lurus yang terdiri dari D-

glukosamin dan N-asetil-D-Glukosamin yang diperoleh dari proses deasetilase.

Selain kitin, struktur kitosan juga mirip dengan selulosa. Perbedaannya terdapat
11

pada atom C nomor dua dimana pada selulosa merupakan gugus hidroksil (-OH)

sedangkan pada kitosan yaitu gugus amina (-NH2) (Alvarenga, 2011). Struktur

kitin, kitosan dan selulosa dapat dilihat pada gambar 2.3.1.

Gambar 2.3.1 Struktur Kitin, Kitosan dan Selulosa (Alvarenga, 2011)

Kelarutan kitosan, biodegradasi, reaktivitas, dan adsorbs substrat

tergantung dari jumlah gugus amino yang terprotonasi dalam rantai polimer

sehingga proporsinya terbagi menjadi proporsi asetat dan non-asetat pada unit

D-glukosamin. Gugus amio dengan pKa 6,2 – 7,0 membuat terprotonasi dengan

lengkap, asam dengan pKa kurang dari 6,2 akan membuat kitosan larut

(Alvarenga, 2011).

Kitosan memiliki sifat tidak larut dalam air, pelarut organik dan air basa,

namun kitosan dapat larut setelah diaduk dengan asam seperti asam asetat,

asam nitrat, asam klorida, asam perklorat dan asam fosfat (Alvarenga, 2011).

Kitosan bersifat sebagai anti viral, anti bakteri dan anti jamur. Kitosan

terbukti dapat mencegah atau mengurangi kerusakan yang dilakukan oleh bakteri

pathogen dalam memanfaatkan nutrisi dan mineral dengan cara mengikat nutrisi

dan mineral atau dengan meningkatkan sistem pertahanan tanaman baik pada

tumbuhan monokotil maupun dikotil (Hadrami et al., 2010). Kitosan dianggap


12

sebagai salah satu polimer yang sering digunakan pada bidang biomedis dan

farmasi karena beberapa sifat kitosan yaitu biodegradabilitas, biokompatibilitas,

antimikroba, tidak bersifat toksik dan anti tumor (Alvarenga, 2011).

2.3.2 Gum xanthan

Gum xanthan merupakan polisakarida alami dan penting bagi industri

biopolymer. Gum xanthan ditemukan pada tahun 1950 an oleh Northern Regional

Research Laboratories (NRRL) di Departemen Pertanian Amerika Serikat (Garcia

et al., 2000). Gum xanthan dihasilkan oleh beberapa galur xanthomonas

campestris yang tersusun dari polisakarida dengan rantai glukosa dan

mempunyai percabangan samping dari molekul-molekul manosa dan asam

uronat dengan berat molekul sekitar 1 M (Makfoeld, et al., 2006).

Gum xanthan adalah heteropolisakarida dengan struktur utama yang

terdiri dari bentuk pentasakarida oleh dua unit glukosa, dua unit manosa dan satu

unit glukoronit (Garcia et al., 2000). Struktur gum xanthan dapat dilihat pada

gambar 2.3.2.

Gambar 2.3.2 Struktur Gum Xanthan (Makfoeld, et al., 2006)

Gum xanthan merupakan biopolimer sintetik yang larut dalam air yang

dibuat dengan meragikan karbohidrat. Gum xanthan banyak diaplikasikan pada

industri pangan sebagai pengental karena bersifat hidrokoloid dan penyuspensi

yang tahan panas dan cukup tahan terhadap asam maupun basa (Pudjaatmaka,
13

2002). Gum xanthan dapat digunakan sebagai aditif makanan karena bersifat

hidrokoloid, stabilitas kimianya, dan sifat fisika-kimianya tidak bergantung pada

pH (Makfoeld, et al., 2006).

Gum xanthan merupakan bubuk yang berwarna putih sampai krem yang

dapat larut dalam air panas maupun dingin, proses hidrasi terjadi cepat yang

membuat gum xanthan dapat mengikat air sehingga terbentuk viskositas yang

sangat tinggi walaupun solusinya rendah (Sharma et al., 2006). Berdasarkan

penelitian Food and drug Administration (FDA) tahun 1969, gum xanthan dapat

digunakan pada produk makanan dan telah mendapat ijin untuk standarisasi gum

xanthan pada beberapa makanan seperti keju dan produk keju, susu dan produk

susu, dressing, sirup dan lain-lain. Sedangkan USDA telah meregulasikan

penggunaan gum xanthan pada saus, gravies, dan roti yang diisi dengan daging

dan ayam (Sharma et al., 2006).

Gum xanthan tahan terhadap degradasi enzimatik oleh enzim yang

berbeda seperti protease, cellulose, hemicelluloses, pectinase dan amylase

(Sharma et al., 2006).

2.3.3 Natrium Alginat

Natrium alginat merupakan salah satu jenis alginat. Alginat adalah suatu

bahan yang digunakan untuk membentuk tekstur suatu produk pangan

(Pudjaatmaka, 2002). Natrium alginate adalah polisakarida yang terdiri unit gula

yang teroksidasi yang bergabung membentuk suatu polimer ionik. Unit tersebut

membentuk enam cincin yang bermuatan negatif yaitu kelompok –CO2. Atom

karbon C-1 dari satu cincin terhubung dengan oksigen atom ke atom karbon C-4

pada cincin berikutnya dalam rantai polimer (Flinn, 2009). Struktur natrium alginat

dapat dilihat pada gambar 2.3.3.


14

Gambar 2.3.3 Struktur Natrium Alginat (Flinn, 2009)

Rantai samping pada struktur alginate terdapat –CO2 dan berbagai

kelompok –OH sehingga membuat polimer alami ini bersifat sangat hidrofilik.

Natrium alginate digunakan sebagai bahan tambahan makanan pada berbagai

makanan olahan seperti es krim, yogurt, produk keju, kue, dan makanan ringan.

Zat aditif dalam makanan menyerap air, membantu membentuk emulsi

komponen air dan minyak dan memberikan tekstur yang lebih halus. Ion natrium

pada natrium alginate digantikan oleh ion kalsium yang menyebabkan interaksi

antara rantai polimer dan memberikan gel larut sehingga membentuk kalsium

alginat (Flinn, 2009).

2.4 Elisitasi

Elisitasi adalah suatu metode yang digunakan untuk meningkatkan

produksi metabolit sekunder pada tanaman dengan menambahkan suatu

substansi metabolit yang disebut sebagai elisitor. Elisitasi berfungsi untuk

meningkatkan produksi metabolit sekunder. Metode ini lebih efektif jika dibanding

dengan rekayasa genetika, hibridasi maupun cloning (Garcia dan Encarna,

2013). Proses elisitasi tidak hanya meningkatkan kadar senyawa antioksidan

tetapi juga meningkatkan kemampuan sebagai antioksidan (aktivitas antioksidan)

(Anggraeni, 2003).
15

Penelitian mengenai elisitasi dengan berbagai macam elisitor untuk

meningkatkan metabolit sekunder dapat dilihat pada tabel 2.4.

Tabel 2.4 Penelitian tentang Elisitasi menggunakan Berbagai Elisitor

No Elisitasi Hasil Sumber


1 Elisitasi menggunakan Dibandingkan xanthan gum, Anggraeni,
elisitor polisakarida pati, dan dekstrin, natrium 2003
dalam memproduksi alginat pada konsentrasi
antioksidan selama 300ppm dapat meningkatkan
germinasi biji kacang senyawa fenol sebesar
hijau 26,389ppm

Elisitasi digolongkan menjadi dua yaitu elisitasi yang dilakukan sebelum

pemanenan (pre-harvest) dan elisitasi yang dilakukan setelah pemanenan (post-

harvest) (Baenas, 2014).

2.4.1 Mekanisme Kerja Elisitor

Setiap sel pada sistem pertahanan yang dimiliki tanaman telah mempunyai

kemampuan dalam merespon pathogen dan tekanan dari lingkungan untuk

membangun respon pertahanan. Respon tanaman ditentukan oleh beberapa

faktor yaitu karakteristik genetic dan kondisi fisiologis. Langkah pertama respon

tanaman terhadap elisitor adalah persepsi stimulus oleh reseptor lokal di

membran plasma sel, seperti protein kinase yang memberikan persepsi pathogen

untuk sejumlah elisitor jamur atau bisa dilokalisasi dalam sel untuk memulai

proses sinyal yang mengaktifkan sistem pertahanan tanaman (Baenas et al.,

2014). Mekanisme umum pertahanan tanaman terhadap elisitor dapat dilihat

pada gambar 2.4.1.


16

Gambar 2.4.1 Mekanisme Umum Pertahanan Tanaman terhadap Elisitor


(Baenas et al., 2014)

2.5 Antioksidan

Secara kimia, antioksidan adalah senyawa pemberi electron (electron

donors). Secara biologis, antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal

atau menghambat dampak negatif oksidan didalam tubuh. Antioksidan bekerja

dengan cara mendonorkan satu elektron (H) kepada senyawa yang bersifat

oksidan sehingga aktifitas senyawa oksidan dapat dihambat (Winarsi, 2011).

Keseimbangan oksidan dan antioksidan sangat berkaitan dengan fungsi

system imun tubuh, terutama untuk menjaga integritas dan fungsi dari

membrane lipid, protein sel, dan asam nukleat serta untuk mengontrol

tranduksi signal dan ekspresi gen dalam sel imun (Winarsi, 2011).

Kadar antioksidan yang rendah dalam tubuh dapat menyebabkan

kerusakan oksidatif didalam tubuh yang juga dipicu dengan adanya senyawa

oksidan baik dalam bentuk radikal bebas maupun bentuk senyawa oksidatif

reaktif lain yang bersifat sebagai oksidator (Winarsi, 2011).

Antioksidan dikelompokkan menjadi dua yaitu antioksidan enzimatis dan

non-enzimatis. Antioksidan enzimatis seperti superoksida dismutase (SOD),

katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan non-enzimatis terbagi dalam

dua kelompok yaitu : 1) antioksidan larut lemak, seperti tokoferol, karotenoid,


17

flavonoid, quinon dan bilirubin. 2) antioksidan larut air, seperti asam askorbat,

asam urat, protein pengikat logam dan protein pengikat heme (Winarsi, 2011).

Dalam menanggulangi oksidan maupun stress oksidatif yang ada didalam

tubuh yaitu dengan adanya antioksidan enzimatis dan antioksidan non-enzimatis

(Winarsi, 2011).

Sistem pertahanan tubuh dibagi menjadi dua yaitu sistem pertahanan

preventif dan system pertahanan melalui pemutusan reaksi radikal berantai.

sistem pertahanan preventif dilakukan oleh kelompok antioksidan sekunder.

Pembentukan senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal

atau jika sudah ternentuk senyawa oksigen reaktif, maka senyawa tersebut

dirusak. Pengkelatan metal terjadi di ekstraseluler dan perusakan senyawa

oksigen reaktif terjadi di intraseluler terutama oleh sistem enzim. Sistem

pertahanan melalui pemutusan reaksi radikal berantai dilakukan oleh kelompok

primer (Winarsi, 2011).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dikelompokkan menjadi

tiga kelompok yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer

disebut juga antioksidan endogenus atau antioksidan enzimatis. Antioksidan

primer terdiri dari superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation

peroksidase. Jika suatu senyawa disebut sebagai antioksidan primer karena

senyawa tersebut dapa memberikan atom hidrogen secara cepat kepada

senyawa radikal sehingga senyawa radikal antioksidan yang terbentuk dapat

segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil (Winarsi, 2011).

Menurut Belleville dan Nabet dalam Winarsi (2011), antioksidan primer

bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas yang baru

atau mengubah radikal bebas menjadi molekul yang kurang reaktif. Karena

fungsinya sebagai penghambat pembentukan radikal bebas dengan cara

memutus reaksi berantai (polimerisasi) yang akan diubah menjadi produk yang
18

stabil, antioksidan ini juga disebut sebagai chain-breaking-antioxidant. Kerja dari

enzim katalase dan glutation peroksidase yaitu dengan cara mengubah H2O2

menjadi H2O dan O2 sedangkan SOD bekerja dengan cara mengkatalisis reaksi

dismutase dari radikal anion superoksida menhadi H2O2 (Winarsi, 2011).

Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau

antioksidan non-enzimatis. Antioksidan non-enzimatis dapat berupa komponen

nutrisi dari sayuran dan buah-buahan. System antioksidan non-enzimatis bekerja

dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan

cara menangkapnya sehingga radikal bebas tersebut tidak akan bereaksi dengan

komponen seluler (Winarsi, 2011).

Menurut Soewoto dan Lampe dalam winarsi (2011) Senyawa yang

tergolong dalam antioksidan sekuner meliputi vitamin E, vitamin C, karoten,

flavonoid, asam urat, bilirubin, dan albumin. Adapula yang berpendapat bahwa

asam lipoat yang terdapat dalam kentang, wortel, brokoli, yeast, bit, dan daging

merah juga bersifat sebagai antioksidan (Winarsi, 2011).

Antioksidan tersier terdiri dari system ensim DNA-repair dan metionin

sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler

yang rusak akibat reaktifitas radikal bebas. DNA yang rusak akibat terinduksi

senyawa radikal bebas memiliki ciri yaitu dengan rusaknya single dan double

strand baik gugus non-basa maupun basa. DNA yang rusak lebih banyak pada

DNA mitokondria dengan basa yang rusak yaitu 8-oksoguanin (Winarsi, 2011).

2.6 Aktivitas antioksidan

Aktivitas antioksidan adalah kemampuan antioksidan dalam menghambat

reaktivitas radikal bebas. Pengujian aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan

beberapa metode seperti metode 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH), Ferric

Reducing Natioxidant Power (FRAP) dan ORAC. Dalam menghambat radikal


19

bebas, antioksidan berperan sebagai pemberi electron atau reduktan. Senyawa

ini mempunyai berat molekul yang kecil tetapi mampu menginaktivasi

berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal

(Winarsi, 2011).

Aktivitas antioksidan oleh komponen bioaktif dalam beras hitam ditunjukan

dengan intensitas warna ungu DPPH. Beras hitam memiliki antosianin lebih tinggi

(0,0242 mg/g) dibandingkan dengan beras merah (0,0025 mg/g) namun beras

merah lebih tinggi kandungan flavonoid (0,849 mg/g) dan total fenolnya (37,93

mg/g sampel). Aktivitas antioksidan yang dimiliki beras hitam (0,43 mg equivalen

vitamin E/g sampel) tidak sebesar yang dimiliki oleh beras merah (0,90 mg

equivalen vitamin E/g sampel). Oleh karena itu, kemampuan antioksidan pada

beras hitam dalam menangkal radikal tidak sebaik beras merah (Monika et al.,

2013).
BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Kecambah Beras Proses Elisitasi dan


Hitam Perkecambahan

Mempunyai Radikal Bebas


Senyawa Bioaktif (Eksogen/Endogen)

Senyawa Antosianin Contoh :


(Berperan Sebagai Antioksidan) DPPH

Radikal bebas menerima


elektron dari antioksidan

Radikal bebas menjadi molekul


stabil

Uji Aktivitas Antioksidan

Metode Metode Metode Metode


Deoksiribosa Tiosianat Xhantine Oksidase DPPH

Sumber : (Putri, 2012)

Keterangan :

Variabel yang tidak diteliti : yang mempengaruhi

Variabel yang diteliti :

Variabel terikat :

Aktivitas antioksidan pada kecambah beras hitam dipengaruhi oleh jenis

elisitor, konsentrasi elisitor, lama elisitasi, dan lama perkecambahan itu sendiri.

Namun, variabel yang yang digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan

yaitu konsentrasi elisitor dan lama elisitasi. Jenis elisitor yang akan digunakan

20
21

yaitu elisitor yang diambil dari penelitian pendahuluan. Lama perkecambahan

tetap dilihat namun tidak dijadikan sebagai variabel.

3.2 Hipotesis Penelitian

Paling tidak ada perbedaan aktivitas antioksidan kecambah beras hitam

dengan konsentrasi elisitor dan lama elisitasi pada 2 kelompok


BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental.

Sedangkan rancangan percobaan penelitian yang digunakan yaitu Rancangan

Acak Kelompok (RAK) yang disusun dengan dua faktor. Faktor pertama yaitu

konsentrasi elisitor dan faktor kedua yaitu lama elisitasi.

Faktor I (KE) : Konsentrasi elisitor

KE1 = 100 ppm

KE2 = 150 ppm

Faktor II (E): Lama elisitasi

E1 = 4 jam

E2 = 6 jam

E3 = 8 jam

Dari kedua faktor tersebut menghasilkan kombinasi perlakuan

KE1E1 = konsentrasi 100 ppm dengan lama elisitasi 4 jam

KE1E2 = konsentrasi 100 ppm dengan lama elisitasi 6 jam

KE1E3 = konsentrasi 100 ppm dengan lama elisitasi 8 jam

KE2E1 = konsentrasi 150 ppm dengan lama elisitasi 4 jam

KE2E2 = konsentrasi 150 ppm dengan lama elisitasi 6 jam

KE2E3 = konsentrasi 150 ppm dengan lama elisitasi 8 jam

Untuk mengetahui berapa ulangan yang akan dilakukan pada proposal

penelitian ini menggunakan rumus dibawah ini :

Ulangan : (rt-1) – (t-1) ≥ V2 (Wardhana, 2012)

(r6-1) – (6-1) ≥ 6

23
24

6r-1 ≥ 6+5

6r ≥ 12

R ≥ 2 (3)

Keterangan :

V2 = derajat bebas galat

R = jumlah replikasi / pengulangan

t = perlakuan

Sehingga banyaknya ulangan yang diperoleh yaitu 3 kali ulangan. Dengan

demikian diperoleh sebanyak 6 x 3 = 18 unit/satuan percobaan.

4.2 Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah beras hitam dengan varietas cempo ireng

dari Sleman Yogyakarta.

4.3 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah :

Variabel terikat : aktivitas antioksidan

Variabel bebas : konsentrasi elisitor dan lama elisitasi

4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juni 2015.

Pembuatan kecambah beras hitam akan dilaksanakan di Laboratorium Biologi

dan analisa uji aktivitas antioksidan akan dilaksanakan di Laboratorium Kimia

dan Pengujian Mutu dan Keamanan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Brawijaya.
25

4.5 Bahan dan Alat / Instrumen

4.5.1 Bahan

4.5.1.1 Bahan untuk penelitian pendahuluan

Elisitor yang akan digunakan untuk penelitian pendahuluan yaitu tanpa

elisitor (kontrol), kitosan, gum xanthan, natrium alginat. Bahan untuk

analisa aktivitas antioksidan dengan metode DPPH yaitu methanol dan

asam askorbat (sebagai standar) dan reagen DPPH 0,2 mM dalam

pelarut methanol.

4.5.1.2 Bahan untuk pelaksanaan penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras hitam varietas

cempo ireng dengan elisitor yang telah didapat dari penelitian

pendahuluan. Bahan untuk analisa aktivitas antioksidan dengan metode

DPPH yaitu methanol dan asam askorbat (sebagai standar) dan reagen

DPPH 0,2 mM dalam pelarut methanol.

4.5.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jam, gelas sampel /

mangkok, timbangan digital, timbangan analitik, kertas saring halus, pipet

volume 1 ml, pipet volume 10 ml, labu ukur 25 ml, labu ukur 10 ml, dan

spektrofotometer.
26

4.6 Definisi Operasional

Tabel 4.6 Definisi Operasional

Variabel Definisi operasional Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala

Konsentrasi Jumlah elisitor yang dapat Menimbang Timbangan digital 1. 100 ppm Ordinal

elisitor meningkatkan kandungan konsentrasi elisitor 2. 150 ppm

antioksidan dalam beras

hitam

Lama elisitasi Waktu yang dibutuhkan untuk Menghitung waktu Pengukur waktu 1. 4 jam Ordinal

merendam beras hitam yang perendaman (jam) 2. 6 jam

telah ditambahkan dengan 3. 8 jam

elisitor

Aktivitas Kandungan aktivitas Metode DPPH Spektrofotometer Jumlah kandungan aktivitas Rasio

antioksidan antioksidan yang dihasilkan antioksidan pada setiap satuan

dari kecambah beras hitam percobaan yang dinyatakan dalam

persen (%)
27

4.7 Prosedur Penelitian / Pengumpulan Data

4.7.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui jenis elisitor apa yang

akan digunakan pada pelaksanaan penelitian. Jenis elisitor yang akan dianalisis

pada penelitian pendahuluan yaitu kitosan, gum xanthan, natrium alginat, serta

kontrol. Konsentrasi elisitor yang digunakan yaitu 100 ppm. Lama elisitasi yang

digunakan yaitu 4 jam. Sedangkan lama perkecambahan yang digunakan yaitu

24 jam.

4.7.2 Pelaksanaan Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu memilih beras hitam yang

akan digunakan yaitu beras hitam varietas cempo ireng. Proses perkecambahan

dimulai dari perendaman. Saat perendaman ditambahkan dengan elisitor. Elisitor

yang ditambahkan yaitu elisitor yang diambil dari penelitian pendahuluan, proses

ini disebut sebagai elisitasi. Konsentrasi elisitor yang digunakan yaitu 100 ppm

dan 150 ppm. Lama elisitasi yang digunakan yaitu 4 jam, 6 jam, dan 8 jam.

Jumlah larutan elisitor yang ditambahkan untuk perendaman beras hitam adalah

1:5, yang artinya setiap satu gram berat beras hitam ditambahkan 4 ml larutan

elisitor. Beras yang telah dicuci dimasukkan kedalam gelas sampel dan

ditambahkan dengan larutan elisitor.

Beras hitam yang telah selesai direndam selanjutnya ditiriskan. Setelah itu,

beras hitam disimpan sementara dan ditata diatas kertas / tissue. Proses

penyimpanan sementara di atas kertas bertujuan untuk menyerap kadar air

sehingga kadar air dalam beras hitam tidak berlebih.

Proses selanjutnya adalah kecambah beras hitam. Perkecambahan

dilakukan pada suhu kamar 250C dan lama perkecambahan selama 24 jam.

Proses perkecambahan dapat dilihat pada diagram alir dibawah ini.


28

Diagram Alir

Beras hitam

Penambahan Konsentrasi
jenis elisitor elisitor
Direndam

Ditiriskan

Dikecambahkan

Kecambah
beras hitam

4.7.3 Pengujian Aktivitas Antioksidan

Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH. Pertama-

tama sampel kecambah beras hitam dihaluskan dengan menggunakan

mortar sampai halus. Dilakukan pengenceran sampel sebanyak 1:100 dalam

pelarut metanol. Sampel disaring dengan kertas saring halus kemudian

diambil 2 ml menggunakan mikropipet dimasukkan dalam tabung reksi dan

ditambahkan reagen DPPH 0,2 mM dalam pelarut metanol sebanyak 1ml.

Divortex hingga homogen. Selanjutnya didiamkan selama 30 menit pada

suhu ruang (25-27oC) dan kedap cahaya. diukur absorbansi menggunakan

spektrofotometri pada panjang gelombang 517nm. Dihitung kapasitas

antioksidan dan nilai Asam Askorbat Ekuivalen (AAE).

Aktivitas antioksidan dihitung dengan rumus sebagai berikut :

% inhibisi = [(Akontrol – Asampel)x 100]/Akontrol

Keterangan : Akontrol = absorbs dari kontrol

Asampel = absorbs dari sampel


29

4.8 Analisis Data

Data kadar aktivitas antioksidan akan dianalisis menggunakan program

SPSS (Statistical Package for Social Science) versi 16. Data tersebut akan

dianalisis dengan uji One way Anova. Jika ada pengaruh yang signifikan, maka

dilanjutkan dengan uji Post hoc.


30

DAFTAR PUSTAKA

Aak, 2010. Teknik Bercocok Tanam Jagung. Yogyakarta: Kanisius.

Alvarenga, E.S. de, 2011. Characterization and Properties of Chitosan.


Biotechnology of Biopolymers. www.interchopen.com.

Anggraeni, 2003. Pengaruh Penggunaan Polisakarida sebagai Elisitor untuk


Produksi Antioksidan salaam Germinasi Biji Kacang Hijau (Phaseolus
radiates, Linn). Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Anggrahini, S., 2007. Pengaruh Lama Perkecambahan terhadap Kandungan α-


tokoferol dan Senyawa Proksimat Kecambah Kacang Hijau (Phaseolus
radiates L.). Agritech, Vol. 27, No. 4.

Astawan, M., 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang-kacangan dan Biji-bijian.


Jakarta: Penebar Swadaya.

Baenas, N., Cristina, G.V., and Diego A.M. 2014. Elicitation: A Tool for Enriching
the Bioactive Composition of Foods. Molecules. Vol. 19, 13541-13563.

Djaafar, T.F., Umar Santosa, Muhammad Nur Cahyanto, dan Endang Sutriswati
Rahayu, 2012. Pengaruh Perendaman dan Perebusan terhadap Kandungan
protein, Gula, Total Fenolik, dan Aktivitas Antioksidan Kerandang (Canavalia
virosa). Agritech, Vol. 32, No. 3.

Flinn Scientific, 2009. Sodium Alginate. Flinn Scientific-Teaching Chemistry


eLearning Video Series.

Garcia-Ochoa, F., V.E. Santos, J.A. Casas, dan E. Gomez, 2000. Xanthan gum:
production, recovery, and properties. Biotechnology Advances. Elsevier.

Garcia, Y.R., dan G.P. Encarna, 2013. Elicitors : A Tool for Improving Fruit
Phenolic Content. Agriculture. Vol. 3, 33-52

Hadrami, A.E., L.R. Adam, I.E. Hadrami, dan F. Daayf, 2010. Chitosan in Plant
Protection. Mar. Drugs, Vol. 8, 968-987.

Harahap, V.F., 2007. Studi Aktivitas antioksidan Susu Kecambah Kedelai Hasil
Elisitasi Gum Xanthan 50 ppm – Na-Alginat 200 ppm dengan berbagai

30
31

Waktu Germinasi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi


Pertanian Universitas Brawijaya.

Kristamtini. 2009. Mengenal Beras Hitam dari Bantul. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Yogyakarta.

Kurniali, P.C. dan Nugroho Abikusno, 2007. Physical Intelligence Series Healthy
Food for Healthy People. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Makfoeld, D., Djagal Wiseso marseno, Pudji Hastuti, sri anggrahini, Sri raharjo,
sudarmanto sastrosuwignyo, et al., 2006. Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi.
Yogyakarta: Kanisius.

Monika, P., William Saputrajaya, Christian Ligouri, Paini Sri Widyawati, Anita
Maya Suteja, dan Thomas Indarto putut Suseno, 2013. Aktivitas Antioksidan
Beras Organik Varietas Lokal (Putih, Varietas Cianjur, Merah Varietas
Saodah, Hitam Varietas Jawa). Seminar Nasional: Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian
Universitas Trunojoyo Madura.

Mudiana, D., 2006. Perkecambahan Syzygium cumini (L.) Skeels. Balai


Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Pasuruan.

Namdeo A.G., 2007. Plant Cell Elicitation for Production of Secondary


Metabolites: A Review. Pharmacognosy Reviews vol 1, Issue 1, Jan-May.
PHCOG REV.

Park, Y.S., Sun-Joong Kim, dan Hyo-Ihl Chang, 2008. Isolation of Anthocyanin
from Black Rice (Heugjinjubyeo) and screening of its Antioxidant Activities.
Kor. J. Microbial. Biotechnol. Vol. 36, No. 1, Hal 55-60.

Planck, N., 2007. Real Food: Hidup Bebas Penyakit dengan Makanan Alami.
Yogyakarta: B-first (PT Bentang Pustaka).

Pudjaatmaka, A. Handayana, 2002. Kamus Kimia. Jakarta: Balai Pustaka.

Putri, Ayesa NR. 2012. Uji Analisis Antioksidan Daun Sirsak Dengan Metode
DPPH. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah. file:///F:/SKRIPSI/GBR/jurnal%20dipake/kerangkan%20
konsep.pdf, diakses pada 05 Juni 2015.
32

Purnobasuki, H., 2011. Perkecambahan.

Radman, R., Saez, T., Bucke, C., and Keshavarz, T. 2003. Elicitacion of Plant
and Microbial Cell Systems. Biotechnology Applied Biochemistry, Vol.37, pp.
91-102

Rahmawati, A., 2010. Efek Ekstrak Bekatul Beras Hitam (Oryza sativa L)
terhadap Perbaikan Luka pada Mukosa Lambung Mencit yang dipapar
Aspirin. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Sa’adah, I.R., Supriyantana dan Subejo. 2013. Keragaman Warna Gabah dan
Warna Varietas Lokal Padi Beras Hitam (Oryza Sativa L.) yang
dibudidayakan oleh Petani Kabupaten Sleman, Bantul dan Magelang.
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Silalahi, J., 2010. Makanan Fungsional. Yogyakarta: Kanisius.

Sharma, B.R., Naresh L., N.C. Dhuldhoya, S.U Merchant dan U.C. Merchant,
2006. Xanthan Gum – A Born to Food Industry. Food promotion Chronicle,
Volume 1(5), Halaman 27-30. LUCID

Suardi, D. dan Iman Ridwan, 2009. Beras Hitam, Pangan Berkhasiat yang Belum
Populer. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 31. N0. 2.

Sutardi dan Supriyadi, 1996. Sifat Tepung Sukun dan Kesesuainnya untuk Diolah
Menjadi Berbagai Produk Olahan Makanan Kecil. Majalah Pangan No. 2 Vol.
VII. Jakarta.

Sutharut, J dan J. Sudarat, 2012. Total Anthocyanin content and antioxidant


activity of germinated colored rice. Naresuan University. International Food
Research Journal.

Tambayong, J., 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Winarsi, H., 2011. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius.

Xia, M., Wen Hua Ling, Jing Ma, David. Kitts dan Jerzy Zawitstowski, 2003.
Suplementation of Diets with the Black Rice Pigment Fraction Attenuates
Atherosclerotic Plaque Formation in Apolipoprotein E Deficient Mice. The
Journal of Nutrition.
33

Yao, K., Junjie Li, Fanglian Yao, dan Yuji Yin, 2012. Chitosan-Based Hydrogels
Functions and Applications. U.S: CRC Press.

Youngson, R., 2005. Antioksidan: Manfaat Vitamin C dan E Bagi Kesehatan. Alih
bahasa: Susi Purwoko. Jakarta: Acran.

Anda mungkin juga menyukai