Anda di halaman 1dari 4

Cuti

Oleh : Dadang Ari Murtono

Rustam pergi ke kios koran untuk mendapatkan semua koran dan majalah dan tabloid
yang menayangkan liputan tentang peristiwa di depan petilasan Syeh Jabarudin dan
memeriksa bagaimana reaksi publik atasnya.

Rustam mengatakan kepada bosnya bahwa ia butuh cuti. Ia baru saja menghabiskan
dua bulan penuh lembur untuk memasang perangkat-perangkat pada gumpalan
mendung dan menghubungkannya melalui sinyal satelit dengan sebuah pengendali
jarak jauh. Ia juga merekatkan kabel-kabel mikro pada cabang beringin besar di depan
petilasan Syeh Jabarudin yang bisa meletus tepat pada waktu yang telah disetel dan
mematahkan cabang itu tanpa meninggalkan bekas-bekas adanya kabel atau bahan
peledak sedikit pun.

”Saya benar-benar capek,” katanya. ”Apalagi, saya harus bekerja larut malam dan
memastikan semua orang di sekitar petilasan sudah tertidur sebelumnya.”

Bosnya memasang tampang keruh dan menggeleng. ”Kau tahu kita banyak
pekerjaan,” kata bosnya. ”Jika aku memberimu cuti, semua orang akan minta cuti dan
sebentar lagi, semua orang suci akan kehilangan kesuciannya!”

”Tapi saya benar-benar capek,” Rustam berkata dengan wajah memelas. Ia


menunjukkan kerut-kerut di bawah kelopak matanya dan lebam biru di kedua
lengannya.

”Aku tahu tempat pijat dan totok wajah yang bagus di pinggiran kota,” kata bosnya.
”Aku akan menghubungi mereka supaya kau dapat diskon.”

Pada kenyataannya, bosnya tidak memberi tahu Rustam di mana tempat pijat dan
totok wajah tersebut–apalagi memintakan diskon untuknya. Alih-alih melakukan hal
itu, bosnya justru memberi tugas tambahan. Karena semua orang sedang sibuk, kata
bosnya, Rustam mesti membereskan prosedur terakhir dari pekerjaannya sendiri, yang
biasanya dikerjakan oleh tim lain.

Keluar dari ruangan bosnya, Rustam pergi ke kios koran untuk mendapatkan semua
koran dan majalah dan tabloid yang menayangkan liputan tentang peristiwa di depan
petilasan Syeh Jabarudin dan memeriksa bagaimana reaksi publik atasnya.

Prosedur ini tidak begitu rumit. Hanya membutuhkan sedikit ketelatenan dan
kesabaran. Dan setelah itu semua selesai, Rustam mesti membuka laptop, berselancar
di dunia maya untuk menemukan tulisan-tulisan di blog atau situs berita atau video
yang menyinggung-nyinggung tentang peristiwa malam itu. Bagian ini agak rumit
karena ruang tak terbatas yang disediakan internet. Dan yang paling sulit dari itu
semua adalah komentar-komentar orang di media sosial. Namun, bagaimanapun, ia
memang mesti melakukannya.
Istri Rustam sudah menyiapkan rencana liburan selama satu minggu ke Bali. Dan
ketika Rustam memberi tahu perempuan itu bahwa bosnya tidak memberi cuti, si istri
naik pitam.

”Bahkan Daendels tidak sekejam bosmu,” seru istri Rustam.

”Dari mana kau tahu Daendels tidak sekejam ini?” tanya Rustam lelah.

”Bukan itu intinya,” istri Rustam membanting kaki untuk mengurangi kekesalan.

Istri Rustam sudah berkali-kali mengatakan agar Rustam mencari pekerjaan lain.
”Dengan kemampuanmu,” kata istri Rustam suatu ketika, ”Kau bisa diterima di
perusahaan mana pun yang kau mau.”

Namun, sesungguhnya keduanya tahu bahwa kenyataannya tidak seperti itu. Rustam
mungkin bisa mendapat pekerjaan lain, namun itu tentu tidak mudah. Bertahun-tahun
yang lalu, Rustam bekerja sebagai teknisi seorang tukang sulap. Ia menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk berpindah dari satu kota ke kota lain, mengikuti
jadwal tur si tukang sulap. Tugasnya hanya satu, namun rumit luar biasa, yaitu
memastikan bahwa keajaiban-keajaiban yang ditunjukkan tukang sulap benar-benar
berhasil.

Rustam membuat sebuah gembok yang terlihat kokoh dan tidak bisa dibuka oleh
orang lain, namun bisa terbuka dengan sekali sentakan oleh si tukang sulap yang
dimasukkan ke dalam kotak kaca berisi air dalam keadaan terkerangkeng; Rustam
menciptakan lapisan kaca tipis bening yang dibentangkan di atas kolam renang,
sehingga si pesulap bisa berjalan di atasnya seperti berjalan di permukaan air dan
asisten lainnya–dua orang perempuan muda mengenakan bikini–berenang-renang di
bawah lapisan kaca itu; Rustam membikin mesin kecil bertenaga listrik dari baterai
kecil di sepatu si pesulap sehingga si pesulap bisa terbang setinggi setengah meter
dari permukaan tanah tanpa menimbulkan suara bising atau asap polusi; dan
seterusnya.

Untuk semua kesulitan itu, ia dibayar murah–sedikit di atas UMR Yogyakarta meski
ia juga mendapat jatah makan dua kali sehari dan tempat menginap sepanjang tur
berlangsung. Dan pada waktu itu pula, istrinya mulai sering berkata agar Rustam
mencari pekerjaan lain dan meyakinkan Rustam bahwa dengan kemampuan yang ia
punya, ia bisa bekerja di perusahaan mana pun yang ia mau. Menuruti perkataan
istrinya, Rustam mengirim banyak sekali surat lamaran kerja. Dan tahun-tahun berlalu
tanpa satu pun panggilan kerja datang kepadanya. Sepanjang waktu itu, mau tak mau,
Rustam tetap bertahan sebagai teknisi si tukang sulap.

Kemudian takdir bekerja dengan cara yang sama sekali di luar dugaan. Suatu kali, di
Surabaya, seusai pertunjukan sulap di mana si pesulap keluar dalam kondisi sempurna
dari kobaran api yang diciptakan oleh Rustam, seorang lelaki menemui Rustam di
belakang panggung. Lelaki itu–yang kelak menjadi bosnya–menawarinya bergabung
dengan sebuah perusahaan yang baru didirikan.

”Kau akan mendapat gaji besar,” kata lelaki itu. ”Jauh lebih besar ketimbang yang
bisa kauhasilkan seumur hidup di kelompok sulap menyedihkan yang tak tahu
bagaimana menghargai seorang jenius sepertimu ini. Dan yang lebih penting dari itu,
kau akan bekerja untuk Tuhan.”

Pada masa orientasi singkat di hari-hari pertama Rustam bergabung dengan


perusahaan itu, bosnya memberi tahu bahwa ide mendirikan perusahaan itu muncul
pada bulan Februari 2010, ketika teknologi membuat banyak kaum Muslim
mempertanyakan ketepatan arah kiblat masjid-masjid di Indonesia, dan MUI
mengeluarkan fatwa nomor 3 tahun 2010 yang menyebutkan bahwa jika Ka’bah tidak
terlihat, orang yang salat cukup menghadap sebisa mungkin ke arah Ka’bah–dan jika
Indonesia berada di sisi timur Makkah, maka orang Indonesia bisa salat menghadap
barat.

Banyak orang tidak menyukai fatwa itu. Kemajuan teknologi telah memberi tahu
mereka dengan sangat meyakinkan bahwa selama ini mereka salat menghadap
Ethiopia dan mereka segera khawatir bahwa doa-doa yang mereka panjatkan kesasar
entah ke mana. Pada akhirnya, untuk meredakan ketegangan di kalangan umat, MUI
meralat fatwanya sendiri dengan mengeluarkan fatwa baru nomor 5 tahun 2010 yang
memutuskan untuk mengubah kiblat masjid ke arah barat laut.

Rustam tidak mengerti apa hubungannya hal itu dengan perusahaan yang ia masuki.

”Kiblat Masjid Demak, masjid pertama di Pulau Jawa, tidak ditentukan berdasarkan
citraan satelit atau panduan GPS, melainkan oleh karomah Sunan Kalijaga,” kata
bosnya. ”Setengah milenial yang lalu, Sunan Kalijaga memegang ujung kubah Masjid
Demak di satu tangan dan Ka’bah di tangan lain, dan meluruskan keduanya. Semua
orang melihat itu. Dan sampai kini, ribuan orang datang ke Masjid Demak untuk
mengagumi bukti dari kisah bagaimana luar biasanya penentuan kiblat di sana. Kau
tahu apa artinya?”

Rustam menggeleng.

”Teknologi mengatakan hal yang berlainan dengan karomah sang sunan,” kata
bosnya, ”sains dan teknologi membunuh orang suci kita. Bayangkan berapa banyak
orang yang kehilangan kepercayaan pada beliau–maksudku Sunan Kalijaga yang
mulia, karena hal itu. Dan bayangkan berapa banyak para peziarah yang tidak jadi
berkunjung oleh karena ketidakakuratan karomah itu. Kerugian ini pada akhirnya juga
berimbas pada perekonomian masyarakat sekitar masjid.”

”Setahu saya,” kata Rustam pada akhirnya, ”Arah kiblat Masjid Demak tidak
berubah.”

”Itu,” kata bosnya, ”Akibat desakan sejumlah orang yang tidak mau kesucian Sunan
Kali ternoda. Namun, itu cara yang tidak halus. Terlalu dipaksakan. Dan akan selalu
ada orang yang mengingat peristiwa itu. Dan untuk itulah perusahaan ini didirikan.
Kau mengerti, untuk memastikan bahwa karomah-karomah orang suci zaman dulu
tetap berlaku, bahkan seandainya itu bertentangan dengan sains dan hukum alam.
Menjaga karomah orang suci, berarti menjaga keistimewaan yang diberikan Tuhan
kepada mereka. Itulah sebabnya aku mengatakan perusahaan ini bekerja untuk
Tuhan.”
Rustam mengangguk. ”Sepertinya ini bukan pekerjaan yang mudah,” katanya.

”Dan ingat,” kata bosnya, ”ada industri besar yang bergantung pada ini. Nasib ribuan
orang yang menggantungkan diri pada usaha perziarahan. Kau mengerti, kan?”

Ketika Rustam mengatakan apa yang mesti ia kerjakan untuk perusahaan itu, istrinya
bersorak. ”Kau akan masuk Surga setelah mati. Kau bekerja untuk Tuhan,” kata
istrinya. ”Dan karena aku istrimu, maka aku juga akan kau ajak serta, bukan?”

Istrinya yakin, tak ada pekerjaan sebaik pekerjaan Rustam yang baru.

Pada waktu itu, Rustam belum tahu jika kesulitan-kesulitan yang bakal ia hadapi akan
sebesar itu–jauh di luar dugaannya. Ia mesti menyiapkan sejumlah keajaiban tanpa
sepengetahuan orang lain. Dan untuk itu, perusahaan telah mengembangkan obat tidur
yang bisa ditabur di udara. Mereka menemukan obat itu setelah usaha-usaha merapal
aji penyirep yang telah dipraktikkan orang di Jawa selama ratusan tahun tak kunjung
berhasil.

”Ada masalah apa sih dengan orang-orang suci itu,” kata Rustam suatu kali, ”Kenapa
mereka suka sekali mengatakan hal-hal yang sangat mustahil?”

Syeh Jabarudin adalah kesulitan kesekian yang ditangani Rustam. Orang suci dari
abad 16 itu suatu kali pernah mengatakan bahwa ia akan datang di setiap peringatan
haulnya, datang bersama hujan deras dan sambaran petir pada cabang pohon beringin
yang tumbuh di depan tempatnya moksa ke langit ke tujuh.

Masalahnya, haul Syeh Jabarudin selalu bertepatan dengan puncak bulan kemarau.

”Memangnya setelah ini,” kata istri Rustam pada akhirnya, ”Karomah siapa lagi yang
mesti diwujudkan sehingga setiap karyawan sibuk seperti itu?”

”Sunan Bonang,” kata Rustam. ”Salah satu wali terbesar di Tanah Jawa, jauh lebih
besar ketimbang Syeh Jabarudin. Konon, ia pernah mengubah aliran Kali Brantas
dekat Kertosono meski sejumlah ahli saat ini mengatakan perubahan aliran kali itu
disebabkan letusan gunung berapi pada abad 16. Dan Sunan Bonang mengatakan
aliran itu akan kembali ke tempatnya semula setelah lima ratus tahun. Seharusnya, itu
sudah atau segera terjadi dalam waktu dekat.”

Istri Rustam melotot. ”Kalian akan mengubah aliran sungai tanpa diketahui oleh siapa
pun? Tahu-tahu aliran itu sudah berubah pada suatu pagi dan orang-orang terkejut
melihatnya?”

”Persis,” kata Rustam.

”Kau tidak akan pernah mendapatkan cuti,” keluh istri Rustam. ”Dan kita tidak akan
pernah pergi liburan ke Bali.”

Anda mungkin juga menyukai