Anda di halaman 1dari 13

Kesejahteraan Yang Tidak Terpenuhi

"SEJAHTERA, MIMPI KAMI DI PELOSOK DESA"

Transkrip

Kali ini tim Indonesiaku tiba di kabupaten Hulu sungai Selatan. Kabupaten Hulu Sungai Selatan
adalah salah satu kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Ini memiliki luas
1.804,94 km², dan populasi 212.485 jiwa perkiraan resmi terbaru adalah 235.217 jiwa. Ibu
kotanya adalah Kandangan Kota. Kami akan menuju ke desa paramasan atas yang sangat
terpencil secara administratif desa tujuan kami termasuk bagian wilayah dari kabupaten Banjar,
Tidak ada kendaraan khusus yang bisa membawa kami, beruntung kami bertemu dengan
beberapa orang yang akan berjuang ke desa paramasan. Sebelum berangkat para penjual bersiap
menghadapi jalan yang rusak, dengan melihat modifikasi pada motor tampaknya akses jalan
yang mereka lewati tidak mudah.

Reporter (Dinda Tahier ) : "Jika secara administratif desa paramasan atas itu merupakan
bagian dari Kabupaten Banjar tapi akses yang paling dekat dan cepatnya melalui kabupaten hulu
sungai selatan dan dari kawasan kusan ini kami harus menempuh perjalanan selama kurang lebih
10 km lagi dan menurut kabar akses perjalanan kami menuju kesana cukup sulit, seperti apa
perjalanan kami ikuti terus Indonesiaku".

Setelah merasa cukup kami pun berangkat. Dari sini jalan sudah berupa tanah semakin jauh
tanah semakin berlumpur beruntung ada jejeran kayu untuk memudahkan motor melintas. Bagi
warga deretan kayu ini adalah jembatan di bangun seadanya dari kayu yang ada di hutan, dengan
adanya fasilitas ini kami memang tidak harus melewati tanah lumpur yang dalam tapi tidak
mudah untuk melaju di atas kayu-kayu ini. Pasalnya kayu-kayu ini menjadi licin setelah
berbulan-bulan menjadi pijakan motor dan kendaraan lainnya, kami pun harus saling bahu
membahu mendorong dan menjaga motor agar tidak terjatuh. Seharusnya perjalanan dapat
ditempuh dalam 1 jam dengan keadaan seperti ini durasi perjalanan akan bertambah 3x lipat. Jika
hanya membawa diri sendiri mungkin perjalanan tidak akan seberat ini namun mereka harus
menahan bobot jualan yang tidak sedikit, satu motor saja bisa membawa bobot hingga lebih dari
100 kilo gram.. Hampir semua kebutuhan pokok mereka bawa, mulai dari kebutuhan dapur
seperti garam, gula, cabai, bawang merah, bawang putih, minyak goreng hingga bensin tentu
harganya berbeda dengan daerah lain, jika sudah masuk ke desa paramasan atas harganya bisa
berbeda hingga lebih dari 10 ribu rupiah meskipun harus melewati perjalanan yang sulit penjual
seperti Ahim justru lebih senang berjualan di desa paramasan atas pasalnya dia lebih sering
mendapatkan keuntungan.

Reporter (Dinda Tahier) : "Bapak udah dari kapan pak jualan bolak balik keluar masuk desa
paramasan atas ini".

Ahim (penjual bahan sembako) : "Dari tahun 2003".

Reporter (Dinda Tahier) : "Dari tahun 2003 ya".

Ahim (penjual bahan sembako) : "Iya".

Reporter (Dinda Tahier) : "Kenapa milih jualan disana pak?".

Ahim (penjual bahan sembako) : "Ya kalo disini kan lebih mahal".

Reporter ( Dinda Tahier) : "Jadi lebih untuk berjualan disana?".

Ahim (penjual bahan sembako) : "Ya lebih untung".

Reporter (Dinda Tahier) : "Emang harganya tuh bisa beda berapa pak?".

Ahim (penjual bahan sembako) : "Bisa satu ribu, bisa sepuluh, bisa lima belas".

Namun tidak jarang juga Ahim merugi bagaimana tidak tanah berlumpur yang sangat
menghambat laju kendaraan kerap membuat motor tersungkur bahkan terbaik. Sehingga barang
bawaan yang dibawa juga sering berjatuhan. Barang paling rentan adalah minyak goreng dan
bensin guncangan hebat setiap melintas sering membuat tutup jerigen lepas dan menghamburkan
isinya, namun bagi mereka keuntungan masih lebih besar dibanding kerugian yang didapat
sulitnya medan jalan besarnya tenaga dan resiko yang mereka hadapi sudah tidak jadi
perhitungan.
Reporter (Dinda Tahier) : "Ada apa tuh pak?".

Ahim (penjual bahan sembako) : "Bikin anu jembatan mbak".

Reporter (Dinda Tahier) : "Oooo lagi pada gotong royong bikin jembatan".

Ahim (penjual bahan sembako) : "Iya bikin jembatan sama kepala desanya".

Reporter (Dinda Tahier) : "Ohh gitu".

Ahim (penjual bahan sembako) : "Iya".

Reporter (Dinda Tahier) : "Jadi di depan sana ada warga yang dari desa paramasan atas lagi
bergotong royong untuk membuat jembatan mungkin memang jalannya sudah seperti ini saya
mau lihat kesana".

Reporter (Dinda Tahier) : "Wah ini jalannya lewat mana ini".

Ternyata warga yang berkumpul hari ini sedang membuat jembatan, bukan jembatan untuk
menghubungkan daratan dengan sungai tapi untuk menghubungkan jalan lunak dan berlumpur
dengan daratan yang lebih keras. Berasa kesulitan setiap kali melintas membuat warga berinsiatif
untuk menggelar kerja bakti, ternyata beberapa jembatan serupa yang kami lewati di awal
perjalanan adalah hasil gotong royong warga. Seadanya tapi sangat krusial dengan
memanfaatkan kayu yang ada di hutan mereka bisa menyambung jalan setidaknya sepanjang 500
meter.

Ramli (Warga Desa paramasan atas) : "Jadi lebih baik gotong royong, kalaumengharapkan
dari pemerintah lambat itu memang lambat".

Dari titik pembangunan jembatan tujuan kami sudah tidak jauh lagi, setelah 30 menit
berselang kami pun sampai. Sebagian penjual langsung menuju ke rumah warga yang menjadi
pemesan, sebagian lagi harus berjualan keliling desa, setelah menurunkan barang-barang saya
dan Ahim lanjut menjajakan jualan.Biasanya Ahim datang setiap hari Kamis bertepatan dengan
hari pasar, tidak jarang Ahim hanya berjualan keliling desa peminatnya tetap tinggi terutama ibu
rumah tangga yang harus memasak setiap hari. Adanya penjual seperti Ahim memudahkan
mereka mendapatkan kebutuhan dapur, walaupun harganya bisa berbeda hingga 5 ribu rupiah.
Semakin ke dalam semakin banyak ibu rumah tangga yang membeli, sebelum mereka pergi
bekerja momen seperti ini memang kerap ditunggu. Terdapat lebih dari 100 kepala keluarga di
desa paramasan atas mayoritas wanitanya memang bekerja seperti Kusna ia adalah pendulang
emas, karena penasaran saya pun mengikutinya. Tempat Kusna mendulang tidak jauh dari
pemukiman warga kebanyakan dari pendulang adalah laki-laki tapi tidak jarang para wanita turut
membantu. Pendulang emas disini sudah termasuk maju jika selama ini lokasi mendulang identik
dengan lubang yang dalam atau di sungai warga paramasan atas sudah melakukan inovasi.
Mereka menggunakan mesin untuk menyedot pasir hingga emas bisa disaring secara sempurna
tapi tenaga manusia tetap di butuhkan, warga masih harus bekerja agar mesin tidak tersumbat
saya pun mengikuti Kusna dan ibu-ibu lain turun kebawah. Dalam lubang ini warga harus
menyemprot dinding tanah dan memindahkan batu agar mesin bisa terus menyedot. Mayoritas
warga di desa paramasan memang pendulang emas mereka bekerja didalam satu kelompok yang
berjumlah sekitar 10 orang, masing-masing kelompok mempunyai lahan khusus untuk
mendulang, bagi warga mendulang ini sebagai mata pencaharian tapi juga sebagai tradisi karena
sudah lama emas menjadi sumber rejeki di desa paramasan atas. Pekerjaan ini sungguh tidak
mudah bebatuan tajam yang menjadi pijakan kami sangat menghambat kinerja sungguh sangat
melelahkan pasalnya mereka bekerja seperti ini setiap hari.

Reporter (Dinda Tahier) : "Karena tidak banyak yang bisa dilakukan oleh warga desa
paramasan atas jadi mendulang emas inilah satu-satunya harapan mereka untuk mendapatkan
penghasilan, tapi mereka harus benar-benar bekerja seharian dan dalam sehari mereka belum
tentu bisa mendapatkan 1 gram emas".

Pekerjaan mendulang emas sebenarnya penuh ketidakpastian kami tidak tahu kapan bisa
mendapatkan hasil. Seharian mengais tanah belum tentu mendapatkan hasil resiko yang
ditanggung juga besar tanah yang terus di uruk dan disirami air membuat teksturnya semakin
lunak, sudah ada beberapa warga yang menjadi korban timbunan tanah meski begitu keselamatan
sudah menjadi urutan terakhir dalam daftar kebutuhan warga disini apa daya karena hanya dari
emaslah mereka bisa hidup. Matahari seakan menunjukkan triknya dan tenaga kami pun semakin
terkuras akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat.

Reporter (Dinda Tahier) : "Tapi ini kan pekerjaan laki-laki bu, kenapa ibu mau ikut-ikutan?".
Kusna (Warga Desa paramasan atas) :"Yaa disini sudah turun-temurun latihan beginian
membantu lelaki supaya kerja sama".

Kusna pun mengakui sebenarnya dia pun tidak ingin bekerja sebagai pendulang lagi, tapi
tidak banyak pilihan yang bisa dia ambil.

Reporter (Dinda Tahier) : "Jadi sebenarnya kedepannya ibu maunya ga mendulang lagi?".

Kusna (Warga Desa paramasan atas) :"Ya pengennya tidak mendulang lagi".

Reporter (Dinda Tahier) : "Tapi udah tidak ada kerjaan lain ya bu".

Kusna (Warga Desa paramasan atas) :"Iya".

Pekerjaan ini memang cukup berat untuk seorang wanita seperti Kusna, namun apa daya
hanya inilah yang bisa mereka harapkan. Infrastruktur jalan yang tidak memadai membuat warga
kesulitan jika harus membawa hasil bumi keluar desa. Dengan mencari emas mereka dapat
memperoleh hasil yang lumayan, biasanya setelah 7 jam mesin pun dimatikan, karena dirasa
sudah banyak mengumpulkan pasir dan tanah dari dasar lubang. Proses mendulang pun
memasuki tahap akhir di atas kayu penyaring inilah biasanya emas tersangkut, walaupun sudah
menggunakan mesin proses akhir masih tetap dilakukan secara manual, jika tidak di cuci seperti
ini emas tidak akan terlihat dan sulit dibedakan dengan bebatuan. Setelah hampir 1 jam butiran
emas sudah mulai terlihat, sungguh kami sangat beruntung hari ini, emas yang didapat terbilang
cukup banyak jika dihitung secara kasar hasil kali ini mencapai 10 gram sebuah perjuangan yang
tidak sia-sia. Harga 1 gram emas disini adalah 400 ribu rupiah, dengan hasil yang didapat hari ini
warga bisa memperoleh 4 juta rupiah tapi tentunya hasil ini masih harus dibagi untuk perawatan
mesin dan bahan bakar. Dalam satu hari mereka dapat menghabiskan 2 jerigen bensin seharga
400 ribu rupiah.

Selain emas sebenarnya sebagai besar warga juga menanam kayu manis, karena mudah
tumbuh dan harga jualnya yang tinggi. Itulah kayu manis yang menjadi primadona dikala emas
tidak bisa diandalkan. Dalam sehari warga seperti Rosna dan keluarganya bisa menebang 2-3
pohon, satu pohon setidaknya mengahasilkan 15 kilogram kayu manis. Harga kayu manis dapat
mencapai 20 ribu perkilogram nya sekali jual Rosna bisa membawa pulang sebesar 300 ribu
rupiah. Dengan menanam kayu manis warga bisa menikmati hasil yang lebih pasti.
Reporter (Dinda Tahier) : "Dilema juga pemirsa sebenarnya potensi pertanian dan perkebunan
disini sangat tinggi, tanahnya sangat luas dan bisa ditanami tumbuhan apapun, tapi warga sering
kali kesulitan untuk menjual hasil buminya keluar jadi mereka tidak bisa mengharapkan banyak
dari sini".

Proses pengolahan kayu manis juga tidak sulit setelah menebang warga hanya perlu
mengupas kulit pohon, kemudian kulit kayu manis pun di jemur. Kulit kayu manis inilah yang
akan dijual ke pasar, bagi wanita seperti Rosna bekerja di ladang tentunya lebih aman dan ringan
dibandingkan mendulang emas. Rosna juga mengaku bahwa kegiatan mendulang emas
sebenarnya bisa merusak lingkungan desanya, tapi apa daya warga tidak mempunyai banyak
pilihan.

Reporter (Dinda Tahier) : "Itu sungai yang dibawa kemarin aku kesini masih jernih gitu bu, ko
sekarang aga coklat gitu ya warnanya?".

Rosna (warga desa paramasan atas) : "iya itu karena orang mendulang emas".

Reporter (Dinda Tahier) : "Berarti dulu air sungai Disni masih jernih banget?".

Rosna (warga desa paramasan atas) : "Iya jernih".

Reporter (Dinda Tahier) : "Nah ibu kan setiap hari pakai air itu ya bu".

Rosna (warga desa paramasan atas) : "Iya pakai air itu".

Reporter (Dinda Tahier) : "Terus gimana itu bu kalau orang mulai mendulang?".

Rosna (warga desa paramasan atas) : "Disiapkan terlebih dahulu subuhnya".

Karena cuaca ekstrem tanaman mereka banyak yang gagal panen alhasil mereka tidak
mempunyai penghasilan untuk membeli makanan pokok, padahal sebenernya ini mengandung
racun tapi jika tidak begini mereka tidak bisa makan dan akan kelaparan.

Desa yang akan kami tuju sekarang sebenarnya jaraknya hanya sekitar 30 km dari dermaga
ini, tapi aksesnya sangat terbatas dan butuh persiapan yang ekstra, karena keterbatasan ini desa
Asemi Nunulai mendapat predikat yang paling terpencil yang pernah didatangi oleh tenaga
kesehatan puskesmas. Kali ini saya akan melihat seperti apa perjuangan mereka untuk sampai
kesana. Saksikan terus Indonesiaku.

Reporter (Dinda Tahier) : "Desa yang kami tuju berada di tengah sungai losaloh. Hari ini kami
cukup beruntung arus air tidak terlalu deras dan cukup bersahabat motoris perahu mencari celah
untuk melintas, bagi mereka riang seperti ini masih terbilang aman jika dibanding saat musim-
musim sungai meluap. Aliran sungai losaloh termasuk tenang namun dibeberapa titik berkali-kali
jantung kami harus diuji riam yang cukup besar. Para petugas kesehatan puskesmas yang sudah
terbiasa saja tidak merasa was-was setiap kali berada di atas sungai ini. Beruntung perjalanan air
kami tidak mengalami hambatan berat, setelah lebih dari 1 jam merasakan arus dari sungai
losaloh kami pun sampai di dermaga desa.

Reporter (Dinda Tahier) : "Kita sudah sampai desanya bu?".

Warga desa : "Belum kita harus masih jalan lagi melewati gunung dan lembah".

Reporter (Dinda Tahier) : "Wow saya kira kalau sudah sampai dermaga ini artinya sudah
sampai desa, tapi ternyata masih harus jalan kaki lagi sejauh 8 km, ternyata perjuangan kami
masih belum berakhir".

Desa yang kami tuju terletak dibalik bukit, tak heran jika jalan yang kami lewati ini makin
jauh semakin terus menanjak. Di kiri dan kanan kami adalah hutan astera yang masih cukup lebat
menandakan daerah ini belum banyak terjamah pembangunan. Entah sudah berapa kali kami
berhenti untuk beristirahat 8 KM seharusnya tak butuh waktu lama untuk sampai di lokasi,
namun nyatanya perjalanan darat ini seperti tidak berujung. Setelah berjam-jam berkutat dengan
jalan setapak akhirnya kami pun sampai tujuan. Hari ini saya mengikuti ibu-ibu di desa yang
akan pergi ke kebun mereka barang bawaan kami memang menyiratkan bahwa kami akan panen
namun ternyata tidak, kali ini para ibu hanya mencari ubi koro disekitar kebun mereka. Ubi koro
atau ubi hutan memang menjadi makanan pengganti saat gagal panen dan saat tak ada makanan
yang mampu mereka pilih. Tidak perlu menunggu waktu lama para ibu dengan sigap
mencangkul tanah. Ubi hutan ini tergolong sangat cepat pertumbuhannya terutama pada saat
musim panas tanah kering membuatnya tumbuh besar dan akan lebih mudah diolah, jika hujan
dan tanahnya basah ubi koro ini akan menciut dan menjadi keras. Matahari yang bersinar cerah
membuat pencarian ubi koro menjadi lebih mudah
Darwanti (Warga desa Asemi Nunulai) : "Kita lihat satu biji saja saya tidak ambil padi itu,
padahal ada 6 kaleng saya tanam walaupun hanya 1 biji saja kita tidak bawa pulang karena hama
tikus".

Reporter (Dinda Tahier) : "Ohh karena gagal panen makanya terpaksa mencari ubi koro ini?".

Darwanti (Warga desa Asemi Nunulai) : "Iya".

Reporter (Dinda Tahier) : "Mmmmm...Ubi hutan atau yang biasa warga sini sebut ubi koro
ternyata berbeda dengan ubi yang biasa saya lihat, kalau ini bentuknya bulat dan ukurannya bisa
3 kali lipat lebih besar dari ubi biasa dan karna ukuran nya ini otomatis jadi lebih berat dan susah
untuk menariknya dari tanah, walaupun sebenarnya dia tumbuh cukup strategis tempatnya, tidak
terlalu jauh dari pemukiman warga.

Semua wadah sudah terisi penuh dengan ubi koro saatnya kami pulang ke desa. Ubi yang
kami peroleh hari ini cukup banyak beratnya lebih dari 50 kilogram kami sempat kesulitan
membawanya. Tiba dirumah biasanya warga langsung mengolah nya. Proses mengolah ubi hutan
ini cukup panjang jumlah penelitian mengatakan bahwa getah gandum ini cukup beracun ini
karena mengandung zat toxic yang dapat terhidrolisis, sehingga pada akhirnya terbentuk asam
sianida. Ubi yang baru dipotong harus direndam di dalam air garam, garam dipercaya dapat
melunturkan getahnya yang mengandung zat toxic. Namun rendaman garam tidak akan pernah
cukup untuk membuat ubi koro bebas racun potongan ini harus ditindih batu semalaman agar
airnya sempurna luntur, kemudian masih harus direndam di dalam air sungai, belum lagi harus
dijemur berhari-hari hingga benar-benar kering sungguh proses yang sangat lama. Mencoba
mencicipi ubi koro ini membutuhkan keberanian, awalnya saya juga merasa takut mencicipinya
efek seperti pusing, muntah, tenggorokan tercekik, dan rasa tidak nyaman lainnya adalah
pertanda tidak sempurnanya pengolahan ubi koro. Namun tidak ada riwayat karena keracunan
orang memakan ubi koro di desa Asemi Nunulai. Inilah yang meyakinkan saya untuk
mencobanya, rasanya seperti ubi biasa namun lebih legit warga pun mengakui bahwa ubi hutan
ini cukup enak.

Reporter (Dinda Tahier) : "Tahun ini memang menjadi tahun yang cukup sulit bagi warga desa
Asemi Nunulai, karena cuaca ekstrem tanaman mereka banyak yang gagal panen, alhasil mereka
tidak mempunyai penghasilan untuk membeli makanan pokok jadi ubi-ubi koro inilah yang
mereka cari sebagai makanan alternatif, padahal sebenernya ini mengandung racun tapi jika
tidak begini mereka tidak bisa makan dan akan kelaparan”.

Tak banyak yang tahu tentang keberadaan desa ini termasuk bagi warga Kecamatan Astera
sekalipun. Ini karena desa Asemi Nunulai resmi menjadi desa definitif pada tahun 2008,
sebelumnya warga biasa menyebut pemukiman ini sebagai desa Tambuah. kami pun langsung
siap menggelar posyandu dan pemeriksaan kesehatan. Ruangan agak sedikit sempat memang,
namun tak ada tempat lain inilah fasilitas kesehatan satu-satunya yang ada di desa Asemi
Nunulai. Warga sangat antusias datang ke pengobatan yang jarang sekali mereka dapatkan ini,
kesempatan berharga yang tak mungkin mereka sia-siakan. Tanpa tenaga medis di desa bisa jadi
desa Asemi Nunulai suatu ketika dalam keadaan darurat diare, maka tak henti-hentinya para
petugas medis kecamatan ini memberi pengertian akan pentingnya kebersihan diri, rumah dan
makanan mereka. Selain penyakit menular tinggal di tempat terpencil juga kerap kali menjadi
masalah saat terjadi kecelakaan di sungai, sawah, atau ladang saat bertani. Salah satunya adalah
Yanti. Yanti sudah berbulan-bulan mengalami cidera pada bagian punggungnya akibat jatuh di
ladang miliknya, tidak adanya obat-obatan memadai setiap hari Yanti harus menahan rasa sakit
yang luar biasa.

Reporter (Dinda Tahier) : "Pemeriksaan ini kan jarang-jarang ya, nah misalnya ibu sakit tapi
sedang tidak ada perawatnya gimana bu?".

Yanti (Warga Desa Asemi Nunulai) : "Kita berobat ke dukun dulu baru kita ke puskesmas
Astera".

Reporter (Dinda Tahier) : "Ohh berobat ke dukun".

Yanti (Warga Desa Asemi Nunulai) : "Iya".

Berpuluh-puluh tahun hidup tanpa ada tenaga medis modern membuat warga sangat
mengandalkan pengobatan tradisional, di desa orang yang dianggap memiliki kemampuan
menyembuhkan penyakit disebut dukun, Santi adalah satu-satunya warga yang dipercaya
memiliki kemampuan untuk menyembuhkan. Dukun seperti Santi menjadi andalan warga yang
tengah kesusahan atau sakit. Hari ini saya mencoba mengenal seperti apa cara pengobatan yang
dilakukan Santi, jika medis modern sudah sangat canggih dengan tablet dan pil yang tersedia lain
halnya dengan obat-obatan yang digunakan wanita paruh baya ini, dia lebih memilih mencari
obat didalam hutan atau kebun.

Reporter (Dinda Tahier) : "Ya pemirsa yang kita cari dari tadi ni bagi saya hanya tanaman-
tanaman liar yang tumbuh di kebun tapi bagi ibu Santi yang dipercaya warga sini mempunyai
keahlian khusus untuk menyembuhkan. Tanaman-tanaman ini dipercaya bisa mengobati berbagai
penyakit".

Setelah terkumpul semua jenis dedaunan yang dicari kami pun beranjak pulang. Dalam
seminggu ada saja warga yang datang kerumah Santi, benar saja sesampainya kami dirumah
ternyata sudah ada dua orang warga yang menunggu kedatangan Santi. Sebelum memulai
pengobatan Santi selalu mencuci bersih obat tradisional nya tidak banyak tindakan yang
dilakukan jika pasien mengeluh sakit pada badan mereka Santai hanya akan mengurutnya
menggunakan ramuan ini. Selain mengandalkan ramuan buatannya santai juga membaca mantra
atau doa-doa agar penyakit pasien nya segera diangkat.

Reporter (Dinda Tahier) : "Beginilah susahnya hidup di pedalaman ketika tidak ada tenaga
medis yang bisa diandalkan warga hanya bisa menjalani pengobatan tradisional, bukan mereka
tidak percaya dengan obat-obatan dari dokter tapi keadaan lah yang membuat mereka harus
menjalani keadaan yang seperti ini".

Penanganan untuk berbagai penyakit bagi Santi sama dengan mengurutnya. Bagi warga
yang sudah terbiasa sugesti untuk sembuh membuat penyakit yang dirasakan berkurang.

Reporter (Dinda Tahier) : "Tapi ibu berharapnya ada perawat yang tinggal disini ya?".

Hernita (Warga Desa Asemi Nunulai) : "Ya maunya".

Reporter (Dinda Tahier) : "Tapi sampai sekarang tidak pernah ada?".

Hernita (Warga Desa Asemi Nunulai) : "Belum pernah, kadang ada datang 1 kali dalam tiga
bulan".

Bagi warga desa kemampuan Santi merupakan berkah tersendiri, terlebih Santi tidak pernah
mematok biaya pengobatan yang dilakukannya mereka bisa membayar seikhlasnya ini tentu saja
sangat membantu dalam keadaan kesusahan.
Santi (Warga Desa Asemi Nunulai) : "Kita ada mau tolong, ada daun-daun kita yang mau
pake, jadi ini juga saya pergunakan tapi betul juga yah apalagi orang yang percaya juga kepada
kita".

Santi sendiri bukanlah tidak percaya dengan dunia medis modern, jika ditanya harapan pasti
lah Santi juga menginginkan adanya perawat atau bidan yang menetap di desa. Namun apa mau
dikata keadaan lah yang membuatnya harus mandiri mengahadapi berbagai penyakit baik untuk
dirinya sendiri maupun penduduk desa Asemi Nunulai.

Catatan Tambahan (Pelajaran yang bisa diambil dari petikan wawancara di atas) :

1. Terdapat lebih dari 100 kepala keluarga di desa paramasan atas mayoritas wanitanya
memang bekerja sebagai pendulang emas.

2. Karena tidak banyak yang bisa dilakukan oleh warga desa paramasan atas jadi mendulang
emas inilah satu-satunya harapan mereka untuk mendapatkan penghasilan, tapi mereka
harus benar-benar bekerja seharian dan dalam sehari mereka belum tentu bisa
mendapatkan 1 gram emas.

3. Harga 1 gram emas disini adalah 400 ribu rupiah, dengan hasil yang didapat hari ini
warga bisa memperoleh 4 juta rupiah tapi tentunya hasil ini masih harus dibagi untuk
perawatan mesin dan bahan bakar. Dalam satu hari mereka dapat menghabiskan 2 jerigen
bensin seharga 400 ribu rupiah.

4. Desa Asemi Nunulai mendapat predikat yang paling terpencil yang pernah didatangi oleh
tenaga kesehatan puskesmas.

5. Potensi pertanian dan perkebunan disini sangat tinggi, tanahnya sangat luas dan bisa
ditanami tumbuhan apapun, tapi warga sering kali kesulitan untuk menjual hasil buminya
keluar jadi mereka tidak bisa mengharapkan banyak dari sini.

6. Penelitian mengatakan bahwa ubi hutan (Ubi koro) ini cukup beracun ini karena
mengandung zat toxic yang dapat terhidrolisis, sehingga pada akhirnya terbentuk asam
sianida.

7. Tahun ini memang menjadi tahun yang cukup sulit bagi warga desa Asemi Nunulai,
karena cuaca ekstrem tanaman mereka banyak yang gagal panen, alhasil mereka tidak
mempunyai penghasilan untuk membeli makanan pokok jadi ubi-ubi koro inilah yang
mereka cari sebagai makanan alternatif, padahal sebenernya ini mengandung racun tapi
jika tidak begini mereka tidak bisa makan dan akan kelaparan.
8. Tak banyak yang tahu tentang keberadaan desa ini termasuk bagi warga Kecamatan
Astera sekalipun. Ini karena desa Asemi Nunulai resmi menjadi desa definitif pada tahun
2008, sebelumnya warga biasa menyebut pemukiman ini sebagai desa Tambuah.

9. Berpuluh-puluh tahun hidup tanpa ada tenaga medis modern membuat warga Asemi
Nunulai sangat mengandalkan pengobatan tradisional, di desa orang yang dianggap
memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit disebut dukun, Santi adalah satu-satunya
warga yang dipercaya memiliki kemampuan untuk menyembuhkan.

10. Hampir 3 bulan sekali petugas kesehatan baru bisa datang ke desa Asemi Nunulai.

Pertanyaan-pertanyaan Mahasiswa/i

1. (Eka Novia Amanda) Apa aja sih masalah kesejahteraan di Indonesi?

Jawaban : Kemiskinan, Keterpencilan (Komunitas Adat Terpencil), Keterlantaran, Ketunaan


Sosial dan Penyimpangan Perilaku, Kedisabilitasan, Korban Tindak Kekerasan, Eksploitasi dan
Diskriminasi, dan Korban Bencana.

2. (Dayanti Ocktafiani) Mengapa kesejahteraan tenaga kerja itu penting?

Jawaban : Pentingnya kesejahteraan karyawan adalah untuk mempertahankan karyawan agar


tidak pindah ke perusahaan lain, meningkatkan motivasi dan semangat kerja, dan meningkatkan
sikap loyalitas karyawan terhadap perusahaan.

3. (Elsya Rossana) Apa yang dibutuhkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat?

Jawaban : Menata kehidupan masyarakat yang aman, tertib, taat hukum, dan harmonis.
Memperkuat ketahanan sosial dan budaya masyarakat berdasakan nilai luhur budaya lokal.

4. (Febby Ayu) Bagaimana hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan


masyarakat?

Jawaban : Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dengan kesejahteraan masyarakat adalah


apabila pertumbuhan ekonomi baik maka tingkat pendapatan masyarakat juga akan meningkat,
selain itu dari peningkatan pendapatan yang terjadi masyarakat akan mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya.
5. (Husna Alfiyyah) Apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat?

Jawaban : • Meningkatkan ketahanan budaya dan sosial masyarakat berdasarkan nilai luhur dari
budaya lokal.

• Menata kehidupan masyarakat menjadi tertib, taat hukum, aman, dan harmonis.

• Mengembangkan kreativitas masyarakat di dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada.

6. (Sulthan Syariif Abdul Jabbar) Apa yang terjadi jika kesejahteraan social belum terwujud?

Jawaban : Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, maka yang terjadi adalah banyaknya
ketimpangan sosial, ketimpangan pendidikan, ketimpangan dalam terpenuhinya kebutuhan
material. Selain itu, warga negata tidak dapat hidup dengan layak dan tidak mampu
mengembangkan diri.

7. (Fitria Noor F) Bagaimana seseorang dikatakan dalam mencapai kesejahteraan social?


Jawaban : Jika seseorang dapat memenuhi kebutuhan material dan spiritualnya, dapat dikatakan
orang tersebut telah mencapai kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial dapat dicapai melalui
pembangunan sosial.

Anda mungkin juga menyukai