Anda di halaman 1dari 28

2.

1 Konsep dasar Pre Oprasi

2.1.1 Definisi Pre Oprasi


Tindakan operasi memerlukan sebuah tindakan keperawatan sebelum dan sesudah
operasi. Lebih dari 230 juta operasi mayor dilakukan setiap tahun di dunia yang
menyebabkan keadaan pasien saat operasi akan lemah. Pre operasi yang
merupakan tahapan awal dari keperawatan operatif yang dimulai sejak pasien
diterima masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke
meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan. Salah satu persiapan pre
operasi ialah persiapan mental/psikis (Renani Dwi, et al 2019).
Menurut Smelltzer and Bare (2010) dalam Maryunani (2014) Pre operasi
adalah fase dimulai ketika keputusan unntuk menjalani operasi atau pembedahan
dibuat dan berakhir ketika dipindahkan kemeja operasi.

2.1.2 Respon Pasien Terhadap Pre Operasi


Respon endokrin karena adanya pembedahan diuraikan sebagai berikut :
(Maryuani, 2014:24-25).
2.1.3 Respon system syaraf simpatis
• Vasokontriksi, yang memiliki dampak positif yaitu mempertahankan
tekanan darah, aliran darah ke jantung dan otak adekuat.
• Peningkatan curah jantung atau cardiac output, yang memiliki dampak
positif yaitu mempertahankan tekanan darah.

• Penurunan aktivitas gastro-intestinal, yang memiliki dampak negatif


yaitu anoreksia, nyeri karena adanya gas, konstipasi.

2.1.4 Respon Hormonal


• Peningkatan sekresi glukokortikoid (korteks adrenal)
• Retensi sodium :
• Dampak positif : Peningkatan volume darah
• Dampak negatif : Kehilangan potassium
• Katabolisme protein dan lemak :
• Dampak positif : Peningkatan energi dan tersedia asam amino untuk
penyembuhan
• Dampak negatif : Penurunan berat badan
• Peningkatan produksi platelet :
• Dampak positif : Mencegah perdarahan melalui pembekuan
• Dampak negatif : Kemungkinan terjadi pembentukan thrombus
• Peningkatan sekresi Anti Diuretic Hormon (ADH) :
• Dampak positif : Peningkatan volume darah.
• Dampak negatif : Kemungkinan kelebihan cairan

2.1.5 Respon Psikologis Terhadap Pembedahan Pada Pasien Pre Operasi

Uraian singkat menegenai respon psikologi terhadap pembedahan (Maryuani,


2014:26). Setiap orang berbeda-beda dalam memahami tentang pembedahan dan
respon mereka pun berbeda-beda juga. Namun, mereka umumnya mempunyai
ketakutan dan keluhan - keluhan tertentu.Dalam hal ini, pasien yang akan
dioperasi biasanya menjadi agak gelisah dan takut. Perasaan gelisah dan takut
kadang-kadang tidak tampak jelas. Tetapi kadang-kadang pula, kecemasan ini
terlihat dalam bentuk lain. Pasien yang gelisah dan takut sering bertanya terus
menerus dan berulang ulang, walaupun pertanyaannya telah dijawab. Kadang
pasien tidak mau berbicara dan mempertahankan keadaan sekitarnya. Atau
sebaliknya, pasien tidak mau bergerak dan tidak bisa tidur.
2.2 Persiapan Pre operasi
Perawatan persiapan fisik dan mental apabila tidak dilakukan dengan baik
akan menyebabkan pasien mengalami berbagai komplikasi pasca bedah seperti
infeksi pasca operasi, dehesiensi, demam, penyembuhan luka yang lama dan
kondisi mental pasien yang tidak siap atau labil dapat menimbulkan kecemasan
dan ketakutan yang akan berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Perawatan
persiapan fisik dan mental sangat penting dilakukan karena untuk mencegah
terjadinya penyulit pasca bedah dan komplikasi pasca bedah serta
mempersiapkan mental pasien dalam mengahadapi operasi, menurunkan
ketakutan dan kecemasan serta mempebaiki koping individu menghadapi
operasi dari gangguan konsep diri klien yang akan di operasi. Perawatan
persiapan fisik yang harus dilakukan sebelum menghadapi operasi terdiri dari
pemeriksaan status kesehatan fisik secara umum, status nutrisi, keseimbangan
cairan dan elektrolit, kebersihan lambung dan kolon, pencukuran daerah
operasi, personal hygine, pembersihan luka serta latihan pra operasi. Peranan
perawat dalam persiapan mental pasien dapat dilakukan dengan memberikan
informasi, gambaran, penjelasan tentang tindakan persiapan operasi dan
memberikan kesempatan bertanya tentang prosedur operasi serta kolaborasi
dengan dokter terkait pemberian obat pre medikasi (Girsang dan Hasrul,
2011:65-66).
2.3 Jenis-jenis Operasi
Menurut Rahmayati et al (2018) operasi pada umumnya dibagi menjadi dua
bagian :
2.3.1 Minor
Operasi minor adalah operasi yang sering dilakukan dirawat jalan, dan dapat
pulang pada hari yang sama. Operasi ini jarang menimbulkan komplikasi.
2.3.2 Mayor
Operasi mayor adalah pembedahan yang membutuhkan pemulihan jangka
panjang dan dapat melibatkan perawatan intensif dalam beberapa hari di
rumah sakit, karena memiliki resiko lebih tinggi setelah pembedahan.

2.4 Tahap-tahap Keperawatan Pre operasi


Pengalaman pembedahan dapat dibagi dalam tiga tahap keperawatan yaitu :
(Maryuani, 2014:2-3).
2.4.1 Tahap Pre operasi
• Pengertian
Perawatan pre operasi merupakan tahap pertama dari perawatan pre
operasi yang dimulai sejak pasien diterima masuk ruangan dan berakhir
ketika pasien dipindahkan kemeja operasi untuk dilakukan tindakan
pembedahan.

• Ruang Lingkup Pre operasi


Pada fase ini lingkup aktivitas keprawatan selama waktu tersebut dapat
mencakup penetapan pengkajian dasar pasien di tatanan klinik ataupun
rumah, wawancara preoperasi dan menyiapkan pasien untuk anastesi
yang diberikan saat pembedahan.
2.4.2 Tahap Intra-Operasi
• Pengertian
Perawatan intra-operatif dimulai sejak pasien ditransfer ke meja bedah
dan berakhir bila pasien ditransfer ke wilayah ruang pemulihan.
• Ruang Lingkup keperawatan Intra-Operatif
Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup pemasangan IV cath,
pemberian medikasi intervena, melakukan pemantauan kondisi fisiologis
menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan
pasien.

2.4.3 Tahap Post-Operasi


• Pengertian
Tahap post-operasi merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre-
operasi dan intra-operasi yang dimulai ketika klien diterima di ruang
pemulihan (recovery room) sampai evaluasi tindak lanjut.
• Ruang Lingkup Keperawatan Post-Operasi
Pada fase ini lingkup aktifitas keperawatan mencakup rentang aktivitas
yang luas selama periode ini. Pada fase ini focus pengkajian meliputi
efek anastesi dan memantau fungsi vital serta mencegas komplikasi.

2.5 Peran Perawat Dalam Asuhan Keperawatan Pre operasi

Beberapa peran perawat dalam asuhan keperawatan pada pasien menjelang


pembedahan, saat pembedahan dan setelah operasi, antara lain : (Maryuani,
2014:49-50).
a) Perawat memiliki peran aktif dalam persiapan psikologis maupun fisiologis
pasien menjelang pembedahan, saat pembedahan maupun setelah
pembedahan.
b) Perawat memberikan penjelasan pada pasien pre operasi mengenai teknik
pengurangan stress, hal-hal yang dihadapi pada asa setelah operasi, dan
penggunaan peralatan post-operasi khusus.
c) Di beberapa rumah sakit, telah terdapat jadwal dimana perawat kamar
operasi melakukan visit terlebih dahulu pada pasien yang akan di operasi
untuk mengkaji evaluasi pasien terhadap intervensi pembedahan
d) Menjelang pembedahan, dokter bedah menjelaskan metode dan tujuan mengenai
pembedahan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarganya.
1) Karena masa pre-operasi merupakan masa yang seringkali meningkatkan
kecemasan bagi pasien dan keluarganya, dimana seringkali merka tidak
memahami atau mempercayai alasan untuk pembedahan.
2) Oleh karena itu, peran perawat dalam kondisi ini adalah mengklarifikasi
lebih lanjut.
a) Tanpa memandang operasi apa yang dilakukan, perawat memiliki peran
penting dalam mempersiapkan pasien untuk pembedahan, mempertahankan
surveilanas pasien selama pembedahan, mencegah komplikasi dan
memfasilitasi pemulihan selama pembedahan. Untuk melakukan peran ini
secara efektif maka perawat harus memiliki informasi dasar tertentu, yakni :
1) Perawat harus memverifikasikan atau meyakinkan kondisi penyakit yang
memerlukan pembedahan dan proses proses penyakit yang menyertainya.
2) Perawat harus mengetahui respon pasien secara individu terhadap situasi
yang menimbulkan stress.
3) Perawat harus mengkaji hasil pemerikasaan diagnostik yang dilakukan
sebelum pembedahan.
4) Perawat harus mempertimbangkan adanya perubahan-perubahan tubuh
dan kemungkinan adanya resiko dan komplikasi berkaitan dengan
prosedur pembedahan.

2.2 Konsep Dasar Kecemasan

2.2.1 Definisi kecemasan

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari tentu akan menghadapi berbagai


tuntutan, kompetisi, dan juga masalah yang akan berpengaruh terhadap kesehatan
tubuh manusia baik secara fisik maupun psikologis. Dampak psikologis yang
muncul salah-satunya adalah kecemasan (Yusuf dkk., 2015). Kecemasan
merupakan perasaan takut yang tidak jelas diikuti oleh rasa ketidakpastian, tidak
berdaya, rasa tidak nyaman serta isolasi diri terhadap berbagai kejadian dalam
menjalani aktivitas sehari hari (Stuart, 2013).
2.2.2 Penyebab kecemasan
Stuart (2013) menjelaskan bahwa secara umum ada dua faktor yang
menyebabkan terjadinya kecemasan, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi merupakan berbagai faktor pemungkin yang bisa dipakai
oleh seorang individu sebagai acuan dalam megatasi kecemasan, faktor
predisposisi terdiri dari :
1. Faktor Biologis.
Mayoritas penelitian menunjukkan bahwa disfungsi pada suatu sistem lebih
berpengaruh menimbulkan kecemasan daripada disfungsi pada satu pengantar
saraf tertentu. Sistem tersebut terdiri dari: Sistem Gamma Aminobutyric Acid
(GABA), Sistem Norepinefrin, dan Sistem Serotonin. Sistem-sistem ini
meregulasi cemas melalui fungsi masing-masing di dalam tubuh.
2. Faktor Keluarga.
Gangguan kecemasan juga dapat terjadi pada anggota keluarga. Meskipun
tidak ada gen tunggal ataupun gen yang secara spesifik yang membawa
kerentanan akan terjadinya kecemasan. Hal ini lebih banyak disebabkan oleh
peran penting yang dimainkan oleh lingkungan terdekat dalam hal ini adalah
anggota keluarga.
3. Faktor Psikologis.
Para ahli percaya bahwa orang-orang yang telah terpapar oleh rasa takut secara
intens di awal kehidupannya cenderung akan mengalami gangguan kecemasan di
kemudian hari. Sehingga pola asuh orang tua keada anak serta sikap dan perilaku
yang ditunjukkan oleh orang tua juga akan mempengaruhi anak. Jika orang tua
menunjukkan rasa cemas terhadap berbagai hal ringan dalam kehidupan sehari
hari maka anak akan mencontoh pola yang sama. Sebaliknya, jika orang tua
menunjukkan hal-hal positif dari rasa cemas yang dialami maka anak juga akan
belajar mengenai koping stres yang positif.
4. Faktor Behavioral
Kecemasan dapat terjadi ketika suatu pencapaian yang diharapkan tidak
berjalan dengan baik, dalam hal ini kecemasan muncul sebagai rasa frustasi yang
disebabkan oleh ekpektasi yang tidak bisa didapatkan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus dari kecemasan terdiri dari dua kategori, yaitu:
1. Ancaman terhadap Integritas Fisik.
Faktor ini meliputi berbagai hal yang berhubungan dengan berbagai potensi
akan terjadinya kecacatan fisik atau hambatan dan penurunan kemampuan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari.
2. Ancaman terhadap Sistem Kemandirian.
Selain ancaman terhadap inegritas fisik faktor lain yang dapat mempengaruhi
kecemasan adalah berbagai hal yang dapat membuat seseorang beresiko
kehilangan identitas, harga diri, dan juga integrasi terhadap berbagai fungsi sosial.
Sedangkan dalam kasus pre operasi, Kaplan dan Sadock (2010) menjelaskan
bahwa kecemasan pasien pre operasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1. Usia.
Gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih sering pada usia
dewasa dan lebih banyak pada wanita.
2. Pengalaman pasien menjalani operasi.
Pengalaman awal pasien dalam pengobatan merupakan pengalaman-
pengalaman yang sangat berharga yang terjadi pada individu terutama untuk
masa-masa yang akan datang. Pengalaman awal ini sebagai bagian penting dan
bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari.
Apabila pengalaman individu tentang operasi kurang, maka cenderung
mempengaruhi peningkatan kecemasan saat menghadapi tindakan operasi.
3. Konsep diri dan peran.
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang
diketahui individu terhadap dirinya dan mempengaruhi individu berhubungan
dengan orang lain. Menurut Stuart & Sundeen (1991) peran adalah pola sikap
perilaku dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di
masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi peran seperti kejelasan
perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran, konsistensi respon orang
yang berarti terhadap peran, kesesuaian dan keseimbangan antara peran yang
dijalaninya. Juga keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku
peran. Disamping itu pemisahan situasi karena adanya prosedur operasi akan
menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran, jadi setiap orang disibukkan oleh
beberapa peran yang berhubungan dengan posisinya pada setiap waktu. Pasien
yang mempunyai peran ganda baik di dalam keluarga atau di masyarakat ada
kecenderungan mengalami kecemasan yang berlebih disebabkan konsentrasi
terganggu.
4. Tingkat pendidikan.
Pendidikan bagi setiap orang memiliki arti masing-masing. Pendidikan pada
umumnya berguna dalam merubah pola fikir, pola bertingkah laku dan pola
pengambilan keputusan. Tingkat pendidikan yang cukup akan lebih mudah
dalam mengidentifikasi stresor dalam diri sendiri maupun dari luar dirinya.
Tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran dan pemahaman terhadap
stimulus.
5. Tingkat sosial ekonomi.
Status sosial ekonomi juga berkaitan dengan pola gangguan psikiatrik.
Berdasarkan hasil penelitian Durham diketahui bahwa masyarakat kelas sosial
ekonomi rendah prevalensi psikiatriknya lebih banyak. Jadi keadaan ekonomi
yang rendah atau tidak memadai dapat mempengaruhi peningkatan kecemasan
pada klien yang akan menghadapi tindakan operasi.
6. Kondisi medis.
Terjadinya gejala kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis sering
ditemukan walaupun insidensi gangguan bervariasi untuk masing-masing
kondisi medis, misalnya: pada pasien sesuai hasil pemeriksaan akan
mendapatkan diagnosa pembedahan, hal ini akan mempengaruhi tingkat
kecemasan klien. Sebaliknya pada pasien yang dengan diagnosa baik tidak
terlalu mempengaruhi tingkat kecemasan.
7. Akses informasi
Adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang membentuk pendapatnya
berdasarkan sesuatu yang diketahuinya. Informasi adalah segala penjelasan
yang didapatkan pasien sebelum pelaksanaan tindakan operasi terdiri dari
tujuan operasi, proses operasi, resiko dan komplikasi serta alternatif tindakan
yang tersedia, serta proses adminitrasi.
8. Proses adaptasi
Tingkat adaptasi manusia dipengaruhi oleh stimulus internal dan eksternal
yang dihadapi individu dan membutuhkan respon perilaku yang terus menerus.
Proses adaptasi sering menstimulasi individu untuk mendapatkan bantuan dari
sumber-sumber di lingkungan dimana dia berada. Perawat merupakan sumber
daya yang tersedia di lingkungan rumah sakit yang mempunyai pengetahuan
dan ketrampilan untuk membantu pasien mengembalikan atau mencapai ke
seimbangan diri dalam menghadapi lingkungan yang baru.
9. Jenis tindakan medis
Adalah klasifikasi suatu tindakan terapi medis yang dapat mendatangkan
kecemasan karena terdapat ancaman pada inte gritas tubuh dan jiwa seseorang
(Long, 1996). Semakin mengetahui tentang tindakan operasi, akan
mempengaruhi tingkat kecemasan pasien.
10. Komunikasi terapeutik.
Komunikasi sangat dibutuhkan baik bagi perawat maupun pasien. Terlebih
bagi pasien yang akan menjalani prosedur operasi. Hampir sebagian besar
pasien yang akan menjalani operasi mengalami kecemasan. Pasien sangat
membutuhkan penjelasan yang baik dari perawat. Komunikasi yang baik
diantara mereka akan menentukan tahap operasi selanjutnya. Pasien yang
cemas saat akan menjalani operasi kemungkinan mengalami efek yang tidak
menyenangkan bahkan akan membahayakan.
2.2.3 Respon terhadap kecemasan
Respon seorang individu dalam menghadapi rasa cemasnya sangat
berfluktuasi mulai dari respon adaptif sampai dengan maladaptif. Antisipasi
merupakan respon paling adaptif dimana pada fase ini seorang individu selalu siap
untuk menghadapi rasa cemas yang mungkin akan ia rasakan. Sedangkan jika
sorang individu tidak lagi dapat merespon rasa cemasnya bahkan sampai
mengalami gangguan fisik maupun psikososial adalah respon paling maladaptif
dari respon cemas, fase ini disebut dengan fase panik (stuart, 2013).
Stuart (2013) menjelaskan bahwa upaya dalam menangani kecemasan pada
individu itu sendiri disebut dengan mekanisme koping, mekanisme koping akan
berespon secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku karena
timbulnya kecemasan. Perubahan yang terjadi meliputi :
a. Respon Fisiologis
Respon fisiologis yang muncul meliputi perubahan pada sistem kardiovaskular
(palpitasi, denyut nadi menurun, tekanan darah meningkat, dan lain lain),
perubahan dalam sistem pernafasan seperti pola nafasnya menjadi cepat dan
pendek, sistem gastro intestinal juga berubah ditandai dengan nafsu makan
yang menurun serta rasa tidak nyaman pada perut, selain itu juga individu yang
mengalami kecemasan akan gugup, pusing, gelisah, individ juga akan terlihat
berkeringat dan lebih sering berkemih.
b. Respon Perilaku
Respon perilaku yang muncul adalah gelisah, tremor, ketegangan fisik, reaksi
terkejut, gugup, bicara cepat, menghindar, kurang koordinasi, menarik diri dari
hubungan interpersonal dan melarikan diri dari masalah.
c. Respon Kognitif
Respon kognitif yang muncul adalah gangguan perhatian, pelupa, salah dalam
memberikan penilaian, hambatan berfikir, kesadaran diri meningkat, tidak
mampu berkonsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan, menurunnya
lapangan persepsi dan kreatifitas, bingung, takut, dan kehilangan kontrol.
d. Respon Afektif
Respon afektif yang sering muncul adalah sensitif dan mudah terganggu, tidak
sabar, gelisah, tegang, ketakutan, waspada, gugup, mati rasa, rasa bersalah dan
malu.
2.2.4 Tingkat Kecemasan
Peplau (1963) dalam Stuart (2013) mengidentifikasi empat tingkat
kecemasan dan dijelaskan efeknya:
a. Kecemasan ringan, terjadi ketegangan dalam aktivitas sehari-hari. Selama
tahap ini orang tersebut waspada dan bidang persepsi meningkat. Orang
tersebut melihat, mendengar, dan memahami situasi lebih dari sebelumnya.
Kecemasan semacam ini dapat memotivasi pembelajaran dan menghasilkan
pertumbuhan dan kreativitas.
b. Kecemasan sedang, di mana orang tersebut hanya berfokus pada masalah
langsung, melibatkan penyempitan bidang persepsi. Orang tersebut melihat,
mendengar, dan memahami keadaan lebih sedikit dari sebelumnya. Orang
tersebut memblokir area yang dipilih tetapi dapat menangani lebih banyak jika
diarahkan untuk melakukannya.
c. Kecemasan berat, ditandai dengan berkurangnya bidang persepsi secara
signifikan. Orang tersebut cenderung fokus pada detail tertentu dan tidak
memikirkan hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk menghilangkan
kecemasan, dan diperlukan banyak arahan untuk fokus pada bidang lain.
d. Panik, dikaitkan dengan ketakutan dan teror, karena orang yang mengalami
panik tidak dapat melakukan hal-hal bahkan dengan arahan. Peningkatan
aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan dengan orang
lain, persepsi yang terdistorsi, dan hilangnya pemikiran rasional adalah semua
gejala panik. Orang yang panik tidak dapat berkomunikasi atau berinteraksi
secara efektif. Tingkat kecemasan ini tidak dapat bertahan selamanya, karena
tidak sesuai dengan kehidupan. Kepanikan yang berkepanjangan akan
menyebabkan kelelahan dan kematian. Tetapi kepanikan dapat diatasi dengan
aman dan efektif.
Tingkat kecemasan yang dirasakan oleh pasien pre operasi katarak dapat
mempengaruhi kelancaran prosedur operasi yang akan dilakukan. Pasien yang
mengalami kecemasan akan kesulitan mengontrol gerakan tubuhnya, sehingga
muncul gerakan tubuh dan kepala yang tidak beraturan ataupun gerakan bola
mata yang tidak disengaja. Gangguan gerakan ini akan menyebabkan operator
kesulitan
untuk melaksanakan prosedur dengan baik. Pengetahuan yang lebih baik dari
pasien akan membuat pasien lebih baik dalam mengontrol kecemasannya dan
semakin kooperatif dalam prosedur operasi (Soekardi & Hutauruk, 2004).
Wahyuni (2015) menjelaskan peningkatan pengetahuan yang dapat dilakukan
secara efektif pada pasien perioperatif adalah melalui peningkatan kualitas
komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh perawat. Selain meningkatkan
pengetahuan komunikasi terapeutik juga dapat menurunkan kecemasan yang
dirasakan oleh pasien. Saat terjadi komunikasi terapeutik perawat dengan pasien
maka terdapat interkasi yang bermakna dimana perawat dan pasien dapat berbagi
pengetahuan, perasaan, dan informasi satu sama lain, selain itu juga akan terbina
hubungan yang baik antara pasien dengan perawat yang membuat pasien bisa
menerima dan memahami kondisinya sehingga kecemasan menurun (Rohmah,
2017)
2.2.5 Alat Ukur Kecemasan
Ada berbagai alat untuk mengukur tingkat kecemasan yang digunkan dalam
penelitian, diantaranya yaitu:
a. Depression Anxiety Stress Scale (DASS)
DASS terdiri dari 42 pertanyaan yang mengevaluasi bagaimana perasaan
responden saat ini dan menggambarkan perasaan mereka pada skala empat poin
berikut : 1) Tidak sama sekali, 2) Agak, 3) Sedang, 4) Sangat banyak. Jumlah skor
pada semua item merupakan skor individu. Jumlah dari skor akan dikategorikan
dalam: 1) Kecemasan Ringan (<10), 2) Kecemasan Sedang (10-14), 3)
Kecemasan Berat (15-19), dan 4) Panik (>19) (Annisa & Suhermanto, 2019).
Skala Pengukuran DASS (Depression Anxiety Stress Scale) yang di pelopori oleh
Lovibond (1995) ini merupakan alat uji instrumen yang sudah baku dan tidak
perlu di uji validitas lagi (Ariyanto, 2019).
b. Amsterdam Preoperative Anxiety and Information Scale (APAIS)
Amsterdam Preoperative Anxiety and Information Scale (APAIS)
dikembangkan oleh Moerman pada tahun 1996. Pada awalnya ditulis dalam
bahasa Belanda. Kuesioner tersebut terdiri dari enam item laporan diri yang
mewakili kecemasan dan kebutuhan akan informasi pada lima poin skala Likert.
Dari versi Belanda asli, kuesioner telah diterjemahkan ke berbagai bahasa lain
seperti Inggris, Jepang, Prancis, dan Jerman dengan reliabilitas dan validitas yang
konsisten. APAIS adalah instrumen sederhana dan dapat diandalkan yang dapat
menjadi alat standar untuk menilai kecemasan pra operasi di seluruh dunia
(Zakariah dkk., 2015). Untuk itu kuesioner ini digunakan dalam penelitian ini.
c. State-Trait Anxiety Inventory (STAI)
Beberapa instrumen telah dilaporkan untuk digunakan untuk menilai
kecemasan pra operasi dan salah satu metode yang paling umum digunakan
adalah State-Trait Anxiety Inventory (STAI) milik Spielberger. STAI terdiri dari
dua bagian terpisah yang masing masing bagian terdiri dari 20 pernyataan untuk
mengukur sifat kecemasan dan status kecemasan responden. Namun, STAI dapat
menjadi tidak taktis dan agak memakan waktu untuk penilaian pra operasi karena
daftar panjang pertanyaan non-spesifik (Zakariah dkk., 2015).
d. Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)
Menurut Hawari (2008) dalam Wahyuni (2015) Skala HARS merupakan
pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya tanda gejala pada
individu yang mengalami kecemasan. Alat ukur Hamilton Anxiety Rating Scale
(HARS) terdiri dari 14 kelompok gejala, meliputi:
1. perasaan cemas : firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung.
2. ketegangan: merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.
3. ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri dan
takut pada binatang besar dll.
4. gangguan tidur : sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak
pulas dan mimpi buruk.
5. gangguan kecerdasan: penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit
konsentrasi.
6. perasaan depresi: hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hobi,
sedih, perasaan tiak menyenangkan sepanjang hari.
7. gejala somatik: nyeri pada otot-otot dan kaku, geretakan gigi, suara tidak
stabil, dan kedutan otot.
8. gejala sensori: perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah dan
pucat serta merasa lemah.
9. gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri dada, denyut nadi mengeras dan detak
jantung hilang sekejap.
10. gejala pernapasan: rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering menarik
napas panjang dan merasa napas pendek.
11. gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun, mual
dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan panas
diperut.
12. gejala urogenital: sering kencing, tidak dapat menahan kencing, aminorea,
ereksi lemah atau impotensi.
13. gejala vegetatif: mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu roma
berdiri, pusing atau sakit kepala.
14. perilaku sewaktu wawancara: gelisah jari-jari gemetar, mengkerutkan dahi
atau kening, muka tegang.

2.3 Konsep Dasar Komunikasi Terapeutik


2.3.1 Definisi Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik adalah kegiatan terencana yang dilakukan oleh
perawat dalam mempelajari kondisi pasien dengan membangun kedekatan dan
rasa saling percaya. Kegiatan tersebut berfokus pada kebutuhan pasien namun
yang memimpin dan merencanakan adalah seorang profesional (Potter & Perry,
2005).
Komunikasi terapeutik adalah suatu kegiatan yang dalam keadaan sadar
telah direncanakan dengan tujuan kegiatannya berpusat pada kesembuhan pasien
(Indrawati, 2003). Komunikasi terapeutik merupakan suatu kegiatan membangun
hubungan saling percaya dan saling mengerti antara perawat dengan pasien. Hal
yang mendasari komunikasi terapeutik yaitu adanya hubungan saling
membutuhkan diantara perawat dengan pasien yaitu perawat membantu dan
pasien menerima bantuan dari perawat (Indrawati, 2003).
Keterampilan dalam melakukan komunikasi terapeutik sangat penting bagi
perawat karena dapat membantu proses penyembuhan pasien. Dengan memiliki
keterampilan komunikasi terapeutik, perawat akan lebih mudah dalam
membangun rasa saling percaya dengan pasien sehingga tujuan dalam asuhan
keperawatan dapat tercapai dengan baik dan pasien dapat merasakan kepuasan
terhadap pelayanan profesional keperawatan (Damayanti, 2008).

2.3.2 Manfaat dan Tujuan Komunikasi Terapeutik

Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk membangun perasaan saling


membantu antara perawat dengan pasien melalui hubungan interpersonal,
mendorong pasien untuk terbuka kepada perawat mengenai apa yang
dirasakannya, melakukan pengkajian terhadap kondisi pasien dan melakukan
evaluasi terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan oleh perawat,
membantu pasien dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya dan
memberikan asuhan keperawatan secara optimal (Indrawati, 2003).
Tujuan dilakukannya komunikasi terapeutik antara perawat dengan pasien
adalah untuk membantu dan memberikan penjelasan kepada pasien mengenai
kondisinya agar mereka tidak merasa khawatir akan keadaannya, hal tersebut
diharapkan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan kecemasan pada pasien
(Mulyani, dkk., 2008). Selain itu juga untuk mempengaruhi pasien dalam
mengambil tindakan positif yang dapat mendukung proses penyembuhan, dan
membantu mengurangi beban pikiran serta perasaan negatif pada diri pasien
dengan senantiasa memberikan pengertian dan penjelasan mengenai kondisi yang
sedang dialami pasien. Kualitas hubungan interpersonal antara perawat dengan
pasien sangat berpengaruh terhadap kualitas asuhan keperawatan yang diberikan
kepada pasien, apabila perawat tidak mampu mencapai kualitas hubungan
interpersonal yang baik maka hubungan antara perawat dengan pasien merupakan
hubungan sosial biasa dan tidak memberikan dampak terapeutik terhadap
kesembuhan pasien (Indrawati,2003).
Komunikasi terapeutik juga mampu meningkatkan kualitas hubungan
interpersonal diantara perawat dengan pasien. Kegiatan tersebut memerlukan
keterampilan khusus karena perawat diharuskan untuk dapat mengidentifikasi
respon verbal maupun non-verbal pada pasien (Potter & Perry, 2005).

2.3.3 Karakteristik Komunikasi Terapeutik


Hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik yaitu sebagai
berikut (Arwani 2003):
a. Ikhlas (Genuiness)
Perawat harus bisa menerima dengan baik seluruh perasaan positif maupun
negatif yang dimiliki oleh pasien, dan proses pendekatan pada pasien dengan
mengidentifikasi respon verbal dan non verbal pada pasien dapat membantu
proses penyembuhan dengan cepat karena dapat mempermudah pasien dalam
menjelaskan apa yang mereka rasakan.
b. Empati (Empathy)
Empati merupakan suatu penilaian dan penerimaan terhadap kondisi pasien
secara jujur, objektif, dan tidak berlebihan.
c. Hangat (Warmth)
Sikap hangat yang diberikan oleh perawat kepada pasien dapat membantu
pasien dalam mengungkapkan apa yang dirasakannya tanpa rasa takut,
sehingga mempermudah pasien dalam mengungkapkan perasaannya secara
lebih detail.
2.3.4 Teknik Komunikasi Terapeutik
Menurut Damayanti (2008) teknik komunikasi terapeutik dilakukan dengancara:
a. Mendengarkan dengan penuh perhatian
Perhatikan pasien ketika berbicara, mempertahankan kontak mata yang
menunjukkan adanya keinginan untuk mendengarkan segala keluh kesah
pasien, posisi tubuh yang menunjukkan keterbukaan dengan tidak
menyilangkan tangan dan kaki, berikan respon atau tanggapan terhadap apa
yang telah disampaikan oleh pasien misalnya dengan anggukan kepala.
b. Menunjukkan penerimaan
Menunjukkan rasa penerimaan bukan berarti menyetujui semua yang
diucapkan oleh pasien. Perasaan menerima yaitu siap mendengarkan cerita
orag lain dengan tidak menunjukkan adanya keraguan atau penolakan. Seorang
perawat sebaiknya menghindari respon negatif seperti gerakan
mengerutkanmkening dan menggelengkanmkepala ketika berkomunikasi
dengan pasien, karena hal tersebut menunjukkan perasaan ragu dan tidak setuju
terhadap apa yang diungkapkan oleh pasien.
c. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan.
Perawat dapat memperoleh informasi yang spesifik mengenai kondisi pasien
dengan cara bertanya langsung kepada pasien yang bersangkutan ataupun
kepada anggota keluarga pasien.
d. Mengulangi pertanyaan yang berkaitan dengan menggunakan kata-kata sendiri.
Dengan memberikan respon atau umpan balik terhadap apa yang telah
dissampaikan oleh pasien kepada perawat, pasien akan mengetahui bahwa
perawat memahami dan mengerti dengan apa yang mereka sampaikan sehingga
pasien akan mengharapkan komunkasi tetap berlanjut. Namun dalam
penggunaan metode ini perawat sebaiknya lebih berhati-hati karena
dikhawatirkan terjadi salah arti pada saat pengucapan ulang.
e. Klarifikasi
Klarifikasi merupakan suatu tindakan yang dapat dilakukan ketika pasien
mengemukakan informasi, ketika seorang perawat merasa ragu dengan apa
yang didengar, tidak mendengar dengan jelas apa yang diucapkan pasien, atau
ketika perawat sedang tidak fokus sehingga tidak mendengar apa yang
diucapkan oleh pasien.
f. Memfokuskan
Memfokuskan merupakan salah satu cara bagi perawat untuk memebrikan
batas bagi pasien agar topik komunikasi lebih spesifik dan bisa diterima
dengan baik informasinya. Namun perawat harus berhati hati dalam melakukan
metode ini agar tidak memutus alur pembicaraan dengan pasien.
g. Menyampaikan hasil observasi
Dalam proses komunikasi terapeutik antara pasien dengan perawat, perawat
juga harus menyampaikan pendapat dan hasil pengamatan yang telah ia dapat
untuk memberikan umpan balik bagi pasien, sehingga pasien merasa informasi
yang ia sampaikan dapat di terima dan mendapatkan solusi dari apa yang ia
keluhkan.
h. Menawarkan informasi
Tawaran informasi bagi pasien ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
dan pendalaman yang lebih baik atas apa yang dirasakan oleh pasien.
i. Diam
Memberikan kesempatan bagi pasien untuk diam ini akan memberikan waktu
bagi pasien untuk berkomunikasi lebih dalam dengan dirinya sendiri, teknik ini
sangat membantu ketika pasien dihadapkan pada situasi untuk mengambil
keputusan
j. Meringkas
Teknik ini memiliki tujuan untuk mengingat kembali semua topik yang telah
dibahas dengan cara pengulangan ide utama secara singkat dan padat.
k. Memberikan penghargaan
Memeberikan penghargaan bagi pasien bertujuan untuk memberikan
pengertian bahwa komunikasi ini bermakna baik atau buruk.
l. Menawarkan diri
Perawat menyediakan diri tanpa respon bersyarat atau respon yang diharapkan.
m. Memberi kesempatan kepada pasien untuk memulai pembicaraan
Memberikan pada pasien kesempatan untuk memulai dan memilih topik
pembicaraan.
n. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan
Teknik ini menganjurkan pasien untuk mengarahkan hampir seluruh
pembicaraan yang mengindikasikan bahwa pasien sedang mengikuti apa yang
sedang dibicarakan.
o. Menempatkan kejadian secara berurutan.
Menempatkan kejadian secara teratur akan menolong perawat dan pasien untuk
melihatnya dalam suatu perspektif. Kelanjutan dari suatu kejadian secara
teratur akan menolong perawat dan pasien untuk melihat kejadian berikutnya
sebagai akibat kejadian yang pertama.
p. Memberikan kesempatan pada pasien untuk menguraikan persepsinya.
Jika perawat ingin mengerti pasien maka perawat harus melihat segala
sesuatunya dari persepsi pasien, maka perawat harus memberikan kebebasan
pada pasien untuk menguraikan persepsinya.
q. Refleksi
Memberikan kesempatan pada pasien untuk mengemukakan dan menerima ide
dan perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.
r. Asertif
Kemampuan dengan secara meyakinkan dan nyaman mengekspresikan pikiran
dan perasaan diri dengan tetap menghargai orang lain. Kemampuan asertif
antara lain: berbicara jelas, mampumenghadapi manipulasi pihak lain tanpa
menyakiti hatinya (beranimengatakan tidak tanpa merasa bersalah), melindungi
diri dari kritik.
s. Humor
Humor sebagai hal yang penting dalam komunikasi verbal dikarenakan:
tertawa mengurangi ketegangan dan rasa sakit akibat stres, dan meningkatkan
keberhasilan asuhan keperawatan.
2.3.5 Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi terapeutik
Menurut Potter & Perry (2005) ada sepuluh hal yang dapat mempengaruhi
komunikasi terapeutik seseorang, yaitu:
1. Perkembangan
Tingkat perkembangan sesorang bervariasi dan secara langsung berhubungan
dengan perkembangan neurologi dan intelektual (Whaley & wong, 1995 dalam
Potter & Perry, 2005). Untuk dapat berkomunikasi secara efektif dengan pasien
dari tingkat perkembangan yang berbeda, perawat harus harus menggunakan
teknik khusus dalam memahami pengaruh perkembangan bahasa dan proses
berpikir pasien.
2. Persepsi
Persepsi adalah pandangan pribadi atas apa yang terjadi. Persepsi pasien
terhadap maksud perawat akan mempengaruhi keinginannya untuk berbicara.
Perbedaan persepsi antara pasien dan perawat dapat menjadi kendala dalam
komunikasi.
3. Nilai
Nilai adalah standar yang mempengaruhi tingkah laku. Perawat sebaiknya tidak
membiarkan nilai pribadi mempengaruhi hubungan profesional. Gerkan tubuh
yang menghakimi akan menghancurkan kepercayaan dan mengganggu
komunikasi efektif.
4. Emosi
Emosi adalah perasaan subjektif seseorang atas peristiwa tertentu. Cara
seseorang bersosialisasi atau berkomunikasi dengan orang lain dipengaruhi
oleh emosi, karena emosi dapat menyebabkan seseorang salah
menginterpretasikan sesuatu atau tidak mendengar pesan yang disampaikan.
5. Latar belakang sosiokultural
Perawat belajar untuk mengetahui makna budaya dalam proses komunikasi.
Pengaruh kebudayaan menetapkan batas bagaimana sesorang bertindak dan
berkomunikasi. Budaya juga mempengaruhi metode komunikasi tentang gejala
atau perasaan menderita pada orang lain.
6. Gender
Pria dan wanita mempunyai gaya komunikasi yang berbeda dan satu sama lain
saling mempengaruhi proses komunikasi secara unik.
7. Pengetahuan
Komunikasi dapat menjadi sulit ketika orang yang berkomunikasi memiliki
tingkat pengetahuan yang berbeda. Perawat harus menggunakan bahasa yang
umum agar pasien dapat memahami maksud perawat. Pesan akan menjadi
tidak jelas jika kata kata dan ungkapan yang digunakan tidak dikenal oleh
pasien.
8. Peran dan hubungan
Individu berkomiunikasi dalam tatanan yang tepat menurut hubungan dan
peran mereka. Komunikasi akan menjadi lebih efektif ketika perawat dan
pasien mengetahui tentang peran mereka dalam suatu hubungan.
9. Lingkungan
Orang cenderung dapat berkomunikasi dengan lebih baik dalam lingkungan
yang nyaman. Lingkungan yang kurang nyaman dapat mengganggu
komunikasi antara perawat dengan pasien.
10. Ruang dan teritorial
Ketika ruang personal terancam oleh karena gangguan respon yang bersifat
defensif akan muncul, sehingga akan menghalangi komunikasi efektif.
2.3.6 Kendala Komunikasi Terapeutik
Beberapa teknik atau gaya komunikasi mengakibatkan interpersonal yang
tidak bersifat terapeutik. Kendala ini dapat merusak hubungan dengan pasien yang
dibangun oleh perawat (Potter & Perry, 2005). Berikut beberapa teknik yang akan
menjadi kendala komunkasi terapeutik menurut Potter & Perry (2005):
1. Pemberian pendapat
Dengan memberikan pendapat akan membutuhkan pengambilan keputusan
yang dilakukan jauh dari pasien. Hal ini menghalangi spontanitas,
memperlambat pemecahan masalah,dan menyebabkan keraguan.
2. Memberikan penentraman semu
Penentraman semu dari perawat dapat mematahkan komunikasi terbuka
ketika pasien mengetahui keadaanya secara nyata.
3. Bersikap defensif
Defensif adalah respons mengkritik, untuk menunjukkan bahwa pasien tidak
memiliki hak untuk memberikan opini. Ketika perawat menjadi defensif, apa
yang menjadi kekhawatiran pasien seringkali terabaikan.
4. Menunjukkan persetujuan atau ketidaksetujuan
Menunjukkan persetujuan yang berlebihan dapat berbahaya untuk hubungan
perawat-pasien, sama seperti menunjukkan ketidaksetujuan. Pasien seringkali
berbagi keputusan denga perawat bukan untuk meminta persetujuan tetapi
mencari cara untuk mendiskusikan perasaan.
5. Stereotip
Stereotip adalah kepercayaan umum mengenai orang. Penggunaan stereotip
menghalangi komunikasi dan menghalangi hubungan antara perawat-pasien.
6. Bertanya mengapa
Ketika seseorang tidak setuju atau tidak dapat memahami orang lain, mereka
cenderung untuk bertanya mengapa orang lain percaya atau bertindak seperti
itu. Pasien seringkali menginterpretasikan pertanyaan “mengapa” sebagai
tuduhan.
7. Mengubah subjek pembicaraan secara tidak tepat
Menginterupsi pembicaraan secara tidak tepat dan kasar dapat menunjukkan
perasaan kurang empati dari perawat.
2.3.7 Tahapan Komunikasi Terapeutik
Unsur-unsur hubungan terapeutik perawat-pasien berlaku untuk semua
pengaturan klinis dan dapat disesuaikan dengan pengaturan dimana pasien dirawat
untuk jangka waktu yang singkat (Spires dan Wood, 2010 dalam Stuart, 2013).
Perawat yang bekerja di bidang medis, bedah, obstetrik, onkologis, dan
bidang khusus lainnya perlu memahami dan dapat menggunakan keterampilan
komunikasi terapeutik perawat-pasien. Empat fase hubungan perawat-pasien telah
diidentifikasi: fase pra-interaksi. fase pengantar atau orientasi. fase kerja. dan fase
terminasi. Setiap fase dibangun dari yang sebelumnya dan memiliki tugas khusus
(Stuart, 2013).
1. Fase Pra Interaksi
Fase pra-interaksi melibatkan persiapan untuk pertemuan pertama dengan
pasien (Townsend, 2009). Yang dilakukan pada fase ini meliputi:
a. Memperoleh informasi yang tersedia tentang pasien dari rekam medisnya,
orang lain yang signifikan, atau anggota tim kesehatan lainnya. Dari
informasi ini, penilaian awal dimulai. Informasi awal ini juga
memungkinkan perawat menyadari respons pribadi terhadap pengetahuan
tentang pasien (Townsend, 2009).
b. Meneliti perasaan, ketakutan, dan kecemasan seseorang tentang bekerja
dengan pasien tertentu. Semua individu membawa sikap dan perasaan dari
pengalaman sebelumnya ke pengaturan klinis. Perawat perlu menyadari
bagaimana prasangka ini dapat memengaruhi kemampuannya untuk
merawat pasien individu (Townsend, 2009).
2. Fase Orientasi
Selama fase orientasi, perawat dan pasien berkenalan. Tugas perawat pada fase
ini menurut Townsend (2009) meliputi:
a. Menciptakan lingkungan untuk membangun kepercayaan dan hubungan
baik.
b. Membuat kontrak untuk intervensi yang merinci harapan dan tanggung
jawab perawat dan pasien.
c. Mengumpulkan informasi pengkajian untuk membangun basis data pasien
yang kuat.
d. Mengidentifikasi kekuatan dan keterbatasan pasien.
e. Merumuskan diagnosis keperawatan.
f. Menetapkan tujuan yang dapat disepakati bersama oleh perawat dan pasien.
g. Mengembangkan rencana tindakan yang realistis untuk memenuhi tujuan
yang ditetapkan.
h. Mengeksplor perasaan pasien dan perawat dalam hal fase orientasi.
Perkenalan seringkali tidak nyaman, dan para pasien mungkin mengalami
beberapa kecemasan sampai tingkat hubungan telah ditetapkan. Interaksi
dapat tetap dangkal sampai kecemasan mereda. Beberapa interaksi mungkin
diperlukan untuk memenuhi tugas-tugas yang terkait dengan fase ini.
3. Fase Kerja
Pekerjaan terapi diselesaikan selama fase ini. Menurut Townsend (2009) tugas
perawat meliputi:
a. Memelihara kepercayaan dan hubungan yang didirikan selama fase
orientasi.
b. Mempromosikan wawasan dan persepsi pasien tentang kenyataan.
c. Pemecahan masalah menggunakan model yang disajikan sebelumnya dalam
fase ini.
d. Mengatasi perilaku resistensi dari pihak pasien ketika tingkat kecemasan
meningkat sebagai respons terhadap diskusi tentang masalah yang
menyakitkan.
e. Terus mengevaluasi kemajuan menuju pencapaian tujuan.
4. Fase terminasi
Tahap terminasi dapat terjadi karena berbagai alasan seperti : tujuan yang
disepakati bersama mungkin telah tercapai. Terminasi bisa menjadi fase yang
sulit bagi pasien dan perawat. Tugas pada fase ini yaitu membawa kesimpulan
terapeutik. Hal ini terjadi ketika:
a. Kemajuan telah dicapai untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bersama.
b. Suatu rencana untuk perawatan berkelanjutan atau untuk bantuan selama
pengalaman hidup yang penuh tekanan dibuat bersama oleh perawat dan
pasien.
c. Perasaan tentang pemutusan hubungan diakui dan dieksplorasi. Baik
perawat dan pasien mungkin mengalami perasaan sedih dan kehilangan.
Perawat harus berbagi perasaannya dengan pasien. Melalui interaksi ini,
pasien belajar bahwa dapat diterima untuk memiliki perasaan semacam ini
pada saat perpisahan. Melalui pengetahuan ini, pasien mengalami
perkembangan selama proses terminasi.
(Townsend, 2009).

2.3.8 Alat Ukur Komunikasi Terapeutik


Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar
bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati 2003).
Untuk mengukur komunikasi terapeutik digunakan kuesioner komunikasi
terapeutik (Sigalingging, 2012). Kuesioner terapeutik ini terdiri dari 15
pernyataan dan bertujuan untuk melihat bagaimana perilaku perawat saat
berkomunikasi dengan pasien yang diukur dari penerapan komunikasi terapeutik
perawat yaitu fase orientasi yang terdiri dari 5 pernyataan tertutup, fase kerja yang
terdiri dari 5 pernyataan tertutup, dan fase terminasi yang terdiri dari 5 pernyataan
tertutup dengan jenis pernyataan (sering), (kadang-kadang) dan (tidak). Setiap
kategori pernyataan dengan jawaban (sering) diberi skor 3, jawaban (kadang-
kadang) diberi skor 2 dan jawaban (tidak) diberi skor 1. Kuesioner ini telah
dilakukan uji validitas menggunakan metode content validity dan dinyatakan
valid, serta sudah dilakukan uji keandalan kepada 10 pasien di RSUD Dr.Pirngadi
Kota Medan dan didapatkan nilai cronbach alpha sebesar 0,835. Yang artinya instrumen ini

reliabel untuk digunakan.

2.4 Pengaruh Pemberian Komunikasi Terapeotik Terhadap Tingkat Kecemasan


Pasien Pre Operasi

Tindakan operasi memerlukan sebuah tindakan keperawatan sebelum dan


sesudah operasi. Lebih dari 230 juta operasi mayor dilakukan setiap tahun di dunia
yang menyebabkan keadaan pasien saat operasi akan lemah. Pre operasi yang
merupakan tahapan awal dari keperawatan operatif yang dimulai sejak pasien diterima
masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi
untuk dilakukan tindakan pembedahan. Salah satu persiapan pre operasi ialah
persiapan mental/psikis (Renani Dwi, et al 2019).

Uraian singkat menegenai respon psikologi terhadap pembedahan (Maryuani, 2014:26).


Setiap orang berbeda-beda dalam memahami tentang pembedahan dan respon mereka
pun berbeda-beda juga. Namun, mereka umumnya mempunyai ketakutan dan keluhan -
keluhan tertentu.Dalam hal ini, pasien yang akan dioperasi biasanya menjadi agak
gelisah dan takut. Perasaan gelisah dan takut kadang-kadang tidak tampak jelas. Tetapi
kadang-kadang pula, kecemasan ini terlihat dalam bentuk lain. Pasien yang gelisah dan
takut sering bertanya terus menerus dan berulang ulang, walaupun pertanyaannya telah
dijawab. Kadang pasien tidak mau berbicara dan mempertahankan keadaan
sekitarnya. Atau sebaliknya, pasien tidak mau bergerak dan tidak bisa tidur.

Salain itu, kecemasan pada pasien berkaitan dengan ketakutan akan menjalani
posedur asing, penyuntikan, nyeri luka setelah operasi, hilangnya kemandirian dan
menjadi bergantung pada orang lain bahkan ancaman terjadinya kematian akibat
prosedur pembedahan dan tindakan anastesi (Potter & Perry, 2005). Kaplan dan
Sadock (2010) juga menjelaskan bahwa kecemasan pasien pre operasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia, pengalaman pasien menjalani operasi,
konsep diri dan peran, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, kondisi medis,
akses informasi, proses adaptasi, jenis tindakan medis dan komunikasi terapeutik.
Komunikasi terapeutik sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kecemasan merupakan salah satu faktor yang harus di tingkatkan kualitasnya
sehingga dapat menurunkan kecemasan yang terjadi pada pasien pre operasi
(Kaplan & Saddock, 2010). Hal ini dapat terjadi karena saat terjadi komunikasi
terapeutik antara perawat-pasien maka akan terjadi interakasi yang bermakna
dimana perawat dan pasien dapat berbagi pengetahuan, perasaan, dan informasi
satu sama lain, selain itu juga akan terbina hubungan yang baik antara pasien
dengan perawat yang membuat pasien bisa menerima dan memahami kondisinya
sehingga kecemasan menurun (Rohmah, 2017). Smeltzer & Bare (2002)
menjelaskan bahwa melalui penjelasan yang rinci dan detail yang dilakukan oleh
perawat melalui komunikasi kepada pasien akan meningkatkan informasi
sehingga dapat menghilangkan ketakutan yang tidak diketahui, selain itu juga
memberikan pengenalan terhadap lingkungan perioperatif yang dapat membantu
mengurangi kecemasan dan meningkatkan keamanan yang dirasakan oleh pasien.

Pasien juga akan lebih mudah menerima penanganan serta mematuhi instruksi
yang diberikan jika sudah mendapatkan banyak informasi.
Komunikasi terapeutik sendiri terdiri dari empat fase, yaitu: fase pra-
interaksi; fase pengantar atau orientasi; fase kerja; dan fase terminasi. Pada
2.5 Kerangka Teori

Pasien pre oprasi

Pembedahan
Non-Pembedahan

Pre Operasi Manfaat :


Intra Operasi Post Operasi
1. Mendorong dan menganjurka
Kecemasan Komunikasi Terapeutik kerjasama antara perawat ndan pasien
melalui hubungan perawat dan pasien.
2. Mengidentifikasi, mengungkapkan
Tingkat Kecemasan : Tahapan Komunikasi perasaan dan mengkaji masalah dan
Ringan Terapeutik : evaluasi tindakan yang dilakukan oleh
Sedang fase pra-interaksi; perawat (Indrawati 2003).
Berat fase orientasi Tujuan :
Panik fase kerja Membantu dan memberikan penjelasan
(Peplau, 1963 dalam fase terminasi (Stuar kepada pasien mengenai kondisinya
Stuart 2013) t, 2013) agar mereka tidak merasa khawatir
akan keadaannya, hal tersebut
diharapkan dapat mengurangi atau
bahkan menghilangkan kecemasan
pada pasien (Mulyani, dkk., 2008)

Anda mungkin juga menyukai