Anda di halaman 1dari 15

BAB I

DEFINISI
Budaya keselamatan di rumah sakit adalah sebuah lingkungan yang kolaboratif dimana
staf klinis memperlakukan satu sama lain dengan hormat, dengan melibatkan dan
memperdayakan pasien dan keluarga. Budaya keselamatan juga merupakan hasil dari nilai-nilai,
sikap, persepsi, kompetensi, dan pola perilaku dari individu maupun kelompok yang
menentukan komitmen terhadap keselamatan, serta kemampuan manajemen rumah sakit,
dicirikan dengan komunikasi yang berdasarkan rasa saling percaya, dengan persepsi yang sama
tentang pentingnya keselamatan, dan dengan keyakinan akan manfaat langkah-langkah
pencegahan.
Keselamatan Pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman,
meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil.
Insiden Keselamatan Pasien yang selanjutnya disebut Insiden, adalah setiap kejadian
yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera
yang dapat dicegah pada pasien.
Budaya Organisasi adalah suatu pola keyakinan, nilai-nilai perilaku, norma-norma yang
disepakati/diterima dan melingkupi semua proses sehingga membentuk bagaimana seseorang
berperilaku dan bekerja bersama. Budaya organisasi merupakan kekuatan yang sangat besar dan
sesuatu yang tetap ada walaupun terjadi perubahan tim dan perubahan personal.

1
BAB II
RUANG LINGKUP

A. Penyelenggaraan Keselamatan pasien (Patient Safety) rumah sakit.


B. Prinsip terbuka dan adil.
C. Budaya keselamatan rumah sakit.
D. Sistem pelaporan insiden budaya keselamatan pasien.
E. Prinsip kerahasiaan.
F. Penanganan laporan insiden budaya keselamatan rumah sakit.
G. Perilaku yang tidak mendukung budaya keselamatan rumah sakit.
H. Tahap-tahap membangun budaya keselamatan rumah sakit.
I. Survei Budaya Keselamatan

2
BAB III
TATA LAKSANA

A. Keselamatan Pasien (Patient Safety) Rumah Sakit


Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus menyelenggarakan Keselamatan Pasien melalui
pembentukan sistem pelayanan yang menerapkan: standar Keselamatan Pasien, sasaran
Keselamatan Pasien, dan tujuh langkah menuju Keselamatan Pasien. Sistem pelayanan
harus menjamin pelaksanaan :
a. Asuhan pasien lebih aman, melalui upaya yang meliputi asesmen risiko,
identifikasi dan pengelolaan risiko pasien.
b. Pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden, dan tindak
lanjutnya.
c. Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Standar keselamatan pasien meliputi standar hak pasien, pendidikan bagi pasien dan
keluarga, Keselamatan Pasien dalam kesinambungan pelayanan, penggunaan metode
peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan peningkatan Keselamatan Pasien,
peran kepemimpinan dalam meningkatkan Keselamatan Pasien, pendidikan bagi staf
tentang Keselamatan Pasien, dan komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk
mencapai Keselamatan Pasien.
Sasaran Keselamatan Pasien meliputi tercapainya mengidentifikasi pasien dengan benar,
meningkatkan komunikasi yang efektif, meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus
diwaspadai, memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,
pembedahan pada pasien yang benar, mengurangi risiko infeksi akibat perawatan
kesehatan, dan mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh.
Tujuh (7) Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Mengacu pada standar keselamatan pasien, maka rumah sakit harus merancang proses
baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui
pengumpulan data, menganalisis secara intensif kejadian tidak diharapkan (KTD), dan
melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Proses
perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi dan tujuan rumah sakit, kebutuhan
pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat,
dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien, dengan cara menerapkan
langkah-langkah secara bertahap, yaitu “tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit”.
Ketujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien, ciptakan kepemimpinan dan budaya
yang terbuka dan adil.
2. Pimpin dan dukung staf anda, bangunlah komitmen dan fokus yang kuat serta jelas
tentang keselamatan pasien di rumah sakit.
3. Integrasikan aktifitas pengelolaan risiko, kembangkan sistem dan proses pengelolaan
risiko, serta lakukan identifikasi dan assessment hal yang potesial bermasalah.
4. Kembangkan sistem pelaporan, pastikan staf anda agar dengan mudah dapat
melaporkan kejadian/insiden, serta rumah sakit mengatur pelaporan kepada sub komite
keselamatan pasien rumah sakit.
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien, kembangkan cara-cara komunikasi yang
terbuka dengan pasien.
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien, dorong staf untuk
melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu
timbul.

3
7. Cegah cidera melalui implementasi sistem keselamatan pasien, gunakan informasi yang
ada tentang kejadian/masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan.

B. Prinsip Terbuka dan Adil


Manajemen RS Kristen Lindimara menyadari, bahwa ada saat-saat individu seharusnya
tidak disalahkan atas suatu kekeliruan; sebagai contoh, ketika ada komunikasi yang buruk
antara pasien dan staf dalam kondisi darurat, ketika perlu pengambilan keputusan secara
cepat, dan ketika ada kekurangan tenaga dalam pola proses pelayanan, serta dalam
kejadian luar biasa. Namun, terdapat juga kesalahan tertentu yang merupakan hasil dari
perilaku yang sembrono dan hal ini membutuhkan pertanggungjawaban.
Just culture adalah model terkini mengenai pembentukan suatu budaya yang terbuka, adil
dan pantas, menciptakan budaya belajar, merancang sistem-sistem yang aman, serta
mengelola perilaku yang terpilih (human error, at risk behavior, dan reckless behavior).
Model ini melihat peristiwa-peristiwa bukan sebagai hal-hal yang perlu diperbaiki, tetapi
sebagai peluang-peluang untuk memperbaiki pemahaman baik terhadap risiko dari sistem
maupun risiko perilaku.
Menurut NPSA (National Patient Safety Agency) (2006), bagian yang fundamental dari
organisasi dengan budaya keselamatan adalah menjamin adanya keterbukaan dan adil.
Keterbukaan dan adil berarti semua pegawai/staf berbagi informasi secara bebas dan
terbuka mengenai insiden yang terjadi.
Bagian yang paling mendasar dari organisasi dengan budaya keselamatan (culture of
safety) adalah meyakinkan bahwa organisasi memiliki “keterbukaan dan adil” (being
open and fair). Ini berarti bahwa (NSPA, 2004):
a. Staf yang terlibat dalam insiden merasa bebas untuk menceritakan insiden
tersebut atau terbuka tentang insiden tersebut.
b. Staf dan organisasi bertanggung jawab untuk tindakan yang diambil.
c. Staf merasa bisa membicarakan semua insiden yang terjadi kepada teman sejawat
dan atasannya.
d. Perlakuan yang adil terhadap staf jika insiden terjadi.
Perlakuan yang adil terhadap staf jika insiden terjadi dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Ketika staf melakukan kesalahan ia berani mengakui kesalahannya demi
keselamatan pasien, maka keadilan yang didapat adalah dengan melakukan
investigasi, dari hasil investigasi apabila sistem yang perlu diperbaiki maka perlu
dilakukan perbaikan sistem dan perbaikan lainnya yang diperlukan dengan tetap
mengacu pada peraturan yang berlaku.
b. Jika staf lain yang melaporkan terkait insiden atau pelanggaran budaya
keselamatan yang dilakukan rekan kerjanya, maka akan dirahasiakan siapa yang
melapor.
c. Staf mendapatkan reward atas tindakan berani mengakui kesalahan/melaporkan
insiden atau pelanggaran budaya keselamatan, reward dimaksud bisa berupa
penilaian (disesuaikan dengan aturan kepegawaian).
d. Dari hasil investigasi, jika ditemukan staf melakukan kesalahan, maka staf perlu
diberikan sanksi akibat dari kelalainnya. Sanksi dimaksud sesuai dengan
peraturan kepegawaian RS Kristen Lindimara.

Contoh prinsip terbuka dan adil sebagai berikut : Perawat A melakukan kesalahan salah
memberikan obat pada pasien, dan tidak diketahui siapapun, demi keselamatan pasien
termasuk hal yang diketahui, maka perawat A melaporkan bahwa perawat A sedang salah
(laporkan dengan mengisi Form Budaya Keselamatan), juga kejadian tersebut harus

4
melalui proses investigasi oleh Kepala ruangan, dan hasil investigasinya salah
memberikan obat karena perawat A Dinas sendiri dan jumlah pasien di unit tersebut
sebanyak 20 orang, akibatnya perawat A bekerja tidak fokus. Perbaikan dilakukan pihak
Rumah sakit yaitu penambahan tenaga di unit tersebut, sehingga setiap shift perawat
jaganya tidak hanya 1 orang. Tetapi kemudian dalam kejadian, tidak dilakukan double
cek, berarti kecerobohannya perawat A, dan juga perawat A mesti mendapat sanksi.
Sanksi tersebut mesti dilihat sebagai cara perbaikan supaya kesalahan tidak terulang lagi.
Karena perawat A jujur dan berani melaporkan insiden tersebut, perawat A mendapat
penghargaan.
Lingkungan yang terbuka dan adil akan membantu staf untuk yakin membuat laporan
insiden yang bisa menjadi pelajaran untuk perbaikan.
C. Budaya Keselamatan Rumah Sakit
Budaya keselamatan juga merupakan hasil dari nilai-nilai, sikap, persepsi, kompetensi,
dan pola perilaku individu maupun kelompok yang menentukan komitmen terhadap, serta
kemampuan manajemen pelayanan kesehatan maupun keselamatan. Budaya keselamatan
dicirikan dengan komunikasi yang berdasar atas rasa saling percaya dengan persepsi yang
sama tentang pentingnya keselamatan dan dengan keyakinan akan manfaat langkah-
langkah pencegahan.
Budaya keselamatan mencakup mengenali dan menunjukan masalah yang terkait dengan
sistem yang mengarah pada perilaku yang tidak aman. Pada saat yang sama, RS Kristen
Lindimara harus meminta pertanggungjawaban sesuai dengan undang-undang/peraturan
pemerintah/peraturan menteri/keputusan menteri yang berlaku, peraturan kepegawaian
RSK Lindimara dan peraturan dan etik serta hukum lainnya yang brelaku di RS Kristen
lindimara dengan tidak mentoleransi perilaku sembrono. Pertanggungjawaban
membedakan kesalahan unsur manusia (seperti kekeliruan), perilaku yang berisiko
(contohnya mengambil jalan pintas seperti : seharusnya dilakukan observasi tanda-tanda
vital, namun petugas mencantumkan data tanda-tanda vital pasien, tanpa dilakukan
observasi terlebih dahulu), dan perilaku sembrono (seperti mengabaikan langkah-langkah
keselamatan yang sudah ditetapkan seperti : Tidak melakukan prinsip 6 benar saat
memberikan obat ke pasien. Tidak melakukan komunikasi SBAR).
Direktur RS Kristen Lindimara mendorong staf klinis pemberi asuhan bekerja sama
dalam tim yang efektif dan mendukung proses kolaborasi interprofesional dalam asuhan
berfokus pada pasien. Tim atau staf klinis harus belajar dari kejadian tidak diharapkan
dan kejadian nyaris cedera. Staf klinis pemberi asuhan harus menyadari keterbatasan
kinerja manusia dalam sistem yang kompleks dan ada proses yang terlihat dari belajar
serta menjalankan perbaikan melalui brifing. Lingkungan RS Kristen Lindimara harus
menjamin berkembangnya keselamatan dan mutu yang mendukung kerja sama dan rasa
hormat terhadap sesama tanpa melihat jabatan mereka dalam rumah sakit. Direktur rumah
sakit menunjukkan komitmennya tentang budaya keselamatan dan medorong budaya
keselamatan untuk seluruh staf rumah sakit.
Hal-hal penting menuju budaya keselamatan.
1. Karyawan RS Kristen Lindimara harus mengetahui bahwa kegiatan operasional
rumah sakit berisiko tinggi dan bertekad untuk melaksanakan tugas dengan konsisten
serta aman.
2. Direktur menjamin bahwa regulasi serta lingkungan kerja mendorong staf tidak takut
mendapat hukuman bila membuat laporan tentang kejadian tidak diharapkan dan
kejadian nyaris cedera.
3. Direktur mendorong sub komite keselamatan rumah sakit RS Kristen Lindimara
melaporkan insiden keselamatan rumah sakit ke tingkat nasional sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
4. Diektur mendorong kolaborasi antara staf klinis dengan pimpinan untuk mencari
penyelesaian masalah keselamatan rumah sakit.

5
RS Kristen Lindimara memiliki komitmen organisasi untuk menyediakan sumber daya,
seperti staf, pelatihan, metode pelaporan yang aman, dan sebagainya untuk menangani
masalah keselamatan. Budaya untuk menyalahkan suatu pihak yang akhirnya merugikan
kemajuan budaya keselamatan harus dihilangkan.
Direktur RS Kristen Lindimara melakukan evaluasi rutin dengan jadwal yang tetap yaitu
setiap 3 bulan sekali, dapat dengan menggunakan beberapa metode, survei resmi,
wawancara staf, analisis data, dan diskusi kelompok. Direktur juga mendorong agar dapat
terbentuk kerja sama untuk membuat struktur, proses, dan program yang memberikan
jalan bagi perkembangan budaya positif ini.
Direktur RS Kristen Lindimara harus menanggapi perilaku yang tidak terpuji dari semua
individu dari semua jenjang rumah sakit, termasuk manajemen, staf administrasi, staf
klinis, dokter tamu atau dokter part time, serta anggota representasi pemilik.
Memiliki budaya keselamatan akan mendorong terciptanya lingkungan yang
mempertimbangkan semua komponen sebagai faktor yang ikut berkontribusi terhadap
insiden yang terjadi. Hal ini menghindari kecenderungan untuk menyalahkan individu
dan lebih melihat kepada sistem di mana individu tersebut bekerja.
Dengan demikian harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut:
1. Direktur RS Kristen Lindimara mendukung terciptanya budaya keterbukaan yang
dilandalasi akuntabilitas.
2. Direktur RS Kristen Lindimara mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan
melaksanakan perbaikan perilaku yang tidak dapat diterima.
3. Direktur RS mengidentifikasi beban kerja dan stress pada PPA, staf klinis, staf
non klinis, termasuk residen dan peserta didik klinis lainnya serta
melaksanakanperbaikan.
4. Direktur RS Kristen Lindimara menyelenggarakan pendidikan dan menyediakan
informasi (seperti bahan pustaka dan laporan) yang terkait dengan budaya
keselamatan rumah sakit bagi semua individu yang bekerja dalam rumah sakit.
5. Direktur mendorong agar dapat terbentuk kerja sama untuk membuat struktur,
proses, dan program yang memberikan jalan bagi perkembangan budaya
keselamatan.
6. Direktur RS Kristen Lindimara bisa menjelaskan bagaimana masalah terkait
budaya keselamatan dalam rumah sakit dapat diidentifikasi dan dikendalikan.
7. Direktur RS menetapkan regulasi pengaturan sistem menjaga kerahasiaan,
sederhana dan muda diakses oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk
melaporkan masalah yang terkait dengan budaya keselamatan dalam Rumah Sakit
secara tepat waktu.
8. Sistem yang rahasia, sederhana dan mudah diakses oleh pihak yang mempunyai
kewenangan untuk melaporkan masalah yang terkait dengan budaya keselamatan
dalam RS telah disediakan.
9. Direktur harus menanggapi perilaku yang tidak terpuji dari semua individu dari
semua jenjang Rumah Sakit, termasuk manajemen, staf administrasi , staf klinis,
dokter atau dokter part time, serta anggota representasi pemilik.
10. Semua laporan kejadian terkait budaya keselamatan rumah sakit telah
diinvestigasi secara tepat waktu.
11. Direktur RS telah menggunakan pengukuran/indikator mutu atau survei budaya
keselamatan untuk mengevaluasi dan memantau budaya keselamatan dalam RS
serta melaksanakan perbaikan yang telah teridentifikasi dari pengukuran dan
evaluasi tersebut.

6
12. Direktur Rumah Sakit menerapkan sebuah proses untuk mencegah
kerugian/dampak terhadap individu yang melaporkan masalah terkait dengan
budaya keselamatan tersebut.

D. Sistem Pelaporan Insiden Budaya Keselamatan Rumah Sakit


1. Semua karyawan yang melakukan pelanggaran Budaya Keselamatan melaporkan
ke atasan langsung dalam waktu paling lambat 2x24 jam.
2. Semua karyawan yang mengetahui, menyaksikan, atau mendengar langsung
adanya karyawan yang melakukan perilaku yang tidak mendukung budaya
keselamatan rumah sakit wajib melaporkan kepada atasan langsung dalam waktu
paling lambat 2x24 jam, kemudian atasan langsung melakukan investigasi, dan
melakukan pencatatan untuk dilaporkan ke urusan sumber daya manusia (SDM)
setiap bulan untuk diberikan kepada Direktur.
3. Apabila pelanggaran budaya keselamatan tidak dapat diselesaikan atasan
langsung atau pelanggaran tersebut berkaitan dengan unit lain dan atau
pelanggaran tersebut merupakan klasifikasi pelanggaran berat (berbahaya), maka
atasan langsung dapat menyampaikan laporan tersebut ke Kepala Bagian untuk
diinvestigasi, dan Kepala Bagian menyampaikan laporan tersebut kepada
Direktur. Apabila pelanggaran tersebut tidak dapat diselesaikan kepala bagian,
maka pelanggaran tersebut akan diselesaikan oleh Direktur.
4. Laporan berisi tanggal dan jam kejadian, nama pelaku, nama sasaran, katagori
perilaku, rincian perilaku.
5. Apabila pelanggaran Budaya Keselamatan berkaitan dengan insiden keselamatan
pasien, maka atasan langsung wajib meneruskan laporan tersebut ke sub komite
kelamatan pasien sesuai dengan regulasi pelaporan insiden keselamatan pasien.
6. Apabila atasan langsung yang melakukan pelanggaran budaya keselamatan, maka
staf dapat melaporkan pada Kepala Bagian atasan langsung tersebut paling lambat
2x24 jam, dan kepala bagian melakuk invetigasi kemudian dilaporkan pada
Direktur.

E. Prinsip Kerahasiaan
1. Pelapor, atasan pelapor (kepala gugus tugas), dan urusan sumber daya manusia
wajib menjaga rahasia pelaku maupun korban/ sasaran tindakan tidak mendukung
budaya keselamatan rumah sakit tersebut.
2. Pembukaan identitas pelaku dan korban/sasaran tindakan perilaku tidak
mendukung budaya keselamatan pasien hanya boleh dilakukan dalam rapat
pimpinan dan atau rapat yang diperuntukkan dalam proses pembinaan.
3. Pimpinan (Direktur, Kepala Bagian, Kepala Ruangan, Kepala Urusan, Kepala
Unit, dan Kepala Instalasi), sub komite keselamatan pasien, dan pokja TKRS
wajib merahasiakan staf yang melaporkan tindakan insiden/ tindakan melanggar
budaya keselamatan.
4. Setiap karyawan wajib mencegah tersebarnya informasi tentang pelaku terjadinya
perilaku tidak mendukung budaya keselamatan di RS Kristen Lindimara.
5. Bukti laporan perilaku yang tidak mendukung budaya keselamatan rumah sakit
harus disimpan di tempat yang tidak mudah diakses staf.

F. Penanganan Laporan Insiden Budaya Keselamatan Rumah Sakit


1. Semua laporan terkait dengan budaya keselamatan rumah sakit harus dilakukan
investigasi paling lambat waktu 2 minggu setelah kejadian.
2. Direktur bertanggungjawab atas pelaksanaan investigasi tersebut, dengan tetap
memegang kerahasiaan terduga pelaku.

7
3. Direktur segera melakukan identifikasi masalah pada sistem yang menyebabkan
tenaga kesehatan melakukan perilaku yang berbahaya.
4. Direktur menggunakan pengukuran/indikator mutu melalui Komite PMKP untuk
mengevaluasi dan memantau budaya keselamatan dalam rumah sakit.
5. Direktur wajib melaksanakan perbaikan berdasarkan hasil identifikasi dari
pengukuran dan evaluasi tersebut.
6. Direktur menerapkan sebuah proses untuk mencegah kerugian/dampak terhadap
individu yang melaporkan masalah terkait dengan budaya keselamatan tersebut.
7. Individu yang melaporkan wajib mendapat perlindungan dari Direktur akan
kemungkinan adanya ancaman dan atau perbuatan yang merugikan.

G. Perilaku Yang Tidak Mendukung Budaya Keselamatan Rumah Sakit


Budaya keselamatan rumah sakit tidak akan terwujud jika karyawan RS Kristen
Lindimara sering melakukan perilaku yang tidak mendukung budaya keselamatan .
Sebaliknya Budaya Keselamatan Pasien akan terwujud jika seluruh karyawan tidak
melakukan perilaku yang tidak mendukung Budaya Keselamatan Pasien. Perilaku tidak
mendukung budaya keselamatan pasien bisa terjadi antar staf di RS Kristen Lindimara
maupun antara staf dengan pasien.

Perilaku Antar Staf yang tidak mendukung Budaya Keselamatan


No Jenis Perilaku Contoh
Perilaku yang tidak layak (inappropriate)
1 Kata-kata yang merendahkan atau Kalau cuma CS, dengar kalau saya
menyinggung perasaan sesama staf. omong…
2 Bahasa tubuh yang merendahkan Tidak mau menjawab pertanyaan
atau menyinggung perasaan sesama rekan kerja dengan sengaja, dan
staf. mengarahkan wajah tempat lain.
Perilaku yang mengganggu (disruptive)
3. Perilaku tidak layak yang dilakukan Memberikan barang dengan dilempar
secara berulang
4. Tindakan verbal atau nonverbal Awas kau e, kalau saya dapat.. ko mati
yang membahayakan atau dari saya.
mengintimidasi staf lain.
5. “celetukan maut” adalah komentar Bisa mati orang kalau kamu punya cara
sembrono di depan pasien yang suntik orang kayak begitu…
berdampak menurunkan kredibilitas
staf klinis lain.
6. Melarang perawat untuk membuat Kesalahan pemberian obat : nona tidak
laporan tentang kejadian tidak usah lapor sudah kalau tadi ada salah
diharapkan kasi obat, kita diam-diam saja… kan
pasien aman-aman.
7. Memarahi staf klinis lainnya di depan Kamu ini bodoh sekali, bukan begitu
pasien cara tensi.. masa tensi saja tidak bisa..
8. Kemarahan yang ditunjukkan dengan
melempar alat bedah di kamar
operasi.
9. Kemarahan yang ditunjukkan dengan
membuang rekam medis di ruang
rawat.
Perilaku yang melecehkan (harassment)
10. Terkait dengan ras, agama, dan suku Bapak/Ibu orang (menyebut

8
termasuk gender. suku/ras/agama. Contoh : kamu itu
perempuan tidak kuat, biar sini laki-laki
saja yang angkat!
Pelecehan seksual
11. Melakukan tindakan pelecehan Memegang/meraba bagian tubuh sensitif
seksual. tanpa indikasi medis.
Sengaja menyentuh bagian tubuh
sensitif.
12. Berkata yang mengarah pada Jalan itu jangan terlalu basorong, bikin
pelecehan seksual. orang tidak kuat saja..

Perilaku staf terhadap pasien yang tidak mendukung budaya keselamatan

No Jenis Perilaku Contoh


Perilaku yang tidak layak (inappropriate)
1 Kata-kata yang merendahkan atau Mengumpat dan memaki: Ibu mau mati
menyinggung perasaan pasien. ya… kenapa nggak minum obat ini?
2 Bahasa tubuh yang merendahkan Tidak mau menjawab pertanyaan
atau menyinggung perasaan pasien pasien/keluarga.
Perilaku yang mengganggu (disruptive)
3. Perilaku tidak layak yang dilakukan Memberikan obat pada pasien tanpa
secara berulang senyum dan tidak memberikan edukasi
terkait obat yang diberikan “ hanya
menyimpan obat di meja pasien”
4. Tindakan verbal atau nonverbal
yang membahayakan atau
mengintimidasi pasien.
5. “celetukan maut” adalah komentar
sembrono terhadap pasien yang
berdampak menyakiti pasien,
menyinggung pasien.
Perilaku yang melecehkan (harassment)
6. Terkait dengan ras, agama, dan suku Bapak/Ibu orang (menyebut
termasuk gender. suku/ras/agama
Pelecehan seksual
7. Melakukan tindakan pelecehan Memegang/meraba bagian tubuh sensitif
seksual. tanpa indikasi medis.
Sengaja menyentuh bagian tubuh sensitif
tanpa indikasi medis.
8. Berkata yang mengarah pada Waktu buat enak, giliran sekarang
pelecehan seksual. berteriak-berteriak!
9. Tindakan sembrono. Perilaku Tidak melakukan 5 momen cuci tangan.
sembrono mencakup kegagalan dalam Melakukan cuci tangan tidak sesuai
mematuhi regulasi yang berlaku di dengan 6 langkah cuci tangan.
RS, mengabaikan langkah-langkah
keselamatan yang sudah ditetapkan di
RS.
10 Perilaku yang berisiko Mengambil jalan pintas seperti :
seharusnya dilakukan observasi tanda-
tanda vital, namun petugas
mencantumkan data tanda-tanda vital
pasien, tanpa dilakukan observasi
terlebih dahulu)

9
Untuk mencegah dan atau mengurangi perilaku yang tidak mendukung budaya
keselamatan, maka Direktur menyediakan sumber daya (seperti staf), menyelenggarakan
pelatihan/ sosialisasi, metode pelaporan yang aman, dan sebagainya untuk menangani
masalah keselamatan.
H. Tahap-Tahap Membangun Budaya Keselamatan
1. Tahap 1:
a. Pengenalan Budaya Keselamatan.
b. Sosialisasi perilaku yang tidak mendukung budaya keselamatan.
c. Mendata kejadian perilaku yang tidak mendukung budaya keselamatan
(retrospekstif).
2. Tahap 2:
a. Melakukan pemantauan insiden budaya keselamatan.
b. Melakukan pelaporan insiden budaya keselamatan.
c. Melakukan pembinaan terhadap pelaku perilaku insiden budaya
keselamatan.
3. Tahap 3:
a. Mengupayakan agar insiden budaya keselamatan semakin berkurang
akhirnya nihil.
b. Mempertahankan dan memelihara kondisi budaya keselamatan dalam
pelayanan di RS Kristen Lindimara.

10
I. Survei budaya keselamatan
Survei budaya keselamatan dilakukan 1 (satu) tahun sekali. Pengukuran budaya keselamatan
pasien dengan menggunakan instrument AHRQ ( Agency for Healthcare Research and Quality )
dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Populasi, Sampel, Kriteria inklusi dan Eksklusi
a. Populasi
Semua karyawan pemberi pelayanan pasien yang meliputi :
 Tenaga medis ( Dokter umum dan dokter spesialis)
 Tenaga keperawatan
 Tenaga kesehatan lain
 Non medis
b. Sampel
Diambil perwakilian dari masing – masing unit tergantung banyaknya jumlah yang
memenuhi kriteria inklusi dan tidak terdapat kriteria eksklusi Healthcare Research and
Quality (AHRQ) , merupakan kuesioner yang paling banyak direkomendasikan untuk
mengukur budaya keselamatan pasien karena telah terjamin validitas dan reabilitasnya.
Terdapat 12 elemen yang terdapat dalam kuesioner tersebut, yaitu sebagai berikut:

11
No Elemen Budaya Definisi Alat Ukur Hasil Ukur
1 Keterbukaan Komunikasi Staf bebas berbicara bila melihat sesuatu Kuesioner - Baik : jika persepsi positif 75 %
yang berdampak negatif pada pasien, dan AHRQ - Sedang : jika persepsi positif
merasa bebas bertanya kepada mereka yang antara >50% dan <75%
memiliki otoritas lebih tinggi. - Kurang: jika persepsi positif <50%
2 Umpan balik dan Staf diinformasikan tentang kesalahan yang Kuesioner - Baik : jika persepsi positif 75 %
komunikasi tentang terjadi, diberikan umpan balik tentang AHRQ - Sedang : jika persepsi positif
insidens keselamatan implementasi perubahan, dan mendiskusikan antara >50% dan <75%
pasien. cara untuk mencegah kesalahan. - Kurang: jika persepsi positif <50%
3 Dukungan manajemen Manajemen RS menyediakan iklim kerja Kuesioner - Baik : jika persepsi positif 75 %
terhadap keselamatan yang mempromosikan keselamatan pasien AHRQ - Sedang : jika persepsi positif
pasien dan menunjukkan bahwa keselamatan pasien antara >50% dan <75%
adalah prioritas utama. - Kurang: jika persepsi positif <50%
4 Respon non – punitive Staf merasa bahwa kesalahan dan laporan Kuesioner - Baik : jika persepsi positif 75 %
terhadap kesalahan kejadian tidak dipakai untuk menyalahkan AHRQ - Sedang : jika persepsi positif
mereka dan tidak dicatat dalam dokumen antara >50% dan <75%
pribadi mereka. - Kurang: jika persepsi positif <50%
5 Pembelajaran organisasi Terdapat budaya belajar dimana kesalahan Kuesioner - Baik : jika persepsi positif 75 %
dan perbaikan membawa perubahan positif dan dilakukan AHRQ - Sedang : jika persepsi positif
berkelanjutan evaluasi terhadap efektivitas perubahan. antara >50% dan <75%
- Kurang: jika persepsi positif <50%
6. Staffing Terdapat staf dalam jumlah yang cukup untuk Kuesioner - Baik : jika persepsi positif 75 %
menangani beban kerja dan jumlah jam kerja AHRQ - Sedang : jika persepsi positif
yang sesuai untuk menyediakan pelayanan antara >50% dan <75%
terbaik bagi pasien - Kurang: jika persepsi positif <50%
7 Harapan staf terhadap Sikap positif atau negatif dari Kuesioner - Baik : jika persepsi positif 75 %
sikap dan tindakan supervisor/manajer terhadap upaya AHRQ - Sedang : jika persepsi positif
supervisor/manajer dalam keselamatan pasien antara >50% dan <75%
mendorong KP - Kurang: jika persepsi positif <50%
8 Kerjasama dalam unit Staf saling mendukung, saling menghargai Kuesioner - Baik : jika persepsi positif 75 %
dan bekerja sebagai sebuah tim. AHRQ - Sedang : jika persepsi positif

12
antara >50% dan <75%
- Kurang: jika persepsi positif <50%
9 Frekuensi pelaporan Tipe kesalahan yang dilaporkan : Kuesioner - Baik : jika persepsi positif 75 %
kejadian 1. Kesalahan ditemukan dan dikoreksi AHRQ - Sedang : jika persepsi positif
sebelum mempengaruhi pasien. antara >50% dan <75%
2. Kesalahan tanpa potensi mencederai - Kurang: jika persepsi positif <50%
pasien.
3. Kesalahan yang dapat mencederai
pasien namun tidak terjadi cidera.
10 Persepsi keseluruhan Persepsi staf terhadap prosedur dan system Kuesioner - Baik : jika persepsi positif 75 %
tentang keselamatan dalam mencegah terjadinya kesalahan dan AHRQ - Sedang : jika persepsi positif
mengurangi masalah keselamatan pasien antara >50% dan <75%
- Kurang: jika persepsi positif <50%
11 Serah terima dan transisi Informasi penting tentang asuhan pasien Kuesioner - Baik : jika persepsi positif 75
disampaikan pada saat transfer pasien antar AHRQ %
satu unit ke unit lain dan atau selama - Sedang : jika persepsi positif
pergantian shift antara >50% dan <75%
- Kurang: jika persepsi positif
<50%
12 Kerjasama antar unit Unit-unit di RS bekerjasama dan Kuesioner - Baik : jika persepsi positif 75
berkoordinasi satu sama lain untuk AHRQ %
menghasilkan pelayanan yang terbaik bagi - Sedang : jika persepsi positif
pasien antara >50% dan <75%
- Kurang: jika persepsi positif
<50%

13
Instrumen
Pengukuran terhadap budaya keselamatan pasien menggunakan kuesioner Agency Healthcare
Research and Quality (AHRQ) yang mana merupakan kuesioner yang paling banyak
direkomendasikan untuk mengukur budaya keselamatan pasien karena telah terjamin validitas
dan reabilitasnya. Terdapat 12 elemen yang terdapat dalam kuesioner tersebut, yaitu sebagai
berikut: Dalam kuesioner AHRQ, keduabelas elemen tersebut diurai menjadi kuesioner yang
terdiri atas 50 pertanyaan, yang mencakup 29 pertanyaan untuk dimensi tingkat unit, 11
pertanyaan untuk dimensi tingkat rumah sakit, 4 pertanyaan untuk dimensi output dan 6
pertanyaan untuk variabel latar belakang responden. Kuesioner ini menggunakan skala Likert
untuk 5 pilihan jawaban mulai dari “sangat tidak setuju” sampai “sangat setuju” atau mulai dari
“tidak pernah” sampai “selalu”.

Pengolahan Data
Pengelolaan data dilakukan dengan cara memeriksa kelengkapan isi kuesioner (editing) dan
apabila dijumpai adanya ketidaklengkapan maka akan dikembalikan kepada responden untuk
dilengkapi, kemudian dilakukan pembuatan kode (coding) dari setiap nilai jawaban responden
pada setiap variabel. Hasil skala likert dalam kuesioner dibagi atas pernyataan positif (“setuju”
dan “sangat setuju” atau “selalu” dan “sering”) serta pernyataan negatif (“sangat tidak setuju”
dan “tidak setuju” atau “tidak pernah” dan “jarang”). Data dimasukan ke dalam komputer dan
dilakukan pengecekan kembali kebenaran data yang sudah dientry, dan kemudian dilakukan
analisis data dan hasilnya dilaporkan untuk dilakukan tindakan selanjutnya.

Evaluasi
Hasil pengolahan data budaya keselamatan pasien akan menjadi dasar untuk dilakukannya
evaluasi dan perbaikan selalu terhadap budaya keselamatan pasien yang ada di RS Kristen
Lindimara.

14
BAB IV
DOKUMENTASI
Dokumentasi adalah mengumpulkan data dengan cara mengambil data-data dari catatan,
dokumentasi, administrasi yang sesuai dengan masalah yang diteliti. Dalam hal ini dokumentasi
diperoleh melalui dokumen-dokumen:
a. Kuesioner yang telah diisi oleh personil RS Kristen Lindimara
b. Laporan hasil pengolahan data budaya keselamatan
c. Laporan evaluasi budaya keselamatan.

15

Anda mungkin juga menyukai