Anda di halaman 1dari 26

Nama : Ari Renta Suari Br.

Tarigan
Ansparoh Christmas Hutabarat
Risma Purba
Ting/Jur : III-C/Theologia
M. Kuliah : Sejarah Gereja Indonesia I
Dosen : Berthalyna br Tarigan, M.Th Kelompok 8

Gereja di Indonesia Pada Masa Orde Lama


I. Pendahuluan
Setelah masa Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, gereja masuk ke
dalam masa Orde Lama yang dimana keadaan gereja tidak ikut sepenuhnya merdeka dari
penderitaan karena pada masa orde lama ini yaitu tahun 1945-1965 gereja banyak
mengalami perubahan dan menghadapi tantangan, salah satunya saat NKRI menentukan
dasar negara, yang dimana umat yang beragama Islam menginginkan NKRI menjadi
negara Islam namun masih ada pahlawan kita yang masih ingin mempertahankan dasar
NKRI tatap pancasila. Pada masa orde lama ini juga Irian Jaya kembali ke pangkuan
NKRI, munculnya PKI juga membawa pengaruh perkembangan gereja, untuk lebih
lanjutnya kita akan membahasnya pada sajian ini.
II. Pembahasan
II.1. Masa Orde Lama
Pengalaman dan kehidupan gereja di masa pendudukan Jepang sangat
menentukan dan mempengaruhi jalannya sejarah gereja di Indonesia. Dengan
menyerahnya Jepang pada sekutu pada tanggal 14 Maret 1945, berakhirlah
penindasan, penganiayaan dan penjajahan Jepang atas Indonesia. Bersamaan dengan
itu usaha dan semangat bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan
bangsa dan tanah air sudah mencapai tahap kematangan, yang berkemuncak dengan
Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.1Pada tanggal 19 Agustus,
Soekarno memaklumkan bahwa PNI(Partai Nasional Indonesia) adalah satu-satunya
partai politik. Pendirian kementrian agama ditolak oleh beliau. Tetapi tidak lama
kemudian atas desakan M.Hatta, Sultan Syahrir, dkk, Soekarno mengakui lebih
banyak partai yakni: PKI(Partai Komunis Indonesia) yang dipimpin oleh Tan
Malaka, Masyumi, PARKINDO yang didirikan dalam bulan November1945. 2 Sejak

1
F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi-DGI, 1979), 512-513
2
G.Vanschie, Rangkuman Sejarah GerejaKristiani dalam Kotes Sejarah Agama-agama Lain, (Jakarta:
OBOR, 1995), 337

1
proklamasi 1945 sampai pengakuan kedaulatan dimasa pemerintahan Belanda secara
De Facto secara resmi telah berakhir, maka Republik Indonesia melangkahkan
kakinya benar-benar sebagai negara yang berdaulat penuh, yang di perintah oleh
bangsa dan pemimpinnya sendiri.3 Pada saat itu Soekarno-Hatta kemudian
mengangkat 135 orang anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan
dilantik pada tanggal 29 Agustus. Sementara itu dikalangan Kristen usaha pendirian
partai juga diperintis, dan pada tangal 11 November berdirilah Partai Kristen
Nasional yang disingkat PKN yang ketuanya yaitu Ds.B. Probowinoto dan sebagai
sekretaris adalah M. Tambunan. Dalam pertemuan di Surabaya PKN berubah nama
menjadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Sebagai dasar partai adalah kitab suci
dan sebagai tujuan adalah mempertahankan Republik Indonesia ke luar dan ke
dalam. Membantu Republik Indonesia mencapai perdamaian dunia, dan
mengusahakan keadilan. Tokoh-tokoh Katolik sendiri akhirnya mendirikan partai
katholik RI pada tanggal 8 Desember 1945. Sebagai ketua terpilih I.J. Kasimo. 4
Bahkan pada tanggal 3 Januari 1946 Soekarno menyerah kepada desakan orangdan
mengizinkan pendirian Kementrian Agama.5
II.2. Keadaan Pada Masa Orde Baru
II.2.1. Bidang Politik6
Berdasarkan Supersemar, Seoharto berhasil menumpaskan PKI serta
melakukan stabilitas politik dan ekonomi. Pada tanggal 27 Maret 1968
Seoharto diangkat secara resmi menjadi Presiden dan semua bidang
dibersihkan dari orang-oarang yang beraliran komunis. Masa bulan madu
politik dengan pemerintahan Orde Baru segera dimulai. Dengan suasana yang
menggairahkan dengan luapan optimism yang baru untuk membangun masa
depan yang baru pula, diatas reruntuhan yang ditinggalkan oleh Orde Lama.
Apalagi diangkat sebagai anggota cabinet pembangunan tenaga-tenaga orang
cerdik pandai yang terpilih dari kalangan universitas yang tahu keadaan dan
serta cakap dalam bidang perekonomiaan. Dengan optimism yang baru inilah
pemerintahan Orde Baru melangkah ke masa depan untuk melaksanakan

3
F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 362
4
Jans S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indoesia, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 277
5
G.Vanschie, Rangkuman Sejarah GerejaKristiani dalam Kotes Sejarah Agama-agama Lain, 337
6
F.Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Study, 1979), 48-50

2
pembangunan dan untuk untuk menegakkan UUD 1945 dan Pancasila secara
murni dan konsekuen.
Dalam meluruskan penyelewengan yang terjadi pada masa Orde Lama.
Orde Baru dipahami sebagai tatanan segala kehidupan rakyat, bangsa dan
Negara yang di letakkan kembali pada kemurniaan pelaksanaan pancasila dan
UUD 1945. Atas garis besar haluan Negara (GBHN) yang telah tercantum
GBHN, ada pun jangka menengah masing-masing program yang berjarak
lima tahun disebut Rencana Pembangunan lima tahun disebut kenegaraannya
Presiden Seoharto menandaskan bahwa landasan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan pancasila baru akan tercapai setelah kita melaksanakan
lima sampai enam kali REPLITA. Dengan demikian dasar atau landasan
masyarakat yang di cita-citakan itu baru akan tercapai oleh usaha
pembangunan dalam jangka waktu 25 sampai 30 tahun yang akan datang.
Dan demi melaksanakan pembangunan seperti itu maka pada 1966 sidang
MPRS telah menggaris bawahi prioritas program nasional yang baru adalah
pada pembangunan ekonomi, dengan tidak mengabaikan pembangunan
dalam bidang-bidang hidup yang lain.

II.2.2. Bidang Ekonomi


Pada Orde Lama Negara direpotkan oleh gerakan dan pertikaian
politik, keadaan ekonomi menjadi sangat buruk karena tidak sempat ditata
dengan baik dalam keadaan yang stabil. Orde Baru menjadikan masalah
mengatasi disintegrasi sebagai sasaran pertama dan utama agar dapat dengan
baik menata perekonomian yang buru.7 Dalam bidang pembangunan
perekonomiaan Indonesia memerlukan bantuan dari luar negri dan modal
asing dan memang pada saat itu Indonesia memang sangat kekurangan model
dan keterampilan dan cara yang pergunakan yaitu penanaman modal asing
yang diambil untuk mempercepat bangunan. Pembangunan ekonomi yang
menganut strategi yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yakni
strategi yang diantara lain menekankan bahwa pembangunan akan bermula
dari pertumbuhan ekonomi yang disuntikkan oleh teknologi dan capital
asing.8

7
Moh.mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: Reneka Cipta, 2000), 74-75
8
Moh.mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: Reneka Cipta, 2000), 63-64

3
Dalam strategi yang seperti ini dipercayakan dari Negara-neraga
penanaman modal menjadi tuntutan mutlak, sehingga pemerintah memikirkan
cara bagaimana memberikan jaminan atas keselamatan modal tersebut yakni
terciptanya stabilitas poltik. Sejak awal pemerintahan Seoharto memasang
target pemerintahan Orde Baru dengan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
nasional. Tanpa pertumbuhan ekonomi tidak mungkin tercipta stabilitas
nasional, dan tanpa stabilitas Nasional tidak mungkin melakukan peningkatan
ekonomi dan kesejahteraan nagara.9 BAGI Seoharto dan Orde Baru,
menciptakan stabilitas politik dan keamanan adalah syarat mutlak bagi
pelaksanaan pembangunan di segala bidang terutama dalam bidang ekonomi
yang tengah terpuruk selama masa Orde Lama. Jadi, Orde Baru
berkesimpulan ekonomi Orde Baru menghancurkan Orde Lama adalah
tampak instabilitas politik dan bangsa untuk mendapatkan perekonomiaan
yang stabil.10 Pada awal tahun 1990-an korupsi rezim sudah begitu
menggurita dan menjadi rahasia umum di dalam dan di luar negeri. Semua
anak Seoharto menumpuk kekayaan: Putrinya adalah Siti Hardiyanti
Rukmana, Siti Hediyati Hariadi, Siti Endang Adiningsih. Putranya adalah
Sigit Haryoyudanto, Bambang Trihatmojo, dan Hutomo Mandala Putra.

Mereka menjalankan perusahaan pengumpulan uang berskala besar.


Perusahaan Tommy diperkirakan mengumpulkan pendapatan lebih lebih dari
USS 500 juta pada tahun 1992. Anak-anak Seoharto menikmati transaksi
isimewa dalam jalan tol, impor komoditi strategis, eksplorasi sumber daya
alam, dan dalam banyak bidang lai. Beberapa cukong yang dulu mendapatkan
kekayaan kotor hasil kerja sama dengan Seoharto, kini dengan sukses
mengubah bisnisnya menjadi bisnis yang legal. Diperkirakan 70% kegiatan
ekonomi swasta berada ditangan orang Cina pada tahun 1990-an. Banyak
kelompok lain yang mengumpulkan kekayaan dengan cara yang jelas-jelas
tidak jujur. Setelah seperempat abad pemerintahan Seoharto, lembaga
peradilan dan polisi sudah begitu korup sehingga tidak ada pengendalian
efektif terhadapa keserakahan pengusaha dan pedagang yang memiliki
hubungan denfgan istana.11

9
Richard M. Daulay, Agama dan Politik di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2015), 118-119
10
Mochtar Pabotinggi, Menelaah Kembali Format Politik Orde Bari, (Jakarta: BPK-GM, 2015), 118-119
11
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Mederen, (Jakarta; Serambi, 1998), 633-634

4
II.2.3. Bidang Keagamaan

Dalam periode Orde Baru, pemerintah sangat menyadari pentingnya


peranan agama terutama untuk memberikan kekuatan mental bagi rakyat
sehingga tidak terpengaruh oleh paham-paham yang menentang agama.
Dalam keadaan demikian kerjasama antara gereja dan pemerintahan
menunjukkan gambaran yang positif dan sehat. Juga dalam iklim
pembangunan tambah disadari betapan pentingnya peranan agama untuk
mempersiapkan dan memantapkan kematangan mental rohani seluruh bangsa,
sehingga cita-cita pembangunan dapat dilaksanakan secara wajar dan
menyeluruh. Dalam hubungan ini gereja di Indonesia semakin dewasa dalam
sikap teologi dan politiknya.12 Dalam isu hubungan gereja-negara, yang
menonjol pada masa Orde Baru adalah soal SKB No.1/1969 tentang
pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan dalam menjamin ketertiban dan
kelancaran pelaksanaan-pelaksanaan dan ibadat agama oleh pemeluk-
pemeluknya, UU perkawinan 1973 keputusan mentri agama No.70 tahun
1978 tentang kode etik penyebaran agama, asas tunggal pancasila, UU system
pendidikan Nasional no 2/1989 dan peradilan agama. Sebenarnya
penyusunan berbagai UU ini merupakan upaya untuk meredam kekristenan,
yang katanya amat cepat. Para era ini boleh dikatakan gerega-gereja banyak
mandapat tekanan politik yang mengangkat isu konflik antar agama. Masa
ini juga ditandai oleh kooptasi yang ketat oleh Negara atas lembaga-lembaga
keagamaan, antara lain pemberian ijin khusus gereja. Pada era ini juga terjadi
kerusakan, penutupan dan pembakaran gereja semakin meningkat, menjadi
rata-rata 1,19 gereja perbulan, dibandingkan dengan pada masa Seokarno
yang hanya 0,008 gereja perbulan.13

II.2.4. Bidang Sosial Budaya


Perencanaan REPLITA, pendidikan dan transmigrasi banyak pemuda-
pemudi mengecap pendidikan lebih tinggi, maka pemuda-pemudi di
kampong harus kekota. Dan ketika di kota dihadapkan dengan agama maka
pemuda dan pemudi itu harus memilih satu agama. Transmigrasi juga
berpengaruh demana seseorang bertempat tinggal, maka untuk lebih dekat
12
F.Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Study, 1979), 370
13
Mangisi S.E Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther, (Pematang Siantar: Kolportase Pusat GKPI,
2008), 224-225

5
bersosial ia juga menganut agama setempat itu. Maka kelompok-kelompok
pemuda yang mempunyai suatu aspirasi politik (yaitu sebagai angkatan 66
dengan Tritura yaitu pembubaran PKI, penurunan harga dan perombakan
cabinet), maka ada usaha agar mereka kembali ke tempat mereka sehari-hari
sebagai murid dan mahasiswa. Khususnya yang paling hangat menghadapi
persoalan tersebut dengan sadar adalah kalangan mahasiswa. Angkatan 66,
begitulah mereka kemudian dikenal baik oleh masyarakat umum maupun
yang sudah terpatraikan dalam sejarah nasional, dan juga dalam bidang
kebudayaan khususnya seni sastra yang juga mengenal apa yang disebut
angkatan 66.14

II.3. Kekristenan Pada Masa Orde Lama


Kedatangan tentara sekutu yang menggantikan tentara Jepang, yang
kemudian disusul dengan kembalinya pemerintah Belanda yang ingin
menyambung kembali tali kolonialismenya di bumi Indonesia, telah
menimbulkan bentrokan-bentrokan physik, yang kemudian berkembang menjadi
perang kemerdekaan.15 Negara pertama yang mengakui kedaulatan Republik
Indonesia ialah Mesir. Belanda sendiri masih berontak. Soekarno pernah berkata:
Kalau semua oranng Indonesia meludah sekali saja, semua orang Belanda mati
tenggelam. Sampai dua kali pemerintah Belanda masih mencoba merebut kembali
kekuasaannya dengan mengorbankan prajurit serta alat perangnya dan
menewaskan rakyat Indonesia. Namun demikian usaha itu sia-sia belaka.
Sementara itu pemerintah kolonial mulai memperkuat kedudukannya di Irian
Barat, yang sebelum perang dianaktirikan saja. Akan tetapi sedikit saja waktu
yang tersisa untuk mereka membangun kembali wilayah itu dimana sejak tahun
1946 Manokwari diganti dengan Hollandia sebagai ibukota.16
Indonesia dan Belanda sepakat untuk mengadakan perundingan di
kabupaten Kuningan Jawa Barat yaitu Linggarjati. Yang dilaksanakan pada 10
November 1946. Delegasi Indonesia dalam perundingan tersebut terdiri atas
A.G. Pringgodigdo, Dr. Sudarsono, Mr. Susanto, Dr. J. Leimena, Dr. A.K.
Gani, Muhammad Roem, Mr. Amir Syarifudin, Mr. Ali Budiarjo, dan
perdanaMenteri Sultan Syahrir sebagai ketua delegasi. Pihak Belanda diwakili

14
F.Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Study, 1979), 51-52
15
Jans S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indoesia, 513
16
G.Vanschie, Rangkuman Sejarah GerejaKristiani dalam Kontes Sejarah Agama-agama Lain, 339

6
oleh Mr. Van Pool, F. De Boer, danVan Mook. Pihak Inggris yang
berperansebagai penengah dipimpin oleh LordKillearn. Linggarjati Pada 15
November 1946 memuathal-hal berikut: (1) Belanda mengakui secara de facto
Indonesia terdiri atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera. (2) Indonesia dan
Belanda sepakat akan bekerja sama membentuk Negara Serikat dengan nama
Republik Indonesia Serikat (RIS) yang salah satu bagiannya, yaitu Negara
Republik Indonesia. (3) RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia
Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya. (4) pemerintah Belanda dan
RI akan mengusahakan agar pembentukan Negara Serikat dan Uni bisa
diselesaikan sebelum 1 Januari 1949.17Setelah perundingan Lingarjati
selesai,pihak Belanda tidak serius menaki kedaulatan RI secara de facto.
Belanda merasa bahwa merekalah secara de facto menguasai wilayah
Indonesia. Belanda semakin gencarnya membentuk negara-negara bagian di
berbagai daerah dan memprovokasi negara-negara bagian tersebut untuk
menentang pemerintahan RI yang berpust di Jakarta. Belanda melakukan
ancamanmiliter. Agresi Militer Belanda I berlagsung sejak 21 Juli 1947.
Agresi militer Belanda tersebut mendapat kecaman keras dari dunia
Internasional. Negara-negara bekas jajahan, seperti India da Australia
menunjukkan simpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia melawan
Belanda. Kedua negara tersebut mengajukan resolusi atau tuntutan kepada
PBB untuk menciptakan perdamaian di Indonesia. Akhirnya pada 31 Juli
1947, dewan keamanan (DK) PBB meminta bangsa Indonesia dan Belanda
untuk menghentikan perang, melakukan genjatan senjata dan melakukan
perundingan untuk menyelesaikan pertikaian. DK PBB mengusulkan
perundingan Renville pada 8 Desember 1947. Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin
oleh R.Abdul Kadir Widjojoatmodjo, orang Indonesia yang memihak Belanda.
Delegasi Indonesia terdiri atas Ali Sastroamidjojo, H.Agus Salim, Dr J
Leimena, Dr. Latuhahary, dan T.B. Simatupang. Isi perundingan Renville
yaitu persetujuan genjatan senjata antara Indonesia dan Belanda, Belanda tetap
memegang kedaulatan atas seluruh wilayah Indonesia sampai dibentuknya
Republik Indonesia Serikat, sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat
menyerahkan sebagian kekuasaannya pada pemerintah federal sementara.
17
Jans S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indoesia, 269

7
Walaupun telah dilakukan kesepakatan dengan pihak RI, Belanda masih
melakukan pelanggaran. Belanda melakukan aksi militer yang kedua dan
dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Aksi
militer tersebut ditujukan untuk menyerang wilayah kekuasaan RI dengan ibu
kotanya Yogyakarta. Akibat agresi militer tersebut, Presiden RI Soekarno
harus diungsikan ke Prapat Sumatra. Adapun Mohammad Hatta diungsikan ke
Bangka. Akan tetapi sebelu mereka diungsikan mereka sempat memberi
mandat kepada menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang
sedang berada di Sumatra untuk membentuk pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) di bukittinggi, Sumatra Barat. Pihak Belanda mengira
bahwa dengan jatuhnya ibu kota Indonesia maka Indonesia akan segera
menyerah. Namun, perkiraan itu keliru. RI masih terus melakukan
perlawanan. Divisi pasukan di berbagai daerah di Jawa masih terus melakukan
perlawanan secara gerilya. Panglima Jenderal Soedirman yang sedang sakit
langsung memimpin perang gerilya di luar kota dan melakukan serangan ke
pusat kekuasaan Belanda. Secara efektif komando serangan dilakukan oleh
A.H. Nasution sebagai wakil panglima untuk melakukan serangan dan pada 22
Desember 1948. Perjuangan bangsa Indonesia menghadapi agresi Belanda
mendapat simpati Internasional, terutama dari negara-negara Asia dan Afrika
yang pernah menjadi korban imperialisme. Tanggal 23 Januari 1949
konferensi New Delhi di hadiri oleh wakil-wakil negara-negara Afghanistan,
Australia, Burma, Sri Lanka, Mesir, Ethiopia, India, Iran, Irak, Libanon,
Pakistan, Filipina, Saudi Arabia, Suriah, dan Yaman sebagai peserta dan wakil
dari negara-negara Cina, Nepal, Selandia Baru, dan Muangthai sebagai
peninjau. Delegasi Indonesia dalam konferensi itu terdiri atas Mr. A.A
Maramis (menteri Luar Negeri PDRI). Dewan keamanan PBB menerima hasil
resolusi konferensi yang antara lain: segera melakukan genjatan senjata,
pemimpin-pemimpin Republik Indonesia segera dibebaskan dan dikembalikan
ke Yogyakarta.18
II.3.1. Partai Politik Kekristenan di Indonesia
Kongres PKN, pada tanggal 6 dan 7 Desember 1945 di
Surakarta (Kemudian dikenal sebagai kongres ke I PARKINDO)
mendapat sambutan hangat dari umat Kristen, pemerintah dan
18
Nana Supriatna, IlmuPengetahuan Sosial, (Jakarta: Grafindo, 2006), 49-52

8
masyarakat umum yang mengahadapi kekuatan colonial Belanda dari
negeri yang warganya kebanyakan beragama Kristen. Pada kongres ini
nama partai diganti menjadi Partai Kristen Indonesia atau dengan
disingkat PARKINDO. Kongres ini dihadiri 60 wakil dari 31 daerah di
Jawa dan sejumlah peninjau (hari ke-2 peserta semuanya 154 orang).
Tujuan kongres seperti dikemukakan oleh ketua pengurus besar
sementara W.Z. Johannes adalah membicarakan jalan-jalan yang harus
ditempuh untuk mempertahankan mencapai cita-cita itu, agar dari
perbedaan-perbedaan dan macam-macam pikiran dapat ditangkap satu
aliran, yang dapat dipergunakan sebagai syarat untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dengan lahir dan batin. Pada hari ke-2
berlangsung digedung Gereja Margoyudan, dimulai dengan pemilihan
pengurus baru, dimana terpilih B. Probowinoto sebagai ketua.Setelah
serah terima dengan W.Z. Johannes. Dalam sidang berlangsung
PARKINDO merumuskan dua misi yaitu: Anggaran Dasar, dan
Anggaran Rumah Tangga. Kedua pokok misi ini masing-masing
mengenal dukungan terhadap Presiden serta kabinet lainnya.Dasar
partai ini ialah “Firman Tuhan”. Mengenai tujuan partai Anggaran
Dasar Baru memberi rumusan yang kontrit antara lain:
a. Mempertahankan NKRI keluar dan kedalam
b. Membantu pemerintahan Republik mencapai perdamaiaan
dunia
c. Mensahkan keadilan.

A.M. Tambunan, yang terpilih sebagai penulis I pengurus


PARKINDO pada kongres I di Solo mengucapkan suatu pidato radio
menyambut tahun baru 1946.Pada kesempatan itu Tambunan
menyampaikan kepada lembaga Kristen dunia untuk mendukung
kemerdekaan Indonesia. Menurut Abineno anggota pengurus PKN
mengatakan, perlunya partai politik Kristen adalah menyatakan
kemauan rakya Kristen kepada pemerintahan. Partai Politik Kristen
harus mempunyai dasar yang kokoh dan luas, yaitu “didalam keinsafan
dan pengharapan kita terhadap kepedulian terhadap seperjuangan kita
dan tetap memperhatikan opini rakyat. Dalam hubungan itu orang

9
Kristen harus bersatu dalam berjuang disegala lapangan untuk
kemulian nama Tuhan.19

II.3.2. Pembentukan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia


Pengalaman dan masa perang kemerdekaan, ketika Gereja-
gereja terpaksa berada dalam wilayah yang terpisah-pisah oleh
kekuatan politik. Jadi perubahan politik ini dan selesainya Konferensi
Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 2 November 1949, membuka
kemungkinan bagi Gereja-gereja di Indonesia untuk mewujudkannya.
Sementara Konferensi Pembentukan DGI berjalan dari tanggal 21-28
Mei 1950 di Jakarta, maka tepat pada Hari Raya Pentakosta pada
tanggal 25 Mei 1960, dinyatakan berdirinya Dewa Gereja-gereja di
Indonesia. Pada waktu pembentukannya DGI beranggotakan 29 Gereja
anggota. Ketika bentuk federal dari Republik Indonesia Serikat
ditinggalkan dan Indonesia menjadi NKRI, pada tanggal 17 Agustus
1950, maka gereja-gereja di Indonesia semakin terdorong untuk
memperkembangkan kerja sama dalam menunaikan tugas gereja di
bidang persatuan, kesaksian dan pelayaan.20 Sudah pasti pula bahwa
ingatan mengenai pengalaman selama zaman pendudukan Jepang dan
perang kemerdekaan dan demikian juga samangatpembinaan bangsa
yang menguasai seluruh negeri mempengaruhi pemikiran para pendiri
dewan gereja-gereja di Indonesia. Badan-badan Zending dan
Organisasi-organisasi Kristen yang ikut mengatakan DGI seperti
YMCA tidak diperkenankan menjadi anggota dewan-dewan gereja,
karena ingin menguasai kedudukan dalam dewan gereja-gereja di
Indonesia. Karena sejak semula hanya gereja-gereja Indonesia yang
mendukung tujuan utamanya yaitu pembentukan satu gereja Kristen
yang Esa di Indonesia, dapat diterima sebagai anggota. Dengan
demikian maka Dewan itu selalu merupakan tempat peteuan antara
ketelibatan oikumenis dan keterlibatan gereja-gereja bersama dalam
kehidupan bangsa melalui perhatian mereka bersama tehadap keesaan,
pengutusan dan pelayanan. Trilogi gerakan oikumenis-keesaan,
pengutusan dan pelayanan- merupakan kenyataan di dalam kehidupan
19
Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, 178-185
20
F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 516-518

10
dan pemikiran Dewan Gereja-gereja di Indonesia sejak awalnya.
Tujuannya yang dirumuskan secara tegas adalah terbentuknya satu
Gereja Kristen Yang Esa di Indnesia. Tetapi di bidang keesaan itulah,
Dewan Gereja-gereja memperlihatkan hasilyang paling sedikit dan
pemikiran yang paling kurang kreatif. Salah satu alasan ialah terlalu
terarahnya pemikiran tentang keesaan Gereja itu pada percakapan antar
konfensi yang terdapat di Barat, padahal masalah utamanya ialah
bagaimana caranya mempesatukan berbagai “Gereja Suku” yang ada
dengan segala latar belakang perbedaan kebudayan, bahasa dan sampai
batas tetentu juga konfensi mereka, pada kurun waktu dimana berbagai
suku di Indonesia bersama-sama teribat dalam proses pembinaan
bangsa (nation Building) dan modernisasi. Namun dibidang
pelayananlah Dewan-dewan gereja di Indonesia telah diperhadapkan
dengan tantangan-tantangan terbesar. Yaitu pelayanan yang dimengerti
sebagai keterlibatan dalam mengasihi dan melayani seluruh
masyarakat. Berhadapan dengan pemberontakan, perang saudara,
perebutan kekuasan yang melibatkan orang-orang komunis, muslimin
yang fanatik dan para patriot-lokal, krisis modernisasi, sekularisasi, dan
pembunuhan maka dewan gereja-gereja dan gereja-gereja anggotanya
telah ditantang untuk memberi jawab dalam kesetiaan kepada Tuhan di
dalam solidaritas kasih serta pelayanan terhadap rakyat. Bagian berikut
berusaha untuk menyarikan inti teologi dari sekian banyak pernyataan
dewan gereja-gereja sebagai jawabnya terhadap masalah-masalah
tadi.21 Namun, DGI bukanlah lembaga politik, kendati ia sedikit
banyak mengemban tugas yang bersifat politis juga, yaitu mewakili
gereja-gereja anggotanya di hadapan atau berbicara dengan pemerintah
mengenai berbagai masalah yang menyangkut urusan dan kepentingan
gereja atau umat Kristen pada khususnya, maupun menyangkut
berbagai hal di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara pada
umumnya. Yang lebih langsung berperan menyalurkan aspirasi politik
umat Kristen adalah PARKINDO, dan sehubungan dengan ini
hubungan antara parkindo dan DGI pada periode ini terjalin sangat erat.
J.C.T. Simorangkir adalah sala seorang tokoh PARKINDO yang sangat
21
T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, (Jakarta: BPK-GM, 1984), 36-38

11
berperan pada saat itu: bahwasanya J.C.T. Simorangkir ini membantu
anggota DGI untuk menghadapi persoalan kemasyarakatan atau
kenegaraan yang perlu diselesaikan dalam pemikiran teologis, di
sinilah J.C.T.Simorangkir sangat mempengaruhi DGI. Dr. J.Leimena
memakai gambaran lain, sebagai berikut: “kalau gereja berdiri di
tengah-tengah lapangan, maka di sekitar lapangan itu sebagai pagar
penjaga, berdirilah Parkindo dengan ormas-ormas Kristen lainnya
untuk menjaga gereja yang jadi pusat hidup orang-orang Kristen di
Indonesia itu.” Seruan DGI yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juli 1955
kemudian disusul dengan munculnya seruan yang dikeluarkan oleh
sidang Gereja Am luar biasa gereja Protestan di Indonesia pada tanggal
31 Agustus 1955. Seruannya antara lain : bahwa “pemilihan umum
1955 bukan hanya persoalan partai saja, dalam hal ini partai Kristen
ikut turut gereja menanganinya. Sekalipun bukan (belum jadi) anggota
terdaftar Parkind, namun menjelang pemilihan umum 1955 pengamat
sejarah kepartaian di Indonesia dapat mencatat bahwa banyak pemuka
Gereja (Pendeta, Voorganger, Pengetua, Sintua, dan sebagainya) yang
dalam soal pemilihan umum sejajar pendapat dan sikapnya dengan
pimpinan partai Kristen. Dibeberapa tempat persoalan Parkindo
menjadi bahan pembicaraan dalam kamar-kamar konsistori.
Pengumuman Parkindo dapat menempelkan diri pada papan
pengumuman Gereja. Adakalanya di tempat-tempat tertentu,
penjelasan Parkindo kepada anggota Gereja dapat dilangsungkan
dalam Gereja itu sendiri (biasanya sehabis kebaktian, sekalipun pada
prinsipnya tidak dikehendaki oleh pimpinan partai).22

II.4. Pertumbuhan Gereja-gereja di Indonesia


Dalam periode 1950-1965 ada beberapa peristwa penting yang secara penting
ataupun tidak langsung ikut memperngaruhi pertumbuhan Gereja di Indonesia:
II.4.1. Penumpasan Gerombolan DI-TII (1950-1962)

Sebelum Gereja menumpas Gerombolan DI-TII, Kiprahnya


dalam bentuk gerakan bersenjatadan deklarasi pembentukan tentara

22
Jans S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indoesia, 286-288

12
Islam Indonesia (TII yang membuat pemerintahan Soekarno sangat
khwatir, barulah terjadi 1948-1950an menyebar kedaerah lain, terutama
ke Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan Selatan. Darul
Islam merupakan gerakan separatis yang dirancang oleh Sekarmadji
Maridjan Kartosuwirjo (1905-1962).Kartosuwirjo ikut menyusun dan
menandatangani sumpah pemuda 28 Oktober 1948, bahkan deklarasi
sumpah pemuda itu sendiri di prakarsai oleh tokoh-tokoh Islam.Pada
intinya gerakan Darul Islam bercita-cita mendirikan suatu negara
Indonesia yang berdasarkan Islam. Di Sulawesi Selatan Gerakan Darul
Islam dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Sejak Desember 1951 Gubernur
Sulawesi Selatan, Sudiro, telah melakukan kontak dengan Kahar
Muzakkar dan disepakati untuk melakukan suatu pertemuan. Sayangnya
pada tanggal 12 Maret 1952 Kahar Muzakkar membatalkan pertemuan
itu karena menduga bahwa pihak tentara akan menangkapnya. Walau
kecewa, namun Sudiro tetap melanjutkan langkah diplomatisnya.
Sebenarnya saat itu Kahar Muzakkar sendiri tengah bimbang setelah
menerima surat yang berisi tawaran untuk bergabung dalam Darul Islam.
Pada tanggal 7 Agustus 1953 Kahar Muzakkar secara resmi menyatakan
diri bergabung dengan DI/TII. Pasukan Kahar Muzakkar banyak
melakukan penyerangan terhadap pos-pos tentara Republik secara
mendadak Sabotase dalam bentuk perusakan jembatan sering mereka
lakukan. Ia juga memerintahkan pasukannya untuk menculik sejumlah
dokter dan pendeta-pendeta Kristen untuk bekerja di Klinik dan sekolah
yang dimiliki oleh DI/TII. Sementara itu, mengenai dampak gerakan
atau pemberontakan DI/TII terhadap kehidupan gereja atau umat Kristen
serta terhadap hubungan umat Kristen dengan Islam tidak banyak catatan
yang dapat dikumpulkan. Mengenai dampaknya di Jawa Barat, Koernia
Atje Soejana antara lain mencatat: Yang agak lama yang mengganggu
kehidupan masyarakat adalah kekacauan yang ditimbulkan oleh DI/TII.
Pada waktu itu beberapa jemaat GKP yang terletak di desa-desa cukup
terganggu oleh gerombolan pengacau itu.Yang cukup parahnya adalah
kejadian yang menimpa jemaat Tamiyangsekitar tahun 1951. Pada
waktu itu Pdt. Oesman Sarim ditembak mati oleh gerombolan pengacau
yang tidak diketahui identitasnya, dalam arti: tidak diketahui dengan

13
pasti apakah yang membunuh Pdt. Sarim itu adalah dari DI/TII ataukah
dari kelompok-kelompok gerombolan liar.ketika itu banyak rumah
penduduk yang dibakar, termasuk rumah ibadah yang berbentuk mesjid.
Selama beberapa waktu anggota jemaat mengungsi ke Haurgeulis yang
terletak tidak begitu jauh dari Tamiyang.23 Pada saat itulah Gereja-gereja
Indonesia menumpas gerombolan DI-TII yang bersifat fanatik untuk
menjadikan Republik ini suatu Negara Islam.Pada waktu proklamasi
kemerdekaan dengan UUD 1945, mereka terbukti tidak berhasil
mewujudkan maksud tersebut. Gerakan DI-TII melakukan
pemberontakan bersenjata untuk merubah dasar haluan Negara. Gereja-
gereja di daerah tersebut mengalami banyak penderitaan, terutama
didaerah Tanah Toraja dimana 70 ribu orang Kristen mengalami teror
gerombolan bersenjata termasuk paksaan bersenjata untuk bertukar
agama. Akhirnya berkat kerjasama dengan seluruh masyarakat,
berhasillah pemerintah menumpas gerombolan DI-TII ini. Dengan
pulihnya situasi keamanan, nampaklah secara nyata pertumbuhan Gereja
didaerah-daerah tersebut. Hal ini terutama disebabkan oleh nilai
kesaksian Gereja itu sendiri, yang dimasa tekanan dan penderitaan yang
di uji oleh Tuhan, dan melalui kesetiaan dan ketekunan dari Gereja yang
menderita, bahwa iman Kristen mampu mengatasi ketakutan dan maut.
Hal ini telah merupakan kesaksian Gereja yang hidup.24

II.4.2. Kembalinya Irian Jaya ke Republik Indonesia


Irian Barat (nama waktu itu) tidak mengalami Revolusi
Kemerdekaan seperti wilayah Indonesia Bagian Barat dan Tengah.
Pemerintahan Hindia-Belanda kembali bersama dengan Tentara Sekutu
dan melanjutkan pemerintahannya atas daerah ini sampai tanggal 1
Mei 1963. Gereja di Irian Jaya diusahan pembangunannya kembali
oleh Zending Belanda yang telah lama bekerja di sini, sebagai
persiapan menuju Gereja yang berdiri sendiri. Policy Zending selama
itu ialah (1) mempersiapkan GKI (Gereja Kristen Injili) untuk berdiri
sendiri, bagaimanapun bentuk pemerintahan atas wilayah Irian Barat,
walaupun sebagian besar dari Zendelingen Belanda mendukung ide
23
Jan S. Aritonang, Serajah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 292-302
24
F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 518

14
Negara Papua Merdeka, yang juga diharapkan dan direncanakan
pemerintahan Belanda. (2) Konsolidasi (pembangunan kembali agar
kokoh) pekerjaan dan organisasi Gereja (resor-resor, klasis-klasis dan
lain-lain). Untuk ini didatangkan tenaga pendeta Belanda sebanyak-
banyaknya dan diangkat wakil-pendeta Irian dan Maluku. (3)
pengembangan pendidikan dan persekolahan seluas-luasnya dengan
bantuan penuh dari pemerintah, yang pada tahun 1955 memberi subsidi
penuh kepada sekolah-sekolah Zending, bahkan menyerahkan seluruh
bidang pendidikan kepada dua badan swasta, Zending NHK
(Nederlandse Hervormde Kerk) dan Missi Katolik. Dalam
melaksanakan policy-policy ini ZNHK mengambil berbagai langkah,
antara lain, sekolah Penginjil di Miei dibuka kembali, Kursus Guru
Jemaat diadakan di Serui dan suatu Sekolah Theologia dibuka di Serui
(1954). Nampak dalam perkembangan ini bahwa dalam membangun
kembali GKI diberi tekanan kepada “tanggung jawab yang harus
dipikul oleh sekalian anggota”.Dengan demikian kalau terjadi lagi hal
yang menyebabkan tenaga-tenaga Eropa disingkirkan, maka pimpinan
Zending atas resor-resor dapat diserahkan kepada tenaga-tenaga
Indonesia sendiri. Dan untuk pertama kali, pada tahun 1950, hadir
wakil-wakil penduduk asli dalam konperensi pendeta-pendeta Zending
di Serui, suatu konperensi yang memegang pimpinan umum Gereja di
Irian. Pada tahun 1954 diadakan synode persiapan Gereja Kristen Injili
di Serui untuk mempersiapkan tata gereja dan lain-lain yang perlu
untuk berdirinya GKI IB pada tahun 1956.25
Keputusan perundingan KMB 1949 menyatakan bahwa Irian Jaya
masih terlepas dari RI, dan untuk sementara berada dalam asuhan
pemerintah Belanda. Situasi Gereja ini disanapun praktis berada dalam
asuhan dan pimpinan pihak zending. Akhirnya di tahun 1963 Irian Jaya
dipersatukan Kembali dengan RI. Dalam periode peralihan tersebut
pihak DGI telah ikut memainkan peranan yang penting. Dengan
bantuan dan kerjasama seluruh gereja-gereja di Indonesia, Gereja di
Irian Jaya berkembang dengan pesat. Pertumbuhan gereja di sana

25
F. Ukur dan F.L. Cooley, Benih yang Tumbuh VIII, (Irian Jaya: studi dewan-dewan Gereja-gereja di
Indonesia, 1977), 29-32

15
terutama nampak dalam jumlah pertambahan anggota. Pada waktu
Irian Jaya kembali kepada Republik di tahun1963, jumlah anggota
Gereja Kristen Injili di sana tercatat sebanyak 130.000 jiwa.26
II.4.3. Peristiwa G30S PKI 1965
Sebuah peristiwa gagalnya usaha perebutan kekuasaan Neagara
dengan kekerasan oleh pihak komunis yang dikenal dengan peristiwa
G.30.S PKI tahun 1965 yang telah menimbulkan bencana hebat
diantara rakyat Indonesia, namun merupakan salah satu penyebab
banyaknya orang yang masuk agama Kristen dan menjadi anggota
gereja, dari segi manusia dapat dikaitkan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan banyak orang tertarik kepada gereja dalam situasi yang
sangat kritis itu, ialah kesaksian gereja yang mantap, sikap gereja yang
tidak mengutuk, pelayanan dan usaha membela mereka yang tidak
bersalah serta bantuan kasih yang dilayani terhadap semua pihak yang
menderita tanpa mlihat golongan atau agama.27

II.5. Kiprah Kekristenan pada Masa Orde Lama


Seperti halnya para penganut agama lain, orang-orang Kristen Indonesia pada
tahun 1945-1949 ada yang berpihak pada Republik, ada yang sedikit banyak
bekerja sama dengan Belanda. Pada golongan pertama termasuk beberapa tokoh
penting dalam lingkungan pemerintah serta tentara. Cukup menyebutkan di sini
Amir Sjarifuddin, J.Leimena, dan T.B.Simatupang. Beberapa daerah Kristen,
seperti Sumatra Utara, mengadakan perlawanan sangat gigih terhadap tentara
Belanda.28 Pada waktu itu memang keadaan nasional pada ummnya disibukkan
dengan berbagai macam persoalan yang meminta tenaga. Sehingga pemerintah
daerah yang tidak stabil tidak mampu memberikan pertolongan yang sewajarnya.
Akan tetapi ketika pemberontakan tesebut dapat ditumpas, maka kerja sama
antara pemerintah daerah dan gereja berjalan dengan baik sampai saat ini.29
Tetapi, di pulau Jawa pun orang Kristen, termasuk rakyat Kristen di pedusunan,
seperti di dorong oleh naluri alamiah, ikut serta dalam perjuangan bersenjata
melawan penjajah. Kini akhirnya jalannya terbuka pula bagi pembentukan partai

26
Ibid, 518-519
27
Ibid, 519
28
Th. Van Den End, Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK-GM, 2014), 405
29
F. Ukur dan F.L. Cooley, Jerih dan Juang, 364-365

16
politik Kristen yang berjiwa nasional. Ikut sertanya orang Kristen dalam
perjuangan nasional memungkinkan mereka diterima oleh golongan lain seperti
warga negara penuh dalam negara Indonesia yang merdeka. Orang-orang Kristen
menjadi anggota kabinet yang berturut-turut, dan duduk dalam pimpinan ABRI.
Unsur-unsur pokok dalam partisipasi Kristen di bidang Politik pada masa
kemerdekaan ialah bahwa mereka bersikap loyal terhadap pemerintah, bahwa
mereka ikut mendukung dan mempertahankan Pancasila selaku dasar negara,
bahwa mereka menolak ideologi komunisme, dan khususnya pada tahun-tahun
1957-1966, bahwa mereka merupakan kelompok moderat di tengah pergolakan
zaman itu. Secara singkat, pemikiran itu menekankan kewajiban setiap orang
Kristen untuk memikul tanggung jawabnya terhadap nasib masyarakat dan negara
dengan berpartisipasi di bidang politik; gereja bertugas mempersiapkan anggota-
anggotanya agar dapat memenuhi kewajibannya di bidang itu; partisipasi tersebut
harus positif, kreatif, kritis, dan realistis.30 Setelah Indonesia merdeka, jumlah
gereja bertambah besar dan kekristenan Indonesia tambah beraneka ragam.
Penyebab yang pertama ialah retaknya beberapa gereja akibat unsur
kesukuan/kedaerahan atau karena faktor lain. Demikianlah di Sumatera Utara
lahirlah GKPS (1963), GKPI (1964) dan HKBP-Angkola (kemudian GKPA),
yang melepaskan diri dari HKBP. Di Nias, AMIN (946), ONKP (1950), dan lain-
lain. Di Sulawesi, GKLB (1966) dan GPIL (1966).31
Partisipasi Keristen dalam perjuangan bersenjata dijalankan sebagai angota-
angota dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, di mana orang-orang
Keristen Indonesia sejak mulanya turut memberikan sumbangannya. Di antara
pemimpin Angkatan Perang Republik Indonesia sejak semula terdapat perwira-
perwira Keristen seperti, Kol. Kawilarang, Kol. Simbolon, Laksamana Muda
John Lie, Letnan Djendral Panggabean, Manjor Jendral Pandjaitan. Pada bulan-
bulan pertama sesudah Proklamasi ada juga pasukan khusus yang sebagian besar
terdiri dari orang-orang Keristen seperti, KRIS, pasukan Pattimura, pasukan
istimewa di Jawa Barat, Laskar Kristen di Sumatera Utara. Kewajiban umat
Keristen untuk menentukan tujuan pemerintahan berdasarkan Firman Tuhan.
Partai politik ini tidak didirikan karena mau ikut-ikutan saja atau agar jangan
dituduhkurang semangat, akan tetapi hal ini dirasakan sebagai kewajiban umat

30
Th. Van Den End, Ragi Carita 2, 405-406
31
Th. Van Den End & J. Weitjens, SJ, Ragi Carita 2, (Jakarta: BPK-GM, 2012), 357

17
Kristen untuk menentukan tujuan pemerintah berdasarkan Firman Tuhan, sebab
kitab suci menjelaskan kehendak Tuhan dalam segala lapangan penghidupan
termasuk juga lapangan politk. Tuhan berkehendak bangsa-bangsa itu, juga
bangsa Indonesia, harus merdeka dan harus dapat mengatur dan memerintah
negaranya sendiri. Kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus
1945 itu adalah sudah menurut kehendak Tuhan, sebab itu kemerdekaan
Indonesia kami pandang sebagai Anugrah dari Tuhan memberi tugas kewajiban
pada umat Kristen Indonesia untuk memelihara dan mempertahankan Anugrah
pemberianNya, yakin kemerdekaan Tanah air dan bangsa Bangsa Indonesia. Insaf
akan panggilan dan kewajiban yang kami terima dari Tuhan itu, maka kami
dirikan partai Kristen itu yang pada permulaan memakai nama partai Kristen
Nasional.32Adanya pernyataan-pernyataan dan tindakan-tindakan dari Gereja-
gereja di Indonesia dalam puluhan tahun terakhir ini. Ketiga tema itu adalah (1)
tema pendamaian, (2) keterlibatan dalam politik dan (3) harapan untuk masa
depan dan keterlibatan di masa kini.33

II.6. Tokoh-tokoh Kristen Pada Masa Orde Lama


1. Rumambi
Dalam perdebatan tentang dasar Negara, Rumambi menjadi salah satu
tokoh Kristen yang berani denan tegas menyatakan keberatannya jika Islam
dijadikan sebagai ssesbagai dasar Negara.Bahkan, rumambi juga berpendapat
mengenai perlunya perbedaan prinsipil antara tugas negara dan tugas
agama.dikatakan olehnya bahwa tugas agama ialah memberitakan Firman
Tuhan dalam masyarakat dan dalam segala lapangan hidup, dengan kata dan
perbuatan. Sementara itu, tugas Negara adalah memelihara, mengusahakan
ketertiban, keadilan dan kemerdekaan diantara rakyat.Kendati terdapat
perbedaan mengenai fungsi antara Negara dan agama, menurut Rumambi hal
itu bukanlah berarti keduanya harus dipisahkan.Negara dan agaman harus
bekerjasama, saliang menghormati, saling mengharagai, dan mengakui tugas
panggilan masing-masing.34
2. Renda Saroengalo dan Sihombing
32
W.B.Sidjabat, Partisipasi Kristen dalam Nation Building di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 1968), 23-24
33
T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, 42
34
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 315-
317.

18
Menjawab tuntutan supaya Islam dijakdikan sebagai agama resmi
Negara Indonesia, Saroengalo mengatakan jika Islam diajadikan dasar Negara
dan hukum. Itu berarti hukum Islam akan mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi, dan dalam hal terjadinya pertentangan norma. Hukum Islam akan selalu
menjadi pegangan. Ini bebrtentangan dengan asas kedudukan sama di depan
hukum bagi pribadi maupun golongan yang mau menjadi unsur demokrasi.
Pandangan Saroengalo ini menadapat dukungan dari rekan sefraksinya,
Sihombing.Ia menekankan agar Negara memberikan penekanan yang sma
kepada semua agama. sihombing mengacu pada Mukadimah UUD 1945 yang
menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu
penjajah harus dihapuskan karena tidak dari perikemanusiaan dan peri
keadilan. Menurut Sihombing dari Mukadimah ini jelas bahwa soal inti bagi
Indonesia adalah kebebasan, kemerdekaan, dan penghapusan segala bentuk
penindasan dan ini tidak hanya dalam hubungan manusia dengan dunia
lahiriah, melainkan juga batiniah.Dengan demikian, pemerintah harus
bertanggung jawab atas kebebasan individu, kebebasan agama, dan kebebasan
berpindah agama.35
3. T.S.G Moelia
Todung Soetan Goeoeng Moelia (1896-1966) berasal dari Sumatera
Utara. Di berbagaibidang politik,ilmu dan gerejaia membuktikan bahwa ia
menguasai segala jenis permasalahan dan bahwa selain itu ia mampu benar
memberi pimpinan dengan cara yang tenang, mendamaikan, dan dengan
penuh cipta. Moelia masuk sekolah Guru dan setelah itu ia belajar ilmu
pendidikan di Nutsseminarie di Belanda (1919-1922). Kemudian ia masuk
fakultas Hukum dan Antropologi (1929-1934). Dari tahun 1921 sampai 1929
dandari tahun1935 sampai 1942 ia menjadi anggota Dewan Rakyat
berdasarkan pengangkatan dan di masa yang terakhir ia menjabat ia menjabat
wakil ketuanya. Di kalangan dewan rakyat ia hampir selalu bersikap bijaksana
dan setia. Bagi gereja-gereja di Indonesia ia punya arti yang sangat besar.
Tahun 1950 ia memang sudah pernah menjadi ketua yang pertama bagi DGI,
jadi antara tahun 1940-1942 ia mengambil bagian dalam pengurus zending

35
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2014), 318-
319

19
untuk keadaan darurat.36 Dia mendirikan Universitas RI Darurat (1946).
Sesudah itu, Dr. Mulia terutama mencurahkan tenaga di bidang kegerejaan:
pada tahun 1928 ia telah ikut mewakili gereja-gereja Indonesia pada
konferensi Dewan Pekabaran Injil Internasional (IMC) di Yerusalem.
Kesatuan gereja tetap menjadi perkara penting baginya, dan pada tahun 1950
ia menjadi ketuapertama DGI (1950-1960). Disamping itu, ia menjabat ketua
Lembaga Alkitan Indonesia (1954-1966), ketua pengurus Sekolah Tinggi
Teologia di Jakarta, dan ketua pengurus Universitas Kristen Indonesia, yang
didirikannya pada tahun 1953. Ia pun menjadi redaktur Ensiklopedia Indonesia
(terbitan pertama).37

4. J. Leimena
Johanes Leimena dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1905 di Lateri
Ambon, dari keluarga guru Leimena-Sulilatu.Leimena mengikuti pamannya
ke Jawa, dan kemudian tinggal di Batavia. J. Leimena menikah pada tahun
1933 dengan Wijarsi Prawiradilaga, seorang wanita Kristen asal Pasundan.38
Dari tahun 1930 ia bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit di Bandung.
J.Leimena memusatkan perhatiannya pada tugas-tugas verifikasi kegiatan dari
pelbagai instansi yang menangani bidang kesehatan rakyat.Hal ini dilakukan
karena setelah perang kemerdekaan, kementrian kesehatan menghadapi
masalah kekurangan sumber daya manusia (doter, paramedis, pegawai
administrasi, dan lain-lain).Sarana dan prasarana juga mengalami
kehancuran.Akibatnya, hubungan kerja antar-instansi tidak lagi sinkron
dengan dinas-dinas kesehatan di daerah.Leimena pada tahun 1950 rupanya
dipengaruhi oleh pengalamannya di Rumah Sakit Immanuel Bandung.Selain
rumah sakit tersebut, pihak zending juga membangun beberapa poliklinik di
daerah Kabupaten Bandung dan sekitarnya yang langsung menangani berbagai
kebutuhan masyarakat pedesaan.Bandung dipilih untuk proyek percontohan
ini, karena tingkat ekonomi rakyatnya relatif lebih baik.Dengan demikian,
pembiayaan kegiatan di daerah pedesaan dapat dibantu oleh pihak daerah.Jadi,
diputuskan untuk membangun pusat-pusat kesehatan yang dilengkapi dengan

36
A.G.Hoekema, Berpikir dalam Keseimbagan yang Dinamis, 129-130
37
Th. Van Den End, Ragi Carita 2, 403-404
38
Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, (Jakarta: BPK-GM, 1994), 133

20
fasilitas 10-15 tempat tidur. Lantas disusunlah rencana lima tahun (1954-
1960). Dalam tahun pertama, setiap kabupaten yang terpilih mendapat satu
pusat kesehatan di satu kecamatan.Selanjutnya dalam waktu dua tahun sekali
ditambah lagi dengan pusat kesehatan di kecamatan lainnya pada kabupaten
bersangkutan. Rumah sakit pembantu di bangun di ibukota kabupaten pada
awal rencana lima tahun.39
Sesudah proklamasi kemerdekaan, mulia tahun 1946-1966 ia
memegang jabatan dalam hampir semua kabinet Indonesia sebagai mentri
kesehatan, mentri sosial, dan akhirnya sebagai wakil perdana mentri. Leimena
mendapat kepercayaan khusus dari pihak presiden Soekarno. Dalam tahun-
tahun pertama pasca perang, ia menghadiri antara lain KMB di Huge Veluwe
dan di Linggarjati selaku wakil republik. Leimena adalah salah seorang
pendiri Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia pada tahun 1950.40Leimena
juga menyatakan bahwa kekristenan di tempatkan orang Indonesia sejajar
dengan Eropaisme dan Kapitalisme. Pada pihak lain, nasionalisme dianggap
sebagai komunisme dan pengungkapan dari suatu rasa rendah diri oleh banyak
orang Eropa, suatu kecongkakan yang harus ditolak. Para mahasiswa Kristen
tidak boleh memperlihatkan bahwa karena mereka Kristen juga termasuk pada
kaum kelompok Eropa, melainkan bahwa panggilan mereka dan kewajiban
sebagai Kristen adalah untuk bekerja sama sebagai kawan-kawan sekerja dalm
membangun bangsa Indonesia, yang ke dalamnya mereka juga terhisap, dan
bahwa mereka harus menyadari bahwa karena mereka telah memiliki
pendidikan yang maju maka mereka merupakan suatu golongan yang
istimewa. Nasionalisme yang menginginkan suatu kesatuan melawan
pemerintah-pemerintah asing, dan menginginkan suatu negara kesatuan,
memelihara dan saling menghargai kebudayaan, sifat dan kemampuan masing-
masing, yang mengkehendaki satu bahasa kesatuan.Nasionalisme ini menuntut
dari orang Kristen suatu keyakinan nasional yang murni dan suatu kegiatan
nasional.41

5. Amir Syariffudin

39
Johannes Leimena, Negarawan Sejati & Politisi Berhati Nurani, (Jakarta: BPK-GM, 2007), 93-96
40
A.G.Hoekema, Berpikir dalam Keseimbagan yang Dinamis, (Jakarta: BPK-GM, 1997), 139-140
41
Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme, 136-137

21
Amir Syarafudin dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1907 di Medan
Tapanuli Selatan daerah yang memiliki percampuran antara Kristen dan juga
Islam dari pasangan Baginda Soripada Harahap dengan Basoeno
Siregar.42Amir yang aslinya bermarga harahap sengaja tidak menggunakan
marga di belakang namnya karena kesepakatan yang diambil pada kongres
pemuda 1927 untuk tidak mempergunakan marga dan gelar kebangsawanan
untuk menunjukkkan bahawa semua nya orang Indonesia dan sama derajatnya.
Amir menyelesaikan pelajarannya pada ELS di sibolga dan melanjutkan
pendidikan nya di Belanda menyusul sepupunya yaitu Toean Soetan
Goenoeng Mulia (T.S.G.Mulia). dan Amir muda tinggal di rumah seorang
bernama Nyonya A.A. van de Loosdrecht-Sizoo, yaitu seorang janda dari
Pekabar injil A.A. van de Loodsdrecht-Sizoo yang mati ketika mengabarkan
inijil di tanah toraja 43 Amir juga berperan dalam menumbuhkan Nasionalisme
di HKBP hal ini tampak ketika kemelut yang terjadi di HKBP antara HKBP
dan perseteruan dengan pemerintah belanda dan BNZ maka pada tanggal 2
Maret 1941dibentuklah komite penilai yang di ketuai oleh J.M.Panggabean
dengan Sekretaris Dr.L.Tobing dan penasihat dari Komite ini ialah Amir
sendiri44
Amir sebelum meninggal ditangkap pada tanggal 29 November 1948
di desa Klambu 20 KM dari Purwodadi amir ditangkap karena dia merupakan
salah satu pemimpin PKI yang diangap akan melakukan pemberontakan.
Setelah di tangkap seorang temannya berkata kepada nya untuk menghubungi
Soekarno Hatta agar lepas namun Amir menolak dia tidak ingin berhutang
budi kepada dua tokoh itu. Setelah di tahan di Yogyakarya Amir di
kembalikan di Solo dan di penjarakan disana, dalam Rapat Kabinett tertanggal
18 Desember 1948 dibicarakan apa tindakan yang dilakukan kepada pemimpin
PKI jikalau Belanda melakukan AGresi Militer,dari 12 orang menteri maka 4
orang menteri meminta Amir dan kawan-kawannya di tembak mati, 4 orang
menghendaki supaya Amir di bebaskan dan 4 orang tidak memberikan suara
lalu Presiden Soekarno dengan hak Veto nya memerintahkan bahwa Amir dan

42
Frederick D. Wellem, Amir Syaraffudin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia, (Bekasi: Jalan Permata Aksara, 2009), 30
43
F.D.Wellem, Amir Sjarifoeddin Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan kemerdekaan
Indonesia, (Jakarta : UtOmnes Unum SInt Institute, 2009), 30-36.
44
Th. Van Den End & J. Weitjens, SJ, Ragi Carita 2, 403

22
kawan-kawannya tidak boleh di tembak. Pada tanggal 19 Desember 1948 di
pagi hari Belanda melakukan Agresi Militer nya dan Gatot Subroto sebagai
Gubernur Militer di Solo memerintahkan untuk menembak mati semua
pemimpin PKI di daerah Ngalian, sebelah timur kota Solo. Dan jenazahnya
dikuburkan massal di tempat tersebut45
6. A.L. Fransz
Augustine(Tine) Fransz lahir tahun 1907 di Bojonegoro.Dia pernah
memiliki studi di Skolah Tinggi Hukum di Jakarta.(1929-1933), Tahun 1950-
1988 bekerja di DGI.46dia adalah seorang yang sosok yang selalu bersikap
sederhana, namun ia mewalikili segi yang sangat unik di kalangan oikumene.
Franz menghadiri konfensi di Citeurep dan tambaram, dan di tahun 1939 ia
datang ke Amesterdam untuk menghadiri konfensi raya sedunia kaum muda
Kristen. Selaian ia juga bagian dari konstituante di tahun 1950-an dengan sia-
sia menyusun Undang-Undang Dasar bagi Indonesia. Pengaruh yang
dibenarkannya selama serangkaian tahun yang panjang jauh lebih besar
daripada yang dapat diukur dari daftar tulisan buah tangannya. Ceramah yang
diadakannya dalam konferensi memimpin kaum muda Kristen pada bulan
November 1940 di Salatiga berjudul “Persatuan Kita dalam Kristus, yang
melebihi segala persatuan lain”. Persatuan dalam Kristus mendobrak segala
perbedaan anatara ras, bangsa atau gereja, dan membagi-bagikan berbagai
kelompok.Kesaksian mengenai persatuan dalam kristus telah menjadi bagian
dalam hidup Tine Franz.Ia mewujudkan sikap hidup itu sepanjang tahun 1942-
1945, ketika ia sudah memilih pihak nasionalisme. 47
7. A. M. Tambunan
Albert Mangara Tambunan (1911-1970), semasa hidupnya aktif di
kalangan Partindo dan juga dalam Parlemen, selain itu ia pernah menjabat
sebagai Menteri Sosia (1967-1970). Dalam ceramah 1952 disebutnya 4 alasan
mengapa mengenai hal itu orang Keristen dulu berdiri di garis pinggir:
 Politik adalah urusan pemerintah Kolonial, sedangkan Dewan Rakyat
adalah lembaga tanpa kekusaan.

45
Turman Sirait & Gopas Sirait, Ephorus Pdt.Kasianus Sirait, (Laguboti: Yayasan TP Arjuna, 2005), 111.
46
Tahi Bonar Simatupang, Percakapan T. B. Simatupang, (Jakarta: BPK-GM 1989), 499.
47
A. G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis,(Jakarta:BPK-GM, 1996), 137-138.

23
 Sebelum perang, orang Kristen terlalu sibuk memperjuangkan
kemandirian Gereja smereka terlalu lelah untuk memikirkan
perjuangan Nasionalis umum.
 Politik tidak membawa perbaikan ke masyarakatan bagi orang keristen
yang sampai 1942 menduduki posisi yang Istimewa.
 Politik juga berarti bahwa tangan seseorang menjadi kotor.

Tambunan menunjuk pada dua masalah. Pertama-tama, ada kenyataan


bahwa para pendeta akan memegang jabatan pemerintahan, padahal mereka
justru diperlukan didalam gereja. Kedua, karena telah mengadakan berbagai
kompromi yang berkaitan erat dengan usaha politik, mereka harus bertindak
berlawanan dengan prinsip-prinsip mereka dan dengan kitab suci sehingga
mereka memperlemah kata hati mereka.48

8. T.B. Simatupang
Tahi Bonar Simatupang (1920-1990), ia lahir disidikalang Sumatera
Utara. Dari tahun 1949-1959 Simatupang memegang jabatan kepala staf
angkatan bersenjata RI. Ia membuktikan dirinya bagi pembangunan
Negaranya dan bagi partisipasi orang-orang Kristen di dalamnya. Simatupang
sendiri menyatakan bahwa kehidupan dan pikirannya dibentuk oleh
keterlibatannya dalam perang kemerdekaan nasional dalam revolusi (yang
juga bisa dijelaskan dengan perubahan sosial cepat), dan dalam perkembangan
negara. Jadi gara-gara konflik antara Simatupang sebagai kepala stap angkatan
bersenjata dan Presiden Soekarno, secara berangsur-angsur Simatupang
menyadari bahwa segala masalah perang revolusi dan pembangunan jauh lebih
berarti, jauh lebih menarik, dan jauh lebih realistis. Itulah yang menjadikan
tokoh nasional yang paling kuat dan tegas dikalangan Gereja-gereja Kristen di
Indonesia sehingga seluruh pemikirannya sungguh layak untuk dianalisis
dalam suatu pemikiran yang lengkap.49
9. V.B da Costa dari Partai Katolik
Costa menyatakan bahwa kebebasan beragama tidak boleh disamakan
dengan kebebasan berserikat, karena kebebasan beragama tidak dapat dibatasi
dengan alasan ketertiban umum. Ia takut bahwa hak yang suci atas kebebasan

48
A. G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis,(Jakarta:BPK-GM, 1997), 269-271
49
A.G.Hoekema, Berpikir dalam Keseimbagan yang Dinamis, 271-272

24
agama bagi orang Khatolik dan Protestan dapat dibatasi dengan tindakan
proventif atas nama ketertiban umum seperti yang terjadi pada masa kolonial
Belanda. Dengan alasan tersebut costa menegaskan bahwa partainya tidak
ingin melihat terulangnya praktik kolonial dan karena itu tidak dapat
menerima pula peraturan yang membatasi keberagaman agama. Tetapi ia
menekankan bahwa partainya tidak menolak seluruhnya kendali pemerintah
yang bersifat represif terhadap kegiatan keagamaan. Misalnya ia menganggap
sudah sewajarnya bahwa dalam hubungan dengan kebebasan beragama setiap
tindakan yang melanggar hukum harus ditindak sesuai hukum.50

III. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kekiprahan gereja pada
masa orde lama adalah Pada golongan pertama termasuk beberapa tokoh penting
dalam lingkungan pemerintah serta tentara. Beberapa daerah Kristen, seperti
Sumatra Utara, mengadakan perlawanan sangat gigih terhadap tentara Belanda.
Pada waktu itu memang keadaan nasional pada umumnya disibukkan dengan
berbagai macam persoalan yang meminta tenaga. Sehingga pemerintah daerah
yang tidak stabil tidak mampu memberikan pertolongan yang sewajarnya. Akan
tetapi ketika pemberontakan tesebut dapat ditumpas, maka kerja sama antara
pemerintah daerah dan gereja berjalan dengan baik sampai saat ini. Dalam hal ini
gereja mempertahankan penuh hak kekristenan walaupun ada tantangan dari
DI/TII untuk memporak-porandakan seluruh umat Kristen, dengan begitu tokoh-
tokoh yang berperan dalam masa kiprahnya ikut juga dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dan tidak memihak pada satu sekutu.

IV. Daftar Pustaka


B. Sidjabat W., Partisipasi Kristen dalam Nation Building di Indonesia, Jakarta:
BPK-GM, 1968.
B.Simatupang T., Iman Kristen dan Pancasila, Jakarta: BPK-GM, 1984.
Daulay, Richard M., Agama dan Politik di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2015.
D. Wellem F., Amir Sjarifoeddin Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan
kemerdekaan Indonesia, Jakarta : Ut omnes Unum Sint Institute, 2009.
Den Van Th. End, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK-GM, 2014.

50
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 315-319

25
G.Vanschie,Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Kotes Sejarah Agama-
agama Lain, Jakarta: OBOR, 1995.
Hoekema G. A., Berpikir dalam Keseimbagan yang Dinamis, Jakarta: BPK-GM,
1997.
J. Ngelow Zakaria, Kekristenan dan Nasionalisme, Jakarta: BPK-GM, 1994
Leimena Johannes, Negarawan Sejati & Politisi Berhati Nurani, Jakarta: BPK-
GM, 2007.
Mahfud Moh., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: Reneka Cipta,
2000.
Pabotinggi, Mochtar, Menelaah Kembali Format Politik Orde Bari, Jakarta: BPK-
GM, 2015.
Ricklefs, M. C., Sejarah Indonesia Moderen, Jakarta: Serambi, 1998.
S. Aritonang Jans, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indoesia, Jakarta:
BPK-GM, 2004.
Simatupang Bonar Tahi, Percakapan T. B. Simatupang, Jakarta: BPK-GM 1989.
Simorangkir, Mangisi S.E, Ajaran Dua Kerajaan Luther, Pematang Siantar:
Kolportase Pusat GKPI, 2008.
Sirait Turman & Sirait Gopas, Ephorus Pdt.Kasianus Sirait, Laguboti: Yayasan TP
Arjuna, 2005.
Supriatna Nana, IlmuPengetahuan Sosial, Jakarta: Grafindo, 2006.
Ukur, F. dan L. Cooley F, Benih yang Tumbuh VIII, Irian Jaya: studi dewan-
dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1977.
Ukur F. dan L Cooley. F., Jerih dan Juang, Jakarta: Lembaga Penelitian dan
Studi-DGI, 1979.
Wellem D.Frederick, Amir Syaraffudin: Tempatnya dalam Kekristenan dan
Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Bekasi: Jalan Permata Aksara, 2009.
Simorangkir, Mangisi S.E, Ajaran Dua Kerajaan Luther, Pematang Siantar:
Kolportase Pusat GKPI, 2008.

26

Anda mungkin juga menyukai