Soetran
Masa jabatan
Presiden Soeharto
Elias Paprindey
Izaac Hindom
Bupati Trenggalek
Masa jabatan
Pendahulu Moeladi
Soedarso
Informasi pribadi
Indonesia
Golkar
Partai politik
Tanda tangan
Karier militer
Indonesia (1945—1975)
Dinas/cabang
TNI Angkatan Darat
Masa dinas 1942—1975
Pangkat
Brigadir Jenderal TNI
Bupati Trenggalek
Foto resmi Soetran sebagai Bupati Trenggalek.
Penanaman cengkih
Soetran dilantik sebagai Bupati Trenggalek pada tanggal 3 Oktober 1968, menggantikan Moeladi.
[5]
Sebelum ia menduduki kursi bupati, Trenggalek dikenal sebagai daerah yang miskin dan sering
kali mengalami musim kemarau berkepanjangan yang mengakibatkan kekeringan di daerah
tersebut. Gaplek, makanan pokok penduduk Trenggalek, tidak dapat ditanam dan dipanen selama
musim kemarau.[6]
Soetran mulai mencari solusi untuk permasalahan kekeringan setelah ia memegang jabatan sebagai
Bupati Trenggalek. Di bawah Soetran, pemerintah daerah Trenggalek berupaya untuk mencari
komoditas bernilai tinggi yang sesuai dengan lahan rakyat. Setelah menemukan bahwa cengkih
merupakan tanaman yang paling cocok untuk daerah tersebut, Soetran mulai sedikit memaksa
penduduk Trenggalek untuk menanam cengkih.[6]
Penanaman cengkih tersebut membuahkan hasil beberapa saat setelah dimulai. Tanah Trenggalek
yang tandus diubah menjadi tanah yang hijau dengan cengkih [7] dan kabupaten tersebut menjadi
pusat produksi cengkih di Jawa Timur. Meskipun perkebunan cengkih hanya 16,21% dari seluruh
luas tanah yang ada, produksi cengkih menambah pendapatan masyarakat Trenggalek sebesar 21
miliar rupiah per tahun.[6] Wilayah Trenggalek kemudian menjadi identik dengan cengkih, dan
penduduk di sana kemudian hanya mengandalkan cengkih sebagai satu-satunya sumber
penghasilan.[8]
Donald K. Emmerson, seorang peneliti politik, berpendapat bahwa keberhasilan pembangunan
Trenggalek di bawah pemerintahan Soetran dikarenakan sistem kepemimpinan komando yang
dianutnya. Emmerson berpendapat bahwa Soetran memegang tanggung jawab penuh akan proses
pembangunan di wilayah tersebut dan menjalankan pemerintahan daerah sebagai perpanjangan
tangannya sendiri.[9]
Tembokisasi dan reboisasi
Sebelum penunjukkannya sebagai bupati, kantor-kantor pemerintahan dan militer masih
menggunakan gubuk yang reyot. Soetran berusaha untuk memperbaiki keadaan ini melalui
konsep tembokisasi. Konsep yang dicanangkannya tersebut mengajak masyarakat Trenggalek
untuk membangun tembok di sekitar rumahnya masing-masing. Sampai tahun 1972, hampir seluruh
rumah di Trenggalek sudah memiliki tembok.[10]
Selain program tembokisasi, Soetran juga menggalakkan reboisasi di Trenggalek. Soetran
memberikan instruksi kepada masyarakat Trenggalek bahwa "Tidak boleh sejengkal tanah pun yang
kosong dari tanaman".[11] Kebijakan reboisasi Soetran menjaga wilayah Trenggalek aman dari
bencana kekeringan yang berkepanjangan dan memberikan tambahan pendapatan bagi kabupaten
dari ekspor kayu-kayu seperti pinus, jati, dan akasia.[12]
Perubahan nama Trenggalek
Pada tahun 1971, dengan alasan untuk mengubah citra buruk Trenggalek, Soetran mengusulkan
perubahan nama Trenggalek menjadi Trenggaleh. Menurut Soetran, kata yang diakhiri oleh suku
kata -ek dalam bahasa Jawa memiliki konotasi yang buruk (contoh: jelek/elek, kemenyek, tekek).
[13]
Soetran mengatakan bahwa nama Trenggalek sering kali dibuat jadi bahan ejekan oleh orang
Jawa sebagai singkatan dari terang enggone wong elek (jelas-jelas tempatnya orang jelek) menjadi
Trenggalih, dengan singkatannya Terang Ing Galih (terang di hati kita).[14]
Banyak pejabat Trenggalek yang menolak rencana Soetran tersebut. Mereka berpendapat bahwa
perubahan nama memerlukan proses administratif dan birokratik yang sangat sulit. Meskipun
mendapat tentangan, Soetran tetap menjalankan rencananya, dan pada tahun yang sama ia
membentuk suatu tim yang menginvestigasi asal-usul nama Trenggalek, kemunculan tertulis
pertama dari nama Trenggalek, dan kemungkinan menamai ulang Trenggalek dengan merujuk pada
kemunculan pertama dari namanya. Proyek ini tetap berlangsung beberapa tahun setelah Soetran
meninggalkan jabatan bupati Trenggalek.[10] Tim tersebut berhasil menemukan dan
mendokumentasikan awal mula berdirinya Trenggalek dan kemunculan pertama nama Trenggalek.
Namun, tim tersebut menolak usulan untuk mengubah nama Trenggalek. [15]
Parasamya Purnakarya Nugraha
Presiden Soeharto menyerahkan Parasamya Purnakarya Nugraha untuk Trenggalek kepada Gubernur Jawa
Timur, Mohammad Noer.
Karena dianggap berhasil sebagai Bupati Trenggalek melalui program penanaman cengkihnya,
Soetran ditunjuk kembali sebagai bupati untuk periode kedua pada tahun 1973. Pada tahun 1974,
Kabupaten Trenggalek menerima penghargaan dari Presiden Soeharto berupa Parasamya
Purnakarya Nugraha,[5] sebuah penghargaan yang diberikan kepada Kabupaten/Provinsi dengan
hasil pembangunan terbaik selama pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun.
[16]
Penghargaan tersebut diterima oleh Gubernur Jawa Timur Mohammad Noer dari Presiden
Soeharto pada suatu upacara yang diadakan pada tanggal 21 Agustus 1974 di Stadion Tambaksari.
[17]
Soetran (ketiga dari kiri) bersama bupati dari Irian Jaya di Jakarta. Di samping kiri Soetran adalah Bupati
Manokwari Nathanael Anthonius Maidepa.
Soetran (kanan) menerima DIP Proyek Pembangunan Nasional untuk Provinsi Irian Jaya dari Menteri Dalam
Negeri Amirmachmud.
Setelah menjabat sebagai Bupati Trenggalek selama dua periode, Soetran ditunjuk oleh Menteri
Dalam Negeri Amirmachmud untuk menjabat sebagai Gubernur Irian Jaya. Soetran dilantik sebagai
pejabat gubernur pada tanggal 31 April 1975, menggantikan Acub Zainal.[18] Masa jabatannya
sebagai penjabat gubernur berakhir ketika ia dilantik sebagai gubernur definitif pada tanggal 12
Agustus 1975.[19] Masa jabatannya seharusnya berakhir pada tanggal 4 September 1980, tetapi
dikarenakan belum ada penggantinya sebagai gubernur, [20] masa jabatannya diperpanjang hingga 20
Januari 1981.[21]
Wajib Tanam Cengkih
Beberapa saat setelah ia ditunjuk sebagai penjabat gubernur Irian Jaya, Soetran mulai menerapkan
program yang sudah ia jalankan di Trenggalek tujuh tahun yang lalu. Pada tanggal 20 Mei 1975,
Soetran mencanangkan program Wajib Tanam Cengkih (WTC). [22] Soetran berpendapat bahwa
cengkih bisa memberikan hasil yang besar kepada pendapatan daerah Irian Jaya. Karena
programnya tersebut, Soetran dijuluki sebagai "Gubernur Cengkih". [23]
Menurut isi komando yang dikeluarkan Soetran, setiap kepala keluarga di Irian Jaya terkena wajib
tanam. Keluarga yang hidup di desa harus menanam minimum 20 batang cengkih, keluarga yang
hidup di pinggir kota harus menanam 5—10 batang, dan keluarga yang hidup di kota harus
menanam minimum 5 batang. Kantor-kantor, sekolah, asrama, tempat ibadah, dan pramuka juga
diwajibkan untuk menanam cengkih. Selain dari penanaman skala kecil oleh penduduk, Soetran
juga mendirikan perkebunan cengkih yang dikelola oleh pemerintah kabupaten dan provinsi. [22]
Beberapa hari setelah program dimulai, Soetran meminta pendanaan dari Presiden Soeharto.
Permintaannya dipenuhi dan Soeharto memberikan bantuan bertahap sebesar 250 juta rupiah pada
tanggal 20 November 1975, dengan 50 juta rupiah diberikan pada tahun pertama. Soetran
merencanakan pembelian untuk bibit cengkih dari Trenggalek seharga 35 juta rupiah.[22]
Namun, tak sampai berapa lama setelah dimulai, proyek tersebut mengalami kegagalan. Dalam
sebuah penanaman cengkih yang dilakukan oleh PNS di Kantor Gubernur Irian Jaya, hanya sekitar
10% dari bibit cengkih yang bertahan hidup pada tahun pertama. Seorang ahli pertanian
menyatakan bahwa kegagalan tersebut dikarenakan instruksi Soetran yang terlalu tergesa-gesa dan
PNS yang belum paham mengenai penanaman cengkih. Alasan lainnya adalah bahwa Soetran
telah melanggar SK Menteri Pertanian yang menyatakan bahwa bibit cengkih hanya dapat diimpor
dari empat lokasi, yakni Selokaton, Branggah Banaran, Bogor, dan Maluku. Keputusan Soetran
untuk mendatangkan bibit cengkih dari Trenggalek dianggap sebagai kesalahan besar karena bibit
cengkih dari Trenggalek belum pernah diteliti kelaikannya. [22]
Julius Ary Mollet, seorang peneliti dari Universitas Cendrawasih, menyalahkan kegagalan Soetran
pada sosialisasi yang kurang. Menurutnya, masyarakat menjadi enggan untuk memanen dan
menjual hasil budidaya cengkih dikarenakan kurangnya sosialiasi mengenai keuntungan dari
menanam cengkih.[24]
Setelah ia turun dari jabatan sebagai Gubernur Irian Jaya, penerusnya, Busiri Suryowinoto,
mempertanyakan kebijakan Wajib Tanam Cengkih-nya. Busiri menggantikan program Soetran
dengan penanaman tanaman pangan, karena menurutnya cengkih tidak cocok untuk wilayah Irian
Jaya.[25]
Gempa Bumi Irian Jaya
Lihat pula: Gempa bumi Papua 1976
Selama masa pemerintahan Soetran, Provinsi Irian Jaya mengalami dua gempa bumi secara
berturut-turut. Gempa bumi pertama, yang terjadi pada tanggal 26 Juni 1976 dan berukuran
7,1 Skala Richter, berlangsung selama seminggu. Akibatnya, 12 kampung besar di Lembah
Baliem dinyatakan hilang. Kecamatan Kurima, Okbibab, dan Oksibil, yang kesemuanya terletak
di Kabupaten Jayawijaya, sepenuhnya hancur oleh gempa bumi. Sampai dengan tanggal 5 Juli
1976, 369 orang ditemukan tewas dan 5.001 orang dinyatakan hilang. [26]
Seusai gempa bumi tersebut, para penyintas dievakuasi dan ditampung dalam kamp pengungsian.
[27]
Seorang pejabat pemerintahan menggambarkan kondisi di kamp pengungsian tersebut dengan
"mengerikan dan menakutkan". Sekretaris Daerah Irian Jaya, Syarifuddin Harahap, mengirimkan
sejumlah radiogram kepada departemen dan perusahaan di Irian Jaya dan meminta mereka untuk
mengirimkan bantuan. Presiden Soeharto menanggapinya dengan memerintahkan lembaga
pemerintahan untuk membentuk suatu satuan tugas untuk menangani gempa bumi tersebut.
[28]
Bantuan pertama yang diberikan kepada penyintas yang masih terisolasi dan kelaparan
berbentuk karung ubi yang dijatuhkan dari udara. Namun, sejumlah karung ubi hancur karena
karungnya rapuh. Pada tanggal 3 Juli, Pemerintah Papua Nugini membantu proses pencarian dan
penyelamatan dalam bentuk sebuah pesawat Cessna.[26]
Soetran terbang ke Jakarta pada tanggal 10 Juli untuk membahas masalah tersebut dengan
Presiden Soeharto.[29] Soeharto memberikan Soetran bantuan sebesar 100 juta rupiah untuk
menangani bencana tersebut dan menyatakan gempa bumi tersebut sebagai bencana nasional. [30]
Soetran mengeluhkan kelambatan dari bantuan pemerintah terhadap bencana alam tersebut. Pada
tanggal 19 Juli, Soetran menyampaikan ketidakpuasannya dengan penanganan pemerintah pusat
terhadap bencana tersebut. Ketidakpuasannya dikarenakan satgas yang dibentuk oleh pemerintah
pusat belum juga datang.[31] Dia juga mengatakan bahwa sampai dengan tanggal 19 Juli, baru 2
dokter dan 10 perawat yang tiba di lokasi bencana. [32] Dalam sebuah pertemuan dengan Soeharto,
Soetran juga mengkritisi kurangnya bantuan pesawat dan medis yang diberikan oleh pemerintah
pusat.[33]
Menurut Kantor Koordinasi Urusan Penganggulangan Bencana Perserikatan Bangsa-
Bangsa (UNDRO), sampai dengan tanggal 30 September, sekitar satu setengah juta dolar AS telah
diberikan oleh organisasi dari berbagai negara untuk penanganan bencana di Irian Jaya. UNDRO
memperkirakan bahwa pemerintah menghabiskan setidaknya 10 ribu dolar setiap bulannya untuk
penjatuhan ubi dari udara.[34]
Gempa bumi yang kedua terjadi pada bulan November 1976. Gempa bumi tersebut berdampak
pada Pegunungan Jayawijaya, dan sekitar 110 orang tewas akibat gempa tersebut. Gempa bumi
yang kedua memiliki skala yang lebih kecil dan menerima lebih sedikit peliputan dari media. [34]
Perseteruan dengan Elias Paprindey
Elias Paprindey, seorang birokrat asli Papua, ditunjuk oleh Soetran sebagai wakil gubernur
menggantikan Jan Mamoribo yang wafat pada tanggal 19 Oktober 1976.[35] Beberapa saat setelah
menjabat sebagai Wakil Gubernur, Paprindey mulai berseteru dengan Soetran mengenai proses
pembangunan di Irian Jaya.[36] Paprindey kemudian menuduh jabatan wakil gubernur sebagai "tak
lebih dari simbol belaka".[37] Ketika ditanya oleh wartawan Tempo Widi Yarmanto mengenai
perseteruan tersebut, Soetran menyangkal hal tersebut dan menyatakan bahwa "Hubungan kerja
[kami] tetap baik [dan] pekerjaan [kami tetap] lancar." [38]
Ketika berita mengenai perseteruan tersebut diketahui oleh penduduk, PNS penduduk asli Irian Jaya
mulai mengungkapkan keresahan mereka dengan pemerintah daerah. Seorang pegawai negeri
menyatakan bahwa "Kalau keadaan di sini begini terus, lebih baik kami ke PNG saja."[36]
Peninggalan
Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Trenggalek membuat penghargaan dengan
menggunakan namanya. Penghargaan tersebut diberikan sebagai apresiasi kepada desa-desa
inovatif. Desa penerima penghargaan akan mendapatkan uang pembinaan sebesar 30 juta rupiah
yang sudah dimasukkan dalam APB Desa.[42] Selain itu, sebuah jalan di Trenggalek dibangun
dengan menggunakan nama Soetran. [43]
Penghargaan
c