Anda di halaman 1dari 33

ILMUIMAN.

NET: Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik


Cerita Kira-kira Sejarah (16+). 2016 (c) ilmuiman.net. All rights reserved.

Berdiri sejak 2007, ilmuiman.net tempat berbagi kebahagiaan & kebaikan lewat novel-
cerpen percintaan atau romance.. Seru. Ergonomis, mudah, & enak dibaca.. karya
kami, anda, kita semua. Peringatan: Selazimnya romance-percintaan, karya ini bukan
untuk anak/remaja di bawah umur. Pembaca yang sensi dengan seloroh ala internet,
silakan stop di sini. Segala akibat menggunakan atau membaca, sepenuhnya tanggung
jawab pembaca. Tokoh & alur cerita adalah fiksi belaka. Terima kasih & salam.

***

Kira-kira Sejarah Indonesia (1)


Pra-Nusantara, Abad Ke-4 Dan Sebelumnya

Kerajaan pertama yang dikenal para sejarawan di Nusantara ini adalah Kutai
Martadipura di Kalimantan Timur. Yaitu di tahun 350-400 Masehi. Atau abad keempat.
Titik mulainya Nusantara, cikal bakal Indonesia, dianggap para sejarawan jadinya di situ
itu. Di abad ke-4. Sebelum itu apa? Gelap. Purbakala. Ke-Indonesiaan belum ada. Atau
pra-sejarah. Paling ada, di cerita-cerita India. Bukan. Bukan cerita Sun Go Kong. Itu
cerita soal monyet, dan asalnya dari Cina, bukan India.

Cerita di India, ada menyebut,.. sekitar 200 tahun sebelum masehi sedikit-sedikit
disinggung adanya kerajaan di Yawadwipa atau Dvipantara, yang diduga merujuk ke
Pulau Jawa atau Sumatra. Tapi sekali lagi: Diduga. Siapa tahu sebenarnya yang dirujuk
itu tukang martabak, di Bombay. Acha. Acha. Nehi. Sisa-sisa peradaban tua, ada sih di
sana-sini. Tapi tidak ada bukti jadi suatu negara.

Sementara itu,.. peradaban dunia sudah diwarnai negara-negara besar sejak kita-kira
3000-4000 tahun sebelum masehi, atau puluhan abad sebelum Kutai Martadipura itu.
Yaitu: kaum Aegeans (Yunani-Romawi kuno). Bangsa Mesir. Hittites-Sumeria. Lalu
Amorites-Babylonia. Iran-Persia. India. Huns. China dan Asia timur tertentu. Dan negeri-
negeri indian kuno di benua Amerika.

Piramida besar sudah ada sejak 2560 tahun sebelum masehi.

Kerajaan Bani Israel bersatu.. itu juga kebudayaan tua, jejaknya bisa dilik sejak 1050
sebelum masehi. Sedangkan agama Yahudi-nya sendiri, sejarahnya lebih tua lagi.
Konon, perkiraan masa kini, exodus Nabi Musa dari Mesir itu sudah terjadi pada sekitar
tahun 1440SM. Nabi Daud diperkirakan eksisnya tahun 1010SM sampai 970SM. Lalu
Nabi alias Raja Sulaiman pada 970SM-930SM. Lalu, Alkitab Taurat yang sekarang
dipakai luas, mulai ditulis lengkap sekitar 900SM.
Romawi kuno sudah terbentuk sejak 750-an sebelum masehi. Romawi modern yang
bersatu, sebelum terpecah itu nanti merajai mideterania dan timur tengah sekitar
seabad sebelum masehi, sampai abad ke-5 Masehi. Julius Caesar sendiri sudah
perang dengan Pompei 49SM.

Bangsa Yunani-Persia sudah perang 500 tahun sebelum masehi.


Buddha Gautama diperkirakan eksis sekitar 500 tahun sebelum masehi juga.
Kong Hu Chu juga diperkirakan eksis sekitar 500 tahun sebelum masehi.
Alexander The Great sudah menaklukkan timur tengah kemana-mana pada sekitar
330SM.

Lahirnya Isa Almasih diperkirakan sekitar tahun 1-5 Masehi. Dan kelahiran beliau inilah
yang jadi ancar-ancar awal penanggalan masehi.

Jadi, saat abad ke-4 itu di Nusantara baru ada kerajaan-kerajaan kecil sporadik, bangsa
Hun sudah jadi besar di Eropa tengah (sekitaran 370SM). Suku Maya di Amerika
Selatan sedang di puncak kejayaan. Romawi Timur juga sudah muncul kuat di
Konstantinopel (Byzantine), yang semula semua memusat di Roma. Romawi barat
sudah ditaklukkan oleh orang-orang Germanic, dan bule-bule Germanic mulai eksis di
dunia modern.

Cina sudah gontok-gontokan, dan perdagangan dengan Romawi juga sudah


established. Agama Budha semakin meluas, bahkan raja-raja di tempat jauh, seperti
Korea, sudah menganut Budha. Di India, Dinasty Gupta makin membesar, dan
mungkin... pembelajaran dari sinilah yang bikin negeri-negeri di Nusantara mulai
mengenal kenegaraan yang mapan.

Pada abad ke-4 itu, agama nasrani sudah established, jadi agama besar Romawi. Dan
sudah bersaing sengit dengan agama Yahudi yang se-benang merah. Kitab injil mulai
diterjemahkan juga di sekitar abad ini. Persia sudah jaya (lagi), bahkan dalam satu
pertempuran, dinasti Sassanid membuat kaisar Romawi Julian terbunuh. Sassanid yang
majusi, penyembah api, Zoroaster, berusaha membasmi Nasrani di negeri Persia.
Berhadapan dengan itu, Romawi pun coba me-nasranikan seluruh dunia, dan agama-
agama pagan (non Yahudi-Nasrani) berusaha dibasmi habis di seluruh daerah
kekuasaan Romawi. Dan persaingan besar Romawi-Persia ini terus berlanjut sampai
jaman Nabi Muhammad kelak (di abad keenam).

Afrika sementara itu agak lambat. Baru suku Bantu yang migrasi jauh. Bablas sampai
ke ujung selatan Afrika. Benua Amerika juga masih agak lambat. Belum maju teknologi
metalnya, dan baru saja bertransformasi dari senjata tombak, ke senjata panah yang
bisa menyerang pada jarak agak jauh. Daerah-daerah lain.. belum mendunia juga, tidak
beda jauh dengan Indonesia, atau bahkan ada yang lebih terbelakang.
Sedikit kita uji, masak sih, sementara orang lain sudah bisa bikin kerajaan dari sekian
tahun sebelum masehi, nusantara beneran baru bisa bikin kerajaan abad ke-4? Apa
tidak ada kerajaan yang tuaan dari itu?

Jawabnya: bisa jad ada. Kemungkinan, kerajaan tua banget yang ada di nusantara ini,
yang sempat tercatat samar-samar adalah Salakanagara. Salakanagara ini pertamanya
mungkin suku-suku setempat yang dipadukan di bawah pimpinan raja Dewawarman,
yang aslinya duta keliling, pedagang, sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India).
Terus dia menetap, menikahi putri penghulu setempat yang disebut Aki Tirem,.. lama-
lama dengan keunggulannya, menyatu-nyatukan suku setempat membentuk kerajaan
yang sizeable di Jawa Barat. Belakangan, keturunannya mengambil menantu tokoh lagi
dari Calankayana, Bharata (India), yaitu Jayasingawarman yang lantas jadi pendiri
kerajaan Tarumanagara yang lebih besar dan eksis.

Kutai, sepertinya juga didirikan oleh pengungsi Bharata, yaitu dari dari Magada.

Salakanagara konon sudah disebut oleh Ptolemeus sebagai Argyre yang eksis di tahun
150M, kemungkinan terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang. Kata Ptolomeus, negeri
Argyre terletak di ujung barat Pulau Iabodio yang selalu dikaitkan dengan Yawadwipa,
yang kemudian diasumsikan sebagai Jawa. Argyrè sendiri berarti perak yang kemudian
”diterjemahkan” para ahli sebagai Merak. Salakanagara sendiri maknanya negeri perak.

Pas Dewawarman dinikahkan dengan putri setempat, putri kepala suku Aki Tirem,
diperkirakan, pasukan pengawalnya juga satu demi satu menikahi wanita setempat dan
terus membentuk koloni di Jawa Barat itu yang kelak jadi Tarumanagara. Ada yang
bilang, setelah Aki Tirem meninggal, Dewawarman mengambil alih kekuasaan, dan itu
terjadinya sudah 130M, menjadikan negerinya Salakanagara beribukota di Rajatapura.
Ia menjadi raja pertama bergelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura
Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah bawahan, antara lain
Kerajaan Agnynusa (Negeri Api) yang berada di Pulau Krakatau.

Turun temurun, rajatapura itu ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 (dari jaman
Dewawarman I-VIII). Jadi, eksisnya 230 tahun lebih. Sampai menjelma jadi
Tarumanagara di abad ke-4. Di perkirakan, saat itu keadaan ekonomi sangat baik, dan
kehidupan sosial-keagamaan berjalan harmonis. Pusat pemerintahan kemudian
bergeser ke Tarumanagara. Salakanagara berubah menjadi bawahan. Masih
diperdebatkan, tapi spekulasinya, seperti itulah asal muasalnya Tarumanagara yang
besar. Yang jelas, peradaban besar, dimana-mana tidak muncul ujuk-ujuk.

Sebuah berita Cina dari tahun 132M menyebut ada wilayah Ye-tiao yang sering
diartikan Yawadwipa dengan rajanya Pien yang merupakan lafal Cina dari bahasa
Sangsakerta Dewawarman. Namun tidak ada bukti lain untuk mengkroscek ini. Kalau ini
benar, berarti koreksi sedikit dari asumsi di atas, kerajaan di nusantara mulai eksisnya
bukan di abad ke-4, tapi kemungkinan antara abad ke-2 dan ke-4.
***

NUSANTARA versi 0, 450M Era Tarumanagara (Kira-kira) 450M

Di abad kelima, barulah di Nusantara ada kerajaan besar: Tarumanagara. Yaitu


munculnya kira-kira seratus tahun sebelum Muhammad Rasulullah lahir.

Abad kelima itu, Purnawarman sudah jaya di Tarumanegara. Ini termasuk kerajaan
Hindu besar di Jawa yang tertua yang diketahui para sejarawan. Wilayah utamanya
Banten utara dan Jabodetabek masa kini, sesuai peta. Dan meluas pengaruhnya
sampai ke Jawa Tengah di selatan Dieng. Walau tidak termasuk bagian utaranya
dimana ada kerajaan Kalingga yang independen (sekitar Pekalongan sekarang). Dan
Sumatra sebrang laut juga tidak termasuk.

Sejak itu, (kemungkinan) ada batas tradisional antara budaya Jawa dan Sunda (masa
lalu), yaitu di Sungai Cipamali atau sungai Brebes di sisi utara. Di selatan, agak longgar
batas-batasnya, tapi di puncaknya, pengaruh Taruma sampai ke Sungai Bogowonto
atau Bhagawanta, yang mata airnya di Gunung Sumbing, daerah Kedu, ke selatan
melewati Wonosobo-Magelang masa kini, lalu muaranya di Kabupaten Purworejo.

Darimana asal muasalnya kerajaan Taruma? Berdasar buku "Nusantara", Taruma ini
diyakini didirikan 358M oleh Maharshi Rajadirajaguru Jayasingawarman, pelarian dari
Salankayana, India, saat negerinya diinvasi Samudragupta dari dinasti Gupta. Dengan
keunggulannya, berasal dari peradaban yang lebih maju dari kerajaan-kerajaan lokal
yang mungkin berevolusi sedikit-sedikit dari model Kutai di abad ke-4 itu, sang pendiri
konon lantas menikahi Putri Sunda, anak Raja Dewawarman VIII dari Salakanagara.

Perpaduan India-Sunda ini.. sepertinya lebih progresif dari kerajaan lain yang masih
kecil-kecil. Saat sang pendiri meninggal tahun 382, dia dimakamkan di kota Bekasi
masa kini. Anaknya Dharmayawarman lalu berkuasa sampai 395. Disusul,
Purnawarman cucunya melanjutkan setelah itu dan kerajaannya menjadi yang paling
eksis pada masanya. Kelak saat budaya Jawa lebih dominan, daerah-daerah bekas
Taruma yang 'di-jawa-nisasi', menjadi daerah campuran budaya Jawa-Sunda yang
bahasanya punya ciri khas sendiri.

Kenapa 'jawa-nisasi' di Jawa bagian barat tidak beneran sukses? Bisa jadi, bisa kita
kira-kira, jawabannya karena di Jawa bagian barat itu, sebelum 'jawa-nisasi' represif
pada era Sultan Agung dari Mataram, sudah lebih dulu mengakar kebudayaan tua,
berbahasa Sunda yang canggih, yang asalnya mulai dimantapkan pada setidaknya
abad kelima itu. Dan karena kecanggihannya itu, tidak gampang disapu hilang oleh
budaya-budaya besar yang berikutnya menguasai blantika nusantara ini. Tidak cuma
yang di pedalaman yang tidak tersapu, tapi di pesisir pun bertahan.

Kalau mau dibilang Nusantara, maka Tarumanagara itu Nusantara versi nol. Karena
sifatnya belum benar-benar nusa-antara, antar-pulau. Tapi, masih satu kerajaan saja di
satu bentangan pulau besar. Lebih besar dari yang sudah-sudah, dan yang lain-lain,
tapi penguasaannya belum antar pulau. Kekuasaan maritimnya minim. Di sisi lain,
Tarumanagara ini layak di-mention, karena sudah sizeable. Wilayahnya sudah masif.
Seluas sekitar 60-65 ribu km persegi, sekitar 20% lebih besar dari negeri Belanda
jaman sekarang. Sementara, kerajaan-kerajaan lain seperti Kutai yang kita sebut di
atas, dan yang lain-lain, itu masih seperti negeri-negeri kota saja, tanpa teritorial luas.

Begitulah. Sejauh yang terlacak sejarah, sampai jaman Tarumanagara ini, di seantero
Nusantara kita, tidak ada lagi kerajaan yang sizeable. Apa mungkin bahasa Sunda kuno
jaman Tarumanagara itu beda dengan bahasa Sunda masa kini? Ya mestinya sih beda.
Jaman sekarang juga, bahasa Indonesia mengandung kosa kata baru semacam 'plis
deh'. Mana mungkin segitu lama, dari abad keempat bahasa Sunda bisa murni tak
berevolusi. Tapi... benang merahnya bisa saja masih sama.

Sampai titik ini, di antara kita, mungkin ada yang bertanya-tanya. Kepo... Kok enak ya?
Pelarian India, jauh-jauh.. ke Jawa Barat.. terus bisa jadi raja? Menikahi putri raja
setempat pulak! Nggak cuma makan siang bareng, bro. Kawin! Padahal kan mestinya
pemuda-pemuda setempat juga pada ngimpi-ngimpi ingin menyunting putri kerajaan,
bukan? Entah itu yang namanya Engkos, Cecep, Uyek, Jajang, Dadang, atau siapapun
juga nama lokal yang lazim pada saat itu. Mengapa oh mengapa, minuman itu haram?
Kenapa Tarumanagara tidak dibangun oleh 'murni putra daerah'?

Ada rahasia kehidupan di situ! Silakan direnungkan... Kerajaan-kerajaan lain, se-


Nusantara,.. yang diungguli oleh Tarumanagara, kemungkinan.. did just that! Mereka
berkembang.. oleh 'murni putra daerah'! Dan karena itu.. kalah maju! Sedang
Tarumanagara.. dia menyerahkan kepada 'ahlinya'! Tarumanagara.. had let the best
won! Dan ujungnya dia jadi terbaik. Paling menonjol se-nusantara. Ini pelajaran bagi kita
semua.. Kalau mau jadi yang terbaik prestasi kaumnya atau bangsanya,.. maka
biarkanlah orang yang terbaik yang jadi pemimpin! Tidak mesti yang putra asli daerah,..
tidak mesti yang muda dipaksa mengalah pada yang tua.. Tidak mesti harus yang
berjenggot dan sealiran! Tidak mesti juga yang bisa menafsir Surah Al-Maidah secara
benar. Secara objektif saja dipilih: siapa yang terbaik! Maka biarlah dia yang memimpin.

Asal tahu saja, saat Rasulullah Muhammad saw hijrah lari-lari dari Mekah ke Madinah,
siapa yang dijadikan pemimpin perjalanan? Siapa yang dijadikan penunjuk jalan?
Seorang beragama nasrani! Karena apa? For that particular case, sang penunjuk jalan
nasrani itulah yang terbaik!

Nah kita sekarang,.. orang-orang muslim, mengapa mereka menjadikan Rasulullah saw
sebagai spiritual leader? Mengapa dia dijadikan sebagai uswatun hasanah, the role
model, teladan yang baik? Mengapa kita ikuti ajaran-ajarannya? Padahal... dia bukan
putra daerah kita! In case ada yang lupa: Dia orang Arab! Itu semua karena alasan yang
sama dengan di atas. Karena kita orang-orang muslim meyakini.. yang terbaik bagi kita,
adalah mengikuti Sang Maha Tahu. Tuhan pencipta semesta alam ini. Allah.

Bagi yang bukan muslim, idem ditto juga. Panutan orang-orang kristiani juga sama:
bukan putra daerah. Demikian pula panutan umat Hindu, Budha, Konghucu, yang awal-
mulanya.. semua orang asing. Padahal, yang putra daerah, ada loh yang ngakunya
mampu menggandakan uang! Eh, kok jadi ke sono.

Andai kita fanatik, dengan ilmu ngarang sendiri, semua-semua harus putra daerah.. kita
akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan yang terbaik. Ini disclaimer ya: Saya
bilang dengan ilmu ngarang sendiri, karena memang tidak ada ayat dari Tuhan implisit
atau eksplisit, yang membenarkan fanatisme daerah itu dan mesti mengutamakan putra
daerah. Atau bisa juga, itu sekedar mengikuti adat atau ajaran para leluhur.

Di pihak lain, ajaran Islam mengajarkan untuk meninggalkan ajaran spiritual nenek
moyang yang tanpa dasar. Salah satunya ada di QS Al-Maidah 104: “Dan jika dikatakan
kepada mereka: Marilah ikuti apa yang Allah turunkan kepada Rasul. Mereka
menjawab: Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami
mengerjakannya. Dan apakah mereka itu akan mengikuti (adat) leluhur mereka,
sedangkan leluhur mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mendapat petunjuk?”

Tarumanagara sepertinya melihat itu. Jadi dia serap ilmu dari Dinasti Gupta itu. India.
Lalu dia pun jadi kerajaan nusantara paling menonjol pada masanya.

Pertanyaan berikutnya: Dengan menyerap kompetensi dari orang asing itu, apa
Tarumanagara lantas hilang kepribadiannya? Nyatanya juga tidak. Mestinya, bisa kita
kira-kira, dari masa itulah eksis budaya Sunda yang meluas di Jawa bagian barat. Ada
sih pengaruh bahasa sansekerta dari India sana, tapi jelas sekali, bahasa Sunda itu asli
nusantara, bukan dari Bombay, Delhi, atau dimanapun di anak benua India. Dan
budaya Sunda itu, nyatanya masih eksis sampai sekarang. Eksis sampai tempat-tempat
terisolir, suku-suku terasing, sekalipun di segenap pelosok Jawa Barat. Walau sempat
dijajah orang Melayu-Sriwijaya, orang Jawa-Majapahit, orang Eropa.. sampai sekarang
budaya Sunda, dan bahasa Sunda.. tetap eksis. Dari abad ke-4, sampai sekarang abad
ke-21.. berarti ordenya 17 abad! Luar biasa bukan? Agama Islam bahkan belum selama
itu eksisnya di dunia ini. Eh, tapi.. ke depannya kita tidak tahu lagi. Apakah orang-orang
Sunda masih mau melestarikan budaya ini, atau tidak.. wallahualam.

Kenyataan di Jawa Barat masa kini, dan Banten, I don't know.. Kita tidak tahu, apa
maunya para cerdik-cendekianya? Cuma hasil survery menyebutkan, pelajaran apa
yang paling mereka tidak sukai? Lazim kita dengar jawabannya: Bahasa Sunda!

Apakah dasarnya mereka membenci bahasa Sunda? Tidak. Bahasa Sunda di jalanan
fun-fun aja sih. Orang luar Jawa Barat saja suka belajar bahasa Sunda. Cuma.. para
guru dan kalangan pendidik,.. sepertinya mendesain pengajaran dan kurikulum
sedemikian rupa.. sehingga pelajaran Bahasa Sunda itu jadi pelajaran teori paling
membosankan atau menyebalkan sedunia mungkin. Andai pelajaran bahasa Sunda itu
isinya fun. Lomba menyanyi. Pidato. Stand-up comedy. Drama seru. Any other things
yang fun dan menyenangkan, 180 derajat perubahan bisa saja terjadi. And why not?

Kalau mau jujur mengakui, maka orang-orang se-nusantara ini mestinya menganggap
Tarumanagara itu 'saudara tua' dalam peradaban. Melayu-Sriwijaya, bisa jadi sukses
merajai periode berikutnya di Nusantara ini.. sedikit banyak juga dengan belajar dari
Tarumanagara mungkin? Bukankah lokasinya bertetangga pas di sebelah barat-
utaranya? Demikian pula kerajaan Mataram-Kuno atau Mataram-Hindu yang lokasinya
pas di sebelah timurnya.

Satu hal yang menunjukkan Sunda itu budaya besar,.. ada huruf aksara khas Sunda.
Seperti Jawa, Bali, dan yang lain. Kata para sejarawan, bangsa atau etnis yang
menciptakan huruf atau aksara.. itu pastilah bangsa yang besar. Huruf atau aksara itu
adalah konvensi yang benar-benar memerlukan usaha berpikir luar biasa untuk
mengingat, menghafal, dan mengaplikasikannya dalam keseharian. Andai bukan
'dipaksakan' oleh bangsa yang besar,.. maka huruf itu tidak akan ada yang mau pakai
atau lestarikan begitu meluas, dan begitu lama. Yang seperti itu, tidak bisa dipaksakan
oleh bangsa yang kecil atau biasa-biasa saja. Dan.. so far, sepanjang sejarah yang
dikenal luas, asal muasal dari eksistensi budaya Sunda itu, asalnya adalah dari
kerajaan Tarumanagara. Tentu saja, setelah itu berevolusi menjadi kerajaan-kerajaan
lain yang meneruskan, dengan diadaptasikan sesuai perkembangan geopolitik regional,
yang terakhirnya menjelma menjadi bangsa Indonesia ini.

Bisa kita lihat sendiri dan dikira-kira juga, sedikit banyak, budaya Indonesia modern ini
banyak juga diwarnai oleh budaya Sunda, bukan? Insya Allah, banyak yang setuju. Dan
mungkin banyak juga yang tidak setuju. Sukarno dan Hatta proklamator Indonesia, (dan
banyak nasionalis founding fathers Indonesia) nyatanya tinggal di daerah Jawa Barat
cukup lama. dan bersentuhan dengan budaya Sunda cukup intens.

Terlepas dari bagian kira-kira, opini pribadi.. mungkin kita tuntaskan saja bagaimana
nasib Tarumanagara ini setelah lewat masa Purnawarman. Dari berbagai sumber,
karena masanya juga sudah tua sekali, sebelum masa Islam muncul di dunia ini,..
tentang Tarumanagara ini tidak sepenuhnya terang benderang. Masing mengundang
polemik banyak pakar sejarah.

Menurut Naskah Wangsakerta dari Cirebon. Setelah didirikan 358M oleh Rajadirajaguru
Jayasingawarman (yang mestinya kerajaannya itu jelmaan dari kerajaan lokal yang
kecilan, mungkin cikal bakalnya satu, atau beberapa kerajaan lokal kecilan digabung)..
Yang notabene, Jayasingawarman itu jadi raja menggantikan mertuanya yaitu Raja
Dewawarman. Jadi setidaknya satu itu. Penelitian umumnya menyebutkan, sang mertua
itu adalah Raja Dewawarman VIII. Dan artinya, sebelum itu sudah ada Raja
Dewawarman lain, yaitu Dewawarman I sampai dengan Dewawarman VII. Dan kalau
dilihat bahwa namanya bukanlah Encep, Aceng, Jajang, atau Dadang, bisa jadi.. Raja-
raja Dewawarman itu juga sudah kentel terpengaruh oleh budaya India/Sansekerta.
Wallahualam. Atau bisa juga, nama Dewawarman di-rename belakangan oleh
Tarumanegara, dan sebelumnya, asli-aslinya memang itu tadi raja-raja pendahulunya,
kalau tidak Encep, Aceng, Jajang, Dadang,.. ya nama-nama lain yang berdasarkan
local wisdom Jawa Barat. Sejak kapan kerajaan kecil itu eksis? Tidak bisa dipastikan.
Ada yang bilang, sebelum jadi Tarumanagara beneran.. area ibukota lama itu:
Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak), disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam
tahun 150M. Jadi, bisa saja.. jauh sebelum 150M itu, orang-orang Jawa Barat sudah
ada kontak dengan dunia luas.

Lanjut saja lagi penelusuran kita... Kira-kiranya, setelah masa Jayasingawarman raja
ke-1, Tarumanagara lalu kepemimpinannya diteruskan oleh raja lain: Dharmayawarman
(382-395M). Setelah itu menjadi raja ke-3: Purnawarman (395-434M).

Maharaja Purnawarman ini sempat membangun ibukota baru 397M, terletak lebih dekat
ke pantai. Yang menyiratkan juga mulai munculnya semangat 'ke-nusantaraan',
kemaritiman. Dan ibukota itu dinamai Sundapura. Kemungkinan, itu pertama kalinya
nama 'Sunda' jadi eksis di Nusantara. Sebelumnya mungkin sudah ada, tapi di
kalangan lokal-lokalan saja. Habis Purnawarman, lalu raja ke-4 Wisnuwarman (434-
455M) dan raja ke-5 Indrawarman (455-515M).

Candrawarman, raja ke-6 (515-535 M), konon sudah mulai menyerahkan banyak
wilayah kepada penguasa daerah. Dan membentuk semacam 'united kingdom',
semacam federasi. Bukan jadi negara kesatuan terpusat. Tapi Tarumanagara jadi
negara induk, dan daerah-daerah lain jadi kerajaan bawahan. Pola ini, kenyataannya
diadopsi terus sampai jaman Hindia Belanda, dan bahkan sampai jaman sekarang kita
juga mengenal otonomi daerah.

Raja ke-7: Suryawarman (535-561M), anak Candrawarman. Meneruskan tradisi


ayahnya. Konon sejak Purnawarman ada 48 Raja-raja daerah. Yang berarti, kalau
kerajaan induk dihitung sebagai satu lagi, total ada 49 states. Mirip seperti Uni Sovyet
kecil. Atau United States kecil. Atau United Kingdom masa kini.
Suryawarman juga mengalihkan perhatiannya lebih ke timur. Tahun 526 M, Manikmaya,
menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan bawahan baru di Kendan (Nagreg), antara
Bandung dan Limbangan, Garut. Anak Manikmaya, yaitu cucu Suryawarman konon
terus menjadi Panglima Angkatan-Perang Tarumanagara. Lalu cucu dia, cicit
Manikmaya, jadi pendiri Kerajaan Galuh 612M, yang kemungkinan kerajaan ini juga
masih punya benang merah dengan Tarumanagara tentunya.

Setelah raja ke-7, masih ada beberapa raja lain. Totalnya 12 raja. Ke-8: Kertawarman
(561-628M). Ke-9 Sudhawarman (628-639M). Ke-10 Hariwangsawarman (639-640M).
Ke-11 Nagajayawarman (640-666M). Ke-12, alias terakhir: Linggawarman (666-669M).

Tahun 669, Linggawarman digantikan menantunya, Tarusbawa yang menikah dengan


putri sulung Linggawarman, yaitu Manasih. Tarusbawa ini asalnya dari Kerajaan Sunda
(kerajaan bawahan Tarumanagara). Putri yang kedua: Sobakancana konon terus
menjadi istri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya! Mestinya
(semulanya), tahta Tarumanagara jatuh kepada pasangan Tarusbawa-Manasih itu.

Kerajaan Sunda yang semula bawahan Tarumanagara praktis terus merger dengan
Tarumanagara, dan Tarusbawa lalu menggeser pusatnya jadi ke Sunda itu. Kita kira-
kira, mungkin daerah Sunda Kelapa masa kini. Atau dekat-dekat situ. Konon, kerajaan
bawahan lain, yang asli trah Tarumanagara ada yang tidak setuju dengan mergernya
Sunda-Tarumanagara, yaitu Kerajaan Galuh. Dan lalu, jadilah Galuh itu memisah dari
kerajaan Sunda. Entah memisah secara damai (tapi gersang), atau didahului dengan
demo besar-besaran terkait penistaan agama, kita tidak tahu.

Bisa juga kemungkinan yang memisah bersama-sama Galuh adalah kerajaan-kerajaan


bawahan area timur, yang lebih dekat ke Galuh daripada ke Sunda. Cuma, pada titik ini:
yaitu sekitar akhir abad ke-7, Sunda dan Galuh ini pamornya mulai meredup, karena
kesalip oleh yang lebih mencorong darinya sebagai kerajaan maritim yang me-
nusantara beneran, yaitu Sriwijaya.

***

Kerajaan Kalingga

Sebelum muncul kerajaan Medang yang besar di Jawa, dan berafiliasi dengan
Sriwijaya, di Jawa Tengah, pantai utara ada kerajaan Kalingga atau kronik Cina
menyebutnya Ho-ling. Kerajaan ini bercorak Hindu, dan membesar sekitar abad ke-6
masehi. Bisa jadi, kerajaan ini adalah alasan, mengapa batas timur Tarumanagara
cuma berhenti di Brebes dan sungai Bogowonto.

Berhubung minim info, letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan punya dua
kota utama, di suatu tempat di Pekalongan dan Jepara sekarang. Mungkin pusatnya
Jepara (Keling). Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan
dari kronik Tiongkok, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang
disusun berabad kemudian pada abad ke-16, yang menyinggung singkat tentang Ratu
Shima yang terkait juga ke Kerajaan Galuh. Diceritakan, Ratu Shima, dikenal memiliki
peraturan potong tangan untuk pencuri.

Bahasa yang dipakai kemungkinan Melayu Kuno dan Sansekerta. Campur-campur


bahasa lokal, yang kelak menjadi bahasa Jawa. Dari Ratu Shima ini, mungkin kelak
muncul Sanjaya yang kita ceritakan di bawah. Walau samar-samar, kerajaan ini perlu
kita sebut, karena merupakan pendahulu kerajaan Medang yang kita ulas di bawah.
Andai tidak ada kerajaan ini, mungkin Kerajaan Medang jadi punya missing link. Di
Jawa ini, yang top kan pertama Tarumanagara, kenapa kok ujuk-ujuk perannya
digantikan oleh Medang? Dimana juga, tidak pernah ada peradaban muncul ujuk-ujuk.

Pada masa itu, mestinya, Tarumanagara sudah memecah menjadi Galuh dan Sunda.

***

NUSANTARA versi 1, Era Kejayaan Sriwijaya Dan Wangsa Syailendra

Tahun 664, dinasti Tang di Cina sudah menyebut-nyebut Kalingga. Penulisnya yang
terkenal: I-tsing. Tapi tidak kebelet. Kalau kebelet, jadinya kebelet I-tshing, itu artinya
bisa beda. Di literatur Inggris disebutnya Yijing, seorang monk atau pendeta Budha.
Mestinya Kalingga yang dimaksud (atau Holing) itu kerajaan di Jawa (sekitar
Pekalongan itu). Lalu, I-tsing itu sudah mengunjungi Sriwijaya 671M, dan kerajaan
Melayu (di Sumatra juga), dan kerajaan Kedah (di semenanjung Malaya), yaitu saat dia
dalam perjalanan ke Nalanda, India.

Di tahun 683-an, kemungkinannya hegemoni Sriwijaya sudah meliputi Sumatra dan


wilayah maritim sekitar selat Malaka dan selat Sunda. Tahun 686, marinir Sriwijaya
sudah menginvasi Jawa. Diperkirakan, punahnya kerajaan Tarumanagara adalah
karena invasi ini. Atau bisa juga, Tarumanagara itu secara damai menerima hegemoni
Sriwijaya karena toh berdasarkan uraian di atas, putri raja terakhir Tarumanagara yang
kedua, dijodohkan dengan pendiri Sriwijaya. Yang bisa juga, dia itu istri bukan dalam
posisi permaisuri dan bukan istri satu-satunya.

Tentang dijodohkannya secara cinta sama cinta, atau seperti Siti-Nurbaya Datuk-
Maringgih? Wallahualam. Silakan dikira-kira sendiri.
Apa yang membuat Sriwijaya jauh lebih maju dari Tarumanagara? Ada beberapa faktor.

Pertamanya, dari sisi ilmu, mungkin local wisdommnya mereka menyerap dari
Tarumanagara juga. Tapi, unggul dari sisi letak strategisnya. Lebih dekat ke pusat
keramaian dunia yang mainstream.

Kedua, peradaban dunia dan teknologi kemaritiman abad ke-7 tentu lebih dari abad ke-
4. Kemajuan kegiatan perdagangan India-Cina melintasi selat Malaka makin ramai,
sehingga membawa keuntungan besar bagi Sriwijaya. Masa itu, Sumatra lebih ramping
dari sekarang. Selat Malaka-nya masih jauh lebih lebar.

Ketiganya, ini seperti peribahasa: kalau di hutan tidak ada singa, beruk yang matanya
buta sebelah bisa jadi raja! Kadang orang jadi juara bukan karena dia super jago, tapi
karena yang lebih jago dari dia sedang terpuruk. Sriwijaya bisa juga ada faktor ininya.
Sebelum Sriwijaya, yang digdaya sebagai kerajaan maritim di kawasan itu adalah
Kerajaan Funan di Vietnam Selatan. Tapi, di abad ke-7 itu Funan berantakan akibat
serangan kerajaan Kamboja. Ya sudah, Sriwijaya mengambil alih... Sepertinya begitu.

Di tahun 687, saat I-tshing dari India mau balik ke Cina, dia mencatat bahwa kerajaan
Melayu di Sumatra itu sudah dikuasai oleh Sriwijaya. Tahun 700-an diperkirakan
Sriwijaya ini jadi kerajaan top, serba makmur. Kelak eksis terus sampai mundur dan
mundur di awal abad ke-11, pecah, dan hilang sisa-sisanya pada sekitar tahun 1500-an.
Pusat kekuasaannya menghilang sekitar abad ke-13, kemungkinan oleh berbagai
faktor. Termasuk ekspansi dari kerajaan Jawa Singosari-Majapahit, yang notabene
sebetulnya juga berkembang dengan 'mencontoh' Sriwijaya. Penghancurannya mungkin
masif oleh musuh-musuhnya yang dendam kesumat, sehingga untuk beberapa lama
kemudian Sriwijaya itu terlupakan, dan baru nimbul lagi namanya saat dimunculkan oleh
sejarawan Perancis tahun 1918. Buaya di sungai kadang nimbul juga, di sungai. Tapi ini
bukan tentang buaya. Ini tentang kerajaan. Atau bisa juga, Sriwijaya pada masa itu
tidak terlalu hobi bikin bangunan-bangunan fenomenal.

Saat di puncak jayanya, sawah pertanian di Sriwijaya konon maju. Kota-kota kecil
bermunculan. Hubungan dagang juga intensif dengan Cina dan India. Juga berdagang
dengan pedagang Timur Tengah saat pedagang-pedagang Arab penyebar Islam mulai
berjaya jadi kekuatan dominan dunia. Penyebaran Islam juga mestinya sudah terjadi
bersamaan dengan bermunculannya pedagang-pedagang Arab ini. Sampai ke Jawa
Tengah, Sriwijaya ini eksis. Ada prasasti Sriwijaya ditemukan di Batang, Jawa Tengah.
Menyebut Dapunta Selendra, yang kemungkinan itu leluhurnya wangsa Syailendra,
bagian dari trah Sriwijaya.

Sekedar disinkronkan saja, di Arab dan Timur Tengah, Islam itu mulai merajai pada
abad keenam dan ketujuh, yaitu selepas wafatnya Rasulullah saw pada tahun 632M.
Terus besar dan menyebar sampai meredup saat Baghdad ibukota kekalifahan timur
dibakar orang Mongol di abad ketiga belas, tahun 1258M.
Di India, dinasti Gupta cukup merajai dari tahun 320M sampai 550M. Alias pada abad
keempat sampai keenam. Habis itu lalu berganti-ganti, tidak besar lagi, terus sampai
banyak kesultanan Islam di sana pada abad ketiga-belas, sampai kemudian, India
disatukan lagi kelak jadi besar pada masa kekaisaran Mughal (1526–1707M).

Di Cina, kerajaan mulai besar dan top pada masa dinasti Han sejak 206 tahun sebelum
masehi. Yang terus sambung menyambung berkuasa sampai sekitar tahun 220 masehi.
Habis itu, sempat pecah tiga negara, terus disatukan lagi oleh Dinasti Jin (265-420M).
Lalu pecah enam belas negara (304-439M). Sampai konsolidasi lagi jadi dua, utara dan
selatan (420-589M). Terus dipadukan lagi oleh Dinasti Sui (581-617M). Sui digusur oleh
Dinasti Tang (618-907, sempat keseling dikit Dinasti Zhou kedua). Beberapa kali pecah,
tapi bolak-balik Cina bisa jadi besar lagi dengan sejarah begitu panjangnya.. terus dan
terus, sampai jaman kejayaan Eropa. Di sela-sela itu, sempat melejit Kekaisaran
Mongol. Mongol ini nimbulnya 1206, saat Temujin dinobatkan jadi Genghis Khan
(penguasa semesta). Lalu menggila terus sampai Kubilai Khan wafat 1294. Dihitung
para ahli sejarah, mulai kurang eksis kekaisaran Mongol ini 1368. Walau begitu, titel
Khan-nya dipakai terus di penguasa-penguasa kecil sampai tahun 2000-an bahkan.
Mongol ada juga yang terus dipakai jadi nama pelawak. Itu beda lagi.

Kita balik lagi saja ke Sriwijaya. Sri itu dalam bahasa sansekerta artinya hoki, makmur,
atau gembira berseri-seri, sedangkan wijaya artinya keunggulan atau kemenangan.
Kalau sribombok dan srigunting silakan dicari sendiri apa maknanya, itu nama burung.

Uniknya, sementara di sisi timur Sumatra dan daerah selat Malaka amat berjaya, di sisi
barat bukit barisan sendiri, di Pulau Sumatra, sepertinya masih eksis kerajaan-kerajaan
kecilan model Kutai, yang lepas dari dominasi Sriwijaya.

Ada kemungkinan, belantara Sumatra waktu itu masih super ganas, sehingga kerajaan-
kerajaan di sisi barat terisolir, terbentengi dari agresifitas Sriwijaya. Demikian pula di
Jawa Timur, tidak dikuasai Sriwijaya. Mungkin masih under-develop, tidak ada yang
menarik untuk dirangsek. Lalu Kalimantan, di beberapa tempat masih ada kerajaan
seperti Kutai itu, dan di tempat lain, kemungkinan masih relatif hutan belantara yang
kurang menarik untuk dikuasai Sriwijaya, sehingga dibiarkan saja.

Menyebut Sriwijaya, umumnya tidak lepas dari Wangsa Syailendra. Wangsa Syailendra,
nama wangsa atau dinasti raja-raja yang berkuasa di Sriwijaya, pulau Sumatera; dan di
Kerajaan Medang (atau Kerajaan Mataram Kuno), Jawa Tengah sejak tahun 752 mulai
eksis. Sebagian besar raja-rajanya adalah penganut dan pelindung agama Buddha
Mahayana. Kemungkinan, raja-raja Jawa masa lalu yang top jalurnya adalah dari trah
ini, sampai kemudian dijungkirbalikkan oleh Ken Arok (Wangsa Rajasa).

Gambaran masa ini belum terang benderang. Meskipun peninggalan dan manifestasi
wangsa ini kebanyakan terdapat di dataran Kedu, Jawa Tengah, asal usul wangsa ini
masih diperdebatkan. Di samping Jawa, daerah lain seperti Sumatera atau bahkan
India dan Kamboja, sempat diajukan sebagai asal mula wangsa ini. Tapi in short: Bisa
saja berasal dari negeri asing. Bisa saja campuran Asing-Indonesia. Bisa saja asli
Indonesia (tapi ter-influence dalam hal pendidikan dan peradabannya oleh asing).

Boleh dibilang, setelah mapannya Sriwijaya, di bawah Wangsa Syailendra itu, maka
inilah 'Indonesia' versi lama. Lama banget, abad ke-7. Mulai jadi negeri kepulauan. Dan
di masa itu, wilayah Indonesia modern pilihannya bisa empat kelompok ini:

(1) Termasuk dalam wilayah Sriwijaya


(2) Bukan teritori Sriwijaya, tapi termasuk kerajaan-bawahan Sriwijaya
(3) Tak bertuan, karena memang belum dihuni manusia beradab, atau cuma dihuni
suku-suku yang belum bisa dikategorikan sebagai negara utuh.
(4) Kerajaan-kerajaan kecil, yang tidak dijangkau oleh Sriwijaya disebabkan karena
terlindung oleh 'benteng alam'. Dan karena itu independen. Merdeka. Cuma di sisi lain,
tidak punya juga sedikit pun kemampuan untuk mengganggu atau menandingi
hegemoni Sriwijaya di kawasan Nusantara. Kerajaan-kerajaan ini, ada yang 'bernada
sama' dengan Sriwijaya, berbasis Hindu-Budha, ada juga yang dalam filosofi
kenegaraannya pun masih independen.

Tambahan lagi: ada wilayah bawahan Sriwijaya, yang lokasinya di luar teritorial negara
Indonesia modern. Yaitu sebagaimana digambarkan dalam peta Sriwijaya masa lalu.

Bagaimana Sriwijaya mendapatkan kompetensinya untuk merajai Asia Tenggara?

Ini bisalah dikira-kira. Selain menyerap dari negeri-negeri asing, bisa juga dia menyerap
dari seantero nusantara, dan yang terutama juga, Tarumanagara. Pola kerajaan
terpusat mestinya tidak efektif, yaitu untuk area seluas nusantara, dengan teknologi
perhubungan masa itu.. Pola kerajaan induk, kerajaan bawahan, semacam federasi
jadinya lebih efisien. Jadi, itulah yang dipakai. Mungkin tidak persis Tarumanagara, tapi
disempurnakan. Lalu banyak pula kompetensi yang dia serap dari etnis-etnis maritim
Melayu. Dan jadilah, Sriwijaya menurunkan tradisi maritim luar biasa, yang kapal-
kapalnya bahkan kelak lebih layak menjelajah samudra daripada kapal-kapal Portugis
generasi awal. Ilmu dan kompetensi yang berasal dari mana-mana itu, selanjutnya tentu
disempurnakan dan disempurnakan. Sehingga, di sekelilingnya, tidak banyak yang bisa
menandingi sampai waktu yang lama sekali. Bisa jadi juga, ras nusantara menyebar
sampai jauh ke Madagaskar mulainya (paling cepat) adalah pada periode Sriwijaya ini.
Berdasarkan penelitian masa kini: Kalau dilihat peta penyebaran ras Austronesia atau
ras Nusantara ini, lingkupnya luas sekali. Sisi barat sampai ke Madagaskas, di sisi lain,
sampai ke Hawaii dan Pasifik Utara sana, dan di selatannya sampai ke New Zealand.
Apakah semuanya itu punya benang merah ke Sriwijaya? Wallahualam. Tapi kalau
diingat kapal Portugis tak bermesin yang kecilan bisa keliling dunia, mestinya kapal
orang-orang Melayu yang lebih besar juga mampu melakukan hal yang sama, bahkan
berabad-abad lebih dulu.

Tarumanagara eksis dari saat berdirinya 358M sampai 669M. Sekitar tiga abad. Sedang
Sriwijaya eksis sekitar tiga setengah abad. Tiga setengah abad di masa yang lebih
modern, dengan tiga abad di masa lebih lampau, tentu jauh lebih berarti, dan jauh lebih
besar dampaknya, karena umumnya, dinamika masyarakat dan peradaban itu makin ke
sini, makin cepat. Apalagi, wilayah Sriwijaya juga jauh lebih luas, lebih me-nusantara,
lebih me-regional, dan lebih mendunia.

Pada masa siapakah Sriwijaya kurang lebih mencapai puncak kejayaan? Dari berbagai
sumber kelihatannya maharajanya yang terbesar adalah Bala Putra Dewa (792-835M).

Saat itu, Sriwijaya menjadi pusat perdagangan, pusat pengajaran agama Budha
Vajrayana yang menarik banyak peziarah dan sarjana dari seantero Asia. Antara lain
biksu I Tsing dari Tiongkok, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan
studinya di Universitas Nalanda, India (671 dan 695). Saat itu, koin emas telah
digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan
Buddha Mahayana juga sudah amat berkembang di Sriwijaya.

Letak Sriwijaya strategis membawa keberuntungan dan kemakmuran. Tapi juga rawan
serangan bangsa lain. Beberapa serangan yang menyebabkan kemunduran dan
keruntuhan Sriwijaya antara lain:

1. Serangan Raja Dharmawangsa, dari Medang, 990M.


2. Serangan Raja Rajendracoladewa, dari Kerajaan Cola Mandala, India.
3. Bergeser menjadi Dharmasraya (tahun 1100-an, bawahan/lebur).
4. Serangan Raja Kertanegara, dari Singasari (Ekspedisi Pamalayu, 1275-1292M)
5. Muncul dan berkembangnya kerajaan Islam Samudra Pasai yang menyaingi.
6. Serangan kerajaan Majapahit dipimpin Adityawarman atas perintah Mahapatih
Gajah Mada, 1477. Sehingga Dharmasraya, yaitu bentuk baru Sriwijaya selepas
diserang India, menjadi taklukkan Majapahit.

Selepas runtuh diserang oleh Rajendracoladewa, sepertinya nama Sriwijaya tidak


terlalu dipakai lagi. Belakangan, saat muncul lagi kerajaan Melayu yang besar, nama
yang top dipakai di prasasti-prasasti adalah Dharmasraya.

***
Kerajaan Medang, Wujud Dominasi Wangsa Syailendra Di Jawa

Ada eviden, tahun 718M, Sri Indravarman raja Sriwijaya telah mengirim sebuah surat
kepada Kalifah Umar bin Abdul Aziz penguasa Dinasti Umayah di Damaskus. Paling
tidak, diyakini itu sebagai bukti adanya kontak resmi antara petinggi Indonesia jaman
kuno, dengan dunia Islam di Timur Tengah.

Di Jawa, Wangsa Syailendra disanding-sandingkan dengan Wangsa Sanjaya, yang


diperkenalkan oleh sejarawan Sriwijaya Dr. Bosch sejak 1952. Menurut dia, Kerajaan
Medang (Mataram Kuno atau Mataram Hindu) itu dimapankan awalnya oleh Raja
Sanjaya, yang memerintah sekitar 732M (berdasarkan Prasasti Canggal). Dia penerus
Raja Sanna, raja jawa yang beraliran Hindu Siwa. Semulanya, keluarga ini dari Galuh,
yang dibentuk oleh trah Tarumanagara, dan sempat beberapa lama berada di bawah
pengaruh Tarumanagara, sampai memisah di akhir abad ke-7 seperti diurai di atas.

Tahun 752M.. Medang berjaya. Tahun 760M, Borobudur mulai dibangun olehnya (kelak
selesainya 825M, di masa Samaratungga). Lalu 770M sampai 780M, Medang ikut
menyerbu Dai Viet, Champa, dan Kamboja bersama Sriwijaya. Sontay di Tonkin juga
(767M) dan Nha Trang (774). Indrapura terkuasai 770M. Phan Rang 787M. Yang
menggagas ekspansi ini, kemungkinan Maharaja Dharmasetu atau Dharanindra dari
Wangsa Syailendra yang berkuasa di Sriwijaya dan satu trah dengan Kerajaan Medang.

Candi-candi bermunculan di periode ini. Candi Kalasan kemungkinan dibangun 778.


Lalu Candi Sewu (Manjusrigrha) rampung 792M. Prambanan tuntasnya 856M. Tahun
800-832, wangsa Syailendra mulai mundur di Jawa. Atau mungkin bisa juga dikatakan,
Jawa mulai 'lepas' dari pengaruhnya.

Balik sedikit ke Wangsa Sanjaya. Ibunda Sanjaya namanya Sanaha. Sanaha konon
cucu Ratu Shima dari kerajaan Kalingga di Jepara. Lha, ini agak rancu sedikit. Di peta
Tarumanagara, Kalingga itu Pekalongan, sekarang kenapa jadi Jepara? Silakan dirunut
kalau yang penasaran, tapi kalau tidak, ya sudah saja diingat, bahwa Kalingga sempat
dipetakan di Pekalongan, tapi pada periode berikutnya ini disebut di Jepara.

Ayah Sanjaya orang Galuh, disebutkan sebagai Sena, Sanna, atau Bratasenawa raja
Galuh ketiga. Sena ini putra Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Di kemudian
hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang ori, menyerang Galuh
dengan bantuan Tarusbawa, raja Sunda yang di atas sudah disebut. Saat dia
memperistri putri sulung Tarumanagara, lalu bersama istrinya mewarisi tahta
Tarumanagara, kemudian Tarumanagara dan Sunda disatukan. Ibukota gabungan
pindah ke Sunda,.. tapi atas pengaturan baru itu, Galuh (yang juga dibentuk oleh trah
alias dinasti Tarumanagara) tidak terima, dan lalu memisahkan diri.

Sanjaya bikin kerajaan di Jawa, Medang, kemungkinan karena di Galuhnya dia


kemudian tersingkir. Namun, setelah kerajaannya mapan, sepertinya dia ingin menuntut
balas, merebut kembali Galuh yang mestinya dia rasa merupakan haknya, tapi
berhubung lebih berat menyerang sendirian, dia pun beraliansi dengan Tarusbawa dari
Sunda, yang notabene mestinya adalah saudaranya juga.

Penyerangan itu bertujuan untuk melengserkan petahana Purbasora waktu itu. Dan
berhasil. Kemungkinan, setelah Galuh ditaklukkan, terbentuk aliansi lebih kuat,
Medang-Galuh-Sunda, dengan Galuhnya dikuasai bersama oleh Tarusbawa dan
Sanjaya. Seluruh pulau Jawa ini jadi uni-kerajaan terbesar.

Dari situ, bisa dikira-kira, bahwa Sanjaya ini adalah trah Galuh, Sunda, dan ultimately:
trah Tarumanagara juga!

Kemudian, saat Tarusbawa meninggal tahun 723M, kekuasaan Sunda dan Galuh jatuh
ke tangan Sanjaya. Merger. Di tangannya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Mungkin
sesuai dengan doa-doanya para raja Tarumanagara dan orang-orang yang setia
meleluri budaya dan kebesaran masa lalunya.

Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan area barat, Sunda-Galuh, kepada


putranya Rakryan Panaraban (Tamperan). Jadi, boleh dibilang, Tamperan ini jadi raja
"neo-Tarumanagara bersatu" generasi berikutnya. Dimana, di areanya, ada lagi
kerajaan-kerajaan bawahan yang kecilan. Yang ke atasnya, dia sendiri merupakan
kerajaan bawahan dari Medang.

Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan kerajaan Medang selama 22 tahun (732-


754), ini kerajaan induknya-induk, yang kemudian diganti oleh puteranya dari istri Déwi
Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Secara garis besar kisah dari Carita Parahyangan
ini sesuai dengan prasasti Canggal.

Lalu, Rakai Panangkaran (raja eks Wangsa Sanjaya ke-2) dikalahkan oleh penyerang
dari Sumatra, Wangsa Syailendra. Berdasarkan penafsiran atas Prasasti Kalasan:
tahun 778 raja Syailendra yang beragama Budha Mahayana meminta Rakai
Panangkaran mendirikan Candi Kalasan. Sejak saat itu.. Kerajaan Medang dan
segenap kerajaan bawahan, dikuasai oleh Wangsa Syailendra. Sampai akhirnya..
seorang putri mahkota Syailendra bernama Pramodawardhani menikah dengan Rakai
Pikatan, seorang keturunan Sanjaya dari jalur lain lagi, tahun 840–an.

Rakai Pikatan, kemudian mewarisi tahta mertuanya, bersama istrinya. Dengan


demikian, Wangsa Sanjaya kembali berkuasa di Medang. Sejak itu manunggallah
wangsa Sanjaya dan wangsa Syailendra sebagai penguasa Jawa paling solid, karena
keturunan-keturunan berikutnya, jadinya adalah keturunan bersama Wangsa Sanjaya
dan Wangsa Syailendra. Yang notabene Wangsa Sanjaya itu trah Tarumanagara juga.
Tapi tetap.. Medang ini jadi kerajaan bawahan Sriwijaya.

Toh ada yang menolak teori ini...


Poerbatjaraka menolak keberadaan Wangsa Sanjaya. Menurutnya, Sanjaya itu sendiri
trah Wangsa Syailendra. Di prasasti-prasasti, Wangsa Sanjaya katanya tidak disebut.

Menurut teori Poerbatjaraka: dinasti yang eksis ya cuma Wangsa Syailendra yang
awalnya Hindu Siwa, tapi berevolusi, sejak Rakai Panangkaran pindah agama Budha
Mahayana. Para bangsawannya lalu terpecah dua agama. Buddha jadi agama resmi,
sedangkan turunan Sanjaya yang tetap Hindu, kelak menurunkan Rakai Pikatan.

Di prasasti Kalasan disebutkan Rakai Panangkaran itu Sailendrawangsatilaka atau


“permata Wangsa Syailendra”, menyiratkan dia bukan anak Sanjaya. Tapi, bisa juga,..
sisi ibunya, istri Sanjaya, turunan trah Syailendra, dan karena Syailendra yang berkuasa
di Sriwijaya itu lebih mencorong, jadi di prasasti-prasasti nama Sanjaya dihilangkan
sama sekali demi respeknya pada Sriwijaya yang saat itu ditakuti disegenap kerajaan
bawahannya. Mana yang benar? Wallahualam.

Gampangnya, raja-raja tersolid Jawa setelah itu, adalah turunan Syailendra-Sanjaya,


sampai ke Mpu Sindok. Bukan Sindok-Garpu. Yang kalau menurut kira-kira di atas,
Syailendra-Sanjaya, dua-duanya masih ada kaitannya dengan Tarumanagara. Ini jadi
seolah paradox untuk masa sekarang.

Jaman sekarang, etnis yang terbesar di Indonesia itu Jawa, tapi sebetulnya, pemersatu
utama raja-rajanya di masa lalu, adalah orang-orang dari daerah Banten Jawa-Barat,
atau gampangnya orang Sunda dalam terminologi sekarang.

Mpu Sindok oleh para sejarawan kemudian dianggap telah mendirikan dinasti baru
bernama Wangsa Isyana, walau sebetulnya jalurnya itu-itu juga, cuma hijrah, pindah
pusat kerajaan ke Jawa Timur sekitar awal abad kesepuluh, kira-kira 929M.

Mpu Sindok disebut dinasti Isyana atau Isana karena dia bergelar Sri Maharaja Rakai
Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa. Atau bisa juga, itu dari nama anaknya.

Mengapa Hijrah?

Istana Medang awalnya diperkirakan di daerah Mataram (dekat Yogyakarta sekarang).


Kemudian pada masa Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Masa Dyah
Balitung pindah lagi ke Poh Pitu (masih sekitar Kedu). Zaman Dyah Wawa diperkirakan
kembali ke Mataram. Mpu Sindok kemudian memindahkan ke Jawa Timur, menurut
teori van Bammelen kepindahan ini karena ibu kota lama hancur oleh letusan Gunung
Merapi, disertai gempa bumi, dan hujan material vulkanik kelas berat, bisa di akhir
masa Dyah Wawa, atau awal masa Mpu Sindok.

Mpu Sindok lalu bikin ibu kota baru di daerah Tamwlang (prasasti Turyan, 929).
Kemudian pindah ke Watugaluh (prasasti Anjukladang, 937). Dua-duanya di sekitar
Jombang sekarang, dekat Sungai Brantas yang besar.
Menurut prasasti Pucangan, Mpu Sindok wafat 947M, digantikan putrinya Sri Isana
Tunggawijaya yang memerintah bersama suaminya Sri Lokapala, seorang bangsawan
asal Bali. Sejak titik ini, besar kemungkinan dua kerajaan Jawa-Bali telah teraliansi.

Kemudian, muncul anak mereka Sri Makuthawangsawardhana, entah di tahun berapa,


yang berarti raja ini blasteran bangsawan Jawa dan Bali. Dan entah bagaimana masa
pemerintahannya. Tapi diketahui, dia itu kakeknya raja besar Airlangga.

Mestinya, ada dua anak Sri Makuthawangsawardhana, yaitu Dharmawangsa Teguh dan
Mahendradatta. Dharmawangsa alias Wijayamreta Wardhana memerintah Medang
sejak 991 sampai 1007M (atau ada yang menduga 1016M). Lalu, kemungkinan
Dharmawangsa itu menggantikan Sri Makuthawangsawardhana, dan menjadi raja
terakhir Medang. Adiknya (atau kakaknya?) Mahendradatta, nasibnya agak beda. Putri
ini menikah dengan Raja Bali: Udayana, dan lalu punya anak Airlangga.

Airlangga sendiri, terus menjadi menantu Dharmawangsa Teguh, uwaknya dia, atau
mungkin pamannya. Jadi, Airlangga ini sekaligus adalah turunan Medang dan turunan
Bali. Pangeran Bali, yang turunan raja Medang dari sisi ibundanya. Yang ibundanya
sendiri.. juga ada unsur blasteran Medang-Bali.

Di Bali, dinasti Warmadewa sendiri mulai eksis menguasai Kerajaan Bali sejak 914M.
Raja Udayana yang disebut di atas mengambil Mahendradatta sebagai permaisuri, itu
juga dari wangsa Warmadewa. Tahun 996M, Dharmawangsa mulai memerintahkan
penerjemahan kitab Mahabharata ke dalam bahasa Jawa (kuno). Dan kemungkinan,
sebelum itu, Mahabharata itu belum populer di masyarakat Jawa.

Jadi, sampai di titik ini, nusantara sudah mengaliansikan kerajaan-kerajaan di Sumatra,


Jawa-Barat, Jawa Tengah, Jawa-Timur bagian tengah, dan Bali.

Di area Jawa yang belum terlalu disebut-sebut adalah pesisir selatan ujung ke ujung
yang under-develop, dan kemungkinan masih hutan belantara lebat. Lalu daerah tapal-
kuda Jawa Timur, yang mungkin juga under-develop, lalu pulau-pulau kecil di
sekitarnya, dan pulau Madura yang kemungkinan merupakan daerah keras yang masih
relatif mandiri, dan masih relatif tak bertuan.

Saat dialiansikan dengan Jawa, besar kemungkinan Bali itu sudah memiliki akar budaya
sendiri. Sehingga, saat beraliansi, dia ikut mewarnai, dan bahasanya tetap bertahan.

***

Sejarah Kerajaan Bali, Kecil Tapi Gigih & Unik

Untuk kenusantaraan, Bali ini seolah kecil. Tapi karena unik, dan cukup mewarnai,
eksistensinya perlu juga kita sebutkan. Kita menyimpang sedikitlah ke sini sebentar.

Dari peninggalan yang ada, diyakini kerajaan Bali yang mulai 'terdokumentasi' pertama
adalah Kerajaan Bedahulu atau Bedulu. Sebelum itu, mungkin ada kerajaan-kerajaan
kecil sporadik, atau suku-suku yang tidak beneran bernegara awalnya. Bedulu ini
pusatnya di Bedulu atau Pejeng, Gianyar. Mulai eksisnya sekitar abad ke-8, dan ada
terus sampai abad ke-14. Di kerajaan inilah dinasti Warmadewa bertahta, dengan Sri
Kesari Warmadewa sebagai raja pertama. Atau bisa juga, Sri Kesari Warmadewa ini
raja yang pertama 'besar'. Sebab, menurut prasasti Bajong yang ditemukan di Sanur,
indikasinya dia berkuasa pada abad ke-10.

Pada masa itu, mungkin kekuasaannya tidak ujung ke ujung sepulau Bali, tapi bisa kita
kira-kira, mereka yang terbesar, terkuat, dan tidak ada se-Bali yang bisa
menandinginya. Sri Kesari ini penganut Budha Mahayana juga, lurus dengan
bangsawan Medang di abad ke-10 dan ke-11 berarti. Mungkin juga ada pertalian darah
atau hubungan pernikahan di antara keduanya.

Setelah Sri Kesari, kerajaan Bedahulu atau Bali itu, dipimpin oleh Sang Ratu Ugrasena,
kemungkinan sejaman dengan Mpu Sendok. Ugrasena ini sering merilis prasasti
menceritakan macam-macam, mulai dari perpajakan, penganugerahan, upacara
agama, pembangunan penginapan, hingga pendirian tempat ziarah atau pemujaan.
Prasastinya ditulis dalam bahasa Bali kuno. Dan selalu diawali "yumu pakatahu" yang
bermakna “ketahuilah oleh kalian semua”.
Ugrasena terus digantikan Sri Tabanendra Warmadewa. Kemungkinan Tabanendra ini
anak Ugrasena dari istri yang merupakan putri Mpu Sendok dari Medang. Jadi di titik ini
bisa diperkirakan, bahwa aliansi mesra Jawa-Bali sudah terjadi. Tabanendra
memerintah 943 sampai 961M. Sekitar 18 tahun. Setelah itu, digantikan oleh raja-raja
yang masa pemerintahannya agak pendek-pendek, sampai muncul Sri Udayana
Warmadewa yang diceritakan di atas, mulai memerintah tahun 989M atau 28 tahun
setelah Tabanendra.

Selama 28 tahun tahun yang mengantarai itu, bergantian kerajaan dipimpin oleh tiga
orang: Sri Candrabaya Singa Warmadewa, Sri Janasadu Warmadewa, dan Sri
Maharaja Sriwijaya Mahadewi.

Sri Udayana Warmadewa yang memerintah tahun 989 sampai 1011M.. memiliki tiga
anak, yaitu Airlangga, dan Marakata, serta Anak Wungsu. Airlangga kemudian menjadi
raja Jawa terkenal setelah dia diambil menantu oleh Dharmawangsa. Namun demikian,
Airlangga itu tidak sukses menggabungkan tahta Jawa dengan Bali, karena yang
established di Bali kemudian adalah Anak Wungsu itu.

Menurut catatan, Anak Wungsu itu tidak langsung menggantikan tahta ayahnya, tapi
didahului dulu oleh Sri Adnyadewi (Darmawangsa Wardana, 1011-1022M,
kemungkinan saudara Udayana, berkuasa 11 tahun), lalu Sri Darmawangsa Wardana
Marakatapangkaja (1022-1025M, cuma tiga tahun, dia adalah satu di antara tiga
bersaudara anak Udayana di atas), barulah setelah itu Anak Wungsu. Anak Wungsu
berkuasa 1049-1077, sekitar 28 tahun.

Setelah itu berganti-ganti, dan tidak terlalu terkenal, sampai kemudian Bali ini dikuasai
Gajah Mada. Konon, Gajah Mada menggunakan muslihat dalam menekuk Bali.

Seorang tokoh Bali independen kala itu, Kebo Iwa nama atau julukannya, adalah
penentang aliansi Bali-Majapahit. Oleh Gajah Mada, raja Bali diajak damai, dan Kebo
Iwa diminta dikirim ke Majapahit untuk dinikahkan dengan bangsawan Jawa untuk
meneguhkan aliansi. Tapi, begitu dia tiba di Jawa, bukan dijemput oleh putri cantik,
malah dijemput oleh kematian. Tewasnya tokoh Kebo Iwa, membuat persatuan dan
pertahanan Bali goyah, sehingga kemudian Adityawarman raja Majapahit lebih mudah
menaklukkan Bali tahun 1343M.

Majapahit kemudian mendirikan dinasti boneka di Samprangan, dekat Bedulu juga.


Raja pertamanya: Sri Aji Kresna Kepakisan. Lalu diganti oleh anak pertama Dalem
Samprangan. Lalu diganti lagi oleh adik Dalem Samprangan, Dalem Ketut. Periode ini
disebut periode Gelgel, yang raja terakhirnya terus Dalem Di Made yang berkuasa 1605
sampai 1686M.

Kemudian, dinasti Gelgel ini dilanjutkan dengan periode kerajaan Klungkung, yang
masih dipimpin oleh turunan trah Gelgel juga. Pemimpin pertama era Klungkung ini
Dewa Agung Jambe, yang memerintah 1710 sampai 1775M. Lalu, Bali terpisah menjadi
sembilan kerajaan kecil, yaitu: Klungkung, Badung, Mengwi, Bangli, Buleleng, Gianyar,
Karangasem, Tabanan, dan Denpasar. Pemecahan itu, memadamkan pemberontakan-
pemberontakan yang sudah terjadi sejak awal tahun 1600-an. Bali menjadi damai dan
harmonis, sampai kemudian orang-orang Belanda menyerangnya.

***

Melemah & Pecahnya Kerajaan Sriwijaya

Sebelum lanjut ke era lebih modern, marilah kembali dulu ke kerajaan Medang lagi....

Di era Dharmawangsa itu, kemungkinan Medang dan Sriwijaya pecah kongsi walaupun
sama-sama turunan Wangsa Syailendra. Catatan di Cina menyebutkan, Sriwijaya dan
Medang pada satu titik kemudian bersaing untuk menguasai Asia Tenggara. Keduanya
sama-sama mengirim duta ke Cina.

Utusan Sriwijaya yang berangkat 988M tertahan di Kanton (sekitar Hongkong sekarang)
saat mau pulang, karena negerinya diserang tentara Medang. Musim semi 992M, duta
Sriwijaya mencoba pulang lagi, tapi kembali tertahan di Campa (Indocina sekarang).
Negerinya belum aman. Duta itu sempat meminta Kaisar Song untuk menyatakan
Sriwijaya berada di bawah perlindungan Cina. Nggak tahu dikabulkan atau tidak.

Di pihak lain, utusan Medang tiba di Cina 992M. Dikirim oleh rajanya Dharmawangsa
Teguh yang naik tahta 991M. Tahun 992M, Medang berhasil mengobrak-abrik ibukota
Sriwijaya dan menguasai Palembang, tapi terus dipukul mundur oleh Sriwijaya.

Lalu Medang menyerang lagi 997M, yaitu lima tahun setelah serangan pertama.
Geopolitik sepertinya mulai keruh di era ini. Prasasti Pucangan lalu mengisahkan
kehancuran Medang yang dikenal dengan sebutan Mahapralaya atau “kematian besar”.

Berita Cina itu, bisa membuat kita berimajinasi dan mengira-ira. Implisit, dari berita itu
terbaca bahwa yang dominan segitu lamanya di Nusantara, dari abad ke tujuh, sampai
akhir abad ke-10 itu, tidak ada yang lain kecuali trah Sriwijaya alias Wangsa
Syailendera. Mantap. Berarti.. ini sekitar tiga setengah abad! Tidak ada yang kuat
menggoyang. Baik goyang ngebor, maupun goyang dumang.

Dominasi ini, bisa kita kira-kira, tentu disebabkan karena punya keunggulan
perekonomian dan keunggulan milter. Dari dulu sampai sekarang, hegemoni datangnya
dari kombinasi dua itu, bukan?

Cuma ini selalu terulang-ulang dari waktu ke waktu... Saat satu bangsa sudah begitu
dominannya, tidak ada yang bisa menggoyang dari luar,... pada satu titik, pecahnya
malah dari dalam! Romawi begitu. Jadi barat dan timur. Kekalifahan Islam idem. Jadi
kekalifahan timur dan barat. Dan di masa kini juga sama: Uni Sovyet pecahnya lebih
dari dalam juga. Bentar lagi, kalau mungkin Amerika Serikat. Bisa juga pecah dari
dalam. Pemicunya nggak tahu karena salah memilih presiden atau apa. Seribu satu.

Kalau dia kalah kuat sama Cina, maka meredupnya karena desakan luar. Ini sudah
suratan. Dan Allah sudah memfirmankan, bahwa Beliau itu mempergilirkan kekuasaan
di dunia ini, bukan? "Allah mempergilirkan kekuasaan itu, memberikan kpd siapa yg
dikehendaki-Nya, dan mencabut dr siapa yg dikehendaki-Nya." (QS3:140, Ali Imran)

Dan setelah mengalami masa jaya begitu lama, Sriwijaya rupanya juga habis gilirannya.
Eh, tapi sebelum itu,.. kita bisa kita tinjau juga: Seunggul apa sih militer Sriwijaya di
masa jayanya? Kita kira-kira, tentu selain unggul kuantitas tentara dan dukungan
logistik-perekonomian, mereka juga unggul secara kualitas.

Dalam satu cerita, di internet ada disebutkan. Suatu ketika, salah satu kerajaan
bawahan Sriwijaya di Indocina masa kini mabuk-mabukan rajanya. Minum godokan ciu
atau cem-ceman daging terwelu kita tidak tahu, tapi pokoknya dia mabuklah.

Nah, saat mabuk itu,.. rajanya ngelantur.. dia bilang, "..Kalo lagi gini, gue rasanya ingin
disuguhi hidangan penggalan kepalanya maharaja Sriwijaya, neh bro! Ya, untuk
santapan kita bersama. Hahaha..." Kurang lebih dia begitulah. Bercandanya keliwatan.

Lha, walau pada kaget, semua orang tentu mengira.. pusat kerajaan Sriwijaya itu jauh
banget. Ya sudahlah. Namanya orang mabuk, apalah artinya omongannya yang asal?
Eh, tidak tahunya.. tidak lama setelah ngomong begitu, pasukan khususnya Sriwijaya
menyerbu istana si raja yang sesumbar itu, dan kepala dialah yang dipenggal!
Seberapa akuratnya cerita ini, wallahualam. Tapi, cerita seperti itu, mengindikasikan,
bahwa kerajaan Sriwijaya memiliki kemampuan intelijen yang efisien dan memiliki
pasukan komando khusus dengan kemampuan mumpuni.

Kenapa Sriwijaya yang punya kemampuan seperti itu lantas bisa ditantang Medang?
Yang notabene 'saudara'-nya sendiri? Bisa jadi, untuk beberapa lama, Medang itu
adalah 'strategic reserved'-nya Sriwijaya. Cadangan strategis. Untuk diaktifkan,
bersama-sama dengan kerajaan induk di Sumatra bagian selatan, untuk menumpas
kalau-kalau di kerajaan bawahan seantero nusantara, ada yang coba-coba berontak.

Selain ada kekuatan masif, tiap-tiap bangsa jagoan lazim punya semacam 'secret
weapon' atau 'pasukan khusus' bukan? Tentara Persia kuno punya 'Assassin', pasukan
komando ninja yang amat ditakuti di jamannya. Pasukan Romawi punya legiun-legiun
masif yang tidak bisa ditiru siapapun di masa jayanya. Napoleon punya Grande Armee.
Hitler punya Waffen-SS dan divisi-divisi panser. Jepang jaman perang dunia kedua
punya Tentara Kwantung dan Kaigun angkatan laut dengan armada kapal induk dan
destroyer dan di satu titik terkuat di dunia juga. Sepertinya, Sriwijaya juga punya
keunggulan kualitas-kuantitas tak tertandingi di kawasannya.
Kalo menilik cerita di atas, untuk serbuan-serbuan marinir ke berbagai lokasi jauh,
pasukan dari Medang itu disertakan. Ikut ekspedisi. Nah, dari situ, kemungkinan lantas
kerajaan Medang itu jadi punya ilmunya juga. Ilmu Sriwijaya. Untuk penyerbuan infanteri
dan marinir skala besar, itu perlu ilmu dan pengalaman luar biasa bukan? Berapa kali
ekspedisi bersama Sriwijaya, yang mana sebetulnya berasal dari satu trah, satu
keluarga besar,.. wajar kan kalau terus Medang bisa menyerap ilmunya juga?

Nah, kemudian.. karena mungkin tanah Jawa lebih mudah dikembangkan. Mungkin
lebih subur, karena lebih sering kesiram banjir dan debu vulkanik. Belantaranya tidak
seganas Sumatra. Lebih mudah babat alas. Bisa jadi... terus penduduknya berkembang
lebih pesat. Selanjutnya.. multiplier efek terjadi, produksi pangan dan output
ekonominya juga lebih pesat dari Sumatra. Pemimpinnya juga mungkin visinya lebih
fokus dalam membangun perdamaian, perekonomian, dan peradaban.

Pada satu titik, terus Medang menyalip Sriwijaya induk! Dari situ, terus bisa saja ada
'ego'. "Wah, kenapa kita yang lebih gemah ripah loh jinawi mau aja ya jadi bawahan
Sriwijaya?" Persislah mungkin dengan situasi masa kini. "Indonesia yang segede gini,
kok mau aja ya digini dan gituin sama Singapura? Sama Malaysia? Sama Belanda?"
Seperti itu. Bisa juga, egonya terus dipertajam oleh ada ketersinggungan di tingkat elit,
dalam satu atau beberapa peristiwa. Atau.. bisa juga terus Sriwijaya di Sumatra terus
elitnya bergeser.. keluar dari trah Wangsa Syailendra yang erat bersaudara dengan elit
di Medang di Jawa. Muncul tokoh-tokoh lain, yang darah Syailendranya tidak kental,
atau bahkan tidak ada.

Teruslah tentara-tentara dihimpun oleh Medang di Jawa. Dan kalau benar penduduk
Jawa lebih padat, tentu infanteri dan marinir Jawa jumlahnya tak karuan. Sumatra tidak
bisa mengimbangi.

Jadi, saat Medang di Jawa coba menyempal, sebagaimana disebutkan berita Cina di
atas, Sriwijaya induk tidak bisa meredamnya. Lantas, saat bala Jawa menyerbu
Palembang.. dengan jumlah yang masif. Sriwijaya jadi kewalahan. Kalah jumlah. Kalah
logistik. Jadi akhirnya Palembang jatuh.

Menariknya, pasukan Jawa lantas bisa dipukul mundur! Dan baru bisa menyerbu lagi:
lima tahun kemudian! Ada apa ini? Biasanya, di masa itu, setelah suatu kerajaan
dihancurkan kerajaan lain, kemampuan untuk strike-back ini sering kali tidak ada
bukan? Tentu Sriwijaya punya ketahanan nasional cukup tangguh.

Ini bisa kita kira-kira jawabannya,.. bahwa walau secara kuantitas inferior, secara
kualitas, Sriwijaya masih sesuatu banget. Mestinya.. kemampuan intelijennya masih
terbaik di nusantara, dan juga mestinya pasukan komandonya, pasukan khususnya,
masih eksis. Raiders Jawa mungkin jagoan tak terkalahkan untuk perang frontal
terbuka. Karena logistik dan skalanya yang jauh lebih masif. Tapi... dari dulu sampai
sekarang, selain perang terbuka, ada dimensi-dimensi lain dari peperangan bukan?
Majapahit pun kelak punya Bhayangkara yang konon spektakuler bisa memulihkan
tahta Majapahit dari pemberontakan-pemberontakan beberapa kali. Retaliasi atau
pembalasan dendam Sriwijaya ternyata benar-benar terjadi.

Bangsa sebesar Sriwijaya itu, tentu amat tidak rela ibukotanya, pusat kerajaannya
diacak-acak oleh siapapun. Iya, kan? Mereka menunggu saat yang tepat. Dan saat itu
datang kala Dharmawangsa lengah, yaitu saat Dharmawangsa menyelenggarakan
pesta besar-besaran, hajatan kerajaan, menikahkan putri mahkotanya dengan
Airlangga. Jdar! Gegerlah jadinya.

Bagi Nusantara, gegeran di Sriwijaya dan gegeran di Jawa yang menyusul kemudian
ini, insya Allah adalah berkah.

Saat Jerman geger, talenta-talenta Jerman banyak yang hengkang ke dunia baru,
Amerika. Italia idem. Saat paceklik berat, talenta-talenta Italia juga banyak yang
hengkang ke Amerika. Saat China gegeran, banyak talenta China ikut hijrah ke Taiwan.
Saat Vietnam-Kamboja geger, manusia perahunya menyebar kemana-mana. Saat
Jogja kena tsunami, banyak talentanya hijrah ke Jakarta. Dagang bapia. Seterusnya....

Bisa kita kira-kira,.. saat ibukota Sriwijaya diluruk orang Jawa, dan kemudian oleh orang
India, banyak talenta Sriwijaya tentu memilih hijrah saja daripada mendekam di tempat
seperti ayam bertelor, bukan?

Apakah ada bukti tentang ini? Silakan saja dicari. Di Singapura masa kini, ada holding
company nasional besar bernama Temasek. Temasek itu diambil dari nama pertama
kali-nya saat Singapura jadi suatu kota kerajaan kecil, yaitu namanya Tumasik. Konon
Tumasik itu dibentuk oleh orang-orang pelarian Sriwijaya. Dan sepertinya, tidak semua
orang eks Sriwijaya tumplek blek ke Tumasik itu. Ada ke berbagai tempat lain.
Umumnya di sekeliling Sumatra dan Semenanjung Malaya, tapi bisa juga ke tempat lain
yang lebih jauh. Kalau benar mereka punya kemampuan maritim mumpuni yang bahkan
bisa menghantarkan mereka ke pulau-pulau jauh di Pasifik, dan bahkan sampai ke
Madagaskar, tentu menjelajah dan mengkolonisasi Indonesia timur pun bisa.

Dan.. bagi tempat-tempat baru yang kedatangan talented people, dengan segala
sumber daya yang sempat dia bawa, tentu itu adalah keberkahan. 'Ilmu Sriwijaya'
jadinya menyebar ke nusantara. Tidak memusat di satu titik saja.

Kemudian, rasa persaudaraan juga bisa menumbuh. Karena satu guru satu ilmu, atau
karena merasa satu benang merah. Bisa kita kira-kira juga, bahasa Melayu (versi lebih
kuno), mulai menyebar dan dipakai di banyak daerah di Nusantara, juga disebabkan
karena kebesaran Sriwijaya, dan terus berkembang sebubarnya kerajaan besar itu.

***
Bubarnya Wangsa Syailendra Di Jawa

Kita lanjutkan saja dulu cerita gegeran di atas....

Saat Dharmawangsa menikahkan putrinya dengan Airlangga, pangeran Bali, yang


sekaligus keponakannya, Airlangga baru 16 tahun umurnya. Abg ganteng, pujaan
cewek-cewek. Mungkin seperti itu. Eh, maksudnya,.. secara gantengnya kita nggak
tahu ya, tetapi.. juga tidak ada informasi.. Airlangga itu palanya panjul atau peang, atau
pipinya tompelan besar, atau hidungnya pesek, atau jidatnya jenong, atau mulutnya
tonggos, itu diak ada informasi. Jadi ya, kita anggap saja ganteng gitu deh.

Di tengah keramaian pesta,... tiba-tiba istana diserang pasukan Wurawari dari Lwaram
dengan bantuan laskar pasukan khusus Sriwijaya. Andai serangannya serangan biasa
dari kerajaan bawahan, tentu tentara Medang yang sudah pernah meluruk jauh ke luar-
luar pulau dengan gilang gemilang.. dapat menepisnya. Tapi kali ini, sepertinya
serangan kilat Wurawari-Sriwijaya efektif. Kerajaan yang besar, kecolongan, dikudeta
oleh kekuatan jumlah kecil, tapi didukung intelijen terbaik di kawasan, dan pasukan
khusus terbaik juga mestinya.

Istana Dharmawangsa yang terletak di kota Wwatan hangus terbakar. Dharmawangsa


sendiri tewas dalam serangan tersebut. Lokasi gegeran ini, kalau di masa kini kira-kira
di sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur.

Sedang Raja Wurawari yang menyerbu, teritori asalnya Lwaram itu masa kini adalah
desa Ngloram, Cepu, Blora. Soal ini bisalah dikira-kira... Kenapa yang dulunya kerajaan
terus jadi desa? Mungkin belakangan setelah dia kalah lagi, istana dan sekelilingnya
dibumi-hangus oleh penumpasnya. Wallahualam.

Situasi terus berkembang.... Walau sempat ada serangan pendadakan, pada titik ini,
Medang di Jawa juga bukan negeri ecek-ecek. Sriwijaya punya pasukan khusus.
Intelijen yang mumpuni.. Jawa juga punya ilmu Sriwijaya. Satu guru, satu ilmu. Jadi,
Sriwijaya tidak bisa juga menumpas kerajaan itu setuntasnya.

Singkat cerita, Airlangga lolos dari pembantaian. Dia juga punya 'cadangan strategis'!

Bukankah di Bali dia pangeran utama? Sriwijaya mungkin bisa melakukan pendadakan
di Medang. Tapi, tentu muskil dan jauh lebih sulit untuk melakukan pendadakan secara
simultan di Medang dan Bali bukan?

Kalau kita baca lagi uraian di atas, bisa kita pahami bahwa Jawa dan Bali ini sudah
teraliansi menjadi satu paket kerajaan sejak beberapa lama. Masa jaya Sriwijaya sudah
lewat, dan rupanya dia tidak bisa lagi mengungguli Jawa-Bali ini. Jadi, tiga tahun
setelah bakar-bakaran istana Medang itu, Airlangga bisa membangun istana baru di
Wwatan Mas, dan menjadi raja sebagai penerus takhta mertuanya Dharmawangsa.
Bukannya terus dia jadi Dharmo-gandul. Tetap saja dia Airlangga.
Dharmawangsa sendiri tentu juga punya bejejer jagoan yang tidak sudi berlutut begitu
saja di hadapan Wurawari. Wurawari itu siapa? Dia cuma berkuasa di kerajaan
bawahan semulanya.

Walhasil, sisa-sisa kekuatan bisa himpun lagi oleh Airlangga yang punya legitimasi dan
pengikut setia dari Bali dan dari mertuanya, dan Medang bisa muncul lagi!

Bisa jadi, pada titik ini Airlangga juga masih meneruskan aliansi kuat Jawa-Bali, walau
berdasar catatan sejarah, sepeninggal Raja Udayana, kerajaan Bali itu tidak mau
digabung dengan tahta Airlangga, tapi tahtanya diambil alih oleh Anak Wungsu, adik
Airlangga. Sebelum Anak Wungsu, Marakata juga sempat bertahta, adik Airlangga yang
lain, kakaknya Anak Wungsu. Atau bisa juga, Marakata itu terhadap Airlangga posisinya
kakak. Di atas sudah diceritakan sekilas juga.

Cerita lain menyebutkan, bahwa Bali itu, posisinya sudah jadi kerajaan bawahan
Medang, ditaklukkan nyaris sepulau penuh, pada saat Medang berjaya sebelumnya.
Bisa bukan penaklukan melalui pertempuran sengit, tapi melalui perkawinan dan
diplomasi masa itu. Bahkan mungkin sudah sejak jaman Mpu Sendok. Bahkan,
disebutkan, di Kalimantan Barat, juga ada daerah taklukan Medang, yang terus jadi
kerajaan bawahannya juga. Wallahualam.

Setelah Jawa Timur geger, mestinya kerajaan-kerajaan luar Jawa memisah sendiri-
sendiri. Jawa Barat juga semakin independen. Bali juga independen.

Pelarian Airlangga itu ada yang bilang lokasinya di Kudu, Jombang. Wikipedia juga
menyebut, saat lolos itu, Airlangga ditemani seorang jagoan, Mpu Narotama bersama
pasukan. Maklumlah, usia Airlangga saat itu baru 16 tahunan seperti disebut di atas.
Kalau dia cuma seorang diri, walau banyak pengawal, tentu amat sulit abg semuda itu
bisa menghimpun kekuatan politik dan militer untuk strike-back.

Dari prasasti Pucangan diketahui adanya perpindahan-perpindahan ibu kota kerajaan.


Prasasti Turyan menyebut ibu kota Kerajaan Medang terletak di Tamwlang, dan
kemudian pindah ke Watugaluh menurut prasasti Anjukladang. Kedua kota tersebut
terletak di daerah Jombang sekarang. Sementara itu kota Wwatan diperkirakan terletak
di daerah Madiun, sedangkan Wwatan Mas terletak di dekat Gunung Penanggungan.
Begitu menurut wikipedia.com.

Mengenai alasan Raja Wurawari memberontak, ada beberapa perkiraan. Mungkin dia
sakit hati lamarannya terhadap putri Dharmawangsa ditolak, dan malah Dharmawangsa
memilih pangeran Bali, yang notabene keponakan Dharmawangsa sendiri. Bisa juga
karena dia punya ego lain, dan makin napsu saat melihat kesempatan bersama
datangnya dukungan pasukan komando dan intelijen Sriwijaya. Atau bisa juga, dari
lama dia itu double agent, yang ditanam Sriwijaya di Jawa. Kejadiannya kemungkinan
besar 1007M.
Airlangga itu ada juga disebut Erlangga. Konon bermakna air yang melompat. Atau
melompat air, nyebrang lautan. Bukannya dia putra Bali yang terus berkuasa di Jawa?

Pada masanya, "Medang Baru", yang terbentuk setelah gegeran di atas, terus menjadi
Kerajaan Kahuripan. Wilayahnya disebutkan cuma meliputi Sidoarjo dan Pasuruan saja
awalnya, karena selepas gegeran yang menewaskan Dharmawangsa, semua kerajaan
bawahan lain melepaskan diri.

Saat Airlangga naik tahta di kerajaan baru itu, diperkirakan 1009M.

Berhubung Jawa sempat berantakan, dendam kesumat Airlangga terhadap Sriwijaya


tidak pernah terwujud, selamanya. Karena kemudian... tahun 1023M, Sriwijaya-nya
keburu dikalahkan oleh Ranjendra Coladewa, Raja Colamandala, dari India. Nehi-nehi!

Gegeran di ibukota Sriwijaya nun jauh di Sumatra itu... membuat Airlangga jadi lebih
leluasa untuk mengkonsolidasikan Jawa. Tidak dengan mudah. Bahkan hijrahnya ke
Kahuripan itu, juga disebabkan karena ibu kota asli bentukan dia di Wwatan Mas
sempat jatuh ke tangan musuh-musuhnya. Konon, yang menghancurkan Wwatan Mas
itu seorang ratu atau raja perempuan dari daerah yang sekarang menjadi Tulungagung.
Emansipasi wanita sudah sejauh itu rupanya. Walau konon, pada periode ini,
perempuan-perempuan di Jawa masih lazim telanjang dada kemana-mana. Isis. Di Bali
juga. Terus begitu, sampai orang-orang Belanda malang melintang. Dan kesultanan
Islam bermunculan. Kalau di Sumatra dan seantero nusantara lain, kita tidak tahu.
Mungkin dibuntel daun pisang atau apa. Wallahualam. Tidak perlulah kita membahas
soal pabrik nutrisi terlalu lama. Kita balik saja lagi ke riwayat Airlangga.

Kahuripannya sendiri, di masa kini adalah Sidoarjo. Saat meloloskan diri itu, Airlangga
mendapat teman jagoan lain lagi: Mapanji Tumanggala, bersama pasukan juga. Dari
Kahuripan, Airlangga menyusun kekuatan lebih besar. Lalu.. menyusun ofensif balasan.
Raja Wanita Tulungagung dikalahkan oleh dia. Menyusul... 1032M, Airlangga dan Mpu
Narotama juga sukses membalaskan dendam lama dinasti Isyana, mengalahkan Raja
Wurawari dan membersihkan pengaruh Sriwijaya di Jawa, yang mungkin pada
dasarnya juga tidak terlalu mengakar, dan di pusatnya sana sudah pindah tangan.

Setelah perang darat menang terus, Kerajaan Kahuripan menjadi besar. Wilayahnya
membentang dari Pasuruan di timur, hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa,
terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan antar pulau, mulainya juga
pada periode ini. Kerajaan-kerajaan bawahan dihimpun lagi.

Airlangga meluas pengaruhnya ke Jawa Tengah. Kemungkinan, di sana raja-raja kecil


juga tunduk sebagai kerajaan bawahan Airlangga. Tanpa melalui pertempuran. Dan
demikian pula, Bali, bergabung lagi, beraliansi, sepaket dengan dia, atau bahkan bisa
jadi kerajaan bawahan juga.. karena menyadari secara sumber daya militer, tidak
mungkin Bali itu menantang Jawa pada masa itu.
Jawa barat, mungkin tidak mau jadi bawahan Airlangga, tapi sepertinya secara
diplomasi juga baik-baik saja hubungannya dengan Kahuripan.

Jawa kembali damai. Bajing luncat dan maling ayam tentu masih ada, tapi secara
mainstreamnya, Jawa kembali damai.

Airlangga lantas menjalankan sejumlah langkah pembangunan ekonomi cukup masif.


Dia bikin perguruan-perguruan, pertapaan, ksatrian, bendungan, pelabuhan, jalan-jalan
penghubung, dan ibukota baru. Lalu pusat kerajaannya dipindah ke Daha, daerah Kediri
sekarang. Toleransi beragama juga maju. Agama utama Hindu-siwa dan Buddha,
pelindungnya adalah Airlangga sendiri. Dan di masa ini, mestinya orang-orang
beragama Islam juga sudah mulai ada, khususnya di kota-kota dagang pesisir-utara.
Dan dibiarkan. Tidak ditumpas. Dukun yang sudah mampu menggandakan uang.. lha,
kita tidak tahu, apa ada atau tidak? Adapun kita mau apa?

Selepas reformasi itu, pencerahan sepertinya terjadi. Walau mungkin sebagai raja dia
represif juga, seperti orde baru, Airlangga melakukan pembangungan ekonomi, sosial-
budaya, yang lebih masif daripada yang dilakukan masa Sriwijaya, atau bahkan dari
kapanpun. Dan se-nusantara,.. mungkin pembangunan ekonomi sosial-budaya dan
kenegaraannya termasuk paling sistematis. Ini menyebabkan keunggulan relatif, Jawa
Timur dibanding wilayah lain se-nusantara.

Airlangga juga memajukan seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa disuruh
mengadaptasikan epik Mahabharata, dia menulis Arjuna Wiwaha yang menceritakan
perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga
mengalahkan Wurawari. Sejak titik ini, maka jadinya perkembangan kerajaan-kerajaan
penerusnya terdokumentasi dengan relatif gamblang. Walau, kadang dokumentasinya
tidak jujur, tidak akurat, dipelintir untuk keperluan penguasa. Tapi lumayanlah, daripada
masa relatif gelap sebelumnya.

Cuma... Airlangga ini mengutamakan keadilan daripada kesatuan, jadi mewasiatkan,


bahwa sepeninggalnya, kerajaannya dibagi dua untuk kedua anak. Jadi, terus
Kahuripan pecah menjadi Kerajaan Kadiri dan Jenggala. Masih untung, Airlangga ini
anaknya tidak seperti Mumtaz Mahal. Kalau anaknya 14 seperti Mumtaz Mahal dari
India.. waduh.. kerajaan terpecah jadi 14.. bubar jalan urusannya.

Tahun 1042, Airlangga lengser bukan karena wafat, tapi turun tahta karena menjadi
resi. Ini termasuk unik juga untuk jamannya.

Putri mahkota, yang mestinya menjadi raja, ternyata terus juga memilih menjadi resi.
Bahkan putri ini lebih duluan dari ayahnya. Terus,.. Airlangga jadi bingung memilih di
antara dua anak lelakinya yang saling bersaing memperebutkan tahta.
Seorang jagoan andalan Airlangga lalu diminta jadi penengah. Usul semula, satu
disuruh pegang kerajaan induk di Jawa, satu lagi di Bali, karena Airlangga itu juga anak
Raja Bali Udayana, tapi ide ini tidak terlaksana, dan Airlangga akhirnya memutuskan
membelah dua kerajaan, yang batas-batasnya digagas bersama Mpu Bharada juga,
sang jagoan itu.

Sisi barat akhirnya jadi Kadiri, berpusat di Daha ibukota saat itu. Tahtanya dipegang Sri
Samarawijaya. Sedang sisi timur disebut Janggala, berpusat di ibukota lama Kahuripan.
Tahtanya dipegang Mapanji Garasakan. Kedua raja ini, anak Airlangga dari dua istri
yang berbeda. Pembelahan kerajaan terjadi November 1042. Sekitar 900 tahun
sebelum Jepang menyerbu Jawa. Widih, jauh banget.

Janggala itu konon penyingkatan dari Hujung Galuh. Letaknya di Surabaya sekarang,
yang mestinya masih disebut sebagai Ujung Surabaya sampai sekarang. Semua
anggota TNI AL pasti pernah mendengar Dermaga Ujung, Surabaya bukan?

Apa Galuhnya itu ada hubungan dengan Kerajaan Galuh di Jawa Barat? Wallahualam.

Balik saja lagi pada pembelahan kerajaan Airlangga... Bisa jadi, pembelahan ini adalah
set-back. Medang yang semula besar, dan bisa menyerbu Sriwijaya di seberang
lautan,.. dalam bentuk barunya bahkan merebut tahta Bali saja tidak bisa. Kemampuan
maritimnya merosot jauh. Tapi bisa juga, disebabkan karena pencerahan Airlangga
dalam pembangunan ekonomi dan sosial-budaya, masa konsolidasi ini merupakan
fondasi kuat, bagi munculnya kerajaan maritim nusantara besar periode berikutnya yaitu
Singasari-Majapahit.

Dalam hal benang merah dinastinya, sampai titik ini, kekuasaan di Jawa jadinya
tetaplah di jalur Wangsa Syailendra, yang notabene juga jadinya trah Tarumanagara.
Karena... sementara Jawa Tengah sampai Bali di tangan turunan Medang dan
menantu-menantunya, sisi barat juga masih di tangan turunan Sunda-Galuh, penerus
Tarumanagara, yang juga di satu titik sudah bersatu dengan Wangsa Sanjaya-
Syailendra seperti diceritakan di atas.

***

Mantapnya Budaya Nusantara

Bisa dikira-kira, di abad ke-11 itu, budaya mainstream nusantara, yang bertahan sampai
sekarang, sudah terbentuk dan mapan.

Stream pertama yang mewarnai mainstream nusantara adalah budaya Sunda. Ini
kebudayaan tua yang tetap eksis, besar, mengakar dalam, bahkan sampai Sriwijaya
runtuh. Dan Medang gonjang-ganjing. Bahkan bisa jadi, Sriwijaya itu terinspirasi dari
Sunda ini awalnya, mereka simplifikasi, terus jadi budaya Melaya yang lebih menyebar.

Stream kedua yang mewarnai mainstream nusantara adalah budaya Melayu. Bersama
meroket dan tenggelamnya Sriwijaya, budaya ini terus menyebar sporadik ke berbagai
tempat di nusantara. Dominan di Sumatra. Dominan di tempat yang kelak disebut
Semenanjung Malaka. Tapi di luar itu, dia sudah kemana-mana. Bahkan mungkin,
bahasa Melayu yang lebih simpel sudah menjadi lingua-franca. Kelak, Melayu ini
termodifikasi di banyak etnis di nusantara, ada yang modifikasinya relatif kelas ringan,
sampai modifikasi yang kelas berat seperti di Aceh, Malaya, Minangkabau, Sumut,
Jambi-Riau dan sekitarnya, Sumbagsel. Yang asli yang mana, itu menjadi tidak penting
lagi. Tapi intinya, benang merahnya ada dan kuat.

Stream ketiga yang mewarnai mainstream budaya nusantara adalah budaya Jawa.
Berbeda dari Sriwijaya di sisi baratnya Sunda yang melihat Sunda itu lalu
mensimplifikasi. Jawa ini.. yang berada di sebelah timurnya Sunda, setelah melihat
Sunda, malah dipercanggih, dibikin lebih sophisticated, lebih ruwet. Bahasanya
tingkatannya lebih banyak, dan seterusnya. Toh sukses juga menjadi besar, dan lebih
besar jumlah penuturnya daripada bahasa Melayu, cuma kalah menyebar.

Di luar tiga yang mainstream itu, mestinya sudah establish juga budaya-budaya unik
lain se-nusantara. Di antaranya yang sudah kita sebut Bali. Mirip Jawa, tapi totally
bukan Jawa. Lalu, yang lain-lain mungkin ada di Madura, Nusa Tenggara, Kalimantan,
Sulawesi, dan Indonesia Timur. Kecuali Bali yang punya ketahanan dan kegigihan
mempertahankan budaya yang luar biasa, mungkin yang lain, sepanjang jalan sejak
abad ke-11 ini masih mengalami terus mengalami evolusi-evolusi budaya.

Jadi begitulah, walau secara politis-kenegaraan di abad ke-11 nusantara malah kocar-
kacir terpecah-pecah lagi, tapi secara kematangan budaya kawasannya established,
mapan, ditopang oleh tiga mainstream kebudayaan besar yang sudah teruji oleh waktu,
dan diperindah lagi oleh banyak budaya-budaya unik lainnya yang tersebar ujung ke
ujung, dengan berbagai tingkat kemajuannya.
Kalau dibanding negeri-negeri lain, nusantara yang baru mantap abad ke-11 ini
mungkin terasa agak tertinggal, tapi kita bangsa Indonesia tidaklah perlu berkecil hati.
Karena Allah mengajarkan kepada kita, yang terbaik itu adalah yang khusnul khotimah.
Yang terbaik itu, adalah yang terakhirnya terbaik. Bukan yang di awalnya.

Ini sama saja seperti lomba lari marathon. "Waduh coy, dua kilo pertama gue leading..
posisi paling depan!" "Habis itu?" "Jatuh nyungsep..." "Nggak usah ngomong, deh."
Dalam berlomba-lomba yang seperti itu, startnya ketinggalan nggak apa, yang penting
kelak pas finishnya terbaik.

(ilmuiman.net / Selesai)

Anda mungkin juga menyukai