Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN

STUNTING PADA BALITA DI DESA SIOYONG KECAMATAN


DAMPELAS KABUPATEN DONGGALA TAHUN 2021

Proposal Penelitian

Oleh :
MOH. SHADDIQ
NIM : P07103119017

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan tinggi badan atau panjang

badan seorang anak dimana pertumbuhan tinggi badan tersebut tidak sesuai

seiring dengan bertambahnya usia. Stunting pada anak merupakan hasil

jangka panjang konsumsi yang bersifat kronis diet berkualitas rendah yang

dikombinasikan dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan masalah

lingkungan. Selain disebabkan oleh gizi buruk, faktor risiko lain penyebab

stunting menurut WHO ialah kejadian BBLR (Berat Badan Lahir Rendah),

riwayat pemberian ASI eksklusif, riwayat penyakit infeksi, kualitas dan

jumlah MP-ASI, dan praktik higiene. Stunting ini merupakan keadaan tidak

normal tubuh yang disebabkan oleh lebih dari satu faktor (multifaktor), yang

berarti dibutuhkan satu faktor utama dan faktor-faktor penyebab lainnya

untuk sampai terjadi stunting (Nindya 2017)

Data prevalensi balita stunting menurut World Health Organization

(WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi

tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-

rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%

(Kemenkes 2108).

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan

salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun

2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun
angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka

stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun 2017, lebih dari setengah

balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari

sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. 83,6 juta balita stunting di Asia,

proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling

sedikit di Asia Tengah 0,9% (Kemenkes 2108). Riskesdas 2018 menunjukan

adanya perbaikan pada status gizi balita di Indonesia. Proporsi stunting atau

balita pendek karena kurang gizi kronik turun dari 37,2% (riskesdas 2013),

menjadi 30,8% pada riskesdas 2018. Demikian juga proporsi status gizi buruk

dan gizi kurang dari 19,6% (riskesdas 2013) menjadi 17,7%.

Batasan World Health Organization (WHO) untuk stunting < 20% dan

di Indonesia hanya 7 (tujuh) Kabupaten/Kota yang prevalensi stuntingnya

kurang dari 20 % (yakni Kab. Wakatobi-Sultra, Klungkung-Bali, dan Tana

Tidung-Kaltara serta Kota Pangkalpinang-Babel, Tanjungpinang-Riau,

Salatiga-Jateng dan Bitung-Sulut (Kemenkes 2108)

Hasil data PSG (Pemantauan Status Gizi) tahun 2017 diperoleh

prevalensi stunting di Provinsi Sulawesi Tengah yaitu 36,1%. Sedangkan hasil

data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018, prevalensi stunting di

Provinsi Sulawesi tengah Mengalami penurunan yaitu 32,3%. Adapun

beberapa Kabupaten yang tercatat banyak ditemukan stunting di antaranya

Baggai Kepulauan, Donggala dan Morowali.

Hasil data Dinas Kabupaten Donggala pada tahun 2017, prevalensi

stunting di Kabupaten Donggala yaitu 8,4%, sedangkan pada tahun 2018


prevalensi stunting di Kabupaten Donggala mengalami kenaikan yaitu 24,2%.

Adapun beberapa daerah yang tercatat banyak ditemukan stunting di

antaranya Kecamatan tanantovea, Kecamatan Labuan dan Kecamatan

Pinembani.

Menurut Penelitian sebelumnya bahwa ternyata ada hubungan antara

jenis jamban dengan kejadian stunting pada balita (p = 0,000 ; OR = 0,286;

CI 95% 0,177 – 0,461). Proporsi jenis jamban yang menggunakan WC

cemplung pada kelompok kasus adalah 18 (40%), sementara pada kelompok

kontrol tidak ada lagi yang menggunakan WC cemplung. Dengan nilai OR

0,286 artinya balita yang tinggal di rumah dengan jenis jamban yang tidak

memenuhi syarat mempunyai risiko untuk mengalami stunting 0,3 kali lebih

besar dibandingkan balita yang tinggal dengan jenis jamban yang memenuhi

syarat.

Rumah balita yang mengalami stunting yang menggunakan WC

duduk leher angsa sebesar 40% sedangkan yang menggunakan WC cemplung

sebesar 60%. Hasil analisa statistik didapatkan nilai ρ sebesar 0,000 (< 0,05)

sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara kejadian stunting balita

dengan jenis jamban. Pada tabel.7 dapat dilihat bahwa dirumah balita yang

mengalami stunting yang menggunakan sumber air bersihnya dari PAM

sebesar 23% sedangkan yang menggunakan sumur sebesar 70%. Hasil analisa

statistik Pada aspek sanitasi lingkungan berdasarkan hasil analisis diperoleh

adanya hubungan yang bermakna antara jenis jamban yang digunakan dan

sumber air bersih. Jenis jamban yang tidak layak (bukan leher angsa)
mempunyai kecenderungan untuk menderita stunting 0,3 kali lebih tinggi

dibandingkan dengan balita yang mempunyai jamban yang layak.

Menurut Penelitian Sebelumnya ternyata ada hubungan antara sumber

air bersih dengan kejadian stunting pada balita (p = 0,001 ; OR = 0,130; CI

95% 0,041 - 0,412). Proporsi sumber air bersih dari PAM pada kelompok

kasus ada 7 rumah (23,2%), sementara pada kelompok kontrol ada 21 rumah

yang sudah menggunakan sumber air bersih dari PAM. Dengan nilai OR

0,130 artinya balita yang tinggal di rumah dengan sumber air bersih tanpa

pengolahan (air sumur) mempunyai risiko terjadinya untuk mengalami

stunting 0,13 kali lebih besar dibandingkan balita yang tinggal dengan sumber

air bersih yang sudah diolah.

Menurut hasil penelitian Ardiyanti. Besral (2014) menunjukkan

bahwa anak yang berasal dari keluarga dengan sumber air yang tidak

terlindung dan jenis jamban yang tidak layak mempunyai resiko untuk

menderita stunting 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang

berasal dari keluarga dengan sumber air terlindung dan jenis jamban yang

layak.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 87,9% responden yang

kebiasaan cuci tangannya kurang baik pada kelompok kasus sedangkan

terdapat 45,5% responden pada kelompok kontrol yang kebiasaan cuci

tangannya kurang baik. Proporsi kelompok kasus lebih tinggi 42,4%

responden yang kebiasaan cuci tangannya masih kurang baik daripada

kelompok kontrol. Hasil uji chi-square menunjukkan nilai p-value kebiasaan


cuci tangan terhadap kejadian stunting adalah 0,000. Hal ini menunjukkan

bahwa ada hubungan antara kebiasaan cuci tangan dengan kejadian stunting di

wilayah kerja Puskesmas Kotakulon Kabupaten Bondowoso. Responden

dengan kebiasaan cuci tangan yang kurang baik memiliki risiko 0,12 kali

balitanya mengalami stunting (Sinatrya dan Muniroh 2019)

Anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk (underweight)

berdasarkan pengukuran berat badan terhadap umur (BB/U) dan pendek atau

sangat pendek (stunting) berdasarkan pengukuran tinggi badan terhadap umur

(TB/U) yang sangat rendah dibanding standar WHO mempunyai resiko

kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient (IQ) sebesar 10-15

poin (Bappenas, 2011).

Kecamatan Dampelas merupakan wilayah Kabupaten Donggala yang

berada di Sulawesi Tengah dengan kejadian stunting pada bulan tahun 2021

dengan jumlah kasus stunting sebanyak 98 orang balita yang terdapat di Desa

Sioyong. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan petugas Puskesmas

setempat bahwa masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang

stunting dan penyebabnya.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti mengambil judul

“hubungan sanitasi lingkungan terhadap kejadian stunting pada balita di desa

sioyong kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala Tahun 2021 ” dengan

harapan apabila ditemukan permasalahan dapat ditangani sejak dini sehingga

tidak berdampak lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan sanitasi

lingkungan terhadap kejadian stunting pada balita di desa sioyong kecamatan

dampelas kabupaten donggala Tahun 2021 ?”.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian

stunting pada balita di Desa Sioyong Kecamatan Dampelas Kabupaten

Donggala.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan antara penyedian air bersih dengan kejadian

stunting pada balita di Desa Sioyong Kecamatan Dampelas

Kabupaten Donggala.

b. Mengetahui hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian

stunting pada balita di Desa Sioyong Kecamatan Dampelas

Kabupaten Donggala.

c. Mengetahui hubungan antara kebiasaan Cuci Tangan Pakai Sabun

(CTPS) dengan kejadian stunting pada balita di Desa Sioyong

Kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Instansi kesehatan


Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan dan pihak yang

terkait dalam mengambil kebijakan penanggulangan stunting pada balita

dan hubungan kejadian stunting pada balita.

2. Bagi Masyarakat/institusi

Memberikan masukan dalam memperkaya referensi/pustaka

tentang faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada

balita di Desa Sioyong Kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala.

3. Bagi Peneliti

Sebagai tambahan pengalaman, pengetahuan dan wawasan bagi

peneliti tentang hubungan dengan kejadian stunting pada balita di Desa

Sioyong Kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala.

Anda mungkin juga menyukai