Anda di halaman 1dari 6

JURNAL KESEHATAN – VOLUME 11 NOMOR 3 (2020) 351 - 355

Available online at : http://ejurnal.stikesprimanusantara.ac.id/

Jurnal Kesehatan
| ISSN (Print) 2085-7098 | ISSN (Online) 2657-1366 |

Artikel Penelitian

PREVALENSI STUNTING DAN HUBUNGANNYA DENGAN SOSIAL


EKONOMI
Agung Sutriyawan1 , Ratna Dian Kurnaiwati2 , Ricky Hanjani3, Sri Rahayu4
1,2,3,4
Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat, Universitas Bhakti Kencana Bandung, Jawa Barat, Indonesia

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T
Received: August 31, 2020 Latar Belakang: Permasalahan gizi pada balita balita masih menjadi nomor satu di wilayah
Revised: Oktober 12, 2020 dunia, seperti halnya stunting. Saat ini prevalensi stunting di Jawa Barat masih cukup tinggi
yaitu 31,1% dengan salah satu penyumbang terbanyak adalah Puskesmas Citarip. Tingginya
Accpeted: Oktober 14, 2020
prevalensi stunting salah satunya disebabkan dari kemampuan keluarga memenuhi gizi pada
Available online: November 01, 2020 anaknya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi stunting dan hubungannya
dengan sosial ekonomi.
KEYWORDS Metode: Jenis penelitian yang digunakan adalah studi analitik dengan desain cross sectional.
Lokasi penelitian di wilayah kerja Puskesmas Citarip Kota Bandung. Sampel dalam penelitian
Stunting; Sosial Ekonomi; Prevalensi sebanyak 1441 responden, menggunakan teknik total sampel. Data yang dikumpulkan adalah
data sekunder yang diambil dari Puskesmas. Analisis data menggunakan regresi logistik biner.
Hasil: Hasil analisis data menunjukkan prevalensi stunting sebesar 18,2% dan ada hubungan
CORRESPONDENCE sosial ekonomi dengan kejadian stunting (p = 0,000) OR= 2,065 (1,574-2,708)
Simpulan: Prevalensi stunting di wilayah kerja Puskesmas Citarip lebih tinggi di Kelurahan
Agung Sutriyawan
Kopo. Ada hubungan sosial ekonomi dengan kejadian stunting, dengan besaran peluang sebesar
E-mail: agung.epid@gmail.com 2 x lebih besar pada balita dengan sosial ekonomi termasuk golongan miskin

Background: Nutrition problems in toddlers are still number one in the world, as is stunting.
Currently, the prevalence of stunting in West Java is still quite high at 31.1% with one of the
most contributors being Puskesmas Citarip. The high prevalence of stunting is partly due to the
family's ability to meet nutrition in their child.
Objective: This study aims to find out the prevalence of stunting and its relationship to
socioeconomic.
Method: The type of research used is an analytical study with a cross-sectional design.
Research site in the working area of Citarip Health Center, Bandung. The sample in the study
was 1441 respondents, using the total sample technique. The data collected is secondary data
taken from Puskesmas. Data analysis uses binary logistics regression.
Result: The data analysis showed a stunting prevalence of 18.2% and there was a
socioeconomic relationship with stunting events (p = 0.000) OR= 2,065 (1,574-2,708)
Conclusion: The prevalence of stunting in the working area of Citarip Health Center is higher
in Kopo Village. There is a socioeconomic relationship with stunting events, with twice as many
opportunities in toddlers with socio-economic including the poor

dan pendidikan ibu, lahir prematur dan panjang lahir, ASI eksklusif
PENDAHULUAN selama 6 bulan, dan status sosial ekonomi rumah tangga. Selain itu
Permasalahan gizi pada balita balita masih menjadi nomor penggunaan air bersi, anak dari masyarakat pedesaan sangat rentan
satu di wilayah dunia, diantaranya stunting, wasting dan terhadap stunting, anak laki-laki jauh lebih mungkin mengalami
overweight.[1] Stunting patut mendapat perhatian lebih karena stunting dibandingkan anak perempuan di seluruh Indonesia.[6]
berdampak pada kehidupan anak sampai tumbuh besar, terutama Tercapainya target prevalensi stunting World Health
risiko perkembangan fisik dan kognitif apabila tidak segera Assembly (WHA) memastikan menurunnya angka stunting pada
ditangani dengan baik.[2] Stunting merupakan masalah yang tahun 2015 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yaitu
kompleks, beberapa peneliti menyebutkan bahwa terjadinya eliminasi semua bentuk kekurangan gizi pada tahun 2030.[7]
stunting pada anak berfokus pada kekurangan gizi pada anak,[3] Pemerintah menetapkan stunting sebagai salah satu program
kekurangan gizi pada ibu,[4] dan keamanan pangan.[5] Penyebab prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39
umum kejadian stunting pada anak di Indonesia adalah tinggi badan Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia

DOI: http://dx.doi.org/10.35730/jk.v11i3.636 Jurnal Kesehatan is licensed under CC BY-SA 4.0


© Jurnal Kesehatan
SUTRIYAWAN, A, ET AL/ JURNAL KESEHATAN - VOLUME 11 NOMOR 3 (2020) 351 - 355

Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk UPT Puskesmas Citarip. Jumlah kasus stunting pada pada tahun
menurunkan prevalensi stunting pada balita, diantaranya 2019 sebanyak 746 kasus. Berdasarkan pernyataan pemegang
pemantauan pertumbuhan balita, menyelenggarakan kegiatan program gizi di UPT Puskesmas Citarip, kejadian stunting
Pemberian Makanan Tambahan (PMT), menyelenggarakan mengalami memang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya.
stimulasi dini perkembangan balita dan memberikan pelayanan Tetapi masih termasuk 3 besar dari kasus stunting yang ada di Kota
kesehatan yang optimal.[8] Bandung. Tingginya kasus stunting juga disebabkan karena kurang
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) mampunya keluarga memenuhi kebutuhan gizi pada anak. UPT
menjelaskan bahwa pada tahun 2018 terdapat 21,9% balita dibawah Pusesmas Citarip merupakan salah satu Puskesmas yang berada di
lima tahun (balita) didunia mengalami stunting. Lebih dari pusat Kota, dengan tingkat perekonomian masyarakat menengah
setengahnya balita stunting berasal dari Asia. Proporsi balita keatas. Berdasarkan uraian masalah di atas maka peneliti tertarik
stunting di Indonesia tertinggi kedua yaitu sebesar 36,4%.[1] melakukan penelitian tentang prevalensi stunting dan hubungannya
Prevalensi stunting di Indonesia menurut Riset Kesehatan Dasar dengan sosial ekonomi di di wilayah kerja Puskesmas Citarip Kota
2018 sebesar 30,8% terjadi penurunan dari tahun 2013. Prevalensi Bandung yaitu Kelurahan Kopo dan Suka Asih.
stunting di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi kejadian
permasalahan gizi pada balita lainnya seperti gizi buruk, gizi stunting dan hubungannya dengan sosial ekonomi di wilayah kerja
kurang gizi kurus dan kegemukan. Proporsi balita stunting di Puskesmas Citarip Kota Bandung.
Indonesia tertinggi di Nusa Tenggara Timur (42,6%), Sulawesi
Barat (41,6%) dan Aceh (37,1%). Prevalensi stunting Jawa Barat METODE
sebesar 31,1%.[9]
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi analitik
Penelitian Siringoringo, dkk mengemukakan bahwa faktor
dengan desain cross sectional. Desain ini digunakan untuk
yang mempengaruhi kejadian stunting pada balita adalah usia,
menggambarkan prevalensi stunting dan hubungan sosial ekonomi
panjang badan lahir, tingkat kecukupan protein, karbohidrat,
dengan kejadian stunting. Populasi dalam penelitian ini adalah
vitamin A, kalsium, zinc dan zat besi. Tingkat kecukupan protein
seluruh balita yang tinggal di wilayah kerja puskemas Citarip
merupakan faktor utama penyebab stunting pada anak.[10]
sebanyak 1441 balita. Teknik sampel yang digunakan adalah total
Penelitian lain yang dilakukan di Puskesmas Citarip menunjukan
sampling, dimana sampel terdiri dari 2 kelurahan. Instrumen dalam
bahwa faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting adalah
penelitian ini adalah lembar observasi. Data yang dikumpulkan
pengetahuan ibu, pemberian ASI ekslusif dan sanitasi dasar.
adalah data sekunder, dimana data tersebut dikumpulkan oleh
Sanitasi dasar merupakan faktor dominan yang berhubungan
pemegang program gizi pada saat penimbangan balita di seluruh
dengan kejadian stunting.[2] Sanitasi erat hubungannya dengan
posyandu pada bulan februari 2020. Dari hasil data tersebut
sosial ekonomi, dimana hygiene lingkungan yang tidak terjaga akan
kemudian peneliti melakukan memisahkan data yang lengkap dan
menyebabkan penyakit infeksi seperti diare.[11] Penelitian lain
yang tidak lengkap. Kemudian data yang lengkap tersebut akan
menyatakan bahwa sosial ekonomi mempengaruhi kejadian
dilakukan proses pengolahan data untuk memisahakan data balita
stunting. Balita dengan pendapatan keluarga rendah lebih berisiko
dengan golongan umur 13 – 60 bulan. Analisis yang digunakan
menderita stunting.[12] [13]
adalah analisis univariat yaitu untuk mengetahui jenis kelamin,
Kemiskinan salah satu penyebab tingginya masalah
golongan umur, sosial ekonomi dan prevalensi stunting di
stunting pada balita. Keluarga yang mempunyai keterbatasan
kelurahan Kopo dan Kelurahan Jati Asih. Dalam analisa ini hanya
ekonomi atau termasuk dalam ekonomi miskin akan mengalami
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari setiap
kesulitan dalam pemenuhan bahan pangan rumah tangga. Hal ini
variabel. Analisis selanjutnya menggunakan regresi logistik untuk
jika berlangsung lama dan terus menerus berdampak terhadap
mengetahui hubungan jenis kelamin, umur, dan sosial ekonomi
pertumbuhan anak, sehingga anak tersebut mengalami stunting.[14]
dengan kejadian stunting.
Berdasarkan data Dinas kesehatan Kota Bandung,
prevalensi kejadian stunting sebesar 25,8%. Kasus tertinggi di
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecamatan Batununggal, Bandung Kulon, Cibiru dan Bojongloa
Tabel 1. Prevalensi Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas
Kaler. Jumlah kasus stunting di Kecamatan Bojongloa Kaler. Citarip Kota Bandung
Sebagian kelurahan yang ada di Kecamatan Bojongloa Kaler Kelurahan
Total
Stunting Kopo Suka Asih
termasuk dalam wilayah kerja UPT Pusesmas Citarip yaitu yaitu n % n % n %
Kelurahan Kopo dan Suka Asih. Survey awal yang dilakukan di Stunting 155 20,9 107 15,3 262 18,2
352 Sutriyawan, A, Et Al DOI: http://dx.doi.org/10.35730/jk.v11i3.636
SUTRIYAWAN, A, ET AL/ JURNAL KESEHATAN - VOLUME 11 NOMOR 3 (2020) 351 - 355

Tidak stunting 588 79,1 591 84,7 1179 81,8 Non gakin 384 51,7 516 73,9 900 62,5
Total 743 100 698 100 1441 100 Total 743 100 698 100 1441 100

Hasil studi menunjukan prevalensi stunting di wilayah kerja


Hasil studi menunjukan bahwa berdasarkan jenis kelamin
Puskesmas Citarip sebesar 18,2%. Prevalensi di Kelurahan Kopo
lebih dari setengan balita berjenis kelamin perempuan (51,5%).
sebesar 20,9% dan kelurahan Suka Asih sebesar 15,3%.
Berdasarkan golongan umur, lebih dari seperempat balita berumur
Kejadian stunting di wilayah kerja Puskesmas Citarip lebih
< 24 bulan (30,1%). Berdasarkan sosial ekonomi sebagian besar
rendah dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 152 balita
non gakin (62,5%).
yang dikategorikan sangat pendek dan 312 balita pendek.[2]
Penelitian ini menggunakan data skunder yang tersedia di
Table 3. Regresion Logistik Kejadian Stunting Berdasarkan
Puskesmas. Data diambil berdasarkan laporan posyandu pada Karakteristik Responden dan Sosial Ekonomi
P-
februari 2020. Besar kemungkinan bahwa tidak semua balita ikut Karakteristik OR CI 95%
Value
ditimbang pada periode tersebut. Prevalensi pada studi kami lebih
Jenis Kelamin (P) 0,278 0,860 0,655 1,129
tinggi dari stuidi yang dilakukan di Peru, diperoleh prevalensi
Umur (25 – 36) 0,559 1,127 0,755 1,680
stunting sebesar 15,9%.[15]
Umur (37 – 48) 0,425 1,182 0,783 1,785
Balita pendek atau stunting menggambarkan adanya Umur (49 – 60) 0,428 1,184 0,780 1,796
masalah gizi kronis pada anak, hal ini dapat dipengaruhi oleh Sosial Ekonomi (Gakin) 0,000 2,065 1,574 2,708
kondisi ibu atau calon ibu, masa janin dan masa bayi/balita, * Signifikansi < 0,05
termasuk penyakit yang diderita. Seperti masalah gizi lainnya, tidak
hanya terkait masalah kesehatan, namun juga dipengaruhi berbagai Studi ini tidak membuktikan adanya hubungan jenis
kondisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan kelamin dengan kejadian stunting. Tidak adanya hubungan antara
anak. jenis kelamin dnegan kejadian stunting, besar kemungkinan
Stunting merupakan kondisi seorang anak yang memiliki disbebkan karena responden dalam penelitian ini hampir sama
tinggi badan lebih rendah dari anak seusianya. Pertumbuhan yang antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Peneliti menyakini
gagal ini disebabkan akibat malnutrisi yang berlangsung cukup bahwa balita laki-laki sebenarnya lebih rentan mengalami stunting
lama, kerusakan yang terjadi akhirnya mengakibatkan anak gagal karena, balita laki-laki biasanya lebih aktif daripada balita
berkembang. Pemberian makan yang kurang tepat dapat perempuan, balita laki-laki lebih sering bermain di luar rumah
mengakibatkan banyak anak menderita kurang gizi, dimana gagal dibandingkan balita perempuan, seperti berlarian, sehingga mereka
tumbuh atau growth faltering pada anak, ketika bayi yang diberikan lebih mudah terpapar dengan lingkungan yang kotor dan lebih
makanan tambahan pada usia 4-6 bulan, keadaan ini terus banyak menghabiskan energi, sementara asupan energinya terbatas.
memburuk sampai usia 18-24 bulan, gizi kurang pada balita Jenis kelamin menentukan besarnya kebutuhan gizi bagi
merupakan masalah kesehatan masyarakat diberbagai negara, seseorang sehingga terdapat keterkaitan antara status gizi dan jenis
termasuk Indonesia.[16] kelamin.Perbedaan besarnya kebutuhan gizi tersebut dipengaruhi
karena adanya perbedaan komposisi tubuh antara laki-laki dan
Table 2. Karakteristik Balita dan Sosial Ekonomi di Wilayah perempuan.Sehingga jumlah asupan yang harus dikonsumsi pun
Kerja Puskesmas Citarip Kota Bandung
Kelurahan lebih banyak.[17] Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian
Total
Karakteristik Kopo Suka Asih sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan antara
n % n % n % jenis kelamin dengan kejadian stunting.[18],[19],[20]
Jenis Kelamin
Studi ini tidak dapat membuktikan bahwa golongan umur ≤
Laki-Laki 378 50,9 321 46,0 699 48,5
Perempuan 365 49,1 377 54,0 742 51,5 24 bulan lebih berisiko menderita stunting dibandingkan dengan
Umur golongan umur > 24 bulan. Hasil penelitian ini sejalan dengan
< 24 bulan 223 30,0 211 30,2 434 30,1 beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa umur
25 – 36 bulan 194 26,1 194 27,8 388 26,9 tidak berhubungan dengan kejadian stunting.[21],[18]
37 – 48 bulan 202 27,2 170 24,4 372 25,8 Proporsi masalah stunting lebih besar pada umur kurang
49 – 60 bulan 124 16,7 123 17,6 247 17,1
dari 24 bulan. Idealnya seorang mendapatkan ASI ekslusif sampai
Sosial Ekonomi
umur usia 6 bulan, kemudian balita ini akan mengalami
Gakin 359 48,3 182 26,1 541 37,5
pertumbuhan pesat baik berat badan maupun tinggi badan. Setelah

DOI: http://dx.doi.org/10.35730/jk.v11i3.636 Sutriyawan, A, Et Al 353


SUTRIYAWAN, A, ET AL/ JURNAL KESEHATAN - VOLUME 11 NOMOR 3 (2020) 351 - 355

usia 6 bulan ke atas, balita mulai mendapat Makanan Pendamping memenuhi asupan gizi anak. Keluarga dengan sosial ekonomi
ASI (MP-ASI) akan mulai bertambah perkembangan motorik tinggi dihubungankan juga dengan kekampuan menggunakan
kasarnya. Sehingga anak membutuhkan zat gizi lebih banyak. fasilitas kesehatan yang lebih baik seperti akses ke perawatan
Beberapa permasalahan yang umumnya, diantaranya balita susah kesehatan dan obat-obatan, sehingga dapat mencegah terjadinya
makan dibarengi dengan kualitas dan kuantitas ASI yang semakin stunting.[6] Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa
berkurang dengan bertambahnya umur anak. Sehingga sampai usia faktor risiko kejadian stunting adalah asupan gizi yang
24 bulan bisa dianggap sebagai masa adaptasi untuk dapat kurang.[27],[3]. Selain itu sosial ekonomi juga dikaitkan dengan
mengkonsumsi makanan yang sesuai dengan zat gizi. Pada usia 24 kemampuan keluarga untuk memperoleh sanitasi yang baik.
bulan ke atas balita akan mulai mampu melahap makanan lebih Tingkat pendapatan keluarga berpengaruh terhadap fasilitas yang
banyak. Oleh karena itu masalah gizi termasuk stunting tidak diperoleh. Apabila tingkat pendapatan tinggi, maka fasilitas
banyak dialami oleh anak usia >24 bulan.[18] kesehatan khususnya didalam rumah akan terjamin, seperti
Studi ini membuktikan bahwa sosial ekonomi berhubungan kepemilikan jamban sehat dan sarana air bersih.[28] Jika kondisi
dengan kejadian stunting. Pendapatan keluarga akan meningkatkan sanitasi seperti jamban sehat dan air besih tidak terpenuhi, hal ini
peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang dapat mengakibatkan kerentanan terhadap penyakit infeksi.
lebih baik secara kualitas maupun kuantitas.[12] Pada studi ini Penyakit infeksi seperti diare erat hubungannya dengan kondisi
diketahui bahwa balita dengan sosial ekonomi gakin berpeluang lingkungan.[31] Sedangkan penyakit Infeksi seperti diare dan
mengalami stunting 2 kali lebih besar dibandingkan dengan balita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) juga merupakan faktor
dengan sosial ekonomi non gakin. Penelitian ini sejalan dengan risiko stunting.[30] Penelitian sebelumnya yang dilakukan di
beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa sosial Indonesia juga menyebutkan bahwa sosial ekonomi merupakan
ekomoni berhubungan dengan kejadian stunting.[22],[23],[24] pengaruh tidak lansung dengan kejadian stunting.[29]
Untuk memenuhi kebutuhan gizi pada anak tentu
membutuhkan biaya yang cukup besar, jika keluarga yang tidak SIMPULAN
dapat membeli kebutuhan nutrisi pada anak, besar kemungkinan
Prevalensi stunting di wilayah kerja Puskesmas Citarip
anak akan mengalami stunting. Daya beli terhadap makanan bergizi
sebesar 18,2%. Ada hubungan sosial ekonomi dengan kejadian
sangat dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, karena dalam
stunting (p=0,000) dan OR 95% CI = 2,065 (1,574-2,708), yang
menentukan beragam jenis pangan yang akan dibeli bergantung
artinya balita dengan status ekonomi termasuk dalam golongan
pada tinggi rendahnya penghasilan. Daya beli pangan sebuah
gakin peluang 2 x lebih besar mengalami stunting dibandingkan.
keluarga mengikuti tingkat pendapatan keluarga. Dengan
pendapatan yang tinggi besar kemungkinan terpenuhinya
TERIMA KASIH
kebutuhan makanan seluruh anggota keluarganya. Namun
Peneliti mengucapkan terimaksih kepada Puskesmas
sebaliknya tingkat pendapatan keluarga yang rendah dapat juga
Citarip Kota Bandung atas berkenannya memberikan ijin dalam
mengakibatkan rendahnya daya beli pangan rumah tangga. Daya
penelitian ini dan membantu dalam tabulasi data. Peneliti juga
beli terhadap bahan pangan yang rendah dapat mengakibatkan
ingin mengucapkan terimakasih kepada LPPM Universitas Bhakti
kurang terpenuhinya kebutuhan zat gizi pada anak.[25]
Kencana yang sudah membiayai penitian ini.
Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
Khairani & Effendi yang menyatakan tidak ada hubungan antara
DAFTAR PUSTAKA
tingkat pendapatan dengan kejadian stunting. Jika pendapatan tidak
diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi bagi [1] W. H. Organization, “UNICEF/WHO/The World Bank
anaknya, maka status gizi anak tidak akan baik. Selain itu, faktor Group joint child malnutrition estimates: levels and trends
in child malnutrition: key findings of the 2020 edition,”
pendapatan dari ibu bekerja juga dapat mempengaruhi kejadian 2020.
stunting karena pendapatan keluarga akan semakin besar dan dapat
[2] A. Sutriyawan and C. C. Nadhira, “Kejadian Stunting Pada
memenuhi kebutuhan gizi balita dengan lebih baik.[26] Balita Di Upt Puskesmas Citarip Kota Bandung,” J.
Kami tidak melihat besaran proporsi kejadian stunting pada Kesmas (Kesehatan Masyarakat) Khatulistiwa, vol. 7, no.
2, pp. 79–88, 2020.
responden dengan sosial ekonomi golongan gakin maupun non
gakin, tetapi Kami menyakini bahwa sosial ekonomi berhubungan [3] O. Cumming and S. Cairncross, “Can water, sanitation and
hygiene help eliminate stunting? Current evidence and
tidak lansung dengan kejadian stunting. Sosial ekonomi yang policy implications,” Matern. Child Nutr., vol. 12, pp. 91–
rendah dihubungkan dengan kemampuan keluarga untuk 105, 2016.

354 Sutriyawan, A, Et Al DOI: http://dx.doi.org/10.35730/jk.v11i3.636


SUTRIYAWAN, A, ET AL/ JURNAL KESEHATAN - VOLUME 11 NOMOR 3 (2020) 351 - 355

dan Jenis Kelamin di Kota Semarang,” Proceeding of The


[4] R. E. Black et al., “Maternal and child undernutrition and URECOL, pp. 834–838, 2018.
overweight in low-income and middle-income countries,”
Lancet, vol. 382, no. 9890, pp. 427–451, 2013. [19] B. Rahayu and S. Darmawan, “Hubungan karakteristik
[5] R. Gross, H. Schoeneberger, H. Pfeifer, and H.-J. Preuss, balita, orang tua, higiene dan sanitasi lingkungan terhadap
“The four dimensions of food and nutrition security: stunting pada balita,” Binawan Student J., vol. 1, no. 1, pp.
definitions and concepts,” SCN News, vol. 20, no. 20, pp. 22–27, 2019.
20–25, 2000.
[20] R. Tsaralatifah, “Faktor yang Berhubungan dengan
[6] T. Beal, A. Tumilowicz, A. Sutrisna, D. Izwardy, and L. Kejadian Stunting pada Baduta di Kelurahan Ampel Kota
M. Neufeld, “A review of child stunting determinants in Surabaya,” Amerta Nutr., vol. 4, no. 2, pp. 171–177, 2020.
Indonesia,” Matern. Child Nutr., vol. 14, no. 4, p. e12617,
2018. [21] S. Wahdah, M. Juffrie, and E. Huriyati, “Faktor risiko
kejadian stunting pada anak umur 6-36 bulan di wilayah
[7] TNPPK, “100 kabupaten/kota prioritas untuk intervensi pedalaman kecamatan silat hulu, Kapuas hulu, Kalimantan
anak kerdil (stunting),” Jakarta Tim Nas. Percepatan barat,” J. Gizi dan Diet. Indones. (Indonesian J. Nutr.
Penanggulangan Kemiskin., 2017. Diet., vol. 3, no. 2, pp. 119–130, 2016.

[8] Kemenkes RI, “Situasi Balita Pendek (Stunting) di [22] B. Aramico, T. Sudargo, and J. Susilo, “Hubungan sosial
Indonesia,” Kementrian Kesehat. Republik Indones., pp. ekonomi, pola asuh, pola makan dengan stunting pada
1–13, 2018. siswa sekolah dasar di Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten
Aceh Tengah,” J. Gizi dan Diet. Indones. (Indonesian J.
[9] Kemenkes RI, “Hasil utama RISKESDAS 2018,” Nutr. Diet., vol. 1, no. 3, pp. 121–130, 2016.
Kementrian Kesehat. Republik Indones., vol. 20, 2018.
[23] H. Wamani, A. N. Åstrøm, S. Peterson, J. K. Tumwine,
[10] E. T. Siringoringo, A. Syauqy, B. Panunggal, R. Purwanti, and T. Tylleskär, “Boys are more stunted than girls in sub-
and N. Widyastuti, “Karakteristik Keluarga Dan Tingkat Saharan Africa: a meta-analysis of 16 demographic and
Kecukupan Asupan Zat Gizi Sebagai Faktor Risiko health surveys,” BMC Pediatr., vol. 7, no. 1, p. 17, 2007.
Kejadian Stunting Pada Baduta,” J. Nutr. Coll., vol. 9, no.
1, pp. 54–62, 2020. [24] A. Nurmayasanti and T. Mahmudiono, “Status Sosial
Ekonomi dan Keragaman Pangan Pada Balita Stunting dan
[11] A. Suyanto, “Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga Non-Stunting Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja
Dan Kondisi Sanitasi Lingkungan Dengan Pertumbuhan Puskesmas Wilangan Kabupaten Nganjuk,” Amerta Nutr.,
Balita Di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2001-2002.” vol. 3, no. 2, pp. 114–121, 2019.
program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2004.
[25] R. K. Illahi, “Hubungan pendapatan keluarga, berat lahir,
[12] R. D. Ngaisyah, “Hubungan sosial ekonomi dengan dan panjang lahir dengan kejadian stunting balita 24-59
kejadian stunting pada balita di Desa Kanigoro, Saptosari, bulan di Bangkalan,” J. Manaj. Kesehat. Yayasan RS. Dr.
Gunung Kidul,” Med. Respati J. Ilm. Kesehat., vol. 10, no. Soetomo, vol. 3, no. 1, pp. 1–7, 2017.
4, 2015.
[26] N. Khairani and S. U. Effendi, “Family characteristics as
[13] A. H. A. L. Rahmad and A. Miko, “Kajian stunting pada risk factors of stunting among children age 12-59 month,”
anak balita berdasarkan pola asuh dan pendapatan J. Aisyah J. Ilmu Kesehat., vol. 4, no. 2, pp. 119–130,
keluarga di Kota Banda Aceh,” Kesmas Indones. J. Ilm. 2019.
Kesehat. Masy., vol. 8, no. 2, pp. 63–79, 2016.
[27] W. Lestari, A. Margawati, and Z. Rahfiludin, “Faktor
[14] I. C. Kleynhans, U. E. MacIntyre, and E. C. Albertse, risiko stunting pada anak umur 6-24 bulan di kecamatan
“Stunting among young black children and the socio- Penanggalan Kota Subulussalam Provinsi Aceh,” J. Gizi
economic and health status of their mothers/caregivers in Indones. (The Indones. J. Nutr., vol. 3, no. 1, pp. 37–45,
poor areas of rural Limpopo and urban Gauteng–the 2014.
NutriGro Study,” South African J. Clin. Nutr., vol. 19, no.
4, pp. 163–172, 2006. [28] F. Novitry and R. Agustin, “Determinan Kepemilikan
Jamban Sehat di Desa Sukomulyo Martapura Palembang,”
[15] A. Chávez-Zárate, J. L. Maguiña, A. D. Quichiz-Lara, P. Aisyah J. Ilmu Kesehat., vol. 2, no. 2, p. 217397, 2018.
E. Zapata-Fajardo, and P. Mayta-Tristán, “Relationship
between stunting in children 6 to 36 months of age and [29] N. K. Aryastami, A. Shankar, N. Kusumawardani, B.
maternal employment status in Peru: A sub-analysis of the Besral, A. B. Jahari, and E. Achadi, “Low birth weight was
Peruvian Demographic and Health Survey,” PLoS One, the most dominant predictor associated with stunting
vol. 14, no. 4, p. e0212164, 2019. among children aged 12–23 months in Indonesia,” BMC
Nutr., vol. 3, no. 1, p. 16, 2017.
[16] U. P. Khodijah, S. ST, E. Sari, and A. Keb, “Gambaran
Pemberian Asi Eksklusif Pada Balita Stunting Di Desa [30] R. Nasikhah and A. Margawati, “Faktor risiko kejadian
Sukahayu Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang stunting pada balita usia 24–36 bulan di Kecamatan
Tahun 2018,” in Jurnal Seminar Nasional, 2020, vol. 2, Semarang Timur.” Diponegoro University, 2012.
no. 01, pp. 26–33.
[17] C. A. Febriani, A. A. Perdana, and H. Humairoh, “Faktor [31] F. Tambuwun, A. Y. Ismanto, and W. Silolonga, “1
kejadian stunting balita berusia 6-23 bulan di Provinsi Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare
Lampung,” J. Dunia Kesmas, vol. 7, no. 3, 2018. Pada Anak Usia Sekolah Di Wilayah Kerja Puskesmas
Bahu Manado,” J. Keperawatan, vol. 3, no. 2, 2015
[18] V. A. V. Setyawati, “Kajian Stunting Berdasarkan Umur
DOI: http://dx.doi.org/10.35730/jk.v11i3.636 Sutriyawan, A, Et Al 355
DOI: http://dx.doi.org/10.35730/jk.v11i3.636 Jurnal Kesehatan is licensed under CC BY-SA 4.0
© Jurnal Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai