Anda di halaman 1dari 11

MODUL BASIC SURGICAL SCIENCE

SELF-LEARNING REPORT

CASE STUDY 2

Komplikasi Ekstraksi 1

Tutor:
drg. Fani Tuti Handayani, M.MedEd, Sp.Ort

Disusun oleh:
Syerihan
G1B019024

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

JURUSAN KEDOKTERAN GIGI

PURWOKERTO

2021
A. Komplikasi selama tindakan/prosedur ekstraksi
1. Fraktur atau luksasi pada gigi yang berdekatan
Fraktur pada gigi yang berdekatan dengan karies besar atau restorasi besar
merupakan komplikasi yang umum terjadi pada saat tindakan ekstraksi. Luksasi
atau dislokasi gigi yang berdekatan terjadi ketika tekanan yang besar dikeluarkan
ketika operator melakukan luksasi, terutama apabila gigi yang berdekatan dijadikan
titik tumpu luksator (Fragiskos, 2007).
Perawatan: gigi yang goyang distabilisasi, dapat menggunakan splint, selama 40
hingga 60 hari. Apabila pasien masih merasakan nyeri, gigi tersebut harus
dilakukan perawatan endodontik. Apabila gigi mengalami dislokasi, gigi harus
distabilisasi selama 3 hingga 4 minggu (Fragiskos, 2007).
2. Luka pada jaringan lunak
Luka pada jaringan lunak saat dilakukan ekstraksi terjadi karena operator kurang
terampil atau kurang hati-hati dalam memanipulasi instrument ekstraksi, misal
elevator meleset saat digunakan. Jaringan yang sering terluka adalah pipi, palatum,
dan area retromolar. Luka yang paling sering terjadi adalah sobeknya flap pada
tindakan ekstraksi dikarenakan flap tidak adekuat ukurannya sehingga robek ketika
ditarik melebihi batas kemampuan jaringan. Luka karena elevator dapat terjadi pada
sudut mulut dan bibir karena tekanan yang berkepanjangan dan berlebihan saat
ekstraksi gigi posterior, terutama pada pasien dengan pembukaan mulut yang
sempit (Fragiskos, 2007).
Tanda dan gejala: terdapat luka berupa abrasi pada sudut bibir, flap yang robek,
dan luka tusukan.
Faktor yang berkaitan: pengetahuan operator yang kurang mengenai mukosa
mulut, instrument yang meleset pada jaringan, penekanan elevator yang berlebih
dan berkepanjangan.
Perawatan: flap yang robek dapat dicegah dengan membuat flap dengan lebar
adekuat dan meretraksi dengan daya kecil. Luka terbuka segera dijahit. Luka abrasi
pada sudut mulut atau bibir dapat diberi Vaseline atau antibiotic topical.
(Fragiskos, 2007;Ruslin & Poedjiastoeti, 2019)
A B

Gambar 1.1 A. Luka pada posterior palatum karena elevator meleset, luka dijahit
B. Luka pada sudut bibir saat ekstraksi gigi M3 rahang bawah yang impaksi
(Fragiskos, 2007)
3. Fraktur tulang alveolar
Komplikasi ini dapat terjadi apabila gerakan ekstraksi terlalu mendadak dan
canggung. Dapat pula terjadi dengan adanya ankilosis pada gigi di dalam tulang
alveolar. Fraktur tulang alveolar paling sering terjadi pada ekstraksi gigi caninus,
terutama ketika tulang menjadi rapuh karena trauma atau setelah dilakukan
ekstraksi gigi insisivus lateral atau premolar pertama sebelumnya.
Perawatan:
• Apabila bagian tulang yang patah kecil, tulang tersebut diabil menggunakan
tang dan tulang yang tersis dihaluskan. Lalu, irigasi area ekstraksi menggunakan
saline dan luka dijahit.
• Apabila tulang yang patah masih menyatu dengan jaringan lunak, tulang
tersebut dapat dibiarkan dengan cara stabilisasi dan penjahitan
mucoperiosteum.
(Fragiskos, 2007)
4. Fraktur tulang mandibula
Jarang terjadi, paling sering melibatkan ekstraksi gigi molar ketiga rahang bawah
yang impaksi. Fraktur mandibula dapat terjadi ketika; (1) tekanan terlalu besar saat
menggunakan elevator, (2) jalur pengeluaran gigi impaksi tidak dibuat dengan
adekuat, (3) saat ekstraksi gigi impaksi yang dalam, (4) pada impaksi dengan
cengkeraman yang kuat pada tulang, (5) gigi dengan ankilosis.
Perawatan: ketika fraktur terjadi saat ekstraksi, gigi yang sedang diektraksi harus
dihilangkan terlebih dahulu sebelum lanjut ke tindakan lain untuk menghindari
terjadinya infeksi pada garis fraktur. Lalu, tergantung pada kasusnya, dapat
dilakukan stabilisasi menggunakan fiksasi intermaksila atau rigid internal fixation
pada segmen tulang rahang selama 4 hingga 6 minggu dan pasien diberi antibiotic
(Fragiskos, 2007).
Gambar 1.2 Fraktur pada angulus mandibula karena tekanan terlalu besar saat
luksasi gigi M3 yang impaksi dan tulang di sekitar mahkota tidak dihilangkan
dengan cukup (Fragiskos, 2007)
5. Fraktur tuberositas maksilaris
Fraktur pada tuberositas maksilaris merupakan komplikasi yang berat, dimana
tergantung pada keparahannya, dapat mempersulit retensi full denture di masa
depan. Komplikasi ini dapat terjadi ketika ekstraksi gigi posterior atas.
Faktor yang berkaitan:
• Pelemahan tulang tuberositas maksilaris karena pneumatisasi sinus maksilaris
ke dalam tulang alveolar
• Ankilosis pada molar atas yang menyulitkan ekstraksi karena resistensi gigi
terhadap gerakan ekstraksi. Fraktur luas dapat terjadi pada tulang bukal dan
tulang distal di sekitar gigi ankilosis
• Berkurangnya resistensi tulang pada area tersebut, dikarenakan gigi molar
ketiga yang impaksi.
Perawatan:
• Apabila bagian yang fraktur tidak terlihat dari periosteum, tulang yang fraktur
dapat direposisi dan mucoperiosteum dijahit. Pada kasus ini, tindakan ekstraksi
ditunda 1,5 hingga 2 bulan, dimana dalam waktu tersebut fraktur dapat
membaik
• Apabila fraktur terlihat dari jaringan, terlebih dahulu gigi yang akan dihilangkan
diekstraksi, kemudian tulang dihaluskan dan luka dijahit rapat. Pasien diberi
antibiotic dan obat dekongestan hidung.
(Fragiskos, 2007)
6. Dislokasi TMJ
Komplikasi ini terjadi pada tindakan bedah yang berjalan dengan lama dan pada
pasien dengan fossa mandibula yang dangkal, tuberculum articulare anterior yang
rendah, dan kepala processus condylaris yang bulat. Akibatnya pasien tidak dapat
menutup mulut mereka dan pergerakan rahang sangat terbatas. Untuk menghindari
terjadi dislokasi, mandibula harus didukung saat ekstraksi dan pasien tidak
membuka mulut terlalu lebar, terutama pasien yang terbiasa TMJ mereka luksasi.
Perawatan: segera setelah terjadi dislokasi, operator menmpatkan kedua ibu jari
pada permukaan oklusal gigi dengan jari-jari yang lainnya menopang badan
mandibula pada sisi kanan dan kiri. Operator menekan mandibula ke bawah dengan
kuat dan secara bersamaan jari yang lain mendorong ke arah atas dan posterior
hingga condyles kembali ke posisi normalnya. Setelah dilakukan reposisi, pasien
harus membatasi pergerakan mandibula yang terlalu lebar selama beberapa hari
(Fragiskos, 2007).
7. Emfisema subkutan atau submucosa
Emfisema submucosa disebabkan oleh udara yang masuk ke dalam jaringan ikat
longgar, misal ketika penggunaan air-rotor handpiece untuk menghilangkan tulang
atau memotong gigi impaksi.
Tanda dan gejala: secara klinis, daerah yang mengalami emfisema akan
membengkak, terkadang meluas hingga daerah leher dan wajah. Apabila dipalpasi,
akan terasa krepitus.
Faktor yang berkaitan: penggunaan bur tekanan tinggi dan menghasilkan udara,
pengangkatan flap yang maksimal.
Pencegahan dan perawatan: dapat dicegah dengan penggunaan bur bertekanan
rendah, apabila bertekanan rendah dapat disertai dengan air dan tidak diarahkan
langsung ke daerah operasi. Pengangkatan flap minimal dan tidak meluas ke tulang
alveolar di daerah molar tiga bawah. Tidak ada perawatan khusus untuk komplikasi
ini. Biasanya emfisema akan mereda secara spontan setelah 2 hingga 4 hari. Apabila
ukurannya besar, dapat dilakukan paracentesis untuk membantu mengeluarkan
udara. Dapat juga diberi antibiotic (Fragiskos, 2007; Ruslin & Poedjiastoeti, 2019).
8. Perdarahan intraoperasi
Perdarahan merupakan komplikasi umum pada tindakan ekstraksi gigi. Perdarahan
disebabkan oleh trauma pada pembuluh darah atau karena masalah pada koagulasi
darah. Perdarahan yang berlebihan dapat terjadi karena luka atau pemotongan pada
pembuluh darah alveolar inferior dan arteri palatum. Perdarahan parah yang
misalnya disebabkan oleh hemofilia dapat dihindari melalui anamnesis dan
manajemen pasien sebelum tindakan ekstraksi (Fragiskos, 2007).
Perawatan:
• Kompresi untuk vasokonstriksi dan menurunkan permeabilitas pembuluh
kapiler. Dilakukan dengan menempatkan tampon steril pada luka dan ditekan.
• Suturing untuk secara mekanis menghalangi ujung pembuluh darah yang
terpotong.
• Ligase menggunakan hemostat untuk menjepit pembuluh darah. Merupakan
cara paling efektif untuk mengontrol perdarahan jaringan lunak yang
melibatkan pembuluh besar.
• Elektrokoagulasi untuk mengkoagulasi darah dengan pengaplikasian panas
yang menyebabkan jaringan retraksi dan terbentuk massa nekrotik.
• Bahan hemostatik, seperti vasokonstriktor dan asam alginic yang digunakan
secara topical, serta sponge fibrin dan spongostan yang membentuk gumpalan
darah pada ujung pembuluh yang luka.
(Fragiskos, 2007)
B. Komplikasi post-ekstraksi
1. Trismus
Trismus, disebut juga lockjaw, adalah pembukaan rahang yang terbatas atau rentang
gerak rahang yang terbatas. Trismus biasa terjadi pada kasus ekstraksi molar ketiga
rahang bawah/
Tanda dan gejala: pembatasan pembukaan rahang dikarenakan otot mastikasi
yang spasme. Spasme ini dapat terjadi pada musculus pterygoideus medialis
dikarenakan penginjeksian berulang kali saat anestesi inferior alveolar block atau
karena trauma saat dilakukan pembedahan yang berkepanjangan.
Faktor yang berkaitan: inflamasi luka post ekstraksi, hematoma, dan edema post
pembedahan.
Perawatan: sebagian besar kasus tidak membutuhkan perawatan khusus. Apabila
trismus disebabkan oleh inflamasi akut atau hematoma, pasien disarankan
berkumur dengan air panas kemudian diberi antibiotic. Perawatan tambahan lain
yaitu:
• Kompres panas pada ekstraoral selama 20 menit tiap jam hingga gejala reda
• Pemijatan pada daerah TMJ
• Pemberian analgesic, obat antiinflamasi, dan obat muscle relaxant
• Fisioterapi berupa membuka dan menutup mulut, serta penggerakan ke arah
lateral untuk meningkatkan jangakauan pembukaan mulut.
(Fragiskos, 2007)

Gambar 2.1 Pembukaan mulut yang terbatas karena trismus (Fragiskos, 2007)
2. Hematoma
Hematoma adalah kumpulan darah tidak normal di luar pembuluh darah.
Hematoma merupakan komplikasi post ekstraksi yang cukup sering terjadi dan
disebabkan oleh penanganan perdarahan yang tidak tepat. Pada kasus ini, darah
mengumpul di dalam jaringan dan tidak dapat keluar dari luka yang tertutup atau
flap yang telah dijahit dengan rapat.
Tanda dan gejala: pembengkakan pada area hematoma, berwarna merah
keunguan, hangat ketika dipalpasi, dan nyeri.
Perawatan: apabila hematoma terbentuk pada beberapa jam pertama setelah
tindakan ekstraksi, manajemen yang dilakukan adalah menempatkan kompres
dingin pada ekstraoral selama 24 jam pertama, kemudian kompres hangat untuk
mempercepat peredaannya. Dapat juga pasien siberi antibiotic untuk mencegah
nanah pada hematoma dan analgesic untuk meredakan nyeri (Fragiskos, 2007).

Gambar 2.2 Hematoma post ekstraksi (Fragiskos, 2007)


3. Granuloma post ekstraksi
Komplikasi ini terjadi 4 hingga 5 hari setelah ekstraksi gigi dan disebabkan oleh
adanya benda asing di dalam alveolus, misalnya sisa-sisa amalgam, serpihan tulang,
pecahan kecil gigi, kalkulus, dan lain-lain. Benda asing tersebut mengiritasi daerah
sekitarnya sehingga proses penyembuhan terganggu dan terbentuk nanah pada luka.
Perawatan: komplikasi ini dirawat dengan debridement alveolus dan pembersihan
semua agen kausatif (Fragiskos, 2007).
4. Nyeri soket post ekstraksi
Soket yang nyeri merupakan komplikasi yang umum yang terjadi segera setelah
anestesi berkurang. Komplikasi ini biasanya terjadi pada luka post ekstraksi di gigi
posterior bawah yang dikarenakan anatomi tulang yang keras dan mudah terbentuk
pinggiran/spikula yang tajam, terlebih apabila ekstraksinya sulit dan dilakukan
dengan manipulasi yang canggung.
Tanda dan gejala: pinggiran tulang yang tidak rata melukai jaringan lunak pada
soket post ekstraksi, akibatnya pasien merasakan nyeri parah dan inflamasi pada
lokasi ekstraksi. Dalam kasus ini, alveoulus terisi oleh gumpalan darah yang
berfungsi dalam penyembuhan post ekstraksi tapi tidak berkembang menjadi
epithelium yang nantinya menutupi luka.
Perawatan: pinggiran tulang pada soket dihaluskan, terutama tulang intraradicular.
Pasien diberi analgesic dan tampon yang berisi eugenol ditempatkan di atas luka
selama 36 hingga 48 jam (Fragiskos, 2007).
5. Fibrinolytic alveolitis (dry socket)
Dry socket, disebut juga fibrinolytic alveolitis atau osteitis alveolaris, adalah
keadaan penyembuhan luka yang terhambat yang tidak berkaitan dengan infeksi.
Komplikasi ini muncul 2 hingga 3 hari setelah ekstraksi. Pada periode ini, gumpalan
darah pada soket disintegrasi dan terlepas, mengakibatkan penyembuhan yang
lambat dan nekrosis pada permukaan tulang soket (Fragiskos, 2007; Ruslin &
Poedjiastoeti, 2019).
Tanda dan gejala: dry socket dicirikan dengan soket yang kosong, napas yang
berbau busuk, rasa tidak enak di dalam mulut, dinding tulang yang gundul, dan
nyeri parah yang menjalar hingga area lain di kepala.
Faktor yang berkaitan: tulang yang padat dan sclerotic yang menglilingi gigi,
infeksi saat atau setelah ekstraksi, luka pada alveolus, dan anestesi teknik infiltrasi.
Perawatan: soket dengan perlahan diirigasi menggunakan saline hangat, kemudian
tampon berisi eugenol ditempatkan di atasnya. Tampon diganti dengan yang baru
tiap 24 jam hingga rasa nyeri berkurang. Perawatan lain yang sangat efektif adalah
dengan menggunakan dextranomer granule dan pasta kolagen. Dengan perawatan
paliatif ini, rasa nyeri dapat berkurang. Pasien diinstruksikan untuk menghindari
mengunyah pada sisi yang terdampak dan meningkatkan oral hygiene (Fragiskos,
2007).
Gambar 2.3 Dry socket pada regio molar kedua atas (Fragiskos, 2007)
6. Perdarahan sekunder
Merupakan komplikasi yang sering dijumpai post ekstraksi. Perdarahan yang terjadi
lebih dari 24 jam pasca ekstraksi memerlukan perhatian khusus.
Faktor yang berkaitan: kelainan darah, riwayat penggunaan obat antikoagulan,
kemoterapi, kebiasaan minum alcohol, dan pencabutan traumatic.
Tanda dan gejala: terjadi perdarahan pada area yang diekstraksi.
Perawatan:
• Kontrol perdarahan pada arteri dengan menjepit pembuluh darah dan ligase
• Bila perdarahan masih terjadi, gigit tampon selama 30 menit
• Pemberian agen hemostatik seperti spongostan
• Bila perdarahan belum berhenti, perlu dilakukan pemeriksaan di laboratorium
dan konsultasi dengan bagian hematologi untuk perawatan selanjutnya
(Ruslin & Poedjiastoeti, 2019).
7. Infeksi luka
Infeksi luka merupakan komplikasi yang dapat muncul dan menyebar tidak hanya
pada superfisial luka, melainkan hingga kedalaman jaringan yang terlibat dalam
pembedahan. Infeksi dapat disebabkan oleh:
• Penggunaan instrument yang terinfeksi saat tindakan ekstraksi
• Tindakan dilakukan pada jaringan yang sepsis
• Penyakit sistemik yang menyebabkan rentan terhadap infeksi, seperti leukemia
dan agranulocytosis, serta penyakit yang perawatannya menyebabkan
imunospuresi. Diabetes melitus yang tidak terkontrol juga dapat menjadi
penyebab karena faktor wound healing yang terlambat.
Faktor yang berkaitan: faktor usia, penggunaan kontrasepsi oral, merokok,
adanya infeksi pada daerah operasi sebelumnya.
Tanda dan gejala: nyeri yang menetap, pembengkakan yang tidak membaik, rasa
pahit, keluar cairan dari luka, trismus, demam.
Perawatan: apabila operator menilai ada risiko berkembangnya infeksi post
ekstraksi, pasien dapat diberi antibiotic profilaksis. Apabila luka telah telanjur
terinfeksi, berikan antibiotic yang sesuai dengan kasus infeksi (Fragiskos, 2007;
Ruslin & Poedjiastoeti, 2019).
Daftar Pustaka

Fragiskos, D.F. 2007. Oral Surgery. Springer. Jerman.

Ruslin, M., Poedjiastoesti, W. 2019. Buku Ajar Bedah Mulut dan Maksilofasial: Teori dan
Praktik Dasar. EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai