Anda di halaman 1dari 4

Bersahabat dengan Sampah, Sejahterakan Masyarakat dan Lingkungan

Oleh: Yuyun Guna Winarti

Pada Bulan Maret 2021, terdapat 10,14 persen penduduk miskin di Indonesia (BPS, 2021).
Angka ini menurun 0,05 persen poin dibanding kondisi September 2020. Meskipun terus turun,
kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Dari sisi ekonomi, masyarakat
miskin tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, baik kebutuhan makanan maupun
bukan makanan. Bila dilihat menurut wilayah, persentase penduduk miskin di perkotaan
meningkat dari 7,88 persen pada tahun 2020 menjadi 7,89 persen pada tahun 2021. Sementara itu,
pola sebaliknya terjadi di perdesaan. Persentase penduduk miskin di perdesaan turun dari 13,20
persen pada tahun 2020 menjadi 13,10 persen pada tahun 2021.

Telah banyak upaya dan program pemerintah yang dilakukan untuk mengatasi masalah
kemiskinan di Indonesia. Akan tetapi, hasil yang diperoleh belum sesuai harapan. Hal ini diduga
karena program yang dilaksanakan belum mampu menyentuh akar permasalahan kemiskinan
(Banowati, 2014). Di sisi lain, dampak yang ditimbulkan dari kemiskinan sangat luas. Tidak hanya
masalah ekonomi, kemiskinan dapat membawa dampak pada masalah sosial dan budaya.
Peningkatan penduduk miskin di perkotaan juga membawa dampak pada kualitas lingkungan.
Penduduk banyak, sampah juga banyak. Hal ini menjadi sebuah konsekuensi logis. Penduduk yang
semakin banyak juga meningkatkan konsumsi. Konsumsi yang banyak berimbas pada jumlah
sampah yang besar.

Jika dilihat secara nasional, jumlah produksi sampah mencapai 175.000 ton per hari. Data
ini berasal dari riset yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Artinya, dalam setahun dapat dihasilkan sebanyak 64 juta ton. Jika dilihat dari produsen sampah,
sumber sampah yang paling dominan berasal dari rumah tangga. Rumah tangga menyumbang
sebesar 48 persen dari produksi sampah nasional (Baqiroh, 21 Februari, 2019).

Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang tidak peduli terhadap pengelolaan sampah. Hal
ini terlihat dari Indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup (IPKLH) yang dikeluarkan
oleh Badan Pusat Statistik. Pada tahun 2017, nilai IPKLH sebesar 0,51 (BPS, 2018). Nilai IPKLH
berkisar antara 0 sampai 100. Semakin mendekati 100 menunjukkan masyarakat semakin tidak
peduli terhadap lingkungan. Salah satu dimensi pembentuk indeks ini adalah pengelolaan sampah.

1
Dimensi ini cukup dominan dalam mempengaruhi IPKLH. Dimensi kepedulian dalam pengelolaan
sampah menyumbang bobot sebesar 35,53 persen.

Selama ini, pengelolaan sampah yang dilakukan masyarakat memang masih bersifat
konvensional. Beberapa cara yang biasa dilakukan antara lain ditimbun, diangkut, atau hanya
dibuang. Pada tahun 2017, hanya sebanyak 46,22 persen rumah tangga di perkotaan yang
perlakuan terhadap sampahnya diangkut oleh petugas (BPS, 2020). Di sisi lain, banyak sampah,
khususnya sampah organik membusuk karena tidak bisa langsung diangkut ke Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). Penambahan sampah setiap hari tidak sebanding dengan ketersediaan
TPA. Kondisi ini menyebabkan tidak semua sampah dapat dikelola. Berdasarkan data
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada tahun 2020, dari 275 Kabupaten/kota se-
Indonesia, sebanyak 13.477.318,07 (ton/tahun) sampah atau setara 40,7 persen tidak terkelola
(menlhk, 12 Oktober, 2021).

Timbulan sampah yang tidak terkelola terus menumpuk dan menghasilkan gas rumah kaca.
Hal ini pada akhirnya mempercepat lonjakan emisi karbon (Junerosano, 6 Mei, 2021). Emisi
karbon merupakan gas yang dihasilkan dari pembakaran senyawa yang mengandung karbon.
Emisi karbon menyebabkan pencemaran udara yang berdampak buruk pada kesehatan manusia
dan lingkungan. Selain itu, emisi karbon dapat berdampak pada perubahan iklim yang tak
menentu, kelaparan, serta pemanasan global (Bensinkita, 11 Maret, 2021). Hal ini menjadi sebuah
ancaman dan sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup.

Beberapa fakta di atas kiranya mampu menyadarkan diri kita tentang perlunya pengelolaan
sampah secara tepat. Masyarakat sudah seharusnya secara mandiri dan mulai dari level yang paling
kecil yaitu keluarga. Selama ini berbagai upaya sudah diinisiasi dalam rangka penanggulangan
sampah dengan skema pemberdayaan masyarakat miskin. Upaya ini diyakini mampu mengubah
paradigma sampah yang selama ini dinilai sebagai sesuatu yang harus dibuang menjadi bernilai.
Selain itu, upaya ini juga mampu meningkatkan status ekonomi masyarakat miskin.

Pemberdayaan masyarakat ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang


pengelolaan sampah. Melalui kegiatan ini juga dapat ditanamkan nilai-nilai budaya modern seperti
keterbukaan dan tanggung jawab (Susanto, dkk, 2020, Volume 2 No. 2, Desember 2020).
Penanaman nilai-nilai ini bisa dimulai dengan menjelaskan perlunya masyarakat melakukan
pemilahan sampah organik dan anorganik, sampah basah dan kering. Pemilahan dan pengelolaan

2
sampah juga dilakukan terhadap minyak jelantah. Jika selama ini masyarakat sering membuang
minyak sisa menggoreng, mulai sekarang hal tersebut diubah. Masyarakat perlu diedukasi untuk
memilah dan mengelola sampah ini. Pemilihan sampah ini akan memudahkan jika dilakukan
pengolahan lanjut terhadap sampah-sampah tersebut. Setelah dilakukan pemilahan sampah,
masyarakat bisa menyerahkan sampah-sampah tersebut ke bank sampah yang ada di komunitas
sekitar.

Keberadaan bank sampah sangat penting. Selain membantu proses daur ulang yang
membawa manfaat ekonomi, bank sampah juga berperan dalam mengedukasi masyarakat. Melalui
bank sampah, sampah organik bisa dijadikan produk lain seperti biomassa. Produk akhir ini dapat
menjadi salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Selain itu, sampah organik juga
dapat diolah menjadi pupuk cair maupun pupuk padat yang tentunya bernilai ekonomis dan aman
bagi kelangsungan hidup. Mendaur ulang sampah dilakukan pula terhadap sampah anorganik
kering. Sampah-sampah ini dapat diubah menjadi barang-barang komersial. Beberapa sampah dari
botol kering bisa diubah menjadi pot tanaman misalnya. Sampah kemasan produk-produk plastik
banyak dimanfaatkan dalam pembuatan tas, keranjang, dan kerajinan lainnya. Menurut data dari
Sustainable Waste Indonesia (SWI), bank sampah mampu mengumpulkan 2,7 persen dari 0,421
juta sampah plastik paska konsumsi (Erfansyah, 6 Maret 2021).

Oleh karena itu, keberadaan bank sampah di tingkat komunitas perlu terus didorong agar
semakin banyak. Sampai tahun 2021, berdasarkan data dari KLHK (Muhajir, 15 Agustus, 2021),
jumlah bank sampah di Indonesia sebanyak 11.556 unit. Jumlah ini tersebar di 363 kabupaten dan
kota di seluruh Indonesia. Artinya masih banyak wilayah yang belum memiliki bank sampah.
Hingga Juli 2021, bank sampah yang sudah ada tersebut mampu menarik nasabah sebanyak
419.204 orang (Berita, Sampah & Polusi, 14 Agustus, 2021). Dari kegiatan yang dilakukan, omset
bulanan yang dihasilkan mencapai Rp.2,8 milyar. Selain itu, keberadaan bank sampah dapat
menjadi salah satu sektor ekonomi yang mampu bertahan dalam kondisi pandemi. Menurut BPS
dalam laporan yang disampaikan oleh Bappenas, pada triwulan III tahun 2020, sektor pengadaan
air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang tumbuh positif sebesar 6,0 persen (YoY). Selain
sisi ekonomi yang sangat menjanjikan, yang tidak kalah penting adalah keberadaan bank sampah
sangat berkontribusi pada penurunan emisi kabron serta peningkatan kualitas lingkungan.

3
Dengan posisi strategis seperti ini, pihak-pihak terkait perlu didorong untuk terlibat dalam
pengadaan bank sampah. Jangan sampai jumlah sampah yang terus bertambah dan masalah
kemiskinan yang masih terus ada, menjadi dua hal yang diabaikan. Padahal sejatinya, mereka
adalah satu kesatuan yang dapat berkolaborasi untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai.
Masyarakat miskin dapat lebih berdaya dan sejahtera. Di sisi lain, kondisi lingkungan kita semakin
berkualitas.

Anda mungkin juga menyukai