Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Mencermati Undang-Unadang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan

Sampah, demikian pula Peraturan Pemerintah nomor 81 tahun 2012 tentang

Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga,

mengamanatkan perlunya perubahan paradigma yang mendasar dalam pengelolaan

sampah yaitu dari paradigma kumpul–angkut–buang menjadi pengolahan yang

bertumpu pada pengurangan sampah dan penanganan sampah. Kegiatan pengurangan

sampah bermakna agar seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah, dunia usaha

maupun masyarakat luas melaksanakan kegiatan pembatasan timbunan sampah,

pendauran ulang dan pemanfaatan kembali sampah atau yang lebih dikenal dengan

sebutan Reduce, Reuse dan Recycle (3R) melalui upaya-upaya cerdas, efisien dan

terprogram (KLH, 2012).

Walaupun demikian, menurut data Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) 2012,

kegiatan 3R ini masih menghadapi kendala utama, yaitu rendahnya kesadaran

masyarakat untuk memilah sampah. Sehingga salah satu solusi (kebijakan) untuk

mengatasi masalah tersebut yaitu melalui pengembangan Bank Sampah yang

merupakan kegiatan bersifat social engineering mengajarkan masyarakat untuk

memilah sampah serta menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam pengolahan sampah

secara bijak, pada gilirannya akan mengurangi sampah yang diangkut ke TPA.

Pembangunan bank sampah ini harus menjadi momentum awal membina kesadaran

kolektif masyarakat untuk mulai memilah, mendaur-ulang, dan memanfaatkan sampah,


1
sehingga pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan menjadi budaya baru

Indonesia.

Statistik perkembangan pembangunan Bank Sampah di Indonesia pada bulan

Februari 2012 adalah 471 buah jumlah Bank Sampah yang sudah berjalan dengan

jumlah penabung sebanyak 47.125 orang dan jumlah sampah yang terkelola adalah

755.600 kg/bulan dengan nilai perputaran uang sebesar Rp. 1.648.320.000 perbulan.

Angka statistik ini meningkat menjadi 886 buah Bank Sampah berjalan sesuai data

bulan Mei 2012, dengan jumlah penabung sebanyak 84.623 orang dan jumlah sampah

yang terkelola sebesar 2.001.788 kg/bulan serta menghasilkan uang sebesar Rp.

3.182.281.000 perbulan (KLH, 2012). Data ini mengindikasikan bahwa kebutuhan

masyarakat untuk memanfaatkan sampah rumah tangga cenderung mengalami

peningkatan.

Selaian itu, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor

21/PRT/M/2006 diamanatkan bahwa, upaya untuk mencapai kondisi masyarakat yang

hidup sehat dan sejahtera di masa yang akan datang, sudah tentunya sangat diperlukan

adanya lingkungan permukiman yang sehat dari persampahan. Dengan demikian, kata

sehat akan berarti sebagai kondisi yang akan dapat dicapai bila sampah dapat dikelola

secara baik, sehingga bersih dari lingkungan pemukiman dimana manusia beraktifitas di

dalamnya. Pengelolaan mengenai sampah nampaknya perlu mendapat perhatian yang

serius, karena dampak yang ditimbulkan dari sampah sangatlah jelas, selain banjir,

sampah juga dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit. Kustinah

(2005:1) mengungkapkan bahwa, pertambahan jumlah sampah yang tidak diimbang

2
dengan pengelolaan yang ramah lingkungan sudah tentunya akan menyebabkan

terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan. Sedangkan Haidi (2004)

mengungkapkan bahwa penanganan sampah yang tidak komperehensif akan memicu

terjadinya masalah sosial, seperti amuk massa, bentrok antar warga, pemblokiran

fasilitas TPA.

Di sisi lain dari manajemen sampah perkotaan, masyarakat telah melihat bahwa

Tempat Pembuangan Aakhir (TPA) yang ada tidak dikelola dengan baik. Operasional

TPA secara open dumping masih dijalankan di hampir semua TPA di Indonesia.

Disamping itu, masih terjadi pembakaran sampah untuk mengurangi timbunan sampah,

dan tidak terkelolanya gas metan yang di hasilkan oleh timbunan sampah. Sebagaian

besar pengelolaan sampah berakhir di TPA, sehingga menyebabkan beban TPA menjadi

sangat berat. Selain diperlukan lahan yang cukup luas, juga diperlukan fasilitas

perlindungan lingkungan yang sangat mahal. Semakin banyak jumlah sampah yang

dibuang ke TPA salah satunya disebabkan belum dilakukannya upaya pengurangan

volume sampah secara sungguh-sungguh sejak dari sumber (Kustinah, 2005:3).

Kota Salatiga merupakan kota dengan wilayah yang tidak terlalu luas, yakni,

sekitar 56.781 Km², dengan tingkat kepadatan penduduknya cukup tinggi. Berdasarkan

data sekunder yang dicatat oleh Bagian Tata Pemerintahan Setda Salatiga (2011) jumlah

penduduk kota Salatiga adalah 176.000 jiwa dan tingkat kepadatan penduduk sekitar

2.885 jiwa/km2. Berdasarkan data tersebut, jika diandaikan bahwa setiap orang

menghasilkan sampah sebanyak 0,5 per hari maka sampah Kota Salatiga sebanyak

88.000 ton per hari. Sedangkan Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Salatiga

3
mencatat bahwa pada tahun 2008, volume sampah Kota Salatiga adalah sebanyak 100

ton per hari. Berdasarkan data tersebut, tercatat bahwa sebanyak 70% sampah berasal

dari rumah tangga. Komposisi sampah yang ada terdiri dari sampah organik sekitar

70,70%, disusul sampah plastik (19,65%), sampah kertas (7,28%), selebihnya berupa

sampah kayu, kain, logam dan sebagainya. Berdasarkan jumlah itu, hanya 300 m3/hari

yang berhasil diangkut ke pembuangan terakhir.

Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup pasal 16

mengamanatkan bahwa masyarakat bertanggungjawab sebagai produsen timbulan

sampah. Karena itu, harapannya adalah masyarakat perlu dilibatkan atau ikut serta

dalam sistem pengelolaan sampah (Syafruddin, 2004:1). Harapan inilah yang mendasari

kelompok masyarakat yang menamaakan dirinya Bank Sampah “Pangrekso Bumi” yang

didampingi oleh Parahita Foundation melalui program utama Tegalrejo Bersih:

Pengelolahan Sampah/Limbah Untuk Pemberdayaan Ekonomi dan Kelestarian

Masyarakat, Serta Kelestarian Lingkungan Berbasis Pendidikan, hadir dalam rangka

turut serta membantu pemerintah Kota Salatiga guna mengelolah sampah yang

diperkirakan bertambah setiap tahunnya.

Upaya strategis yang dilakukan oleh Lembaga Parahita Foundation dalam

mengatasi persoalan sampah di Salatiga, khususnya daerah Tegalrejo adalah dengan

mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan sampah dengan

melakukan reduksi sampah (berbasis masyarakat) langsung disumbernya atau rumah

tangga. Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan tersebut, Parahita Foundation

membentuk pilot project pengelolaan sampah berbasis masayarakat di keluraha

4
Tegalrejo. Tujuan Pilot Project pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah untuk

mendapatkan masukan bagaimana sampah rumah tangga dapat dikelola secara mandiri

oleh masyarakat di tingkat sumber, sehingga dapat mengurangi jumlah timbulan sampah

yang harus dikelola di TPA.

Pertanyaannya mengapa harus berbasis masyarakat? Ketua Parahita Foundation,

yakni Arianti Ina Restiani Hunga, mengemukakan bahwa “Produsen sampah utama

adalah masyarakat, sehingga mereka harus bertanggungjawab terhadap sampah yang

mereka produksi, bahwa konsep penangan sampah yang baik adalah penanganan

sampah yang dimulai di sumber. Semakin dekat dengan sumbernya maka semakin besar

rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab orang untuk mengelola

sampahnya. Sumber sampah yang berasal dari masyarakat, sebaiknya dikelola oleh

masyarakat yang bersangkutan agar mereka bertanggung jawab terhadap sampahya

sendiri, karena jika dikelola oleh pihak lain biasanya mereka kurang bertanggung jawab

bahkan cenderung destruktif. Intinya adalah bagaimana mengarahkan kekuatan

masyarakat (social capital) untuk memecahkan masalah sampah. Bukan untuk melawan

program pengelolaan sampah. Sebab tidak jarang ditemukan program–program yang

baik untuk masyarakat, karena tidak melibatkan masyarakat dihalangi, ditolak dan

dirusak sendiri oleh masyarakat.”1

Berdasarkan unkapan di atas, dapat disimpulkan bahwa, pengelolaan sampah

berbasis masyarakat bukan berarti dalam pengoperasiannya selalu harus dilakukan oleh

1
Pernyataan ini dikemukakan pada 6 Februari 2012, dalam salah satu pertemuan yang membahas
tentang pentingnya Bank Sampah untuk masyarakat Tegalrejo. Dalam pertemuan itu, mahasiswa Fiskom
yang sedang melakukan “kuliah lapangan” PAR juga dilibatkan atau diikutsertakan.
5
masyarakat, tetapi boleh juga dilakukan oleh lembaga atau badan profesional yang

mampu dan diberi mandat oleh masyarakat. Dengan demikian, yang penting adalah apa

yang layak dan realistis dilakukan untuk memecahkan masalah sampah yang dihadapi

oleh masyarakat trersebut. Misalnya, kalau secara realistis masyarakat tidak mampu dari

sisi waktu dan manajemen untuk mengoperasikan maka jangan diserahkan

pengeoperasiannya pada masyarakat. Lebih baik masyarakat didorong untuk mencari

dan menunjuk lembaga profesional atau perorangan yang mampu dan dipercaya untuk

mengoperasikan. Karena itu, kehadiran Parahita Foundation perlu ditempatkan dalam

perspektif seperti ini, untuk menjadi bermakna.

Berdasarkan data sekunder yang ada pada Parahita Foundation yang

mendampingi Bank Sampah Pangrekso Bumi, tercatat jumlah penduduk Kelurahan

Tegalrejo tahun 2011 adalah sebanyak 10.800 jiwa, berarti masyarakat Tegalrejo

menghasilkan sampah 5,4 ton/hari, dengan asumsi setiap orang menghasilkan 0,5

sampah per hari. Jadi kita dapat bayangkan jika sampah ini terus-menerus dibiarkan

seperti ini, dengan pengelolahan yang hampir tidak ada, seperti apa nantinya nampak

wajah dari Kelurahan Tegalrejo pada masa yang akan datang? Asumsi dasar inilah yang

melatarbelakangi berdirinya BANK SAMPAH “PANGREKSO BUMI”, dengan

harapan mengajak masyarakat Kelurahan Tegalrejo bekerja sama dengan RT/RW

setempat beserta Yayasan Parahita untuk mewujudkan lingkungan yang sehat, bersih,

serta pemberdayaan ekonomi dan kelestarian lingkungan.

6
1.2. Rumusan Masalah
Dengan demikian, kehadiran Lembaga Parahita Foundation dan Bank Sampah

Pangrekso Bumi bertujuan melakukan pemberdayaan masyarakat Tegalrejo dalam

pengelolaan sampah rumah tangga. Oleh sebab itu, berdasarkan pada fenomena Bank

Sampah yang dijelaskan di atas, penulis tertarik untuk meneliti mengenai Pengelolaan

Sampah Rumah Tangga Berbasis Masyarakat yang dilakukan di Kelurahan Tegalrejo,

Salatiga, atas prakarsa bersama masyarakat dan Parahita Foundation.

Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, maka beberapa pertanyaan

penelitian perlu dirumuskan guna memberi arah dan fokus yang lebih jelas, yaitu;

1. Bagamana peran para aktor dalam pengelolaan sampah rumah tangga

berbasis masyarakat di Kelurahan Tegalrejo?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi peran aktor dalam pengelolaan

sampah rumah tangga berbasasis masyarakat di Kelurahan Tegalrejo?

1.3. Tujuan Penelitian


Untuk menjawab rumusan masalah seperti yang telah dipaparkan di atas, maka

tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan peran para aktor dalam pengelolaan sampah rumah tangga

berbasis masyarakat di Kelurahan Tegalrejo

2. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengeruhi proses pengelolaan sampah

rumah tangga berbasis masyarakat di Kelurahan Tegalrejo.

7
1.4. Manfaat Penelitian
Sebagai sebuah tulisan ilmiah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat baik secara praktis maupun teoritis. Dengan demikian, manfaat praktis dari

penelitian ini adalah: a) Sebagai bahan referensi untuk menyempurnakan sistem

pengelolaan sampah di Kota Salatiga; b) Sebagai sumbangan saran dalam upaya

peningkatan kualitas lingkungan di Kota Salatiga, khususnya dalam hal kebersihan dan

kesehatan lingkungan; dan c) Sebagai bahan kajian penelitian dalam bidang pengelolaan

sampah yang mengikutsertakan peran aktif masyarakat.

Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara teoritis,

guna mendukung perkembangan ilmu-ilmu sosial khususnya Sosiologi, dalam hal itu

peran aktor dalam pengelolaan sampah, guna mewujudkan lingkungan hidup yang

bersiah, sehat dan aman. Mengenai peran aktor, penulis akan memfokuskan diri pada

pemikiran Giddens tentang Stukturasi dan Bourdieu tentang Habitus dan field.

Anda mungkin juga menyukai