Anda di halaman 1dari 6

Pertunjukan Terakhir:

Bissu yang Makin Menghilang dari Kebudayaan Kita

Sebelum tulisan ini, saya menulis satu artikel yang judulnya juga tentang Pertunjukan
Terakhir. Isinya pun tentang Bissu. Dalam artikel tersebut saya menyebutkan para Bissu
mengalami impitan ekonomi akibat dari apa yang oleh Murary lee istilahkan sebagai
capitalism from below. Sebuah proses kapitalisasi yang muncul bukan karena telah terjadi
perampasan alat produksi oleh industri ekstraktif, tetapi akibat dari respons terhadap pasar.
Para Bissu setelah diperkenalkan bahwa tradisi dan kesenian, bahkan dirinya sendiri adalah
komoditas yang bisa dijual di pasar, maka merekapun berlomba melakukan komodifikasi
tradisi. Persoalannya tidak selesai, justru karena adanya peluang pasar semacam itu (market
as opportunity), maka terjadilah kompetisi di antara mereka memperebutkan pasar
kebudayaan Bissu. Persaingan yang akhirnya melempar sebagian dari para Bissu itu ke ngarai
kemiskinan.
Artikel saya waktu itu hanya mengulik secuplik dari problem yang dihadapi para
Bissu. Kenyataannya, para imam yang menghibur tersebut didera setumpuk persoalan akhir-
akhir ini.
Apakah dengan setumpuk masalah tersebut maka dengan demikian mereka tengah
merangkak menuju senjakalanya?
Untuk menjawab itu, saya akan memulai dengan kasus yang dialami oleh para Bissu
di Bone saat peringatan hari jadi ke-692 daerah tersebut. Peristiwa yang dengan penuh empati
dan emosi direspons oleh beberapa tulisan dalam buku ini. Untuk respons para penulis yang
mengisi lembaran-lembaran dalam buku ini, saya ingin katakan: “Anda adalah generasi muda
yang mewakili kepedulian masyarakat terhadap ‘kebudayaan lokal’, sesuatu yang semakin
langka saat ini ditengah desakan modernisasi.”
Kasus tersebut adalah tidak dilibatkannya para Bissu dalam perayaan Hari Jadi ke-
692 Kabupaten Bone. Mengapa bisa demikian? Bukankah selama ini nyaris tidak ada satupun
perayaan hari jadi daerah tersebut yang tidak melibatkan Bissu di dalamnya. Para Bissulah
yang justru menjadi pemandu dalam beberapa kegiatan yang mengiringi perayaan hari jadi
tersebut. Mereka memimpin proses mattompang arajang (mencuci pusaka) dan maleko toja
(mengambil air). Para Bisu pulalah yang biasanya membawa baki dan mengusung barang
pusaka pada puncak acara.
Terasa aneh jika Bissu tidak dilibatkan dalam acara kebudayaan di Bone sebab
merekalah yang selama ini merawatnya. Bone pulalah sejatinya pusat dari para Bissu. Dari
Bissu Bone inilah yang menyebar ke beberapa tempat yang lain. Para Bissu yang berada di
Segeri-Pangkep, misalnya, asal mulanya dari Bone. Dalam salah satu kisah diceritakan
Tidak ada jawaban yang pasti mengapa Bissu tidak terlibat atau tidak dilibatkan
dalam acara tersebut, tetapi lamat-lamat terasa ada nuansa peyisihan atas nama pemurnian
agama dalam kasus tersebut.
Namun kasus Bissu disingkirkan dari kehidupan masyarakat Muslim di Sulawesi
Selatan bukanlah kisah baru. Sejak abad ke-16-17, ketika agama langit mempengaruhi
struktur beragama masyarakat Bugis, tradisi lagaligo yang dirawat oleh para Bissu pelan-
pelan mulai disisihkan. Para Bissu yang menjadi aktor utama dalam tradisi lagaligo juga
dipinggirkan. Status gender para Bissu yang liminal, antara maskulinitas dan feminitas tidak
mendapat tempat dalam agama langit.
Pada saat terjadi pemberontakan DI/TII pada tahun 1950-1960-an, para Bissu tidak
hanya disingkirkan atas nama agama, tetapi juga mengalami kekerasan. Mereka diburu.
Seluruh perlengkapan ritual dihancurkan, gendang pertunjukan berhenti ditabuh dan
mistiknya tari maggirik lenyap dalam persembunyian. Beberapa dari Bissu bahkan menemui
ajal, dibunuh para gerombolan DI/TII. Belum betul-betul hilang jejak kekerasan pertama,
muncul lagi operasi mappatoba. Pemerintah orde baru melalui tangan militernya merasa
perlu memastikan semua warga negaranya pancasilais (tentu dalam tafsir tunggal
pemerintah). Mereka harus jelas agamanya. Perilaku beragama yang masih berbaur dengan
tradisi dan kepercayaan lokal harus disingkirkan.
Setelah dua persitiwa kekerasan itu, Bissu sejatinya masih terus-menerus disisihkan
dari kehidupan masyarakat. Agama melalui institusi atau organisasi tertentu menjalankan
misi purifikasi. Dengan slogan takhayul, bidah dan khurafat, komunitas Bissu dihempaskan
serupa dengan orang-orang musyrik. Saya perlu menggarisbawahi, pada hakekatnya agama
tentu saja memiliki nilai humanis. Tentu tidak gampang menistakan, menakut-nakuti dan
menyingkirkan kelompok tertentu atas nama apapun. Tetapi ketika agama direbut dalam
asosiasi satu institusi, maka sangat mungkin menjadi menakutkan, menakut-nakuti,
memaksakan dan meminta ketundukan. Institusi adalah ‘great intimidators, begitu kurang
lebih istilah Antoinette Fouque, seorang psikolog dari Prancis, untuk menyebutkan cara-cara
institusi agama meminta ketundukan masyrakat.

Namun saya percaya, bahwa semua orang dan setiap komunitas memiliki daya
kreatifitas untuk melawan. Kapan dan di mana pun terjadi dominasi, selalu akan ada
perlawan di sana. Itu karena, seturut kata Fouchault, kuasa sejatinya tersebar, tidak terpusat
dan juga tidak dimiliki. Kekuasaan terdapat dalam relasi, bukan pada institusi tertentu.
Karena itu jika dalam satu hubungan ada kelompok yang mendominasi, maka pada saat yang
sama, komunitas lainnya akan meresistensi atau setidaknya menegosiasi.
Pada kasus Bissu peristiwa itu tercermin dalam cara-cara Bissu menegosiasi dominasi
agama. Dalam beberapa pertunjukan, misalnya, Bissu mencoba mengubah penampilan.
Mereka mulai menampilkan busana yang selaras dengan pakaian para alim. Mereka
pertunjukan dengan mengenakan pakaian putih-putih, lengkap dengan serban dan kopiah
disungkupkan di kepala. Beberapa di antara Bissu, bahkan ikut berhaji.
Praktik para Bissu ini dapat dimaknai sebagai cara mereka medapat simpati dari
kalangan agamawan. Dengan menampilkan simbol kesalehan, mereka berharap tidak
dianggap lagi sebagai pelaku khurafat dan sejenisnya. Tetapi di saat yang sama, ritual yang
mereka gelar sejatinya tidak sepenuhnya berubah. Apa yang dinilai takhayul, khurafat atau
bidah oleh kalangan puritanisme, tetap mereka jalankan. Karena itu, dengan menggunakan
busana putih-putih dan serban, laiknya seorang alim, maka Bissu sedang menegosiasi struktur
kekuasaan. Bissu, meminjam John Fiske, tengah melakukan perlawanan simbolik. Secara
tersamar mereka sedang mengejek simbol-simbol otoritatif dalam agama.
Perlawanan Bissu terhadap segala bentuk dominasi itu memang tersamar (hidden
transcript). Ia muncul dalam laku dan tindakan kebudayaan mereka sehari-hari, every day
form of resistance, begitu kata James C. Scott. .
Namun demikian, ada satu pertanyaan yang tiba-tiba mengetuk pikiran saya, apakah
perlawanan tersebut mengubah struktur dominan dalam masyarakat? Pertanyaan itu
menyeruak setelah saya disentakkan oleh etnografi Paul Willis, Learning to Labour (1977). Ia
mengamati anak-anak para dari kelas pekerja (buruh) di sekolah. Dominan mereka
menunjukkan budaya yang berbeda dari anak-anak kaum kelas menengah atas. Mereka
senang berbuat onar, menantang norma sekolah, tidak tertib dan anti kerapihan. Perilaku itu
seakan simbol yang menantang budaya kelas mapan. Tetapi rupanya, demikian Willis, hal itu
tidak mengubah apa-apa. Para kelas menengah dan borjuis tetap menguasai struktur sosial.
Anak-anak dengan segala tindakannya; berbuat onar, tidak tertib dan seterusnya, seperti
hanya sedang berlatih untuk nantinya bisa terjun sebagai kaum buruh.
Dalam hemat saya demikianlah yang terjadi dengan Bissu, perlawanan simbolik
mereka sejatinya tidak mengubah struktur apa-apa. Mereka, seperti yang saya sebutkan dalam
tulisan yang lain, malah tercebur dalam kapitilisme dari bawah. Dan dalam pusaran
kapitalisem itu, mereka menjadi orang-orang yang kalah. Terlempar menjadi masyarakat
yang terjerat kemiskinan. Karena itu jangan heran, jika para calabai (waria) dari generasi baru
banyak yang tidak tertarik lagi menjadi Bissu. Mereka lebih memilih menjadi pekerja salon
secara professional atau perias pengantin. Sebab, menjadi Bissu, dalam pandangan mereka
saat ini, tidak memberi harapan apa-apa secara ekonomi.
Sementara itu perlawanan simbolik mereka terhadap purifikasi agama, juga tidak
mengubah apa-apa. Agama yang sekarang mulai lagi bergerak ke arah puritanisasi tersebut,
tetap menjadi struktur yang dominan. Apalagi saat ini, puritanisasi tersebut tidak hanya
bergerak di level kultural, tetapi juga mulai menghunjam dari atas, dari level structural.
Dalam situasi semacam itu, siapa yang bisa menjamin bahwa pemerintah tidak akan pernah
mengeluarkan kebijakan yang melarang keberadaan para Bissu?
Ada dua pelajaran yang dapat kita ambil dari kasus yang terjadi pada Bissu Bone.
Pertama, tidak ada yang berubah dari struktur dominasi yang berlangsung saat ini. Dari sisi
ekonomi, kapitalisme tetap saja mendominasi dan Bissu juga tetap kelompok yang inferior di
dalamnya. Sementara di saat yang sama, puritanisme agama tetap menjadi struktur yang
dominan. Pada waktu tertentu ia tetap datang mengancam dan menagih ketundukan. Tidak
berarti, dengan demikian, perlawanan simbolik Bissu selama ini gagal, tetapi perlawanan
tidak boleh tunggal. Saya setuju dengan Hari Juliawan, bahwa perlawanan bisa mengambil
berbagai bentuk, sebagaimana kekuasaan yang dilawan juga bisa berwujud macam-macam.
Kedua, eksitensi Bissu tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada para Bissu itu sendiri.
Tidak bisa, dengan meyakini Bissu memiliki perlawanan simbolik atas segala bentuk
dominasi, lantas menganggap Bissu bisa melewati jalan rumpil itu sendirian. Kita bisa belajar
dari slogan para fans Liverpool: “you’ll never walk alone.”
Keberadaan strategi yang tepat melawan dominasi itu perlu dan karenanya harus terus
kita perbaharui. Selain itu, semua yang merasa punya kepedulian terhadap kebudayaan lokal
di Sulawesi Selatan harus terlibat di dalamnya. Kalau kita tidak melakukan itu, maka boleh
jadi pertunjukan Bissu yang pernah Anda nonton adalah pertunjukan yang terakhir. Dan
pelan tapi pasti, Bissu akan menghilang dari kehidupan kebudayaan kita di Sulawesi Selatan.
Generasi mendatang, mungkin, hanya mendapatkannya sebagai legenda masa lalu.

Dalam masyarakat Segeri, bissu memiliki peran yang cukup istimewa. Tidak hanya karena di

Segerilah Bola Arajange sebagai pusat aktivitas para Bissu berdiri, tetapi juga mereka

memegang peranan penting dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat. Bissu adalah

semacam penyambung masyarakat dengan Tuhan dan segala yang berbau gaib. Di setiap

ritual lokal, bissulah yang duduk di atas altar untuk menghubungkan manusia sebagai

penghuni dunia tengah dengan para Dewa yang bersemayam di Boting Langi. Bissu pulalah

yang dianggap paling paham segenap tata cara ritual, waktu pelaksanaan ritual dan apa yang
mesti dipersiapkan. Bahkan, dulunya, para pangeran yang kelak akan menjadi raja, berada

dalam pengawasan dan diajari bissu berbagai tata krama kerajaan.

Kedatangan Islam, mengubah peran bissu di Segeri dan di Bugis secara umum. Kini

hal-hal yang berbau ritual apalagi yang terkait dengan keislaman tidak lagi menjadikan bissu

sebagai satu-satunya poros utama. Kini telah ada guru-guru kampung yang biasa ikut

memimpin satu upacara ritual tertentu.

Pada tahun-tahun 1960-1970, bissu tidak hanya kehilangan otoritas sebagai pemimpin

ritual lokal, tetapi mereka juga menjadi sasaran purifikasi agama. Para bissu dianggap

sebagai dedengkot pelaku-pelaku takhayul, khurafat dan bidah. Pasukan DI/TII hingga tahun

1965 memburu para Bissu ini karena dianggap sebagai pelaku perbuatan khurafat. Di

titimangsa 60-70-an, para bissu juga menjadi sasaran operasi yang disebut dengan

mappatoba. Dalam operasi tersebut para bissu dipaksa meninggalkan kebissuan sekaligus

kecalabaian mereka. Operasi ini menggulung bissu hingga tak ada lagi yang berani muncul

melakukan berbagai upacara.

Sekitar tahun 1970-1980, situasi mulai terkendali. Pemerintah Orde Baru mulai

menancapkan kekuasaannya secara meyakinkan. Dalam situasi yang lebih stabil, pelan-pelan

bissu kembali muncul. Hal ini tak lain karena masyarakat sendiri yang menginginkan

keberadaan mereka. Masyarakat Segeri menganggap bahwa hasil panen yang tidak bagus
dalam beberapa tahun terakhir disebabkan bissu tidak lagi rutin memimpin ritual mappalili.

Diam-diam mereka mulai menggelar kembali berbagai ritual lokal dan menghadirkan bissu

dalam acara tersebut.

Di saat yang sama pemerintah juga membutuhkan keberadaan para bissu dalam

rangka pariwisata. Mereka pun menjadi salah satu objek yang unik dalam dunia pariwisata.

Pertunjukan tari maggirik yang khas ditampilkan di mana-mana. Bissu mulai sering muncul

menghiasi media, dipanggil dalam hajatan-hajatan pemerintah dan bahkan diminta menjadi

narasumber dalam berbagai forum. Posisi yang mulai istimewa ini pun dimanfaatkan oleh

para bissu kembali eksis dalam masyarakat. Posisi mereka yang pada mulanya hanyalah

objek pariwisata, dimanfaatkan untuk mengambil tempat dalam gelanggang kehidupan sosial.
Dengan semakin bagusnya posisi para bissu di tengah masyarakat, berpengaruh pada

kurangnya tekanan pada mereka.

Bissu dalam hal ini cukup cerdik memainkan siasat-siasat di tengah masyarakat agar

keberadaannya kembali diakui. Tidak mengapa berada di bawah tatapan penonton saat

pertunjukkan, yang penting setelah itu masyarakat tidak mempermasalahkan lagi keberadaan

mereka. Para bissu merelakan dirinya untuk tampil dipanggung dan mengkreasi tari maggirik

yang sakral menjadi tari pertunjukkan, tetapi di saat yang sama mereka kembali mendapatkan

ruang-ruang ritualnya. Cara-cara bissu membangun siasat semacam ini dikenal dalam kajian

cultural studies, sebagai hidden transcript (transkrip terselubung).1Dalam hal ini bissu tengah

melawan dominasi kelompok puritan Islam, secara halus, lembut dan mengambil jalan

melingkar, tetapi cukup meluruhkan dan menciptakan reposisi, khususnya bagi kalangan

bissu itu sendiri. Para bissu tidak sedang berusaha menumbangkan posisi kelompok tertentu,

mereka hanya berupaya menjaga komunitasnya tetap survive.

Siasat semacam ini tidak terlihat secara kasat mata sebagai resistensi sebab para bissu

tidak mengerahkan massa, tidak pula melakukan aksi atau demonstrasi ke kelompok yang

selama ini menyingkirkannya. Bissu melakukan perlawanan itu melalui siasat dalam praktik-

praktik kebudayaan sehari-hari. Every day form of resistance, begitu James C. Scott

menyebutkannya.2
Pada akhirnya para bissu kembali menjadi tulang punggung di arena-arena ritual dan

hajatan warga, bahkan dalam acara yang berbau keagamaan. Jika dulunya mereka disisihkan

dari ritual keagamaan karena dianggap sebagai penyembah berhala dan juga berstatus calabai

(waria), maka kini mereka bisa berdampingan dengan para pemuka agama. Dalam acara

massalama, guru (pemuka agama) dan bissu sama-sama diundang dan memiliki peran

masing-masing. Misalnya dalam acara mappeca sure (perayaan hari asyura), keduanya tampil

bersama-sama memimpin upacara. Guru memimpin doa, sedangkan bissu biasanya

1
James C. Scott, Domination and The Art of Resistance Hidden Transcript (New Haven and London:
Yale University Press, 1990.
2
James C. Scott, Senjatanya Orang-orang yang Kalah. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), h. 44 .
memimpin ritual masongka bala. Ritual yang disebut terakhir ini sering menjadi rangkaian

mappeca sure di Segeri.

Anda mungkin juga menyukai