Anda di halaman 1dari 4

“Memetik Pesan Buya”

Refleksi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif dalam Buku “Membumikan Islam”

Ahmad Syafii Maarif atau yang akrab disapa buya Syafii merupakan salah
satu dari segelintir orang yang diberikan penghargaan sebagai guru bangsa dan
intelektual muslim di Indonesia. Dedikasinya dalam merawat keberlangsungan
hidup berbangsa dan bernegara melalui pikiran-pikirannya kerap memberi
kehangatan bagi mereka yang tekun membaca pemikirannya. Sebagai pembaca
yang baru saja mengenal Buya, tentu tidak banyak ulasan yang dapat dipaparkan
di sini. Akan tetapi, hal itu tidak menjadi jurang curam yang membuat saya ragu
mengulas pemikirannya.

Di dalam salah satu bukunya yang berjudul “Membumikan Islam : Dari


Romantisme Masa Silam Menuju Islam Masa Depan”, Buya Syafii berusaha
menampilkan peta ajaran baru yang olehnya disebut sebagai ajaran yang tidak
syarat oleh “dosa-dosa” sejarah. Sebagai seorang sejarawan, tentu Buya Syafii
mengatakan demikian bukan tanpa alasan. Alasan Buya mengatakan demikian
adalah karena teater peradaban yang ditampilkan oleh sejarah Islam sering kali
mengandung kejujuran yang samar. Karena ketidakjujuran sejarah itu lantas
mengilhami Buya untuk menapilkan wajah baru peradaban Islam yang jujur dan
tanpa “dosa-dosa” sejarah supaya Islam tidak tertinggal dalam buritan peradaban.

Dalam tulisan sederhana ini saya akan berusaha mengulas secara singkat
beberapa pesan-pesan Buya Syafii mengenai Islam sebagai ekspresi peradaban di
abad ini dan di sini.

Pada paragraf sebelumnya sempat disinggung bahwa Buya Syafii ingin


memaparkan peta ajaran baru. Peta ajaran baru yang dimaksud oleh Buya adalah
ajaran Islam yang bebas dari kungkungan mazhab atau sekte yang tidak karuan.
Islam haruslah bercorak non-mazhab dan non-sektarian. Ajaran islam dalam jubah
sunni dan syi’ah menurutnya adalah Islam yang sudah tua renta dan sangat lelah.

Tetapi, ini perlu diperjelas lagi. Mazhab yang seperti apa yang
dimaksudkan oleh Buya Syafii. Apakah mazhab pemikiran ataukah mazhab fikih?
Hal ini sulit kita tentukan karena Buya sendiri tidak menjelaskannya secara
langsung. Tetapi, saya beranggapan bahwa mazhab yang dimaksud oleh buya
bukan persoalan fikih, tetapi mazhab dalam aliran akidah yang selama ini
dipertentangkan. Kenapa demikian? Karena dalam sejarah belum ada peristiwa
yang menimbulkan pertentangan yang begitu lama sampai berabad-abad
mengenai persoalan hukum fikih. Kalaupun ada, itu hanya sebatas khilafiah. Beda
halnya dengan mazhab pemikiran yang telah terdekte oleh sejarah. Aliran/mazhab
pemikiran seringkali menimbulkan perpecahan yang begitu panjang sampai
berdarah-darah seperti pertentangan usang antara sunni dan syi’ah.
Kenapa hal ini perlu diperjelas supaya tidak menumbulkan asumsi atau
klaim bahwa Buya Syafii menolak mazhab fikih dan anti terhadapnya. Maka, hal
ini menjadi terang dan jelas.

Kembali lagi pada inti persoalan, keinginan Buya dalam menampilkan


peta ajaran baru dalam bentuk non-aliran merupakan sebuah optimisme untuk
menatap Islam di depan karena menurutnya aliran-aliran yang telah lama hidup itu
telah mengalami sakit yang sangat kronis dan tidak lagi dapat dipercaya. Islam
yang sebenar-benarnya adalah Al-Qur’an yang jujur dan bebas dari kekurangan.

Muncul sebuah pertanyaan, kenapa aliran-aliran itu tidak lagi dapat


dipercaya? Sesungguhnya mereka telah dipercaya oleh sejarah untuk memimpin
suatu peradaban tetapi dijalankan secara tidak jujur dan berdarah-darah. Hal itu
sangat bertentangan dengan moral transendental yang melekat dalam Al-Qur’an
seperti keadilan, kesetaraan, kesatuan, dan kekeluargaan sebagai sumber primer
agama Islam. Pertentangan antara Sunni dan Syi’ah misalnya.

Aliran sunni mengklaim golongan mereka yang lebih pantas memimpin


ummat Islam dalam sejarah karena mereka adalah golongan yang mayoritas.
Sedangkan syi’ah dan lainnya yang masuk ke dalam golongan minoritas tidak
memiliki tempat sama-sekali untuk tampil dalam teater sejarah. Tentu klaim ini
sangat tidak logis menurut Al-Qur’an.

Menurut Buya, logika seperti itu seperti memaksa Tuhan untuk memihak
pada kepentingan golongan mereka yang kebetulan menjadi mayoritas. Padahal
Tuhan adalah zat yang berdiri sendiri dan tidak mungkin mungkin berpihak
kepada satu golongan saja. Apalagi jika menuruti logika Syi’ah yang minoritas
akan lebih rancau lagi. Apakah mungkin Tuhan memihak pada segelintir orang
yang berada dalam satu golongan dan melupakan berjuta-juta ummat dalam
sejarah yang tidak termasuk ke dalam golongan mereka?

Maka, pesan Buya Syafii dalam menanggapi pertentangan usang ini


adalah menampilkan wajah Islam yang baru menurut etika Al-Qur’an. Menurut
Buya, wajah Islam yang baru itu berada dalam prinsip ukhuwah islamiyah antara
sesama Muslim sebab tanpa ukhuawah yang melahirkan solidaritas sosial dan
ekonomi, pembumian ajaran Islam akan tetap berada dalam tahap angan-angan.
Untuk membentuk sebuah solidaritas sosial, setiap Muslim haruslah melandasi
diri mereka dengan iman. Iman bukan dalam arti umum tetapi iman yang sadar
dan kritis. Kesalahan umum ummat sekarang ini adalah berada pada persoalan
kurangnya pemahaman tentang iman secara sadar dan mendalam sehingga banyak
sekali yang abai dalam menanggapi persoalan sosial dan ekonomi ummat.

Iman menurut Buya syafii memiliki implikasi doktrinal mengenai kesatuan


ummat manusia. Manusia adalah satu keluarga. Hubungan antara ajaran
monoteisme dan kesatuan ummat inilah yang akan melahirkan prinsip moral yang
dikenal sebagai keadilan. Jika ajaran keesaan Tuhan tidak dikaitkan dengan
kehidupan kolektif manusia maka yang akan terjadi adalah sikap acuh tak acuh
mengenai kehidupan sosial dan tentunya akan menimbulkan ketidakadilan akibat
munculnya etika golongan yang saling mengklaim diri benar satu sama lain. “Etik
golongan merupakan pangkal sebab dari kecelakaan sejarah ini”, tutur Buya.

Maka, persoalan tentang golongan-golongan usang yang telah mencabik-


cabik solidaritas ummat harus ditinggalkan karena telah bopeng, jauh dari kata
anggun. Maka, iman sebagai potensi rohani yang diaktualkan dalam kehidupan
manusia itu diharapkan mampu mencapai tujuan-tujuan kemanusiaan sesuai
dengan etika Al-Qur’an seperti keadilan, persamaan, toleransi dan persaudaraan.

Persoalannya adalah selama ini teater sejarah ummat dalam periode-


periode tertentu dan kondisi sosial sekarang ini mewartakan proses memudarnya
prinsip-prinsip moral tersebut. Di antara sebab utama mengapa situasi memudar
ini kita derita adalah karena pegangan etik yang kita pedomani bukan sepenuhnya
etik Al-Qur’an, tapi lebih banyak etik golongan, organisasi, suku, bangsa, dan
kelompok kepentingan. Dan tragisnya, justru kita malah berbanga-bangga satu
sama lain. Sungguh sangat disayangkan bahwa perpecahan yang kita derita selama
berabad-abad sebelumnya tidak membuat kita sadar dan jera dengan etik golongan
ini.

Selanjutnya, Buya berpesan kepada kita mengenai tantangan yang akan


kita hadapi di masa depan kita nantinya. Pertama, Buya berpesan bahwa kendati
sejarah kita telah menampilkan keadaan yang teruk dan ketidakjujuran, sebagai
Muslim kita tidak seharusnya mencerca realitas sejarah. Bahkan, Buya melarang
keras untuk bersikap demikian karena menurutnya sikap yang seperti itu
merupakan manifestasi dari kegagalan dan keputusasaan ummat dalam menatap
masa depan.

Sebagai Muslim, kita seharusnya optimis melihat tantangan masa depan


dengan jernih dan membarenginya dengan tindakan yang jujur agar tidak ada lagi
dosa sejarah yang kita tinggalkan. Bukankah Al-Qur’an telah mewartakan bahwa
kita adalah sebaik-baiknya ummat? Warta tersebut jangan dijadikan sebagai
alasan untuk berbanga-bangga tetapi haruslah dijadikan sebagai tujuan yang harus
dicapai.

Kedua, untuk menjadi ummat yang tangguh, jangan lagi terpasung oleh
jubah kebesaran masa lampau. Masa lalu telah tiada. Tantangan kita lebih
kompleks dari jubah masa lampau. Maka, akan menjadi masalah jika dalam
menghadapi tantangan yang demikian kompleks, kita malah kembali kepada masa
lalu seakan-akan masa tersebut telah memberikan segala-galanya. “Sikap yang
betul ialah dengan menjadikan masa lampau itu sebagai sumber inspirasi untuk
menatap masa depan dengan rasa percaya diri yang tulen”, pesan Buya.

Ketiga, Al-Qur’an sebagai prinsip moral utama ummat Islam juga telah
mewartakan bahwa nanti di masa depan ummat ini akan menjadi saksi peradaban
di hapadan seluruh manusia. Saksi akan munculnya sebuah peradaban yang
anggun dan jujur. Dan ini masih menjadi tujuan tanpa batas sebagai Muslim.
Karena sekali lagi, dalam periode-periode tertentu sejarah kita lebih banyak
menampilkan bukti keterpurukan peradaban daripada keberhasilan peradaban.
“Kita tidak lagi memiliki wibawa sejarah”, tutur Buya secara jujur sebagai
seorang ahli sejarah.

Maka pesan Buya adalah sebagai seorang Muslim kita juga harus adil
dalam menanggapi sejarah yang ada. Kita sering kali menolak corak pemikiran
yang berbau asing. Kita seperti kehilangan prinsip. Kita kehilangan daya kritis
dan selektif dalam berkomunikasi dengan peradaban asing. Bukankah kita
diwartakan sebagai saksi peradaban nantinya? Jika kita menutupi diri dari
peradaban asing, bagaimana mungkin kita akan menjadi saksi di atas panggung
teater sejarah yang panjang ini?

Peradaban barat telah membumihanguskan gagasan tentang keberadaan


Tuhan. Tetapi di sisi lain, mereka mampu menciptakan kondisi sosial yang cukup
baik dan ekonomi yang masif bagi ummat manusia. Sedangkan kita sebagai
manusia yang beriman dengan congkaknya mengakui keeasaan Tuhan tetapi gagal
membentuk solidaritas kesatuan ummat dan pemerataan ekonomi dan masih
terpasung oleh keterbelakangan. Bukankah kita sama saja membelakangi dan
membohongi Tuhan?

Anda mungkin juga menyukai