Memetik Pesan Buya - Khaerl Majdi
Memetik Pesan Buya - Khaerl Majdi
Ahmad Syafii Maarif atau yang akrab disapa buya Syafii merupakan salah
satu dari segelintir orang yang diberikan penghargaan sebagai guru bangsa dan
intelektual muslim di Indonesia. Dedikasinya dalam merawat keberlangsungan
hidup berbangsa dan bernegara melalui pikiran-pikirannya kerap memberi
kehangatan bagi mereka yang tekun membaca pemikirannya. Sebagai pembaca
yang baru saja mengenal Buya, tentu tidak banyak ulasan yang dapat dipaparkan
di sini. Akan tetapi, hal itu tidak menjadi jurang curam yang membuat saya ragu
mengulas pemikirannya.
Dalam tulisan sederhana ini saya akan berusaha mengulas secara singkat
beberapa pesan-pesan Buya Syafii mengenai Islam sebagai ekspresi peradaban di
abad ini dan di sini.
Tetapi, ini perlu diperjelas lagi. Mazhab yang seperti apa yang
dimaksudkan oleh Buya Syafii. Apakah mazhab pemikiran ataukah mazhab fikih?
Hal ini sulit kita tentukan karena Buya sendiri tidak menjelaskannya secara
langsung. Tetapi, saya beranggapan bahwa mazhab yang dimaksud oleh buya
bukan persoalan fikih, tetapi mazhab dalam aliran akidah yang selama ini
dipertentangkan. Kenapa demikian? Karena dalam sejarah belum ada peristiwa
yang menimbulkan pertentangan yang begitu lama sampai berabad-abad
mengenai persoalan hukum fikih. Kalaupun ada, itu hanya sebatas khilafiah. Beda
halnya dengan mazhab pemikiran yang telah terdekte oleh sejarah. Aliran/mazhab
pemikiran seringkali menimbulkan perpecahan yang begitu panjang sampai
berdarah-darah seperti pertentangan usang antara sunni dan syi’ah.
Kenapa hal ini perlu diperjelas supaya tidak menumbulkan asumsi atau
klaim bahwa Buya Syafii menolak mazhab fikih dan anti terhadapnya. Maka, hal
ini menjadi terang dan jelas.
Menurut Buya, logika seperti itu seperti memaksa Tuhan untuk memihak
pada kepentingan golongan mereka yang kebetulan menjadi mayoritas. Padahal
Tuhan adalah zat yang berdiri sendiri dan tidak mungkin mungkin berpihak
kepada satu golongan saja. Apalagi jika menuruti logika Syi’ah yang minoritas
akan lebih rancau lagi. Apakah mungkin Tuhan memihak pada segelintir orang
yang berada dalam satu golongan dan melupakan berjuta-juta ummat dalam
sejarah yang tidak termasuk ke dalam golongan mereka?
Kedua, untuk menjadi ummat yang tangguh, jangan lagi terpasung oleh
jubah kebesaran masa lampau. Masa lalu telah tiada. Tantangan kita lebih
kompleks dari jubah masa lampau. Maka, akan menjadi masalah jika dalam
menghadapi tantangan yang demikian kompleks, kita malah kembali kepada masa
lalu seakan-akan masa tersebut telah memberikan segala-galanya. “Sikap yang
betul ialah dengan menjadikan masa lampau itu sebagai sumber inspirasi untuk
menatap masa depan dengan rasa percaya diri yang tulen”, pesan Buya.
Ketiga, Al-Qur’an sebagai prinsip moral utama ummat Islam juga telah
mewartakan bahwa nanti di masa depan ummat ini akan menjadi saksi peradaban
di hapadan seluruh manusia. Saksi akan munculnya sebuah peradaban yang
anggun dan jujur. Dan ini masih menjadi tujuan tanpa batas sebagai Muslim.
Karena sekali lagi, dalam periode-periode tertentu sejarah kita lebih banyak
menampilkan bukti keterpurukan peradaban daripada keberhasilan peradaban.
“Kita tidak lagi memiliki wibawa sejarah”, tutur Buya secara jujur sebagai
seorang ahli sejarah.
Maka pesan Buya adalah sebagai seorang Muslim kita juga harus adil
dalam menanggapi sejarah yang ada. Kita sering kali menolak corak pemikiran
yang berbau asing. Kita seperti kehilangan prinsip. Kita kehilangan daya kritis
dan selektif dalam berkomunikasi dengan peradaban asing. Bukankah kita
diwartakan sebagai saksi peradaban nantinya? Jika kita menutupi diri dari
peradaban asing, bagaimana mungkin kita akan menjadi saksi di atas panggung
teater sejarah yang panjang ini?