Anda di halaman 1dari 12

Fisioterapi dada terdiri dari postural drainage, perkusi, vibrasi, batuk,

suctioning, dan mobilisasi pasien. Tidak ada dari manuver-manuver ini yang telah
diteliti secara mendalam dalam semua bentuk uji klinis. Meski beberapa bentuk
terapi dada dan endotracheal suctioning penting pada semua pasien yang
terpasang ventilasi mekanis, bentuk terapi dada yang paling efektif masih belum
diketahui. Terlebih lagi, meski peran fisioterapi dada rutin pada pasien
postoperatif masih menjadi kontroversi, sejumlah penelitian telah membuktikan
bahwa terapi ini efektif dalam menurunkan kompikasi pulmoner postoperatif pada
pasien yang menjalani bedah thorakal dan abdominal.(1)

Chest drain adalah prosedur yang seharusnya dilakukan sesegera mungkin


ketika ada kecurigaan serius tension pneumothorax atau hematothorax masif
berdasarkan pada tanda klinis pada pasien yang memiliki kesulitan bernapas atau
hipoksik. Tanda-tanda klinis antara lain sebagai berikut: berkurangnya defleksi
pada satu sisi chest cage, suara napas yang terdengar tidak ada atau minimal, suara
drumlike (mirip drum) dengan perkusi pada kasus pneumothorax dan dullness
pada hematothorax, dan trakea yang terpalpasi di sternal notch tertekan di sisi
yang berlawanan. Informasi tambahan bisa didapatkan dari pulse oximetry,
extended focused assessment sonography (e-FAST) dalam trauma. Pemeriksaan
radiografi thoraks untuk diagnosis pneumo/hematothorax memiliki sensitivitas
yang kurang dari 50%. Pemeriksaan CT-scan memiliki sensitivitas yang
mendekati 100%, tetapi bukanlah alat diagnostik yang optimal pada pasien yang
tidak stabil.(2)

Manajemen yang optimal dalam drain intercostal dan kebocoran udara


persisten, yang juga mencakup intervensi fisioterapi, hingga kini masih menjadi
perdebatan. Klarifikasi apakah dan bagaimana intervensi fisioterapi berpengaruh
pada kebocoran udara persisten mungkin dapat membantu dalam mengoptimalkan
manajemen mereka dan berpotensi mengurangi biaya rumah sakit.(3)

Definisi fisioterapi
Fisioterapi dada merupakan salah satu aspek dari higienitas bronkhial dan
bisa mencakup turning (membalikkan tubuh), drainase postural, perkusi dan
vibrasi dada, dan teknik batuk khusus yang dikenal sebagai directed cough (batuk
terarah).(4)

Terapi fisik dada atau fisioterapi dada merupakan istilah untuk


sekelompok terapi fisik yang dirancang untuk memperbaiki efisiensi respiratorik
dengan mendorong ekspansi paru, memperkuat otot respiratorik, dan
mengeluarkan sekresi dari paru. Tujuan dari fisioterapi dada adalah untuk
membantu pasien bernapas lebih bebas. Ini bisa dicapai dengan meningkatkan
volume paru, menurunkan kerja pernapasan, dan membersihkan sekresi dari jalan
napas. Fisioterapi dada biasanya dilakukan pada tahap eksaserbasi akut penyakit
respiratorik, bersamaan dengan suctioning sekresi dari jalan napas dan pemberian
obat inhalasi seperti bronkodilator untuk meredakan spasme otot polos bronkial,
obat anti-inflamatorik untuk menurunkan inflamasi membran mukosa dan
ekspektoran melalui nebuliser atau aerosol spray untuk menyingkirkan kelebihan
sekresi mukus.(5)

Bentuk fisioterapi

1. Turning adalah rotasi tubuh pada aksis panjangnya. Turning biasanya


dilakukan bersama dengan prosedur yang dirancang untuk membantu
kenyamanan dan perawatan kulit pasien. Akan tetapi, biasanya perlu untuk
memperhatikan posisi dada dan melakukan positioning area spesifik untuk
memunculkan pergerakan sekresi. Tempat tidur khusus yang secara
periodik melakukan perubahan posisi akan membantu bersama dengan
turning pasien menggunakan tangan.(4)
2. Postural drainage adalah memposisikan pasien dan tempat tidur
sedemikian rupa sehingga cairan berada di bawah segmen paru yang akan
didrainase. Segmen paru target sebisa mungkin hampir tegak lurus
terhadap tanah. Tujuannya adalah untuk menggerakkan sekresi dari jalan
napas perifer ke jalan napas yang lebih sentral untuk eliminasi. Durasi
biasanya 3 hingga 15 menit per segmen tergantung pada sifat sekresi.(4)
3. Perkusi bisa disebut juga sebagai cupping atau clapping. Prosedur ini
berupa tepukan thoraks secara ritmik dengan tangan pada segmen paru
yang akan didrainase. Teorinya adalah energi disalurkan melalui dinding
dada menuju paru dan mampu melepaskan sekresi yang melekat pada
jaringan paru. Kini telah tersedia alat mekanik dan pneumatik yang meniru
tindakan ini. Tindakan ini juga bisa digunakan untuk memulai batuk
dengan melakukan perkusi pada jalan napas besar.(4)
4. Vibrasi adalah menempatkan tangan di sepanjang kostae searah dengan
gerakan ekspiratorik dada. Vibrasi singkat cepat (tremor) dan sedikit
tekanan diberikan selama ekshalasi untuk memperkuat fase siklus
respiratorik ini. Manuver ini meniru forced exhalation yang terjadi pada
batuk. Vibrasi tangan yang kuat bersama dengan ventilasi tekanan positif
disebut sebagai “artificial cough (batuk buatan)”. Ini digunakan untuk
membantu pembuangan sputum pada pasien dengan paralisis yang
terpasang ventilator. Alat mekanik yang digunakan untuk membantu
vibrasi berbeda dari metode manual dimana alat mekanik akan terus
bekerja selama inspirasi dan ekspirasi.(4)
5. Directed cough. Ketika batuk spontan tidak cukup untuk menggerakkan
sekresi, teknik directed cough mungkin bisa digunakan. Teknik directed
cough adalah manuver khusus yang diajarkan, diawasi, dan dimonitor.
Forced expiratory technique atau “huff cough”, dan batuk dengan bantuan
tangan adalah beberapa contoh manuver tersebut.(4)
6. Incentive spirometer adalah alat yang digunakan untuk memperbaiki
fungsi paru. Alat ini membantu meminimalkan kemungkinan penumpukan
cairan di dalam paru dan memperbaiki aliran udara dalam paru. Pasien
mengambil napas dari alat selambat dan sedalam mungkin, dan kemudian
menahan napas selama 2-6 detik sesuai feedback visual.(6)
7. Manual hyperinflation. Teknik MH melibatkan pelepasan pasien dari
ventilator dan mengembangkan paru dengan volume tidal besar
menggunakan resuscitator bag manual. MH digunakan dengan tujuan
untuk mencegah kolaps paru, memicu re-ekspansi alveoli yang kolaps,
memperbaiki oksigenasi dan compliance paru, dan meningkatkan gerakan
sekresi pulmoner menuju jalan napas sentral. Aplikasi teknik ini oleh
fisioterapis dan staf perawat, bisa sangat bervariasi dalam hal volume yang
diberikan, tekanan jalan napas, jumlah PEEP yang diaplikasikan,
kecepatan aliran, dan FiO2.(7)

Perkusi dan vibrasi adalah teknik yang paling sering direkomendasikan


untuk pasien yang terpasang ventilasi mekanis dan terintubasi dan untuk pasien
dengan gangguan kognisi atau kemampuan batuk yang buruk. Perkusi dan vibrasi
digunakan untuk memperkuat clearance mukosiliaris dari jalan napas sentral dan
perifer. Mekanisme kerja dari perkusi dada hingga kini masih belum diketaui
dengan jelas.(1)

Perkusi bisa dilakukan secara manual dengan menepuk dinding dada pada
area paru yang terpengaruh. Vibrasi dapat diaplikasikan secara manual atau
menggunakan alat mekanis yang menghasilkan vibrasi, goyangan, atau kompresi
dinding dada selama fase ekspiratorik. Teknik-teknik ini dipercayai meningkatkan
clearance sekresi jalan napas dengan menyalurkan gelombang energi melintasi
dinding dada.(7)

Tracheal suctioning merupakan komponen penting dari terapi dada untuk


pasien yang terintubasi. Deep suctioning biasanya diperlukan untuk
menggerakkan sekresi. Jika suctioning tidak dilakukan dapat menyebabkan
tertutupnya jalan napas atau bahkan oklusi endotracheal tube. Karena sekresi
respiratorik paling sering setelah perubahan posisi pasien dan setelah fisioterapi
dada, waktu pelaksanaan prosedur suctioning seharusnya disesuaikan dengan
intervensi ini.(1)

Latihan pernapasan dan fisioterapi dada merupakan andalan untuk


mencapai ekspansi paru dengan cepat dan kesembuhan yang lebih cepat. Incentive
spirometry memberikan pasien dengan dorongan untuk ekspansi paru dengan
cepat. Gerakan ekstrimitas atas, khususnya di bahu, akan mengembalikan gerakan
dinding dada.(8)
MH digunakan dengan tujuan untuk mencegah kolaps paru, memicu re-
ekspansi alveoli, memperbaiki oksigenasi dan compliance paru, dan
meningkatkan gerakan sekresi pulmoner. Akan tetapi, kesulitan dengan MH
adalah bagaimana melakukannya dan sirkuit resusitasi yang berbeda dari
hiperinflasi mesin. Hanya satu penelitian yang membandingkan hiperventilasi
manual dan ventilator, yang menemukan bahwa kedua teknik sama efektifnya
dalam membersihkan sekresi pulmoner dan memperbaiki compliance pulmoner
statik. Akan tetapi, peneliti lain menunjukkan bahwa MH dapat mencegah
atelektasis dan memicu re-ekspansi atelektasis, meningkatkan clearance sekresi,
dan menurunkan insidensi pneumonia nosokomial pada pasien yang terpasang
ventilasi mekanis.(7)

Indikasi fisioterapi

Indikasi umum untuk mempertimbangkan fisioterapi dada antara lain:(4)

- Produksi sputum berlebihan


- Berkurangnya efektivitas batuk
- Riwayat keberhasilan CPT untuk menangani masalah pulmoner
sebelumnya
- Suara napas tambahan yang menunjukkan dugaan sekresi di dalam jalan
napas yang menetap setelah batuk
- Perubahan dalam tanda vital
- Hasil radiografi abnormal yang menunjukkan dugaan atelektasis,
sumbatan mukus, atau infiltrat
- Perburukan signifikan dalam indeks pertukaran gas dari status baseline.

Aktivitas mukosiliaris dan batuk yang efektif diperlukan untuk clearance


jalan napas yang normal. Sekret yang kental, penggunaan endotracheal tube,
dehidrasi, hipoksemia, immobilitas, dan humidifikasi gas yang buruk dapat
mengganggu clearance mukosiliaris, menyebabkan retensi sekresi. Kondisi
neurologis dan paralisis yang disebabkan karena obat yang mempengaruhi
inervasi glottis atau otot intercostal dan abdominal dapat mengganggu aliran
udara, menyebabkan batuk yang tidak efektif. Pasien di ICU biasanya memiliki
salah satu atau beberapa kondisi ini.(9)

Fisioterapi dada di ICU

Fisioterapi dada adalah salah satu intervensi yang paling sering dilakukan
di area perawatan intensif. Ada banyak alasan fisiologis kenapa pasien ICU
mungkin mendapatkan treatment fisioterapi. Beberapa alasan antara lain disfungsi
mukosiliaris, perubahan volume paru ketika pasien berada dalam ventilasi
mekanis, peningkatan pulmonary shunt, efek dari kelemahan neuromuskuler
terhadap aliran respiratorik, peningkatan risiko pneumonia nosokomial. Sejauh
ini, fisioterapi dada telah diketahui sebagai salah satu aspek penting untuk
mencapai keberhasilan weaning dari ventilator. Refleks batuk yang berkurang
atau menghilang pada pasien yang terpasang intubasi mungkin berhubungan
dengan retensi sekresi bronkhial dan risiko infeksi pulmoner. Beberapa teknik
fisioterapi telah digunakan untuk memfasilitasi drainase bronkhial yang adekuat
pada pasien ini, yang sangat tergantung pada compliance pasien dan ketrampilan
staf. Penggunaan alat (seperti PEP mask, flow and volume spirometer) untuk
meningkatkan clearance sekresi bronkhial biasanya tidak dipertimbangkan pada
fase awal treatment, karena teknik-teknik ini memerlukan kerja sama yang
substansial dari pasien.(7)

Pasien di ICU dirawat dalam posisi supine untuk jangka waktu yang relatif
lama. Dalam posisi supine, isi abdomen akan mendorong ke arah kepala,
menurunkan kapasitas residual fungsional dan menyebabkan penutupan alveolus
pada zona paru yang tergantung. Selain itu, immobilitas menyebabkan akumulasi
mukus pada zona paru yang tergantung. Pasien yang terpasang ventilasi, sedasi,
ventilasi mekanis tidak dapat menggerakkan sekresi respiratorik mereka. Karena
endotracheal tube tidak melewati mekanisme glottik, batuk menjadi tidak efektif
pada pasien yang terintubasi. Selain itu, endotracheal tube mengganggu transport
mukosiliaris normal. Dengan demikian, pasien ini berisiko tinggi untuk
mengalami atelektasis segmental atau lobar. Bedah thorakal atau abdominal
semakin meningkatkan risiko kemunculan atelektasis. Segmen yang paling sering
untuk mengalami atelektasis adalah lobus kiri bawah, kemungkinan karena
desakan oleh jantung dalam posisi supine dan drainase yang buruk. Atelektasis
mengganggu oksigenasi, meningkatkan risiko kemunculan pneumonia, dan
menyebabkan penundaan upaya weaning. Dengan demikian, terapi fisik
merupakan komponen yang sangat penting dalam manajemen semua pasien kritis
untuk mencegah retensi sekresi dan atelektasis.(1)

Teknik fisioterapi yang digunakan di ICU serupa dengan yang diusulkan


oleh Thoren lebih dari 40 tahun yang lalu. Postural drainage, perkusi, vibrasi,
batuk, suctioning, latihan pernapasan, mobilisasi pasien, dan kadang manual
hyperinflation dilakukan untuk menyingkirkan sekret. Efektivitas positioning
sendiri untuk menyingkirkan sekresi masih belum diketahui. Sebagian besar
pasien di ICU tidak dapat mentolerir program latihan. Akan tetapi, turning,
suctioning, transfer training, dan ambulation merupakan bagian integral dari
penilaian dan treatment fisioterapi dada dan mungkin dapat meminimalkan
kebutuhan postural drainage menggunakan teknik manual.(9)

Peran fisioterapi dada pada pasien ICU yang tidak terintubasi dengan
gangguan respiratorik seperti pneumonia, COPD, dan asma masih belum jelas.
Fisioterapi dada diindikasikan jika pasien mengalami atelektasis, tetapi ketika
tidak ada atelektasis, data yang mendukung terapi ini masih sangat kurang.(1)

Sebuah rekomendasi yang disusun oleh de Franca et al membuat tabel


intervensi bronchial hygiene therapy (BHT) dan pulmonary expansion therapy
(PET) berdasarkan mekanisme kerja dan indikasi (tabel 1).(10)

Tabel 1. Hubungan antara komponen-komponen PET dan BHT dengan


kemampuan kerja sama dan forced vital capacity pasien
Fisioterapi dada pada pasien terpasang WSD

Pemasangan chest tube bertujuan untuk mempertahankan inflasi paru


dan/atau mengeluarkan cairan dari kavitas thorakal atau mediastinal.
Mempertahankan sistem yang tertutup ini dengan menjaga chest tube pada posisi
tegak dan water seal di tempatnya akan mencegah terjadinya kolaps paru dan
distres respiratorik. Penggunaan suction mungkin diperlukan untuk
mempertahankan sistem tertutup ketika terdapat kebocoan udara besar dari paru
menuju kavitas thorakal. Ketika kebocoran udara kecil atau ketika mengevaluasi
kebutuhan untuk melanjutkan penggunaan chest tube, suction mungkin tidak
diperlukan tetapi water seal atau clamp surgical sementara harus tetap terpasang.
(11)

Fisioterapi dada bersama dengan latihan range of motion (ROM) bahu


sesuai kemampuan toleransi pasien berguna dalam manajemen ventilasi pulmoner
dan clearance jalan napas. Pelepasan CT dapat menyebabkan kemunculan
pneumothorax baru atau eksaserbasi kebocoran udara yang menyertai jejas
jaringan paru. Pemeriksaan atau pelaksanaan sesi fisioterapi biasanya ditunda
setelah pelepasan CT hingga pemeriksaan x-ray thoraks dilakukan dan telah
dibaca hasilnya untuk menyingkirkan kemungkinan pneumothorax.(11) Semua
prosedur perawatan, gerakan pasien, dan fisioterapi bisa dilakukan asalkan drain
tidak dalam keadaan tertutup (clamping), dengan sistem drainase dijaga tetap di
bawah ketinggian dada sepanjang waktu.(8) Fisioterapis juga harus mengeluarkan
cairan yang menggenang dalam selang ke botol WSD sebelum memulai terapi.
Selang WSD dan sistem drainase tidak boleh di atas ketinggian dada, karena dapat
menyebabkan cairan masuk kembali ke dalam dada.(12)

Pasien thoracotomy yang terpasang chest tube dan suction, seharusnya


juga menjalani fisioterapi dada harian. Fisioterapi dada seharusnya mencakup
latihan pernapasan dalam, incentive spirometry, dan ambulasi dini. Aktivitas-
aktivtias ini dirancang untuk mempertahankan ekspansi paru yang memadai untuk
mencegah atelektasis dan pneumonia. (13)

Fisioterapi didasarkan pada mobilisasi dan perubahan posisi rutin.


Berbaring pada sisi pneumothorax dapat membantu menutup kebocoran dan
memfasilitasi ekspansi paru, tetapi ini tidak nyaman bagi pasien jika ada chest
drain, dan dapat menyebabkan desaturasi pada penumothoraks besar karena
mismatch VA/Q.(14)

Efikasi fisioterapi dada bisa dinilai berdasarkan penurunan insidensi


infeksi pulmoner atau perbaikan dalam fungsi pulmoner. Manfaat lain dari
fisioterapi dada bisa mencakup penurunan durasi ventilasi mekanis dan
pencegahan trakeostomi.(9) Hingga kini masih sangat sedikit penelitian yang
menganalisis metode fisioterapi yang digunakan pada pasien yang menjalani
bedah thoraks. Sebuah penelitian yang membandingkan ataran fisioterapi
respiratorik dengan incentive spirometry pada pasien bedah thoraks. Sebanyak 50
pasien dengan efusi pleura yang menjalani thoracoscopy diacak untuk
mendapatkan fisioterapi respiratorik dengan hanya incentive spirometry atau
fisioterapi respiratorik yang mencakup respirasi diafragma, latihan respirasi
kostal, efficient coughing, latihan postur dan latihan respirasi gabungan yang
diawasi atau dilakukan oleh fisioterapis yang berpengalaman selama 30 menit dan
dua kali sehari. Hasil penelitian menemukan bahwa metode fisioterapi respiratorik
yang dilakukan oleh fisioterapis respiratorik lebih efektif daripada incentive
spirometry setelah thoracotomy.(15)

Akan tetapi, beberapa penelitian mendukung penggunaan incentive


spirometry. Incentive spirometer adalah alat yang digunakan untuk memperbaiki
fungsi paru. Incentive spirometer membantu ekspansi paru, maka alat ini bisa
digunakan untuk pengumpulan residu cairan atau udara untuk keluar dari ruang
pleural menuju WSD dan dengan demikian dapat membantu mempercepat
pelepasan chest drain. Tipe fisioterapi ini direkomendasikan dan dianggap penting
dalam penatalaksanaan pasien thoracostomy, tetapi bukti masih kurang. Penelitian
oleh Khan et al menemukan bahwa penggunaan incentive spirometer membantu
mempercepat pemulihan pasien yang mendapatkan tube thoracostomy dan
memperpendek lama inap rumah sakit.(6)

Kesimpulan

Hingga kini masih sedikit penelitian berkualitas yang menilai efektivitas


fisioterapi dada, khususnya pada pasien yang terpasang water seal drainage.
Fisioterapi respiratorik yang mencakup respirasi diafragma, latihan respirasi
kostal, efficient coughing, latihan postur dan latihan respirasi gabungan yang
dilakukan oleh fisioterapi berpengalaman atau incentive spirometry mungkin bisa
dipertimbangkan untuk fisioterapi pada pasien yang terpasang WSD, tetapi
manfaatnya hingga kini masih menjadi perdebatan. Diperlukan lebih banyak
penelitian di masa mendatang yang menyelidiki seberapa besar manfaat yang
diberikan fisioterapi dan bentuk fisioterapi apa yang paling tepat untuk pasien
yang terpasang WSD.

DAFTAR PUSTAKA

1. Marik PE. Handbook of Evidence-Based Critical Care [Internet]. Berlin,


Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg; 2001 [cited 2016 Nov 24].
Available from: http://link.springer.com/10.1007/978-3-642-86943-3

2. Molnar TF. Thoracic Trauma. Thorac Surg Clin. 2017 Feb;27(1):13–23.


3. Reeve J, Denehy L, Stiller K. The physiotherapy management of patients
undergoing thoracic surgery: a survey of current practice in Australia and
New Zealand. Physiother Res Int. 2007 Jun;12(2):59–71.

4. Warren G Magnussen Clinical Center. Chest Physiotherapy [Internet].


National Insitute of Health; 2000 [cited 2016 Nov 20]. Available from:
http://clinicalcenter.nih.gov/ccmd/cctrcs/pdf_docs/Bronchial%20Hygiene/
01-ChestPhysiotherapy.pdf

5. Mitra PK. Handbook Practical Chest Physiotherapy. [Internet]. New Delhi;


Ashland: Jaypee Brothers, Medical Publishers BookMasters Distribution
Services (BDS) [distributor; 2008 [cited 2016 Nov 28]. Available from:
http://www.123library.org/book_details/?id=29911

6. Khan NA, Rehman A, Khan I, Samo KA, Memon AS. Role of Incentive
Spirometry in Trauma Patients Managed with Tube Thoracostomy. J Dow
Univ Health Sci. 2015;9(3):117–20.

7. Clini E, Ambrosino N. Early physiotherapy in the respiratory intensive care


unit. Respir Med. 2005 Sep;99(9):1096–104.

8. Pranit C. Tube Thoracostomy Management [Internet]. [cited 2016 Nov 20].


Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1503275-overview

9. Ciesla ND. Chest physical therapy for patients in the intensive care unit.
Phys Ther. 1996 Jun;76(6):609–25.

10. de Franca EET, Ferrari F, Fernandes P, Cavalcanti R, Duarte A, Martinez


BP, et al. Physical Therapy in Critically Ill Adult Patients:
Recommendations from the Brazilian Association of Intensive Care
Medicine Department of Physical Therapy. Rev Bras Ter Intensiva.
2012;24(1):6–22.

11. Brigham and Women’s Hospital. Physical Therapy Standards of Care:


Cardiac [Internet]. 2009 [cited 2016 Nov 20]. Available from:
http://www.brighamandwomens.org/Patients_Visitors/pcs/rehabilitationservi
ces/Physical-Therapy-Standards-of-Care-and-Protocols/Cardiac%20SOC.pdf

12. Watchie J. Cardiovascular and pulmonary physical therapy: a clinical


manual. 2nd ed. St. Louis, Mo: Saunders/Elsevier; 2010. 458 p.

13. Bourgeois Jr SL. Adjuncts for Care of the Surgical Patient, An Issue of Atlas
of the Oral & Maxillofacial Surgery Clinics 23-2, [Internet]. 2015 [cited
2016 Nov 22]. Available from:
https://nls.ldls.org.uk/welcome.html?ark:/81055/vdc_100035066402.0x0000
01
14. Hough A. Physiotherapy in respiratory care: a problem-solving approach to
respiratory and cardiac management. London: Chapman & Hall; 1996.

15. Gunay S, Eser I, Ozbey M, Agar M, Koruk I, Kurkcuoglu I. Evaluation of


two different respiratory physiotherapy methods after thoracoscopy with
regard to arterial blood gas, respiratory function test, number of days until
discharge, cost analysis, comfort and pain control. Niger J Clin Pract.
2016;19(3):353.

Anda mungkin juga menyukai