Anda di halaman 1dari 11

PEMBAHASAN

Pada pembahasan ini, mahasiswa melaporkan pembahasan asuhan


keperawatan pada Tn. S umur 57 tahun dengan diagnosis medis Efusi Pleura + TB
Paru + Pneumonia (post covid 19) + Tumor Paru di Ruang Isolasi Khusus (RIK) 3
sesuai proses asuhan keperawatan mulai dari pengkajian keperawatan, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi
keperawatan.

Pada proses pengkajian dilakukan secara wawancara, pemeriksaan fisik dan


pengumpulan data sekunder melalui hasil pemeriksaan penunjang dan catatan
medis lainnya. Tn. S umur 57 tahun dengan diagnosa medis Efusi Pleura + TB
Paru + Pneumonia (post covid 19) + Tumor Paru saat pengkajian yaitu mengeluh
sesak napas disertai nyeri pada dada kanan dan merasa nyeri pada pinggang, serta
batuk berdahak dengan dahak yang sulit keluar, nafsu makan menurun karena
terdapat nyeri telan, klien mengatakan mudah Lelah dan lemas apalagi saat rasa
sesak muncul. Keluhan utama yang membuat klien mencari bantuan medis adalah
karena klien merasa sesak napas. Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 17
Mei 2023 didapati klien mengeluh sesak napas (dispnea), keadaan umum lemah,
kesadaran composmentis, GCS E4V5M6, tekanan darah 137/87 mmHg, nadi 103
x/menit, RR 22 x/menit, suhu tubuh 36,4 0C, SpO2 96 % dengan terpasang oksigen
nasal kanul 3 lpm, terpasang infus NaCl 0,9 % 1000 cc/24 jam di tangan kanan.
Pada rekam medis pemeriksaan laboratorium lengkap tanggal 12 Mei 2023
ditemukan hemoglobin rendah 11,1 g/dL, leukosit tinggi 10,23 /mm 3, hematokrit
rendah 34,0 %, trombosit normal 279,0003/mm. Saat sebelum pengkajian
dilakukan, klien telah melakukan pengambilan cairan pleura (torakosintesis)
sebanyak 300 cc. Klien terbaring dengan posisi semi fowler, klien masih mampu
duduk namun hanya sebentar, aktivitas sehari-hari dibantu keluarga.

Diagnosis keperawatan pada Tn. S umur 57 tahun dengan diagnosa medis


Efusi Pleura + TB Paru + Pneumonia (post covid 19) + Tumor Paru antara lain:

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan


napas ditandai dengan klien mengeluh sesak napas, batuk berdahak yang
sulit keluar, adanya ronchi. (D.0001) (1)
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ditandai dengan
klien mengeluh nyeri di dada kanan dan pinggang, klien tampak meringis,
bersikap protektif, tekanan darah 137/87 mmHg, frekuensi nadi 103
x/menit. (D.0077)
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan
ditandai dengan terdapat penurunan berat badan, gangguan menelan (nyeri
telan), nafsu makan menurun, serum albumin rendah (2,35 g/dL). (D.0019)
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan ditandai dengan klien
mengatakan mudah sesak dan lelah saat beraktivitas, merasa tidak nyaman
setelah beraktivitas, merasa lemah. (D.0056)

Pembahasan intervensi mengenai diagnosis keperawatan yang diambil


adalah sebagai berikut:

1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan


napas ditandai dengan klien mengeluh sesak napas, batuk berdahak yang
sulit keluar, adanya ronchi. (D.0001)
Intervensi yang dilakukan pada diagnosis keperawatan bersihan jalan
napas tidak efektif yaitu memonitor pola napas, memonitor bunyi napas
tambahan, memonitor sputum, memberi posisi semi fowler, melakukan
fisioterapi dada, melakukan nebulizer, mengajarkan teknik batuk efektif,
pemberian bronkodilator. (2)
Pengaturan posisi juga berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen.
Dalam sebuah jurnal penelitian menyatakan saat terjadi sesak napas
penderita biasanya tidak dapat tidur dengan posisi berbaring, melainkan
harus dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk meningkatkan
ekspansi paru sehingga oksigen lebih mudah untuk masuk ke paru dan
pola napas kembali optimal. Tindakan yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan oksigenasi, agar tidak ketergantungan dengan pemberian
oksigen dalam jangka panjang yaitu dengan positioning high fowler. Posisi
high fowler adalah posisi dimana tempat tidur di posisikan dengan
ketinggian 60-90° bagian lutut tidak di tinggikan. Kemiringan
menggunakan gravitasi membantu mengembangkan dada dan mengurangi
tekanan abdomen dan diafragma. Pada saat gravitasi terjadi akan menarik
diafragma ke bawah serta memungkinkan ekspansi dada dan ventilasi paru
yang lebih besar. Posisi ini dibantu penopang sandaran yang sering
digunakan dua bantal yang diletakkan di punggung dan kepala. Tujuan
tindakan pemberian posisi yang efektif pada penderita sesak napas adalah
untuk menurunkan konsumsi O2 dan ekspansi paru yang maksimal, serta
mempertahankan kenyamanan. Kestabilan pola napas ditandai dengan
pemeriksaan fisik berupa frekuensi pernapasan yang normal, tidak terjadi
ketidakcukupan oksigen. (3)
Dalam jurnal penelitian lain juga menyebutkan bahwa pemberian
posisi semi fowler pada klien TB paru telah dilakukan sebagai salah
satu cara untuk membantu mengurangi sesak napas. Keefektifan dari
tindakan tersebut dapat dilihat dari respiratory rate yang menunjukkan
angka normal yaitu 16- 24x per menit pada usia dewasa. Pelaksanaan
asuhan keperawatan dalam pemberian posisi semi fowler dapat dengan
menggunakan tempat tidur dan fasilitas bantal yang cukup untuk
menyangga daerah punggung, sehingga dapat memberi kenyamanan saat
tidur dan dapat mengurangi kondisi sesak napas. Dengan menggunakan
posisi semi fowler yaitu menggunakan gaya gravitasi untuk
membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari visceral-
visceral abdomen pada diafragma sehingga diafragma dapat terangkat dan
paru akan berkembang secara maksimal dan volume tidal paru akan
terpenuhi. Dengan terpenuhinya volume tidal paru maka sesak napas dan
penurunan saturasi oksigen klien akan berkurang. Posisi semi fowler
biasanya diberikan kepada klien dengan sesak napas yang beresiko
mengalami penurunan saturasi oksigen, seperti klien TB paru, asma,
PPOK dan klien kardiopulmonari dengan derajat kemiringan.
Dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
perubahan respirasi atau pola pernapasan pada klien efusi pleura setelah
dilakukan tindakan semi fowler. (4)
Selain posisi, batuk efektif juga penting untuk menghilangkan
gangguan pernapasan akibat adanya penumpukan sekret sehingga
penderita tidak lelah dalam mengeluarkan sekret. Batuk efektif merupakan
suatu teknik batuk yang menekankan inspirasi dengan tujuan merangsang
terbukanya sistem kolateral, meningkatkan distribusi ventilasi,
meningkatkan volume paru dan memfasilitasi pembersihan saluran napas.
Dengan demikian batuk efektif dapat meningkatkan mobilisasi sekresi dan
mencegah risiko tinggi retensi sekresi (pneumonia, atelektasis, dan
demam). Penerapan batuk efektif ini membantu klien untuk batuk dengan
benar sehingga klien dapat menghemat energi serta tidak mudah lelah dan
dapat mengeluarkan dahak secara maksimal. Dalam penelitian disebutkan
bahwa latihan batuk efektif dapat membantu mengatasi masalah bersihan
jalan napas sehingga jalan napas menjadi paten. Kepatenan jalan napas
yang terdiri dari empat kriteria hasil yaitu frekuensi napas, irama napas,
suara napas tambahan, dan kemampuan mengeluarkan sputum. (5)
Batuk efektif dan napas dalam merupakan teknik batuk efektif yang
menekankan inspirasi maksimal yang dimulai dari ekspirasi, yang
bertujuan merangsang terbukanya sistem kolateral, meningkatkan
distribusi ventilasi, meningkatkan volume paru, memfasilitasi pembersihan
saluran napas. Dalam sebuah penelitian dibuktikan bahwa latihan batuk
efektif sangat efektif dalam pengeluaran sputum dan membantu
membersihkan secret pada jalan napas serta mampu mengatasi sesak napas
pada klien TB paru. Penelitian lain juga menyatakan hal yang serupa.
Berdasarkan penelitian jurnal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
Latihan batuk efektif terbukti dapat mempengaruhi frekuensi pernapasan
klien TB paru. (6)
Selain batuk efektif terdapat juga fisioterapi dada yang merupakan
tindakan non farmakologi yang dilakukan untuk membantu klien
mengeluarkan sekret apabila mengalami gangguan oksigenasi. Fisioterapi
dada merupakan tindakan perkusi dan vibrasi. Tindakan perkusi adalah
menepuk-nepuk kulit dengan tenaga penuh menggunakan kedua tangan
dibentuk menyerupai mangkuk secara bergantian, yang bertujuan melepas
sumbatan sekret pada dinding bronkus. Sedangkan tindakan vibrasi adalah
serangkaian getaran kuat yang dihasilkan kedua tangan yang diletakkan
diatas dada, yang tujuannya untuk meningkatkan turbulensi udara yang
dihembus sehingga sekret terlepas di dinding bronkus. Fisioterapi dada
dapat digunakan sebagai salah satu tindakan yang dapat mengatasi
ketidakefektifan bersihan jalan napas seperti membersihkan dan
mengeluarkan sekret serta melonggarkan jalan napas. (7,8)
Berdasarkan jurnal hasil penelitian, frekuensi napas pada penderita TB
Paru sebelum dilakukan fisioterapi dada, semua responden memiliki
pernapasan yang tidak normal karena gangguan pernapasan yang dapat
menyebabkan disfungsi ventilasi setelah dilakukan fisioterapi dada
didapatkan bahwa mayoritas responden memiliki pernapasan normal
sebanyak 25 orang (83%), dan minoritas pernapasan tidak normal
sebanyak 5 orang (17%). Frekuensi pernapasan dapat berubah dengan
adanya terapi fisioterapi dada pada penderita TB Paru. Maka dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh fisioterapi dada terhadap frekuensi
pernapasan pada penderita TB Paru hal ini ditunjukkan dengan p-value
0,00<0,05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak. (7)
Nebulizer adalah alat yang dapat mengubah obat yang berbentuk
larutan menjadi aerosol secara terus-menerus dengan tenaga yang berasal
dari udara yang dipadatkan atau gelombang ultrasonik. Aerosol yang
terbentuk dihirup penderita melalui mouth piece atau sungkup, yang salah
satu penggunaan terapi inhalasi (pemberian obat ke dalam saluran
pernapasan dengan cara inhalasi). Tujuan dari pemberian nebulizer
diantaranya mengurangi sesak, mengencerkan dahak, mengurangi atau
mengatasi bronkospasme serta menurunkan hiperaktivitas bronkus serta
mengatasi infeksi. (8)
Bonkodilator merupakan obat yang meningkatkan FEV1 dan/atau
memperbaiki variabel spirometri lainnya dengan mempengaruhi tonus otot
polos jalan napas dan memperbaiki aliran udara ekspirasi, yang
mencerminkan pelebaran jalan napas daripada perubahan elastisitas paru.
Bronkodilator cenderung menurunkan hiperinflasi dinamik saat istirahat
ataupun selama latihan fisik, serta memperbaiki performa Latihan.
Peningkatan dosis bronkodilator, khususnya yang diberikan dengan
nebulizer, tampaknya memberikan manfaat subjektif pada episode akut,
tetapi tidak membantu pada penyakit stabil. Obat bronkodilator paling
sering diberikan reguler untuk mencegah atau mengurangi gejala. Namun,
penggunaan bronkodilator kerja singkat pada basis reguler secara umum
tidak dianjurkan. (10)
Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek
bronkodilatasi yang tidak menimbulkan efek samping. Tujuan pemberian
nebulizer adalah untuk mengurangi sesak, untuk mengencerkan dahak
bronkospasme berkurang atau menghilang dan menurunkan hiperaktivitas
bronkus serta mengatasi infeksi untuk pemberian obat-obat aerosol atau
inhalasi. (9)
Implementasi keperawatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan
keperawatan. Berdasarkan hasil dari pelaksanaan tindakan keperawatan
didapatkan sesak yang dirasakan klien berkurang, dahak dapat dikeluarkan
dan klien mengatakan merasa lebih nyaman dalam posisi semi fowler. (11)
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ditandai dengan
klien mengeluh nyeri di dada kanan dan pinggang, klien tampak meringis,
bersikap protektif, tekanan darah 137/87 mmHg, frekuensi nadi 103
x/menit. (D.0077)
Intervensi yang dilakukan pada diagnosis keperawatan nyeri akut
yaitu mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas dan skala nyeri. Mengidentifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri, mengidentifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas
hidup, memberi fasilitas istirahat dan tidur, menjelaskan penyebab/pemicu
dan periode nyeri, menjelaskan strategi meredakan nyeri, mengajarkan
teknik napas dalam, pemberian obat analgetik. (2)
Dalam sebuah jurnal penelitian menyebutkan bahwa Latihan tarik
napas dalam merupakan salah satu teknik relaksasi yang bertujuan untuk
memberikan efek relaksasi pada klien. Menurut sebuah jurnal hasil
penelitian pengaruh teknik relaksasi napas dalam terhadap skala nyeri
adalah sebelum dilakukan teknik relaksasi napas dalam sebanyak 46
responden (63,2%) berada pada skala nyeri 3 (menderita). Sesudah
dilakukan teknik relaksasi napas dalam (65,80%) mengeluh tidak nyaman
(skala nyeri 2). Jadi dari penelitian yang telah dilakukan terdapat
perbedaan penurunan skala nyeri yang signifikan antara sebelum dan
sesudah dilakukan teknik relaksasi napas dalam pada klien. (12)
Teori yang mendukung bahwa teknik relaksasi napas dalam dapat
menurunkan skala nyeri adalah teori Huges. Menurutnya dalam keadaan
tertentu tubuh mampu mengeluarkan opoid endogen yaitu endorfin dan
enkefalin. Zat-zat tersebut memiliki sifat miripmorfin dengan
efekanalgetik yang membentuk suatu "sistem penekan nyeri”. Teknik
relaksasi napas dalam merupakan salah satu keadaan yang mampu
merangsang tubuh untuk mengeluarkan opoid endogen sehingga terbentuk
sistem penekan nyeri yang akhirnya akanmenyebabkan penurunanskala
nyeri. Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan penurunan skala
nyeri sebelum dan sesudah dilakukan teknik relaksasi napas dalam,
dimana setelah dilakukan teknik relaksasi napas dalam terjadi penurunan
skala nyeri. (12)
Implementasi keperawatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan
keperawatan. Berdasarkan hasil dari pelaksanaan tindakan keperawatan
didapatkan keluhan nyeri yang dirasakan klien berkurang, skala nyeri yang
dirasakan klien berkurang dari yang awalnya skala 5 menjadi skala 3. (11)
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan
ditandai dengan terdapat penurunan berat badan, gangguan menelan (nyeri
telan), nafsu makan menurun, serum albumin rendah (2,35 g/dL). (D.0019)
Intervensi yang dilakukan pada diagnosis keperawatan defisit nutrisi
yaitu mengidentifikasi status nutrisi klien, mengidentifikasi alergi,
memonitor asupan makanan, memberikan makanan dalam porsi kecil
dengan frekuensi pemberian sering, memberikan makanan yang tinggi
kalori dan juga tinggi protein. (2)
Dalam sebuah jurnal hasil penelitian menyatakan pada penderita TB
terdapat peningkatan sitokin TNF-α yang berkorelasi dengan peningkatan
leptin. Leptin merupakan hormon penekan nafsu makan. Leptin dan
cholecystokinin (CCK) bekerja sama menimbulkan sensasi kenyang.
Disarankan bahwa suplementasi kurkumin dapat meningkatkan kadar
adiponektin dan mengurangi leptin. Disamping itu curcuma juga berfungsi
memodulasi makrofag dengan meningkatkan eliminasi M. tuberculosis
intrasel melalui proses autofagi dan apoptosis yang akan mengurangi
inflamasi pada klien TB sehingga dapat menekan produksi sitokin pro
inflamasi yang menurunkan nafsu makan. (13)
Infeksi dan inflamasi akibat penyakit TB paru yang diderita yang
ditandai dengan adanya muscle wasting, hilangnya lemak subkutan
terjadi lekositosis dan deplesi sistem imun. Peningkatan total WBC dan
neutrophil. Peningkatan kadar lekosit dan kadar prokalsitonin menandakan
adanya infeksi bakteri. (13)
Malnutrisi dan TB terkait erat, wasting pada penderita TB aktif
merupakan kombinasi berbagai faktor seperti penurunan nafsu makan dan
asupan makan, meningkatnya kehilangan zat gizi, dangangguan
metabolisme akibat inflamasi dan respon imun. Pada saat penderita TB
terdiagnosis, laju metabolisme atau basal metabolic rate meningkat, namun
disisi lain terjadi penurunan asupan energi disebabkan anoreksia. Selain itu
penggunaan asam amino dan sintesis protein menurun karena adanya
sitokin inflamasi. Kadar antioksidan penderita TB aktif juga terbukti lebih
rendah sementara kadar stress oksidatif lebih tinggi. (13)
Edukasi gizi secara umum yang perlu diberikan kepada keluarga klien
adalah makan dengan porsi kecil tapi sering untuk mencegah sesak. Pada
awal fase intensif pengobatan, klien TB mungkin masih mengalami batuk
dan ketidaknyamanan dalam bernapas yang berdampak pada tingkat
penerimaan makanan. Dosis obat fase intensif yang masih cukup tinggi
seringkali menimbulkan rasa mual pada klien. Frekuensi makan mulai dari
4 kali – 6 kali per harinya dengan porsi yang kecil sesuai dengan toleransi
klien dengan tambahan 3 kali makanan seling. Selain itu, berikan makanan
yang mengandung kalori dan protein tinggi. Protein diberikan setiap kali
makan 2 porsi masing-masing untuk hewani dan nabati. Anjuran untuk
konsumsi putih telur dan segelas susu setidaknya 2 kali sehari (siang dan
sore hari). Dan memperhatikan jarak antara obat dan makanan, karena
dapat mempengaruhi bioavailabilitas isoniazid dan rifampisin dalam
regimen terapi TB, setidaknya diberikan jarak 30 menit - 1 jam setelah
meminum obat Fixed Drug Combination (FDC) di pagi hari baru
kemudian sarapan. Meningkatkan asupan buah dan sayuran yang banyak
mengandung mikronutrien yang dibutuhkan seperti yang banyak
mengandung vitamin A, C dan zinc. Selain itu juga, asupan cairan
setidaknya 10-12 gelas air putih untuk memenuhi kebutuhan cairan yang
harus terpenuhi saat sakit dan menjaga fungsi klirens ginjal
terhadap obat-obatan TB. (13)
Implementasi keperawatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan
keperawatan. Berdasarkan hasil dari pelaksanaan tindakan keperawatan
didapatkan nafsu makan klien meningkat dan porsi makan klien juga
meningkat. (11)
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan ditandai dengan klien
mengatakan mudah sesak dan lelah saat beraktivitas, merasa tidak nyaman
setelah beraktivitas, merasa lemah. (D.0056)
Intervensi yang dilakukan pada diagnosis keperawatan intoleransi
aktivitas yaitu mengidentifikasi gangguan fungsi tubuh yang
mengakibatkan kelelahan, monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
beraktivitas, menyediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus,
menganjurkan tirah baring, menganjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap dan mengajarkan strategi koping mengurangi kelelahan.(2)
Menurut sebuh jurnal hasil penelitian, metode yang paling sederhana
dan efektif dalam menangani masalah intoleransi aktivitas yaitu dengan
deep breathing exercise dan pemberian aktivitas bertahap. Deep breathing
exercise merupakan latihan pernapasan dengan teknik bernapas secara
perlahan dan dalam menggunakan otot diafragma, sehingga
memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang
penuh. Tujuan deep breathing exercise yaitu untuk mencapai ventilasi
yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi kerja pernapasan,
meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan menghilangkan
ansietas, mencegah pola aktivitas otot pernapasan yang tidak berguna,
melambatkan frekuensi pernapasan, mengurangi udara yang terperangkap
serta mengurangi kerja bernapas. Sedangkan aktifitas bertahap adalah
latihan aktivitas yang disesuaikan dengan toleransi klien gagal jantung.
Pemberian aktivitas bertahap yaitu latihan aktivitas yang disesuaikan
dengan toleransi bertujuan untuk meminimalkan kebutuhan (demand)
oksigen tubuh. (14)
Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi fisiologis untuk
mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang
harus atau yang ingin dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian, pemberian
deep breathing exercise direkomendasikan pada klien yang mengalami
dyspnea saat aktivitas, sebelum melakukan aktivitas klien dengan dyspnea
melakukan Breathing exerciseselama 5 siklus (1 siklus 1 menit yang terdiri
dari 5 kali napas dalam dengan jeda 2 detik setiap 1 kali napas) dilanjutkan
dengan aktivitas bertahap seperti pergerakan kaki. Sebelum dilakukan
latihan aktifitas p=0,000 setelah diterapkan menjadi p=0,001 hal ini
menunjukan adanya pengaruh latihan aktifitas terhadap dyspnea untuk
mencegah masalah intoleransi aktivitas. (14)
Implementasi keperawatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan
keperawatan. Berdasarkan hasil dari pelaksanaan tindakan keperawatan
didapatkan sesak yang dirasakan klien berkurang, keluhan mudah lelah
berkurang, meningkatnya kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-
hari secara bertahap. (11)
DAFTAR PUSTAKA

1. PPNI. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator


Diagnostik. 1st ed. Jakarta; 2017. 1–328 p.

2. PPNI. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. 1st ed. Jakarta; 2018. 1–527 p.

3. Pristy Windiramadhan A, Grace Sicilia A, Afirmasari E, Hartati S, Platini H,


Keperawatan F. OBSERVASI PENGGUNAAN POSISI HIGH FOWLER PADA
PASIEN EFUSI PLEURA DI RUANG PERAWATAN PENYAKIT DALAM
FRESIA 2 RSUP DR.HASAN SADIKIN BANDUNG : STUDI KASUS. Vol. 4,
Jurnal Perawat Indonesia. Bandung; 2020 May.

4. Suhatridjas S, Isnayati I. Posisi Semi Fowler terhadap Respiratory Rate untuk


Menurunkan Sesak pada Pasien TB Paru. Jurnal Keperawatan Silampari. 2020
May 13;3(2):566–75.

5. Jalu Satria Aji IHS. ANALISIS ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN


OKSIGENASI PADA PASIEN TN. S DENGAN DIAGNOSA MEDIS PPOK DI
RUANG EDELWEIS ATAS RSUD KARDINAH. Journal Inovasi Penelitian.
2022;3(4):5883–92.

6. Sasono Mardiono. PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERHADAP


FREKUENSI PERNAFASAN PASIEN TB PARU DI INSTALASI RAWAT
INAP PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT PELABUHAN PALEMBANG
TAHUN 2018. Palembang; 2018 Dec.

7. Fisioterapi Dada Dalam Mengatasi Ketidakefekstifan Bersihan Jalan Nafas Pada


Pasien Paru PT, Dila Syahfitri R. Penerapan Fisioterapi Dada Dalam Mengatasi
Ketidakefekstifan Bersihan Jalan Nafas Pada Pasien TB Paru, volume, nomor, dan
tahun diisi oleh Akper Kesdam II/Sriwijaya Palembang. Palembang6; 2020.

8. Abilowo A, Lubis AYS. Tindakan Keperawatan Dalam Mengatasi Bersihan Jalan


Napas Tidak Efektif Pada Pasien Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Renggiang
Belitung Timur. MAHESA : Malahayati Health Student Journal. 2022 Apr
13;2(2):332–49.

9. Fitri Nengsih MD azissah. Pemberian Nebulizer Dan Batuk Efektif Pada Pasien
TB Paru Dengan Penerapan Aplikasi Florance Nightingale di Puskesmas Tabat
Karai Kabupaten Kepahiang Tahun 2022. Jurnal Ilmiah Amanah akademika
(JIHAD). 2022 Jun;Vol 6.
10. Korespondensi A, Kristiningrum E. Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK).

11. PPNI. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil. 1st ed.
Jakarta; 2019. 1–192 p.

12. Lestari S, Faridasari I, Hikhmat R, Kurniasih U, Rohmah A. PENGARUH


TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP SKALA NYERI. Jurnal
Kesehatan. 2022 Jun 6;13(1):1–6.

13. Safitri A, Klinik BG. NUTRISI PADA PASIEN TUBERCULOSIS DENGAN


GERIATRI DISERTAI GIZI BURUK. 2019.

14. Nurviana D, Poltekkes S, Palu K. DEEP BREATHING EXERCISE DAN


AKTIVITAS BERTAHAP DALAM MENURUNKAN DYSPNEA. 2019.

Anda mungkin juga menyukai