Anda di halaman 1dari 19

116

4.4 PEMBAHASAN

4.1. Pembahasan Hasil Temuan Penelitian

Pada bagian ini akan dijelaskan temuan penelitian seperti yang sudah

dijelaskan pada uji hipotesis, yaitu hasil uji pengaruh kepemilikan institusional,

kepemilikan manajerial dan CSR terhadap kinerja keuangan serta pengaruh

kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, CSR dan kinerja keuangan

terhadap nilai perusahaan pada perusahaan sektor pertambangan.

6.1.1. Kepemilikan Institusional Berpengaruh Signifikan terhadap Kinerja

Keuangan

Berdasarkan hasil penelitian, variabel kepemilikan institusional

berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan, hal ini menunjukkan bahwa

semakin banyak kepemilikan saham yang dimiliki oleh institusional akan

memberikan dampak positif bagi kinerja keuangan perusahaan. Semakin besar

saham yang dimiliki oleh pemegang saham institusional maka semakin besar pula

peranannya dalam melakukan pengawasan dan monitoring yang efektif terhadap

manajemen. Fungsi monitoring tersebut bertujuan agar manajemen bertindak

dengan tujuan mementingkan kemakmuran para pemegang saham, bukan

mengutamakan kepentingan manajemenen dan oportunistik. Kepemilikan

institusional yang besar mampu mendorong manajerial perusahaan untuk

bertindak selaras dengan kepentingan pemegang saham yakni dengan menaikkan

kinerja keuangan.

116
117

Hasil penelitian ini mendukung agency theory, yaitu dengan besarnya

kepemilikan institusional mampu mengatasi konflik keagenan karena kinerja

manajer dapat dimonitoring dengan efektif. Kepemilikan institusional memberikan

pengawasan terhadap kinerja manajemen khususnya dalam hal penggunaan dana

perusahaan. Semakin besar kepemilikan institusional maka penggunaan dana

perusahaan akan semakin efisien dan mencegah terjadinya pemborosan yang

dilakukan oleh manajer. Keberadaan investor institusional dianggap mampu

menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil

oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan

yang strategis sehingga mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba yang

dilakukan oleh manajer.

Tabel 4.1
Perbandingan Rata-rata Nilai Kepemilikan Institusional
dengan Kinerja Keuangan

Persentase Kepemilikan Persentase Kinerja


Tahun
Institusional Keuangan
2014 64,66% 1,60%
2015 64,12% 7,15%
2016 63,81% 60,13%
2017 61,72% 10,10%
2018 62,90% 22,22%
2019 64,22% 27,80%
2020 64,75% 24,72%
Rata-rata 63,74% 21,96%
Sumber : Lampiran 11 (Hal. 181) dan Lampiran 14 (Hal. 184)

Dilihat dari data deskriptif pada Tabel 6.1 di atas dapat dilihat bahwa

kepemilikan institusional mengalami fluktuasi dimana terus terjadi penurunan dari

tahun 2014 sampai tahun 2017 dan mulai kembali mengalami kenaikan pada tahun

2018 sampai tahun 2019. Secara umum besarnya kepemilikan institusional tetap
118

berada pada angka di atas 60%, artinya kepemilikan institusional masih menjadi

kepentingan pengendali sehingga fungsi pengawasan dapat dilakukan secara

efektif oleh pemegang saham institusi.

Sementara kinerja keuangan perusahaan pertambangan dari Tabel 6.1 di

atas juga mengalami fluktuasi namun pada tahun 2016 terjadi kenaikan kinerja

keuangan yang signifikan sebesar 60,13%, dimana kenaikan ini ditopang oleh

naiknya harga komoditas ekspor barang-barang pertambangan. Pada tahun

berikutnya terjadi penurunan kinerja namun masih bernilai positif.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Ahmad et al. (2019), Soufeljil et al. (2016), Haija dan Alrabba (2017), Masry

(2016), Tsouknidis (2019), Khamis et al. (2015), Amin dan Hamdan (2018),

Gugong et al. (2014), Mohammed (2018), serta Yahaya dan Lawal (2018)

dimana hasil penelitian yang mereka lakukan menunjukkan bahwa kepemilikan

institusional berpengaruh terhadap kinerja keuangan. Sedangkan hasil penelitian

ini tidak mendukung terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh Balagobei dan

Velnampy (2017), Pirzada et al. (2015), Folorunso dan Sajuyigbe (2018), Galal

dan Soliman (2017), serta Muthoni dan Olweny (2018) yang membuktikan bahwa

kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan.

4.1.2. Kepemilikan Manajerial Berpengaruh Tidak Signifikan terhadap

Kinerja Keuangan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial

berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja keuangan, hasil penelitian ini tidak

mendukung agency theory, dimana pada teori keagenan disebutkan bahwa adanya

kepemilikan manajerial akan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan karena


119

terdapatnya kepemilikan manajerial akan menselaraskan kepentingan manajemen

dan pemegang saham supaya manajer akan mendapatkan dampak langsung dari

keputusan yang sudah diambilnya.

Kepemilikan saham manajerial seharusnya dapat membantu penyatuan

kepentingan antara pemegang saham dan manajer. Artinya semakin meningkat

proporsi kepemilikan saham manajerial maka manajemen akan cenderung

berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham yang tidak lain adalah

dirinya sendiri. Dengan meningkatkan kepemilikan saham manajerial akan

membuat manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil

dan ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan

keputusan yang salah.

Manajer sebagai agen tentunya lebih banyak mengetahui tentang kondisi

perusahaan dibandingkan dengan investor prinsipal. Dikarenakan manajer

mempunyai informasi yang lebih banyak dan wajib menyampaikan kondisi

tersebut kepada investor. Jika manajer tidak memiliki kepentingan selaku

pemegang saham, maka manajer akan menutupi sebagian informasi tersebut. Hal

tersebut menjelaskan bahwa kepemilikan manajerial mempunyai arti penting

dalam struktur kepemilikan perusahaan.

Tabel 4.2
Perbandingan Rata-rata Nilai Kepemilikan Manajerial dengan
Kinerja Keuangan

Persentase Kepemilikan Persentase Kinerja


Tahun
Manajerial Keuangan
2014 6,21% 1,60%
2015 6,29% 7,15%
2016 4,68% 60,13%
2017 5,54% 10,10%
120

2018 5,69% 22,22%


2019 5,58% 27,80%
2020 5,10% 24,72%
Rata-rata 5,65% 21,96%
Sumber : Lampiran 12 (Hal. 182) dan Lampiran 14 (Hal. 184)

Dari Tabel 6.2 di atas dapat dilihat bahwa kepemilikan manajerial setiap

tahunnya mengalami fluktuasi dimana rata-rata kepemilikan manajerial pada tahun

2014 dan tahun 2015 berada pada angka 6%, kemudian terjadi penurunan pada

tahun 2016 menjadi 4,7% serta kembali naik pada tahun 2017 dan tahun

2020 menjadi 5%. Dilihat dari rata-rata kepemilikan manajerial berada pada nilai

5%. Namun jika dilihat dari sampel penelitian yang berjumlah 39 perusahaan,

sebanyak 20 perusahaan memiliki nilai kepemilikan manajerial sebesar 0%

sepanjang tahun 2014 sampai tahun 2020. Perusahaan tersebut yaitu ANTM ( PT.

Aneka Tambang, Tbk), ARTI (PT. Ratu Prabu Energi, Tbk), BIPI (PT. Astrindo

Nusantara Infrastruktur, Tbk), BRMS (PT. Bumi Resources Minerals, Tbk),

BUMI (PT. Bumi Resources, Tbk), CITA (PT. Cita Mineral Investindo, Tbk),
DEWA (PT. Darma Henwa, Tbk), DSSA (PT. Dian Swastatika Sentosa, Tbk),

ELSA (PT. Elnusa, Tbk), ENRG (PT. Energi Mega Persada, Tbk), ESSA (PT.

Surya Esa Perkasa, Tbk), GEMS (PT. Golden Energy Mines, Tbk), GTBO (PT.

Garda Tujuh Buana, Tbk), INCO (PT. Vale Indonesia, Tbk), MBAP (PT.

Mitrabara Adiperdana, Tbk.), MYOH (PT. Samindo Resources, Tbk), PTBA (PT.

Bukit Asam, Tbk), PTRO (PT. Petrosea Tbk), SMMT (PT. Golden Eagle Energy,

Tbk), SMRU (PT. SMR Utama, Tbk), dan TINS (PT. Timah, Tbk).

Sementara kinerja keuangan perusahaan pertambangan dari Tabel 6.2 di

atas juga mengalami fluktuasi namun pada tahun 2016 terjadi kenaikan kinerja

keuangan yang signifikan sebesar 60,13%, dimana kenaikan ini ditopang oleh
121

naiknya harga komoditas ekspor barang-barang pertambangan. Pada tahun

berikutnya terjadi penurunan kinerja namun masih bernilai positif.

Dilihat dari rata-rata persentase kepemilikan manajerial tersebut (rata-rata

hanya 5%) sehingga belum mampu mempengaruhi keputusan manajemen dalam

mengelola perusahaan agar termotivasi meningkatkan kinerja perusahaan menjadi

lebih baik. Proporsi kepemilikan manajerial masih sangat kecil yang menyebabkan

manajer kurang merasakan langsung manfaat dari pengambilan keputusan yang

diambilnya. Hal tersebut nantinya tidak dapat menyatukan kepentingan antara

manajer dan pemegang saham, sehingga tidak dapat meningkatkan kinerja

keuangan perusahaan tersebut.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Saidu dan Gidado (2018), Farouk dan Mailafia (2013), Zondi dan Sibanda (2015),

Folorunso dan Sajuyigbe (2018), Amin dan Hamdan (2018), Galal dan Soliman

(2017), Yahaya dan Lawal (2018), serta Muthoni dan Olweny (2018)

membuktikan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap kinerja

keuangan. Perilaku resiko kepemilikan dewan komisaris tidak berpengaruh

terhadap kinerja perusahaan disebabkan setiap tindakan beresiko yang dilakukan

dewan komisaris tanpa memperhatikan prinsip kehati- hatian, maka mereka akan

ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang

bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.

Sedangkan hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Kamardin (2014), Berķe-Berga et al. (2017), Wahba (2014),

Katper et al. (2018), Gugong et al. (2014), serta Mohammed (2018), dimana hasil

penelitian yang mereka lakukan menunjukkan hasil kepemilikan manajerial

berpengaruh terhadap kinerja keuangan.


122

4.1.3. CSR Berpengaruh Signifikan terhadap Kinerja Keuangan Berdasarkan

hasil penelitian menunjukkan bahwa CSR berpengaruh signifikan terhadap kinerja

keuangan, hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak dan luas kegiatan dan

pengungakapan CSR maka akan berdampak positif terhadap kinerja keuangan

perusahaan. Kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan dapat menunjukkan

citra yang cukup baik bagi perusahaan. Citra perusahaan yang baik akan membuat

semakin tinggi loyalitas konsumen. Seiring meningkatnya loyalitas konsumen

maka penjualan perusahaan juga akan meningkat, hal tersebut juga akan

menyebabkan tingkat kinerja keuangan perusahaan juga meningkat.

Selain itu, secara tidak langsung kegiatan CSR dapat menjadi bagian

promosi bagi perusahaan sehingga image perusahaan meningkat di pasar

komoditas. Terutama bagi perusahaan sektor pertambangan, isu-isu lingkungan,

tenaga kerja, dan Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi perhatian penting bagi

negara-negara pengimpor bahan baku dari pertambangan. Jika perusahaan mampu

memperhatikan seluruh kepentingan stakeholder, maka image perusahaan akan

semakin tinggi dimata konsumen.

Pengungkapan informasi terkait aktivitas yang memiliki hubungan dengan

lingkungan dan masyarakat serta stakeholder lainnya dinilai positif oleh

masyarakat dan pengambilan keputusan serta dapat membantu dalam mengambil

keputusan. Nilai positif yang didapat melalui kepercayaan para konsumen secara

tidak langsung berdampak pada keinginan konsumen yang berdampak juga pada

laba perusahaan. Perusahaan yang berusaha mengungkapkan informasi mengenai

tanggung jawab sosial perusahaan merupakan good news bagi stakeholder. Good
123

news inilah yang akan menaikkaan kepercayaan para stakeholder khususnya

konsumen sehingga memiliki dampak pada kinerja keuangan perusahaan.

Kondisi ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Heinze (1976)

dimana tingkat kinerja keuangan merupakan faktor yang memberikan kebebasan

dan fleksibilitas kepada manajemen untuk mengungkapkan Corporate Social

Responsibility atau pertanggungjawaban sosial kepada seluruh stakeholder,

dimana semakin besar pengungkapan informasi sosial maka semakin tinggi

tingkat kinerja keuangan perusahaan.

Dari hasil penelitian, dapat dilihat secara deskriptif sebagai berikut:


Tabel 4.3
Perbandingan Rata-rata Index Pengungkapan CSR dengan
Persentase Kinerja Keuangan

Index Pengungkapan Persentase Kinerja


Tahun
CSR Keuangan
2014 0,4691 1,60%
2015 0,4696 7,15%
2016 0,4693 60,13%
2017 0,4720 10,10%
2018 0,4774 22,22%
2019 0,4832 27,80%
2020 0,4891 24,72%
Rata-rata 0,4757 21,96%
Sumber : Lampiran 13 (Hal. 183) dan Lampiran 14 (Hal. 184)

Berdasarkan Tabel 6.3 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata pengungkapan

kegiatan CSR berdasarkan GRI Standards 2018 sebesar 0,4757. Jika dilihat dari

indikator-indikator GRI yang berkaitan dengan lingkungan, tenaga kerja,

konsumen, dan HAM secara umum sudah diungkapkan dalam annual report

perusahaan. Pengungkapan CSR dalam annual report bertujuan untuk

memberikan keyakinan kepada para stakeholder bahwa perusahaan telah


124

melaksanakan kegiatan CSR dengan baik sebagai bentuk penerapan teori

legitimasi dimana perusahaan berupaya untuk peduli terhadap kepentingan seluruh

stakeholder.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Arsoy et al. (2012), Hafez (2016), Ilmi et al. (2017), Jallo dan Mus (2017),

Firdaus et al, (2018), Maqbool dan Zameer (2018), Laili et al. (2019), Javeed dan

Lefen (2019) serta Cho et al. (2019) menunjukkan bahwa pengungkapan CSR

berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan. Namun hasil penelitian ini

bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chetty et al.

(2015), Madorran dan Garcia (2016) serta Mansaray et al. (2017). Kebanyakan

investor memiliki persepsi yang rendah terhadap pengungkapan CSR karena

umumnya perusahaan melakukan pengungkapan CSR hanya sebagai bagian dari

iklan dan menghindari untuk memberikan informasi yang relevan. Oleh karena

itu, tak jarang perusahaan akan mengungkapkan hal-hal yang baik dan menutupi

hal yang menurut perusahaan tidak memberikan keuntungan bagi perusahaan pada

laporan tahunan sehingga memicu kualitas pengungkapan CSR masih rendah.

Selain itu, kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh perusahaan merupakan

kelemahan kompetitif karena akan mengeluarkan biaya yang tidak berkaitan

langsung dengan pendapatan perusahaan. Biaya-biaya ini berada langsung pada

bottom line sehingga menyebabkan terjadinya penurunan laba (Waddock dan

Graves, 1997).

4.1.4. Kepemilikan Institusional Berpengaruh Signifikan terhadap Nilai

Perusahaan
125

Berdasarkan hasil penelitian, kepemilikan institusional berpengaruh signifikan

terhadap nilai perusahaan. Kepemilikan institusional merupakan salah satu

instrumen yang dapat mengurangi salah satu hambatan dalam tercapainya

peningkatan nilai perusahaan yakni agency conflict. Pihak institusi yang memiliki

saham pada perusahaan dapat melakukukan monitoring terhadap kinerja manajer,

karena jumlah dana investasi dari pihak institusi biasanya bernilai tinggi sehingga

dalam pengambilan keputusan manajer selalu mempertimbangkan dampak yang

akan diterima oleh pemilik saham institusi. Semakin tinggi tingkat kepemilikan

institusional maka semakin kuat tingkat pengendalian yang dilakukan oleh pihak

eksternal terhadap perusahaan sehingga agency cost yang terjadi di dalam

perusahaan semakin berkurang dan nilai perusahaan juga dapat semakin

meningkat (Jensen, 1986).

Selain itu, kepemilikan institusional cenderung berperilaku aktif dalam

voting dibandingkan dengan pemegang saham lain, meskipun mereka tidak

memiliki kekuatan yang cukup dalam hak voting. Perilaku ini terutama disebabkan

karena ketakutan terhadap tindakan pengambilalihan oleh institusi lain. Perilaku

aktif ini bertujuan sebagai bentuk pengawasan sehingga berakibat pada

peningkatan nilai perusahaan.

Adanya kepemilikan institusional, maka akan mendorong manajemen

untuk meningkatkan kinerjanya sehingga akan berdampak positif terhadap nilai

perusahaan. Kepemilikan institusional mempunyai peran penting dalam

pengawasan manajemen. Semakin besar proporsi kepemilikan institusional maka

semakin ketat pengawasannya, sehingga dapat menghalangi tindakan oportunistik

yang dilakukan oleh manajemen. Dengan seperti ini otomatis akan meningkatkan
126

nilai perusahaan dan para investor lebih percaya terhadap perusahaan yang

pengawasannya ketat.

Tabel 4.4
Perbandingan Rata-rata Persentase Kepemilikan Institusional
dengan Nilai Perusahaan

Persentase Kepemilikan Rata-rata Nilai


Tahun
Institusional Perusahaan
2014 64,66% 1,5175
2015 64,12% 1,0395
2016 63,81% 1,3709
2017 61,72% 1,3011
2018 62,90% 1,3655
2019 64,22% 1,6586
2020 64,75% 1,1924
Rata-rata 63,74% 1,3493
Sumber : Lampiran 11 (Hal. 181) dan Lampiran 15 (Hal. 185)

Dari Tabbel 6.4 di atas dapat dilihat bahwa persentase kepemilikan

institusional dari tahun 2014 sampai tahun 2020 mengalami fluktuasi namun

secara rata-rata sebesar 63,74%. Artinya pemilik saham institusi memiliki peranan

penting dalam setiap pengambilan keputusan oleh manajer. Hal ini didukung oleh

data deskriptif nilai perusahaan dimana rata-rata dari tahun 2014 sampai tahun

2020 sebesar 1,3493. Sehingga kepemilikan institusional mengindikasikan adanya

peningkatan nilai perusahaan yaitu dibuktikan dimana nilai pasar saham

perusahaan memiliki nilai sebesar 1,3493 dari nilai bukunya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
127

Handayani et al. (2018), Murni (2015), Rasyid (2015), Vintilă dan Gherghina

(2015), Lawal et al. (2018), serta Muthoni dan Olweny (2018), dimana hasil

penelitian mereka menunjukkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh

terhadap nilai perusahaan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Astuti et al.

(2018), Rini et al. (2017), Willim (2015), serta Mohammed (2018) tidak sejalan

dengan hasil penelitian ini dimana hasil penelitian mereka membuktikan bahwa

kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

4.1.5. Kepemilikan Manajerial Berpengaruh Signifikan terhadap Nilai

Perusahaan

Berdasarkan hasil penelitian, kepemilikan manajerial berpengaruh

signifikan terhadap nilai perusahaan, hal ini berarti bahwa persentase kepemilikan

saham oleh manajerial membuat manjer ikut serta dalam pengambilan keputusan

dengan berhati-hati agar perusahaan tidak mengalami kerugian tinggi, bahwa

mereka mempunyai kuasa untuk memonitor dan membatasi perilaku oportunistik

oleh manajer, sehingga akan menarik minat investor eksternal untuk menanamkan

sahamnya karena semakin tinggi harga saham suatu perusahaan, maka akan

semakin tinggi nilai perusahaan tersebut.

Sesuai dengan agency theory, hubungan keagenan sebagai suatu kontrak

antara manajer (agent) dan pemilik (principal) perusahaan (Jensen and Meckeling,

1976). Kepemilikan saham manajerial merupakan salah satu mekanisme yang

mampu menurunkan masalah agency melalui penyelarasan kepentingan antara

pihak manajemen dan pihak pemegang saham. Kepemilikan manajerial dapat

mensejajarkan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham, sehingga

manajer akan dapat merasakan langsung manfaat dari setiap keputusan yang
128

diambilnya. Jika terjadi kesalahan maka para manajer yang memiliki saham akan

menanggung kerugian sebagai salah satu konsekuensi dari kepemilikan sahamnya.

Sehingga manajer tidak akan megambil keputusan yang dapat merugikan

perusahaan.

Tabel 4.5
Perbandingan Rata-rata Persentase Kepemilikan Manajerial
dengan Nilai Perusahaan

Persentase Kepemilikan Rata-rata Nilai


Tahun
Manajerial Perusahaan
2014 6,21% 1,5175
2015 6,29% 1,0395
2016 4,68% 1,3709
2017 5,54% 1,3011
2018 5,69% 1,3655
2019 5,58% 1,6586
2020 5,10% 1,1924
Rata-rata 5,65% 1,3493
Sumber : Lampiran 12 (Hal. 182) dan Lampiran 15 (Hal. 185)

Dari Tabel 6.5 di atas dapat dilihat bahwa kepemilikan manajerial setiap

tahunnya mengalami fluktuasi namun dilihat dari rata-rata dari tahun 2014 sampai

tahun 2020 berjumlah sebesar 5,65%, artinya dengan kepemilikan rata-rata

sebesar 5%, manajer mampu memberikan sinyal yang positif bagi pasar saham.

Hal ini didukung oleh data deskriptif nilai perusahaan dimana rata-rata dari tahun

2014 sampai tahun 2020 sebesar 1,3493. Hal ini menunjukkan bahwa manajer

mampu menaikkan nilai pasar saham perusahaan sebesar 1,3493 dari nilai

bukunya.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa dengan adanya persentase

kepemilikan saham pada perusahaan oleh pihak manajerial, dimana manajer yang
129

sekaligus pemegang saham perusahaan akan berusaha bekerja secara optimal dan

tidak hanya mementingkan kepentingannya sendiri, sehingga manajemen akan

selalu berupaya meningkatkan kinerja dan nilai perusahaannya karena dengan

meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan maka kekayaannya yang dimiliki

sebagai pemegang saham akan meningkat, sehingga kesejahteraan pemegang

saham diperusahaan akan meningkat pula. Selain itu adanya sebagian proporsi

saham perusahaan yang dimiliki oleh manajemen, maka hal tersebut akan

menjadikan pihak manajemen bisa merasakan manfaat dari keputusan-keputusan

yang diambilnya. Begitu pun sebaliknya, risiko-risiko akibat kesalahan

pengambilan keputusan juga dapat secara langsung dirasakan dampaknya, ketika

para manajer yang bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan pemilik sekaligus

dirinya sendiri dalam struktur kepemilikan saham manajerial kinerjanya akan

semakin meningkat yang diiringi pula dengan peningkatan nilai perusahaan yang

ada di sektor pertambangan, namun untuk mengurangi terjadinya agency problem

diperusahaan maka pihak stakeholder dapat memberikan insentif kepada agen atau

pihak manajemen untuk lebih meningkatkan kinerjanya dan memberikan

keuntungan bagi para pemegang sahamnya.

Hasil penelitian ini mendukung dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Kamardin (2014), Wahba (2014), Katper et al. (2018), Dewata dan

Banaluddin (2012), Ruan dan Tian (2011), Mohammed (2018), Wahla et al.

(2012), serta Muthoni dan Olweny (2018) dimana hasil penelitian mereka

menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap

nilai perusahaan. Sedangkan hasil penelitian ini tidak didukung oleh hasil

penelitian yang dilakukan oleh Berķe-Berga et al. (2017), Ilmi et al. (2017), serta
130

Lawal et al. (2018) dimana hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa

kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

4.1.6. CSR Berpengaruh Signifikan terhadap Nilai Perusahaan

Berdasarkan hasil penelitian, variabel CSR berpengaruh signifikan

terhadap nilai perusahaan, hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak kegiatan

dan pengungkapan CSR maka akan berdampak terhadap nilai perusahaan. Adanya

pelaksanaan CSR yang semakin baik akan memberikan dampak baik untuk

kelangsungan perusahaan dalam jangka panjang atau yang sering disebut dengan

sustainable development.

Sesuai dengan signaling theory pengungkapan CSR memberikan sebuah

sinyal positif yang diberikan oleh perusahaan kepada pihak luar perusahaan yang

nantinya akan direspon oleh stakeholder dan shareholder melalui perubahan harga

saham perusahaan dan perubahan laba perusahaan. Semakin banyak aktivitas CSR

perusahaan yang dilaporkan akan semakin baik dimata investor maupun calon

investor, pengungkapan CSR dapat menunjukan bahwa suatu perusahaan tersebut

bertanggung jawab baik terhadap peraturan yang berlaku, masyarakat sekitar

maupun lingkungan alam. Hal tersebut akan meningkatkan minat calon investor

untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut, semakin banyak calon investor yang

berinvestasi pada perusahaan akan meningkatkan harga saham perusahan dan

modal yang dimiliki perusahaan juga semakin besar.

Dalam praktiknya hampir semua perusahaan memiliki tujuan yang sama,

namun cara untuk mencapai tujuan tersebut yang berbeda. Dengan melakukan

kegiatan CSR, terdapat manfaat bagi perusahaan yaitu mempertahankan dan

mendongkrak reputasi perusahaan dan membuka peluang pasar yang lebih luas.
131

Berdasarkan manfaat yang diperoleh maka dapat meningkatkan ketertarikan calon

investor untuk berinvestasi dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap

perusahaan sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan. Semakin tinggi nilai

pengungkapan CSR maka nilai perusahaan akan mengalami peningkatan.

Tabel 4.6
Perbandingan Rata-rata Persentase Pengungkapan CSR
dengan Nilai Perusahaan

Index Pengungkapan CSR Rata-rata Nilai


Tahun
Perusahaan
2014 0,4691 1,5175
2015 0,4696 1,0395
2016 0,4693 1,3709
2017 0,4720 1,3011
2018 0,4774 1,3655
2019 0,4832 1,6586
2020 0,4891 1,1924
Rata-rata 0,4757 1,3493
Sumber : Lampiran 13 (Hal. 183) dan Lampiran 15 (Hal. 185)

Dari Tabel 6.6 di atas dapat dilihat bahwa secara umum rata-rata index

pengungkapan CSR dari tahun 2014 sampai tahun 2020 cukup stabil yaitu pada

angka 0,4 dengan rata-rata 0,4757. Hal ini juga berbanding lurus dengan rata-rata

nilai perusahaan dari tahun 2014 sampai tahun 2020 berada pada angka >1,

dimana harga pasar saham lebih besar dari nilai bukunya. Hal ini menunjukkan

bahwa dengan kegiatan CSR yang dilakukan perusahaan akan berdampak

terhadap nilai perusahaan.


Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Jallo dan Mus (2017), Tunpornchai dan Hensawang (2018), Titisari et al. (2018),

Sial et al. (2018), Jitmaneeroj (2018) serta Laili et al. (2019) dimana hasil
132

penelitian mereka menunjukkan bahwa CSR berpengaruh terhadap nilai

perusahaan.

Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Hafez (2016), Ilmi et al. (2017), Firdaus et al. (2018) serta Sopian

dan Mulya (2018) dimana pengungkapan CSR tidak berpengaruh terhadap nilai

perusahaan. Hal ini disebabkan oleh sebagian perusahaan dan investor masih

berfokus pada laporan keuangan perusahaan bukan pada seberapa banyak

pengungkapan kegiatan yang dilakukan. Investor juga belum menjadikan

informasi aktivitas CSR sebagai pertimbangan utama dalam berinvestasi. Selain

itu, pengungkapan kegiatan CSR bukanlah suatu kewajiban melainkan bersifat

suka rela.

4.1.7 Kinerja Keuangan Berpengaruh Signifikan terhadap Nilai

Perusahaan

Berdasarkan hasil penelitian, kinerja keuangan berpengaruh signifikan

terhadap nilai perusahaan, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kinerja

keuangan perusahaan maka akan meningkatkan nilai pasar saham sehingga nilai

perusahaan juga akan ikut naik. Semakin baik kinerja keuangan perusahaan maka

akan menggambarkan kemampuan manajemen dalam mengelola perusahaan.

Hasil penelitian ini mendukung dan sejalan dengan signalling theory yang

menyatakan bahwa perusahaan memiliki pendapatan yang besar dan meningkat

akan memberikan sinyal yang positif bahwa perusahaan tersebut memiliki prospek

yang baik dimasa yang akan datang. Semakin tinggi keuntungan yang berhasil

diperoleh perusahaan maka pasar akan memberikan persepsi bahwa perusahaan

bekerja dengan baik dan permintaan saham akan semakin meningkat sehingga
133

harga pasar saham juga akan meningkat. Dengan kata lain bahwa naiknya kinerja

keuangan perusahaan tersebut, membuat nilai pasar saham akan meningkat, hal ini

terjadi dikarenakan para investor atau calon investor berlombalomba untuk

menanamkan sahamnya pada perusahaan tersebut.

Tabel 4.7
Perbandingan Rata-rata Persentase Kinerja Keuangan dengan
Nilai Perusahaan

Persentase Kinerja Rata-rata Nilai


Tahun
Keuangan Perusahaan
2014 1,60% 1,5175
2015 7,15% 1,0395
2016 60,13% 1,3709
2017 10,10% 1,3011
2018 22,22% 1,3655
2019 27,80% 1,6586
2020 24,72% 1,1924
Rata-rata 21,96% 1,3493
Sumber : Lampiran 14 (Hal. 184) dan Lampiran 15 (Hal. 185)

Dari Tabel 6.7 di atas dapat dilihat bahwa kinerja keuangan perusahaan

pertambangan mengalami fluktuasi dan terjadi peningkatan signifikan pada tahun

2016 sebesar 60,13%, namun tahun berikutnya kembali terjadi penurunan dan

berfluktuasi. Secara umum rata-rata kinerja keuangan sebesar 21,96% walaupun

beberapa emiten/perusahaan memiliki kinerja keuangan yang negatif seperti ARII

(PT Atlas Resources, Tbk), ARTI (PT. Ratu Prabu Energi, Tbk), BIPI (PT.

Astrindo Nusantara Infrastruktur, Tbk), BRMS (PT. Bumi Resources Minerals,

Tbk), CTTH (PT. Citatah, Tbk), DKFT (PT. Central Omega Resources, Tbk),

GTBO (PT. Garda Tujuh Buana, Tbk), INDY (PT. Indika Energy, Tbk), PKPK

(PT. Perdana Karya Perkasa, Tbk) dan SMRU (PT. SMR Utama, Tbk).
134

Dari Tabel 6.7 di atas juga dapat dilihat bahwa nilai perusahaan mengalami

fluktuasi dari tahun 2014 sampai tahun 2020 dengan rata-rata sebesar 1,3493. Hal

ini menunjukkan bahwa nilai pasar saham lebih besar dari pada nilai buku saham

walaupun masih ada beberapa emiten/perusahaan yang nilai perusahaannya masih

dibawah nilai 1 diantaranya ADRO (PT. Adaro Energy, Tbk), ARTI (PT. Ratu

Prabu Energi, Tbk), BIPI (PT. Astrindo Nusantara

Infrastruktur, Tbk), BRMS (PT. Bumi Resources Minerals, Tbk), CTTH (PT.

Citatah, Tbk), DEWA (PT. Darma Henwa, Tbk), DSSA (PT. Dian Swastatika

Sentosa, Tbk), ELSA (PT. Elnusa, Tbk), ENRG (PT. Energi Mega Persada, Tbk),

GTBO (PT. Garda Tujuh Buana, Tbk), HRUM (PT. Harum Energy, Tbk), INDY

(PT. Indika Energy, Tbk), KKGI (PT. Resource Alam Indonesia), MEDC (PT.

Medco Energi Internasional, Tbk), PKPK (PT. Perdana Karya Perkasa, Tbk),

PTRO (PT. Petrosea, Tbk) dan RUIS (PT. Radiant Utama Interinsco, Tbk).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sucuahi dan

Cambarihan (2016), Gharaibeh dan Qader (2017), Ilmi et al. (2017), Jallo dan

Mus (2017), Firdaus et al. (2018) serta Yanto (2018) dimana hasil penelitian

Anda mungkin juga menyukai