Anda di halaman 1dari 113

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam dunia kerja, sumber daya manusia sebagai pekerja merupakan faktor yang
amat penting dalam pekerjaan tersebut. Semakin baik kondisi pekerjanya, semakin baik
pula kinerja yang akan diberikan dan akan memberikan keuntungan bagi perusahaan
tersebut. Baik-buruknya kondisi pekerja ini dipengaruhi oleh banyak hal salah satunya
yaitu bebas dari berbagai faktor yang mempengaruhi kesehatan pekerja. Di Indonesia,
jumlah kasus penyakit akibat pekerja pada tahun 2014 tercatat 40.964 kasus menurut
Kementerian Kesehatan.
Untuk menanggulangi resiko terhadap penyakit kerja, ilmu yang mempelajari hal
tersebut yaitu higiene industri. Higiene Industri merupakan bagian dari ilmu Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3). Higiene Industri menurut American Industrial Higyene
Assocation adalah ilmu yang ditujukan untuk antisipasi, pernyataan, evaluasi,
pencegahan, dan pengendalian faktor-faktor lingkungan atau tekanan yang timbul dari
tempat kerja yang dapat menyebabkan penyakit, gangguan kesehatan dan kesejahteraan,
atau ketidaknyamanan yang signifikan. Higiene Industri menjadi hal yang sangat penting
bagi perusahaan karena akan berpengaruh pada produktivitas kerja. Higiene Industri
berfungsi untuk melakukan penilaian dan pengendalian bahaya fisik, kimia, biologis atau
lingkungan di tempat kerja yang dapat menyebabkan cedera atau penyakit.
Penerapan Higiene Industri adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan
tempat kerja yang aman, sehat, dan bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat
mengurangi dan atau bebas dari penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Oleh sebab itu higiene industri yang
merupakan bagian dari keselamatan dan kesehatan kerja (K3) saat ini bukan sekedar
kewajiban tetapi menjadi kebutuhan bagi setiap perusahaan.
Dalam kegiatan yang dilakukan PT. XYZ Plant Sunter Jakarta Utara ini dibutuhkan
program-program dan manajemen yang menunjang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) secara umum maupun program penunjang higiene industri secara khusus yang baik
untuk menciptakan tenaga kerja yang profesional dan sehat serta lingkungan kerja yang
aman dan nyaman. Mekanisme penerapan higiene industri secara spesifik tidak

I-1
didapatkan melalui kegiatan perkuliahan di kampus, melainkan memerlukan
pembelajaran secara langsung di lapangan melalui kegiatan Kerja Praktik (KP) sesuai
dengan kurikulum Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro Semarang. Pelaksanaan Kerja Praktik (KP) di PT. XYZ Plant Sunter
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkannya.

1.2 Identifikasi Masalah


1.2.1 Bagaimana penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3) di PT. XYZ Plant Sunter ?
1.2.2 Bagaimana penerapan higiene industri dalam pengendalian bahaya di PT. XYZ
Plant Sunter ?

1.3 Tujuan Kerja Praktik


1.3.1 Mengetahui penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3) di PT. XYZ Plant Sunter.
1.3.2 Menganalisis penerapan higiene industri dalam pengendalian bahaya di PT. XYZ
Plant Sunter.

1.4 Ruang Lingkup Masalah Kerja Praktik


1. Ruang Lingkup Materi
Ruang lingkup materi kerja Praktik adalah mengetahui dan menganalisis
penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) secara
umum. Kemudian melakukan analisis penerapan higiene industry dalam
pengendalian bahaya di PT. XYZ Plant Sunter
2. Ruang Lingkup Waktu
Kerja Praktik ini dilaksanakan pada 18 Juli 2016 sampai dengan 26 Agustus 2016.
3. Ruang Lingkup Lokasi
Ruang lingkup kerja Praktik di PT. XYZ Plant Sunter Jakarta Utara

1.5 Manfaat Kerja Praktik


1.5.1 Memenuhi tugas mata kuliah Kerja Praktik pada kurikulum Departemen Teknik
Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
1.5.2 Menambah wawasan dan pengetahuan tentang Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (SMK3) serta penerapan higiene Industri

I-2
1.5.3 Memberikan kesempatan bagi praktikan untuk mengembangkan keilmuan dan
keahlian yang telah dipelajari pada perkuliahan.
1.5.4 Mengenalkan dunia kerja pada salah satu bidang keahlian sarjana Teknik
Lingkungan, khususnya bagi praktikan.

I-3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja
2.1.1 Pengertian Sistem Manajemen K3 (SMK3)
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut
SMK3 sesuai yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 Tahun 2012
tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan bagian dari
sistem manajemen organisasi secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi,
perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan
pemeliharaan kebijakan K3 dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan
kegiatan kerja untuk menciptakan tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan konsep pengelolaan K3 secara
sistematis dan komprehensif dalam suatu sistem manajemen yang utuh melalui proses
perencanaan, penerapan, pengukuran, dan pengawasan (Ramli, 2009).

2.1.2 Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


Menurut OHSAS 18001 : 2007 pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
adalah kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang berdampak, pada kesehatan dan
keselamatan karyawan atau pekerja lain (termasuk pekerja kontrak dan personel
kontraktor, atau orang lain di tempat kerja). Organisasi dapat dikenakan peraturan
perundangan untuk kesehatan dan keselamatan personel di luar tempat kerja yang
langsung terkait atau siapapun yang terkena dampak aktivitas di tempat kerja.
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 Tahun 2012 tentang
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Keselamatan dan Kesehatan Kerja
yang selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja. Tenaga kerja merupakan aset organisasi yang sangat berharga dan
merupakan unsur penting dalam proses produksi di samping unsure lainnya seperti
material, mesin, dan lingkungan kerja. Karena itu tenaga kerja harus dijaga, dibina, dan
dikembangkan untuk meningkatkan produktivitasnya (Ramli, 2009).

II-1
2.1.3 Filosofi K3
Salah satu organisasi professional K3 di USA, International Association of Safety
Proffesional (IASP) menetapkan 8 prinsip K3 yang menjadi landasan pengembangan K3
(www.naspweb.com dalam Ekananda (2014)) sebagai berikut :
1. Safety is an ethnical responsibility (K3 adalah tanggung jawab moral/ etik)
Masalah K3 bentuknya dilihat sebagai tanggung jawab moral untuk melindungi
keselamatan manusia. Karena itu K3 bukan sekedar pemenuhan perundangan atau
kewajiban, tetapi merupakan tanggung jawab moral setiap pelaku bisnis untuk
melindungi keselamatan pekerjanya. Jika seorang pekerja yang memiliki tangggung
jawab terhadap keluarga mengalai kecelakaan kerja, maka penderitaan akan
ditanggung oleh seluruh keluarganya. Karena itu peristiwa kecelakaan tidak sekedar
angka-angka statistik semata, namun memiliki dimensi kemanusiaan yang lebih luas.
Masalah K3 merupakan bagian dari tanggung jawab sosial setiap pelaku usaha (CSR
– Corporate Social Responsibility) yang sekarang telah menjadi suatu tren global.
2. Safety is a culture not a program (K3 adalah budaya bukan sekedar program)
Banyak perusahaan menganggap K3 hanya sekedar program yang dijalankan dalam
peruahaan atau memperoleh penghargaan dan sertifikat. Padahal K3 adalah cerminan
dari budaya atau kultur (safety culture) dalam organisasi. K3 harus menjadi nilai-nilai
(value) yang dianut dan menjadi landasan dalam pengembangan bisnis.
3. Management is responsible (K3 adalah tanggung jawab manajemen)
Sebagai pemilik atau pengusaha manajemen bertangung jawab terhadap semua
aktivitas usahanya termasuk aspek keselamatan dan kesehatan kerja yang timbul dari
proses atau aktivitas operasinya. Tanggung jawab ini tidak dapat dilihat namun dapat
dilimpahkan (cascade) secara beruntun ke tingkat yang lebih rendah. Namun tanggung
jawab utama terletak di tangan manajemen puncak. Selama ini manajemen sering
melemparkan tanggung jawab K3 kepada para pengawas dan jika terjadi kecelakaan
akan melimpahkan kepada mereka yang di tempat kerja. Padahal secara moral
tanggung jawab mengenai keselamatan ada pada manajemen. Tanggung jawab ini
tentu dalam wujud kebijakan, kepedulian, kepemimpinan, dan dukungan penuh
terhadap upaya keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan.

II-2
4. Employees must be trained to work safely (Pekerja harus dididik untuk bekerja dengan
aman)
Setiap tempat kerja, lingkungan kerja, dan jenis pekerjaan memiliki karakteristik dan
persyaratan K3 berbeda, Karena itu K3 tidak bisa timbul sendirinya pada diri pekerja
atau pihak lainnya. K3 harus ditanamkan dan dibangun melalui pembinaan dan
pelatihan. Menjalankan mesin atau alat kerja dengan aman memerlukan pelatihan yang
sesuai. Karena itu untuk membuat pekerja yang berbudaya K3 mutlak melalui
pembinaan dan pelatihan.
5. Safety is a condition of employement (K3 adalah cerminan kondisi ketenagakerjaan)
Tempat kerja yang baik adalah tempat kerja yang aman. Lingkungan kerja yang
menyenangkan dan serasi akan mendukung tingkat keselamatan. Oleh karena itu
kondisi K3 dalam perusahaan adalah pencerminan dari kondisi ketenagakerjaan dalam
perusahaan. Jika kinerja K3 baik, dapat dipastikan bahwa kondisi ketenagakerjaan
dalam perusahaan tersebut juga berjalan baik dan sebaliknya. Sistem pembinaan,
pengawasan, kepedulian manajemen dan pengupahan yang baik akan mendorong
meningkatnya kondisi keselamatan dalam organisasi.
6. All injuries are preventable (Semua kecelakaan dapat dicegah)
Prinsip dasar ilmu K3 adalah semua kecelakaan dapat dicegah karena semua
kecelakaan pasti ada sebabnya. Jika sebab kecelakaan dapat dihilangkan, maka
kemungkinan kecelakaan dapat dihindarkan. Prinsip ini mendasari berkembangnya
ilmu dalam bidang K3 seperti pengetahuan mengenai berbagai jenis bahaya, perilaku
manusia, kondisi tidak aman, tindakan tidak aman, penyakit akibat kerja, kesehatan
kerja dan hygiene industri. Prinsip bahwa semua kecelakaan dapat dicegah sangat
penting untuk memberikan dorongan dalam melakukan upaya pencegahan
kecelakaan..
7. Safety programs must be site specific (Program K3 bersifat spesifik)
Prinsip ini melihat bahwa program K3 tidak bisa dibuat, ditiru, atau dikembangkan
semaunya. Namun harus berdasarkan kondisi dan kebutuhan nyata di tempat kerja
sesuai dengan potensi bahaya sifat kegiatan, kultur, kemapuan finansial, dan lainnya.
Program K3 harus dirancang spesifik untuk masing-masing organisasi atau perusahaan
sehingga tidak sekedar meniru atau mnegikuti arahan dan pedoman dari pihak lain.
8. Safety is good business (K3 baik untuk bisnis)

II-3
Melaksanakan K3 jangan dianggap sebagai pemborosan atau biaya tambahan, namun
harus dilihat sebagai bagian dari proses atau strategi perusahaan K3. Kinerja K3 yang
baik akan memberikan mundur terhadap bisnis perusahaan.
2.1.4 Penerapan Sistem Manajemen K3
Di dalam pasal 87 (1) : UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dinyatakan bahwa setiap perusahaan wajib menerapkan Sistem Manajemen K3 yang
terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Selanjutnya ketentuan mengenai
penerapan Sistem Manajemen K3 diatur dalam Permenaker Nomor 5 Tahun 1996 tentang
Sistem Manajemen K3. Pada pasal 3 (1 dan 2) dinyatakan bahwa setiap perusahaan yang
memperkerjakan tenaga kerja sebanyak 100 (seratus) orang atau lebih dan atau
mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan
produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran,
pencemaran lingkungan, dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen
K3 (Tarwaka, 2008).
Dengan demikian kewajiban penerapan Sistem Manajemen K3 didasarkan pada
dua hal yaitu ukuran besarnya perusahaan dan tingkat potensi bahaya yang ditimbulkan.
Meskipun perusahaan hanya memperkerjakan tenaga kerja kurang dari 100 (seratus)
orang, tetapi apabila tingkat risiko bahayanya besar juga berkewajiban menerapkan
SMK3 di perusahannya. Berdasarkan hal tersebut maka, penerapan SMK3 bukanlah
sukarela (voluntary), tetapi keharusan yang dimandatkan oleh peraturan perundangan
(Mandatory) (Tarwaka, 2008).
Selanjutnya untuk menerapkan SMK3 seperti yang tertuang di dalam pasal 4
Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 Tahun 2012 beserta pedoman pada lampiran 1, maka
organisasi perusahaan diwajibkan untuk melaksanakan 5 ketentuan pokok yaitu :
1. Menetapkan kebijakan K3 dan menjamin komitmen terhadap penerapan Sistem
Manajemen K3;
2. Merencanakan pemantauan kebijakan, tujuan dan sasaran penerapan Sistem
Manajemen K3;
3. Menerapkan kebijakan K3 secara efektif dengan mengembangkan kemampuan dan
mekanisme pendukung yang diperlukan untuk mencapai kebijakan, tujuan dan sasaran
K3. Dalam hal ini pengurus harus menunjuk personil-personil yang mempunyai
kualifikasi;

II-4
4. Mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja K3 serta melakukan tindakan
perbaikan dan pencegahan, yang mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Adanya inspeksi, pengujian dan pemantauan yang berkaitan dengan tujuan
sasaran K3 di tempat kerja;
b. Adanya audit Sistem Manajemen K3 secara berkala untuk mengetahui efektivitas
penerapan Sistem Manajemen K3;
c. Tindakan pencegahan dan perbaikan secara sistematik dan efektif yang
dilaksanakan oleh pihak manajemen.
5. Meninjau ulang secara teratur dan meningkatkan kinerka K3 yang meliputi :
a. Evaluasi terhadap penerapan kebijakan K3;
b. Tujuan, sasaran dan kinerka K3;
c. Hasil temuan audit Sistem Manajemen K3;
d. Evaluasi efektif penerapan Sistem Manajemen K3 dan kebutuhan untuk
mengubahnya yang disesuaikan dengan adanya :
 Perubahan peraturan perundangan;
 Tuntutan pihak-pihak terkait dan tuntutan pasar;
 Perubahan produk, kegiatan dan perubahan struktur organisasi perusahaan;
 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
 Pengalaman kecelakaan dan insiden tempat kerja.
Elemen implementasi dari Sistem Manajemen K3 menurut OHSAS 18001 adalah
sebagai berikut :
1. Kebijakan K3;
2. Identifikasi bahaya, penilaian risiko, dan menentukan pengendaliannya;
3. Persyaratan hukum dan lainnya;
4. Objektif K3 dan program K3;
5. Sumberdaya, peran, tanggung jawab, akuntabilitas, dan wewenang;
6. Kompetensi, pelatihan dan kepedulian;
7. Komunikasi, partisipasi dan konsultasi;
8. Pendokumentasian;
9. Pengendalian dokumen;
10. Pengendalian operasi;
11. Kesiapsiagaan dan tanggap darurat;

II-5
12. Pemantauan dan pengukuran kerja;
13. Evaluasi kesesuaian;
14. Penyelidikan insiden, ketidaksesuaian, tindakan perbaikan dan pencegahan;
15. Pengendalian rekaman;
16. Audit internal;
17. Tinjauan manajemen.

2.1.5 Peraturan Perundangan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


K3 merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap tenaga kerja di sebuah
perusahaan. Di Indonesia ada beberapa peraturan yang mengatur tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3) untuk meningkatkan produktivitas kerja para karyawannya.
Peraturan-peraturan tersebut antara lain :
1. Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Pasal 27 Ayat 2, yang menyatakan bahwa tiap-
tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak demi
kemanusiaan. Pernyataan tersebut mencakup dasar pemikiran bahwa jaminan
keselamatan dan kesehatan bagi tenaga kerja termasuk di dalamnya.
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969, tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai
tenaga kerja dalam perlindungan atas keselamatan kerjanya dan mengatur
penyelenggaraan pertanggungan dan bantuan social bagi tenaga kerjanya dan
keluarganya yang meliputi juga penyakit akibat kerja.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Tanggal 12 Januari 1970 tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja.
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.01/MEN/1980, tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan.
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per 01/MEN/1981 tentang
Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja.
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Tranmigrasi RI No. Per. 08/MEN/VII/2010
tentang Alat Pelindung Diri.
9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per. 13/MEN/X/2011 tentang
Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja.

II-6
10. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan kerja (SMK3).

2.2 Higiene Industri


Higiene Industri merupakan bagian dari ilmu Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3). Higiene Industri menurut American Industrial Higyene Assocation adalah ilmu
yang ditujukan untuk antisipasi, pernyataan, evaluasi, pencegahan, dan pengendalian
faktor-faktor lingkungan atau tekanan yang timbul dari tempat kerja yang dapat
menyebabkan penyakit, gangguan kesehatan dan kesejahteraan, atau ketidaknyamanan
yang signifikan antara. Higiene Industri menjadi hal yang sangat penting bagi perusahaan
karena berfungsi untuk melakukan penilaian dan pengendalian bahaya fisik, kimia,
biologis atau lingkungan di tempat kerja yang dapat menyebabkan cedera atau penyakit.
Dalam praktiknya, Higiene Industri mempunyai peran penting, yaitu ;
1. Investigasi dan menilai potensi bahaya pada tempat kerja
2. Membuat rekomendasi dan peningkatan keamanan pekerja dan lingkungannya
3. Melakukan penelitian secara ilmiah untuk mendapatkan data mengenai kondisi
pekerjaan yang tidak aman
4. Mengembangkan teknik antisipasi dan control terhadap potensi pekerjaan yang
bahaya
5. Melakuka training dan edukasi kepada pekerja terhadap bahaya akibat kerja
6. Mengawasi kondisi pekerja secara berkala

2.3 Bahaya (Hazard)


Bahaya adalah suatu keadaan yang memungkinkan atau berpotensi terhadap
terjadinya kecelakaan berupa cedera, penyakit, kematian, kerusakan atau kemampuan
melaksanakan fungsi operasional yang telah ditetapkan (Tarwaka, 2008). Sedangkan
pengertian bahaya menurut OHSAS 18001 : 2007 adalah sumber, situasi atau tindakan
yang berpotensi menciderai manusia atau sakit penyakit atau kombinasi semuanya.
2.3.1 Sumber Bahaya
Menurut Syukuri Sahab (1997) dalam Ekananda (2014), kecelakaan dan penyakit
akibat kerja terjadi karena adanya sumber-sumber bahaya di lingkungan kerja. Sumber
bahaya berasal dari :

II-7
2.3.1.1 Bangunan, Peralatan, dan Instansi
Proses bahaya yang berasal dari bangunan, instalasi, dan peralatan yang
digunakan bisa berupa konstruksi bangunan yang kurang kokoh dan tidak memenuhi
persyaratan yang ada. Selain itu desain ruang dan tempat kerja serta ventilasi yang baik
merupakan beberapa hal yang harus diperhatikan (Ekananda, 2014).

2.3.1.2 Faktor Kimia


Menurut Harrianto (2010) dalam Ekananda (2014), bahan kimia menjadi
berbahaya bagi manusia terutama karena potensi toksisitasnya. Toksisitas adalah
kemampuan suatu bahan kimia untuk merusak suatu jaringan, organ, atau sistem tubuh.
Menurut Budiono (2003) dalam Ekananda (2014), bahaya dari bahan kimia meliputi
berbagai risiko sesuai dengan sifat bahan antara lain :
- Mudah terbakar
- Mudah meledak
- Menimbulkan alergi atau iritasi
- Korosif
- Bersifat Racun
- Radioaktif
- Menimbulkan kerusaan alap pada kulit dan jaringan tubuh
- Mengakibatkan kelainan pada janin
- Menyebabkan kanker

Faktor kimia sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2011 adalah
faktor di dalam tempat kerja yang bersifat kimia yang dalam keputusan ini meliputi
bentuk padatan (partikel), cair, gas, kabut, aerosol dan uap yang berasal dari bahan-bahan
kimia. Faktor kimia mencakup wujud yang bersifat partikel adalah debu, awan, kabut,
uap logam, dan asap; serta wujud yang tidak bersifat partikel adalah gas dan uap.

2.3.1.3 Fisiologis dan Beban Kerja


Menurut Kusuma (2010) dalam Ekananda (2014), beban kerja meliputi beban
mental, fisik, dan sosial. Upaya penempatan pekerja harus sesuai dengan kemampuannya,
jika tidak, maka akan menyebabkan gangguan musculoskeletal, low back pain serta
kelelahan. Beban kerja fisik bagi pekerja kasar perlu memperhatikan kondisi iklim, sosial

II-8
ekonomi, dan derajat kesehatan, pembebanan tidak melebihi 30-40% dari kemampuannya
kerja maksimum tenaga kerja dalam jangka waktu 8 jam sehari. Berdasarkan hasil
beberapa observasi, beban maksimum untuk tenaga kerja Indonesia adalah 40 kg, bila
mengangkat dan mengangkit dikerjakan lebih dari sekali maka beban maksimu tersebut
harus disesuaikan.
Menurut Kusuma (2010) dalam Ekananda (2014), penetapan kemampuan kerja
maksimum sangat sulit, parameter praktis yang digunakan adalah prngukuran denyut nadi
yang diusahakan tidak melebihi 30-40 per menit di atas denyut nadi sebelum bekerja.
Hal-hal yang turut memperberat beban kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan sosial
bagi pekerja terpaksa melakukan kerja tambahan secara berlebihan.

2.3.1.4 Faktor Fisik


Menurut Budiono (2003) dalam Ekananda (2014), physical hazard yaitu suatu
kondisi yang bersumber pada karakteristik secara fisik dari obyek yang dapat
memperbesar terjadinya kerugian. Lingkungan fisik mencakup kebisingan, pencahayaan,
geataran, atau vibrasi dan iklim meja.
1. Kebisingan
Kebisingan adalah semua bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang dapat
mengganggu kesehatan dan keselamatan (Anizar, 2009). Sedangkan menurut Salim
(2002) kebisingan adalah suara-suara yang tidak dikehendaki bagi manusia, sehingga
tetesan airpun pada malam hari akan merupakan gangguan tidur bagi orang-orang
tertentu. Tetapi, dalam hal ini hanya akan dibahas suara-suara bernada tinggi yang
mengganggu telinga di lingkungan kerja. Oleh karena itu diperlukan upaya perlindungan
kebisingan untuk para karyawan dan juga di lingkungan di sekitar pabrik. Kebisingan
yang masih dapat ditolerir adalah 85 dB untuk 8 jam kerja sehari atau 40 jam seminggu.
Dasar hukum yang digunakan adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No: PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia
di Tempat Kerja. Sedangkan menurut standar OSHA, kebisingan yang masih dapat
ditolerir adalah 90 dB untuk 8 jam kerja.
UU No. 1 Tahun 1970, mewajibkan para pengusaha untuk melakukan perlindungan
terhadap tenaga kerjanya dengan cara menyediakan tempat kerja yang sehat dan selamat
agar terhindar dari penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja. UU tersebut masih relevan
dan tetap berlaku walaupun sudah ada undang-undang yang baru.

II-9
Sesuai perkembangan teknologi, umumnya SLM yang ada saat ini sudah dilengkapi
dengan kemampuan untuk melakukan perhitungan TWA. Namun demikian, tidak ada
salahnya untuk mengetahui formula matematika di balik penentuan TWA (atau T).
Menurut NIOSH, waktu maksimum (T) yang diperkenankan bagi pekerja untuk berada
di sebuah lokasi dengan tingkat (intensitas) kebisingan tertentu adalah sebagai berikut
(Tambunan, 2005) :
16
𝑇= ……………………………........................................................(2.1)
2(𝐿−82)/3
dimana :
T = waktu maksimum dimana pekerja boleh berhadapan (kontak) dengan tingkat
kebisingan (dalam menit), dikenal juga sebagai waktu pemajaan maksimum
(formula NIOSH)
16 = 16 jam / hari; waktu kerja yang diperbolehkan untuk paparan kebisingan 82 dB
L = tingkat (intensitas) kebisingan (dB)
Istilah intensitas (intensity) dan kekerasan (loudness) pada suara atau
kebisingan mempunyai arti yang sama
82 = Recommended Exposure Limit (REL)/ Nilai Ambang Batas (NAB) terhadap 16
jam kerja / hari
3 = exchange rate, dikenal juga sebagai doubling rate/ trading ratio/ time-intensity
tradeoff, yaitu angka yang menunjukkan hubungan antara intensitas kebisingan
dengan tingkat kebisingan. Exchange rate sama dengan 3. Artinya, untuk setiap
penambahan sebuah sumber kebisingan yang identik (dengan intensitas
kebisingan yang sama), akan terjadi penambahan tingkat kebisingan sebesar 3 dB
(NOISH menggunakan angka 3 sebagai exchange rate)

Kebisingan dapat dikelaskan kepada beberapa jenis yaitu (Anizar, 2009) :


a. Bising secara terus menerus adalah bising yang mempunyai perbedaan tingkat
intensitas bunyi di antara maksimum dan minimum yang kurang dari 3 dBA
b. Bising fluktuasi ialah bunyi bising yang mempunyai perbedaan tingkat di antara
intensitas yang tinggi dengan yang rendah lebih dari 3 dBA
c. Bising impuls ialah bunyi bising yang mempunyai intensitas yang sangat tinggi dalam
waktu yang singkat
d. Bising bersela ialah bunyi yang terjadi di dalam jangka waktu tertentu secara berulang

II-10
Efek yang ditimbulkan kebisingan adalah (Budiono, 2003) :
a. Mengurangi kenyamanan dalam bekerja
Tidak semua tenaga kerja mengalami gangguan akan kebisingan. Hal ini disebabkan
tenaga kerja sangat terbiasa dengan kondisi yang ada dalam jangka waktu cukup lama
b. Mengganggu komunikasi atau percakapan antar pekerja
Kesalahan informasi yang disampaikan terutama bagi pekerja baru dapat berakibat
fatal
c. Mengganggu konsentrasi
d. Menurunkan daya dengar, baik bersifat sementara maupun permanen
e. Tuli akibat kebisingan (Noise Induce Hearing Loss)
2. Pencahayaan
Penerangan tenaga kerja adalah salah satu sumber cahaya yang menerangi benda-
benda di tempat kerja. Penerangan yang berasal dari cahaya alami dan cahaya buatan
(Budiono, 2003). Menurut Moeljosoedarmo (2008) dalam Ekananda (2014), sama seperti
faktor lingkungan lain apabila intensitas penerangan tidak memadai (suram atau
menyilaukan) maka dapat menyebabkan produktivitas tenaga kerja menjadi rendah. Hal
ini dikarenakan sebagai berikut :
a. Kondisi lingkungan yang suram umumnya tenaga kerja akan berupaya untuk dapat
melihat pekerjaannya dengan sebaik-baiknya dengan cara berakomodasi secara terus
menerus. Upaya demikian akan menyebabkan terjadinya ketegangan mata (eye strain)
menciptakan ketengangan otot mata dan syaraf yang dapat mempercepat kelelahan.
Bukan hanya kelelahan mata saja, namun juga kelelahan mental. Kondisi demikian
cenderung akan menurunkan ketelitian dan lebih lanjut dapat menyebabkan terjadinya
kesalahan, memperpanjang waktu kerja, menurunkan produksi di samping itu juga
dapat menurunkan kewaspadaan dan cenderung kecelakaan kerja.
b. Intensitas penerangan yang berlebihan (kelebihan cahaya) akan menyebabkan
terjadinya kesilauan di tempat kerja, cenderung menciptakan ketegangan mata, otot,
dan syaraf yang dapat mempercepat terjadinya kelelahan (Moeljosoedarmo, 2008).
Alat untuk mengetahui intensitas penerangan adalah Luxmeter. Intensitas penerangan
dinyatakan dalam satuan lux. Intensitas penerangan diukur dengan dua cara yaitu
(Budiono, 2003) :

II-11
a. Penerangan umum; diukur setiap meter persegi luas lantai dengan tinggi permukaan
kurang dari 85 cm dari lantai.
b. Penerangan lokal; diukur di tempat kerja atau meja kerja pada objek yang dilihat oleh
tenaga kerja.
3. Getaran atau Vibrasi
Getaran atau vibrasi menurut Salim (2002) adalah suatu faktor fisik yang menjalar ke
tubuh manusia, mulai dari tangan sampai ke seluruh tubuh turut bergetar (oscilation)
akibat getaran peralatan mekanik yang dipergunakan dalam tempat kerja. Getaran kaan
menimbulkan rasa tidak nyaman pada manusia/ pekerja dan akan mengurangi
produktivitas kerja serta gangguan fa’al pada tubuh manusia, mulai dari gejala ringan
sampai dengan yang berat. Sumber getaran dapat berupa getaran ataupun gesekan dari
mesin, sehingga akan menimbulkan gangguan pada denyut nadi dan keseimbangan tubuh.
Getaran yang mengakibatkan kelainan pada tubuh manusia dibagi menjadi dua, yaitu
(Salim, 2002) :
a. Getaran pada seluruh tubuh atau umum (Whole Body Vibration)
Yaitu terjadi getaran pada tubuh pekerja yang bekerja sambil duduk atau sedang berdiri
tetapi landasannya bergetar. Biasanya frekuensi getaran ini adalah sebesar 5-20 Hz.
b. Getaran setempat (Hand Arm Vibration)
Yaitu getaran yang merambat melalui tangan akibat pemakaian peralatan yang
bergetar. Frekuensi biasanya antara 20-500 Hz. Frekuensi yang paling berbahaya adalah
pada 125 Hz, karena tubuh manusia sangat peka pada frekuensi ini.
Pengaruh getaran pada tenaga kerja dapat dibedakan menjadi gangguan kenikmatan
bekerja, mempercepat terjadinya kelelahan dan gangguan kesehatan. Getaran seluruh
badan dapat memicu terjadinya penglihatan kabur, sakit kepala, gemetaran (shakeness)
dan kerusakan organ pada bagian dalam. Sedangkan getaran pada lengan dan tangan dapat
mengakibatkan sakit kepala, sakit indera perasa pada jari-jari, menurun fungsinya serta
terbentuk noda putih pada punggung jari/ telapak tangan (white finger syndrome)
(Budiono, 2003).
4. Iklim Kerja
Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. : PER. 13/MEN/X/2011
tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja pasal 1 ayat
13 berbunyi “Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan

II-12
gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga
kerja sebagai akibat pekerjaannya, yang dimaksudkan dalam peraturan ini adalah iklim
kerja panas”.
Nilai ambang batas iklim kerja indeks suhu basah dan bola (ISBB) yang dipekenankan
berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di
Tempat Kerja dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB)
yang Diperkenankan

ISBB (oC)
Pengaturan waktu kerja setiap hari Beban Kerja
Ringan Sedang Berat
75%-100% 31,0 % 28,0 % -
50%-75% 31,0 % 29,0 % 27,5 %
25%-50% 32,0 % 30,0 % 29,0 %
0%-25% 32,2 % 31,1 % 30,5 %
Sumber : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. : PER. 13/MEN/X/2011
Indeks Suhu Basah dan Bola untuk di luar ruangan dengan panas radiasi :
ISBB = 0,7 Suhu basah alami + 0,2 Suhu bola + 0,1 Suhu kering………………..…(2.2)
a. Iklim Kerja Panas
Suhu lingkungan di tempat kerja yang terlalu panas atau terlalu dingin berbahaya
terhadap kesehatan individu pekerja. Pajanan suhu lingkungan yang terlalu panas disebut
heat stress. Keseimbangan antara panas tubuh dan lingkungan diperlukan supaya
metabolisme tubuh dapat berjalan lancar. Proses pertukaran panas antara tubuh dan
lingkungan terjadi melalui ekanisme konveksi, radiasi, evaporasi, dan konduksi. Proses
metabolisme tubuh yang berinteraksi dengan panas di lingkungannya akan
mengakibatkan pekerja mengalami tekanan panas. Tekanan panas ini dapat disebabkan
karena adanya sumber panas maupun karena ventilasi tidak baik (Harrianto, 2010).
Menurut Budiono (2003) dalam Ekananda (2014), pengaruh pemaparan panas
terhadap kesehatan yaitu :
- Dehidrasi; merupakan keadaan dimana tubuh letih, lesu, lemah, dan kantuk;
- Heat Cramps; merupakan bertambahnya keringat yang menyebabkan hilangnya garam
natrium dalam tubuh. Gejala yang timbul antara lain kejang otot dan perut terasa sakit
sekali;

II-13
- Heat Exhaustion; biasanya disebabkan karena cuaca yang sangat panas terutama bagi
mereka yang belum beraklimatisasi terhadap udara panas. Penderita biasanya
berkeringat sangat banyak, tekanan darah menurun, dan denyut nadi lebih cepat dari
biasanya;
- Heat Stroke; merupakan keadaan dimana temperature tubuh 40-41o C yang
mengakibatkan kerusakan jaringan-jaringan seperti liver, ginjal, dan otak. Pekerja
merasakan sakit kepala, fatigue, pening, denyut nadi cepat, dan tidak sadarkan diri.
b. Iklim Kerja Dingin
Menurut Budiono (2003) dalam Ekananda (2014), sektor industri pekerja yang bekerja
di lingkungan kerja yang bersuhu dingin misalnya di pabrik es, kamar pendingin, ruang
komputer, ruang kantor dan sebagainya.
Menurut Budiono (2003) dalam Ekananda (2014), akibat suhu dingin terhadap
kesehatan pekerja :
- Chilblain
Cidera tenaga kerja akibat di tempat kerja yang cukup dingin dengan waktu yang
cukup lama.
- Trencfoot
Terjadi kerusakan anggota badan terutama kaki akibat kelembaban atau suhu dingin
walaupun suhu masih di atas titik beku. Gejalanya antara lain pucat, kadang nadi
teraba, rasa kesemutan, kaku, berat, dan bila berlanjut terjadi gangrene.
- Froshbite
Suhu yang sangat rendah di bawah titik beku. Kondisi penderita sama seperti yang
mengalami penyakit trencfoot namun stadium terakhir penyakit ini adalah gangrene.

2.3.1.5 Faktor Biologi


Menurut Pusparini (2008) dalan Astasini (2007), faktor biologi merupakan salah
satu faktor bahaya yang mungkin ditemukan di tempat kerja. Bahaya biologi seringkali
luput dari pengamatan atau perhatian sehingga bahaya dari faktor ini tidak dikenal,
dikontrol, diantisipasi, dan cenderung diabaikan sampai suatu ketika menjadi keadaan
yang sangat sulit diperbaiki. Bahaya dari faktor biologi sangat bervariasi seperti juga
berbagai pekerjaan yang mungkin dapat terekspos oleh faktor ini, untuk itu dengan
mengenal bahaya dari biologi diharapkan efek yang merugikan dapat dihindari.

II-14
Bahaya kerja biologi yaitu gangguan kesehatan atau penyakit yang didpaat dari tempat
kerja akibat pajanan oleh mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur, parasit, dan lain-
lain. Macam-macam bahaya kerja biologi menurut Harrianto (2010) adalah :
1. Bahaya kerja biologi akibat kontak dengan individu yang terinfeksi atau kontak
dengan sekresi, ereksi atau jaringan tubuh manusia yang terinfeksi. Misalnya hepatitis,
AIDS, tuberkolosis dan lain-lain. Keterpajanan biasanya terjadi pada para tenaga kerja
keehatan dan petugas laboratorium.
2. Bahaya kerja biologi yang terjadi akibat penularan dari binatang yang menginfeksi
manusia secara langsung atau melalui kontak sekresi, ereksi atau jaringan tubuh
binatang yang terinfeksi. Misalnya leptospirosis, antraks, toksoplasmosis, dan lain-
lain. Keterpajanan biasanya terjadi pada petani, perawat binatang peliharaan, dan
pekerja konstruksi.
3. Bahaya kerja biologi yang terjadi akibat polusi udara yang mengandung
mikroorganisme biasanya terjadi pada pekerja kantor yang menggunakan AC sentral,
tenaga pekerja pembersih cerobong asap pabrik, dan pabrik-pabrik yang menghasilkan
debu kerja.

2.3.1.6 Faktor Psikologi


Menurut Ekananda (2014), dalam ilmu psikologi, stress diartikan sebagai suatu
kondisi yang terjadi apabila kebutuhan tidak terpenuhi sehingga menimbulkan adanya
ketidakseimbangan. Stress sebagai pengalaman emosional negatif disertai reaksi
biokimiawi, fisiologis, kognitif, dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau
menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres.
Faktor psikologi memainkan peran besar karena penyakit itu dapat timbul dari konflik
mental yang terjadi di lingkungan pekerjaan yang akhirnya dapat mempengaruhi kondisi
fisik pekerja sehingga perlu adanya upaya pengendalian yang dilakukan dengan
melakukan kegiatan komunikasi, refreshing, kegiatan lomba pada saat hari raya, kegiatan
meeting yang dilakukan dari pohak perusahaan.

2.3.1.7 Proses Kerja


Menurut Ekananda (2014), bahaya dari proses sangat bervariasi tergantung dari
teknologi yang digunakan. Proses yang ada pada industri ada yang sederhana, tetapi ada
juga yang prosesnya rumit. Ada proses yang berbahaya dan ada juga proses yang kurang

II-15
berbahaya. Dalam proses biasanya juga digunakan suhu dan tekanan tinggi yang
memperbesar risiko bahayanya. Dari proses ini terkadang timbul asap, debu, panas,
bising, dan bahaya mekanis seperti terjepit, terpotong, atau tertimpa bahan. Hal ini dapat
berakibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

2.3.1.8 Cara Kerja


Menurut Ekananda (2014), bahaya dari cara kerja yang dilakukan oleh pekerja
yang dapat membahayakan pekerja itu sendiri atau orang lain di sekitarnya yaitu :
1. Cara mengangkat dan mengangkut, apabila dilakukan dengan cara yang salah maka
dapat menyebabkan cidera dan yang paling sering adalah cidera pada tulang
punggung;
2. Cara kerja yang mengakibatkan hamburan debu dan serbuk logam, percikan api, serta
tumpahan bahan berbahaya;
3. Memakai alat pelindung diri yang tidak semestinya dan cara memakai yang salah.

2.4 Kecelakaan Kerja


Kecelakaan adalah peristiwa tidak diinginkan yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kerugian dalam derajat tertentu. Kecelakaan tidak terjadi dengan
sendirinya, tetapi merupakan suatu rangkaian peristiwa yang mempunyai sebab-sebab
yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Kerugian yang terjadi bisa berupa : luka-luka (cedera
pada manusia), kerusakan harta benda, ataupun kerusakan pada lingkungan sekitar (pada
tumbuhan, hewan, ataupun ekosistem lain) (Salim, 2002). Sedangkan menurut M.
Sulaksmono (1997) dalam Anizar (2009) adalah suatu kejadian tak diduga dan tidak
dikehendaki yang mengacaukan proses suatu aktivitas yang telah diatur.
Kecelakaan terjadi tanpa disangka-sangka dan dalam sekejap mata, dan setiap
kejadian menurut Benneth Silalahi (1995) dalam Anizar (2009) terdapat empat faktor
yang bergerak dalam satu kesatuan berantai yaitu lingkungan, bahaya, peralatan, dan
manusia. Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan yang berhubung dengan hubungan
kerja pada perusahaan. Hubungan kerja disini dapat berarti, bahwa kecelakaan terjadi
dikarenakan oleh pekerjaan atau pada waktu melaksanakan pekerjaan.

II-16
2.4.1 Teori Sebab-Akibat Kecelakaan
Menurut HW Heinrich, secara statistik sebab kecelakaan dapat kita lihat sebagai
berikut :
1. 88% Unsafe Action atau Substandar Action (Tindakan Berbahaya).
2. 10% Unsafe Condition atau Substandar Condition (Kondisi Berbahaya).
3. 2% Act of God (Sebab yang belum dapat ditentukan/ nasib/ takdir).
Presentase ini hanyalah berdasarkan pengalaman dan data pada suatu saat. Pada
dasarnya, angka ini bukanlah angka petisi, tetapi kita dapat mengasumsi bahwa tindakan
berbahaya menempati sebab yang tertinggi.
Sub-standard Action/ Condition lebih umum digunakan dalam manajemen K3
modern sebab mengacu pada suatu standar tertentu, bukan melihat pada kesalahan
manusia semata (Salim, 2002).

2.4.2 Teori Sebab Kecelakaan


Dilihat dari Gambar 2.1 di bawah, bahwa suatu kecelakaan (insiden) tidak akan
terjadi tanpa didahului oleh adanya sebab langsung dan sebab dasar (Salim, 2002) :
1. Manajemen problem
2. Sebab dasar
3. Sebab langsung

Gambar 2.1 Teori Sebab Kecelakaan


Sumber : Salim, 2002

Komponen yang meliputi Sebab Langsung (Salim, 2002) :


1. Unsafe Action (Tindakan Tidak Aman)
Tindakan berbahaya (unsafe action) adalah tindakan orang yang menyimpang dari
prosedur atau cara yang benar, sehingga tindakan tersebut merupakan tindakan
yang mengandung bahaya. Misalnya : Berdiri di bawah barang yang diangkat
crane, ngebut di jalan ramai. Keadaan dan tindakan berbahaya jika dibiarkan tanpa
perbaikan akan dapat menimbulkan kecelakaan.

II-17
2. Unsafe Condition (Kondisi Tidak Aman)
Keadaan berbahaya adalah kondisi apa saja, baik fisik, mekanis, kimiawi, atau
biologis yang berbahaya. Misalnya : sinar las yang tidak terlindungi, roda gigi yang
tidak tertutup pelindung, ban penggerak terbuka, sumber radioaktif, bahan mudah
terbakar yang berada dekat sumber api.
Komponen yang meliputi Sebab Dasar (Salim, 2002) :
1. Personal Factor (Faktor Pribadi)
Hal-hal yang termasuk ke dalam Personal Factor :
a. Kemampuan fisik/ fisiologis yang terbatas.
b. Ketidakmampuan mental/ psikologis.
c. Stres fisik atau fisiologis.
d. Stres mental atau psikologis.
e. Kurang pengetahuan (lack of knowledge).
f. Kurang ketrampilan (lack of skill).
2. Job Factor (Faktor Pekerja).
Hal-hal yang termasuk ke dalam Job Factor :
a. Tidak memadai kepemimpinan dan supervise.
b. Tidak memadainya rekayasa (inadequate engineering).
c. Tidak memadainya proses pemeliharaan dan perawatan (inadequate
maintenance).
d. Tidak memadainya peralatan dan perkakas (inadequate tools & equipment)
e. Tidak memadainya standar kerja.
f. Keausan (wear and tear).
g. Penyalahgunaan/ salah pakai (abuse/ mis-use).

2.4.3 Kecelakaan Akibat Kerja


Klasifikasi kecelakaan akibat kerja menurut Organisasi Perburuhan Internasioal
(ILO) tahun 1962 adalah sebagai berikut (Suma’mur, 1996) :
1. Klasifikasi menurut jenis kecelakaan
a. Terjatuh
b. Tertimpa benda jatuh
c. Terjepit oleh benda

II-18
d. Gerakan-gerakan melebihi kemampuan
e. Pengaruh suhu tinggi
f. Terkena arus listrik
g. Kontak dengan bahan-bahan berbahaya atau radiasi
2. Klasifikasi menurut penyebab
a. Mesin
- Pembangkit tenaga, terkecuali motor-motor listrik
- Mesin-mesin untuk mengerjakan logam
- Mesin-mesin pengolah kayu
- Mesin-mesin pertanian
- Mesin-mesin pertambangan
- Mesin-mesin lain yang tidak termasuk klasifikasi tersebut
b. Alat angkut dan alat berat
- Mesin angkat dan peralatannya
- Alat angkut lain yang beroda, terkecuali kereta api
- Alat angkutan udara
- Alat angkutan air
- Alat-alat angkutan lain
c. Peralatan lain
- Bejana bertekanan
- Dapur pembakar dan pemanas
- Instalasi pendingin
- Instalasi listrik, termasuk motor listrik, tetapi dikecualikan alat-alat listrik
(tangan)
- Alat-alat listrik (tangan)
- Alat-alat kerja dan perlengkapannya, kecuali alat-alat listrik
- Tangga
- Perancah (steger)
d. Bahan-bahan, zat-zat dan radiasi
- Bahan peledak
- Debu, gas, cairan, dan zat-zat kimia, terkecuali bahan peledak
- Benda-benda melayang

II-19
- Radiasi
- Bahan-bahan dan zat-zat lain yang belum termasuk golongan tersebut
e. Lingkungan kerja
- Di luar bangunan
- Di dalam bangunan
- Di bawah bangunan
3. Klasifikasi menurut sifat luka atau kelainan
a. Patah tulang
b. Dislokasi/ keseleo
c. Regang otot/ urat
d. Memar dan luka dalam yang lain
e. Amputasi
f. Luka di permukaan
g. Gegar dan remuk
h. Luka bakar
i. Keracunan-keracunan mendadak (akut)
j. Akibat cuaca
k. Mati lemas
4. Klasifikasi menurut letak kelainan atau luka di tubuh
a. Kepala
b. Leher
c. Badan
d. Anggota atas
e. Anggota bawah
f. Letak lain yang tidak dapat dimasukan klasifikasi tersebut

2.4.4 Jenis-jenis Kecelakaan Kerja


Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tdak terduga dan tidak diharapkan.
Biasanya kecelakaan menyebabkan, kerugian material dan penderitaan dari yang paling
ringan sampai kepada yang paling berat (Suma’mur, 1996).
Jenis kecelakaan kerja yang terjadi di area pabrik menurut Ramli (2009) adalah :
1. Near-miss

II-20
Near-miss adalah keadaan hampir nyaris celaka. Jenis kecelakaan yang sering terjadi
akibat adanya kondisi seperti terjepit, terpeleset, terjatuh, tersandung, dan tersengat
arus listrik.
2. Property Damage
Property damage adalah kejadian yang tidak diinginkan dan dapat menyebabkan
kerusakan terhadap bahan, mesin, atau alat. Kejadian yang menyebabkan kecelakaan
tersebut adalah penyimpanan material dan alat yang tidak sesuai tempatnya.
3. First Aid Injury
First aid injury adalah kecelakaan yang secara normal yang diperlakukan sebagai
pertolongan pertama dengan menggunakan bantuan di kotak P3K sebagai
pertimbangan pertolongan dokter karena dapat diklasifikasikan first aid untuk luka-
luka ringan.
4. Medical Treatment Injury
Medical treatment injury adalah kecelakaan yang membutuhkan pertolongan oleh
dokter yang spesifik, namun pekerja yang cedera dapat melanjutkan pekerjaan pada
hari shift kerja berikutnya. Jenis kecelakaan yang sering terjadi adalah terhirup atau
tertelan zat kimia.
5. Lost time Injury
Lost time injury adalah kecelakaan kerja yang mengakibatkan karyawan yang cedera
tidak mampu untuk melakukan pekerjaan rutin setelah hari kecelakaan kerja terjadi.
6. Fatality
Fatality adalah kematian yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja.

2.4.5 Pencegahan Kecelakaan


Pencegahan kecelakaan berdasarkan pengetahuan tentang sebab-sebab
kecelakaan. Sebab-sebab kecelakaan di suatu perusahaan diketahui dengan mengadakan
analisa kecelakaan. Maka dari itu sebab-sebab dan cara analisanya harus betul-betul
diketahui (Suma’mur, 1996).
Pencegahan ditujukan kepada lingkungan, mesin-mesin alat-alat kerja perkakas
kerja, dan manusia. Lingkungan harus memenuhi syarat-syarat lingkungan kerja yang
baik, pemeliharaan rumah tangga yang baik, keadaan gedung yang selamat, dan
perencanaan yang baik. Selain tentang perencanaan, juga perawatan mesin-mesin dan

II-21
perkakas-perkakas kerja harus diperhatikan. Kurangnya perawatan sering mengakibatkan
bencana besar, seperti misalnya, peledakan mesin-mesin disel. Alat-alat perlindungan
berupa kacamata, sarung tangan, pakaian kerja yang tepat ukurannya, dan lain-lain.
Tentang faktor manusia harus diperhatikan adanya aturan-aturan kerja, kemampuan si
pekerja, kurangnya konsentrasi, disiplin kerja, perbuatan-perbuatan yang mendatangkan
kecelakaan, ketidakcocokan fisik dan mental (Suma’mur, 1996).
Kecelakaan-kecelakaan akibat kerja dapat dicegah dengan (Suma’mur, 1996) :
1. Peraturan perundangan, yaitu ketentuan-ketentuan yang diwajibkan mengenai
kondisi-kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, konstruksi, perawatan dan
pemeliharaan, pengawasan, pengujian, dan cara kerja peralatan industri, tugas-tugas
pengusaha dan buruh, latihan, supervise medis, PPPK, dan pemeriksaan kesehatan.
2. Standarisasi, yaitu penetapan standar-standar resmi, setengah resmi atau tak resmi
mengenai misalnya konstruksi yang memenuhi syarat-syarat keselamatan jenis-jenis
peralatan industri tertentu, praktik-praktik keselamatan dan higiene umum, atau alat-
alat pelindung diri.
3. Pengawasan. Yaitu pengawasan tentang dipatuhinya ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang diwajibkan.
4. Penelitian bersifat teknik, yang meliputi sifat dan ciri-ciri bahan-bahan yang
berbahaya, penyelidikan tentang pagar pengaman, pengujian alat-alat perlindungan
diri, penelitian tentang pencegahan peledakan gas dan debu, atau penelaahan tentang
bahan-bahan dan desain paling tepat untuk tambang-tambang pengangkat dan
peralatan lainnya.
5. Riset medis, yang meliputi terutama penelitian tentang efek-efek fisiologis dan
patologis faktor-faktor lingkungan dan teknologis, dan keadaan-keadaan fisik yang
mengakibatkan kecelakaan.
6. Penelitian psikologis, yaitu penyelidikan tentang pola-pola kejiwaan yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan.
7. Penelitian secara statistik, untuk menetapkan jenis-jenis kecelakaan yang terjadi,
banyaknya, mengenai siapa saja, dalam pekerjaan apa, dan apa sebab-sebabnya.
8. Pendidikan, yang menyangkut pendidikan keselamatan dalam kurikulum teknik,
sekolah-sekolah perniagaan, atau kursus-kursus pertukangan.

II-22
9. Latihan-latihan, yaitu latihan praktik bagi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja yang
baru, dalam keselamatan kerja.
10. Penggairahan, yaitu penggunaan aneka cara penyuluhan atau pendekatan lain untuk
menimbulkan sikap untuk selamat.
11. Asuransi, yaitu intensif financial untuk meningkatkan pencegahan kecelakaan.
12. Usaha keselamatan pada tingkat perusahaan, yang merupakan ukuran utama efetif
tidaknya penerapan keselamatan kerja.

2.5 Manajemen Risiko


Menurut Australia/ New Zealand Standard 4360 : 1999, manajemen risiko
menyangkut tentang budaya, proses, dan struktur yang diarahkan untuk mengelola suatu
risiko secara efektif dan terencana dalam suatu manajemen yang baik. Manajemen risiko
adalah bagian dari integral dari manajemen yang baik. Ini adalah proses yang berulang
yang terdiri dari beberapa tahap yaitu, ketika dilakukan di dalam sebuah urutan,
memungkinkan peningkatan yang berkelanjutan di dalam pembuatan keputusan.
Beberapa tahapan dalam melaksanakan manajemen risiko menurut Australia/ New
Zealand Standard 4360 : 1999, yaitu :
1. Menetapkan tujuan dan lingkup pelaksanaan manajemen risiko;
2. Melaksanakan identifikasi bahaya;
3. Melakukan analisis risiko untuk menetapkan kemungkinan dan konsekuensi yang
akan terjadi serta menetapkan tingkat risiko;
4. Menetapkan evaluasi untuk menetapkan skala prioritas dan membandingkan dengan
criteria yang ada;
5. Melakukan pengendalian risiko yang tidak dapat diterima;
6. Melakukan pemantauan dan tinjauan ulang program manajemen risiko yang telah
dilaksanakan;
7. Komunikasi dan konsultasi yang dilakukan dalam proses manajemen risiko yang
melibatkan pihak internal dan eksternal.
Berdasarkan Australia/ New Zealand Standard 4360 : 1999, proses manajemen risiko
dapat dilihat pada gambar 2.2 di bawah ini.

II-23
Gambar 2.2 Proses Manajemen Risiko
Sumber : Australia/ New Zealand Standard 4360 : 1999

2.5.1 Penentuan Ruang Lingkup


Penentuan ruang lingkup merupakan parameter dasar proses manajemen risiko.
Ruang lingkup tersebut mencakup tiga komponen, yaitu ruang lingkup eksternal, ruang
lingkup internal, dan ruang lingkup manajemen risiko di mana proses manajemen risiko
akan diterapkan (Australia/ New Zealand Standard 4360 : 1999).

2.5.2 Identifikasi Bahaya


Menurut OHSAS 18001 : 2007 pengertian identifikasi bahaya adalah proses untuk
mengetahui adanya suatu bahaya dan menentukan karakteristiknya. Identifikasi hazard
merupakan suatu proses yang dapat dilakukan untuk mengenali seluruh situasi atau
kejadian yang berpotensi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat
kerja yang mungkin timbul di tempat kerja (Tarwaka, 2008).
Menurut OHSAS 18001 : 2007, organisasi harus membuat, menerapkan, dan
memelihara prosedur untuk mengidentifikasi bahaya yang ada, penilaian risiko, dan
penetapan pengendalian yang diperlukan. Prosedur untuk mengidentifikasi bahaya dan
menilai risiko harus memperhatikan :

II-24
a. Aktivitas rutin dan tidak rutin;
b. Aktivitas seluruh personel yang mempunyai akses ke tempat kerja (termasuk
kontraktor dan tamu);
c. Perilaku manusia, kemampuan dan faktor-faktor manusia lainnya;
d. Bahaya-bahaya yang timbul dari luar tempat kerja yang berdampak pada kesehatan
dan keselamatan personel di dalam kendali organisasi di lingkungan tempat kerja;
e. Bahaya-bahaya yang terjadi di sekitar tempat kerja hasil aktivitas kerja yang terkait di
dalam kendali organisasi;
f. Prasarana, peralatan dan material di tempat kerja, yang disediakan baik oleh organisasi
ataupun pihak lain;
g. Perubahan-perubahan atau usulan perubahan di dalam organisasi, aktivitas-aktivitas
atau material;
h. Modifikasi sistem manajemen K3, termasuk perubahan sementara, dan dampaknya
kepada operasional, proses-proses dan aktivitas-aktivitas;
i. Adanya kewajiban perundangan yang relevan terkait dengan penilaian risiko dan
penerapan pengendlian yang dibutuhkan;
j. Rancangan area-area kerja, proses-proses, instalasi-instalasi, mesin/ peralatan,
prosedur operasional dan organisasi kerja, termasuk adaptasinya kepada kemampuan
manusia.
Sedangkan menurut Tarwaka (2008), proses identifikasi hazard dapat dilihat dalam
gambar 2.3 di bawah ini.

Proses Identifikasi Hazard

Buat daftar semua objek (mesin, peralatan kerja,


bahan, proses kerja, sistem kerja, kondisi kerja,
dll) yang ada di tempat kerja

Periksa semua objek yang ada di tempat kerja


dan sekitarnya

Lakukanlah wawancara dengan tenaga kerja


yang bekerja di tempat kerja yang berhubungan
dengan objek-objek tersebut

II-25
Review kecelakaan, catatan P3K dan informasi
lainnya

Catat seluruh hazard yang telah diidentifikasi


Gambar 2.3 Proses Identifikasi Hazard
Sumber : Tarwaka, 2008

2.5.3 Penilaian Risiko


Di dalam melakukan penilaian risiko harus dilakukan secara sistematis dan
terencana dengan mengikuti tahapan-tahapan proses penilaian risiko. Proses penilaian
risiko ini dilakukan untuk menilai tingkat risiko kecelakaan atau cidera dan sakit dan
merupakan proses kelanjutan dari proses identifikasi hazard. Proses penilaian risiko dapat
dilihat pada gambar 2.4 di bawah ini (Tarwaka, 2008).

Proses Penilaian Risiko

Estimasi kekerapan terjadinya kecelakaan atau


sakit di tempat kerja

Estimasikan keparahan dari kemungkinan


terjadinya kecelakaan dan sakit yang terjadi

Tentukan tingkat risikonya

Buat skala prioritas risiko yang telah dinilai


untuk pengendalian risiko

Buat catatan penilaian risiko

Gambar 2.4 Proses Penilaian Risiko


Sumber : Tarwaka, 2008

2.4.3.1 Analisis Risiko


Menurut Kolluru (1996) dalam Ekananda (2014), analisis risiko adalah sebuah
bentuk sistematika dalam penggunaan informasi yang telah tersedia untuk
mengidentifikasi bahaya (hazard) dan untuk memperkirakan suatu risiko terhadap

II-26
individu, populasi, bangunan, dan lingkungan. Sedangkan menurut Australia/ New
Zealand Standard 4360 : 1999, analisis risiko adalah suatu kegiatan sistematik dengan
menggunakan informasi yang ada untuk mendeterminasi seberapa besar konsekuensi dan
tingkat keseringan suatu kejadian yang ditimbulkan. Analisis ini harus
mempertimbangkan kisaran konsekuensi potesial dan bagaimana risiko dapat terjadi.
Tujuan melakukan analisis risiko adalah untuk membedakan antara risiko kecil dengan
risiko besar dan menyediakan data untuk membantu evaluasi dan penanganan risiko.
Kategori kemungkinan terjadinya risiko (likelihood) menurut Ramli (2009) dapat dilihat
pada tabel 2.2 berikut :
Tabel 2.2 Tingkat Kemungkinan Terjadinya Risiko
Level Likelihood Deskripsi
(Kemungkinan)
A Almost certain Dapat terjadi setiap saat dalam kondisi normal
(Hampir pasti
terjadi)
B Likely Terjadi beberapa kali dalam periode waktu tertentu
(Sering terjadi)
C Possible Risiko dapat terjadi namun tidak sering
(Dapat terjadi)
D Unlikely Kadang-kadang terjadi
(Kadang-kadang)
E Rare Dapat terjadi dalam keadaan tertentu
(Jarang sekali)
Sumber : Ramli, 2009
Contoh keparahan atau konsekuensi suatu kejadian secara kualitatif menurut Ramli
(2009) dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut :
Tabel 2.3 Tingkat Konsekuensi Terjadinya Risiko
Level Consequence Dekripsi
(Akibat/Risiko)
Insignificant Kejadian tidak menimbulkan kerugian atau cedera
1
(Tidak signifikan) pada manusia
Minor Menimbulkan cedera ringan, kerugian kecil dan tidak
2 (Kecil) menimbulkan dampak serius terhadap kelangsungan
bisnis
Moderate Cedera berat dan dirawat di rumah sakit, tidak
3
(Sedang) menimbulkan cacat tetap, kerugian finansial sedang
Major Menimbulkan cedera parah dan cacat tetap dan
4 (Berat) kerugian finansial besar serta menimbulkan dampak
serius terhadap kelangsungan usaha
Catastrophic Mengakibatkan korban meninggal dan kerugiab parah
5
(Bencana) bahkan dapat menghentikan kegiatan usaha selamanya
Sumber : Ramli, 2009

II-27
Peringkat kemungkinan seperti di atas bersifat kualitatif dan subjektif karena hanya
diungkapkan dengan kata-kata. Dengan demikian, tidak dapat diartikan bahwa kejadian
A adalah dua kali lipat kemungkinannya dibanding kejadian B. Demikian juga dengan
tingkat keparahan.
Peringkat 4 bukan berarti dua kali lipat lebih besar disbanding peringkat 2. Untuk
menghindarkan hal tersebut digunakan pendekatan secara semi kuantiatif atau kuantitatif
yang menggunakan peringkat yang lebih konkrit.
Selanjutnya hasil kemungkinan dan konsekuensi yang diperoleh dimasukkan ke dalam
tabel matrik risiko yang akan menghasilkan peringkat risiko (Ramli, 2009).
Tingkat risiko merupakan perkalian antara tingkat kemungkinan (Likelihood) dan
keparahan (Consequences) dari suatu kejadian yang dapat menyebabkan kerugian,
kecelakaan, atau cedera dan sakit yang mungkin timbul dari pemaparan suatu hazard di
tempat kerja (Tarwaka, 2008).
Tingkat Risiko = Kemungkinan (Likelihood) x Keparahan (Consequences)…….… (2.3)
Tujuan kita menggambarkan dalam matriks ranking ini adalah sebagai masukan bagi
kita dalam menentukan prioritas. Hal yang harus diperhatikan adalah nilai risiko bukanlah
nilai yang absolute. Matriks ini hanya menyediakan ranking nilai saja. Berdasarkan
matriks ranking tersebut kita dapat mengidentifikasi tindakan yang akan kita lakukan
terhadap suatu risiko. Matriks ranking dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini.

Tabel 2.4 Matriks Analisis Risiko-Tingkatan Risiko


Likelihood Consequences (Akibat / Risiko(A))
(Peluang(P)) Insignificant Minor Moderate Major Catastrophic
1 2 3 4 5
A (Almost Certain) T T E E E
B (Likely) S T T E E
C (Moderate) R S T E E
D (Unlikely) R R S T E
E (Rare) R R S T T
Sumber : Ramli, 2009
Keterangan :
E : Risiko ekstrim
T : Risiko tinggi
S : Risiko sedang
R : Risiko rendah

II-28
Menurut Ramli (2009), pada tingkat risiko ekstrim kegiatan tidak boleh dilaksanakan
atau dilanjutkan sampai risiko telah direduksi. Jika tidak memungkinkan untuk mereduksi
risiko dengan sumber daya yang terbatas, maka pekerjaan tidak dapat dilaksanakan.
Pada tingkat risiko tinggi, kegiatan tidak boleh dilaksanakan sampai risiko telah
direduksi. Perlu dipertimbangkan sumber daya yang akan dialokasikan untuk mereduksi
risiko. Apabila risiko terdapat dalam pelaksanaan pekerjaan yang masih berlangsung,
maka tindakan harus segera dilakukan.
Pada tingkat risiko sedang, perlu tindakan untuk mengurangi risiko, tetapi biaya
pencegahan yang diperlukan perlu diperhitungkan dengan teliti dan dibatasi. Pengukuran
pengurangan risiko harus diterapkan dalam jangka waktu yang ditentukan.
Sedangkan pada tingkat risiko rendah, risiko dapat diterima. Pengendalian tambahan
tidak diperlukan. Pemantauan diperlukan untuk memastikan bahwa pengendalian telah
dipelihara dan diterapkan dengan baik dan benar.
Peringkat kemungkinan dan keparahan secara kualitatif ini sangat relative dan
bervariasi, misalnya dengan menggunakan 3, 4, atau 5 peringkat. Karena itu dapat
dikembangkan oleh masing-masing organisasi sesuai dengan kebutuhan masing-masing
atau mengacu kepada suatu referensi tertentu misalnya yang dikeluarkan oleh Australia/
New Zealand Standard 4360, OSHA, atau Institute of Risk Management, UK (Ramli,
2009).

2.5.4 Evaluasi Risiko


Langkah berikutnya setelah risiko ditentukan adalah melakukan evaluasi apakah
risiko tersebut dapat diterima atau tidak, merujuk kepada criteria risiko yang berlaku atau
ditetapkan oleh manajemen organisasi. Risiko yang dapat diterima sering diistilahkan
sebagai ALARP – As Low As Reasonably Practicable, yaitu tingkat risiko terendah yang
masuk akal dan dapat dijalankan (Ramli, 2009).
Menurut Australia/ New Zealand Standard 4360 : 2004, evaluasi risiko
merupakan suatu proses membandingkan estimasi level risiko dengan kriteria yang telah
disusun terlebih dahulu dan mempertimbangkan keseimbangan antara manfaat potensial
dan hasil yang tidak menguntungkan untuk menilai dan menentukan prioritas
pengendalian risiko berdasarkan kriteria yang ditetapkan mengenai batasan risiko mana

II-29
yang bisa diterima, risiko mana yang harus dikurangi atau dikendalikan dengan cara yang
lain.
Setelah kriteria risiko yang dapat diterima ditetapkan, maka akan dibandingkan dengan
hasil penilaian risiko yang telah dilakukan. Apakah risiko tersebut dapat diterima atau
tidak. Jika risiko masih berada di atas batas yang dapat diterima, harus dilakukan langkah
pengendalian (Ramli, 2009).

2.5.5 Pengendalian Risiko


Pengendalian risiko dilakukan terhadap seluruh bahaya yang ditemukan dalam
proses identifikasi bahaya dan mempertimbangkan peringkat risiko untuk menentukan
prioritas dan cara pengendaliannya. Pengendalian risiko merupakan langkah menentukan
dalam keseluruhan manajemen risiko. Berdasarkan hasil analisa dan evaluasi risiko dapat
ditentukan apakah suatu risiko dapat diterima atau tidak. Jika risiko dapat diterima,
tentunya tidak diperlukan langkah pengendalian lebih lanjut (Ramli, 2009).
Di dalam memperkenalkan suatu sarana pengendalian risiko, harus
mempertimbangkan apakah sarana pengendalian risiko tersebut dapat diterapkan dan
dapat memberikan manfaat kepada masing-masing tempat kerjanya. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan menurut Tarwaka (2008) antara lain :
- Tingkat keparahan potensi bahaya atau risikonya;
- Adanya pengetahuan tentang potensi bahaya atau risiko dan cara memindahkan atau
meniadakan potensi bahaya atau risiko;
- Ketersediaan dan kesesuaiaansarana untuk memindahkan/ meniadakan potensi
bahaya;
- Biaya untuk memindahkan atau meniadakan potensi bahaya atau risiko.
Menurut Tarwaka (2008), pengendalian risiko dapat mengikuti pendekatan hierarki
pengendalian (Hierarchy of Controls). Hirarki pengendalian risiko yang mungkin timbul
yang terdiri dari beberapa tingkatan secara berurutan. Pada gambar 2.5 di bawah ini
adalah piramida hirarki pengendalian dan juga penjelasannya.

II-30
Eliminasi

Substitusi

Rekayasa Teknik
Pengendalian Administrasi

Alat Pelindung Diri

Gambar 2.5 Piramida Hirarki Pengendalian


Sumber : Ramli, 2009

1. Eliminasi (Elimination) merupakan suatu pengendalian risiko yang bersifat permanen


dan harus dicoba untuk diterapkan sebagai pilihan prioritas pertama. Eliminasi adalah
cara pengendalian risiko yang paling baik, karena risiko terjadinya kecelakaan dan
sakit akibat potensi bahaya ditiadakan. Namun pada praktiknya pengendalian dengan
cara eliminasi banyak mengalami kendala karena keterkaitan antara sumber bahaya
dan potensi bahaya saling berkaitan atau menjadi sebab dan akibat.
2. Substitusi (Substitution), untuk menggantikan bahan-bahan dan peralatan yang lebih
berbahaya dengan bahan-bahan dan peralatan yang kurang berbahaya atau yang lebih
aman, sehingga pemaparannya selalu dalam batas yang masih dapat diterima.
3. Rekayasa Teknik (Engineering Control), pengendalian atau rekayasa teknik termasuk
merubah struktur objek kerja untuk mencegah seseorang terpapar kepada potensi
bahaya, seperti pemberian pengaman mesin, penutup ban berjalan, pembuatan struktur
pondasi mesin dengan cor beton, pemberian alat bantu mekanik, pemberian absorber
suara pada dinding ruang mesin yang menghasilkan kebisingan tinggi.
4. Pengendalian Administrasi (Administration Control), dilakukan dengan menyediakan
suatu sistem kerja yang dapat mengurangi kemungkinan seseorang terpapar potensi
bahaya. Metode pengendalian ini sangat tergantung dari perilaku pekerjanya dan
memerlukan pengawasan yang teratur untuk dipatuhinya pengendalian administrasi
ini.
5. Alat Pelindung Diri (Personal Protective Equipment) secara umum merupakan sarana
pengendalian yang digunakan untuk jangka pendek dan bersifat sementara mana kala
sistem pengendalian yang lebih permanen belum dapat diimplementasikan. APD
merupakan pilihan terakhir dari suatu suatu sistem pengendalian risiko di tempat kerja.

II-31
2.5.6 Pemantauan dan Tinjauan Ulang
Langkah terakhir dalam proses ini adalah melakukan memonitor dan meninjau
efektivitas pengendalian. Pemantauan dan tinjauan risiko harus dilakukan pada interval
waktu sesuai dengan yang diterapkan dalam organisasi.
Untuk menentukan periode monitoring dan tinjauan ulang risiko menurut Suardi
(2005) dalam Ekananda (2014) sangat tergantung pada :
- Sifat dari bahaya;
- Magnitude risiko;
- Perubahan operasi;
- Perubahan dari metode kerja;
- Perubahan peraturan dan organisasi.
Menurut AS/NZS 4360 : 2004, pemantauan dan tinjauan ulang perlu dilakukan
untuk memonitor efektivitas seluruh tahapan proses manajemen risiko. Hal ini penting
untuk perbaikan berkelanjutan. Risiko dan efektivitas pengendalian risiko perlu dimonitor
untuk meyakinkan bahwa perubahan situasi tidak mengubah prioritas risiko.

II-32
BAB III
METODOLOGI PELAKSANAAN KERJA PRAKTIK

3.1 Tujuan Operasional dan Data yang Dibutuhkan


Dalan suatu perencanaan tujuan operasional sangat diperlukan, karena mencakup
data-data yang dibutuhkan sehingga dapat dijadikan panduan untuk melakukan
perencanaan. Tujuan operasional disajikan pada Tabel 3.1 berikut :
Tabel 3.1 Tujuan Operasional Kerja Praktik
Tujuan Definisi Operasional Data
1. Mengetahui penerapan a. Melakukan 1. Gambaran umum
Sistem Manajemen dokumentasi dan perusahaan;
Keselamatan dan wawancara dengan 2. Struktur organisasi
Kesehatan Kerja EHS System Dev Dept perusahaan;
(SMK3) di PT. XYZ untuk mengetahui 3. Kebijakan K3
Plant Sunter gambaran penerapan perusahaan;
K3; 4. Program K3 di
b. Melakukan observasi perusahaan
dan dokumentasi ke
seluruh PT. XYZ Plant
Sunter
c. Melakukan
perbandingan
kesesuaian penerapan
SMK3 di PT. XYZ
Plant Sunter dengan
peraturan perundang-
undangan SMK3 yang
sesuai.
2. Mengetahui analisis a. Melakukan 1. Daftar kegiatan di Die
penerapan higiene dokumentasi dan Casting Section;
industri sebagai upaya wawancara dengan 2. Potensi bahaya;
pencegahan terhadap pihak EHS 3. Penilaian risiko;
penyakit akibat kerja Operational; 4. Pengendalian bahaya;
serta identifikasi resiko b. Melakukan observasi 5. Data kebisingan;
dan dan dokumentasi ke 6. Data paparan debu;
penanggulanngannya area yang sudah 7. Data pencahayaan;
ditentukan, yaitu Die 8. Data emisi ambien
Casting; (factor kimia)
c. Menguraikan unit kerja 9. Work instruction;
menjadi langkah- 10. Standard Operational
langkah kerja Procedure (SOP).
(kegiatan) yang lebih
mudah dipahami;
d. Melakukan analisis
penerapan higiene
industri dalam
pengendalian bahaya

III-1
Tujuan Definisi Operasional Data
e. Melakukan identifikasi
bahaya yang mungkin
muncul
f. Melakukan analisis
potensi bahaya dan
pengendalian potensi
bahaya yang sesuai;
g. Menentukan prioritas
pengendalian bahaya;
h. Menganalisis
pengendalian bahaya
yang telah diterapkan
di XYZ Plant Sunter
Die Casting Section
Sumber : Analisis penulis 2016

3.2 Tahapan Pelaksanaan Kerja Praktik


3.2.1 Tahap Persiapan
Tahap ini meliputi menentukan tempat kerja praktik dalam hal ini adalah PT. XYZ
Plant Sunter Jakarta Utara, DKI Jakarta studi literatur di perpustakaan untuk membuat
proposal yang akan diajukan ke tempat kerja praktik, dan proses pengurusan administrasi
kerja praktik berupa surat permohonan kerja praktik dari kampus serta surat balasan
persetujuan pelaksanaan kerja praktik dari PT. XYZ Plant Sunter Jakarta Utara, DKI
Jakarta

3.2.2 Tahap Pelaksanaan


Tahap ini meliputi pelaksanaan kerja praktik di PT. XYZ Plant Sunter Jakarta
Utara, DKI Jakarta. Pada tahap ini juga dilakukan pengumpulan data, baik data sekunder
yang didapat melalui studi literatur dari pihak XYZ Plant Sunter Jakarta Utara, DKI
Jakarta maupun dari perpustakaan Teknik Lingkungan serta pengumpulan data primer
yang dilakukan dengan cara observasi secara langsung di XYZ Plant Sunter Jakarta Utara,
DKI Jakarta serta wawancara tidak terstruktur dengan narasumber.
Selama kegiatan kerja praktik, kegiatan yang dilakukan bisa dilihat di tabel 3.1
sebagai berikut.

III-2
Tabel 3.2 Daftar Harian Kerja Praktik Di PT XYZ Plant Sunter
NO Tanggal Kegiatan
1 18 Juli 2016 Orientasi, Penentuan data, Pembuatan daftar kegiatan
kerja praktik
2 19 Juli 2016 Belajar mengenai proses produksi pada PT XYZ Plant
Sunter
3 20 Juli 2016 Melihat proses produksi dan identifikasi bahaya serta
unit pengolahan limbah gedung selatan : HPDC (High
Pressure Die Casting), unit pengolahan limbah
machining dan limbah pel gedung bagian utara
4 21 Juli 2016 Melihat proses produksi dan identifikasi bahaya
gedung selatan : machining
5 22 Juli 2016 Melihat unit pengelolaan limbah painting steel
6 1 Agustus 2016 Melihat proses produksi dan identifikasi bahaya
gedung selatan : LPDC (Low Pressure Die Casting)
7 2 Agustus 2016 Melihat proses produksi dan identifikasi bahaya
gedung tengah : Plastic injection dan Painting plastic
(spray)
8 3 Agustus 2016 Diskusi mengenai sistem manajemen K3 PT. XYZ
Plant Sunter
9 4 Agustus2016 Melihat proses produksi dan identifikasi bahaya
gedung utara : welding frame, press & welding tank,
painting steel dan assy unit

10 5 Agustus 2016 Melihat proses pengolahan limbah cair domestic di


STP (sewage treatment plant) PT. XYZ Plant Sunter
11 8 Agustus 2016 Ikut melakukan perbaikan sistem kebakaran pada PT.
XYZ Plant Sunter.
12 9 Agustus 2016 Ikut melakukan maintance alat-alat penunjang
tanggap darurat PT. XYZ Plant Sunter
13 10 Agustus 2016 Ikut melakukan patrol kelengkapan APD (Alat
Pelindung Diri) kontraktor beserta karyawan

III-3
NO Tanggal Kegiatan
14 11 Agustus2016 Analisis bahaya khususnya factor kimia yang
kemungkinana ada pada semua proses di PT. XYZ
Plant Sunter
15 12 Agustus 2016 Analisis bahaya khususnya faktor kimia yang
kemungkinana ada pada semua proses di PT. XYZ
Plant Sunter (Melanjutkan)
16 15 Agustus 2016 Analisis semua proses untuk menentukan proses mana
yang kemungkinan paling banyak faktor kimianya.
Dipilih Die Casting Sect
17 16 Agustsu 2016 Konsultasi dengan divisi Process Engineering bagian
Die Casting untuk Identifikasi alat dan bahan yang
dipakai dalam proses die casting baik LPDC maupun
HPDC
18 18 Agustus 2016 Analisis lebih lanjut mengenai proses dan identifikasi
faktor kimia yang ada melalui literatur/tinjauan
pustaka
19 19 Agustus 2016 Analisis lebih lanjut mengenai proses dan identifikasi
faktor kimia yang ada melalui literatur/tinjauan
pustaka
20 22 Agustus 2016 Mencari data untuk keperluan laporan
21 23 Agustus 2016 Pemabahasan lebih lanjut analisis faktor kimia dan
penanggulangan bahaya
22 24 Agustus 2016 Dokumentasi tempat kerja untuk keperluan laporan
23 25 Agustus 2016 Persiapan persentasi
24 26 Agustus 2016 Persentasi hasil kerja
Sumber : Analisis penulis 2016

3.2.3 Tahap Penyusunan Laporan


Pada tahap ini dilakukan analisis dan pembahasan mengenai keadaan di tempat
Kerja Praktik. Kemudian materi tersebut disusun dan dilakukan pembandingan antara

III-4
hasil di lapangan dengan teori yang sudah ada. Metodologi penyusunan laporan kerja
praktik akan disusun sebagai berikut :
1. BAB I PENDAHULUAN
Bab yang berkaitan dengan latar belakang, identifikasi masalah, tujuan kerja praktik,
ruang lingkup kerja praktik, serta manfaat kerja praktik.
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab yang berisi landasan teori mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja, bahaya,
kecelakaan kerja, dan manajemen risiko.
3. BAB III METODOLOGI PELAKSANAAN KERJA PRAKTIK
Bab yang menguraikan tentang tahapan-tahapan pelaksanaan kerja praktik secara rinci
dari proses perizinan sampai dengan proses penyusunan laporan.
4. BAB IV GAMBARAN UMUM DAN KONDISI EKSISTING PT. XYZ PLANT
SUNTER
Bab yang berisi mengenai gambaran umum perusahaan, proses produksi, pengelolaan
lingkungan perusahaan, kepedulian terhadap lingkungan, dan penerapan Keselamatan
dan Kesehatan Kerja di XYZ Plant Sunter Jakarta Utara, DKI Jakarta
5. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab yang berisi mengenai analisis sekaligus pembahasan yang dilakukan berdasarkan
data yang diperoleh pada pelaksanaan kerja praktik mengenai penerapan Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3), serta penerapan higinien industri dalam pengendalian
bahaya di XYZ Plant Sunter Jakarta Utara, DKI Jakarta
6. BAB VI PENUTUP
Bab yang berisi kesimpulan dari seluruh pengamatan selama pelaksanaan kerja praktik
serta saran-saran yang dapat bermanfaat bagi pembaca maupun bagi XYZ Plant Sunter
Jakarta Utara, DKI Jakarta

III-5
Alur tahapan kerja praktik dapat dilihat pada gambar 3.1 di bawah ini.

Mulai

TAHAP
PERSIAPAN
Proses Administrasi

Studi Literatur

TAHAP Pengumpulan Data


PELAKSANAAN

DATA PRIMER DATA SEKUNDER


- Wawancara - Data dari laporan terdahulu
- Dokumentasi - Dokumen dan referensi di XYZ Plant
- Pengamatan langsung Sunter Jakarta Utara, DKI Jakarta
di lapangan - Literatur dari berbagai sumber.

Studi potensi bahaya di XYZ Plant


Sunter Jakarta Utara, DKI Jakarta

TAHAP Analisis dan Pembahasan


PENYUSUNAN
LAPORAN
Kesimpulan dan Saran

Selesai

Gambar 3.1 Diagram Alir Tahapan Kerja Praktik

3.3 Metode Pengambilan Data


Metode pengumpulan data bersumber dari tiga hal, yaitu person, place, dan paper.
Sedangkan metode yang digunakan berupa :
1. Metode Observasi
Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
melakukan pengamatan langsung di lapangan, mengenai permasalahan yang ditinjau.

III-6
2. Metode Wawancara
Metode wawancara adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
melakukan wawancara (tanya jawab) dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan
permasalahan yang ditinjau.
3. Metode Literatur
Metode literatur adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengambil data-data yang diperlukan dari literatur-literatur yang berkaitan.

3.3.1 Pengumpulan Data Primer


Data primer adalah data yang diperoleh di lapangan dengan melakukan pengamatan
secara langsung terhadap Analisis Potensi Bahaya dan Analisis Higiene Industri di Die
Casting Section XYZ Plant Sunter Jakarta Utara, DKI Jakarta. Metode pengumpulan data
primer dapat dilihat pada Tabel 3.3 di bawah ini.
Tabel 3.3 Metode Pengumpulan Data Primer
Metode
No. Data Primer Sumber Data Pengambilan Alat
Data
Sumber bahaya Tempat kerja Wawancara Daftar pertanyaan
1
dan pekerja dan observasi dan dokumentasi
Potensi bahaya Tempat kerja Wawancara Daftar pertanyaan
2
dan pekerja dan observasi dan dokumentasi

3.3.2 Pengumpulan Data Sekunder


Metode pengumpulan data sekunder meliputi pengumpulan data yang bersumber
dri literatur, jurnal, makalah, laporan penelitian terdahulu, dan data-data yang berasal dari
perusahaan. Kemudian data-data tersebut digunakan sebagai pengetahuan awal sebelum
studi lapangan, sebagai pedoman serta pengamatan di lapangan dan data pada waktu
pembahasan dalam tahap penyusunan laporan. Pengumpulan data sekunder dapat dilihat
pada Tabel 3.4 di bawah ini.
Tabel 3.4 Metode Pengumpulan Data Sekunder
Metode
No. Data Sekunder Sumber Data Pengambilan Alat
Data
Gambaran umum Perpustakaan Dokumen Buku catatan
1 wilayah perusahaan perusahaan
operasional
Struktur Perpustakaan Dokumen Buku catatan
2 organisasi perusahaan perusahaan
beserta

III-7
pembagian
tugasnya
Kebijakan K3 Safety Section Dokumen Print out data
3
perusahaan perusahaan kebijakan K3

III-8
BAB IV
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
4.1 Gambaran Umum
PT XYZ merupakan salah satu pabrik perakitan motor di Indonesia. Motor yang
diproduksi antara lain ; motor matik, motor bebek, motor sport dll. Dalam satu tahun
motor yang diproduksi PT XYZ bisa mencapai 10 juta unit motor per tahunnya. Saham
PT XYZ dimiliki oleh salah satu perusahaan Indonesia dan satu perusahaan Jepang. Saat
ini, ada 4 Pabrik Perakitan Motor yang dimiliki oleh PT XYZ, salah satunya yaitu
berlokasi di Sunter, Jakarta Utara dan juga sebagai pabrik perakitan pertama.

4.1.1 Lokasi PT. XYZ Plant Sunter


Lokasi PT. XYZ Plant Sunter berada di Jakarta Utara . Lokasi lebih rinci akan
dijelaskan pada gambar 4.1 di bawah ini.

Gambar 4.1 Lokasi PT. XYZ


Sumber : Analisis Penulis 2016

IV-1
4.1.2 Struktur Organisasi PT. XYZ
Struktur oganisasi di PT. XYZ merupakan struktur organisasi yang besifat
fungsional dengan tujuan menyatukan karyawan yang terlibat dalam satu atau beberapa
aktivitas yang berkaitan ke dalam satu kelompok. Walaupun memiliki beberapa pabrik,
Organisasi Perusahaan PT XYZ hanya ada satu dan terpusat. Board of Director pimpinan
perusahaan tertinggi memiliki kuasa dan tanggung jawab atas semua pabrik dan
penunjang lainnya. Board of Director membawahi 4 Director yaitu; 1) Production,
Engineering, Procurement Director , 2) Finance & Accounting Director 3) HR, GA & IT
Director dan 4) Marketing Director.

Gambar 4.2 Struktur Organisasi PT. XYZ


Sumber : Dokumen PT. XYZ

IV-2
4.2 Proses Produksi

Gambar 4.3 Diagram Alir Proses Produksi


Sumber : Data Sekunder PT XYZ

Tahapan dalam memproduksi sepeda motor secara umum adalah sebagai


berikut :
- Proses Produksi Internal :
1. Die Casting
Proses die casting merupakan proses pelebutan ingot alumunium menjadi
part-part sepeda motor roda dua seperti crank case, cylinder head dan sebagainya.
Tahap pertama dari proses die casting adalah proses peleburan (melting) campiran
ingot alumunium dan reject product injection pada temperature 700-800 oC.
Setelah alumunium mencair, maka alumumiun cair tersebut akan ditransfer
menggunakan auto carrier untuk diinjeksikan ke dalam cetakan hingga diperoleh
part yang diinginkan. Produk part tersebut akan dilepaskan dari cetakan (part
removal).
Selanjutnya, part hasil cetakan akan dikirim ke proses trimming untuk
dirapikan bagian permukaannya. Setelah proses trimming part ada yang langsung
dikirim ke proses machining dan untuk part-part tertetu akan dikirim ke proses
buffing terlebih dahulu untuk dilakukan proses penghalusan lebih lanjut sebelum
dikirim ke proses machining.
2. Machining

IV-3
Machining adalah proses finishing dari bagain Die Casting yang meliputi
proses boring, centering, miling, dsb sebelum masuk ke proses selanjutnya yaitu
Assy Engine. Proses yang dilakukan serupa dengan pembuatan dimana dihasilkan
scrap atau potongan logam serta cairan pendingin (cutting oil) untuk medinginkan
bahan logam yang dibubut. Produk dari proses machining ini adalah komponen
motor yang telah sempurna dan siap untuk dirakit atau digabungkan dengan
komponen-komponen lainnya. Proses ini merupakan pross pembuatan bagian
mesin dimana bagian mesin dihaluskan dan bahan baku utamanya yang digunakan
adalah produk hasil dari proses Die Casting.
3. Gen sub engine
Merupakan proses perakitan mesin-mesin sebelum masuk ke proses Assy
Engine
4. Assy engine
Assy engine adalah proses perakitan mesin-mesin sepeda motor sehingga
terbentuk mesin-mesin yang siap pakai
5. Wheel Assy
Wheel assy adalah proses pemasangan jari-jari velg dan ban. Selain itu
dilakukan juga pengecekan setiap bagian pada jaringan yang dipasang untuk lebih
memastikan faktor ketelitian
6. Plastic Injection
Proses plastic injection adalah proses untuk membuat komponen sepeda
motor dari bahan biji plastic.
7. Welding
Welding merupakan proses pengelasan dengan tujuan untuk menyambung
bagian-bagian komponeen sepeda motor menjadi bagian yang lebih kompleks. Ada
dua proses dalam welding, yaitu frame body dan fuel tank. Pada frame body,
pengelasan yang dilakukan mulai dari bagian depan sepeda motor sampai bagian
belakang digabung menjadi bagian frame body yang utuh. Proses fuel tank
merupakan proses pengelasan bagian tangka bensin yang terdapat pada motor
8. Painting

IV-4
Painting merupakan proses pengecatan. Proses ini dibagi menjadi dua
jenis, yaitu painting plastic dan painting steel. Pengecatan CED (Catodic Electro
Deposite)
9. Assembly unit
Dalam proses ini, seluruh bagian dari sepeda motor dirakit untuk menjadi
produk yang siap dipasarkan kepada masyarakat. Sebelum produk dipasarkan ke
masyarakat, dilakukan pengecekan terakhir yang disebut final inspection. Sebelum
semua komponen dari sepeda motor dirakit, semuanya telah di Quality Control
sehingga mutu terjamin dan layak dipasarkan. Sepeda motor siap dikirim ke unit
shipping dan kemudian untuk didistribusi melalui main dealer yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia

4.3 Pengelolaan Lingkungan Perusahaan


Sebagai salah satu perusahaan perakitan motor terbesar di Indonesia, PT XYZ telah
melakukan pengelolaan lingkungan perusahaan dengan baik dan sesuai dengan standar
sehingga tidak mencemari lingkungan sekitar perusahaan. Pengelolaan lingkungan yang
dilakukan diantaranya pengelolaan limbah padat (B3 maupun non B3), limbah cari serta
gas dan debu

4.3.1 Pengelolaan Limbah Cair


Pada penggolongannya, limbah cari produksi dibagi menjadi 2 jenis yaitu limbah
cari yang dapat dikelola dengan memprosesnya melalui IPAL pabrik dan limbah cair yang
tidak akan diproses pada IPAL pabrik, namun akan dikelola sesuai peraturan yang
pemerintahan yang berlaku yaitu kepada pengangkut, pengumpul, pemanfaat, dan
pengolah yang berizin. Limbah cair yang berasal dari kegiatan produksi akan dikelola
oleh unit UPL kemudian dialirkan ke badan air.
Proses pengolahan air limbah dari kegiatan Die Casting akan menggunakan proses
fisika-kimia. Air limbah dari kegiatan Machining akan diolah menggunakan proses
biologi. Proses serupa juga diterapkan pada pengolahan air limbah dari kegiatan Painting,
diawali dengan proses fisika-kimia dan kemudian dilanjutkan dengan proses biologi. Air
limbah yang telah dikelola akan masuk ke RO kemudian dialirkan ke IPAL Kawasan.

IV-5
Pengolahan fisika-kimia berfungsi untuk mengurangi parameter pencemar
(seperti partikel tersuspensi, minyak & lemak, BOD dll.) sampai baku mutu air limbah
dengan penambahan bahan kimia. Proses fisika yaitu penghilangan atau pengurangan
parameter pencemar menggunakan gaya fisika tanpa penambahan bahan kimia seperti
gaya gravitasi dan ukuran fisik partikel parameter pencemar. Unit pengolahan yang
menggunakan prinsip fisika diantaranya adalah unit sedimentasi, unit flotasi, unit screen,
unit pemisah minyak (Oil Skimmer) dll. Sedangkan proses kimia yaitu pengurangan
parameter pencemar menggunakan bahan kimia. Unit pengolahan yang menggunakan
prinsip kimia diantaranya adalah Unit Koagulasi, Unit Flokulasi, Unit Netralisasi dll.
Pada umumnya setelah unit pengolahan kimia hamper selalu diikuti dengan unit
pengolahan fisika, sebagai contoh : Unit Koagulasi – Unit Flokulasi – Unit Sedimentasi.
Proses pengolahan secara biologi merupakan salah satu cara pengolahan air
limbah dengan bantuan mikroorganisme untuk menguraikan polutan organik yang
biodgradable dalam air limbah. Pemanfaatan aktivitas mikroba secara intensif dengan
menggunakan teknologi yang mengkondisikan mikroba untuk menguraikan polutan
dengan cepat. Untuk itu dibuatkan fasilitas pengolahan yang dibutuhkan dan parameter
operasi sehingga mikroorganisme dapat menguraikan polutan secara optimal.

4.3.2 Pengelolaan Limbah Padat


Limbah padat yang berasal dari kegiatan produksi serta limbah padat yang berasal
dari sisa bahan kemasan seperti potongan karton, potongan karet, kayu dan plastik yang
dikumpulkan, selanjurnya dibuang pada tempat penampungan sementara dalam lokasi
pabrik.
Untuk limbah B3 yang berasal dari kegiatan produksi seperti :
 Limbah padat berupa sludge IPAL
 Limbah padat berupa abu casting, dross alumunium, kerak alumunium, scrap, dan
sebagainya berasal dari proses produksi
 Limbah sisa kemasan bahan baku/penolong bahan kimia (drum dan jerigen)
Limbah tersebut akan dilakukan pengelolaan limbah B3 dengan pihak ketiga yang berijin

4.4 Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. XYZ Plant Sunter
PT. XYZ Plant Sunter bertekad untuk mencapai dan menunjukkan kinerja yang baik
dengan mengendalikan Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3) dari kegiatan, proses

IV-6
produksi, produk, dan pelayanan. Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, PT. XYZ Plant
Sunter mengacu kepada perundang-undangan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia
yang berhubungan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

4.4.1 Penetapan Kebijakan K3 di PT. XYZ Plant Sunter


Dalam menetapkan kebijakan K3, PT. XYZ Plant Sunter melakukan tinjauan awal
kondisi K3 dan proses konsultasi antara pengurus dan wakil pekerja/ buruh. Manajemen
perusahaan juga berkomitmen untuk menyebarkan dan memperluas informasi mengenai
kebijakan K3 kepada seluruh pekerja/ buruh, kontraktor, pemasok, dan pelanggan serta
meninjau ulang secara berkala untuk menjamin bahwa kebijakan tersebut masih sesuai
dengan perubahan yang terjadi dalam perusahaan dan peraturan perundang-undangan.
Di dalam PT. XYZ Plant Sunter tentu memiliki kebijakan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja guna menciptakan iklim kerja yang produktif, efisien, aman, dan sehat.
Kebijakan yang diterapkan adalah bahwa PT. XYZ akan menerapkan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja secara berkesinambungan dengan menitik beratkan
pada pencegahan : Kecelakaan Kerja, Kebakaran, Lingkungan dan Penyakit Akibat
Kerja serta Penanggulangan Keadaan Darurat.
Dalam mencapai sasaran tersebut PT. XYZ melakukan pelatihan dan memotivasi
seluruh karyawan serta kontraktor untuk berperan aktif dalam memenuhi dan
melaksanakan peraturan perundangan yang berlaku, menggunakan dan memelihara
sarana kerja termasuk fasilitas perusahaan, serta meninjau ulang kebijakan K3 secara
berkala.
Kebijakan ini menjadi kewajiban bersama untuk karyawan di semua tingkat,
kontraktor dan penunjang. Kebijakan tersebut telah ditanda tangani oleh President
Director tanggal 2 September 2013. Gambar 4.4 di bawah ini adalah Kebijakan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. XYZ Plant Sunter

IV-7
Gambar 4.4 Kebijakan K3 di PT. XYZ
Sumber : Dokumen EHS System Dev PT XYZ

4.4.2 Penerapan Pelaksanaan K3 di PT. XYZ


Dalam menjalankan kebijakan K3 PT. XYZ Plant Sunter dibutuhkan koordinasi
yang baik antara manajemen puncak dengan karyawan-karyawan. Maka dari itu, PT XYZ
membentuk departemen yang berada langsung dibawah oleh Divisi General Affair
dengan tujuan untuk menjamin kelancaran program kebijakan K3. Di dalam divisi
terdapat dua departemen yang berhubungan penerapan kebijakan K3 maupun lingkungan,
yang pertama EHS (Environment, Health and Safety) System Development Dept
mengurusi sistem manajemen K3 dan yang kedua EHS Operational Dept yang
mengiplementasikan sistem yang sudah dibuat. Setiap plant memiliki EHS Operational
Dept dan EHS System Dev hanya ada pada kantor pusat. Gambar 4.5 di bawah ini adalah
struktur organisasi K3 di PT. XYZ Plant Sunter

IV-8
Gambar 4.5 Struktur Manajemen K3 PT. XYZ
Sumber : EHS System Dev Dept.

IV-9
Dalam kegiatan pelaksanaannya, terdapat beberapa program-program manajemen K3
yang dilakukan diantaranya adalah :
1. Pemantauan dan Peningkatan Kinerja Sistem Manajemen K3
- Studi banding internal APP
- Pemberian reward bagi pengurus safety
- Respective safety manager reward
- Resertifikasi SMK3
- Surveylance OHSAS 18001 : 2007
2. Peningkatan Kompetensi, Pelatihan, dan Kepedulian
- Training eksternal investigasi kecelakaan kerja
- Training dan sertifikasi AK3-listrik
- Training dan sertifikasi AK3-kimia
- Training dan sertifikasi SMK3 OHSAS
- Training dan sertifikasi pemadam kebakaran kelas B
- Pelaksanaan simulasi keadaan darurat
- Training penggunaan apar dan hydrant
- Training dan sertifikasi P3K
- Training K3 umum
- Training ergonomi
3. Pemenuhan Peraturan Perundangan dan Persyaratan Lainnya
- Perpanjang perizinan pemanfaatan zat radioaktif
- Perpanjang perizinan crane
- Perpanjang perizinan instalasi penangkal
- Perpanjang perizinan forklift
- Sertifikasi operator over head crane
- Sertifikasi operator forklift
- Izin operasional klinik
4. Kesiapsiagaan Keadaan/ Kondisi Darurat
- Pengadaan seragam Fire Brigade
- Pembelian tandu ambulance
- Pembelian tandu portabel
- Pembelian breathing aparatus

IV-10
- Pembelian hydrant hose, nozlle, coupling hydrant hose, valve hydrant
- Servis mesin perahu karet
- Perawatan bulanan ambulance dan fire truck
- Perawatan pompa antisipasi banjir
- Pembelian head sprinkle
- Pembelian nitrogen untuk pengisian ulang racun api
- Pengisian ulang tabung oksigen ambulance, APAR jenis CO2, cardridge apar
- Pembelian powder
- Inspeksi apar, hydrant, sprinkle, pompa pemadam kebakaran, penyimpanan raw
material
- Pengecekan fire alarm system
5. Pencegahan Kecelakaan Kerja
- Pengadaan APD
- Pemasangan spanduk K3, stiker K3, dan rambu-rambu lalulintas dan K3
- Inspeksi penggunaan APD
- Inspeksi Travo las/ Mesin las
- Inspeksi keselamatan lalulintas di lokasi pabrik
- Inspeksi tabung gas bertekanan
- Inspeksi instalasi penangkal petir
- Inspeksi sistem pengaman mesin
- Inspeksi over head crane
- Inspeksi forklift
- Inspeksi panel listrik
- Inspeksi kondisi abnormal K3
6. Peningkatan Kesehatan Karyawan
- Medical check up berkala untuk karyawan
- Pelaksanaan kegiatan donor darah
- Pelaksanaan kegiatan outbond
- Inspeksi kantin dan sanitasi makanan
- Pelaksanaan Pest control
7. Pemantauan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Kerja
- Pembelian Lux Meter

IV-11
- Pembelian Termometer suhu bola
- Pembelian gas detector
- Pembelian smoke detector
- Pembelian flow meter
- Pembelian sound level meter
- Kalibrasi sound level meter
- Kalibrasi survey meter
- Evaluasi Termo Luminize Dosimeter (TLD)
- Inspeksi kebisingan area kerja
- Inspeksi pencahayaan area kerja
- Inspeksi udara ambien kerja

4.4.2.1 Kompetensi dan Pelatihan K3


PT. XYZ melakukan upaya kompetensi pelatihan K3 melalui berbagai macam
training untuk para karyawannya dan bagi staff EHS sendiri. Pelaksanaan dari training
tersebut terjadwal sebagai langkah pencegahan atau penanggulangan insiden atau
kecelakaan kerja. Bagi karyawan baru diwajibkan untuk mengikuti tranining Basic
Employee Attachment Program yang diselenggarakan oleh Learning Center PT XYZ. Di
dalam pelatihan tersebut terdapat materi mengenai Environmental Health and Safety yang
bekerjasama dengan EHS Sys Dev Dep dalam penyampaiannya. Tidak hanya itu, setiap
beberapa waktu sekali diadakan coaching clinic untuk karyawan agar selalu mengingat
dan menambah wawasan mengenai K3 di tempat kerja. Bagi staff EHS juga suatu diskusi
dan sharing mengenai K3. Dan gambar 4.6 di bawah ini adalah sertifikat Pembinaan
Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan Lingkungan.

IV-12
Gambar 4.6 Sertifikasi Pembinaan Teknik K3 dan Lingkungan
Sumber : Dokumen PT. XYZ

4.4.2.2 Komunikasi K3
Dalam langkah meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan, PT.
XYZ Plant Sunter, Jakarta mempunyai program sosialisasi K3. Teknik yang digunakan
untuk menjalankan sosialisasi tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Rambu
Rambu-rambu yang dipasang adalah jenis rambu larangan, perintah, informasi, dan
peringatan. Rambu ini dipasang di seluruh area produksi dan di persimpangan jalan.
Gambar 4.7 di bawah ini adalah beberapa rambu yang berada di area PT. XYZ

Gambar 4.7 Rambu-rambu di Area PT. XYZ


Sumber : Dokumentasi PT. XYZ

IV-13
2. Poster
Poster K3 terpasang di setiap area kerja dengan tujuan sebagai peringatan dan sebagai
motivasi bagi tenaga kerja untuk mempertimbangkan dan mengutamakan keselamatan
dan kesehatan dalam bekerja. Gambar 4.8 adalah beberapa poster dan juga banner
mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. XYZ

Gambar 4.8 Poster di PT. XYZ Plant Sunter


Sumber : Dokumentasi PT. XYZ

3. Papan Informasi K3
Papan informasi dipasang dengan tujuan untuk memeberikan infornasi mengenai K3
dan produksi perusahaan kepada tenaga kerja. Gambar 4.9 di bawah ini akan
menunjukkan papan informasi K3 di salah satu area di PT. XYZ Plant Sunter

Gambar 4.9 Papan Informasi K3 di Area PT. XYZ


Sumber : Dokumentasi PT. XYZ

IV-14
4. Safety Induction
Safety Induction dilakukan oleh Safety Section kepada tamu, tenaga kerja baru, dan
peserta kerja praktik yang akan memasuki lokasi perusahaan. Hal ini bertujuan untuk
memberikan informasi mengenai keadaan perusahaan, khususnya tentang kebijakan
keselamatan dan kesehatan kerja yang harus dipatuhi serta hal-hal yang harus
diperhatikan jika terjadi keadaan darurat di perusahaan. Kegiatan safety induction dapat
dilihat pada gambar 4.10 di bawah ini.

Gambar 4.10 Safety Induction


Sumber : Dokumentasi PT. XYZ
5. Safety Committee
Safety Committee adalah rapat atau meeting khusus untuk EHS Operational Dimana
pada rapat ini akan dilakukan koordinasi kerja antar personil yang ada di Seksi Safety
rutin setiap pagi. Pembahasan dalam rapat Seksi Safety ini diantaranya adalah membahas
keluhan di lapangan dan juga cara untuk meningkatkan kegiatan K3 di perusahaan.

4.4.2.3 Dokumentasi K3
Dalam penerapan dokumentasi K3, PT. XYZ Plant Sunter menerapkan instruksi
kerja pada semua prosedur SMK3 dan memberlakukan surat keputusan. Instruksi kerja
dan surat keputusan berlaku pada semua unit, baik dalam penyusunan SOP, pembuatan
form, dan lain-lain yang telah diatur dan didokumentasikan melalui surat keputusan dan
instruksi kerja.

IV-15
4.4.2.4 Pengendalian Dokumen
Dokumen-dokumen yang disyaratkan untuk sistem manajemen K3 dan Standar
OHSAS ini harus terkendali. Dalam pengedaliannya, dokumen harus diindentifikasi
terlebih dahulu agar bisa menentukan metode penyimpanan yang sesuai. Yang termasuk
catatan/dokumen antara lain yaitu :
1. Semua jenis check sheet/formulir terisi yang berkaitan dengan kinerja
2. Evaluasi aspek, dampak, resiko LK3
3. Hasil pemantuan, pengukuran
4. Hasil pemetaan aera dan fasilitas
5. Hasil rekam medis keryawan (dokumen rahasia)
6. Dll.
Setelah dilakukan identifikasi, pengendalian dokumen dilakukan sesuai dengan metode
penyimpanan. Pengendalian dokumen yang dilakukan di PT. XYZ sebagai berikut ;
1. Pengendalian dokumen koorporat (EHS System Dev)
a) Mengendalikan, menyimpan, meregistrasi dokumen yang berlaku korporat dan
dokumen sectoral di EHS GA System Dev Dept.
b) Mengendalikan dokumen sectoral dengan mengelola masterlist dokumen sectoral
dari (EHS Operational)
2. Pengendalian Dokumen sectoral (EHS Operational dan seksi terkait),
Mengendalikan, menyimpan, meregistrasi dokumen yang berlaku sectoral
3. Metode dan lokasi penyimpanan disesuaikan dengan kebutuhan bagian yang
bersangkutan yang mengacu pada sistem penyimpanan dokumen
4. Rekam medis keryawan (Catatan rahasia), akses harus melalui persetujuan Dept. Head
yang menangani medical
5. Pemusnahan dilakukan dengan menyobeknya dan membuang ketempat sampah atau
mencoret silang jika bagian dibaliknya akan digunakan kembali

4.4.2.5 Pengendalian Operasi


Kegiatan operasi merupakan sumber bahaya yang paling potensial dalam
organisasi. Sebagian kecelakaan kerja terjadi di dalam kegiatan operasi. Oleh karena itu
perlu diadakannya pengendalian operasi yang merupakan elemen terpenting yang tertera
dalam OHSAS 18001 dimana secara khusus mensyaratkan sistem pengendalian operasi
yang baik. Pengendalian operasi di PT. XYZ meliputi :

IV-16
1. APD (Alat Pelindung Diri)
Penyediaan APD (Alat Pelindung Diri) di PT. XYZ Plant Sunter disesuaikan dengan
jenis pekerjaan dan bahayanya. Penyediaan APD berdasarkan pada hasil identifikasi
aspek & potensi bahaya serta matriks APD. Matriks APD menunjukkan jenis alat
pelindung diri yang harus digunakan dan berapa lama masa pakai dari setiap jenis alat
pelindung diri.
Untuk memastikan penggunakan yang optimal dari APD, maka perlu dilakukan
pelatihan terkait pengunaan APD yang baik dan benar, pelatihan harus mencakup
bagaimana menentukan dan memakai APD, bagaimana mendapatkan perlindungan yang
maksimal, dan cara merawat APD. Pelatihan dapat dilakukan secara individual atau
dalam kelompok. Program pelatihan harus menekankan tujuan utama dari program dan
meperkuat fakta bahwa rekayasa teknik telah dilakukan sebagai strategi pencegahan
potensi bahaya yang utama.
Tabel 4.1 Alat Pelindung Diri
No Bagian Jenis Fungsi
1 Alat Pelindung Topi, Helmet Melindungi kepala dari
Kepala benturan benda jatuh dan
menghindari kontaminasi
produk
2 Alat Pelindung Ear Plug, Ear Muff Melindungi telinga dari
Telinga kebisingan
3 Alat Pelindung Mata Safety Glasses, Face Melindungi mata dari
Shield, Full Mask pecahan benda dan saat
pengerjaan las
4 Alat Pelindung Masker Kain, Masker Melindungi alat
Pernafasan Chemical pernafasan
5 Alat Pelindung Sarung Tangan Karet; Melindungi tangan dari
Tangan Kulit; Kain; dan Sarung bahan kimia, panas,
Tangan Chemical, Sarung benda tajam, dan kontak
Tangan Las langsung dengan listrik
6 Alat Pelindung Tubuh Body Protection Melindungi tubuh dari
bahan kimia dan sinar
radiasi api las
7 Alat Pelindung Kaki Safety Shoes, Safety Melindungi kaki dari
Boots benda tajam dan bahan
kimia
8 Alat Pelindung Body Harness Melindungi tubuh pada
Bekerja di Ketinggian saat kerja di ketinggian
yang lebih dari 2 meter

IV-17
2. Lock Out Tag Out (LOTO)
PT. XYZ Plant Sunter menetapkan pengendalian operasi pada kegiatan produksi
dengan memperhatikan aspek K3 yaitu meberlakukan Lock Out Tag Out (LOTO) untuk
kegiatan maintenance, kegiatan yang membutuhkan energi, kegiatan perbaikan, dan juga
cleaning. LOTO di PT. XYZ Plant Sunter dapat dilihat pada gambar 4.11 di bawah ini.

Gambar 4.11 LOTO di PT. XYZ


Sumber : Dokumen PT. XYZ

3. Sistem Izin Kerja (Work Permit)


Sistem izin kerja yang diterapkan di PT. XYZ Plant Sunter untuk mencegah terjadinya
kecelakaan antara lain :
a. Izin Kerja Umum (General work permit)
Digunakan kontraktor yang bekerja sama dengan PT. XYZ
b. Izin Kerja Ketinggian (High Elevation Work Permit)
Digunakan untuk pekerjaan di ketinggian lebih dari 2 meter, misalnya pengecekan dan
pemasangan kabel listrik. Surat Izin Kerja Ketinggian (High Elevation Work Permit)
dapat dilihat pada lampiran Surat Izin Kerja Berbahaya.
c. Izin Ruang Kerja Terbatas (Confined Entry Space Work Permit)
Digunakan untuk izin pekerjaan ruang terbatas, ruang tertutup, misalnya inspeksi
tangki aerasi. Surat Izin Ruang Kerja Terbatas (Confined Entry Space Work Permit)
dapat dilihat pada lampiran Surat Izin Kerja Berbahaya.
d. Izin Kerja Kedalaman

IV-18
Digunakan untuk izin kerja di kedalaman. Surat Izin Kerja Kedalaman dapat dilihat
pada lampiran Surat Izin Kerja Berbahaya.
e. Izin Kerja Penggalian (Excavation Work Permit)
Digunakan untuk pekerjaan yang melakukan penggalian di sekitar perusahaan.
Sebelum petugas melakukan pekerjaan galian, harus mengetahui lay out pabrik terleih
dahulu dan apakah di dalam tanah terdapat pipa atau tidak. Surat Izin Kerja Penggalian
(Excavation Work Permit) dapat dilihat pada lampiran Surat Izin Berbahaya.
f. Izin Kerja Panas (Hot Work Permit)
Digunakan untuk semua pekerjaan yang menggunakan api atau panas atau pekerjaan
yang dapat menimbulkan kebakaran pada zat-zat yang mudeh meledak atau terbkar.
Surat Izin Kerja Panas (Hot Work Permit) dapat dilihat pada lampiran Izin Kerja Panas
Tetap.

4.1.1.1 Tanggap Darurat


Sistem tanggap darurat digunakan untuk menghadapi keadaan darurat untuk
menanggulangi kebakaran dan kecelakaan kerja. Sistem tersebut dilaksanakan dengan
kegiatan yang meliputi pembentukan personil yang bertanggung jawab dalam
penanggulangan keadaan gawat darurat dan penyediaan fasilitas gawat darurat meliputi
jalur evakuasi, personil dan aset, kotak P3K, emergency exit, emergency shower, fire
alarm, hydrant, APAR, smoke detector, unit mobil pemadam kebakaran, dan sebuah
klinik dengan dokter jaga.
APAR adalah Alat Pemadam Api Ringan. Sedangkan hydrant adalah saluran pipa
untuk menyalurkan aliran air. APAR dan hydrant digunakan dalam sistem tanggap
darurat jika ada kebakaran di area pabrik. APAR dan hydrant sudah ada di seluruh area
pabrik, baik di main office maupun di area produksi.
Emergency shower digunakan pada sistem tanggap darurat kebakaran. Alat ini
akan berfungsi jika ada kebakaran terjadi di suatu area, kemudian alat ini secara otomatis
akan mengeluarkan air (sprinkle) untuk memadamkan api karena adanya sensor asap.
Smoke detector adalah alat pada sistem tanggap darurat keakaran. Alat ini adalah
sebuah pendeteksi asap. Jadi, jika terdapat asap di suatu area, alat ini akan secara otomatis
berbunyi sebagai tanda darurat.

IV-19
Di PT. XYZ Plant Sunter juga terdapat poliklinik yang disediakan untuk
mengatasi jika ada keadaan darurat yang terjadi.
Pada sistem tanggap darurat untuk kebakaran, PT. XYZ Plant Sunter memiliki fire
station untuk mengontrol seluruh kegiatan di pabrik. Di fire station terdapat mobil
damkar (pemadam kebakaran) dan juga ambulance.

4.4.3 Pemeriksaan dan Pengawasan


PT. XYZ melakukan pemeriksaan dan pengawasan yang telah ditetapkan dan
dipelihara prosedurnya sesuai dengan tujuan dan sasaran K3 serta frekuensinya
disesuaikan dengan obyek mengacu pada peraturan dan standar yang berlaku.
Pemeriksaan dan pengawasan tersebut dilakukan diantaranya melalui :

1. Pengukuran Kinerja K3/ Statistik Kecelakaan


Pengukuran kinerja K3 dilakukan dengan cara penilaian K3 yang dilakukan oleh EHS
Operational secara terjadwal. Departemen ini juga menghitung dan merekap statistik
kecelakaan kerja yang pernah terjadi.
2. Penyimpanan Rekaman/ Laporan-laporan K3
Penyimpanan rekaman atau laporan-laporan yang berkaitan dengan K3 disimpan
dalam bentuk dokumen di ruangan EHS System Development Departemen
3. Inspeksi K3
Tujuan dari pelaksanaan K3 adalah untuk mengetahui pelaksanaan dan penyimpangan
K3 di lapangan, menemukan dan menentukan lokasi berbahaya yang dapat menyebabkan
kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja sehingga bisa dilakukan upaya
pengendalian. Pelaksanaan yang dinamakan EHS patrol seksi & inspeksi di PT. XYZ
sudah menggunakan checklist. Berikut ini adalah jenis inspeksi yang dilakukan oleh PT.
XYZ :
a. Patrol Seksi
Partol ini dilaksanakan setiap minggu oleh EHS controller ke setiap section untuk
dapat mengetahui dan mengontrol bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan
kerja. Seperti contoh adalah pihak EHS melakukan safety patrol setiap minggu ke Die
Casting Section untuk mengetahui kondisi lingkungan kerja yang ada disana untuk
menemukan kejadian abnormal.

IV-20
b. Patrol Kontraktor
Partol ini dilaksanakan setiap hari oleh EHS controller ke tempat kerja kontraktor
untuk dapat mengetahui dan mengontrol bahaya yang dapat mengakibatkan
kecelakaan kerja pada pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor. Seperti contoh adalah
pihak EHS melakukan safety patrol setiap hari ke tempat kerja pembuatan IPAL untuk
mengetahui kondisi pekerja apakah sudah menggunakan APD dengan benar dan
membuat lingkungan kerja aman dari bahaya
c. Inpeksi
Inpeksi yang dilakukan PT XYZ antara lain :
 Inspeksi APAR, yaitu pemeriksaan alat pemadam api ringan di area kerja. Apakah
masih berfungsi dengan baik atau tidak. Inspeksi ini dilakukan setiap bulan.
 Inspeksi Sarana Hydrant, yaitu pemeriksaan sarana hydrant di setiap area kerja.
Apakah masih berfungsi dengan baik atau tidak dan apakah debit air pada hydrant
cukup atau tidak. Inspeksi ini dilakukan setiap bulan.
 Inspeksi Sprinkle, yaitu pemeriksaan sprinkle di setiap area kerja. Apakah masih
berfungsi dengan baik atau tidak. Inspeksi ini dilakukan setiap tiga bulan sekali.
 Inspeksi Pompa Pemadam Kebakaran, yaitu pemeriksaan terhadap pompa yang
digunakan untuk memadamkan api saat kebakaran. Apakah masih berfungsi dengan
baik atau tidak. Inspeksi ini dilakukan setiap bulan.
 Inspeksi Penyimpanan Raw Material, yaitu pemeriksaan terhadap tempat
penyimpanan bahan-bahan mentah yang nantinya akan diolah menjadi produk jadi.
Inspeksi ini dilakukan setiap bulan.
 Inspeksi penggunaan APD, yaitu pemeriksaan terhadap semua karyawan di area
kerja. Apakah sudah menggunakan APD yang disarankan di tempat tersebut atau
belum. Inspeksi ini dilakukan setiap bulan.
 Inspeksi Travo Las/ Mesin Las, yaitu pemeriksaan travo las/ mesin las untuk
memastikan agar travo las/ mesin las masih berfungsi dengan baik. Inspeksi
dilakukan setiap bulan.
 Inspeksi Keselamatan Lalu Lintas di Lokasi Pabrik, yaitu pemeriksaan terhadap
pengendara kendaran yang melintas di sepanjang PT. XYZ Plant Sunter agar
tercipta keselamatan bagi pejalan kaki, sepeda, dan yang menaiki kendaraan itu
sendiri.

IV-21
 Inspeksi Sistem Pengaman Mesin, yaitu pemeriksaan sistem pengaman mesin yang
berada di area kerja untuk memastikan pengaman masih berfungsi dengan baik.
Inspeksi dilakukan setiap bulan.
 Inspeksi Over Head Crane, yaitu pemeriksaan over head crane di area kerja untuk
memastikan over head crane masih berfungsi dengan baik sehingga tidak
menyebabkan kecelakaan kerja. Inspeksi dilakukan 4 bulan sekali.
 Inspeksi Forklift, yaitu pemeriksaan terhadap kondisi alat keselamatan pada forklift
sebelum digunakan. Inspeksi dilakukan setiap bulan.
 Inspeksi Panel Listrik, yaitu pemeriksaan panel listrik di area kerja untuk
memastikan panel listrik masih berfungsi dengan baik. Inspeksi dilakukan setiap
bulan.
 Inspeksi Kondisi Abnormal K3, yaitu pemeriksaan kondisi yang tidak normal pada
program ataupun sistem K3. Dilaksanakan setiap bulan.
 Inspeksi Kantin dan Sanitasi Makanan, yaitu pemeriksaan kebersihan dan
kesehatan makanan yang ada di kantin perusahaan. Inspeksi dilakukan 6 bulan
sekali.
 Inspeksi Kebisingan Area Kerja, yaitu pemeriksaan terhadap kebisingan di area
kerja yang dapat menimbulk angangguan pendengaran tehadap karyawan.
d. Inspeksi Tahunan
Inspeksi dilakukan setiap satu tahun sekali. Inspeksi ini meliputi :
 Inspeksi Tabung Gas Bertekanan, yaitu pemeriksaan tabung gas yang bertekanan.
Waktu pelaksanaannya adalah satu tahun sekali.
 Inspeksi Pencahayaan Area Kerja, yaitu pemeriksaan pencahayaan di area kerja
agar sesuai dengan baku mutu yang telah ditentukan. Waktu pelaksanaannya adalah
satu tahun sekali.
4. Investigasi Kecelakaan
Investigasi kecelakaan kerja dilakukan dengan cara pelaporan kecelakaan kerja.
Dengan laporan tersebut dapat diketahui apa yang terjadi secara benar untuk
direncanakan langkah-langkah yang perlu diambil agar kecelakaan tidak terulang
kembali. Hal ini dilakukan dengan target mengurangi jumlah kecelakaan yang terjadi.

IV-22
5. Pelaporan Kecelakaan
Pelaporan kecelakaan dilakukan untuk melaporkan kecelakaan yang terjadi di
perusahaan kepada EHS System Dev Dept, EHS Operational Dept & GA Division .
Kemudian dari EHS Operational memberikan pelaporan tahap pertama ke kilinik.
Pelaporan kecelakaan ada dua macam yaitu pelaporan eksternal dan pelaporan internal.
Pelaporan eksternal untuk pihak BPJS Ketenagakerjaan dan Disnaker (Dinas Tenaga
Kerja), sedangkan untuk pelaporan internal untuk pengurusan tagihan.
6. Audit K3
PT. XYZ melakukan audit K3. Ada dua macam audit yaitu yang pertama audit SMK3
yaitu dilakukan tiga tahun sekali dan audit OHSAS 18001 versi 2007 yang dilakukan satu
tahun sekali.

4.5 Kondisi Eksisting Higiene Industri di PT XYZ Plant Sunter


Higiene Industri menjadi hal yang sangat penting bagi perusahaan. Oleh karena itu,
PT XYZ Plant Sunter telah melakukan upaya untuk pengendalian bahaya akibat faktor
lingkungan dengan menerapkan higiene industri. Dalam kondisi eksistingnya, PT XYZ
Plant Sunter sudah melakukan berbagai kegiatan yang berguna untuk mengurangi bahaya
yang ada, yaitu ;
1. Investigasi dan menilai potensi bahaya pada tempat kerja
Setiap tahunnya PT XYZ Plant Sunter melakukan Identifikasi Aspek, Dampak,
dan Potensi Bahaya lingkungan, keselamatan dan kesehatan kerja (LK3). Dari
data tersebut dapat diketahui seberapa besar resiko yang ditimbulkan dan
mengetahui cara pengendaliannya.
2. Melakukan penelitian secara ilmiah untuk mendapatkan data mengenai kondisi
pekerjaan yang tidak aman
PT XYZ Plant Sunter sudah melakukan penelitian secara ilmiah dengan
pengukuran nilai faktor lingkungan yaitu fisika (kebisingan, temperature dan
pencahayaan) dan kimia.
3. Mengembangkan teknik antisipasi dan control terhadap potensi pekerjaan yang
bahaya.
Saat ini pengendalian bahaya dari faktor lingkungan sudah dilakukan seperti
a. Kebisingan dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) Ear Muff dan
Ear Plug.

IV-23
b. Pencahayaan dengan pencahayaan alami (matahari) dan buatan (lampu)
c. Temperatur dengan menggunakan APD seperti face cover dan factory fan.
d. Faktor kimia dengan menggunakan APD seperti masker

Gambar 4.12 Penggunaan Masker di PT. XYZ


Sumber : Analisis Penulis
4. Melakukan training dan edukasi kepada pekerja terhadap bahaya akibat kerja
5. Mengawasi kondisi pekerja secara berkala dengan izin kerja khusus serta
melakukan Medical Check Up 1 tahun sekali

IV-24
BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Penerapan SMK3 di PT. XYZ Plant Sunter


Analisis penerapan SMK3 di PT. XYZ dilakukan untuk menciptakan sistem kerja
yang baik, dimana sistem ini berasal dari unsur manajemen, tenaga kerja maupun
lingkungan kerja itu sendiri untuk mengurangi adanya kecelakaan dan penyakit akibat
kerja yang ada di perusahaan tersebut. Dengan adanya pengurangan kecelakaan dan
penyakit akibat kerja, maka akan tercipta tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Dalam rangka mencegah kecelakaan dan penyakit akibat kerja di perusahaan, PT. XYZ
Plant Sunter melakukan berbagai macam kebijakan K3, P2K3, dan juga program-program
K3.
PT. XYZ Plant Sunter juga melakukan kerjasama dengan lembaga pemerintahan
yang berkaitan dengan K3 diantaranya adalah Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), dimana
kerjasama tersebut berkaitan dengan Surat Izin Operasional (SIO) yang dikeluarkan oleh
Dinas Tenaga Kerja setempat untuk karyawan yang bekerja pada bidang khusus yang
membutuhkan izin. Kerjasama tersebut juga berkaitan dengan pelaporan mengenai K3
dari perusahaan. Selain itu PT. XYZ Plant Sunter juga bekerja sama dengan Dinas
Kesehatan dalam hal sosialisasi mengenai kesehatan kepada tenaga kerja. Lembaga lain
yang bekerja sama dengan PT. XYZ Plant Sunter adalah Sucofindo. Sucofindo akan
membantu perusahaan dalam masalah pengukuran kondisi lingkungan kerja seperti
mengukur intensitas debu yang ada di lingkungan kerja agar diketahui apakah melebihi
nilai ambang batas yang sudah ditetapkan atau tidak.
Penerapan SMK3 di PT. XYZ Plant Sunter telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah
RI Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3 di perusahaan. Hal ini dibuktikan
dengan adanya Kebijakan K3, Perencanaan K3, Implementasi dan Operasi K3,
Pemeriksaan dan Pengawasan K3 di perusahaan dan Tinjauan Ulang Manajemen yang
sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) PP No. 50 Tahun 2012 tentang penerapan SMK3 yang
menyatakan bahwa penerapan SMK3 dilakukan berdasarkan kebijakan nasional tentang
SMK3 yang meliputi penetapan kebijakan K3, perencanaan K3, pelaksanaan rencana K3,
pemantauan dan evaluasi kinerja K3, dan peninjauan dan peningkatan kinerja SMK3.

V-1
International Association of Safety Professional (IASP) menetapkan 8 prinsip K3
yang menjadi landasan pengembangan K3. Jika dibandingkan dengan penerapannya di
PT. XYZ Plant Sunter adalah sebagai berikut:
1. Safety is an Ethnical Responsibility (K3 sebagai tanggung jawab moral)
Sebagai perusahaan PT. XYZ Plant Sunter tidak hanya membuat peraturan K3 dan lalu
lepas tangan dengan penerapannya. PT. XYZ Plant Sunter juga bertanggung jawab
terhadap keselamatan dan kesehatan seluruh tenaga kerjanya. Hal ini dapat dilihat dengan
adanya asuransi kesehatan yaitu BPJS yang diberikan oleh perusahaan kepada setiap
karyawan. Selain itu setiap karyawan juga merasa bertanggung jawab terhadap
keselamatan mereka sendiri dan bertanggung jawab juga terhadap pekerjaan yang mereka
lakukan. Setiap supervisor bertanggung jawab dalam pengawasan keselamatan dan
kesehatan pekerja saat melakukan pekerjaannya masing-masing.
2. Safety is a culture not a program (K3 sebagai budaya kerja bukan program)
Penerapan K3 di PT. XYZ Plant Snter sudah sangat baik dengan tingkat pencapaian
100 % (dapat dilihat pada Tabel 5.1). Setiap karyawan bertanggung jawab terhadap K3
yang diterapkan di perusahaan baik pada saat ada pengawasan maupun saat tidak ada
pengawasan. Setiap karyawan telah menetapkan K3 sebagai budaya dalam mereka
bekerja sehari-hari.
3. Management is responsible (K3 adalah tanggung jawab manajemen)
K3 sebagai tanggung jawab manajemen ditunjukkan dengan adanya kebijakan K3
yang dibuat oleh perusahaan serta dukungan penuh terhadap upaya keselamatan dan
kesehatan kerja di perusahaan. Seksi Safety adalah perwakilan perusahaan dalam hal
pelaksanaan dan pengawasan K3 di area kerja.
4. Employee must be trained to work safety (Pekerja harus dididik untuk bekerja dengan
aman)
Seluruh karyawan di PT. XYZ Plant Sunter telah dididik dengan adanya pelatihan-
pelatihan K3 yang berguna untuk keselamatan dan kesehatan pada saat karyawan bekerja.
Pelatihan-pelatihan K3 di PT. XYZ Plant Sunter meliputi pelatihan eksternal investigasi
kecelakaan kerja, pelatihan dan sertifikasi AK3-listrik, pelatihan dan sertifikasi AK3-
kimia, pelatihan dan sertifikasi pemadam kebakaran kelas B, pelatihan dan pembuatan
SIM B personal damkar, pelatihan simulasi keadaan darurat, pelatihan penggunaan apar
dan hydrant, pelatihan K3 umum, pelatihan ergonomi, dan pelatihan P3K. Hal ini

V-2
dilakukan untuk menjamin setiap karyawan mengerti kebijakan K3 yang ada di
perusahaan.
5. Safety is a condition of employement (K3 adalah cerminan kondisi ketenagakerjaan)
Di PT. XYZ Plant Sunter setiap karyawannya telah menerapkan K3 di dalam
pekerjaannya masing-masing. K3 di PT. XYZ Plant Sunter termasuk kategori sangat baik
(dapat dilihat pada Tabel 5.1). Hal itu menunjukkan bahwa tenaga kerja di PT. XYZ Plant
Sunter juga sangat baik.
6. All injuries are preventable (Semua kecelakaan dapat dicegah)
Pencegahan kecelakaan merupakan prinsip dasar dalam K3. Dengan pencegahan
kecelakaan, tingkat kecelakaan kerja yang terjadi dapat ditekan. Pencegahan ini dapat
dilakukan dengan cara seperti adanya JSA (Job Safety Analysis). JSA ini berisi tahapan-
tahapan atau langkah kerja pekerjaan yang aman.
7. Safety program must be site specific (Program K3 bersifat spesifik)
Program K3 yang spesifik ini ditandai dengan adanya perencanaan yang jelas dari
perusahaan dalam bidang K3.
8. Safety is good for business (K3 baik untuk bisnis)
K3 yang diterapkan oleh perusahaan sangat didukung oleh adanya anggaran
perusahaan yang mendukung pembiayaannya. Pembiayaan yang dimaksud disini antara
lain adalah penyediaan biaya perbaikan untuk mendukung perilaku aman saat bekerja,
serta biaya training bagi seluruh karyawan.
Dalam upaya meningkatkan pelaksanaan SMK3, PT. XYZ Plant Sunter telah
melakukan beberapa hal yang telah sesuai dengan perundang-undangan terkait SMK3,
diantaranya yaitu:
1. Kompetensi dan Pelatihan K3
PT. XYZ Plant Sunter melakukan upaya kompetensi pelatihan K3 melalui berbagai
macam training untuk para karyawannya. Pelaksanaan dari training tersebut terjadwal
sebagai langkah pencegahan atau penanggulangan insiden atau kecelakaan kerja.
Berbagai training yang ada diantaranya adalah training penggunaan apar dan hydrant,
training P3K, training K3 Umum, dan training ergonomi. Hal ini sudah sesuai dengan
PP RI Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3 Pasal 10 ayat (3) yang berbunyi
“Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki: a)
kompetensi kerja yang dibuktikan dengan sertifikat”.

V-3
2. Komunikasi K3
Dalam penerapan SMK3, komunikasi sangat penting dilakukan untuk memberikan
informasi, larangan, dan juga himbauan. PT. XYZ Plant Sunter telah melakukan
komunikasi K3 kepada seluruh tenaga kerja sesuai dengan PP RI Nomor 50 Tahun 2012
tentang Penerapan SMK3 Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi “Prosedur informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d harus memberikan jaminan bahwa
informasi K3 dikomunikasikan kepada semua pihak dalam perusahaan dan pihak terkait
di luar perusahaan”.
Hal ini dibuktikan dengan adanya rambu, poster dan papan informasi K3. Ketiga hal
tersebut telah memberikan informasi, larangan, maupun himbauan kepada seluruh tenaga
kerja maupun tamu yang datang di perusahaan.
Kemudian selanjutnya adalah safety induction. Safety Induction dilakukan oleh Seksi
Safety kepada tamu, tenaga kerja baru, peserta kerja praktik, kontraktor dan lain-lain yang
akan memasuki lokasi perusahaan. Hal ini bertujuan untuk memberikan informasi
mengenai perusahaan dan juga memberikan informasi mengenai kebijakan keselamatan
kerja yang harus dipatuhi serta hal-hal yang harus dilakukan jika terjadi keadaan darurat
di dalam lokasi perusahaan. Hal ini sudah sesuai dengan UU RI Nomor 1 Tahun 1970
Pasal 9 ayat (3) yang berbunyi “Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi
semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan
dan pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, pula
dalam pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan”. PT. XYZ Plant Sunter sudah
melakukan safety induction kepada karyawan baru yang dilakukan pada Bulan Agustus
yang lalu selama kurang lebih satu minggu.
Dan yang terakhir adalah safety committee. Safety committee merupakan rapat seluruh
seksi safety dalam membahas dan juga mengevaluasi kinerja SMK3 di perusahaan.
Pelaksanaan Safety committee di PT XYZ Plant Sunter sendiri dilakukan setiap satu
minggu sekali.
3. Dokumentasi K3
PT. XYZ Plant Sunter telah melakukan pendokumentasian K3 terhadap seluruh
kegiatan sesuai dengan PP RI Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3 Pasal 12
ayat (1) huruf f yaitu mendokumentasikan seluruh kegiatan. Kegiatan yang dimaksud
adalah sesuai dengan PP RI Nomor 50 Tahun 2012 tentang SMK3 Pasal 13 ayat (3) yang

V-4
berbunyi “Pendokumentasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf
paling sedikit dilakukan terhadap :
a. Peraturan perundang-undangan di bidang K3 dan standar di bidang K3;
b. Indikator kinerja K3;
c. Izin kerja;
d. Hasil identifikasi, penilaian, dan pengendalian risiko;
e. Kegiatan pelatihan K3;
f. Kegiatan inspeksi, kalibrasi, dan pemeliharaan;
g. Catatan pemantauan data;
h. Hasil pengkajian kecelakaan di tempat kerja dan tindak lanjut;
i. Identifikasi produk termasuk komposisinya;
j. Informasi mengenai pemasok dan kontraktor; dan
k. Audit dan peninjauan ulang SMK3.”
4. Pengendalian Dokumen
Pengendalian dokumen di PT. XYZ dilakukan dengan sistem Online. Dimana pada
sistem ini, seluruh tenaga kerja yang menjadi penanggung jawab dalam suatu kegiatan
bisa mengunggah dokumen-dokumen yang dibutuhkan dengan mudah. Hal ini sesuai
dengan PP RI Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3 Pasal 11 ayat (2) huruf a
yaitu tindakan pengendalian, dimana tindakan pengendalian salah satunya adalah
pengendalian dokumen.
5. Pengendalian Operasi
Salah satu pengendalian operasi yang diterapkan di PT. XYZ Plant Sunter adalah izin
kerja. Sistem izin kerja yang diberlakukan oleh perusahaan digunakan untuk seluruh
tenaga kerja dan kontraktor yang meliputi izin kerja panas, izin kerja di ketinggian, izin
kerja di ruang terbatas, izin kerja di kedalaman, dan izin kerja penggalian yang ditulis di
dalam satu lembar surat izin yaitu surat izin kerja berbahaya. Pemberlakuan sistem kerja
bertujuan untuk mengetahui petugas yang bekerja pada area tertentu sudah berkompeten
atau belum, yang ditandai dengan memiliki izin kerja tersebut. Hal tersebut telah
memenuhi PP RI Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3 lampiran II bagian
6.1.

6. Tanggap Darurat

V-5
Sistem tanggap darurat dilaksanakan dengan kegiatan yang meliputi pembentukan
personil yang bertanggung jawab dalam penanggulangan keadaan gawat darurat dan
penyediaan fasilitas gawat darurat meliputi jalur evakuasi, kotak P3K, emergency exit,
sprinkle (emergency shower), smoke detector, dan alarm. Hal tersebut telah memenuhi
PP RI Nomor 50 tahun 2012 tentang Penerapan SMK3 lampiran II poin 6.7 tentang
“Kesiapan untuk menangani keadaan darurat” dan Instruksi Menteri Tenaga Kerja Nomor
Ins.11/M/BW/1997 tentang pengawasan khusus K3 penanggulangan kebakaran
menyatakan bahwa perusahaan diwajibkan menyediakan jalan keluar untuk
menyelamatkan diri. Di PT. XYZ Plant Sunter sudah menerapkan tanggap darurat untuk
menanggulangi keadaan darurat ketika sewaktu-waktu terjadi. Perusahaan tersebut tidak
memiliki tim kebakaran khusus, namun sudah memberikan pelatihan kepada pihak
security dalam pamadaman kebakaran dan EHS Controller sebagai pengontrolnya.
7. Safety Patrol
Safety Patrol dilakukan secara berkala dan terjadwal setiap minggu yang dilakukan
kepada semua departemen di perusahaan. Hal ini bertujuan untuk memeriksa dan
melakukan pengawasan seberapa jauh aspek K3 diterapkan di perusahaan oleh tenaga
kerja. Hal tersebut sudah memenuhi PP RI Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan
SMK3 Pasal 14 ayat (1) yang berbunyi “Pengusaha wajib melakukan pemantauan dan
evaluasi kinerja K3.” Di PT. XYZ Plant Sunter telah melakukan safety patrol setiap hari
yang dilakukan oleh EHS Controller. Dimana EHS Controller mengelilingi seluruh area
pabrik dan melakukan pengecekan terhadap tenaga kerja, lingkungan kerja, dan juga
mesin-mesin yang sedang bekerja.
8. Audit K3
PT. XYZ Plant Sunter melakukan audit K3. Ada dua macam audit yaitu yang pertama
audit SMK3 yaitu dilakukan tiga tahun sekali dan audit OHSAS 18001 versi 2007 yang
dilakukan satu tahun sekali.
Hal ini merupakan suatu bukti bahwa PT. XYZ Plant Sunter sangat memperhatikan
keselamatan dan kesehatan kerja untuk karyawan dan termasuk pihak luar yang
mempunyai kepentingan dalam pabrik ini. PT. XYZ Plant Sunter berupaya untuk
memberikan kondisi aman bagi semua karyawan dan semua pihak yang terkait.
Namun dalam pelaksanaannya, pabrik ini tentunya mengalami kendala sehingga
performa dari kinerja K3 perusahaan masih fluktuatif. Hal tersebut disebabkan karena

V-6
belum semua karyawan PT. XYZ Plant Sunter berbudaya K3 ditunjukkan dengan adanya
karyawan yang tidak menggunakan APD yang sesuai di tempat bekerja walaupun di
tempat kerja tersebut sudah dipasang pemberitahuan pemakaian APD, sehingga
menimbulkan risiko terjadinya kecelakaan kerja.

Dari hasil observasi yang telah dilakukan terhadap penerapan SMK3 di PT. XYZ Plant
Sunter akan diketahui hasil presentase tingkat pencapaiannya. Tabel 5.1 di bawah ini
merupakan tabel yang menerangkan tentang tingkat pencapaian penerapan SMK3 di PT.
XYZ Plant Sunter.
Tabel 5.1 Tingkat Pencapaian SMK3 di PT. XYZ Plant Sunter
Keadaan di PT XYZ
No Parameter Peraturan Nilai
Plant Sunter
10 Safety Induction UU RI Nomor 1 Sudah dilakukan
Tahun 1970 Pasal 9 safety induction di PT
ayat (3) XYZ Plant Sunter
untuk seluruh tenaga
kerja baru, peserta
10
kerja praktik, dan juga
tamu yang datang
untuk tetap aman dan
sehat selama berada di
pabrik
11 Pengendalian Operasi OHSAS 18001 : 2007 Sudah diterapkan
pengendalian operasi
di PT XYZ Plant
Sunter meliputi :
a. APD
b. LOTO 10
c. Izin kerja
(work permit)
d. SOP
e. WI (Work
Instruction)
12 Pengendalian Dokumen OHSAS 18001 : 2007 Sudah diterapkan di
PT XYZ Plant Sunter
dalam pengurusan
dokumen dengan 10
sistem online
melalui e-Dos

V-7
Keadaan di PT XYZ
No Parameter Peraturan Nilai
Plant Sunter
13 Tanggap Darurat OHSAS 18001 ; 2007 DI PT XYZ Plant
Sunter sudah memiliki
sistem tanggap darurat
dan sudah
menyediakan jasa
10
keadaan darurat
seperti APAR,
hydrant, klinik, dan
juga unit pemadam
kebakaran
Tingkat Pencapaian 100 %

Keterangan :
1. Nilai
0 : Tidak ada
1-3 : Ada tetapi tidak dijalankan
4-7 : Ada, dijalankan, tetapi tidak konsisten, dan tidak berkelanjutan
8-10 : Ada, dijalankan, konsisten, dan berkelanjutan
2. Tingkat pencapaian
0-20% : Buruk
20-40% : Kurang
40-60% : Sedang
60-80% : Baik
80-100% : Sangat baik
Dalam Tabel 5.7 di atas dapat diketahui bahwa tingkat pencapaian SMK3 di PT. XYZ
Plant Sunter telah mencapai 100 % dan termasuk dalam kategori sangat baik. Hasil
penilaian kualitatif tersebut sesuai dengan keberadaan data di perusahaan. Walaupun
sudah memenuhi kategori sangat baik, PT. XYZ Plant Sunter terus melakukan upaya-
upaya peningkatan pelaksanaan SMK3 di perusahaan.

5.2 Analisis Faktor Lingkungan Kerja Die Casting Section PT XYZ Plant Sunter
5.2.1 Analisis Tahap Pemilihan Unit Pekerjaan
Tahap pemilihan unit pekerjaan yang akan dianalisis dalam penelitian ini
dilakukan melalui observasi ke lapangan secara langsung ke seluruh area kerja yang ada
di PT. XYZ Plant Sunter terlebih dahulu untuk mendapatkan gambaran umum mengenai
masing-asing area kerja, tahapan proses, peralatan yang digunakan, dan alat perlindungan

V-8
diri yang dianjurkan di masing-masing tempat kerja. Selain itu pertimbangan dalam
pemilihan unit kerja juga dari wawancara tidak terstruktur ke pihak terkait di dari setiap
area produksi yang diobservasi.
Die Casting Section adalah bagian yang melakukan proses pembuatan komponen-
komponen mesin motor dengan menggunakan material ingot alumunium. Section ini
terdiri dari dua sub section yaitu High Pressure Die Casting dan Low Pressure Die
Casting. Setiap tahap produksi yang ada di Die Casting, tentu terdapat berbagai macam
potensi bahaya dan risiko yang bisa dijumpai. Seperti kebisingan alat yang menyebabkan
tuli pada pekerja, adanya panas berlebih yang bisa menimbulkan dehidrasi luar biasa,
serta paparan emisi yang ditimbulkan dari proses .
Setelah menjelaskan segala alasan serta latar belakang pemilihan lokasi kerja yaitu
di Die Casting Section kepada EHS Sys Dev Dept, hasil akhir konfirmasi tersebut
menyatakan bahwa EHS Sys Dev Dept menyetujui usulan pemilihan lokasi kerja tersebut
sebagai lokasi yang akan dianalisis. Pertimbangan yang membuat pihak EHS Sys Dev
Dept menyetujui pemilihan lokasi kerja tersebut adalah karena dinilai faktor fisika dan
kimia yang ditimbulkan sangat besar. Sehingga dibutuhkan perhatian lebih agar
penerapan SMK3 di lokasi tersebut berjalan dengan baik dan bisa mengurangi resiko
kerja yang pernah terjadi. Lokasi kerja Die Casting Section pada dapat dilihat pada
gambar 5.1 di bawah ini.

Gambar 5.1 Lokasi Kerja Die Casting Section di PT XYZ Plant Sunter
Sumber : Analisis Penulis

V-9
5.2.1.1 Analisis Tahap Konfirmasi, Klarifikasi, Konsultasi dan Verifikasi dengan
EHS Sys Dev Dept PT. XYZ Plant Sunter
Tahap ini harus ditempuh sebagai upaya substitusi dari keharusan pembuatan tim
analisis yang tidak dapat diakomodasi baik oleh peneliti maupun oleh pihak EHS Sys Dev
Dept selaku perwakilan perusahaan, dengan pertimbangan tidak tersedianya sumber daya
manusia yang berlebih untuk dapat membantu dalam penelitian ini selayaknya tim
analisis keselamatan kerja. Dengan melakukan konfirmasi, klarifikasi, konsultasi, dan
verifikasi hasil penelitian secara intensif dengan pihak EHS Sys Dev Dept diharapkan
hasil luaran yang diperoleh pada penelitian ini telah sesuai standar yang telah ditetapkan
oleh perusahaan, serta nantinya diharapkan hasil identifikasi dan penilaian yang telah
dilakukan dapat secara layak diterapkan di perusahaan.

5.2.1.2 Analisis Tahap Penjabaran Unit Pekerjaan Menjadi Langkah-langkah


Kerja yang Lebih Terperinci
Pada tahap ini dilakukan tahap penjabaran unit pekerjaan menjadi langkah-
langkah kerja yang lebih detail agar memudahkan dalam mengidentifikasi potensi bahaya
yang ada di area kerja, sehingga diharapkan hasil dari identifikasi tersebut dapat seakurat
mungkin untuk memperoleh solusi pencegahan bahaya yang tepat sasaran.
Jenis pengecoran logam yang dilakukan di PT. Astra Honda Motor ada dua, yaitu
Low Pressure Die Casting ( LPDC ) dan High Pressure Die Casting ( HPDC ).
 HPDC : Yaitu proses pengecoran dengan menggunakan tekanan injeksi yang
cukup tinggi hingga ± 200 bar dengan menggunakan unit injection system.
 LPDC : Yaitu proses pengecoran logam dengan menggunakan tekanan injeksi
yang rendah , tekanan yang digunakan ± 2,5 bar.

V-10
Gambar 5.2 Proses Produksi HPDC
Sumber : Analisis Penulis 2016
Pada proses HPDC, Pembuatan komponen cylinder comp dan crank case
menggunakan material ingot dengan kode HD2. Ingot HD2 ini memiliki kadar tertinggi
yaitu unsur logam Al sekitar 80 % dan sisanya terdiri dari: Si, Cu, Mg, Fe, Mn, Ni, Sn,
Zn dan Pb. Untuk memulai proses material ingot harus dilakukan pengecekan sebelum
masuk ke proses melting di mesin tanur. Suhu yang diperlukan untuk mencairkan ingot
sekitar 660 oC. Setelah dilakukan melting, perlu ditambahkan flux untuk mengangkat
kotoran pada molten (material ingot cair). Molten kemudian diangkut ke mesin HPDC
dengan menggunakan forklit kemudian diinjeksikan pada mesin tersebut. Penyemprotan
die lubricant setelah injeksi untuk membersihan dies (cetakan). Proses selanjutnya yaitu
dilakukan trimming dan potong belah untuk merapikan dan memotong bagian yang tidak
perlu. Scrap yang berasal dari proses potong belah dilebur kembali bersama ingot.
Terakhir, Visual Inspection dilakukan untuk dilihat ada cacat atau tidak dalam komponen
tersebut. Jika komponen dalam kondisi baik, komponen akan diangkut menuju proses
selanjutnya yaitu machining. Untuk menjaga kualitas komponen, dilakukan maintaince
dies setiap beberapa kali mesin melakukan pencetakan.

V-11
Gambar 5.3 Proses Produksi LPDC
Sumber : Analisis Penulis 2016

Dalam proses LPDC, digunakan bahan dasar berupa ingot aluminium AC4B (JIS)
dan pasir resin. Ingot aluminium AC4B merupakan bahan dasar utama dalam proses
pembuatn komponen cylinder head, sedangkan pasir resin digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan core (jacket core dan port core) dimana core ini digunakan untuk
pembentukan profil berongga pada cylinder head. Ingot AC4B dan juga scrap yang masih
bisa dilebur dalam mesin tanur dengan suhu 700 oC. Setelah dilakukan melting, perlu
ditambahkan flux untuk mengangkat kotoran pada molten (material ingot cair). Molten
kemudian diangkut ke mesin LPDC dengan menggunakan forklit dan diinjeksikan pada
cetakan yang ada dan sudah dimasukkan core. Proses selanjutnya yaitu dilakukan
chipping untuk merontokkan core dan cutting untuk memotong bagian yang tidak perlu.
Setelah proses cutting berlanjut pada proses trimming dimana proses ini untuk
menghilangkan scrap dan merapihkan hasil casting . Visual Inspection dilakukan untuk
dilihat ada cacat atau tidak dalam komponen tersebut. Jika komponen cacat akan
dimasukkan dilakukan repair welding atau proses pengelasan menggunakan gas argon.
Jika komponen dalam kondisi baik, komponen akan diangkut menuju proses selanjutnya
yaitu machining. Untuk menjaga kualitas komponen, dilakukan maintaince dies setiap
beberapa kali mesin melakukan pencetakan. Diperlukan juga melakukan pelapisan dies
atau die coating dengan zat kimia HPL 8182, LNO dan RIOA

V-12
Dari gambar 5.2 Dan 5.3 Bisa dilihat adanya perbedaan bahan yang digunakan.
Ada beberapa bahan kimia yang digunakan salah satu proses dan sebaliknya tidak
digunakan diproses yang lain. Pada proses HPDC diperlukan penggunaan die lubricant
sebagai pembersih cavity die dari scrap yang menempel dan juga sebagai pendingin.
Penggunaan die lubricant ini tidak terdapat dalam proses LPDC. Penggunaan resin
digunakan sebagai pembuatan core pada LPDC dan tidak digunakan pada proses HPDC.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai bahan kimia apa saja yang digunakan, bisa
dilihat pada tabel 5.2 Dan 5.3 berikut.
Tabel 5.2 Data Bahan Kimia HPDC
Bentuk Bahan Kimia Bentuk Kemasan
No Nama Dagang
CA OL GL BB GS CT JP DR CN TU TB KR BT BK KN
1 Die Lubrolene   
2 Pluncast  
3 Dycote 2014 
4 Nitrogen  
5 Solar  
6 Turalic C 52  
7 Turalic C 150  
8 Isomol 185  
9 Thenner  
10 LPG  
11 Cat  
12 hardener  
13 Three Bond 1215  
14 Refiner 201 
Sumber : EHS Operational PT XYZ Plant Sunter
Keterangan :
CA : Cair JP : Jerigen Pl BT : Botol Plastik
OL : Oil DR : Drum BK : Box Karton
GL : Gel CN : Kaleng KN : Kantong Plastik
BB : Bubuk TU : Tube
GS : Gas TB : Tabung
CT : Cristal KR : Karung

Tabel 5.3 Data Bahan Kimia LPDC


Bentuk Bahan Kimia Bentuk Kemasan
No Nama Dagang
CA OL GL BB GS CT JP DR CN TU TB KR BT BK KN
1 Coveral 111    
2 Silicone    
Stainles Steel
3 Bold   
4 Argon BOC  

V-13
Bentuk Bahan Kimia Bentuk Kemasan
No Nama Dagang
CA OL GL BB GS CT JP DR CN TU TB KR BT BK KN
Shot Blasting
5 Alumunium    
6 HLP 8182    
7 LNO-white    
8 Thinner   
9 Eontrim 9010   
10 Minyak Solar    
11 LPG    
Argon Shield
12 52    
Argon
13 Compressed    
14 Rio   
Oxygen
15 Compressed  
16 Acetylene  
17 Hough 620  
Cat (Paint
18 Thinner)  
19 Isomol 185  
20 Hardener  
Sumber : EHS Operational PT XYZ Plant Sunter
Keterangan :
CA : Cair JP : Jerigen Pl BT : Botol Plastik
OL : Oil DR : Drum BK : Box Karton
GL : Gel CN : Kaleng KN : Kantong Plastik
BB : Bubuk TU : Tube
GS : Gas TB : Tabung
CT : Cristal KR : Karung

5.2.2 Pemeriksaan dan Analisis Faktor Lingkungan Kerja


PT. XYZ Plant Sunter melakukan pemeriksaan factor lingkungan kerja yang
dilakukan oleh EHS Dept dan dilaporkan satu tahun sekali ke bagian General Affair
Division dan Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) setempat. Hasil pemantauan dicatat untuk
mengukur sejauh mana penerapan K3 dan pengendalian bahaya yang sudah dilakukan.
Pengukuran yang dilakukan meliputi pengukuran faktor fisika lingkungan kerja yaitu
pengukuran kebisingan, iklim kerja, dan pencahayaan serta faktor seperti emisi dll.

5.2.2.1 Analisis Faktor Fisika Lingkungan Kerja


1. Kebisingan

V-14
PT. XYZ Plant Sunter menghasilkan kebisingan di beberapa area kerja yang
menggunakan mesin-mesin berukuran besar dan mengeluarkan suara bising terus
menerus. Mesin/ alat produksi yang digunakan pada perusahaan ini cukup kompleks
sehingga bising yang dihasilkan bervariasi tergantung pada jenis-jenis mesin yang
digunakan. Lokasi yang diambil untuk dilihat kebisingannya adalah pada Die Casting
Section, sesuai dengan lokasi yang difokuskan pada penelitian ini. Berdasarkan
PERMENAKERTRANS No. PER- 13/MEN/X/2011 tentang NAB Faktor Fisika dan
Faktor Kimia di Tempat Kerja, untuk intensitas kebisingan maksimal adalah 85 dB dalam
waktu pemaparan 8 jam per hari. Sedangkan menurut OSHA, untuk intensitas kebisingan
maksimal adalah 90 dB dalam waktu pemaparan 8 jam per hari. Jika melebihi intensitas
tersebut, maka pekerja yang bekerja di area bising tersebut wajib menggunakan ear plug
atau ear muff. Pada Tabel 5.4 di bawah ini akan ditampilkan data kebisingan yang berada
di lokasi Die Casting Section PT. XYZ Plant Sunter

Tabel 5.4 Hasil Pengujian Kebisingan

No Lokasi Hasil Pengujian Standar (dB) Keterangan


High Pressure Die Casting
1 Proses Melting 83,3 85 <Standar
2 Proses Tapping 83,5 85 <Standar
3 Proses Injection DC 88,4 85 >Standar
4 Proses Trimming 97,4 85 >Standar
5 Penggunaan Tool Manual 97,1 85 >Standar
6 Pengunaan Tool Pneumatic 97,2 85 >Standar
7 Loading Unloading 83,5 85 <Standar
8 Handling Material 88,0 85 >Standar
9 Potong/Belah Part 90,5 85 >Standar
Low Pressure Die Casting
1 Proses Melting 86,0 85 >Standar
2 Proses Tapping 86,5 85 >Standar
3 Distribusi Mouten 86,2 85 >Standar
4 Proses LPDC 91,6 85 >Standar
5 Proses Chipping 95,2 85 >Standar
6 Proses Cutting 94,0 85 >Standar
7 Final Inspection 89,4 85 >Standar
8 Proses Trimming 95,2 85 >Standar
9 Proses Jacket Core 94,8 85 >Standar
10 Proses Coating 85,2 85 >Standar
11 Peleburan Gate Cutting 89,7 85 >Standar
12 Proses Pat Core 85,0 85 =Standar
Sumber : Seksi Safety PT. XYZ Plant Sunter

V-15
Dari data pada tabel 5.4 di atas dapat diketahui bahwa kebisingan yang melebihi nilai
ambang batas sesuai dengan PERMENAKERTRANS No. PER- 13/MEN/X/2011 hampir
di semua tempat kecuali proses melting, tapping dan unloading di HPDC serta proses Pat
Core di LPDC. Sedangkan kebisingan berdasarkan standar OSHA, yang melebihi nilai
ambang batas adalah pada area Proses Trimming, Penggunaan Tool Manual, Pengunaan
Tool Pneumatic & Potong/Belah Part di HPDC serta Proses Die Casting, Proses
Chipping, Proses Cutting, Proses Trimming & Proses Jacket Core di LPDC. Oleh karena
itu pada lokasi tersebut, pekerja wajib menggunakan APD berupa ear plug yang sudah
disediakan oleh perusahaan ini. Spesifikasi Ear plug yaitu NRK sebesar 30 dB, sehingga
bisa menurunkan kebisingan yang terpapar pada pekerja hingga 30 dB. Pada area kerja
Die Casting Section, para pekerja dan juga karyawan yang berada di area tersebut
terutama di area yang sangat bising sudah menggunakan APD berupa ear plug.
Untuk memastikan ambang batas waktu baku kebisingan yang terpapar oleh pekerja
setiap harinya yang tidak ada di Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
13 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat
kerja, dapat menggunakan tabel 5.5 sebagai berikut.
Tabel 5.5 NAB Kebisingan

Sumber : PERMENAKERTRANS No. PER- 13/MEN/X/2011

V-16
Gambar 5.4 menunjukkan durasi paparan kebisingan yang diizinkan dalam satuan jam,
berbanding dengan tingkat kebisingan, dalam satuan dBA.

Gambar 5.4 Grafik Durasi Waktu yang Diizinkan Tingkat Kebisingan


Sumber : OSHA, 1975

Untuk mengetahui waktu yang tepat terhadap suatu nilai paparan kebisingan, maka
digunakan rumus (2.1) :

16
𝑇=
2(𝐿−82)/3
dimana :
T = waktu maksimum dimana pekerja boleh berhadapan (kontak) dengan tingkat
kebisingan (dalam menit), dikenal juga sebagai waktu pemajaan maksimum
(formula NIOSH)
16 = 16 jam / hari; waktu kerja yang diperbolehkan untuk paparan kebisingan 82 dB
L = tingkat (intensitas) kebisingan (dB)
Istilah intensitas (intensity) dan kekerasan (loudness) pada suara atau
kebisingan mempunyai arti yang sama
82 = Recommended Exposure Limit (REL)/ Nilai Ambang Batas (NAB) terhadap 16
jam kerja / hari

V-17
3 = exchange rate, dikenal juga sebagai doubling rate/ trading ratio/ time-intensity
tradeoff, yaitu angka yang menunjukkan hubungan antara intensitas kebisingan
dengan tingkat kebisingan. Exchange rate sama dengan 3. Artinya, untuk setiap
penambahan sebuah sumber kebisingan yang identik (dengan intensitas
kebisingan yang sama), akan terjadi penambahan tingkat kebisingan sebesar 3 dB
(NOISH menggunakan angka 3 sebagai exchange rate)
Contoh perhitungan :
Pada Die Casting PT. XYZ, pada area proses LPDC terhitung kebisingan sebesar 91,7
dB. Perhitungan waktu paparan yang diizinkan dengan menggunakan rumus T adalah
(dapat dilihat pada persamaan 2.1) :
16
𝑇=
2(𝐿−82)/3
16
𝑇=
2(91,7−82)/3
𝑇 = 3,2 𝑗𝑎𝑚

Hasil yang didapatkan adalah 3,2 jam, sehingga dengan paparan kebisingan sebesar
91,7 dB, durasi waktu yang diperbolehkan hanya sebesar 3,2 jam dalam satu hari.

2. Iklim Kerja
Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara,
dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat
pekerjaan yang dimaksudkan dalam peraturan ini adalah iklim kerja panas. Iklim yang
tinggi dapat mempengaruhi kinerja dari para pekerja yang mungkin dapat mengakibatkan
dehidrasi. Pada tabel 5.6 di bawah ini akan ditunjukkan keadaan iklim kerja di Die
Casting Section.
Tabel 5.6 Hasil Pengukuran Iklim Kerja
Dry (oC) Wet (oC) Globe (oC) RH (%)
34,1 25,3 32,2 64
Sumber : EHS PT. XYZ Plant Sunter
Catatan :
Pengaturan kerja dikategorikan sedang dengan pengaturan kerja antara 75%-100%
sehingga NAB ISBB adalah 28,0 oC.
Dry : Suhu kering (24-26 oC)
Wet : Suhu basah (21-30 oC)

V-18
Globe : Suhu bola
RH : Kelembaban (65-95%)
Setelah mendapatkan data pada tabel 5.6 di atas, selanjutnya yang dilakukan adalah
menghitung ISBB (Indeks Suhu Basah dan Bola) untuk mengetahui apakah ISBB sudah
memenuhi standar sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No:
PER. 13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di
Tempat Kerja, yaitu 28 oC, dengan pengaturan kerja yang dikategorikan sedang dengan
pengaturan kerja antara 75%-100%. Berikut adalah perhitungan ISBB (dapat dilihat pada
persamaan 2.2).
𝐼𝑆𝐵𝐵 = (0,7 𝑆𝑢ℎ𝑢 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝑎𝑙𝑎𝑚𝑖) + (0,2 𝑆𝑢ℎ𝑢 𝑏𝑜𝑙𝑎) + (0,1 𝑆𝑢ℎ𝑢 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔)
ISBB = (0,7 x 25,3) + (0,2 x 32,2) + (0,1 x 34,1)
ISBB = 27,56 oC
Diketahui bahwa hasil perhitungan ISBB adalah 27,56 oC dan hasil tersebut masih
memenuhi Nilai Ambang Batas sesuai dengan yang telah ditentukan berdasarkan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No : PER. 13/MEN/X/2011 tentang
Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, yaitu 28 oC, dengan
pengaturan kerja yang dikategorikan sedang dengan pengaturan kerja antara 75%-100%
(dapat dilihat pada tabel 2.1).
3. Pencahayaan
Pencahayaan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi
produktivitas kerja tenaga kerja. Pengukuran pencahayaan menggunakan alat ukur
pencahayaan yaitu Lux Meter. Area kerja di PT. XYZ Plant Sunter memiliki intensitas
cahaya yang bervariasi. Untuk pencahayaan di Die Casting Section PT. XYZ Plant Sunter
dapat dilihat pada Tabel 5.7 di bawah ini.
Tabel 5.7 Hasil Pengukuran Pencahayaan
Hasil Tingkat
Lokasi Pengukuran Pengukuran Pencahayaan Keterangan
(lux) Minimal (lux)
High Pressure Die Casting
1 Proses Melting 59 200 Lampu mati
2 Proses Tapping 62 200 Lampu mati
3 Distribusi Molten 209 200
4 Proses Injection DC 252 200
5 Proses Trimming 231 200
6 Penggantian Dies 251 300
7 Penggunaan Tool Manual 258 200
8 Pengunaan Tool Pneumatic 267 200

V-19
Hasil Tingkat
Lokasi Pengukuran Pengukuran Pencahayaan Keterangan
(lux) Minimal (lux)
9 Potong/Belah Part 383 300
10 Pengoperasian Crane 253 200
Low Pressure Die Casting
1 Proses Melting 355 200
2 Proses Tapping 209 200
3 Distribusi Mouten 245 200
4 Proses LPDC 615 200
5 Proses Chipping 539 200
6 Proses Cutting 521 300
7 Proses Trimming 439 200
8 Proses Coating 282 200
9 Proses Port Core 402 200
10 Proses Jacket Core 338 200
11 Proses Blasting 310 200
12 Heat Treatment T4 203 200
13 Final Inspection 592 300
14 Peleburan Gate Cutting 593 200
15 Pembersihan Melting Furnace 295 200
16 Instal Filter Gate 566 200
17 Instal Sand Core 566 200
18 Pengoperasian Hoist 456 200
Sumber : EHS Opt PT. XYZ Plant Sunter
Dapat diketahui bahwa pencahayaan pada area Die Casting untuk keseluruhan sesuai
dengan Kepmenkes No.1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri masih dalam keadaan standar kecuali untuk
Proses Melting & Tapping karena lampu keadaan mati dalam proses pengukuran (dalam
pergantian lampu). Diharapkan dalam keadaan pencahayaan yang standar ini, pekerja
dapat mengoptimalkan pekerjaannya.

5.2.2.2 Analisis Faktor Kimia Lingkungan Kerja


Selain faktor fisika seperti kebisingan, iklim kerja dan pencahayaan, faktor kimia
juga berpengaruh besar pada produktivitas kerja. Faktor kimia adalah faktor di dalam
tempat kerja yang bersifat kimia meliputi bentuk padatan (partikel), cair, gas, kabut,
aerosol dan uap yang berasal dari bahan-bahan kimia. Faktor kimia akan berpengaruh
pada kesehatan pekerja jika paparan faktor kimia tersebut berlebih.
Untuk mengetahui apakah paparan faktor kimia tempat kerja bisa berpengaruh
pada kesehatan pekerja, digunakanlah NAB (nilai ambang batas) Faktor kimia. NAB
Faktor Kimia ini digunakan sebagai (pedoman) rekomendasi pada praktek higiene
perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya mencegah

V-20
dampaknya terhadap kesehatan. Dengan demikian NAB antara lain dapat pula digunakan
sebagai berikut:
a. Sebagai kadar standar untuk perbandingan
b. Sebagai pedoman untuk perencanaan proses produksi dan perencanaan teknolgi
pengendalian bahaya-bahaya di lingkungan kerja
c. Menentukan pengendalian bahan proses produksi terhadap bahan yang lebih
beracun dengan bahan yang sangat beracun
d. Membantu menentukan diagnosis gangguna kesehatan, timbulnya penyakit-
penyakit dan hambatan-hambatan efisiensi kerja akibat faktor kimia dengan
pemeriksaan biologis

Pada Tabel 5.8 di bawah ini akan ditampilkan data pengukuran faktor kimia yang berada
di lokasi Die Casting Section PT. XYZ Plant Sunter. Faktor kimia yang dihitung yaitu
Nitrogen Dioksida (NO2), Sulfur Dioksida (SO2), Karbon Monoksida (CO), Karbon Dioksida
(CO2), Total Dust (PM) dan Hidrokarbon.
Tabel 5.8 Data Faktor Kimia Die Casting Section
Nilai Batas Pengaruh pada
Hasil
(Permenakertrans No tubuh jika terpapar
No Parameter yang diukur Pengukuran
13 tahun 2011) berlebih
(mg/m3)
(mg/m3)
1 Nitrogen Dioksida (NO2) 0.01 3 Pernapasan
2 Sulfur Dioksida (SO2) 0.026 0.25 Pernapasan
3 Karbon Monoksida (CO) 0.011 29 Reproduksi
4 Karbon Dioksida (CO2) 382 9000
5 Total Dust (PM) 0.07 10
6 Hidrokarbon 0.005 -
Sumber : EHS Opt PT. XYZ Plant Sunter
Setelah didapatkan hasil data pengukuran, dilakukan analisi apakah paparan pada
lingkungan tempat kerja memenuhi baku mutu NAB Faktor kimia yang tertera pada
Permenakertrans No 13 tahun 2011. Apabila terdapat lebih dari satu bahan kimia
berbahaya yang bereaksi terhadap sistem atau organ yang sama, di suatu udara lingkungan
kerja, maka kombinasi pengaruhnya perlu diperhatikan. Jika tidak dijelaskan lebih lanjut,
efeknya dianggap saling menambah. Jika jumlahnya lebih dari 1, maka NAB melampaui
batas.
Ada 4 jenis NAB, antara lain :
1. Efek saling menambah

V-21
Dilampaui atau tidaknya Nilai Ambang Batas (NAB) campuran dari bahan-bahan
kimia tersebut, dapat diketahui dengan menghitung dari jumlah perbandingan
diantara kadar dan NAB masing-masing, dengan rumus-rumus sebagai berikut :
NAB Campuran = 𝐶1/𝑁𝐴𝐵1 + 𝐶2/𝑁𝐴𝐵2 +….+ 𝐶x/𝑁𝐴𝐵x
Contoh perhitungan :
Faktor Kimia Nitrogen Dioksida (NO2) Sulfur Dioksida (SO2)
Uji emisi ambien 0.01 (C1) 0.026 (C2)
NAB 3 (NAB1) 0.25 (NAB2)

𝐶1 𝐶2
NAB Campuran = +
𝑁𝐴𝐵1 𝑁𝐴𝐵2
= 0.01/3 + 0.026/0.25
= 0.003 + 0.104
= 0.107 <= 1 (Tidak Melebihi NAB)
2. Kasus Khusus
Yang dimaksud dengan kasus khusus yaitu sumber kontaminan adalah suatu zat
cair dan komposisi bahan-bahan kimia di udara dianggap sama dengan komposisi
campuran diketahui dalam % (persen) berat, sedangkan NAB campuran
dinyatakan dalam milligram per meter kubik (mg/m3).

3. Sendiri-sendiri
Dalam kasus ini, NAB dihitung satu per satu karena efek yang ditimbulkan
berbeda. Contoh perhitungannya yaitu perhitungan NAB yang menimbulkan
gangguan pada reproduksi oleh karbon monoksida (CO).
𝐶1
NAB Campuran =
𝑁𝐴𝐵1
= 0.0011/29
= 0.003
= 0.000037 <= 1 (Tidak Melebihi NAB)

V-22
4. NAB campuran untuk debu-debu mineral
Untuk campuran debu-debu mineral yang secara biologi bersifat aktif, dipakai
rumus seperti pada campuran kasus khusus

Pengukuran faktor kimia yang dilakukan PT XYZ belum sesuai. Menurut US Energy
Departmen, emisi yang diukur pada Industri Manufaktur Otomotif bagian die casting
yaitu :
1. Asap dan debu logam
Emisi senyawa logam berasal dari material logam atau ingot yang digunakan.
Emisi logam yang timbul sesuai dengan karakteristik dan komposisi dari ingot
tersebut.
2. Gas Pembakaran
Gas pembakaran adalah gas yang berasal dari proses pembakaran. Pada proses
Die Casting, gas pembakaran berasal dari peleburan logam menggunakan tanur.
Gas pembakaran antara lain yaitu : CO2, SO2, NO2, CO dll.
3. Gas VOC
VOC ( Volatile Organic Compound ) adalah senyawa yang mengandung karbon
yang menguap pada tekanan dan temperature tertentu atau memiliki tekanan uap
yang tinggi pada temperatur ruang. Gas VOC pada Die Casting berasal dari
beberapa proses dan bahan, seperti core making, casting, die lubroene dll.
4. Gas non VOC
Gas non VOC adalah gas yang berbahaya bagi kesehatan pekerja walaupun tidak
termasuk kedalam kategori VOC.
5. Debu silikat
Debu silikat berasal dari proses core making. Debu silikat berbahaya bagi
pernapasan karena dapat melukai paru-paru.
Untuk menentukan faktor kimia apa saja yang terdapat di Die Casting Section perlu
dilakukan analisis proses identifikasi emisi yang ditimbulkan dari bahan yang dipakai
baik bahan baku maupun bahan pendukung serta tahapan-tahapan proses pada High
Pressure Die Casting (HPDC) & Low Pressure Die Casting (LPDC). Identifikasi bahan
bisa dilakukan dengan melihat MSDS atau material safety data sheet. Dengan

V-23
mengetahui MSDS, perusahaan bisa mengetahui faktor kimia yang berasal dari bahan
yang digunakan dan juga bahaya yang bisa ditimbulkan jika terpapar berlebih. Selain itu,
analisis faktor kimia dilakukan dengan mengidentifikasi proses kemudian dilakukan
analisis emisi yang ditimbulkan selama proses baik itu akibat reaksi antar bahan maupun
perubahan struktur yang terjadi pada bahan baku dan penolong. Untuk memudahkan
dalam identifikasi dan analisi faktor kimia pada proses, bisa dilakukan dengan studi
literatur mengenai emisi yang ditimbulkan pada proses di Die Casting Section.
Setelah dilakukan identifikasi faktor kimia apa saja yang ada melalui studi literetur.
Faktor kimia lingkungan pada setiap proses di Die Casting Section sebagai berikut.
1. Proses core making
Pada proses ini, zat yang digunakan yaitu resin yang berasal pasir silica serta
penambahan zat aditif. Emisi terjadi pada proses pemasukan core, pemanasan,
pengeluaran core dari mesin core making. Emisi yang paling banyak terdapat dalam
proses ini yaitu partikulat dan gas VOC. Partikel yang terdapat dalam proses ini yaitu
debu silica (silica kristal). Emisi gas VOC yang terdapat dalam proses ini yaitu
formaldehid dan fenol (US Energy Dept 1997)
2. Proses melting
Emisi yang keluar berasal mesin tanur umumnya partikel yang mengandung
logam. Emisi lain yang kemungkinan terdapat dalam proses yaitu gas pembakaran
seperti CO2, CO, SOx, NOx serta kosentrasi yang sangat kecil senyawa Cl (klor) F
(flor). Emisi Cl dan F timbul ketika flux ditambahkan dalam molten. Konsentrasi
tertinggi emisi yang mucul pada proses melting adalah pada saat memasukkan
material ingot, menuangkan molten, penambahan flux dan mengambil endapan
kotoran. (US Energy Dept 1997)
3. Proses Casting
Proses casting pada HPDC dan LPDC memiliki perbedaan. HPDC menggunakan
die lubricant sedangkan LPDC tidak menggunakan die lubricant sehingga emisi
yang ditimbulkan juga berbeda. Pada proses HPDC, emisi yang ditimbulkan yaitu
debu dan uap logam serta VOC yang berasal dari die lubricant. Debu dan uap logam
yang terindikasi paling tinggi konsentrasinya yatu Al, Zn dan Cu. Untuk VOC sendiri
konsentrasi yang tertinggi pada proses HPDC yaitu etilen (Trikloro etilen dan

V-24
Tetrakloro etilen) dan jenis glikol eter (US EPA, 1998). Pada proses LPDC, VOC
yang timbul berasal dari core seperti fenol dan formaldehid. (US Energy Dept 1997).

4. Proses Chipping, Trimming, Cutting, Annealing, Heating


Pada proses tidak adanya penambahan bahan pendukung yang signifikan sehingga
tidak menimbulkan emisi berasal dari reaksi antar bahan. Emisi yang timbul berasal
dari proses fisik yang terjadi seperti Chipping (perontokkan) bagian core sehingga
menimbulkan emisi debu silica dan VOC, Trimming yang menembakkan udara ke
komponen sehingga menimbulkan emisi debu dan uap logam.

5. Repair Welding
Emisi yang timbul pada proses ini yaitu argon dan uap alumunium sesuai dengan
bahan yang digunakan pada proses pengelesan komponen yang cacat menggunakan
zat argon dan alumunium batangan.
6. Proses lainnya
Proses yang seperti trasportasi molten menggunakan forklit menimbulkan emisi
namun tidak signifikan.

Pada tabel 5.9 Dan 5.10 dibawah ini akan ditampilkan data lengkap faktor kimia
pada lingkungan kerja pada proses di Die Casting Section.

Tabel 5.9 Data Analisis Faktor Kimia Die Casting Section (HPDC)
Alur Proses Deskripsi Alur Proses Material yang Faktor Kimia
No Produksi digunakan

1 Melting Process Proses pencairan material Menggunakan Ingot CO2, CO, SO2, NOx,
dengan suhu 660oC HD2 (Al, Si, Cu, Al, Pb, Sn, As, Cu,
Mg, Fe, Mn,Ni, Sn, Mn, Ni, Zn
Pb) | Flux (Sodium
Fluorosilicate, Mg, Fe, Mn, Sn, F, Cl
Sodium, Calsium dalam konsetrasi kecil
Salt, Red Pigment)
2 Injection Proses Pencetakan dengan Sleeve (steel) | Die Al, SI, Zn, Cu,
tekanan tinggi Lube (Synthetic, Trikloro etilen,
Vegetable & Mineral Tetrakloro etilen,
Oil, Wax Polymer, glikol monoetil eter,
Surfactants, water) Hidrokarbon

V-25
Alur Proses Deskripsi Alur Proses Material yang Faktor Kimia
No Produksi digunakan

VOC lain serta Gas


aromatik dan alifatik
dalam kosentrasi kecil

3 Trimming Pemotongan Filter gate Al, Si, Zn, Cu, Pb

Mg, Fe, Mn, Sn dalam


konsentrasi kecil
4 Visual Al, Si, Zn, Cu, Pb
Inspection
Mg, Fe, Mn, Sn dalam
konsentrasi kecil
5 Annealing Pemanasan dengan suhu Al, Si, Zn, Cu, Pb
325 derajat
Mg, Fe, Mn, Sn dalam
konsentrasi kecil
6 Finishing Menghaluskan dan Al, Si, Zn, Cu, Pb
membersihkan gate yang
menyempil di rongga Mg, Fe, Mn, Sn dalam
kecil konsentrasi kecil

Sumber : Analisi penulis 2016

Tabel 5.10 Data Analisis Faktor Kimia Die Casting Section (LPDC)
No Alur Proses Deskripsi Alur Proses Material yang Faktor Kimia
Produksi digunakan
1 Jacket Core Pembuatan cetakan Menggunakan Resin BL Silika, Phenol,
(Core making) saluran lubang 715 HD (silika) Formaldehid
2 Port Core (Core Pembuatan 3 Core Menggunakan Resin BP Silika, Phenol,
making) 1) lubang busi/saluran 820 (silika) Formadehid
udara
2) mekanisme katub cyl
comp
3) lubang rantai
3 Melting Proses pencairan material Menggunakan Ingot AC Al, Zn, Cu, Pb, NO2,
4B (Al, Si, Cu, Mg, Fe, CO2, SO2, Silicate
Mn,Ni, Sn, Pb) | Flux
(Sodium Fluorosilicate, Mg, Fe, Mn, Sn, F, Cl
Sodium, Calsium Salt, dalam konsetrasi kecil
Red Pigment)
4 Dies Coating Pembuatan dan Silika, Sodium Silika, Silika, Al
Maintaince Dies Water, RIO
5 Casting Proses Pencetakan Ingot yang sudah Al, Zn, Cu, Mn, Fe,
dengan tekanan rendah dimelting NO2, CO2, SO2,

V-26
No Alur Proses Deskripsi Alur Proses Material yang Faktor Kimia
Produksi digunakan
Silicate, Phenol,
Formaldehid

6 Visual Pengecekan secara visual


Inspection
7 Chipping Merontokkan atau Menggunakan Ingot AC Silika, Phenol,
membuang pasir core 4B (Al, Si, Cu, Mg, Fe, Formaldehid Al, Zn, Cu
Mn,Ni, Sn, Pb) | Flux
(Sodium Fluorosilicate,
Sodium, Calsium Salt,
Red Pigment)
8 Cutting Proses pemotongan gate Coolant Silika, Phenol,
untuk memasukkan Formaldehid, Al, Zn,
material pada cetakan Cu

9 Repair Proses perbaikan Gas Argon dan Gas Argon


Welding komponen jika terjadi alumunium
cacat
10 Trimming Merapikan komponen Al, Zn, Cu
11 T4 Heat Menambahkan kekuatan
Treatment Cyl Head
12 Shot Blasting Menghilangkan scrap cat Al, Silika
yang tertinggal dan
memberikan efek visual
(cat)
13 Blank Casting
Sumber : Analisis Penulis 2016
Beberapa faktor kimia dimasukkan namun ada beberapa emisi yang
memungkinkan tidak diukur dikarena konsentrasi sangat kecil dan jauh dibawah NAB
faktor kimia menurut data US Energy Dept 1997.

Tabel 5.11 Data Batas NAB pada HPDC dan LPDC


Nama Bahan NAB PSD/KTD Berat Keterangan
No Kimia dan BDS Mg/m3 BDS Mg/m3 Molekul
Nomor CAS (BM)
1 Alumunium 1,A4 26,98 Pneumokoniosis;
(7429-9-90-5) bervariasi Iritasi saluran
2 Debu Logam 10 pernafasan
3 Uap Las 5 bawah ;
keracunan saraf
4 Zirkonium (Zn) 5;A4 10;A4 91,22 Pernapasan
(7440-67-7)
5 Cu (7440-67-7) (0,2) 1 63,55 Pernapasan

V-27
Nama Bahan NAB PSD/KTD Berat Keterangan
No Kimia dan BDS Mg/m3 BDS Mg/m3 Molekul
Nomor CAS (BM)
6 Si (7440-21-3) 10 Iritasi Saluran
pernapasan
7 Timbal 0,05, Gangguan
A3 Pernapasan,
pencernaan,
saraf
8 Nitroden 3 5 46,01 Iritasi Saluran
Oksida (NO2) Napas dan
Bawah
9 Karbon 25 29 28,01 Reproduksi
Monoksida
10 Karbon 5000 9000 30000 54000 44,01 saraf
Dioksida (CO2)
11 Sulfur Dioksida 0,25 64,7 Gangguan fungsi
(SO2) paru
12 Hidrokarbon 1000 Pernapasan
13 Fenol 5 94,11 Iritasi Saluran
(108-95-2) pernapasan atas ;
kerusakan paru
dan sistem saraf
14 Etilen 200 28,05 Asfiksia
(74-85-1) (pernapasan)
15 Glikol monoetil 5 90,12 Kerusakan
eter reproduksi pria;
kerusakan janin
16 Formaldehid 0,03 0,3 30,3 Gangguan
Pernapasan,
penglihatan
17 Silicat (kristal) 0,05 Silicosis
(pernapasan)
18 Tetrakloroetilen 25 100 Gangguan
sistem saraf
pusat
19 Trikloroetielen 50 269 100 573
Sumber : Analisis Penulis 2016
Keterangan :
NAB : Nilai Ambang Batas
PSD/KTD : Paparan Singkat Diperkenankan/Kadar Tertinggi Diperbolehkan
BSD : Bagian Dalam Sejuta (Bagian gas per juta volume dari udara terkontaminasi)
Mg/m3 : Miligram bahan kimia per meter kubik udara

V-28
Tabel 5.12 Data Jenis Pengukuran NAB pada Die Casting Section (LPDC)
Gangguan yang diderita jika terpapar berlebih
No Pernapasan Reproduksi Saraf Pencernaan Mata
1 Alumunium Karbon monoksida Timbal Timbal Formaldehid
2 Zirkonium Glikol monoetil eter Karbon Dioksida
3 Cuprum Fenol
4 Timbal
5 Hidrokarbon
6 Fenol
7 Si
8 Silikat (kristal)
9 Tetrakloroetilen
10 Trikloroetilen
NAB Campuran Campuran Campuran Sendiri Sendiri
Sumber : Analisis Penulis 2016

5.3. Analisis Higiene Industri PT XYZ Plant Sunter menurut Hirarki


Pengendalian Bahaya (Hierarchy of Control)
Higiene Industri mempunyai tujuan untuk mengurangi bahaya faktor lingkungan
dengan melakukan pengendalian bahaya. Pengendalian dengan menggunakan Hirarki
Pengedalian atau Hierarchy of Control. Hirarki Pengedalian atau Hierarchy of Control
adalah suatu tingkatan-tingkatan atau tahapan dasa tentang pengendalian resiko dan
mengurangi dampak yang dapat ditimbulkan oleh peralatan dan atau karyawan yang
bertujuan untuk menghilangkan atau menekan risiko sampai ke tingkat yang dapat
diterima. Hirarki pengendalian ini bertujuan untuk memberikan efektivitas dan efisiensi
system pengendalian sehingga dapat menurunkan risiko. Semakin tinggi tingkatnya,
semakin efektif dan efisien dalam suatu system pengendalian bahaya. Hirarki
pengendalian bahaya ditunjukkan pada gambar 5.7

Gambar 5.7 Hierarchy of Controls


Sumber: www.cdc.gov, 2016

V-29
5.3.1 Eliminasi
Eliminasi merupakan prioritas utama dalam melakukan suatu upaya
pengendalian. Suatu pengendalian bahaya akan menjadi efektif bila upaya eliminasi
dilakukan, karena langsung menghilangkan / mengeliminasi sumber bahaya. Dalam hal
ini, PT XYZ Plant Sunter melakukan suatu menghilangkan suatu proses yang
dimungkinkan untuk dihilangkan dan tidak berpengaruh pada hasil produksi. Pada proses
Die Casting Section sendiri belum adanya pengendalian bahaya dengan cara
mengeliminasi proses yang ada karena setiap proses memiliki fungsi untuk meningkatkan
kualitas produk. Eliminasi juga tidak dilakukan oleh PT XYZ Plant Sunter karena bahaya
disebabkan proses pada Die Casting Section resiko yang ditimbulkan tergolong low dan
medium

5.3.2 Substitusi
Substitusi dalam pengendalian bahaya faktor lingkungan kerja berarti mengganti
peralatan dan bahan pada proses produksi yang teridentifikasi sebagai sumber bahaya
yang tinggi dengan peralatan yang memiliki tingkat bahaya yang lebih rendah. PT XYZ
telah melakukan substitusi atau mengganti bahan yang berbahaya pada proses di Die
Casting Section. Saat ini, peggunaan Die Lubricant dalam proses casting menggunakan
water-based lubricant dan komposisinya tidak terdapat zat yang berbahaya dibandingkan
dengan penggunaan sebelumnya menggunakan Die Lubricant yang mengandung
benzene (dapat menyebabkan kerusakan kulit jika terpapar)

5.3.3 Engineering Control


Upaya engineering control atau rekayasa teknis berarti membuat
perubahan/modifikasi fisik pada sumber bahaya untuk mengurangi bahaya sampai ke
penerima (dengan pengecualian penggunaan APD). PT XYZ Plant Sunter sudah
melakukan rekayasa teknis untuk mengurangi bahaya seperti ;
1. Melakukan rekayasa teknis pada transportasi molten dari proses melting menuju
proses casting/injecton dengan menggunakan forklit

V-30
Gambar 5.8 Penggunaan forklit untuk mengangkut molten
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2016
2. Penggunaan robot untuk mengangkut hasil injeksi yang baru saja keluar dari dies.

Gambar 5.9 Penggunaan robot untuk pada proses pengambilan hasil casting
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2016
3. Penggunaan beberapa alat pengangkut otomatis untuk memindahkan komponen
agar tidak menimbulkan bahaya yang berlebih dan meningkatkan efisiensi
4. Menggunakan factory fan untuk mengurangi panas.

V-31
Gambar 5.10 Pemasangan factory fan
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2016
5.3.4 Administrative Control
Pengendalian secara administrative melibatkan perubahan pada perilaku pekerja
supaya tercipta lingkungan kerja yang lebih aman. PT XYZ Plant Sunter telah melakukan
banyak upaya administratif di Die Casting Section. Berikut upaya administrative control
yang telah diimplementasikan:
a. Sign Board dan Demarcation Line

Gambar 5.11 Safety Sign


Sumber: Dokumentasi Penulis, 2016
b. Toolbox Talk
Toolbox Talk (TBT) adalah dokumen formal yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan pekerja untuk mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya dan
risiko di tempat kerja, sebelum memulai pekerjaan. TBT diterapkan dan

V-32
diselesaikan untuk semua pekerjaan (baik yang memerlukan atau tidak
memerlukan ijin kerja) sebelum pekerjaan dimulai
b. Routine Maintenance
Servis rutin dilakukan untuk menghindari terjadinya kerusakatn pada komponen
peralatan unit produksi. Dengan melakukan servis rutin, bahaya dapat dicegah
tidak terpapat ke penerima.
c. Melakukan training
Melakukan training bertujuan untuk edukasi dan pelatihan yang rutin
diselenggarakan oleh EHS system maupun HSE operational kepada para kerja
baik itu untuk pekerja baru maupun pekerja lama. Training berisi pemaparan
mengenai potensi bahaya yang terdapat di PT. XYZ Plant Sunter serta pencegahan
dan penangananya, di dalamnya termasuk pemaparan bahaya faktor fisika dan
kimia
d. Medical Check Up
PT XYZ Plant Sunter membuat kebijakan setiap pekerja untuk wajib melakukan
Medical Check Up (MCU) setiap satu tahun sekali untuk selalu mengontrol
kesehatan pekerja akibat paparan faktor fisika maupun kimia.
e. Break Time
Penerapan Break Time dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi durasi terpapar
bahaya berlebih. Para maintenance crew menerapkan kebiasaan untuk istirahat
sekedar bersantai dan rehat singkat setiap 2 jam sekali. Hal ini adalah kebiasaan
yang baik dan cukup efektif untuk menghindari paparan berlebih terhadap bahaya
faktor fisika dan kimia
f. Rotasi kerja & Work Shift
g. Recordkeeping
Penyimpanan/Pencatatan data terkait identifikasi sumber bahaya, hasil
pengukuran faktor fisika dan kimia pada sumber maupun bising personal, dan
data-data lainnya harus disimpan dan didokumentasikan dengan baik oleh
perusahaan sebagai bahan untuk evaluasi berkelanjutan.

V-33
5.3.5 Alat Pelindung Diri / Personal Protective Equipment
Penerapan APD yang dilakukan pekerja yang terpapar tingkat faktor fisika dan
kimia yang kemungkinan berlebih. Penggunaan APD pada Die Casting Section antara
lain.
1. Pada proses dengan NAB kebisingan melebihi 85 dBA harus memakai pelindung
pendengaran berupa ear plug atau ear muff. Pelindung pendengaran harus tersedia
untuk semua pekerja yang terpapar tingkat kebisingan melebihi ambang batas
yang diijinkan di Permenaker No. 13 Tahun 2011 secara cuma-cuma.
2. Pemakaian masker untuk mengurangi pekerja menghirup emisi berlebih
3. face cover dan apron alumunium pada proses melting.
4. Penggunaan APD pada proses lainnya
5. PT XYZ Plant Sunter juga melakukan patrol yang bertujuan untuk mengetahui
apakah pekerja sudah menggunakan APD dengan baik.

Gambar 5.12 Penggunaan APD (masker & ear plug)


Sumber: Dokumentasi Penulis, 2016
Secara keseluruhan penggunaan APD sudah baik. Namun, masih ada pekerja yang
nakal tidak memakai APD. Untuk itu, EHS Operational harus melakukan pengawasan
lebih ketat lagi dan memperingatkan pekerja mengenai bahaya yang ditimbulkan.

V-34
Gambar 5.12 Pekerja tidak menggunakan topi dan masker
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2016
Untuk memaksimalkan fungsi APD, pekerja dapat mengajukan keluhan terhadap
APD yang digunakan jika dirasa tidak nyaman dan mengganggu kinerja. Keluhan yang
dilaporkan oleh pekerja akan ditindaklanjuti oleh EHS Operasional untuk dikaji lebih
lanjut dan menyerahkan laporan ke EHS System Development jika keluhan dapat diterima
(keluhan berpengaruh secara signifikan). EHS System Development akan berkoordinasi
dengan bagian Engineering dan Purchase untuk menetapkan perbaikan APD atau
penggantian atau penambahan APD.

5.4 Analisis Tahap Identifikasi Potensi dan Faktor Bahaya


Dalam penerapan higiene industri PT XYZ Plant Sunter, diperlukan identifikasi
potensi dan faktor bahaya pada proses Die Casting. Tujuan agar bisa mengetahui
pengendalian yang benar dan efisien. Pada tahap identifikasi potensi dan faktor bahaya
yang mungkin muncul dari setiap aktifitas pekerjaan, terdapat beberapa faktor yang perlu
untuk diperhatikan antara lain faktor manusia (operator/pelaku kerja), faktor peralatan
yang digunakan, faktor material yang ditangani, serta faktor lingkungan/area kerja. Tahap
identifikasi bahaya menjadi suatu kunci utama yang diperlukan dalam usaha
pengendalian risiko kerja yang efektif, karena proses identifikasi bahaya langsung
ditujukan pada faktor penyebab bahayanya.

V-35
5.5 Analisis Tahap Penilaian Risiko Bahaya Kerja di Die Casting Section
Tahap penilaian terhadap hasil identifikasi bahaya kerja merupakan rangkuman
peninjauan semua faktor yang mengakibatkan bahaya kerja pada manusia dilakukan
dengan mempertimbangkan segala risiko terburuk yang akan terjadi, seperti risiko cedera,
sakit, kerusakan, biaya-biaya dan risiko keselamatan umum yang harus ditanggung baik
oleh pekerja maupun oleh perusahaan. Standar penilaian risiko yang digunakan PT. XYZ
Plant Sunter merupakan pengembangan dari metode penilaian risiko AS/NZS 4360:2004
dimana dalam AS/NZS 4360:2004 yang hanya menilai tingkat keparahan (severity) dan
kemungkinan terjadinya risiko (likelihood) dari sebuah risiko. Sedangkan PT. XYZ Plant
Sunter tidak menambahkan jumlah pekerja yang terkena paparan (number of exposed
person) untuk dinilai dalam sebuah risiko/bahaya yang muncul. Tahap selanjutnya adalah
menghitung nilai risiko dengan menggunakan matrix risiko dari PT. XYZ Plant Sunter

Melalui tahap penilaian ini akan diperoleh fakta dan kemungkinan yang relevan
dengan aktifitas kerja yang ada, sehingga memudahkan dalam penetapan langkah
berikutnya sebagai upaya pengendalian risiko kerja. Pada tahap penilaian risiko bahaya
kerja ini, peneliti dituntut untuk dapat bersikap subjektif mungkin dalam memandang
setiap potensi bahaya yang teridentifikasi, dan juga saat melakukan analisis serta
penilaian risiko bahaya. Hal ini menyangkut keakuratan dan kredibilitas dari hasil
penilaian yang dilakukan. Sehingga nantinya dapat dipilih langkah pengendalian yang
sesuai, efektif dan tepat sasaran sesuai prioritas dari level risiko yang diperoleh.

5.5.1 Analisis Estimasi Tingkat Keparahan Akibat (Severity)

Langkah selanjutnya adalah melakukan estimasi tingkat keparahan dari potensi


bahaya yang teridentifikasi. Pada tahap ini penilaian dilakukan dengan
mempertimbangkan faktor seberapa parah dampak/akibat dari suatu kecelakaan bagi
pekerja. Tingkat keparahan dari suatu kecelakaan kerja yang terjadi dikelompokkan
menjadi lima kategori, antara lain P3K, pengobatan medical, lost time injury, cacat
permanen dan meninggal. Masing-masing kategori tersebut memiliki tingkatan skor yang
berbeda-beda, semakin parah dampak/akibat yang ditimbulkan dari suatu kecelakaan
kerja maka semakin besar skor risiko bahayanya dan sebaliknya.

V-36
Rata-rata skor yang diberikan berdasarkan tingkat keparahan dampak/akibat
untuk masing-masing potensi bahaya yang teridentifikasi di Die Casting, yakni jenis
kategori pengobatan medikal, yang berarti suatu potensi bahaya bisa menimbulkan
perawatan di rumah sakit, dari segi dampak lingkungan menimbulkan dampak jangka
pendek yang tidak telalu berpengaruh terhadap lingkungan lalu dari segi sosial tidak
menimbulkan dampak yang begitu signifikan kemudian dari segi reputasi perusahaan
tidak berdampak besar terhadap nama baik perusahaan.

5.5.2 Analisis Penentuan Tingkat Kemungkinan (Likelihood)

Langkah keempat yang harus dilakukan adalah menentukan tingkat kemungkinan


terjadinya suatu potensi bahaya di lingkungan/area kerja. Pada tahap ini penilaian
dilakukan dengan mempertimbangkan faktor seberapa besar kemungkinan suatu potensi
bahaya mampu berakibat kecelakaan kerja bagi pekerja. Tingkat kemungkinan dari suatu
potensi bahaya mampu berakibat kecelakaan kerja dikelompokkan menjadi lima kategori,
antara lain hampir pasti, kemungkinan besar, mungkin terjadi, kemungkinan kecil dan
jarak. Masing-masing kategori tersebut memiliki tingkatan skor yang berbeda-beda,
semakin dinilai mungin suatu potensi bahaya mampu berakibat kecelakaan kerja maka
semakin besar skor risiko bahayanya, begitu juga sebaliknya.

Rata-rata skor yang diberikan berdasarkan kemungkinan suatu potensi bahaya


akan menyebabkan suatu kecelakaan kerja di Die Casting adalah mungkin terjadi, yang
berarti suatu kejadian kecil kemungkinannya untuk terjadi.

5.5.3 Analisis Penentuan Tingkat Risiko (Risk Rating)

Langkah terakhir yang harus dilakukan pada tahap penilaian hasil evaluasi risiko
bahaya kerja adalah melakukan penentuan level risiko bahaya dari masing-masing
aktifitas kerja di Die Casting Section PT. XYZ Plant Sunter. Penentuan level risiko
dikelompokkan menjadi empat kriteria (level), antara lain low risk, moderate risk, dan
high risk. Masing-masing kategori tersebut memiliki tingkatan skor yang berbeda-beda,
semakin besar risiko bahayanya maka semakin kritis (perlu segera dilakukan tindakan)
suatu risiko bahaya kerja tersebut, begitu juga sebaliknya.

V-37
Skor risiko diperoleh dengan cara membaca matrix dari hasil penilaian pada tahap
sebelumnya, yang terdiri dari skor tingkat keparahan dan serta skor tingkat kemungkinan.
Dari skor risiko yang diperoleh tersebut dapat ditentukan level risiko dari suatu potensi
bahaya yang teridentifikasi. Berdasarkan level risiko tersebut dapat disimpulkan bahwa
tingkat risiko di Die Casting Section antara lain; risiko rendah, rdan risiko sedang. Dari
analisis model JSA yang akan di bahas di tabel ini tingkat risiko yang memiliki potensi
paling tinggi terjadi adalah di risiko rendah. Hal tersebut membuktikan bahwa PT. XYZ
Plant Sunter telah berupaya untuk meminimalkan potensi bahaya yang ada di Die Casting
Section dengan berbagai macam cara dan upaya. Setelah mengetahui tingat risikonya
disusun suatu prioritas penanganan risiko dari potensi bahaya yang memiliki skor risiko
terbesar sebagai prioritas utama begitu seterusnya hingga pada potensi bahaya yang
memiliki skor terendah. Penentuan level risiko dari setiap potensi bahaya yang
teridentifikasi pada masing-masing aktifitas/kegiatan kerja berguna dalam penentuan
prioritas tindakan pengendalian bahaya, sehingga langkah pengendalian bahaya yang
diambil dapat berperan secara efektif dan tepat sasaran.

V-38
Tabel 5.13 Data Kegiatan dan Potensi yang Ditimbulkan
AKTIVITAS/ PENGENDALIAN PENILAIAN RESIKO
ASPEK LK3/POTENSI N/A/E/R/N
No PERALATAN/PRASARANA DAMPAK/RESIKO
BAHAYA R/P
/PERILAKU TEKNIS APD P K R
1 Paparan ambient udara R gangguan pernafasan masker M L L
layout
khusus,
2 Bahan Ingot Basah R Ledakan apron alumunium L M L
IKK proses
melting
Kejatuhan material tidak layout
standar patah tulang/luka khusus,
3 R safety shoes M L L
memar IKK proses
melting
Kontak dengan bagian sarung tangan
4 tepi part tajam R luka gores M L L
katun
Sinar radiasi dari head masker
5 peleburan ingot R gangguan penglihatan M L L
tranparan
Proses Melting Handling secara manual lift
6 R kelainan otot M L L
charging
7 radiasi R dehidrasi factory fan M L L
percikan api dari proses
8 R gangguan penglihatan face cover M L L
melting
terhirup asap proses
9 R gangguan pernafasan exhaust fan masker M L L
melting
kebisingan area sekitar gangguan
10 R ear plug M L L
pendengaran
terkena apron
tumpahan/percikan alumunium,
11 R luka bakar level sensor L M L
carian alumunium sarung tangan
alumunium
12 penerangan tidak standar R gangguan penglihatan lampu L L L
13 Proses Tapping Percikan alumunium cair R luka bakar apron alumunium L M L
terhirup asap dan uap
14 R gangguan pernafasan masker M L L
molten
Kontak dengan bagian sarung tangan
15 R luka gores M L L
tepi part tajam katun

V-39
AKTIVITAS/ PENGENDALIAN PENILAIAN RESIKO
ASPEK LK3/POTENSI N/A/E/R/N
No PERALATAN/PRASARANA DAMPAK/RESIKO
BAHAYA R/P
/PERILAKU TEKNIS APD P K R
kebisingan dari angin gangguan
16 Proses Tapping R safety sign ear plug M L L
bertekanan pendengaran
sinar radiasi dari proses head masker
17 R gangguan penglihatan M L L
peleburan tranparan
apron
tumpahan cairan alumunium,
18 R luka bakar L L L
alumunium/molten sarung tangan
alumunium
panas radiasi proses
19 R dehidrasi factory fan M L L
anailling
bersentuhan dengan
20 R luka bakar apron alumunium L M L
material hasil proses
Proses Annealing
terhirup uap dari proses
21 R gangguan pernafasan masker M L L
pemanasan material
handling material tidak patah tulang/luka
22 R safety shoes L M L
standar memar
23 Pre heating paparan panas R dehidrasi factory fan M L L
IKK
24 percikan alumunium cair R luka bakar apron alumunium L M L
tapping
terhirup dari asap dari
25 R gangguan pernafasan masker M L L
Distribusi Molten uap molten
gangguan
26 kebisingan area sekitar R ear plug M L L
pendengaran
cahaya dari peleburan kaca masker
27 R gangguan penglihatan M L L
tapping molten transparan
percikan material kaca masker
28 R gangguan penglihatan L M L
tapping transparan
tumpahan cairan
29 R luka bakar apron alumunium M L L
alumunium/molten
terhirup asap dari
30 R gangguan pernafasan masker M L L
alumunium cari forklit

V-40
AKTIVITAS/ PENGENDALIAN PENILAIAN RESIKO
ASPEK LK3/POTENSI N/A/E/R/N
No PERALATAN/PRASARANA DAMPAK/RESIKO
BAHAYA R/P
/PERILAKU TEKNIS APD P K R
Kontak dengan bagian sarung tangan
31 Distribusi Molten R luka gores M L L
tepi part tajam katun
32 penerangan tidak standar R gangguan penglihatan lampu L L L
33 paparan ambient udara R gangguan pernafasan masker M L L
safety door
34 Percikan alumunium cair R luka bakar kacamata riken L M L
& cover die
kebisingan dari angin
35 R gangguan pernafasan sign ear plug M L L
bertekanan
kontak dengan air sarung tangan
36 R iritasi kulit M L L
coolant katun
panas radiasi dari
37 R gangguan penglihatan kacamata riken L L L
Proses Injection Dc alumunium cari
pekerjaan dilakukan
38 R kelelahan rotasi kerja M L L
secara manual
cara menjepit material
39 R kejatuhan benda kerja safety shoes L M L
tidak cukup kuat
40 penerangan tidak standar R gangguan penglihatan lampu L L L
IKK
jatuh lantai licin akibat
41 R luka memar penanganan safety shoes M L L
tetesan coolant
coolant
kebisingan dari proses gangguan
42 R ear plug M L L
triming pendengaran
terhirup debu halus
43 R gangguan pernafasan masker M L L
alumunium
Kontak dengan bagian sarung tangan
44 R luka gores M L L
tepi part tajam katun
proses trimming handling material tidak
45 R kejatuhan benda kerja L M L
standar
46 Percikan alumunium cair R luka bakar safety shoes L M L
bagian tools tajam dan safety door
47 R tersayat kacamata riken M L L
berputar & cover die
48 penerangan tidak standar R gangguan penglihatan lampu L L L

V-41
AKTIVITAS/ PENGENDALIAN PENILAIAN RESIKO
ASPEK LK3/POTENSI N/A/E/R/N
No PERALATAN/PRASARANA DAMPAK/RESIKO
BAHAYA R/P
/PERILAKU TEKNIS APD P K R
loncatan gram saat kacamata A/O
49 R luka pada mata L M L
menggerinda putih
jatuh lantai licin akibat IKK tetesan
50 R luka memar safety shoes M L L
tetesan oli oli
pengisian oli hydrolic MSDS,
sarung tangan
51 terkena oli R iritasi kulit IKK tetesan M L L
katun
oli
jatuh lantai licin akibat IKK tetesan
52 R luka memar safety shoes M L L
tetesan oli oli
pengisian die lube MSDS,
sarung tangan
53 terkena oli R iritasi kulit IKK tetesan L L L
katun
oli
IKK tetesan
54 jatuh lantai licin R luka memar safety shoes M M L
oli
luka memar, luka IKK
kontak dengan benturan
55 R robek, luka patah penggantian safety shoes L M L
penggantian dies dies
tulang dies
56 penerangan tidak standar R gangguan penglihatan lampu L L L
Kontak dengan bagian sarung tangan
57 R luka gores M L L
tepi part tajam katun
sarung tangan
58 buangan tool bekas R perubahan estetika L L L
katun
Kontak dengan bagian sarung tangan
59 R luka gores M L L
tepi part tajam katun
Penggunaan Tool Manual
gangguan
60 kebisingan benda kerja R ear plug M L L
pendengaran
61 penerangan tidak standar gangguan penglihatan lampu L L L
62 tool terlepas R kejatuhan benda kerja safety shoes M L L
penggunaan tool pneumatik kebisingan dari angin gangguan
63 R ear plug M L L
bertekanan pendengaran
kontak dengan tool tajam sarung tangan
64 R luka gores L L L
dan berputar katun

V-42
AKTIVITAS/ PENGENDALIAN PENILAIAN RESIKO
ASPEK LK3/POTENSI N/A/E/R/N
No PERALATAN/PRASARANA DAMPAK/RESIKO
BAHAYA R/P
/PERILAKU TEKNIS APD P K R
loncatan gram
65 R gangguan penglihatan lampu L M L
Penggunaan Tool Pneumatik alumunium
terhirup debu halus
66 R gangguan pernafasan masker M L L
alumunium
67 penerangan tidak standar R gangguan penglihatan lampu L L L
Kejatuhan material tidak
68 P luka memar safety shoes M M L
standar
Kontak dengan bagian sarung tangan
69 R luka gores M L L
tepi part tajam katun
gangguan
70 kebisingan area sekitar R ear plug M L L
pendengaran
71 terhirup debu material R gangguan pernafasan masker M L L
Loading Unloading penumpukan material
penjepit
72 dalam kereta terlalu R kelelahan M L L
tang
rendah
gangguan
73 kebisingan area sekitar R ear plug M L L
pendengaran
74 terhirup debu material R gangguan pernafasan masker M L L
penumpukan material
penjepit
75 dalam kereta terlalu R kelelahan M L L
tang
rendah
maintence
76 jatuh akibat tetesan oli R luka memar L L L
rutin
77 operator tidak terlatih P menabrak training L M L
instalasi kabel tidak sarung tangan
78 R tersengat arus listrik L M L
standar katun
Pengoperasian Forklit
79 mengemudi terlalu cepat P menabrak OS Forklit L M L
maintence
80 forklit tidak standar NR menabrak L L L
rutin
tumpukan part tidak safety shoes ,
81 R tertimpa M L L
stabil helm
82 Handling Material material terlepas R kejatuhan benda kerja safety shoes M L L
83 terhirup debu material R gangguan pernafasan masker M L L

V-43
AKTIVITAS/ PENGENDALIAN PENILAIAN RESIKO
ASPEK LK3/POTENSI N/A/E/R/N
No PERALATAN/PRASARANA DAMPAK/RESIKO
BAHAYA R/P
/PERILAKU TEKNIS APD P K R
Kontak dengan bagian sarung tangan
84 Handling Material R luka gores M L L
tepi part tajam katun
gangguan
85 kebisingan area sekitar R ear plug M L L
pendengaran
86 Tehirup debu alumunium R gangguan pernafasan masker M L L
kontak dengan mata sarung tangan
87 R luka sayat M L L
gergaji katun
gangguan
88 kebisingan area sekitar R ear plug M L L
pendengaran
loncatan gram
89 R gangguan penglihatan lampu L M L
Potong/Belah alumunium
IKK
90 jatuh lantai licin R luka memar penanganan safety shoes L L L
oli
91 penerangan tidak standar R gangguan penglihatan lampu L L L
handling material
92 R kejatuhan benda kerja safety shoes L M L
manual
kejatuhan benda sling patah tulang/luka
93 R safety shoes M M L
putus memar
kejatuhan safety hook patah tulang/luka
94 R safety shoes L L L
lepas memar
patah tulang/luka
95 arus pendek pad remote R safety shoes L L L
memar
Pengoperasian Crane IKK
terbentur crane tidak
96 R luka memar pengecekan L L L
stabil
crane
97 penerangan tidak standar R gangguan penglihatan lampu L L L
terjepit pemasangan patah tulang/luka sarung tangan
98 R L L L
benda tidak tepat memar katun
Sumber : Analisa Penulis 2016

V-44
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
6.1.1 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja PT. XYZ Plant Sunter telah
sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 tentang SMK3 dan UU RI
Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan tingkat
pencapaian sebesar 100% yaitu masuk dalam kategori sangat baik.
6.1.2 Pada Die Casting Section teridentifikasi faktor lingkungan kerja seperti kebisingan
yang melebihi nilai ambang batas (NAB) yang diijinkan dan sudah dikendalikan.
6.1.3 PT XYZ Plant Sunter menerapkan higiene industri pada sistem pengendalian
bahaya faktor fisika dan kimia yang sudah sesuai dengan Hierarchy of Control,
dengan mayoritas yang paling banyak dilakukan bersifat administratif dan
difokuskan pada penerima.

6.2 Saran
6.2.1 Sebaiknya untuk tingkat risiko bahaya yang ekstrim dan tinggi, pengendalian dan
pencegahan tidak hanya dilakukan dengan pengendalian administrasi dan APD
saja, namun bisa dikendalikan dengan rekayasa teknik untuk lebih meminimalisir
kecelakaan yang akan terjadi.
6.2.2 Sebaiknya lebih dilakukan pendisiplinan penggunaan APD standar secara lengkap
bagi setiap karyawan terutama saat memasuki kawasan wajib APD standar.
Sehingga diharapkan seluruh karyawan dapat menggunakannya sehingga risiko
yang akan terjadi terhadap karyawan akan semakin menurun.
6.2.3 Diperlukan penelitian lanjutan mengenai penerapan identifikasi faktor lingkungan
kerja, identifikasi bahaya, penilaian risiko, dan juga pengendalian bahaya di PT.
XYZ Plant Sunter sehingga upaya perbaikan dan pencegahan kecelakaan kerja yang
diharapkan lebih optimal.

VI-1
DAFTAR PUSTAKA

Ekananda, Bintang. 2014. Identifikasi Bahaya, Penilaian dan Pengendalian Risiko di


Unit Produksi Line 8 dan Unit WWTP (Waste Water Treatment Plant) PT. Coca-Cola
Amatil Indonesia Central Java. Semarang : Program Studi Teknik
Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Harrianto, Ridwan. 2010. Buku Ajar Kesehatan Kerja. Jakarta : EGC
OHSAS 18001 : 2007. Occupational Health and Safety Management System.
Occupational Health and Safety Assesment Series : BSI
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 13/MEN/X/2011
tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja
Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3
Ramli, Soehatman. 2009. Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan Kerja OHSAS
18001. Jakarta : Dian Rakyat
Risk Management Guidelines Companion to AS/NZS 4360 : 1999
Risk Management Guidelines Companion to AS/NZS 4360 : 2004
Salim, Emil. 2002. Green Company ”Pedoman Pengelolaan Lingkungan, Keselamatan
& Kesehatan Kerja (LK3)”. Jakarta : PT. Astra International Tbk
Suma’mur. 1996. Keselamatan dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta : PT. Gunung
Agung
Tarwaka. 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja ”Manajemen dan Implementasi K3
di Tempat Kerja”. Surakarta : Harapan Press
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
U.S. Departemen of Energy (1999). Energy and Environmental Profile of the U.S. Metal
Casting Industry.
Tigor S.B.T., 2005. Kebisingan di Tempat Kerja, Yogyakarta. penerbit ANDI

Anda mungkin juga menyukai