Anda di halaman 1dari 20

Cara Pikiran Memproses Informasi

30 Juli 2011 22:11

Proses masuknya informasi yang berasal dari luar diri kita hingga menjadi memori yang
tersimpan di bawah sadar adalah sebagai berikut. Pertama, karena begitu banyaknya bit
informasi yang diterima seseorang, ada sekitar 2.000.000 bit, maka pikiran sadar perlu
melakukan filter berdasarkan kriteria berikut:
- Informasi yang paling kuat atau berpengaruh
- Informasi yang berhubungan dengan keselamatan hidup (menurut pemikiran pikiran bawah
sadar) atau
- Aspek yang sejalan dengan preferensi sistem sensori anda (visual, auditori, atau kinestetik).
Kita cenderung lebih memperhatikan salah satu aspek daripada yang lainnya.

Stimulus adalah informasi apa saja yang masuk melalui panca indera, atau yang dihasilkan oleh
pikiran sendiri, bisa berasal dari suatu memori atau suatu skenario pemikiran.

Setelah proses saringan awal selesai dilakukan, informasi tiba di bagian otak yang dinamakan
thalamus. Thalamus bertugas mengirim "bahan mentah" informasi ke bagian otak yang bertugas
memproses informasi sesuai dengan komponennya, misalnya warna, kontras, gerakan, suara, dan
lain sebagainya.

Satu hal menarik yaitu saat bagian otak, setelah menerima dan memproses tiap komponen
informasi, mengirimnya kembali ke thalamus, ternyata informasinya telah bertambah semkitar
80% lebih banyak daripada saat pertama kali diterima. Otak ternyata telah menambahkan lebih
banyak informasi daripada saat pertama kali informasi itu diterima. Hal ini berarti 80% dari
persepsi kita terhadap suatu informasi adalah hasil rekayasa kita sendiri, bukan apa informasi itu
adanya.

Dengan kata lain diri kitalah yang sebenarnya menentukan apa yang kita persepsikan, dan
persepsi bergantung pada pembelajaran atau pengalaman sebelumnya. Saat kita melihat sebuah
kursi kita mengenalinya sebagai sebuah kursi karena kita telah melihat kursi sebelumnya. Jika
kursi yang sama kita tunjukkan pada anak kecil, yang sebelumnya sama sekali belum pernah
melihat atau tahu tentang kursi,maka anak ini besar kemungkinannya akan mencoba berbicara,
mencium, menggigit, merasa, atau mencoba duduk di atasnya.

Lalu, apakah sebenarnya informasi tambahan 80% ini dan dari mana datangnya ?

Semuanya berasal dari hasil pembelajaran kita mulai kecil hingga dewasa. Sejak kita lahir kita
telah membangun model dunia yang kita gunakan untuk menjalani hidup kita. Model ini
menentukan pemahaman kita bagaimana dunia sekitar kita berjalan dan bagaimana kita bisa
menjelajahi dunia dengan aman dan selamat. Kita menggunakan model ini sebagai peta navigasi
dalam menelusuri belantara kehidupan.
Saat dewasa kita merasa yakin telah berhasil membangun model dunia yang kita gunakan untuk
menjalani hidup yang berhasil. Namun benarkah hal ini? Banyak orang gagal atau sulit sekali
berhasil karena mereka menggunakan peta yang tidak akurat. Peta yang sudah kuno dan tidak
pernah di-update.

Kita sering salah karena menganggap peta adalah realita. Albert Korzybski dengan sangat bijak
menyatakan, dalam Science and Sanity, "The map is not the territory it represents".

Bandler dan Grinder, dalam The Structure of Magic (vol 1) menjelaskan dengan sangat bagus
bagaimana kita mengatur pengalaman atau apa yang kita alami hingga akhirnya menjadi model
dunia kita. Mereka menyebutnya dengan "universal processes of human modelling" yaitu
"deletion", "distortion", dan "generalisation".

Deletion adalah proses di mana filter pikiran kita "menghapus" informasi yang dirasa atau
dipersepsi tidak penting atau relevan sebelum informasi itu sampai di pikiran sadar atau kita
sadari. Dengan kata lain, hanya informasi yang dirasa bermanfaat atau relevan saja yang bisa
masuk ke wilayah kesadaran kita.

Contohnya, saat ini, saat anda membaca artikel ini, anda pasti tidak menyadari suara halus dari
kipas komputer anda. Atau anda tidak merasakan sensasi tubuh anda yang saat ini sedang duduk
di kursi. Nah, baru setelah saya menyatakan hal ini maka anda sekarang menyadari sensasi
(informasi) yang tadinya tidak anda sadari karena dianggap tidak penting atau relevan.

Bisa anda bayangkan bagaimana repotnya kita jika semua informasi atau sensasi itu masuk ke
pikiran sadar tanpa disaring terlebih dahulu?

Aldus Huxley menulis dalam The Doors of Perception, "Experience has to be funnelled through
the reducing valve of brain and nervous system. What comes out the end is a measly trickle of
the kind of consciousness which help us to stay alive on the surface of this particular planet."

Distortion adalah kondisi di mana kita tidak melihat sesuatu apa adanya namun lebih
berdasarkan ekspektasi tertentu sehingga apa yang kita lihat akan terpengaruh sedemikian rupa
agar sejalan atau sesuai dengan model dunia yang ada di pikiran kita.

Contohnya begini. Pernahkah anda bertemu dengan seorang kawan dan tidak menyadari bahwa
kawan anda ini baru memotong rambutnya mengikuti model terbaru? Baru setelah beberapa saat
anda mulai menyadari ada yang lain dengan kawan anda ini. Dan selang beberapa saat barulah
anda benar-benar sadar atau tahu bahwa model rambut kawan anda telah berubah.

Dalam studi mengenai persepsi dikenal istilah Difference Threshold yaitu jumlah stimulasi
minimal yang dibutuhkan sistem saraf pusat untuk mengenali perbedaan di antara dua stimuli
yang berbeda - misalnya bagaimana wajah kawan anda, saat sekarang anda bertemu dengannya,
dengan bagaimana wajah kawan anda berdasarkan memori anda sebelumnya.
Generalisation adalah dasar dari proses pembelajaran. Dengan generalisasi kita melakukan
pencarian pola tertentu saat kita berinteraksi dengan lingkungan dan orang lain. Generalisasi
bekerja dengan tiga algoritma dasar berikut:

A = B artinya hal yang satu ini sama dengan hal yang itu.
A ? B artinya hal yang satu ini tidak sama dengan hal yang itu.
C -> E artinya hal ini mengakibatkan terjadinya hal itu. Ini dikenal dengan hukum "Sebab-
Akibat"

Generalisasi sangat membantu hidup kita. Bila kita bertemu dengan pintu, maka apa yang
terpasang di pintu itu, yang bentuknya bisa macam-macam, kita tahu benda itu bisa diputar atau
ditekan ke bawah sehingga pintu akan terbuka. Kita tidak perlu lagi mempelajari apakah benda
itu dan bagaimana cara kerjanya. Ini adalah handle pintu dan kita tahu cara kerjanya.

Namun generalisasi juga akan membuat diri kita susah jika kita tidak menyadari kelemahannya.
Para psikolog melakukan eksperimen pada 100 orang. Subjek penelitian dimasukkan ke dalam
suatu ruangan dan diminta untuk keluar dari ruangan ini melalui satu pintu. Semua subjek
penelitian mencoba membuka pintu dengan cara memegang handle lalu mendorong atau
menariknya. Pintu tidak bergerak sama sekali. Mereka menyimpulkan bahwa pintu terkunci.

Nah, pertanyaan saya pada anda, "Apa yang akan anda lakukan untuk membuka pintu ini?"

Jangan meneruskanmembaca. Coba berpikir dulu. Sudah ketemu jawabannya?

Kalau masih tetap nggak nemu, ini saya kasih jawabannya. Pintu ini dirancang dengan posisi
engsel berada di sisi yang sama dengan handle pintu. Jadi, yang perlu dilakukan adalah dorong
pintu di sisi satunya maka pintu pasti akan terbuka. He..he.. gitu aja kok repot.

Terapi Anak: Gampang-Gampang Susah


30 Juli 2011 22:13

Seorang Ibu mengeluhkan tingkah laku anaknya, yang berusia 5 tahun, yang menurutnya "liar",
"sulit diatur", "seenaknya sendiri", dan mengidap ADHD alias hiperaktif. Prihatin dengan
kondisi ini saya memutuskan untuk membantunya dan memberikan jadwal bertemu.

Ibu ini, sebut saja Bu Ani, datang bersama putranya, Budi, ditemani seorang anggota
keluarganya. Singkat cerita setelah melakukan diskusi dan wawancara mendalam selama hampir
1 jam saya memutuskan bahwa saya tidak bisa membantu menerapi anak ini. Lho, kok?
Bu Ani sudah tentu terperanjat mendengar keputusan saya dan meminta saya menjelaskan alasan
di balik keputusan ini. Lha, dia datangnya jauh-jauh dari luar pulau, berharap bisa mendapat
bantuan dari seseorang yang dipandang pakar, eh.. setelah bertemu terapisnya malah angkat
tangan.

Pembaca, anda mungkin juga bingung mengapa saya sampai "menyerah"?

Ceritanya begini. Sebenarnya melakukan terapi pada anak tidaklah sulit. Secara umum, dalam
dunia hipnoterapi kita menggunakan sugesti untuk mempengaruhi dan memodifikasi program
pikiran yang ada di pikiran bawah sadar.Saat anak masih kecil maka program pikirannya masih
belum kuat dan sangat mudah untuk diotak-atik.

Sugesti ini bisa bersifat langsung maupun yang tidak langsung. Bisa juga menggunakan cerita
yang berisi pesan-pesan (baca: program/sugesti) tertentu. Dan asyiknya melakukan terapi pada
anak kita tidak perlu melakukan induksi untuk membawa anak masuk kondisi trance. Mengapa?
Saat anak masih kecil, critical factor anak masih belum terbentuk atau masih lemah sehingga
sangat mudah ditembus. Dengan kata lain anak pada umumnya telah berada dalam kondisi
trance.

Sugesti yang diberikan biasanya sangat manjur untuk membantu anak untuk berubah. Apalagi
bila orangtua mendukung dengan melakukan "terapi" (baca: perubahan pola asuh) di rumah.

Ini skenario yang ideal. Anak dibawa ke terapis. Terapis melakukan hal-hal yang perlu dilakukan
untuk membantu anak mengubah perilakunya dan perubahan ini diperkuat dengan bantuan kedua
orangtuanya di rumah. Enak tenan jika dapat klien seperti ini.

Namun ceritanya tidak selalu seindah dan semudah contoh di atas. Pada kasus di atas yang saya
tangani dan juga pada sangat banyak kasus lain yang ditangani rekan sejawat saya, kesulitan
terbesar adalah terlalu banyak faktor yang mempengaruhi kehidupan anak sehingga akhirnya
anak menjadi "bermasalah". Bingung?

Mudahnya begini. Anak tumbuh besar dalam satu keluarga. Dan apa yang ia alami, saat tumbuh
kembang, berinteraksi, dan menjalani hidupnya, mulai kecil hingga besar semuanya dipengaruhi
secara langsung, maupun tidak langsung oleh lingkungannya.

Apa yang dimaksud dengan lingkungan? Apakah rumah atau lingkungan tempat tinggalnya?

Yang dimaksud dengan lingkungan adalah lebih tepatnya siapa saja yang berinteraksi secara
intens dengan anak pada masa pertumbuhannya. Siapa yang menjadi pengasuh utamanya sejak ia
kecil? Dan apa saja yang pengasuh ini lakukan atau berikan kepada si anak? Pengalaman hidup
seperti apa yang anak alami? Semua pengalaman hidup ini mengakibatkan terciptanya perilaku
tertentu dalam diri anak.

Pola hidup di timur berbeda dengan di barat. Di barat, yang dimaksudkan dengan keluarga
adalah ayah, ibu, dan anak (bisa hanya satu anak, bisa lebih) yang tinggal di satu rumah.
Sedangkan di timur, yang dimaksud dengan keluarga adalah ayah, ibu, anak (bisa hanya satu
anak, bisa lebih) , dan biasanya masih ada kakek, nenek, paman, tante, suster, pembantu yang
tinggal di rumah yang sama, dan juga termasuk "pengasuh" TV.

Jika di barat, saat terapis menangani kasus anak yang "bermasalah" maka yang dilakukan terapis
adalah menerapi si anak dan melakukan edukasi pada kedua orangtua untuk bisa membantu anak
berubah. Orangtua melakukan peran mereka di rumah dan menjadi partner terapis. Ini yang kita
lihat di acara televisi Nanny 911. Hanya dalam waktu yang sangat singkat anak dan keluarga itu
mengalami transformasi yang sungguh luar biasa.

Di Indonesia, kita, terapis, selain perlu menerapi anak, juga perlu memberikan edukasi pada
kedua orangtuanya. Ada orangtua yang dengan sadar mengakui kesalahan mereka dalam
mendidik anak sehingga mengakibatkan anak mereka menjadi bermasalah. Mereka menyadari
sepenuhnya bahwa mereka bertanggung jawab atas apa yang anak mereka alami dan bersedia
belajar dan berubah demi kebaikan dan kemajuan anak. Jika bertemu dengan orangtua seperti ini
maka terapi menjadi sangat mudah dan efektif.

Namun ada juga kedua orangtua yang sama sekali tidak bersedia bekerjasama. Maunya mereka
anak ini dibawa ke terapis dan begitu keluar dari ruang terapi anak sudah "beres" luar dalam.
Mereka berasumsi bahwa yang bermasalah adalah si anak, bukan mereka. Jadi yang perlu
dibereskan adalah anak. Padahal kita tahu bahwa anak adalah produk dari sistem keluarga. Lha,
kalau produknya "cacat" berarti yang perlu dibenahi sebenarnya adalah sistem yang
menghasilkan produk itu, bukan produknya.

Saya biasa menyebut orangtua seperti ini sebagai orangtua tipe "laundry". Anak diibaratkan baju
yang kotor dan dibawa ke binatu. Begitu keluar dari binatu maka baju sudah bersih, rapi, wangi,
dan licin. Kalau seperti ini kondisinya

Ada lagi yang hanya salah satu orangtua saja yang mau berubah dan mendukung proses terapi.
Ini juga problem yang sering kita hadapi saat memberikan terapi pada anak atau keluarga.

Kesulitan lainnya, walaupun orangtua telah bersedia berubah demi anak mereka, seringkali
faktor X seperti pengaruh dari orang tua lain yang tinggal bersama anak itu, misalnya kakek,
nenek, paman, kakak, tante, suster, atau pembantu, plus televisi, tidak mendukung proses
perubahan yang sedang diupayakan terjadi dalam diri anak.

Untuk lebih memudahkan anda memahami apa yang saya ceritakan saya akan memberikan
contoh beberapa skenario yang biasanya terjadi. Skenario ini dengan asumsi terapisnya
kompeten melakukan terapi.

Anda bisa membayangkan anak seperti sebuah komputer yang siap untuk diprogram. Nah, siapa
saja yang akan menjadi programmer yang memasukkan program yang mempengaruhi hidup
anak?

Skenario pertama: Anak bermasalah, kedua orangtua mendukung proses terapi, dan di rumah
tidak ada faktor lain yang mempengaruhi proses terapi yang diberikan. Kalau ini yang terjadi
maka terapi akan berjalan mulus dan mudah.
Skenario kedua: Anak bermasalah, hanya salah satu orangtua saja, misalnya ibu atau ayah, yang
mendukung proses terapi, dan di rumah tidak ada faktor lain yang mempengaruhi proses terapi
yang diberikan. Kalau ini yang terjadi maka terapi akan mengalami hambatan.

Skenario ketiga: Anak bermasalah, kedua orangtua sama sekali tidak bersedia mendukung proses
terapi, dan di rumah tidak ada faktor lain yang mempengaruhi proses terapi yang diberikan.
Kalau ini yang terjadi maka terapi tidak mungkin bisa dilakukan.

Skenario keempat: Anak bermasalah, kedua orangtua mendukung proses terapi, namun di rumah
ada faktor lain yang mempengaruhi proses terapi yang diberikan. Misalnya ada orang tua lain,
seperti kakek, nenek, paman, tante, kakak, suster, dan atau televisi yang memberikan pengaruh
yang tidak sejalan dengan proses terapi yang dilakukan. Kalau ini yang terjadi maka terapi akan
sangat terhambat, jika tidak mau dikatakan tidak bisa dilakukan. Apapun yang dilakukan terapis
bersama kedua orangtua anak akan mendapat hambatan. Ini sama seperti melakukan lomba Tag
Team di mana 3 orang, terapis dan kedua orangtua anak, beradu kekuatan melawan tim lain yang
terdiri dari kakek, nenek, paman, tante, kakak, suster, atau televisi.

Skenario kelima: Sama seperti skenario keempat namun yang mendukung proses terapi hanya
salah satu orangtua. Dalam kondisi ini terapi tidak akan efektif.

Skenario keenam: Semua anggota keluarga di rumah sama sekali tidak mendukung proses terapi.
Jika ini yang terjadi maka terapi sama sekali tidak bisa dilakukan. Karena dalam skenario ini
yang terjadi adalah terapis "melawan" tim lain yang jauh lebih kuat.

Anda jelas sekarang?

Alasan saya "menyerah" menangani Budi karena kasusnya masuk kategori kelima. Selain si ayah
sama sekali tidak mau tahu mengenai kondisi anak, di rumah juga ada kakek dan nenek si anak,
yang nota bene adalah mertua Bu Ani, yang pola asuh dan pendidikannya berbeda dengan yang
diterapkan oleh Bu Ani. Dalam hal ini selain terjadi konfllik pola asuh juga inkonsistensi dan
penanaman belief dan nilai-nilai hidup.

Oh ya, yang saya ceritakan di atas adalah skenario yang ada pada anak dan keluarganya.
Bagaimana dengan si terapis?

Ada beberapa faktor yang juga mempengaruhi hasil dan proses terapi. Pertama, terapis harus
memiliki kompetensi yang baik. Kedua, pengalaman nyata dalam kehidupan berkeluarga. Ini
sangat penting untuk postur dan meyakinkan kedua orangtua anak bahwa si terapis benar-benar
tahu apa yang ia lakukan.

Jika, misalnya, si terapis masih sangat muda usianya, apalagi belum menikah, dan dalam proses
terapi perlu melakukan edukasi pada orangtua anak mengenai cara mendidik anak yang baik,
maka seringkali saran dari terapis ini tidak dijalankan atau dilakukan oleh orangtua. Padahal
saran yang diberikan sudah benar dan sangat bagus.

Mengapa?
Secara pikiran sadar kedua orangtua bisa menerima saran dari terapis. Namun secara pikiran
bawah sadar mereka tidak yakin pada si terapis karena terapisnya selain usianya masih sangat
muda juga belum punya anak.

Pembaca, anda jelas sekarang? Melakukan terapi pada anak memang gampang-gampang susah.
Jika boleh memilih, saya lebih suka melakukan terapi pada orang dewasa karena, dari
pengalaman saya, lebih mudah. Lebih mudahnya bukan karena kasusnya ringan namun lebih
mudah karena faktor X yang mempengaruhi klien tidaklah sebanyak yang mempengaruhi anak.

Saya akhirnya mengajarkan beberapa hal penting kepada Bu Ani untuk dilakukan di rumah
untuk membantu Budi. Namun jujur saya tidak bisa berharap banyak karena yang mau
membantu Budi hanyalah Ibunya. Sedangkan anggota keluarga yang lain tidak bisa diajak
kerjasama.

Mengenal Suara Hati Yang Sesungguhnya


30 Juli 2011 22:22

Di salah satu seminar saya mendapat pertanyaan yang membuat saya merenung cukup lama,
“Pak, apa sih sebenarnya suara hati itu? Apakah suara hati selalu baik untuk kita? Apa suara hati
harus selalu kita ikuti? Apa parameter yang digunakan sehingga kita tahu bahwa yang kita
“dengar” adalah benar-benar suara hati nurani kita dan bukan “suara” yang lain?”

Karena keterbatasan waktu saya hanya bisa memberikan jawaban singkat. Namun pertanyaan ini
terus bermain di benak saya seolah-olah berkata, “Hei, jawaban yang tadi kamu berikan ke
peserta itu belum tuntas. Ayo dong… mikir yang lebih keras. Masa jawabannya hanya seperti
itu.”

Nah, malam hari sebelum tidur saya mulai berpikir dan berpikir. Hasil pemikiran saya cross-
check dengan beberapa literatur yang pernah saya baca sebelumnya. Setelah itu saya bandingkan
dengan berbagai pengalaman hidup yang telah saya alami. Nah, dalam kesempatan ini ijinkan
saya untuk bebagi pengalaman dan pemahaman saya yang mengkristal dalam bentuk jawaban
atas pertanyaan di atas.

Di buku Hypnotherapy : The Art of Subconscious Restructuring saya menjelaskan mengenai


salah satu teknik terapi yang dikenal dengan nama Ego State Therapy atau ada juga yang
menyebutnya sebagai Parts Therapy.
Inti dari teknik ini adalah kita berkomunikasi dengan “Bagian” (Ego State atau Parts) dari diri
kita yang selama ini menghambat kemajuan kita. Teknik ini sangat efektif untuk menyelesaikan
konflik diri (inner conflict).

Bagi terapis yang telah menjalani pelatihan intensif dan mengerti betul teorinya maka akan
sangat mudah melakukan teknik ini. Namun bagaimana dengan orang yang tidak mendapat
pelatihan ini?

Parts / Ego State

Sebelum saya meneruskan uraian ijinkan saya untuk sedikit membahas mengenai Parts atau Ego
State. Ada juga yang menyebutnya sebagai Sub Personality. Untuk mudahnya saya akan
menggunakan istilah “Bagian”.

Di dalam diri kita ada banyak “Bagian”. Setiap bagian ini menyerupai “seseorang” dengan
kepribadian, karakter, memori, rule, belief, value, dan tujuan masing-masing. Saat mereka
bekerja secara harmonis, saat hubungan sesama “Bagian” ini baik maka hidup kita akan sangat
lancar. Namun saat ada di antara mereka yang konflik, dan biasanya ini bisa melibatkan lebih
dari 2 “Bagian”, maka kita mengalami konflik diri.

Cara “Bagian” ini berkomunikasi dengan kita biasanya dengan menggunakan perasaan dan self
talk atau inner dialogue/voice. Apakah hanya dengan dua cara ini saja? Oh tidak. Masih ada cara
lain yang jarang atau tidak kita sadari, walaupun sebenarnya kita telah mengalaminya. Nanti di
bagian akhir artikel ini akan saya membahas secara lebih mendalam. Untuk saat ini kita fokus
pada self talk dan perasaan.

Saat paling mudah untuk mengamati “Bagian” ini saling berkomunikasi adalah saat kita baru
bangun tidur. Biasanya ada 2 “Bagian” yang saling berbicara. Satu “Bagian” mau kita segera
bangun. Dan satu “Bagian” lagi ingin kita tetap berbaring dan tidur lebih lama lagi. Masing-
masing “Bagian” memberikan argumentasi masing-masing. Yang umumnya terjadi seperti ini:

Bagian 1 : Hei.. bangun. Sudah siang nih. Sudah waktunya masuk kerja.
Bagian 2 : Nggak usah bangun dulu. Santai aja kenapa sih. Kan tadi malam dia tidurnya malam
sekali. Jadi dia butuh waktu sedikit lagi untuk istirahat.
Bagian 1: Lho, kalau nggak bangun sekarang nanti terlambat masuk kantor. Bos bisa marah
besar. Kan dia ada janji sama pelanggannya.
Bagian 2 : Ala… lima menit saja kenapa sih. Nggak bisa lihat orang senang ya?

Nah pembaca anda pernah kan mengalami self talk seperti ini? Saat 2 “Bagian” ini saling beradu
argumentasi kita hanya menjadi pengamat. Sampai satu saat kita memutuskan untuk mengikuti
salah satu “saran” yang diberikan. Kita bangun… atau terus tidur. Masing-masing “Bagian”
punya “kepentingan” sendiri yang mereka pikir baik untuk kita. Mana yang benar-benar baik? Ini
membutuhkan kejelian kita untuk menganalisa.

Berguru Pada Hingar Bingar Keheningan


Pembaca, mengapa saat mau bangun tidur kita mudah sekali mengamati self talk kita? Mengapa
saat baru bangun tidur kita dapat dengan sangat mudah, bahkan tanpa perlu upaya, bisa
mengikuti dialog internal yang terjadi di dalam diri kita? Mengapa kalau sudah bangun dan
mulai aktif menjalani hari kita malah sulit sekali mendengar suara itu?

Jawabannya sebenarnya sangat mudah. Saat kita baru bangun tidur pikiran kita masih tenang.
Saat itu kita masih “hening”. Belum banyak hal, buah pikir, masalah, atau thought yang kita
pikirkan. Dengan demikian pikiran kita masih tenang dan hening. Setenang air di danau saat pagi
hari. Kalau sudah siang, saat air (baca: pikiran) sudah bergejolak dan banyak riak maka kita akan
sangat sulit untuk bisa melihat ke dalam atau dasar danau.

Nah, justru saat pikiran berada dalam kondisi tenang atau hening kita justru akan “mendengar”
hingar bingar yang selama ini tidak kita dengar. Justu saat pikiran hening kita bisa belajar dengan
melakukan pengamatan terhadap dialog internal yang terjadi, tanpa perlu melibatkan diri di
dalam dialog itu. Kita hanya akan melibatkan diri bila dirasa perlu dan untuk tujuan tertentu.

Membedakan Suara Hati Nurani dan Suara Ego Yang Sakit

Sebelum menulis bagian ini saya teringat satu klien yang pernah saya tangani. Saat itu saya
berdialog dengan 4 (empat) “Bagian” dari diri klien. Klien ini mengalami kecemasan yang
sangat tinggi dan sudah delapan tahun lebih berobat ke luar negeri.

Setiap satu setengah bulan sekali ia harus menemui dokter di rumah sakit, di luar negeri,
mendapat injeksi obat tertentu dan sekaligus membeli tambahan obat yang harus ia minum
secara rutin. Begitu tingginya kecemasannya sampai si klien, selama delapan tahun terakhir,
setiap hari mendengar berbagai suara.

Suara ini memberikan perintah yang aneh-aneh, bahkan yang merugikan dan membahayakan
hidup klien. Ada suara yang memberikan perintah yang seakan-akan demi kebaikan dan
kebahagian klien namun bila dianalisa secara hati-hati, membandingkannya dengan sifat suara
Hati Nurani yang saya jelaskan di bawah, ternyata sangat bertolak belakang.

Dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas mengenai klien ini. Yang ingin saya
sampaikan adalah bagaimana kita, sebagai orang biasa, bisa mengenali dan membedakan suara
yang sungguh-sungguh berasal dari Hati Nurani dan suara yang berasal dari “Bagian” atau Ego
yang sakit.

Saya percaya bahwa Hati Nurani setiap manusia bersifat bersih dan tulus. Hati Nurani ini adalah
selalu baik adanya. Ada rekan saya yang mengatakan bahwa Hati Nurani mewakili sifat-sifat
Illahi di dalam diri manusia. Dan masih menurut kawan saya ini, saat seseorang berdoa kepada
Tuhan maka jawaban dari Tuhan datang melalui suara Hati Nurani.

Nah, berangkat dari pemahaman ini maka saya menyimpulkan bahwa suara Hati Nurani pasti
mempunyai sifat-sifat berikut:
•Berdasarkan cinta kasih yang tulus tanpa pamrih
•Selalu ingin yang terbaik untuk diri kita
•Berlandaskan nilai-nilai Kebenaran Universal
•Jujur, tulus, dan apa adanya, walau kadang terasa menyakitkan perasaan kita.
•Menghargai diri kita dan juga orang lain
•Penuh kelembutan dan ketenangan namun sangat kuat
•Penuh pengertian dan toleransi
•Memberikan perspektif atau pemahaman baru terhadap suatu kejadian atau peristiwa sehingga
meningkatkan level kesadaran kita.

Memahami Komunikasi Suara Hati Nurani

Banyak orang yang telah mengalami, tidak hanya mendengar, suara hati namun mereka tidak
menyadarinya. Mengapa mereka tidak menyadarinya? Karena mereka tidak mengerti cara Hati
Nurani berkomunikasi.

Nah, bagaimana sih bentuk komunikasi yang biasa digunakan oleh Hati Nurani?

Ada beberapa cara. Pertama, seperti yang telah saya jelaskan di awal artikel ini yaitu dengan
menggunakan self talk atau inner dialogue. Saat pikiran hening kita bisa mendengar suara Hati
Nurani dengan jelas. Kita bahkan bisa berdialog dengan Hati Nurani.

Kedua, melalui perasaan atau yang sering disebut sebagai gut feeling. Seringkali saat akan
melakukan sesuatu ada perasaan tertentu yang memberikan sinyal apakah kita bisa terus atau
harus berhenti. Nah, perasaan atau gut feeling ini sebenarnya juga bentuk komunikasi dari Hati
Nurani kepada kita.

Jika anda cukup tanggap, seringkali perasaan ini memberikan sinyal yang cukup jelas. Saat anda
mengabaikan perasaan ini, misalnya saat anda ingin melakukan sesuatu tiba-tiba muncul
perasaan yang meminta anda untuk tidak melakukannya, dan anda tetap melakukan yang anda
inginkan ternyata hasilnya justru sangat merugikan diri anda.

Nah, saat itu anda berkata, “Coba tadi saya mengikuti suara hati saya. Pasti nggak akan
mengalami kerugian seperti ini.”

Ada banyak contoh kasus mengenai gut feeling. Seorang klien pernah bercerita mengenai hal ini
kepada saya. Saat hendak memulai satu bisnis dengan kawan dekatnya ia mendapat gut feeling
yang mengatakan bahwa ia tidak boleh melakukan kerja sama ini. Gut feeling-nya mendapat
dukungan dari gut feeling istrinya yang juga kurang setuju dengan rencananya. Tapi tetap ia
abaikan.

Apa yang terjadi?

Bisnis yang semula berjalan baik akhirnya harus dihentikan karena mereka berbeda visi dan misi.
Pada awalnya klien saya merasa ia dan kawannya sudah benar-benar sehati, satu visi, satu misi,
dan satu nilai. Namun ternyata setelah bisnis semakin berkembang tampak jelas perbedaannya.
Yang satu tetap fokus pada tujuan semula, yang satu lagi hanya fokus pada uang dan uang.
Sehingga keputusan yang dibuat seringkali tidak sesuai dengan tujuan semula.
Ketiga, melalui ide yang bersifat menginspirasi. Saya yakin anda pasti pernah mengalami saat
berdoa meminta petunjuk dari Tuhan, eh.. tanpa disangka-sangka muncul satu ide kreatif yang
menginspirasi anda melakukan sesuatu. Ternyata saat anda melaksanakan ide ini masalah anda
selesai. Jadi, ide ini adalah jawaban yang anda butuhkan.

Ide ini bisa muncul tiba-tiba, bisa juga muncul setelah dipicu oleh faktor lain. Faktor lain ini bisa
berupa informasi dari buku yang sedang anda baca, bisa dari televisi, bisa saat mendengar kisah
orang lain, bisa dari mana saja. Tapi intinya, kita mendapat jawaban dalam bentuk ide.

Keempat, pergeseran persepsi. Yang dimaksud dengan pergeseran persepsi ini begini. Misalnya
ada seseorang, katakanlah salah satu saudara kita, yang telah kita bantu dengan tulus, saat ia
mengalami kesulitan hidup, kita beri kepercayaan dan kesempatan untuk berkembang, ternyata
setelah ia agak “kuat”, ia menghianati kepercayaan kita.

Bagaimana perasaan kita? Ya, sudah tentu marah dan kecewa. Namun seiring berjalannya waktu
perasaan kita berubah. Dari yang tadinya marah, kecewa, sakit hati, jengkel, dendam, dan
berbagai emosi negatif lainnya, kita kini malah merasa kasihan dan prihatin dengan saudara kita
ini.

Mengapa berubah dari sakit hati menjadi kasihan dan prihatin?

Karena pemahaman kita semakin berkembang, semakin bijaksana, mendapat insight yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan level kesadaran.

Kita kasihan dan prihatin bahwa saudara kita ini akan mengalami banyak kesulitan hidup bila ia
tidak menyadari bahwa apa yang ia lakukan itu adalah hal yang salah dan justru akan sangat
merugikan dirinya di masa mendatang.

Kita kasihan dan prihatin karena bisa saja sebenarnya saudara kita ini tidak menyadari apa yang
ia lakukan. Bisa jadi ini adalah salah satu bentuk sabotase diri yang sangat halus yang tidak
disadari oleh saudara kita. Kemarahan dan kekecewaan sekarang telah berganti dengan perasaan
prihatin, kasihan, dan bahkan perasaan sayang ingin membantu saudara kita ini.

Kelima, melalui kebetulan yang tidak kebetulan. Seringkali kita mengalami suatu kejadian, yang
kita rasa suatu kebetulan, yang sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, bukan kebetulan, maka
disebutlah dengan kebetulan yang tidak kebetulan, yang kebetulan membuat anda bingung. Nah,
kebetulan ini sebenarnya bentuk komunikasi Hati Nurani dengan kita. Namun seringkali kita
mengabaikannya.

Ada satu contoh nih. Seorang pria ingin membayar lunas hutangnya sebelum ia pindah kerja ke
kota lain. Bosnya tahu rencana ia pindah kota. Akibatnya malah bosnya mempercepat proses
“berhenti” kerja sehingga pria ini tidak punya penghasilan untuk membayar utangnya.

Pria ini marah sekali pada bosnya. Ia merasa bosnya telah menghancurkan hidupnya. Pria ini
juga berdoa agar bisa mendapat bantuan keluar dari kesulitannya ini. Saat ia membuka kitab
sucinya, eh.. tiba-tiba matanya terpaku pada ayat yang berbunyi, “Dan jika kamu berdiri untuk
berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang
………………….”.

Pria ini memutuskan untuk memaafkan mantan bosnya dengan tulus. Ia malah mendoakan agar
usaha mantan bosnya ini bisa semakin maju dan berkembang.

Apa yang terjadi kemudian?

Di hari yang sama ada seorang famili yang mampir ke rumahnya dan menyerahkan amplop berisi
uang. Jumlahnya persis sama seperti yang ia butuhkan untuk melunasi utangnya.

Saat ditanya mengapa familinya kok menyerahkan uang kepadanya, ia mendapat jawaban yang
justru lebih aneh lagi, “ Minggu lalu ada dorongan di hati saya untuk melihat kembali
perhitungan keuntungan yang kita dapatkan saat mengerjakan proyek beberapa waktu lalu. Nah,
tiba-tiba saya lihat ada kesalahan perhitungan. Setelah saya hitung ulang maka kamu seharusnya
dapat lebih. Saya sudah mau ke rumahmu. Tapi selalu saja repot nggak bisa. Baru hari ini saya
ada waktu luang. Inipun setelah ada satu janji yang dibatalkan secara mendadak oleh si
customer.”

Pria ini langsung teringat bahwa benar ia mulai berdoa mohon bantuan sejak minggu lalu.
Rupanya kemarahannya ini yang membuat “bantuan” yang ia butuhkan tidak kunjung tiba. Dan
setelah ia memaafkan mantan bosnya, eh.. tiba-tiba bantuan datang.

Apakah ini kebetulan? Tentu tidak.

Keenam, melalui mimpi. Seringkali saat kita sangat membutuhkan jawaban untuk mengatasi
masalah yang sedang kita hadapi, setelah kita cari ke mana-mana tetap nggak dapat jawabannya,
eh.. saat tidur kita mendapat mimpi yang merupakan jawaban atas pertanyaan kita. Anda pernah
mengalaminya?

Nah, pembaca, setelah membaca sejauh ini, saya berharap anda sekarang bisa lebih jelas
mengenai suara Hati Nurani. Apapun “jawaban” yang anda dapatkan harus anda cross check
dengan sifat-sifat Hati Nurani yang saya jelaskan di atas.

Pada kasus klien saya, ia berkata bahwa suara hatinya mengatakan bahwa sebaiknya ia mati.
Suara hatinya mengatakan bahwa ia tidak akan bisa bahagia hidup di dunia ini.

Nah, ini benar-benar suara Hati Nurani atau suara Ego yang sakit?
Apakah Memaafkan Sama Dengan
Melupakan?
30 Juli 2011 22:24

Di milis baru-baru ini ramai dibahas mengenai memaafkan dan melupakan. Ada yang mengalami
suatu pengalaman yang menyakitkan dan merasa sulit untuk memaafkan. Ada yang merasa
sudah memaafkan namun kok nggak bisa melupakan. Apakah memaafkan sama dengan
melupakan?

Saya menjelaskan mengenai efek dan khasiat memaafkan di artikel Forgiveness is The True
Healer. Ini adalah artikel yang saya posting di web saya beberapa waktu lalu.

Bagaimana sih kok kita ini sampai bisa punya masalah, khususnya yang berhubungan dengan
emosi negatif?

Sebenarnya semua emosi itu positif. Namun untuk memudahkan penjelasan maka saya
“mengkategorikan” emosi seperti marah, kecewa, dendam, benci, terluka, sakit hati, perasaan
bersalah, takut, cemas, khawatir, dan kawan-kawannya sebagai emosi negatif. Emosi negatif
adalah emosi yang bila kita rasakan atau alami akan sangat mengganggu kita.

Pertanyaannya sekarang adalah, “Dari manakah sebenarnya emosi ini?”

Emosi muncul sebagai hasil dari suatu pemaknaan. Setiap kejadian adalah netral. Tidak ada
kejadian yang baik atau jelek. Semua bergantung pada diri kita sendiri. Kita memberikan makna
pada kejadian itu berdasarkan persepsi kita. Persepsi dipengaruhi oleh belief system kita. Jadi,
ujung-ujungnya sebenarnya bicara soal belief system atau sistem kepercayaan.

Nah, begitu kita memberikan makna pada suatu kejadian atau peristiwa maka emosi yang
muncul bisa berupa emosi positif, emosi negatif, atau netral.

Lalu, bagaimana kita bisa melupakan dan memaafkan, atau memaafkan dan melupakan?

Pertama, yang perlu diluruskan adalah kita bisa memaafkan namun kita tidak akan bisa
melupakan. Semua yang pernah kita alami tersimpan di memori di pikiran bawah sadar kita.
Yang kita lakukan, khususnya hipnoterapis, adalah menetralisir emosi negatif dengan teknik
terapi tertentu. Selama emosi negatif ini tidak berhasil dinetralisir maka kita akan selalu
diganggu oleh memori tersebut. Memori ini kadang muncul, kadang hilang. Nanti muncul lagi,
lalu hilang lagi. Demikian seterusnya.

Sebelum saya teruskan, ada yang perlu saya jelaskan mengenai memori. Memori adalah data
yang disimpan di pikiran bawah sadar kita. Data ini berisi beberapa hal yang berhubungan
dengan suatu kejadian atau peristiwa, antara lain:
1.Waktu terjadinya
2.Lokasi kejadian
3.Siapa saja yang terlibat
4.Gambar/image
5.Suara
6.Bau
7.Rasa
8.Sensasi perabaan
9.EMOSI.

Yang membuat masalah sebenarnya bukan komponen 1 sampai 8, tapi yang no 9, emosi.
Komponen emosi muncul sebagai hasil dari pemaknaan.

Nah, untuk memaafkan maka kita harus bisa menetralisir emosi ini. Selama emosi tidak berhasil
dinetralisir maka kekuatan penolakan, untuk tidak memaafkan, akan sangat kuat. Re-edukasi
pikiran bawah sadar, misalnya memberikan pemaknaan baru terhadap kejadian yang tadinya
dirasa menyakitkan, baru bisa berjalan efektif, mudah, dan permanen saat emosi ini telah kita
bereskan. Untuk lebih jelas mengenai hal ini bisa membaca Teori Tungku Mental.

Setelah emosi dibereskan maka kita tetap bisa mengingat semua kejadian atau pengalaman
namun sudah tidak lagi terpengaruh. Kita mengingat pengalaman itu hanya sebagai suatu
kenangan dengan intensitas emosi yang netral.

Saat emosi berhasil dibereskan, saat inilah kita dinyatakan sembuh. Jadi yang menjadi sumber
masalah selama ini adalah emosi (negatif).

Apakah membereskan emosi harus dengan menggunakan hipnoterapi?

Wah ya nggak lah. Ada banyak teknik untuk bisa membereskan emosi ini. Di Quantum Hypnosis
Indonesia saya mengajarkan banyak teknik terapi dan variasinya. Cara yang umumnya
digunakan orang adalah dengan berusaha mengikis emosi ini sedikit demi sedikit seiring dengan
perjalanan waktu. Mereka berkata, “Time will heal the wound” atau “Waktu yang akan
menyembuhkan luka ini”. Ada lagi yang mencoba dengan memberikan pemaknaan ulang, secara
sadar. Ada yang menggunakan pendekatan spiritual, dengan doa. Ada lagi yang curhat, atau
menggunakan teknik konseling. Dan masih banyak lagi deh.

Nah, dari pengalaman saya, yang paling mudah, sederhana, tapi sangat cepat adalah dengan
menggunakan EFT. Ini yang paling mudah. Apalagi kalau menggunakan Hypno-EFT. Dijamin
lebih cespleng. Bisa juga pake NLP. Dan kalo semua nggak bisa, terpaksa pake jurus
pamungkas, memaafkan dengan bantuan hipnoterapi.

Apa beda masing-masing teknik terapi ini?

Jika menggunakan NLP maka kita tidak akan mengotak-atik konten. Kita tidak perlu tahu apa
yang terjadi. Pertanyaan yang diajukan tidak pernah, “Mengapa ini terjadi?” tapi “Bagaimana
anda membuat emosi ini muncul?” Di sini yang dicari adalah strategi yang mengakibatkan suatu
emosi muncul. Terapi dilakukan dengan mengubah strategi sehingga tidak bisa memunculkan
emosi itu lagi.

Dengan menggunakan Hypno-EFT maka kita memotivasi klien untuk berubah dan melepaskan
emosi negatifnya. Ini adalah pendekatan waking hypnosis. Selanjutnya kita mengotak-atik jalur
meridien tubuh, dengan melakukan ketukan pada titik-titik di tubuh dan dengan urutan tertentu.
Hasilnya? Sangat efektif. Saya bahkan sering menerapi klien jarak jauh dengan menggunakan
Hypno-EFT. Yang sering saya demonstrasikan adalah bagaimana dengan cepat menyembuhkan
phobia ular. Biasanya hanya butuh waktu sekitar 2 menit.

Kalau dengan hipnoterapi caranya berbeda lagi. Kita akan menggunakan teknik tertentu untuk
menemukan akar masalah dan melepaskan emosi negatif yang selama ini mengganggu hidup
klien. Selanjutnya pikiran klien anda direedukasi, memberikan pemaknaan baru, dan melakukan
forgiveness. 

Emosi yang saya maksudkan di sini tentunya emosi negatif yang menggangu hidup kita. Namun,
apakah emosi positif juga bisa dinetralisir atau dihilangkan? Bisa.

Ada teknik yang bisa dengan sangat cepat menetralisir baik emosi positif maupun negatif.
Bahkan perasaan cinta juga bisa kita hilangkan dengan sangat cepat. Semua bergantung
kebutuhan, situasi, dan kondisi.

Meditasi:Timur Bertemu Barat


1 Agustus 2011 20:30

Meditasi adalah jalan pintas untuk mencapai pencerahan. Ini kata para guru spiritual. Meditasi,
dalam banyak tradisi, memang sangat dianjurkan. Terutama dalam Buddhisme.

Ada dua jenis meditasi, pertama Samatha Bhavana atau Meditasi Ketenangan, dan yang kedua
adalah Vipassana Bhavana atau Meditasi Pandangan Terang.

Ada pandangan yang berbeda di kalangan pengajar meditasi. Ada yang mengatakan bahwa
seseorang harus melakukan dan mahir meditasi Samatha Bhavana terlebih dahulu. Baru setelah
itu mereka masuk ke meditasi Vipassana Bhavana. Ada juga yang mengatakan bahwa untuk
mencapai pencerahan tidak perlu dengan melakukan meditasi Samatha Bhavana terlebih dahulu
tapi langsung meditasi Vipassana Bhavana.
Meditasi Samatha Bhavana adalah pemusatan konsentrasi atau perhatian pada objek tertentu,
misalnya napas. Ada empat puluh objek yang bisa digunakan untuk menditasi. Napas hanya
salah satunya.

Tujuan dari meditasi ini adalah untuk melatih pikiran sehingga terkendali dan akhirnya diam dan
hening.Saat kondisi pikiran benar-benar terpusat sangat kuat, hening, diam, dan tercerap
sepenuhnya pada objek meditasi maka pada saat itu meditator mencapai kondisi jhana. 

Sedangkan meditasi Vipassana Bhavana adalah meditasi perhatian penuh, introspeksi, observasi
realitas, kewaspadaan objektif, dan belajar dari pengalaman setiap momen. Inti dari meditasi ini
adalah mengamati segala proses mental atau fisik yang paling dominan pada saat sekarang
Dengan kata lain, menyadari, mencatat, ingat ketika lenyap.

Saya tidak dalam posisi untuk mengatakan mana atau siapa yang benar. Apakah perlu Samatha
dulu baru Vipassana ataukah tidak perlu Samatha tapi langsung Vipassana? Yang ingin saya
sampaikan dalam artikel ini adalah apakah sebenarnya yang terjadi dalam pikiran seseorang yang
melakukan meditasi, baik itu Samatha maupun Vipassana, ditinjau dari riset di barat, dengan
mengukur pola gelombang otak.

Saat belajar kepada Anna Wise, satu hal yang sangat mencerahkan saya adalah saat Beliau
berkata, “Meditation is a state of consciousness, a spesific brain-wave pattern, not a technique”.
Anna juga berkata bahwa, “There is state of consciousness and content of consciousness”.

Wow… ini sungguh suatu pencerahan luar biasa. Anna Wise sampai pada kesimpulan ini setelah
mengukur, dengan menggunakan Mind Mirror, begitu banyak pola gelombang otak orang,
termasuk para master dan guru meditasi Zen.

Dari pengukuran Anna Wise didapat satu data yang sangat menarik yaitu semua master dan guru
meditasi itu punya gelombang otak yang sama. Pola ini disebut dengan pola Awakened Mind
(AM) yang terdiri dari beta, alfa, theta, dan delta dengan komposisi yang pas. Beta di sini adalah
low beta dan hanya sedikit saja, karena hanya digunakan untuk menyadari, mengetahui,
mencatat.

Alfa berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan pikiran sadar dan bawah sadar. Theta
adalah pikiran bawah sadar dan delta adalah pikiran nirsadar.

Kita tetap membutuhkan beta, walaupun hanya sedikit saja, untuk bisa mengetahui atau
menyadari apa yang sedang kita alami. Bila tidak ada beta maka kita sama sekali tidak akan tahu
atau ingat yang terjadi atau alami saat meditasi.

Lalu, apa hubungannya dengan meditasi Samatha dan Vipassana?

Meditasi Samatha, bila dilihat dari pola gelombang otak, bertujuan untuk meng-OFF-kan
gelombang beta. Beta adalah gelombang pikiran sadar dan berkisar pada kisaran frekuensi 12-25
Hz. Gelombang ini aktif bila kita berpikir, memberikan penilaian (judgement) atau memberikan
makna pada sesuatu, mengkritik, membuat daftar, menganalisa, atau berbicara pada diri sendiri
(self talk).

High Beta, frekuensi di atas 25 Hz berhubungan dengan stress dan kecemasan. Semakin aktif
high beta seseorang maka semakin “liar” pikirannya. Pikiran akan lari ke sana ke mari, melompat
dari satu hal ke hal lain, tidak bisa diam, sulit atau hampir tidak mungkin untuk dikendalikan.
Kesulitan ini yang dialami oleh semua meditator pemula.

Banyak orang menghabiskan begitu banyak waktu hanya untuk belajar mendiamkan pikirannya
mereka namun tidak berhasil. Akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti bermeditasi karena
tidak merasakan manfaat.
 
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat seseorang mahir meng-OFF-kan
pikirannya? Ini semua bergantung pada waktu dan teknik yang digunakan. Umumnya, untuk
meng-OFF-kan pikiran sadar, orang menggunakan objek napas.

Pikiran dilatih untuk diam dengan cara difokuskan pada napas. Dan pada saat pikiran lari ke
objek lain maka pikiran ditarik kembali ke napas dan demikian selanjutnya sampai dicapai
kekuatan konsentrasi yang sangat tinggi.

Sulitnya meditator mendiamkan pikirannya, selain karena aktifnya high beta, juga disebabkan
tubuh yang tegang. Posisi duduk yang tidak tepat, apa lagi kalau sampai melakukan postur full
lotus, membuat otot paha dan tubuh menjadi begitu tegang sehingga adalah tidak mungkin untuk
bisa mencapai kondisi pikiran yang rileks.  

Masih berdasar riset Anna Wise, untuk bisa merilekskan pikiran, menurunkan beta dengan cepat,
bisa dilakukan dengan merilekskan tubuh terlebih dahulu. Ada teknik spesifik yang Beliau
kembangkan untuk bisa mendiamkan pikiran dalam waktu yang sangat singkat.

Saat seseorang telah mampu meng-OFF-kan pikiran sadarnya (gelombang beta) maka pada saat
itu ia telah masuk ke kondisi meditatif yang sangat dalam. Jadi, meditasi sebenarnya adalah
gelombang otak yang terdiri dari alfa, theta, dan atau tanpa delta. Di sini tampak jelas bahwa
beta tidak dibutuhkan untuk meditasi. Justru beta perlu dihilangkan.

Lalu, apa hubungannya dengan meditasi Vipassana?

Dari pengalaman saya pribadi adalah cukup sulit atau bahkan tidak mungkin bisa melakukan
pengamatan pada bentuk-bentuk pikiran, perasaan, atau sensasi fisik yang muncul saat pikiran
sadar masih sangat aktif. Apalagi jika yang aktif adalah high beta.

Jelas sangat sulit melakukan pengamatan jika piranti yang digunakan untuk melakukan
pengamatan atau observasi, yaitu pikiran sadar, masih sangat aktif dan sibuk sendiri.

Yang diamati dalam meditasi Vipassana, khususnya pada aspek bentuk-bentuk pikiran dan
perasaan yang muncul, sebenarnya berasal dari pikiran bawah sadar dan nirsadar.
Dari pikiran bawah sadar biasanya muncul memori atau ingatan mengenai kejadian tertentu,
yang berasal dari pengalaman di kehidupan saat ini, dan biasanya berisi muatan emosi dengan
intensitas yang tinggi, baik positif maupun negatif.

Jadi, saat memori ini muncul, baik dalam bentuk gambar atau film, maka sebenarnya pada saat
yang sama emosi yang berhubungan dengan memori ini juga aktif. Sedangkan dari pikiran
nirsadar akan muncul memori dan emosi yang berasal dari kehidupan lampau.

Itulah sebabnya adalah sangat penting bagi seorang meditator untuk tidak masuk ke dalam
pengalaman itu, karena biasanya mengandung emosi yang intens, dan cukup hanya mengetahui,
menyadari, mencatat, dan mengingatnya ketika lenyap atau hilang.

Meditator tidak larut ke dalamnya. Akan sangat riskan bila meditator masuk ke dalam
pengalaman itu, terutama jika pengalaman itu mengandung emosi negatif yang intens, misalnya
akibat dari trauma masa lalu.

Jika sampai terjadi hal ini maka meditator akan mengalami kembali kejadian atau pengalaman
itu. Istilah teknisnya revivification dan akan berdampak negatif pada kondisi mental dan
emosinya.

Kemampuan untuk bisa menjadi pengamat (observer) dan tidak masuk ke dalam objek yang
diamati hanya bisa dicapai bila pengendalian diri kita baik dan juga pikiran sadar (baca: beta)
tidak terlalu aktif dan tidak memberikan penilaian atau penghakiman.

Saat kita mampu melihat atau hanya menjadi pengamat maka kita telah mampu melakukan
disosiasi sehingga tidak dipengaruhi emosi yang melekat pada suatu memori. Saat kita mampu
tenang hanya menyadari, mencatat, dan mengingat kejadian atau pengalaman yang muncul,
maka kita akan tahu dan sadar bahwa kita bukanlah pengalaman atau emosi kita. Pengalaman
atau emosi itu muncul dan tenggelam/hilang. Dan saat kita memberi jarak atau memisahkan diri
dari pengalaman atau emosi itu maka mereka tidak bisa mempengaruhi diri kita.

Banyak yang berpikir, “Jika tidak ada beta, lalu bagaimana mungkin kita bisa mendapatkan
insight atau mengerti?”

Insight atau kebijaksanaan yang sesungguhnya berasal dari theta atau pikiran bawah sadar.
Kedalamam meditasi ditentukan oleh kedalaman theta yang berhasil kita capai. Theta adalah
tempat terjadinya koneksi spiritual paling dalam. Saat seseorang berada dalam deep theta maka
ia akan merasakan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan yang luar biasa.

Pikiran bawah sadar mempunyai proses berpikir sendiri yang terpisah dari pikiran sadar. Jadi,
saat kita bermeditasi Vipassana, saat pikiran sadar yang tidak terlalu aktif, maka informasi atau
insight yang berasal dari pikiran bawah sadar akan naik, melalui jembatan alfa, ke pikiran sadar
(beta) dan kita menyadari atau tahu (ingat) informasi ini.

Jadi, yang dilakukan oleh meditator yang bertahun-tahun melakukan meditasi Samatha
sebenarnya adalah persiapan untuk awakening atau pencerahan. Para meditator ini biasanya,
setelah bertahun-tahun berlatih meditasi, berhasil mengembangkan pola gelombang otak
Awakened Mind.

Namun meditasi Samatha, walaupun telah lama dilakukan, walaupun telah berhasil mencapai
pola Awakened Mind, tidak mampu memfasilitasi pencapaian pencerahan.

Mengapa? Karena meditasi Samatha sebenarnya adalah cara untuk mencapai kondisi kesadaran
(state of consciousness) yang spesifik. Kondisi kesadaran ini selanjutnya perlu ditindaklanjuti
dengan melatih meditasi Vipassana karena Vipassana sebenarnya adalah content-based
meditation atau meditasi berdasarkan isi.

Yang dimaksud dengan isi, selain sensasi fisik yang dirasakan, juga adalah konten dari pikiran
bawah sadar dalam bentuk-bentuk pikiran dan emosi yang muncul, dirasakan, atau dialami pada
saat meditasi berlangsung, pada momen here and now.

Contoh yang paling populer adalah koan dalam meditasi Zen. Saat seorang master Zen bertanya
pada muridnya, “Bagaimana bunyinya bila tepuk tangan dilakukan hanya dengan satu tangan?”,
maka pada saat itu sang master memberikan pertanyaan yang tidak bisa dijawab bila si murid
hanya menggunakan pikiran sadar atau beta.

Saat berpikir keras untuk menemukan jawabannya maka pikiran murid yang terlatih akan begitu
fokus, dan ini sebenarnya adalah meditasi Samatha, akan mendapatkan pemahaman atau
pengetahuan, yang berasal dari pikiran bawah sadarnya, yang mampu memfasilitasi tercapainya
pencerahan.

Ini bukan meditasi dengan “pikiran kosong”. Sebaliknya, ini adalah meditasi dengan konten yang
sangat spesifik yang dilakukan oleh praktisi dengan kondisi pikiran yang telah disiapkan dengan
sangat baik dan hati-hati sekali, dengan menggunakan teknik yang spesifik.

Pembaca, setelah membaca sejauh ini, jika anda bermeditasi, teknik mana yang akan anda
gunakan? Samatha atau Vipassana? Semua saya kembalikan pada diri anda sendiri. Saat
bermeditasi kenalilah diri anda sendiri. Anda akan tahu apakah anda akan langsung ke Vipassana
ataukah perlu melatih Samatha dulu.

Dan yang paling penting adalah anda perlu belajar di bawah bimbingan seorang guru meditasi
yang berpengalaman. Hanya duduk dan memperhatikan napas memperhatikan pikiran belum
tentu bisa disebut meditasi. Meditasi, seperti yang didefinisikan oleh Anna Wise adalah kondisi
kesadaran spesifik bukan sekedar teknik.

Jika anda telah melakukan meditasi sekian lama namun belum bisa masuk atau mengalami
kondisi kesadaran (state of consciousness) yang spesifik itu maka meditasi anda bisa dibilang
belum berhasil.

Anna Wise pernah membantu seorang kliennya, seorang meditator. Keluhan klien ini adalah
walaupun ia telah meditasi Samatha selama 12 tahun non stop, setiap hari 1 jam, ia masih belum
bisa masuk ke kondisi meditatif yang dalam.
Saat dilihat pola gelombang otaknya, dengan menggunakan Mind Mirror, tampak bahwa selama
12 tahun meditasi klien ini tidak bisa mendiamkan pikirannya. Hal ini tampak dari high beta
yang sangat aktif saat ia melakukan meditasi.

Dengan teknik yang spesifik Anna berhasil membantu klien ini mendiamkan pikirannya
sehingga menjadi tenang dan hening dalam waktu yang relatif singkat. Sungguh sayang bila
ketekunan selama 12 tahun ini ternyata tidak berbuah hasil seperti yang diinginkan. 

Selamat bermeditasi..........

Anda mungkin juga menyukai