Anda di halaman 1dari 5

A Winter Story

Musim Dingin. Siapa yang tidak menyukainya? Ketika kau keluar dari rumah dan kau
akan terhempas oleh dinginnya angin yang berembus menusuk, tak hanya ragamu namun juga
sampai ke dalam jiwamu. Musim yang sangat cocok untukmu menghabiskan waktu hanya
dengan berdiam diri dirumah di hadapan penghangat ruangan bersamaan dengan segelas coklat
hangat yang kau genggam untuk menghangatkan dirimu.

Namun, adakah orang yang justru memilih untuk pergi ke luar di musim yang menusuk
hingga ke tulang itu? Ya, ada. Yuki contohnya. Gadis itu memilih pergi ke pantai hanya
bermodalkan mantel double yang membalut tubuh mungilnya, dengan syal merah tebal yang
melingkari lehernya untuk mencegah angina di musim dingin menusuk tubuhnya. Gadis itu
hanya berjalan-jalan santai di sepanjang bibir pantai. Tak lupa sepasang earphone yang berada di
kedua telinganya seolah ingin menutup seluruh isi suara di dunia dan hanya ingin menghabiskan
waktu dengan sebuah lagu kesukaan yang diputar berulang kali.

Gadis itu menunduk menatap pada pasir pantai yang menciptakan jejak-jejak kaki. Bibir
kecilnya sesekali menyenandungkan lagu yang tengah ia dengarkan. Ya, sebuah lagu dari band
asal Jepang yang rasanya tidak akan pernah bosan untuk ia dengarkan. Sebuah lagu yang
menceritakan akan kerinduan seseorang yang telah pergi meninggalkan dirinya. Ia yang tak siap
ditinggalkan hanya bisa meratapi nasib kisah cintanya.

Ia begitu merindukannya, terlalu rindu hingga tidak ada kata yang bisa terucap dari
bibirnya untuk menunjukkan betapa ia merindukan kekasih hatinya. Terlalu rindu hingga ia
terkadang berhalusinasi bahwa seseorang yang begitu ia cintai masih berada di sekitarnya.
Suaranya yang sesekali terdengar seolah semakin membuatnya terpuruk. Orang-orang di
sekitarnya hanya bisa melihatnya miris. Kesedihan yang menguar dari dirinya seolah mampu
membuat mereka ikut merasakannya pula.

***
Air mata dingin yang jatuh

Membeku di udara

Mereka berpura-pura menjadi baik

Seiring waktu, mereka jatuh di wajahku

Dua orang yang selalu bersama, mereka berpisah

Dan itulah cerita ini

***

“Yuki~” panggilan itu membuatnya menoleh. Seseorang yang dipanggil hanya bisa
terdiam melihat kehadiran seseorang yang kini telah duduk disampingnya. Sebuah roti terulur
kearahnya membuat gadis itu—Yuki—hanya bisa mengangkat alis.

“Untukmu. Aku tau kalau perut kecilmu itu belum terisi apapun, bukan?” ucapan itu
membuat Yuki hanya bisa terdiam. Namun, tidak dengan tangannya yang menerima dan mulai
membuka bungkus roti itu dengan ucapan “Terimakasih” singkat.

Pria itu hanya bisa tersenyum tipis. Gemas rasanya melihat gadis mungil di depannya
yang malu-malu menghabiskan sebungkus roti yang ia beli. Pria itu lalu membalikkan badannya
ketika bel masuk telah berbunyi. Dan mereka pun fokus untuk mendengarkan pelajaran yang
berlangsung. Mereka sudah kelas 3 SMP, jadi harus benar-benar fokus karena mereka akan
segera menghadapi ujian. Namun, konsentrasi si pria sempat teralihkan ketika ia merasakan Yuki
menyentuh pinggangnya dan menyodorkan sebuah kertas yang segera ia terima. Dan setelah
membaca isinya, pria itu tertawa kecil dan menganggukkan kepalanya.

“Haru, nanti pulang sekolah kita pergi jalan-jalan dulu ya? Aku ingin merasakan
suasana pantai saat musim dingin.”

***

“Wahhh... Indahnya~” seruan penuh semangat itu terdengar sangat indah di pendengaran
Haru—teman pria—Yuki. Gadis mungil itu terlihat sangat senang bisa berada di tempat tersebut.
Yuki kemudian membentangkan kedua lengannya dan menutup kedua matanya, seolah tengah
menikmati suasana keindahan pantai itu, seolah mengabaikan dinginnya angin musim dingin
yang menusuk tubuhnya.

“Yuki, jangan lama-lama, angin musim dingin tidak baik terutama di pantai seperti ini.”
Ujar Haru mengingatkan, karena ia tahu seberapa cintanya gadis mungil itu terhadap musim
dingin. Ditambah, ini pertama kalinya gadis itu pergi ke pantai di musim dingin.

“Haru Haru, ayo foto bersama. Kita harus mengabadikan moment ini. Siapa tau ini jadi
yang pertama dan terakhir kalinya kita pergi bersama kesini.” Ujar Yuki bercanda, karena ia tahu
bahwa Haru—temannya sejak kecil—sangat membenci yang namanya foto bersama, apapun
keadaannya.

Haru pun mendengus mendengar ucapan Yuki yang lagi-lagi membawa kata-kata
‘Terakhir kalinya’ untuk membujuknya. Pria itu pun membatin, “Curang sekali.”

Mereka kemudian menghabiskan hampir 1 jam lamanya di tempat itu, entah menciptakan
jejak kaki yang panjang atau mengobrol hal random tentang kehidupan mereka, dan
mengabadikan kebersamaan dengan berfoto bersama.

Namun, ternyata moment itu, benar-benar menjadi yang pertama dan terakhir mereka di
pantai tersebut di musim dingin pada tahun terakhir mereka di bangku SMP. Karena satu minggu
setelah moment itu, mereka bertengkar hebat dikarenakan Haru yang memutuskan untuk berhenti
dan ingin fokus untuk berkarir di dunia musik. Ya, Haru adalah seorang vocalist dan guitarist
dari sebuah band yang ternyata penampilan pertama mereka mampu menarik perhatian publik
dan mereka pun dikenal oleh banyak orang.

Yuki tidak suka akan pilihan Haru yang memilih untuk berhenti sekolah dan memilih
untuk fokus dalam bermusik. Mereka pun terlibat dalam pertengkaran yang hebat hingga
membuat kedua teman band Haru hanya bisa terdiam kaku. Sampai akhirnya, Yuki
mengeluarkan kata-kata yang sanggup membuat Haru terdiam.

“Lalu, apakah kau rela mati untukku, Haru? Kau bilang ini semua untukku, bukan? Kau
bilang kau mencintaiku tapi apa-apaan ini? Lebih baik kau mati saja dengan mimpimu itu!”
teriak Yuki sebelum pergi.
Gadis itu kecewa, mereka baru menjalin hubungan selama satu minggu namun ia akan
ditinggalkan. Ia tahu seberapa besar rasa cinta Haru terhadap musik. Bahkan, lagu pertama yang
pria itu ciptakan pun adalah tentangnya. Tapi, tidak seperti ini. Yuki masih ingin menghabiskan
waktu bersama prianya. Mereka bahkan baru pertama kali berkencan. Dan semuanya, berakhir.

Setelahnya, gadis itu menyesal. Ia kecewa. Ia benci. Ia membenci Haru, ia membenci Ran
dan Mitsuki sebagai teman band Haru. Ia membenci dunia. Dan ia, membenci dirinya sendiri. Ia
ingin meminta maaf. Ia ingin dimaafkan. Oleh semuanya, terutama oleh Haru dan oleh dirinya
sendiri.

***

“Haru. Ini sudah beberapa tahun berlalu, tapi aku masih tidak bisa melupakannya. Apa
yang harus kulakukan? Haru, aku sangat merindukanmu. Haru, maafkan aku. Maaf. Haru. Aku
menyesal. Haru, maaf.” Yuki meracau dalam keheningan di pinggir pantai yang sepi. Gadis itu
menunduk dengan kedua tangan yang meremat ujung bajunya.

Bertahun-tahun berlalu, tapi Yuki masih terdiam di tempat. Ia tidak ingin melupakan
Haru. Ia benar-benar menutup pintu hatinya untuk siapa pun itu. Ia masih tidak bisa melupakan
hari itu. hari dimana ia mengetahui bahwa kekasihnya sudah tiada. Ia berlari ke rumah Haru. Dan
dalam keadaan yang masih terengah, ia terjatuh. Ia tidak bisa menopang dirinya yang seolah baru
saja tertimpa beton ketika melihat gambar kekasihnya yang terpajang dan raga Haru yang
tertidur nyenyak tanpa hembusan nafas. Ya, kekasihnya telah tiada.

Yuki saat itu berharap bahwa semua itu hanyalah mimpi. Ia menjerit keras berusaha
menghilagkan rasa sesak yang memenuhi relung dadanya. Ibu Haru mendatanginya dan
memeluk tubuhnya erat untuk menenangkannya, namun gadis itu masih setia menjerit. Ia merasa
begitu terpukul akan kenyataan yang baru saja menimpanya. Semua orang yang mendengar
jeritan gadis itu ikut merasakan betapa hancurnya perasaan Yuki, yang baru saja kehilangan
cintanya.

***

“Haru. Tunggu aku. Kekasihmu ini, akan segera menemanimu disana. Haru, aku
merindukanmu, sangat. Tapi tenang saja, aku pasti akan datang. Menemanimu disana, dan
menghabiskan waktu bersamamu. Haru, aku tidak pernah mengatakan selamat tinggal. Karena,
tidak ada akhir bagi kita. Tunggu aku, Haru.” Ujar gadis itu sembari tersenyum manis dengan
tatapan mata kosong yang menatap ke arah laut tanpa batas di hadapannya.

***

Meski kau kehilangan bentuk suatu hari nanti

Kau akan selalu disini bersama denganku

Meskipun aku tidak bisa mengucapkan selamat tinggal

selama aku mencoba untuk melangkah

kau akan disini, bersamaku. Selamanya.

Anda mungkin juga menyukai