Anda di halaman 1dari 11

PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM TEUNGKU MUHAMMAD HASBI

ASH-SHIDDIEQY (1904-1975 M)

Untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Pemikiran Hukum Islam Modern

Disusun oleh

Eka Fitriani (33010180171)

Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga

Jl. Nakula Sadewa, KembangArum, Duku, Kec.Sidomukti, Kota Salatiga, Jawa Tengah

50722

Abstrak
Fiqh Indonesia yang menjadi tema pemikiran hukum Hasbi sepanjang tahun 1940-an sampai
1975, merupakan icon dan usaha pertama (pioneer) meretas hukum Islam dalam konteks
merespon kebijakan pembangunan Negara. Dengan dilatarbelakangi oleh adanya penilaian
(kritik) dari Soekarno bahwa pemikiran hukum Islam kurang memiliki respon atas
permasalahan-permasalahan social kemasyarakatan maka hadirnya fiqh Indonesia yang digagas
Hasbi sebenarnya bermaksud merumuskan ketetapan fiqh dari hasil ijtihad yang lebih cocok
dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, agar fiqh tidak menjadi barang asing dan diperlakukan
sebagai barang antik. Dalam pandangan penggagasnya, hukum Islam harus mampu menjawab
persoalan-persoalan baru, terutama dalam segala cabang dari bidang muamalah yang belum ada
ketetapan hukumnya. Hukum (fiqh) juga harus mampu hadir dan berpartisipasi dalam
membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat. Sampai di sini terlihat bahwa Hasbi memaknai
hukum Islam dalam bingkai law as a tool to social engineering(hukum dijadikan sebagai sarana
rekayasa sosial).

Kata Kunci: Hasbi Ash-Shiddieqy, Pemikiran, hokum Islam, Relevansi


Biografi Teungku Muhammad HasbiAsh-Shiddieqy

Hasbi bernama lengkap Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dilahirkan


pada tanggal 10 Maret 1904 di Lhokseumawe, Aceh Utara. Ayahnya bernama al-
Haj Tengku Muhammad Husein ibn Muhammad Su‘ud, seorang ulama terkenal
yang memiliki sebuah dayah (pesantren) dan seorang Qadhi Chik. Ibunya
bernama Tengku Amrah, puteri Tengku Abdul Aziz pemangku jabatan Qadhi
Chik Maharaja Mangkubumi Kesultanan Aceh waktu itu. Dia juga merupakan
keponakan Abdul Jalil yang bergelar Tengku Chik di Awe Geutah di mana
menurut masyarakat Aceh Utara dianggap sebagai wali yang dikeramatkan,
kuburannya hingga saat ini masih diziarahi untuk meminta berkah.
Dalam silsilahnya, Hasbi merupakan keturunan Abu Bakar Shiddiq (573-634
M) khalifah pertama, generasi ke-37. Oleh karena itu, sebagai keturunan Abu
Bakar Shiddiq, beliau kemudian melekatkan gelar AshShiddieqy di belakang
namanya. Nama Ash-Shiddieqy dia lekatkan sejak tahun 1925 atas saran salah
seorang gurunya yang bernama Syaikh Muhammad bin Salim al-Kalali, seorang
pembaharu Islam dari Sudan yang bermukim di Lhokseumawe, Aceh Silsilah
keturunan Hasbi hingga sampai ke Abu Bakar Shiddiq adalah Muhammad Hasbi
bin Muhammad Husain bin Muhammad Su’ud bin Muhammad Taufiq ibnu
Fathimi ibnu Ahmad ibnu Dhiyauddin ibnu Muhammad Ma’shum (Faqir
Muhammad) ibnu Ahmad Alfar ibnu Mu’aiyidin
Ibnu Khawajaki ibnu Darwis ibnu Muhammad Zahid ibnu Marwajuddin ibnu
Ya’qub ibnu ‘Alauddin ibnu Bahauddin ibnu Amir Kilal ibnu Syammas ibnu
Abdul Aziz ibnu Yazid ibnu Ja’far ibnu Qasim ibnu Muhammad ibnu Abu Bakar
Ash-Shiddiq.
Masa kelahiran dan pertumbuhan Hasbi bersamaan dengan tumbuhnya
gerakan pembaharuan pemikiran di Jawa yang meniupkan semangat ke-
Indonesia-an dan anti-kolonial. Sementara di Aceh peperangan dengan Belanda
kian berkecamuk. Ketika Hasbi berusia 6 tahun, ibunya, Tengku Amrah,
meninggal dunia. Kemudian, beliau diasuh oleh bibinya yang bernama Tengku
Syamsiah. Sejak meninggal Tengku Syamsiah tahun 1912, Hasbi memilih tinggal
di rumah kakaknya, Tengku Maneh, bahkan sering tidur di meunasah
(langgar/surau) sampai kemudian dia pergi mendagang (nyantri) dari dayah ke
dayah.
Hasbi menikah pada usia sembilan belas tahun dengan Siti Khadidjah, seorang
gadis yang masih ada hubungan kekerabatan dengannya. Perkawinan dengan
gadis pilihan orang tuanya ini tidak berlangsung lama. Siti Khadidjah wafat ketika
melahirkan anaknya yang pertama. Hasbi kemudian menikah dengan Tengku
Nyak Asiyah binti Tengku Haji Hanum, saudara sepupunya. Dengan istrinya
inilah Hasbi mengayuh bahtera hidupnya sampai akhir hayat. Dari perkawinannya
ini Hasbi memiliki empat anak, dua laki-laki dan dua perempuan.
A. Pemikiran Modern dari Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy
Hukum Islam di Nusantara pada masa kolonial Belanda dan Jepang diselimuti
keterbelakangan dalam berpikir, becorak satu mazhab, terfokus pada aspek
ibadah, memperkeras taklid, larangan talfik dan larangan membuka pintu ijtihad
serta dipersuram dengan miskinnya kajian metodologi. Teungku Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan salah seorang tokoh yang ikut mendukung
gerakan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Beliau bertekad memberantas
segala macam bentuk takhyul, bid’ah dan khurafat demi kejayaan Islam.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy membedakan antara pengertian
syari’at dengan fiqih. Syari’at dalam istilah Fiqih Islam ialah hukum-hukum yang
telah ditetapkan untuk para hamba-Nya dengan perantaraan Rasul-Nya diamalkan
dengan penuh keimanan, baik hukum itu berpautan dengan aqidah maupun
dengan akhlak. Sedangkan fiqih adalah hukum-hukum yang diperoleh manusia
(ulama-ulama atau mujtahid) dengan jalan ijtihad. Nampaknya Hasbi memandang
syari’at itu sebagai sesuatu yang absolute (mutlak) serta tidak dapat diijtihadkan,
sedangkan fiqih merupakan hasil ijtihad para ulama karena bersumber dari nas
yang zanni artinya fiqih itu tercipta dari syariat melalui perantaraan akal mujtahid.
Penetapan syari’at yang memuat sejumlah hukum dan peraturanperaturan
Allah memiliki tujuan dalam pensyariatannya diantaranya memelihara hal-hal
yang daruriyah, hajiyah dan tahsiniyah. Demikian pula syariat memiliki asas-asas
dalam penetapannya. Di antara asas-asas tersebut adalah meniadakan kepicikan
(nafyu al-haraj), sedikit pembebanannya (qillatul taklif), membina hukum dengan
menempuh jalan tadarruj (tahap demi tahap), seiring dengan kemaslahatan
manusia, mewujudkan keadilan yang merata.
Syariat sebagai hukum Islam mempunyai watak dan ciri-ciri khas. Hasbi
menetapkan tabi’at dan ciri-ciri khas hukum Islam dalam tiga kategori yaitu
takamul (sempurna), wasatiyah (harmonis) dan harakah (berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman).
Hasbi mengajak seluruh umat Islam Indonesia khusus para ulama dan pakar
hukum, agar dibina suatu fiqhi yang berkepribadian atau berwawasan
keindonesiaan yakni fiqhi yang cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat
Indonesia. Hal ini sesuai dengan defenisi yang diungkapkan Hasbi bahwa fiqhi
Indonesia ialah fiqhi yang diterapkan sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia.
Fiqhi sebagai produk ijtihad adalah bersifat elastis agar mampu memenuhi
kebutuhan umat di setiap tempat dan waktu. Fiqhi baru berfungsi dengan baik bila
disesuaikan dengan kondisi masyarakat agar tidak dirasa usang oleh masyarakat.
Oleh karena itu, fiqhi yang diambil dari urf yang tidak bertentangan dengan
syari’at, tidak bisa dipaksakan pada masyarakat lain yang mempunyai hukum
yang berbeda.
Kekuatan urf (kebiasaan) dalam tasyri’ (penetapan hukum syara) tidak dapat
dipungkiri. Dalam kitab-kitab fiqhi terdapat banyak sekali hukum-hukum fiqhi
yang dirumuskan fuqaha sebagai terapan kaidah ‫ادة محكمة‬KKK‫ الع‬.Kaidah ini,
berkedudukan sebagai penjabar dalil syara. Menurut Sarjan faktor penyebab dari
urf masyarakat yang diperlukan yaitu: jika urf itu belum ditetapkan hukumnya
oleh syara dan jika tidak bertentangan dengan dalil syara. Urf seperti inilah dapat
dikaji dan diangkat statusnya menjadi hukum syara.
Yudian Wahyudi menjelaskan bahwa Hasbi telah menawarkan beberapa
perangkat metodologis dalam fiqhi Indonesianya yang terdiri dari:
a. Perbedaan antara fiqhi dan syari’ah, perbedaan antara fiqhi dan
syari’ah dalam pandangan Hasbi telah dikemukakan sebelumnya.
Yakni bahwa syari’at itu kumpulan perintah dan larangan yang bersifat
abadi dan universal, sedangkan fiqhi kumpulan hukum-hukum yang
bersifat amali yang bisa berubah dan berbeda menurut dimensi ruang
dan waktu.
b. Analisis kesejarahan (dirasah tarikhiyyah), dirasah tarikhiyyah yakni
memperhatikan pengaruh interaksi antara ide tasyri dengan peristiwa
agar dapat diketahui bagaimana cara-cara fuqaha terdahulu dalam ber
istinbat}. Dirasah tarikhiyyah ini mencakup perkembangan masyarakat
Islam dalam perkembangan fiqhi Islam dengan memperhatikan
pengaruh masing-masing terhadap yang lainnya.
c. Pendekatan sosial dan kultural (dirasah waqiiyyah), perlunya dirasah
waqiiyyah yakni studi kasus mengenai masyarakat Indonesia dan
masyarakat lain dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum
disamping studi hukum secara umum, oleh karena itu kita memerlukan
sebuah ilmu hukum kemasyarakatan. Sehingga permasalahan dan
perkembangan masyarakat yang melatar belakangi lahirnya pendapat-
pendapat mazhab dihubungkan dengan kenyataan yang ada dalam
suatu batasan wilayah tertentu.
d. Studi perbandingan (dirasah muqaranah), dirasah muqaranah dalam
rumusan Hasbi adalah: Ilmu yang memaparkan hukum syara dalam
berbagai bab dengan mengemukakan pendapat-pendapat imam
mazhab yang disepakati dan yang diperselisihkan, dan menyebutkan
dalil-dalil dan qa’idah-qaidah ushuliyyah yang dikemukakan oleh tiap-
tiap imam mazhab itu dan sebab-sebab yang menimbulkan perbedaan
paham, dan dalil-dalil itu diteliti satu persatu, ditinjau segi-segi
kelemahannya, dibandingkan satu sama lain, kemudian dipilih mana
yang lebih kuat dan lebih dekat kepada kebenaran, dan lebih patut
diterima.
Pemikiran Modern Hukum Islam Teungku Muhammad Hasbi Ash-
Shiddieqy. Beberapa pendapat pemikiran Teungku Muhammad Hasbi
ash Shiddieqy:
1. Hukum Shalat Dzuhur Pada Hari Jum’at
Hukum salat Jumat, dalam pandangan Hasbi pada hari Jumat
tidak ada salat zhuhur empat rakaat, karena sudah diganti salat
Jumat dua rakat. Karena itu, orang yang tidak sempat mengikuti
jamaah Jumat, baik seluruh atau sebagiannya, atau orang yang
berhalangan hadir berjamaah di mesjid, baik karena sakit atau
sebab lain, harus salat Jumat baik bersama-sama maupun sendiri
sendiri sebanyak dua rakaat. Berjamaah dan khutbah bukan rukun
atau syarat sah salat Jumat. Salah satu alasan (dari enam butir
alasan) Hasbi terkait hal ini adalah Q.S. Al-Jumu’ah ayat 62
menunjukkan bahwa salat tengah hari pada hari Jumat adalah salat
Jum’at. Perintah dalam ayat ini diserukan kepada semua orang
tanpa kecuali, baik laki-laki maupun perempuan, baik sedang
berada di kampung (mukim) maupun sedang di perjalanan, dan
baik yang sehat maupun yang sakit.
2. Persoalan Zakat
Tentang persoalan zakat, secara umum ia sependapat dengan
jumhur ulama yang mengatakan bahwa yang menjadi objek zakat
adalah harta, bukan orang. Oleh karena itu, dalam pandangannya
zakat dapat dipungut dari non muslim sebagai perimbangan atas
tanggungan pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya. Hasbi
mendasarkan pendapatnya: Pertama, hukum zakat berlaku untuk
setiap agama; Kedua, keputusan Umar Ibn alKhatthab (581-644
M.), khalifah kedua setelah Nabi Muhammad saw. Wafat,
memungut zakat dari kaum Nasrani Bani Taghluba.6 Demikian
halnya, fakir miskin dari kalangan non-muslim berhak memperoleh
bagian zakat. Pandangannya ini didasarkan pada fungsi zakat
sebagai upaya membina kesejahteraan masyarakat dalam satu
negara. Secara tegas dapat disebutkan zakat berfungsi untuk
melahirkan masyarakat yang berjiwa bersih yang hidup dalam
kemakmuran dan kesejahteraan yang adil dan merata dalam suatu
negara.
3. Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri
Dalam penafsirannya terhadap Q.S. Al-Maidah: 38, Hasbi
mengatakan, diantara hukum yang diterangkan kepada kamu
adalah hukum bagi pencuri, baik laki-laki maupun perempuan.
Maka barang siapa mencuri, laki-laki ataupun perempuan, hakim
hendaknya menghukum dan memotong tangan kanannya dari
telapak tangan sehingga pergelangan tangan sebagai hukuman atas
perbuatannya yang mengambil harta orang lain.
Menurut Hasbi, ayat ini tegas menetapkan hukum memotong
tangan pencuri. Ayat ini tidak menetapkan batas minimum barang
curian, yang dapat dijatuhi hukuman potongan tangan. Menurut
Hasbi, dengan tidak ditetapkannya batas minimum dalam ayat
tersebut adalah sesuai benar dengan hikmah Al-Qur’an yang
umum, mengingat perkembangan keadaan dan masa. Dalam
penjelasan selanjutnya dengan mengutip pendapatnya para ulama
tentang kadar harta yang dicuri, diriwayatkan dari AlHasan dan
Daud Azh-Zhari bahwa hukum potong tangan dijatuhkan atas
pencuri, walaupun yang dicuri hanya sedikit saja. Sedangkan
jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa hukuman
potong tangan dijatuhkan kepada pencuri yang mencuri
seperempat (1/4) dinar (1/4 mitsqal dari emas), atau 3 dirham dari
perak. Mengingat hadis Bukhari Muslim dari Ibn Umar bahwa
Nabi saw. Memotong tangan pencuri yang mencuri tameng senilai
3 dirham.
Menurut Hasbi, dengan mengutip perkataan para muhaqqiq,
bahwa “lafaz sariq dan sariqah” mengandung pengertian seorang
residivis. Maka yang dipotong tangannya hanyalah pencuri yang
telah berulang kali mencuri. Adapun pencuri yang baru sekali atau
dua kali berbuat dan perbuatannya itu belum menjadi kebiasaan,
maka dia tidak dijatuhi hukuman potong tangan. Menurut Hasbi,
hukuman potong tangan dilakukan sesudah tidak ada lagi jalan
untuk memperbaikinya. Bahkan had (hukum) bagi si pencuri itu
dapat digugurkan dengan adanya pemberian maaf atau dengan
tobat, asal perkara pencuriannya belum sampai kepada hakim.
Oleh karena itu, ayat ini ditujukan kepada Nabi dalam
kedudukannya selaku hakim. Maka dalam menentukan batas
pencurian terserahlah kepada hakim, mengingat masa, tempat dan
keadaan.
Dengan demikian, menurut Hasbi bahwa yang terkena dengan
hukum potong tangan dalam ayat di atas, adalah pencuri yang telah
berulang kali mencuri. Dan hukum potong tangan ini diberlakukan
apabila sudah tidak ada lagi jalan untuk memperbaikinya. Had
(hukum) bagi pencuri juga dapat digugurkan apabila terjadi adanya
pemberian maaf atau tobat, asal perkara pencuriannya belum
sampai kepada hakim. Dan hakim merupakan orang yang berhak
untuk memutuskan hukum bagi si pencuri.
4. Hukum Bagi Orang Yang Berzina
Dalam pendapatnya tentang hukuman bagi orang yang berzina,
Hasbi mengartikan QS.An-Nur:2 dengan “ Perempuan yang
berzina dan lelaki yang berzina, maka cambuklah masingmasing
100 kali, Janganlah kamu dipengaruhi oleh rasa kasihan dalam
menjalankan hukum Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan
hari akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukum cambuk itu
disaksikan oleh segolongan mukmin”. Dalam penjelasan tafsirnya,
Hasbi menguraikan bahwa ayat dia atas menerangkan tentang
hukuman terhadap orang yang berzina, lelaki ataupun perempuan.
Menurutnya, barang siapa berzina, dalam status merdeka (bukan
budak), telah cukup umur dan berakal sehat, baik sudah menikah
atau lajang, maka cambuklah 100 kali.
Hasbi mengatakan, jumhur ulama selain berpegang pada
sunnah yang diriwayatkan dari Nabi juga dari Khulafa Rasyidin.
Mereka berkata: “hukum rajam adalah yang ditetapkan oleh
AlQur'an, tetapi telah dimansukhkan (dihapus) lafalnya, sedangkan
hukumnya masih terus berlaku.” Menurut Hasbi, mereka
mengatakan bahwa Umar mendengar pembacaan ayat itu dari Nabi
saw. Dan mengemukakannya kepada Zaid untuk dibukukan ke
dalam Mushaf. Tetapi Zaid menolaknya, karena Umar tidak
mendatangkan dua orang saksi. Ketika Umar menjadi Khalifah,
beliau menegaskan lagi dalam suatu khutbahnya bahwa hukum
rajam itu benar berdasarkan Al-Qur’an.
Pada kesimpulannya Hasbi mengatakan, hadis/sunnah yang
diriwayatkan dari Nabi, baik qauli maupun fi’li, demikian pula
mengenai ayat rajam, berlaku atau diturunkan sebelum ayat-ayat
An-Nur (1-7) dan sebelum ayat An-Nisa (25). Lanjut Hasbi,
hukuman yang Muhkam dan terus berlaku hingga sekarang adalah
hukuman cambuk.
Pelaksanaan hukuman cambuk hendaklah dilakukan didepan
orang ramai, supaya memberikan rasa takut kepada orang yang
ingin berzina dan supaya menjadi pelajaran bagi orang lain. Ibnu
Abbas, berpendapat hukum cambuk sekurang-kurangnya
disaksikan oleh empat orang. Tetapi Al-Hasni berpendapat
minimal 10 orang.
PENUTUP

Hasbi bernama lengkap Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dilahirkan pada


tanggal 10 Maret 1904 di Lhokseumawe, Aceh Utara Ayahnya bernama Al-Haj Tengku
Muhammad Husein ibn Muhammad Su‘ud, seorang ulama terkenal yang memiliki
sebuah dayah (pesantren) dan seorang Qadhi Chik. Nama Ash-Shiddieqy dia lekatkan
sejak tahun 1925 atas saran salah seorang gurunya yang bernama Syaikh Muhammad bin
Salim Al-Kalali, seorang pembaharu Islam dari Sudan yang bermukim di Lhokseumawe,
Aceh Silsilah keturunan Hasbi hingga sampai ke Abu Bakar Shiddiq adalah Muhammad
Hasbi bin Muhammad Husain bin Muhammad Su’ud bin Muhammad Taufiq ibnu
Fathimi ibnu Ahmad ibnu Dhiyauddin ibnu Muhammad Ma’shum (Faqir Muhammad)
ibnu Ahmad Alfar ibnu Mu’aiyidin ibnu Khawajaki ibnu Darwis ibnu Muhammad Zahid
ibnu Marwajuddin ibnu Ya’qub ibnu ‘Alauddin ibnu Bahauddin ibnu Amir Kilal ibnu
Syammas ibnu Abdul Aziz ibnu Yazid ibnu Ja’far ibnu Qasim ibnu Muhammad ibnu
Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Beberapa pemikiran Hasbi dalam bidang fikih penulis identifikasi antara lain:
1. Pemahaman Hasbi seputar hakikat fikih dan hubungannya dengan ijtihad
2. Prinsip, metode dan sumber fikih
3. Pengembangan fikih corak Indonesia
4. Pandangan Hasbi seputar beberapa persoalan fikih.
Sedangkan pemikiran Hasbi dalam bidang hadis pada hal-hal berikut:
1. Pandangan Hasbi tentang hakikat hadits dan sunnah serta periodisasinya
2. Kriteria kesahihan hadits
3. Penelitian dan pemeliharaan hadits
4. Metodologi pemahaman hadits

DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1975. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Kusdar. 2007. Dinamika Fiqhi Di Indonesia (Telaah Historis Lahirnya Fiqhi Ke
Indonesiaan. Jurnal Mazahib (Vol. IV, No. 2, Desember)
Hasbi Ash-Shiddieqy, TM. 1975. Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam. Jakarta:
Tintamas
Hasbi Ash-Shiddieqy, TM. 1975. Fiqhi Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap,
Bulat dan tuntas. Jakarta: Bulan Bintang
Hasbi Ash-Shiddieqy, TM. 1973. Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman.
Jakarta: Bulan Bintang

Anda mungkin juga menyukai