Anda di halaman 1dari 6

Hasbi Ash-Shiddieqy di antara Fikih ala

Indonesia & Tafsir Alquran


Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan
pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya
bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan
berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik
"Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".

Penulis: Faisal Irfani


Editor: Ivan Aulia Ahsan
Sekitar 1940-an, Hasbi Ash-Shiddieqy menulis artikel berjudul “Memoedahkan Pengertian
Islam.” Dalam tulisannya itu, Hasbi menyatakan pentingnya pengambilan ketetapan fikih dari
hasil ijtihad yang lebih sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Tujuannya, Hasbi bilang, agar
fikih tidak diperlakukan selayaknya barang asing sekaligus antik.

Ada kegamangan dalam tulisan Hasbi. Ia merasa prospek hukum Islam di Indonesia tidak begitu
punya arah perkembangan yang jelas. Solusinya, menurut Hasbi, yakni meninjau kembali
pengkultusan (taqdis) atas pemikiran mengenai hukum Islam dengan menempatkan sendi ijtihad
baru. Konsep dan pemikiran hukum Islam yang sudah tak relevan, tegas Hasbi, harus segera
dicarikan alternatif lain—yang lebih memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia.

Gagasan Hasbi soal "fikih yang baru" ini berangkat dari kritikan Sukarno—dimuat dalam Panji
Islam—yang mempertanyakan cara pandang para ulama yang dianggapnya konservatif, usang,
dan, “tidak sesuai karakter bangsa Indonesia.”

Upaya Hasbi untuk mengenalkan gagasannya tentang fikih tak terlalu mulus. Sampai 1948,
masyarakat tak kelewat merespons dengan baik pemikiran Hasbi. Namun Hasbi tak patah arang.
Ia kembali menuangkan gagasannya dalam tulisan berjudul “Menghidupkan Hukum Islam dalam
Masyarakat” yang dipublikasikan di majalah Aliran Islam.

Dalam artikel ini dijelaskan bahwa eksistensi hukum Islam, pada tataran praktis, rupanya telah
sampai di tingkat dekadensi yang kritis; tampil bagai sosok yang terasing, tidak berarti, dan juga
tidak berdaya guna. Keberadaannya tak lagi dianggap oleh umat sebab dirasa tidak sanggup
mengakomodasi berbagai tuntutan perubahan zaman.

Hasbi menegaskan hukum Islam seharusnya mampu menjawab pelbagai persoalan baru, terlebih
dalam segala cabang dari bidang muamalah yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia, kata Hasbi,
juga mesti mampu hadir sekaligus berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah masyarakat.
Pendek kata, Hasbi memaknai hukum Islam dalam bingkai law as a tool to social engineering—
hukum dijadikan sebagai sarana rekayasa sosial.

Ditempa di Serambi Makkah

Ulama, ahli fikih, tafsir, hadis, intelektual, hingga pembaharu (mujaddid) Islam di Indonesia
merupakan beberapa “gelar” yang disematkan kepada Hasbi Ash-Shiddieqy. Hasbi lahir di
Lhokseumawe, Aceh, pada 10 Maret 1904. Sebagaimana dicatat Nourouzzaman Shiddiqi dalam
Fikih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya (1997), Hasbi berasal dari keluarga terpandang.

Ibunya, Tengku Amrah, merupakan putri dari Tengku Abdul Aziz yang memangku jabatan Qadli
Chik Maharaja Mangkubumi. Sedangkan ayahnya, Tengku Muhammad Husen ibnu Muhammad
Su’ud, adalah anggota rumpun Tengku Chik di Simeuluk Samalanga, yang keturunannya dikenal
sebagai pendidik sekaligus pejuang yang gigih.

Sejak belia, Hasbi sudah mengenal dan belajar ilmu agama. Di usia delapan tahun, misalnya,
Hasbi telah khatam Alquran. Setahun berselang, Hasbi kian mendalami agama, tepatnya tentang
dasar-dasar tafsir serta fikih. Pada masa-masa ini pula Hasbi banyak menghabiskan waktu dari
satu pondok ke pondok yang lain sebagai santri.

Memasuki 1920-an, Hasbi memutuskan mengembara hingga Surabaya untuk memantapkan ilmu
agamanya dengan belajar di Al-Irsyad. Bekal yang ia dapatkan di Al-Irsyad lantas dipakai untuk
mendirikan madrasah dengan nama yang sama di Aceh bersama Syaikh Alkali. Sayang,
madrasah ini tak bertahan lama. Pemerintah keburu menutupnya sebab dianggap “kafir” lantaran
madrasah tersebut menggunakan model pembelajaran secara klasikal.

Pada dekade 1950-an, Hasbi pindah ke Yogyakarta untuk mengajar di PTAIN (Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri) atas permintaan Menteri Agama saat itu, Wahid Hasyim. Karier Hasbi di
dunia akademis perlahan menanjak selepas ia diangkat menjadi Gurubesar Ilmu Syariah IAIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, serta Dekan Fakultas Syariah di kampus yang sama pada 1960
sampai 1972.

Kegiatan Hasbi di dunia akademis mendorongnya untuk terus produktif menelurkan karya. Total,
Hasbi telah membikin lebih dari 50 buku dengan tema bahasan yang beragam: sejarah Islam,
politik, ilmu hadis, hingga tafsir Alquran.

Berusaha Keras untuk Fikih Indonesia

Hasbi dikenal sebagai intelektual Islam yang getol menyebarluaskan gagasan soal “fikih
Indonesia.” Pada 1961, saat acara Dies Natalis IAIN Sunan Kalijaga, Hasbi membacakan orasi
ilmiah berjudul “Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman.” Dalam orasinya, ia menegaskan
bahwa syariat Islam akan terasa relevan dipelajari agar dapat menampung seluruh kemaslahatan
masyarakat.

Akan tetapi, Hasbi berpandangan, usaha mengenalkan fikih dengan cita rasa Indonesia tak
semudah membalikan telapak tangan. Hambatannya adalah ikatan emosional yang masih begitu
kuat—fanatik dan taashub—antara mazhab tertentu dengan sebagian umat Islam Indonesia.

Sebagai solusinya, Hasbi lantas mengajak kalangan Perguruan Tinggi (PT) Islam di Indonesia
untuk mencetak kader-kader mujtahid dengan karakter khas yang mampu mengembangkan
proyek fikih tersebut. Tujuan Hasbi sebetulnya sederhana: ia tak ingin hukum Islam dikenal serta
dimaknai hanya dari dimensi ibadah.

Dalam perspektif Hasbi, fikih Indonesia adalah yang sesuai dengan kesadaran dan budaya
hukum masyarakat. Hasbi tak ingin memaksakan penerapan fikih ke dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Aneksasi demikian, pikir Hasbi, tentu bakal sia-sia. Mempertimbangkan
kehadiran aspek tradisi sebagai landasan pembentukan hukum Islam yang baru, dalam amatan
Hasbi, menjadi satu keniscayaan. Hukum Islam memuat egalitarianisme yang memandang
bahwasanya semua masyarakat punya posisi setara.
Hasbi menyatakan bahwa fikih Islam harus senantiasa berpijak pada prinsip keadilan dan
kemanfaatan. Kedua prinsip ini diyakini dapat membawa ketertiban maupun kesejahteraan dalam
kehidupan bermasyarakat.

Implementasi gagasan Hasbi tentang “fikih Indonesia” kemudian diejawantahkan dalam wujud
penolakan terhadap fatwa haram praktik jabat tangan antara pria dan perempuan, ibadah Jumat,
hingga kenduri kematian.

Yang populer ialah pandangannya tentang zakat. Dalam perspektif Hasbi, wewenang untuk
mengurus zakat ada pada pemerintah dan sudah satu paket dengan proyek penyelenggaraan
kesejahteraan rakyat—baik muslim maupun non-muslim. Oleh karenanya, pungutan zakat
seharusnya tidak hanya ditujukan kepada kaum muslim, akan tetapi juga kepada masyarakat non-
muslim. Argumen Hasbi didasarkan pada poin bahwa hukum zakat, pada dasarnya, juga
diberlakukan dalam semua agama.

Hasbi dan Tafsir Kitab Suci

Selain dikenal karena pandangannya akan fikih, Hasbi juga populer lewat kemampuannya dalam
tafsir Alquran. Karya monumentalnya adalah Tafsir An-Nur. Hasbi mengerjakan Tafsir An-Nur
dari 1952 hingga 1961, di sela-sela kesibukannya mengajar, memimpin fakultas, hingga jadi
anggota Konstituante.

Motivasi Hasbi menulis kitab tafsir ini ialah munculnya keinginan menyebarluaskan kebudayaan
Islam, ayat suci, maupun ajaran dan sunah rasul dalam bahasa Indonesia. Hasbi sadar, banyak
masyarakat muslim yang kesulitan memahami tafsir dalam bahasa Arab. Untuk itulah ia
berupaya membikin satu tafsir sederhana yang mudah dimengerti masyarakat Indonesia.

Penulisan kitab tafsir Hasbi merujuk pada beberapa kitab tafsir induk seperti Tafsir Al-Ma’tsur
dan Tafsir Al-Ma’qul, maupun kitab tafsir yang menyarikan uraian tafsir induk macam Tafsir Ibn
Katsir, Tafsir Al-Manar, Tafsir Al-Qasimy, Tafsir Al-Maraghy, serta Tafsir Al-Wadhih.

Ketika membikin Tafsir An-Nur, mengutip Yunahar Ilyas dalam disertasinya berjudul
“Konstruksi Gender dalam Pemikiran Mufassir Indonesia Modern: Hamka dan M. Hasbi Ash
Shiddieqy” (2004), Hasbi menggunakan lima metode.

Pertama, menyebut ayat-ayat yang difirmankan untuk menjelaskan maksud menurut tertib
mushaf. Kedua, menerjemahkan makna ayat dalam bahasa Indonesia agar mudah dipahami.
Ketiga, menafsirkan ayat dengan merujuk pada makna yang asli. Keempat, melakukan tafsir ayat
dengan ayat untuk membantu pembaca mengumpulkan ayat-ayat yang sepokok. Kelima, turut
menerangkan sebab-musabab turunnya suatu ayat, dengan bantuan hadis yang shahih dan diakui
oleh para ahli.

Howard M. Federspiel dalam Kajian Alquran di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga Quraish
Shihab (1996) mengatakan bahwa Tafsir An-Nur memiliki kekhasan dibanding kitab lain macam
Tafsir Al-Misbah, Tafsir Al-Azhar, maupun Tafsir Al-Furqan. Kekhasan tersebut, terang
Howard, terletak pada bentuk penyajian dalam daftar isi.
Pada aspek ini, Hasbi tak menyajikan daftar isi secara umum, seperti yang dilakukan, misalnya,
oleh Quraish Shihab yang hanya menyebutkan nama surat dan pembagian kelompok masing-
masing ayat. Dalam tafsirnya, Hasbi mencoba mengemukakan makna atau maksud dari ayat
tersebut.

Bersama Hamka, Mahmud Yunus, maupun A. Hassan, Hasbi, mengutip Ishlah Gusmian dalam
Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (2003), merupakan sosok
terkemuka yang menulis tafsir genap 30 juz dengan model penyajian runtut (tahlili), sesuai
dengan mushaf Utsmani.

Selepas membikin An-Nur, Hasbi kembali membuat tafsir yang kemudian diberi tajuk Al-Bayan.
Kitab ini sering kali dipandang sebagai generasi kedua dari tafsir Hasbi, yang ditujukan untuk
meningkatkan cakupan atas tafsir sebelumnya, secara komprehensif. Dalam beberapa hal, Tafsir
Al-Bayan mengedepankan ajaran Alquran serta konteksnya di bidang keislaman. Karakter lain
dari Al-Bayan yaitu sifatnya cenderung lebih “menerjemahkan” alih-alih “menafsirkan.”

Apa yang dilakukan Hasbi melalui kitab tafsirnya semakin membuktikan bahwa upayanya untuk
mengenalkan ajaran agama sesuai dengan karakter, budaya, maupun pemahaman masyarakat
Islam di Indonesia tidaklah terbatas. Hasbi, sejak awal, ingin (dan berharap) masyarakat
Indonesia dapat dengan mudah mempelajari Islam, tanpa harus kehilangan jatidirinya.

Anda mungkin juga menyukai