Anda di halaman 1dari 94

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN

INTERNASIONAL MELALUI PENERAPAN THE WORLD TRADE


ORGANIZATION AGREEMENTS (Kasus: Sengketa Kertas Fotokopi
A4 Indonesia dengan Australia)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara

Oleh:
Nama: Andreas Kevin Saragih
N.I.M: 205170176

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA, 2021

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TARUMANAGARA
TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI SIAP DIUJI

Nama : Andreas Kevin Saragih


N.I.M : 205170176
Program Peminatan Profesi : Konsultan Hukum

Judul Skripsi

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL


MELALUI PENERAPAN THE WORLD TRADE ORGANIZATION
AGREEMENTS (KASUS: SENGKETA KERTAS FOTOKOPI A4 INDONESIA
DENGAN AUSTRALIA)

Disetujui

Pembimbing

Dr. R. M. Gatot P. Soemartono, S.E., S.H., M.M., LLM.


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Penyelesaian Sengketa Perdagangan
Internasional Melalui Penerapan The World Trade Organization Agreements
(Kasus: Sengketa Kertas Fotokopi A4 Indonesia dengan Australia)”. Skripsi ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna menyelesaikan studi di Fakultas
Hukum Universitas Tarumanagara agar dapat mencapai gelar Sarjana Hukum.

Dengan tersusunnya skripsi ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih


kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing penulis hingga skripsi
ini selesai disusun.

Ucapan terima kasih ini disampaikan, utamanya kepada

1. Bapak Dr. Amad Sudiro, S.H., M.H., M.M., MKn. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Tarumanagara.

2. Ibu Mia Hadiati, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas
Tarumanagara.

3. Bapak Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H. selaku Kaprodi S1 Fakultas Hukum
Universitas Tarumanagara.

4. Ibu Christine S. T. Kansil, S.H., M.H. selaku Kepala Laboratorium Fakultas


Hukum Universitas Tarumanagara.

i
5. Bapak Dr. R. M. Gatot P. Soemartono, S.E., S.H., M.M., LLM. selaku Dosen
Pembimbing Penulis yang telah memberikan arahan, masukan, serta kritikan yang
sangat berguna bagi penulis. Terimakasih bapak karena sudah memberikan
segalanya baik waktu maupun tenaga bagi penulis serta bagi seluruh mahasiswa
Universitas Tarumanagara.
6. Ibu Vera Wheni. S, S.H., LL.M. selaku narasumber yang diwawancarai oleh
penulis yang telah meluangkan waktunya untuk penulis mengumpulkan data
sehingga lengkaplah skripsi yang ditulis oleh penulis.
7. Ibu Mia Hadiati, Bapak Gunawan Djadjaputra, dan Bapak Sugandhi Ishak selaku
dosen penguji pada seminar proposal dan dosen tetap Fakultas Hukum Universitas
Tarumanagara yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaga bagi penulis
sehingga memotivasi penulis untuk menyelesaiakan skripsi ini.
8. Ibu Mariske Myeke Tampi S.H., M.H. selaku dosen penguji pada diskusi
proposal yang telah memberikan saran dan masukan sehingga penulis menjadi lebih
mudah untuk menulis skripsi ini.
9. Bapak Widada selaku staf Progam Studi Fakultas Hukum Universitas
Tarumanagara yang telah membantu tidak hanya penulis saja tetapi seluruh
mahasiswa Universitas Tarumanagara selama perkuliahan.
10. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universtas Tarumanagara yang
telah membantu semua mahasiswa sehingga mahasiswa dapat melaksanakan
perkuliahan dengan baik.
11. Bapak Ivan Ardian Panggar Besi., S. Kom., M.M selaku case handler dari DPP
Daglu yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu penulis
membantu penulis untuk mengumpulkan data berupa seluk beluk perkara yang
terdapat pada kasus yang diangkat oleh penulis sehingga penulis dapat mengerjakan
skripsi ini dengan baik.

ii
12. Teristimewa kepada keluarga tercinta terutama Ibu tersayang Koan Mariani
M.V Barutu, Ayah Kuncu Saragih, Abang Yosafat Vincent Saragih, serta Adik
Yvone Maria Felicia saragih dan Paman Christophorus Barutu yang juga telah
banyak mengerahkan banyak tenaga, pikiran, dan mendoakan penulis dan
memotivasi penulis sehingga penulsi dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik
serta memberikan dukungan baik dari segi materi dan segi moril sehingga penulis
dapat menyelesaiakan skripsi ini dengan baik dan menjadi berkat bagi keluarga.
13. Tidak lupa penulis berterimakasih kepada para teman-teman yang membantu
penulis baik di perkuliahan maupun di luar perkuliahan sehingga penulis merasa
senang karena mereka hadir dan dapat menghabiskan waktu dengan penulis
sehingga penulis dapat menyelesaiakan perkuliahan dengan baik.

Jakarta, 10 Juli 2021


Penulis,
Andreas Kevin Saragih

iii
ABSTRAK
(A) Nama: Andreas Kevin Saragih (NIM: 205170176)
(B) Judul Skripsi: Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Melalui The
World Trade Organization Agreements (Kasus: Sengketa Kertas Fotokopi A4
Indonesia dengan Australia)

(C) Halaman: viii+84+49+2021


(D) Kata kunci: Penyelesaian Sengketa, Perdagangan internasional, WTO
Agreements.
(E) Isi:
Perdagangan internasional merupakan perdagangan lintas negara. Kegiatan
perdagangan internasional diakomodasi oleh perjanjian-perjanjian WTO.
Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya tidak sedikit negara yang melakukan
pelanggaran, yang hal tersebut tentu saja akan merugikan negara lain. Apa yang
menyebabkan hal tersebut terjadi dan bagaimana cara menyelesaikan perselisihan
yang terjadi sesama anggota WTO? Penulis mengidentifikasi permasalahan
tersebut dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dan menjawab
permasalahan tersebut. Berdasarkan data penelitian, terdapat berbagai pelanggaran
yang dilakukan salah satu anggota sehingga permasalahan ini sampai ke WTO.
Dalam menyelesaikan sengketa perdagangan internasional terdapat dua cara yakni
dengan jalur nonyudisial dan tribunal. Selain itu, dalam menyelesaikan sengketa
perdagangan internasional berarti membicarakan sejauh mana efektivitas
penyelesaian sengketa dan siapakah yang terlibat di dalamnya. Indikator efektif
atau tidaknya mekanisme penyelesaian sengketa dapat dilihat berdasarkan jangka
waktu dan keterlibatan anggota dan badan-badan penyelesaian sengketa. Dalam
menyelesaikan sengketa perdagangan internasional keterlibatan negara
berkembang sebagai anggota WTO ternyata kurang diuntungkan. Alangkah
baiknya seorang anggota WTO harus menaati perjanjian-perjanjian WTO agar tidak
merugikan negara anggota lainnya.
(F) Acuan: 49 (2001-2021)
(G) Pembimbing
Dr. R. M. Gatot P. Soemartono, S.E., S.H., M.M., LLM.

(H) Penulis
Andreas Kevin Saragih

iv
DAFTAR SINGKATAN
ADA: Anti Dumping Agreement

AADC: Australia Anti Dumping Commision

AB: Appelate Body

ACWL: Advisory Centre on WTO Law

ASEAN: Association of Southeast Asian Nations

APEC: Asia Pacific Economic Cooperation

AFTA: ASEAN Free Trade Area

DSB: Dispute Settlement Body

DSU: Dispute Settlement Understanding

DPP: Direktorat Pengamanan Perdagangan

GATT: General Agreement on Tarrifs and Trade

KADI: Komite Anti Dumping Indonesia

KPI: Kerjasama Perdagangan Internasional

MFN: Most Favored Nation

S&D: Special and Differential Treatment

NAFTA: The North American Free Trade Agreement

PMS: Particular Market Situation

WTO: World Trade Organization

VCLT: Viena Convention on the Law of Treaties

v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................................................... i
Abstrak ................................................................................................................... iv
Daftar Singkatan.......................................................................................................v
Daftar Isi................................................................................................................. vi
Bab I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................6
C. Tujuan dan Kegunaan ..................................................................................6
D. Kerangka Konsep ........................................................................................7
E. Kerangka Teori ............................................................................................9
F. Metode Penelitian ......................................................................................11
G. Sistematika ................................................................................................13
Bab II: LANDASAN TEORI
A. Praktik Anti Dumping dalam Perdagangan Internasional .........................14
1. Terminologi dumping dalam perdagangan internasional .....................16
a. Predatory dumping ..........................................................................17
b. Persistent dumping ..........................................................................17
2. Kebijakan Anti Dumping Terhadap Praktik Dumping ........................18
3. Penerapan BMAD bagi produk dumping .............................................20
4. Anti Dumping dalam GATT dan WTO ...............................................23
a. Market expansion dumping ............................................................24
b. Cylical dumping .............................................................................24
c. State trading dumping ....................................................................24
d. Strategic dumping ..........................................................................24
e. Predatory dumping .........................................................................24
B. Penyelesaian Sengketa dengan Mekanisme (sistem) World Trade
Organization .................................................................................................25

vi
1. WTO sebagai forum perdagangan multilateral ...................................26
2. Prinsip umum penyelesaian sengketa..................................................26
3. Badan-badan penyelesaian sengketa dalam WTO .............................28
a. DSB ................................................................................................28
b. Panel ...............................................................................................28
c. Badan Banding ...............................................................................29
C. Choice of Law ...................................................................................29
D. Prinsip non diskriminasi ....................................................................31
Bab III: HASIL PENELITIAN
A. Sengketa Kertas A4 Antara Indonesia dengan Australia ........................35
B. Wawancara dengan DPP daglu ...............................................................46
C. Wawancara dengan Akademisi ...............................................................48
Bab IV: Analisis Permaslahan
A. Penerapan WTO Agreements terhadap kasus sengketa produk kertas
fotokopi A4 dari Indonesia pada tahun 2017 ................................................52
1. Jalur non yudisial ...................................................................................56
2. Jalur yudisial ..........................................................................................57
B. Efektivitas penyelesaian sengketa perdagagangan internasional WTO
Anti Dumping (Bea Masuk Anti Dumping) Australia Terhadap Produk
Kertas Fotokopi A4 Indonesia ......................................................................58
1. Hukum Anti Dumping dalam WTO .......................................................65
2. Efektivitas penyelesaian Anti Dumping WTO ......................................66
3. Indikator efektivitas penyelesaian sengketa ...........................................79
4. Prinsip dasar Appellate Body dalam penyelesaian sengketa ..................71
5. Efektivitas penyelesaian sengketa ..........................................................75
6. Inefektivitas penyelesaian sengketa melibatkan negara berkembang ....77

vii
Bab V: Penutup
A. Kesimpulan ................................................................................................79
B. Saran ..........................................................................................................80
Daftar Pustaka……………………………………………………………………81

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional mempunyai tujuan untuk mewujudkan suatu


masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, dan kedaulatan rakyat dalam
suasana peri kehidupan bangsa yang aman, tenteram, adil, bersahabat tertib, dan
damai. Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya di bidang
ekonomi, diperlukan upaya-upaya untuk antara lain terus meningkatkan,
memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar bagi segala produk baik
barang maupun jasa, termasuk aspek investasi dan hak atas kekayaan intelektual
yang berkaitan dengan perdagangan, serta meningkatkan kemampuan daya saing
terutama dalam perdagangan internasional.1

Derasnya arus perdagangan internasional ditandai dengan berlakunya


berbagai kesepakatan perdagangan antara negara-negara di dunia seperti World
Trade Organization (WTO), The North American Free Trade Agreement
(NAFTA), Asean Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation
(APEC), dan European Union (EU), termasuk perkembangan yang terjadi di
ASEAN yaitu terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community). Perdagangan internasional yang dilakukan oleh antar negara
dipengaruhi pula dengan sistem hukum masing-masing negara. Karena perbedaan
sistem hukum tersebut, menimbulkan tantangan tersendiri dalam penyelesaian
sengketa yang timbul dari kegiatan perdagangan internasional tersebut.2

1
Indonesia, “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing The World Trade Organization Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia., Pasal 1.
2
Subianta Mandala, “Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional: Sejarah, Latar Belakang, dan
Model Pendekatannya”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Edisi No. 1 Tahun 2016, hal. 53.

1
Perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini
dapat dilihat dari semakin berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal, dan
tenaga kerja antar negara yang meliputi ekspor dan impor. Dalam kegiatan ekspor
impor dapat diketahui bahwa tidak ada kondisi suatu negara yang benar-benar
mandiri karena satu sama lain saling membutuhkan dan saling mengisi. Pesatnya
pertumbuhan perekonomian negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia di sektor
perdagangan sangat penting perannya dalam bidang perekonomian, baik dalam
perdagangan domestik maupun internasional yang menuju era perdagangan bebas
yang semakin kompetitif. Keikutsertaan Indonesia dalam WTO, dalam
melaksanakan berbagai komitmen yang terkandung di dalamnya tidak dapat lepas
dari rangkaian kebijakan di sektor perdagangan, khususnya perdagangan
internasional yang telah ditetapkan oleh MPR, peraturan perundang-undangan di
bidang perdagangan mengharuskan adanya harmonisasi ketentuan di bidang
perdagangan dalam kerangka kesatuan ekonomi nasional guna menyikapi
perkembangan situasi perdagangan era globalisasi pada masa kini dan masa depan,
dengan membentuk Undang-Undang tentang perdagangan dan dengan
dikeluarkannya UU No.7 tahun 1994 sebagaimana telah digariskan dalam GBHN.3

Pada prakteknya kerjasama yang dilakukan antar negara di bidang


perdagangan internasional seringkali tidak berjalan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang berlaku. Di mana dalam hal tersebut terdapat suatu negara yang
melakukan tindakan yang tidak sejalan dengan peraturan WTO yang telah
disepakati bersama. Oleh karena itu dalam WTO terdapat sebuah aturan mengenai
mekanisme penyelesaian sengketa. Secara sistematik pengaturan penyelesaian
sengketa WTO diatur dalam Pasal XIII dan Pasal XXIII tentang nullification or
impairment.

Mekanisme dalam penyelesaian sengketa mulai disempurnakan lagi pada


perundingan Uruguay yang mencakup keseluruhan substansi dari sistem GATT.

3
Thor B Sinaga, “Efektifitas Peran Dan Fungsi WTO (World Trade Organization) Dalam
Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional”, Jurnal Lex et Societatis, Edisi No. 8 Tahun
2014, hal. 118.

2
Dengan ditandatanganinya hasil perundingan Uruguay Round yaitu WTO sebagai
organisasi perdagangan dunia, yang merupakan penekanan dari GATT, telah
memberikan konsekuensi yuridis bagi Indonesia, artinya Indonesia harus
melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan nasional sesuai dengan
kesepakatan WTO, seperti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1994 tentang Aksesi Agreement Establishing The World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

Dengan terwujudnya WTO dapat menghasilkan banyak perubahan dan


perjanjian-perjanjian baru dalam pengaturan aspek-aspek perdagangan dalam
hukum perdagangan internasional untuk produk dan jasa. Beberapa contoh aspek
perdagangan dalam WTO antara lain adalah agrikultur, regulasi kesehatan untuk
produk-produk perkebunan, investasi, standar produk, anti-dumping, lisensi impor,
safeguards, tarif, dan bea cukai.WTO dianggap sebagai lembaga internasional yang
cukup mapan yang mempunyai aturan yang mengikat dan tidak lagi berbasis pada
power dan interest.4

Sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga penyelesaian sengketa WTO


diatur dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the settlement of
dispute yang biasa disebut dengan DSU. Substansi ketentuan yang ada dalam DSU
merupakan interpretasi dari ketentuan Pasal IV GATT 1947, dan badan yang
melaksanakannya adalah Dispute Settlement Body (DSB). Lembaga tersebut
merupakan bagian dari Dewan Umum atau General Council WTO sehingga semua
negara anggota terikat dan mempunyai hak yang sama untuk menggunakan
eksistensi dari DSB tersebut.5

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat dalam pelaksanaanya tidak


sedikit negara yang melakukan sebuah pelanggaran terhadap ketentuan WTO
maupun merugikan negara lain melalui kebijakan luar negeri yang telah diterapkan,

4
Lona Puspita “Upaya Penerapan Retaliasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan
Internasional Melalui World Trade Organization (WTO)”, NORMATIVE Jurnal Ilmiah Hukum,
Edisi No. 2 Tahun 201, hal. 54.
5
Ade Maman Suherman, “Dispute Settlement Body WTO Dalam Penyelesaian Sengketa
Perdagangan Internasional”, Jurnal Hukum & Pembangunan, Edisi No. 1 Tahun 2012, hal. 3.

3
sehingga memicu timbulnya sengketa dengan negara lain. Sengketa dapat timbul
ketika suatu negara tertentu menerapkan suatu kebijakan perdagangan tertentu yang
bertentangan dengan komitmennya di WTO. Salah satu kasus sengketa
perdagangan yang terjadi adalah sengketa produk kertas fotokopi A4 antara
Indonesia dengan Australia.

Sengketa dagang kertas ini berawal dari kebijakan Bea Masuk Anti Dumping
(BMAD) pemerintah Australia terhadap kertas fotokopi A4 Indonesia pada 20 April
2017. Penyelidikan tuduhan dumping diinisiasi oleh Australia Anti-Dumping
Commission (AADC) pada tanggal 12 April 2016 untuk produk A4 Copy, yang
berasal dari beberapa negara yaitu Brazil, China, Indonesia dan Thailand. Dasar
penyelidikan adalah petisi yang diajukan oleh produsen A4 Copy Paper di Australia
yang mengklaim mengalami kerugian akibat produk impor barang sejenis yaitu A4
Copy Paper dari keempat negara tersebut.

Pada April 2017, pemerintah Australia menerapkan Bea anti-dumping


terhadap kertas fotokopi A4 yang diimpor dari Indonesia. Ini terjadi sesudah
Komisi Anti-Dumping Australia menemukan bahwa pengekspor dari Indonesia
menjual kertas A4 dengan harga “dumping”. Adapun Bea Masuk Anti Dumping
(BMAD) yang dikenakan adalah sebesar 12-38, 6% untuk produk kertas yang
berasal dari Indonesia. Komisi Anti-Dumping Australia menyatakan bahwa
pemerintah Indonesia mendistorsi harga bubur kertas (pulp), materi awal untuk
kertas.

Indonesia keberatan bahwa karena penemuan ini tidak didukung bukti yang
cukup dan tidak sesuai dengan aturan WTO sudah diajukan. Dasar pengenaan
BMAD oleh Australia adalah Indonesia diduga kuat telah menciptakan kondisi
Particular Market Situation (PMS). Situasi PMS tersebut timbul akibat kebijakan
larangan ekspor kayu log Indonesia yang menyebabkan suplai kayu log di Indonesia
menjadi melimpah. Australia menganggap dampak dari melimpahnya suplai kayu
log tersebut menyebabkan kayu log tidak memiliki harga pasar yang pasti dan
menyebabkan harga bahan baku kertas menjadi jauh lebih murah. Pendekatan
diplomatik sudah dilakukan tetapi tidak mengubah kebijakan BMAD Australia.

4
Akhirnya tanggal 1 September 2017, Indonesia menggugat Australia ke WTO dan
meminta konsultasi dengan Australia sehubungan dengan pengenaan anti dumping
terhadap kertas fotokopi A4 asal Indonesia.

Sebelum kasus sengketa anti-dumping kertas fotokopi A4 antara Indonesia


dengan Australia ini mencuat, sebenarnya Indonesia pada tahun 2004 juga pernah
terlibat sengketa anti-dumping produk kertas tertentu (certain paper) melawan
Republik Korea (Korea-Anti-Dumping Duties on Imports of Certain paper from
Indonesia, DS-312). Indonesia menggugat Republik Korea ke WTO akibat
kebijakan Korea yang menerapkan anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas
tertentu Indonesia yang tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper
board used for writing, printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self
copy paper and other copying atau transfer paper.

Dalam kasus sengketa anti-dumping kertas fotokopi A4 antara Indonesia dan


Australia terdapat persamaan penerapan WTO Agreements (perjanjian WTO)
dengan kasus sengketa anti-dumping produk kertas tertentu (certain paper) antara
Indonesia dan Republik Korea yaitu menggunakan Agreement on Implementation
of Article VI of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994 dan The General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1947). Pada kedua kasus sengketa anti-
dumping di atas posisi Indonesia sebagai penggugat (complainant) sedangkan
masing-masing pihak Australia dan Republik Korea sebagai tergugat (respondent).
Kasus sengketa ini mempunyai perbedaan dalam penerapan pasal yang dilanggar,
pada sengketa antara Indonesia dengan Republik Korea umumnya menerapkan
ketentuan yang sama pada kasus sengketa Indonesia dengan Australia yakni pada
Pasal 2.2 dan 2.4 Agreement on Implementation of Article VI of the General
Agreement on Tariffs and Trade 1994, namun dalam sengketa Indonesia dengan
Australia, terdapat inkonsistensi terhadap Pasal 2.2.1.1 dan 9.3 ketentuan anti-
dumping. Pada kasus sengketa antara Indonesia dengan Australia, pihak Australia
tidak melakukan proper comparison untuk membandingkan harga impor produk
kertas tersebut dengan harga pada pasar domestik.

5
B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis merumuskan


masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Penerapan WTO Agreements terhadap kasus sengketa perdagangan
internasional antara Indonesia dengan Australia terkait pengenaan Bea Masuk Anti
Dumping terhadap produk kertas fotokopi A4 dari Indonesia pada tahun 2017?
2. Bagaimana efektivitas Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional WTO
dalam menyelesaikan kasus sengketa antara Indonesia dan Australia terkait
pengenaan kebijakan anti dumping (Bea Masuk Anti Dumping) Australia terhadap
produk kertas fotokopi A4 Indonesia?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.


1. Tujuan penelitian, yaitu dalam rangka meningkatkan pemahaman bagaimana
penerapan WTO Agreements (Perjanjian-Perjanjian WTO) dalam menyelesaikan
sengketa perdagangan internasional melalui mekanisme penyelesaian sengketa
perdagangan secara efektif dan efisien yang diatur dalam WTO.
2. Kegunaan penelitian
a. Kegunaan teoritis, yaitu untuk memberikan sumbangan pemikiran dan
mengembangkan ilmu pengetahuan terkait World Trade Organization Agreements
yang dapat diterapkan dalam rangka menyelesaikan perselisihan/sengketa
perdagangan internasional dalam rangka menciptakan keteraturan dalam
perdagangan internasional.
b. Kegunaan praktis bagi peneliti dan praktisi hukum di bidang perdagangan
internasional yaitu untuk meningkatkan pengetahuan tentang WTO Agreements
serta penerapannya dalam menyelesaikan perselisihan/sengketa perdagangan
internasional.
c. Bagi pelaku ekspor dan impor yaitu sebagai referensi dalam melaksanakan
kegiatan ekspor dan impor terutama meningkatkan pengetahuan terkait regulasi
perdagangan dalam dan luar negeri dan mampu mengidentifikasi hambatan-
hambatan perdagangan yang mungkin dihadapi.

6
D. Kerangka Konseptual

7
Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini yakni:

1. Perdagangan Internasional: Huala Adolf mengartikan perdagangan internasional


merupakan aktivitas tukar menukar atau jual beli antar negara sebagai upaya
untuk mendapatkan keuntungan.
2. Ekspor Impor: Perjanjian jual beli dalam lingkup internasional dikenal dengan
ekspor impor, pihak penjual adalah sebagai eksportir dan pihak pembeli adalah
sebagai importir. Ekspor impor adalah sebuah bentuk prestasi penjual untuk
menyerahkan barangnya kepada pembeli di seberang laut.6
3. The World Trade Organization Agreements: Adalah organisasi antar pemerintah
dengan tujuan untuk membuat perdagangan antar negara semakin mudah dan
semakin terbuka dengan penurunan atau bahkan meniadakan hambatan tarif atau
non tarif.
4. Dumping: suatu bentuk diskriminasi harga yang dilakukan oleh sebuah negara
pengekspor dengan menjual produknya dengan harga yang lebih rendah
dibandingkan harga pasar dalam negeri.7 Kebijakan ini memberikan dampak
buruk pada bidang perekonomian dan industri suatu negara akibatnya
perekonomian negara tersebut menjadi menurun secara drastis.
5. Anti Dumping: Adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh suatu negara
misalnya pengenaan bea masuk atau pembatasan, terhadap barang yang diimpor
dari negara lain yang dianggap melakukan dumping.

6
Adrian Sutedi, Hukum Ekspor Impor, Cetakan ke-1. (Jakarta: Raih Aksa Sukses Penebar Swadaya
Grup, 2014), hal. 7.
7
Anonim, “Dumping adalah: Penegrtian, Tujuan, Kelebihan dan Kekurangannya Dalam
Perdagangan Internasional”, https://accurate.id/bisnis-ukm/dumping-
adalah/#Pengertian_Dumping_Adalah, diakses pada 7 Juni 2021.

8
E. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah rangkaian teori-teori yang dijadikan sebagai landasan


berfikir untuk melaksanakan suatu penelitian dengan kata lain untuk
mendeskripsikan sebuah permasalahan dengan menggunakan teori sebagai sebuah
pisau analisis.

1. Perdagangan bebas: adalah pengurangan atau peniadaan hambatan perdagangan


baik yang bersifat tarif maupun non tarif.8 Dalam perdagangan internasional
yang dimaksud dengan perdagangan bebas adalah, perdagangan yang bebas dari
hambatan masuk dan keluar, impor dan ekspor. Perdagangan antar negara tidak
dapat dipersamakan dengan perdagangan domestik didalam negara itu sendiri.
Dalam perdagangan antar negara terdapat bea masuk impor yang dikenakan
terhadap barang-barang luar negeri yang masuk ke negara lain, di samping hal
itu juga ada pengenaan pajak ekspor yang dikenakan atas penjualan barang ke
luar negeri.9
2. Teori Keadilan Konvensional: pengertian keadilan konvensional adalah keadilan
yang terjadi ketika seseorang telah mematuhi peraturan perundang-undangan.
Keadilan dalam konteks perdagangan internasional adalah praktik sosial
internasional berkaitan dengan ketergantungan pasar, di mana praktek negara-
negara saling bergantung pada pasar bersama (baik pasar barang, jasa, maupun
modal).10 Prinsip keadilan dalam kerangka WTO diutarakan dengan terminologi
non-discrimination. Prinsip ini merupakan prinsip dasar dan menjadi pilar dalam
sistem perdagangan dunia. Prinsip non-diskriminasi dalam perdagangan
internasional dapat dilihat dari dua tujuan, yaitu tujuan politik dan tujuan
ekonomi. Dari perspektif politik, prinsip non-diskriminasi yang berkaitan
dengan dengan perdagangan internasional, bertujuan untuk mencegah sengketa-

8
Atih Rohaeti Dariah, “Perdagangan Bebas: Idealisme Dan Realitas”, Jurnal Mimbar, Edisi No. 21
Tahun 2005, hal. 118.
9
Sutan Dijo, “Pasar (Perdagangan) Bebas Internasional”,
https://www.kompasiana.com/ pasar-perdagangan-bebas-internasional, diakses pada 10 Februari
2021.
10
Emmy Latifah, “Eksistensi Prinsip-Prinsip Keadilan Dalam Sistem Hukum Perdagangan
Internasional”, PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum, Edisi No. 1 Tahun 2015, hal. 70.

9
sengketa dunia, sedangkan dalam jika dilihat dari tujuan ekonomi, prinsip non-
diskriminasi digunakan sebagai liberalisasi perdagangan dengan tujuan untuk
mencegah inefisiensi.11
3. Penyelesaian sengketa internasional: penyelesaian sengketa internasional dapat
dilakukan dengan kekerasan maupun secara damai. Penyelesaian sengketa
secara damai dalam WTO diatur dalam Understanding on Rules and Procedures
Governing the Settlement of Disputes/DSU12. Dalam penyelesaian sengketa
perdagangan internasional umum nya serupa dengan forum penyelesaian
sengketa pada umumnya, penyelesaian sengketa yang dimaksud dapat berupa
negosiasi, penyelidikan fakta-fakta (inquiry), penyelesaian melalui hukum, atau
melalui pengadilan, atau cara-cara penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih
dan disepakati oleh para pihak.13
4. Anti-Dumping: suatu kebijakan yang mengatur tentang ketentuan yang
mendasar pada praktik dumping itu sendiri, praktik dumping sangat jelas
menimbulkan kerugian pada negara yang berdampak tidak baik pada
perekonomian internasional di mana praktik tersebut adalah bagian dari
pelanggaran internasional.14
5. Perjanjian internasional: sebuah perjanjian yang diadakan oleh subjek-subjek
hukum internasional dan mempunyai tujuan untuk melahirkan akibat-akibat
hukum tertentu menurut Oppenheimer-Lauterpacht, perjanjian internasional
adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban
diantra pihak-pihak yang mengadakanya, sementara menurut UU No.21 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional, perjanjian internasional adalah perjanjian

11
Ibid., hal. 74.
12
Imawan Dicky Prasudhi, “Penanganan Sengketa Perdagangan Internasional Melalui WTO (World
Trade Organization)”,Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat, Edisi No.1 tahun 2007,hal. 35.
13
Benny Asrianto, “Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam Hukum Internasional (Suatu Tinjauan
Terhadap Forum Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional Non Litigasi)”, Jurnal Selat, Edisi
No. 2 tahun 2014, hal. 70.
14
Lusy K.F.R. Gerungan, “Kajian Yuridis Kebijakan Anti Dumping Dalam Perdagangan
Internasional”, Jurnal Lex Administratum, Edisi No. 3 tahun 2014, hal. 137.

10
dalam bentuk dan nama tertentu dalam hukum internasional yang dibuat secara
tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.15
6. Teori kepastian hukum: menurut Gustav Radbruch pada pokoknya mewajibkan
hukum dibuat secara pasti dalam bentuk yang tertulis.16 Adanya prinsip
kepastian hukum memberikan perlindungan bagi para pihak dari itikad tidak
baik dari pihak-pihak yang bersangkutan atau pihak ketiga.17 Menurut Maria
S.W Sumardjono kepastian hukum secara normatif memerlukan tersedianya
perangkat peraturan perundang-undangan yang secara operasional maupun
mendukung pelaksanaannya, secara empiris, keberadaan peraturan perundang-
undangan perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya
manusia pendukungnya. Dalam perdagangan internasional mengingat profit-
oriented, yang di mana dalam hal ini berupa ekspor impor maka penerapan
choice of law untuk pilihan hukum mana yang akan dipakai oleh kedua negara
yang melakukan transaksi dan choice of forum di mana pemilihan forum
manakala terjadi sebuah sengketa dalam kegiatan ekspor impor.18
F. Metode Penelitian
1. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah berupa
metode penelitian hukum normatif, sebuah inventarisasi terhadap hukum positif,
penemuan dasar falsafah dibuatnya hukum positif tersebut, penemuan hukum
incroceto untuk menyelesaikan kasus hukum evaluasi apakah suatu hukum
bertentangan dengan hak asasi manusia atau bertentangan dengan falsafah
negara atau tidak sesuai dengan teori.19
2. Sifat penelitian adalah penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu
mendeskripsikan suatu permasalahan yang muncul sesuai dengan rumusan

15
Samhis setiawan, “Perjanjian internasional”, https://www.gurupendidikan.co.id, diakses pada 27
Maret 2021.
16
Mario Julyanto, “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran
Positivisme Hukum”, Jurnal Crepido, Edisi No. 1 Tahun 2019, hal. 13.
17
Serlika Aprita dan Rio Adhitya, Hukum Perdagangan Internasional, (Depok: Rajawali Pers,
2020), hal. 93.
18
Anonim, “Kepastian Hukum Dan Keseimbangan Ialah Kuncinya”, https://www.ubaya.ac.id,
diakses pada 23 Mei 2021.
19
Rianto Adi, Aspek Hukum dalam Penelitian, Cetakan ke-1. (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia,
2015), hal. 9.

11
masalah, yang nantinya akan menggambarkan sebuah penyelesaian sengketa
perdagangan internasional dengan melalui World Trade Organization
Agreements.
3. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan data sekunder.
Data sekunder yang dimaksud berupa bahan hukum primer seperti Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing The
World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia), bahan hukum sekunder seperti buku-buku yang berhubungan dengan
perdagangan internasional, buku-buku yang memuat tentang ekspor impor,
jurnal-jurnal yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang diangkat,
dan bahan hukum lainya yang dapat dijadikan sebagai penunjang.
4. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan
menggunakan teknik studi kepustakaan yaitu dengan melakukan studi terhadap
bahan-bahan hukum primer dan sekunder.
5. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik kualitatif
menggunakan pengumpulan data analisis dan kemudian diinterpretasikan.20

20
Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif, (SukaBumi: CV Jejak,
2018), hal. 9.

12
G. Sistematika Penulisan
Penulis selanjutnya akan menjabarkan sistematika penulisan yang meliputi:

BAB I: PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menjabarkan mengenai garis besar permasalahan yang
ada pada judul yang akan diangkat, dalam bab ini dibagi menjadi beberapa bagian
yakni latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka
konseptual, kerangka teoritis, dan metode penelitian yang digunakan.

BAB II: KERANGKA TEORITIS


Pada bab ini berisikan teori-teori yang digunakan untuk menganalisis
permasalahan yang terdapat pada latar belakang yang telah dijabarkan
sebelumnya.
BAB III: DATA HASIL PENELITIAN
Pada bab ini berisikan pemaparan data hasil penelitian berdasarkan metode
penelitian yang digunakan, data yang dipaparkan berupa data yang bersifat narasi
dan menggunakan data sekunder. Bab ini menguraikan rentetan kasus berdasarkan
putusan serta wawancara dengan narasumber yang mempunyai kekhususan pada
topik yang diangkat.
BAB IV: PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang pembahasan terkait dengan teori sebagai pisau analisis,
untuk menjawab permasalahan yang terdapat pada penelitian ini dari berbagai sudut
pandang yang mempunyai sangkut paut dengan topik yang diangkat.

BAB V: PENUTUP
Pada bab ini ditarik sebuah kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh dan
berdasarkan pembahasan, untuk menjawab permasalahan.

13
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Praktik Anti-dumping dalam Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional adalah suplai barang atau jasa (supply of goods or


services) dari satu wilayah negara (negara produsen) ke dalam wilayah negara
lainnya (negara pasar).21 Ekspor adalah perdagangan dengan mengeluarkan barang
dari dalam ke luar wilayah pabean suatu negara ke negara lain dengan memenuhi
ketentuan yang berlaku. Eksportir adalah badan usaha, baik berbentuk badan
hukum maupun bukan berbadan hukum, termasuk perorangan yang melakukan
kegiatan ekspor.22 Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah
pabean. Perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan impor tersebut
disebut importir.23 Berdasarkan konsep perdagangan internasional, salah satu
sumber hukum yang terpenting adalah ketentuan-ketentuan dalam GATT/General
Agreement on Tariffs and Trade (Persetujuan Umum Tentang Tarif dan
Perdagangan) yang dalam perjalannya melahirkan WTO/World Trade
Organization (Organisasi Perdagangan Dunia).24

Indonesia adalah salah satu pendiri WTO dan telah meratifikasi persetujuan
pembentukan WTO melalui Undang-Undang No.2 tahun 1994. Persetujuan
pembentukan WTO tersebut merupakan salah satu hasil dari perundingan
perdagangan multilateral putaran Uruguay. Sebagaimana dapat diketahui bahwa
perundingan ini mempunyai prinsip a single undertaking, dengan demikian maka

21
Ida Bagus Wyasa Putra dan Ni Ketut Supasti Dharmawan, Hukum Perdagangan Internasional.
(Bandung: PT Refika Aditama, 2017), hal. 1.
22
Adrian Sutedi, Op.Cit., hal. 12.
23
Ibid, hlm. 8.
24
Jamilus, “Analisis Fungsi Dan Manfaat WTO Bagi Negara Berkembang (Khususnya Indonesia)
(Analysis of The Function and Benefits of WTO for Developing Countries (Especially Indonesia)”,
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Edisi No.2 Tahun 2017, hal. 205-225.

14
Indonesia sebagai salah satu anggota WTO harus menerima dan melaksanakan
semua isi persetujuan yang telah dihasilkan dalam Uruguay round tersebut.25

Perdagangan internasional (perdagangan lintas batas negara) mengalami


dinamika dari waktu ke waktu. Seiring dengan perkembangannya, ada banyak
permasalahan yang terjadi disebabkan berbagai faktor. Permasalahan-
permasalahan tersebut dapat mengeras dan menjadi suatu hambatan (barrier) yang
dapat mendorong terjadinya penurunan hubungan yang harmonis dalam
perdagangan internasional. Komitmen dalam suatu perdagangan internasional yang
harus dipegang oleh masing-masing pihak para pelaku di bidang perdagangan
internasional. Masalah terbesar yang mudah diidentifikasi dan yang paling sering
terjadi adalah justru terkait dengan pelanggaran prinsip kejujuran dan adil yang
mengakibatkan terjadinya praktek dagang yang tidak sehat (unfair trade practices)
dalam melaksanakan aktivitas perdagangan internasional.26 World Trade
Organization ditujukan untuk menghasilkan kondisi-kondisi yang bersifat timbal
balik, dan saling menguntungkan. Dalam menjalankan tugasnya untuk mendorong
perdagangan bebas tersebut WTO memberlakukan beberapa prinsip yang menjadi
pilar-pilar World Trade Organization.27

Banyaknya praktek perdagangan yang tidak sehat yang terjadi dalam


hubungan perdagangan internasional dan yang paling banyak disorot adalah
masalah dumping. Praktek dumping telah lama ditempatkan sebagai salah satu
praktek dagang yang tidak sehat yang terjadi dalam konteks perdagangan
internasional yang menimbulkan kerugian dan dapat memukul dunia usaha suatu
negara tempat praktek dumping itu terjadi. Dengan menjual suatu jenis barang
produksi ekspor dengan harga lebih rendah dari harga pasar dalam negeri (negara
pengimpor) mengakibatkan matinya pasar barang sejenis dalam negeri, hal ini
membuat barang-barang sejenis tersebut tidak lagi dapat bersaing secara kompetitif

25
Revy S.M. Korah, “Prinsip-Prinsip Eksistensi General Agreement On Tariffs And Trade
(GATT) Dan World Trade Organization (WTO) Dalam Era Pasar Bebas”, Jurnal Hukum Unsrat,
Edisi No.7 Tahun 2016, hal. 46.
26
Christophorus Barutu, Ketentuan Anti Dumping Subsidi dan Tindakan Pengamanan (safeguard)
dalam GATT dan WTO, Cetakan ke-1. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 45.
27
Revy S.M. Korah,Op.Cit., hal. 48.

15
dan fair akibat perbedaan harga yang sangat drastis. Namun dibalik itu semua hanya
praktek dumping yang menimbulkan kerugian yang dapat dikategorikan sebagai
perdagangan tidak sehat (unfair trade practices).

Praktek dumping merupakan tindakan yang jelas-jelas dapat menimbulkan


kerugian yang sangat serius terhadap perekonomian setiap negara yang mana setiap
negara memerlukan perlindungan (protection) yang memadai sehingga lahirlah
suatu instrumen kebijaksanaan perdagangan yang dikenal dengan istilah
antidumping. Kebijaksanaan anti dumping merupakan ketentuan-ketentuan yang
menyoroti praktek dumping dan penjatuhan sanksi/hukuman terhadap pelaku
praktek dumping dalam konteks perdagangan internasional.

1. Terminologi dumping dalam perdagangan internasional

Menurut Badan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (n.d),


dumping adalah sistem penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah
banyak dengan harga yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian di
dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar
negeri dan dapat menguasai harga kembali)28

Menurut kamus ekonomi, dumping merupakan sistem penjualan barang


secara besar-besaran di daerah pemasaran lain, biasanya di luar negeri dengan harga
lebih rendah jika dibandingkan dengan harga penjualan di dalam negeri.29

Pengertian dumping dalam GATT dan WTO: Dumping is, in general a


situation of international price of a product when sold in the importing country is
less than price of that product in the market of the exporting country. 30 (dumping
adalah suatu situasi dari harga suatu produk internasional yang dijual di negara
importir yang kurang dari harga produksi dipasar negara pengekspor)

28
Badan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (n.d). Dumping (Def. 1). Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses pada 23 Maret 2021, https://kbbi.web.id.
29
Nurul Oktima, Kamus Ekonomi, (Surakarta: PT Aksarra Sinergi Media, 2018), hal. 84.
30
World Trade Organization, https://www.wto.org/english/tratop_e/adp_e/adp_info_e.htm

16
Dumping merupakan suatu strategi yang dilakukan oleh eksportir
produsen/eksportir untuk bersaing dalam upaya mencapai atau meningkatkan
pangsa pasar di sebuah negara, yakni negara tujuan ekspor dengan cara menjual
barangnya ke negara lain dengan harga yang lebih murah daripada harga jual pada
pasar domestiknya. Praktik dumping secara tidak langsung dapat berdampak
negatif bagi produsen domestik yang belum mampu menghadapi persaingan yang
super ketat dari produk impor. Praktek dumping merupakan praktek dagang yang
tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktek dumping akan menimbulkan
kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan
terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah
daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing,
sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang
diikuti munculnya dampak ikutannya seperti pemutusan hubungan kerja massal,
pengangguran dan bangkrutnya industri sejenis dalam negeri.31

Dilihat dari dampaknya terhadap konsumen dan industri dalam negeri importir ada
dua bentuk dumping yaitu:32

a. dumping yang bersifat perampasan (predatory dumping), yaitu apabila


perusahaan melakukan diskriminasi dan menguntungkan pembeli untuk sementara
waktu dengan tujuan untuk menghilangkan saingan, setelah saingan itu tersingkir
maka harga dinaikkan kembali.
b. dumping yang dilakukan terus menerus (persistent dumping), biasanya bentuk
dumping ini tidak dilakukan karena pada dasarnya hanya akan menguntungkan
konsumen.

Pasal VI GATT 1947 memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dilarang
oleh GATT adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian materil, baik
terhadap industri yang sudah berdiri (to an established industry) maupun telah

31
Christhophorus Barutu, Op.Cit., hal. 38.
32
Ibid., hal. 39.

17
menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik (the establishment of a
domestic industry)33.

Pada dasarnya dumping dilarang karena dianggap selalu dapat merugikan


negara. Mengutip pendapat John H. Jackson, tidak semua dumping dapat
merugikan negara importir dan menguntungkan negaranya, bahkan sebaliknya ada
dumping yang dapat merugikan produsen sendiri serta menguntungkan konsumen
karena konsumen dapat membeli barang yang murah harganya. Jadi menurut Pasal
VI GATT, hanya dumping yang dapat merugikan negara lain yang dilarang.
Kerugian itu harus dibuktikan secara objektif, sebab tidak semua dumping dapat
merugikan negara importir dan menguntungkan negaranya. Tetapi sebaliknya,
kebijaksanaan ini bahkan dapat merugikan produsennya sendiri serta hanya
menguntungkan konsumen, karena konsumen dapat membeli barang yang murah
harganya.34

2. Kebijakan Anti-Dumping Terhadap Praktik Dumping

Mewujudkan ketertiban dan keadilan di bidang perdagangan internasional,


memerlukan aturan-aturan yang mampu menjaga hak-hak dan kewajiban para
pelaku perdagangan internasional ini. Aturan-aturan di dalam hubungan
perdagangan internasional tersebut seringkali menimbulkan dampak negatif dan
berpotensi mengancam ekonomi suatu Negara. Tuduhan melakukan dumping baik
yang terbukti atau tidak yang kemudian dibawa ke mekanisme penyelesaian
sengketa ke WTO sering menyulitkan negara berkembang dan terbelakang.

Anti-Dumping adalah suatu kebijakan yang mengatur mengenai ketentuan


dasar pada praktik dumping itu sendiri. Hal ini karena dumping merupakan kegiatan
yang merugikan negara dan memberikan dampak buruk bagi perekonomian
nasional, sehingga praktik dumping ini merupakan suatu pelanggaran dalam
perdagangan internasional. Sebuah negara memerlukan proteksi terhadap

33
Ibid., hal. 48.
34
Ibid., hal. 49-50.

18
perekonomiannya, di mana tidak dapat dipungkiri masih banyak praktek dumping
yang terjadi dalam perdagangan internasional dan dalam negeri.35

Persoalan dumping maupun anti-dumping telah diatur dalam Pasal VI GATT


1947. Pasal VI mengizinkan negara negara peserta GATT untuk melakukan
tindakan anti-dumping jika dalam praktek perdagangan terjadi dumping yang
berdampak pada kerugian industri dalam negeri. Pasal VI GATT sangat sederhana,
maka diadakan persetujuan baru yang mengatur pelaksanaan Pasal VI GATT
tersebut. Dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa tindakan antidumping akan diberlakukan
hanya dalam keadaan sebagaimana diatur dalam Pasal VI GATT 1994 dan menurut
prosedur penyelidikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994.36

Merujuk pada Anti-Dumping Agreement/ ADA Implementation of article VI


of the General Agreement on Tariffs and Trade, tindakan anti-dumping hanya
diberlakukan dalam keadaan sebagaimana diatur dalam GATT 1994 dan menurut
prosedur penyelidikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
tersebut. Apabila tidak ada produk yang sejenis di pasar domestik negara
pengekspor penjualan demikian tidak boleh dipakai sebagai pembanding yang
tepat. Oleh karena itu, selisih dumping kemudian ditentukan oleh perbandingan
dengan harga pembanding produksi jenis ketika diekspor ke-Negara ketiga. Produk
sejenis sesuai dengan article II agreement on implementation of article VI of the
GATT 1994 adalah produk yang identik dalam semua aspeknya atau apabila tidak
ada produk seperti itu, produk lain sekalipun tidak identik dengan semua aspek,
yang mempunyai ciri yang mendekati sama dengan produk yang mendapat
pertimbangan.37

35
Lusy K.F.R. Gerungan, Op.Cit, hal. 137.
36
The Result of The Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiation, The General Agreement on
Tariffs and Trade, Pasal VI ayat 1.
37
Ibid., hal. 139.

19
3. Penerapan BMAD bagi produk dumping

Praktik penetapan harga secara dumping, secara umum muncul ketika pasar
negara pengekspor bersifat monopoli dan oligopolistik sementara pasar luar negeri
kompetitif. Praktik dumping tersebut dapat mengancam atau menyebabkan
kerugian material pada industri negara lain. Bea Masuk Anti Dumping (BMAD)
adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang dumping yang
menyebabkan kerugian. Adapun yang dimaksud barang dumping adalah barang
yang diimpor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya
di negara pengekspor. Selain bea masuk anti dumping, ada pula BMAD Sementara.
Bea Masuk Anti Dumping sementara merupakan pungutan negara yang dikenakan
pada masa penyelidikan terhadap barang dumping yang menyebabkan kerugian
berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bea Masuk Anti Dumping ditujukan
guna melindungi produsen dalam negeri dari persaingan tidak sehat dengan
pemasok barang yang sama di luar negeri. Dalam konteks regulasi nasional,
pengertian BMAD merujuk pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No.34
Tahun 2011 tindakan anti-dumping adalah tindakan yang diambil pemerintah
berupa pengenaan BMAD atas barang dumping. Sementara itu, BMAD adalah
pungutan negara yang dikenakan terhadap barang dumping yang menyebabkan
kerugian.38

38
Nora Galuh Candra Asmarani, “Apa Itu Bea Masuk Anti Dumping?”https://news.ddtc.co.id/,
diakses pada 28 Mei 2021.

20
Pasal 9 Anti-Dumping Agreement on Implementation of Article VI of the
General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (Article 9 Imposition and Collection
of Anti-Dumping Duties), mengatur tentang pengenaan bea masuk anti-dumping.
Di dalam pasal ini menjelaskan tentang cara penentuan BMAD serta badan yang
mempunyai hak untuk menentukan besaran BMAD yang harus dikenakan.
Tindakan sementara dan bea masuk anti-dumping hanya diberlakukan pada jenis
produk yang digunkan setelah ketika keputusan diambil sesuai dengan cara
berturut-turut paragraph 1 article 7 dan paragraph 1 article 9 mulai berlaku dengan
mengikuti pengecualian yang diatur dalam article 10.39

Persetujuan Anti-Dumping memuat klasifikasi dan memperluas Pasal 6,


dalam persetujuan ini mengizinkan suatu negara untuk bertindak yang tidak sesuai
dengan komitmen tarif yang diikatnya dan dapat bertolak belakang dengan prinsip
non diskriminasi. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghitung
apakah suatu produk merupakan produk dumping, tiga metode yang dapat
digunakan yaitu, pertama dapat dengan menggunakan harga jual di pasar domestik
negara pengekspor sebagai pembanding. Apabila hal ini sulit dilakukan, dua
metode lain adalah dengan membandingkan harga produk yang sama dari negara
pengekspor yang lain (pihak ketiga) atau dengan metode kombinasi perhitungan
biaya produksi ekspor, pengeluaran yang lain dan margin keuntungan normal.
Dalam persetujuan ini juga diatur tingkat perbandingan yang dianggap adil antara
harga ekspor dan harga normal.40

Namun memperhitungkan tingkat dumping saja tidak cukup karena tindakan


anti-dumping hanya dapat berlaku jika pemasaran pada produk dumping dianggap
dapat membahayakan pasar domestik. Oleh karena itu penyelidikan secara rinci
perlu dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Pelaksanaan investigasi
juga harus pula memperhatikan kondisi-kondisi ekonomi yang terjadi di negara
pengekspor. Jika dalam investigasi terbukti adanya tindakan dumping dan

39
Lusy K.F.R. Gerungan, Op.Cit., hal. 140.
40
Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan Hak Kekayaan Intelektual et al, “Sekilas
WTO World Trade Organization”, (Jakarta: Direktorat Perdagangan, Perindustrian Investasi, dan
Hak Kekayaan Intelektual Direktorat Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri, 2010), hal. 43.

21
merugikan industri domestik perusahaan pengekspor dapat menaikan harga ekspor
pada tingkat yang disetujui bersama sehingga dapat menghindari tindakan anti-
dumping di negara pengimpor berupa kenaikan bea masuk untuk produk dumping.41

BMAD merupakan suatu bentuk hambatan tarif yang ditetapkan oleh


pemerintah untuk melindungi produksi dalam negeri, pengenaan BMAD yang
berkelanjutan dapat dikenakan selama lima tahun apabila terdapat injury dan
dumping. Namun sebelum mengenakan BMAD tersebut harus dilakukan
penyelidikan dahulu dengan memperhatikan indikator-indikator untuk
menganalisis apakah barang tersebut merupakan barang dumping atau bukan
berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,
bahwa Bea Masuk Anti-dumping dapat dikenakan pada barang impor, dalam hal:
harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya dan impor
barang tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang
memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut mengancam terjadinya
kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan
barang tersebut; atau menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam
negeri.42
Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2011, untuk
membuktikan adanya dumping pada sebuah produk, maka perlu diketahui bahwa
Bea Masuk Anti-Dumping yang dikenakan setelah dilakukan penyelidikan oleh
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), penyelidikan dilakukan dapat berupa: (1)
berdasarkan permohonan, produsen dalam negeri barang sejenis dan/atau asosiasi
produsen dalam negeri barang sejenis (yang mewakili industri dalam negeri) dapat
mengajukan permohonan secara tertulis kepada KADI untuk melakukan
penyelidikan dalam rangka pengenaan. Tindakan Anti Dumping atas barang impor
yang diduga sebagai barang dumping yang menyebabkan kerugian. Permohonan
harus memuat bukti awal dan didukung dengan dokumen lengkap mengenai adanya
barang dumping, kerugian, dan hubungan sebab akibat antara barang dumping dan

41
Ibid., hal. 44.
42
Indonesia, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Pasal 18.

22
kerugian yang dialamai oleh pemohon, (2) berdasarkan inisiatif KADI,
penyelidikan yang berdasarkan inisiatif KADI dapat dilakukan bila mana KADI
memiliki bukti awal yang cukup mengenai adanya barang dumping, kerugian
Industri dalam negeri, dan hubungan sebab akibat antara barang dumping dan
kerugian industri dalam negeri43
Ketentuan WTO terkait tindakan dumping dan anti-dumping pada dasarnya
bersifat tidak menghakimi, namun lebih menerapkan pedoman bagaimana negara-
negara anggota WTO merespon terhadap tindakan dumping. Dalam perjanjian anti-
dumping memungkinkan pemerintah mengambil tindakan perlawanan terhadap
produk dumping bilamana dalam penyelidikan telah ditemukan bahwa dumping
benar-benar ada, dalam hal menentukan tingkat dumping, perlu dilakukan
perhitungan harga normal di negara asal eksportir dan harga ekspor prosedur rinci
ketentuan anti-dumping mengatur bagaimana kasus anti-dumping harus dimulai,
bagaimana investigasi harus dilakukan dan kondisi untuk memastikan bahwa semua
pihak yang berkepentingan diberi kesempatan untuk mengajukan bukti.44
4. Anti dumping dalam GATT dan WTO

Praktik dumping merupakan suatu tindakan yang jelas memberikan kerugian


yang cukup serius bagi perekonomian di setiap negara termasuk Indonesia. Di mana
setiap negara memerlukan perlindungan (protection) yang memadai, sehingga lahir
suatu instrumen kebijakan perdagangan yang dikenal dengan istilah antidumping.
Praktik dumping dilakukan dengan menjual barang di suatu pasar ekspor dengan
lebih rendah dari harga penjualan di pasar domestik, atau dibawah biaya produksi.
Prinsip utama yang dianut dan diterapkan dalam GATT adalah tidak ada
diskriminasi (non discrimination) sebagaimana tercantum dalam klausula Most
Favored Nation (MFN). Dalam prinsip ini mengharuskan setiap negara

43
Abi Jam’an kurnia, “Asas-Asas Antidumping”, https://www.hukumonline.com, diakses pada 28
Mei 2021.
44
Aditya P Alhayat, “Efektivitas Tindakan Anti Dumping Indonesia”, Jurnal Kemendag, Edisi
No.2 Tahun 2014, hal. 2.

23
penandatangan persetujuan peraturan GATT memberikan perlakuan yang sama
dalam kebijakan perdagangan internasional.45

Mengutip pendapat Robert Willig, dumping dapat dibedakan menjadi 5 (lima) tipe
dengan melihat dan tujuan eksportir, di antaranya adalah:46

a. Market Expansion Dumping: dumping dengan tipe ini, mendapat keuntungan


yang didapat oleh perusahaan pengekspor dengan cara menetapkan “mark-up” yang
lebih rendah di pasar impor dikarenakan menghadapi elastisitas permintaan yang
lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah.
b. Cyclical Dumping: dumping ini muncul akibat biaya marginal yang tidak jelas
atau cenderung rendah. Penyebab hal ini terjadi karena kemungkinan berupa biaya
produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang menyertai
kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk
yang terkait.
c. State Trading Dumping: dumping ini muncul dan disebabkan hampir sama
dengan aksi dumping lainnya, namun lebih menonjolkan akuisisi moneternya.
d. Strategic Dumping: istilah strategic dumping adalah istilah yang
menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di negara pengimpor,
hal ini bisa dilakukan dengan strategi yaitu pemotongan harga ekspor dan
pembatasan pada produk yang sama ke pasar negara pengekspor.
e. Predatory Dumping: istilah ini dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan
tujuan untuk mematikan pesaing dari pasar dalam rangka memperoleh kekuatan
monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping ini adalah
matinya perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.47

Trade remedies, adalah instrumen yang digunakan secara sah untuk


melindungi industri dalam negeri suatu negara dari kerugian akibat praktik

45
Arifin Ma’ruf, “Tindakan Menguasai Pasar Luar Negeri Secara Ilegal ( Analisis Pengenaan Bea
Masuk Anti Dumping Terhadap Impor Hot Rolled Plate (HRP) Dari Negara Republik Rakyat
Tiongkok (RRT), Ukraina, dan Singapura)”,Jurnal Supremasi Hukum, Edisi No. 2 Tahun 2017 hal.
104.
46
Seputar Pendidikan, “Dumping Adalah: Pengertian, Tujuan, Dan Jenisnya”,
https://www.seputarpengetahuan.co.id, diakses pada 4 Mei 2021.
47
Arifin Ma’ruf, Op.Cit., hal.103

24
perdagangan tidak sehat (unfair trade). Bentuknya bisa berupa bea masuk anti
dumping (BMAD) maupun bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTP) atau
safeguards.48 Secara umum pengaturan trade remedies, mengacu kepada tindakan
atau kebijakan pemerintah untuk meminimalkan dampak negatif dari impor
terhadap industri dalam negeri. Baik yang digunakan secara jujur maupun yang
digunakan secara tidak jujur.49 Remedi perdagangan digunakan untuk
mengantisipasi produk dumping, dan produk bersubsidi yang diwujudkan dalam
bentuk pengenaan bea masuk impor tambahan yaitu bea masuk anti dumping atau
Anti Dumping Duties.

Dalam kebijakan Anti-Dumping Code, kebijakan Anti-Dumping hanya dapat


dibebankan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam GATT dan dengan adanya
bukti bahwa negara yang bersangkutan bersalah melakukan dumping, yaitu
mengenai ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan dengan penjabaran dan proses
yang sesuai. 50

B. Penyelesaian Sengketa Dengan Mekanisme (Sistem) World Trade


Organization

World Trade Organization, merupakan organisasi perdagangan internasional


yang mempunyai tugas untuk mengatur masalah perdagangan dalam lingkup
internasional. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu
persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil
perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan
tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk
mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan di negaranya masing-

48
Yustinus Andri DP, “Peluang Ekspor Dari Pelonggaran Trade Remedies Tak Tergarap
Maksimal”, https://ekonomi.bisnis.com, 11 April 2021.
49
Nandang. S, “Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam
Negeri”, Jurnal Hukum, Edisi No. 2 Tahun 2017, hal. 231.
50
Eunike Trisnawati, “Implikasi Pencegahan Dumping Sebagai Unfair Trade Practices Terhadap
Negara Berkembang”, Uti Possidetis: Journal of International Law, Edisi No. 3 Tahun 2020, hal.
265.

25
masing. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi
Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7 Tahun 1994.51
1. World Trade Organization Sebagai Forum Perdagangan Multilateral
World Trade Organization yang didirikan pada 1 Januari 1995 mempunyai
peran terpenting dalam melakukan pengaturan sistem perdagangan multilateral
yang melibatkan banyak negara. Sistem sebagaimana diamksud merupakan sebuah
pengembagan lanjutan dari kesepakatan-kesepakatan perjanjian perdagangan
multilateral di bawah kerangka General Agreement on Tariffs and trade (GATT),
yang dibentuk pada tahun 1947.52
2. Prinsip Umum Penyelesaian Sengketa
Maksud dari penyelesaian sengketa, adalah agar setiap anggota menghormati
hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Dispute Settlement Body (DSB) sebagai badan penyelesaian sengketa WTO dalam
memberikan rekomendasi dan merumuskan aturan tidak diperkenankan untuk
menambah atau mengurangi hak dan kewajiban dari negara anggota yang telah
tercantum dalam perjanjian yang tercakup di dalam daftar daftar perjanjian yang
dapat diajukan menggunakan mekanisme penyelesaian. Tujuan DSU adalah, untuk
memecahkan masalah secara positif atas kerugian yang dialami suatu negara
sebagai akibat indikasi tindakan pelanggaran perjanjian yang telah dilakukan oleh
negara lain.53
Menurut kamus perdagangan Internasional, Appellate Body merupakan badan
penyelesaian sengketa dalam forum WTO, badan ini merupakan badan independen
yang beranggotakan 7 (tujuh) orang yang dibentuk oleh Dispute Settlement Body
World Trade Organization. Appellate Body merupakan badan yang bertugas

51
Christophorus Barutu, Seni Bersengketa Di WTO (Diplomasi dan Pendekatan Mekanisme
Penyelesaian Sengketa WTO), Cetakan ke-1. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2015), hal.12.
52
Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia (ed), Perdagangan Internasional: Peluang Dan
Tantangan Bagi Indonesia, (Jakarta: PT.Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, 2004), hal.
68.
53
Ibid., hal.117

26
melakukan peninjauan kembali (bilamana naik banding) hasil putusan Dispute
settlement Panel dalam menyelesaikan perselisihan perdagangan.54
Penyelesaian sengketa yang terstruktur dan tepat waktu adalah hal terpenting
untuk mencegah terjadinya kerugian dalam sengketa perdagangan internasional
yang berkepanjangan. Disamping itu suatu mekanisme yang berlandaskan pada
sebuah aturan yang telah disepakati bersama akan mencegah adanya power
determines the outcome dalam sengketa antara negara maju dan negara
berkembang.55
Sistem penyelesaian sengketa WTO, mempunyai tujuan yang berupa
memberikan keamanan dan prediktabilitas sistem perdagangan multilateral (Pasal
3.2 DSU). Meskipun perdagangan internasional dalam WTO diartikan sebagai
aliran barang dan jasa antarnegara anggota, tidak berarti bahwa dilakukan oleh
negara tetapi dilakukan oleh sektor swasta. Dalam perspektif tersebut DSU
bertujuan untuk menyediakan sistem yang cepat, efisien, dapat diandalkan, dan
berorientasi pada peraturan dalam menyelesaikan berbagai sengketa yang muncul
dari berbagai kebijakan perdagangan. Dengan memperkuat penegakan hukum,
sistem penyelesaian sengketa membuat sistem perdagangan lebih aman dan dapat
diprediksi.56 Bilamana terjadi suatu kasus di mana seorang anggota WTO
melanggar ketentuan dari WTO, maka sistem penyelesaian sengketa memberikan
solusi yang relatif cepat melalui keputusan independen yang harus dilaksanakan
segera, dan apabila tidak dilaksanakan, maka negara anggota tersebut kemungkinan
akan mendapatkan sanksi perdagangan.57
Sengketa perdagangan yang diselesaikan di WTO lebih menerapkan pada
rules based approach, sehingga dengan demikian tiap-tiap negara anggota dapat
merasa nyaman dengan keberadaan WTO sebagai forum penyelesaian sengketa.

54
Tumpal Rumapea, “Kamus Lengkap Perdagangan Internasional”, Cetakan ke-2. (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal. 41.
55
Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi Dan HKI (PPIH) Direktorat Jenderal Multilateral
Kementerian Luar Negeri, Sistem Penyelesaian Sengketa WTO, Cetakan ke-1. (Jakarta: Direktorat
Perdagangan, Perindustrian, Investasi Dan HKI (PPIH) Direktorat Jenderal Multilateral
Kementerian Luar Negeri, 2011), hal. 4-5.
56
Ibid., hal. 16.
57
Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi Dan HKI (PPIH) Direktorat Jenderal Multilateral
Kementerian Luar Negeri, Op.Cit., hal .16.

27
Adapun mengenai prosedur penyelesaian sengketa WTO melalui tiga tahapan yaitu
konsultasi, panel, dan appellate body. Dengan tiga tahap tersebut terjawab
kepastian hukum dan penyelesaian sengketa yang berdasarkan pada ruled based
system.58
3. Badan-Badan Penyelesaian Sengketa Dalam World Trade Organization
Dalam melakukan penyelesaian sengketa dengan melalui mekanisme WTO
ada beberapa badan-badan penyelesaian sengketa yang dipergunakan diantaranya
adalah:59
a. Dispute Settlement Body (DSB):
Merupakan badan penyelesaian yang dibentuk oleh WTO Agreement dan
berfungsi untuk melaksanakan peraturan-peraturan prosedur yang terdapat dalam
WTO termasuk pula perjanjian yang terkait didalamnya jika diatur khusus. Maka
dari itu, DSB mempunyai wewenang pula untuk membentuk panel, menerima
laporan panel, dan juga dari badan baru yaitu badan banding (Appellate Body), tugas
DSB antara lain adalah untuk mengawasi implementasi putusan dan rekomendasi,
dan mengusahakan penangguhan konsesnsi serta kewajiban-kewajiban yang
terkait.
b. Panel:
Panel dibentuk atas dasar sebuah permintaan para pihak yang
keanggotaannya terdiri dari tiga orang yang merupakan individu-individu
pemerintah dan/atau non-pemerintah yang cakap, pernah bertugas sebagai utusan
negara di WTO atau pernah menerbitkan publikasi tentang hukum atau kebijakan
internasional, serta juga pernah bertugas sebagai pejabat perdagangan di negara
anggota. Panel berfungsi sebagai pembantu DSN dalam membuat rekomendasi atau
keputusan. Panel harus berkonsultasi secara teratur dengan pihak yang bersengketa
dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mencari penyelesaian masalah.

58
Maslihati Nur Hidayati, “Analisis Tentang Sistem Penyelesaian Sengketa WTO: Suatu Tinjauan
Yuridis Formal”, Jurnal Lex Jurnalica, Edisi No.2 Tahun 2014, hal. 161.
59
Meita Glovita, Skripsi: “Pelaksanaan Keputusan Panel Sengketa WTO Terhadap Praktek
Perdagangan Rokok (Studi Kasus Antara Indonesia Dan Amerika Serikat)”, (Makassar: Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, 2016), hal. 29.

28
c. Badan Banding (Appellate Body):
Dispute Settlement Body (DSB), mendirikan badan banding permanen yang
mengadili banding dari tingkat panel, badan ini terdiri dari tujuh orang anggota
personil, dan tiga diantaranya bertugas dalam setiap kasus.60 Pengajuan banding
terbatas pada persoalan hukum yang terdapat dalam laporan panel serta interpretasi
yang dilakukan panel. Badan banding bertugas untuk mempertahankan,
mengoreksi, dan mengubah temuan hukum serta kesimpulan panel. Apabila DSB
telah mengesahkan suatu laporan panel dan/atau badan banding, maka rekomendasi
yang dimuat tersebut mengikat secara hukum.

C. Choice of Law
Sengketa dapat berawal dari berbagai potensi, salah satunya pada sengketa
perdagangan internasional karena umumnya dalam perdagangan internasional
melibatkan 2 (dua) negara, adanya perbedaan hukum dari negara tersebut yang
saling berbeda satu dengan lainnya, maka terjadi benturan hukum antar negara yang
terlibat tidak dapat dihindarkan.61
Banyaknya pelaku usaha luar negeri dengan pelaku usaha lokal yang
melakukan kerjasama dibidang perdagangan sehingga bila terjadi sengketa
internasional, diperlukan suatu model penyelesaian sengketa yang dapat
mengakomodasi kepentingan-kepentingan para pelaku usaha.62 Kegiatan
perdagangan dan transaksi bisnis internasional dilakukan oleh pihak berdasarkan
kesepakatan yang dituangkan dalam suatu kontrak (perjanjian) internasional.
Kontrak internasional mempunyai posisi terpenting sebagai rujukan yang paling
utama bagi para pihak dalam pelaksanaan sesuatu hal yang diperjanjikan, sampai
pada penentuan bagaimana cara penyelesaian yang akan ditempuh.

60
World Trade Organization, Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement
of Disputes, Artikel 17. 1.
61
Risa Restiyanada, “Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional Melalui Mediasi Sebagai
Alternatif Penyelesaian Sengketa Pada Pemilihan Hukum Dan Forum Kontrak Dagang
Internasional”, Jurnal Aktualita, Edisi No. 3 Tahun 2020, hal. 131.
62
Ibid., hal. 131.

29
Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga
yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase
sementara (ad hoc), badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa ini
arbitrase semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa
dagang nasional maupun internasional.63 United Nation Commission on
International Trade Law (UNCITRAL), merupakan komisi internasional di bawah
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mempunyai tujuan yaitu mengharmonisasikan
dan mengunifikasi suatu hukum yang fokus kepada perdagangan internasional.
Kesepakatan dalam UNCITRAL dilaksanakan oleh negara-negara, namun komisi
ini bekerjasama dengan organisasi atau lembaga yang relevan seperti ICCA untuk
beberapa isu arbitrase.
Dalam kaitanya dengan forum arbitrase UNCITRAL bertujuan untuk
mempersiapkan suatu model hukum yang ideal dalam menghadapi keberagaman
dari model ketentuan beracara dalam forum arbitrase.64
Model Hukum (the model law), arbitrase perdagangan internasional
merupakan sebuah model ketentuan yang dapat diadopsi oleh negara-negara yang
telah menyepakati dan melakukan ratifikasi ketentuan dalam the model law tersebut
untuk dimasukan dalam hukum nasional nya.65
Akan tetapi hal tersebut (the model law), tidak mengatur secara spesifik
terhadap ketentuan beracara dalam forum arbitrase. Sebagai imbasnya, negara-
negara sering memasukan pasal-pasal tambahan (additional provision), kedalam
hukum nasional masing-masing negara yang mengadopsi (the model law). The
Model Law dapat dimodifikasikan oleh negara-negara anggota, seperti negara-
negara yang telah memodifikasi the model law. Sehingga dapat diterapkan kedalam
hukum nasional tanpa adanya diskriminasi (equally), tujuan the model law adalah
untuk mempromosikan penyatuan prosedur arbitrase, dan mengkhususkan kepada

63
Benny Ardianto, “Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam Hukum Internasional (Suatu Tinjauan
Terhadap Forum Penyelesaian Sengketa Internasional Non Litigasi)”, Jurnal Selat, Edisi No. 2
Tahun 2014, hal. 70.
64
Kementerian perdagangan, Telaah Hukum Forum Arbitrase Sebagai Alternatif Penanganan
Sengketa, Cetakan ke-1. (Jakarta: Biro Hukum Sekretariat Jenderal, 2011), hal. 46.
65
Kementerian perdagangan, Op.Cit, hal. 46.

30
kebutuhan mendasar dari arbitrase perdagangan internasional, prinsipnya adalah
pengakuan terhadap kebebasan para pihak untuk melaksanakan arbitrase dengan
batasan/larang yang seminimal mungkin, sehingga dalam kenyataannya banyak
pasal-pasal yang dalam the model law yang diderogasi oleh para pihak.66

D. Prinsip Non-Diskriminasi
Sebagaimana dapat diketahui di dalam sistem hukum General Agreement on
Tariffs and Trade berlaku prinsip-prinsip dasar khususnya yang tercantum dalam
Text General Agreement, yang merupakan sumber hukum yang utama di dalam
67
GATT. Prinsip-prinsip utama perdagangan bebas yang menjadi sumber hukum
dalam GATT adalah sebagai berikut: (1) most favored nation atau non-diskriminasi
adalah prinsip perdagangan internasional antara negara anggota WTO, harus
diselenggarakan secara non-diskriminatif (Pasal 1 GATT). Perlakuan yang sama ini
harus dijalankan segera tanpa syarat. Demikian menurut prinsip ini bahwa konsesi
(pengecualian) yang diberikan kepada satu negara mitra dagang, harus berlaku juga
untuk semua negara lainnya. Suatu negara tidak boleh diberi perlakuan lebih baik
atau lebih buruk daripada negara lainnya. Sisi lain dari prinsip non-diskriminasi
adalah prinsip national treatment (Pasal 3 GATT), yang melarang perbedaan
perlakuan antara barang asing dan barang domestik, yang berarti bahwa pada saat
suatu barang impor telah masuk ke pasaran dalam negeri suatu negara anggota atau
telah membayar bea masuk maka barang tersebut harus diperlakukan dengan tidak
lebih buruk daripada hasil produk domestik.68
Pada dasarnya prinsip non-diskriminasi tersebut menuntut adanya perlakuan
yang sama bagi negara-negara internasional yang melakukan kegiatan perdagangan
sehingga tercipta praktek perdagangan yang adil. Mengenai pelaksanaan prinsip ini,
dalam perdagangan internasional tidaklah mudah dan harus ada lembaga
internasional tertentu yang mengawasi pelaksanaan prinsip most favored nation ini,
sehingga dapat menghilangkan adanya diskriminasi dalam perdagangan

66
Kementerian perdagangan, Op.Cit., hal. 47.
67
Hendra Djaja, “Penegakan Prinsip Special and Differential Treatment Dalam Perspektif Hukum
Perdagangan Internasional”, Jurnal Cakrawala Hukum, Edisi No. 1 Tahun 2014, hal. 20.
68
Ibid., hal. 21.

31
internasional dan dapat mencegah terjadinya tindakan diskriminatif dalam
melakukan perdagangan sesama negara anggota.69 Pada dasarnya pasal-pasal dalam
GATT, meliputi beberapa prinsip-prinsip pokok dalam melakukan praktik
perdagangan internasional. Dalam hal ini ada beberapa prinsip-prinsip GATT yang
masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, prinsip-prinsip tersebut adalah: 70
Prinsip perlakuan yang sama bagi setiap negara atau most favored nation (MFN),
prinsip national treatment, prinsip larangan retriksasi tarif, prinsip perlindungan
melalui tarif, prinsip transparansi, prinsip resiprositas, dan perlakuan khusus bagi
negara berkembang.
Akan tetapi sekalipun prinsip MFN ini merupakan prinsip utama dan
terpenting dalam GATT, dalam keadaan atau kondisi tertentu ketentuan-ketentuan
dalam GATT juga memperbolehkan dilakukanya tindakan pengecualian terhadap
prinsip MFN ini, mengenai prinsip most favored nation ini.71 Prinsip non-
diskriminasi ini, diatur dalam paragraf 4 pembukaan Marrakesh Agreement
Establishing the World Trade Organization yang berbunyi : “Being desirous, of
contributing to these objectives by entering into reciprocal and mutually
advantageous arrangements directed to the substantial reduction of tariffs and
other barriers to trade and to the elimination of discriminatory treatment in
international trade relations”.72

69
Prawitara Thalib, “Implikasi Prinsip Most Favored Nation Dalam Upaya Penghapusan Hambatan
Perdagangan Internasional”, Jurnal Yuridika, Edisi No. 1 Tahun 2012, hal. 36.
70
Ibid., hal. 41.
71
Ibid., hal. 42.
72
Marcelino Rutunwarow, “Pemberlakuan Asas National Treatment Dalam Hukum Ekonomi
Internasional Dan Implikasinya Bagi Kedaulatan Indonesia (Studi Kasus Impor Daging Ayam
Antara Indonesia Dengan Brazil)”, Jurnal Lex Privatum, Edisi No. 3 Tahun 2020, hal. 46.

32
Implementasi konsep produk sejenis dalam putusan sengketa di Dispute
Settlement Body WTO adalah sebagai berikut:73
1. Artikel GATT 1.1: pengaturan prinsip most favored nation, keuntungan manfaat,
dan keistimewaan yang diberikan oleh produk sejenis domestik harus diberikan
segera tanpa syarat sama dengan produk sejenis impor dari negara anggota lain.
2. Artikel 3.2: penerapan national treatment, yang berhubungan dengan segala
biaya dan pajak internal, pajak atau biaya internal lain tidak dapat diterapkan
terhadap produk sejenis domestik. Adanya eksistensi biaya internal lain yang
diterapkan terhadap produk sejenis impor berbeda dengan yang diterapkan pada
produk sejenis impor, berbeda dengan yang diterapkan pada produk sejenis
domestik.
3. Artikel 3.4: penerapan national treatment yang berhubungan dengan segala
peraturan dan regulasi internal, negara anggota tidak diperbolehkan untuk
menerapkan regulasi internal kepad produk sejenis impor dengan alasan, untuk
memberikan sebuah proteksi terhadap produk sejenis domestik, adanya eksistensi
bahwa regulasi internal yang diterapkan terhadap produk sejenis impor berbeda
dengan yang diterapkan pada produk sejenis domestik.74

73
Adinda Kartika Putri, “Konsep Like Product Dalam Penyelesaian Sengketa Oleh Panel World
Trade Organization”, Diponegoro Law Review, Edisi No. 2 Tahun 2016, hal. 8.
74
Ibid., hal. 9.

33
World Trade Organization (WTO) merupakan sebuah badan internasional
yang mengatur mengenai perdagangan antar negara yang berisikan ketentuan-
ketentuan pedoman atas aturan materil dan aturan prosedural.Pembentukan WTO
dinilai dapat membuka peluang pasar yang luas, hal tersebut dikarenakan anggota-
anggotanya menandatangani (GATT) General Agreement on Tariffs and Trade.
Dalam persetujuan tersebut para anggota sepakat untuk mengurangi tarif atas dasar
prinsip Most Favored Nation atau MFN yang menerapkan secara ketat aturan non-
tarif khususnya yang berkaitan dengan safeguard, Anti-Dumping, dan
Countervailing Measures, menetapkan kebijakan nasional yang transparan dan
menetapkan aturan yang lebih jelas dalam perdagangan produk pertanian, sektor
jasa, dan Hak Atas Kekayaan Intelektual.75

75
Jodie Jeihan, “Analisa Penetapan Evaluasi Generalized System of Preference (GSP) Amerika
Serikat Terhadap Indonesia Dan Pengaruhnya Terhadap Kesepakatan Perdagangan Dibawah World
Trade Organization (WTO)”, Rewang Rencang: Jurnal Hukum Lex Generalis, Edisi No. 1 Tahun
2020, hal. 59.

34
BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Sengketa Kertas A4 Indonesia Dengan Australia

Penyelidikan terhadap tuduhan dumping ini diinisiasi oleh Australia Anti


Dumping Commission (AADC), pada tanggal 12 April 2016 untuk produk A4 copy
paper (HS 4802.56.10-Statitical code 03) yang berasal dari beberapa negara yaitu
Brazil, China, Indonesia dan Thailand. Dasar penyelidikan ini dilakukan adalah
munculnya petisi oleh produsen copy paper di Australia yang mengklaim
mengalami kerugian akibat produk kertas (A4 copy paper) dari keempat negara
tersebut.

Berdasarkan tuduhan tersebut, margin yang disebut dalam final report oleh
AADC terhadap empat perusahaan tertuduh adalah sebagai berikut: PT. Indah
Kiat.Tbk sebanyak 35, 4%, PT. Pindo Deli sebanyak 38, 6%, PT.Pabrik Kertas
Tjiwi Kimia. Tbk sebanyak -2, 18%, dan PT. Riau Andalan Kertas (RAK) sebanyak
12, 6%.

Indonesia telah mengajukan permohonan review ke Anti Dumping Review


Panel, yaitu atas Provision of access to and use of land for less than adequate
remuneration dan Export Log Ban Policy yang dinyatakan telah mendistorsi harga
pulp dengan adanya oversupply kayu di dalam negeri, dan submitted pada tanggal
16 Mei 2017. ADRP telah menyampaikan laporan dan rekomendasi Parliament
Secretary pada tanggal 10 Januari 2018, di mana terdapat perubahan dalam margin
dumping yang dikenakan yaitu AD Indah kiat dari 35.4% menjadi 30% dan Pindo
Deli dari 38,6% menjadi 33%.

Terhadap sengketa tersebut, diadakan konsultasi sengketa dengan nomor


perkara DS529 di Canberra Australia yang dihadiri third parties yang berasal dari
Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 31
Oktober 2017. Terdapat beberapa klaim yang disampaikan Request for the

35
Establishment of a Panel (REP), di mana Pemri menyampaikan 5 klaim, sebagai
berikut:76

1. Berdasarkan artikel 2.2 ADA: ADC bertindak tidak konsisten terhadap artikel
2.2 ADA, karena telah menetapkan nilai normal produsen kertas Indonesia dengan
metode konstruksi dengan alasan terdapat PMS akan tetapi tidak ada pertimbangan
apakah PMS menyebabkan tidak dapat dilakukannya proper price comparison
antara penjualan domestik dan ekspor.
2. ADC salah mengartikan Particular Market Situation (PMS) ada di Indonesia.
3. Dalam melakukan konstruksi terhadap normal value, ADC tidak menggunakan
data biaya produksi dari negara asal yakni Indonesia.
4. Artikel 2.2 dan 2.2.1.1: Dalam melakukan konstruksi data normal value, AADC
tidak menggunakan data aktual sebagaimana telah ada pada General Accepted
Accounting Principle (GAAP), dan secara reasonable telah merefleksikan biaya
sehubungan dengan produksi.
5. Artikel 9.3 ADA dan VI: 2 GATT 1994: ADC tidak dapat mengenakan BMAD
lebih besar sebagaimana disebut dalam artikel 2.

Tertanggal 18-19 Desember 2019 telah diadakan first substantive meeting, hasil
dari FSM tersebut adalah sebagai berikut:

No Indonesia Australia
.
1. Indonesia merasa keberatan Otoritas Australia telah melakukan
dengan adanya temuan otoritas penyelidikan secara objektif serta
penyidik Australia. Indonesia transparan dan Indonesia tidak
menyampaikan agar panel tidak menggugat hal ini di dalam FWS.
menerima interpretasi Australia
yang keliru terhadap istilah
Particular Market Situation
(PMS) dan implementasinya.
2. Kuasa hukum Indonesia telah PMS yang muncul karena adanya
menyampaikan secara detail intervensi pemerintah yang telah

76
WTO, The Results of The Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations (Agreement On
Implementation Of The General Agreement On Tariffs And Trade1994), Artikel 2.

36
argumentasi klaim-klaim Pemri mendistorsi input price dari kertas A4
atas pelanggaran yang dilakukan Copy Paper. Australia menyatakan
Australia yang tidak sejalan bahwa interpretasi mereka terhadap
ketentuan yaitu dalam yaitu (i) PMS sudah tepat dan menolak klaim
Article 2.2 dan (ii) Article 2.2.1.1 Indonesia terkait kesalahan
dan (iii) Article 9.3 dari Anti- interpretasi tersebut. Karena adanya
Dumping Agreement (ADA). PMS maka otoritas tidak diharuskan
melakukan proper comparison antara
harga domestik dan ekspor dalam
penentuan normal value sebagaimana
disyaratkan oleh Pasal 2.2 Anti-
Dumping Agreement.

Maka untuk memperkuat argumentasi terhadap klaim-klaim keberatan atas


tindakan yang dilakukan Australia, Indonesia dan Australia menyampaikan respon
terhadap jawaban oleh pihak Australia dalam, second substantive meeting, hasil
dari SSM tersebut adalah sebagai berikut:77

No Indonesia Australia
.
1. Indonesia menyatakan bahwa Australia menyatakan bahwa
Australia keliru dalam Indonesia tidak melakukan proper
mengartikan PMS sesuai dengan analysis sesuai dengan Vienna
Artikel 2.2 ADA. Penafsiran Convention on the Law of Treaties
Indonesia atas PMS telah (VCLT) dalam mengartikan istilah
dilakukan sesuai dengan VCLT PMS.
dengan mengacu pada penafsiran
secara tekstual dan kontekstual
terhadap PMS serta dengan
mempertimbangkan maksud &
tujuan dari Artikel 2.2 ADA.
2. Indonesia mendasarkan pada Australia menekankan bahwa istilah
analisis yang mendalam terhadap price discrimination dan
teks, konteks, objek dan tujuan international price discrimination
serta penelusuran proses negosiasi tidak terdapat dalam ADA serta

77
WTO, The Results of The Uruguay Round of Multilateral Negotiation, Artikel 2.2 ADA.

37
dan menyimpulkan bahwa konsep menyatakan bahwa konsep dumping
dumping di dalam GATT 1994 lebih luas daripada international price
hanya dapat dipahami sebagai discrimination.
price discrimination oleh eksportir
secara individual.
3. Indonesia menyatakan bahwa kata Australia menyatakan bahwa kata
“normally” yang dikombinasikan “normally” dalam kalimat pertama
dengan kata “provided” di dalam Artikel 2.2.1.1 ADA merupakan
Artikel 2.2.1.1 ADA memberikan kondisi yang membolehkan otoritas
penekanan bahwa data perusahaan untuk mengganti harga aktual yang
boleh tidak digunakan hanya bila dimiliki oleh perusahaan meskipun
memenuhi dua kondisi, yaitu (1) data yang dimiliki perusahaan
tersebut sesuai dengan kondisi telah
data tersebut tidak sesuai dengan
terpenuhinya: (1) Generally Accepted
GAAP, atau (2) data tersebut
Accounting Principles (GAAP) dan
dianggap tidak menggambarkan (2) merefleksikan biaya-biaya untuk
biaya dari barang yang menjadi memproduksi A4 Copy Paper,
objek penyelidikan. Indonesia dengan harga benchmark hardwood
menyampaikan bahwa kata pulp.
“normally” merupakan ex post-
defense yang tidak pernah
disampaikan pada saat
penyelidikan anti-dumping oleh
ADC dan bahwasanya kata
“normally” harus ditafsirkan
berdasarkan kondisi-kondisi yang
dipersyaratkan oleh Artikel 2.2.1.1
ADA.
4. Indonesia keberatan dengan Australia menggunakan basis data
penyampaian data RISI dan RISI dan Hawkins Rights sebagai
Hawkins Rights sebagai bukti baru dasar untuk menyimpulkan bahwa
dalam SWS. Indonesia terdapat intervensi yang dilakukan
menganggap tindakan Australia Pemri terhadap industri pulp yang
tersebut tidak proper berdasarkan menyebabkan distorsi terhadap harga
Artikel 17.6 ADA dan bahkan dasar (benchmark price) hardwood
Indonesia tidak pernah menerima pulp, sehingga Komisi Anti-
data tersebut semasa dilakukannya Dumping Australia (Anti-Dumping
penyelidikan oleh ADC. Commission/ADC) menggunakan
Indonesia menyampaikan bahwa benchmark price Brazil dan Amerika
tindakan Australia yang Latin dalam menghitung biaya
menggunakan data RISI dan produksi.

38
Hawkins Rights dan mengacu
pada regional benchmarking atas
harga hardwood pulp tersebut
telah melanggar elemen utama lain
dari Artikel 2.2 ADA yang
mengharuskan digunakannya
biaya produksi dari negara asal
pengekspor yakni Indonesia.
5. Indonesia menyatakan bahwa
dengan berbagai pelanggaran
terhadap Artikel 2, artinya
Australia juga melanggar Artikel
9.3 ADA dan VI: 2 GATT karena
marjin dumping yang ditetapkan
oleh Australia melebihi apa yang
ditetapkan oleh ADA.

Pada tanggal 14 Mei 2019, Indonesia menyampaikan opening statement,


dalam pernyataan terbuka tersebut Indonesia mengatakan bahwa, dengan adanya
temuan PMS tersebut Indonesia diperlakukan sebagai non market economy.
Tindakan yang dilakukan oleh Australia yang menyebabkan luasnya konsep-
konsep dumping yang melampaui tujuan awal dari Anti Dumping Agreement
(ADA), dan klaim-klaim keberatan yang telah diajukan pada first substantive
meeting.78

Sementara itu, Australia yang menyampaikan pernyataan terbuka juga


menyampaikan bahwa, kedudukan Australia terhadap interpretasi yang tepat telah
sesuai VCLT atas ketentuan WTO. Pentingnya respon terhadap intervensi
pemerintah yang tidak sesuai dengan prinsip WTO mengenai kompetisi terbuka,
adil, dan tidak terdistorsi bagi negara anggota. Pihak Australia juga mengoreksi
kekeliruan Indonesia terkait informasi yang digunakan dalam penyelidikan A4 copy
paper oleh komisi anti dumping Australia, selain itu juga Australia juga
menyanggah beberapa argumen di dalam SWS Indonesia.

78
Ibid., artikel. 2.2.

39
Setelah penyampaian pernyataan terbuka oleh kedua belah pihak,
dilanjutkan dengan pembahasan indicative question yang sebelumnya telah
disampaikan pada panel sebelumnya terkait pengertian PMS, permit a paper
comparison, dan calculation of the cost of production in Indonesia. Selanjutnya dari
hasil hasil SSM tersebut, diuji oleh panel sebagai dasar dalam mengambil
keputusan dan rekomendasi atas klaim-klaim yang diajukan oleh Indonesia dalam
sengketa. Dalam panel diperkirakan menetapkan keputusan pada akhir tahun 2019.
Pihak perusahaan mengusulkan adanya pendekatan kepada Australia melalui jalur
diplomatik, untuk mencari kesepakatan tidak melanjutkan kasus ini ke badan
banding (Appellate Body), terutama mengingat kondisi AB WTO belum kondusif.

Sehubungan dengan kondisi Appellate Body belum kondusif dan sebagai


antisipasi terhadap ketidakpastian penyelesaian sengketa akibat kekosongan
anggota AB WTO, APP (Asia Pulp Paper) sebagai perusahaan tertuduh, Indonesia
menyampaikan usulan langkah alternatif kepada pemerintah Indonesia sehingga,
kasus sengketa DS-529 ini tidak berhenti setelah adanya keputusan panel DSB.
Alternatif yang diusulkan di luar mekanisme penyelesaian sengketa di luar sengketa
DSB WTO yaitu agar Indonesia dan Australia melakukan kesepakatan untuk:79

a) Tidak melakukan banding ke AB dengan merujuk pada sequencing agreement


between Indonesia and Vietnam dalam kasus sengketa dengan nomor: DS496
(Indonesia safeguard on certain iron or steel product)
b) Mengambil langkah penyelesaian menggunakan Pasal 25 Dispute Settlement
Understanding (DSU), yaitu arbitrase. Merujuk pada langkah yang diambil oleh
Uni eropa dan Kanada dengan menyusun Joint Statement by European Union and
Canada on an Interim Appeal Arbitration Agreement.

Terkait dengan usulan pertama, dalam kasus sengketa DS 496 diambil pada
tahap tingkat lanjut yaitu tahap compliance panel terbentuk, di mana salah satu
pihak tidak puas dengan implementasi oleh pihak yang kalah pada saat reasonable

79
Yustinus Andri, “Sengketa Produk Kertas: WTO Menangkan Gugatan Indonesia Terhadap
Australia”, https://ekonomi.bisnis.com, diakses pada 4 Mei 2021.

40
period of time. Oleh karenanya pemri tidak mengambil langkah tersebut karena saat
itu proses penyelesaian sengketa DS529 masih jauh dari tahap pembentukan
compliance panel. Terkait usulan kedua yaitu penyelesaian sengketa untuk kasus
DS529 melalui Pasal 25 DSU atau Arbitrase, upaya ini layak ditempuh oleh pemri,
beberapa hal terkait dengan upaya arbitrase tersebut adalah sebagai berikut:

1) Appeal Arbitration Procedure didasarkan kepada upaya untuk menciptakan


mekanisme alternatif akibat kemungkinan tidak berfungsinya AB.
2) Mengingat pentingnya klaim Indonesia terutama terkait Particular Market
Situation (PMS) yang ditetapkan oleh Pihak Australia terhadap industri kertas
Indonesia untuk segera dihapuskan sehingga tidak menjadi jurisprudence bagi
tuduhan lainnya dari negara mitra dagang, serta posisi dan peluang Indonesia
saat ini yang cukup kuat untuk memenangkan gugatan, maka Indonesia sangat
berkepentingan terkait enforcement/implementasi atas keputusan panel.
Pendekatan arbitrase merupakan upaya Indonesia menghindari kemungkinan
Australia untuk mengajukan banding ke AB.
3) Perlu diperhatikan bahwa langkah arbitrase ini fleksibel namun harus dilakukan
atas persetujuan kedua belah pihak. WTO memberikan kebebasan kepada pihak
yang bersengketa untuk mengambil langkah ini selama dinotifikasikan ke WTO
dan pihak Third Parties dilibatkan.
4) Langkah arbitrase ini sebaiknya dilakukan sebelum dikeluarkannya interim
report pada tanggal 23 September 2019. Interim Report akan mencakup temuan,
kesimpulan dan rekomendasi (sementara belum final) dari panel dalam kasus
DS529.
Pada tanggal 23 September 2019, sekretariat WTO mengeluarkan interim
report, adapun hasil interim report tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam
panel memutuskan bahwa:
1. Indonesia tidak dapat membuktikan bahwa otoritas Anti Dumping Australia
bertindak inkonsisten dengan kewajiban Australia menurut Pasal 2.2 ADA,
ketika otoritas menemukan bahwa terdapat “Particular Market Situation” di
pasar domestik Indonesia untuk A4 Copy Paper.

41
2. Panel menyatakan bahwa ada atau tidaknya PMS harus didasarkan pada fakta
yang disampaikan di dalam penyelidikan. Dalam hal ini panel menyatakan
Indonesia tidak cukup menyampaikan fakta untuk membuktikan bahwa memang
tidak adanya Situasi Pasar Tertentu di pasar domestik Indonesia.

3. Australia inkonsisten dengan kalimat pertama Pasal 2.2.1.1 ADA, karena


Otoritas tidak dapat membuktikan bahwa baik persyaratan pertama dan kedua di
dalam kalimat pertama Pasal 2.2.1.1 ADA terpenuhi ketika menolak komponen
pulp yang bersumber dari Indah Kiat dan Pindo Deli dan oleh karena itu telah
gagal memenuhi seluruh kewajiban di dalam ketentuan tersebut.
4. Australia inkonsisten dengan kalimat pertama Pasal 2.2 ADA, karena: (1)
Otoritas telah secara tidak tepat menolak menggunakan komponen pulp yang
bersumber dari Indah Kiat dan Pindo Deli. Otoritas tidak mempunyai dasar
untuk menggunakan harga ekspor pulp dari Brasil dan Amerika Selatan ke RRT
dan Korea Selatan guna menghitung harga pulp Indah Kiat dan Pindo Deli di
Indonesia, (2) meskipun bukti sebelumnya menunjukkan bahwa Indah Kiat dan
Pindo Deli adalah produsen terintegrasi dan memperoleh pulp dengan biayanya
sendiri, otoritas telah gagal memberikan alasan dan penjelasan yang cukup
ketika tidak mengeluarkan profit dari acuan pulp yang digunakan untuk
menggantikan biaya pulp dari Indah Kiat dalam mengkonstruksi biaya produksi
A4 Copy Paper Indah Kiat, dan (3) ADC gagal memberikan alasan dan
penjelasan yang cukup untuk tindakan tidak mengganti harga wood chips dan
menggunakan biaya produksi Indah Kiat lainnya secara internal ketika
mengkonstruksi biaya produk A4 Copy Paper Indah Kiat, dengan asumsi bahwa
otoritas diperbolehkan menggantikan biaya yang terdistorsi.
5. Indonesia tidak dapat membuktikan bahwa otoritas bertindak inkonsisten dengan
kewajiban Australia menurut Pasal 2.2 ADA ketika otoritas tidak menyesuaikan
acuan pulp yang digunakan untuk mengganti biaya terkait profit pulp Pindo Deli
dalam mengkonstruksi biaya produksi A4 Copy Paper Pindo Deli.
6. Sebagai catatan, dalam klaimnya Indonesia menyatakan bahwa penyesuaian
terhadap profit harus dilakukan terhadap kedua perusahaan, baik Indah Kiat

42
maupun Pindo Deli. Dalam hal ini panel setuju bahwa penyesuaian profit harus
dilakukan terhadap Indah Kiat, namun tidak setuju penyesuaian harus dilakukan
terhadap profit Pindo Deli. Indah Kiat memproduksi pulpnya sendiri dan
karenanya Panel setuju bahwa profit seharusnya tidak di-include karena Indah
Kiat tidak membeli pulp. Sebaliknya, panel tidak setuju bahwa perlu dilakukan
penyesuaian terhadap profit Pindo Deli karena Pindo Deli membeli pulp dan oleh
sebab itu profit harus di-include ke dalam harga yang dibayarkan.
7. Panel menolak untuk memutuskan apakah:
(1) Measure Australia juga inkonsisten dengan persyaratan untuk menghitung
“biaya produksi di negara asal” menurut Pasal 2.2 ADA karena Otoritas telah
mengabaikan komponen hardwood pulp Indah Kiat dan Pindo Deli dalam
mengkonstruksi biaya produksi A4 copy paper di Indonesia.
(2) Australia bertindak inkonsisten dengan Pasal 9.3 ADA dan Pasal VI: 2 GATT
1994 karena menghitung pengenaan Bea masuk AD melebihi margin dumping
sebagaimana menurut Pasal 2 ADA. Alasan Panel adalah karena klaim Indonesia
untuk Pasal 2.2 serta Pasal 9.3 ADA dan Pasal VI: 2 GATT 1994 adalah bersifat
“consequential”.
8. Measures yang tidak konsisten dengan ADA sebagaimana disampaikan dalam
butir (a), (b), dan (c) telah merugikan manfaat yang dapat diperoleh Indonesia
berdasarkan perjanjian tersebut.
Dalam interim report, panel merekomendasikan hal-hal berikut:
1. Panel merekomendasikan agar Australia menyesuaikan pengukuran terhadap
kewajiban di dalam ADA. Dalam hal ini Australia, harus melakukan corrective
action dan penyesuaian terhadap margin dumping A4 copy paper Indonesia.
2. Atas permintaan Indonesia agar panel memberikan rekomendasi untuk
pengukuran tersebut, panel mengetahui perihal diskresi menurut Pasal 19.1
Dispute Settlement Understanding (DSU). Namun panel beranggapan tidak
perlu memberikan rekomendasi bagaimana pihak responden
mengimplementasikan rekomendasi panel. Dengan demikian, panel
menyerahkan diskresi kepada pihak responden dalam
mengimplementasikannya.

43
Selanjutnya, panel sengketa mengeluarkan final report yang memutuskan
untuk memenangkan gugatan Indonesia dan menyatakan bahwa pihak Australia
melakukan pelanggaran dalam perjanjian anti-dumping yang terbukti diantaranya
adalah: (1) Australia tidak menggunakan data penjualan yang disampaikan oleh
produsen di Indonesia dalam melakukan perhitungan nilai normal tanpa
sebelumnya menentukan bahwa data penjualan tersebut tidak dapat menghasilkan
perbandingan yang tepat (proper comparison) antara harga domestik dan harga
ekspor guna memperoleh dumping margin, (2) Australia menggunakan data ekspor
pulp dari negara ketiga untuk menghitung harga pulp produsen di Indonesia tanpa
memenuhi persyaratan dalam perjanjian anti dumping sebagai dasar penolakan data
pulp dari produsen, dan (3) Australia menolak memakai data pembukuan aktual
produsen walaupun data dimaksud sudah memenuhi persyaratan GAAP (General
Accepted Privacy Principles) dan secara reasonable telah merefleksikan biaya
sehubungan dengan produksi.
Sehubungan dengan gugatan terhadap temuan PMS di industri kertas
Indonesia oleh otoritas Australia, panel memutuskan bahwa temuan tersebut belum
dapat dibuktikan melanggar Pasal 2.2 perjanjian Anti-Dumping WTO. Terlepas
dari ada atau tidaknya PMS, otoritas penyelidikan tetap harus melakukan proper
comparison antara harga domestik dan harga ekspor dalam menentukan nilai
normal sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 2.2 perjanjian anti-dumping. Pemri
telah menyampaikan keberatan kepada ketua AADC mengenai implementasi
rekomendasi panel melalui review terhadap PT. Pindo Deli dan PT. Indah Kiat oleh
Australia Anti-Dumping Commission karena menggunakan Period of Investigation.
Pemri telah melakukan pendekatan bilateral tingkat menteri pada tanggal 4 Mei
2020, dan surat Menteri Perdagangan RI kepada Minister of Trade, Tourism and
Investment dan Minister for Science, Industry and Technology Australia yang
menyampaikan keberatan Indonesia atas metodologi yang digunakan oleh ADC
dalam review tertanggal 8 Mei 2020.
Pihak perusahaan Indonesia telah melakukan korespondensi dengan AADC
pada akhir bulan Mei 2020 dengan menyampaikan beberapa argumentasi sebagai
berikut: (1) berdasarkan peraturan Australia section 33(3) of the Acts Interpretation

44
Act, menteri mempunyai kewenangan untuk mencabut, mengubah dan merevisi
peraturan legislatif dan administratif termasuk Anti Dumping Notice (ADN) section
269 TG (1) atau (2), (2) wewenang menteri untuk mengenakan bea anti dumping
mengikuti section 269TG (1) lebih bersifat diskresi daripada wajib karena pasal
tersebut menggunakan kata “mungkin” memberi menteri wewenang untuk menolak
mengeluarkan ADN berdasarkan Pasal 269 TG, (3) untuk memenuhi panel report,
menteri perlu untuk mencabut pengenaan anti dumping sepenuhnya atau untuk
merevisi temuan pada margin dumping sesuai dengan Pasal 2.2 dan 2.2.1.1 dari
ADA WTO. Selain itu, setiap keputusan untuk menggunakan biaya konstruksi
berdasarkan Pasal 2.2 yang didasarkan pada temuan adanya distorsi di pasar yang
sama-sama mempengaruhi biaya unit yang diekspor dan dijual di dalam negeri
masih akan melanggar Pasal 2.2, serta upaya untuk menghilangkan informasi
mengenai biaya input dalam catatan eksportir berdasarkan harga yang berbeda
berdasarkan asumsi tidak adanya dugaan kebijakan pemerintah akan tetap
melanggar Pasal 2.2.1.1. (4) Apabila pada akhir periode implementasi Australia
masih belum memenuhi Pasal 2.2 dan 2.2.1.1 ADA, maka pihak perusahaan akan
merekomendasikan Pemri untuk mengajukan otorisasi kepada DSB WTO untuk
mencabut konsesi atau kewajiban dari Australia hingga tingkat yang setara dengan
pembatalan atau penurunan nilai akibat pengenaan AD A4 Copy Paper. Jika
Australia mengajukan pembentukan compliance panel, pihak perusahaan sangat
yakin dalam keadaan yang menguntungkan.
Temuan sementara AADC dalam SEF tersebut adalah sebagai berikut: (1)
variabel harga ekspor dan nilai normal telah mengalami perubahan dan bahwa
margin dumping yang relevan terhadap PT. Indah Kiat dan PT. Pindo Deli untuk
periode review masing-masing adalah sebesar 0,1% dan 17,5%, (2) menteri industri
Australia tidak diharuskan untuk mempertimbangkan pengenaan lesser duty, (3)
pencabutan BMAD terhadap PT. Indah Kiat dan PT. Pindo Deli tidak akan
menyebabkan berlanjutnya atau berulangnya dumping dan kerugian (injury)
material.

45
B. Wawancara Dengan DPP Daglu Bapak Ivan Rinanda Ardian Pangar Besi

WTO mempunyai sebuah peran berupa WTO basic principle yang berfungsi
untuk tidak memihak salah satu anggota, WTO berusaha netral untuk membela
siapapun. WTO basic principle menerapkan tidak ada hambatan dalam
perdagangan internasional, akan tetapi WTO juga mengatur bahwa negara anggota
dapat melakukan hambatan. Hal tersebut dapat dilakukan tetapi harus memenuhi
syarat/agreement WTO, yaitu artikel 6 Anti Dumping Agreement, artikel 9 dan 16
terkait agreement countervailing measures, dan safeguard, dan sesuai dengan
refleksi DPP berupa TBT agreement yang kemudian lebih khusus lagi anti-
dumping, subsidies and safeguard. Anggota WTO diperbolehkan menggunakan
kerangka tersebut untuk menghambat.

Kerangka yang dimaksudkan berupa penyelidikan selama 18 bulan, diawali


dengan inisiasi, kemudian notifikasi kepada otoritas, WTO, dan perusahaan yang
terkait didalamnya apabila menuduh dumping. Kemudian mereka (yang menuduh
dumping tersebut), wajib menyediakan public hearing, menyediakan kuesioner, dan
first time submission (mengirimkan submisi pertama/keberatan kepada negara).
Jadi negara yang menuduh dumping terhadap suatu produk yang masuk tidak
diperkenankan untuk serta merta menerapkan bea masuk tersebut. Mekanisme
tersebut wajib untuk dijalankan dan barulah dapat bersengketa, tempat bersengketa
WTO dinamakan DSB.

Apabila suatu negara ingin bantuan hukum, WTO menyediakan bantuan


hukum yang dikenal dengan (Advisory Centre on World Trade Organization Law)
ACWL. Sistem bantuan hukum dalam ACWL ini hanya memihak siapa yang
terlebih dahulu meminta bantuan hukum maka lembaga ini tidak memihak kedua
belah pihak. Di Indonesia payung hukum dari WTO Agreement ini berupa
Peraturan Pemerintah No.34 tahun 2011 sebagai pengejawantahan dari WTO
Agreement tersebut.80 Sebelum ada Undang-Undang no 7 tahun 2014 pasal 69-72
tentang perlindungan pengamanan perdagangan maka lengkaplah bahwa DPP

80
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2011, Tindakan Anti Dumping, Tindakan Imbalan, Dan
Tindakan Pengamanan Perdagangan, Pasal 1 ayat 3.

46
mempunyai payung hukum terkait pengamanan hambatan perdagangan. Sengketa
perdagangan terhadap BMAD dikarenakan Dalam penyelidikan anti-dumping yang
dilakukan oleh Australia ada beberapa klausul yang tidak berkenaan dengan klausul
dalam ketentuan WTO.

Suatu negara tidak diperbolehkan bersengketa serta merta secara langsung,


mekanisme bersengketa dalam WTO harus melewati mekanisme bilateral terlebih
dahulu. Mekanisme dilakukan dengan pemanggilan duta besar negara yang
menuduh, kemudian melakukan konsultasi tersebut langsung ke negaranya.

Apabila permasalahan tersebut belum juga selesai maka ditempuh dengan


level regional, dan apabila sengketa tersebut tidak selesai juga maka dapat
diselesaikan di tingkat multilateral, dan apabila tidak menghasilkan kesepakatan
maka barulah dapat melakukan penyelesaian sengketa melalui forum WTO.
Apabila kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa maka selaku
DPP mempersiapkan data perusahaan dan lawyer (biro advokasi perdagangan),
masukan dari stakeholder yang mempunyai keterkaitan di dalamnya.

Selaku pengamanan perdagangan, mempunyai tugas pokok yaitu


melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan pedoman,
norma, standar, prosedur dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan
evaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang pengamanan perdagangan. Direktorat
Pengamanan Perdagangan juga mempunyai fungsi antara lain: (1) penyiapan
perumusan kebijakan pengamanan perdagangan di bidang monitoring dan evaluasi
hambatan perdagangan, penanganan hambatan teknis perdagangan, menangani
hambatan teknis perdagangan, penanganan tuduhan dumping, subsidi, dan
safeguard, (2) penyiapan pelaksanaan kebijakan pengamanan perdagangan di
bidang monitoring dan evaluasi hambatan perdagangan, penanganan hambatan
teknis perdagangan, penanganan tuduhan dumping, subsidi, dan safeguard, (3)
penyiapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria pengamanan
perdagangan di bidang monitoring dan evaluasi hambatan perdagangan,
penanganan hambatan teknis perdagangan, menangani hambatan teknis
perdagangan, penanganan tuduhan dumping, subsidi, dan safeguard, (4) penyiapan

47
pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pengamanan
perdagangan di bidang monitoring dan evaluasi hambatan perdagangan,
penanganan hambatan teknis perdagangan, penanganan tuduhan dumping, subsidi,
safeguard, dan (5) pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat.81

C. Wawancara Dengan Akademisi Fakultas Hukum Universitas


Tarumanagara Ibu Vera Wheni. S

Perdagangan internasional merupakan perdagangan bebas tanpa hambatan


(free trade), artinya tidak ada pembatasan dalam melakukan perdagangan akan
tetapi di satu sisi negara harus melindungi kedaulatan ekonomi dan produksi-
produksi dalam negerinya serta melindungi kedaulatan warga negara nya.

Jika negara melakukan pembatasan kepemilikan atau pembatasan terhadap


kriteria barang yang boleh masuk suatu negara, maka hal tersebut tidak dapat
disamakan dengan hambatan, dari pembatasan yang dilakukan negara tersebut
bertujuan untuk melindungi kedaulatan ekonomi. Dalam melakukan pembatasan
terhadap barang apa saja yang boleh masuk umumnya negara mempunyai negative
list dan positive list dalam tiap-tiap peraturannya, negative list adalah daftar barang
yang diizinkan untuk masuk, jumlah barang yang boleh masuk dan jumlah saham
yang boleh dimiliki asing oleh perusahaan dari negara lain. Misal Indonesia
mempunyai pelarangan terhadap pengeksporan benih lobster, hal tersebut
merupakan suatu perlindungan terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia.

Apabila tidak ada pembatasan yang objektif dan tidak ada peraturan yang
objektif artinya harus ada perbandingan dan persesuaian peraturan peraturan negara
lain di dunia internasional, apabila terdapat peraturan yang subjektif maka negara
tersebut dapat dikenakan sanksi bahwa negara tersebut tidak menerapkan most
favored nation.

Tindakan pengamanan atau safeguard boleh dilakukan sejauh tidak


bertentangan dengan ketentuan sebagaimana tertera dalam peraturan WTO, dan

81
Peneliti, Wawancara, dengan Ivan Rinanda Ardian Panggar Besi. (Jakarta: 31 Maret 2021).

48
perlu diketahui juga anti dumping tidak dapat disamakan dengan safeguard, MFN
tidak boleh memberikan perlakuan khusus kepada produk dalam negerinya, suatu
negara harus menerapkan harga yang serupa terhadap kriteria barang yang sejenis.

Dalam kasus sengketa antara Indonesia dengan Australia, Australia menduga


bahwa ada situasi pasar tertentu (PMS) Particular Market Situation yang
mengakibatkan distorsi harga sehingga mengakibatkan ketidakpastian terhadap
harga kertas. Dalam tuduhan tersebut apabila dari Particular Market Situation ini
Indonesia memang terbukti melakukan dumping maka pihak Indonesia harus
bertanggung jawab atas hal tersebut, sebaliknya jika Australia tidak bisa
mendukung tuduhan tersebut maka Indonesia tidak dapat dituduh sebagai pelaku
dari tindakan anti-dumping tersebut, jadi Australia tidak dapat mengenakan BMAD
hanya karena terdapat PMS tanpa adanya bukti-bukti lain yang kuat. Tiap-tiap
negara bebas dapat mengartikan apa itu PMS, tentunya melihat kondisi ekonomi
dan sosial setiap negara, istilah PMS harus melihat kondisi-kondisi pasar dalam
negeri dan pasar-pasar serta pesaing-pesaing pasar dari negara lain. Tidak adanya
suatu generalisasi terhadap PMS ini maka harus juga melihat kasus-kasus bahwa
ada unsur unsur tertentu dan guideline bahwa suatu negara sudah melakukan
Particular Market Situation karena konsep particular market situation tersebut
sangat luas dan setiap negara berbeda tiap jenis barang berbeda. Jadi setiap negara
bebas mengartikan PMS, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip WTO.
Dalam melakukan penyelidikan terhadap barang yang diduga barang dumping,
harus dilakukan perbandingan harga produk-produk domestik dengan produk-
produk di negara lain, dengan menggunakan laporan keuangan yang telah diaudit
untuk melakukan perbandingan produk dalam negerinya.

Dalam politik perdagangan internasional, baik Indonesia maupun Australia


mempunyai pertimbangan politik dalam negerinya maka prinsip keadilan kembali
harus diterapkan bagi kemanfaatan antara Indonesia dan Australia, prinsip keadilan
ini melihat upaya penyelesaian sengketa perdamaian secara damai. Dalam kasus ini
tipis irisannya dengan rasa keadilan, negara yang lebih kuat cenderung akan
memperlakukan kriteria yang lebih ketat terhadap negara yang lebih lemah dalam

49
ekonominya, hal tersebut harus dibarengi dengan hubungan yang baik karena
hubungan diplomatik antar negara erat kaitannya dengan hubungan ekonomi antar
negara, keretakan hubungan diplomatik antar negara dapat dijalin kembali dengan
cara melakukan pendekatan diplomatik terkait tuduhan anti-dumping yang
dilontarkan oleh Australia pendekatan yang dimaksud dapat berupa negosiasi,
konsultasi, dan penjelasan. Dalam proses penyelesaian sengketa perdagangan
internasional terkadang terdapat barter atau pertukaran barang untuk kemudahan
masuk barang hal tersebut lumrah di dalam proses perdagangan internasional.

Penerapan MFN (Most Favored Nation), dalam penyelesaian sengketa


perdagangan internasional yaitu pada prinsipnya pemberlakuan yang sama terhadap
setiap jenis produk, klasifikasi, dan kriteria yang sama. MFN sebagaimana
dimaksud bukanlah sebuah penolakan terhadap barang yang dimaksud karena
kriteria-kriteria barang yang dimaksud dibuat berdasarkan perlindungan kedaulatan
suatu negara dan negara juga menjaga mutu. Penerapan kriteria tersebut harus
diberikan kepada seluruh produsen tanpa harus memberikan pertimbangan-
pertimbangan khusus kepada negara lainnya hal ini lah yang disebut sebagai
kebijakan Most Favored Nation. Suatu negara yang menerapkan harga atau
kebijakan harga dan kemudian menerapkan kebijakan anti dumping maka dapat
dipastikan negara yang melakukan dan negara yang terkena pengenaan tersebut
merasa dirugikan dan menggugat hal tersebut maka tindakan negara yang
mengenakan hal tersebut, dan apabila dapat membuktikan perbedaan harga didalam
dan diluar negeri maka dapat dipastikan negara yang melakukan anti dumping
tersebut mendapat sanksi dari WTO. Tujuan anti-dumping adalah pelarangan suatu
negara importir untuk menjual produk lebih murah dari harga domestik.

Dalam mengamankan suatu produk domestik negara, yaitu dengan


menerapkan kriteria-kriteria tertentu, standar-standar tertentu dan mutu maka
produk negara tersebut yang diterima masuk ke dalam suatu negara. Data-data yang
dapat dipergunakan dalam melakukan penyelidikan dumping dapat berupa data
kualitas produksi, data laporan keuangan untuk dijadikan sebagai pembanding

50
dalam melakukan penyelidikan terhadap produk yang diduga merupakan produk
dumping.

Dalam menyelesaikan sebuah sengketa perdagangan internasional, terutama


dalam kasus sengketa dagang antara Indonesia dengan Australia kedua belah pihak
sepakat menggunakan sistem arbitrase, bila mana ada diantara kedua belah pihak
sepakat untuk menyelesaikan perkara tersebut ke badan arbitrase tertentu maka
kemudian lembaga arbitrase tersebut boleh menangani sengketanya. Apabila sejauh
tidak ada persetujuan kedua belah pihak antara Indonesia dengan Australia maka
arbitrase tidak dapat mengadili perkara tersebut.

Dalam mengartikan dumping, setiap harga produksi lebih rendah dari harga
produksi belum tentu dikategorikan sebagai produk dumping. Bila harga lebih
rendah di luar negeri maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai dumping.

Meski harga tersebut sedikit lebih rendah maka barang tersebut merupakan
harga dumping dan negara yang melakukan hal tersebut, dikenakan anti-dumping.
Tiap-tiap negara diperbolehkan dalam menentukan hukum mana yang di
berlakukan, dalam berperkara arbitrase.

Seperti sengketa antara Indonesia dengan Australia ingin menentukan suatu


forum arbitrase para pihak boleh menentukan. Mereka boleh menentukan hukum
acara yang berlaku dalam melakukan penyelesaian sengketa perdagangan. Hukum
nasional negara anggota boleh digunakan apabila disetujui oleh mitra counterpart,
apabila tidak disetujui maka hal tersebut tidak boleh digunakan maka harus ada
persetujuan sesama anggota hukum mana yang boleh diterapkan. Baik Indonesia
maupun Australia boleh menggunakan hukum nasional masing-masing negara,
juga boleh menggunakan hukum WTO sejauh sudah disetujui oleh para pihak.82

82
Peneliti, Wawancara, dengan Vera Wheni S. (Jakarta: Via Microsoft Teams, 22 Mei 2021).

51
BAB IV

ANALISIS PERMASALAHAN

A. Penerapan WTO Agreements Terhadap Kasus Produk Kertas Fotokopi A4


Dari Indonesia Pada Tahun 2017

Perjanjian-perjanjian WTO sangat luas dan kompleks, hal tersebut


dikarenakan menyangkut berbagai bidang seperti tekstil dan pakaian, pertanian,
perbankan, telekomunikasi, belanja negara, standar industri, undang-undang
sanitasi, dan keamanan, perlindungan hak kekayaan intelektual dan sebagainya.
Namun terdapat beberapa prinsip mendasar yang menaungi semua bentuk
perjanjian dalam WTO diantaranya adalah:83 (1) Trade without discrimination
(MFN): treating other equally, (2) national treatment; free trade: gradually,
through negotiation, predictable, promotion trhough competition, dan encouraging
development and economic reform (mendorong pembangunan dan pembahruan
ekonomi bagi negara miskin dan berkembang).

Dalam perdagangan internasional, persaingan merupakan sebuah hal yang


wajar. Pelaku bisnis berlomba untuk melakukan inovasi-inovasi baru demi
menunjang meningkatnya pasar. Akan tetapi dalam tindakan persaingan yang
dilakukan pelaku usaha tersebut acap kali terjadi perlakuan yang tidak baik yang
lazimnya disebut dengan unfair trade/perdagangan yang tidak sehat.84 Salah satu
tindakan yang tergolong sebagai unfair trade adalah dumping. Berdasarkan
perspektif GATT dumping dapat mengakibatkan kerugian yang luas terhadap
produsen, kerugian yang ditimbulkan berupa penyempitan pangsa pasar produsen
dalam hal ini yang dimaksud adalah negara tuan rumah.85 Karena tindakan tersebut
memberikan sebuah dampak yang buruk bagi perdagangan internasional di
susunlah suatu langkah guna menanggulangi hal tersebut berupa kebijakan anti

83
Akbar Kurnia Putra, “Agreement on Agriculture Dalam World Trade Organization”, Jurnal
Hukum & Pembangunan”, Edisi No. 1 Tahun 2016, hal. 93.
84
Ni Wayan Ella Apryani, “Dumping Dan Anti-Dumping Sebagai Bentuk Unfair Trade Practice
Dalam Perdagangan Internasional”, Jurnal Kertha Semaya, Edisi No. 3 Tahun 2014, hal. 1.
85
Ibid., hal. 2.

52
dumping. Berdasarkan Pasal VI GATT, dumping adalah tindakan yang dapat
membuat kerugian pada industri dalam negeri negara importir karena
ketidaksesuaian nilai produk dari negara eksportir, yaitu harga terlalu rendah.
“. . . .dumping, . . .less than the normal value of the products, is to be condemned
if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of
a contracting party or materially retards the establishment of a domestic
industry”.86

Antidumping merupakan tindakan balasan yang berupa pembebanan


kewajiban anti dumping yang seimbang. Pengaturan anti dumping terdapat pada
Pasal VI GATT, in order to offset or prevent dumping, a contracting party may levy
on any dumped product an anti-dumping duty.87

Akan tetapi dalam menanggulangi dumping dengan tindakan anti dumping ini,
menimbulkan penafsiran yang berbeda sehingga menyebabkan penyalahgunaan pasal
tersebut. Sebagai akibatnya tindakan antidumping bukan lagi digunakan sebagai
penanggulangan tetapi sebagai perbuatan curang dalam bisnis internasional.88

Anti- Dumping, subsidi dan tindakan pengamanan dan peraturan-peraturan anti-


dumping yang berlaku hingga sekarang merupakan hasil revisi putaran Tokyo, di mana
tidak semua anggota GATT menjadi pihak dari putaran Uruguay. Dalam persetujuan
WTO anti dumping memuat beberapa modifikasi yakni sebagai berikut:89 (a) peraturan
yang lebih rinci untuk memperhitungkan tingkat dumping, (b) prosedur yang terinci
untuk memulai (initiation) dan melakukan investigasi, (c) peraturan untuk
implementasi dan batas waktu pengenaan anti dumping yang berlaku 5 tahun, dan (d)
standar tertentu untuk menyelesaikan sengketa anti dumping. Sebagai titik tolak dari
aspek hukum antidumping, mengacu pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 10
tahun 1995 tentang Kepabeanan. “Bea Masuk Anti Dumping dikenakan terhadap
barang impor dalam hal harga ekspor dari barang tersebut menyebabkan kerugian

86
WTO, General Agreement on Tariffs and Trade 1994, Artikel VI.
87
Ni Wayan Ella Apryani, Op.Cit., hal. 3.
88
Ibid., hal. 3.
89
Akbar Kurnia Putra, Op.Cit, hal. 100.

53
kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan
barang tersebut.”90

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui BMAD hanya boleh


dikenakan bila kriteria tersebut berhasil dibuktikan dalam penyelidikan, kriteria
tersebut adalah:91 Produk suatu negara yang diekspor dengan harga dumping.
Industri dalam negeri negara pengimpor mengalami injury.

Dikatakan sebagai injury bila faktor ekonomi dari perusahaan negara


pengimpor mengalami kerugian secara materi. Misalnya, terjadi penurunan
terhadap penjualan, keuntungan, pangsa pasar, produktivitas, return on investment,
atau utilisasi. Adanya hubungan kausal antara barang impor dumping dengan
kerugian yang dialami oleh industri dalam negeri pengimpor. Causal link,
merupakan hubungan sebab akibat, apakah kerugian material atau ancaman
kerugian material tersebut dialami industri domestik negara pengimpor yang
disebabkan karena produk impor negara asal tersebut adalah produk dumping, atau
disebabkan oleh faktor lain. Hubungan antara kerugian dan sebab akibat dapat
diketahui dengan menguraikan besaran impor dumping dan pengaruh impor
dumping tersebut pada harga pasar domestik untuk produk sejenis.92

Hukum WTO menyediakan peraturan-peraturan secara detail mengenai


dumping dan jenis subsidi tertentu, dua praktik yang umumnya dianggap sebagai
perbuatan curang dalam perdagangan.93

Untuk dapat menentukan apakah suatu barang merupakan barang dumping,


maka harus melakukan perbandingan yang sesuai (proper comparison), antar harga
nilai normal dengan harga ekspor. Perbedaan antara kedua harga tersebut adalah

90
Refly R. Umbas, “Analisis Yuridis Terhadap Kebijakan Antidumping”, Jurnal Lex Crimen, Edisi
No. 7 Tahun 2016, hal. 87.
91
Anonim, “Pengertian Dumping Dalam Perdagangan Internasional”, https://www.kanal.web.id, 2
Juni 2021.
92
Laode Piter Hanafi, “Tuduhan Dumping Dan Cara Mengatasinya”, Buletin Berita KPI, Edisi No.
38 Tahun 2006, hal. 9.
93
Peter Van den Bossche et al., Pengantar Hukum WTO, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010),
hal. 39.

54
marjin dumping, hal ini sangat penting karena tindakan dumping tidak boleh
melebihi marjin ini. Harga transaksi, di mana produsen barang di negara
pengekspor yang menjual barang tersebut kepada pengimpor di negara pengimpor
biasanya berdasarkan pada harga ekspor oleh karena itu dalam Pasal 2.4 ADA
menyertakan peraturan pokok dan metode alternatif untuk perbandingan tersebut.94
Nilai normal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2.1 ADA, berupa barang
sejenis di pasar negara pengekspor atau produsen. Nilai normal suatu barang
menurut case law, adalah:95

1. Penjualan harus dilakukan dalam keadaan perdagangan biasa (ordinary


course of trade)

2. Penjualan harus dilakukan terhadap barang sejenis

3. Barang harus ditujukan untuk konsumsi di negara pengekspor

4. Harga-harga barang tersebut harus dapat dibandingkan.

Anti Dumping Agreement mendefinisikan “industri domestik” sebagai


keseluruhan produsen dalam negeri barang sejenis, atau produsen-produsen dalam
negeri barang sejenis yang hasil kolektif barang-barangnya merepresentasikan porsi
terbesar dari total produksi domestik atas barang-barang tersebut.96

Fungsi dari penyelesaian sengketa adalah, agar norma-norma hukum yang


mengatur hubungan diantara anggota masyarakat dipatuhi. Dengan kata lain di
dalam nya terdapat fungsi pengawasan. Dalam masyarakat nasional pengawasan ini
dipercayakan pada suatu lembaga yaitu negara, sedangkan dalam masyarakat
internasional yang tidak mempunyai kekuasaan sentral diserahkan pada para
anggotanya sendiri. 97

94
Ibid., hal. 41
95
Ibid., hal. 40.
96
Ibid., hal. 42.
97
Lona Puspita, “Mekanisme Penyelesaian Sengketa GATT Dan WTO Ditinjau Dari Segi Hukum
Penyelesaian Sengketa Internasional”, Jurnal Normative, Edisi No. 1 Tahun 2018, hal. 25.

55
Untuk menentukan apakah industri domestik menderita kerugian material,
berdasarkan pasal 3.1 menyatakan bahwa anggota harus menyelidiki volume impor
barang yang diduga dumping dan pengaruhnya terhadap harga pada pasar domestik
atas barang sejenis. Sebagai tambahan, para anggota harus menyelidiki dampak dari
dari impor tersebut terhadap industri domestik.98

Secara normatif GATT dan WTO menyediakan sejumlah ketentuan


pengawasan di dalamnya. Misal yang terdapat pada Pasal X GATT yang
mengandung ketentuan tentang pengawasan secara umum. Pasal ini mewajibkan
negara-negara menerbitkan aturan-aturan nasional negara mereka. Ketentuan
pengawasan di bidang moneter dapat ditemukan dalam Pasal XI dan XIII yang
mengatur pengawasan di bidang moneter kepada IMF.99

Dalam konteks masyarakat internasional, umumnya masyarakat


internasional memberikan peluang untuk melakukan penyelesaian sengketa antar
negara melalui berbagai mekanisme yang digunakan. Sengketa antar negara yang
dimaksud dapat diselesaikan dengan proses politis-diplomatik yakni secara non
yudisial atau sebagai alternatif, dapat pula diselesaikan dengan forum tribunal.
Metode penyelesaian sengketa tersebut antara lain adalah:100

1. Jalur non yudisial:


Penyelesaian sengketa melalui jalur non yudisial merupakan penyelesaian
sengketa yang dilakukan melalui proses politis-diplomatis dalam bentuk yang lebih
fleksibel, penyelesaian sengketa dapat diselesaikan oleh pihak yang bersengketa
sendiri tanpa keterlibatan pihak lain yakni melalui proses negosiasi. Penyelesaian
sengketa dengan jalur non yudisial antara lain adalah:
a. Negosiasi dan Konsultasi: proses negosiasi dengan bentuk yang fleksibel
merupakan salah satu aspek dari kegiatan sistem GATT dan WTO yang terpenting.
Dalam prakteknya negosiasi merupakan forum yang berfungsi setiap waktu.

98
Peter Van den Bossche, Op.Cit., hal. 42.
99
Lona Puspita, Op.Cit., hal. 25.
100
Ibid., hal. 27.

56
Konsultasi dalam rangka proses penyelesaian sengketa mengandung arti formal
karena secara tegas terdapat dalam Pasal XXII perjanjian GATT meskipun dalam
pelaksanaanya proses konsultasi dapat berbentuk proses yang informal dan tidak
terlihat oleh pihak lain.
b. Good Offices: good offices merupakan penyelesaian sengketa non yudisial
dengan bantuan pihak ketiga yang dianggap netral. Pihak ketiga yang melakukan
kegiatan good offices bertindak sebagai pihak yang mendorong agar pihak yang
bersengketa mengambil langkah konkret ke arah penyelesaian secara damai, tetapi
tidak terlibat dalam proses perundingan.

c. Mediasi: dalam rangka proses penyelesaian sengketa internasional melalui


mediasi, pihak ketiga dapat turut serta dalam proses perundingan untuk melakukan
penyelesaian sengketa, tetapi pengambilan keputusan pengambilan keputusan
tentang penyelesaian sengketa berada dalam pihak yang bersengketa.

d. Konsiliasi: dalam hal konsiliasi pihak ketiga merupakan pihak yang diminta
menjadi a commission of persons yang turut serta untuk menjelaskan fakta yang
berkaitan dengan sengketa dan menyusun laporan yang isinya mencakup usulan
mengenai penyelesaian yang dianggap dapat diterima walaupun usulan tersebut
tidak mengikat.

2. Jalur yudisial:
Penyelesaian sengketa dalam bentuk yang bersifat legal dan secara langsung
aktif melibatkan pihak ketiga bisa berupa arbitrase atau berupa judicial settlement,
dengan jalur ini hasil dari proses penyelesaian sengketa yang ditempuh ditetapkan
oleh pihak ketiga dan berlaku secara meningkat. Dengan demikian, jalur ini
merupakan jalur yuridis, penyelesaian sengketa yang dipilih melalui jalur arbitrase
atau dengan jalur judicial settlement merupakan jalur yudisial yang sifatnya suatu
tribunal.

57
B. Efektivitas Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional WTO Anti
Dalam Kasus Anti Dumping (Bea Masuk Anti Dumping) Australia Terhadap
Produk Kertas Fotokopi A4 Indonesia

Perjanjian World Trade Organization telah mengakomodasi negara-negara


berkembang. Secara umum ketentuan S&D merujuk pada hak-hak khusus dan
keistimewaan yang diberikan WTO kepada negara berkembang dan tidak diberikan
kepada negara maju. Dalam ketentuan S&D (Special and Differential Treatment),
dimaksudkan untuk memfasilitasi proses integrasi negara berkembang dalam
mengatasi kesulitan-kesulitan dalam mengimplementasikan seluruh perjanjian
WTO.101

Termuatnya ketentuan-ketentuan S&D dalam WTO Agreements,


berlandaskan pada prinsip liberalisasi perdagangan sebagai alat pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi seluruh negara anggotanya. Selain itu ketentuan S&D
menunjukan pengakuan bahwa perbedaan tingkat pembangunan yang dicapai oleh
negara-negara anggota WTO memerlukan adanya perangkat-perangkat kebijakan
dalam mencapai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang berbeda pula. Tiap-
tiap negara mempunyai kepentingan yang berbeda, yang mana seringkali
kepentingan tersebut berbenturan sehingga menimbulkan pertikaian yang
mengganggu keserasian hidup bersama. Dua kepentingan yang berbeda yaitu
keharusan untuk mengindahkan kepentingan yang bersifat nasional tetapi di satu
sisi dan keharusan untuk mengindahkan kepentingan yang bersifat internasional,
cenderung menjadi sumber perselisihan. Dalam hal ini, negara yang kuat menindas
negara yang lemah untuk menekan kehendaknya.102

Sengketa internasional dapat timbul pada saat usaha salah satu pihak untuk
memaksakan kehendaknya menggunakan kekuatan mendapat tantangan atau

101
Nandang Sutrisno, “Efektifitas Ketentuan-Ketentuan World Trade Organization Tentang
Perlakuan Khusus Dan Berbeda Bagi Negara Berkembang: Implementasi Dalam Praktek Dan
Dalam Penyelesaian Sengketa”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustutum, Edisi Khusus Tahun 2009, hal.
2.
102
Imawan Dikcy Prasudhi, Op.Cit., hal. 32.

58
perlawanan dari pihak yang dipaksakannya. Secara teoritis ada dua jenis
persengketaan yaitu sengketa politik (political / Justiciable), dan persengketaan
yang bersifat hukum (legal/ justiciable). Sengketa politik adalah sengketa yang
tidak dapat diselesaikan dengan prinsip-prinsip sengketa hukum dan sulit dipakai
prinsip-prinsip hukum internasional yang sudah ada sebelumnya.103

Persengketaan perdagangan dapat dikemukakan pada GATT dibatasi hanya


pada persengketaan-persengketaan yang bersifat hukum sedangkan persengketaan
yang bersifat politik berada diluar kompetensi GATT. Terhadap kasus sengketa
kertas antara Indonesia dengan Australia, Indonesia telah menunjukan eksistensi
dan memperjuangkan kepentingan nasionalnya meski harus menghadapi negara-
negara maju. Maka demikian, unsur-unsur penyelesaian sengketa internasional
adalah:104 (1) penyelesaian secara damai apabila terjadi sengketa internasional, (2)
penyelesaian dapat dengan cara yang lain tetapi tetap pada berdasarkan cara-cara
perdamaian, (3) adanya lembaga-lembaga penyelesaiannya.

Terdapat dua permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam


memperjuangkan kepentingannya, masalah yang pertama adalah masalah mengenai
lemahnya pembuktian untuk mendukung sanggahan, dan kedua adalah ketidak
patuhan respondent terhadap keputusan DSB sebagai hasil adopsi laporan panel dan
appellate body ataupun award arbitrase yang menjelaskan tentang tenggat waktu
pelaksanaan rekomendasi.105

Permasalahan yang pertama dapat diselesaikan dengan memperkuat


kedudukan Indonesia dengan peningkatan sumberdaya manusia dengan
pemahaman hukum, politik, dan ekonomi yang memadai serta pengumpulan bukti
dan informasi yang dapat mendukung gugatan atau sanggahan secara
komprehensif. Permasalahan ini bersifat teknis, sehingga dapat diusahakan oleh
pemerintah melalui kementerian terkait dan firma hukum yang telah ditugaskan,

103
Ibid., hal. 34.
104
Ibid., hal. 35.
105
Dyan F. D. Sitanggang, “Posisi, Tantangan, Dan Prospek Indonesia Dalam Sistem Penyelesaian
Sengketa WTO”, Jurnal Veritas et Justitia, Edisi No. 1 Tahun 2017, hal. 110.

59
memanfaatkan klausula-klausula yang terdapat dalam DSU yaitu special dispute
settlement rules and procedures dan Advisory Centre on WTO Law (ACWL).

Permasalahan yang kedua, yakni non-compliance adalah hal yang berbeda, di


mana meski sudah ada ketentuan dalam DSU mengenai pengimplementasian
rekomendasi dan keputusan, ada pula faktor-faktor lain seperti faktor ekonomi,
politik, dan pandangan terhadap posisi negara lawan sengketa, sementara di satu
sisi, kepatuhan negara-negara sangat berdampak pada efektivitas sistem
penyelesaian sengketa WTO.106

WTO mempunyai tujuan utama, antara lain adalah: 107 (1) untuk mendorong
perdagangan bebas dengan menghapus hambatan-hambatan perdagangan yang
tidak menimbulkan dampak-dampak sampingan, (2) sebagai penyedia forum
negosiasi perdagangan internasional yang lebih permanen, dan (3) sebagai
penyelesaian sengketa. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam putaran Uruguay
menghasilkan 16 ketentuan yang berkaitan dengan perdagangan tiga diantaranya
adalah instrumen yang mengatur masalah-masalah pengamanan perdagangan yakni
anti dumping, subsidies and countervailing measures, dan safeguard.

Di Indonesia sendiri pengamanan perdagangan ditangani oleh tiga institusi


yang berbeda-beda yaitu:108 Untuk mengamankan industri dalam negeri, Komite
Anti Dumping Indonesia (KADI) bertugas untuk menangani praktek perdagangan
anti dumping dan praktek perdagangan anti subsidi. KPPI (Komite Pengamanan
Perdagangan Indonesia), bertugas untuk menangani tindakan pengamanan
(safeguard). Untuk mengamankan pasar luar negeri, Direktorat Pengamanan
Perdagangan (DPP) dan Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional (KPI)
bertugas untuk menangani tuduhan dumping, anti subsidi, dan safeguard dari
otoritas. Implementasi ketentuan mengenai perlakuan khusus dan berbeda bagi
negara berkembang yang terdapat dalam berbagai persetujuan WTO, kenyataannya

106
Ibid., hal. 111.
107
Laode Piter Hanafi, Op.Cit., hal. 3.
108
Ibid., hal. 3.

60
tidak mudah untuk dilaksanakan. Pembahasan atas permasalahan ini, dalam
berbagai perundingan yang berkepanjangan di WTO.

Bagi kebanyakan negara berkembang, S&D bukan hanya longer time frame
dalam mengimplementasikan persetujuan-persetujuan WTO. Tetapi juga berbagai
pengecualian lain yang sesuai dengan tingkat ekonominya, oleh karena itulah dalam
deklarasi menteri Doha memandatkan untuk meninjau kembali semua ketentuan
mengenai S&D dengan tujuan untuk menjadikanya lebih tepat, efektif, dan
operasional.109

Manfaat bergabungnya negara-negara berkembang dalam WTO antara lain


adalah, reformasi fundamental bidang perdagangan produk pertanian, keputusan
untuk menghilangkan secara bertahap kuota ekspor tekstil dan pakaian jadi dari
negara berkembang, pengurangan bea masuk produk-produk industri, perluasan
cakupan produk-produk yang bea masuk nya terikat ketentuan WTO (bound tariff),
dan penghapusan persetujuan bilateral dari barang-barang tertentu. Ketentuan S&D
yang menguntungkan bagi negara-negara berkembang dan negara berkembang
terbelakang LDCs (Least Developed Countries). Sejalan dengan salah satu tujuan
dari perundingan GATT pada putaran Uruguay yaitu, untuk menciptakan
perdagangan bebas yang memberi sebagian keuntungan negara-negara yang sedang
berkembang. Maka dari itu dalam perdagangan bebas di bawah naungan WTO tidak
ada yang boleh menang dan yang kalah, namun disamping hal itu perdagangan
bebas tersebut harus memberi keuntungan, baik kepada negara-negara maju
maupun negara-negara yang sedang berkembang. Maka negara-negara yang sedang
berkembang itu perlu diberi hak-hak istimewa atau kelonggaran-kelonggaran dalam
melaksanakan persetujuan WTO agar tidak dirugikan dalam perdagangan bebas
WTO akibat industri mereka kalah bersaing dengan industri negara-negara maju.110

109
Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investigasi, dan Hak Kekayaan Intelektual Direktorat
Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri, Op.Cit., hal. 76.
110
Annisa Sabila Hasanie, “Penerapan Ketentuan Special and Differential Treatment Dalam World
Trade Organization Terhadap Pembangunan Dan Perdagangan Internasional”, Uti Possidetis:
Journal of International Law, Edisi No. 3 Tahun 2020, hal. 349.

61
Sulitnya implementasi ketentuan WTO semakin menguatkan tuntutan
terhadap S&D, terutama dari negara-negara yang secara ekonomi masih lemah.
Mengutip pendapat Murray Gibbs, S&D adalah:111 the product of the co-ordinated
political efforts of developing countries to correct the perceived inequalities of the
post-war international trade system by introducing preferential treatment in their
favour across the spectrum of international economic relations (produk dari upaya
politik terkoordinasi dari negara-negara berkembang untuk memperbaiki
ketidaksetaraan yang dirasakan dari sistem perdagangan internasional pasca-perang
dengan memperkenalkan perlakuan istimewa yang menguntungkan mereka di
seluruh spektrum hubungan ekonomi internasional). Gibbs mengatakan bahwa
special and differential treatment ini merupakan hasil dari perundingan akibat dari
pertentangan politik antara negara maju di satu pihak dan negara berkembang di
pihak lainnya untuk memperbaiki ketidakteraturan dalam sistem perdagangan pasca
perang dunia II yang berupa pemberian perlakuan khusus dan berbeda yang
menguntungkan kelompok terakhir.112 Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa
S&D dianggap sebagai wujud dari perjuangan tatanan ekonomi dunia yang lebih
baik dan perlu diketahui hal ini merupakan salah satu dari tujuan pembentukan
WTO.

Ketentuan S&D dalam perjanjian WTO, sebagai latar belakang tersebut


negara-negara berkembang berpikir bahwa liberalisasi perdagangan hanya menjadi
sarana untuk mencapai tujuan WTO, dan bukan tujuan WTO itu sendiri. Dalam
pembukaan perjanjian WTO, tujuan dari WTO dinyatakan untuk meningkatkan
standar hidup, memastikan lapangan kerja penuh dan volume pendapatan riil dan
permintaan efektif yang terus meningkat, dan memperluas produksi dan
perdagangan barang dan jasa. Untuk berkontribusi pada tujuan ini, negara-negara
anggota mengambil langkah-langkah seperti memasuki hubungan timbal balik dan

111
Fatma Muthia Kinanti, “World Trade Organization, Negara Berkembang, Dan Special and
Differential Treatment”, Jurnal Pandecta, Edisi No. 1 Tahun 2015, hal. 51.
112
Sonya Alifiyana, Skripsi: “Analisis Penerapan Ketentuan Special and Differential Treatment
Bagi Negara Berkembang Dalam Perjanjian WTO”, (Jember: Fakultas Hukum Universitas Jember,
2018), hal. 22.

62
saling menguntungkan pengaturan yang menguntungkan diarahkan pada
pengurangan substansial dari tarif dan hambatan perdagangan serta penghapusan
perlakuan diskriminatif dalam hubungan perdagangan internasional.113

Dari hasil putaran Uruguay tersebut, juga terlihat evolusi negara berkembang
terkait tolok ukur S&D. Perjanjian Uruguay round, senantiasa dibimbing dengan
prinsip S&D yang telah disepakati pada putaran negosiasi sebelumnya dan
diperpanjang dalam sejumlah cara. Tanpa secara resmi menyerahkan prinsip non-
timbal balik, negara-negara berkembang menghindari praktik masa lalu dan
berpartisipasi lebih aktif dalam pertukaran liberalisasi timbal balik dalam barang
dan jasa. 114

Ada pula beberapa landasan konseptual yang mendasari penyediaan S&D


seperti yang telah muncul dari waktu ke waktu dan seperti yang telah tergambar
dalam persetujuan WTO. Yang paling penting adalah pada dasarnya negara-negara
berkembang kurang diuntungkan dalam partisipasi mereka dalam perdagangan
internasional. Oleh karena itu, kesepakatan multilateral apapun yang melibatkan
negara-negara berkembang dan maju harus mempertimbangkan kelemahan
intrinsik ini dalam menentukan hak dan tanggung jawab. Premis terkait adalah
bahwa kebijakan perdagangan yang akan memaksimalkan pembangunan
berkelanjutan di negara-negara berkembang berbeda dengan kebijakan di negara-
negara maju seharusnya tidak berlaku bagi negara-negara sebelumnya.115

Dengan bergabungnya negara berkembang dalam putaran Uruguay tersebut


maka, menghasilkan suatu sistem perdagangan multilateral yang lebih baik. Sistem
ini diharapkan dapat membebaskan negara-negara berkembang berpenghasilan
rendah dari tekanan politik dan ekonomi negara-negara besar. Perlakuan nasional
dirancang guna mempertahankan perdagangan yang adil, termasuk pada masalah

113
Akiko Yanai, “Rethinking Special and Differential Treatment in The WTO”, IDE Discussion
Paper, Edisi No. 435 Tahun 2013, hal. 4.
114
Mohammad Shan Alam, “Making the Special and Differential Provision of WTO Agreements
Effective for the Least Developed Countries: Perspectives From Bangladesh”, CPD Occasional
Paper Series, Edisi No. 13 Tahun 2001, hal. 4
115
Ibid., hal. 5.

63
dumping. Pada pokoknya persetujuan-persetujuan ditujukan untuk mendukung
kompetisi yang sehat di bidang perdagangan barang, pertanian, hak atas kekayaan
intelektual, dan jasa. WTO juga berfungsi untuk mendorong reformasi
pembangunan dan ekonomi. 116

Dalam menangani perselisihan antara anggotanya penyelesaian sengketa


merupakan pusat penanganan sengketa dalam perdagangan internasional sebagai
salah satu dari sistem perdagangan multilateral. Sebagai sebuah forum multilateral
untuk menangani sengketa perdagangan, WTO terdiri atas panel ad hoc dan badan
banding permanen dan berurusan dengan sengketa antar negara mengenai aplikasi
dan interpretasi WTO yang sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang diberikan
dalam perjanjian WTO.117 Perbedaan dan persamaan dalam hal mekanisme
penyelesaian sengketa dengan sifat yang permanen dalam perdagangan
internasional, pada umumnya terdiri atas dua fase utama yakni ajudikasi dan
konsultasi. Kedua tahap ini menyediakan pemahaman mengenai kerjasama antar
organisasi, dan kesanggupannya sebagai batu sandungan dalam dua cara yaitu cara
negara anggota atau organisasi saling berhubungan dalam organisasi, yang kedua
kesidaan negara-negara anggota untuk menggunakan institusi dan efektivitas
independen dalam bekerja dengan negara-negara anggota.118

Proses penyelesaian sengketa WTO dimulai dengan persyaratan konsultasi.


Jika konsultasi tidak berhasil, negara yang mengajukan keluhan dapat meminta
pembentukan tiga orang panel untuk mempertimbangkan masalah ini. Panel
mengeluarkan laporan yang dapat diajukan banding ke Badan Banding. Laporan
panel, sebagaimana dapat diubah oleh Badan Banding, tunduk pada Badan
Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO. Kecuali ada kesepakatan untuk tidak
mengadopsi laporan tersebut. Panggilan sengketa WTO adalah penemuan fakta-

116
Aldo Rico Geraldi, “Personalitas Hukum World Trade Organization Bagi Negara Berkembang
Terkait Sistem Perdagangan Antar Negara”, Jurnal Komunikasi Hukum, Edisi No. 1 Tahun 2018,
hal. 10.
117
Robert Howse (ed), The Legitimacy of International Trade and Tribunals, (United Kingdom:
Cambridge University Press, 2018), hal. 10.
118
Jennifer Ann Lacks Hutnick, Disertasi: “A Regional Weapon of Choice: Forum Choice in
International Trade Disputes”, (USA: University of Pittsburgh, 2013), hal. 20.

64
fakta yang relevan dibawah hukum yang berlaku dan fakta-fakta yang relevan
dengan jelas dan menarik secara interaktif. Karena cacat desain di DSU, Badan
Banding tidak memiliki hak penangguhan. Oleh karena itu, badan banding dibatasi
di mana ia memutuskan untuk menerapkan hukum yang panel tidak membuat
temuan fakta.119

Dalam penetapan hukum yang berlaku terdapat beberapa sub fungsi. Pertama,
panel (dan di sini Badan Banding bertindak juga) menentukan hukum mana yang
berlaku, berdasarkan faktor-faktor termasuk, namun tidak terbatas pada, aktivitas,
lokasi, orang, dan waktunya. Kedua, dalam hal terjadi perselisihan tentang makna
undang-undang, majelis harus menafsirkan hukum secara definitif. Ketiga, di mana
hukum tidak berlaku dengan istilah-istilah khusus tetapi dimaksudkan untuk
mengatasi masalah, panel dapat menafsirkan hukum. Keempat, hukum mungkin
memiliki kekosongan dan karena itu tidak memberikan tanggapan. Kelima, di mana
dua aturan hukum tumpang tindih, panel harus menentukan apakah keduanya
dimaksudkan untuk diterapkan atau apakah salah satu didahulukan. Keenam, di
mana dua aturan hukum bertentangan, panel harus menentukan apakah undang-
undang tersebut memiliki kedudukan yang tidak setara atau setara. Jika mereka
setara tinggi badan, panel harus menentukan bagaimana mengakomodasi keduanya.
Satu masalah yang terus-menerus dari sistem hukum WTO adalah pengakuan dan
penerapan aplikasi aturan hukum dari luar sistem. Terakhir, setelah penentuan
lengkap dari hukum yang berlaku, pengadilan menerapkan hukum pada fakta-fakta.
Akhirnya, memungkinkan pengadilan untuk merekomendasikan penyelesaian
sengketa untuk diadopsi oleh DSB.120
1. Hukum Anti Dumping dalam WTO
Ada terdapat suatu keadaan tertentu ketika negara dapat dan harus
memberlakukan bea masuk anti dumping untuk melindungi industri dalam negeri
dari eksportir yang that mampu memproduksi dan menjual barang-barang mereka
kurang dari nilai "normal" (Artikel 2.2). Pembenaran untuk kebijakan anti-dumping

119
Joel P. Trachmant, “The Domain of WTO Dispute Resolution”, Harvard International Law
Journal, Edisi No. 2 Tahun 1999, hal. 3.
120
Ibid., hal. 4.

65
terkait erat dengan pembenaran untuk memberlakukan undang-undang antitrust.
Dampak buruk akan harga dumping yang bersifat predatory dari harga impor asing
membenarkan adanya perlindungan bagi perusahaan domestik yang sudah tunduk
untuk undang-undang anti-monopoli internal.121
Pembenaran ekonomi untuk bea masuk anti-dumping adalah adanya dampak
buruk akan dumping yang bersifat strategis, di mana eksportir dilindungi dari
persaingan di dalam negeri dan dengan demikian dapat menjual ekspor mereka
dengan harga yang lebih rendah daripada yang mereka jual di dalam negeri pasar.
Dumping ini dapat menjadi masalah apabila industri memiliki penelitian yang
tinggi dan biaya pengembangan atau skala ekonomi yang besar. Produsen dalam
mengimpor pasar dapat didorong keluar dari bisnis karena ketidakmampuan mereka
untuk menghasilkan hal yang sama skala ekonomi dengan menjual di beberapa
pasar (termasuk eksportir pasar rumah). Dalam hal ini, bea masuk anti dumping
dapat menjadi solusi yang efektif jika mereka mencegah dumping strategis dan
mencegah pelaksanaan kekuatan monopoli.122
2. Efektivitas Penyelesaian Anti Dumping WTO
Pengenaan tindakan anti dumping secara konsisten dengan ADA merupakan
proses yang tergantung pada penyelidikan. Investigasi terhadap dugaan produk
dumping dimulai setelah adanya permohonan tertulis oleh atau atas nama industri
dalam negeri. Dalam keadaan tertentu penyelidikan dapat dilakukan secara ex
officio oleh otoritas negara pengimpor. Terhadap kasus pengenaan BMAD bukti
yang cukup tentang dumping, kerugian, dan hubungan sebab akibat harus
ditetapkan sebagai dasar inisiasi.123 Setelah temuan afirmatif dumping, kerugian
dan sebab-akibat, penyelidikan otoritas dapat menerapkan tindakan anti-dumping

121
Reid M. Bolton, “Anti-Dumping and Distrust: Reducing Anti Dumping Duties Under W.T.O.
Through Heightened Scrutiny”, Berkeley Journal of International Law, Edisi No. 1 Tahun 2011,
hal. 71.
122
Ibid., hal. 72.
123
Ikeagwuchi Godwin Andrew, Disertasi: “Implementing Effective Trade Remedy Mechanism: A
Critical Analysis of Nigeria’s Anti-Dumping and Countervailing Bill”, (Africa: University of
Pretoria, 2010), hal. 50.

66
terhadap produk dumping.124 Langkah-langkah ini mungkin mengambil bentuk
yang berbeda yang sekarang akan dibahas secara bergantian.
Dispute Settlement Mechanism WTO terbukti merupakan rezim berbasis
hukum yang memberikan kesempatan yang sama kepada para anggotanya untuk
menyelesaikan masalah perdagangan mereka. DSM WTO diakui sebagai alat yang
efektif untuk menyelesaikan perselisihan antara anggotanya. WTO DSM
merupakan suatu perumusan pengaturan sistem DSU yang sangat sistematis dan
terorganisir dibandingkan dengan mekanisme WTO lainnya. Terlihat jelas bahwa
DSM adalah rezim hukum yang berbasis pada kekuasaan hukum hasil dari
keputusan pengadilan. DSM WTO dapat menyelesaikan sengketa dan rekomendasi
dan keputusan panel harus dilaksanakan oleh para pihak.125
Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping kenyataannya hampir tidak berdasar
dan berdampak negatif terhadap negara yang memberlakukan tindakan anti
dumping secara lebih umum. Tercatat bahwa ada atau tidak adanya kapasitas hukum
untuk WTO anggota adalah faktor fundamental yang mempengaruhi keputusan
anti-dumping. Dengan demikian, DSB panel mengartikulasikan standar baru untuk
sengketa anti-dumping yang secara bersamaan mengurangi jumlah kapasitas
hukum yang diperlukan untuk menentang bea masuk anti-dumping dan
mencerminkan kecurangan WTO terhadap semua tindakan anti dumping. Standar
ini akan menjadi bentuk pengawasan yang lebih ketat untuk kasus anti-dumping
yang mencapai tahap panel. Dengan secara eksplisit beranggapan bahwa tindakan
anti dumping tidak konsisten dengan prinsip inti WTO, kurang legal kapasitas akan
diperlukan untuk menentang bea masuk anti-dumping, yang pada gilirannya akan
menyebabkan hampir semua bea masuk anti-dumping ditentang.126
Sangat diperdebatkan bahwa perselisihan WTO bahwa penyelesaiannya
sangat efektif. Namun, masih ada penolakan terhadap pendapat ini mengenai
dengan lamanya proses dan kurangnya pembalasan kekuasaan terutama bagi

124
Ibid., hal. 56.
125
Yafet Yosafat Wilben Rissy, “Effectiveness of The World Trade Organization’s Dispute
Settlement Mechanism”, KRITIS Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Edisi No. 1 Tahun 2012,
hal. 96.
126
Reid M. Bolton, Op.Cit., hal. 88.

67
negara-negara berkembang. Itu proses hukum dalam penyelesaian sengketa WTO
seringkali membutuhkan waktu yang relatif lama dan mungkin memerlukan biaya
tambahan. Selain itu, otoritas pembalasan terbatas dari pengembangan negara
mungkin menghalangi membuat keluhan jika tidak ada harapan untuk pandangan
mereka tentang memaksakan keputusan yang menguntungkan mereka, terutama
karena tidak ada mekanisme hukuman kolektif bagi yang bandel responden.
Selanjutnya, negara dengan tingkat perekonomian yang masih lemah dapat melatih
pengendalian diri dalam perjuangan mereka agar tidak mengancam hak istimewa
yang mereka andalkan, termasuk pengembangan bantuan dan preferensi
perdagangan sepihak. Semua argumen ini dibangun untuk melawan efektifitas
penyelesaian sengketa WTO.127
Anti dumping dan tindakan penyeimbang (countervailing measures) dalam
GATT dapat dikenakan oleh negara guna melindungi industri domestiknya.
Perlindungan yang dimaksudkan berupa perlindungan terhadap barang “dumping”
oleh pemasok asing atau subsidi yang mendistorsi perdagangan. Penggunaan
langkah-langkah tersebut dikutip sebagai bentuk lain perlindungan selektif.
Perdebatan bahwa negara merasa lebih mudah untuk menggunakan tindakan anti
dumping dan tindakan penyeimbang yang melibatkan kerugian yang lebih lemah
pengujian (atau tidak ada pengujian dalam beberapa kasus). Ketika pengaman
tindakan akan lebih tepat, yaitu ketika permasalahan yang bersifat injury dan bukan
unfair trade practices.128
Undang-undang anti dumping memungkinkan adanya perjanjian dengan
negara-negara yang tidak memiliki ekonomi pasar dengan penghentian sementara
penyelidikan anti dumping dan pembatasan ekspor.129
Negara-negara maju secara aktif menggunakan tindakan anti dumping dan
tindakan penyeimbangan terhadap pesaing. BMAD dapat dikenakan terhadap

127
Abdurrahman Alfaqiih, “Effectiveness of The World Trade Organization’s Dispute Settlement
Mechanism”, Jurnal MIMBAR HUKUM, Edisi No. 3 Tahun 2013, hal. 518.
128
Peter Winglee et al., Issues and Developments in International Trade Policy, (Washington:
International Monetary Found, 1992), hal 15-16.
129
Irina Chervinskaya, “Specificity of Anti-Dumping Regulation for Transition Countries”,
Procedia Economics and Finance, Edisi No. 8 Tahun 2014, hal. 147.

68
impor barang yang dijual di pasar dengan harga yang lebih rendah dari harga yang
lebih rendah dari harga yang ditetapkan di pasar domestik negara pengekspor.130
3. Indikator efektivitas penyelesaian sengketa panel WTO
Salah satu indikator untuk mengukur sejauh mana efektivitas penyelesaian
sengketa dengan forum WTO adalah durasi waktu penyelesaian sengketa. Beberapa
pendapat mengatakan bahwa dalam panel penyelesaian sengketa WTO memakan
waktu yang cukup lama atau memperpanjang proses penyelesaian, tidak dapat
dibenarkan. Proses penyelesaian sengketa dalam proses panel WTO rata-rata 10
bulan dan tidak termasuk waktu yang dibutuhkan untuk menerjemahkan laporan.
Penyelesaian sengketa WTO telah lama diakui merupakan penyelesaian sengketa
dengan time frame yang tepat yang artinya selama proses sengketa tidak ada
penundaan yang disengaja atau ada perpanjangan yang terjadi kecuali ada
perencanaan yang telah dirancang oleh para pihak. Dapat dilihat berdasarkan
deskripsi rentan waktu antara tahun 1995 dan 2010 bahwa rata-rata rentan waktu
penyelesaian sengketa WTO adalah sebagai berikut:131
a. Tahap konsultasi rentan waktu yang dibutuhkan oleh negara yang bersengketa
adalah sekitar lima hingga enam bulan dari tanggal permintaan konsultasi hingga
tanggal panel didirikan. Sedangkan waktu berdasarkan undang-undang adalah dua
bulan.
b. Pada tahap berikutnya panel mempunyai waktu selama 15 bulan sebagai waktu
proses. Di fase ini durasi panel adalah enam bulan dapat diperpanjang sampai
sembilan bulan bilamana para pihak memerlukannya berdasarkan undang-undang,
meskipun penyelesaian sengketa cenderung mengusulkan tanpa ekstensi lebih
lanjut.
c. Tahapan selanjutnya adalah badan banding (Appellate Body). Berdasarkan
undang-undang untuk penyelesaiannya adalah enam puluh hari, akan tetapi ada
berbagai kemungkinan diperpanjang hingga sembilan puluh hari. Data menunjukan

130
Iibid., hal. 148.
131
Abdurrahman Alfaqiih, Op.Cit., hal. 518-519

69
bahwa rata-rata durasi selama 90,3 hari dari 127 dengan kemungkinan sebanyak
89% dari jumlah total AB menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu 91 hari.
d. Pasal 21.5 DSU menyatakan bahwa pelaksanaan panel memiliki tenggat waktu
selama 90 hari dengan kemungkinan perpanjangan tetapi tidak dengan
kemungkinan dengan maksimal keterlambatan dalam proses. Dalam prakteknya
kepatuhan panel mengambil rata-rata delapan bulan untuk menyelesaikan.
e. Terakhir jangka waktu yang wajar Reasonable Period Time (RPT) untuk
implementasi WTO. Rentan waktu RPT yang disepakati secara bilateral adalah 9,
29 bulan yang diberikan arbiter sedangkan waktu yang diberikan arbiter untuk RPT
adalah 11, 7 bulan. Yang mana total panjang periode yang disepakati antara pihak-
pihak RPT selama implementasi harus terjadi. Secara umum penyelesaian sengketa
dapat berupa dianggap sebagai sistem yang efektif dalam hal jangka waktu.
Aspek partisipan merupakan aspek lain penentu apakah efektif atau tidaknya
penyelesaian sengketa panel WTO terutama partisipan yang beranggotakan negara-
negara berkembang. Diyakini bahwa salah satu faktor utama dalam mempengaruhi
perkembangan dan kepatuhan dengan keputusan panel dan badan banding WTO
adalah efektivitas, setidaknya pada prinsipnya dari sistem penyelesaian sengketa
dalam menyelesaikan perselisihan antar negara-negara dengan perbedaan politik
dan ekonomi. Meskipun ada beberapa kasus yang telah berhasil diselesaikan di
bawah mekanisme penyelesaian sengketa WTO, ada juga beberapa kasus yang
memerlukan durasi waktu yang cukup lama untuk diselesaikan atau bahkan tidak
ada keputusan akhir dibuat.132
Dalam penyelesaian sengketa WTO badan banding menjadi keberhasilan
penting dari sistem penyelesaian sengketa. Tidak adanya kejelasan dalam putaran
Uruguay bagaimana percobaan penambahan tinjauan banding akan diberlakukan.
Di bawah berbagai perjanjian WTO badan banding telah menghasilkan
yurisprudensi yang kaya dan terpadu yang menafsirkan berbagai kewajiban.133

132
Ibid., hal. 520.
133
William J. Davey, “The WTO and Rules-Based Dispute Settlement: Historical, Evolution,
Operational Success and Future Challenges”, Journal of International Economic Law, Edisi No. 3
Tahun 2014, hal. 11.

70
4. Prinsip dasar Appellate Body dalam penyelesaian sengketa
Badan banding mempunyai tugas yaitu untuk menafsirkan dan menerapkan
perjanjian multilateral yang secara kolektif dikenal sebagai perjanjian tertutup
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pendekatan terhadap tugas ini adalah
fungsi dari hukum internasional umum tentang bagaimana interpretasi perjanjian
seperti halnya adalah hukum WTO.134
Dapat diasumsikan bahwa badan banding dapat dibedakan dari analisis
terhadap bagaimana AB secara praktis mengungkapkan interpretasinya terhadap
perjanjian yang tercakup dalam WTO, dan memerlukan penyelidikan apakah AB
mempunyai perbedaan dari pengadilan dan tribunal internasional lainnya. Prinsip-
prinsip interpretasi oleh badan banding yang sebagian telah dikodifikasikan dalam
konvensi Wina mengenai (VCLT) Vienna Convention on the Law of Treaties.135
General Agreement on Tariffs and Trade dan perjanjian pembentukan
organisasi perdagangan dunia (Pasal 3.2 DSU) menyatakan bahwa “The dispute
settlement system of the WTO is a central element in providing security and
predictability to the multilateral trading system. The Members recognize that it
serves to preserve the rights and obligations of Members under the covered
agreements, and to clarify the existing provisions of those agreements in
accordance with customary rules of interpretation of public international law.
Recommendations and rulings of the DSB cannot add to or diminish the rights and
obligations provided in the covered agreements”. (Sistem penyelesaian sengketa
WTO merupakan elemen sentral dalam memberikan keamanan dan prediktabilitas
sistem perdagangan multilateral. Para Anggota mengakui bahwa itu berfungsi
untuk melestarikan hak dan kewajiban Anggota berdasarkan perjanjian yang
tercakup, dan untuk mengklarifikasi ketentuan yang ada dari perjanjian tersebut
sesuai dengan aturan kebiasaan interpretasi hukum internasional publik.

134
Isabelle Van Damme, “Treaty Interpretation by the WTO Appellate Body”, The European of
International Law, Edisi No. 3 Tahun 2010, hal. 605.
135
Ibid., hal. 606.

71
Rekomendasi dan keputusan DSB tidak dapat menambah atau mengurangi hak dan
kewajiban yang diatur dalam perjanjian yang tercakup).136
Badan banding telah berhasil menghasilkan badan hukum WTO secara
keseluruhan, dengan tidak adanya gagasan yang tegas tentang keputusan,
interpretasi panel dan badan banding adalah kasus khusus. Panel dan AB terkadang
menghasilkan interpretasi yang berbeda bahkan ada yang bertentangan. Anggota
WTO dapat menyelesaikan ketidakpastian interpretasi yang dihasilkan lewat adopsi
interpretasi otoritatif dari ketentuan yang bersangkutan. Sejauh ini DSU belum
memberikan kemampuan untuk meminta klarifikasi atau revisi oleh DSB, panel,
atau AB atas adanya temuan rekomendasi atau alasan tertentu.137 Badan banding
belum sepenuhnya dapat mengartikan bahasa perjanjian WTO dalam tata bahasa
yang murni atau secara tekstual. Seringkali AB mengkontekstualisasikan definisi
atau makna dari teks. Titik tolaknya berawal dari ketentuan perjanjian.138
Badan banding mengasumsikan pada ketentuan Pasal XX GATT 1994
merupakan cerminan maksud dan tujuan anggota WTO, seperti pada kasus US-
gasoline dengan mengatakan bahwa:139 tidak masuk akal untuk beranggapan bahwa
anggota WTO bermaksud untuk mensyaratkan sehubungan dengan setiap kategori,
jenis atau tingkat hubungan atau hubungan yang sama antara tindakan yang sedang
dinilai dan kepentingan atau kebijakan negara yang diupayakan untuk
dipromosikan atau direalisasikan.
Pada tahapan awal, Appellate Body berhadapan dengan berbagai
permasalahan yang tidak terdapat pada ketentuan DSU permasalahan yang dihadapi
yakni pihak manakah yang dalam proses WTO memiliki beban pembuktian,
mungkinkah panel WTO harus memutuskan semua masalah yang diangkat, dan
terhadap para pihak apakah mereka yang bersengketa dapat memutuskan hanya
yang diperlukan saja dan jika AB membalikan keputusan panel apakah dapat
memutuskan sendiri kasusnya. Dikarenakan tidak adanya otoritas untuk merujuk

136
Ibid., hal. 607.
137
Ibid., hal. 614.
138
Ibid., hal. 621.
139
Ibid., hal. 622.

72
masalah kembali ke panel permasalahan yang terpenting adalah untuk efisiensi
penyelesaian sengketa.140 Permasalahan terhadap beban pembuktian diselesaikan
atas dasar bahwa pihak yang menyatakan bahwa klaim harus mengajukan bukti
untuk menetapkan pelanggaran yang tercakup persetujuan. Dalam hal
permasalahan sejauh mana panel harus menangani semua pertanyaan yang akan
diajukan oleh para pihak, AB berkesimpulan bahwa “peradilan ekonomi” berarti
bahwa sebuah panel memerlukan penanganan hanya terhadap klaim-klaim yang
dipermasalahkan dalam sengketa. Kemudian AB memutuskan bahwa keputusan
panel dapat menyelesaikan analisis dan kemudian memutuskan masalah tanpa harus
membuat pihak kembali ke panel lagi. Akan tetapi hal tersebut dapat dilakukan
bilamana panel telah membuat temuan fakta yang diperlukan yang akan
memungkinkan analisis hukum. Badan banding mempunyai tugas utama yakni
interpretasi perjanjian. Mandat Appellate Body erat kaitannya dengan sekelompok
perjanjian yang relatif ditentukan di bawah perjanjian WTO. Hal tersebut
mengakibatkan badan banding secara umum tidak terlibat dalam identifikasi dan
penerapan prinsip-prinsip yang cakupannya luas, hal ini berarti bahwa badan
banding berfokus pada interpretasi perjanjian dan telah mampu untuk
mengembangkan pendekatan yang dapat diidentifikasi dengan jelas dengan cara
menafsirkannya dalam kesepakatan WTO. Dalam Pasal 3.2 DSU mengatakan
bahwa sistem penyelesaian sengketa WTO adalah untuk mempertegas hak dan
kewajiban berdasarkan perjanjian sesuai dengan aturan kebiasaan interpretasi
hukum kebiasaan internasional. Pada kasus-kasus terdahulu AB mengambil aturan
hukum kebiasaan hukum internasional yang berarti bahwa prinsip-prinsip yang
ditetapkan dalam Pasal 31 dan 32 Konvensi Wina mengenai hukum perjanjian.141
Berdasarkan Pasal 1.1 DSU menjelaskan yurisdiksi dan Appellate Body yang
menyediakan secara relevan bahwa:142“the rules and procedures of this
Understanding shall apply to disputes brought pursuant to the consultation and

140
Donald Mc Rae, “WTO Appellate Body: A Model for an ICSID Appeals Facility?”, Journal of
International Dispute Settlement, Edisi No.2 Tahun 2010, hal. 376.
141
Ibid., hal. 377.
142
Lorand Bartels, “Applicable Law in WTO Dispute Settlement Proceedings”, Journal of World
Trade, Edisi No. 3 Tahun 2001, hal. 502.

73
dispute settlement rules and procedures of the agreements listed in Appendix 1 to
this Understanding, hereinafter referred to as the ‘covered agreements” (aturan-
aturan dan prosedur-prosedur dari Kesepahaman ini akan berlaku untuk
perselisihan-perselisihan yang dibawa sesuai dengan aturan-aturan dan prosedur-
prosedur konsultasi dan penyelesaian perselisihan dari perjanjian-perjanjian yang
tercantum dalam Lampiran 1 dari Pengertian ini, selanjutnya disebut sebagai
‘perjanjian-perjanjian yang tercakup). Berdasarkan ketentuan sebagaimana dalam
Pasal 1.1 DSU selaku anggota WTO dapat mengajukan klaim ketika “menganggap
bahwa manfaat yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung berdasarkan
suatu perjanjian menjadi batal atau terganggu” hal ini biasanya diakibatkan karena
adanya kegagalan pihak lain dalam melaksanakan kewajibannya berdasarkan
perjanjian meski perjanjian yang tercakup sebagian besar menyediakan pengaduan
yang bersifat non-pelanggaran dan “situasi”. Sebagai titik awal yang biasa
kemudian adalah bahwa kesepakatan tertutup telah dilanggar. Berbagai mekanisme
prosedural yang kemudian memberlakukan kalim substansif tersebut. Pasal 6.2
DSU menyatakan bahwa dalam permintaannya untuk panel, suatu pihak harus
mengidentifikasi tindakan spesifik dalam menerbitkan dan memberikan ringkasan
singkat tentang dasar hukum pengaduan yang cukup untuk menyajikan masalah
dengan jelas dan Pasal 7.1 mengatakan ketentuan standar panel tentang referensi
didasarkan pada permintaan panel pihak pelapor.143
Berdasarkan Pasal 6.2 klaim yang dibuat oleh salah satu pihak menjadi dasar
kerangka acuan standar panel berdasarkan Pasal 7.1. Kerangka acuan berfungsi
untuk memberikan proses hukum kepada para pihak dan pihak ketiga sejauh
sebagai penyedia informasi mengenai kasus yang bersangkutan dan juga untuk
menetapkan yurisdiksi panel dengan mendefinisikan klaim dipermasalahkan dalam
sengketa.144

143
Ibid., hal. 502-503.
144
Ibid., hal. 504.

74
5. Efektivitas penyelesaian sengketa
Apabila dalam kenyataanya penyelesaian sengketa WTO dipandang memiliki
tujuan untuk menghukum maka dapat menjadi pertanyaan serius tentang
keefektifannya. Hal tersebut dapat dilihat lebih pada aspek sanksi sengketa
WTO.145
Dalam mekanisme penyelesaian sengketa tentu saja ada unsur hukuman
dalam penyelesaian sengketa bilamana seorang anggota telah gagal untuk
mematuhi keputusan DSB. Ada kemungkinan untuk meminta kompensasi izin
untuk melakukan tindakan balasan, hal tersebut merupakan bentuk sanksi. Sanksi
sebagaimana diberlakukan kepada anggota yang gagal melaksanakan keputusan
DSB diberikan dalam bentuk ganti rugi bagi pengadu bukan menghukum
tergugat.146
Dalam hal menyelesaikan sengketa hal efektivitas bukan merupakan satu
dimensi saja. Efektivitas perlu diukur dengan memperhatikan beberapa dimensi.
Kriteria untuk mengukur efektivitas merupakan hal yang rumit hal tersebut
dikarenakan apakah WTO benar-benar menyelesaikan perselisihan jauh lebih sulit
untuk dinilai. Namun demikian secara relatif operasionalisasi dari dimensi ini
apakah perselisihan atau tidak, telah mencapai solusi atau implementasi yang
disepakati bersama keputusan WTO.147
Prinsip efektivitas dapat melakukan fungsi yang berbeda. Efektivitas dapat
menjadi landasan independen akan tetapi hal tersebut tergantung pada bagaimana
menafsirkan makna perjanjian.148
Dalam perkembangan sistem perdagangan multilateral untuk pertama kalinya
negara-negara berhasil menciptakan suatu kesatuan dalam sistem penyelesaian
sengketa yang mencakup semua bidang perjanjian WTO (overall unified dispute
settlement). Dengan mencakup semua bidang perjanjian maka, tidak ada lagi sistem

145
Donald Mc Rae, “Measuring the Effectiveness of the WTO Dispute Settlement System”, Asian
Journal of WTO & International Health Law and Policy”, Edisi No. 3 Tahun 2008, hal. 6.
146
Ibid., hal. 7.
147
Kesuke Lida, “Is WTO Dispute Settlement Effective?”, Global Governance, Edisi No. 10 Tahun
2004, hal. 222.
148
Isabelle Van Damme, Op.Cit., hal. 635.

75
penyelesaian sengketa sendiri-sendiri yang diatur oleh masing-masing perjanjian.
Terhadap aturan dan prosedur penyelesaian sengketa yang telah dilakukan
penyempurnaan sehingga pelaksanaannya lebih efektif dibanding dengan GATT
1947. Berfungsinya perdagangan multilateral yang lancar merupakan sebuah latar
belakang berupa perubahan terhadap sistem penyelesaian sengketa yang efektif.149
Untuk menciptakan keberhasilan dalam rezim multilateral di bidang
perdagangan dinilai sebagai suatu hasil pencapaian yang besar. Banyaknya keluhan
yang datang dari negara-negara berkembang mengenai pelaksanaan dari perjanjian-
perjanjian WTO yang menyangkut tentang ketiadaan akses pasar, hambatan-
hambatan yang masih dihadapi terhadap produk-produk ekspor mereka, dampak
dari liberalisasi pertanian terhadap harga makanan impor, standar-standar yang
diberlakukan yang sangat memberatkan, keterbatasan keikutsertaan mereka dalam
perdagangan jasa dan keluhan lainnya.150
Aturan WTO sendiri juga masih mempunyai keterbatasan, hal tersebut karena
tidak semua hal dapat ditampung dalam kesepakatan. Banyaknya permasalahan
tersebut dikarenakan banyak hal dan permasalahan yang belum cukup diatur, dan
tidak sedikit pula aturan-aturan yang memerlukan penafsiran dan klarifikasi bahkan
usulan penyempurnaan dari review. Pembuatan aturan-aturan mengenai safeguard
measures dan penyempurnaan aturan yang berkaitan dengan anti dumping dan
subsidi, rule making masih menjadi agenda berkelanjutan dalam putaran
perundingan perdagangan saat ini.151

Hal terpenting untuk dicermati adalah mengenai sikap negara-negara anggota


berkaitan dengan aturan-aturan WTO. Banyaknya keluhan terhadap sistem
perdagangan multilateral menimbulkan berbagai masalah terhadap efektivitas dari
pelaksanaan aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Apabila terdapat
peraturan yang tidak efektif, maka perlu dilakukan penyempurnaan aturan atau

149
Adolf Warouw, “Sistem Perdagangan Multilateral Dalam Kerangka WTO Suatu Observasi
Terhadap Rule-Based System”, Indonesian Journal of International Law, Edisi No. 2 Tahun 2004,
hal. 234.
150
Ibid., hal. 235.
151
Ibid., hal. 236.

76
sistem hukum, bila perlu membuat aturan baru. Akan tetapi dalam kenyataannya
perubahan terhadap aturan atau pembuatan aturan baru tersebut menjadi masalah
yang rumit untuk diselesaikan dan bahkan akan memakan waktu yang sangat
lama.152

6. Inefektivitas penyelesaian sengketa melibatkan negara berkembang

Perlakuan khusus dan berbeda merupakan dasar pembentukan Organisasi


Perdagangan Dunia (WTO) melalui berbagai ketentuan terkait. Ketentuan PKB
merujuk pada berbagai hak khusus yang diberikan oleh persetujuan WTO pada
kelompok negara berkembang saja secara umum dalam WTO Agreements. Adanya
prinsip ini menekankan bahwa pembebasan perdagangan bukan sebagai tujuan
tetapi sebagai alat untuk membantu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi bagi
semua anggota.153

Karakter PKB merupakan hal yang sulit untuk ditegakkan merupakan suatu
hal yang menjadi penyebab inefektivitas. Hal tersebut lantaran pada praktek
maupun penyelesaian sengketa, hal tersebut diperburuk dengan adanya penafsiran
ketat dan sempit oleh panel dan Appellate Body. Hal ini dapat dilihat pada Pasal
4.10 DSU yang menyatakan bahwa anggota-anggota diharuskan untuk memberikan
perhatian khusus atas persoalan dan kepentingan negara berkembang. Istilah
“should” dalam pasal tersebut dimaknai sebagai tidak wajib. Terlepas dari
penggunaan istilah ketentuan-ketentuan PKB bersifat kondisional, adapun syarat-
syarat yang harus dipenuhi pun bermacam-macam dari yang mudah hingga
pelaksanaan dan penegakannya hampir tidak mungkin.154

Kepentingan negara berkembang dalam S&D seharusnya merupakan subjek


dalam hukum perdagangan internasional yang mendapat perhatian penting dalam
WTO. Hal ini merupakan perwujudan WTO untuk dapat membantu negara

152
Ibid., hal. 238.
153
Nandang Sutrisno, Pemajuan Kepentingan Negara-negara Berkembang Dalam Sistem WTO
Studi Atas Mekanisme Perlakuan Khusus Terhadap Indonesia, Cetakan ke-1. (Cianjur: IMR Press,
2012), hal. 1-2.
154
Ibid., hal. 14-15

77
berkembang untuk menjalankan sistem perdagangan multilateral dan dapat dengan
mudah mengimplementasikan ketentuan-ketentuan WTO. Tujuannya adalah untuk
membantu negara-negara berkembang tersebut untuk membuka dan membantu
negara berkembang yang secara tingkat perekonomian masih dibawah negara maju,
ini merupakan hal terpenting dalam mengukur efektivitas penyelesaian sengketa
menggunakan forum WTO, mengingat dalam kasus yang diangkat Indonesia
sebagai negara berkembang memerlukan adanya dukungan lewat hasil dari putaran
Uruguay ini sebagai jalur untuk membuka akses pasar demi meningkatkan
perekonomiannya.

78
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan jawaban atas rumusan masalah pada bab sebelumnya maka


dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Anti Dumping merupakan sebuah tindakan penanggulangan terhadap tindakan


dumping yang dilakukan oleh negara anggota, akan tetapi dalam kenyataan nya
tindakan curang kerap terjadi dalam pengenaan BMAD seperti kasus Indonesia
dengan Australia. Anti Dumping dapat dikenakan terhadap produk yang
berdasarkan penyelidikan secara intensif merupakan produk dumping. Berdasarkan
kasus sengketa perdagangan antara Indonesia dengan Australia pengenaan BMAD
tidaklah berdasar, hal tersebut dikarenakan pihak yang mengenakan tidak
menggunakan perbandingan dengan harga produk domestik. Indonesia dan
Australia sepakat menggunakan forum WTO sebagai forum penyelesaian sengketa.
Dalam forum tersebut digunakan mekanisme penyelesaian sengketa terhadap
pengenaan BMAD yang tidak berdasar tersebut. Penyelesaian sengketa dengan
forum WTO dapat berupa tribunal dan nonyudisial. Secara nonyudisial
penyelesaian sengketa dapat berupa: konsultasi dan negosiasi, good offices,
mediasi, dan konsiliasi sedangkan dengan jalur yudisial, penyelesaian sengketa
dalam bentuk yang lebih formal dan secara langsung melibatkan pihak ketiga.
Terhadap kasus yang diangkat penyelesaian sengketa menggunakan arbitrase,
sehingga merupakan penyelesaian sengketa yang bersifat tribunal, dan putusannya
final dan mengikat.

2. Dalam penyelesaian sengketa Anti Dumping antara Indonesia dengan Australia


mekanisme yang dijalankan kurang efektif, hal tersebut dapat dilihat dalam
pembentukan badan banding terjadi situasi yang kurang kondusif, sehingga baik
Indonesia maupun Australia sepakat untuk tidak naik banding. Akan tetapi, secara
keseluruhan mekanisme telah dijalankan dengan baik. Yang menjadi tolok ukur

79
efektivitas penyelesaian sengketa perdagangan internasional adalah jangka waktu
penyelesaian. Dalam kasus yang diangkat jangka waktu penyelesaian sengketa
relatif cepat, sehingga hal ini merupakan salah satu efektivitas yang terdapat dalam
forum penyelesaian sengketa WTO. Namun demikian perjanjian WTO belum
sepenuhnya mengakomodasi kepentingan negara berkembang. Perjanjian WTO
semestinya memberikan peluang terbuka terutama pada akses pasar untuk negara-
negara berkembang, yang ini merupakan sebuah prinsip yang dikenal dengan
Special and Differential Treatment (S&D).

B. Saran

Berikut ini adalah beberapa saran yang penulis berikan untuk arah
perkembangan selanjutnya:

1. Perkembangan penelitian ini dapat diperdalam lagi dengan membandingkan


dengan kasus serupa, hal ini berkaitan dengan berbagai penyelesaian sengketa
perdagangan internasional yang juga mempunyai permasalahan yang serupa.

2. Perstujuan WTO sebaiknya melibatkan negara berkembang dalam S&D. Hal ini
dikarenakan negara berkembang punya peran yang besar bagi kemajuan
perdagangan global serta agar negara berkembang dapat mengikuti arus
perdagangan dan tidak tertinggal oleh negara lain.

80
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Adi, Rianto. Aspek Hukum Dalam Penelitian. Cetakan ke-1. (Jakarta: Pustaka
Obor Indonesia, 2015.)

Anggito, Albi dan Johan Setiawan. Metodologi Penelitian Kualitatif. (SukaBumi:


CV Jejak, 2018.)

Barutu, Christophorus. Seni Bersengketa Di WTO (Diplomasi dan Pendekatan


Mekanisme Penyelesaian Sengketa WTO). Cetakan ke-1. (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2015.)

Barutu, Christophorus. Ketentuan Anti Dumping Subsidi dan Tindakan


Pengamanan (safeguard) dalam GATT dan WTO, Cetakan ke-1. (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2007.)

Sutendi, Adrian. Hukum Ekspor Impor. Cetakan ke-1. (Jakarta: Raih Aksa Sukses
Penebar Swadaya Grup, 2014.)

Sutrisno, Nandang. Pemajuan Kepentingan Negara-negara Berkembang Dalam


Sistem WTO Studi Atas Mekanisme Perlakuan Khusus Terhadap Indonesia.
Cetakan ke-1. (Cianjur: IMR Press, 2012.)

Wyasa Putra, Ida Bagus dan Ni Ketut Supasti Dharmawan. Hukum Perdagangan
Internasional. (Bandung: PT Refika Aditama, 2017).

Perdagangan, Kementerian. Telaah Hukum Forum Arbitrase Sebagai Alternatif


Penanganan Sengketa. Cetakan ke-1. (Jakarta: Biro Hukum Sekretariat
Jenderal, 2011.)

Kelompok Gramedia, Elex Media Komputindo (ed). Perdagangan Internasional:


Peluang Dan Tantangan Bagi Indonesia, (Jakarta: PT.Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia, 2004).

Van den Bossche, Peter et all. Pengantar Hukum WTO. (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2010).

Winglee, Peter et all. Issues and Developments in International Trade Policy.


(Washington: International Monetary Found, 1992).

Jurnal:

Alhayat, Aditya P. “Efektivitas Tindakan Anti Dumping Indonesia”. Jurnal


Kemendag. Edisi No.2 Tahun 2014.

81
Alfaqiih, Abdurrahman. “Effectiveness of The World Trade Organization’s Dispute
Settlement Mechanism”. Jurnal MIMBAR HUKUM. Edisi No. 3 Tahun 2013.
Ardianto, Benny. “Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam Hukum Internasional
(Suatu Tinjauan Terhadap Forum Penyelesaian Sengketa Internasional Non
Litigasi)”. Jurnal Selat. Edisi No. 2 Tahun 2014.
Chervinskaya, Irina. “Specificity of Anti-Dumping Regulation for Transition
Countries”. Procedia Economics and Finance. Edisi No. 8 Tahun 2014.
Djaja, Hendra. “Penegakan Prinsip Special and Differential Treatment Dalam
Perspektif Hukum Perdagangan Internasional”. Jurnal Cakrawala Hukum.
Edisi No. 1 Tahun 2014.
Davey, William J. “The WTO and Rules-Based Dispute Settlement: Historical,
Evolution, Operational Success and Future Challenges”. Journal of
International Economic Law. Edisi No. 3 Tahun 2014.
Ella Apryani, Ni Wayan. “Dumping Dan Anti-Dumping Sebagai Bentuk Unfair
Trade Practice Dalam Perdagangan Internasional”. Jurnal Kertha Semaya.
Edisi No. 3 Tahun 2014.
F. D. Sitanggang, Dyan. “Posisi, Tantangan, Dan Prospek Indonesia Dalam Sistem
Penyelesaian Sengketa WTO”. Jurnal Veritas et Justitia. Edisi No. 1 Tahun
2017.
Geraldi, Aldo Rico. “Personalitas Hukum World Trade Organization Bagi Negara
Berkembang Terkait Sistem Perdagangan Antar Negara”. Jurnal Komunikasi
Hukum. Edisi No. 1 Tahun 2018.
Jeihan, Jodie. “Analisa Penetapan Evaluasi Generalized System of Preference
(GSP) Amerika Serikat Terhadap Indonesia Dan Pengaruhnya Terhadap
Kesepakatan Perdagangan Dibawah World Trade Organization (WTO)”.
Rewang Rencang: Jurnal Hukum Lex Generalis. Edisi No. 1 Tahun 2020.
Kurnia Putra, Akbar. “Agreement on Agriculture Dalam World Trade
Organization”. Jurnal Hukum & Pembangunan”. Edisi No. 1 Tahun 2016.
Kartika Putri, Adinda. “Konsep Like Product Dalam Penyelesaian Sengketa Oleh
Panel World Trade Organization”. Diponegoro Law Review. Edisi No. 2
Tahun 2016.
Piter Hanafi, Laode. “Tuduhan Dumping Dan Cara Mengatasinya”. Buletin Berita
KPI. Edisi No. 38 Tahun 2006.
Mandala, Subianta. “Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional: Sejarah,
Latar Belakang, dan Model Pendekatannya”. Jurnal Bina Mulia Hukum. Edisi
No. 1 Tahun 2016.
Mc Rae, Donald. “Measuring the Effectiveness of the WTO Dispute Settlement
System”. Asian Journal of WTO & International Health Law and Policy.
Edisi No. 3 Tahun 2008.

82
Nur Hidayati, Maslihati. “Analisis Tentang Sistem Penyelesaian Sengketa WTO:
Suatu Tinjauan Yuridis Formal”. Jurnal Lex Jurnalica. Edisi No.2 Tahun
2014.
Restiyanada, Risa. “Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional Melalui Mediasi
Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Pada Pemilihan Hukum Dan
Forum Kontrak Dagang Internasional”. Jurnal Aktualita. Edisi No. 3 Tahun
2020.
Rutunwarow, Marcelino. “Pemberlakuan Asas National Treatment Dalam Hukum
Ekonomi Internasional Dan Implikasinya Bagi Kedaulatan Indonesia (Studi
Kasus Impor Daging Ayam Antara Indonesia Dengan Brazil)”. Jurnal Lex
Privatum. Edisi No. 3 Tahun 2020.
Sutrisno, Nandang. “Efektifitas Ketentuan-Ketentuan World Trade Organization
Tentang Perlakuan Khusus Dan Berbeda Bagi Negara Berkembang:
Implementasi Dalam Praktek Dan Dalam Penyelesaian Sengketa”. Jurnal
Hukum Ius Quia Iustutum. Edisi Khusus Tahun 2009.
Sabila Hasanie, Annisa. “Penerapan Ketentuan Special and Differential Treatment
Dalam World Trade Organization Terhadap Pembangunan Dan Perdagangan
Internasional”. Uti Possidetis: Journal of International Law. Edisi No. 3
Tahun 2020.
Shan Alam, Mohammad. “Making the Special and Differential Provision of WTO
Agreements Effective for the Least Developed Countries: Perspectives From
Bangladesh”. CPD Occasional Paper Series. Edisi No. 13 Tahun 200.
Trachmant, Joel P. “The Domain of WTO Dispute Resolution”. Harvard
International Law Journal. Edisi No. 2 Tahun 1999.
Van Damme, Isabellle. “Treaty Interpretation by the WTO Appellate Body”. The
European of International Law. Edisi No. 3 Tahun 2010.
Warouw, Adolf. “Sistem Perdagangan Multilateral Dalam Kerangka WTO Suatu
Observasi Terhadap Rule-Based System”. Indonesian Journal of
International Law. Edisi No. 2 Tahun 2004.
Lida, Kesuke. “Is WTO Dispute Settlement Effective?”. Global Governance. Edisi
No. 10 Tahun 2004.
Wilben Rissy, Yafet Yosafat. “Effectiveness of The World Trade Organization’s
Dispute Settlement Mechanism”. KRITIS Jurnal Studi Pembangunan
Interdisiplin. Edisi No. 1 Tahun 2012.
Undang-undang:
Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing The World Trade Organization Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

83
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Anti
Dumping, Tindakan Imbalan, Dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
Agreement on Implementation of Article VI of The General Agreement on Tariffs
and Trade 1994.
Skripsi:
Glovita, Meita. 2016. “Pelaksanaan Keputusan Panel Sengketa WTO Terhadap
Praktek Perdagangan Rokok (Studi Kasus Antara Indonesia Dan Amerika
Serikat)”. Skripsi. Fakultas Hukum, Hukum Internasional, Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Alifiyana, Sonya. 2018. “Analisis Penerapan Ketentuan Special and Differential
Treatment Bagi Negara Berkembang Dalam Perjanjian WTO”. Skripsi.
Fakultas Hukum, Universitas Jember. Jember.
Disertasi:
Ann Lacks Hutnick, Jennifer. 2013 “A Regional Weapon of Choice: Forum Choice
in International Trade Disputes”. Disertasi, University of Pittsburgh. USA.
Andrew, Ikeagwuchi Godwin. 2010 “Implementing Effective Trade Remedy
Mechanism: A Critical Analysis of Nigeria’s Anti-Dumping and
Countervailing Bill”. Disertasi, University of Pretoria, Africa.
Daring:
Anonim. “Pengertian Dumping Dalam Perdagangan Internasional”.
https://www.kanal.web.id, 2 Juni 2021.
Anonim. “Kepastian Hukum Dan Keseimbangan Ialah Kuncinya”.
https://www.ubaya.ac.id, diakses pada 23 Mei 2021.
Anonim. “Dumping adalah: Penegrtian, Tujuan, Kelebihan dan Kekurangannya
Dalam Perdagangan Internasional”. https://accurate.id/bisnis-
ukm/dumping-adalah/#Pengertian_Dumping_Adalah, diakses pada 7 Juni
2021.
Andri, Yustinus “Sengketa Produk Kertas: WTO Menangkan Gugatan Indonesia
Terhadap Australia”. https://ekonomi.bisnis.com, diakses pada 4 Mei 2021.

84

Anda mungkin juga menyukai