Anda di halaman 1dari 7

Dilema “End Of Life” pada Pasien Koma

Amelia Elfisa
102017097
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
E-mail: elfisaamelia@gmail.com

Abstrak
Abstract
PENDAHULUAN

Setiap manusia di dunia memiliki hak untuk hidup. Bahkan dalam dunia medis
kedokteran, terdapat sumpah yang menyatakan bahwa setiap dokter akan menghormati setiap
hidup insani mulai dari saat pembuahan hingga meninggal. Setiap dokter wajib menjaga
nyawa dari pasien–pasiennya, harus megupayakan berbagai hal dalam memeriksa pasien agar
nyawa dari pasien tersebut dapat diselamatkan. Profesi dokter menjadi ujung tombak dari
pelaksanaan sumpah tersebut dan setiap melaksanakan tugasnya harus dilandasi dengan
sumpah yang telah mereka ucapkan sebelum mereka menjalani profesi tersebut.1

Ilmu medis bertujuan untuk memulihkan kesehatan dan untuk mengurangi penderitaan
yang diderita oleh manusia yang sakit. Unit Perawatan Intensif (ICU) adalah unit perawatan
di Rumah Sakit dengan alat-alat medis yang menunjang kebutuhan hidup untuk fungsi-fungsi
vital, seperti airway (fungsi jalan napas), breathing (fungsi pernapasan), circulation (fungsi
sirkulasi), brain (fungsi otak), dan fungsi organ lainnya. Kondisi pasien yang datang ke ICU
bervariasi, dari kondisi yang mengancam jiwa maupun kondisi yang menjelang ajal. Pasien
dengan kondisi mengancam nyawa berfokus pada tindakan resusitasi, sedangkan pada pasien
yang menjelang ajal lebih berfokus pada perawatan End of Life. End of Life Care merupakan
konsep persiapan yang baik dalam menghadapi kematian sehingga pasien merasa nyaman,
merasa dihargai, dihormati, berada dalam ketenangan dan merasa dekat dengan orang yang
merawatnya. Tenaga kesehatan mengalami kesulitan dalam memberikan pelayanan End of
Life yang baik pada pasien, khususnya pada pasien yang tidak mempunyai identitas. Tenaga
kesehatan merasa bahwa pendampingan end of life pada pasien terlantar bukan merupakan
prioritas, mereka masih memprioritaskan pasien dengan kondisi emergency. Namun tenaga
kesehatan harus tetap bersikap professional, menghormati harkat dan martabat pasien dalam
memberikan perawatan.2-5
Kriteria Kematian
Semua manusia mengalami siklus kehidupan yang berawal dari proses pembuahan,
kelahiran, kehidupan didunia, dan diakhiri dengan kematian. Kematian dianggap sebagai
peristiwa luar biasa yang membatasi kehidupan manusia dan dapat berpengaruh terhadap
individu tersebut. Pada masa lalu, kriteria kematian adalah cardiac pulmonary yaitu tidak
didapati tanda-tanda denyut jantung dan gerakan pernapasan, suhu badan menurun, dan tidak
adanya aktivitas listrik otak pada pemeriksaan EEG. Tetapi saat ini, kriteria tersebut tidak
bisa diterima karena terjadi beberapa kejadian, yaitu saat penggalian kubur kerangka
ditemukan tidak membujur tetapi menjadi satu, kejadian mati suri dan tindakan resusitasi
yang berhasil menolong pasien yang telah mengalami henti jantung dan nafas.6
Menurut Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, seseorang dinyatakan
mati apabila fungsi sistem jantung, sirkulasi dan pernafasan terbukti telah berhenti secara
permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan. Penentuan seseorang
telah mati batang otak hanya dapat dilakukan oleh tim dokter yang terdiri atas 3(tiga) orang
dokter yang berkompeten dan diagnosis mati batang otak harus dibuat di ruang rawat intensif
(Intensive Care Unit) dan pemeriksaan yang dilakukan harus sesuai dengan prosedur dan
syarat untuk menentukan diagnosis mati batang otak. Berdasarkan Berdasarkan Permenkes
nomor 37 tahun 2014 pasal 13, setelah seseorang ditetapkan mati batang otak maka semua
terapi bantuan hidup harus segera dihentikan.7,8
Koma dan Vegetative State
Tingkat kesadaran secara kualitatif dapat dibagi menjadi kompos mentis, apatis,
somnolen, stupor dan koma. Kompos mentis berarti keadaan seseorang sadar penuh dan dapat
menjawab pertanyaan tentang dirinya dan lingkungannya. Apatis berarti keadaan seseorang
tidak peduli, acuh tak acuh dan segan berhubungan dengan orang lain dan lingkungannya.
Somnolen berarti seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung tertidur, masih dapat
dibangunkan dengan rangsangan dan mampu memberikan jawaban secara verbal, namun
mudah tertidur kembali. Sopor/stupor berarti kesadaran hilang, hanya berbaring dengan mata
tertutup. Pasien dalam keadaan tidur yang dalam atau tidak memberikan respon dengan
pergerakan spontan yang sedikit dan hanya bisa dibangunkan dengan rangsangan kuat yang
berulang (rangsang nyeri). Koma berarti kesadaran hilang, tidak memberikan reaksi
walaupun dengan semua rangsangan (verbal, taktil, dan nyeri) dari luar akibat disfungsi

ARAS di batang otak atau kedua hemisfer serebri.9


Keadaan vegetatif state diartikan sebagai kondisi tidak tanggap terhadap diri sendiri dan
lingkungan yang disertai siklus tidur-bangun (sleep-wake cycles) dengan hilangnya semua
fungsi otak besar, sedangkan fungsi autonomik hipotalamus dan batang otak masih lengkap
atau parsial.10
Ordinary dan Extraordinary

Kalangan kesehatan harus tetap menyadari bahwa dalam menjalankan profesi


kesehatan mereka tidak hanya bertanggung jawab terhadap kesehatan pasien, tetapi juga
bertanggung jawab dibidang hukum terhadap pelayanan yang diberikan. Para tenaga
kesehatan dituntut tidak saja menambah, mengasah dan memperdalam pengetahuan dan
keterampilan dibidang kesehatan, tetapi juga harus selalu memperdalam dan mengikuti
perkembangan bioetika dan aspek medikolegal dari pelayanan kesehatan tersebut.8
Dalam aspek medikolegal, menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 Bab 3 Pasal 14 dan 15 tentang penghentian atau
penundaan terapi bantuan hidup, pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat
disembuhkan akibat penyakit yang dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran
sudah sia-sia (futile) dapat dilakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup.
Berdasarkan Permenkes RI nomor 290 tahun 2008 bab 4 pasal 16 tentang persetujuan
tindakan kedokteran, pada situasi khusus yaitu tindakan withdrawing/withholding life support
pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien. Terapi bantuan
hidup yang dapat dihentikan atau ditunda hanya tindakan yang bersifat terapeutik dan atau
perawatan yang bersifat luar biasa (extra-ordinary) yaitu Rawat di Intensive Care Unit,
Resusitasi Jantung Paru, Pengendalian disritmia, Intubasi trakeal, Ventilasi mekanis, Obat
vasoaktif, Nutrisi parenteral, Organ artifisial, Transplantasi, Transfusi darah, Monitoring
invasive, dan pemberian Antibiotik serta tindakan lain yang ditetapkan dalam standar
pelayanan kedokteran. Kalau seluruh pengobatan yang extraordinary itu harus dihentikan
tidak berarti bahwa kita biarkan saja pasien itu, tetapi pasien tetap harus diberikan yang
ordinary. Terapi bantuan hidup yang tidak dapat dihentikan atau ditunda meliputi oksigen,
nutrisi enteral dan cairan kristaloid. Berdasarkan Permenkes RI nomor 290 tahun 2008 bab 5
pasal 18 tentang penolakan tindakan kedokteran, yaitu penolakan tindakan kedokteran dapat
dilakukan oleh pasien dan atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang
tindakan kedokteran yang akan dilakukan.8
Euthanasia
Euthanasia berasal dari kata ‘Eu’ yang artinya baik dan ‘Thanatos’ yang artinya mati.
Secara keseluruhan, Euthanasia dapat diartikan sebagai ‘kematian yang baik tanpa
penderitaan’. Masalah Euthanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit
yang tidak dapat disembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat.
Dalam situasi demikian, tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini
dan tidak ingin diperpanjang lagi hidupnya. Pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga
yang tidak tega melihat pasien penuh penderitaan menjelang ajalnya meminta kepada dokter
untuk tidak meneruskan pengobatan, bahkan ada pula yang minta diberikan obat untuk
mempercepat kematian. Dari sinilah istilah Euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan
seseorang agar terbebas dari penderitaan, atau mati secara baik.11
Euthanasia berkaitan dengan tindakan kejahatan terhadap nyawa. Pertanggung
jawaban pidana berdasarkan pasal-pasal di KUHP yang sesuai dengan perbuatan euthanasia
baik aktif maupun pasif yang dilakukan oleh seorang dokter, sebagaimana pasal 304, 306,
338, 340 dan 344 KUHP yang mengandung makna larangan untuk menghilangkan nyawa
seseorang. Pasal 304 KUHP, memidanakan mereka yang karena dengan sengaja membiarkan
seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum berlaku baginya atau karena
persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu.
Pasal 306 ayat (2) KUHP, memidanakan mereka yang karena perbuatannya meninggalkan
orang yang perlu di tolong jika mengakibatkan kematian. Pasal 338 KUHP, memidanakan
mereka yang karena perbuatannya dengan sengaja merampas nyawa orang lain. Pasal 340
KUHP, memidanakan mereka yang karena perbuatannya dengan sengaja dan rencana terlebih
dahulu merampas nyawa orang lain. Pasal 344 KUHP, memidanakan mereka yang karena
perbuatannya merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati.12

Metode Four Box


Beauchamp dan Childress menguraikan empat kaidah dasar (basic moral principle),
yaitu: (1) Prinsip beneficience, prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke
kebaikan pasien, (2) Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan
yang memperburuk keadaan pasien, (3) Prinsip autonomi, yaitu prinsip moral yang
menghormati hak-hak pasien, terutama hak autonomi pasien (the rights to self determination),
(4) Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumberdaya (distributive justice).13
Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik dapat juga dilakukan dengan
pendekatan yang dikemukakan Jonsen, Siegler, dan Winslade yang menggunakan 4 teori etik
(Four Box). Pada topik etik Medical Indication penilaian aspek indikasi medis ditinjau dari
sisi etiknya, dan terutama menggunakan kaidah dasar bioetik beneficence dan non-
malificence. Patient preference memperhatikan nilai (value) dan penilaian tentang manfaat
dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy. Quality of life
merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu memperbaiki, menjaga atau
meningkatkan kualitas hidup insani. Apa, siapa, dan bagaimana melakukan penilaian kualitas
hidup merupakan pertanyaan etik sekitar prognosis, yang berkaitan dengan salah satu kaidah
dasar bioetik yaitu Beneficence, Non-malificence, dan Autonomy. Contextual features,
prinsip dalam bagian ini adalah loyalty and fairness. Disini dibahas pertanyaan etik seputar
aspek non medis yang mempengaruhi keputusan.13

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Lafal Sumpah Dokter. PP No:26 Tahun 1960.
https://ropeg.kemkes.go.id/download/pp196026.pdf
2. Anggani, Tiara Endah, Sri Setiyarini, Sutono. Peran Keluarga Dalam Perawatan Pasien
Kritis Diinstalasi Rawat Intensif (IRI) Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta. 2015
3. Alligood, MR & Tomey AN. Nursing Theorist and Their Work. St. Louis Mosby. Ed. 6.
2014
4. Beckstrand, et, al. Rural Emergency Nurse’s End of Life care obstacle experiences:
stories from the last frontier. Journal Of Emergency Nursing. 2015. Hal: 1-9
5. Kode Etik Kedokteran Indonesia. 2012.
http://www.idionline.org/wp-content/uploads/2015/01/Kode-Etik-Kedokteran-
Indonesia-2012.pdf
6. Senduk eklesia A., Mallo Johannis F., Tomuka Djemi Ch. Tinjauan Medikolegal
Perkiraan saat Kematian. Jurnal Biomedik (JBM). Maret 2013: Vol.5 No.1; hlm. S37-41
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2009/36tahun2009uu.htm
8. Suryadi Taufik. Aspek Bioetika-Medikolegal Penundaan dan Penghentian Terapi
Bantuan Hidup pada Perawatan Kritis. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 1 April 2017;
Vol.17 No.1
9. Singhal NS, Josephson SA. (2014) A practical approach to neurologic evaluation in the
intensive care unit. J Crit Care; 29(4):627-33.
10. Kumar P., Clark M. Clinical Medicine, 6th ed. Elsevier Saunders, Edinburgh London.
2006
11. M. Jusuf Hanafiah. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta. 2012; hlm. 118.
12. Oemar Seno Adji. Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter.
Erlangga. Jakarta. 1991; hlm. 25
13. Adeyani Alif, Mappaware Nasrudin A, Madya Fatmawaty, Diana Ajar, Hamsa M.
Kematian Janin Dalam Rahim Ditinjau dari Aspek Medis, Kaidah Dasar Bioetik, dan
Keutamaannya dalam Tinjauan Islam. UMI Medical Journal: Jurnal Kedokteran.
Desember 2019; Vol. 4 No.2

Anda mungkin juga menyukai