Anda di halaman 1dari 3

Bekerja di Ketinggian, Part 2

Seorang pekerja bangunan, Maman (30), warga Cimahi yang sedang bekerja membangun lahan
parkir di sebuah toko elektronik (Dukomsel), Jalan Ir H Djuanda, Bandung, Jawa Barat, Senin
(21/10/2013), sekitar pukul 17.00 WIB tewas mengenaskan setelah terjatuh dari bangunan dengan
ketinggian lebih dari 15 meter. Korban terjatuh saat membawa beton cor-coran di lantai atas. Pada
saat tersebut cuaca sedang hujan, kemungkinan korban terpeleset dan jatuh serta saat mendarat,
kepala korban langsung mengenai besi dan tembok yang ada di bawah sehingga menyebabkan luka
yang cukup serius di kepala bagian belakang. Korban langsung meninggal dunia seketika. Pada saat
itu, korban langsung dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan taksi, terang Kapolsek Bandung
Wetan Kompol Herryanto kepada wartawan di RS Boromeoeus, Jalan Ir H Djuanda, Bandung, Senin
malam, KOMPAS.com.

Dari kejadian diatas dapat disimpulkan bahwa penting sekali pemakaian alat bantu keselamataan
tambahan selain Alat Pelindung Diri (APD) saat bekerja di ketinggian pada bangunan tinggi, seperti
dengan mengunakan fullbody harness dan akses tali. Pada pembahasan sebelumnya dalam artikel
Bekerja di Ketinggian, Part 1, sudah dibahas banyak tentang prosedur bekerja di ketinggian pada
bangunan tinggi dan peralatan yang di persyaratkan salah satunya adalah fullbody harness. Selain
itu, terdapat juga penjelasan tentang kegunaan dan potensi bahaya yang ditimbulkan dalam
pemakaian fullbody harness, seperti suspention trauma serta cara penggunaannya. Dan selanjutnya
dalam artikel Bekerja di Ketinggian, Part 2 ini akan membahas tentang kerja pada ketinggian dengan
akses tali, seperti yang tercantum dalam Permenaker No. 09 Tahun 2016, Pasal 20, di mana
peraturan tersebut menyebutkan bahwa bekerja dengan akses tali dapat dilakukan dalam hal
pekerjaan pada lantai kerja tetap atau lantai kerja sementara tidak dapat dilakukan atau pekerjaan
yang mengharuskan tenaga kerja bekerja dengan akses tali. Artinya, selama pekerjaan yang akan
dilakukan bisa di kerjakan di lantai kerja tetap atau sementara, maka akses tali lebih baik tidak
dipergunakan, sebaliknya jika memang pekerjaan tersebut tidak bisa dilakukan di lantai kerja, maka
alternatif akses tali dapat di jadikan sebagai rujukannya. Sebagai contoh, seperti pada saat akan
melakukan penggantian lampu di gedung dengan ketinggian 4 meter, maka selama penggantian
lampu tersebut dapat dilakukan dengan alat bantu, misalnya memakai tongkat putar untuk lampu itu
menjadi pilihan pertama. Apabila tidak bisa dilakukan dengan cara tersebut, maka dapat memakai
cara kedua dengan mendirikan scaffolding atau memakai peralatan mekanis lainnya dan ternyata
juga hal itu tidak memungkinkan, maka pilihan terakhir adalah dengan akses tali.

Awal penggunaan akses tali sebenarnya berawal dari teknik panjat tebing atau penelusuran gua.
Dengan seiring perkembangan pembangunan, penggunaan akses tali ini juga digunakan dalam
pembangunan gedung, perawatan, perbaikan menara telekomunikasi, confined space, dan lain
sebagainya. Pada dasarnya telah diketahui bahwa banyak metode yang dapat digunakan dalam
melakukan pekerjaan di atas ketinggian, seperti perancah, tangga portabel, gondola, elevated
workplace, dan salah satunya adalah menggunakan akses tali (rope access). Semua metode memiliki
kelebihan dan kekurangan oleh karena itu, pemilihan metode yang sesuai harus benar-benar
diperhitungkan sesuai kondisi di lokasi tempat kerja. Adapun persyaratan penggunaan akses tali
(rope access) antara lain terdapat tali kerja (working line) dan tali pengaman (safety line), mempunyai
dua penambat (anchorage), tersedia alat bantu dan alat pelindung diri, personel yang bekerja telah
kompeten, dan pengawasan sepanjang pekerjaan harus dilakukan. Dalam pekerjaan ini tentunya
sangat berisiko tinggi oleh karena itu, semua pihak harus berkomitmen dalam melakukan tanggung
jawabnya masing-masing. Tidak lupa pemeriksaan kelayakan peralatan yang digunakan harus benar-
benar dapat memastikan bahwa peralatan dalam kondisi yang baik dan masih layak dipergunakan.
Selain kelayakan peralatan, pemasangan akses tali pada dinding atau struktur sementara yang
didirikan juga harus memenuhi beberapa syarat, seperti yang pertama titik angkor dan struktur
bangunan harus mampu menahan beban maksimum setidak-tidaknya 1200kg, kedua pengawas
harus memastikan kekuatan dinding dan titik penambat, semua berkas administrasi harus tersedia di
area dimana pekerjaan di ketinggian dilakukan, seperti ijin kerja, hasil penilaian risiko, pemeriksaan
peralatan, dan lain-lain. Ketiga pemeriksaan pertama dan berkala terhadap titik penambat untuk
memastikan tidak adanya korosi atau hal-hal lain yang mempengaruhi kekuatan titik tambat yang
dapat membahayakan pekerja. Keempat apabila titik tambat terletak di luar dan terkena cuaca dalam
waktu yang lama, maka bahan titik tambat harus terbuat dari bahan yang tahan terhadap perubahan
cuaca dan lubang titik tambat harus dilindungi agar tidak lembab. Dan terakhir apabila titik tambat
terpasang permanen di luar gedung, maka penempatan titik tambat setidak-tidak 2 meter dari tepi
bangunan dan yang terakhir dokumentasi terkait pemasangan titik tambat harus selalu tersedia di
gedung tersebut yang berisi tentang perusahaan pemasang, kekuatan tambat, tanggal pasang,
petunjuk pemakaian, dan penilaian risiko awal (initial risk assessment).

Terdapat beberapa contoh aplikasi akses tali (rope access) yang dapat diterapkan, seperti pekerjaan
naik dan turun di sisi-sisi gedung (facade), atria gedung, menara (tower), jembatan, dan banyak
struktur lainnya. Pekerjaan pada ketinggian secara horizontal, seperti di jembatan atau atap
bangunan. Dan pekerjaan di ruang terbatas (confined spaces), seperti bejana, silo dan lain-lain. Serta
pekerjaan pemanjatan pohon, pemanjatan tebing, gua, out bound dan lain sebagainya. Bekerja di
ketinggian dengan menggunakan teknik akses tali dapat diandalkan dan cenderung efisien untuk
menjalankan pemeriksaan pada sistem instalasi dan beberapa pekerjaan ringan sampai sedang.
Metode akses tali merupakan metode alternatif untuk menyelesaikan pekerjaan yang ringan sampai
dengan tingkat sedang dalam posisi yang sulit dan yang membutuhkan kecepatan (rapid task force).
Namun, bekerja pada ketinggian atau working at height mempunyai potensi bahaya yang besar. Ada
berbagai macam metode kerja di ketinggian, seperti menggunakan perancah, tangga, gondola dan
sistem akses tali (Rope Access Systems). Masing masing metode kerja memiliki kelebihan dan
kekurangan serta risiko yang berbeda-beda. Oleh karenanya, pengurus atau manajemen perlu
mempertimbangkan pemakaian metode dengan memperhatikan aspek efektifitas dan risiko baik yang
bersifat finansial dan non finansial. Aspek risiko akan bahaya keselamatan dan kesehatan kerja harus
menjadi perhatian utama semua pihak di tempat kerja. Hal ini selain untuk memberikan jaminan
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja bagi tenaga kerja juga sangat terkait dengan
keselamatan asset produksi.

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, mengamanatkan bahwa
pengurus wajib menunjukkan dan menjelaskan pada setiap tenaga kerja tentang kondisi dan bahaya
di tempat kerja, alat pengaman dan alat pelindung yang diharuskan, alat pelindung diri dan cara serta
sikap yang aman dalam melakukan pekerjaan. Selain itu, pengurus juga hanya dapat mempekerjakan
tenaga kerja yang diyakini telah memahami syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja
pekerjaan tersebut. Atas dasar itulah, dirasakan perlunya suatu pedoman bekerja pada ketinggian
dengan menggunakan akses tali (rope access). Pada penggunaan akses tali, peralatan standar yang
harus disediakan selain fullbody harness adalah minimal harus ada mobile personal fall arrester
(dalam Permenaker No. 09 Tahun 2016, Pasal 20 ayat 2, telat disebutkan bahwa alat harus
mempunyai mekanisme terkunci sendiri mengikuti gerak pekerja), descender, dan assender. Maka
dari ketiga alat tersebut harus selalu diingat, manakah yang memiliki fungsi sebagai pelindung jatuh
dan yang berfungsi sebagai penahan jatuh. Dalam bekerja menggunakan akses tali wajib
menggunakan 2 tali tambatan yang terpisah, seperti yang pertama tali keselamatan yang mana di tali
tersebut harus terpasang mobile personal fall arrester dan tali kedua di pakai sebagai tali kerja (work
line). Selain itu, juga harus selalu mengikuti kaidah-kaidah pemakaian fullbody harness yang wajib
diikuti yaitu adalah yang pertama kali dipasang, seperti mobile personal fall arester dan yang terakhir
dilepas juga peralatan tersebut. Hal tersebut juga dilakukan ketika melakukan perpindahan diatas tali.
Kaidah-kaidah tersebut harus selalu diterapkan karena ada kemungkinan pekerja dipaksakan untuk
melakukan perpindahan tali kerja dari satu titik ke titik yang lain ketika bekerja.

Saat bekerja di ketinggian tidak diperkenankan untuk bekerja sendirian minimal harus ada satu orang
lain yang berfungsi untuk mengawasi kegiatan yang sedang dilakukan dan melakukan pemeriksaan
kelengkapan peralatan sebelum melakukan pekerjaan atau istilah lainnya adalah buddy check.
Fullbody harness merupakan komponen utama dalam sebuah sistem penahan jatuh selain angkur
dan tali penghubung antara sabuk tubuh (fullbody harness) ke angkur. Rata-rata fullbody harness di
akses tali salah satunya memiliki 5 D-ring (titik hubung) yang posisinya berada pada Sternal (dada)
jumlah 1 D-ring, Dorsal (Punggung) jumlah 1 D-Ring, Lateral (Pinggang kanan dan kiri) 2 D-ring dan
Ventral (Bagian Pusar).

Pada masing-masing D-ring tersebut mempunyai fungsi tersendiri. Seperti posisi Sternal maupun
dorsal untuk tali penghubung alat penahan jatuh (fall arrester) yang pemakaiannya disesuaikan
dengan tingkat resiko yang dihadapi. Sebagai contoh, seperti jika pergerakan naik secara vertical,
maka letak posisi tali penghubung yang dipergunakan adalah sternal karena jika posisi naik dan
pekerja terjatuh secara gravitasi akan mengarah ke belakang, maka yang dijadikan penahan adalah
di dada, sebaliknya jika pergerakan secara horizontal, maka yang dipergunakan adalah dorsal. D-ring
lateral dipergunakaan pada saat work positioning atau pemosisi pada saat bekerja supaya bisa
bergerak bebas. Sedangkan pada D-ring ventral berfungsi sebagai titik hubung alat naik atau turun
(ascender atau descender) dan pemasangan tali pengait sebagai alat bantu masing-masing titik
hubung ini (D-ring) wajib mampu untuk menahan beban minimal 15 KN. Dalam bekerja di ketinggian
terdapat faktor jatuh atau fall factor. Faktor jatuh atau fall factor merupakan sebuah nilai yang
digunakan untuk mengevaluasi bahaya pada kondisi tertentu saat tenaga kerja terjatuh. Nilai tersebut
adalah pembagian dari jarak jatuh dimana jarak akan di hitung dimulai pada saat tenaga kerja mulai
terjatuh sampai posisi tenaga kerja tertahan atau tergantung pada titik angkur dan tali pengait. Secara
sederhana faktor jatuh dirumuskan sebagai berikut, seperti panjang jarak posisi orang jatuh sampai
posisi terakhir jatuh dibagi panjang tali (lanyard) yang menghubungkan pekerja dengan angkur.

Adapun hasil dari faktor jatuh ini terdapat 4 nilai yaitu adalah yang pertama faktor jatuh 0 angkur yang
digunakan untuk mengkaitkan tali penghubung antara angkur dan sabuk tubuh berada di atas tenaga
kerja. Jarak jatuh menjadi pendek sehingga dampak kekuatan hentak yang akan di terima akan
rendah. Kedua faktor jatuh 1 angkur yang digunakan untuk mengkaitkan tali penghubung antara
angkur dan sabuk tubuh berada sejajar dengan titik jatuh pada sabuk tubuh dalam hal ini titik jatuh
pada sabuk tubuh berada di dada atau di punggung. Ketiga faktor jatuh 2 angkur yang digunakan
untuk mengkaitkan tali penghubung antara angkur dan sabuk tubuh berada di bawah atau diposisi
kaki tenaga kerja sehingga dampak dari hentakan yang akan diterima tenaga kerja ketika terjatuh
akan besar dan resiko cidera dapat terjadi. Terakhir faktor jatuh 3 dapat terjadi apabila jarak jatuh
melebihi dari pada panjang tali penghubung antara angkur dan sabuk tubuh. Dampak dari hentakan
yang akan diterima tenaga kerja ketika terjatuh akan sangat besar sampai resiko kematian sangat
terjadi pada posisi ini.

Berdasarkan Permenaker No. 09 Tahun 2016, menyatakan bahwa pada penggunaan tali pengait baik
ganda (pada bangunan tinggi) maupun tunggal (bekerja di ketinggian) dengan pengait dan peredam
kejut jatuh, faktor jatuh maksimal yang boleh di gunakan adalah faktor jatuh 1 atau kaitan pada
angkur sejajar dengan kaitan yang ada di dada atau punggung pada sabuk tubuh posisi di sternal
atau dorsal (fullbody harness). Dalam Permenaker No. 09 Tahun 2016, pasal 8, juga membahas
tentang batas maksimal barang yang boleh dibawa oleh tenaga kerja ketika bekerja di ketinggian,
tidak boleh melebihi 5 Kilogram di luar berat fullbody harness, namun apabila akan membawa
peralatan atau material diatas 5 Kilogram dapat menggunakan sistem katrol. Mekanisme sistem katrol
ini sangat bermanfaat ketika membawa barang bawaan yang akan di bawa naik, beban barang yang
ditarik menjadi lebih ringan.

Semoga Bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai