Kemudian pada Bab IV Pasal 31 dan Pasal 32, diatur perihal Sertifikat Kompetensi bagi Tenaga
Kerja yang melaksanakan Pekerjaan pada Ketinggian. Sertifikat Kompetensi diperoleh melalui
uji kompetensi oleh lembaga yang berwenang.
Masalah-masalah dan kecelakaan fatal yang kerap terjadi ketika bekerja pada ketinggian:
Menggunakan platform yang benar-benar kokoh dan sangat aman saat berdiri di ketinggian. Hal
ini bertujuan untuk melindungi pekerja agar tidak terjatuh saat bekerja di ketinggian. Tambahan
peralatan lain, seperti: fit safety nets, air bags, atau crash decking.
Untuk Individual Fall Protection dapat menggunakan safety harness dan line sebagai persyaratan
minimum seseorang bekerja pada ketinggian.
RISK ASSESSMENT
Sebelum mulai bekerja, risk assessment harus dibuat dan dilengkapi serta tindakan pengendalian
harus dilakukan untuk melindungi pekerja dari risiko kejatuhan atau terjatuh dari ketinggian.
Saat pekerjaan berlangsung, pengawasan juga harus dilakukan untuk memastikan semua
persyaratan K3 sudah dipenuhi.
Perencanaan;
Prosedur Kerja;
Teknik Bekerja Aman;
Alat Pelindung Diri (APD), Perangkat Pelindung Jatuh, dan Angkur.
Tenaga Kerja, Pengusaha dan/atau pengurus wajib mempunyai prosedur kerja sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3 huruf b secara tertulis untuk melakukan pekerjaan pada ketinggian.
Pengusaha dan/atau pengurus wajib memastikan, bahwa semua kegiatan dalam bekerja pada
ketinggian yang menjadi tanggung jawabnya telah direncanakan dengan tepat, dilakukan dengan
cara yang aman, dan diawasi.
Pemeriksaan dan Pengujian wajib dilakukan pada perencanaan, prosedur kerja, teknik bekerja
aman, APD & Perangkat Pelindung Jatuh & Angkur, dan Tenaga Kerja. Semua kegiatan bekerja
pada ketinggian yang menjadi tanggung jawab pengusaha dan/atau pengurus dipastikan telah
direncanakan dengan tepat, dilakukan dengan cara yang aman, dan diawasi.
Jangka waktu pemeriksaan dilakukan paling sedikit 1 tahun sekali dan pengujian secara berkala
dilakukan paling sedikit 5 tahun sekali.
Hasil dari pemeriksaan dan pengujian harus dilaporkan kepada kepala dinas provinsi dan
digunakan sebagai bahan pertimbangan pembinaan dan/atau tindakan hukum oleh pengawas
ketenagkerjaan.
SANKSI
Pengusaha dan/atau pengurus yang tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan menteri ini
dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja dan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Yang jelas, Permenaker Nomor 9 Tahun 2016 tidak mendefinisikan “ketinggian” berdasarkan
jarak, tapi semua pekerjaan yang memiliki potensi jatuh dan menyebabkan tenaga kerja atau
orang lain meninggal atau cidera.
Standard Bekerja Di Ketinggian berdasarkan Permenaker
No 9 tahun 2016
Adanya peraturan baru terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja pekerjaan di ketinggian, hal ini tentunya wajib dipahami
terkait yang berkepentingan. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 9 tahun 2016 yang mengatur tentang K3 Pekerjaan
lingkup bekerja di ketinggian secara menyeluruh. Pengertian bekerja di ketinggian menurut peraturan baru ini memiliki pe
berkembang. Sebelumnya praktisi terbatas pada lingkup pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian diatas 1,8 meter, seda
terkait ukuran dan tempat kerja. Penekanan lebih kepada aspek adanya ‘beda tinggi’ dan memiliki potensi jatuh.
Sebelum kita uraikan terkait standard bekerja di ketinggian, perlu kita ketahui terkait pengertian
atau definisi terkait bekerja di ketinggian menurut peraturan baru :
“Bekerja pada ketinggian adalah kegiatan atau aktifitas pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga
kerja pada tempat kerja di permukaan tanah atau perairan yang terdapat perbedaan ketinggian
dan memiliki potensi jatuh yang menyebabkan Tenaga Kerja atau Orang Lain yang berada di
tempat kerja Cidera atau Meninggal dunia atau menyebabkan kerusakan harta benda“.
Permenaker No 09 tahun 2016 ini mewajibkan kepada pengusaha dan atau pengurus untuk
menerapkan K3 dalam bekerja di ketinggian. Penerapan K3 dapat dilakukan dengan memastikan
beberapa hal berikut :
1. Perencanaan (Dilakukan dengan tepat dengan cara yang aman serta diawasi)
2. Prosedur Kerja (Untuk melakukan pekerjaan pada ketinggian)
3. Teknik (tatacara) Bekerja (yang) aman
4. APD, Perangkat Pelindung Jatuh dan Angkur
5. Tenaga Kerja (kompeten dan adanya Bagian K3)
Pada tahap Perencanaan harus memastikan bahwa pekerjaan dapat dilakukan dengan aman
dengan kondisi ergonomi yang memadai melalui jalur masuk (access) atau jalur keluar (egress)
yang telah disediakan. Kemudian masih dalam tahap Perencanaan pihak pengusaha dan atau
pengurus wajib :
1. Menyediakan peralatan kerja untuk meminimalkan jarak jatuh atau mengurangi konsekuensi
dari jatuhnya tenaga kerja
2. Menerapkan sistem izin kerja pada ketinggian dan memberikan instruksi atau melakukan hal
lainnya yang berkenaan dengan kondisi pekerjaan
Prosedur Kerja juga wajib ada untuk memberikan panduan kepada pekerja, prosedur ini harus
dipastikan bahwa Tenaga Kerja memahami dengan baik isi yang ada di dalamnya. Beberapa hal
yang harus ada di dalam prosedur bekerja pada ketinggian meliputi:
Setiap pengusaha dan atau pengurus wajib memasang perangkat pembatasan daerah kerja untuk
mencegah masuknya orang yang tidak berkepentingan. Pembagian kategori wilayah meliputi
Wilayah Bahaya, Wilayah Waspada dan Wilayah Aman.
Setiap pengusaha dan atau pengurus wajib memastikan bahwa tidak ada benda jatuh yang dapat
menyebabkan cidera atau kematian, membatasi berat barang yang boleh dibawa tenaga kerja
maksimal 5 kilogram diluar APD, berat barang yang lebih dari 5 kilogram harus dinaik turunkan
dengan menggunakan sistem katrol.
Selain itu pengusaha dan/atau pengurus wajib membuat rencana dan melakukan pelatihan
kesiapsiagaan tanggap darurat. Memastikan bahwa langkah pengendalian telah dilakukan untuk
mencegah pekerja jatuh atau mengurangi dampak jatuh dari ketinggian baik yang dilakukan pada
lantai kerja tetap, lantai kerja sementara, perancah atau scaffolding, bekerja pada ketinggian di
alam, pada saat pergerakan dari satu tempat ke tempat lainnya, bekerja pada akses tali, maupun
pada posisi bidang kerja miring.
Pada pasal 31, Pengusaha dan atau pengurus wajib menyediakan tenaga kerja yang kompeten
yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi dan berwenang di bidang K3 dalam pekerjaan di
ketinggian yang dibuktikan dengan Lisensi K3 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal.
PENGERTIAN:
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian dari sistem
manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan
dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja.
Audit SMK3 adalah pemeriksaan secara sistematis dan independen terhadap pemenuhan
kriteria yang telah ditetapkan untuk mengukur suatu hasil kegiatan yang telah direncanakan dan
dilaksanakan dalam penerapan SMK3 di perusahaan.
mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dengan melibatkan unsur
manajemen, pekerja/buruh, dan/atau serikat pekerja/serikat buruh; serta
menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, dan efisien untuk mendorong produktivitas
PENERAPAN SMK3:
Kebijakan nasional tentang SMK3 sebagai pedoman perusahaan dalam menerapkan SMK3.
Instansi pembina sektor usaha dapat mengembangkan pedoman penerapan SMK3 sesuai
dengan kebutuhan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perusahaan yang mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi. (Ketentuan mengenai tingkat
potensi bahaya tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan).
Muatan Kebijakan K3 paling sedikit memuat visi; tujuan perusahaan; komitmen dan tekad
melaksanakan kebijakan; dan kerangka dan program kerja yang mencakup kegiatan perusahaan
secara menyeluruh yang bersifat umum dan/atau operasional.
2. Perencanaan K3;
Dalam melaksanakan rencana K3 didukung oleh sumber daya manusia di bidang K3,
prasarana, dan sarana
Sumber daya manusia harus memiliki:
Dalam melaksanakan rencana K3 harus melakukan kegiatan dalam pemenuhan persyaratan K3.
Kegiatan tersebut:
1. Tindakan pengendalian
2. perancangan (design) dan rekayasa;
3. prosedur dan instruksi kerja;
4. penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan;
5. pembelian/pengadaan barang dan jasa;
6. produk akhir;
7. upaya menghadapi keadaan darurat kecelakaan dan bencana industri; dan
8. rencana dan pemulihan keadaan darurat
Kegiatan g dan h dilaksanakan berdasarkan potensi bahaya, investigasi dan analisa kecelakaan
Melalui pemeriksaan, pengujian, pengukuran dan audit internal SMK3 dilakukan oleh sumber
daya manusia yang kompeten
Dalam hal perusahaan tidak mempunyai SDM dapat menggunakan pihak lain
Hasil pemantauan dilaporkan kepada pengusaha
Hasil tersebut digunakan untuk untuk melakukan tindakan pengendalian
Pelaksanaan pemantauan & Evaluasi dilakukan berdasarkan peraturan Perundang-undangan
Untuk menjamin kesesuaian dan efektifitas penerapan SMK3, dilakukan peninjauan terhadap
kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
Hasil peninjauan digunakan untuk perbaikan dan peningkatan kinerja
Perbaikan dan peningkatan kinerja dilaksanakan dalam hal :
Penilaian penerapan SMK3 dilakukan oleh lembaga audit independen yang ditunjuk oleh
Menteri atas permohonan perusahaan
Untuk perusahaan yang memiliki potensi bahaya tinggi wajib melakukan penilaian penerapan
SMK3 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Hasil audit sebagai bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan SMK3
Hasil audit dilaporkan kepada Menteri dengan tembusan disampaikan kepada menteri pembina
sektor usaha, gubernur, dan bupati/walikota.
PENGAWASAN SMK3
Instansi pembina sektor usaha dapat melakukan pengawasan SMK3 terhadap pelaksanaan
penerapan SMK3 yang dikembangkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
Pelaksanaan pengawasan dilakukan secara terkoordinasi dengan pengawas ketenagakerjaan
Hasil pengawasan digunakan sebagai dasar dalam pembinaan
Perusahaan yang telah menerapkan SMK3, wajib menyesuaikan dengan ketentuan PP ini paling
lama 1 (satu) tahun
PP ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan (12 April 2013)
SANKSI ADMINISTRATIF
Sesuai Pasal 190 UU No. 13/03, Pelanggaran Pasal 87 dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
h. pencabutan ijin
PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2012
TENTANG
PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
I. UMUM
Globalisasi perdagangan saat ini memberikan dampak persaingan sangat ketat dalam segala
aspek khususnya ketenagakerjaan yang salah satunya mempersyaratkan adanya perlindungan
atas keselamatan dan kesehatan kerja.
Untuk meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, tidak terlepas
dari upaya pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja yang terencana, terukur, terstruktur, dan
terintegrasi melalui SMK3 guna menjamin terciptanya suatu sistem keselamatan dan kesehatan
kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, pekerja/buruh, dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang nyaman, efisien dan produktif.
Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja melalui SMK3 telah berkembang di berbagai negara
baik melalui pedoman maupun standar. Untuk memberikan keseragaman bagi setiap perusahaan
dalam menerapkan SMK3 sehingga perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja bagi tenaga
kerja, peningkatan efisiensi, dan produktifitas perusahaan dapat terwujud maka perlu ditetapkan
Peraturan Pemerintah yang mengatur penerapan SMK3.
Anak menurut Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah setiap
orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun. Pada dasarnya anak mempunyai kebutuhan
khusus yang harus dipenuhi semasa masih anak-anak. Kebutuhan tersebut merupakan hak anak yang
harus diberikan dan tidak bisa ditunda yaitu kebutuhan untuk pendidikan, bermain dan istirahat. Tidak
terpenuhinya hak-hak anak secara optimal akan berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya. Namun
kenyataannya pada masyarakat terdapat tradisi yang menghendaki anak belajar bekerja sejak usia dini
dengan harapan kelak dewasa anak mampu dan terampil melakukan pekerjaan. Sedang pada
masyarakat dengan kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan, orang tua sering melibatkan anak-
anaknya untuk turut serta memikul beban keluarga.
B. Kepmenakertrans No. 235 Tahun 2003 Tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan,
Keselamatan atau Moral Anak.
Pasal 2
1. Anak di bawah usia 18 (delapan belas) tahun dilarang bekerja dan/atau dipekerjakan pada pekerjaan
yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.
2. Pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak sebagaimana tercantum pada
Lampiran Keputusan ini.
Jenis-jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat ditinjau kembali sesuai
dengan perkembangan ilmu dan teknologi dengan Keputusan Menteri. yaitu Pekerjaan pada usaha bar,
diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti pijat atau lokasi yang dapat dijadikan tempat prostitusi.
4.2.4 Analisis :
Anak dibawah usia 18 tahun tidak diperbolehkan diperkerjakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang
berada di tempat-tempat yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak. Seperti yang
tertuang dalam kepmenakertrans No. 235 tahun 2003 pekerjaan menjadi pemandu lagu adalah salah
satu jenis pekerjaan yang dilarang. Pekerja pemandu lagu yang berusia 15-16 tahun seharusnya belajar
dan apabila bekerja, pekerjaannya haruslah yang dapat mengembangkan minat dan bakatnya seperti
yang bisa kita ketahui bahwa bakat adalah kemampuan khusus yang dimiliki seorang anak yang dibawa
sejak lahir.
Anak yang memiliki bakat bernyanyi, seharusnya orang tua menyarankan anak tersebut untuk
mengikuti ajang pencarian bakat untuk mengembangkan bakatnya. Selanjutnya yaitu minat, minat
adalah ketertarikan seseorang anak pada sesuatu bidang Contoh : Dokter, bidan, polisi Serta dengan usia
dibawah 18 tahun belum saatnya anak bekerja di lingkungan tempat karaoke karena pekerjaan tersebut
dapat menghambat perkembangan mental anak dimana anak bisa menjadi dewasa sebelum usia
mereka sebenarnya dan secara sosial pergaulan mereka juga akan semakin bebas, mereka bukan
bergaul dengan anak sebaya tapi dengan orang-orang dewasa. Selain itu anak juga akan terancam
keselamatannya karena lingkungan kerja yang tidak aman dan rentan terjadi tindakan kekerasan.
Saya mau tanya tentang syarat mempekerjakan anak, khususnya untuk di usia remaja. Saya masih
kurang paham dengan pengecualian yang ada di UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bagian jenis
pekerjaan ringan. Saya ingin membangun sebuah cafe dan ingin memperkerjakan remaja untuk part
time sebagai waiter/waitress, apakah boleh?
Jawaban :
A. Kami asumsikan yang Anda maksud dengan remaja adalah anak yang belum dewasa. Berdasarkan Pasal 1
angka 26 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), anak
adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.
Mengenai syarat mempekerjakan anak, pernah dibahas dalam artikel yang berjudul Bagaimana
Penyelesaiannya Jika Dituduh Mempekerjakan Anak?, pada dasarnya, pengusaha dilarang mempekerjakan
anak (lihat Pasal 68 UU Ketenagakerjaan). Namun, ketentuan tersebut tidak bersifat mutlak. Ketentuan
tersebut dikecualikan dalam beberapa kondisi sebagai berikut:
1. Bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan
pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial (lihat
Pasal 69 ayat (1) UU Ketenagakerjaan). Untuk mempekerjakan anak untuk pekerjaan ringan ini harus
ada (lihat Pasal 69 ayat (2) UU Ketenagakerjaan):
2. Bagi anak yang berumur sedikitnya 14 (empat belas) tahun, dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang
merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang
(lihat Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan). Pekerjaan yang sesuai dengan kurikulum
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dalam praktiknya sering disebut Praktik Kerja Lapangan
(PKL). Lebih jauh, simak artikel Praktik Kerja Lapangan.
3. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya dengan syarat (lihat Pasal 71
UU Ketenagakerjaan):
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.
B. Mengenai apa yang dimaksud dengan pekerjaan ringan, UU Ketenagakerjaan tidak menjelaskan dan
memberikan pengaturan lebih lanjut.
Adapun, hal yang diatur lebih detail dalam UU Ketenagakerjaan yaitu mengenai pekerjaan-pekerjaan yang
dilarang dilakukan dan melibatkan anak. Larangan mempekerjakan anak tersebut terdapat dalam Pasal 74 UU
Ketenagakerjaan, yaitu larangan mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang
terburuk, yaitu;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi
pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan
perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau;
Lebih lanjut, mengenai pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak, dapat dilihat
dalam Lampiran Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-
235/MEN/2003 Tahun 2003 Tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan,
Keselamatan Atau Moral Anak (“Kepmenaker 235/2003”), yaitu:
b. Pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras, obat perangsang seksualitas dan/atau
rokok.
Selain itu, berdasarkan Pasal 4 Kepmenaker 235/2003, pengusaha dilarang mempekerjakan anak untuk bekerja
lembur.
C. Berdasarkan uraian poin A dan B di atas, maka pengusaha dapat mempekerjakan anak selama memenuhi
persyaratan dan ketentuan yang telah diatur peraturan perundang-undangan. Dalam hal Anda ingin
mempekerjakan anak sebagai waiter/waitress di kafe, maka Anda juga harus memastikan kafe tersebut tidak
termasuk tempat yang membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral anak. Misalnya, Anda dilarang
mempekerjakan anak jika kafe Anda:
- kafe bar,
- di dalam diskotek,
b. Penyakit yang Berhubungan dengan Pekerjaan – Work Related Disease adalah penyakit
yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana faktor pekerjaan memegang peranan bersama
dengan faktor risiko lainnya dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi kompleks.
Menurut Cherry, 1999 “ An occupational disease may be defined simply as one that is caused ,
or made worse , by exposure at work.. Di sini menggambarkan bahwa secara sederhana sesuatu
yang disebabkan , atau diperburuk , oleh pajanan di tempat kerja . Atau , “ An occupational
disease is health problem caused by exposure to a workplace hazard ” ( Workplace Safety and
Insurance Board, 2005 ), Sedangkan dari definisi kedua tersebut, penyakit akibat kerja adalah
suatu masalah Kesehatan yang disebabkan oleh pajanan berbahaya di tempat kerja.
Dalam hal ini , pajanan berbahaya yang dimaksud oleh Work place Safety and Insurance Board (
2005 ) antara lain :
Menurut Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 1993 tertanggal 27 Februari 1993, Penyakit yang
timbul akibat hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan
kerja (pasal 1). Keputusan Presiden tersebut melampirkan Daftar Penyakit yang diantaranya yang
berkaitan dengan pulmonologi termasuk pneumokoniosis dan silikotuberkulosis, penyakit paru
dan saluran nafas akibat debu logam keras, penyakit paru dan saluran nafas akibat debu kapas,
vals, henep dan sisal (bissinosis), asma akibat kerja, dan alveolitis alergika.
Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut menyatakan bahwa mereka yang menderita penyakit yang
timbul karena hubungan kerja berhak memperoleh jaminan kecelakaan kerja.
Keputusan Presiden tersebut merujuk kepada Undang-Undang RI No 3 tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang pasal 1 nya menyatakan bahwa kecelakaan kerja adalah
kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yg timbul karena
hub kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju
tempat kerja, dan pulang kerumah melalui jalan yg biasa atau wajar dilalui.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) (Occupational Diseases) adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja (Permennaker No. Per. 01/Men/1981) yang akan berakibat cacat
sebagian maupun cacat total.Cacat Sebagian adalah hilangnya atau tidak fungsinya sebagian
anggota tubuh tenaga kerja untuk selama-lamanya. Sedangkan Cacat Total adalah keadaan
tenaga kerja tidak mampu bekerja sama sekali untuk selama-lamanya
1. Faktor Fisik
2. Golongan Kimia
Asal : bahan baku, bahan tambahan, hasil antara, hasil samping, hasil (produk), sisa
produksi atau bahan buangan.
Bentuk : zat padat, cair, gas, uap maupun partikel.
Cara masuk tubuh dapat melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan, kulit dan
mukosa
Masuknya dapat secara akut dan secara kronis
Efek terhadap tubuh : iritasi, alergi, korosif, Asphyxia, keracunan sistemik, kanker,
kerusakan/kelainan janin, pneumoconiosis, efek bius (narkose), Pengaruh genetic.
3. Golongan Biologi
Berasal dari : virus, bakteri, parasit, jamur, serangga, binatang buas, dll
Golongan Ergonomi/fisiologi
Akibat : cara kerja, posisi kerja, alat kerja, lingkungan kerja yang salah, Kontruksi salah.
Efek terhadap tubuh : kelelahan fisik, nyeri otot, deformitas tulang, perubahan bentuk,
dislokasi.
4. Golongan mental Psikologi
Akibat : suasana kerja monoton dan tidak nyaman, hubungan kerja kurang baik, upah
kerja kurang, terpencil, tak sesuai bakat.
Manifestasinya berupa stress.
Penyakit yang berhubungan / terkait dengan pekerjaan, namun bukan akibat karena pekerjaan.
Terdapat jaminan seperti kecelakaan kerja,
Prinsip : kedua penyakit adalah sama. Pada dasarnya penyakit akibat kerja adalah sama dengan
penyakit yang timbul karena hubungan kerja.
Perbedaannya :
Penyakit Akibat Kerja (PAK): terjadi hanya diantara populasi pekerja, penyebab spesifik, adanya
paparan di tempat kerja, diatur oleh kep.men.No.01/MEN/1981 , meliputi 30 jenis penyakit ,
dasar : keselamatan kerja.
Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK) : terjadi juga pada populasi penduduk, penyebab
multifaktor, pemaparan di tempat kerja mungkin salah satu faktor, diatur dalam
kep.pres.No.22/KEPRES/1993 , meliputi 31 jenis penyakit , dasar : mungkin dapat kompensasi
ganti rugi. 31 jenis penyakit 30 jenis penyakit + 1 klausul = penyakit yang disebabkan oleh
bahan kimia lainnya termasuk obat.
4 Merujuk pada Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit akibat Hubungan
Kerja, maka setiap tenaga kerja yang menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja
berhak mendapat jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) baik pada saat masih dalam hubungan
kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir
Batas pengajuan klaim bahwa tenaga kerja positif mengidap penyakit akibat hubungan kerja
adalah 3 tahun sejak tenaga kerja tersebut mengakhiri hubungan kerjanya, dengan dilampiri hasil
diagnosis dokter yang merawatnya.
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan
atau lingkungan kerja
Berikut ini adalah 31 jenis penyakit akibat hubungan kerja:
Tatacara pengajuan klaim Jaminan Kecelakaan Kerja akibat penyakit hubungan kerja, silahkan
hubungi kantor Jamsostek terdekat.
2.4 Pencegahan
Pengurus perusahaan harus selalu mewaspadai adanya ancaman akibat kerja terhadap pekerjaannya.
Mengetahui keadaan pekerjaan dan kondisinya dapat menjadi salah satu pencegahan terhadap PAK.
Beberapa tips dalam mencegah PAK, diantaranya:
Selain itu terdapat juga beberapa pencegahan lain yang dapat ditempuh agar bekerja bukan menjadi
lahan untuk menuai penyakit. Hal tersebut berdasarkan Buku Pengantar Penyakit Akibat Kerja,
diantaranya:
Kondisi fisik sehat dan kuat sangat dibutuhkan dalam bekerja, namun dengan bekerja benar teratur
bukan berarti dapat mencegah kesehatan kita terganggu. Kepedulian dan kesadaran akan jenis
pekerjaan juga kondisi pekerjaan dapat menghalau sumber penyakit menyerang. Dengan didukung
perusahaan yang sadar kesehatan, maka kantor pun akan benar-benar menjadi lahan menuai hasil
bukanlah penyakit.
Dalam melakukan penanganan terhadap penyakit akibat kerja, dapat dilakukan duamacam terapi, yaitu:
Kecelakaan kerja merupakan salah satu masalah bagi sebuah perusahaan.Kerugian yang diderita tidak hanya berupa
kerugian materi namun timbulnya korban jiwa pekerjap.Kehilangan sumber daya manusia ini merupakan kerugian
bagi perusahaan karena diperlukan waktu untuk mencari atau mendidik sumber daya manusia yang sesuai
perusahaan.Kerugian yang langsung yang nampak dari timbulnya kecelakaan kerja adalah biaya pengobatan dan
kompensasi kecelakaan.Sedangkan biaya tak langsung yang tidak nampak ialah kerusakan alat-alat produksi,
penataan manajemen keselamatan yang lebih baik, penghentian alat produksi, dan hilangnya waktu kerja.
Oleh karena itulah diperlukan alat pelindung diri (APD) untuk mengurangi resiko kecelakaan dalam pekerjaan
terutama di industry. Alat Pelindung Diri ( APD ) adalah seperangkat alat yang digunakan oleh tenaga kerjauntuk
melindungi seluruh/sebagian tubuhnya terhadap kemungkinan adanya potensi bahaya/kecelakaan kerja.APD dipakai
sebagai upaya terakhir dalam usaha melindungi tenaga kerja apabila usaha rekayasa (engineering) dan administratif
tidak dapat dilakukan dengan baik.
Alat Pelindung Diri selanjutnya disebut APD adalah seperangkat alat yang digunakan oleh tenaga kerja untuk
melindungi seluruh dan atau sebagian tubuh dari adanya kemungkinan potensi bahaya dan kecelakaan
kerja. (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia NomorPer.08/MEN/VII/2010).
Alat pelindung kerja bertujuan untuk melindungi para pekerja dari kemungkinan resiko
bahaya yang dapat mengancam keselamatan jiwa.
Dampak terhadap pekerja jika tidak menggunakan alat pelindung diri adalah dapat memperbesar resiko
fatal bila terjadi kecelakaan kerja.
Alat Pelindung Diri atau APD sangat penting dan diperlukan oleh pegawai,karyawan ,Enginering,administratif atau
siapapun yang memiliki resiko kecelakaan atauapun bahaya dalam bekerja.Oleh karena itu APD harus benar-benar di
pelajari dan di pahami baik dalam penggunaannya ataupun pemeliharaannya agar APD bias berfungsi dengan baik.
Alat Pelindung Kepala : Alat ini adalah kombiansi dari alat pelindung mata,pernapasan dan mata contohnya Topi
Pelindung/Pengaman (Safety Helmet), Tutup Kepala, Hats/cap, Topi pengaman.
Alat Pelindung Telinga : Tutup Telinga (Ear muff ), Sumbat Telinga (Ear plugs).
Pengujian alat pelindung diri dapat dilakukan di laboratorium di dalam dan di luar negeri
yang telah mendapat akreditasi dari lembaga yang berwenang. Label berupa logo K3 dan nomor
pendaftaran wajib dilekatkan pada produk alat pelindung diri yang telah mendapat nomor
pendaftaran dan sertifikat kelayakan. Dalam hal ini tidak dapat dilekatkan pada alat pelindung
diri, label wajib dilekatkan pada kemasan, pembungkus atau buku manual alat pelindung diri.