Topeng Patèngtèng Mo Ung Tinjauan Historis Dan Kultural
Topeng Patèngtèng Mo Ung Tinjauan Historis Dan Kultural
PATÈNGTÈNG
MOḌUNG
i
ii
TOPENG
PATÈNGTÈNG
MOḌUNG
Tahun 2021
iii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah saya panjatkan pada Allah SWT yang telah melimpahkan
segala rahmat, taufik, ridho dan hidayah-Nya, sehingga penelitian berjudul “Topeng
Patèngtèng Moḍung: Tinjauan Historis dan Kultural” dapat diselesaikan dengan baik.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
Saya berupaya mengupas informasi seputar topeng Patèngtèng Moḍung dari dua
sisi, yakni historis dan sosio-kultural. Penelitian ini menggambarkan kekayaan kearifan
Moḍung telah menjadi kebanggaan serta simbol alamiah, karena pada dasarnya karya
budaya unik tersebut murni muncul dari gambaran kehidupan masyarakat Madura di
Bangkalan secara kronologis. Saya membawakan tulisan ini sebagai upaya “memanggil
kembali” nilai-nilai yang terkandung dalam karya budaya yang sakral ini guna menjadi
Saya sadar bahwa penelitian ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Saya
sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak terkait yang telah membantu saya dalam
menyelesaikan penelitian ini. Saya juga sadar bahwa penelitian ini masih belum
sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran membangun sangat diharapkan sebagai
evaluasi bagi penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan kontribusi besar
iv
Wabillahi taufiq wal hidayah, wa ridha wal inayah, wassalamualaikum wa
rahmatullahi wa barakatuh.
Penulis,
v
SAMBUTAN
BUPATI BANGKALAN
Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, oleh karena limpahan
kasih sayang, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga kita semua masih diberi
kesempatan untuk tetap beraktivitas dengan baik di tengah maraknya pandemi yang
sedang berlangsung ini. Semoga kita senantiasa sehat dan selalu dalam lindungan-Nya.
Aamiin ya Rabb. Shalawat dan salam juga tak lupa dicurahkan pada junjungan nabi besar
kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah mengantarkan ummat Islam ke jalan yang penuh
berkah, baik di dunia maupun akhirat. Semoga kita semua mendapatkan syafaatnya kelak.
Aamiin ya Rabb.
Historis dan Kultural”, sebagai suatu rintisan dalam memerkaya khazanah dan referensi
di kabupaten Bangkalan yang kita cintai ini. Penulisan buku ini, merupakan sebuah
gagasan cemerlang untuk mengangkat kembali "permata" kita yang telah terkubur,
vi
sehingga generasi penerus Bangkalan dapat terus menikmatinya tanpa lekang oleh zaman.
sejarah yang begitu panjang dan gemilang, di kemudian hari menelorkan hasil nilai-nilai
adat dan tradisi yang masih berlaku hingga kini, antara lain tercerminkan dalam tema
Saya atas nama pribadi dan atas nama pemerintah kabupaten Bangkalan, sedang
menggali berbagai potensi yang ada, baik dari segi pariwisata, kesenian, budaya, dan
khazanah sejarah. Oleh karenanya, seluruh potensi daerah yang ada di kabupaten kita ini
sangat perlu dimaksimalkan secara serius, sehingga akan menjadi bekal dan pedoman
utama bagi masyarakat Bangkalan dalam menghadapi tantangan zaman. Sesuai dengan
catatan sejarah Bangkalan yang begitu gemilang, maka begitu pula masa depan gemilang
Demikian sambutan saya selaku bupati Bangkalan, semoga bermanfaat untuk kita
semua.
BUPATI BANGKALAN
vii
SAMBUTAN
KABUPATEN BANGKALAN
Dengan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan kasih sayang,
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, saya selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Moḍung: Tinjauan Historis dan Kultural” sebagai gebrakan dalam menambah literasi dan
karya adat yang begitu gemilang, merupakan bagian dari generasi yang mampu
berlandaskan kebenaran nilai-nilai falsafah sosial yang telah berlangsung lama. Oleh
sebuah kebanggaan dan penghargaan yang amat bernilai bagi kita semua selaku
masyarakat Bangkalan, karena sampai saat ini kita masih dapat menikmati, dan
viii
mengimplementasikan segala makna dan hakekat falsafah nilai-nilai sosial dari bentuk
Sebagai seorang yang bertanggung jawab dalam urusan kebudayaan dan pariwisata
hadirnya karya yang ditulis di dalamnya. Tentunya, dengan keberadaan hasil penelusuran
yang dituangkan dalam bentuk buku ini akan semakin memerkaya khazanah keilmuan di
Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan sejarah, adat, dan budaya di kabupaten
Bangkalan.
Satu hal yang kita harapkan terkait dengan ungkapan rasa hormat dan ucapan rasa
terima kasih saya, adalah tingkat konsistensi segenap jajaran saya untuk tetap menjaga
dan melestarikan segala bentuk adat budaya dengan memersembahkan karya terbaik bagi
generasi mendatang. Kita perlu memiliki kesamaan persepsi, bahwa besok matahari akan
terbit, oleh karena itu diperlukan kesungguhan bagi semua pihak dalam melakukan
berbagai hal agar hari esok lebih baik dari hari ini, hari ini dapat lebih baik dari hari
kemarin. Mudah-mudahan, Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk pada kita semua.
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………..........iv
SAMBUTAN BUPATI BANGKALAN………………………………………………..vi
SAMBUTAN KEPALA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
KABUPATEN BANGKALAN………………………………………………………..viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..x
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………xi
DAFTAR TABEL……………………………………………………………………..xiii
DAFTAR ISTILAH……………………………………………………………………xiv
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………………..xviii
DAFTAR LAMPIRAN..………………………………………………………………xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………...1
B. Batasan Masalah…….………………………………………………. 3
C. Rumusan Masalah……………………………………………………7
D. Tujuan Penelitian………………………………………………..…...8
E. Manfaat………………………………………………………………8
F. Tinjauan Pustaka……………………………………………………..8
G. Metode Penelitian………………………………………………….. 11
H. Sistematika Penulisan……………………………………………… 20
BAB II SELAYANG PANDANG
A. Gambaran Umum Desa Patèngtèng Moḍung………………………. 22
B. Seputar Kesenian Topeng Madura………………………………….35
BAB III TINJAUAN HISTORIS TOPENG PATÈNGTÈNG MOḌUNG
A. Awal Mula Kemunculan Topeng Patèngtèng Moḍung…………….. 53
B. Tumbuh Kembang dan Upaya Pelestarian Topeng
Patèngtèng Moḍung………………………………………………...62
BAB IV TINJAUAN KULTURAL TOPENG PATÈNGTÈNG MOḌUNG
A. Deskripsi dan Aspek-aspek Pendukung Kesenian Topeng
Patèngtèng Moḍung………………………………………………...77
B. Nilai-nilai Dasar Topeng Patèngtèng Moḍung…….………………102
BAB V PENUTUP
A. Simpulan…………………………………………………………..119
B. Saran………………………………………………………………119
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………121
LAMPIRAN………………………………………………………………………….. 124
BIODATA PENULIS…………………………………………………………………132
INDEKS……………………………………………………………………………….133
x
DAFTAR GAMBAR
xi
Gambar 4.4. Kostum Penari Karakter Laki-laki, dari Kiri ke Kanan: Pèsa’an, Celana
Gombor, dan Kaos Mèra Potè…………………………………………..89
Gambar 4.5. Kostum Penari Karakter Perempuan, dari Kiri ke Kanan: Koḍung, Kebaya,
Sarong / Sampèr, dan Perhiasan………………………………………...89
Gambar 4.6. Kostum Penari Karakter Ksatrèya Lakè’ pada Topeng Patèngtèng
Moḍung…………………………………………………………………91
Gambar 4.7. Kostum Penari Karakter Ksatrèya Binè’ / Dhin Aju pada Topeng
Patèngtèng Moḍung…………………………………………………….91
Gambar 4.8. Kostum Topeng Dhâlâng Sumenep……………………………………. 93
Gambar 4.9. Alat Musik yang Ditabuh saat Pertunjukan Topeng Patèngtèng Moḍung,
Tahun 2019…………………………………………………………….. 96
Gambar 4.10. Sesajian yang Disiapkan untuk Rokat Sombher………………………. 115
Gambar 4.11. Masyarakat Membawa Sesajian ke Tempat Rokat Sombher………….. 116
Gambar 4.12. Pertunjukan Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung dalam Ritual Rokat
Sombher……………………………………………………………….116
Gambar 4.13. Masyarakat Desa Patèngtèng Turut Memeriahkan Pementasan……….117
Gambar 4.14. Sombher Lakè’ yang Merupakan Satu dari Tempat Ritual Rokat
Sombher……………………………………………………………….117
Gambar 4.15. Sombher Binè’ yang Merupakan Satu dari Tempat Ritual Rokat
Sombher……………………………………………………………….118
Gambar 4.16. Rokat Sombher sedang Dihelat………………………………………...118
xii
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR ISTILAH
xiv
Kebaya = Pakaian tradisional perempuan, lazim digunakan di Nusantara,
khususnya Jawa dan Madura.
Kèlmo’ = Semacam kendi, kelengkapan sesajen dalam ritual rokat
sombher.
Kempul = Alat musik pada seperangkat gamelan.
Kendang = Alat musik dalam perangkat musik karawitan Jawa.
Kennong tello’ = Alat musik pada seperangkat gamelan.
Klono = Nama tarian dalam kesenian topeng Dasok.
Koḍung = Bahasa Madura untuk kosakata kerudung.
Kritik sumber = Tahapan kedua dalam penelitian sejarah upaya untuk
membuktikan otentisitas dan kredibilitas sumber. Kritik sumber ini
mencakup dua hal, yakni kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern
ialah melihat keaslian kondisi fisik sumber atau benda yang
didapat, sedangkan kritik intern akan membahas substansi sumber,
subjektivitas dan objektivitas dalam melihat data tersebut.
Lasem = Motif batik asal Gresik.
Lingga = Simbol kesuburan pria dari Dewa Siwa.
Madoera en Zijn
Vorstenhuis = Sebuah buku karya Bupati III Bangkalan, R.A.A.
Tjakraningrat pada tahun 1936.
Maestro = Seorang ahli dalam bidang tertentu.
Marlèna’an = Baju adat Madura untuk perempuan, identik dengan tokoh
Marlena.
Maulid = Peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW.
Missing link = Mata rantai sejarah yang hilang.
Nagara gata bhuwana
agung = Candra sengkala pada inskripsi lingga yang ditemukan di
kecamatan Tragah, dengan angka tahun 1151 Saka (1229 Masehi).
Nationaal Archief = Arsip nasional negara Belanda.
Negarakretagama = Naskah yang bercerita tentang sejarah Majapahit.
Oḍheng = Sejenis udheng dalam bahasa Jawa, ikat kepala khas etnis
Madura.
Oḍheng tongkosân
Bhângkalan = Sejenis udheng atau penutup kepala khas laki-laki bangsawan
Madura Barat.
Onderdistrict = Wilayah administratif era kolonial, bahasa Belanda untuk kata
kecamatan.
Pancer = Instrumen tuk-tuk yang ukurannya lebih kecil daripada peneros.
Panembahan = Gelar para Adipati dengan ketentuan khusus.
Pangèran = Gelar para putera Raja, dan disematkan pula kepada para Adipati
(penguasa Kadipaten, setara dengan Gubernur).
Pararaton = Naskah yang bercerita tentang sejarah Majapahit.
Pèlèt kanḍung = Tradisi yang berlaku di Madura, untuk ibu dengan usia
kandungan 7 bulan.
Peneros = Instrumen tuk-tuk yang ukurannya lebih kecil daripada gudug.
Pèsaan = Baju adat Madura, identik dengan tokoh Sakera, sehingga
kadang dikenal pula sebagai baju Sakera.
Rama = Karya sastra di era kerajaan Tumapel.
xv
Rasol = Nasi yang dibuat khusus untuk slametan, biasanya pada acara
sakral, kelengkapan sesajen dalam ritual rokat sombher.
Rokat compo’ = Ritual meruwat rumah.
Rokat dhisa = Ritual petik desa ala masyarakat Madura.
Rokat malakè’è
Sombher (rokat
sombher) = Ritual mengawinkan dua sumber mata air.
Rokat tasè’ = Ritual petik laut ala masyarakat Madura.
Rokat somor = Ritual meruwat sumur.
Sakèra’an = Pakaian adat Madura untuk laki-laki, identik dengan tokoh
Sakera.
Sampèr = Sejenis jarik dalam bahasa Jawa, kain batik sebagai kelengkapan
busana tradisional Madura.
Saronèn = Alat musik tiup khas Madura.
Saronèn / salabâdhân = Topeng kecil, jenis topeng menurut klasifikasi berdasarkan skala
pertunjukan topeng.
Sarong = Bahasa Madura untuk kosakata Sarung.
Sekar Madhurâ = Tarian ciptaan Panembahan Cakraadiningrat V.
Sesajen = Sajian yang disiapkan sebagai kelengkapan ritual.
Slendro = Jenis jaras gamelan.
Sombher = Bahasa Madura dari kata “sumber mata air”.
Sombher binè’ = Tempat pemandian perempuan di desa Patengteng, sumber mata
air yang disiramkan air dari sumber mata air sebelumnya (sombher
lakè’) sebagai prosesi dari perkawinan sumber.
Sombher lakè’ = Tempat pemandian laki-laki di desa Patengteng, sumber mata air
yang diambil airnya untuk disiramkan ke sumber mata air
selanjutnya (sombher binè’) sebagai prosesi dari perkawinan
sumber.
Somor = Bahasa Madura dari kata “sumur”.
Stamboom van het
Geslacht
Tjakra/Adi/Ningrat = Silsilah penguasa monarkhi Madura Barat, dimuat dalam buku
Madoera en Zijn Vorstenhuis.
Storjoan = Motif batik asal Sidoarjo.
Tabiruan = Motif batik asal Tanjung Bumi, Bangkalan.
Tajhin bhiru = Sejenis bubur yang terbuat dari beras dan dicampur daun pandan
sehingga menghasilkan warna hijau, kelengkapan sesajen dalam
ritual rokat sombher.
Tak-katek = Instrumen tuk-tuk yang berukuran paling kecil.
Tonḍu’ Majâng = Judul lagu daerah Madura.
Tong-tong = Nama lain dari alat musik tuk-tuk.
Topeng = Definisi “topeng” dalam kosakata bahasa Madura, menurut
kamus bahasa Madura – Belanda, karya P. Penninga & H.
Hendriks.
Topeng dalang = Satu kesenian topeng yang berkembang di Jawa dan Madura.
Topeng dhâlâng
Salè Kertè = Topeng dalang yang berkembang di Bangkalan, dan meluas ke
beberapa wilayah Madura dan sekitarnya.
xvi
Topong = Definisi “topeng” dalam kosakata bahasa Madura, menurut B.
Soelarto.
Toron tana = Tradisi yang berlaku di Madura, ketika bayi berusia tujuh bulan.
Tuk-tuk = Alat musik ritmis khas Madura, khususnya Madura Barat.
Tumenggung = Gelar penguasa wilayah setingkat kabupaten di era Kasultanan
Mataram.
Tung-katung = Instrumen tuk-tuk yang ukurannya lebih kecil daripada pancer.
Turangga kembar
hangapit butho = Candra sengkala pada Situs Sumur Daksan di Sampang, dengan
angka tahun 1277 Saka (1355 Masehi).
Vassal = Negara bagian.
Wedana = Pemimpin wilayah administratif setingkat kawedanan.
Yoni = Simbol kesuburan perempuan dari Dewi Parwati.
xvii
DAFTAR SINGKATAN
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
xix
BAB I
PENDAHULUAN
kabupaten Bangkalan. Sejarah kesenian ini terbilang masih sangat samar, terutama
tentang asal-muasal kemunculannya yang sementara ini hanya didapatkan dari sumber
sekunder dan cerita tutur masyarakat setempat. Aniyah, S.Sn., di dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa kesenian ini diciptakan oleh pangeran asal Sampang, yakni
Pangeran Aryo Kusumo sekitar 200 tahun silam1. Versi tutur menyebutkan bahwa karya
budaya ini telah berkembang pada generasi keenam dan ketujuh2. Belum ditemukan
referensi primer terkait hal ini, sehingga referensi yang telah ada dapat digunakan sebagai
acuan awal, namun bukan sebagai simpulan. Oleh karenanya, perlu diadakan penelusuran
lanjutan.
Kesenian topeng Patèngtèng Moḍung menjadi hal yang tak terpisahkan dengan
ritual perkawinan sumber mata air setempat, atau biasa dikenal dengan istilah rokat
sombher. Adanya pemanfaatan kesenian ini sebagai kelengkapan ritual, menambah nilai
sakral dari karya budaya ini, dan menjadikannya sebagai seni topeng khas yang berbeda
dengan seni topeng serupa, mengingat di dalam karakter topeng – topeng ini sejatinya
Ramayana yang telah dikembangkan dengan rokat sombher, menjadi ciri khas dari
1
Lihat: Aniyah, S.Sn., Pertunjukan Topeng Patengteng dalam Ritual Perkawinan Sumber Kabupaten
Bangkalan Madura, hlm. 44.
2
Notulen Silaturahim dan Penelusuran tentang Topeng Patèngtèng Moḍung pada tanggal 7 Desember 2021.
1
kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, yang tidak terdapat pada kesenian tari topeng
lainnya3.
Saat ini, kesenian topeng Patèngtèng Moḍung masih lestari, walaupun sejatinya
eksistensi kesenian ini mulai terancam. Keberadaan kesenian ini semakin terkikis, baik
berdasar peminatnya, maupun surutnya pemahaman masyarakat terkait nilai tradisi luhur
dari karya budaya ini. Para pelaku mengakui bahwa mereka harus terus melestarikan
kesenian topeng ini, sebagai estafet perjuangan para sesepuh, terutama yang telah wafat
zaman4.
Surutnya eksistensi kesenian topeng Patèngtèng Moḍung ini berawal dari wafatnya
para pelaku sepuh. Saat ini hanya tersisa satu orang pelaku sepuh, yakni Ibu Remma, yang
kini sudah berusia 86 tahun. Saat ini generasi muda di desa Patèngtèng kurang peduli
masih terbilang rutin setiap tahun, sebagai sarana estafet tradisi, sekaligus pesta hiburan
kuat, khususnya pada landasan historis dan kultural. Referensi tertulis tentang kesenian
ini masih terbilang minim, sehingga terdapat missing link pada perjalanan karya budaya
ini, ditambah dengan gambaran sejarah yang berkembang melalui tutur turun – temurun.
Perkembangan zaman juga menjadi tantangan khusus bagi eksistensi kesenian ini, dan
menjadi masalah serius terhadap proses pelestarian karya budaya ini, serta tidak menutup
3
Lihat: Bab IV.
4
Hosen, dalam Silaturahim dan Penelusuran tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan,
(Bangkalan: Patèngtèng. 2021), 7 Desember 2021.
5
Ibid.
2
kemungkinan akan adanya pergeseran nilai, bahkan hilangnya suatu nilai dari karya
budaya luhur ini. Oleh karenanya, penelusuran mata rantai sejarah yang hilang tentang
kesenian ini perlu dilakukan, agar pelestarian kesenian topeng Patèngtèng Moḍung dapat
tetap berjalan tanpa mengubah atau menggeser nilai luhur yang telah melekat dalam
sanubari sejarah.
kultural dari topeng Patèngtèng Moḍung. Belum adanya kajian historis dan kultural yang
rinci mengenai topeng Patèngtèng Moḍung juga menjadi alasan utama terhadap
penelusuran masalah ini lebih dalam. Perjalanan historis serta nilai-nilai kultural dari
topeng Patèngtèng Moḍung ini akan disesuaikan dengan temuan-temuan data yang ada,
lalu dirumuskan dan disusun dengan judul “Topeng Patèngtèng Moḍung: Tinjauan
B. Batasan Masalah
temporal serta spasial sebagai ciri khas penelitian sejarah. Kajian ini memiliki focus
bahasan pada eksistensi topeng Patèngtèng Moḍung, sejak awal kemunculannya, hingga
berkembang sedemikian rupa saat ini, sehingga menjadi kekayaan tradisi dan budaya
kabupaten Bangkalan.
Batasan temporal pada tulisan ini ialah awal mula kemunculan topeng Patèngtèng
Moḍung dan perkembangannya hingga kini. Tinjauan historis tentang awal mula
kemunculan karya budaya ini belum dapat dipastikan, karena belum ada referensi primer
/ sezaman tentangnya. Sementara waktu, referensi sekunder dan cerita tutur dapat
3
dijadikan acuan sebagai rujukan awal, untuk melihat kisah awal mula munculnya
kesenian topeng ini. Penggunaan sumber sekunder dan cerita tutur ini belum dapat
dijadikan sebagai simpulan, namun penggunaannya dapat dijadikan landasan awal untuk
menyebutkan bahwa kesenian ini diperkirakan muncul sekitar dua ratus tahun lalu, yakni
sekitar abad XVIII atau XIX. Menurutnya, tokoh yang mengenalkan kesenian ini pada
masyarakat Patèngtèng ialah Pangeran Aryo Kusumo dari kota Sampang, dengan tujuan
syiar Islam, dan diadopsi oleh masyarakat Patèngtèng sebagai sebuah karya budaya yang
bernilai luhur6.
Cerita tutur tidak menyebutkan kisaran angka tahun dengan rinci, melainkan dari
sisi genealogi pewaris topeng Patèngtèng Moḍung. Keterangan dari pelaku sekaligus
pengurus topeng, yakni Hosen, menyebutkan bahwa kesenian topeng ini telah
berlangsung selama enam atau tujuh generasi. Ia menambahkan bahwa kesenian ini telah
ada sebelum tokoh pertama tinggal untuk abhâbâd tana (membabat tanah), yang terhitung
empat generasi hingga kini7. Keterangan grad silsilah atau generasi pelestari kesenian ini
perlu ditarik prakiraan garis rentang waktu, untuk mengetahui prakiraan awal
Upaya penelusuran prakiraan garis rentang waktu silsilah hingga generasi keenam
dan ketujuh ini dapat dilakukan dengan metode studi perbandingan, antara garis rentang
waktu silsilah lain, dengan grad yang sama. Misal, peninjauan garis rentang waktu pada
silsilah penguasa monarkhi Madura Barat hingga generasi keenam dan ketujuh. Satu dari
6
Aniyah, S.Sn., loc. cit.
7
Hosen, loc. cit.
4
garis genealogi tersebut dapat ditarik demikian, Pangeran Cakraningrat I (bertahta: 1624
Dari keterangan garis rentang waktu silsilah penguasa Madura Barat, dapat
diketahui bahwa jarak antara generasi terakhir, yakni Panembahan Cakraadiningrat VIII,
menuju generasi keenam di atasnya, yakni Panembahan Cakraningrat II, dan menuju
generasi ketujuh di atasnya, yakni Pangeran Cakraningrat I maka diperoleh tiga angka
tahun wafat, antara lain (1) tahun 1648 saat Pangeran Cakraningrat I wafat, (2) tahun 1707
saat Panembahan Cakraningrat II wafat, dan (3) tahun 1882 saat Panembahan
Cakraadiningrat VIII wafat. Berdasarkan tiga angka tahun di atas, diperoleh kalkulasi
bahwa rentang waktu antara penguasa generasi terakhir menuju generasi keenam di
atasnya yakni 175 tahun, dan menuju generasi ketujuh di atasnya yakni 234 tahun.
terakhir menuju generasi keenam di atasnya ialah hampir 200 tahun, sedangkan menuju
generasi ketujuh di atasnya ialah lebih dari 200 tahun. Tentunya kisaran angka tahun ini
tidak baku, karena setiap silsilah tidak akan memiliki rentang waktu yang sama persis,
namun dengan hal ini dapat dijadikan dijadikan pijakan awal untuk melihat awal
kemunculan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, yang telah diwariskan sekitar enam
8
Lihat: Stamboom van het Geslacht Tjakra/Adi/Ningrat dalam R.A.A. Tjakraningrat, Madoera en Zijn
Vorstenhuis, (Surabaya: Cliché’s en Druk: G. Kolff. & Co. 1936), hlm. 79.
5
dan tujuh generasi hingga kini. Prakiraan rentang waktu inilah yang kemudian dijadikan
Patèngtèng Moḍung ini memiliki data rentang waktu serupa. Aniyah menyebutkan bahwa
kesenian ini diperkirakan muncul sekitar 200 tahun lalu, dan Hosen menyebutkan bahwa
kesenian ini sudah lestari mencapai generasi keenam dan ketujuh, yang berdasar pada
studi perbandingan prakiraan rentang waktu grad silsilah didapat rentang waktu sekitar
200 tahun juga. Oleh karenanya, data tersebut dapat digunakan sebagai titik awal landasan
temporal dalam penelitian ini, yakni pada abad XVIII – XIX (1700-an – 1800-an).
topeng Patèngtèng Moḍung, maka pembahasan ini dipaparkan dalam dua pembabakan
masa, yakni masa awal kemunculannya di abad XVIII – XIX (1700-an – 1800-an), juga
geliat seni dan budaya Madura Barat saat itu, dan pelestariannya kini pada abad XXI
(2000-an)9. Maka dari itu, batas akhir dari landasan temporal penelitian ini ialah abad
XXI.
Pembahasan tentang objek budaya selalu berhadapan dengan wilayah, sebagai latar
tumbuh kembang tradisi dan budaya. Sejarah membuktikan bahwa kesenian topeng telah
tersebar luas di Madura, baik secara spasial, maupun secara sosial. Tulisan Pigeaud
keterangan pada majalah Djawa volume VIII, membahas soal ragam kesenian yang
9
Lihat: Bab III.
10
Lihat: Dr. Th. Pigeaud, Javaanse Volksvertoningen Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk,
(Jogjakarta: Martinus Nijhoff Uitgever ‘s-Gravenhage. 1938), hlm. 147 – 158.
6
kesenian topeng11. Berbagai koleksi topeng di seluruh Madura juga menjadi bukti yang
menunjukkan bahwa kesenian ini memang pernah berkembang secara masif di pulau
garam ini.
pada kesenian topeng yang berkembang di masing – masing wilayah di pulau ini. Satu di
dengan namanya, karya budaya ini tergolong sebagai kesenian lokal yang hanya
selaku koordinator acara pementasan topeng Patèngtèng Moḍung, bahwa kesenian ini
batasan spasial pada tulisan ini ditokuskan pada desa Patèngtèng, kecamatan Moḍung,
kabupaten Bangkalan.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka disusunlah rumusan
11
Lihat: Hoesein Djajadiningrat, dkk., Jawa VIII: De Toonkunst bij Madoereezen, (Soerakarta: Secretariaat
van het Java-Instituut, 1928).
12
Munir, dalam Silaturahim dan Penelusuran tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan,
(Bangkalan: Patèngtèng. 2021), 7 Desember 2021.
7
D. Tujuan Penelitian
Kajian ini memiliki tiga tujuan berdasarkan rumusan masalah yang ada, yaitu:
E. Manfaat
Bagi Akademik :
1. Sebagai bahan informasi dasar tentang gambaran historis dan kultural topeng
Patèngtèng Moḍung.
2. Sebagai bahan informasi untuk penelitian lanjutan dengan tema yang sama.
Bagi Masyarakat :
1. Sebagai informasi bagi masyarakat umum agar dapat melihat eksistensi dan
Bagi Pemerintah :
1. Sebagai bahan pertimbangan dan informasi bagi pemerintah dalam membangun SDM
F. Tinjauan Pustaka
Kajian ilmiah ini menggunakan dua macam pendekatan, yakni pendekatan historis
dan kultural. Pendekatan historis memiliki tujuan untuk mendeskripsikan segala kejadian
dari masa lalu. Pendekatan kultural bersifat humanis sebagai entitas manusia yang utuh
8
baik secara fisik maupun spiritual, digunakan untuk mengupas simbol dan makna dari
suatu objek budaya. Penggunaan dua macam pendekatan ini diharapkan dapat
mengungkap tabir tentang tumbuh-kembang karya budaya ini yang terfokus pada
perkembangan sisi fisik maupun non fisik. Beberapa penelitian dan referensi dirujuk
Referensi pertama ialah karya Aniyah, S.Sn. di tahun 2017 dengan judul
Patèngtèng Moḍung dari sisi pertunjukan. Ada pun yang dibahas dalam tulisan ini
meliputi pertunjukan karya budaya ini dalam ritual perkawinan sumber (rokat malakè’è
tersebut13.
Referensi kedua ialah buku karya Dr. Th. Pigeaud tahun 1938, berjudul “Javaanse
Volksvertoningen Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk”. Pada bab II buku ini
khususnya pada sub bab V yang membahas “Madoera”, membahas kesenian topeng yang
berkembang di Madura. Pembahasan ini cukup rinci dan lengkap, mulai dari pembahasan
soal pengaruh budaya Jawa, permainan topeng Madura, kostum, topeng-topeng yang
digunakan, lakon, penokohan, jenis tarian, gending, dan wilayah persebarannya hingga
13
Lihat: Aniyah, S.Sn., op. cit.
9
ke Jawa Timur. Berdasarkan informasi dalam buku Pigeaud ini, terjawab jelas soal
kesenian topeng di Madura yang pernah eksis dan berkembang dengan begitu beragam14.
Lalu sebuah buku yang ditulis oleh Helene Bouvier yang diterjemahkan oleh
Rahayu S. Hidayat & Jean Ciuteau di tahun 2002, berjudul “Lèbur! Seni Musik dan
Pertunjukan dalam Masyarakat Madura”. Pada bab II buku ini yang berjudul “Genre
Kesenian”, dan secara khusus pada sub bab kedua berjudul “Pertunjukan Topeng”,
begitu rinci. Ulasan-ulasan tersebut diperjelas lagi pada tiga bagian, yakni (1) bentuk-
bentuk topeng, (2) unsur-unsur sejarah dan gaya-gaya daerah, dan (3) upaya klasifikasi.
Secara sederhana, melalui penjelasan pada buku ini, dapat terlihat bahwa kesenian topeng
di Sumenep memiliki ciri karakter yang kuat, dan masih lestari hingga kini15.
Referensi selanjutnya ialah buku yang ditulis oleh B. Soelarto tahun 1977, dengan
judul “Topeng Madura (Topong)”. Buku terbitan Ditjen Kebudayaan Departemen P & K
ini memuat informasi yang cukup detail, mengenai ulasan historis serta karakteristik dari
topeng Madura secara umum. Ada pun karakteristik dari topeng Madura yang diulas di
dalam buku ini terbagi menjadi ulasan filosofis dan sosiologis. Kemudian juga diulas
umum, dan topeng Patèngtèng Moḍung secara khusus dengan eksplanasi cukup rinci.
Kendati demikian, belum terdapat penelitian sisi historis dan kultural sepak terjang
topeng Patèngtèng Moḍung, sehingga kajian ini difokuskan pada gambaran kronologis
14
Lihat: Dr. Th. Pigeaud, loc. cit.
15
Lihat: Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, Terj. Rahayu S.
Hidayat & Jean Couteau (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. 115 – 132.
16
Lihat: B. Soelarto, Topeng Madura (Topong), (Jakarta: Ditjen Kebudayaan Departemen P & K, 1977).
10
G. Metode Penelitian
metode sejarah mencakup empat tahap, yakni heuristik (pengumpulan sumber), kritik
Tahap pertama dalam penelitian sejarah adalah heuristik, yakni pencarian dan
pemilahan sumber-sumber sejarah sebagai bahan dasar analisis masalah. Sumber sejarah
terklasifikasi menjadi dua macam, yakni sumber primer dan sekunder. Sumber primer
ialah bukti sezaman dengan suatu peristiwa sejarah. Sumber primer yang digunakan
dalam kajian ini berupa buku, majalah dan catatan Belanda sezaman, baik didapatkan
secara daring maupun non-daring. Sumber sekunder ialah data olahan dari zaman yang
berbeda dengan suatu peristiwa sejarah. Sumber sekunder yang digunakan dalam kajian
ini ialah data-data yang diperoleh dari jurnal, buku, karya ilmiah, wawancara, dan artikel
pendukung. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini ialah, (1) studi
kepustakaan dengan membaca dan mencermati informasi pendukung (2) studi lapangan
tulisan ini.
Moḍung”. Notulen ini memuat data penelusuran lapangan tentang objek terkait, dan
17
Lois Gottsschak, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI-Press. 1969), hlm. 32.
11
juga memuat pemilihan maestro kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, yang akan
- Laporan diskusi kesenian topeng Patèngtèng Moḍung yang dihelat di Trèsna Art,
Bangkalan, pada tanggal 29 Desember 2021, yang berjudul “Notulen Diskusi: Topeng
Patèngtèng Moḍung”. Notulen ini memuat hasil diskusi tentang objek terkait, yang
diikuti oleh jajaran Disbudpar Bangkalan, peneliti, para sejarawan, seniman, dan
- Kajian ilmiah yang disusun oleh Muhammad Rizki Taufan, S.Pd., pada tahun 2021
dengan judul “Tinjauan Historis dan Kulturan Oḍheng Tongkosân Bhângkalan: dan
Pariwisata Kabupaten Bangkalan. Tulisan ini cukup penting, karena mengungkap era
antara lain:
- Tulisan karya Aniyah, S.Sn. di tahun 2017 dengan judul “Pertunjukan Topeng Pateng-
teng dalam Ritual Perkawinan Sumber Kabupaten Bangkalan Madura”. Tulisan ini
begitu penting sebagai penelitian serupa tentang topeng Patèngtèng Moḍung dari sisi
12
pertunjukan. Oleh karenanya referensi ini sangat membantu mengungkap tinjauan
- Buku terbitan Balar Prov. DIY (Editor: Gunadi Kasnowihardjo) pada tahun 2021,
berjudul “Asal – Usul dan Sejarah Orang Madura: Kajian Arkeologi – Sejarah”. Buku
ini memuat sejarah orang-orang Madura, khususnya di era Hindu-Buddha yang juga
Keterangan ini begitu penting, karena merupakan tempat lahir dari karya budaya yang
Sebuah referensi penting diperoleh dari Achmad Fatoni, selaku penggiat sejarah
dan pemerhati kesenian topeng. Referensi yang dimaksud ialah buku karya B. Soelarto,
berjudul “Topeng Madura (Topong)”. Buku ini begitu penting karena mengulas sisi
historis, maupun karakteristik topeng Madura dengan rinci. Keterangan dalam buku ini
dapat dijadikan landasan untuk mengupas sejarah dan karakteristik topeng Patèngtèng
Moḍung, sebagai bagian dari varian topeng Madura. Selain itu, informasi pada buku ini
juga menjadi bahan studi komparatif untuk melihat persamaan maupun perbedaan dari
Sebuah referensi lain diperoleh dari Adrian Pawitra, selaku budawayan Bangkalan.
- Majalah redaksi Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat, dkk. pada tahun 1928, berjudul
“Djawa – Tijdschrift van het Java-Instituut: Achtste Jaargang”. Pada majalah ini
dimuat sebuah artikel berjudul “De Toonkunst bij de Madoereezen”, yakni tentang
kembang suatu karya budaya, termasuk di antaranya ialah topeng Patèngtèng Moḍung.
13
Beberapa buku juga diperoleh dari laman delpher.nl., sebagai situs yang memuat
- Buku karya Dr. R. D. M. Verbeek tahun 1923, berjudul “Rapporten van den
oudheden”. Buku ini begitu penting, karena satu di antara data peninggalan Hindu
yang dimuat berasal dari desa Patèngtèng. Data dalam buku ini menjadi dasar untuk
mengungkap latar belakang sejarah desa Patèngtèng, sebagai tempat lahir karya yang
- Buku karya Dr. Th. Pigeaud tahun 1938, berjudul “Javaanse Volksvertoningen
Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk”. Buku ini merupakan “harta karun”,
yang berisi seputar kesenian di Jawa dan Madura, termasuk di dalamnya soal
keberadaan kesenian topeng di Madura. Informasi ini begitu penting guna merangkai
Beberapa data statistik juga didapatkan dari Badan Pusat Statistik. Data-data
tersebut ialah:
- Data Badan Pusat Statistik Daerah Kecamatan Modung, tahun 2015. Data ini cukup
penting untuk melihat kondisi geografis, administratif, sosial dan ekonomi Kecamatan
Modung, sebagai latar tempat dari karya budaya topeng Patèngtèng Moḍung.
- Data yang dimuat dalam buku “Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan:
Kecamatan Modung dalam Angka 2019”. Serupa dengan data sebelumnya, data ini
penting untuk melihat kondisi geografis, administratif, sosial dan ekonomi Kecamatan
Modung, sebagai latar tempat dari karya budaya topeng Patèngtèng Moḍung.
Sebuah buku didapatkan dari seorang sejarawan Bangkalan bernama R.M. Agus
Lahendra pada tahun 2020. Buku ini ditulis oleh R. Rooslan Wongsokasoemo dan R.P.
14
Moh. Soedin Notosoedjono dengan judul “Riwajat Madoera”, yang berisi tentang
rangkaian catatan historis internal keraton Madura Barat. Sumber ini menjadi pendukung
untuk melihat sejarah Madura Barat yang juga berkaitan erat sebagai latar tumbuh
tersebut ialah:
- Buku karya Helene Bouvier yang diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat & Jean
Ciuteau di tahun 2002, berjudul “Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam
karya budaya berupa seni musik dan pertunjukan pada masyarakat Madura, termasuk
kesenian topeng di kabupaten Sumenep. Informasi dari buku ini digunakan untuk
melihat karakter karya budaya Madura, tentunya berkaitan satu dengan lainnya,
- RPJMD Kabupaten Bangkalan Tahun 2013 – 2018. Data ini cukup penting karena
- Buku karya Gerrit J. Knaap di tahun 1996, berjudul “Shallow Waters, Siling Tide”.
Buku ini digunakan sebagai referensi awal tentang kabupaten Bangkalan, untuk
merangkai kerangka informasi dasar pada sub bab selayang pandang, untuk membuka
- Buku karya L. Gottsschak tahun 1969 berjudul “Mengerti Sejarah”. Buku ini penting
15
- Buku karya Ariyono & Aminuddin S. tahun 1985 berjudul Kamus Antropologi. Buku
ini cukup penting untuk mengupas nilai-nilai dasar dari tradisi rokat sombher sebagai
- Sebuah kamus sosiologi karya Soekanto tahun 1993. Buku ini cukup penting untuk
mengupas nilai-nilai dasar dari tradisi rokat sombher sebagai bagian yang tak
- Sebuah Kamus Bahasa Madura – Belanda karya P. Penninga dan H. Hendriks pada
tahun 1936. Kamus ini memuat definisi kosakata topeng dalam bahasa Madura yang
- Tulisan B.M. Chair yang dimuat dalam jurnal SMaRT Studi Masyarakat, Religi dan
Tradisi, Vol. VI No. 1 tahun 2020 dengan judul “Dimensi Kosmologis Ritual Rokat
Pandhaba pada Masyarakat Madura”. Tulisan ini cukup penting sebagai pembanding
untuk mengupas nilai-nilai dasar dari tradisi rokat sombher sebagai bagian yang tak
- Buku karya RAA. Tjakraningrat tahun 1936 berjudul “Madoera en Zijn Vorstenhuis”.
Buku ini berisi silsilah penguasa Madura Barat, digunakan sebagai pembanding
- Buku karya Siti Zainab, dkk. Di tahun 2020, berjudul “Ragam Batik Madura – Bhatèk
Patèngtèng Moḍung, sebuah Tinjauan Historis dan Kultural”. Buku ini memuat
beberapa gambaran umum serta historis tentang desa Patèngtèng, Moḍung, sehingga
- Dagh-Register Gehouden Int Casteel Batavia tahun 1624. Sumber ini memuat tentang
Madura tahun 1624, yang di dalamnya juga berkaitan dengan sejarah Madura Barat
secara umum, sebagai latar tumbuh kembang kesenian topeng Patèngtèng Moḍung.
16
- Tulisan karya Novaria Dwi S.P. & Yohanes Hanan Pamungkas yang dimuat dalam
jurnal AVATARA, Vol. II No. 3 tahun 2014 dengan judul “Yoni Klinterejo Tinjauan
Historis dan Ikonografis”. Tulisan ini cukup penting karena mengungkap konsep
lingga yoni, yang juga berlaku dalam ritual rokat sombher, di mana kesenian topeng
- Tulisan karya Sunoto yang dimuat dalam Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 45 No. 2
tahun 2017 dengan judul “Lingga Yoni Jejak Peradaban Masyarakat (Jawa, Bali) dari
Perspektif Positivistik”. Tulisan ini juga cukup penting karena mengungkap konsep
lingga yoni.
Instrumenten Speciaal die van Oost Java”. Buku ini menggambarkan keberadaan dan
perkembangan seni musik Jawa era Hindu, khususnya di Jawa Timur, dan juga
kesenian-kesenian yang telah berkembang di Madura, termasuk seni musik, yang juga
- Buku karya Francois Valentijn pada tahun 1726 berjudul “Oud en Nieuw Oost Indies
IV: Beschryving van Groot Djava, of te Java Major”. Buku ini menggambarkan pulau
Jawa dan Madura dengan cukup detail, sehingga dibutuhkan penulis untuk melihat
- Peta karya Francois Valentijn pada tahun 1728 dengan judul “Nieuwe en Zeer
Naaukeurige Kaart van t Eyland Java Major of Groot Java Verdeeld in Seven
Byzondere Bostekken”. Peta ini menggambarkan pulau Jawa dan Madura dengan
17
- Prosiding Seminar Nasional Budaya Madura V, yang ditulis oleh Lestari Puji Rahayu,
dkk., pada tahun 2019, berjudul “Potensi Wisata Pesisir Selatan Modung”. Informasi
dalam prosiding ini antara lain tinjauan historis dari desa Patèngtèng, Moḍung, dan
juga beberapa karya budaya di dalamnya yang dipersiapkan sebagai potensi wisata
Sumber lain berupa foto-foto pendukung didapatkan dari para pelaku sejarah,
diperoleh dari:
- Mas Sudarsono, berupa foto kuno tentang kesenian topeng Madura di kabupaten
Bangkalan
- Nationaal Archief, berupa foto kuno tentang kesenian topeng Madura tahun 1948
- Buku karya B. Soelarto, berjudul “Topeng Madura (Topong)”, berupa foto-foto topeng
Madura
18
- Mas Sudarsono, selaku seniman tradisi di kabupaten Bangkalan
- R.P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat, selaku pemerhati sejarah dan budaya di
kabupaten Bangkalan
- Hidrochin Sabaruddin U. P., S.E., selaku pemerhati sejarah dan budaya di kabupaten
Bangkalan
Kabupaten Bangkalan juga telah diperoleh melalui keterangan beberapa narasumber dari
- H. M. Hasan Faisol S.STP., M.M., selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Bangkalan
Tahap kedua dalam penelitian sejarah adalah kritik sumber sebagai pembuktian
kredibilitas sumber. Kritik sumber mencakup dua hal, yakni kritik ekstern dan intern.
Kritik ekstern melihat keaslian kondisi fisik sumber atau objek yang didapat, sedangkan
kritik intern membahas kredibilitas substansi sumber, pemilahan antara subjektivitas dan
Tahap ketiga dalam penelitian sejarah adalah interpretasi, yakni proses penafsiran
terhadap fakta. Kajian ini berpijak pada fakta dari sumber yang telah diuji pada tahapan
kritik. Proses mencerna fakta dilakukan dalam bentuk analisis dan sintesis. Analisis
19
merupakan penguraian fakta berdasarkan data atas sumber yang telah diperoleh,
sedangkan sintesis merupakan penyatuan data terkumpul yang telah dianalisis untuk
menjawab permasalahan dalam kajian ilmiah ini guna menghubungkan antar fakta agar
Tahap terakhir dalam penelitian sejarah adalah historiografi, yakni merangkai hasil
interpretasi dari semua fakta. Berbagai hasil interpretasi tersebut dirangkai dan ditulis
kembali sehingga menjadi sebuah karya ilmiah sejarah yang logis, deskriptif, analitis dan
perkembangan topeng Patèngtèng Moḍung dari sudut pandang historis dan kultural.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hasil kajian ini dipaparkan melalui lima bab pembahasan,
dengan tujuan untuk memudahkan pemahaman alur penulisan ini. Setiap bab disusun
ini. Bab ini mendeskripsikan gambaran umum serta pola historis dan sosio kultural
topeng Patèngtèng Moḍung. Pada bab ini juga dibahas seputar kesenian topeng Madura,
20
untuk melihat seberapa jauh persamaan serta perbedaan antara topeng Madura secara
Bab III membahas tinjauan historis topeng Patèngtèng Moḍung. Bab ini membahas
asal-usul topeng Patèngtèng Moḍung, tumbuh kembang, dan upaya pelestariannya hingga
kini.
Bab IV berisi tinjauan kultural topeng Patèngtèng Moḍung. Pada bab ini dibahas
deskripsi dan beberapa aspek kelengkapan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung. Pada
sub bab lainnya juga dibahas tentang nilai-nilai dasar yang terkandung dalam kesenian
ini.
Bab V merupakan penutup yang berisi simpulan dan saran. Simpulan dikemas
sebagai jawaban dari rumusan masalah kajian ilmiah ini, sedangkan saran dikemas
sebagai harapan terhadap pelestarian topeng Patèngtèng Moḍung agar dapat berjalan
21
BAB II
SELAYANG PANDANG
Madura merupakan sebuah pulau yang terletak di timur laut pulau Jawa. Struktur
geografis pulau ini merupakan lanjutan dari pegunungan kapur yang menyambung hingga
ke Blora, Jawa Tengah. Pulau tersebut berada pada 7° di selatan khatulistiwa, di antara
112° dan 114° di bujur timur. Pulau ini memiliki panjang sekitar 160 km, lebar sekitar 40
km, dan luas keseluruhan sekitar 5.304 km2 18. Di sekitar pulau Madura juga terdapat
gugusan pulau yang terdiri dari sekitar tujuh pulau, yang terbesar adalah Kangean,
Sapudi, Poteran, Sapanjang, Raas, dan Mandangin. Gunung Tambuku merupakan puncak
18
Gerrit J. Knaap, Shallow Waters, Siling Tide, (Leiden: KITLV Press. 1996), hlm. 226-227.
19
Payne (1973: 29) dan Smith (1989a: 26) yang dikutip dalam Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan
Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002), hlm. 21.
22
Saat ini pulau Madura terbagi menjadi empat daerah administratif berbentuk
kabupaten yang menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur. Bangkalan ialah satu
kabupaten yang terletak di sisi paling barat pulau Madura, sehingga menjadi jembatan
penghubung antara pulau Jawa dan Madura. Terletak di koordinat 112° 40’ 60” – 113°
08’ 04” bujur timur dan 6° 31’ 59” – 7° 11’ 39” lintang selatan, yang berbatasan dengan
laut Jawa di sebelah utara, kabupaten Sampang di sebelah timur, selat Madura yang
mengelilingi wilayah barat dan selatan. Luas wilayah kabupaten ini adalah 1260,14 km2
dan secara administratif dibagi menjadi 18 kecamatan, 8 kelurahan, 273 desa, dan 1 pulau
Karang Jamuang20.
20
RPJMD Kabupaten Bangkalan Tahun 2013 - 2018, hlm. II-1.
23
Satu dari kecamatan yang menjadi wilayah administratif kabupaten Bangkalan,
ialah Kecamatan Modung (ejaan Madura: Moḍung). Secara administratif, kecamatan ini
koordinat 7° 12’ 35” LS dan 113° 02’ 00” BT. Kecamatan Modung berbatasan dengan
wilayah:
sebanyak 48.574 orang, dan kepadatan penduduk sebanyak 1.256 jiwa/km2. Tinggi
permukaan wilayah adalah 5 m di bawah permukaan laut. Jarak kecamatan Modung dari
pusat kabupaten Bangkalan adalah sekitar 54 km2. Seperti yang tertera pada tabel Statistik
21
Badan Pusat Statistik Daerah Kecamatan Modung 2015, hlm. 1-2.
22
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Modung dalam Angka 2019.
24
Penduduk Jiwa 48574
Kepadatan penduduk Jiwa/km2 1256
Sumber: BPS Kab. Bangkalan
Pangpajung, Patereman, Kolla, Paeng, Neroh, Serabi Timur, Serabi Barat, Patengteng,
25
Langpanggang, Suwaan, Modung, Brakas Dajah, Karanganyar, Manggan, Glisgis,
Tetangga) paling banyak, yaitu 25 RT. Berdasarkan data statistik tahun 2017-2019,
Patengteng merupakan desa yang lokasinya terletak sekitar 1 km dari pusat kecamatan
Modung, kabupaten Bangkalan, dengan koordinat 7° 12’ 35” LS dan 112° 02’ 00” BT,
dan memiliki luas 13,04 km2. Terdapat tujuh dusun di desa Patengteng, yaitu dusun
Pesisir, Mincai, Tlageh, Bulak, Balet, Kajuh, Sapeh, Krojeh. Adapun batas wilayah Desa
23
Siti Zainab, dkk., Ragam Batik Madura - Bhatèk Patèngtèng Moḍung, sebuah Tinjauan Historis dan
Kultural, (Bangkalan: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan. 2020), hlm. 6 – 7.
26
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kajuh Anak.
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Serabi Barat dan Desa Gigir.
berupa perbukitan dan daerah pesisir pantai. Ketinggian di desa ini pada sisi pesisir
selatan mencapai 3 meter di atas permukaan laut, sedangkan pada sisi perbukitan di sisi
27
utara memiliki ketinggian mencapai 15 meter24. Kondisi demikian mengantarkan musim
kemarau di desa Patengteng memakan waktu lebih lama daripada wilayah-wilayah lain
di Bangkalan utara, sehingga dapat dikatakan kawasan ini memiliki curah hujan yang
rendah. Kondisi ini menjadi faktor utama bagi persebaran jenis tanah yang ada di desa
Patengteng, yakni lahan yang agak sulit untuk ditanami komoditas pertanian, walaupun
di beberapa sisi juga terdapat hamparan tanah tegal dan persawahan. Kondisi ini menjadi
pandorong bagi masyarakat desa Patengteng untuk pergi merantau saat musim kemarau,
untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidup, setidaknya kurang lebih
Sejarah penamaan desa Patengteng dapat dikatakan masih sangat bias. Hidrochin
Nasional Budaya Madura V, bahwa nama Patengteng tercantum pada kronik Ling Wai
Tai-ta, yang konon ditulis oleh Chou Ku Fei tahun 1176. Menurutnya, pada kronik Cina
tersebut, Patengteng disebutkan dengan nama Pai Ting Ting. Ia menambahkan bahwa,
asal-usul nama Patengteng, sangat berkaitan dengan pendaratan tentara Mongol yang
peninggalan arkeologis bercorak Hindu, seperti adanya arca Hari-hara, Yoni, dan arca
Ganesha, yang seluruhnya ditemukan di dusun Mincai27. Keterangan ini didukung juga
24
Ibid., hlm. 7 – 8.
25
Aniyah, S.Sn., Pertunjukan Topeng Patengteng dalam Ritual Perkawinan Sumber Kabupaten Bangkalan
Madura, hlm. 31-33.
26
Prosiding Seminar Nasional Budaya Madura V: Membangun Pariwisata Madura Berbasis Budaya Lokal,
(Bangkalan: Universitas Trunojoyo Madura, 2019), hlm. 233 – 234.
27
Gunadi Kasnowihardjo, Asal – Usul dan Sejarah Orang Madura: Kajian Arkeologi – Sejarah,
Yogyakarta: Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2021), hlm. 84 – 85.
28
dengan data yang dimuat dalam sebuah arsip Belanda tahun 1923. Keterangan tersebut
berbunyi28:
28
Dr. R. D. M. Verbeek, Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie 1923:
Inventaris der Hindoe-oudheden, (Batavia: Albrecht & Co, M. Nijhoff s-Gravenhage. 1923), hlm. 137.
29
Gambar 2.7. Yoni di desa Patengteng, kecamatan Modung
Adanya temuan yoni dan arca di desa Patengteng ini bukan hanya menjawab garis
waktu sejarah klasik di kecamatan Modung, melainkan menjadi bagian pola sejarah klasik
di Madura Barat. Sayangnya kedua benda arkeologis ini tidak memiliki inskripsi angka
tahun, baik tertulis, maupun berupa candra sengkala, sehingga seolah menghadirkan
histori berselimut misteri. Pada peninggalan era klasik lainnya di Madura Barat, beberapa
di antaranya ditemukan angka tahun, baik berupa inskripsi tertulis, maupun candra
29
Gunadi Kasnowihardjo, op. cit, hlm. 83 – 88.
30
Tabel 2.2. Peninggalan Era Klasik Madura Barat
menunjukkan bahwa keberadaan wilayah Patengteng cukup penting di era klasik. Hal ini
dibuktikan pula dengan posisi peninggalan arkeologis di Madura Barat yang seluruhnya
berada di kawasan pesisir selatan pulau Madura, yang sekaligus menunjukkan bahwa
pesisir selatan. Kemudian peninggalan berupa arca-arca dan yoni di desa Patengteng ini,
disinyalir sebagai bagian dari peninggalan kompleks percandian, yang sangat tidak
31
menutup kemungkinan bahwa di kawasan ini dahulunya terdapat sebuah candi, yang
semakin menunjukkan bahwa lokasi ini sangat penting pada era klasik.
Pada masa-masa berikutnya, yakni pada era kerajaan-kerajaan Islam hingga era
kolonial Hindia Belanda, rupanya desa Patengteng menjadi bagian dari wilayah Blega.
Tentunya status dari wilayah administratif Blega turut berkembang seiring berjalannya
waktu. Misal saat ekspansi Sultan Agung ke Madura tahun 1624, disebutkan bahwa di
Madura Barat terdapat 5 kota, antara lain: (1) Madura, (2) Arosbaya, (3) Blega, (4)
Sampang dan (5) Pakacangan. Di Madura Timur terdapat 2 kota, yakni (1) Pamekasan
dan (2) Sumenep30. Masing-masing wilayah tersebut dipimpin oleh seorang Adipati.
Artinya 5 kota di Madura Barat ketika itu sebagai ibukota Provinsi, Madura Barat sebagai
Keterangan lebih jelas terdapat di buku Valentijn, yang menyebutkan bahwa saat
itu Madura memiliki 6 kota, yakni (1) Maduretna / Tonjhung, (2) Arosbaya, (3) Blega,
(4) Sampang, (5) Pamekasan, dan (6) Sumenep32. Masing-masing wilayah ini dipimpin
oleh para Tumenggung (setara bupati saat ini). Buku Valentijn dilengkapi peta, sehingga
sedikit menjawab soal batasan-batasan wilayah tersebut. Misal, wilayah Blega yang
terbentang dari utara Blega saat ini (Kecamatan Konang saat ini), hingga ke pesisir selatan
30
Dagh-Register Gehouden Int Casteel Batavia, 22 Augustus 1624.
31
Lihat: R. Rooslan Wongsokasoemo dan R.P. Moh. Soedin Notosoedjono, Riwajat Madoera, hlm. 7 – 8.
32
Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost Indies IV: Beschryving van Groot Djava, of te Java Major,
(Dordrecht & Amsterdam: Met Privilegie. 1726), hlm. 43.
33
Lihat: Gambar 2.8.
32
Gambar 2.8. Peta Madura Tahun 1726, Tampak Wilayah Blega yang Mencakup
Keterangan pada buku dan peta Valentijn ini menunjukkan bahwa saat era Mataram
dahulu kawasan ini memiliki jaringan pelabuhan, yang terhubung pula dengan muara
sungai Blega. Artinya kawasan tersebut merupakan jaringan pelabuhan dari kota Blega
33
Gambar 2.9. Peta Madura Tahun 1854, Terlihat Wilayah Bernama Petinting yang Kini
Saat era Hindia Belanda, terutama setelah monarkhi dibubarkan, Madura dibagi
kecamatan, baru kemudian desa. Pada peta tahun 1939, terlihat jelas pembagian wilayah
administratif kabupaten Bangkalan, misal district / kawedanan Blega, yang saat ini ada 4
kecamatan, yakni: Galis, Blega, Modung, dan Konang34. Hal ini menunjukkan bahwa
pada era kolonial, desa Patengteng yang berada di kecamatan Modung, berada di dalam
34
Lihat: Gambar 2.10.
34
Gambar 2.10. Peta Madura Tahun 1939, Tampak Kawasan Kecamatan Modung
tertentu, yakni dari sisi definisi, klasifikasi, dan sejarah. Aspek definisi menjawab
peninjauan bahasa, simbol dan makna terhadap keberadaan topeng, sebagai kesatuan utuh
dari pemaknaan masyarakat terhadap topeng. Aspek klasifikasi menjawab lebih rinci,
yakni penguraian terhadap aspek definisi yang dikhususkan dari beberapa sisi. Kemudian
aspek sejarah menjawab sepak terjang kesenian ini sejak awal muncul hingga
35
1. Definisi Topeng
definisi baik secara deskriptif, maupun secara simbol. Berikut ialah definsi topeng
Indonesia. Kosakata yang pertama ialah “topeng”, yang diartikan sebagai penutup muka,
baik berbahan dari kayu, kertas, dan bahan-bahan lainnya, yang berbentuk menyerupai
wajah manusia, hewan, dan lain-lain. Kosakata kedua adalah “topeng gas”, berupa topeng
khusus pemurni gas. Kosakata ketiga ialah “bertopeng”, sebagai kata kerja yang
bermakna memakai topeng. Kosakata selanjutnya ialah “menopengi”, juga berupa kata
kerja yang bermakna sebagai memberi topeng. Terakhir ialah kosakata “mempertopeng”,
35
kbbi.web.id. 2021. “Definisi Topeng”. KBBI. Tersedia pada https://kbbi.web.id/. Diakses pada 23
Desember 2021.
36
b. Definisi topeng dalam kosakata bahasa Madura dapat ditemukan pada kamus bahasa
Madura karya P. Penninga & Hendriks, terbitan tahun 1936. Berikut ialah definisi
dijelaskan bahwa topeng merupakan objek topeng secara fisik dalam bahasa Indonesia,
dan juga dapat diartikan sebagai orang bertopeng atau orang memakai topeng. Lalu
kosakata ini juga mengandung definisi topeng sebagai pertunjukan panggung, dan juga
pekerjaan pahatan topeng. Kemudian juga diberikan contoh dari karakter topeng, yakni
buta / bhuta alias karakter raksasa dalam topeng, karena topeng dalam kosakata bahasa
Madura juga erat kaitannya dengan tarian topeng, atau seseorang yang menarikan tarian
topeng.
c. Definisi topeng menurut Aniyah, S.Sn., menyebutkan definsi topeng secara simbol dan
36
P. Penninga & H. Hendriks, Practisch Madürees-Nederlands Woordenboek: 2de druk, (Semarang: G. C.
T. van Dorp & Co. N. V. 1936), hlm. 351.
37
Aniyah, S.Sn., Pertunjukan Topeng Patengteng dalam Ritual Perkawinan Sumber Kabupaten Bangkalan
Madura, hlm. 46.
37
Aniyah menjelaskan definisi topeng secara simbol dan makna. Menurutnya, topeng
merupakan objek penutup wajah yang memiliki karakter masing-masing, dengan kata lain
definisi topeng sebagai bentuk kesenian. Lalu Aniyah melanjutkan bahwa masing-masing
potongan atau fisik topeng memiliki ciri yang berbeda, tentunya hal ini berkaitan dengan
ungkapan tertentu pada sifat atau karakteristik dari topeng. Hal ini erat kaitannya dengan
ketokohan dalam masing-masing cerita kesenian topeng, yang memang setiap bentuk dan
warna topeng selalu memiliki ciri khas berbeda dengan karakter tokoh lainnya.
d. Definisi topeng menurut B. Soelarto, yang menyebutkan definisi menurut sejarah dan
kemunculan kesenian ini di pulau Madura bermula dari abad XIV, yakni di masa
bahwa Prabu Menak Senaya memerintahkan pembuatan kesenian topeng, yang dalam
bahasa Madura rupanya disebut sebagai topong. Ada pun, tokoh karakter yang dibuat di
Berbagai penjabaran tentang definisi topeng dari beberapa literatur di atas memiliki
garis besar definsi serupa. Pada dasarnya, topeng dimaknai sebagai objek penutup wajah
38
B. Soelarto, Topeng Madura (Topong), (Jakarta: Ditjen Kebudayaan Departemen P & K, 1977), hlm. 5.
38
dengan fungsi beragam. Lalu definisi semakin dikerucutkan dalam sudut pandang seni,
yakni topeng sebagai bagian dari bentuk kesenian, mengandung karakter, simbol, dan
makna, dari masing-masing penggambaran fisik, baik bentuk, maupun warna. Kemudian
diperjelas lagi secara khusus tentang topeng Madura, atau kesenian topeng yang tumbuh
dan berkembang di pulau Madura. Kesenian ini memiliki sejarah yang cukup panjang,
jika menilik Babad Madura maka disebutkan kesenian ini telah hadir sejak masa
2. Klasifikasi Topeng
kesenian topeng, baik secara umum, maupun yang berkembang secara khusus di Madura.
Upaya klasifikasi topeng bukanlah hal yang mudah, mengingat banyak sekali aspek yang
perlu diperhatikan, selain itu juga banyak kemiripan di antara satu topeng dengan lainnya,
sehingga upaya klasifikasi ini memang harus jelas indikatornya. Oleh karenanya,
digunakan literatur yang mendukung untuk melihat lebih jauh soal spesifikasi dari
masing-masing klasifikasi kesenian ini. Satu dari sekian literatur yang menjelaskannya
Madura. Menurut Helene Bouvier, kesenian topeng Madura cukup beragam, dan dapat
ditinjau dari sudut tampilan topeng, kesempatan penyelenggaraannya, dan tradisi lisan
abad, terkait tradisi pedesaan dan tradisi keraton. Penelusuran soal garis historis tradisi
kesenian topeng pedesaan terkesan lebih sulit, dan bahkan “tertelan oleh waktu”,
39
Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, Terj. Rahayu S.
Hidayat & Jean Couteau (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. 115.
39
sedangkan tradisi kesenian topeng di kalangan istana / keraton lebih mudah ditinjau,
tertentu. Berikut ialah klasifikasi kesenian topeng di Madura, menurut Helene Bouvier41:
40
Brandon (1967: 80-85) yang dikutip dalam Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam
Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002), hlm. 21.
41
Hélène Bouvier, op. cit., hlm. 124 - 132.
40
Topeng yang
mengajarkan
Topeng lawak /
topeng lelucon
Topeng ritual
Sumber: Bouvier, 2002: 124 – 132
pengembang. Terdapat dua jenis topeng dalam klasifikasi ini, yakni topeng dalam tradisi
keraton, dan topeng dalam tradisi pedesaan. Klasifikasi ini cukup sulit ditunjukkan di
kedua sisi, karena di sisi tradisi pedesaan catatan dan bukti fisik perjalanan topeng tidak
selengkap di sisi tradisi keraton42. Perbedaan mencolok dalam dua jenis kesenian topeng
ini ialah dari kebebasan berekspresi. Kesenian topeng tradisi pedesaan cenderung
memiliki ekspresi yang lebih bebas, lugas, dan apa adanya, sedangkan kesenian topeng
tradisi keraton bersifat lebih tertata, terkesan kaku, dan penuh pola yang rumit43. Contoh
mendasar dari dua jenis kesenian berdasarkan klasifikasi indikator ini ialah, topeng
Patèngtèng Moḍung untuk kesenian topeng tradisi pedesaan, dan topeng dhâlâng untuk
topeng dalam klasifikasi ini, yakni topeng (topeng besar / topeng kuno), dan topeng kecil
(saronèn / salabâdhân)45. Ciri utama pembeda antara dua jenis topeng ini ialah
42
Brandon (1967: 80-85) yang dikutip dalam Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam
Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002), hlm. 124.
43
Achmad Fatoni, wawancara, (Bangkalan - Surabaya: Via Google Meet. 2021), 19 Desember 2021.
44
Mulanya topeng dalang merupakan kesenian rakyat atau kalangan pedesaan, namun seiring
perkembangan waktu, kesenian ini diadopsi dan diadaptasikan dengan kebutuhan keraton, sehingga lahirlah
kesenian topeng dalang ala keraton yang lebih kompleks. Lihat: B. Soelarto, op. cit., hlm. 9 – 10.
45
Pigeaud (1938: 149-152, 412) & Brandts Buys-van Zijp (1928: 4-5, 194-198) yang dikutip dalam Hélène
Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2002), hlm. 124.
41
instrumen pengiring, topeng atau topeng besar (topeng kuno) cenderung diiringi orkestra
kompleks, yakni seperangkat gamelan, sedangkan topeng kecil umumnya hanya diiringi
oleh instrumen musik yang lebih sederhana, bisa berupa sebagian gamelan, penggunaan
alat musik saronèn, dan nyanyian yang sederhana. Begitu pula dari sisi skenario
pertunjukan, topeng besar memiliki skenario yang lebih kompleks, sedangkan topeng
kecil memiliki skenario yang sederhana. Contoh dari masing-masing jenis kesenian
topeng ini ialah, tarian klono topeng Dasok, untuk topeng kecil, dan lakon Mahabharata
Kemudian klasifikasi yang ketiga ialah berdasarkan lakon. Terdapat tiga jenis lakon
yang populer di dalam kesenian topeng Madura, yakni lakon Panji, Mahabharata, dan
Ramayana46. Klasifikasi ini cukup jelas dibedakan antar satu jenis dengan jenis lainnya,
mengingat lakon adalah hal penting di dalam jalannya suatu cerita pertunjukan dalam
kesenian topeng. Lakon Mahabharata dan Ramayana merupakan adopsi dari cerita-cerita
di India, yang telah berkembang sedemikian rupa di Nusantara, sedangkan lakon Panji
merupakan adopsi dari cerita Panji, yang merupakan cerita asli Nusantara, yang diduga
pertunjukan. Pada klasifikasi ini, terdapat dua jenis kesenian topeng, yakni topeng
(pertunjukan topeng), dan tarian lepas47. Pertunjukan topeng merupakan kesenian dengan
skenario yang kompleks, tertata, dan sarat dengan pola, sedangkan tarian lepas cenderung
berupa tarian sederhana namun umumnya dianggap memiliki nilai sakral tinggi. Contoh
46
Soelarto, 1977: 10 – 18, 94 yang dikutip dalam Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan
dalam Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002), hlm. 125.
47
Ibid., hlm. 130.
42
dari kedua kesenian topeng berdasarkan klasifikasi ini ialah tarian Gunungsari untuk
Klasifikasi berdasarkan indikator yang terakhir ialah berdasarkan bentuk dan fungsi
pertunjukan. Klasifikasi ini terbilang paling banyak, yakni terdapat sepuluh jenis topeng,
antara lain (1) topeng arak-arakan, (2) topeng tarian, (3) topeng pertunjukan teater, (4)
topeng yang berbicara, (5) topeng bungkam, (6) topeng yang menyeramkan, (7) topeng
yang memesonakan, (8) topeng yang mengajarkan, (9) topeng lelucon / lawak, dan (10)
topeng ritual48. Sejatinya bentuk dari kesenian topeng memang cenderung pada
pertunjukan, ntah berupa pertunjukan teatrikal, ataupun berupa tarian. Kemudian fungsi
dasar dari kesenian topeng ialah untuk hiburan, namun seiring dengan kebutuhan,
ditambah dengan adanya nilai sakral, pertimbangan adat, dan ekspresi dari masyarakat,
maka fungsi kesenian topeng dapat berkembang menjadi lebih kompleks, misal sebagai
3. Sejarah Topeng
dengan Jawa, walaupun kepastian soal angka tahun awal munculnya kesenian topeng di
Madura masih belum dapat dipastikan. Perkembangannya hingga sedemikian rupa di era
kerajaan Mataram Islam, hingga era kolonial, sedikit terdapat gambaran pasti melalui
referensi-referensi yang ada. Tentunya, juga terdapat banyak faktor yang menghadirkan
B. Soelarto memberikan ulasan detail tentang asal mula kemunculan seni topeng di
Madura. Soelarto menyebutkan bahwa pada abad XIII, Madura menjadi bagian dari
48
Hélène Bouvier, op. cit., hlm. 132.
49
Achmad Fatoni, loc. cit.
43
budaya di pulau Madura. Saat itu, telah berkembang seni pahat, sastra, dan musik Madura,
dan konon juga telah memiliki pustaka sastra, baik Rama, Arjuna Sasrabahu, dan Arjuna
Wiwaha50. Keberadaan seni musik di Madura era Hindu juga dibenarkan oleh Kunst51.
Namun, terkait keberadaan topeng masih belum ada keterangan. Begitu pula di abad XIV,
ketika Madura menjadi vassal Majapahit, juga memengaruhi perkembangan kesenian dan
budaya Madura. Pada era tersebut, para raja Majapahit sering mementaskan tari topeng
sebagai ritual keagamaan, hal ini didukung dengan keterangan pada Negarakretagama
tembang ke-91, bait ke-4, dan Pararaton, namun belum ada keterangan tentang
topeng di Madura disebutkan telah ada sejak masa Prabu Menak Senaya dari Kerajaan
namun tanpa keterangan soal fungsi, dan sifat pertunjukan. Soelarto juga masih
meragukan tentang kebenaran topeng Madura telah hadir sejak abad XIV, mengingat
B. Soelarto juga menambahkan, konon antara abad XV - XVI topeng dalang mulai
dikenal di Madura sebagai pertunjukan rakyat berbentuk teater topeng, yang identik
dengan kata topeng dalang di Jawa. Oleh karenanya dimungkinkan kehadiran kesenian
ini di Madura, tak lepas dari perananan para ulama pengikut Sunan Kalijaga bersamaan
50
B. Soelarto, op. cit., hlm. 7.
51
Lihat: Mr. J. Kunst, Hindoe-Javaansche Muziek-Instrumenten Speciaal die van Oost Java, (Bandoeng:
Druk O. Kolff & Co-. Weltevreden, 1927).
52
B. Soelarto, op. cit., hlm. 7 – 8.
53
Ibid., hlm. 8.
44
dengan para raja Madura di masa itu. Lalu di abad XVIII topeng dalang yang awalnya
kesenian rakyat, diadopsi menjadi kesenian istana para raja Jawa dan Madura54.
Era Perkembangan
Topeng diperindah dengan ukiran, detail topeng
seperti rambut, kumis, cambang dan ornamen diukir
Era Pakubuwana II
menyeluruh. Berpengaruh di Madura dengan titik
(memerintah: 1726 – 1742,
berat ukiran di bagian ikalan rambut dan ornamen
1745 - 1749)
penghias sebagian rambut di atas dahi melintang
sampai bagian atas kuping.
Pengayaan perbendaharaan topeng, pembuatan
topeng baru, menyesuaikan wajah tokoh wayang
kulit. Misal: topeng Panji, tokoh Arjuna, topeng
Klana Sepuh, topeng Klana Timur, topeng
Era Pakubuwana III Gunungsari, topeng Dewi Candrakirana, dan topeng
(memerintah: 1749 – 1788) Kartala. Pengayaan perbendaharaan topeng
berdasarkan karakter wayang kulit ini juga diikuti di
Madura, baik kalangan istana maupun rakyat. Ada
pun lakon yang dimainkan ialah Mahabharata,
Ramayana, dan Panji.
Dimungkinkan, Penambahan tokoh punakawan, yang awalnya hanya
era Pakubuwana VII dua (Semar dan Bagong), ditambah dengan tokoh
(memerintah: 1830 – 1858) Togog (Drodog dalam bahasa Madura).
Pernikahan Pakubuwana VII dengan puteri dari
Sultan Cakraadiningrat II, Bangkalan. Pakubuwana
VII menghadiahkan kepada sang mertua,
seperangkat topeng dengan lakon Ramayana dan
Mahabarata, serta busana dan atribut, serta
Era Pakubuwana VII
seperangkat gamelan slendro. Peristiwa ini cukup
(memerintah: 1830 – 1858)
berpengaruh terhadap kesenian topeng di Madura,
namun ciri khas topeng Madura tetap tidak berubah,
seperti: motif bunga melati untuk ornamen hiasan
kepala, teknik ukir kerawangan, perbedaan warna cat
pada wajah topeng dan ornamennya.
54
Ibid., hlm. 8 – 10.
55
Ibid., hlm. 10 – 16.
45
Pasca Pakubuwana VII Perhatian para seniman topeng Madura, beralih pada
(setelah tahun 1858) Mangkunegaran.
Pengembangan topeng dalang, tarian lepas maupun
Era Mangkunegara IV
penulisan lakon topeng dalang, dengan fragmen
(memerintah: 1853 – 1881)
cenderung romantisme serta komedi. Hal ini juga
dan
memengaruhi corak pertunjukan topeng Madura.
era Mangkunegara V
Misal pada pembuatan tokoh-tokoh topeng baru
(memerintah: 1881 – 1896)
untuk lakon Damarwulan.
Fase sirna kesenian topeng ala keraton Madura, baik
pergelaran maupun pengukiran. Kesenian topeng
berkembang di pedesaan, para pengukir terus
produktif, meskipun kualitasnya di bawah pengukir
Dasawarsa ketiga abad XX
istana. Para pengukir pedesaan tetap memertahankan
bentuk topeng gaya Surakarta, serta gaya Jawa
Timur, serta ditambah variasi ornamen hiasan kepala
ala Belanda.
Sumber: Soelarto
kesenian topeng di Madura mulai jelas sejak era Mataram hingga kolonial. Kronologi ini
dapat dikategorikan menjadi tiga era penting, yakni era berkiblat ke Surakarta (era
IV dan Mangkunegara V), dan kemudian yang terakhir era topeng di luar lingkup istana
(abad XX). Saat berkiblat ke Surakarta, terdapat ciri khas, yakni adanya (1) pembaharuan
ukiran topeng, (2) pengayaan perbendaharaan topeng (misal mulai berlakunya lakon
Mangkunegaran, ciri khas utama, (1) pengembangan topeng dalang, dan (2) pemunculan
lakon Damarwulan. Lalu yang terakhir, ketika kesenian topeng semakin eksis di luar
lingkup istana, terdapat ciri, (1) sirnanya kesenian topeng di keraton, (2) bentuk topeng
dipertahankan dengan gaya Surakarta dan Jawa Timur, serta (3) terdapat penambahan
46
R.P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat membenarkan adanya pemberian
seperangkat topeng beserta seluruh atribut dari Pakubuwana VII kepada Sultan
Cakraadiningrat II. Menurutnya, berdasarkan ceritera tutur, disebutkan bahwa putera ke-
kesenian topeng di istana Bangkalan. Lakon yang dibawakan adalah Mahabharata, dan
Gambar 2.11. Sekelompok Penari Orkes Saronen di Pamekasan, Tampak Ada Penari
Terkait perkembangan kesenian topeng di Madura abad XX, Dr. Th. Pigeaud,
memberikan keterangan yang cukup rinci, khususnya tentang tokoh dan karakter dalam
kesenian tersebut. Tokoh serta karakter dalam kesenian topeng Madura disebutkan cukup
rinci dalam buku karya Pigeaud tahun 1938, berjudul “Javaanse Volksvertoningen
56
R. P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat, dalam Diskusi tentang Kesenian Topeng Patèngtèng
Moḍung, Bhângkalan, (Bangkalan: Trèsna Art. 2021), 29 Desember 2021.
47
Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk”. Tokoh dan karakter yang dimaksud
ialah57:
- Sentyaki - Anggada
57
Lihat: Dr. Th. Pigeaud, Javaanse Volksvertoningen Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk,
(Jogjakarta: Martinus Nijhoff Uitgever ‘s-Gravenhage. 1938), hlm. 150 – 151.
48
- Pandu Pragola - Layangseta
- Paranyai
- Pancadnyana
topeng di Madura, serta serupa dengan keterangan B. Soelarto. Terlihat jelas bahwa
tokoh-tokoh dalam keterangan Pigeaud ini mayoritas merupakan karakter dari lakon
Mahabharata dan Ramayana. Kemudian juga terdapat beberapa tokoh di luar kedua lakon
fenomenal tersebut, beberapa di antaranya mengadopsi dari lakon cerita lain, dan
Madura.
kemerdekaan Indonesia. Misal ketika era RIS (Republik Indonesia Serikat), saat Madura
menjadi negara bagian dari RIS, terdapat pertunjukan tari topeng Madura yang dihelat di
Bangkalan tahun 1948. Hal ini diketahui melalui sebuah foto yang didapat dari Nationaal
Archief negeri Belanda, menunjukkan bahwa sekelompok pemuda sedang menonton dua
58
Lihat: Gambar 2.12.
49
Gambar 2.12. Tari Topeng Madura yang Dipertunjukkan Tahun 1948
dikenal dengan istilah topeng dhâlâng Salè Kertè, sesuai dengan nama dalang kondang
asal Bangkalan ketika itu, yakni Pak Kerte, dan putera beliau yang bernama Pak Sale
Kerte. Kesenian ini cukup eksis di pertengahan abad XX, berkembang beriringan dengan
Kertè, sehingga ketika itu nampak jelas bahwa kesenian ini cukup populer dan diminati
masyarakat luas, bahkan juga berkembang ke berbagai wilayah Madura dan sekitarnya59.
59
Mas Sudarsono, wawancara, (Bangkalan: Sanggar Tarara. 2021), 9 April 2021.
50
Gambar 2.13. Tari Topeng di Bangkalan
51
Saat ini sebagian besar kesenian topeng Madura dapat terbilang punah. Sangat
disayangkan, mengingat sebelumnya kesenian ini cukup eksis dan populer di berbagai
kalangan masyarakat Madura, bahkan cukup tersohor hingga ke luar Madura. Beberapa
di antaranya memang masih berkembang dengan baik, misal yang masih eksis di beberapa
wilayah, antara lain di desa Patèngtèng, kecamatan Moḍung, kabupaten Bangkalan, serta
52
BAB III
Sejarah awal mula kemunculan topeng Patèngtèng Moḍung masih belum dapat
saat ini, versi sejarah tutur masih lebih berkembang menceritakannya secara gamblang.
Oleh karena belum ditemukan referensi primer terkait, maka untuk sementara waktu versi
sejarah tutur dapat dijadikan acuan untuk melihat tinjauan historis awal kemunculan
objek budaya ini. Penggunaan versi sejarah tutur ini hanya bersifat sebagai rujukan awal,
bukan sebagai simpulan yang memunculkan otentisitas data historis. Kendati demikian,
rujukan awal ini dapat dijadikan landasan awal untuk meninjau objek ini.
kesenian topeng Patèngtèng Moḍung diperkirakan sudah berlangsung sejak sekitar dua
ratus tahun silam, yakni antara abad XVIII atau XIX. Menurutnya, Pangeran Aryo
Kusumo dari Sampang, ialah pembawa kesenian topeng Patèngtèng Moḍung. Aniyah
menambahkan bahwa hal ini erat kaitannya dengan penyebaran agama Islam di desa
Patengteng. Oleh karena masyarakat setempat masih sangat memegang erat tradisi, maka
pangeran tersebut berupaya menyiarkan Islam dengan medium tradisi kesenian topeng60.
juga didapatkan dari cerita tutur turun-temurun dari para pelaku seni. Versi ini tidak
menceritakan secara kronologis dan tidak ada penyebutan kisaran angka tahun dengan
rinci, namun terdapat petunjuk melalui ceritera genealogi generasi ke generasi yang dapat
60
Aniyah, S.Sn., Pertunjukan Topeng Patengteng dalam Ritual Perkawinan Sumber Kabupaten Bangkalan
Madura, hlm. 83.
53
ditelusuri lebih lanjut. Menurut pelaku sekaligus pengurus topeng, yakni Hosen,
mengatakan bahwa kesenian topeng Patèngtèng Moḍung telah hadir sekitar enam dan
tujuh generasi di masa lampau. Selain itu, menurutnya karya budaya ini berusia lebih tua
daripada kisah tokoh yang abhâbhâd tana (membabat tanah), yang terhitung masih empat
generasi61.
Moḍung perlu ditarik prakiraan garis rentang waktu, untuk mengetahui prakiraan rentang
waktu awal kemunculan kesenian ini. Upaya ini dapat dilakukan dengan metode studi
perbandingan, antara garis rentang waktu silsilah lain, dengan grad yang sama. Misal,
keterangan grad silsilah pelaku seni ini dikomparasikan dengan garis rentang waktu pada
silsilah penguasa monarkhi Madura Barat hingga generasi keenam dan ketujuh. Satu dari
Tabel 3.1. Garis Rentang Waktu Silsilah Penguasa Monarkhi Madura Barat
Tahun Tahun
No Penguasa Generasi
Bertahta Wafat
1 Pangeran Cakraningrat I 1624 – 1648 1648 -
2 Panembahan Cakraningrat II 1648 – 1707 1707 Generasi I
3 Pangeran Cakraningrat III 1707 – 1718 1718 Generasi II
4 Pangeran Cakraningrat IV 1718 – 1745 1753 Generasi II
5 Panembahan Cakraadiningrat V 1745 – 1770 1770 Generasi III
6 Panembahan Cakraadiningrat VI 1770 – 1780 1780 Generasi V
7 Sultan Cakraadiningrat I 1780 – 1815 1815 Generasi IV
8 Sultan Cakraadiningrat II 1815 – 1847 1847 Generasi V
9 Panembahan Cakraadiningrat VII 1847 – 1862 1862 Generasi VI
10 Panembahan Cakraadiningrat VIII 1862 – 1882 1882 Generasi VII
Sumber: Tjakraningrat, 1936: 79
61
Hosen, dalam Silaturahim dan Penelusuran tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan,
(Bangkalan: Patèngtèng. 2021), 7 Desember 2021.
62
Lihat: Stamboom van het Geslacht Tjakra/Adi/Ningrat dalam R.A.A. Tjakraningrat, Madoera en Zijn
Vorstenhuis, (Surabaya: Cliché’s en Druk: G. Kolff. & Co. 1936), hlm. 79.
54
Gambar 3.1. Silsilah Penguasa Monarkhi Madura Barat
55
Tabel 3.2. Selisih Garis Rentang Waktu Silsilah Penguasa Monarkhi Madura Barat
fakta bahwa jarak antara generasi terakhir, yakni Panembahan Cakraadiningrat VIII,
menuju generasi keenam di atasnya, yakni Panembahan Cakraningrat II, dan menuju
generasi ketujuh di atasnya, yakni Pangeran Cakraningrat I maka diperoleh tiga angka
tahun wafat, antara lain (1) tahun 1648 saat Pangeran Cakraningrat I wafat, (2) tahun 1707
saat Panembahan Cakraningrat II wafat, dan (3) tahun 1882 saat Panembahan
Cakraadiningrat VIII wafat. Berdasarkan tiga angka tahun di atas, diperoleh kalkulasi
rentang waktu antara penguasa generasi terakhir menuju generasi keenam di atasnya
yakni 175 tahun, dan menuju generasi ketujuh di atasnya yakni 234 tahun.
56
Studi perbandingan garis rentang waktu silsilah ini menjawab bahwa prakiraan
generasi terakhir menuju generasi keenam di atasnya ialah hampir 200 tahun, sedangkan
menuju generasi ketujuh di atasnya ialah lebih dari 200 tahun. Tentunya kisaran angka
tahun ini tidak baku, karena tidak ada silsilah yang memiliki rentang waktu sama persis,
namun perhitungan ini dapat dijadikan sebagai pijakan awal untuk melihat asal-muasal
kemunculan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, yang telah diwariskan sekitar enam
topeng Patèngtèng Moḍung, terdapat data rentang waktu yang serupa. Menurut Aniyah
kesenian ini diperkirakan muncul sekitar 200 tahun lalu, dibawakan oleh Pangeran Aryo
kesenian ini telah ada sejak generasi keenam dan ketujuh sebelumnya, yang bila dikaji
melalui studi perbandingan prakiraan rentang waktu grad silsilah, didapat rentang waktu
sekitar 200 tahun juga. Oleh karenanya, kedua data serupa ini dapat dijadikan pijakan
awal untuk menentukan titik asal-muasal kemunculan kesenian ini, yakni pada abad
Kemudian bila ditinjau dari sisi fisik topeng Patèngtèng Moḍung, dapat dilihat
bahwasannya fisik topeng penuh dengan ukiran wajah yang cukup detail, baik dari sisi
rambut, hiasan di atas rambut, kumis, dan lain-lain. Dari rupa topeng, dapat ditelusuri
kemungkinan periode usia topeng. Seperti yang dibahas pada bab II, pada pertengahan
abad XVIII terdapat perkembangan kesenian topeng dari sisi rupa, yakni fisik topeng
yang diperindah dengan seni ukir dengan lebih detail, berbeda dari era sebelumnya yang
cenderung kurang menonjolkan sisi ukiran. Hal ini merupakan inisiatif dari Susuhunan
57
Pakubuwana II dari Kartasura (1726 – 1742), kemudian Surakarta (1745 – 1749), yang
Perkembangan signifikan juga terjadi di abad XIX, yakni ketika era Pakubuwana
VII bertahta di Surakarta, dan menikah dengan puteri Sultan Cakraadiningrat II. Pada
topeng, kostum, atribut, dan gamelan, pada keraton Bangkalan. Kemudian juga terdapat
penambahan karakter punakawan dalam kesenian topeng di Jawa, yang awalnya hanya
berupa Semar dan Bagong, berkembang lebih luas lagi. Rupanya hal ini juga berpengaruh
Berdasarkan analisis dari bentuk fisik, dan tokoh karakter punakawan dari topeng
Patèngtèng Moḍung, dapat ditarik rentang waktu yang lebih jelas. Topeng Patèngtèng
Moḍung memiliki struktur ukiran yang cukup detail, serupa dengan topeng-topeng Jawa
yang berkembang di era Pakubuwana II dan setelahnya, artinya pada kisaran tahun 1726
– 1749. Kemudian soal karakter punakawan pada topeng Patèngtèng Moḍung, yakni
hanya ada dua tokoh, hal ini serupa dengan yang terjadi pada kesenian topeng di pulau
Jawa sebelum era Pakubuwana VII bertahta, artinya pada kisaran tahun 1830 – 1858.
Oleh karenanya, diduga kuat awal mula munculnya kesenian topeng Patèngtèng Moḍung,
setidak-tidaknya di masa sezaman dengan Pakubuwana II, atau setelahnya, dan berada di
masa sebelum Pakubuwana VII, yang artinya ada pada kisaran pertengahan abad XVIII
topeng Patèngtèng Moḍung, bersamaan dengan keterangan Aniyah, dan analisis dari sisi
rupa topeng, maka telah memberikan jawaban sementara bahwa awal mula penciptaan
63
Lihat: Bab II.
64
Ibid.
58
kesenian topeng Patèngtèng Moḍung berasal sejak abad pertengahan XVIII hingga awal
abad XIX, namun belum diketahui angka tahun yang jelas secara pasti. Jika menilik pada
sejarah Madura Barat, maka pada kisaran tahun pertengahan abad XVIII hingga awal
abad XIX, terdapat empat orang raja yang bertahta, yakni Panembahan Cakraadiningrat
I (1780 – 1815), dan Sultan Cakraadiningrat II (1815 – 1847)65. Maka akan terbesit
diciptakan?
abad XVIII hingga awal abad XIX, Panembahan Cakraadiningrat V adalah penguasa
yang paling memerhatikan perkembangan seni dan budaya. Tokoh ini dikenal sering
memunculkan berbagai kreasi baru yang wujudnya banyak dapat dinikmati hingga kini,
misal berupa tarian, adat istiadat, dan berbagai karya lainnya66. Oleh karenanya diduga
kuat bahwa penciptaan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung ini ada pada masa
dikenal sebagai masa kejayaan kesenian di Madura Barat. Beliau dikenal sangat
mencintai seni dan budaya. Penciptaan tongkos pada era beliau, juga penciptaan tarian
keraton, konon juga banyak di era beliau. Lalu banyak kesenian lain yg ternyata jika
ditelusuri hadir di era beliau67. Hal yang unik ialah proses penciptaan kesenian ini tidak
65
R.A.A. Tjakraningrat, loc. cit.
66
R.P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat, wawancara, (Bangkalan: Pangeranan. 2020), 13 November
2020.
67
Muhammad Rizki Taufan, S.Pd., “Tinjauan Historis dan Kultural Oḍheng Tongkosân Bhângkalan dan
Perkembangannya Hingga Kini”, Kajian Ilmiah, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan
(2021), hlm. 41.
59
hanya di lingkungan keraton, melainkan juga berkembang ke lapisan masyarakat
contoh kesenian dan karya budaya Madura Barat yang lahir pada abad XVIII, yang
berikut68:
Tabel 3.3. Daftar Kesenian dan Karya Budaya Madura Barat yang Lahir di Abad XVIII
Nama Kesenian
Prakiraan Rentang Waktu
dan Karya Keterangan
Kemunculan
Budaya
Era Pemerintahan
Oḍheng Tongkosân
Panembahan Cakraadiningrat V -
Bhângkalan
(1745 – 1770)
Era Pemerintahan
Disimpan di wihara
Wayang Kulit Panembahan Cakraadiningrat V
Pamekasan
(1745 – 1770)
Era Pemerintahan
Tarian Keraton Panembahan Cakraadiningrat V -
(1745 – 1770)
Era Pemerintahan
Tari Sekar Madhurâ Panembahan Cakraadiningrat V -
(1745 – 1770)
Diduga sezaman dengan
Era Pemerintahan
wayang kulit yang
Tari Topeng Panembahan Cakraadiningrat V
tersimpan di wihara
(1745 – 1770)
Pamekasan
Era Pemerintahan Berdasarkan perhitungan
Hong-Bahhong Panembahan Cakraadiningrat V rentang waktu generasi (7
(1745 – 1770) generasi)
Era Pemerintahan Berdasarkan perhitungan
Topeng Patèngtèng
Panembahan Cakraadiningrat V rentang waktu generasi (7
Moḍung
(1745 – 1770) generasi)
Sumber: Olahan penulis
68
Lihat: Tabel 3.3.
60
Misal seperangkat koleksi wayang kulit tertua dan terlengkap di Pamekasan, yang
menurut pengakuan pemilik wihara, adalah wayang dari Bangkalan. Pada wayang kulit
tersebut ada angka tahun Jawa, yang bila dikonversikan ke masehi ada pada masa
Gheggher, Hong-Bahhong. Memang klaim masyarakat kesenian ini hadir sejak era
Hindu, namun pengakuan dari para pelaku sendiri menyebutkan bahwa mereka adalah
generasi ke-7 dari pencipta awal, yang bila dikalkulasi berdasar studi perbandingan
rentang waktu silsilah, 7 generasi jatuh pada rentang waktu di atas 200 tahun70. Kemudian
kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, yang telah sampai pada generasi ke-6 dan ke-7
dari pencipta awal yang bila dikalkulasi juga jatuh sekitar lebih dari 200 tahun.
yang ternyata usianya juga sezaman. Selain pola kreativitas dan inovasi, tentu ada kondisi
ketika itu. Hal ini berkaitan dengan kondisi Madura yang sudah tidak lagi berpanji-panji
Madura Barat.
Kondisinya serupa dengan perjanjian Giyanti & Salatiga. Ketika Yogyakarta resmi
menjadi bagian terpisah dengan Surakarta, seketika itu juga Keraton Yogyakarta
membuat blangkon, batik, carakan, pakaian, tarian-tarian khas Yogyakarta, dan lain-lain.
69
Mas Sudarsono, wawancara, (Bangkalan: Sanggar Tarara. 2021), 9 April 2021.
70
Notulen Silaturahim dan Penelusuran tentang Hong-bahhong pada tanggal 6 April 2021.
61
Ada pemunculan identitas sekaligus pemunculan ciri khas Yogyakarta, agar secara
simbol juga berdiri sendiri, tidak lagi bernaung pada Surakarta. Proses penciptaan tongkos
dan kesenian-kesenian Madura Barat pertengahan tahun 1700-an ini juga serupa. Ada
pemunculan identitas, agar memiliki ciri khas berbeda dengan wilayah lainnya.
awal penciptaannya, hingga menjelang abad XX, dapat dikatakan masih berselimut
misteri, karena hampir tidak ada data yang menjelaskannya secara gamblang. Pada sub
bab sebelumnya telah dibahas tentang awal mula kemunculan kesenian ini, rupanya
sedikit ada titik terang. Namun bagaimana kelanjutan eksistensi kesenian ini, sejak abad
XVIII hingga abad XIX? Sungguh belum ditemukan data, sehingga sangat kesulitan
mulai sedikit jelas pada abad XX, mengingat masih terdapat saksi sejarah dari perjalanan
kesenian ini. Remma, seorang sesepuh desa Patèngtèng yang juga sekaligus merupakan
pengurus topeng khas ini, merupakan saksi sejarah perjalanan kesenian ini di abad XX.
Ia dilahirkan pada tahun 1935, dan sejak kecil telah bergelut dengan kesenian ini, bahkan
71
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. lampiran.
62
Gambar 3.2. Remma alias Mbok Misro, Sesepuh, Saksi Sejarah sekaligus Pengurus
Remma menjelaskan bahwa ketika ia kecil, ia sempat melihat kostum tari topeng
Patèngtèng Moḍung ala pewayangan, lengkap dengan atribut. Namun ketika itu, kostum
tersebut sudah tidak digunakan karena kondisinya sudah rusak. Remma pun tidak pernah
melihat pementasan tari topeng Patèngtèng Moḍung dengan kostum tersebut, melainkan
sudah memakai kostum seadanya72. Kendati demikian, dengan pernah adanya kostum ala
pewayangan, maka kesenian ini dahulunya pernah dipentaskan seperti tari topeng Madura
Masa kecil Remma ada pada kisaran tahun 1935 – 1950, dan ia sudah tidak melihat
Diperkirakan kostum tersebut terakhir digunakan pada awal abad XX (1900-an, angka
72
Keterangan Remma yang disampaikan oleh Aniyah dalam sesi wawancara. Aniyah, wawancara,
(Bangkalan: Desa Patengteng. 2021), 7 Desember 2021.
63
tahun tidak dapat dipastikan), atau bahkan sebelumnya. Penggunaan kostum ini tentunya
menghadirkan nuansa pementasan yang berbeda dengan saat ini. Diduga kuat pementasan
ketika masih memakai kostum ala pewayangan tersebut, maka tarian yang disajikan lebih
Kondisi serupa juga dijelaskan oleh Soelarto, yakni perkembangan kesenian topeng
Madura secara umum pada abad XX. Menurutnya, abad XX merupakan irisan dari
kalangan istana-istana Madura, mengingat kesenian ini sangat bergantung pada istana,
sehingga lambat laun terkikis, bahkan punah. Situasi yang berbeda dialami oleh kesenian
pedesaan yang cenderung bebas berkembang, sehingga perkembangan kesenian ini pun
juga tidak terikat oleh hal-hal baku. Kesenian topeng Patèngtèng Moḍung ialah satu di
abad XX, setidaknya pada dasawarsa ketiga di abad tersebut. Pigeaud menyajikan
kesenian topeng Madura cukup rinci, bahkan dilengkapi dengan daftar tokoh pada
daftar nama tokoh yang dipaparkan oleh Pigeaud, nampak bahwa lakon Mahabharata dan
Ramayana merupakan yang dominan pada kesenian topeng Madura ketika itu74. Pigeaud
mendatanya, atau memang ketika itu belum ada tokoh karakter topeng di luar daftar yang
73
B. Soelarto, Topeng Madura (Topong), (Jakarta: Ditjen Kebudayaan Departemen P & K, 1977), hlm. 15-
16.
74
Lihat: Dr. Th. Pigeaud, Javaanse Volksvertoningen Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk,
(Jogjakarta: Martinus Nijhoff Uitgever ‘s-Gravenhage. 1938), hlm. 150 – 151.
64
ia buat. Namun yang jelas, tulisan Pigeaud ini sezaman dengan masa kanak-kanak
Remma selaku saksi sejarah kesenian topeng Patèngtèng Moḍung pada dasawarsa ketiga-
kedua abad XX, ketika kesenian ini diminati dan populer bagi masyarakat Bangkalan.
Eksistensi kesenian ini dilirik oleh para seniman di Bangkalan, untuk dapat bersinergi
Moḍung. Sehingga pada paruh kedua abad XX ini merupakan masa ketika kesenian ini
diperankan secara aktif dalam pementasan-pementasan skala besar. Ada pun bentuk dari
kesenian topeng Patèngtèng Moḍung yang eksis ketika itu sudah sama dengan yang
Pada tahun 1973, diadakan penelitian tentang topeng Patèngtèng Moḍung. Tim
peneliti beranggotakan beberapa orang, antara lain Pak Usman Jati, Pak Hasan Sasra, Pak
Mestu, Pak Dur, dan Pak Yeyek. Di tahun yang sama, kesenian ini ditampilkan pada
sebuah acara di TVRI, dengan lakon lebih dari satu cerita. Para pemeran kesenian tersebut
antara lain75:
- Topeng Bhuta / Ma’ Bhuta (simbol penjahat) diperankan oleh Pak Usman Jati
75
Hendra Gemma Dominant, dalam Silaturahim dan Penelusuran tentang Kesenian Topeng Patèngtèng
Moḍung, Bhângkalan, (Bangkalan: Patèngtèng. 2021), 7 Desember 2021.
65
Kemudian pada tahun 1984 juga diadakan pementasan kesenian topeng Patèngtèng
Moḍung di TMII. Karena kondisi topeng sudah sangat lusuh, maka topeng tersebut dicat
ulang dengan cat minyak, tetapi tanpa minyak (cat direndam di air selama 3 hari sampai
minyaknya terangkat), dan untuk menambah kesan kuno, dipoles memakai putih telur.
Kesenian topeng Patèngtèng Moḍung erat kaitannya dengan ritual rokat sombher
yang dihelat di desa tersebut, karena memang pada dasarnya kesenian ini merupakan
bagian dari kesenian ritual, dengan kata lain digunakan sebagai sarana kelengkapan ritual.
Artinya ada unsur sakral yang harus dijaga dalam kesenian ini, mengingat pementasan
topeng dan ritual perkawinan sumber dianggap sebagai satu paket yang tak terpisahkan77.
Namun suatu yang unik, bila kesenian ini dipentaskan di luar ritual tersebut, seperti yang
terjadi pada pementasan tahun 1973 dan tahun 1984. Pementasan lainnya dihelat pada
tahun 1999 78. Pada kedua pementasan tersebut, terdapat peralihan fungsi dari kesenian
ini, yang awalnya sebagai kelengkapan ritual, menjadi kembali ke fungsi seni secara
76
Hidrochin Sabaruddin, dalam Mengungkap Keberadaan Tari Topeng Patengteng - Modung,
https://www.youtube.com/watch?v=enEB9QApebw, diakses pada 19 Desember 2021.
77
Lihat: Bab IV.
78
Mas Sudarsono, dalam Diskusi tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan, (Bangkalan:
Trèsna Art. 2021), 29 Desember 2021.
66
mendasar, yakni untuk sarana hiburan. Hal ini tidak dapat ditolak dan merupakan sesuatu
yang alamiah, karena upaya ini juga merupakan cara untuk melestarikan kesenian ini79.
Gambar 3.3. Karakter Ksatrèya Lakè’ (Rama) dalam Topeng Patèngtèng Moḍung
Gambar 3.4. Karakter Ksatrèya Binè’ (Sinta) dalam Topeng Patèngtèng Moḍung
79
Achmad Fatoni, wawancara, (Bangkalan - Surabaya: Via Google Meet. 2021), 19 Desember 2021.
67
Gambar 3.5. Karakter Bhuta atau Raksasa dalam Topeng Patèngtèng Moḍung
68
Gambar 3.7. Karakter Punakawan dalam Topeng Patèngtèng Moḍung
Pada awal abad XXI, merupakan masa ketika kesenian topeng Patèngtèng Moḍung
kembali mengalami ancaman tergerus oleh zaman. Hal ini ditandai dengan wafatnya para
pelaku seni sepuh, dan kurangnya minat generasi muda terhadap pelestarian kesenian ini.
Kesenian ini memang masih lestari dan cukup diminati masyarakat setempat, namun
hanya dilakukan oleh sekelompok kecil para pelaku seni saja, sedangkan masyarakat desa
secara umum turut berpartisipasi sebagai pihak pendukung ketika kesenian ini dihelat.
Regenerasi kesenian ini sangat dibutuhkan untuk pelestarian kesenian ini, dan sejatinya
perhatian dari generasi muda masyarakat setempat ialah kunci dari segala permasalahan
tersebut80.
80
Hosen, loc. cit.
69
Kondisi yang cukup memrihatinkan, terkait perhatian generasi muda terhadap
kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, tidak membuat para pelaku seni patah semangat.
Pementasan kesenian ini tetap rutin diadakan setiap tahun, khususnya pertunjukan tari
topeng sebagai kelengkapan ritual rokat sombher yang selalu dihelat tiap tahun sejak
dahulu kala. Para pelaku seni merasa memiliki tanggung jawab untuk terus melestarikan
kesenian ini, jadi bagaimana pun kondisinya maka kesenian ini harus tetap dihelat setiap
tahun. Sejauh ini, setiap pertunjukan topeng dalam rangka rokat sombher masih terhitung
mendapat perhatian masyarakat setempat, mengingat ada unsur magis, religius, dan
tradisi di dalamnya81.
Kondisi ini menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah Kabupaten Bangkalan, yang
penelusuran ke lokasi kesenian ini. Misal, selama tiga tahun terakhir, Dinas Kebudayaan
topeng khas daerah ini. Beberapa tokoh seni dan budaya kabupaten Bangkalan juga turut
serta dalam kunjungan tersebut. Saat itu sedang dihelat pertunjukan topeng Patèngtèng
Moḍung sebagai kelengkapan dari ritual rokat sombher yang memang rutin diadakan
setiap tahun.
81
Ibid.
70
Gambar 3.8. Kunjungan Disbudpar Bangkalan ke Lokasi Pertunjukan Topeng
Pada tahun 2021, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan kembali
topeng khas daerah ini. Hal ini merupakan bagian dari penelitian dengan objek terkait
yang telah berlangsung sejak September tahun 2021. Turut juga para seniman dan
budayawan Bangkalan dalam kunjungan ini. Lokasi yang dituju ialah kediaman Remma,
selaku pengurus topeng Patèngtèng Moḍung. Pada kunjungan ini, diadakan diskusi santai
Kunjungan pada bulan Desember tahun 2021 ini merupakan langkah nyata dari
penghujung acara diskusi, juga dibahas soal pengusulan kesenian ini sebagai WBTB
71
(Warisan Budaya Tak Benda) Kabupaten Bangkalan. Oleh karenanya diperlukan
kesenian terkait. Berdasarkan kesepakatan forum dalam diskusi tersebut, yang terdiri dari
jajaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan, para pelaku kesenian
dipilihlah Remma sebagai maestro kesenian topeng Patèngtèng Moḍung yang segera
82
Notulen Silaturahim dan Penelusuran tentang Topeng Patèngtèng Moḍung pada tanggal 7 Desember
2021.
72
Gambar 3.10. Foto Bersama Ibu Remma dengan Dua Seniman Bangkalan (Aniyah dan
Sufiatun)
pada Desember tahun 2021, maka Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
WBTB. Ada pun beberapa hal yang dipersiapkan agar kesenian topeng Patèngtèng
Moḍung dapat didaftarkan sebagai WBTB, antara lain (1) kajian ilmiah, (2) dokumentasi
foto objek budaya, (3) dokumentasi video objek budaya, (4) pengisian formulir
Bangkalan bersama Trèsna Art juga mengadakan kegiatan diskusi tentang kesenian
topeng Patèngtèng Moḍung, sebagai upaya tindak lanjut terhadap upaya pengusulan
kesenian tersebut sebagai WBTB. Diskusi tersebut dihadiri oleh jajaran Dinas
83
Hendra Gemma Dominant, loc. cit.
73
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan, peneliti, sejarawan, seniman, dan
budayawan selingkup kabupaten Bangkalan84. Pertemuan ini juga diadakan dalam upaya
Gambar 3.11. Diskusi tentang Topeng Patèngtèng Moḍung, di Trèsna Art, Bangkalan,
29 Desember 2021
84
Notulen Diskusi tentang Topeng Patèngtèng Moḍung pada tanggal 29 Desember 2021.
85
Moh. Hasan Faisol, dalam Diskusi tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan,
(Bangkalan: Trèsna Art. 2021), 29 Desember 2021.
74
Gambar 3.12. Diskusi tentang Topeng Patèngtèng Moḍung, di Trèsna Art, Bangkalan,
29 Desember 2021
cukup intens mendata objek budaya untuk diusulkan sebagai WBTB. Pada awal tahun
2021, tongkos telah diusulkan sebagai WBTB, dan kini sedang mengajukan topeng
secara bertahap beberapa objek budaya, antara lain batik Tanjung Bumi, hong-bahhong,
dan nasi serpang86. Hal ini dilakukan sebagai upaya memerkaya khazanah kebudayaan
yang ada di kabupaten Bangkalan, agar generasi muda dapat menikmati eksistensi
86
Hendra Gemma Dominant, dalam Diskusi tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan,
(Bangkalan: Trèsna Art. 2021), 29 Desember 2021.
75
berbagai karya budaya, termasuk di dalamnya ialah kesenian topeng Patèngtèng
Moḍung87.
87
Moh. Hasan Faisol, loc. cit.
76
BAB IV
Meninjau soal deskripsi fisik dan aspek-aspek pendukung pada kesenian topeng
Patèngtèng Moḍung, maka perlu melihat kembali klasifikasi kesenian topeng Madura,
agar dapat diketahui secara jelas masing-masing aspek yang melekat pada kesenian ini.
Pada Bab II telah dibahas tentang klasifikasi dari kesenian topeng di Madura, masing-
pola yang melekat erat bersamaan dengan perkembangan kesenian topeng Patèngtèng
Moḍung, sehingga memudahkan untuk melihat deskripsi fisik serta aspek-aspek yang
Berdasarkan keterangan Brandon (1967: 80-85), yang dikutip oleh Helene Bouvier,
klasifikasi kesenian topeng berdasarkan indikator yang pertama ialah berdasarkan pihak
pengembang. Pada klasifikasi ini terdapat dua jenis kesenian topeng, yakni topeng dalam
tradisi keraton, dan topeng dalam tradisi pedesaan89. Pada klasifikasi ini, kesenian topeng
Selain dari faktor spasial dari persebaran kesenian ini, karakter dari kesenian ini juga
bercirikan kesenian topeng ala pedesaan, yakni bergerak cukup bebas dan lugas
88
Lihat: Bab II.
89
Brandon (1967: 80-85) yang dikutip dalam Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam
Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002), hlm. 124.
77
Bila meninjau pada sejarah awal mula kemunculan kesenian topeng Patèngtèng
Moḍung, yang diyakini diciptakan oleh Pangeran Aryo Kusumo asal Sampang sekitar
dua ratus silam, maka diduga kuat kesenian ini mulanya merupakan kesenian topeng
bangsawan90. Kemudian bila melihat dari fisik topeng, yang menunjukkan bahwa
beberapa tokoh karakter dalam topeng Patèngtèng Moḍung identik dengan karakter
topeng dalam lakon Ramayana, maka semakin jelas bahwa embrio dari kesenian ini
memang berasal dari keraton. Agaknya terdapat transformasi yang menyesuaikan dengan
wilayah setempat, agar kesenian topeng yang dibawakan oleh Pangeran Aryo Kusumo
dapat berbaur dan bersatu padu sebagai kesenian kebanggaan masyarakat desa
Klasifikasi selanjutnya soal kesenian topeng Madura meliputi indikator yang telah
dijelaskan oleh Pigeaud, (1938: 149-151, 412) dan Brandts Buys-van Zijp, (1928, 4-5,
194 – 198) yang juga dikutip di dalam buku Helene Bouvier. Klasifikasi ini didasarkan
pada indikator skala pertunjukan, yakni terdapat dua jenis topeng antara lain topeng
(topeng besar / topeng kuno), dan topeng kecil (saronèn / salabâdhân)91. Klasifikasi ini
dalam klasifikasi ini topeng Patèngtèng Moḍung tergolong pada kesenian topeng kecil,
karena di dalamnya diiringi oleh seperangkat alat musik yang lebih kecil daripada topeng
besar yang selalu diiringi seperangkat alat musik berupa gamelan lengkap. Selain itu,
90
Lihat: Bab III.
91
Pigeaud (1938: 149-152, 412) & Brandts Buys-van Zijp (1928: 4-5, 194-198) yang dikutip dalam Hélène
Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2002), hlm. 124.
78
skenario pertunjukan dalam kesenian ini lebih sederhana daripada kesenian topeng
besar92.
Klasifikasi selanjutnya soal kesenian topeng Madura meliputi indikator yang telah
dijelaskan oleh Soelarto, (1977: 10-18, 94) yang juga dikutip di dalam buku Helene
Bouvier. Pada klasifikasi ini, kesenian topeng Madura dibedakan menjadi tiga jenis lakon
utama, yakni lakon Panji, Mahabharata, dan Ramayana93. Berdasarkan klasifikasi ini,
topeng Patèngtèng Moḍung tergolong dalam kesenian topeng dengan lakon Ramayana,
yang telah disesuaikan dan dikembangkan dengan karakter masyarakat desa Patèngtèng.
Pada kesenian ini juga terdapat unsur ksatria, yang diduga juga merupakan tambahan
cerita dari lakon panji yang dipadukan dengan lakon Ramayana, serta disesuaikan pula
pertunjukan. Pada klasifikasi ini, terdapat dua jenis kesenian topeng Madura, yakni
topeng sebagai pertunjukan topeng yang kompleks, dan tarian lepas95. Pada klasifikasi
ini, kesenian topeng Patèngtèng Moḍung tergolong dalam kesenian topeng yang
berbentuk tarian lepas. Hal ini didasarkan pada gerak tari dalam kesenian ini yang
memang cenderung sederhana, namun memiliki makna sesuai cerita dan juga bernilai
sakral.
Klasifikasi yang terakhir dijelaskan oleh Helene Bouvier, yakni berdasarkan bentuk
dan fungsi pertunjukan. Terdapat sepuluh jenis topeng dalam klasifikasi ini, antara lain
92
Lihat: Tabel 4.3.
93
Soelarto, 1977: 10 – 18, 94 yang dikutip dalam Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan
dalam Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002), hlm. 125.
94
Achmad Fatoni, wawancara, (Bangkalan - Surabaya: Via Google Meet. 2021), 19 Desember 2021.
95
Soelarto, 1977: 10 – 18, 94 yang dikutip dalam Hélène Bouvier, op. cit., hlm. 130.
79
(1) topeng arak-arakan, (2) topeng tarian, (3) topeng pertunjukan teater, (4) topeng yang
berbicara, (5) topeng bungkam, (6) topeng yang menyeramkan, (7) topeng yang
memesonakan, (8) topeng yang mengajarkan, (9) topeng lelucon / lawak, dan (10) topeng
ritual96. Berdasarkan klasifikasi ini, maka kesenian topeng Patèngtèng Moḍung tergolong
dalam bentuk dan fungsi topeng sebagai (1) topeng arak-arakan, karena terdapat prosesi
arakan topeng dalam struktur pertunjukan, (2) topeng tarian, karena di dalamnya terdapat
gerak tari oleh para pemain topeng, (3) topeng pertunjukan teater, karena di dalamnya
juga mementaskan lakon cerita, (4) topeng bungkam, karena para penari tidak berbicara
melalui lisan, (5) topeng menyeramkan, karena terdapat karakter bhuta atau raksasa, (6)
topeng yang memesonakan, karena terdapat karakter ksatrèya lakè’ dan ksatrèya binè’,
dan (7) topeng ritual, karena dipentaskan sebagai sarana kelengkapan ritual rokat
sombher.
Seluruh bagian dari klasifikasi tersebut menjadi sebuah kesatuan utuh yang melekat
pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung. Setelah seluruh klasifikasi dilalui, maka
selanjutnya ialah mengupas masing-masing aspek pendukung dari kesenian ini. Ada pun
beberapa aspek yang dimaksud antara lain, (1) aspek sastra, (2) aspek rupa, (3) aspek
musik, (4) aspek tari, (5) lain-lain, dan (6) struktur pertunjukan.
1. Aspek Sastra
Aspek sastra merupakan hal yang cukup penting dalam suatu seni pertunjukan.
Aspek ini, baik secara umum dalam suatu seni pertunjukan, dan secara khusus pada
kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, dapat dilihat melalui beberapa segi, yaitu segi
bahasa, segi cerita, dan segi syair dalam nyanyian lagu97. Ketiga segi ini merupakan
96
Lihat: Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, Terj. Rahayu S.
Hidayat & Jean Couteau (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. 132.
97
Aniyah, S.Sn., Pertunjukan Topeng Patengteng dalam Ritual Perkawinan Sumber Kabupaten Bangkalan
Madura, hlm. 49.
80
rangkaian kesatuan yang utuh, dan merupakan wujud ekspresi dari masyarakat yang
Helene Bouvier membuat klasifikasi topeng berdasarkan bentuk dan fungsi. Satu di
antara indikator dari klasifikasi tersebut ialah dari segi bahasa, yakni antara topeng
Patèngtèng Moḍung tergolong dalam seni topeng bungkam. Pada pertunjukan kesenian
topeng ini, para penari topeng tidak berbicara, melainkan membahasakan seluruh ekspresi
dan adegan dengan bahasa gerak. Ada pun bahasa lisan muncul dari syair lagu yang
mengiringi kesenian topeng ini sebagai kelengkapan ritual rokat sombher. Berbeda
dengan topeng dhâlâng yang memiliki dialog lisan dikendalikan oleh sang dalang.
Meninjau dari bentuk fisik topeng, sejatinya kesenian topeng Patèngtèng Moḍung
memerankan lakon Ramayana, karena beberapa karakter dalam topeng memang sangat
identik dengan karakter pada lakon Ramayana. Misalnya keberadaan tokoh Rama yang
dalam kesenian ini dikenal sebagai tokoh ksatrèya lakè’, dan adanya tokoh Sinta yang
dalam kesenian ini dikenal sebagai tokoh ksatrèya binè’. Adanya transformasi karakter
pada lakon Ramayana pada karakter khusus dengan nama tertentu dalam kesenian ini,
memungkinkan bahwa adanya unsur cerita lain yang disisipkan. Dalam hal ini, terlihat
adanya unsur ksatria atau panji, sehingga sangat dimungkinkan masyarakat memadukan
cerita Ramayana dan cerita Panji, sehingga muncul cerita khusus yang berbeda dengan
khususnya pada fungsi kesenian topeng, maka topeng Patèngtèng Moḍung tergolong
98
Hélène Bouvier, loc. cit.
99
Achmad Fatoni, loc. cit.
81
dalam kesenian topeng yang difungsikan sebagai sarana ritual100. Ritual yang dimaksud
ialah prosesi perkawinan sumber, atau lazim disebut sebagai rokat sombher, yang
tentunya telah disesuaikan antara tradisi dengan nilai-nilai Islam. Oleh karenanya, ritual
yang bernafaskan Islam ini juga menggunakan syair-syair berupa sholawat, khususnya
menggunakan bahasa Arab, dan yang terakhir saat prosesi perkawinan sumber, terdapat
2. Aspek Rupa
meliputi dua hal penting, yakni topeng dan busana, sebagai kesatuan utuh dari atribut
masing-masing tokoh karakter102. Aspek rupa dalam topeng dapat dilihat lebih dalam lagi
melalui bentuk, warna, dan detail dari masing-masing topeng, karena akan menunjukkan
karakter khusus yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Kemudian aspek rupa dalam
busana atau kostum pada kesenian ini merupakan kelengkapan pakaian dan atribut yang
a. Topeng
Saat ini terdapat lima tokoh dalam kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, yang
beberapa karakter di dalamnya sangat identik dengan karakter yang ada pada kesenian
topeng lakon Ramayana. Lima karakter tersebut antara lain, (1) Ksatrèya Lakè’ yang
sangat identik dengan karakter Rama dari Ramayana, (2) Dhin Aju / Ksatrèya Binè’, yang
sangat identik dengan karakter Sinta dari Ramayana, (3) Bhuta, sebagai tokoh antagonis
berupa raksasa, (4) dua topeng Punakawan, yang satu disinyalir sebagai Punakawan
100
Lihat: Hélène Bouvier, loc. cit.
101
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. 49-50.
102
Ibid., hlm. 50.
82
Petruk, dan (5) yang lain lagi merupakan Punakawan Bagong. Masing-masing topeng
dalam karakter yang disebut, memiliki bentuk, warna, dan detail yang berbeda-beda,
Gambar 4.2. Beberapa Karakter dalam Lakon Ramayana pada Topeng Madura
83
Gambar 4.3. Karakter Bagong pada Topeng Madura
khas. Bentuknya serupa dengan bentuk topeng Madura lakon Ramayana secara umum.
Bila dibandingkan dengan topeng gaya Surakarta, Yogyakarta, Malangan, dan Bali, akan
Karakter Ksatrèya Lakè’ pada topeng Patèngtèng Moḍung, memiliki bentuk yang
identik dengan karakter Rama pada topeng Madura lakon Ramayana. Menggambarkan
wajah yang tegas, tampan, gagah, dan berani, wujud kewibawaan dan kharisma dari
seorang Raja. Karakter Ksatrèya Binè’ / Dhin Aju, memiliki bentuk yang identik dengan
karakter Sinta pada topeng Madura lakon Ramayana secara umum. Karakter ini
menggambarkan wajah yang cantik, anggun, dan bersahaja ala puteri kerajaan. Kemudian
karakter Bhuta, memiliki ukuran yang sedikit lebih besar daripada topeng yang lain, dan
bentuk dari wajah karakter ini cukup menyeramkan, dengan gigi yang terlihat, dan mata
84
besar melotot, melambangkan angkara murka dari seorang tokoh antagonis. Karakter
yang berikutnya ialah dua tokoh Punakawan, kedua bentuk topeng ini memancarkan aura
kesenian topeng Madura lainnya, dan bahkan kesenian topeng Jawa – Nusantara. Warna-
setempat terkait karakter dari masing-masing topeng. Berikut ialah perbandingan warna
fisik dari karakter topeng Patèngtèng Moḍung, dan topeng Madura secara umum103:
Tabel 4.1. Perbandingan Warna Fisik – Karakter Topeng Patèngtèng Moḍung, dengan
Topeng Patèngtèng
Karakter Topeng Madura
Moḍung
Rama / Ksatrèya Lakè’ Kuning keemasan Hijau
Sinta / Dhin Aju / Ksatrèya Binè’ Kuning keemasan Kuning keemasan
Bhuta Hijau Merah
Punakawan Petruk Putih Putih
Punakawan Bagong Putih Putih
Sumber: Olahan penulis
Berdasarkan keterangan tabel di atas, terlihat bahwa warna fisik pada beberapa
karakter topeng Patèngtèng Moḍung memiliki sedikit perbedaan dengan warna fisik pada
karakter topeng Madura secara umum. Misal warna fisik pada karakter Ksatrèya Lakè’
yang bentuknya identik dengan karakter Rama pada kesenian topeng Madura dan Jawa –
Nusantara secara umum, rupanya memiliki warna yang berbeda, yakni kuning keemasan
pada topeng Patèngtèng Moḍung. Umumnya karakter Rama pada topeng selalu berwarna
103
Lihat: Tabel 4.1.
85
hijau, baik pada topeng Madura lakon Ramayana secara umum, topeng Jawa lakon
Ramayana, bahkan topeng Thailand dengan lakon Ramayana juga berwarna hijau.
Warna fisik pada karakter Ksatrèya Binè’ / Dhin Aju, yang bentuknya identik
dengan karakter Sinta pada topeng Madura secara umum, memiliki warna yang sama,
yakni keduanya berwarna kuning keemasan. Kemudian pada karakter Bhuta yang
merupakan karakter antagonis berupa raksasa pada topeng Patèngtèng Moḍung memiliki
warna dominan hijau. Hal ini cukup unik, mengingat karakter antagonis berupa raksasa,
kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, keduanya berwarna putih, serupa dengan karakter
menyatakan bahwa warna-warna dalam karakter topeng Patèngtèng Moḍung cukup khas,
mengingat berbeda dengan warna-warna dalam karakter topeng pada umumnya. Misal
- Hijau, pada karakter bhuta dalam kesenian topeng Patèngtèng Moḍung. Umumnya,
karakter raksasa dalam kesenian topeng di Jawa – Madura selalu berwarna merah,
karena melambangkan angkara murka. Hal yang cukup unik bila di desa Patèngtèng,
104
Hidrochin Sabaruddin, dalam Mengungkap Keberadaan Tari Topeng Patengteng - Modung,
https://www.youtube.com/watch?v=enEB9QApebw, diakses pada 19 Desember 2021.
105
Achmad Fatoni, loc. cit.
86
warna pada karakter bhuta yang merupakan raksasa jahat, dapat berwarna hijau. Dengan
- Kuning keemasan, pada kedua karakter ksatrèya dalam kesenian topeng Patèngtèng
Moḍung. Ksatrèya lakè’ yang sebenarnya juga berupa karakter Rama dalam kesenian
topeng di Jawa – Madura selalu berwarna hijau, sedangkan di desa Patèngtèng memiliki
warna khusus yakni kuning keemasan, dimungkinkan hal ini berkaitan dengan simbol
kebesaran istana. Begitu pula pada ksatrèya binè’ yang sebenarnya juga berupa karakter
Sinta, rupanya untuk karakter ini keduanya memiliki simbol warna yang sama.
- Putih, pada karakter punakawan dalam kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, memiliki
kesamaan dengan simbol warna pada karakter punakawan dalam kesenian topeng yang
Berdasarkan rincian warna dan berbagai keterangan di atas, maka jelas bahwa
topeng Patèngtèng Moḍung memiliki ciri khas pada warna fisik topeng, yang tidak dapat
ditemui secara utuh pada kesenian topeng Madura lainnya, maupun topeng Jawa –
Nusantara secara umum. Hal ini merupakan hasil adaptasi dari kesenian topeng yang telah
alamiah, dan menjadi perwujudan dari kebebasan berekspresi yang tertuang langsung di
dalam fisik topeng Patèngtèng Moḍung yang masih lestari hingga kini.
Topeng Patèngtèng Moḍung memiliki detail pada fisik topeng yang begitu rumit,
yakni dengan ukiran di masing-masing bentuk wajah, rambut, detail hiasan kepala, dan
detail dari masing-masing bagian wajah. Hal ini menunjukkan bahwa kesenian ini
memiliki kualitas ukiran yang tinggi. Selain itu, detail dari bentuk fisik topeng ini juga
dapat menjadi bahan untuk mengetahui rentang usia topeng, yang disinyalir muncul
87
setelah pengaruh Pakubuwana II pada kesenian topeng Madura yang berupa penambahan
b. Kostum
Meninjau aspek rupa pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, tak hanya dapat
dilihat dari fisik topeng, melainkan juga dapat dilihat dari kostum yang digunakan oleh
para penari. Ada pun kostum yang digunakan dalam kesenian ini dapat dibedakan secara
mendasar, yakni pakaian penari tokoh laki-laki, dan pakaian penari tokoh perempuan.
Pakaian yang digunakan ialah pakaian adat rakyat Madura. Berikut ialah kostum yang
- Pakaian penari tokoh laki-laki (pemeran karakter ksatrèya lakè’) = Pèsa’an lengkap
- Pakaian penari tokoh laki-laki (pemeran karakter bhuta, dan punakawan) = Celana
- Pakaian penari tokoh perempuan (pemeran karakter ksatrèya binè’ / Dhin Aju) =
106
Lihat: Bab II.
107
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. 51.
88
Gambar 4.4. Kostum Penari Karakter Laki-laki, dari Kiri ke Kanan: Pèsa’an, Celana
Gambar 4.5. Kostum Penari Karakter Perempuan, dari Kiri ke Kanan: Koḍung, Kebaya,
89
Kostum penari laki-laki pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung didominasi oleh
pakaian adat Madura, yakni baju Sakèra’an / pèsa’an. Namun masing-masing karakter
tidak menggunakan kostum yang sama persis, melainkan ada sedikit pembeda, yakni pada
tokoh Ksatrèya Lakè’ berpenampilan pakaian pèsa’an lengkap, sedangkan tokoh lainnya
hanya menggunakan celana gombor dan kaos mèra potè saja. Terkadang, untuk oḍheng
tidak digunakan, misal saat pementasan tahun 2015 108, dan pementasan tahun 2019 109.
Tokoh karakter perempuan, yakni Ksatrèya Binè’ / Dhin Aju atau Sinta pada
kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, tidak benar-benar diperankan oleh seorang wanita,
melainkan oleh seorang laki-laki yang berperawakan dan berkostum ala wanita. Pemeran
tokoh ini memakai pakaian adat Madura untuk wanita, yakni baju Marlèna’an, yang
terdiri dari kebaya, sarong / sampèr, dan perhiasan yang dipakai lengkap. Koḍung
(kerudung) juga digunakan oleh pemeran karakter ini, warna yang senada dengan kebaya
yang dipakai. Ada pun kebaya yang dipakai oleh pemeran karakter ini ialah kebaya
berwarna merah, dan sarong / sampèr yang digunakan adalah kain batik, umumnya
dengan motif tabiruan (batik Tanjung Bumi), lasem (batik yang berasal dari Gresik), dan
108
Ibid.
109
Lihat: Gambar 4.6.
110
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. 55.
90
Gambar 4.6. Kostum Penari Karakter Ksatrèya Lakè’ pada Topeng Patèngtèng Moḍung
Gambar 4.7. Kostum Penari Karakter Ksatrèya Binè’ / Dhin Aju pada Topeng
Patèngtèng Moḍung
91
Saat ini, kostum kesenian topeng Patèngtèng Moḍung terbilang cukup unik dan
khas, bila dibandingkan dengan kesenian topeng lainnya, misal topeng Madura yang
berkembang secara umum, atau pun kesenian topeng yang berkembang di pulau Jawa –
Nusantara. Umumnya, kostum yang dipakai pada pementasan kesenian topeng Madura
adalah kostum ala pewayangan, lengkap dengan atribut seperti praba, jamang, kelat bahu,
dan sumping111, sedangkan kostum yang dipakai pada pementasan kesenian topeng
Patèngtèng Moḍung saat ini ialah pakaian adat Madura, baik untuk karakter laki-laki,
maupun untuk karakter perempuan. Berikut ialah perbandingan antara kostum kesenian
Tabel 4.2. Perbandingan Kostum Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung Kini dan
111
B. Soelarto, Topeng Madura (Topong), (Jakarta: Ditjen Kebudayaan Departemen P & K, 1977), hlm.
13.
112
Lihat: Tabel 4.2.
92
Gambar 4.8. Kostum Topeng Dhâlâng Sumenep
Aniyah, disebutkan bahwa dahulu terdapat kostum tari topeng Patèngtèng Moḍung yang
serupa dengan kostum tari topeng Madura secara umum, yakni kostum ala pewayangan,
lengkap dengan atribut. Namun kostum tersebut sudah rusak dan tidak dapat dipakai lagi.
Ketika Remma masih kanak-kanak, ia masih melihat kostum tersebut disimpan dalam
keadaan rusak, namun seumur hidupnya, ia tidak sempat menyaksikan tarian dengan
memakai kostum tersebut, melainkan sudah memakai kostum yang ada seperti kostum
Remma dilahirkan di desa Patèngtèng pada tahun 1935 114. Jika sejak kecil ia sudah
tidak melihat pementasan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung dengan kostum ala
pewayangan, maka dimungkinkan kostum tersebut terakhir dipakai pada awal abad XX
(1900-an, angka tahun tidak dapat dipastikan). Ada pun penggunaan kostum kesenian
topeng Patèngtèng Moḍung saat ini, ialah bertujuan agar kesenian ini tetap lestari. Oleh
113
Keterangan Remma yang disampaikan oleh Aniyah dalam sesi wawancara. Aniyah, wawancara,
(Bangkalan: Desa Patengteng. 2021), 7 Desember 2021.
114
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. lampiran.
93
karenanya diperlukan kostum yang sesuai dengan karakter masyarakat, maka dicarilah
kostum yang mudah didapat, sehingga dipilihlah kostum berupa pakaian adat etnis
Madura. Penggunaan pakaian adat etnis Madura sebagai kostum kesenian topeng
Patèngtèng Moḍung saat ini menjadi sebuah perkembangan sekaligus pergeseran, namun
justru menghadirkan keunikan, karena memiliki ciri khas yang berbeda dengan kostum
3. Aspek Musik
Aspek musik dalam kesenian topeng merupakan hal penting, dan masih sangat
berkaitan dengan klasifikasi topeng berdasarkan skala pertunjukan, oleh karenanya, perlu
meninjau ulang klasifikasi topeng pada indikator ini. Berdasarkan skala pertunjukan,
kesenian topeng Madura terdapat dua jenis, yakni topeng (topeng besar / topeng kuno),
dan topeng kecil. Perbedaan mendasar antara kedua jenis topeng ini ialah dari instrumen
musik pengiring dan skenario pertunjukan. Topeng besar diiringi oleh instrumen musik
pertunjukan yang rumit. Sedangkan topeng kecil diiringi oleh instrumen musik yang lebih
tergolong kesenian topeng kecil, karena diiringi oleh instrumen musik yang lebih
sederhana, yakni menggunakan iringan musik tuk-tuk. Ada pun instrumen musik yang
115
Lihat: Bab II.
116
Lihat: Tabel 4.3.
94
Tabel 4.3. Instrumen Musik Pengiring Pertunjukan Topeng Patèngtèng Moḍung Kini
Instrumen Jenis
Tuk-tuk Ritmis
Kempul Melodis
Ghendhâng Ritmis
95
Gambar 4.9. Alat Musik yang Ditabuh saat Pertunjukan Topeng Patèngtèng Moḍung,
Tahun 2019
Tuk-tuk atau tong-tong adalah instrumen musik yang cukup kuno. Kunst (1973:
106, 192) yang dikutip dalam Zoelkarnain Mistortoify, berpendapat bahwa alat musik ini
berawal dari sebagian besar kentongan yang terbuat dari bambu atau kayu, berasal dari
Instrumen ini menjadi ciri khas dalam permainan musik tradisional Madura,
khususnya di kabupaten Bangkalan, dan di wilayah ini instrumen tersebut dikenal dengan
nama tuk-tuk. Umumnya, tuk-tuk terdiri dari lima buah instrumen yang berbentuk silinder,
117
Kunst (1973: 106, 192) dalam Zoelkarnain Mistortoify. 2021. “Budaya Musik Daerah Etnis Madura”.
Tersedia pada https://etnomusikologisolo.wordpress.com/2010/04/06/budaya-musik-daerah-etnis-
madura/, diakses pada 25 Desember 2021.
96
nama, yang bila diurutkan berdasarkan ukuran dari yang paling besar ialah, (1) gudug,
(2) peneros, (3) pancer, (4) tung-katung, dan (5) tak-katek 118.
Alat musik lainnya yang digunakan sebagai instrumen pengiring dalam kesenian
topeng Patèngtèng Moḍung adalah kennong tello’, kempul, dan ghendhâng. Kennong
tello’ merupakan instrumen musik yang lazim digunakan di Madura. Pada seperangkat
gamelan, instrumen ini mirip dengan bonang, namun jumlah kennong tello’ hanya tiga
buah saja. Sedangkan kempul merupakan instrumen musik sejenis gong, hanya saja
ukurannya lebih kecil. Instrumen musik yang terakhir ialah ghendhâng, yang serupa
4. Aspek Tari
dalam bentuk tarian lepas. Kesenian semacam ini menyajikan ragam gerak yang
sederhana, dan umumnya memiliki nilai sakral120. Ada pun gerakan tarian ini sebenarnya
merupakan perwujudan dari ekspresi masyarakat setempat yang telah diakui publik.
Karakter masyarakat pedesaan yang dikenal bebas dan lugas, segera melebur ke dalam
suatu bentuk karya seni berupa tari topeng yang tidak sama dengan karakter kesenian
Terdapat dua prosesi tarian dalam pertunjukan topeng Patèngtèng Moḍung, yakni
gerak yang ditarikan saat arak-arakan, dan gerak yang ditarikan saat tari topeng
bercerita122. Tari arak-arakan hanya menggunakan ragam gerak yang cenderung lebih
bebas, hanya berlenggak-lenggok mengikuti alunan musik pengiring. Pada prosesi tari
118
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. 58.
119
Ibid., hlm. 59.
120
Soelarto, 1977: 10 – 18, 94 yang dikutip dalam Hélène Bouvier, loc. cit.
121
Achmad Fatoni, loc. cit.
122
Lihat: Tabel 4.5.
97
arak-arakan ini juga terdapat pemberian saweran dari masyarakat, dan tak jarang dari
mereka turut pula untuk menari. Tari topeng bercerita membawakan gerak sesuai tokoh
dan lakon cerita. Karakter Ksatrèya Lakè’ membawakan ragam gerak yang gagah,
Ksatrèya Binè’ membawakan ragam gerak yang anggun, Bhuta membawakan ragam
gerak yang ganas, dan kedua karakter Punakawan membawakan ragam gerak yang lucu
serta menghibur. Ada pun lakon cerita yang dihadirkan cukup sederhana, yakni dimulai
dengan kemesraan dua tokoh Ksatrèya yang diganggu oleh tokoh Bhuta, namun selalu
dihadang oleh kedua Punakawan. Gerak tarian cenderung bebas, tidak terstruktur123.
5. Lain-lain
karena posisinya digunakan sebagai kelengkapan ritual. Kesenian topeng ritual tentu
bersifat sakral, dan terdapat unsur religius124. Oleh karenanya, dalam hal ini juga terdapat
aspek pendukung lain pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung sebagai kelengkapan
ritual perkawinan sumber / rokat sombher. Aspek pendukung tersebut meliputi sesajen
Tabel 4.4. Rincian Aspek Pendukung Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung sebagai
98
menghasilkan warna hijau. Melambangkan
kesuburan dan kemakmuran desa serta
keadaan bumi.
Sebagai lambang semangat untuk menjaga
Gheddhâng (pisang)
desa.
Merupakan lambang kerukunan dari setiap
warga dengan berbagai keragaman. Dahulu,
Jhâjhân pasar
jajanan pasar yang digunakan ialah buatan
(jajanan pasar)
masyarakat sekitar, namun kini sudah
bergeser menjadi jajanan pabrik.
Nasi tumpeng berbentuk kerucut sebagai
Rasol lambang ke-Esaan Tuhan, ayam sebagai
(nasi tumpeng), lambang pengorbanan hasil bumi, cabe
dengan ayam panggang sebagai lambang kekuatan dan semangat
dan diberi lombok masyarakat, dan perpaduan ayam dengan
merah cabe merupakan lambang dari kekuasaan
Tuhan.
Tempat air yang terbuat dari tanah liat,
digunakan untuk mengambil dan
Kèlmo’
menyiramkan kembali air dari sumber mata
(semacam kendi)
air satu ke sumber mata air lainnya
(malakè’è sombher).
Tempat pemandian kaum laki-laki. Air dari
sumber mata air inilah yang diambil dan
Sombher lakè’
kemudian “dikawinkan” dengan sumber
mata air yang lain (sombher binè’).
Tempat ritual
Tempat pemandian kaum perempuan.
Sumber mata air inilah yang disiramkan air
Sombher binè’
dari sumber mata air sebelumnya (sombher
lakè’).
Sumber: Aniyah, 2017: 61 – 67
Pembiayaan juga melalui swadaya masyarakat, dan terkoordinasi dengan baik. Menjelang
acara rokat sombher, maka akan ada pengumuman ke seluruh penduduk desa, sehingga
masyarakat desa segera berkumpul dan menyiapkan segala kebutuhan secara otomatis.
Persiapan tersebut termasuk membuat nasi rasol dan membuat tajhin bhiru. Setelah
99
semua sesajen siap, maka segera dibawa ke tempat ritual untuk segera dihelat rokat
Moḍung dihelat di tiga titik penting, yakni rokat compo’ (rumah), kemudian dilanjutkan
pada rokat somor (sumur), dan yang terakhir ialah rokat sombher. Pada rokat sombher
inilah prosesi “mengawinkan” sumber mata air dilakukan, yang masyhur dikenal sebagai
rokat malakè’è sombher. Pada prosesi ini, air dari sombher lakè’ diambil menggunakan
kèlmo’, dan kemudian dituangkan ke sombher binè’, sehingga kedua sumber mata air
6. Struktur Pertunjukan
melalui empat tahapan, yakni (1) tahap persiapan, (2) tahap pembuka, (3) tahap inti, dan
(4) tahap penutup. Berikut ialah rincian dari masing-masing tahapan pada struktur
126
Munir, dalam Silaturahim dan Penelusuran tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung,
Bhângkalan, (Bangkalan: Patèngtèng. 2021), 7 Desember 2021.
127
Ibid.
128
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. 67-80.
100
arak-arakan untuk menarik perhatian
masyarakat dalam perjalanan menuju ke
sumber mata air.
Semua pendukung menyiapkan sarana dan
Persiapan sarana dan prasarana, sedangkan para penari tetap
prasarana di lokasi menari dan pemain musik tetap memainkan
pertunjukan musiknya untuk menarik perhatian
masyarakat.
Masyarakat berdatangan dan mulai
memberikan saweran pada para penari,
Saweran sedangkan para penari terus menari
sederhana (lenggak-lenggok) mengikuti
alunan musik.
Dipimpin oleh sesepuh desa dan diikuti
seluruh masyarakat. Berbagai doa yang
dibaca antara lain sholawat Nabi, surah Al-
Fatihah, Al-Ikhlas (3 kali), Al-Falaq (3
Pembacaan doa
kali), An-Nas (3 kali), Ayat Kursi, dan doa
selamat. Para pendukung sembari
membagikan makanan kepada masyarakat
yang berkumpul.
Inti Penari topeng serta pemain musik segera
Tari topeng bercerita memainkan perannya. Para penari
memainkan peran sesuai tokoh dan lakon.
Pengambilan air dari sombher lakè’ untuk
dituangkan ke sombher binè’. Prosesi ini
dilakukan oleh dua orang sesepuh. Sebelum
Perkawinan sumber mata air
mengambil air dari sombher lakè’,
dilantunkan sholawat dan dilanjutkan
sebagian lirik lagu Tonḍu’ Majâng.
Nasi rasol dan jajanan dibagikan pada
Penutup Pembagian makanan seluruh masyarakat desa yang hadir pada
prosesi rokat sombher.
Sumber: Aniyah, 2017: 67 – 80
Moḍung tergolong dalam kesenian topeng arak-arakan dan topeng tarian. Hal ini terlihat
jelas melalui adanya dua macam tarian yang dibawakan saat prosesi rokat sombher, yakni
tari arak-arakan yang cenderung lebih bebas, dan tari topeng bercerita yang ragam
geraknya mengikuti karakter dan lakon. Ada pun fungsi dari tarian ini memang sebagai
101
kelengkapan ritual, maka dari itu kesenian ini memiliki nilai sakral yang cukup tinggi
Membahas suatu objek budaya, maka lekat kaitannya dengan nilai filosofis yang
manusia. Begitu pula dengan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, yang sarat akan nilai,
tumbuh dan berkembang bersama dengan sentuhan dari masyarakat. Ada pun nilai-nilai
dasar yang dimaksud ialah nilai filosofis, yang juga meliputi aspek religi, dan sosial,
sebagai hal utama dalam kehidupan manusia, yang juga dapat berkembang seiring dengan
telah menjadi sebuah kesatuan utuh bersama dengan tradisi rokat sombher, walaupun
terkadang kesenian ini juga dapat ditampilkan secara terpisah (murni sebagai seni
pertunjukan) dari tradisi tersebut130. Oleh karenanya untuk mengupas nilai-nilai dasar
yang terkandung di dalamnya, perlu meninjau dua sisi ini, yakni nilai-nilai dasar dari
kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, dan nilai-nilai dasar yang terkandung pada tradisi
rokat sombher. Kedua sisi ini memang perlu ditinjau secara terpisah, mengingat kesenian
topeng Patèngtèng Moḍung juga dapat dipentaskan di luar rokat sombher, hanya saja
unsur sakral akan lebih didapat ketika pementasan dilakukan dalam ritual rokat sombher.
129
Lihat: Hélène Bouvier, loc. cit.
130
Aniyah, S.Sn., dalam Diskusi tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan, (Bangkalan:
Trèsna Art. 2021), 29 Desember 2021.
102
1. Nilai-nilai Dasar Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung
Pada dasarnya, kesenian topeng memiliki fungsi utama yakni sebagai sarana
hiburan. Namun oleh karena adanya perjalanan tradisi, unsur magis, dan nilai-nilai adat,
mengantarkan suatu kesenian dapat bertranformasi fungsi, atau setidaknya fungsi dari
kesenian ini juga memungkinkan untuk membawa kesenian ini turut berkembang atau
bahkan bergeser, baik secara nilai, maupun secara fisik. Sesuatu yang tidak dapat
Berdasarkan fungsi dasar kesenian, maka kesenian topeng Patèngtèng Moḍung juga
awalnya berfungsi sebagai sarana hiburan. Tuntutan perkembangan zaman, serta adaptasi
berkembang sedemikian rupa hingga saat ini, baik dari segi fungsi, nilai, dan bentuk.
topeng yang khas dan tidak dapat ditemukan di daerah lainnya. Kendati demikian, pola
umum dari kesenian topeng tetap melekat pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung.
Pola-pola mendasar dari sebuah nilai kesenian topeng ialah landasan filosofis, yang
dibangun berdasarkan pandangan hidup dan pandangan dunia132. Kedua faktor ini
kesenian topeng bagi masyarakat. Hal ini rupanya juga dipegang teguh oleh masyarakat
Madura secara umum, dan masyarakat desa Patèngtèng secara khusus, sehingga
Ada pun nilai-nilai filosofis dari kesenian topeng Patèngtèng Moḍung dapat dilihat
dari beberapa sisi. Sisi-sisi yang dimaksud antara lain (1) pada karakter topeng, (2)
131
Achmad Fatoni, loc. cit.
132
B. Soelarto, op. cit., hlm. 17.
103
kostum topeng, (3) gerak tari, dan (4) lakon cerita. Masing-masing sisi berkaitan dan
saling menguatkan satu dengan lainnya. Perkembangan atau bahkan perubahan nilai atau
pun bentuk terhadap satu sisi saja, maka akan memengaruhi nilai filosofis ke sisi-sisi
lainnya.
topeng yang berkembang di Jawa dan Madura. Tafsir tersebut didasarkan dari bentuk
visual karakter topeng, berdasarkan warna dasar wajah, bentuk khas mata, hidung, mulut
serta ekspresi yang mencerminkan watak dan sifat perangai dari masing-masing tokoh.
Kemudian bentuk visual tersebut dirumuskan melalui tujuan dan nafsu hidup manusia,
seperti yang pernah diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Berikut ialah tafsir nilai filosofis
Tabel 4.6. Tafsir Nilai Filosofis Karakter Topeng Jawa-Madura, Berdasarkan Rumusan
133
Ibid., hlm. 19-20.
104
Terdapat lima tokoh karakter pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung yang
berkembang saat ini. Seperti yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya, karakter pada
kesenian ini sejatinya memiliki banyak kesamaan dengan karakter yang ada pada lakon
Ramayana. Tokoh Ksatrèya Lakè’ identik dengan karakter Rama, maka tafsir terhadap
karakter ini ialah berdasar pada bayangan insan. Tokoh Ksatrèya Binè’ identik dengan
karakter Sinta, maka tafsir terhadap karakter ini ialah berdasar pada tujuan hidup. Tokoh
Bhuta tidak disebutkan dalam tafsir tersebut, setidaknya juga belum jelas tokoh mana
yang dapat diidentifikasi serupa dengan tokoh Bhuta. Namun perannya sebagai tokoh
antagonis utama dalam lakon cerita kesenian ini, maka tokoh Bhuta dapat disejajarkan
dengan Rahwana / Dasamuka dalam lakon Ramayana, walaupun bentuk fisiknya tidak
sama. Oleh karenanya, tafsir terhadap karakter Bhuta dapat didasarkan pada nafsu
amarah.
Tafsir yang disajikan pada tabel 4.6. hanya menghadirkan tokoh utama saja dari
masing-masing lakon yang lazim dipentaskan pada kesenian topeng Jawa dan Madura.
Soelarto memberikan penjabaran tentang tokoh karakter yang lainnya secara terpisah, dan
lebih mengupas pada aspek warna dasar, dan bentuk wajah. Oleh karenanya perlu
meninjau aspek warna dasar serta bentuk wajah terhadap dua tokoh karakter pada
kesenian topeng Patèngtèng Moḍung yang belum dikupas sebelumnya. Dua tokoh
karakter yang dimaksud ialah kedua Punakawan. Putih adalah warna dasar dari kedua
tokoh Punakawan pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung. Dalam hal ini warna putih
seringkali ditafsirkan sebagai warna yang suci. Warna putih juga dapat mencerminkan
sifat yang ceria. Selain itu dua karakter Punakawan ini seringkali dianggap sebagai tokoh
134
Hidrochin Sabaruddin, loc. cit.
105
Nilai filosofis selanjutnya yang terkandung dalam kesenian topeng Patèngtèng
Moḍung dapat ditinjau dari sisi kostum. Telah dibahas pada sub bab sebelumnya tentang
kostum yang dipakai pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung saat ini yang berbeda
dengan kesenian topeng pada umumnya. Oleh karenanya, hal ini juga memiliki makna
filosofis yang berbeda, antara kostum kesenian topeng Patèngtèng Moḍung saat ini, dan
kostum kesenian topeng secara umum. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk meninjau
nilai filosofis pada kostum kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, maka erat kaitannya
Berikut ialah makna filosofis dari pakaian adat Madura yang diaplikasikan sebagai
Tabel 4.7. Makna Filosofis Pakaian Adat Etnis Madura yang Diaplikasikan Sebagai
135
Lihat: Tabel 4.7.
106
Warna putih
Warna putih melambangkan karakter
suci
Bentuk terbuka
Melambangkan sifat Ksatrèya Lakè’
(tidak tertutup di
keterbukaan (Rama)
Baju bagian dada)
pèsa’an Warna hitam
Warna hitam melambangkan karakter
bijaksana
Bentuk celana yang Melambangkan sikap
besar yang selalu bergerak Ksatrèya Lakè’
Celana
Warna hitam (Rama), Bhuta, dan
gombor
Warna hitam melambangkan karakter dua tokoh Punakawan
bijaksana
PAKAIAN PEREMPUAN (MARLÈNA’AN)
Karakter yang
Bagian
Keterangan Fisik Makna Filosofis Menggunakan
Pakaian
Kostum
Simbol religius, nuansa Ksatrèya Binè’ / Dhin
Koḍung Hijab
Islami Aju (Sinta)
Warna merah
Warna merah melambangkan karakter
Ksatrèya Binè’ / Dhin
Kebaya tegas dan berani
Aju (Sinta)
Melambangkan nuansa
Penuh dengan motif
anggun
Melambangkan nuansa Ksatrèya Binè’ / Dhin
Sampèr Penuh dengan motif
anggun Aju (Sinta)
Melambangkan
Ksatrèya Binè’ / Dhin
Perhiasan Perhiasan kejayaan, nuansa
Aju (Sinta)
kebesaran
Sumber: Olahan penulis
Ulasan nilai filosofis pada tabel di atas semakin menunjukkan bahwa kostum yang
dipakai pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung sudah benar-benar telah direfleksikan
oleh nilai filosofis yang terkandung di dalam pakaian adat Madura, walaupun juga
Artinya, peran yang dibawakan oleh masing-masing karakter topeng ini juga melebur ke
dalam karakteristik etnis Madura yang terwujud di dalam pakaian adat tersebut. Hal ini
107
menunjukkan bahwa terdapat penyesuaian antara karakter topeng, dengan karakter
Moḍung dapat ditinjau dari sisi gerak tari. Telah dibahas pada sub bab sebelumnya
tentang aspek tari pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung saat ini, yang cenderung
memiliki ragam gerak yang sederhana. Kesederhanaan ini merupakan simbol dari
kesenian ini masih menunjukkan karakter dari masing-masing tokoh. Tokoh Ksatrèya
Lakè’ menampilkan gerak tari dengan gaya yang gagah, melambangkan wibawa, dan
kharisma dari seorang ksatria. Tokoh Ksatrèya Binè’ menampilkan gerak tari dengan
gaya yang gemulai, melambangkan nuansa anggun. Tokoh Bhuta menampilkan gerak tari
dengan gaya yang ganas, melambangkan angkara murka dari tokoh antagonis. Dua tokoh
Moḍung dapat ditinjau dari sisi lakon. Seperti yang telah dibahas pada sub bab
sebelumnya, tari topeng ini membawakan lakon khusus yang agaknya merupakan
perpaduan dari lakon Ramayana, Panji, dan unsur cerita masyarakat setempat, sehingga
tercipalah lakon cerita baru yang khas. Secara garis besar jalan cerita dari tari topeng ini
ialah mengisahkan kedua tokoh Ksatrèya Lakè’ dan Ksatrèya Binè’ yang tengah
bermesraan, yang kemudian diganggu oleh tokoh Bhuta. Namun para Punakawan segera
menghadang Bhuta, sehingga ia gagal mengganggu kemesraan dua tokoh utama tersebut.
Berdasarkan garis besar cerita tersebut, maka terlihat ada unsur perjuangan ksatria
dalam menghadapi raksasa yang angkara murka. Jika ditarik benang merah nilai filosofis,
maka hal ini serupa dengan kesenian topeng lainnya yang dibangun berdasarkan
108
pandangan hidup dan pandangan dunia136. Sifat mendasar dari ksatria adalah gagah berani
dan pantang menyerah, sedangkan sifat mendasar dari raksasa adalah angkara murka dan
penuh kebencian. Jika meninjau kedua sifat dasar tersebut, maka lakon cerita kesenian
karenanya diperlukan semangat dan keuletan yang luar biasa untuk menghadapinya.
Semua poin ini merupakan cerminan dari karakteristik masyarakat Madura secara umum,
kebiasaan bersifat magis, religius dari kehidupan penduduk asli yang mengandung nilai-
nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang saling berkaitan, serta menjadi sebuah
sistem aturan yang mencakup segala konsepsi kebudayaan dalam mengatur Tindakan
manusia dalam kehidupan sosial137. Konsep ini merupakan kepercayaan yang dilestarikan
secara turun-temurun138.
Suatu tradisi lahir bersamaan dengan perjalanan hidup masyarakat yang telah
membentuk pola secara kompleks. Tentunya dalam hal ini dimensi spasial dan temporal
cukup memengaruhi terhadap tumbuh kembang suatu tradisi, dan juga terpengaruh
penggerak dari sebuah tradisi. Perjalanan dan perkembangan suatu tradisi sangat
bergantung pada kondisi masyarakat yang memilikinya. Oleh karenanya, tidak menutup
136
B. Soelarto, op. cit., hlm. 17.
137
Ariyono dan Aminuddin Sinegar, Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), hlm. 4.
138
Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 1993), hlm. 459.
109
perubahan, atau bahkan kehilangan suatu poin nilai maupun fisik yang terkandung di
dalamnya.
Masyarakat Madura merupakan kelompok yang sangat menjunjung tinggi adat dan
tradisi. Satu dari perwujudan perhatian masyarakat Madura pada adat dan tradisi ialah
peristiwa tertentu, atau mengharapkan suatu tujuan tertentu. Ada pun penyelenggaraan
tradisi upacara adat bagi masyarakat Madura juga ditujukan agar mendapatkan
keselamatan. Berbagai upacara adat tersebut dilaksanakan sebagai cerminan dari siklus
kehidupan, mulai dari pèlèt kanḍung, toron tana, dan berbagai jenis rokat139.
Masyarakat Madura telah lama menggelar tradisi beragam jenis rokat. Ada pun
istilah rokat ialah berasal dari kosakata bahasa Arab, yakni barokah, yang bila
Maka definisi rokat ialah tradisi yang diselenggarakan dengan tujuan untuk
mengharapkan kenikmatan. Tradisi ini serupa dengan tradisi petik ala masyarakat Jawa.
Ada pun beberapa jenis rokat yang biasa dihelat oleh masyarakat Madura antara lain, (1)
rokat tasè’, (2) rokat dhisa, (3) rokat compo’, (4) rokat somor, dan (5) rokat sombher.
Masyarakat desa Patèngtèng telah lama akrab dengan tradisi rokat. Ada pun tradisi
tersebut bertujuan untuk memohon hujan, dan biasanya memang diadakan saat desa
sedang mulai kekeringan. Tradisi ini sudah berlangsung sejak dahulu, dan rutin
dilaksanakan setiap tahun. Ada pun rokat yang biasa diadakan oleh masyarakat desa
Patèngtèng ialah rokat compo’, rokat somor, dan rokat malakè’è sombher (rokat
sombher), yang semunya merupakan suatu kesatuan utuh yang diselenggarakan secara
139
Badrul Munir Chair, “Dimensi Kosmologis Ritual Rokat Pandhaba pada Masyarakat Madura”, dalam
Jurnal SMaRT Studi Masyarakat, Religi dan Tradisi, Vol. VI No. 1. 2020, hlm. 128.
140
Ibid., hlm. 131.
110
bertahap dalam satu prosesi utuh. Tradisi utama dalam rangkaian rokat tersebut ialah
Pelaksanaan rokat sombher di desa Patèngtèng selalu diiringi oleh kesenian topeng
sebagai sarana kelengkapan ritual. Hal ini cukup lazim, mengingat kesenian topeng
memang dapat difungsikan sebagai kelengkapan ritual, dan memang pada dasarnya
sejarah awal mula penggunaan topeng di Nusantara masa pra-sejarah lekat kaitannya
dengan unsur magis untuk pemujaan arwah nenek moyang142. Hal ini menjadikan
kesenian topeng Patèngtèng Moḍung sebagai sebuah keutuhan yang tak terpisahkan dari
Rokat sombher yang biasa diadakan di desa Patèngtèng, merupakan prosesi tradisi
yang cukup kompleks. Di dalamnya mengandung banyak aspek yang bersatu padu
memunculkan suatu rangkaian ritual yang bernilai magis tinggi. Oleh karenanya, untuk
mengetahui nilai-nilai filosofis dari tradisi rokat sombher, maka harus dikupas melalui
sesajen, struktur pertunjukan, dan bacaan doa yang dipanjatkan dalam prosesi ini.
agar debit sumber mata air yang ada di desa desa Patèngtèng143. Maka simbol filosofis
yang dapat dipetik dari tujuan penyelenggaraan rokat sombher ialah elemen air. Air
adalah sumber dari kehidupan, artinya tujuan penyelenggaraan ritual ini tak lain ialah
mengharapkan keberlangsungan hidup masyarakat yang semakin baik. Selain itu, simbol
air hujan dan simbol air dalam sumber, merupakan dua sumber kemunculan air dari sisi
yang berbeda. Air hujan turun langit, dan air dalam sumber adalah air dari bumi, maka
141
Munir, loc. cit.
142
B. Soelarto, op. cit., hlm. 92.
143
Aniyah, S.Sn., loc. cit.
111
makna yang terkandung terkandung di dalamnya ialah konsep langit dan bumi, dengan
artian sebuah harapan agar tercipta keseimbangan antara sumber kehidupan yang turun
Rokat sombher di desa Patèngtèng diadakan di dua tempat, yakni di sombher lakè’,
dan di sombher binè’. Sombher lakè’ adalah tempat pemandian kaum laki-laki, sedangkan
sombher binè’ merupakan tempat pemandian, dan mencuci kaum perempuan144. Selain
itu, penamaan sombher ini rupanya tak hanya berdasarkan pihak yang menggunakan
sumber mata air, namun juga personifikasi sumber mata air ini, yakni sombher lakè’
perwujudan perempuan, simbol feminism. Hal ini dibuktikan dengan adanya air yang
diambil dari sombher lakè’, sebagai simbol “perkawinan” terhadap sombher binè’145.
Adanya pemahaman masyarakat setempat soal “perkawinan” sumber mata air ini,
yakni dengan menganggap sombher lakè’ sebagai unsur maskulin, dan sombher binè’
sebagai unsur feminism, maka hal ini ada kaitannya dengan konsep kuno tentang
kesuburan, yang menjunjung tinggi keseimbangan antara laki-laki dan wanita. Konsep
tersebut adalah lingga yoni, yang merupakan konsep klasik dari Hindu. Konsep ini
biasanya diwujudkan di dalam artefak berupa peninggalan lingga dan yoni yang dapat
ditemukan di berbagai daerah. Di desa Patèngtèng, juga terdapat sebuah yoni yang
Lingga yoni merupakan ajaran mendasar agama Hindu aliran Siwa. Penganut aliran
ini menggunakan lingga yoni sebagai media pemujaan terhadap dewa Siwa. Lingga
merupakan lambang dari dewa Siwa, sedangkan yoni merupakan lambang dari dewi
144
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. 66-67.
145
Lihat: Tabel 4.5.
146
Lihat: Bab II.
112
Parwati, istri dari dewa Siwa147. Lingga yoni merupakan lambang penyatuan antara dewa
Siwa dan dewi Parwati secara seksual. Kendati demikian simbol ini tidak dimaknai
sebatas aktivitas seks belaka, melainkan menjelma sebagai dasar filosofis dan religius
dari ajaran Hindu Siwa. Ada pun bentuk lingga memang didasarkan pada alat kelamin
Ada pun konsep lingga yoni yang terkandung di dalam tradisi rokat sombher di
desa Patèngtèng tercermin dari prosesi perkawinan sumber mata air tersebut. Prosesi
tersebut dimulai dengan pembacaan doa, dan kemudian dilanjutkan mengambil air dari
sombher lakè’, kemudian dituangkan kepada sombher binè’, maka hal ini merupakan
konsep penyatuan antara kedua sombher149. Terlebih tujuan dari ritual ini ialah
mengharapkan hujan dan menambah debit air di sumber tersebut. Artinya, prosesi
penyatuan berkaitan erat dengan simbol kehidupan langit dan bumi, dan hal ini juga
berlaku dalam konsep lingga yoni yang penuh dengan kosmologi. Hanya saja, terdapat
akulturasi dengan religi yang dianut masyarakat setempat, yakni agama Islam, sehingga
konsep lingga yoni yang terkandung dalam ritual ini, tak lagi untuk pemujaan dewa Siwa,
keseimbangan antara laki-laki yang disimbolkan dengan lingga, dan perempuan yang
Sesajen yang disiapkan dalam rokat sombher tentunya penuh dengan makna yang
luhur. Pada sub bab sebelumnya, telah dikupas secara detail tentang sesajen yang
disajikan pada ritual ini. Secara garis besar, berbagai macam sesajen tersebut dapat
147
Novaria Dwi S.P. & Yohanes Hanan Pamungkas, “Yoni Klinterejo Tinjauan Historis dan Ikonografis”,
dalam Jurnal AVATARA, Vol. II No. 3. 2014, hlm. 430.
148
Sunoto, “Lingga Yoni Jejak Peradaban Masyarakat (Jawa, Bali) dari Perspektif Positivistik”, dalam
Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 45 No. 2. 2017, hlm. 157-158.
149
Lihat: Tabel 4.5.
113
dikelompokkan menjadi dua bentuk utama, yakni sajian dari hasil bumi, dan sajian dari
olahan masyarakat setempat. Sajian hasil bumi meliputi buah-buahan, dan semacamnya,
sedangkan sajian hasil olahan masyarakat, meliputi makanan dan minuman olahan,
misalnya nasi rasol, tajhin bhiru, jhâjhân pasar, dan minuman cèndhul. Ada pun makna
yang terkandung dalam sajian hasil bumi ialah segala sesuatu yang berasal dari alam,
akan kembali ke alam. Kemudian makna yang terkandung dalam sajian olahan
masyarakat setempat ialah hasil yang dikelola oleh manusia akan kembali ke alam juga.
Proses ini merupakan simbol alamiah, karena keseimbangan alam, membutuhkan segala
sesuatu yang berasal dari alam, ataupun dari buah tangan manusia, untuk kembali ke alam
juga.
Secara garis besar, struktur pertunjukan yang terdapat dalam rokat sombher,
sejatinya dapat diklasifikasi menjadi tiga unsur penting, yakni unsur hiburan, unsur religi,
dan unsur sosio-kultural. Unsur hiburan yang terkandung di dalam ritual ini ialah adanya
tari topeng, cerita teatrikal yang dimuat dalam tarian, dan iringan musik. Unsur religi
yang terkandung di dalam ritual ini ialah adanya pembacaan sholawat, surah-surah Al-
Quran, dan doa keselamatan. Kemudian unsur sosio-kultural yang terkandung di dalam
ritual ini ialah jalannya ritual yang melibatkan banyak elemen masyarakat di desa
Patèngtèng.
Bacaan doa yang dipanjatkan dalam prosesi rokat sombher merupakan bacaan doa
secara Islam. Ada pun bacaan doa tersebut sudah lazim di dalam tradisi slametan, yakni
meliputi sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, surah Al-Fatihah, Al-Ikhlas (3 kali),
Al-Falaq (3 kali), An-Nas (3 kali), Ayat Kursi, dan doa selamat. Pada hakekatnya, seluruh
rangkaian doa ini ialah memohon keselamatan kepada Allah. Selain itu, harapan dengan
114
kesejahteraan, khususnya melimpahnya hasil bumi, karena air yang diharapkan tetap
mengalir secara lancar. Oleh karena itu, tercermin unsur religius yang tinggi pada
masyarakat setempat dalam nilai ritual ini, dengan kata lain masyarakat desa Patèngtèng
tidak hanya berupaya secara duniawi, namun juga melibatkan Tuhan untuk segala
115
Gambar 4.11. Masyarakat Membawa Sesajian ke Tempat Rokat Sombher
Gambar 4.12. Pertunjukan Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung dalam Ritual Rokat
Sombher
116
Gambar 4.13. Masyarakat Desa Patèngtèng Turut Memeriahkan Pementasan
Gambar 4.14. Sombher Lakè’ yang Merupakan Satu dari Tempat Ritual Rokat Sombher
117
Gambar 4.15. Sombher Binè’ yang Merupakan Satu dari Tempat Ritual Rokat Sombher
118
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Abad XVIII dan XIX dikenal sebagai periode keemasan kesenian di Madura Barat.
Berbagai latar belakang yang muncul sebagai transformasi zaman, telah menghadirkan
beragam kesenian baru secara massal di wilayah ini. Satu di antara karya budaya yang
hadir pada era tersebut ialah kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, yang juga lekat dengan
tradisi rokat atau ritual perkawinan sumber mata air. Adaptasi dengan lingkungan sekitar,
mengantarkan kesenian ini memiliki ciri khas pembeda dari kesenian topeng yang
Eksistensi kesenian ini telah membawa nilai yang membanggakan bagi masyarakat
Perkembangan zaman dan arus globalisasi telah menjadi tantangan bagi perjalanan
kesenian topeng Patèngtèng Moḍung. Kendati demikian, kesenian topeng yang khas ini
masih tetap bertahan hingga kini, walaupun mulai sepi peminat, sehingga menjadikannya
B. Saran
karya budaya ini sebagai sumbangsih perwujudan nilai luhur prestisius bagi masyarakat
119
Kecamatan Modung. Kendati demikian, saat ini perjalanan pelestarian karya budaya ini
sedang menghadapi tantangan zaman yang begitu kompleks serta derasnya arus
globalisasi dengan budaya majemuk yang tak dapat terbendung. Oleh karena itu,
pelestarian topeng Patèngtèng Moḍung merupakan tanggung jawab yang diemban oleh
seluruh lapisan masyarakat, baik dari kalangan pemerintahan, akademisi, pakar sejarah,
pakar budaya, para seniman, serta seluruh lapisan masyarakat, agar nilai luhur topeng
Patèngtèng Moḍung dapat tetap lestari dan terpatri abadi sebagai kekayaan budaya di
kabupaten Bangkalan.
120
DAFTAR PUSTAKA
121
Hosen. 2021. “Topeng Patèngtèng Moḍung”. Silaturahim dan Penelusuran tentang
Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan: 7 Desember 2021,
Bangkalan: Patèngtèng.
kabarindoraya.com. 2021. “Topeng Dalang dan Oksigen Gili Iyang Kebanggaan
Kabupaten Sumenep”. https://kabarindoraya.com/topeng-dalang-dan-
oksigen-gili-iyang-kebanggaan-kabupaten-sumenep/. Diakses pada: 25
Desember 2021.
Kasnowihardjo, G. 2021. Asal – Usul dan Sejarah Orang Madura: Kajian Arkeologi –
Sejarah. Yogyakarta: Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
kbbi.web.id. 2021. “Definisi Topeng”. KBBI. https://kbbi.web.id/. Diakses pada: 23
Desember 2021.
Knaap, G. J. 1996. Shallow Waters, Siling Tide. Leiden: KITLV Press.
Kunst, J. 1927. Hindoe-Javaansche Muziek-Instrumenten Speciaal die van Oost Java.
Bandoeng: Druk O. Kolff & Co-. Weltevreden.
Mistortoify, Z. 2021. “Budaya Musik Daerah Etnis Madura”.
https://etnomusikologisolo.wordpress.com/2010/04/06/budaya-musik-
daerah-etnis-madura/. Diakses pada: 25 Desember 2021.
Munir. 2021. “Topeng Patèngtèng Moḍung”. Silaturahim dan Penelusuran tentang
Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan: 7 Desember 2021,
Bangkalan: Patèngtèng.
Notulen Diskusi tentang “Topeng Patèngtèng Moḍung”, pada 29 Desember 2021.
Notulen Silaturahim dan Penelusuran tentang “Hong-bahhong”, pada 6 April 2021.
Notulen Silaturahim dan Penelusuran tentang “Topeng Patèngtèng Moḍung”, pada 7
Desember 2021.
Novaria D.S.P. & Yohanes H.P. 2014 Yoni Klinterejo Tinjauan Historis dan Ikonografis.
Jurnal AVATARA, Vol. II No. 3.
Penninga, P. & H. Hendriks. 1936. Practisch Madürees-Nederlands Woordenboek: 2de
druk. Semarang: G. C. T. van Dorp & Co. N. V.
Pigeaud, Th. 1938. Javaanse Volksvertoningen Bijdrage tot de Beschrijving van Land en
Volk. Jogjakarta: Martinus Nijhoff Uitgever ‘s-Gravenhage.
Rahayu, L.P., dkk. 2019. "Potensi Wisata Pesisir Selatan Modung." Seminar Nasional
Budaya Madura V". Membangun Pariwisata Madura Berbasis Budaya
Lokal. Bangkalan: UTM Press.
Rosul. 2021. “Pelestarian Topeng Patèngtèng Moḍung”. Diskusi tentang Kesenian
Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan: 29 Desember 2021, Bangkalan:
Trèsna Art.
RPJMD Kabupaten Bangkalan Tahun 2013 - 2018.
Sabaruddin, H. 2020. “Mengungkap Keberadaan Tari Topeng Patengteng -
Modung”. https://www.youtube.com/watch?v=enEB9QApebw. Diakses
pada: 19 Desember 2021.
Soekanto. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.
Soelarto, B. 1977. Topeng Madura (Topong). Jakarta: Ditjen Kebudayaan Departemen P
& K.
Sudarsono. 2021. “Kesenian Topeng Dhâlâng, Hong-bahhong dan Topeng Patèngtèng
Moḍung”. Hasil Wawancara Pribadi: 9 April 2021, Bangkalan: Sanggar
Tarara.
122
__________. 2021. “Pementasan Topeng Patèngtèng Moḍung di Paruh Kedua Abad
XX”. Diskusi tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan: 29
Desember 2021, Bangkalan: Trèsna Art.
Sunoto. 2017. Lingga Yoni Jejak Peradaban Masyarakat (Jawa, Bali) dari Perspektif
Positivistik. Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 45 No. 2.
Taufan, M.R., 2021. Tinjauan Historis dan Kulturan Oḍheng Tongkosân Bhângkalan:
dan Perkembangannya hingga Kini. Bangkalan: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Bangkalan.
Tjakraningrat. 1936. Madoera en Zijn Vorstenhuis. Surabaya: Cliché’s en Druk: G. Kolff.
& Co.
Valentijn, F. 1726. Oud en Nieuw Oost Indies IV: Beschryving van Groot Djava , of te
Java Major. Dordrecht & Amsterdam: Met Privilegie.
__________. 1728. Nieuwe en Zeer Naaukeurige Kaart van t Eyland Java Major of Groot
Java Verdeeld in Seven Byzondere Bostekken. (Peta).
Verbeek, R. D. M. 1923. Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-
Indie 1923: Inventaris der Hindoe-oudheden. Batavia: Albrecht & Co., M.
Nijhoff s-Gravenhage.
Wongsokasoemo, R., dan M. S. Notosoedjono, Riwajat Madoera.
Zainab, S., dkk. 2020. Ragam Batik Madura - Bhatèk Patèngtèng Moḍung, sebuah
Tinjauan Historis dan Kultural. Bangkalan: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Bangkalan.
123
LAMPIRAN
124
LAMPIRAN 1
DAFTAR INFORMAN
Foto
Foto
125
Foto
Foto
126
Foto
Nama Hosen
Spesifikasi Pengurus topeng Patèngtèng Moḍung
Tema Seputar Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung
Kediaman Remma, dusun Plèntaan, desa Patèngtèng,
Lokasi
kecamatan Moḍung
Waktu 7 Desember 2021
Foto
Nama Munir
Pelaku serta koordinator acara kesenian topeng
Spesifikasi
Patèngtèng Moḍung
Tema Seputar Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung
Kediaman Remma, dusun Plèntaan, desa Patèngtèng,
Lokasi
kecamatan Moḍung
Waktu 7 Desember 2021
127
Foto
Foto
128
Foto
Foto
10
129
Foto
11
Foto
12
130
Foto
13
Foto
14
131
BIODATA PENULIS
e-mail : mrtaufan1996@kesultanan-bangkalan.or.id
: SMPN 2 Bangkalan
: SMAN 2 Bangkalan
132
INDEKS
A
Abimanyu (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………..48
Agung (sultan Mataram)………………………………………………………………..32
Alaskokon (desa)………………………………………………………………………. 26
Allah (Tuhan)………………………………………………………………………….114
Anggada (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………………………………48
Anoman Sapuangin (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………...48
Antareja (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………….48
Arjuna (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………………….45, 104
Arjuna Sasrabahu (sastra)……………………………………………………………… 44
Arjuna Wiwaha (sastra)…………………………………………………………………44
Arosbaya (kota)…………………………………………………………………………32
Arya Prabu (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………….48
Aryo Kusumo, Pangeran…………………………………………………………...1, 4, 78
B
Bagong (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………...45, 48, 58, 65, 66, 83, 84, 85, 92
Baladewa (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………………48, 104
Balet (dusun)……………………………………………………………………………26
Bambang Tejakusuma, anak Janaka (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………..48
Bangkalan (kabupaten, kota, keraton)…………1, 3, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 18, 19,
……………………………………………20, 23, 24, 25, 26, 28, 31, 34, 45, 47, 49,
……………………………………………50, 51, 52, 58, 61, 63, 65, 67, 68, 69, 70,
……………………………………………71, 72, 73, 74, 75, 83, 91, 96, 115, 116,
…………………………………………………………………...117, 118, 119, 120
Banowati (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………………….. 104
Basudewa (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………..48
Batara Kresna (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………48
Betala Marjan (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………48
Bhuta (tokoh dalam kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)…………..37, 65, 66, 68, 80,
…………………………………………………………………...82, 84, 85, 86, 87,
…………………………………………………………………...88, 92, 98, 105,
…………………………………………………………………..........106, 107, 108
Bima (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………………….104
Blega (daerah)…………………………………………………………...24, 32, 33, 34, 35
Blega (sungai)…………………………………………………………………………..33
Boma Jatasura (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………………………...48
Brakas Dajah (desa)……………………………………………………………………. 26
Bulak (dusun)…………………………………………………………………………...26
C
Cakraadiningrat I, Sultan…………………………………………………………5, 54, 56
Cakraadiningrat II, Sultan………………………………………...5, 45, 47, 54, 56, 58, 59
Cakraadiningrat V, Panembahan……………………………….5, 6, 12, 54, 56, 59, 60, 61
133
Cakraadiningrat VI, Panembahan…………………………………………………...54, 59
Cakraadiningrat VII, Panembahan………………………………………………. 5, 54, 56
Cakraadiningrat VIII, Panembahan………………………………………………5, 54, 56
Cakraningrat I, Pangeran…………………………………………………………5, 54, 56
Cakraningrat II, Panembahan…………………………………………………….5, 54, 56
Cakraningrat III, Pangeran……………………………………………………………...54
Cakraningrat IV, Pangeran……………………………………………………….5, 54, 56
Candrakirana (tokoh dalam kesenian topeng)……………………………………...45, 104
Chou Ku Fei (penulis kronik)…………………………………………………………...28
D
Dalpenang (kelurahan)………………………………………………………………….31
Damarwulan (lakon wayang dan seni topeng)…………………………………………..46
Dasamuka, Rahwana (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………..48, 104, 105
Dewi Kunti (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………48
Dewi Retno Jindogo (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………. 104
Dewi Sarag (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………………... 104
Dewi Sinta (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………… 48
Dewi Srikandi (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………48
Dewi Sumbadra (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………….48
Drogok (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………….. 49
Dur (pemeran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)……………………………….65, 66
Dursadana (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………..48
Duryodana (tokoh dalam kesenian topeng)……………………………………………104
E
Endin (pemeran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)………………………………... 65
G
Gandamana (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………48
Ganesha (arca)………………………………………………………………………28, 31
Gatotkaca (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………..48
Gigir (desa)…………………………………………………………………………….. 27
Glisgis (desa)…………………………………………………………………………... 26
Gresik (kabupaten)……………………………………………………………………...90
Gunungsari (tokoh dalam kesenian topeng)……………………………………43, 45, 104
H
Harihara (arca)……………………………………………………………………... 29, 31
Hong-bahhong (kesenian)…………………………………………………...12, 60, 61, 75
Hosen (pengurus topeng)…………………………………………………..4, 6, 18, 54, 57
Hyang Bramadewa, putera Hyang Guru (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………48
I
India (negara)…………………………………………………………………………...42
Indonesia (bahasa, negara)…………………………………………………36, 37, 49, 110
134
J
Jamburingin (kerajaan)………………………………………………………….38, 39, 44
Janaka, Permadi (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………….48
K
Kajuh (dusun)………………………………………………………………………….. 26
Kajuh Anak (desa)………………………………………………………………………27
Kakrasana (Baladewa)………………………………………………………………….48
Kalijaga (Sunan)…………………………………………………………………...44, 104
Kandiawan (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………… 48
Kangsadewa (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………..48
Kapi Jembawan (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………….48
Karanganyar (desa)……………………………………………………………………..26
Kartala (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………………… 45, 104
Kediri (kerajaan)………………………………………………………………………..42
Kemoning (desa)………………………………………………………………………..31
Klana Sepuh (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………45, 104
Klana Timur (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………45, 104
Kolla (desa)……………………………………………………………………………..25
Konang (kecamatan)……………………………………………………………….. 32, 34
Krojeh (dusun)………………………………………………………………………….26
Ksatrèya Binè’ / Sinta / Dhin Aju (tokoh dalam kesenian topeng Patèngtèng
Moḍung)…………………………………………………………65, 67, 80, 81, 82,
…………………………………………………………………...84, 85, 86, 87, 88,
…………………………………………………………………...90, 91, 92, 98,
…………………………………………………………………..........105, 107, 108
Ksatrèya Lakè’ / Rama (tokoh dalam kesenian topeng Patèngtèng
Moḍung)…………………………………………………………65, 67, 80, 81, 82,
…………………………………………………………………...84, 85, 87, 88, 90,
…………………………………………………………………...91, 92, 98, 105,
…………………………………………………………………………………..108
Kwanyar (kecamatan)…………………………………………………………………..24
Kumbakarna (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………….104
Kumudaningrat (tokoh dalam kesenian topeng)……………………………………….104
L
Labuan (toponim)……………………………………………………………………… 33
Langpanggang (desa)…………………………………………………………………...26
Lasem (motif batik)……………………………………………………………………..90
Layangkumitir (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………………………...49
Layangseta (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………49
Ling Way Tai-ta (kronik)……………………………………………………………….28
Lingga (peninggalan arkeologis)………………………………………… 17, 31, 112, 113
135
M
Madura (pulau, selat, wilayah, istilah etno-antropologis)…1, 3, 4, 6, 7, 9, 10, 13, 14, 15,
……………………………………………………….16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24,
……………………………………………………….26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34,
……………………………………………………….35, 37, 38, 39, 40, 42, 43, 44,
……………………………………………………….45, 46, 47, 49, 50, 51, 52, 58,
……………………………………………………….61, 63, 64, 77, 78, 79, 83, 84,
……………………………………………………….85, 86, 87, 88, 90, 92, 93, 94,
……………………………………………………….96, 97, 103, 104, 105, 106,
……………………………………………………………...107, 108, 109, 110, 119
Madura Barat (kawasan, kerajaan)…………………………4, 5, 6, 12, 15, 16, 30, 31, 32,
……………………………………………………….54, 55, 56, 59, 60, 61, 62, 119
Madura Timur (kawasan, kerajaan)……………………………………………………..32
Mahabharata (lakon wayang dan seni topeng)………………40, 42, 43, 45, 47, 49, 64, 79
Majapahit (kerajaan)……………………………………………………………………44
Malangan (gaya topeng)………………………………………………………………...84
Manggan (desa)…………………………………………………………………………26
Mangkunegara IV (adipati)……………………………………………………………..46
Mangkunegara V (adipati)……………………………………………………………... 46
Mangkunegaran (kadipaten)…………………………………………………………… 46
Mataram Islam (kerajaan)……………………………………………….33, 43, 45, 46, 61
Menak Senaya, Prabu…………………………………………………………...38, 39, 44
Mestu (pemeran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)…………………………….65, 66
Mincai (dusun)……………………………………………………………..26, 28, 29, 112
Muhammad (Nabi)…………………………………………………………………….114
Mulawanu, Ratu Indran (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………….49
Munir (pelaku dan koordinator kesenian topeng)…………………………………….7, 18
Museum Cakraningrat Bangkalan (museum)…………………………………………...51
N
Negarakretagama (naskah)……………………………………………………………...44
Neroh (desa)…………………………………………………………………………….25
Nusantara (kepulauan)……………………………………………42, 85, 87, 92, 111, 119
Nyai Tumenggung Suna (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………………48
O
Oḍheng Tongkosân Bhângkalan (penutup kepala)………………………………….12, 60
P
Paeng (desa)…………………………………………………………………………….25
Pakacangan (kota di Madura abad XVI)………………………………………………...32
Pakubuwana II (susuhunan)…………………………………………………45, 46, 58, 88
Pakubuwana III (susuhunan)……………………………………………………………45
Pakubuwana VII (susuhunan)……………………………………………….45, 46, 47, 58
Pakong (desa)…………………………………………………………………………...26
Pamekasan (kabupaten, kota)……………………………………32, 38, 39, 44, 47, 60, 61
Pancadnyana (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………..49
Pandita Durna (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………48
136
Pandu Dewanata (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………………………48
Pandu Pragola (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………49
Pangpajung (desa)………………………………………………………………………25
Panji (lakon wayang dan seni topeng)………………………….40, 42, 45, 46, 79, 81, 108
Panji Sepuh (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………………...104
Panji Timur (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………………...104
Paranyai (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………….49
Pararaton (naskah)……………………………………………………………………... 44
Parwati (Dewi)………………………………………………………………………...113
Patereman (desa)………………………………………………………………………..25
Patih Gambir-saketi nagari Rancang-kencana (tokoh dalam kesenian topeng Madura)...48
Pesisir (dusun)…………………………………………………………………………..26
Petruk (tokoh dalam kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)…………….65, 66, 83, 85, 92
Plumudewa, tukang taman, anak Dasamuka (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…..48
Prabu Bulantani (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………….48
Prasta, putera Ratu Sumangli Selagringging (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…..49
R
Raja Sebrang (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………….104
Ramayana (lakon wayang dan seni topeng)……………1, 40, 42, 45, 49, 64, 78, 79, 81,
……………………………………………………………...82, 83, 84, 86, 105, 108
Ratu Sabrang, Daeng Bragalba (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………..48
Remma alias Mbok Misro (pelaku dan pengurus topeng).....................2, 18, 62, 63, 65,
………………………………………………………………………...71, 72, 73, 93
S
Sabaruddin, Hidrochin (pemeran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)…...19, 28, 66, 86
Samba (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………48, 104
Sampang (daerah)………………………………………………1, 4, 23, 24, 31, 32, 53, 78
Sapeh (dusun)………………………………………………………………………….. 26
Sarpakenaka (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………….104
Sasra, R.M. Hasan (pemeran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)………………..65, 66
Semar (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………...45, 48, 49, 58
Sembadra (tokoh dalam kesenian topeng)……………………………………………..104
Sentyaki (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………….48
Serabi Barat (desa)………………………………………………………………….25, 27
Serabi Timur (desa)……………………………………………………………………..25
Sidoarjo (kabupaten)……………………………………………………………………90
Situs Panji Laras (peninggalan arkeologis)……………………………………………..31
Situs Sumur Daksan (peninggalan arkeologis)………………………………………….31
Siwa (Dewa)………………………………………………………………….29, 112, 113
Sreseh (kecamatan)……………………………………………………………………..24
Srikandi (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………………104
Storjoan (motif batik)……………………………………………………………...90, 106
Subali atau Sribali (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………..48
Sumenep (kabupaten, kota)……………………………………………...10, 15, 32, 52, 93
Surakarta (kerajaan, keraton)……………………………………………46, 58, 61, 62, 84
Suryoadiningrat, Pangeran……………………………………………………………...47
137
Suwaan (desa)………………………………………………………………………26, 27
T
Tabiruan (motif batik)…………………………………………………………………..90
Tanjung Bumi (batik, kecamatan)…..……………………………………………… 75, 90
Thailand (negara)……………………………………………………………………….86
Tlageh (dusun)………………………………………………………………………….26
Togog (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………………45, 49
Tonjhung / Maduretna (kota, keraton)…………………………………………………..32
Tragah (kecamatan)……………………………………………………………………. 31
Tumapel / Singhasari (kerajaan).………………………………………………………..43
U
Usman Jati (pemeran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)……………………….65, 66
V
Valentijn (penulis buku)………………………………………………………...17, 32, 33
W
Werkudara (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………….48
Wibisana (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………………………………48
Y
Yeyek (pemeran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)………………………………..65
Yogyakarta (kerajaan, keraton)………………………………………………… 61, 62, 84
Yoni (peninggalan arkeologis)……………………………………17, 28, 30, 31, 112, 113
138
139