Anda di halaman 1dari 162

TOPENG

PATÈNGTÈNG
MOḌUNG

Sebuah Tinjauan Historis dan Kultural

i
ii
TOPENG
PATÈNGTÈNG
MOḌUNG

Sebuah Tinjauan Historis dan Kultural

Muhammad Rizki Taufan, S.Pd.

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN


DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

Tahun 2021

iii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Syukur Alhamdulillah saya panjatkan pada Allah SWT yang telah melimpahkan

segala rahmat, taufik, ridho dan hidayah-Nya, sehingga penelitian berjudul “Topeng

Patèngtèng Moḍung: Tinjauan Historis dan Kultural” dapat diselesaikan dengan baik.

Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah

mengantarkan umat Muslim keluar dari alam kegelapan.

Saya berupaya mengupas informasi seputar topeng Patèngtèng Moḍung dari dua

sisi, yakni historis dan sosio-kultural. Penelitian ini menggambarkan kekayaan kearifan

lokal masyarakat Madura di kabupaten Bangkalan yang memiliki representasi karakter

dan keunikan kehidupan keseharian mereka. Keunikan tersebut merupakan “harta

terkubur”, potensi besar bagi pembangunan SDM di Bangkalan. Topeng Patèngtèng

Moḍung telah menjadi kebanggaan serta simbol alamiah, karena pada dasarnya karya

budaya unik tersebut murni muncul dari gambaran kehidupan masyarakat Madura di

Bangkalan secara kronologis. Saya membawakan tulisan ini sebagai upaya “memanggil

kembali” nilai-nilai yang terkandung dalam karya budaya yang sakral ini guna menjadi

pedoman bagi masa depan masyarakat Bangkalan yang lebih baik.

Saya sadar bahwa penelitian ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Saya

sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak terkait yang telah membantu saya dalam

menyelesaikan penelitian ini. Saya juga sadar bahwa penelitian ini masih belum

sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran membangun sangat diharapkan sebagai

evaluasi bagi penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan kontribusi besar

bagi perjalanan adat dan budaya masyarakat Bangkalan.

iv
Wabillahi taufiq wal hidayah, wa ridha wal inayah, wassalamualaikum wa

rahmatullahi wa barakatuh.

Bangkalan, 10 Desember 2021

Penulis,

v
SAMBUTAN

BUPATI BANGKALAN

Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, oleh karena limpahan

kasih sayang, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga kita semua masih diberi

kesempatan untuk tetap beraktivitas dengan baik di tengah maraknya pandemi yang

sedang berlangsung ini. Semoga kita senantiasa sehat dan selalu dalam lindungan-Nya.

Aamiin ya Rabb. Shalawat dan salam juga tak lupa dicurahkan pada junjungan nabi besar

kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah mengantarkan ummat Islam ke jalan yang penuh

berkah, baik di dunia maupun akhirat. Semoga kita semua mendapatkan syafaatnya kelak.

Aamiin ya Rabb.

Saya menyambut baik, penulisan buku “Topeng Patèngtèng Moḍung: Tinjauan

Historis dan Kultural”, sebagai suatu rintisan dalam memerkaya khazanah dan referensi

di kabupaten Bangkalan yang kita cintai ini. Penulisan buku ini, merupakan sebuah

gagasan cemerlang untuk mengangkat kembali "permata" kita yang telah terkubur,

vi
sehingga generasi penerus Bangkalan dapat terus menikmatinya tanpa lekang oleh zaman.

Tulisan-tulisan ini juga membuktikan bahwa kabupaten Bangkalan memiliki perjalanan

sejarah yang begitu panjang dan gemilang, di kemudian hari menelorkan hasil nilai-nilai

adat dan tradisi yang masih berlaku hingga kini, antara lain tercerminkan dalam tema

yang diangkat pada buku ini.

Saya atas nama pribadi dan atas nama pemerintah kabupaten Bangkalan, sedang

menggali berbagai potensi yang ada, baik dari segi pariwisata, kesenian, budaya, dan

khazanah sejarah. Oleh karenanya, seluruh potensi daerah yang ada di kabupaten kita ini

sangat perlu dimaksimalkan secara serius, sehingga akan menjadi bekal dan pedoman

utama bagi masyarakat Bangkalan dalam menghadapi tantangan zaman. Sesuai dengan

catatan sejarah Bangkalan yang begitu gemilang, maka begitu pula masa depan gemilang

kabupaten Bangkalan, di mana kita sedang menjalankannya bersama-sama saat ini.

Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi seluruh langkah kita.

Demikian sambutan saya selaku bupati Bangkalan, semoga bermanfaat untuk kita

semua.

Wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Bangkalan, 10 Desember 2021

BUPATI BANGKALAN

R. ABDUL LATIF AMIN IMRON

vii
SAMBUTAN

KEPALA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

KABUPATEN BANGKALAN

Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Dengan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan kasih sayang,

rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, saya selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kabupaten Bangkalan berkesempatan untuk mengadakan penelitian “Topeng Patèngtèng

Moḍung: Tinjauan Historis dan Kultural” sebagai gebrakan dalam menambah literasi dan

referensi soal sejarah dan budaya di kabupaten Bangkalan.

Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa kabupaten Bangkalan memiliki

karya adat yang begitu gemilang, merupakan bagian dari generasi yang mampu

menyumbangkan cipta karsa dalam suatu ruang perkembangan kebudayaan dengan

berlandaskan kebenaran nilai-nilai falsafah sosial yang telah berlangsung lama. Oleh

karenanya, sumbang pemikiran dalam bentuk kegiatan penelusuran ini, merupakan

sebuah kebanggaan dan penghargaan yang amat bernilai bagi kita semua selaku

masyarakat Bangkalan, karena sampai saat ini kita masih dapat menikmati, dan

viii
mengimplementasikan segala makna dan hakekat falsafah nilai-nilai sosial dari bentuk

adat dan kebudayaan tersebut.

Sebagai seorang yang bertanggung jawab dalam urusan kebudayaan dan pariwisata

di kabupaten Bangkalan, saya sangat mendukung kegiatan penelusuran ini dengan

hadirnya karya yang ditulis di dalamnya. Tentunya, dengan keberadaan hasil penelusuran

yang dituangkan dalam bentuk buku ini akan semakin memerkaya khazanah keilmuan di

Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan sejarah, adat, dan budaya di kabupaten

Bangkalan.

Satu hal yang kita harapkan terkait dengan ungkapan rasa hormat dan ucapan rasa

terima kasih saya, adalah tingkat konsistensi segenap jajaran saya untuk tetap menjaga

dan melestarikan segala bentuk adat budaya dengan memersembahkan karya terbaik bagi

generasi mendatang. Kita perlu memiliki kesamaan persepsi, bahwa besok matahari akan

terbit, oleh karena itu diperlukan kesungguhan bagi semua pihak dalam melakukan

berbagai hal agar hari esok lebih baik dari hari ini, hari ini dapat lebih baik dari hari

kemarin. Mudah-mudahan, Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk pada kita semua.

Wa billahi taufik wal hidayah, wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Bangkalan, 10 Desember 2021

KEPALA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA


KABUPATEN BANGKALAN,

H. MOH. HASAN FAISOL S.STP., M.M.


Pembina Tingkat I
NIP. 198307142001121002

ix
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………..........iv
SAMBUTAN BUPATI BANGKALAN………………………………………………..vi
SAMBUTAN KEPALA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
KABUPATEN BANGKALAN………………………………………………………..viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..x
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………xi
DAFTAR TABEL……………………………………………………………………..xiii
DAFTAR ISTILAH……………………………………………………………………xiv
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………………..xviii
DAFTAR LAMPIRAN..………………………………………………………………xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………...1
B. Batasan Masalah…….………………………………………………. 3
C. Rumusan Masalah……………………………………………………7
D. Tujuan Penelitian………………………………………………..…...8
E. Manfaat………………………………………………………………8
F. Tinjauan Pustaka……………………………………………………..8
G. Metode Penelitian………………………………………………….. 11
H. Sistematika Penulisan……………………………………………… 20
BAB II SELAYANG PANDANG
A. Gambaran Umum Desa Patèngtèng Moḍung………………………. 22
B. Seputar Kesenian Topeng Madura………………………………….35
BAB III TINJAUAN HISTORIS TOPENG PATÈNGTÈNG MOḌUNG
A. Awal Mula Kemunculan Topeng Patèngtèng Moḍung…………….. 53
B. Tumbuh Kembang dan Upaya Pelestarian Topeng
Patèngtèng Moḍung………………………………………………...62
BAB IV TINJAUAN KULTURAL TOPENG PATÈNGTÈNG MOḌUNG
A. Deskripsi dan Aspek-aspek Pendukung Kesenian Topeng
Patèngtèng Moḍung………………………………………………...77
B. Nilai-nilai Dasar Topeng Patèngtèng Moḍung…….………………102
BAB V PENUTUP
A. Simpulan…………………………………………………………..119
B. Saran………………………………………………………………119
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………121
LAMPIRAN………………………………………………………………………….. 124
BIODATA PENULIS…………………………………………………………………132
INDEKS……………………………………………………………………………….133

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta Pulau Madura Tahun 1922…………………………………………22


Gambar 2.2. Peta Wilayah Administratif Bangkalan……………………………........23
Gambar 2.3. Peta Wilayah Kecamatan Modung……………………………………...25
Gambar 2.4. Diagram Luas Wilayah Desa di Kecamatan Modung…………………...26
Gambar 2.5. Peta Desa Patengteng…………………………………………………...27
Gambar 2.6. Arca Harihara di desa Patengteng, kecamatan Modung………………...29
Gambar 2.7. Yoni di desa Patengteng, kecamatan Modung………………………….. 30
Gambar 2.8. Peta Madura Tahun 1726, Tampak Wilayah Blega yang Mencakup
Wilayah Kecamatan Modung Kini……………………………………...33
Gambar 2.9. Peta Madura Tahun 1854, Terlihat Wilayah Bernama Petinting yang Kini
Dikenal sebagai Patengteng……………………………………………. 34
Gambar 2.10. Peta Madura Tahun 1939, Tampak Kawasan Kecamatan Modung
(Termasuk Desa Patengteng) Berada di Wilayah Kawedanan
Blega……………………………………………………………………35
Gambar 2.11. Sekelompok Penari Orkes Saronen di Pamekasan, Tampak Ada Penari
yang Memakai Topeng………………………………………………….47
Gambar 2.12. Tari Topeng Madura yang Dipertunjukkan Tahun 1948……………….. 50
Gambar 2.13. Tari Topeng di Bangkalan…………………………………………........51
Gambar 2.14. Topeng Madura yang Disimpan di Museum Cakraningrat
Bangkalan………………………………………………………………51
Gambar 3.1. Silsilah Penguasa Monarkhi Madura Barat……………………………..55
Gambar 3.2. Remma alias Mbok Misro, Sesepuh, Saksi Sejarah sekaligus Pengurus
Topeng Patèngtèng Moḍung yang Masih Ada…………………………. 63
Gambar 3.3. Karakter Ksatrèya Lakè’ (Rama) dalam Topeng Patèngtèng
Moḍung…………………………………………………………………67
Gambar 3.4. Karakter Ksatrèya Binè’ (Sinta) dalam Topeng Patèngtèng
Moḍung…………………………………………………………………67
Gambar 3.5. Karakter Bhuta atau Raksasa dalam Topeng Patèngtèng Moḍung……...68
Gambar 3.6. Karakter Punakawan dalam Topeng Patèngtèng Moḍung………………68
Gambar 3.7. Karakter Punakawan dalam Topeng Patèngtèng Moḍung………………69
Gambar 3.8. Kunjungan Disbudpar Bangkalan ke Lokasi Pertunjukan Topeng
Patèngtèng Moḍung, Tahun 2019……………………………………… 71
Gambar 3.9. Kunjungan Disbudpar Bangkalan ke Kediaman Ibu Remma (Pengurus
Topeng), Patèngtèng Moḍung, Tahun 2021…………………………….72
Gambar 3.10. Foto Bersama Ibu Remma dengan Dua Seniman Bangkalan (Aniyah dan
Sufiatun)……………………………………………………………….. 73
Gambar 3.11. Diskusi tentang Topeng Patèngtèng Moḍung, di Trèsna Art, Bangkalan,
29 Desember 2021………………………………………………………74
Gambar 3.12. Diskusi tentang Topeng Patèngtèng Moḍung, di Trèsna Art, Bangkalan,
29 Desember 2021………………………………………………………75
Gambar 4.1. Beberapa Karakter pada Topeng Patèngtèng Moḍung………………….83
Gambar 4.2. Beberapa Karakter dalam Lakon Ramayana pada Topeng Madura……..83
Gambar 4.3. Karakter Bagong pada Topeng Madura…………………………………84

xi
Gambar 4.4. Kostum Penari Karakter Laki-laki, dari Kiri ke Kanan: Pèsa’an, Celana
Gombor, dan Kaos Mèra Potè…………………………………………..89
Gambar 4.5. Kostum Penari Karakter Perempuan, dari Kiri ke Kanan: Koḍung, Kebaya,
Sarong / Sampèr, dan Perhiasan………………………………………...89
Gambar 4.6. Kostum Penari Karakter Ksatrèya Lakè’ pada Topeng Patèngtèng
Moḍung…………………………………………………………………91
Gambar 4.7. Kostum Penari Karakter Ksatrèya Binè’ / Dhin Aju pada Topeng
Patèngtèng Moḍung…………………………………………………….91
Gambar 4.8. Kostum Topeng Dhâlâng Sumenep……………………………………. 93
Gambar 4.9. Alat Musik yang Ditabuh saat Pertunjukan Topeng Patèngtèng Moḍung,
Tahun 2019…………………………………………………………….. 96
Gambar 4.10. Sesajian yang Disiapkan untuk Rokat Sombher………………………. 115
Gambar 4.11. Masyarakat Membawa Sesajian ke Tempat Rokat Sombher………….. 116
Gambar 4.12. Pertunjukan Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung dalam Ritual Rokat
Sombher……………………………………………………………….116
Gambar 4.13. Masyarakat Desa Patèngtèng Turut Memeriahkan Pementasan……….117
Gambar 4.14. Sombher Lakè’ yang Merupakan Satu dari Tempat Ritual Rokat
Sombher……………………………………………………………….117
Gambar 4.15. Sombher Binè’ yang Merupakan Satu dari Tempat Ritual Rokat
Sombher……………………………………………………………….118
Gambar 4.16. Rokat Sombher sedang Dihelat………………………………………...118

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Statistik Kunci Kecamatan Modung Tahun 2017-2019………………... 24


Tabel 2.2. Peninggalan Era Klasik Madura Barat…………………………………. 31
Tabel 2.3. Klasifikasi Kesenian Topeng di Madura……………………………….. 40
Tabel 2.4. Perkembangan Kesenian Topeng di Madura era Mataram – Kolonial….45
Tabel 3.1. Garis Rentang Waktu Silsilah Penguasa Monarkhi Madura Barat……...54
Tabel 3.2. Selisih Garis Rentang Waktu Silsilah Penguasa Monarkhi Madura Barat
(Garis Keturunan Panembahan Cakraadiningrat VIII menuju Pangeran
Cakraningrat I)…………………………………………………….........56
Tabel 3.3. Daftar Kesenian dan Karya Budaya Madura Barat yang Lahir di Abad
XVIII…………………………………………………………………... 60
Tabel 4.1. Perbandingan Warna Fisik – Karakter Topeng Patèngtèng Moḍung,
dengan Topeng Madura secara Umum………………………………….85
Tabel 4.2. Perbandingan Kostum Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung Kini dan
Topeng Madura secara Umum………………………………………….92
Tabel 4.3. Instrumen Musik Pengiring Pertunjukan Topeng Patèngtèng Moḍung
Kini……………………………………………………………………..95
Tabel 4.4. Rincian Aspek Pendukung Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung sebagai
Kelengkapan Ritual Rokat Sombher…………………………………….98
Tabel 4.5. Tahapan Pertunjukan pada Kesenian Topeng Patèngtèng
Moḍung………………………………………………………………..100
Tabel 4.6. Tafsir Nilai Filosofis Karakter Topeng Jawa-Madura, Berdasarkan
Rumusan Tujuan dan Nafsu Hidup sesuai Ajaran Sunan Kalijaga……. 104
Tabel 4.7. Makna Filosofis Pakaian Adat Etnis Madura yang Diaplikasikan Sebagai
Kostum Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung……………………….106

xiii
DAFTAR ISTILAH

Adipati = Gelar yang penguasa wilayah setingkat provinsi di era


Kasultanan Mataram.
Al-Quran = Kitab suci agama Islam.
Arjuna Sasrabahu = Karya sastra di era kerajaan Tumapel.
Arjuna Wiwaha = Karya sastra di era kerajaan Tumapel.
Asat = Tidak memancarkan sumber mata air lagi.
Barokah = Bahasa Arab dari kosakata “nikmat”, atau “kenikmatan”.
Blangkon = Penutup kepala khas Jawa.
Bonang = Alat musik dalam perangkat musik gamelan.
Candra sengkala = Sandi penulisan tahun dengan kalimat yang tiap kata atau
bendanya merupakan lambang dari suatu angka, berdasarkan
kalender dengan perhitungan sistem bulan
Cèndhul = Jenis minuman tradisional (Jawa = cendol)
Compo’ = Bahasa Madura dari kata “rumah”.
Damarwulan = lakon kesenian topeng.
District = Wilayah administratif era kolonial, sebutan Belanda untuk kata
kawedanan, satu tingkat di bawah kabupaten, dan satu tingkat di
atas kecamatan.
Gheddhâng = Bahasa Madura untuk kosakata “pisang”, kelengkapan sesajen
dalam ritual rokat sombher.
Ghendhâng = Alat musik ritmis Madura, biasa dikenal sebagai kendang dalam
bahasa Jawa.
Gombor = Celana tradisional bagi laki-laki Madura.
Gong = Alat musik dalam perangkat musik gamelan.
Gudug = Instrumen tuk-tuk dengan ukuran paling besar.
Heuristik = Tahap pertama dalam penelitian sejarah, yakni pencarian dan
pemilahan sumber-sumber sejarah, digunakan sebagai bahan dasar
analisis masalah.
Historiografi = Tahap terakhir (keempat) dalam penelitian sejarah, yakni
merangkai penafsiran dari semua fakta teranalisis yang disusun
dan ditulis kembali sehingga menjadi karya ilmiah sejarah yang
logis, deskriptif, analitis dan kronologis.
Hong-bahhong = Kesenian khas kecamatan Gheggher, kabupaten Bangkalan.
Interpretasi = Tahap ketiga dalam penelitian sejarah, yakni proses penafsiran
terhadap fakta yang telah diuji pada tahapan kritik. Proses
mencerna fakta dilakukan dalam bentuk analisis dan sintesis.
Jhâjhân pasar = Jajanan pasar, kelengkapan sesajen dalam ritual rokat sombher.
Kadipaten = Wilayah administratif setingkat provinsi di era Kasultanan
Mataram.
Katumenggungan = Wilayah administratif setingkat kabupaten di era Kasultanan
Mataram.
Kawedanan = Wilayah administratif era kolonial, satu tingkat di bawah
kabupaten, dan satu tingkat di atas kecamatan.

xiv
Kebaya = Pakaian tradisional perempuan, lazim digunakan di Nusantara,
khususnya Jawa dan Madura.
Kèlmo’ = Semacam kendi, kelengkapan sesajen dalam ritual rokat
sombher.
Kempul = Alat musik pada seperangkat gamelan.
Kendang = Alat musik dalam perangkat musik karawitan Jawa.
Kennong tello’ = Alat musik pada seperangkat gamelan.
Klono = Nama tarian dalam kesenian topeng Dasok.
Koḍung = Bahasa Madura untuk kosakata kerudung.
Kritik sumber = Tahapan kedua dalam penelitian sejarah upaya untuk
membuktikan otentisitas dan kredibilitas sumber. Kritik sumber ini
mencakup dua hal, yakni kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern
ialah melihat keaslian kondisi fisik sumber atau benda yang
didapat, sedangkan kritik intern akan membahas substansi sumber,
subjektivitas dan objektivitas dalam melihat data tersebut.
Lasem = Motif batik asal Gresik.
Lingga = Simbol kesuburan pria dari Dewa Siwa.
Madoera en Zijn
Vorstenhuis = Sebuah buku karya Bupati III Bangkalan, R.A.A.
Tjakraningrat pada tahun 1936.
Maestro = Seorang ahli dalam bidang tertentu.
Marlèna’an = Baju adat Madura untuk perempuan, identik dengan tokoh
Marlena.
Maulid = Peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW.
Missing link = Mata rantai sejarah yang hilang.
Nagara gata bhuwana
agung = Candra sengkala pada inskripsi lingga yang ditemukan di
kecamatan Tragah, dengan angka tahun 1151 Saka (1229 Masehi).
Nationaal Archief = Arsip nasional negara Belanda.
Negarakretagama = Naskah yang bercerita tentang sejarah Majapahit.
Oḍheng = Sejenis udheng dalam bahasa Jawa, ikat kepala khas etnis
Madura.
Oḍheng tongkosân
Bhângkalan = Sejenis udheng atau penutup kepala khas laki-laki bangsawan
Madura Barat.
Onderdistrict = Wilayah administratif era kolonial, bahasa Belanda untuk kata
kecamatan.
Pancer = Instrumen tuk-tuk yang ukurannya lebih kecil daripada peneros.
Panembahan = Gelar para Adipati dengan ketentuan khusus.
Pangèran = Gelar para putera Raja, dan disematkan pula kepada para Adipati
(penguasa Kadipaten, setara dengan Gubernur).
Pararaton = Naskah yang bercerita tentang sejarah Majapahit.
Pèlèt kanḍung = Tradisi yang berlaku di Madura, untuk ibu dengan usia
kandungan 7 bulan.
Peneros = Instrumen tuk-tuk yang ukurannya lebih kecil daripada gudug.
Pèsaan = Baju adat Madura, identik dengan tokoh Sakera, sehingga
kadang dikenal pula sebagai baju Sakera.
Rama = Karya sastra di era kerajaan Tumapel.

xv
Rasol = Nasi yang dibuat khusus untuk slametan, biasanya pada acara
sakral, kelengkapan sesajen dalam ritual rokat sombher.
Rokat compo’ = Ritual meruwat rumah.
Rokat dhisa = Ritual petik desa ala masyarakat Madura.
Rokat malakè’è
Sombher (rokat
sombher) = Ritual mengawinkan dua sumber mata air.
Rokat tasè’ = Ritual petik laut ala masyarakat Madura.
Rokat somor = Ritual meruwat sumur.
Sakèra’an = Pakaian adat Madura untuk laki-laki, identik dengan tokoh
Sakera.
Sampèr = Sejenis jarik dalam bahasa Jawa, kain batik sebagai kelengkapan
busana tradisional Madura.
Saronèn = Alat musik tiup khas Madura.
Saronèn / salabâdhân = Topeng kecil, jenis topeng menurut klasifikasi berdasarkan skala
pertunjukan topeng.
Sarong = Bahasa Madura untuk kosakata Sarung.
Sekar Madhurâ = Tarian ciptaan Panembahan Cakraadiningrat V.
Sesajen = Sajian yang disiapkan sebagai kelengkapan ritual.
Slendro = Jenis jaras gamelan.
Sombher = Bahasa Madura dari kata “sumber mata air”.
Sombher binè’ = Tempat pemandian perempuan di desa Patengteng, sumber mata
air yang disiramkan air dari sumber mata air sebelumnya (sombher
lakè’) sebagai prosesi dari perkawinan sumber.
Sombher lakè’ = Tempat pemandian laki-laki di desa Patengteng, sumber mata air
yang diambil airnya untuk disiramkan ke sumber mata air
selanjutnya (sombher binè’) sebagai prosesi dari perkawinan
sumber.
Somor = Bahasa Madura dari kata “sumur”.
Stamboom van het
Geslacht
Tjakra/Adi/Ningrat = Silsilah penguasa monarkhi Madura Barat, dimuat dalam buku
Madoera en Zijn Vorstenhuis.
Storjoan = Motif batik asal Sidoarjo.
Tabiruan = Motif batik asal Tanjung Bumi, Bangkalan.
Tajhin bhiru = Sejenis bubur yang terbuat dari beras dan dicampur daun pandan
sehingga menghasilkan warna hijau, kelengkapan sesajen dalam
ritual rokat sombher.
Tak-katek = Instrumen tuk-tuk yang berukuran paling kecil.
Tonḍu’ Majâng = Judul lagu daerah Madura.
Tong-tong = Nama lain dari alat musik tuk-tuk.
Topeng = Definisi “topeng” dalam kosakata bahasa Madura, menurut
kamus bahasa Madura – Belanda, karya P. Penninga & H.
Hendriks.
Topeng dalang = Satu kesenian topeng yang berkembang di Jawa dan Madura.
Topeng dhâlâng
Salè Kertè = Topeng dalang yang berkembang di Bangkalan, dan meluas ke
beberapa wilayah Madura dan sekitarnya.

xvi
Topong = Definisi “topeng” dalam kosakata bahasa Madura, menurut B.
Soelarto.
Toron tana = Tradisi yang berlaku di Madura, ketika bayi berusia tujuh bulan.
Tuk-tuk = Alat musik ritmis khas Madura, khususnya Madura Barat.
Tumenggung = Gelar penguasa wilayah setingkat kabupaten di era Kasultanan
Mataram.
Tung-katung = Instrumen tuk-tuk yang ukurannya lebih kecil daripada pancer.
Turangga kembar
hangapit butho = Candra sengkala pada Situs Sumur Daksan di Sampang, dengan
angka tahun 1277 Saka (1355 Masehi).
Vassal = Negara bagian.
Wedana = Pemimpin wilayah administratif setingkat kawedanan.
Yoni = Simbol kesuburan perempuan dari Dewi Parwati.

xvii
DAFTAR SINGKATAN

Balar Prov. DIY = Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.


BPNB = Balai Pelestarian Nilai Budaya.
BPS Kab. Bangkalan = Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan.
Disbudpar Kab. Bangkalan = Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Bangkalan.
Kabid Kebudayaan = Kepala Bidang Kebudayaan.
KBBI = Kamus Besar Bahasa Indonesia.
KITLV = Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
RIS = Republik Indonesia Serikat.
RT = Rukun Tetangga.
RW = Rukun Warga.
TMII = Taman Mini Indonesia Indah.
TVRI = Televisi Republik Indonesia.
WBTB = Warisan Budaya Tak Benda.

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Informan………………………………………………………. 125

xix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertunjukan topeng Patèngtèng Moḍung adalah kesenian yang tumbuh dan

berkembang di pulau Madura, khususnya di desa Patèngtèng, kecamatan Moḍung,

kabupaten Bangkalan. Sejarah kesenian ini terbilang masih sangat samar, terutama

tentang asal-muasal kemunculannya yang sementara ini hanya didapatkan dari sumber

sekunder dan cerita tutur masyarakat setempat. Aniyah, S.Sn., di dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa kesenian ini diciptakan oleh pangeran asal Sampang, yakni

Pangeran Aryo Kusumo sekitar 200 tahun silam1. Versi tutur menyebutkan bahwa karya

budaya ini telah berkembang pada generasi keenam dan ketujuh2. Belum ditemukan

referensi primer terkait hal ini, sehingga referensi yang telah ada dapat digunakan sebagai

acuan awal, namun bukan sebagai simpulan. Oleh karenanya, perlu diadakan penelusuran

lanjutan.

Kesenian topeng Patèngtèng Moḍung menjadi hal yang tak terpisahkan dengan

ritual perkawinan sumber mata air setempat, atau biasa dikenal dengan istilah rokat

sombher. Adanya pemanfaatan kesenian ini sebagai kelengkapan ritual, menambah nilai

sakral dari karya budaya ini, dan menjadikannya sebagai seni topeng khas yang berbeda

dengan seni topeng serupa, mengingat di dalam karakter topeng – topeng ini sejatinya

mengangkat lakon Ramayana. Adanya perpaduan antara kesenian topeng lakon

Ramayana yang telah dikembangkan dengan rokat sombher, menjadi ciri khas dari

1
Lihat: Aniyah, S.Sn., Pertunjukan Topeng Patengteng dalam Ritual Perkawinan Sumber Kabupaten
Bangkalan Madura, hlm. 44.
2
Notulen Silaturahim dan Penelusuran tentang Topeng Patèngtèng Moḍung pada tanggal 7 Desember 2021.

1
kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, yang tidak terdapat pada kesenian tari topeng

lainnya3.

Saat ini, kesenian topeng Patèngtèng Moḍung masih lestari, walaupun sejatinya

eksistensi kesenian ini mulai terancam. Keberadaan kesenian ini semakin terkikis, baik

berdasar peminatnya, maupun surutnya pemahaman masyarakat terkait nilai tradisi luhur

dari karya budaya ini. Para pelaku mengakui bahwa mereka harus terus melestarikan

kesenian topeng ini, sebagai estafet perjuangan para sesepuh, terutama yang telah wafat

mendahului, walaupun tentu akan menemukan berbagai kesulitan karena tantangan

zaman4.

Surutnya eksistensi kesenian topeng Patèngtèng Moḍung ini berawal dari wafatnya

para pelaku sepuh. Saat ini hanya tersisa satu orang pelaku sepuh, yakni Ibu Remma, yang

kini sudah berusia 86 tahun. Saat ini generasi muda di desa Patèngtèng kurang peduli

terhadap perkembangan kesenian ini, sehingga penyelenggaraan kesenian ini benar-benar

bergantung pada koordinator acara. Kendati demikian, penyelenggaraan kesenian ini

masih terbilang rutin setiap tahun, sebagai sarana estafet tradisi, sekaligus pesta hiburan

masyarakat setempat, yang diselenggarakan di setiap bulan September atau Oktober5.

Pelestarian kesenian topeng Patèngtèng Moḍung memerlukan dasar referensi yang

kuat, khususnya pada landasan historis dan kultural. Referensi tertulis tentang kesenian

ini masih terbilang minim, sehingga terdapat missing link pada perjalanan karya budaya

ini, ditambah dengan gambaran sejarah yang berkembang melalui tutur turun – temurun.

Perkembangan zaman juga menjadi tantangan khusus bagi eksistensi kesenian ini, dan

menjadi masalah serius terhadap proses pelestarian karya budaya ini, serta tidak menutup

3
Lihat: Bab IV.
4
Hosen, dalam Silaturahim dan Penelusuran tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan,
(Bangkalan: Patèngtèng. 2021), 7 Desember 2021.
5
Ibid.

2
kemungkinan akan adanya pergeseran nilai, bahkan hilangnya suatu nilai dari karya

budaya luhur ini. Oleh karenanya, penelusuran mata rantai sejarah yang hilang tentang

kesenian ini perlu dilakukan, agar pelestarian kesenian topeng Patèngtèng Moḍung dapat

tetap berjalan tanpa mengubah atau menggeser nilai luhur yang telah melekat dalam

sanubari sejarah.

Kajian ini difokuskan kepada perjalanan sejarah serta perkembangan nilai-nilai

kultural dari topeng Patèngtèng Moḍung. Belum adanya kajian historis dan kultural yang

rinci mengenai topeng Patèngtèng Moḍung juga menjadi alasan utama terhadap

penelusuran masalah ini lebih dalam. Perjalanan historis serta nilai-nilai kultural dari

topeng Patèngtèng Moḍung ini akan disesuaikan dengan temuan-temuan data yang ada,

lalu dirumuskan dan disusun dengan judul “Topeng Patèngtèng Moḍung: Tinjauan

Historis dan Kultural”.

B. Batasan Masalah

Kajian ilmiah ini menghadirkan rangkaian catatan kronologis dengan batasan

temporal serta spasial sebagai ciri khas penelitian sejarah. Kajian ini memiliki focus

bahasan pada eksistensi topeng Patèngtèng Moḍung, sejak awal kemunculannya, hingga

berkembang sedemikian rupa saat ini, sehingga menjadi kekayaan tradisi dan budaya

masyarakat Madura, khususnya bagi masyarakat desa Patèngtèng, kecamatan Moḍung,

kabupaten Bangkalan.

Batasan temporal pada tulisan ini ialah awal mula kemunculan topeng Patèngtèng

Moḍung dan perkembangannya hingga kini. Tinjauan historis tentang awal mula

kemunculan karya budaya ini belum dapat dipastikan, karena belum ada referensi primer

/ sezaman tentangnya. Sementara waktu, referensi sekunder dan cerita tutur dapat

3
dijadikan acuan sebagai rujukan awal, untuk melihat kisah awal mula munculnya

kesenian topeng ini. Penggunaan sumber sekunder dan cerita tutur ini belum dapat

dijadikan sebagai simpulan, namun penggunaannya dapat dijadikan landasan awal untuk

meninjau otentisitas informasi terkait.

Sumber sekunder telah menceritakan prakiraan awal mula kemunculan kesenian

topeng Patèngtèng Moḍung. Menurut Aniyah, S.Sn., di dalam penelitiannya,

menyebutkan bahwa kesenian ini diperkirakan muncul sekitar dua ratus tahun lalu, yakni

sekitar abad XVIII atau XIX. Menurutnya, tokoh yang mengenalkan kesenian ini pada

masyarakat Patèngtèng ialah Pangeran Aryo Kusumo dari kota Sampang, dengan tujuan

syiar Islam, dan diadopsi oleh masyarakat Patèngtèng sebagai sebuah karya budaya yang

bernilai luhur6.

Cerita tutur tidak menyebutkan kisaran angka tahun dengan rinci, melainkan dari

sisi genealogi pewaris topeng Patèngtèng Moḍung. Keterangan dari pelaku sekaligus

pengurus topeng, yakni Hosen, menyebutkan bahwa kesenian topeng ini telah

berlangsung selama enam atau tujuh generasi. Ia menambahkan bahwa kesenian ini telah

ada sebelum tokoh pertama tinggal untuk abhâbâd tana (membabat tanah), yang terhitung

empat generasi hingga kini7. Keterangan grad silsilah atau generasi pelestari kesenian ini

perlu ditarik prakiraan garis rentang waktu, untuk mengetahui prakiraan awal

kemunculan kesenian ini.

Upaya penelusuran prakiraan garis rentang waktu silsilah hingga generasi keenam

dan ketujuh ini dapat dilakukan dengan metode studi perbandingan, antara garis rentang

waktu silsilah lain, dengan grad yang sama. Misal, peninjauan garis rentang waktu pada

silsilah penguasa monarkhi Madura Barat hingga generasi keenam dan ketujuh. Satu dari

6
Aniyah, S.Sn., loc. cit.
7
Hosen, loc. cit.

4
garis genealogi tersebut dapat ditarik demikian, Pangeran Cakraningrat I (bertahta: 1624

– 1648), berputera (generasi pertama) Panembahan Cakraningrat II (bertahta: 1648 –

1707), berputera (generasi kedua) Pangeran Cakraningrat IV (bertahta: 1718 – 1745),

berputera (generasi ketiga) Panembahan Cakraadiningrat V (bertahta: 1745 – 1770),

berputera (generasi keempat) Sultan Cakraadiningrat I (bertahta: 1780 – 1815), berputera

(generasi kelima) Sultan Cakraadiningrat II (bertahta: 1815 – 1847), berputera (generasi

keenam) Panembahan Cakraadiningrat VII (bertahta: 1847 – 1862), dan berputera

(generasi ketujuh) Panembahan Cakraadiningrat VIII (bertahta: 1862 – 1882)8.

Dari keterangan garis rentang waktu silsilah penguasa Madura Barat, dapat

diketahui bahwa jarak antara generasi terakhir, yakni Panembahan Cakraadiningrat VIII,

menuju generasi keenam di atasnya, yakni Panembahan Cakraningrat II, dan menuju

generasi ketujuh di atasnya, yakni Pangeran Cakraningrat I maka diperoleh tiga angka

tahun wafat, antara lain (1) tahun 1648 saat Pangeran Cakraningrat I wafat, (2) tahun 1707

saat Panembahan Cakraningrat II wafat, dan (3) tahun 1882 saat Panembahan

Cakraadiningrat VIII wafat. Berdasarkan tiga angka tahun di atas, diperoleh kalkulasi

bahwa rentang waktu antara penguasa generasi terakhir menuju generasi keenam di

atasnya yakni 175 tahun, dan menuju generasi ketujuh di atasnya yakni 234 tahun.

Berdasarkan studi perbandingan tersebut, diperoleh data bahwa prakiraan generasi

terakhir menuju generasi keenam di atasnya ialah hampir 200 tahun, sedangkan menuju

generasi ketujuh di atasnya ialah lebih dari 200 tahun. Tentunya kisaran angka tahun ini

tidak baku, karena setiap silsilah tidak akan memiliki rentang waktu yang sama persis,

namun dengan hal ini dapat dijadikan dijadikan pijakan awal untuk melihat awal

kemunculan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, yang telah diwariskan sekitar enam

8
Lihat: Stamboom van het Geslacht Tjakra/Adi/Ningrat dalam R.A.A. Tjakraningrat, Madoera en Zijn
Vorstenhuis, (Surabaya: Cliché’s en Druk: G. Kolff. & Co. 1936), hlm. 79.

5
dan tujuh generasi hingga kini. Prakiraan rentang waktu inilah yang kemudian dijadikan

titik awal landasan temporal dalam penelitian ini.

Keterangan Aniyah dan Hosen tentang awal kemunculan kesenian topeng

Patèngtèng Moḍung ini memiliki data rentang waktu serupa. Aniyah menyebutkan bahwa

kesenian ini diperkirakan muncul sekitar 200 tahun lalu, dan Hosen menyebutkan bahwa

kesenian ini sudah lestari mencapai generasi keenam dan ketujuh, yang berdasar pada

studi perbandingan prakiraan rentang waktu grad silsilah didapat rentang waktu sekitar

200 tahun juga. Oleh karenanya, data tersebut dapat digunakan sebagai titik awal landasan

temporal dalam penelitian ini, yakni pada abad XVIII – XIX (1700-an – 1800-an).

Kemudian untuk memudahkan alur kronologis tentang perkembangan kesenian

topeng Patèngtèng Moḍung, maka pembahasan ini dipaparkan dalam dua pembabakan

masa, yakni masa awal kemunculannya di abad XVIII – XIX (1700-an – 1800-an), juga

pembahasan soal masa pemerintahan Panembahan Cakraadiningrat V, untuk mengetahui

geliat seni dan budaya Madura Barat saat itu, dan pelestariannya kini pada abad XXI

(2000-an)9. Maka dari itu, batas akhir dari landasan temporal penelitian ini ialah abad

XXI.

Pembahasan tentang objek budaya selalu berhadapan dengan wilayah, sebagai latar

tumbuh kembang tradisi dan budaya. Sejarah membuktikan bahwa kesenian topeng telah

tersebar luas di Madura, baik secara spasial, maupun secara sosial. Tulisan Pigeaud

menggambarkan eksistensi kesenian topeng di Madura dengan cukup detail10. Kemudian

keterangan pada majalah Djawa volume VIII, membahas soal ragam kesenian yang

berkembang di Madura, serta wilayah persebarannya, di dalamnya juga membahas soal

9
Lihat: Bab III.
10
Lihat: Dr. Th. Pigeaud, Javaanse Volksvertoningen Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk,
(Jogjakarta: Martinus Nijhoff Uitgever ‘s-Gravenhage. 1938), hlm. 147 – 158.

6
kesenian topeng11. Berbagai koleksi topeng di seluruh Madura juga menjadi bukti yang

menunjukkan bahwa kesenian ini memang pernah berkembang secara masif di pulau

garam ini.

Secara khusus, perkembangan kesenian topeng di pulau Madura pada akhirnya

berangsur-angsur melekat pada unsur lokalitas, sehingga terdapat beberapa klasifikasi

pada kesenian topeng yang berkembang di masing – masing wilayah di pulau ini. Satu di

antara perkembangan tersebut, melahirkan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung. Sesuai

dengan namanya, karya budaya ini tergolong sebagai kesenian lokal yang hanya

berkembang di desa Patèngtèng, kecamatan Moḍung. Senada dengan keterangan Munir,

selaku koordinator acara pementasan topeng Patèngtèng Moḍung, bahwa kesenian ini

hanya diwariskan selingkup desa Patèngtèng12. Berdasarkan alasan tersebut, maka

batasan spasial pada tulisan ini ditokuskan pada desa Patèngtèng, kecamatan Moḍung,

kabupaten Bangkalan.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka disusunlah rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tinjauan historis topeng Patèngtèng Moḍung?

2. Bagaimanakah tinjauan kultural topeng Patèngtèng Moḍung?

3. Bagaimanakah upaya pelestarian topeng Patèngtèng Moḍung kini?

11
Lihat: Hoesein Djajadiningrat, dkk., Jawa VIII: De Toonkunst bij Madoereezen, (Soerakarta: Secretariaat
van het Java-Instituut, 1928).
12
Munir, dalam Silaturahim dan Penelusuran tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan,
(Bangkalan: Patèngtèng. 2021), 7 Desember 2021.

7
D. Tujuan Penelitian

Kajian ini memiliki tiga tujuan berdasarkan rumusan masalah yang ada, yaitu:

1. Menjelaskan tinjauan historis topeng Patèngtèng Moḍung.

2. Menyajikan tinjauan kultural topeng Patèngtèng Moḍung.

3. Menggambarkan upaya pelestarian topeng Patèngtèng Moḍung kini.

E. Manfaat

Adapun manfaat kajian ilmiah ini ialah sebagai berikut:

Bagi Akademik :

1. Sebagai bahan informasi dasar tentang gambaran historis dan kultural topeng

Patèngtèng Moḍung.

2. Sebagai bahan informasi untuk penelitian lanjutan dengan tema yang sama.

Bagi Masyarakat :

1. Sebagai informasi bagi masyarakat umum agar dapat melihat eksistensi dan

perkembangan topeng Patèngtèng Moḍung secara historis dan kultural.

Bagi Pemerintah :

1. Sebagai bahan pertimbangan dan informasi bagi pemerintah dalam membangun SDM

di kabupaten Bangkalan, khususnya dalam pengembangan warisan budaya berupa

topeng Patèngtèng Moḍung.

F. Tinjauan Pustaka

Kajian ilmiah ini menggunakan dua macam pendekatan, yakni pendekatan historis

dan kultural. Pendekatan historis memiliki tujuan untuk mendeskripsikan segala kejadian

dari masa lalu. Pendekatan kultural bersifat humanis sebagai entitas manusia yang utuh

8
baik secara fisik maupun spiritual, digunakan untuk mengupas simbol dan makna dari

suatu objek budaya. Penggunaan dua macam pendekatan ini diharapkan dapat

mengungkap eksistensi dan perkembangan topeng Patèngtèng Moḍung sebagai suatu

identitas budaya masyarakat Bangkalan yang memiliki perjalanan historis panjang.

Perjalanan historis dari topeng Patèngtèng Moḍung memiliki dasar untuk

mengungkap tabir tentang tumbuh-kembang karya budaya ini yang terfokus pada

perkembangan sisi fisik maupun non fisik. Beberapa penelitian dan referensi dirujuk

sebagai bahan pendukung sekaligus pembanding terhadap permasalahan yang sedang

diungkap dalam kajian ini.

Referensi pertama ialah karya Aniyah, S.Sn. di tahun 2017 dengan judul

“Pertunjukan Topeng Pateng-teng dalam Ritual Perkawinan Sumber Kabupaten

Bangkalan Madura”. Tulisan ini menyajikan tinjauan terhadap kesenian topeng

Patèngtèng Moḍung dari sisi pertunjukan. Ada pun yang dibahas dalam tulisan ini

meliputi pertunjukan karya budaya ini dalam ritual perkawinan sumber (rokat malakè’è

sombher), aspek-aspek pendukung, struktur pertunjukan, dan peran pertunjukan

tersebut13.

Referensi kedua ialah buku karya Dr. Th. Pigeaud tahun 1938, berjudul “Javaanse

Volksvertoningen Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk”. Pada bab II buku ini

yang berjudul “Tweede Hoofdstuk: Javaanse Maskerspelen Buiten de Vorstenlanden”,

khususnya pada sub bab V yang membahas “Madoera”, membahas kesenian topeng yang

berkembang di Madura. Pembahasan ini cukup rinci dan lengkap, mulai dari pembahasan

soal pengaruh budaya Jawa, permainan topeng Madura, kostum, topeng-topeng yang

digunakan, lakon, penokohan, jenis tarian, gending, dan wilayah persebarannya hingga

13
Lihat: Aniyah, S.Sn., op. cit.

9
ke Jawa Timur. Berdasarkan informasi dalam buku Pigeaud ini, terjawab jelas soal

kesenian topeng di Madura yang pernah eksis dan berkembang dengan begitu beragam14.

Lalu sebuah buku yang ditulis oleh Helene Bouvier yang diterjemahkan oleh

Rahayu S. Hidayat & Jean Ciuteau di tahun 2002, berjudul “Lèbur! Seni Musik dan

Pertunjukan dalam Masyarakat Madura”. Pada bab II buku ini yang berjudul “Genre

Kesenian”, dan secara khusus pada sub bab kedua berjudul “Pertunjukan Topeng”,

membahas seputar kesenian topeng yang berkembang di kabupaten Sumenep dengan

begitu rinci. Ulasan-ulasan tersebut diperjelas lagi pada tiga bagian, yakni (1) bentuk-

bentuk topeng, (2) unsur-unsur sejarah dan gaya-gaya daerah, dan (3) upaya klasifikasi.

Secara sederhana, melalui penjelasan pada buku ini, dapat terlihat bahwa kesenian topeng

di Sumenep memiliki ciri karakter yang kuat, dan masih lestari hingga kini15.

Referensi selanjutnya ialah buku yang ditulis oleh B. Soelarto tahun 1977, dengan

judul “Topeng Madura (Topong)”. Buku terbitan Ditjen Kebudayaan Departemen P & K

ini memuat informasi yang cukup detail, mengenai ulasan historis serta karakteristik dari

topeng Madura secara umum. Ada pun karakteristik dari topeng Madura yang diulas di

dalam buku ini terbagi menjadi ulasan filosofis dan sosiologis. Kemudian juga diulas

mengenai fungsi dan fisik dari topeng Madura secara utuh16.

Tulisan-tulisan tersebut berisi kumpulan informasi kesenian topeng Madura secara

umum, dan topeng Patèngtèng Moḍung secara khusus dengan eksplanasi cukup rinci.

Kendati demikian, belum terdapat penelitian sisi historis dan kultural sepak terjang

topeng Patèngtèng Moḍung, sehingga kajian ini difokuskan pada gambaran kronologis

tentang tema terkait, sebagai pembeda dengan berbagai tulisan lainnya.

14
Lihat: Dr. Th. Pigeaud, loc. cit.
15
Lihat: Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, Terj. Rahayu S.
Hidayat & Jean Couteau (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. 115 – 132.
16
Lihat: B. Soelarto, Topeng Madura (Topong), (Jakarta: Ditjen Kebudayaan Departemen P & K, 1977).

10
G. Metode Penelitian

Kajian ini menggunakan metode sejarah. Louis Gottsschak menjelaskan bahwa

metode sejarah mencakup empat tahap, yakni heuristik (pengumpulan sumber), kritik

sumber (ekstern/intern), interpretasi, dan historiografi17.

1. Heuristik (Pengumpulan Sumber)

Tahap pertama dalam penelitian sejarah adalah heuristik, yakni pencarian dan

pemilahan sumber-sumber sejarah sebagai bahan dasar analisis masalah. Sumber sejarah

terklasifikasi menjadi dua macam, yakni sumber primer dan sekunder. Sumber primer

ialah bukti sezaman dengan suatu peristiwa sejarah. Sumber primer yang digunakan

dalam kajian ini berupa buku, majalah dan catatan Belanda sezaman, baik didapatkan

secara daring maupun non-daring. Sumber sekunder ialah data olahan dari zaman yang

berbeda dengan suatu peristiwa sejarah. Sumber sekunder yang digunakan dalam kajian

ini ialah data-data yang diperoleh dari jurnal, buku, karya ilmiah, wawancara, dan artikel

pendukung. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini ialah, (1) studi

kepustakaan dengan membaca dan mencermati informasi pendukung (2) studi lapangan

melalui wawancara pada beberapa narasumber yang memahami permasalahan dalam

tulisan ini.

Beberapa referensi diperoleh dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten

Bangkalan. Referensi tersebut berupa:

- Laporan penelusuran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, pada tanggal 7 Desember

2021, yang berjudul “Notulen Silaturahim dan Penelusuran: Topeng Patèngtèng

Moḍung”. Notulen ini memuat data penelusuran lapangan tentang objek terkait, dan

17
Lois Gottsschak, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI-Press. 1969), hlm. 32.

11
juga memuat pemilihan maestro kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, yang akan

diusulkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Kabupaten Bangkalan.

- Laporan diskusi kesenian topeng Patèngtèng Moḍung yang dihelat di Trèsna Art,

Bangkalan, pada tanggal 29 Desember 2021, yang berjudul “Notulen Diskusi: Topeng

Patèngtèng Moḍung”. Notulen ini memuat hasil diskusi tentang objek terkait, yang

diikuti oleh jajaran Disbudpar Bangkalan, peneliti, para sejarawan, seniman, dan

budayawan, se-lingkup kabupaten Bangkalan.

- Kajian ilmiah yang disusun oleh Muhammad Rizki Taufan, S.Pd., pada tahun 2021

dengan judul “Tinjauan Historis dan Kulturan Oḍheng Tongkosân Bhângkalan: dan

Perkembangannya hingga Kini”, yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Kabupaten Bangkalan. Tulisan ini cukup penting, karena mengungkap era

pemerintahan Panembahan Cakraadiningrat V, yang sangat peduli terhadap

perkembangan kesenian dan budaya Madura Barat.

- Laporan penelusuran kesenian hong-bahhong, pada tanggal 6 April 2021, yang

berjudul “Notulen Silaturahim dan Penelusuran tentang “Hong-bahhong”. Notulen ini

memuat data penelusuran lapangan tentang kesenian hong-bahhong, sebagai kesenian

yang diduga kuat sezaman dengan topeng Patèngtèng Moḍung.

Beberapa referensi penting didapatkan dari Hendra Gemma Dominant, S.Sn.,

selaku Kabid Kebudayaan, Disbudpar Kab. Bangkalan. Referensi-referensi tersebut

antara lain:

- Tulisan karya Aniyah, S.Sn. di tahun 2017 dengan judul “Pertunjukan Topeng Pateng-

teng dalam Ritual Perkawinan Sumber Kabupaten Bangkalan Madura”. Tulisan ini

begitu penting sebagai penelitian serupa tentang topeng Patèngtèng Moḍung dari sisi

12
pertunjukan. Oleh karenanya referensi ini sangat membantu mengungkap tinjauan

kultural dari topeng Patèngtèng Moḍung.

- Buku terbitan Balar Prov. DIY (Editor: Gunadi Kasnowihardjo) pada tahun 2021,

berjudul “Asal – Usul dan Sejarah Orang Madura: Kajian Arkeologi – Sejarah”. Buku

ini memuat sejarah orang-orang Madura, khususnya di era Hindu-Buddha yang juga

menyinggung sedikit tentang peradaban awal di desa Patèngtèng, Moḍung.

Keterangan ini begitu penting, karena merupakan tempat lahir dari karya budaya yang

bernama topeng Patèngtèng Moḍung.

Sebuah referensi penting diperoleh dari Achmad Fatoni, selaku penggiat sejarah

dan pemerhati kesenian topeng. Referensi yang dimaksud ialah buku karya B. Soelarto,

berjudul “Topeng Madura (Topong)”. Buku ini begitu penting karena mengulas sisi

historis, maupun karakteristik topeng Madura dengan rinci. Keterangan dalam buku ini

dapat dijadikan landasan untuk mengupas sejarah dan karakteristik topeng Patèngtèng

Moḍung, sebagai bagian dari varian topeng Madura. Selain itu, informasi pada buku ini

juga menjadi bahan studi komparatif untuk melihat persamaan maupun perbedaan dari

topeng Patèngtèng Moḍung, dengan topeng Madura secara umum.

Sebuah referensi lain diperoleh dari Adrian Pawitra, selaku budawayan Bangkalan.

Referensi yang dimaksud ialah:

- Majalah redaksi Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat, dkk. pada tahun 1928, berjudul

“Djawa – Tijdschrift van het Java-Instituut: Achtste Jaargang”. Pada majalah ini

dimuat sebuah artikel berjudul “De Toonkunst bij de Madoereezen”, yakni tentang

cara-cara berkesenian orang-orang Madura. Informasi ini menjadi landasan untuk

melihat karakteristik kesenian Madura, yang tentunya juga memengaruhi tumbuh

kembang suatu karya budaya, termasuk di antaranya ialah topeng Patèngtèng Moḍung.

13
Beberapa buku juga diperoleh dari laman delpher.nl., sebagai situs yang memuat

banyak referensi kolonial. Buku-buku yang dimaksud antara lain:

- Buku karya Dr. R. D. M. Verbeek tahun 1923, berjudul “Rapporten van den

Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie 1923: Inventaris der Hindoe-

oudheden”. Buku ini begitu penting, karena satu di antara data peninggalan Hindu

yang dimuat berasal dari desa Patèngtèng. Data dalam buku ini menjadi dasar untuk

mengungkap latar belakang sejarah desa Patèngtèng, sebagai tempat lahir karya yang

bernama topeng Patèngtèng Moḍung.

- Buku karya Dr. Th. Pigeaud tahun 1938, berjudul “Javaanse Volksvertoningen

Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk”. Buku ini merupakan “harta karun”,

yang berisi seputar kesenian di Jawa dan Madura, termasuk di dalamnya soal

keberadaan kesenian topeng di Madura. Informasi ini begitu penting guna merangkai

kerangka untuk melihat lebih dalam tentang topeng Patèngtèng Moḍung.

Beberapa data statistik juga didapatkan dari Badan Pusat Statistik. Data-data

tersebut ialah:

- Data Badan Pusat Statistik Daerah Kecamatan Modung, tahun 2015. Data ini cukup

penting untuk melihat kondisi geografis, administratif, sosial dan ekonomi Kecamatan

Modung, sebagai latar tempat dari karya budaya topeng Patèngtèng Moḍung.

- Data yang dimuat dalam buku “Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan:

Kecamatan Modung dalam Angka 2019”. Serupa dengan data sebelumnya, data ini

penting untuk melihat kondisi geografis, administratif, sosial dan ekonomi Kecamatan

Modung, sebagai latar tempat dari karya budaya topeng Patèngtèng Moḍung.

Sebuah buku didapatkan dari seorang sejarawan Bangkalan bernama R.M. Agus

Lahendra pada tahun 2020. Buku ini ditulis oleh R. Rooslan Wongsokasoemo dan R.P.

14
Moh. Soedin Notosoedjono dengan judul “Riwajat Madoera”, yang berisi tentang

rangkaian catatan historis internal keraton Madura Barat. Sumber ini menjadi pendukung

untuk melihat sejarah Madura Barat yang juga berkaitan erat sebagai latar tumbuh

kembang kesenian topeng Patèngtèng Moḍung.

Referensi lainnya juga diperoleh dari kepustakaan pribadi. Beberapa referensi

tersebut ialah:

- Buku karya Helene Bouvier yang diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat & Jean

Ciuteau di tahun 2002, berjudul “Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam

Masyarakat Madura”. Buku ini mengungkap gambaran eksplanatif dari beberapa

karya budaya berupa seni musik dan pertunjukan pada masyarakat Madura, termasuk

kesenian topeng di kabupaten Sumenep. Informasi dari buku ini digunakan untuk

melihat karakter karya budaya Madura, tentunya berkaitan satu dengan lainnya,

termasuk juga pada topeng Patèngtèng Moḍung.

- RPJMD Kabupaten Bangkalan Tahun 2013 – 2018. Data ini cukup penting karena

memuat informasi umum seputar kabupaten Bangkalan, digunakan sebagai bahan

referensi tentang landasan spasial penelitian ini, yang mengerucut ke kecamatan

Moḍung, lalu ke desa Patèngtèng.

- Buku karya Gerrit J. Knaap di tahun 1996, berjudul “Shallow Waters, Siling Tide”.

Buku ini digunakan sebagai referensi awal tentang kabupaten Bangkalan, untuk

merangkai kerangka informasi dasar pada sub bab selayang pandang, untuk membuka

landasan spasial penelitian ini.

- Buku karya L. Gottsschak tahun 1969 berjudul “Mengerti Sejarah”. Buku ini penting

karena memuat beberapa tahapan dalam metode penelitian sejarah.

15
- Buku karya Ariyono & Aminuddin S. tahun 1985 berjudul Kamus Antropologi. Buku

ini cukup penting untuk mengupas nilai-nilai dasar dari tradisi rokat sombher sebagai

bagian yang tak terpisahkan dari tema penelitian ini.

- Sebuah kamus sosiologi karya Soekanto tahun 1993. Buku ini cukup penting untuk

mengupas nilai-nilai dasar dari tradisi rokat sombher sebagai bagian yang tak

terpisahkan dari tema penelitian ini.

- Sebuah Kamus Bahasa Madura – Belanda karya P. Penninga dan H. Hendriks pada

tahun 1936. Kamus ini memuat definisi kosakata topeng dalam bahasa Madura yang

dapat dijadikan sebagai bukti autentik tentang objek tersebut.

- Tulisan B.M. Chair yang dimuat dalam jurnal SMaRT Studi Masyarakat, Religi dan

Tradisi, Vol. VI No. 1 tahun 2020 dengan judul “Dimensi Kosmologis Ritual Rokat

Pandhaba pada Masyarakat Madura”. Tulisan ini cukup penting sebagai pembanding

untuk mengupas nilai-nilai dasar dari tradisi rokat sombher sebagai bagian yang tak

terpisahkan dari tema penelitian ini.

- Buku karya RAA. Tjakraningrat tahun 1936 berjudul “Madoera en Zijn Vorstenhuis”.

Buku ini berisi silsilah penguasa Madura Barat, digunakan sebagai pembanding

terhadap prakiraan rentang waktu silsilah pelestari kesenian topeng Patèngtèng.

- Buku karya Siti Zainab, dkk. Di tahun 2020, berjudul “Ragam Batik Madura – Bhatèk

Patèngtèng Moḍung, sebuah Tinjauan Historis dan Kultural”. Buku ini memuat

beberapa gambaran umum serta historis tentang desa Patèngtèng, Moḍung, sehingga

dibutuhkan untuk melihat latar tempat lahir topeng Patèngtèng Moḍung.

- Dagh-Register Gehouden Int Casteel Batavia tahun 1624. Sumber ini memuat tentang

Madura tahun 1624, yang di dalamnya juga berkaitan dengan sejarah Madura Barat

secara umum, sebagai latar tumbuh kembang kesenian topeng Patèngtèng Moḍung.

16
- Tulisan karya Novaria Dwi S.P. & Yohanes Hanan Pamungkas yang dimuat dalam

jurnal AVATARA, Vol. II No. 3 tahun 2014 dengan judul “Yoni Klinterejo Tinjauan

Historis dan Ikonografis”. Tulisan ini cukup penting karena mengungkap konsep

lingga yoni, yang juga berlaku dalam ritual rokat sombher, di mana kesenian topeng

Patèngtèng Moḍung dipentaskan bersamaan dalam ritual ini.

- Tulisan karya Sunoto yang dimuat dalam Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 45 No. 2

tahun 2017 dengan judul “Lingga Yoni Jejak Peradaban Masyarakat (Jawa, Bali) dari

Perspektif Positivistik”. Tulisan ini juga cukup penting karena mengungkap konsep

lingga yoni.

- Buku karya Mr. J. Kunst tahun 1927 berjudul “Hindoe-Javaansche Muziek-

Instrumenten Speciaal die van Oost Java”. Buku ini menggambarkan keberadaan dan

perkembangan seni musik Jawa era Hindu, khususnya di Jawa Timur, dan juga

termasuk Madura, sehingga dibutuhkan penulis sebagai keterangan tambahan soal

kesenian-kesenian yang telah berkembang di Madura, termasuk seni musik, yang juga

menjadi bagian penting dari kesenian topeng Patèngtèng.

- Buku karya Francois Valentijn pada tahun 1726 berjudul “Oud en Nieuw Oost Indies

IV: Beschryving van Groot Djava, of te Java Major”. Buku ini menggambarkan pulau

Jawa dan Madura dengan cukup detail, sehingga dibutuhkan penulis untuk melihat

situasi wilayah-wilayah tersebut pada abad XVII-XVIII.

- Peta karya Francois Valentijn pada tahun 1728 dengan judul “Nieuwe en Zeer

Naaukeurige Kaart van t Eyland Java Major of Groot Java Verdeeld in Seven

Byzondere Bostekken”. Peta ini menggambarkan pulau Jawa dan Madura dengan

cukup detail, sehingga dibutuhkan penulis untuk melihat situasi wilayah-wilayah

tersebut pada abad XVII-XVIII.

17
- Prosiding Seminar Nasional Budaya Madura V, yang ditulis oleh Lestari Puji Rahayu,

dkk., pada tahun 2019, berjudul “Potensi Wisata Pesisir Selatan Modung”. Informasi

dalam prosiding ini antara lain tinjauan historis dari desa Patèngtèng, Moḍung, dan

juga beberapa karya budaya di dalamnya yang dipersiapkan sebagai potensi wisata

pesisir selatan di kecamatan Modung, Bangkalan.

Sumber lain berupa foto-foto pendukung didapatkan dari para pelaku sejarah,

orang-orang terdekat, instansi terkait, maupun secara daring. Dokumentasi tersebut

diperoleh dari:

- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan, berupa dokumentasi

penelusuran pertunjukan topeng Patèngtèng Moḍung, saat ritual rokat sombher,

tanggal 29 November 2019

- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan, berupa dokumentasi

penelusuran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, tanggal 7 Desember 2021

- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan, berupa dokumentasi diskusi

kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, tanggal 29 Desember 2021

- Mas Sudarsono, berupa foto kuno tentang kesenian topeng Madura di kabupaten

Bangkalan

- Nationaal Archief, berupa foto kuno tentang kesenian topeng Madura tahun 1948

- Buku karya B. Soelarto, berjudul “Topeng Madura (Topong)”, berupa foto-foto topeng

Madura

Keterangan lanjutan diperoleh dari hasil wawancara, antara lain:

- Remma alias Mbok Misro, sebagai pelaku sekaligus pengurus topeng

- Hosen, sebagai pengurus topeng

- Munir, sebagai pelaku sekaligus koordinator acara kesenian topeng

18
- Mas Sudarsono, selaku seniman tradisi di kabupaten Bangkalan

- Aniyah, S.Sn., selaku seniman tradisi di kabupaten Bangkalan

- R.P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat, selaku pemerhati sejarah dan budaya di

kabupaten Bangkalan

- Hidrochin Sabaruddin U. P., S.E., selaku pemerhati sejarah dan budaya di kabupaten

Bangkalan

- Achmad Fatoni, selaku pemerhati sejarah dan budaya Jawa

Informasi seputar konsep pelestarian topeng Patèngtèng Moḍung dari Pemerintah

Kabupaten Bangkalan juga telah diperoleh melalui keterangan beberapa narasumber dari

instansi terkait, yakni:

- H. M. Hasan Faisol S.STP., M.M., selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kabupaten Bangkalan

- Hendra Gemma Dominant, S.Sn., selaku Kepala Bidang Kebudayaan Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan

2. Kritik Sumber (Menguji Kredibilitas Sumber)

Tahap kedua dalam penelitian sejarah adalah kritik sumber sebagai pembuktian

kredibilitas sumber. Kritik sumber mencakup dua hal, yakni kritik ekstern dan intern.

Kritik ekstern melihat keaslian kondisi fisik sumber atau objek yang didapat, sedangkan

kritik intern membahas kredibilitas substansi sumber, pemilahan antara subjektivitas dan

objektivitas dalam suatu data sejarah.

3. Interpretasi (Menganalisis Sumber)

Tahap ketiga dalam penelitian sejarah adalah interpretasi, yakni proses penafsiran

terhadap fakta. Kajian ini berpijak pada fakta dari sumber yang telah diuji pada tahapan

kritik. Proses mencerna fakta dilakukan dalam bentuk analisis dan sintesis. Analisis

19
merupakan penguraian fakta berdasarkan data atas sumber yang telah diperoleh,

sedangkan sintesis merupakan penyatuan data terkumpul yang telah dianalisis untuk

menjawab permasalahan dalam kajian ilmiah ini guna menghubungkan antar fakta agar

menjadi rangkaian peristiwa yang logis.

4. Historiografi (Menuliskan Hasil Penelitian)

Tahap terakhir dalam penelitian sejarah adalah historiografi, yakni merangkai hasil

interpretasi dari semua fakta. Berbagai hasil interpretasi tersebut dirangkai dan ditulis

kembali sehingga menjadi sebuah karya ilmiah sejarah yang logis, deskriptif, analitis dan

kronologis. Penyusunan karya ilmiah ini menceritakan tentang eksistensi dan

perkembangan topeng Patèngtèng Moḍung dari sudut pandang historis dan kultural.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hasil kajian ini dipaparkan melalui lima bab pembahasan,

dengan tujuan untuk memudahkan pemahaman alur penulisan ini. Setiap bab disusun

secara kronologis, tematis, dan berkaitan satu sama lain.

Bab I tentang pendahuluan, berisi latar belakang masalah, batasan masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II tentang selayang pandang, sebagai bingkai untuk mengkaji permasalahan

ini. Bab ini mendeskripsikan gambaran umum serta pola historis dan sosio kultural

sebagai cerminan karakter masyarakat Madura di kabupaten Bangkalan, dan khususnya

di desa Patèngtèng, kecamatan Moḍung, sebagai wilayah tumbuh kembang kesenian

topeng Patèngtèng Moḍung. Pada bab ini juga dibahas seputar kesenian topeng Madura,

20
untuk melihat seberapa jauh persamaan serta perbedaan antara topeng Madura secara

umum, dan topeng Patèngtèng secara khusus.

Bab III membahas tinjauan historis topeng Patèngtèng Moḍung. Bab ini membahas

asal-usul topeng Patèngtèng Moḍung, tumbuh kembang, dan upaya pelestariannya hingga

kini.

Bab IV berisi tinjauan kultural topeng Patèngtèng Moḍung. Pada bab ini dibahas

deskripsi dan beberapa aspek kelengkapan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung. Pada

sub bab lainnya juga dibahas tentang nilai-nilai dasar yang terkandung dalam kesenian

ini.

Bab V merupakan penutup yang berisi simpulan dan saran. Simpulan dikemas

sebagai jawaban dari rumusan masalah kajian ilmiah ini, sedangkan saran dikemas

sebagai harapan terhadap pelestarian topeng Patèngtèng Moḍung agar dapat berjalan

lebih baik lagi.

21
BAB II

SELAYANG PANDANG

A. Gambaran Umum Desa Patèngtèng Moḍung

Madura merupakan sebuah pulau yang terletak di timur laut pulau Jawa. Struktur

geografis pulau ini merupakan lanjutan dari pegunungan kapur yang menyambung hingga

ke Blora, Jawa Tengah. Pulau tersebut berada pada 7° di selatan khatulistiwa, di antara

112° dan 114° di bujur timur. Pulau ini memiliki panjang sekitar 160 km, lebar sekitar 40

km, dan luas keseluruhan sekitar 5.304 km2 18. Di sekitar pulau Madura juga terdapat

gugusan pulau yang terdiri dari sekitar tujuh pulau, yang terbesar adalah Kangean,

Sapudi, Poteran, Sapanjang, Raas, dan Mandangin. Gunung Tambuku merupakan puncak

tertinggi di Madura, dengan ketinggian mencapai 471 m dari permukaan laut19.

Gambar 2.1. Peta Pulau Madura Tahun 1922

Sumber: KITLV, 2020

18
Gerrit J. Knaap, Shallow Waters, Siling Tide, (Leiden: KITLV Press. 1996), hlm. 226-227.
19
Payne (1973: 29) dan Smith (1989a: 26) yang dikutip dalam Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan
Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002), hlm. 21.

22
Saat ini pulau Madura terbagi menjadi empat daerah administratif berbentuk

kabupaten yang menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur. Bangkalan ialah satu

kabupaten yang terletak di sisi paling barat pulau Madura, sehingga menjadi jembatan

penghubung antara pulau Jawa dan Madura. Terletak di koordinat 112° 40’ 60” – 113°

08’ 04” bujur timur dan 6° 31’ 59” – 7° 11’ 39” lintang selatan, yang berbatasan dengan

laut Jawa di sebelah utara, kabupaten Sampang di sebelah timur, selat Madura yang

mengelilingi wilayah barat dan selatan. Luas wilayah kabupaten ini adalah 1260,14 km2

dan secara administratif dibagi menjadi 18 kecamatan, 8 kelurahan, 273 desa, dan 1 pulau

Karang Jamuang20.

Gambar 2.2. Peta Wilayah Administratif Bangkalan

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan

20
RPJMD Kabupaten Bangkalan Tahun 2013 - 2018, hlm. II-1.

23
Satu dari kecamatan yang menjadi wilayah administratif kabupaten Bangkalan,

ialah Kecamatan Modung (ejaan Madura: Moḍung). Secara administratif, kecamatan ini

terbagi menjadi 17 desa, 82 dusun, 78 RW (Rukun Warga), dan 195 RT (Rukun

Tetangga), dengan sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani21.

Kecamatan Modung terletak di sebelah tenggara pusat kabupaten Bangkalan, dengan

koordinat 7° 12’ 35” LS dan 113° 02’ 00” BT. Kecamatan Modung berbatasan dengan

wilayah:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Blega.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sreseh (Kabupaten Sampang).

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Madura.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kwanyar.

Kecamatan Modung memiliki luas 78,90 km2, dengan persebaran penduduk

sebanyak 48.574 orang, dan kepadatan penduduk sebanyak 1.256 jiwa/km2. Tinggi

permukaan wilayah adalah 5 m di bawah permukaan laut. Jarak kecamatan Modung dari

pusat kabupaten Bangkalan adalah sekitar 54 km2. Seperti yang tertera pada tabel Statistik

Kunci 2017-2019 berikut22:

Tabel 2.1. Statistik Kunci Kecamatan Modung Tahun 2017-2019

Rincian Satuan/Unit 2017 2018 2019


Luas wilayah km2 78,8 78,8 78,8
Tinggi dari permukaan laut mdpl 5 5 5
Jumlah desa Unit 17 17 17
Jarak dari ibukota kabupaten Km 54 54 54
Curah hujan rata-rata Mm - - -

21
Badan Pusat Statistik Daerah Kecamatan Modung 2015, hlm. 1-2.
22
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Modung dalam Angka 2019.

24
Penduduk Jiwa 48574
Kepadatan penduduk Jiwa/km2 1256
Sumber: BPS Kab. Bangkalan

Gambar 2.3. Peta Wilayah Kecamatan Modung

Sumber: BPS Kab. Bangkalan

Desa/kelurahan yang terdapat di Kecamatan Modung, yaitu: Kelurahan/Desa

Pangpajung, Patereman, Kolla, Paeng, Neroh, Serabi Timur, Serabi Barat, Patengteng,

25
Langpanggang, Suwaan, Modung, Brakas Dajah, Karanganyar, Manggan, Glisgis,

Pakong, dan Alaskokon.

Gambar 2.4. Diagram Luas Wilayah Desa di Kecamatan Modung

Sumber: BPS Kab. Bangkalan

Desa Patengteng (ejaan Madura: Patèngtèng) memiliki jumlah RT (Rukun

Tetangga) paling banyak, yaitu 25 RT. Berdasarkan data statistik tahun 2017-2019,

Patengteng merupakan desa yang lokasinya terletak sekitar 1 km dari pusat kecamatan

Modung, kabupaten Bangkalan, dengan koordinat 7° 12’ 35” LS dan 112° 02’ 00” BT,

dan memiliki luas 13,04 km2. Terdapat tujuh dusun di desa Patengteng, yaitu dusun

Pesisir, Mincai, Tlageh, Bulak, Balet, Kajuh, Sapeh, Krojeh. Adapun batas wilayah Desa

Patengteng adalah sebagai berikut23:

23
Siti Zainab, dkk., Ragam Batik Madura - Bhatèk Patèngtèng Moḍung, sebuah Tinjauan Historis dan
Kultural, (Bangkalan: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan. 2020), hlm. 6 – 7.

26
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kajuh Anak.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Serabi Barat dan Desa Gigir.

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Madura.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Langpanggeng dan Desa Suwaan.

Gambar 2.5. Peta Desa Patengteng

Sumber: Google Maps

Kondisi alam desa Patengteng diwarnai dengan perpaduan pemandangan alam

berupa perbukitan dan daerah pesisir pantai. Ketinggian di desa ini pada sisi pesisir

selatan mencapai 3 meter di atas permukaan laut, sedangkan pada sisi perbukitan di sisi

27
utara memiliki ketinggian mencapai 15 meter24. Kondisi demikian mengantarkan musim

kemarau di desa Patengteng memakan waktu lebih lama daripada wilayah-wilayah lain

di Bangkalan utara, sehingga dapat dikatakan kawasan ini memiliki curah hujan yang

rendah. Kondisi ini menjadi faktor utama bagi persebaran jenis tanah yang ada di desa

Patengteng, yakni lahan yang agak sulit untuk ditanami komoditas pertanian, walaupun

di beberapa sisi juga terdapat hamparan tanah tegal dan persawahan. Kondisi ini menjadi

pandorong bagi masyarakat desa Patengteng untuk pergi merantau saat musim kemarau,

untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidup, setidaknya kurang lebih

dalam waktu satu tahun25.

Sejarah penamaan desa Patengteng dapat dikatakan masih sangat bias. Hidrochin

Sabaruddin, sebagai sejarawan Bangkalan berpendapat dalam Prosiding Seminar

Nasional Budaya Madura V, bahwa nama Patengteng tercantum pada kronik Ling Wai

Tai-ta, yang konon ditulis oleh Chou Ku Fei tahun 1176. Menurutnya, pada kronik Cina

tersebut, Patengteng disebutkan dengan nama Pai Ting Ting. Ia menambahkan bahwa,

asal-usul nama Patengteng, sangat berkaitan dengan pendaratan tentara Mongol yang

terdampar di pesisir. Walaupun belum dapat dipastikan kebenarannya, kisah ini

dituturkan secara turun-temurun di kalangan masyarakat Patengteng26.

Kronologi sejarah di desa Patengteng dapat sedikit terjawab melalui beberapa

peninggalan arkeologis bercorak Hindu, seperti adanya arca Hari-hara, Yoni, dan arca

Ganesha, yang seluruhnya ditemukan di dusun Mincai27. Keterangan ini didukung juga

24
Ibid., hlm. 7 – 8.
25
Aniyah, S.Sn., Pertunjukan Topeng Patengteng dalam Ritual Perkawinan Sumber Kabupaten Bangkalan
Madura, hlm. 31-33.
26
Prosiding Seminar Nasional Budaya Madura V: Membangun Pariwisata Madura Berbasis Budaya Lokal,
(Bangkalan: Universitas Trunojoyo Madura, 2019), hlm. 233 – 234.
27
Gunadi Kasnowihardjo, Asal – Usul dan Sejarah Orang Madura: Kajian Arkeologi – Sejarah,
Yogyakarta: Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2021), hlm. 84 – 85.

28
dengan data yang dimuat dalam sebuah arsip Belanda tahun 1923. Keterangan tersebut

berbunyi28:

“Ben Ciwa en een onbekend mannenbeeld in kampong Mentjay. Beschrijving


der Hindoe-oudheden in de residentie Madoera.”
Terjemahan:
“Arca Siwa dan sebuah arca laki-laki yang tidak dikenal (belum
teridentifikasi) ada di kampung Mincai. Hal ini mendeskripsikan tentang
keberadaan peradaban Hindu di karesidenan Madura.”

Gambar 2.6. Arca Harihara di desa Patengteng, kecamatan Modung

Sumber: Dokumentasi Roni Darmawanto, 2020

28
Dr. R. D. M. Verbeek, Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie 1923:
Inventaris der Hindoe-oudheden, (Batavia: Albrecht & Co, M. Nijhoff s-Gravenhage. 1923), hlm. 137.

29
Gambar 2.7. Yoni di desa Patengteng, kecamatan Modung

Sumber: Dokumentasi Roni Darmawanto, 2020

Adanya temuan yoni dan arca di desa Patengteng ini bukan hanya menjawab garis

waktu sejarah klasik di kecamatan Modung, melainkan menjadi bagian pola sejarah klasik

di Madura Barat. Sayangnya kedua benda arkeologis ini tidak memiliki inskripsi angka

tahun, baik tertulis, maupun berupa candra sengkala, sehingga seolah menghadirkan

histori berselimut misteri. Pada peninggalan era klasik lainnya di Madura Barat, beberapa

di antaranya ditemukan angka tahun, baik berupa inskripsi tertulis, maupun candra

sengkala. Keterangan tersebut dapat dilihat melalui tabel berikut29:

29
Gunadi Kasnowihardjo, op. cit, hlm. 83 – 88.

30
Tabel 2.2. Peninggalan Era Klasik Madura Barat

Peninggalan Lokasi Angka Tahun


Baris pertama:
1301 Saka
(1379 Masehi)
Desa Kemoning,
Lingga Kecamatan Tragah,
Baris terakhir:
Kabupaten Bangkalan
Nagara gata bhuwana agung
1151 Saka
(1229 Masehi)
Desa Patengteng,
Arca Harihara Kecamatan Modung, -
Kabupaten Bangkalan
Desa Patengteng,
Yoni Kecamatan Modung, -
Kabupaten Bangkalan
Desa Patengteng,
Arca Ganesha Kecamatan Modung, -
Kabupaten Bangkalan
Turangga kembar hangapit
Kelurahan Dalpenang,
butho
Situs Sumur Daksan Kecamatan Kota Sampang,
1277 Saka
Kabupaten Sampang
(1355 Masehi)
1301 Saka
Situs Panji Laras Kabupaten Sampang
(1379 Masehi)
Sumber: Kasnowihardjo, 2021: 83 – 88

Adanya pola bahwa peninggalan arkeologis bercorak Hindu di desa Patengteng,

bersamaan dengan peninggalan arkeologis serupa di kawasan sekitar di Madura Barat,

menunjukkan bahwa keberadaan wilayah Patengteng cukup penting di era klasik. Hal ini

dibuktikan pula dengan posisi peninggalan arkeologis di Madura Barat yang seluruhnya

berada di kawasan pesisir selatan pulau Madura, yang sekaligus menunjukkan bahwa

peradaban era Hindu-Buddha di Madura berlangsung secara dominan di sekitar wilayah

pesisir selatan. Kemudian peninggalan berupa arca-arca dan yoni di desa Patengteng ini,

disinyalir sebagai bagian dari peninggalan kompleks percandian, yang sangat tidak

31
menutup kemungkinan bahwa di kawasan ini dahulunya terdapat sebuah candi, yang

semakin menunjukkan bahwa lokasi ini sangat penting pada era klasik.

Pada masa-masa berikutnya, yakni pada era kerajaan-kerajaan Islam hingga era

kolonial Hindia Belanda, rupanya desa Patengteng menjadi bagian dari wilayah Blega.

Tentunya status dari wilayah administratif Blega turut berkembang seiring berjalannya

waktu. Misal saat ekspansi Sultan Agung ke Madura tahun 1624, disebutkan bahwa di

Madura Barat terdapat 5 kota, antara lain: (1) Madura, (2) Arosbaya, (3) Blega, (4)

Sampang dan (5) Pakacangan. Di Madura Timur terdapat 2 kota, yakni (1) Pamekasan

dan (2) Sumenep30. Masing-masing wilayah tersebut dipimpin oleh seorang Adipati.

Artinya 5 kota di Madura Barat ketika itu sebagai ibukota Provinsi, Madura Barat sebagai

negara merdeka, walaupun Blega sempat menentang Arosbaya31, sedangkan Pamekasan

dan Sumenep adalah wilayah merdeka.

Keterangan lebih jelas terdapat di buku Valentijn, yang menyebutkan bahwa saat

itu Madura memiliki 6 kota, yakni (1) Maduretna / Tonjhung, (2) Arosbaya, (3) Blega,

(4) Sampang, (5) Pamekasan, dan (6) Sumenep32. Masing-masing wilayah ini dipimpin

oleh para Tumenggung (setara bupati saat ini). Buku Valentijn dilengkapi peta, sehingga

sedikit menjawab soal batasan-batasan wilayah tersebut. Misal, wilayah Blega yang

terbentang dari utara Blega saat ini (Kecamatan Konang saat ini), hingga ke pesisir selatan

(Kecamatan Modung saat ini)33.

30
Dagh-Register Gehouden Int Casteel Batavia, 22 Augustus 1624.
31
Lihat: R. Rooslan Wongsokasoemo dan R.P. Moh. Soedin Notosoedjono, Riwajat Madoera, hlm. 7 – 8.
32
Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost Indies IV: Beschryving van Groot Djava, of te Java Major,
(Dordrecht & Amsterdam: Met Privilegie. 1726), hlm. 43.
33
Lihat: Gambar 2.8.

32
Gambar 2.8. Peta Madura Tahun 1726, Tampak Wilayah Blega yang Mencakup

Wilayah Kecamatan Modung Kini

Sumber: Valentijn, 1726

Keterangan pada buku dan peta Valentijn ini menunjukkan bahwa saat era Mataram

Islam, kawasan desa Patengteng berada di bawah naungan wilayah administratif

Katumenggungan Blega, dengan pusat pemerintahan di kota Blega. Posisi desa

Patengteng yang berdekatan dengan toponim wilayah Labuan, menunjukkan bahwa

dahulu kawasan ini memiliki jaringan pelabuhan, yang terhubung pula dengan muara

sungai Blega. Artinya kawasan tersebut merupakan jaringan pelabuhan dari kota Blega

yang cukup masyhur di masa itu.

33
Gambar 2.9. Peta Madura Tahun 1854, Terlihat Wilayah Bernama Petinting yang Kini

Dikenal sebagai Patengteng

Sumber: ubl.webattach.nl., diakses 2021

Saat era Hindia Belanda, terutama setelah monarkhi dibubarkan, Madura dibagi

menjadi 4 kabupaten / regentschap, dan misal kabupaten Bangkalan dibagi menjadi 5

district / kawedanan, lalu di masing-masing dibagi lagi menjadi onderdistrict /

kecamatan, baru kemudian desa. Pada peta tahun 1939, terlihat jelas pembagian wilayah

administratif kabupaten Bangkalan, misal district / kawedanan Blega, yang saat ini ada 4

kecamatan, yakni: Galis, Blega, Modung, dan Konang34. Hal ini menunjukkan bahwa

pada era kolonial, desa Patengteng yang berada di kecamatan Modung, berada di dalam

wilayah administratif kawedanan Blega.

34
Lihat: Gambar 2.10.

34
Gambar 2.10. Peta Madura Tahun 1939, Tampak Kawasan Kecamatan Modung

(Termasuk Desa Patengteng) Berada di Wilayah Kawedanan Blega

Sumber: google image

B. Seputar Kesenian Topeng Madura

Melacak kesenian topeng, maka memerlukan peninjauan pada aspek – aspek

tertentu, yakni dari sisi definisi, klasifikasi, dan sejarah. Aspek definisi menjawab

peninjauan bahasa, simbol dan makna terhadap keberadaan topeng, sebagai kesatuan utuh

dari pemaknaan masyarakat terhadap topeng. Aspek klasifikasi menjawab lebih rinci,

yakni penguraian terhadap aspek definisi yang dikhususkan dari beberapa sisi. Kemudian

aspek sejarah menjawab sepak terjang kesenian ini sejak awal muncul hingga

berkembang sedemikian rupa kini.

35
1. Definisi Topeng

Definisi topeng ditemukan dalam beberapa literatur, yang meninjau berbagai

definisi baik secara deskriptif, maupun secara simbol. Berikut ialah definsi topeng

menurut beberapa referensi, antara lain:

a. Menurut KBBI, definisi topeng dalam bahasa Indonesia bermakna35:

“topeng/to·peng/ /topéng/ n 1 penutup muka (dari kayu, kertas, dan


sebagainya) yang menyerupai muka orang, binatang, dan sebagainya: waktu
merampok dia memakai --; 2 ki kepura-puraan untuk menutupi maksud
sebenarnya; kedok: gerakan kebatinan itu sebenarnya hanya sebagai --
organisasi yang terlarang;”
“-- gas peranti saring berupa topeng, berfungsi sebagai pemurni gas,
digunakan untuk pernapasan dalam udara yang mengandung gas beracun;”

“bertopeng/ber·to·peng/ v 1 memakai topeng; 2 ki melakukan sesuatu untuk


menutupi maksud yang sebenarnya; menyaru; berkedok;”

“menopengi/me·no·pengi/ v 1 memberi bertopeng; 2 ki menutupi maksud


sebenarnya: ia mencoba tersenyum untuk ~ perasaannya;”

“mempertopeng/mem·per·to·peng/ v ki memakai sesuatu sebagai topeng;


memperkedok: dia ~ jabatannya untuk melaksanakan kejahatan”

Berdasarkan keterangan KBBI, terdapat lima definisi topeng dalam bahasa

Indonesia. Kosakata yang pertama ialah “topeng”, yang diartikan sebagai penutup muka,

baik berbahan dari kayu, kertas, dan bahan-bahan lainnya, yang berbentuk menyerupai

wajah manusia, hewan, dan lain-lain. Kosakata kedua adalah “topeng gas”, berupa topeng

khusus pemurni gas. Kosakata ketiga ialah “bertopeng”, sebagai kata kerja yang

bermakna memakai topeng. Kosakata selanjutnya ialah “menopengi”, juga berupa kata

kerja yang bermakna sebagai memberi topeng. Terakhir ialah kosakata “mempertopeng”,

berupa kata kerja yang bermakna memakai sesuatu sebagai topeng.

35
kbbi.web.id. 2021. “Definisi Topeng”. KBBI. Tersedia pada https://kbbi.web.id/. Diakses pada 23
Desember 2021.

36
b. Definisi topeng dalam kosakata bahasa Madura dapat ditemukan pada kamus bahasa

Madura karya P. Penninga & Hendriks, terbitan tahun 1936. Berikut ialah definisi

topeng dari kamus tersebut36:

“topëng masker, mombakkes, toneel-voorstelling m gemaskerde personen, Inl


comedie; kesëangan, te laat op ’t werk; —an, toneel-voorstelling m maskers,
krisschee m gebeitelde buta- kop; a— gemaskerd; n— gemaskerd dansen, o/n
gelijken, zo mooi, beel-derig.”
Terjemahan:
“topeng topeng, pertunjukan panggung m orang bertopeng, komedi Inl;
kesëangan, terlambat bekerja; -an, pertunjukan panggung m topeng, m pahat
kepala buta; a- bertopeng; n- menari bertopeng, o/n teman sebaya , sangat
indah, gambar-sempurna.”

Penjabaran definisi topeng pada kamus karya P. Penninga dan H. Hendriks,

dijelaskan bahwa topeng merupakan objek topeng secara fisik dalam bahasa Indonesia,

dan juga dapat diartikan sebagai orang bertopeng atau orang memakai topeng. Lalu

kosakata ini juga mengandung definisi topeng sebagai pertunjukan panggung, dan juga

pekerjaan pahatan topeng. Kemudian juga diberikan contoh dari karakter topeng, yakni

buta / bhuta alias karakter raksasa dalam topeng, karena topeng dalam kosakata bahasa

Madura juga erat kaitannya dengan tarian topeng, atau seseorang yang menarikan tarian

topeng.

c. Definisi topeng menurut Aniyah, S.Sn., menyebutkan definsi topeng secara simbol dan

makna. Berikut ialah definisi topeng menurut Aniyah37:

“Topeng adalah penutup wajah yang memiliki karakter tersendiri. Bentuk


dan potongan topeng berbeda yang dapat memberikan ungkapan sifat-sifat
karakter tertentu.”

36
P. Penninga & H. Hendriks, Practisch Madürees-Nederlands Woordenboek: 2de druk, (Semarang: G. C.
T. van Dorp & Co. N. V. 1936), hlm. 351.
37
Aniyah, S.Sn., Pertunjukan Topeng Patengteng dalam Ritual Perkawinan Sumber Kabupaten Bangkalan
Madura, hlm. 46.

37
Aniyah menjelaskan definisi topeng secara simbol dan makna. Menurutnya, topeng

merupakan objek penutup wajah yang memiliki karakter masing-masing, dengan kata lain

definisi topeng sebagai bentuk kesenian. Lalu Aniyah melanjutkan bahwa masing-masing

potongan atau fisik topeng memiliki ciri yang berbeda, tentunya hal ini berkaitan dengan

ungkapan tertentu pada sifat atau karakteristik dari topeng. Hal ini erat kaitannya dengan

ketokohan dalam masing-masing cerita kesenian topeng, yang memang setiap bentuk dan

warna topeng selalu memiliki ciri khas berbeda dengan karakter tokoh lainnya.

d. Definisi topeng menurut B. Soelarto, yang menyebutkan definisi menurut sejarah dan

bahasa Madura. Ada pun definisi topeng menurut Soelarto ialah38:

“……Meskipun dalam salah satu pustaka Babad Madura ada disebutkan


bahwa pada abad ke XIV semasa Prabu Menaksenaya memerintah kerajaan
Jemberingin (Pamekasan ), diusahakan pembuatan topeng ( topong bahasa
daerah Madura ). Yang dibuat model adalah wajah tokoh-tokoh
wayang……”

B. Soelarto menjelaskan definisi topeng Madura melalui tinjauan sejarah dan

bahasa Madura. Berdasarkan keterangannya, didapat informasi bahwa kesenian topeng di

Madura disebutkan dalam kepustakaan “Babad Madura”, menyebutkan bahwa

kemunculan kesenian ini di pulau Madura bermula dari abad XIV, yakni di masa

pemerintahan Prabu Menak Senaya dari kerajaan Jamburingin, Pamekasan. Disebutkan

bahwa Prabu Menak Senaya memerintahkan pembuatan kesenian topeng, yang dalam

bahasa Madura rupanya disebut sebagai topong. Ada pun, tokoh karakter yang dibuat di

dalam bentuk topeng Madura atau topong ialah dari pewayangan.

Berbagai penjabaran tentang definisi topeng dari beberapa literatur di atas memiliki

garis besar definsi serupa. Pada dasarnya, topeng dimaknai sebagai objek penutup wajah

38
B. Soelarto, Topeng Madura (Topong), (Jakarta: Ditjen Kebudayaan Departemen P & K, 1977), hlm. 5.

38
dengan fungsi beragam. Lalu definisi semakin dikerucutkan dalam sudut pandang seni,

yakni topeng sebagai bagian dari bentuk kesenian, mengandung karakter, simbol, dan

makna, dari masing-masing penggambaran fisik, baik bentuk, maupun warna. Kemudian

diperjelas lagi secara khusus tentang topeng Madura, atau kesenian topeng yang tumbuh

dan berkembang di pulau Madura. Kesenian ini memiliki sejarah yang cukup panjang,

jika menilik Babad Madura maka disebutkan kesenian ini telah hadir sejak masa

pemerintahan Menak Senaya, di Jamburingin, Pamekasan. Topong, kosakata lain dalam

bahasa Madura tentang topeng, identik dengan karakter pewayangan.

2. Klasifikasi Topeng

Mengetahui klasifikasi topeng, memudahkan pemahaman soal perkembangan

kesenian topeng, baik secara umum, maupun yang berkembang secara khusus di Madura.

Upaya klasifikasi topeng bukanlah hal yang mudah, mengingat banyak sekali aspek yang

perlu diperhatikan, selain itu juga banyak kemiripan di antara satu topeng dengan lainnya,

sehingga upaya klasifikasi ini memang harus jelas indikatornya. Oleh karenanya,

digunakan literatur yang mendukung untuk melihat lebih jauh soal spesifikasi dari

masing-masing klasifikasi kesenian ini. Satu dari sekian literatur yang menjelaskannya

secara rinci ialah buku karya Helene Bouvier.

Terdapat beberapa macam klasifikasi kesenian topeng yang berkembang di

Madura. Menurut Helene Bouvier, kesenian topeng Madura cukup beragam, dan dapat

ditinjau dari sudut tampilan topeng, kesempatan penyelenggaraannya, dan tradisi lisan

serta tertulis39. Klasifikasi topeng Madura cukup terombang-ambing selama berabad-

abad, terkait tradisi pedesaan dan tradisi keraton. Penelusuran soal garis historis tradisi

kesenian topeng pedesaan terkesan lebih sulit, dan bahkan “tertelan oleh waktu”,

39
Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, Terj. Rahayu S.
Hidayat & Jean Couteau (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. 115.

39
sedangkan tradisi kesenian topeng di kalangan istana / keraton lebih mudah ditinjau,

mengingat banyaknya peninggalan tertulis dan benda40.

Helene Bouvier menggambarkan klasifikasi kesenian topeng di Madura dengan

membandingkan beberapa referensi, sehingga terlihat cukup jelas klasifikasi tersebut

berdasarkan referensi yang mengerucut pula menjadi berdasarkan indikator-indikator

tertentu. Berikut ialah klasifikasi kesenian topeng di Madura, menurut Helene Bouvier41:

Tabel 2.3. Klasifikasi Kesenian Topeng di Madura

Indikator Klasifikasi Sumber


Tradisi keraton
Berdasarkan pihak pengembang Brandon, 1967: 80 – 85
Tradisi pedesaan
Topeng
Pigeaud, 1938: 149 – 151,
(topeng besar /
412
topeng kuno)
Berdasarkan skala pertunjukan &
Topeng kecil
Brandts Buys-van Zijp,
(saronèn /
1928, 4 – 5, 194 – 198
salabâdhân)
Panji
Berdasarkan lakon Ramayana Soelarto, 1977: 10 – 18, 94
Mahabharata
Topeng
(pertunjukan
Berdasarkan bentuk pertunjukan Soelarto, 1977: 10 – 18, 94
topeng)
Tarian lepas
Topeng
arak-arakan
Topeng tarian
Topeng
pertunjukan teater
Topeng yang
Berdasarkan bentuk dan fungsi Bouvier, 2002: 132
berbicara
Topeng bungkam
Topeng yang
menyeramkan
Topeng yang
mempesonakan

40
Brandon (1967: 80-85) yang dikutip dalam Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam
Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002), hlm. 21.
41
Hélène Bouvier, op. cit., hlm. 124 - 132.

40
Topeng yang
mengajarkan
Topeng lawak /
topeng lelucon
Topeng ritual
Sumber: Bouvier, 2002: 124 – 132

Klasifikasi berdasarkan indikator yang pertama, yakni berdasarkan pihak

pengembang. Terdapat dua jenis topeng dalam klasifikasi ini, yakni topeng dalam tradisi

keraton, dan topeng dalam tradisi pedesaan. Klasifikasi ini cukup sulit ditunjukkan di

kedua sisi, karena di sisi tradisi pedesaan catatan dan bukti fisik perjalanan topeng tidak

selengkap di sisi tradisi keraton42. Perbedaan mencolok dalam dua jenis kesenian topeng

ini ialah dari kebebasan berekspresi. Kesenian topeng tradisi pedesaan cenderung

memiliki ekspresi yang lebih bebas, lugas, dan apa adanya, sedangkan kesenian topeng

tradisi keraton bersifat lebih tertata, terkesan kaku, dan penuh pola yang rumit43. Contoh

mendasar dari dua jenis kesenian berdasarkan klasifikasi indikator ini ialah, topeng

Patèngtèng Moḍung untuk kesenian topeng tradisi pedesaan, dan topeng dhâlâng untuk

kesenian topeng kalangan istana44.

Klasifikasi selanjutnya berdasarkan indikator skala pertunjukan. Terdapat dua jenis

topeng dalam klasifikasi ini, yakni topeng (topeng besar / topeng kuno), dan topeng kecil

(saronèn / salabâdhân)45. Ciri utama pembeda antara dua jenis topeng ini ialah

berdasarkan instrumen musik pengiring, dan skenario pertunjukan. Berdasarkan

42
Brandon (1967: 80-85) yang dikutip dalam Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam
Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002), hlm. 124.
43
Achmad Fatoni, wawancara, (Bangkalan - Surabaya: Via Google Meet. 2021), 19 Desember 2021.
44
Mulanya topeng dalang merupakan kesenian rakyat atau kalangan pedesaan, namun seiring
perkembangan waktu, kesenian ini diadopsi dan diadaptasikan dengan kebutuhan keraton, sehingga lahirlah
kesenian topeng dalang ala keraton yang lebih kompleks. Lihat: B. Soelarto, op. cit., hlm. 9 – 10.
45
Pigeaud (1938: 149-152, 412) & Brandts Buys-van Zijp (1928: 4-5, 194-198) yang dikutip dalam Hélène
Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2002), hlm. 124.

41
instrumen pengiring, topeng atau topeng besar (topeng kuno) cenderung diiringi orkestra

kompleks, yakni seperangkat gamelan, sedangkan topeng kecil umumnya hanya diiringi

oleh instrumen musik yang lebih sederhana, bisa berupa sebagian gamelan, penggunaan

alat musik saronèn, dan nyanyian yang sederhana. Begitu pula dari sisi skenario

pertunjukan, topeng besar memiliki skenario yang lebih kompleks, sedangkan topeng

kecil memiliki skenario yang sederhana. Contoh dari masing-masing jenis kesenian

topeng ini ialah, tarian klono topeng Dasok, untuk topeng kecil, dan lakon Mahabharata

dalam topeng dhâlâng.

Kemudian klasifikasi yang ketiga ialah berdasarkan lakon. Terdapat tiga jenis lakon

yang populer di dalam kesenian topeng Madura, yakni lakon Panji, Mahabharata, dan

Ramayana46. Klasifikasi ini cukup jelas dibedakan antar satu jenis dengan jenis lainnya,

mengingat lakon adalah hal penting di dalam jalannya suatu cerita pertunjukan dalam

kesenian topeng. Lakon Mahabharata dan Ramayana merupakan adopsi dari cerita-cerita

di India, yang telah berkembang sedemikian rupa di Nusantara, sedangkan lakon Panji

merupakan adopsi dari cerita Panji, yang merupakan cerita asli Nusantara, yang diduga

muncul di era kerajaan Kediri.

Klasifikasi berdasarkan indikator yang keempat ialah berdasarkan bentuk

pertunjukan. Pada klasifikasi ini, terdapat dua jenis kesenian topeng, yakni topeng

(pertunjukan topeng), dan tarian lepas47. Pertunjukan topeng merupakan kesenian dengan

skenario yang kompleks, tertata, dan sarat dengan pola, sedangkan tarian lepas cenderung

berupa tarian sederhana namun umumnya dianggap memiliki nilai sakral tinggi. Contoh

46
Soelarto, 1977: 10 – 18, 94 yang dikutip dalam Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan
dalam Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002), hlm. 125.
47
Ibid., hlm. 130.

42
dari kedua kesenian topeng berdasarkan klasifikasi ini ialah tarian Gunungsari untuk

tarian lepas, dan topeng dhâlâng dengan lakon Mahabharata.

Klasifikasi berdasarkan indikator yang terakhir ialah berdasarkan bentuk dan fungsi

pertunjukan. Klasifikasi ini terbilang paling banyak, yakni terdapat sepuluh jenis topeng,

antara lain (1) topeng arak-arakan, (2) topeng tarian, (3) topeng pertunjukan teater, (4)

topeng yang berbicara, (5) topeng bungkam, (6) topeng yang menyeramkan, (7) topeng

yang memesonakan, (8) topeng yang mengajarkan, (9) topeng lelucon / lawak, dan (10)

topeng ritual48. Sejatinya bentuk dari kesenian topeng memang cenderung pada

pertunjukan, ntah berupa pertunjukan teatrikal, ataupun berupa tarian. Kemudian fungsi

dasar dari kesenian topeng ialah untuk hiburan, namun seiring dengan kebutuhan,

ditambah dengan adanya nilai sakral, pertimbangan adat, dan ekspresi dari masyarakat,

maka fungsi kesenian topeng dapat berkembang menjadi lebih kompleks, misal sebagai

kelengkapan ritual tertentu49.

3. Sejarah Topeng

Sejarah asal-muasal perkembangan seni topeng Madura rupanya masih berkaitan

dengan Jawa, walaupun kepastian soal angka tahun awal munculnya kesenian topeng di

Madura masih belum dapat dipastikan. Perkembangannya hingga sedemikian rupa di era

kerajaan Mataram Islam, hingga era kolonial, sedikit terdapat gambaran pasti melalui

referensi-referensi yang ada. Tentunya, juga terdapat banyak faktor yang menghadirkan

perkembangan kesenian topeng di Madura hingga menjadi sangat kompleks.

B. Soelarto memberikan ulasan detail tentang asal mula kemunculan seni topeng di

Madura. Soelarto menyebutkan bahwa pada abad XIII, Madura menjadi bagian dari

kerajaan Tumapel (Singhasari), tentunya juga berpengaruh pada perkembangan kegiatan

48
Hélène Bouvier, op. cit., hlm. 132.
49
Achmad Fatoni, loc. cit.

43
budaya di pulau Madura. Saat itu, telah berkembang seni pahat, sastra, dan musik Madura,

dan konon juga telah memiliki pustaka sastra, baik Rama, Arjuna Sasrabahu, dan Arjuna

Wiwaha50. Keberadaan seni musik di Madura era Hindu juga dibenarkan oleh Kunst51.

Namun, terkait keberadaan topeng masih belum ada keterangan. Begitu pula di abad XIV,

ketika Madura menjadi vassal Majapahit, juga memengaruhi perkembangan kesenian dan

budaya Madura. Pada era tersebut, para raja Majapahit sering mementaskan tari topeng

sebagai ritual keagamaan, hal ini didukung dengan keterangan pada Negarakretagama

tembang ke-91, bait ke-4, dan Pararaton, namun belum ada keterangan tentang

keberadaan pementasan topeng di Madura di masa itu52.

B. Soelarto juga memberikan ulasan bahwa menurut Babad Madura kesenian

topeng di Madura disebutkan telah ada sejak masa Prabu Menak Senaya dari Kerajaan

Jamburingin, Pamekasan, di abad XIV. Disebutkan bahwa di era tersebut telah

diusahakan untuk pembuatan topeng (topong), dengan karakter tokoh pewayangan,

namun tanpa keterangan soal fungsi, dan sifat pertunjukan. Soelarto juga masih

meragukan tentang kebenaran topeng Madura telah hadir sejak abad XIV, mengingat

Babad Madura sebagai literatur baru ditulis pada abad XIX53.

B. Soelarto juga menambahkan, konon antara abad XV - XVI topeng dalang mulai

dikenal di Madura sebagai pertunjukan rakyat berbentuk teater topeng, yang identik

dengan kata topeng dalang di Jawa. Oleh karenanya dimungkinkan kehadiran kesenian

ini di Madura, tak lepas dari perananan para ulama pengikut Sunan Kalijaga bersamaan

50
B. Soelarto, op. cit., hlm. 7.
51
Lihat: Mr. J. Kunst, Hindoe-Javaansche Muziek-Instrumenten Speciaal die van Oost Java, (Bandoeng:
Druk O. Kolff & Co-. Weltevreden, 1927).
52
B. Soelarto, op. cit., hlm. 7 – 8.
53
Ibid., hlm. 8.

44
dengan para raja Madura di masa itu. Lalu di abad XVIII topeng dalang yang awalnya

kesenian rakyat, diadopsi menjadi kesenian istana para raja Jawa dan Madura54.

Kemudian di era Mataram – Kolonial, B. Soelarto juga menjelaskan beberapa

catatan kronologis soal perkembangan kesenian topeng di Madura. Berikut ialah

perkembangan topeng Madura di era Mataram – Kolonial menurut B. Soelarto55:

Tabel 2.4. Perkembangan Kesenian Topeng di Madura era Mataram – Kolonial

Era Perkembangan
Topeng diperindah dengan ukiran, detail topeng
seperti rambut, kumis, cambang dan ornamen diukir
Era Pakubuwana II
menyeluruh. Berpengaruh di Madura dengan titik
(memerintah: 1726 – 1742,
berat ukiran di bagian ikalan rambut dan ornamen
1745 - 1749)
penghias sebagian rambut di atas dahi melintang
sampai bagian atas kuping.
Pengayaan perbendaharaan topeng, pembuatan
topeng baru, menyesuaikan wajah tokoh wayang
kulit. Misal: topeng Panji, tokoh Arjuna, topeng
Klana Sepuh, topeng Klana Timur, topeng
Era Pakubuwana III Gunungsari, topeng Dewi Candrakirana, dan topeng
(memerintah: 1749 – 1788) Kartala. Pengayaan perbendaharaan topeng
berdasarkan karakter wayang kulit ini juga diikuti di
Madura, baik kalangan istana maupun rakyat. Ada
pun lakon yang dimainkan ialah Mahabharata,
Ramayana, dan Panji.
Dimungkinkan, Penambahan tokoh punakawan, yang awalnya hanya
era Pakubuwana VII dua (Semar dan Bagong), ditambah dengan tokoh
(memerintah: 1830 – 1858) Togog (Drodog dalam bahasa Madura).
Pernikahan Pakubuwana VII dengan puteri dari
Sultan Cakraadiningrat II, Bangkalan. Pakubuwana
VII menghadiahkan kepada sang mertua,
seperangkat topeng dengan lakon Ramayana dan
Mahabarata, serta busana dan atribut, serta
Era Pakubuwana VII
seperangkat gamelan slendro. Peristiwa ini cukup
(memerintah: 1830 – 1858)
berpengaruh terhadap kesenian topeng di Madura,
namun ciri khas topeng Madura tetap tidak berubah,
seperti: motif bunga melati untuk ornamen hiasan
kepala, teknik ukir kerawangan, perbedaan warna cat
pada wajah topeng dan ornamennya.

54
Ibid., hlm. 8 – 10.
55
Ibid., hlm. 10 – 16.

45
Pasca Pakubuwana VII Perhatian para seniman topeng Madura, beralih pada
(setelah tahun 1858) Mangkunegaran.
Pengembangan topeng dalang, tarian lepas maupun
Era Mangkunegara IV
penulisan lakon topeng dalang, dengan fragmen
(memerintah: 1853 – 1881)
cenderung romantisme serta komedi. Hal ini juga
dan
memengaruhi corak pertunjukan topeng Madura.
era Mangkunegara V
Misal pada pembuatan tokoh-tokoh topeng baru
(memerintah: 1881 – 1896)
untuk lakon Damarwulan.
Fase sirna kesenian topeng ala keraton Madura, baik
pergelaran maupun pengukiran. Kesenian topeng
berkembang di pedesaan, para pengukir terus
produktif, meskipun kualitasnya di bawah pengukir
Dasawarsa ketiga abad XX
istana. Para pengukir pedesaan tetap memertahankan
bentuk topeng gaya Surakarta, serta gaya Jawa
Timur, serta ditambah variasi ornamen hiasan kepala
ala Belanda.
Sumber: Soelarto

Berdasarkan keterangan dari Soelarto, didapat informasi bahwa periodisasi

kesenian topeng di Madura mulai jelas sejak era Mataram hingga kolonial. Kronologi ini

dapat dikategorikan menjadi tiga era penting, yakni era berkiblat ke Surakarta (era

Pakubuwana II – Pakubuwana VII), lalu berkiblat ke Mangkunegaran (era Mangkunegara

IV dan Mangkunegara V), dan kemudian yang terakhir era topeng di luar lingkup istana

(abad XX). Saat berkiblat ke Surakarta, terdapat ciri khas, yakni adanya (1) pembaharuan

ukiran topeng, (2) pengayaan perbendaharaan topeng (misal mulai berlakunya lakon

Panji), serta (3) penambahan karakter punakawan. Kemudian saat berkiblat ke

Mangkunegaran, ciri khas utama, (1) pengembangan topeng dalang, dan (2) pemunculan

lakon Damarwulan. Lalu yang terakhir, ketika kesenian topeng semakin eksis di luar

lingkup istana, terdapat ciri, (1) sirnanya kesenian topeng di keraton, (2) bentuk topeng

dipertahankan dengan gaya Surakarta dan Jawa Timur, serta (3) terdapat penambahan

ornamen hiasan kepala ala Belanda.

46
R.P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat membenarkan adanya pemberian

seperangkat topeng beserta seluruh atribut dari Pakubuwana VII kepada Sultan

Cakraadiningrat II. Menurutnya, berdasarkan ceritera tutur, disebutkan bahwa putera ke-

8 Sultan Cakraadiningrat II, yakni Pangeran Suryoadiningrat, merupakan tokoh pelestari

kesenian topeng di istana Bangkalan. Lakon yang dibawakan adalah Mahabharata, dan

tempat latihan kesenian ini ialah di paseban kota Bangkalan56.

Gambar 2.11. Sekelompok Penari Orkes Saronen di Pamekasan, Tampak Ada Penari

yang Memakai Topeng

Sumber: Djajadiningrat, 1928

Terkait perkembangan kesenian topeng di Madura abad XX, Dr. Th. Pigeaud,

memberikan keterangan yang cukup rinci, khususnya tentang tokoh dan karakter dalam

kesenian tersebut. Tokoh serta karakter dalam kesenian topeng Madura disebutkan cukup

rinci dalam buku karya Pigeaud tahun 1938, berjudul “Javaanse Volksvertoningen

56
R. P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat, dalam Diskusi tentang Kesenian Topeng Patèngtèng
Moḍung, Bhângkalan, (Bangkalan: Trèsna Art. 2021), 29 Desember 2021.

47
Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk”. Tokoh dan karakter yang dimaksud

ialah57:

- Pandita Durna (Sokalima) - Dursadana

- Semar - Prabu Bulantani

- Bagong - Batara Kresna

- Gatotkaca - Janaka, Permadi

- Werkudara - Dewi Sinta

- Basudewa - Dasamuka, Rahwana

- Samba - Kapi Jembawan

- Sentyaki - Anggada

- Antareja - Anoman Sapuangin

- Kakrasana (Baladewa) - Kandiawan

- Arya Prabu - Pandu Dewanata

- Abimanyu - Bambang Tejakusuma, anak Janaka

- Dewi Kunti - Nyai Tumenggung Suna

- Dewi Srikandi - Anggada

- Dewi Sumbadra - Boma Jatasura

- Hyang Bramadewa, putera Hyang - Wibisana

Guru - Patih Gambir-saketi nagari Rancang-

- Ratu Sabrang, Daeng Bragalba kencana

- Plumudewa, tukang taman, anak - Gandamana

Dasamuka - Betala Marjan

- Subali atau Sribali - Kangsadewa

57
Lihat: Dr. Th. Pigeaud, Javaanse Volksvertoningen Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk,
(Jogjakarta: Martinus Nijhoff Uitgever ‘s-Gravenhage. 1938), hlm. 150 – 151.

48
- Pandu Pragola - Layangseta

- Mulawanu, Ratu Indran - Layangkumitir

- Drogok (Dogog, Togog?) - Prasta, putera Ratu Sumangli

- Semar, Kyai Sangubrangta Selagringging

- Paranyai

- Pancadnyana

Keterangan dari Pigeaud menggambarkan detail karakter dan tokoh kesenian

topeng di Madura, serta serupa dengan keterangan B. Soelarto. Terlihat jelas bahwa

tokoh-tokoh dalam keterangan Pigeaud ini mayoritas merupakan karakter dari lakon

Mahabharata dan Ramayana. Kemudian juga terdapat beberapa tokoh di luar kedua lakon

fenomenal tersebut, beberapa di antaranya mengadopsi dari lakon cerita lain, dan

beberapa di antaranya telah disesuaikan dengan karakteristik khas kesenian topeng

Madura.

Kesenian topeng Madura masih cukup eksis di era perjuangan memertahankan

kemerdekaan Indonesia. Misal ketika era RIS (Republik Indonesia Serikat), saat Madura

menjadi negara bagian dari RIS, terdapat pertunjukan tari topeng Madura yang dihelat di

Bangkalan tahun 1948. Hal ini diketahui melalui sebuah foto yang didapat dari Nationaal

Archief negeri Belanda, menunjukkan bahwa sekelompok pemuda sedang menonton dua

orang penari topeng yang keduanya adalah penari wanita58.

58
Lihat: Gambar 2.12.

49
Gambar 2.12. Tari Topeng Madura yang Dipertunjukkan Tahun 1948

Sumber: Nationaal Archief, 2021

Kesenian topeng dalang yang berkembang di Bangkalan pada abad XX lazim

dikenal dengan istilah topeng dhâlâng Salè Kertè, sesuai dengan nama dalang kondang

asal Bangkalan ketika itu, yakni Pak Kerte, dan putera beliau yang bernama Pak Sale

Kerte. Kesenian ini cukup eksis di pertengahan abad XX, berkembang beriringan dengan

pewayangan di Bangkalan. Terdapat berbagai pementasan kesenian topeng dhâlâng Salè

Kertè, sehingga ketika itu nampak jelas bahwa kesenian ini cukup populer dan diminati

masyarakat luas, bahkan juga berkembang ke berbagai wilayah Madura dan sekitarnya59.

59
Mas Sudarsono, wawancara, (Bangkalan: Sanggar Tarara. 2021), 9 April 2021.

50
Gambar 2.13. Tari Topeng di Bangkalan

Sumber: Dokumentasi Sudarsono, 2021

Gambar 2.14. Topeng Madura yang Disimpan di Museum Cakraningrat Bangkalan

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021

51
Saat ini sebagian besar kesenian topeng Madura dapat terbilang punah. Sangat

disayangkan, mengingat sebelumnya kesenian ini cukup eksis dan populer di berbagai

kalangan masyarakat Madura, bahkan cukup tersohor hingga ke luar Madura. Beberapa

di antaranya memang masih berkembang dengan baik, misal yang masih eksis di beberapa

wilayah, antara lain di desa Patèngtèng, kecamatan Moḍung, kabupaten Bangkalan, serta

topeng dalang di kabupaten Sumenep.

52
BAB III

TINJAUAN HISTORIS TOPENG PATÈNGTÈNG MOḌUNG

A. Awal Mula Kemunculan Topeng Patèngtèng Moḍung

Sejarah awal mula kemunculan topeng Patèngtèng Moḍung masih belum dapat

dipastikan, mengingat belum ditemukan referensi primer / sezaman tentangnya. Sampai

saat ini, versi sejarah tutur masih lebih berkembang menceritakannya secara gamblang.

Oleh karena belum ditemukan referensi primer terkait, maka untuk sementara waktu versi

sejarah tutur dapat dijadikan acuan untuk melihat tinjauan historis awal kemunculan

objek budaya ini. Penggunaan versi sejarah tutur ini hanya bersifat sebagai rujukan awal,

bukan sebagai simpulan yang memunculkan otentisitas data historis. Kendati demikian,

rujukan awal ini dapat dijadikan landasan awal untuk meninjau objek ini.

Menurut Aniyah, S.Sn. di dalam penelitiannya, menyebutkan bahwa kehadiran

kesenian topeng Patèngtèng Moḍung diperkirakan sudah berlangsung sejak sekitar dua

ratus tahun silam, yakni antara abad XVIII atau XIX. Menurutnya, Pangeran Aryo

Kusumo dari Sampang, ialah pembawa kesenian topeng Patèngtèng Moḍung. Aniyah

menambahkan bahwa hal ini erat kaitannya dengan penyebaran agama Islam di desa

Patengteng. Oleh karena masyarakat setempat masih sangat memegang erat tradisi, maka

pangeran tersebut berupaya menyiarkan Islam dengan medium tradisi kesenian topeng60.

Keterangan soal asal-muasal kemunculan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung

juga didapatkan dari cerita tutur turun-temurun dari para pelaku seni. Versi ini tidak

menceritakan secara kronologis dan tidak ada penyebutan kisaran angka tahun dengan

rinci, namun terdapat petunjuk melalui ceritera genealogi generasi ke generasi yang dapat

60
Aniyah, S.Sn., Pertunjukan Topeng Patengteng dalam Ritual Perkawinan Sumber Kabupaten Bangkalan
Madura, hlm. 83.

53
ditelusuri lebih lanjut. Menurut pelaku sekaligus pengurus topeng, yakni Hosen,

mengatakan bahwa kesenian topeng Patèngtèng Moḍung telah hadir sekitar enam dan

tujuh generasi di masa lampau. Selain itu, menurutnya karya budaya ini berusia lebih tua

daripada kisah tokoh yang abhâbhâd tana (membabat tanah), yang terhitung masih empat

generasi61.

Keterangan grad silsilah atau generasi pelestari kesenian topeng Patèngtèng

Moḍung perlu ditarik prakiraan garis rentang waktu, untuk mengetahui prakiraan rentang

waktu awal kemunculan kesenian ini. Upaya ini dapat dilakukan dengan metode studi

perbandingan, antara garis rentang waktu silsilah lain, dengan grad yang sama. Misal,

keterangan grad silsilah pelaku seni ini dikomparasikan dengan garis rentang waktu pada

silsilah penguasa monarkhi Madura Barat hingga generasi keenam dan ketujuh. Satu dari

garis genealogi tersebut dapat dilihat melalui tabel berikut62:

Tabel 3.1. Garis Rentang Waktu Silsilah Penguasa Monarkhi Madura Barat

Tahun Tahun
No Penguasa Generasi
Bertahta Wafat
1 Pangeran Cakraningrat I 1624 – 1648 1648 -
2 Panembahan Cakraningrat II 1648 – 1707 1707 Generasi I
3 Pangeran Cakraningrat III 1707 – 1718 1718 Generasi II
4 Pangeran Cakraningrat IV 1718 – 1745 1753 Generasi II
5 Panembahan Cakraadiningrat V 1745 – 1770 1770 Generasi III
6 Panembahan Cakraadiningrat VI 1770 – 1780 1780 Generasi V
7 Sultan Cakraadiningrat I 1780 – 1815 1815 Generasi IV
8 Sultan Cakraadiningrat II 1815 – 1847 1847 Generasi V
9 Panembahan Cakraadiningrat VII 1847 – 1862 1862 Generasi VI
10 Panembahan Cakraadiningrat VIII 1862 – 1882 1882 Generasi VII
Sumber: Tjakraningrat, 1936: 79

61
Hosen, dalam Silaturahim dan Penelusuran tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan,
(Bangkalan: Patèngtèng. 2021), 7 Desember 2021.
62
Lihat: Stamboom van het Geslacht Tjakra/Adi/Ningrat dalam R.A.A. Tjakraningrat, Madoera en Zijn
Vorstenhuis, (Surabaya: Cliché’s en Druk: G. Kolff. & Co. 1936), hlm. 79.

54
Gambar 3.1. Silsilah Penguasa Monarkhi Madura Barat

Sumber: Tjakraningrat, 1936: 79

55
Tabel 3.2. Selisih Garis Rentang Waktu Silsilah Penguasa Monarkhi Madura Barat

(Garis Keturunan Panembahan Cakraadiningrat VIII menuju Pangeran Cakraningrat I)

7 Generasi ke Atas Selisih Garis


Generasi Terakhir
(Urut dari yang Termuda) Rentang Waktu
terhadap
Tahun Tahun
Penguasa Penguasa Generasi
Wafat Wafat
Terakhir
Panembahan
1862 20 tahun
Cakraadiningrat VII
Sultan
1847 35 tahun
Cakraadiningrat II
Sultan
1815 67 tahun
Cakraadiningrat I
Panembahan Panembahan
1882 1770 112 tahun
Cakraadiningrat VIII Cakraadiningrat V
Pangeran
1753 129 tahun
Cakraningrat IV
Panembahan
1707 175 tahun
Cakraningrat II
Pangeran
1648 234 tahun
Cakraningrat I
Sumber: Olahan Tabel 3.1.

Keterangan garis rentang waktu silsilah penguasa Madura Barat menghadirkan

fakta bahwa jarak antara generasi terakhir, yakni Panembahan Cakraadiningrat VIII,

menuju generasi keenam di atasnya, yakni Panembahan Cakraningrat II, dan menuju

generasi ketujuh di atasnya, yakni Pangeran Cakraningrat I maka diperoleh tiga angka

tahun wafat, antara lain (1) tahun 1648 saat Pangeran Cakraningrat I wafat, (2) tahun 1707

saat Panembahan Cakraningrat II wafat, dan (3) tahun 1882 saat Panembahan

Cakraadiningrat VIII wafat. Berdasarkan tiga angka tahun di atas, diperoleh kalkulasi

rentang waktu antara penguasa generasi terakhir menuju generasi keenam di atasnya

yakni 175 tahun, dan menuju generasi ketujuh di atasnya yakni 234 tahun.

56
Studi perbandingan garis rentang waktu silsilah ini menjawab bahwa prakiraan

generasi terakhir menuju generasi keenam di atasnya ialah hampir 200 tahun, sedangkan

menuju generasi ketujuh di atasnya ialah lebih dari 200 tahun. Tentunya kisaran angka

tahun ini tidak baku, karena tidak ada silsilah yang memiliki rentang waktu sama persis,

namun perhitungan ini dapat dijadikan sebagai pijakan awal untuk melihat asal-muasal

kemunculan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, yang telah diwariskan sekitar enam

dan tujuh generasi hingga kini.

Berdasarkan keterangan Aniyah dan Hosen tentang awal kemunculan kesenian

topeng Patèngtèng Moḍung, terdapat data rentang waktu yang serupa. Menurut Aniyah

kesenian ini diperkirakan muncul sekitar 200 tahun lalu, dibawakan oleh Pangeran Aryo

Kusumo. Keterangan serupa disampaikan oleh Hosen, yang menyebutkan bahwa

kesenian ini telah ada sejak generasi keenam dan ketujuh sebelumnya, yang bila dikaji

melalui studi perbandingan prakiraan rentang waktu grad silsilah, didapat rentang waktu

sekitar 200 tahun juga. Oleh karenanya, kedua data serupa ini dapat dijadikan pijakan

awal untuk menentukan titik asal-muasal kemunculan kesenian ini, yakni pada abad

XVIII – XIX (1700-an – 1800-an).

Kemudian bila ditinjau dari sisi fisik topeng Patèngtèng Moḍung, dapat dilihat

bahwasannya fisik topeng penuh dengan ukiran wajah yang cukup detail, baik dari sisi

rambut, hiasan di atas rambut, kumis, dan lain-lain. Dari rupa topeng, dapat ditelusuri

kemungkinan periode usia topeng. Seperti yang dibahas pada bab II, pada pertengahan

abad XVIII terdapat perkembangan kesenian topeng dari sisi rupa, yakni fisik topeng

yang diperindah dengan seni ukir dengan lebih detail, berbeda dari era sebelumnya yang

cenderung kurang menonjolkan sisi ukiran. Hal ini merupakan inisiatif dari Susuhunan

57
Pakubuwana II dari Kartasura (1726 – 1742), kemudian Surakarta (1745 – 1749), yang

rupanya segera memengaruhi kesenian topeng yang berkembang di Madura63.

Perkembangan signifikan juga terjadi di abad XIX, yakni ketika era Pakubuwana

VII bertahta di Surakarta, dan menikah dengan puteri Sultan Cakraadiningrat II. Pada

prosesi pernikahan tersebut, Pakubuwana VII menyerahkan hadiah berupa seperangkat

topeng, kostum, atribut, dan gamelan, pada keraton Bangkalan. Kemudian juga terdapat

penambahan karakter punakawan dalam kesenian topeng di Jawa, yang awalnya hanya

berupa Semar dan Bagong, berkembang lebih luas lagi. Rupanya hal ini juga berpengaruh

pada kesenian topeng yang berkembang di pulau Madura64.

Berdasarkan analisis dari bentuk fisik, dan tokoh karakter punakawan dari topeng

Patèngtèng Moḍung, dapat ditarik rentang waktu yang lebih jelas. Topeng Patèngtèng

Moḍung memiliki struktur ukiran yang cukup detail, serupa dengan topeng-topeng Jawa

yang berkembang di era Pakubuwana II dan setelahnya, artinya pada kisaran tahun 1726

– 1749. Kemudian soal karakter punakawan pada topeng Patèngtèng Moḍung, yakni

hanya ada dua tokoh, hal ini serupa dengan yang terjadi pada kesenian topeng di pulau

Jawa sebelum era Pakubuwana VII bertahta, artinya pada kisaran tahun 1830 – 1858.

Oleh karenanya, diduga kuat awal mula munculnya kesenian topeng Patèngtèng Moḍung,

setidak-tidaknya di masa sezaman dengan Pakubuwana II, atau setelahnya, dan berada di

masa sebelum Pakubuwana VII, yang artinya ada pada kisaran pertengahan abad XVIII

(1700-an), hingga awal abad XIX (1800-an).

Studi perbandingan rentang waktu silsilah terhadap generasi penerus pelestari

topeng Patèngtèng Moḍung, bersamaan dengan keterangan Aniyah, dan analisis dari sisi

rupa topeng, maka telah memberikan jawaban sementara bahwa awal mula penciptaan

63
Lihat: Bab II.
64
Ibid.

58
kesenian topeng Patèngtèng Moḍung berasal sejak abad pertengahan XVIII hingga awal

abad XIX, namun belum diketahui angka tahun yang jelas secara pasti. Jika menilik pada

sejarah Madura Barat, maka pada kisaran tahun pertengahan abad XVIII hingga awal

abad XIX, terdapat empat orang raja yang bertahta, yakni Panembahan Cakraadiningrat

V (1745 – 1770), Panembahan Cakraadiningrat VI (1770 – 1780), Sultan Cakraadiningrat

I (1780 – 1815), dan Sultan Cakraadiningrat II (1815 – 1847)65. Maka akan terbesit

pertanyaan, di era pemerintahan siapakah, kesenian topeng Patèngtèng Moḍung

diciptakan?

Di antara empat penguasa yang memerintah di Madura Barat antara pertengahan

abad XVIII hingga awal abad XIX, Panembahan Cakraadiningrat V adalah penguasa

yang paling memerhatikan perkembangan seni dan budaya. Tokoh ini dikenal sering

memunculkan berbagai kreasi baru yang wujudnya banyak dapat dinikmati hingga kini,

misal berupa tarian, adat istiadat, dan berbagai karya lainnya66. Oleh karenanya diduga

kuat bahwa penciptaan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung ini ada pada masa

pemerintahan Panembahan Cakraadiningrat V, mengingat banyaknya kesenian muncul di

era pemerintahan beliau, baik di lingkungan keraton, hingga ke pelosok pedesaan.

Panembahan Cakraadiningrat V, bertahta 1745 – 1770. Masa pemerintahan beliau

dikenal sebagai masa kejayaan kesenian di Madura Barat. Beliau dikenal sangat

mencintai seni dan budaya. Penciptaan tongkos pada era beliau, juga penciptaan tarian

keraton, konon juga banyak di era beliau. Lalu banyak kesenian lain yg ternyata jika

ditelusuri hadir di era beliau67. Hal yang unik ialah proses penciptaan kesenian ini tidak

65
R.A.A. Tjakraningrat, loc. cit.
66
R.P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat, wawancara, (Bangkalan: Pangeranan. 2020), 13 November
2020.
67
Muhammad Rizki Taufan, S.Pd., “Tinjauan Historis dan Kultural Oḍheng Tongkosân Bhângkalan dan
Perkembangannya Hingga Kini”, Kajian Ilmiah, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan
(2021), hlm. 41.

59
hanya di lingkungan keraton, melainkan juga berkembang ke lapisan masyarakat

pedesaan. Artinya terdapat pola yang melekat pada pemerintahan Panembahan

Cakraadiningrat V, pada proses penciptaan karya-karya seni di Madura Barat. Beberapa

contoh kesenian dan karya budaya Madura Barat yang lahir pada abad XVIII, yang

disinyalir muncul di masa pemerintahan Panembahan Cakraadiningrat V, adalah sebagai

berikut68:

Tabel 3.3. Daftar Kesenian dan Karya Budaya Madura Barat yang Lahir di Abad XVIII

Nama Kesenian
Prakiraan Rentang Waktu
dan Karya Keterangan
Kemunculan
Budaya
Era Pemerintahan
Oḍheng Tongkosân
Panembahan Cakraadiningrat V -
Bhângkalan
(1745 – 1770)
Era Pemerintahan
Disimpan di wihara
Wayang Kulit Panembahan Cakraadiningrat V
Pamekasan
(1745 – 1770)
Era Pemerintahan
Tarian Keraton Panembahan Cakraadiningrat V -
(1745 – 1770)
Era Pemerintahan
Tari Sekar Madhurâ Panembahan Cakraadiningrat V -
(1745 – 1770)
Diduga sezaman dengan
Era Pemerintahan
wayang kulit yang
Tari Topeng Panembahan Cakraadiningrat V
tersimpan di wihara
(1745 – 1770)
Pamekasan
Era Pemerintahan Berdasarkan perhitungan
Hong-Bahhong Panembahan Cakraadiningrat V rentang waktu generasi (7
(1745 – 1770) generasi)
Era Pemerintahan Berdasarkan perhitungan
Topeng Patèngtèng
Panembahan Cakraadiningrat V rentang waktu generasi (7
Moḍung
(1745 – 1770) generasi)
Sumber: Olahan penulis

68
Lihat: Tabel 3.3.

60
Misal seperangkat koleksi wayang kulit tertua dan terlengkap di Pamekasan, yang

menurut pengakuan pemilik wihara, adalah wayang dari Bangkalan. Pada wayang kulit

tersebut ada angka tahun Jawa, yang bila dikonversikan ke masehi ada pada masa

pemerintahan Panembahan Cakraadiningrat V69. Lalu kesenian "sakral" di kecamatan

Gheggher, Hong-Bahhong. Memang klaim masyarakat kesenian ini hadir sejak era

Hindu, namun pengakuan dari para pelaku sendiri menyebutkan bahwa mereka adalah

generasi ke-7 dari pencipta awal, yang bila dikalkulasi berdasar studi perbandingan

rentang waktu silsilah, 7 generasi jatuh pada rentang waktu di atas 200 tahun70. Kemudian

kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, yang telah sampai pada generasi ke-6 dan ke-7

dari pencipta awal yang bila dikalkulasi juga jatuh sekitar lebih dari 200 tahun.

Kesenian-kesenian tersebut rupanya “sebaya”, yang diperkirakan muncul di era

Panembahan Cakraadiningrat V. Muncul sebuah pertanyaan yang masih berupa misteri,

yakni “apakah di era pemerintahan Panembahan Cakraadiningrat V, ada semacam

sayembara untuk menciptakan kesenian secara massal?” Karena kesenian-kesenian

ternyata berkembang tidak hanya di keraton, namun juga ke pelosok-pelosok pedesaan,

yang ternyata usianya juga sezaman. Selain pola kreativitas dan inovasi, tentu ada kondisi

yang melatarbelakangi munculnya kesenian-kesenian secara masif di Madura Barat

ketika itu. Hal ini berkaitan dengan kondisi Madura yang sudah tidak lagi berpanji-panji

Mataram, sehingga harus secara simbolis, totalitas menghadirkan berbagai identitas

Madura Barat.

Kondisinya serupa dengan perjanjian Giyanti & Salatiga. Ketika Yogyakarta resmi

menjadi bagian terpisah dengan Surakarta, seketika itu juga Keraton Yogyakarta

membuat blangkon, batik, carakan, pakaian, tarian-tarian khas Yogyakarta, dan lain-lain.

69
Mas Sudarsono, wawancara, (Bangkalan: Sanggar Tarara. 2021), 9 April 2021.
70
Notulen Silaturahim dan Penelusuran tentang Hong-bahhong pada tanggal 6 April 2021.

61
Ada pemunculan identitas sekaligus pemunculan ciri khas Yogyakarta, agar secara

simbol juga berdiri sendiri, tidak lagi bernaung pada Surakarta. Proses penciptaan tongkos

dan kesenian-kesenian Madura Barat pertengahan tahun 1700-an ini juga serupa. Ada

pemunculan identitas, agar memiliki ciri khas berbeda dengan wilayah lainnya.

B. Tumbuh Kembang dan Upaya Pelestarian Topeng Patèngtèng Moḍung

Perjalanan sejarah dari perkembangan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung sejak

awal penciptaannya, hingga menjelang abad XX, dapat dikatakan masih berselimut

misteri, karena hampir tidak ada data yang menjelaskannya secara gamblang. Pada sub

bab sebelumnya telah dibahas tentang awal mula kemunculan kesenian ini, rupanya

sedikit ada titik terang. Namun bagaimana kelanjutan eksistensi kesenian ini, sejak abad

XVIII hingga abad XIX? Sungguh belum ditemukan data, sehingga sangat kesulitan

untuk meninjau perkembangan kesenian ini di era tersebut.

Cerita tentang perjalanan perkembangan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung

mulai sedikit jelas pada abad XX, mengingat masih terdapat saksi sejarah dari perjalanan

kesenian ini. Remma, seorang sesepuh desa Patèngtèng yang juga sekaligus merupakan

pengurus topeng khas ini, merupakan saksi sejarah perjalanan kesenian ini di abad XX.

Ia dilahirkan pada tahun 1935, dan sejak kecil telah bergelut dengan kesenian ini, bahkan

masih terus melestarikannya hingga kini bersama generasi-generasi berikutnya71.

71
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. lampiran.

62
Gambar 3.2. Remma alias Mbok Misro, Sesepuh, Saksi Sejarah sekaligus Pengurus

Topeng Patèngtèng Moḍung yang Masih Ada

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2021

Remma menjelaskan bahwa ketika ia kecil, ia sempat melihat kostum tari topeng

Patèngtèng Moḍung ala pewayangan, lengkap dengan atribut. Namun ketika itu, kostum

tersebut sudah tidak digunakan karena kondisinya sudah rusak. Remma pun tidak pernah

melihat pementasan tari topeng Patèngtèng Moḍung dengan kostum tersebut, melainkan

sudah memakai kostum seadanya72. Kendati demikian, dengan pernah adanya kostum ala

pewayangan, maka kesenian ini dahulunya pernah dipentaskan seperti tari topeng Madura

ala pewayangan pada umumya.

Masa kecil Remma ada pada kisaran tahun 1935 – 1950, dan ia sudah tidak melihat

pementasan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung dengan kostum ala pewayangan.

Diperkirakan kostum tersebut terakhir digunakan pada awal abad XX (1900-an, angka

72
Keterangan Remma yang disampaikan oleh Aniyah dalam sesi wawancara. Aniyah, wawancara,
(Bangkalan: Desa Patengteng. 2021), 7 Desember 2021.

63
tahun tidak dapat dipastikan), atau bahkan sebelumnya. Penggunaan kostum ini tentunya

menghadirkan nuansa pementasan yang berbeda dengan saat ini. Diduga kuat pementasan

ketika masih memakai kostum ala pewayangan tersebut, maka tarian yang disajikan lebih

mirip dengan tari topeng dhâlâng dengan lakon Ramayana.

Kondisi serupa juga dijelaskan oleh Soelarto, yakni perkembangan kesenian topeng

Madura secara umum pada abad XX. Menurutnya, abad XX merupakan irisan dari

menurunnya kesenian topeng keraton, dan bangkitnya kesenian topeng pedesaan73.

Bubarnya monarkhi menjadi penghambat besar bagi perkembangan kesenian topeng di

kalangan istana-istana Madura, mengingat kesenian ini sangat bergantung pada istana,

sehingga lambat laun terkikis, bahkan punah. Situasi yang berbeda dialami oleh kesenian

topeng pedesaan, yang semakin eksis berkembang, mengingat karakter masyarakat

pedesaan yang cenderung bebas berkembang, sehingga perkembangan kesenian ini pun

juga tidak terikat oleh hal-hal baku. Kesenian topeng Patèngtèng Moḍung ialah satu di

antara kesenian yang berkembang di masa irisan ini.

Keterangan Pigeaud juga menggambarkan kondisi kesenian topeng di Madura awal

abad XX, setidaknya pada dasawarsa ketiga di abad tersebut. Pigeaud menyajikan

kesenian topeng Madura cukup rinci, bahkan dilengkapi dengan daftar tokoh pada

masing-masing karakter topeng yang berkembang di Madura ketika itu. Berdasarkan

daftar nama tokoh yang dipaparkan oleh Pigeaud, nampak bahwa lakon Mahabharata dan

Ramayana merupakan yang dominan pada kesenian topeng Madura ketika itu74. Pigeaud

tidak menampilkan tokoh di luar karakter-karakter tersebut, ntah karena ia belum

mendatanya, atau memang ketika itu belum ada tokoh karakter topeng di luar daftar yang

73
B. Soelarto, Topeng Madura (Topong), (Jakarta: Ditjen Kebudayaan Departemen P & K, 1977), hlm. 15-
16.
74
Lihat: Dr. Th. Pigeaud, Javaanse Volksvertoningen Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk,
(Jogjakarta: Martinus Nijhoff Uitgever ‘s-Gravenhage. 1938), hlm. 150 – 151.

64
ia buat. Namun yang jelas, tulisan Pigeaud ini sezaman dengan masa kanak-kanak

Remma selaku saksi sejarah kesenian topeng Patèngtèng Moḍung pada dasawarsa ketiga-

keempat di abad XX.

Perjalanan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung menjadi semakin jelas di paruh

kedua abad XX, ketika kesenian ini diminati dan populer bagi masyarakat Bangkalan.

Eksistensi kesenian ini dilirik oleh para seniman di Bangkalan, untuk dapat bersinergi

mengembangkannya bersama-sama, demi menyelamatkan kesenian topeng Patèngtèng

Moḍung. Sehingga pada paruh kedua abad XX ini merupakan masa ketika kesenian ini

diperankan secara aktif dalam pementasan-pementasan skala besar. Ada pun bentuk dari

kesenian topeng Patèngtèng Moḍung yang eksis ketika itu sudah sama dengan yang

berkembang saat ini.

Pada tahun 1973, diadakan penelitian tentang topeng Patèngtèng Moḍung. Tim

peneliti beranggotakan beberapa orang, antara lain Pak Usman Jati, Pak Hasan Sasra, Pak

Mestu, Pak Dur, dan Pak Yeyek. Di tahun yang sama, kesenian ini ditampilkan pada

sebuah acara di TVRI, dengan lakon lebih dari satu cerita. Para pemeran kesenian tersebut

antara lain75:

- Topeng Bhuta / Ma’ Bhuta (simbol penjahat) diperankan oleh Pak Usman Jati

- Topeng Ksatrèya Lakè’ diperankan oleh Pak Hasan Sasra

- Topeng Ksatrèya Binè’ (Dhin Aju) diperankan oleh Pak Mestu

- Topeng Punakawan Petruk diperankan oleh Pak Dur

- Topeng Punakawan Bagong diperankan oleh Endin

75
Hendra Gemma Dominant, dalam Silaturahim dan Penelusuran tentang Kesenian Topeng Patèngtèng
Moḍung, Bhângkalan, (Bangkalan: Patèngtèng. 2021), 7 Desember 2021.

65
Kemudian pada tahun 1984 juga diadakan pementasan kesenian topeng Patèngtèng

Moḍung di TMII. Karena kondisi topeng sudah sangat lusuh, maka topeng tersebut dicat

ulang dengan cat minyak, tetapi tanpa minyak (cat direndam di air selama 3 hari sampai

minyaknya terangkat), dan untuk menambah kesan kuno, dipoles memakai putih telur.

Total pengerjaan pengecatan memakan waktu sekitar seminggu. Sedangkan pemeran

pada pementasan tersebut, antara lain76:

- Panjhi (Ksatrèya) Lake’ diperankan oleh R.M. Hasan Sasra

- Panjhi (Ksatrèya) Bine’ diperankan oleh Pak Mestu

- Bhuta diperankan oleh Usman Jati

- Petruk diperankan oleh Pak Dur

- Bagong diperankan oleh Doink (Hidrochin Sabaruddin)

Kesenian topeng Patèngtèng Moḍung erat kaitannya dengan ritual rokat sombher

yang dihelat di desa tersebut, karena memang pada dasarnya kesenian ini merupakan

bagian dari kesenian ritual, dengan kata lain digunakan sebagai sarana kelengkapan ritual.

Artinya ada unsur sakral yang harus dijaga dalam kesenian ini, mengingat pementasan

topeng dan ritual perkawinan sumber dianggap sebagai satu paket yang tak terpisahkan77.

Namun suatu yang unik, bila kesenian ini dipentaskan di luar ritual tersebut, seperti yang

terjadi pada pementasan tahun 1973 dan tahun 1984. Pementasan lainnya dihelat pada

tahun 1999 78. Pada kedua pementasan tersebut, terdapat peralihan fungsi dari kesenian

ini, yang awalnya sebagai kelengkapan ritual, menjadi kembali ke fungsi seni secara

76
Hidrochin Sabaruddin, dalam Mengungkap Keberadaan Tari Topeng Patengteng - Modung,
https://www.youtube.com/watch?v=enEB9QApebw, diakses pada 19 Desember 2021.
77
Lihat: Bab IV.
78
Mas Sudarsono, dalam Diskusi tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan, (Bangkalan:
Trèsna Art. 2021), 29 Desember 2021.

66
mendasar, yakni untuk sarana hiburan. Hal ini tidak dapat ditolak dan merupakan sesuatu

yang alamiah, karena upaya ini juga merupakan cara untuk melestarikan kesenian ini79.

Gambar 3.3. Karakter Ksatrèya Lakè’ (Rama) dalam Topeng Patèngtèng Moḍung

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

Gambar 3.4. Karakter Ksatrèya Binè’ (Sinta) dalam Topeng Patèngtèng Moḍung

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

79
Achmad Fatoni, wawancara, (Bangkalan - Surabaya: Via Google Meet. 2021), 19 Desember 2021.

67
Gambar 3.5. Karakter Bhuta atau Raksasa dalam Topeng Patèngtèng Moḍung

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

Gambar 3.6. Karakter Punakawan dalam Topeng Patèngtèng Moḍung

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

68
Gambar 3.7. Karakter Punakawan dalam Topeng Patèngtèng Moḍung

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

Pada awal abad XXI, merupakan masa ketika kesenian topeng Patèngtèng Moḍung

kembali mengalami ancaman tergerus oleh zaman. Hal ini ditandai dengan wafatnya para

pelaku seni sepuh, dan kurangnya minat generasi muda terhadap pelestarian kesenian ini.

Kesenian ini memang masih lestari dan cukup diminati masyarakat setempat, namun

hanya dilakukan oleh sekelompok kecil para pelaku seni saja, sedangkan masyarakat desa

secara umum turut berpartisipasi sebagai pihak pendukung ketika kesenian ini dihelat.

Regenerasi kesenian ini sangat dibutuhkan untuk pelestarian kesenian ini, dan sejatinya

perhatian dari generasi muda masyarakat setempat ialah kunci dari segala permasalahan

tersebut80.

80
Hosen, loc. cit.

69
Kondisi yang cukup memrihatinkan, terkait perhatian generasi muda terhadap

kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, tidak membuat para pelaku seni patah semangat.

Pementasan kesenian ini tetap rutin diadakan setiap tahun, khususnya pertunjukan tari

topeng sebagai kelengkapan ritual rokat sombher yang selalu dihelat tiap tahun sejak

dahulu kala. Para pelaku seni merasa memiliki tanggung jawab untuk terus melestarikan

kesenian ini, jadi bagaimana pun kondisinya maka kesenian ini harus tetap dihelat setiap

tahun. Sejauh ini, setiap pertunjukan topeng dalam rangka rokat sombher masih terhitung

mendapat perhatian masyarakat setempat, mengingat ada unsur magis, religius, dan

tradisi di dalamnya81.

Kondisi ini menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah Kabupaten Bangkalan, yang

diwakili oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan. Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan terhitung cukup intens melakukan

penelusuran ke lokasi kesenian ini. Misal, selama tiga tahun terakhir, Dinas Kebudayaan

dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan telah mengunjungi desa Patèngtèng, kecamatan

Moḍung pada tahun 2019 dan 2021.

Pada tahun 2019, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan

melakukan kunjungan ke desa Patèngtèng kecamatan Moḍung, untuk meninjau kesenian

topeng khas daerah ini. Beberapa tokoh seni dan budaya kabupaten Bangkalan juga turut

serta dalam kunjungan tersebut. Saat itu sedang dihelat pertunjukan topeng Patèngtèng

Moḍung sebagai kelengkapan dari ritual rokat sombher yang memang rutin diadakan

setiap tahun.

81
Ibid.

70
Gambar 3.8. Kunjungan Disbudpar Bangkalan ke Lokasi Pertunjukan Topeng

Patèngtèng Moḍung, Tahun 2019

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

Pada tahun 2021, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan kembali

melakukan kunjungan ke desa Patèngtèng kecamatan Moḍung, untuk meninjau kesenian

topeng khas daerah ini. Hal ini merupakan bagian dari penelitian dengan objek terkait

yang telah berlangsung sejak September tahun 2021. Turut juga para seniman dan

budayawan Bangkalan dalam kunjungan ini. Lokasi yang dituju ialah kediaman Remma,

selaku pengurus topeng Patèngtèng Moḍung. Pada kunjungan ini, diadakan diskusi santai

seputar kesenian topeng Patèngtèng Moḍung bersama para pelaku.

Kunjungan pada bulan Desember tahun 2021 ini merupakan langkah nyata dari

Pemerintah Kabupaten Bangkalan, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten

Bangkalan, dalam rangka pelestarian kesenian topeng Patèngtèng Moḍung. Pada

penghujung acara diskusi, juga dibahas soal pengusulan kesenian ini sebagai WBTB

71
(Warisan Budaya Tak Benda) Kabupaten Bangkalan. Oleh karenanya diperlukan

berbagai persiapan sebagai persyaratan, satu di antaranya ialah pemilihan maestro

kesenian terkait. Berdasarkan kesepakatan forum dalam diskusi tersebut, yang terdiri dari

jajaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan, para pelaku kesenian

topeng Patèngtèng Moḍung, dan para seniman-budayawan kabupaten Bangkalan, maka

dipilihlah Remma sebagai maestro kesenian topeng Patèngtèng Moḍung yang segera

diusulkan sebagai WBTB dari Kabupaten Bangkalan82.

Gambar 3.9. Kunjungan Disbudpar Bangkalan ke Kediaman Ibu Remma (Pengurus

Topeng), Patèngtèng Moḍung, Tahun 2021

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2021

82
Notulen Silaturahim dan Penelusuran tentang Topeng Patèngtèng Moḍung pada tanggal 7 Desember
2021.

72
Gambar 3.10. Foto Bersama Ibu Remma dengan Dua Seniman Bangkalan (Aniyah dan

Sufiatun)

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2021

Setelah kunjungan dan penelusuran ke lokasi kesenian topeng Patèngtèng Moḍung

pada Desember tahun 2021, maka Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten

Bangkalan juga menyiapkan berbagai persyaratan pendaftaran objek budaya sebagai

WBTB. Ada pun beberapa hal yang dipersiapkan agar kesenian topeng Patèngtèng

Moḍung dapat didaftarkan sebagai WBTB, antara lain (1) kajian ilmiah, (2) dokumentasi

foto objek budaya, (3) dokumentasi video objek budaya, (4) pengisian formulir

pendaftaran, dan (5) pengajuan maestro83.

Pada tanggal 29 Desember 2021, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten

Bangkalan bersama Trèsna Art juga mengadakan kegiatan diskusi tentang kesenian

topeng Patèngtèng Moḍung, sebagai upaya tindak lanjut terhadap upaya pengusulan

kesenian tersebut sebagai WBTB. Diskusi tersebut dihadiri oleh jajaran Dinas

83
Hendra Gemma Dominant, loc. cit.

73
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangkalan, peneliti, sejarawan, seniman, dan

budayawan selingkup kabupaten Bangkalan84. Pertemuan ini juga diadakan dalam upaya

menggali potensi daerah di kabupaten Bangkalan, khususnya di bidang kesenian dan

budaya, yang akan disinergikan dengan pengembangan wisata, sehingga diharapkan

dapat menambah pendapatan daerah secara signifikan85.

Gambar 3.11. Diskusi tentang Topeng Patèngtèng Moḍung, di Trèsna Art, Bangkalan,

29 Desember 2021

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2021

84
Notulen Diskusi tentang Topeng Patèngtèng Moḍung pada tanggal 29 Desember 2021.
85
Moh. Hasan Faisol, dalam Diskusi tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan,
(Bangkalan: Trèsna Art. 2021), 29 Desember 2021.

74
Gambar 3.12. Diskusi tentang Topeng Patèngtèng Moḍung, di Trèsna Art, Bangkalan,

29 Desember 2021

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2021

Pemerintah Kabupaten Bangkalan, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,

cukup intens mendata objek budaya untuk diusulkan sebagai WBTB. Pada awal tahun

2021, tongkos telah diusulkan sebagai WBTB, dan kini sedang mengajukan topeng

Patèngtèng Moḍung sebagai WBTB. Kemudian di tahun berikutnya, akan diusulkan

secara bertahap beberapa objek budaya, antara lain batik Tanjung Bumi, hong-bahhong,

dan nasi serpang86. Hal ini dilakukan sebagai upaya memerkaya khazanah kebudayaan

yang ada di kabupaten Bangkalan, agar generasi muda dapat menikmati eksistensi

86
Hendra Gemma Dominant, dalam Diskusi tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan,
(Bangkalan: Trèsna Art. 2021), 29 Desember 2021.

75
berbagai karya budaya, termasuk di dalamnya ialah kesenian topeng Patèngtèng

Moḍung87.

87
Moh. Hasan Faisol, loc. cit.

76
BAB IV

TINJAUAN KULTURAL TOPENG PATÈNGTÈNG MOḌUNG

A. Deskripsi dan Aspek-aspek Pendukung Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung

Meninjau soal deskripsi fisik dan aspek-aspek pendukung pada kesenian topeng

Patèngtèng Moḍung, maka perlu melihat kembali klasifikasi kesenian topeng Madura,

agar dapat diketahui secara jelas masing-masing aspek yang melekat pada kesenian ini.

Pada Bab II telah dibahas tentang klasifikasi dari kesenian topeng di Madura, masing-

masing memiliki indikator khusus, sehingga menjadikannya kian kompleks88. Masing-

masing indikator dalam klasifikasi tersebut akan mengerucut, sehingga menghadirkan

pola yang melekat erat bersamaan dengan perkembangan kesenian topeng Patèngtèng

Moḍung, sehingga memudahkan untuk melihat deskripsi fisik serta aspek-aspek yang

mendukung kesenian ini.

Berdasarkan keterangan Brandon (1967: 80-85), yang dikutip oleh Helene Bouvier,

klasifikasi kesenian topeng berdasarkan indikator yang pertama ialah berdasarkan pihak

pengembang. Pada klasifikasi ini terdapat dua jenis kesenian topeng, yakni topeng dalam

tradisi keraton, dan topeng dalam tradisi pedesaan89. Pada klasifikasi ini, kesenian topeng

Patèngtèng Moḍung tergolong dalam kesenian topeng yang berkembang di pedesaan.

Selain dari faktor spasial dari persebaran kesenian ini, karakter dari kesenian ini juga

bercirikan kesenian topeng ala pedesaan, yakni bergerak cukup bebas dan lugas

berdasarkan ekspresi masyarakat.

88
Lihat: Bab II.
89
Brandon (1967: 80-85) yang dikutip dalam Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam
Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002), hlm. 124.

77
Bila meninjau pada sejarah awal mula kemunculan kesenian topeng Patèngtèng

Moḍung, yang diyakini diciptakan oleh Pangeran Aryo Kusumo asal Sampang sekitar

dua ratus silam, maka diduga kuat kesenian ini mulanya merupakan kesenian topeng

keraton, atau setidaknya disosialisasikan kepada masyarakat setempat oleh seorang

bangsawan90. Kemudian bila melihat dari fisik topeng, yang menunjukkan bahwa

beberapa tokoh karakter dalam topeng Patèngtèng Moḍung identik dengan karakter

topeng dalam lakon Ramayana, maka semakin jelas bahwa embrio dari kesenian ini

memang berasal dari keraton. Agaknya terdapat transformasi yang menyesuaikan dengan

wilayah setempat, agar kesenian topeng yang dibawakan oleh Pangeran Aryo Kusumo

dapat berbaur dan bersatu padu sebagai kesenian kebanggaan masyarakat desa

Patèngtèng. Oleh karenanya, topeng Patèngtèng Moḍung yang berkembang kini

menunjukkan ciri kesenian topeng tradisi pedesaan.

Klasifikasi selanjutnya soal kesenian topeng Madura meliputi indikator yang telah

dijelaskan oleh Pigeaud, (1938: 149-151, 412) dan Brandts Buys-van Zijp, (1928, 4-5,

194 – 198) yang juga dikutip di dalam buku Helene Bouvier. Klasifikasi ini didasarkan

pada indikator skala pertunjukan, yakni terdapat dua jenis topeng antara lain topeng

(topeng besar / topeng kuno), dan topeng kecil (saronèn / salabâdhân)91. Klasifikasi ini

menitikberatkan pada instrumen musik pengiring, dan skenario pertunjukan, sehingga

dalam klasifikasi ini topeng Patèngtèng Moḍung tergolong pada kesenian topeng kecil,

karena di dalamnya diiringi oleh seperangkat alat musik yang lebih kecil daripada topeng

besar yang selalu diiringi seperangkat alat musik berupa gamelan lengkap. Selain itu,

90
Lihat: Bab III.
91
Pigeaud (1938: 149-152, 412) & Brandts Buys-van Zijp (1928: 4-5, 194-198) yang dikutip dalam Hélène
Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2002), hlm. 124.

78
skenario pertunjukan dalam kesenian ini lebih sederhana daripada kesenian topeng

besar92.

Klasifikasi selanjutnya soal kesenian topeng Madura meliputi indikator yang telah

dijelaskan oleh Soelarto, (1977: 10-18, 94) yang juga dikutip di dalam buku Helene

Bouvier. Pada klasifikasi ini, kesenian topeng Madura dibedakan menjadi tiga jenis lakon

utama, yakni lakon Panji, Mahabharata, dan Ramayana93. Berdasarkan klasifikasi ini,

topeng Patèngtèng Moḍung tergolong dalam kesenian topeng dengan lakon Ramayana,

yang telah disesuaikan dan dikembangkan dengan karakter masyarakat desa Patèngtèng.

Pada kesenian ini juga terdapat unsur ksatria, yang diduga juga merupakan tambahan

cerita dari lakon panji yang dipadukan dengan lakon Ramayana, serta disesuaikan pula

dengan cerita karakter masyarakat setempat, sehingga menjadikan kesenian topeng

Patèngtèng Moḍung sebagai kesenian khas dari segi lakon94.

Klasifikasi selanjutnya juga dijelaskan oleh Soelarto, yakni dari bentuk

pertunjukan. Pada klasifikasi ini, terdapat dua jenis kesenian topeng Madura, yakni

topeng sebagai pertunjukan topeng yang kompleks, dan tarian lepas95. Pada klasifikasi

ini, kesenian topeng Patèngtèng Moḍung tergolong dalam kesenian topeng yang

berbentuk tarian lepas. Hal ini didasarkan pada gerak tari dalam kesenian ini yang

memang cenderung sederhana, namun memiliki makna sesuai cerita dan juga bernilai

sakral.

Klasifikasi yang terakhir dijelaskan oleh Helene Bouvier, yakni berdasarkan bentuk

dan fungsi pertunjukan. Terdapat sepuluh jenis topeng dalam klasifikasi ini, antara lain

92
Lihat: Tabel 4.3.
93
Soelarto, 1977: 10 – 18, 94 yang dikutip dalam Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan
dalam Masyarakat Madura, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002), hlm. 125.
94
Achmad Fatoni, wawancara, (Bangkalan - Surabaya: Via Google Meet. 2021), 19 Desember 2021.
95
Soelarto, 1977: 10 – 18, 94 yang dikutip dalam Hélène Bouvier, op. cit., hlm. 130.

79
(1) topeng arak-arakan, (2) topeng tarian, (3) topeng pertunjukan teater, (4) topeng yang

berbicara, (5) topeng bungkam, (6) topeng yang menyeramkan, (7) topeng yang

memesonakan, (8) topeng yang mengajarkan, (9) topeng lelucon / lawak, dan (10) topeng

ritual96. Berdasarkan klasifikasi ini, maka kesenian topeng Patèngtèng Moḍung tergolong

dalam bentuk dan fungsi topeng sebagai (1) topeng arak-arakan, karena terdapat prosesi

arakan topeng dalam struktur pertunjukan, (2) topeng tarian, karena di dalamnya terdapat

gerak tari oleh para pemain topeng, (3) topeng pertunjukan teater, karena di dalamnya

juga mementaskan lakon cerita, (4) topeng bungkam, karena para penari tidak berbicara

melalui lisan, (5) topeng menyeramkan, karena terdapat karakter bhuta atau raksasa, (6)

topeng yang memesonakan, karena terdapat karakter ksatrèya lakè’ dan ksatrèya binè’,

dan (7) topeng ritual, karena dipentaskan sebagai sarana kelengkapan ritual rokat

sombher.

Seluruh bagian dari klasifikasi tersebut menjadi sebuah kesatuan utuh yang melekat

pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung. Setelah seluruh klasifikasi dilalui, maka

selanjutnya ialah mengupas masing-masing aspek pendukung dari kesenian ini. Ada pun

beberapa aspek yang dimaksud antara lain, (1) aspek sastra, (2) aspek rupa, (3) aspek

musik, (4) aspek tari, (5) lain-lain, dan (6) struktur pertunjukan.

1. Aspek Sastra

Aspek sastra merupakan hal yang cukup penting dalam suatu seni pertunjukan.

Aspek ini, baik secara umum dalam suatu seni pertunjukan, dan secara khusus pada

kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, dapat dilihat melalui beberapa segi, yaitu segi

bahasa, segi cerita, dan segi syair dalam nyanyian lagu97. Ketiga segi ini merupakan

96
Lihat: Hélène Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, Terj. Rahayu S.
Hidayat & Jean Couteau (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. 132.
97
Aniyah, S.Sn., Pertunjukan Topeng Patengteng dalam Ritual Perkawinan Sumber Kabupaten Bangkalan
Madura, hlm. 49.

80
rangkaian kesatuan yang utuh, dan merupakan wujud ekspresi dari masyarakat yang

dituangkan melalui kesenian topeng yang khas ini.

Helene Bouvier membuat klasifikasi topeng berdasarkan bentuk dan fungsi. Satu di

antara indikator dari klasifikasi tersebut ialah dari segi bahasa, yakni antara topeng

berbicara, dan topeng bungkam98. Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka topeng

Patèngtèng Moḍung tergolong dalam seni topeng bungkam. Pada pertunjukan kesenian

topeng ini, para penari topeng tidak berbicara, melainkan membahasakan seluruh ekspresi

dan adegan dengan bahasa gerak. Ada pun bahasa lisan muncul dari syair lagu yang

mengiringi kesenian topeng ini sebagai kelengkapan ritual rokat sombher. Berbeda

dengan topeng dhâlâng yang memiliki dialog lisan dikendalikan oleh sang dalang.

Meninjau dari bentuk fisik topeng, sejatinya kesenian topeng Patèngtèng Moḍung

memerankan lakon Ramayana, karena beberapa karakter dalam topeng memang sangat

identik dengan karakter pada lakon Ramayana. Misalnya keberadaan tokoh Rama yang

dalam kesenian ini dikenal sebagai tokoh ksatrèya lakè’, dan adanya tokoh Sinta yang

dalam kesenian ini dikenal sebagai tokoh ksatrèya binè’. Adanya transformasi karakter

pada lakon Ramayana pada karakter khusus dengan nama tertentu dalam kesenian ini,

memungkinkan bahwa adanya unsur cerita lain yang disisipkan. Dalam hal ini, terlihat

adanya unsur ksatria atau panji, sehingga sangat dimungkinkan masyarakat memadukan

cerita Ramayana dan cerita Panji, sehingga muncul cerita khusus yang berbeda dengan

kesenian topeng di wilayah lainnya99.

Kembali pada klasifikasi Helene Bouvier berdasarkan bentuk dan fungsi,

khususnya pada fungsi kesenian topeng, maka topeng Patèngtèng Moḍung tergolong

98
Hélène Bouvier, loc. cit.
99
Achmad Fatoni, loc. cit.

81
dalam kesenian topeng yang difungsikan sebagai sarana ritual100. Ritual yang dimaksud

ialah prosesi perkawinan sumber, atau lazim disebut sebagai rokat sombher, yang

tentunya telah disesuaikan antara tradisi dengan nilai-nilai Islam. Oleh karenanya, ritual

yang bernafaskan Islam ini juga menggunakan syair-syair berupa sholawat, khususnya

saat prosesi arak-arakan topeng berlangsung. Kemudian dilanjutkan dengan doa

menggunakan bahasa Arab, dan yang terakhir saat prosesi perkawinan sumber, terdapat

syair berupa lantunan sebagian dari lagu101.

2. Aspek Rupa

Menurut Aniyah, aspek rupa dalam pertunjukan topeng Patèngtèng Moḍung

meliputi dua hal penting, yakni topeng dan busana, sebagai kesatuan utuh dari atribut

masing-masing tokoh karakter102. Aspek rupa dalam topeng dapat dilihat lebih dalam lagi

melalui bentuk, warna, dan detail dari masing-masing topeng, karena akan menunjukkan

karakter khusus yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Kemudian aspek rupa dalam

busana atau kostum pada kesenian ini merupakan kelengkapan pakaian dan atribut yang

digunakan oleh para pemain atau penari topeng.

a. Topeng

Saat ini terdapat lima tokoh dalam kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, yang

beberapa karakter di dalamnya sangat identik dengan karakter yang ada pada kesenian

topeng lakon Ramayana. Lima karakter tersebut antara lain, (1) Ksatrèya Lakè’ yang

sangat identik dengan karakter Rama dari Ramayana, (2) Dhin Aju / Ksatrèya Binè’, yang

sangat identik dengan karakter Sinta dari Ramayana, (3) Bhuta, sebagai tokoh antagonis

berupa raksasa, (4) dua topeng Punakawan, yang satu disinyalir sebagai Punakawan

100
Lihat: Hélène Bouvier, loc. cit.
101
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. 49-50.
102
Ibid., hlm. 50.

82
Petruk, dan (5) yang lain lagi merupakan Punakawan Bagong. Masing-masing topeng

dalam karakter yang disebut, memiliki bentuk, warna, dan detail yang berbeda-beda,

mencerminkan ketokohan dalam sebuah cerita yang akan ditampilkan.

Gambar 4.1. Beberapa Karakter pada Topeng Patèngtèng Moḍung

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2021

Gambar 4.2. Beberapa Karakter dalam Lakon Ramayana pada Topeng Madura

Sumber: Soelarto, 1977: 41

83
Gambar 4.3. Karakter Bagong pada Topeng Madura

Sumber: Soelarto, 1977: 50

Masing-masing karakter pada topeng Patèngtèng Moḍung memiliki bentuk yang

khas. Bentuknya serupa dengan bentuk topeng Madura lakon Ramayana secara umum.

Bila dibandingkan dengan topeng gaya Surakarta, Yogyakarta, Malangan, dan Bali, akan

mencolok perbedaannya. Artinya, topeng Patèngtèng Moḍung masih memiliki

kekerabatan yang sangat dekat dengan topeng Madura secara umum.

Karakter Ksatrèya Lakè’ pada topeng Patèngtèng Moḍung, memiliki bentuk yang

identik dengan karakter Rama pada topeng Madura lakon Ramayana. Menggambarkan

wajah yang tegas, tampan, gagah, dan berani, wujud kewibawaan dan kharisma dari

seorang Raja. Karakter Ksatrèya Binè’ / Dhin Aju, memiliki bentuk yang identik dengan

karakter Sinta pada topeng Madura lakon Ramayana secara umum. Karakter ini

menggambarkan wajah yang cantik, anggun, dan bersahaja ala puteri kerajaan. Kemudian

karakter Bhuta, memiliki ukuran yang sedikit lebih besar daripada topeng yang lain, dan

bentuk dari wajah karakter ini cukup menyeramkan, dengan gigi yang terlihat, dan mata

84
besar melotot, melambangkan angkara murka dari seorang tokoh antagonis. Karakter

yang berikutnya ialah dua tokoh Punakawan, kedua bentuk topeng ini memancarkan aura

yang lucu dan menghibur.

Topeng Patèngtèng Moḍung memiliki pewarnaan yang agak berbeda dengan

kesenian topeng Madura lainnya, dan bahkan kesenian topeng Jawa – Nusantara. Warna-

warna tersebut merupakan adaptasi sekaligus bentuk interpretasi dari masyarakat

setempat terkait karakter dari masing-masing topeng. Berikut ialah perbandingan warna

fisik dari karakter topeng Patèngtèng Moḍung, dan topeng Madura secara umum103:

Tabel 4.1. Perbandingan Warna Fisik – Karakter Topeng Patèngtèng Moḍung, dengan

Topeng Madura secara Umum

Topeng Patèngtèng
Karakter Topeng Madura
Moḍung
Rama / Ksatrèya Lakè’ Kuning keemasan Hijau
Sinta / Dhin Aju / Ksatrèya Binè’ Kuning keemasan Kuning keemasan
Bhuta Hijau Merah
Punakawan Petruk Putih Putih
Punakawan Bagong Putih Putih
Sumber: Olahan penulis

Berdasarkan keterangan tabel di atas, terlihat bahwa warna fisik pada beberapa

karakter topeng Patèngtèng Moḍung memiliki sedikit perbedaan dengan warna fisik pada

karakter topeng Madura secara umum. Misal warna fisik pada karakter Ksatrèya Lakè’

yang bentuknya identik dengan karakter Rama pada kesenian topeng Madura dan Jawa –

Nusantara secara umum, rupanya memiliki warna yang berbeda, yakni kuning keemasan

pada topeng Patèngtèng Moḍung. Umumnya karakter Rama pada topeng selalu berwarna

103
Lihat: Tabel 4.1.

85
hijau, baik pada topeng Madura lakon Ramayana secara umum, topeng Jawa lakon

Ramayana, bahkan topeng Thailand dengan lakon Ramayana juga berwarna hijau.

Warna fisik pada karakter Ksatrèya Binè’ / Dhin Aju, yang bentuknya identik

dengan karakter Sinta pada topeng Madura secara umum, memiliki warna yang sama,

yakni keduanya berwarna kuning keemasan. Kemudian pada karakter Bhuta yang

merupakan karakter antagonis berupa raksasa pada topeng Patèngtèng Moḍung memiliki

warna dominan hijau. Hal ini cukup unik, mengingat karakter antagonis berupa raksasa,

umumnya selalu berwarna dominan merah. Sedangkan karakter Punakawan pada

kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, keduanya berwarna putih, serupa dengan karakter

Punakawan pada topeng Madura dan topeng Jawa secara umum.

Terkait warna khas dari kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, Hidrochin

Sabaruddin memiliki pendapat demikian104:

- Putih, pada karakter punakawan, melambangkan ceria, dan menghibur

- Hijau, pada karakter bhuta, melambangkan unsur seram

- Kuning, pada kedua karakter ksatrèya, melambangkan kebesaran

Menurut Achmad Fatoni, sebagai pemerhati budaya dan kesenian Jawa,

menyatakan bahwa warna-warna dalam karakter topeng Patèngtèng Moḍung cukup khas,

mengingat berbeda dengan warna-warna dalam karakter topeng pada umumnya. Misal

warna topeng dalam karakter105:

- Hijau, pada karakter bhuta dalam kesenian topeng Patèngtèng Moḍung. Umumnya,

karakter raksasa dalam kesenian topeng di Jawa – Madura selalu berwarna merah,

karena melambangkan angkara murka. Hal yang cukup unik bila di desa Patèngtèng,

104
Hidrochin Sabaruddin, dalam Mengungkap Keberadaan Tari Topeng Patengteng - Modung,
https://www.youtube.com/watch?v=enEB9QApebw, diakses pada 19 Desember 2021.
105
Achmad Fatoni, loc. cit.

86
warna pada karakter bhuta yang merupakan raksasa jahat, dapat berwarna hijau. Dengan

demikian, terdapat interpretasi khusus dalam memaknainya.

- Kuning keemasan, pada kedua karakter ksatrèya dalam kesenian topeng Patèngtèng

Moḍung. Ksatrèya lakè’ yang sebenarnya juga berupa karakter Rama dalam kesenian

topeng di Jawa – Madura selalu berwarna hijau, sedangkan di desa Patèngtèng memiliki

warna khusus yakni kuning keemasan, dimungkinkan hal ini berkaitan dengan simbol

kebesaran istana. Begitu pula pada ksatrèya binè’ yang sebenarnya juga berupa karakter

Sinta, rupanya untuk karakter ini keduanya memiliki simbol warna yang sama.

- Putih, pada karakter punakawan dalam kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, memiliki

kesamaan dengan simbol warna pada karakter punakawan dalam kesenian topeng yang

berkembang di wilayah Jawa – Madura lainnya.

Berdasarkan rincian warna dan berbagai keterangan di atas, maka jelas bahwa

topeng Patèngtèng Moḍung memiliki ciri khas pada warna fisik topeng, yang tidak dapat

ditemui secara utuh pada kesenian topeng Madura lainnya, maupun topeng Jawa –

Nusantara secara umum. Hal ini merupakan hasil adaptasi dari kesenian topeng yang telah

lama berangsur-angsur berkembang di desa Patèngtèng. Penyesuaian ini adalah hal

alamiah, dan menjadi perwujudan dari kebebasan berekspresi yang tertuang langsung di

dalam fisik topeng Patèngtèng Moḍung yang masih lestari hingga kini.

Topeng Patèngtèng Moḍung memiliki detail pada fisik topeng yang begitu rumit,

yakni dengan ukiran di masing-masing bentuk wajah, rambut, detail hiasan kepala, dan

detail dari masing-masing bagian wajah. Hal ini menunjukkan bahwa kesenian ini

memiliki kualitas ukiran yang tinggi. Selain itu, detail dari bentuk fisik topeng ini juga

dapat menjadi bahan untuk mengetahui rentang usia topeng, yang disinyalir muncul

87
setelah pengaruh Pakubuwana II pada kesenian topeng Madura yang berupa penambahan

detail ukiran pada masing-masing fisik topeng106.

b. Kostum

Meninjau aspek rupa pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, tak hanya dapat

dilihat dari fisik topeng, melainkan juga dapat dilihat dari kostum yang digunakan oleh

para penari. Ada pun kostum yang digunakan dalam kesenian ini dapat dibedakan secara

mendasar, yakni pakaian penari tokoh laki-laki, dan pakaian penari tokoh perempuan.

Pakaian yang digunakan ialah pakaian adat rakyat Madura. Berikut ialah kostum yang

dipakai oleh para penari topeng Patèngtèng Moḍung107:

- Pakaian penari tokoh laki-laki (pemeran karakter ksatrèya lakè’) = Pèsa’an lengkap

(Pèsa’an, celana gombor, dan kaos mèra potè) dan oḍheng

- Pakaian penari tokoh laki-laki (pemeran karakter bhuta, dan punakawan) = Celana

gombor, kaos mèra potè dan oḍheng

- Pakaian penari tokoh perempuan (pemeran karakter ksatrèya binè’ / Dhin Aju) =

Koḍung, kebaya, sarong / sampèr, dan perhiasan

106
Lihat: Bab II.
107
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. 51.

88
Gambar 4.4. Kostum Penari Karakter Laki-laki, dari Kiri ke Kanan: Pèsa’an, Celana

Gombor, dan Kaos Mèra Potè

Sumber: Aniyah, 2017: 52 – 53

Gambar 4.5. Kostum Penari Karakter Perempuan, dari Kiri ke Kanan: Koḍung, Kebaya,

Sarong / Sampèr, dan Perhiasan

Sumber: Aniyah, 2017: 54 – 55

89
Kostum penari laki-laki pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung didominasi oleh

pakaian adat Madura, yakni baju Sakèra’an / pèsa’an. Namun masing-masing karakter

tidak menggunakan kostum yang sama persis, melainkan ada sedikit pembeda, yakni pada

tokoh Ksatrèya Lakè’ berpenampilan pakaian pèsa’an lengkap, sedangkan tokoh lainnya

hanya menggunakan celana gombor dan kaos mèra potè saja. Terkadang, untuk oḍheng

tidak digunakan, misal saat pementasan tahun 2015 108, dan pementasan tahun 2019 109.

Tokoh karakter perempuan, yakni Ksatrèya Binè’ / Dhin Aju atau Sinta pada

kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, tidak benar-benar diperankan oleh seorang wanita,

melainkan oleh seorang laki-laki yang berperawakan dan berkostum ala wanita. Pemeran

tokoh ini memakai pakaian adat Madura untuk wanita, yakni baju Marlèna’an, yang

terdiri dari kebaya, sarong / sampèr, dan perhiasan yang dipakai lengkap. Koḍung

(kerudung) juga digunakan oleh pemeran karakter ini, warna yang senada dengan kebaya

yang dipakai. Ada pun kebaya yang dipakai oleh pemeran karakter ini ialah kebaya

berwarna merah, dan sarong / sampèr yang digunakan adalah kain batik, umumnya

dengan motif tabiruan (batik Tanjung Bumi), lasem (batik yang berasal dari Gresik), dan

storjoan (batik yang berasal dari Sidoarjo) 110.

108
Ibid.
109
Lihat: Gambar 4.6.
110
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. 55.

90
Gambar 4.6. Kostum Penari Karakter Ksatrèya Lakè’ pada Topeng Patèngtèng Moḍung

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

Gambar 4.7. Kostum Penari Karakter Ksatrèya Binè’ / Dhin Aju pada Topeng

Patèngtèng Moḍung

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

91
Saat ini, kostum kesenian topeng Patèngtèng Moḍung terbilang cukup unik dan

khas, bila dibandingkan dengan kesenian topeng lainnya, misal topeng Madura yang

berkembang secara umum, atau pun kesenian topeng yang berkembang di pulau Jawa –

Nusantara. Umumnya, kostum yang dipakai pada pementasan kesenian topeng Madura

adalah kostum ala pewayangan, lengkap dengan atribut seperti praba, jamang, kelat bahu,

dan sumping111, sedangkan kostum yang dipakai pada pementasan kesenian topeng

Patèngtèng Moḍung saat ini ialah pakaian adat Madura, baik untuk karakter laki-laki,

maupun untuk karakter perempuan. Berikut ialah perbandingan antara kostum kesenian

topeng Patèngtèng Moḍung kini dan topeng Madura secara umum112:

Tabel 4.2. Perbandingan Kostum Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung Kini dan

Topeng Madura secara Umum

Kostum Topeng Patèngtèng Kostum Topeng Madura secara


Karakter
Moḍung Umum
Rama /
Kostum topeng dhâlâng lengkap
Ksatrèya Baju pèsaan lengkap dan oḍheng
dengan atribut sesuai karakter
Lakè’
Sinta / Dhin
Aju / Kebaya, sampèr, kerudung, dan Kostum topeng dhâlâng lengkap
Ksatrèya perhiasan dengan atribut sesuai karakter
Binè’
Baju pèsaan (hanya celana gombor Kostum topeng dhâlâng lengkap
Bhuta
dan kaos mèra potè) dan oḍheng dengan atribut sesuai karakter
Punakawan Baju pèsaan (hanya celana gombor Kostum topeng dhâlâng lengkap
Petruk dan kaos mèra potè) dan oḍheng dengan atribut sesuai karakter
Punakawan Baju pèsaan (hanya celana gombor Kostum topeng dhâlâng lengkap
Bagong dan kaos mèra potè) dan oḍheng dengan atribut sesuai karakter
Sumber: Olahan penulis

111
B. Soelarto, Topeng Madura (Topong), (Jakarta: Ditjen Kebudayaan Departemen P & K, 1977), hlm.
13.
112
Lihat: Tabel 4.2.

92
Gambar 4.8. Kostum Topeng Dhâlâng Sumenep

Sumber: kabarindoraya.com, 2021

Berdasarkan keterangan Remma selaku penyimpan topeng yang disampaikan oleh

Aniyah, disebutkan bahwa dahulu terdapat kostum tari topeng Patèngtèng Moḍung yang

serupa dengan kostum tari topeng Madura secara umum, yakni kostum ala pewayangan,

lengkap dengan atribut. Namun kostum tersebut sudah rusak dan tidak dapat dipakai lagi.

Ketika Remma masih kanak-kanak, ia masih melihat kostum tersebut disimpan dalam

keadaan rusak, namun seumur hidupnya, ia tidak sempat menyaksikan tarian dengan

memakai kostum tersebut, melainkan sudah memakai kostum yang ada seperti kostum

kesenian topeng Patèngtèng Moḍung kini113.

Remma dilahirkan di desa Patèngtèng pada tahun 1935 114. Jika sejak kecil ia sudah

tidak melihat pementasan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung dengan kostum ala

pewayangan, maka dimungkinkan kostum tersebut terakhir dipakai pada awal abad XX

(1900-an, angka tahun tidak dapat dipastikan). Ada pun penggunaan kostum kesenian

topeng Patèngtèng Moḍung saat ini, ialah bertujuan agar kesenian ini tetap lestari. Oleh

113
Keterangan Remma yang disampaikan oleh Aniyah dalam sesi wawancara. Aniyah, wawancara,
(Bangkalan: Desa Patengteng. 2021), 7 Desember 2021.
114
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. lampiran.

93
karenanya diperlukan kostum yang sesuai dengan karakter masyarakat, maka dicarilah

kostum yang mudah didapat, sehingga dipilihlah kostum berupa pakaian adat etnis

Madura. Penggunaan pakaian adat etnis Madura sebagai kostum kesenian topeng

Patèngtèng Moḍung saat ini menjadi sebuah perkembangan sekaligus pergeseran, namun

justru menghadirkan keunikan, karena memiliki ciri khas yang berbeda dengan kostum

kesenian topeng lainnya.

3. Aspek Musik

Aspek musik dalam kesenian topeng merupakan hal penting, dan masih sangat

berkaitan dengan klasifikasi topeng berdasarkan skala pertunjukan, oleh karenanya, perlu

meninjau ulang klasifikasi topeng pada indikator ini. Berdasarkan skala pertunjukan,

kesenian topeng Madura terdapat dua jenis, yakni topeng (topeng besar / topeng kuno),

dan topeng kecil. Perbedaan mendasar antara kedua jenis topeng ini ialah dari instrumen

musik pengiring dan skenario pertunjukan. Topeng besar diiringi oleh instrumen musik

yang kompleks, yakni seperangkat gamelan lengkap, dan memainkan skenario

pertunjukan yang rumit. Sedangkan topeng kecil diiringi oleh instrumen musik yang lebih

sederhana, dan membawakan skenario pertunjukan yang cenderung sederhana pula115.

Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka kesenian topeng Patèngtèng Moḍung

tergolong kesenian topeng kecil, karena diiringi oleh instrumen musik yang lebih

sederhana, yakni menggunakan iringan musik tuk-tuk. Ada pun instrumen musik yang

digunakan sebagai iringan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung ialah116:

115
Lihat: Bab II.
116
Lihat: Tabel 4.3.

94
Tabel 4.3. Instrumen Musik Pengiring Pertunjukan Topeng Patèngtèng Moḍung Kini

Instrumen Jenis
Tuk-tuk Ritmis

Kennong tello’ Melodis

Kempul Melodis

Ghendhâng Ritmis

Sumber: Aniyah, 2017: 57-61

95
Gambar 4.9. Alat Musik yang Ditabuh saat Pertunjukan Topeng Patèngtèng Moḍung,

Tahun 2019

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

Tuk-tuk atau tong-tong adalah instrumen musik yang cukup kuno. Kunst (1973:

106, 192) yang dikutip dalam Zoelkarnain Mistortoify, berpendapat bahwa alat musik ini

berawal dari sebagian besar kentongan yang terbuat dari bambu atau kayu, berasal dari

era pra-Hindu. Kemudian istilah tong-tong bertransformasi menjadi permainan musikal,

yang setidaknya terjadi di era Hindu117.

Instrumen ini menjadi ciri khas dalam permainan musik tradisional Madura,

khususnya di kabupaten Bangkalan, dan di wilayah ini instrumen tersebut dikenal dengan

nama tuk-tuk. Umumnya, tuk-tuk terdiri dari lima buah instrumen yang berbentuk silinder,

dengan ukuran beragam. Masing-masing tuk-tuk berbagai ukuran tersebut memiliki

117
Kunst (1973: 106, 192) dalam Zoelkarnain Mistortoify. 2021. “Budaya Musik Daerah Etnis Madura”.
Tersedia pada https://etnomusikologisolo.wordpress.com/2010/04/06/budaya-musik-daerah-etnis-
madura/, diakses pada 25 Desember 2021.

96
nama, yang bila diurutkan berdasarkan ukuran dari yang paling besar ialah, (1) gudug,

(2) peneros, (3) pancer, (4) tung-katung, dan (5) tak-katek 118.

Alat musik lainnya yang digunakan sebagai instrumen pengiring dalam kesenian

topeng Patèngtèng Moḍung adalah kennong tello’, kempul, dan ghendhâng. Kennong

tello’ merupakan instrumen musik yang lazim digunakan di Madura. Pada seperangkat

gamelan, instrumen ini mirip dengan bonang, namun jumlah kennong tello’ hanya tiga

buah saja. Sedangkan kempul merupakan instrumen musik sejenis gong, hanya saja

ukurannya lebih kecil. Instrumen musik yang terakhir ialah ghendhâng, yang serupa

dengan kendang dalam karawitan Jawa119.

4. Aspek Tari

Berdasarkan klasifikasi Soelarto, kesenian topeng Patèngtèng Moḍung tergolong

dalam bentuk tarian lepas. Kesenian semacam ini menyajikan ragam gerak yang

sederhana, dan umumnya memiliki nilai sakral120. Ada pun gerakan tarian ini sebenarnya

merupakan perwujudan dari ekspresi masyarakat setempat yang telah diakui publik.

Karakter masyarakat pedesaan yang dikenal bebas dan lugas, segera melebur ke dalam

suatu bentuk karya seni berupa tari topeng yang tidak sama dengan karakter kesenian

keraton yang kesannya terlalu kaku, dan penuh aturan121.

Terdapat dua prosesi tarian dalam pertunjukan topeng Patèngtèng Moḍung, yakni

gerak yang ditarikan saat arak-arakan, dan gerak yang ditarikan saat tari topeng

bercerita122. Tari arak-arakan hanya menggunakan ragam gerak yang cenderung lebih

bebas, hanya berlenggak-lenggok mengikuti alunan musik pengiring. Pada prosesi tari

118
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. 58.
119
Ibid., hlm. 59.
120
Soelarto, 1977: 10 – 18, 94 yang dikutip dalam Hélène Bouvier, loc. cit.
121
Achmad Fatoni, loc. cit.
122
Lihat: Tabel 4.5.

97
arak-arakan ini juga terdapat pemberian saweran dari masyarakat, dan tak jarang dari

mereka turut pula untuk menari. Tari topeng bercerita membawakan gerak sesuai tokoh

dan lakon cerita. Karakter Ksatrèya Lakè’ membawakan ragam gerak yang gagah,

Ksatrèya Binè’ membawakan ragam gerak yang anggun, Bhuta membawakan ragam

gerak yang ganas, dan kedua karakter Punakawan membawakan ragam gerak yang lucu

serta menghibur. Ada pun lakon cerita yang dihadirkan cukup sederhana, yakni dimulai

dengan kemesraan dua tokoh Ksatrèya yang diganggu oleh tokoh Bhuta, namun selalu

dihadang oleh kedua Punakawan. Gerak tarian cenderung bebas, tidak terstruktur123.

5. Lain-lain

Kesenian topeng Patèngtèng Moḍung tergolong dalam kesenian topeng ritual,

karena posisinya digunakan sebagai kelengkapan ritual. Kesenian topeng ritual tentu

bersifat sakral, dan terdapat unsur religius124. Oleh karenanya, dalam hal ini juga terdapat

aspek pendukung lain pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung sebagai kelengkapan

ritual perkawinan sumber / rokat sombher. Aspek pendukung tersebut meliputi sesajen

dan tempat ritual.

Berikut ialah rincian aspek pendukung kesenian topeng Patèngtèng Moḍung

sebagai kelengkapan ritual rokat sombher 125:

Tabel 4.4. Rincian Aspek Pendukung Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung sebagai

Kelengkapan Ritual Rokat Sombher

Kelengkapan Sub-Kelengkapan Keterangan


Sebagai wewangian untuk menghormati
Dupa
roh leluhur.
Sesajen
Bubur yang terbuat dari beras dicampur
Tajhin bhiru
dengan daun pandan, sehingga
123
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. 76.
124
Lihat: Bab II.
125
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. 61-67.

98
menghasilkan warna hijau. Melambangkan
kesuburan dan kemakmuran desa serta
keadaan bumi.
Sebagai lambang semangat untuk menjaga
Gheddhâng (pisang)
desa.
Merupakan lambang kerukunan dari setiap
warga dengan berbagai keragaman. Dahulu,
Jhâjhân pasar
jajanan pasar yang digunakan ialah buatan
(jajanan pasar)
masyarakat sekitar, namun kini sudah
bergeser menjadi jajanan pabrik.
Nasi tumpeng berbentuk kerucut sebagai
Rasol lambang ke-Esaan Tuhan, ayam sebagai
(nasi tumpeng), lambang pengorbanan hasil bumi, cabe
dengan ayam panggang sebagai lambang kekuatan dan semangat
dan diberi lombok masyarakat, dan perpaduan ayam dengan
merah cabe merupakan lambang dari kekuasaan
Tuhan.
Tempat air yang terbuat dari tanah liat,
digunakan untuk mengambil dan
Kèlmo’
menyiramkan kembali air dari sumber mata
(semacam kendi)
air satu ke sumber mata air lainnya
(malakè’è sombher).
Tempat pemandian kaum laki-laki. Air dari
sumber mata air inilah yang diambil dan
Sombher lakè’
kemudian “dikawinkan” dengan sumber
mata air yang lain (sombher binè’).
Tempat ritual
Tempat pemandian kaum perempuan.
Sumber mata air inilah yang disiramkan air
Sombher binè’
dari sumber mata air sebelumnya (sombher
lakè’).
Sumber: Aniyah, 2017: 61 – 67

Sesajen disiapkan oleh masyarakat setempat secara sukarela dan gotong-royong.

Pembiayaan juga melalui swadaya masyarakat, dan terkoordinasi dengan baik. Menjelang

acara rokat sombher, maka akan ada pengumuman ke seluruh penduduk desa, sehingga

masyarakat desa segera berkumpul dan menyiapkan segala kebutuhan secara otomatis.

Persiapan tersebut termasuk membuat nasi rasol dan membuat tajhin bhiru. Setelah

99
semua sesajen siap, maka segera dibawa ke tempat ritual untuk segera dihelat rokat

sombher yang diiringi oleh kesenian topeng Patèngtèng Moḍung126.

Rokat yang diadakan bersamaan dengan pertunjukan kesenian topeng Patèngtèng

Moḍung dihelat di tiga titik penting, yakni rokat compo’ (rumah), kemudian dilanjutkan

pada rokat somor (sumur), dan yang terakhir ialah rokat sombher. Pada rokat sombher

inilah prosesi “mengawinkan” sumber mata air dilakukan, yang masyhur dikenal sebagai

rokat malakè’è sombher. Pada prosesi ini, air dari sombher lakè’ diambil menggunakan

kèlmo’, dan kemudian dituangkan ke sombher binè’, sehingga kedua sumber mata air

tersebut telah “dikawinkan” 127.

6. Struktur Pertunjukan

Struktur pertunjukan pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung berlangsung

melalui empat tahapan, yakni (1) tahap persiapan, (2) tahap pembuka, (3) tahap inti, dan

(4) tahap penutup. Berikut ialah rincian dari masing-masing tahapan pada struktur

pertunjukan kesenian ini128:

Tabel 4.5. Tahapan Pertunjukan pada Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung

Tahapan Sub-Tahapan Keterangan


Jamuan makan untuk para pemain, sebagai
persiapan paling awal sebelum prosesi
Hidangan makan pemain
pertunjukan dimulai. Jamuan makan ini
dihidangkan oleh tuan rumah.
Persiapan
Pemakaian kostum dan topeng dipersiapkan
Pemakaian kostum dan oleh para pemain di tempat tuan rumah.
topeng Ada pun untuk laki-laki pemeran karakter
perempuan akan dibantu untuk dirias.
Semua pendukung pertunjukan topeng
Pembuka Arak-arakan (penari, pemusik, kelompok dzikir, dan ibu-
ibu pembawa sesajen) mengikuti proses

126
Munir, dalam Silaturahim dan Penelusuran tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung,
Bhângkalan, (Bangkalan: Patèngtèng. 2021), 7 Desember 2021.
127
Ibid.
128
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. 67-80.

100
arak-arakan untuk menarik perhatian
masyarakat dalam perjalanan menuju ke
sumber mata air.
Semua pendukung menyiapkan sarana dan
Persiapan sarana dan prasarana, sedangkan para penari tetap
prasarana di lokasi menari dan pemain musik tetap memainkan
pertunjukan musiknya untuk menarik perhatian
masyarakat.
Masyarakat berdatangan dan mulai
memberikan saweran pada para penari,
Saweran sedangkan para penari terus menari
sederhana (lenggak-lenggok) mengikuti
alunan musik.
Dipimpin oleh sesepuh desa dan diikuti
seluruh masyarakat. Berbagai doa yang
dibaca antara lain sholawat Nabi, surah Al-
Fatihah, Al-Ikhlas (3 kali), Al-Falaq (3
Pembacaan doa
kali), An-Nas (3 kali), Ayat Kursi, dan doa
selamat. Para pendukung sembari
membagikan makanan kepada masyarakat
yang berkumpul.
Inti Penari topeng serta pemain musik segera
Tari topeng bercerita memainkan perannya. Para penari
memainkan peran sesuai tokoh dan lakon.
Pengambilan air dari sombher lakè’ untuk
dituangkan ke sombher binè’. Prosesi ini
dilakukan oleh dua orang sesepuh. Sebelum
Perkawinan sumber mata air
mengambil air dari sombher lakè’,
dilantunkan sholawat dan dilanjutkan
sebagian lirik lagu Tonḍu’ Majâng.
Nasi rasol dan jajanan dibagikan pada
Penutup Pembagian makanan seluruh masyarakat desa yang hadir pada
prosesi rokat sombher.
Sumber: Aniyah, 2017: 67 – 80

Berdasarkan bentuk dan fungsi pertunjukannya, kesenian Topeng Patèngtèng

Moḍung tergolong dalam kesenian topeng arak-arakan dan topeng tarian. Hal ini terlihat

jelas melalui adanya dua macam tarian yang dibawakan saat prosesi rokat sombher, yakni

tari arak-arakan yang cenderung lebih bebas, dan tari topeng bercerita yang ragam

geraknya mengikuti karakter dan lakon. Ada pun fungsi dari tarian ini memang sebagai

101
kelengkapan ritual, maka dari itu kesenian ini memiliki nilai sakral yang cukup tinggi

bagi masyarakat desa Patèngtèng129.

B. Nilai-nilai Dasar Topeng Patèngtèng Moḍung

Membahas suatu objek budaya, maka lekat kaitannya dengan nilai filosofis yang

berasal dan berkembang berdasarkan interkasi dengan berbagai aspek kehidupan

manusia. Begitu pula dengan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, yang sarat akan nilai,

tumbuh dan berkembang bersama dengan sentuhan dari masyarakat. Ada pun nilai-nilai

dasar yang dimaksud ialah nilai filosofis, yang juga meliputi aspek religi, dan sosial,

sebagai hal utama dalam kehidupan manusia, yang juga dapat berkembang seiring dengan

dinamika kehidupan masyarakat setempat.

Kesenian topeng Patèngtèng Moḍung merupakan kesenian topeng ritual, sehingga

telah menjadi sebuah kesatuan utuh bersama dengan tradisi rokat sombher, walaupun

terkadang kesenian ini juga dapat ditampilkan secara terpisah (murni sebagai seni

pertunjukan) dari tradisi tersebut130. Oleh karenanya untuk mengupas nilai-nilai dasar

yang terkandung di dalamnya, perlu meninjau dua sisi ini, yakni nilai-nilai dasar dari

kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, dan nilai-nilai dasar yang terkandung pada tradisi

rokat sombher. Kedua sisi ini memang perlu ditinjau secara terpisah, mengingat kesenian

topeng Patèngtèng Moḍung juga dapat dipentaskan di luar rokat sombher, hanya saja

unsur sakral akan lebih didapat ketika pementasan dilakukan dalam ritual rokat sombher.

129
Lihat: Hélène Bouvier, loc. cit.
130
Aniyah, S.Sn., dalam Diskusi tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan, (Bangkalan:
Trèsna Art. 2021), 29 Desember 2021.

102
1. Nilai-nilai Dasar Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung

Pada dasarnya, kesenian topeng memiliki fungsi utama yakni sebagai sarana

hiburan. Namun oleh karena adanya perjalanan tradisi, unsur magis, dan nilai-nilai adat,

mengantarkan suatu kesenian dapat bertranformasi fungsi, atau setidaknya fungsi dari

kesenian tersebut berkembang menjadi sangat kompleks131. Berkembangnya fungsi dari

kesenian ini juga memungkinkan untuk membawa kesenian ini turut berkembang atau

bahkan bergeser, baik secara nilai, maupun secara fisik. Sesuatu yang tidak dapat

dihindari dalam dunia kesenian yang selalu dinamis.

Berdasarkan fungsi dasar kesenian, maka kesenian topeng Patèngtèng Moḍung juga

awalnya berfungsi sebagai sarana hiburan. Tuntutan perkembangan zaman, serta adaptasi

dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat setempat, mengantarkan kesenian ini

berkembang sedemikian rupa hingga saat ini, baik dari segi fungsi, nilai, dan bentuk.

Perkembangan ini menjadikan kesenian topeng Patèngtèng Moḍung sebagai kesenian

topeng yang khas dan tidak dapat ditemukan di daerah lainnya. Kendati demikian, pola

umum dari kesenian topeng tetap melekat pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung.

Pola-pola mendasar dari sebuah nilai kesenian topeng ialah landasan filosofis, yang

dibangun berdasarkan pandangan hidup dan pandangan dunia132. Kedua faktor ini

merupakan hal fundamental bagi proses pemunculan, pengembangan, dan pelestarian

kesenian topeng bagi masyarakat. Hal ini rupanya juga dipegang teguh oleh masyarakat

Madura secara umum, dan masyarakat desa Patèngtèng secara khusus, sehingga

menjadikannya sebagai ruh bagi pelestarian kesenian topeng Patèngtèng Moḍung.

Ada pun nilai-nilai filosofis dari kesenian topeng Patèngtèng Moḍung dapat dilihat

dari beberapa sisi. Sisi-sisi yang dimaksud antara lain (1) pada karakter topeng, (2)

131
Achmad Fatoni, loc. cit.
132
B. Soelarto, op. cit., hlm. 17.

103
kostum topeng, (3) gerak tari, dan (4) lakon cerita. Masing-masing sisi berkaitan dan

saling menguatkan satu dengan lainnya. Perkembangan atau bahkan perubahan nilai atau

pun bentuk terhadap satu sisi saja, maka akan memengaruhi nilai filosofis ke sisi-sisi

lainnya.

Soelarto memaparkan tafsir nilai filosofis dari masing-masing karakter kesenian

topeng yang berkembang di Jawa dan Madura. Tafsir tersebut didasarkan dari bentuk

visual karakter topeng, berdasarkan warna dasar wajah, bentuk khas mata, hidung, mulut

serta ekspresi yang mencerminkan watak dan sifat perangai dari masing-masing tokoh.

Kemudian bentuk visual tersebut dirumuskan melalui tujuan dan nafsu hidup manusia,

seperti yang pernah diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Berikut ialah tafsir nilai filosofis

karakter topeng berdasarkan keterangan dari Soelarto133:

Tabel 4.6. Tafsir Nilai Filosofis Karakter Topeng Jawa-Madura, Berdasarkan Rumusan

Tujuan dan Nafsu Hidup sesuai Ajaran Sunan Kalijaga

Karakter Tafsir Filosofis


Panji Sepuh, Rama, Arjuna Bayangan insan.
Kumudaningrat, Candrakirana,
Tujuan hidup.
Sinta, Srikandi, Sembadra
Klana Sepuh, Raja Sebrang,
Nafsu amarah.
Duryodana, Dasamuka
Klana Timur, Kumbakarna,
Nafsu aluamah.
Baladewa, Boma
Dewi Retno Jindogo, Dewi
Nafsu supiah.
Sarag, Sarpakenaka, Banowati
Panji Timur, Gunungsari,
Nafsu mutmainah.
Kartala, Samba, Bima
Sumber: Soelarto, 1977: 19 – 20

133
Ibid., hlm. 19-20.

104
Terdapat lima tokoh karakter pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung yang

berkembang saat ini. Seperti yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya, karakter pada

kesenian ini sejatinya memiliki banyak kesamaan dengan karakter yang ada pada lakon

Ramayana. Tokoh Ksatrèya Lakè’ identik dengan karakter Rama, maka tafsir terhadap

karakter ini ialah berdasar pada bayangan insan. Tokoh Ksatrèya Binè’ identik dengan

karakter Sinta, maka tafsir terhadap karakter ini ialah berdasar pada tujuan hidup. Tokoh

Bhuta tidak disebutkan dalam tafsir tersebut, setidaknya juga belum jelas tokoh mana

yang dapat diidentifikasi serupa dengan tokoh Bhuta. Namun perannya sebagai tokoh

antagonis utama dalam lakon cerita kesenian ini, maka tokoh Bhuta dapat disejajarkan

dengan Rahwana / Dasamuka dalam lakon Ramayana, walaupun bentuk fisiknya tidak

sama. Oleh karenanya, tafsir terhadap karakter Bhuta dapat didasarkan pada nafsu

amarah.

Tafsir yang disajikan pada tabel 4.6. hanya menghadirkan tokoh utama saja dari

masing-masing lakon yang lazim dipentaskan pada kesenian topeng Jawa dan Madura.

Soelarto memberikan penjabaran tentang tokoh karakter yang lainnya secara terpisah, dan

lebih mengupas pada aspek warna dasar, dan bentuk wajah. Oleh karenanya perlu

meninjau aspek warna dasar serta bentuk wajah terhadap dua tokoh karakter pada

kesenian topeng Patèngtèng Moḍung yang belum dikupas sebelumnya. Dua tokoh

karakter yang dimaksud ialah kedua Punakawan. Putih adalah warna dasar dari kedua

tokoh Punakawan pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung. Dalam hal ini warna putih

seringkali ditafsirkan sebagai warna yang suci. Warna putih juga dapat mencerminkan

sifat yang ceria. Selain itu dua karakter Punakawan ini seringkali dianggap sebagai tokoh

yang berperangai lucu dan menghibur134.

134
Hidrochin Sabaruddin, loc. cit.

105
Nilai filosofis selanjutnya yang terkandung dalam kesenian topeng Patèngtèng

Moḍung dapat ditinjau dari sisi kostum. Telah dibahas pada sub bab sebelumnya tentang

kostum yang dipakai pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung saat ini yang berbeda

dengan kesenian topeng pada umumnya. Oleh karenanya, hal ini juga memiliki makna

filosofis yang berbeda, antara kostum kesenian topeng Patèngtèng Moḍung saat ini, dan

kostum kesenian topeng secara umum. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk meninjau

nilai filosofis pada kostum kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, maka erat kaitannya

dengan nilai filosofis pada pakaian adat Madura.

Berikut ialah makna filosofis dari pakaian adat Madura yang diaplikasikan sebagai

kostum kesenian topeng Patèngtèng Moḍung135:

Tabel 4.7. Makna Filosofis Pakaian Adat Etnis Madura yang Diaplikasikan Sebagai

Kostum Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung

PAKAIAN LAKI-LAKI (SAKÈRA’AN)


Karakter yang
Bagian
Keterangan Fisik Makna Filosofis Menggunakan
Pakaian
Kostum
Sifat ksatria yang selalu
Bagian atas terbuka,
siap menerima ajaran
tanpa kain
ilmu
Ikatan berbentuk Melambangkan sisi
lam-alif religius
Bersikap waspada dan Ksatrèya Lakè’
Oḍheng
Ekor kalajengking siap menyerang siapa (Rama), Bhuta, dan
bhutaghân
pun yang mengusik dua tokoh Punakawan
Motif batik yang
digunakan pada Warna merah
oḍheng adalah melambangkan karakter
storjoan, dengan tegas dan berani
warna merah cerah
Warna merah Ksatrèya Lakè’
Kaos mèra
Warna merah melambangkan karakter (Rama), Bhuta, dan
potè
tegas dan berani dua tokoh Punakawan

135
Lihat: Tabel 4.7.

106
Warna putih
Warna putih melambangkan karakter
suci
Bentuk terbuka
Melambangkan sifat Ksatrèya Lakè’
(tidak tertutup di
keterbukaan (Rama)
Baju bagian dada)
pèsa’an Warna hitam
Warna hitam melambangkan karakter
bijaksana
Bentuk celana yang Melambangkan sikap
besar yang selalu bergerak Ksatrèya Lakè’
Celana
Warna hitam (Rama), Bhuta, dan
gombor
Warna hitam melambangkan karakter dua tokoh Punakawan
bijaksana
PAKAIAN PEREMPUAN (MARLÈNA’AN)
Karakter yang
Bagian
Keterangan Fisik Makna Filosofis Menggunakan
Pakaian
Kostum
Simbol religius, nuansa Ksatrèya Binè’ / Dhin
Koḍung Hijab
Islami Aju (Sinta)
Warna merah
Warna merah melambangkan karakter
Ksatrèya Binè’ / Dhin
Kebaya tegas dan berani
Aju (Sinta)
Melambangkan nuansa
Penuh dengan motif
anggun
Melambangkan nuansa Ksatrèya Binè’ / Dhin
Sampèr Penuh dengan motif
anggun Aju (Sinta)
Melambangkan
Ksatrèya Binè’ / Dhin
Perhiasan Perhiasan kejayaan, nuansa
Aju (Sinta)
kebesaran
Sumber: Olahan penulis

Ulasan nilai filosofis pada tabel di atas semakin menunjukkan bahwa kostum yang

dipakai pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung sudah benar-benar telah direfleksikan

oleh nilai filosofis yang terkandung di dalam pakaian adat Madura, walaupun juga

terdapat modifikasi di dalamnya, yakni penggunaan kerudung untuk karakter perempuan.

Artinya, peran yang dibawakan oleh masing-masing karakter topeng ini juga melebur ke

dalam karakteristik etnis Madura yang terwujud di dalam pakaian adat tersebut. Hal ini

107
menunjukkan bahwa terdapat penyesuaian antara karakter topeng, dengan karakter

masyarakat setempat yang menjunjung tinggi adat Madura.

Nilai filosofis berikutnya yang terkandung dalam kesenian topeng Patèngtèng

Moḍung dapat ditinjau dari sisi gerak tari. Telah dibahas pada sub bab sebelumnya

tentang aspek tari pada kesenian topeng Patèngtèng Moḍung saat ini, yang cenderung

memiliki ragam gerak yang sederhana. Kesederhanaan ini merupakan simbol dari

kebebasan berekspresi masyarakat pedesaan. Kendati demikian, gerak tari dalam

kesenian ini masih menunjukkan karakter dari masing-masing tokoh. Tokoh Ksatrèya

Lakè’ menampilkan gerak tari dengan gaya yang gagah, melambangkan wibawa, dan

kharisma dari seorang ksatria. Tokoh Ksatrèya Binè’ menampilkan gerak tari dengan

gaya yang gemulai, melambangkan nuansa anggun. Tokoh Bhuta menampilkan gerak tari

dengan gaya yang ganas, melambangkan angkara murka dari tokoh antagonis. Dua tokoh

Punakawan menampilkan gerak tari yang lucu, melambangkan nuansa hiburan.

Nilai filosofis berikutnya yang terkandung dalam kesenian topeng Patèngtèng

Moḍung dapat ditinjau dari sisi lakon. Seperti yang telah dibahas pada sub bab

sebelumnya, tari topeng ini membawakan lakon khusus yang agaknya merupakan

perpaduan dari lakon Ramayana, Panji, dan unsur cerita masyarakat setempat, sehingga

tercipalah lakon cerita baru yang khas. Secara garis besar jalan cerita dari tari topeng ini

ialah mengisahkan kedua tokoh Ksatrèya Lakè’ dan Ksatrèya Binè’ yang tengah

bermesraan, yang kemudian diganggu oleh tokoh Bhuta. Namun para Punakawan segera

menghadang Bhuta, sehingga ia gagal mengganggu kemesraan dua tokoh utama tersebut.

Berdasarkan garis besar cerita tersebut, maka terlihat ada unsur perjuangan ksatria

dalam menghadapi raksasa yang angkara murka. Jika ditarik benang merah nilai filosofis,

maka hal ini serupa dengan kesenian topeng lainnya yang dibangun berdasarkan

108
pandangan hidup dan pandangan dunia136. Sifat mendasar dari ksatria adalah gagah berani

dan pantang menyerah, sedangkan sifat mendasar dari raksasa adalah angkara murka dan

penuh kebencian. Jika meninjau kedua sifat dasar tersebut, maka lakon cerita kesenian

topeng Patèngtèng Moḍung sejatinya menggambarkan hakekat hidup manusia, yakni

perjuangan pantang menyerah menghadapi berbagai macam cobaan hidup, oleh

karenanya diperlukan semangat dan keuletan yang luar biasa untuk menghadapinya.

Semua poin ini merupakan cerminan dari karakteristik masyarakat Madura secara umum,

dan masyarakat desa Patèngtèng secara khusus.

2. Nilai-nilai Dasar Tradisi Rokat Sombher

Menurut kamus antropologi, tradisi dapat disamakan dengan adat-istiadat, yakni

kebiasaan bersifat magis, religius dari kehidupan penduduk asli yang mengandung nilai-

nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang saling berkaitan, serta menjadi sebuah

sistem aturan yang mencakup segala konsepsi kebudayaan dalam mengatur Tindakan

manusia dalam kehidupan sosial137. Konsep ini merupakan kepercayaan yang dilestarikan

secara turun-temurun138.

Suatu tradisi lahir bersamaan dengan perjalanan hidup masyarakat yang telah

membentuk pola secara kompleks. Tentunya dalam hal ini dimensi spasial dan temporal

cukup memengaruhi terhadap tumbuh kembang suatu tradisi, dan juga terpengaruh

sekaligus memengaruhi pula terhadap karakteristik masyarakat setempat selaku

penggerak dari sebuah tradisi. Perjalanan dan perkembangan suatu tradisi sangat

bergantung pada kondisi masyarakat yang memilikinya. Oleh karenanya, tidak menutup

kemungkinan pula bagi sebuah tradisi untuk mengalami perkembangan, pergeseran,

136
B. Soelarto, op. cit., hlm. 17.
137
Ariyono dan Aminuddin Sinegar, Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), hlm. 4.
138
Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 1993), hlm. 459.

109
perubahan, atau bahkan kehilangan suatu poin nilai maupun fisik yang terkandung di

dalamnya.

Masyarakat Madura merupakan kelompok yang sangat menjunjung tinggi adat dan

tradisi. Satu dari perwujudan perhatian masyarakat Madura pada adat dan tradisi ialah

dengan sering menyelenggarakan upacara adat, yang dikondisikan sesuai dengan

peristiwa tertentu, atau mengharapkan suatu tujuan tertentu. Ada pun penyelenggaraan

tradisi upacara adat bagi masyarakat Madura juga ditujukan agar mendapatkan

keselamatan. Berbagai upacara adat tersebut dilaksanakan sebagai cerminan dari siklus

kehidupan, mulai dari pèlèt kanḍung, toron tana, dan berbagai jenis rokat139.

Masyarakat Madura telah lama menggelar tradisi beragam jenis rokat. Ada pun

istilah rokat ialah berasal dari kosakata bahasa Arab, yakni barokah, yang bila

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat bermakna nikmat, atau kenikmatan140.

Maka definisi rokat ialah tradisi yang diselenggarakan dengan tujuan untuk

mengharapkan kenikmatan. Tradisi ini serupa dengan tradisi petik ala masyarakat Jawa.

Ada pun beberapa jenis rokat yang biasa dihelat oleh masyarakat Madura antara lain, (1)

rokat tasè’, (2) rokat dhisa, (3) rokat compo’, (4) rokat somor, dan (5) rokat sombher.

Masyarakat desa Patèngtèng telah lama akrab dengan tradisi rokat. Ada pun tradisi

tersebut bertujuan untuk memohon hujan, dan biasanya memang diadakan saat desa

sedang mulai kekeringan. Tradisi ini sudah berlangsung sejak dahulu, dan rutin

dilaksanakan setiap tahun. Ada pun rokat yang biasa diadakan oleh masyarakat desa

Patèngtèng ialah rokat compo’, rokat somor, dan rokat malakè’è sombher (rokat

sombher), yang semunya merupakan suatu kesatuan utuh yang diselenggarakan secara

139
Badrul Munir Chair, “Dimensi Kosmologis Ritual Rokat Pandhaba pada Masyarakat Madura”, dalam
Jurnal SMaRT Studi Masyarakat, Religi dan Tradisi, Vol. VI No. 1. 2020, hlm. 128.
140
Ibid., hlm. 131.

110
bertahap dalam satu prosesi utuh. Tradisi utama dalam rangkaian rokat tersebut ialah

rokat malakè’è sombher (rokat sombher) 141.

Pelaksanaan rokat sombher di desa Patèngtèng selalu diiringi oleh kesenian topeng

sebagai sarana kelengkapan ritual. Hal ini cukup lazim, mengingat kesenian topeng

memang dapat difungsikan sebagai kelengkapan ritual, dan memang pada dasarnya

sejarah awal mula penggunaan topeng di Nusantara masa pra-sejarah lekat kaitannya

dengan unsur magis untuk pemujaan arwah nenek moyang142. Hal ini menjadikan

kesenian topeng Patèngtèng Moḍung sebagai sebuah keutuhan yang tak terpisahkan dari

ritual rokat sombher yang sangat sakral ini.

Rokat sombher yang biasa diadakan di desa Patèngtèng, merupakan prosesi tradisi

yang cukup kompleks. Di dalamnya mengandung banyak aspek yang bersatu padu

memunculkan suatu rangkaian ritual yang bernilai magis tinggi. Oleh karenanya, untuk

mengetahui nilai-nilai filosofis dari tradisi rokat sombher, maka harus dikupas melalui

berbagai aspek tersebut. Aspek-aspek ini meliputi tujuan, tempat penyelenggaraan,

sesajen, struktur pertunjukan, dan bacaan doa yang dipanjatkan dalam prosesi ini.

Tujuan penyelenggaraan rokat sombher ialah memohon hujan, dan mengharapkan

agar debit sumber mata air yang ada di desa desa Patèngtèng143. Maka simbol filosofis

yang dapat dipetik dari tujuan penyelenggaraan rokat sombher ialah elemen air. Air

adalah sumber dari kehidupan, artinya tujuan penyelenggaraan ritual ini tak lain ialah

mengharapkan keberlangsungan hidup masyarakat yang semakin baik. Selain itu, simbol

air hujan dan simbol air dalam sumber, merupakan dua sumber kemunculan air dari sisi

yang berbeda. Air hujan turun langit, dan air dalam sumber adalah air dari bumi, maka

141
Munir, loc. cit.
142
B. Soelarto, op. cit., hlm. 92.
143
Aniyah, S.Sn., loc. cit.

111
makna yang terkandung terkandung di dalamnya ialah konsep langit dan bumi, dengan

artian sebuah harapan agar tercipta keseimbangan antara sumber kehidupan yang turun

dari langit, dan sumber kehidupan yang berasal dari bumi.

Rokat sombher di desa Patèngtèng diadakan di dua tempat, yakni di sombher lakè’,

dan di sombher binè’. Sombher lakè’ adalah tempat pemandian kaum laki-laki, sedangkan

sombher binè’ merupakan tempat pemandian, dan mencuci kaum perempuan144. Selain

itu, penamaan sombher ini rupanya tak hanya berdasarkan pihak yang menggunakan

sumber mata air, namun juga personifikasi sumber mata air ini, yakni sombher lakè’

sebagai perwujudan laki-laki, simbol maskulin, sedangkan sombher binè’ sebagai

perwujudan perempuan, simbol feminism. Hal ini dibuktikan dengan adanya air yang

diambil dari sombher lakè’, sebagai simbol “perkawinan” terhadap sombher binè’145.

Adanya pemahaman masyarakat setempat soal “perkawinan” sumber mata air ini,

yakni dengan menganggap sombher lakè’ sebagai unsur maskulin, dan sombher binè’

sebagai unsur feminism, maka hal ini ada kaitannya dengan konsep kuno tentang

kesuburan, yang menjunjung tinggi keseimbangan antara laki-laki dan wanita. Konsep

tersebut adalah lingga yoni, yang merupakan konsep klasik dari Hindu. Konsep ini

biasanya diwujudkan di dalam artefak berupa peninggalan lingga dan yoni yang dapat

ditemukan di berbagai daerah. Di desa Patèngtèng, juga terdapat sebuah yoni yang

terletak di dusun Mincai146.

Lingga yoni merupakan ajaran mendasar agama Hindu aliran Siwa. Penganut aliran

ini menggunakan lingga yoni sebagai media pemujaan terhadap dewa Siwa. Lingga

merupakan lambang dari dewa Siwa, sedangkan yoni merupakan lambang dari dewi

144
Aniyah, S.Sn., op. cit, hlm. 66-67.
145
Lihat: Tabel 4.5.
146
Lihat: Bab II.

112
Parwati, istri dari dewa Siwa147. Lingga yoni merupakan lambang penyatuan antara dewa

Siwa dan dewi Parwati secara seksual. Kendati demikian simbol ini tidak dimaknai

sebatas aktivitas seks belaka, melainkan menjelma sebagai dasar filosofis dan religius

dari ajaran Hindu Siwa. Ada pun bentuk lingga memang didasarkan pada alat kelamin

laki-laki, sedangkan yoni didasarkan pada alat kelamin perempuan148.

Ada pun konsep lingga yoni yang terkandung di dalam tradisi rokat sombher di

desa Patèngtèng tercermin dari prosesi perkawinan sumber mata air tersebut. Prosesi

tersebut dimulai dengan pembacaan doa, dan kemudian dilanjutkan mengambil air dari

sombher lakè’, kemudian dituangkan kepada sombher binè’, maka hal ini merupakan

konsep penyatuan antara kedua sombher149. Terlebih tujuan dari ritual ini ialah

mengharapkan hujan dan menambah debit air di sumber tersebut. Artinya, prosesi

penyatuan berkaitan erat dengan simbol kehidupan langit dan bumi, dan hal ini juga

berlaku dalam konsep lingga yoni yang penuh dengan kosmologi. Hanya saja, terdapat

akulturasi dengan religi yang dianut masyarakat setempat, yakni agama Islam, sehingga

konsep lingga yoni yang terkandung dalam ritual ini, tak lagi untuk pemujaan dewa Siwa,

melainkan mengharapkan akan keseimbangan kehidupan manusia, sebagaimana

keseimbangan antara laki-laki yang disimbolkan dengan lingga, dan perempuan yang

disimbolkan dengan yoni.

Sesajen yang disiapkan dalam rokat sombher tentunya penuh dengan makna yang

luhur. Pada sub bab sebelumnya, telah dikupas secara detail tentang sesajen yang

disajikan pada ritual ini. Secara garis besar, berbagai macam sesajen tersebut dapat

147
Novaria Dwi S.P. & Yohanes Hanan Pamungkas, “Yoni Klinterejo Tinjauan Historis dan Ikonografis”,
dalam Jurnal AVATARA, Vol. II No. 3. 2014, hlm. 430.
148
Sunoto, “Lingga Yoni Jejak Peradaban Masyarakat (Jawa, Bali) dari Perspektif Positivistik”, dalam
Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 45 No. 2. 2017, hlm. 157-158.
149
Lihat: Tabel 4.5.

113
dikelompokkan menjadi dua bentuk utama, yakni sajian dari hasil bumi, dan sajian dari

olahan masyarakat setempat. Sajian hasil bumi meliputi buah-buahan, dan semacamnya,

sedangkan sajian hasil olahan masyarakat, meliputi makanan dan minuman olahan,

misalnya nasi rasol, tajhin bhiru, jhâjhân pasar, dan minuman cèndhul. Ada pun makna

yang terkandung dalam sajian hasil bumi ialah segala sesuatu yang berasal dari alam,

akan kembali ke alam. Kemudian makna yang terkandung dalam sajian olahan

masyarakat setempat ialah hasil yang dikelola oleh manusia akan kembali ke alam juga.

Proses ini merupakan simbol alamiah, karena keseimbangan alam, membutuhkan segala

sesuatu yang berasal dari alam, ataupun dari buah tangan manusia, untuk kembali ke alam

juga.

Secara garis besar, struktur pertunjukan yang terdapat dalam rokat sombher,

sejatinya dapat diklasifikasi menjadi tiga unsur penting, yakni unsur hiburan, unsur religi,

dan unsur sosio-kultural. Unsur hiburan yang terkandung di dalam ritual ini ialah adanya

tari topeng, cerita teatrikal yang dimuat dalam tarian, dan iringan musik. Unsur religi

yang terkandung di dalam ritual ini ialah adanya pembacaan sholawat, surah-surah Al-

Quran, dan doa keselamatan. Kemudian unsur sosio-kultural yang terkandung di dalam

ritual ini ialah jalannya ritual yang melibatkan banyak elemen masyarakat di desa

Patèngtèng.

Bacaan doa yang dipanjatkan dalam prosesi rokat sombher merupakan bacaan doa

secara Islam. Ada pun bacaan doa tersebut sudah lazim di dalam tradisi slametan, yakni

meliputi sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, surah Al-Fatihah, Al-Ikhlas (3 kali),

Al-Falaq (3 kali), An-Nas (3 kali), Ayat Kursi, dan doa selamat. Pada hakekatnya, seluruh

rangkaian doa ini ialah memohon keselamatan kepada Allah. Selain itu, harapan dengan

dipanjatkannya bacaan-bacaan doa tersebut, dapat mengantarkan desa Patèngtèng menuju

114
kesejahteraan, khususnya melimpahnya hasil bumi, karena air yang diharapkan tetap

mengalir secara lancar. Oleh karena itu, tercermin unsur religius yang tinggi pada

masyarakat setempat dalam nilai ritual ini, dengan kata lain masyarakat desa Patèngtèng

tidak hanya berupaya secara duniawi, namun juga melibatkan Tuhan untuk segala

harapan dan tujuan hidupnya.

Gambar 4.10. Sesajian yang Disiapkan untuk Rokat Sombher

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

115
Gambar 4.11. Masyarakat Membawa Sesajian ke Tempat Rokat Sombher

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

Gambar 4.12. Pertunjukan Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung dalam Ritual Rokat

Sombher

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

116
Gambar 4.13. Masyarakat Desa Patèngtèng Turut Memeriahkan Pementasan

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

Gambar 4.14. Sombher Lakè’ yang Merupakan Satu dari Tempat Ritual Rokat Sombher

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

117
Gambar 4.15. Sombher Binè’ yang Merupakan Satu dari Tempat Ritual Rokat Sombher

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

Gambar 4.16. Rokat Sombher sedang Dihelat

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Bangkalan, 2019

118
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Abad XVIII dan XIX dikenal sebagai periode keemasan kesenian di Madura Barat.

Berbagai latar belakang yang muncul sebagai transformasi zaman, telah menghadirkan

beragam kesenian baru secara massal di wilayah ini. Satu di antara karya budaya yang

hadir pada era tersebut ialah kesenian topeng Patèngtèng Moḍung, yang juga lekat dengan

tradisi rokat atau ritual perkawinan sumber mata air. Adaptasi dengan lingkungan sekitar,

mengantarkan kesenian ini memiliki ciri khas pembeda dari kesenian topeng yang

berkembang di wilayah lain, baik di Madura, maupun secara umum di Nusantara.

Eksistensi kesenian ini telah membawa nilai yang membanggakan bagi masyarakat

Bangkalan, khususnya bagi masyarakat desa Patèngtèng, kecamatan Moḍung, dan

sekaligus menjadi sumbangsih bagi perkembangan seni budaya di kabupaten Bangkalan.

Perkembangan zaman dan arus globalisasi telah menjadi tantangan bagi perjalanan

kesenian topeng Patèngtèng Moḍung. Kendati demikian, kesenian topeng yang khas ini

masih tetap bertahan hingga kini, walaupun mulai sepi peminat, sehingga menjadikannya

sebagai satu kesenian yang terancam punah.

B. Saran

Topeng Patèngtèng Moḍung telah mengalami perjalanan sejarah dan

perkembangan yang sedemikian rupa, sehingga mengantarkan sepak terjang eksistensi

karya budaya ini sebagai sumbangsih perwujudan nilai luhur prestisius bagi masyarakat

Madura di Kabupaten Bangkalan, khususnya bagi masyarakat desa Patengteng,

119
Kecamatan Modung. Kendati demikian, saat ini perjalanan pelestarian karya budaya ini

sedang menghadapi tantangan zaman yang begitu kompleks serta derasnya arus

globalisasi dengan budaya majemuk yang tak dapat terbendung. Oleh karena itu,

pelestarian topeng Patèngtèng Moḍung merupakan tanggung jawab yang diemban oleh

seluruh lapisan masyarakat, baik dari kalangan pemerintahan, akademisi, pakar sejarah,

pakar budaya, para seniman, serta seluruh lapisan masyarakat, agar nilai luhur topeng

Patèngtèng Moḍung dapat tetap lestari dan terpatri abadi sebagai kekayaan budaya di

kabupaten Bangkalan.

120
DAFTAR PUSTAKA

Aniyah. 2017. “Pertunjukan Topeng Pateng-teng dalam Ritual Perkawinan Sumber


Kabupaten Bangkalan Madura”. Bangkalan.
__________. 2021. “Pertunjukan Topeng Patèngtèng Moḍung dalam Rokat Sombher”.
Diskusi tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan: 29
Desember 2021, Bangkalan: Trèsna Art.
__________. 2021. “Seputar Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung”. Hasil Wawancara
Pribadi: 7 Desember 2021, Bangkalan: Desa Patengteng.
Ariyono & Aminuddin S. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta: Akademika Pressindo.
n.d. Badan Pusat Statistik Daerah Kecamatan Modung. 2015.
n.d. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan: Kecamatan Modung dalam Angka
2019.
Bouvier, H. 2002. Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, Terj.
Rahayu S. Hidayat & Jean Ciuteau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Cakraadiningrat, A.H.M. 2020. “Sejarah Madura Barat”. Hasil Wawancara Pribadi: 13
November 2020, Bangkalan: Pangeranan.
__________. 2021. “Sejarah Kesenian Topeng Madura”. Diskusi tentang Kesenian
Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan: 29 Desember 2021, Bangkalan:
Trèsna Art.
Chair, B.M. 2020. Dimensi Kosmologis Ritual Rokat Pandhaba pada Masyarakat
Madura. Jurnal SMaRT Studi Masyarakat, Religi dan Tradisi, Vol. VI No. 1.
Dagh-Register Gehouden Int Casteel Batavia, 22 Augustus 1624.
Djajadiningrat, H., dkk. 1928. Djawa – Tijdschrift van het Java-Instituut: Achtste
Jaargang. Soerakarta: Secretariaat van het Java-Instituut.
Dominant, H.G. 2021. “Pelestarian Topeng Patèngtèng Moḍung”. Diskusi tentang
Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan: 29 Desember 2021,
Bangkalan: Trèsna Art.
__________. 2021. “Pelestarian Topeng Patèngtèng Moḍung”. Silaturahim dan
Penelusuran tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan: 7
Desember 2021, Bangkalan: Patèngtèng.
Dutch Colonial Maps – Leiden University. 2021. “Topograpisch Kaart van Madoera,
1854”. https://ubl.webattach.nl/cgi-
bin/iipview?krtid=11823&name=645628.JPG&marklat=-
7&marklon=113.3333333&sid=mn23dd6543812&seq=2&serie=0&lang=1
&ssid=&resstrt=0&svid=670953&dispx=1366&dispy=657. Diakses pada:
19 September 2021.
Faisol, M.H. 2021. “Pelestarian Topeng Patèngtèng Moḍung”. Diskusi tentang Kesenian
Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan: 29 Desember 2021, Bangkalan:
Trèsna Art.
Fatoni, A. 2021. “Seputar Kesenian Topeng secara Umum, dan Kesenian Topeng
Patèngtèng Moḍung”. Hasil Wawancara Pribadi: 19 Desember 2021,
Bangkalan - Surabaya: Via Google Meet.
Gottsschak, L. 1969. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI-Press.

121
Hosen. 2021. “Topeng Patèngtèng Moḍung”. Silaturahim dan Penelusuran tentang
Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan: 7 Desember 2021,
Bangkalan: Patèngtèng.
kabarindoraya.com. 2021. “Topeng Dalang dan Oksigen Gili Iyang Kebanggaan
Kabupaten Sumenep”. https://kabarindoraya.com/topeng-dalang-dan-
oksigen-gili-iyang-kebanggaan-kabupaten-sumenep/. Diakses pada: 25
Desember 2021.
Kasnowihardjo, G. 2021. Asal – Usul dan Sejarah Orang Madura: Kajian Arkeologi –
Sejarah. Yogyakarta: Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
kbbi.web.id. 2021. “Definisi Topeng”. KBBI. https://kbbi.web.id/. Diakses pada: 23
Desember 2021.
Knaap, G. J. 1996. Shallow Waters, Siling Tide. Leiden: KITLV Press.
Kunst, J. 1927. Hindoe-Javaansche Muziek-Instrumenten Speciaal die van Oost Java.
Bandoeng: Druk O. Kolff & Co-. Weltevreden.
Mistortoify, Z. 2021. “Budaya Musik Daerah Etnis Madura”.
https://etnomusikologisolo.wordpress.com/2010/04/06/budaya-musik-
daerah-etnis-madura/. Diakses pada: 25 Desember 2021.
Munir. 2021. “Topeng Patèngtèng Moḍung”. Silaturahim dan Penelusuran tentang
Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan: 7 Desember 2021,
Bangkalan: Patèngtèng.
Notulen Diskusi tentang “Topeng Patèngtèng Moḍung”, pada 29 Desember 2021.
Notulen Silaturahim dan Penelusuran tentang “Hong-bahhong”, pada 6 April 2021.
Notulen Silaturahim dan Penelusuran tentang “Topeng Patèngtèng Moḍung”, pada 7
Desember 2021.
Novaria D.S.P. & Yohanes H.P. 2014 Yoni Klinterejo Tinjauan Historis dan Ikonografis.
Jurnal AVATARA, Vol. II No. 3.
Penninga, P. & H. Hendriks. 1936. Practisch Madürees-Nederlands Woordenboek: 2de
druk. Semarang: G. C. T. van Dorp & Co. N. V.
Pigeaud, Th. 1938. Javaanse Volksvertoningen Bijdrage tot de Beschrijving van Land en
Volk. Jogjakarta: Martinus Nijhoff Uitgever ‘s-Gravenhage.
Rahayu, L.P., dkk. 2019. "Potensi Wisata Pesisir Selatan Modung." Seminar Nasional
Budaya Madura V". Membangun Pariwisata Madura Berbasis Budaya
Lokal. Bangkalan: UTM Press.
Rosul. 2021. “Pelestarian Topeng Patèngtèng Moḍung”. Diskusi tentang Kesenian
Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan: 29 Desember 2021, Bangkalan:
Trèsna Art.
RPJMD Kabupaten Bangkalan Tahun 2013 - 2018.
Sabaruddin, H. 2020. “Mengungkap Keberadaan Tari Topeng Patengteng -
Modung”. https://www.youtube.com/watch?v=enEB9QApebw. Diakses
pada: 19 Desember 2021.
Soekanto. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.
Soelarto, B. 1977. Topeng Madura (Topong). Jakarta: Ditjen Kebudayaan Departemen P
& K.
Sudarsono. 2021. “Kesenian Topeng Dhâlâng, Hong-bahhong dan Topeng Patèngtèng
Moḍung”. Hasil Wawancara Pribadi: 9 April 2021, Bangkalan: Sanggar
Tarara.

122
__________. 2021. “Pementasan Topeng Patèngtèng Moḍung di Paruh Kedua Abad
XX”. Diskusi tentang Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung, Bhângkalan: 29
Desember 2021, Bangkalan: Trèsna Art.
Sunoto. 2017. Lingga Yoni Jejak Peradaban Masyarakat (Jawa, Bali) dari Perspektif
Positivistik. Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 45 No. 2.
Taufan, M.R., 2021. Tinjauan Historis dan Kulturan Oḍheng Tongkosân Bhângkalan:
dan Perkembangannya hingga Kini. Bangkalan: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Bangkalan.
Tjakraningrat. 1936. Madoera en Zijn Vorstenhuis. Surabaya: Cliché’s en Druk: G. Kolff.
& Co.
Valentijn, F. 1726. Oud en Nieuw Oost Indies IV: Beschryving van Groot Djava , of te
Java Major. Dordrecht & Amsterdam: Met Privilegie.
__________. 1728. Nieuwe en Zeer Naaukeurige Kaart van t Eyland Java Major of Groot
Java Verdeeld in Seven Byzondere Bostekken. (Peta).
Verbeek, R. D. M. 1923. Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-
Indie 1923: Inventaris der Hindoe-oudheden. Batavia: Albrecht & Co., M.
Nijhoff s-Gravenhage.
Wongsokasoemo, R., dan M. S. Notosoedjono, Riwajat Madoera.
Zainab, S., dkk. 2020. Ragam Batik Madura - Bhatèk Patèngtèng Moḍung, sebuah
Tinjauan Historis dan Kultural. Bangkalan: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Bangkalan.

123
LAMPIRAN

124
LAMPIRAN 1

DAFTAR INFORMAN

Foto

Nama H. Moh. Hasan Faisol, S.STP., M.M.


Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Spesifikasi
Bangkalan
Tema Pelestarian Topeng Patèngtèng Moḍung
Lokasi Trèsna Art, Bangkalan
Waktu 29 Desember 2021

Foto

Nama Hendra Gemma Dominant, S.Sn.


Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan
Spesifikasi
Pariwisata Kabupaten Bangkalan
Tema Pelestarian Topeng Patèngtèng Moḍung
Kediaman Remma, dusun Plèntaan, desa Patèngtèng,
Lokasi
kecamatan Moḍung
Waktu 7 Desember 2021

125
Foto

Nama Hendra Gemma Dominant, S.Sn.


Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan
Spesifikasi
Pariwisata Kabupaten Bangkalan
Tema Pelestarian Topeng Patèngtèng Moḍung
Lokasi Trèsna Art, Bangkalan
Waktu 29 Desember 2021

Foto

Nama Remma alias Mbok Misro


Spesifikasi Pelaku sekaligus pengurus topeng Patèngtèng Moḍung
Tema Seputar Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung
Kediaman Remma, dusun Plèntaan, desa Patèngtèng,
Lokasi
kecamatan Moḍung
Waktu 7 Desember 2021

126
Foto

Nama Hosen
Spesifikasi Pengurus topeng Patèngtèng Moḍung
Tema Seputar Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung
Kediaman Remma, dusun Plèntaan, desa Patèngtèng,
Lokasi
kecamatan Moḍung
Waktu 7 Desember 2021

Foto

Nama Munir
Pelaku serta koordinator acara kesenian topeng
Spesifikasi
Patèngtèng Moḍung
Tema Seputar Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung
Kediaman Remma, dusun Plèntaan, desa Patèngtèng,
Lokasi
kecamatan Moḍung
Waktu 7 Desember 2021

127
Foto

Nama Mas Sudarsono


Spesifikasi Seniman tradisi di kabupaten Bangkalan
Seputar Kesenian Topeng Dhâlâng, Hong-bahhong dan
Tema
Topeng Patèngtèng Moḍung
Lokasi Sanggar Tarara
Waktu 9 April 2021

Foto

Nama Mas Sudarsono


Spesifikasi Seniman tradisi di kabupaten Bangkalan
Tema Seputar Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung
Lokasi Trèsna Art, Bangkalan
Waktu 29 Desember 2021

128
Foto

Nama Aniyah, S.Sn.


Spesifikasi Seniman tradisi di kabupaten Bangkalan
Tema Seputar Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung
Kediaman Remma, dusun Plèntaan, desa Patèngtèng,
Lokasi
kecamatan Moḍung
Waktu 7 Desember 2021

Foto

10

Nama Aniyah, S.Sn.


Spesifikasi Seniman tradisi di kabupaten Bangkalan
Tema Seputar Kesenian Topeng Patèngtèng Moḍung
Lokasi Trèsna Art, Bangkalan
Waktu 29 Desember 2021

129
Foto

11

Nama R.P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat


Spesifikasi Pemerhati sejarah dan budaya di kabupaten Bangkalan
Tema Sejarah Madura Barat
Kediaman R.P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat,
Lokasi Kelurahan Pangeranan, Kecamatan Bangkalan,
Kabupaten Bangkalan
Waktu 13 November 2020

Foto

12

Nama R.P. Abdul Hamid Mustari Cakraadiningrat


Spesifikasi Pemerhati sejarah dan budaya di kabupaten Bangkalan
Tema Seputar Kesenian Topeng Madura
Lokasi Trèsna Art, Bangkalan
Waktu 29 Desember 2021

130
Foto

13

Nama Hidrochin Sabaruddin U. P., S.E.


Spesifikasi Pemerhati sejarah dan budaya di kabupaten Bangkalan
Mengungkap Keberadaan Tari Topeng Patengteng –
Tema
Modung
Via youtube:
Lokasi
https://www.youtube.com/watch?v=enEB9QApebw
Waktu 19 Desember 2021 (Diakses)

Foto

14

Nama Achmad Fatoni, S.Pd.


Spesifikasi Pemerhati sejarah dan budaya Jawa
Seputar Kesenian Topeng secara Umum, dan Kesenian
Tema
Topeng Patèngtèng Moḍung
Lokasi Via google meet
Waktu 19 Desember 2021

131
BIODATA PENULIS

Nama : Muhammad Rizki Taufan, S.Pd.

Tempat, tanggal lahir : Bangkalan, 12 Juli 1996

Alamat : Jl. Perumahan Permata Indah, Blok I / No. 1, RT 002 /

RW 005, Kelurahan Mlajah, Kecamatan Bangkalan,

Kabupaten Bangkalan, Kode Pos 69116

Nomor WhatsApp : 0881-1358-561

e-mail : mrtaufan1996@kesultanan-bangkalan.or.id

Peran : Peneliti / penulis

Pendidikan : SDN Pejagan 1 Bangkalan

: SMPN 2 Bangkalan

: SMAN 2 Bangkalan

: Universitas Negeri Surabaya, S1 Pendidikan Sejarah

132
INDEKS

A
Abimanyu (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………..48
Agung (sultan Mataram)………………………………………………………………..32
Alaskokon (desa)………………………………………………………………………. 26
Allah (Tuhan)………………………………………………………………………….114
Anggada (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………………………………48
Anoman Sapuangin (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………...48
Antareja (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………….48
Arjuna (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………………….45, 104
Arjuna Sasrabahu (sastra)……………………………………………………………… 44
Arjuna Wiwaha (sastra)…………………………………………………………………44
Arosbaya (kota)…………………………………………………………………………32
Arya Prabu (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………….48
Aryo Kusumo, Pangeran…………………………………………………………...1, 4, 78

B
Bagong (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………...45, 48, 58, 65, 66, 83, 84, 85, 92
Baladewa (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………………48, 104
Balet (dusun)……………………………………………………………………………26
Bambang Tejakusuma, anak Janaka (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………..48
Bangkalan (kabupaten, kota, keraton)…………1, 3, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 18, 19,
……………………………………………20, 23, 24, 25, 26, 28, 31, 34, 45, 47, 49,
……………………………………………50, 51, 52, 58, 61, 63, 65, 67, 68, 69, 70,
……………………………………………71, 72, 73, 74, 75, 83, 91, 96, 115, 116,
…………………………………………………………………...117, 118, 119, 120
Banowati (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………………….. 104
Basudewa (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………..48
Batara Kresna (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………48
Betala Marjan (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………48
Bhuta (tokoh dalam kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)…………..37, 65, 66, 68, 80,
…………………………………………………………………...82, 84, 85, 86, 87,
…………………………………………………………………...88, 92, 98, 105,
…………………………………………………………………..........106, 107, 108
Bima (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………………….104
Blega (daerah)…………………………………………………………...24, 32, 33, 34, 35
Blega (sungai)…………………………………………………………………………..33
Boma Jatasura (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………………………...48
Brakas Dajah (desa)……………………………………………………………………. 26
Bulak (dusun)…………………………………………………………………………...26

C
Cakraadiningrat I, Sultan…………………………………………………………5, 54, 56
Cakraadiningrat II, Sultan………………………………………...5, 45, 47, 54, 56, 58, 59
Cakraadiningrat V, Panembahan……………………………….5, 6, 12, 54, 56, 59, 60, 61

133
Cakraadiningrat VI, Panembahan…………………………………………………...54, 59
Cakraadiningrat VII, Panembahan………………………………………………. 5, 54, 56
Cakraadiningrat VIII, Panembahan………………………………………………5, 54, 56
Cakraningrat I, Pangeran…………………………………………………………5, 54, 56
Cakraningrat II, Panembahan…………………………………………………….5, 54, 56
Cakraningrat III, Pangeran……………………………………………………………...54
Cakraningrat IV, Pangeran……………………………………………………….5, 54, 56
Candrakirana (tokoh dalam kesenian topeng)……………………………………...45, 104
Chou Ku Fei (penulis kronik)…………………………………………………………...28

D
Dalpenang (kelurahan)………………………………………………………………….31
Damarwulan (lakon wayang dan seni topeng)…………………………………………..46
Dasamuka, Rahwana (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………..48, 104, 105
Dewi Kunti (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………48
Dewi Retno Jindogo (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………. 104
Dewi Sarag (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………………... 104
Dewi Sinta (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………… 48
Dewi Srikandi (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………48
Dewi Sumbadra (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………….48
Drogok (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………….. 49
Dur (pemeran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)……………………………….65, 66
Dursadana (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………..48
Duryodana (tokoh dalam kesenian topeng)……………………………………………104

E
Endin (pemeran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)………………………………... 65

G
Gandamana (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………48
Ganesha (arca)………………………………………………………………………28, 31
Gatotkaca (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………..48
Gigir (desa)…………………………………………………………………………….. 27
Glisgis (desa)…………………………………………………………………………... 26
Gresik (kabupaten)……………………………………………………………………...90
Gunungsari (tokoh dalam kesenian topeng)……………………………………43, 45, 104

H
Harihara (arca)……………………………………………………………………... 29, 31
Hong-bahhong (kesenian)…………………………………………………...12, 60, 61, 75
Hosen (pengurus topeng)…………………………………………………..4, 6, 18, 54, 57
Hyang Bramadewa, putera Hyang Guru (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………48

I
India (negara)…………………………………………………………………………...42
Indonesia (bahasa, negara)…………………………………………………36, 37, 49, 110

134
J
Jamburingin (kerajaan)………………………………………………………….38, 39, 44
Janaka, Permadi (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………….48

K
Kajuh (dusun)………………………………………………………………………….. 26
Kajuh Anak (desa)………………………………………………………………………27
Kakrasana (Baladewa)………………………………………………………………….48
Kalijaga (Sunan)…………………………………………………………………...44, 104
Kandiawan (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………… 48
Kangsadewa (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………..48
Kapi Jembawan (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………….48
Karanganyar (desa)……………………………………………………………………..26
Kartala (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………………… 45, 104
Kediri (kerajaan)………………………………………………………………………..42
Kemoning (desa)………………………………………………………………………..31
Klana Sepuh (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………45, 104
Klana Timur (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………45, 104
Kolla (desa)……………………………………………………………………………..25
Konang (kecamatan)……………………………………………………………….. 32, 34
Krojeh (dusun)………………………………………………………………………….26
Ksatrèya Binè’ / Sinta / Dhin Aju (tokoh dalam kesenian topeng Patèngtèng
Moḍung)…………………………………………………………65, 67, 80, 81, 82,
…………………………………………………………………...84, 85, 86, 87, 88,
…………………………………………………………………...90, 91, 92, 98,
…………………………………………………………………..........105, 107, 108
Ksatrèya Lakè’ / Rama (tokoh dalam kesenian topeng Patèngtèng
Moḍung)…………………………………………………………65, 67, 80, 81, 82,
…………………………………………………………………...84, 85, 87, 88, 90,
…………………………………………………………………...91, 92, 98, 105,
…………………………………………………………………………………..108
Kwanyar (kecamatan)…………………………………………………………………..24
Kumbakarna (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………….104
Kumudaningrat (tokoh dalam kesenian topeng)……………………………………….104

L
Labuan (toponim)……………………………………………………………………… 33
Langpanggang (desa)…………………………………………………………………...26
Lasem (motif batik)……………………………………………………………………..90
Layangkumitir (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………………………...49
Layangseta (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………49
Ling Way Tai-ta (kronik)……………………………………………………………….28
Lingga (peninggalan arkeologis)………………………………………… 17, 31, 112, 113

135
M
Madura (pulau, selat, wilayah, istilah etno-antropologis)…1, 3, 4, 6, 7, 9, 10, 13, 14, 15,
……………………………………………………….16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24,
……………………………………………………….26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34,
……………………………………………………….35, 37, 38, 39, 40, 42, 43, 44,
……………………………………………………….45, 46, 47, 49, 50, 51, 52, 58,
……………………………………………………….61, 63, 64, 77, 78, 79, 83, 84,
……………………………………………………….85, 86, 87, 88, 90, 92, 93, 94,
……………………………………………………….96, 97, 103, 104, 105, 106,
……………………………………………………………...107, 108, 109, 110, 119
Madura Barat (kawasan, kerajaan)…………………………4, 5, 6, 12, 15, 16, 30, 31, 32,
……………………………………………………….54, 55, 56, 59, 60, 61, 62, 119
Madura Timur (kawasan, kerajaan)……………………………………………………..32
Mahabharata (lakon wayang dan seni topeng)………………40, 42, 43, 45, 47, 49, 64, 79
Majapahit (kerajaan)……………………………………………………………………44
Malangan (gaya topeng)………………………………………………………………...84
Manggan (desa)…………………………………………………………………………26
Mangkunegara IV (adipati)……………………………………………………………..46
Mangkunegara V (adipati)……………………………………………………………... 46
Mangkunegaran (kadipaten)…………………………………………………………… 46
Mataram Islam (kerajaan)……………………………………………….33, 43, 45, 46, 61
Menak Senaya, Prabu…………………………………………………………...38, 39, 44
Mestu (pemeran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)…………………………….65, 66
Mincai (dusun)……………………………………………………………..26, 28, 29, 112
Muhammad (Nabi)…………………………………………………………………….114
Mulawanu, Ratu Indran (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………….49
Munir (pelaku dan koordinator kesenian topeng)…………………………………….7, 18
Museum Cakraningrat Bangkalan (museum)…………………………………………...51

N
Negarakretagama (naskah)……………………………………………………………...44
Neroh (desa)…………………………………………………………………………….25
Nusantara (kepulauan)……………………………………………42, 85, 87, 92, 111, 119
Nyai Tumenggung Suna (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………………48

O
Oḍheng Tongkosân Bhângkalan (penutup kepala)………………………………….12, 60

P
Paeng (desa)…………………………………………………………………………….25
Pakacangan (kota di Madura abad XVI)………………………………………………...32
Pakubuwana II (susuhunan)…………………………………………………45, 46, 58, 88
Pakubuwana III (susuhunan)……………………………………………………………45
Pakubuwana VII (susuhunan)……………………………………………….45, 46, 47, 58
Pakong (desa)…………………………………………………………………………...26
Pamekasan (kabupaten, kota)……………………………………32, 38, 39, 44, 47, 60, 61
Pancadnyana (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………..49
Pandita Durna (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………48

136
Pandu Dewanata (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………………………48
Pandu Pragola (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………49
Pangpajung (desa)………………………………………………………………………25
Panji (lakon wayang dan seni topeng)………………………….40, 42, 45, 46, 79, 81, 108
Panji Sepuh (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………………...104
Panji Timur (tokoh dalam kesenian topeng)…………………………………………...104
Paranyai (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………….49
Pararaton (naskah)……………………………………………………………………... 44
Parwati (Dewi)………………………………………………………………………...113
Patereman (desa)………………………………………………………………………..25
Patih Gambir-saketi nagari Rancang-kencana (tokoh dalam kesenian topeng Madura)...48
Pesisir (dusun)…………………………………………………………………………..26
Petruk (tokoh dalam kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)…………….65, 66, 83, 85, 92
Plumudewa, tukang taman, anak Dasamuka (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…..48
Prabu Bulantani (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………….48
Prasta, putera Ratu Sumangli Selagringging (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…..49

R
Raja Sebrang (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………….104
Ramayana (lakon wayang dan seni topeng)……………1, 40, 42, 45, 49, 64, 78, 79, 81,
……………………………………………………………...82, 83, 84, 86, 105, 108
Ratu Sabrang, Daeng Bragalba (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………..48
Remma alias Mbok Misro (pelaku dan pengurus topeng).....................2, 18, 62, 63, 65,
………………………………………………………………………...71, 72, 73, 93

S
Sabaruddin, Hidrochin (pemeran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)…...19, 28, 66, 86
Samba (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………48, 104
Sampang (daerah)………………………………………………1, 4, 23, 24, 31, 32, 53, 78
Sapeh (dusun)………………………………………………………………………….. 26
Sarpakenaka (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………….104
Sasra, R.M. Hasan (pemeran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)………………..65, 66
Semar (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………...45, 48, 49, 58
Sembadra (tokoh dalam kesenian topeng)……………………………………………..104
Sentyaki (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………………….48
Serabi Barat (desa)………………………………………………………………….25, 27
Serabi Timur (desa)……………………………………………………………………..25
Sidoarjo (kabupaten)……………………………………………………………………90
Situs Panji Laras (peninggalan arkeologis)……………………………………………..31
Situs Sumur Daksan (peninggalan arkeologis)………………………………………….31
Siwa (Dewa)………………………………………………………………….29, 112, 113
Sreseh (kecamatan)……………………………………………………………………..24
Srikandi (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………………104
Storjoan (motif batik)……………………………………………………………...90, 106
Subali atau Sribali (tokoh dalam kesenian topeng Madura)……………………………..48
Sumenep (kabupaten, kota)……………………………………………...10, 15, 32, 52, 93
Surakarta (kerajaan, keraton)……………………………………………46, 58, 61, 62, 84
Suryoadiningrat, Pangeran……………………………………………………………...47

137
Suwaan (desa)………………………………………………………………………26, 27

T
Tabiruan (motif batik)…………………………………………………………………..90
Tanjung Bumi (batik, kecamatan)…..……………………………………………… 75, 90
Thailand (negara)……………………………………………………………………….86
Tlageh (dusun)………………………………………………………………………….26
Togog (tokoh dalam kesenian topeng)………………………………………………45, 49
Tonjhung / Maduretna (kota, keraton)…………………………………………………..32
Tragah (kecamatan)……………………………………………………………………. 31
Tumapel / Singhasari (kerajaan).………………………………………………………..43

U
Usman Jati (pemeran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)……………………….65, 66

V
Valentijn (penulis buku)………………………………………………………...17, 32, 33

W
Werkudara (tokoh dalam kesenian topeng Madura)…………………………………….48
Wibisana (tokoh dalam kesenian topeng Madura)………………………………………48

Y
Yeyek (pemeran kesenian topeng Patèngtèng Moḍung)………………………………..65
Yogyakarta (kerajaan, keraton)………………………………………………… 61, 62, 84
Yoni (peninggalan arkeologis)……………………………………17, 28, 30, 31, 112, 113

138
139

Anda mungkin juga menyukai