Dosen Pengampu:
Drs. Kayan Swastika, M. Si
Guruh Prasetyo, M. Pd
Disusun oleh :
Kelas A
Segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas
segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga penyusunan makalah yang berjudul
“Masa Keemasan Orde Baru (1976-1988)” ini dapat terselesaikan. Tidak lupa
ucapan terimakasih kepada Bapak Drs. Kayan Swastika, M. Si dan Bapak Guruh
Prasetyo, M. Pd sebagai Dosen mata kuliah Sejarah Indonesia IV.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
2.4.1 Keberhasilan Program Keluarga Berencana pada Masa Orde Baru
....................................................................................................................... 44
2.5 MASA KEEMASAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN ..................... 53
2.5.1 Pembangunan dalam Bidang Pendidikan ........................................ 53
BAB 3. PENUTUP............................................................................................... 55
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 55
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 56
4
BAB 1 PENDAHULUAN
Orde Baru adalah tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan Negara
Republik Indonesia yang diletakkan kepada kemurnian pelaksanaan Pancasila
dan UUD 1945. Orde Baru merupakan suatu reaksi dan koreksi prinsipil terhadap
praktik-praktik penyelewengan yang telah terjadi pada masa lampau, yang lazim
disebut zaman Orde Lama. Pengertian Orde Baru yang terpenting adalah suatu
Orde yang mempunyai sikap dan tekad mental dan itikad baik yang mendalam
untuk mengabdi kepada rakyat, mengabdi kepada kepentingan nasional yang
dilandasi falsafah Pancasila dan yang menjunjung tinggi azas dan Undang-
Undang Dasar 1945.1
Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak tahun 1966 – 1998, dengan adanya
Surat Perintah Sebelas Maret, yang kemudian disalahartikan sebagai surat
pemindahan kekuasaan. Pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto diangkat sebagai
presiden hal ini berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai
hasil pemilu ditetapkan pada tanggal 10 Maret 1983, beliau mendapat
penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.2
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali
pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992,dan tahun
1998. Antara pemerintahan Orde Baru dengan Orde Lama tidak jauh berbeda
sama- sama menggunakan sistem “ Political and Role Sharing dan Partnership
(hubungan kemitraan) antara sipil dan militer ”. Perbedaannya hanya terletak
pada dasar legitimasinya,3 terbukti bahwa presiden Soeharto memegang
kekuasaan Eksekutif sebagai hasil dari pemilihan MPRS dan MPR sejak tahun
1973. Kekuasaan Eksekutif yang kuat dan dominan dalam pemerintahan
1
Cuplikan Dari Pidato Pejabat Presiden Jendral Soeharto Kepada Sidang Kabinet
AMPERA tanggal 19 April 1967.
2
Ghalia Indonesia, Ketetapan-ketetapan MPR, 1983-1988, 1978-1983, Jakarta: 1986,
hlm. 43.
3
Legitimasi merupakan keterangan yg menunjukkan surat bukti diri atau surat identitas
seseorang; pernyataan yang diakui keabsahannya; pengesahan. ( Depdiknas, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm. 899 ).
5
Indonesia tertulis dalam UUD 1945 pasal 5, berbunyi bahwa Presiden memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat, dengan kata lain Presiden memegang kekuasaan Eksekutif dan Legislatif
sekaligus.4
1.2 Rumusan Masalah
1.1 Bagaimana keadaan ekonomi pada masa keemasan orde baru (1976-
1988)?
1.2 Bagaimana keadaan politik pada masa keemasan orde baru (1976-1988)?
1.3 Bagaimana Periode Mochtar Kusumaatmadja (1978-1988)?
1.4 Bagaimana masa keemasan dalam bidang Kesehatan pada masa orde baru?
1.5 Bagaimana masa keemasan dalam bidang Pendidikan pada masa orde
baru?
1.3 Tujuan
1.1 Untuk mengetahui keadaan ekonomi pada masa keemasan orde baru
(1976-1988)
1.2 Untuk mengetahui keadaan politik pada masa keemasan orde baru (1976-
1988)
1.3 Untuk mengetahui Periode Mochtar Kusumaatmadja (1978-1988)
1.4 Untuk mengetahui masa keemasan dalam bidang Kesehatan pada masa
orde baru
1.5 Untuk mengetahui masa keemasan dalam bidang Pendidikan pada masa
orde baru
1.4 Manfaat
4
Djiwandono, J Soedjati dan T.A Legowo, Revitalisasi Sistem Politik Indonesia,
Jakarta: CSIS, 1996, hlm. 34.
6
1.2 Untuk menambah bacaan para pembaca tentang keadaan politik pada masa
keemasan orde baru (1976-1988)
1.3 Untuk menambah pemahaman mengenai gerakan perempuan pada masa
orde baru (1976-1988) dan Periode Mochtar Kusumaatmadja (1978-1988)
1.4 Untuk menambah pengetahuan dan referensi mengenai masa keemasan
dalam bidang Kesehatan pada masa orde baru
1.5 Untuk menambah pemahaman mengenai masa keemasan dalam bidang
Pendidikan pada masa orde baru
7
BAB 2 PEMBAHASAN
8
tetap tinggi hingga 1982, terutama dipicu lagi oleh perang Irak Iran 1979. Pada
tahun 1981, Indonesia merupakan penghasil gas alam cair terbesar di dunia. Kaum
nasionalis ekonomi memanfaatkan renggangnya tingkat ketergantungan terhadap
donor luar sebagai alasan untuk menuntut lebih besarnya peranan peru sahaan
negara (BUMN), pemberdayaan usaha dalam negeri, dan pembatasan terhadap
perusahaan asing.
Krisis yang melilit Pertamina memerlukan waktu yang cukup lama untuk
diatasi. Pemerintah mempertahankan perusahaan Krakatau Steel milik Pertamina
dan pengembangan pulau Batam, meskipun hanya dalam skala yang lebih kecil.
Caltex dan Stanvac dituntut untuk menerima pengurangan keuntungan. Akhirnya,
krisis itu bisa diatasi. Kebetulan saja, krisis ini menghilangkan begitu banyak
likuiditas sehingga mengendalikan tekanan inflasi akibat kenaikan harga minyak.
Kalau pada tahun 1974 tingkat inflasi tahunan mencapai 41%, pada tahun-tahun
selanjutnya dalam dekade itu, tingkat inflasi hanya berkisar antara 10 sampai
20%-dianggap masih terlalu tinggi bagi sekalangan ekonomi.
9
liberalisasi dan deregulasi ini, pertumbuhan ekonomi yang tersendat-sendat pada
umumnya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat.
Pada akhir tahun 1960-an, kebijakan liberalisasi dan decontrol (yang pada
tahun 1980-an dikenal dengan istilah dèregulasi), telah mendorong pertumbuhan
ekonomi yang pesat. Setelah "boom" minyak bumi berakhir pada tahun 1980-an,
pemerintah meluncurkan lagi gelombang kedua kebijakan liberalisasi dan
deregulasi yang berhasil mendorong lonjakan lagi dalam pertumbuhan ekonomi
yang dipacu oleh pertumbuhan pesat dalam ekspor hasil-hasil industri manufaktur
yang berlangsung sampai Indonesia dilanda oleh krisis ekonomi Asia pada tahun
1997/1998.
Uraian mengenai kebijakan ekonomi yang telah ditempuh Orde Baru
selama 30 tahun dapat dibagi ke dalam tiga tahap yang masing-masing dicirikan
oleh tantangan ekonomi yang khusus. Kebijakan ekonomi itu ditempuh untuk
menanggulangi tantangan serta dampak kebijakan tersebut atas kinerja ekonomi.
Ketiga tahap tersebut adalah pertama, periode 1966-1973 berupa proses
stabilisasi, rehabilitasi, dan pemulihan ekonomi; kedua, periode 1974-1981 berupa
momentum "boom" minyak bumi, intervensi pemerintah yang lebih besar, dan
pertumbuhan ekonomi yang pesat; dan ketiga, periode 1983-1996 berupa era
pasca "boom" minyak bumi, deregulasi, dan pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Ekonomi
10
Indonesia mulai menerapkan kebijakan yang dapat menghapus atau mengurangi
berbagai rintangan atas perdagangan luar negeri dan investasi asing.
Hubungan yang lebih baik dengan negara-negara Barat dan Jepang juga
dianggap penting untuk memungkinkan penjadwalan pembayaran kembali utang
luar negeri yang besar yang ditinggalkan pemerintah Soekarno. Di samping itu,
hubungan baik ini juga dianggap penting untuk memperoleh bantuan luar negeri
untuk mendukung neraca pembayaran dan anggaran pemerintah, dan untuk
menarik investasi asing baru. Oleh karena senang dengan perubahan fundamental
dalam kebijakan luar negeri Indonesia, negara negara Barat dan Jepang serta
lembaga-lembaga bantuan internasional menanggapi dengan baik permohonan
pemerintah Indonesia akan penjadwalan pembayaran kembali utang luar
negerinya dan penerimaan bantuan luar negeri baru. Dalam hubungan ini, pada
tahun 1967. terbentuk konsorsium bantuan luar negeri, yaitu Inter-Governmental
Group on Indonesia (1663) yang diketuai oleh Belanda dengan anggotanya terdiri
atas Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan negara-negara donor lainnya.
Kebijakan ekonomi pemerintah Orde Baru sangat berbeda dengan kebijakan anti-
Barat Presiden Soekarno yang telah menyatakan "persetan dengan bantuan luar
negerimu" (go to hell with your aid) kepada Amerika Serikat pada awal tahun
1965.
11
turun, sedangkan peran sektor industri manufaktur dan jasa-jasa moderen sangat
meningkat.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat itu untuk sebagian besar dimungkinkan
oleh perbaikan berarti dalam nilai tukar internasional (international terms of
trade), yaitu nisbah (rasio) antara harga rata-rata barang-barang ekspor suatu
negara dan harga rata-rata barang-barang impor. Perbaikan dalam nilai tukar
internasional ini terjadi berkat kedua "boom" (lonjakan) dalam harga minyak
bumi di pasar internasional pada tahun 1970-an." Lonjakan pertama terjadi berkat
embargo dalam ekspor minyak bumi yang dilakukan negara-negara anggota
OPEC, khususnya negara-negara Arab, pada tahun 1973/1974 terhadap negara-
negara Barat yang mendukung Israel. Lonjakan kedua pada akhir tahun 1978
akibat terjadinya revolusi di Iran yang menggulingkan Shah Iran. Sebagai negara
pengekspor minyak bumi kedua terbesar setelah Arab Saudi, gejolak politik di
Iran untuk sementara menghentikan pasokan minyak bumi dari Iran, sehingga
terjadi lonjakan harga minyak bumi yang kedua selama tahun 1970-an. Berkat
krisis energi ini, harga minyak bumi Indonesia secara nominal meningkat dari
USS 1.67 per barrel pada tahun 1970 sampai US$ 35 per barrel pada tahun 1981.
Berkat kedua "boom" minyak bumi itu, baik penerimaan ekspor Indonesia
maupun penerimaan pemerintah dari pajak atas penghasilan perusahaan minyak
asing mengalami lonjakan yang tajam. Berkat "boom" minyak bumi ini kendala
atas neraca pembayaran internasional dan anggaran pemerintah yang telah
membatasi ruang gerak kebijakan ekonomi selama tahun 1950-an dan 1960-an
dapat banyak dilonggarkan.
Sayang sekali peluang baik yang dimungkinkan oleh "boom" minyak bumi
pertama tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya karena pemerintah Indonesia
terpaksa menyelamatkan Pertamina yang menghadapi kebangkrutan sewaktu
perusahaan negara ini tidak dapat mengembalikan kredit jangka pendek kepada
bank swasta Amerika. Seperti juga dengan berbagai pinjaman lain yang diperoleh
Pertamina, pinjaman-pinjaman ini digunakan untuk membiayai berbagai proyek
ambisius berskala besar, termasuk proyek pabrik baja yang besar, Krakatau Steel,
yang biayanya diperkirakan paling sedikit US$ 5,6 miliar. Sebelum
12
kebangkrutannya, Pertamina meluncurkan berbagai proyek besar ini saat di bawah
pimpinan Jenderal Ibnu Sutowo. Karena memiliki pimpinan yang memiliki posisi
kuat. Pertamina bisa bertindak bebas bagaikan "suatu negara dalam negara"."
Untuk menghindari kebangkrutan Pertamina, terpaksa pemerintah menggunakan
penghasilan dari "boom" minyak dalam jumlah yang cukup besar untuk
membayar kembali berbagai utang luar negeri perusahaan itu.
Berbeda dengan banyak negara pengekspor minyak bumi, Indonesia
berhasil menghindari dampak buruk dari "Penyakit Belanda" (Dutch Disease).
Dalam ilmu ekonomi, "Penyakit Belanda" sering dialami negara-negara yang
mengalami lonjakan ekspor suatu komoditi primer, seperti minyak bumi, yang
ternyata membawa dampak buruk (turunnya daya saing, kontraksi dalam produksi
dan kesempatan kerja) atas sektor-sektor lain yang juga menghasilkan barang-
barang yang dapat diperdagangkan (tradables) karena meningkatnya kurs devisa
(apresiasi riil) akibat derasnya penghasilan ekspor dari lonjakan ekspor (export
boom) komoditas primer tersebut.
"Boom" minyak bumi pertama tahun 1973/1974 memungkinkan
pembiayaan untuk pembangunan prasarana fisik. "Boom" minyak kedua pada
tahun 1978/1979 memungkinkan pembangunan banyak sekolah, terutama sekolah
dasar, dan penyediaan lapangan kerja bagi banyak guru sekolah dasar di seluruh
wilayah Indonesia. Penghasilan besar dari "boom" minyak bumi juga membuka
peluang bagi pemerintah untuk membiayai suatu sistem subsidi yang terbuka atau
turselubung untuk beberapa kegiatan dan sektor pertanian dan sektor industri
manufaktur yang kurang efisien. Meskipun campur tangan pemerintah sering
tidak efisien dan menimbulkan berbagai distorsi dalam ekonomi, korupsi, dan
penghasilan rente dari kegiatan yang tidak halal, berbagai subsidi untuk sektor
pertanian dan sektor industri manufaktur memungkinkan tetap dapat berjalan.
Dapat dikatakan "boom" minyak bumi tidak merugikan golongan miskin, seperti
yang terjadi di negara-negara pengekspor minyak bumi yang lain. Itu karena
industri-industri padat karya dapat tetap beroperasi, sedangkan inflasi dapat
dikendalikan."
13
2.1.5 Kebijakan Pertanian
14
dari produksi beras setelah tahun 1970, terutama di Jawa, untuk sebagian besar
disebabkan oleh pertumbuhan dalam produktivitas lahan.
Pertumbuhan pesat dari produksi berat juga menunjukkan bahwa program
intensifikasi beras yang telah dilaksanakan sungguh-sungguh oleh pemerintah
Orde Baru memperoleh hasil yang menggembirakan, seperti tercermin pada
kontribusi pertumbuhan produktivitas lahan pada pertumbuhan produksi beras
selama kurun waktu 1970-1990. Keberhasilan program intensifikasi beras juga
tercermin pada tercapainya swasembada beras pada tahun 1985. Keberhasilan
pemerintah Orde Baru dalam mencapai swasembada beras diakui oleh Badan PBB
untuk Pangan dan Pertanian (Food and Agricultural Organisation, FAO) yang
pada tahun itu memberikan piagam penghargaan kepada Presiden Soeharto.
15
proteksi dengan tarif hea masuk yang tinggi dan proteksi kuota, yakni pembatasan
jumlah barang yang boleh diimpor. Lebih dari itu kadang-kadang dengan
melakukan larangan total atas impor barang yang sudah dibuat atau dirakit di
Indonesia seperti kendaraan bermotor, alat-alat listrik, dan elektronik seperti
pesawal televisi.
Pada akhir tahun 1970-an, Ir. A.R. Soehoed, menteri perindustrian selama
kurun waktu 1978-1983, meluncurkan program industrialisasi tahap kedua
berskala besar yang dikendalikan oleh negara. Program substitusi impor tahap
kedua ini bertujuan untuk mendirikan berbagai industri hulu (upstream industries),
khususnya industri dasar yang mengolah bahan mentah Indonesia menjadi bahan
baku untuk industri hilir (downstream industries). Program industrialisasi ini
bertujuan untuk mendirikan 52 proyek industri dasar. Menurut rencana, proyek
industri dasar ini akan didanai dan dijalankan oleh pemerintah, karena disangsikan
bahwa sektor swasta berminat pada proyek-proyek ini. Hal ini disebabkan oleh
proyek-proyek industri dasar skala besar dan padat modal ini memerlukan banyak
dana, penuh resiko, dan tenggang waktu yang lama, artinya jangka waktu yang
diperlukan sebelum proyek ini menghasilkan laba, panjang sekali. Beberapa
ekonom, baik ekonom Indonesia maupun asing, meragukan manfaat ekonomi dari
rencana "pendalaman struktur industri". Itu karena kurang mempertimbangkan
faktor efisiensi dan kemampuan ekspor proyek industri dasar ini. Keprihatinan
mereka didasarkan atas perkiraan bahwa kerugian potensial pada ekonomi
nasional akan sangat besar. Oleh karena itu, investasi besar dalam industri dasar
ini harus diproteksi, sedangkan biaya dari industri hilir akan meningkat sekali jika
mereka diwajibkan untuk membeli masukan (input) buatan lokal yang lebih mahal
ketimbang masukan impor.
2.1.7 Periode 1983-1996: Era Pasca "Boom" Minyak Bumi, Deregulasi, Dan
Pertumbuhan Ekonomi Yang Pesat
Pada tahun 1982, harga minyak bumi mulai turun karena melemahnya
pasar minya! bumi internasional akibat resesi di negara-negara industri maju.
Karena harga minyak turun dengan tajam, nilai tukar internasional (international
16
terms of trade) Indonesia merosot sekali, yang membawa tekanan besar pada
neraca pembayaran internasional Indonesia. Lagi pula, selama era "boom" minyak
bumi, sebagian besar dari penerimaan pemerintah diperoleh dari pajak tinggi atas
laba perusahaan minyak asing. Setelah era "boom" minyak bumi berakhir dan
penerimaan pemerintah dari pajak atas perusahaan minyak merosot, maka dana
pemerintah untuk berbagai proyek pembangunan sangat berkurang.
Perkembangan internasional lainnya yang mempunyai dampak negatif atas
ekonomi Indonesia adalah perubahan dalam kurs berbagai mata uang asing pada
tahun 1985 yang telah disetujui di Plaza Accord, New York. Hasil Plaza Accord
ini adalah devaluasi tajam dari dollar AS terhadap yen Jepang dan mark Jerman.
Karena 40% dari utang luar negeri Indonesia dinyatakan dalam yen Jepang,
sedangkan penerimaan ekspor adalah dalam dollar AS, maka apresiasi yen yaitu
kenaikan dalam kurs devisa yen terhadap dollar AS sangat memberatkan
Indonesia." Itu berarti Indonesia harus mengeluarkan lebih banyak dollar AS
untuk melunasi utang luar negeri yang dinyatakan dalam yen. Lagipula, beban
pembayaran kembali utang luar negeri, yang diperoleh selama 15 tahun
sebelumnya, juga meningkat karena jatuh temponya banyak utang luar negeri ini."
Perkembangan yang kurang menguntungkan ini mendorong pemerintah untuk
memikirkan perubahan dalam strategi pembangunan yang mengurangi
keterlibatan dan campur tangan langsung pemerintah dalam kehidupan ekonomi
dan mendorong perkembangan sektor swasta yang lebih efisien yang dapat
menggantikan peran pemerintah sebagai motor penggerak ekonomi Indonesia.
Selama beberapa tahun sesudah berakimya era "boom” minyak bumi,
pemerintan Indonesia agak ragu-ragu dalam memberikan respons yang tepat atas
merosotnya penerimaan ekspor minyak bumi dan penerimaan pemerintah dari
pajak atas laba perusahaan perusahaan minyak Meskipun demikian, pemerintah
cepat sekali berupaya untuk memulihkan stabilitas makroekonomi dengan
mengadakan berbagai pongheratan dalam pengeluaran-pangawaran yang tidak
terlampau penting, menunda atau membatalkan berbagai proyek pembangunan
berskala besar, dan mendevaluasi rupiah pada bulan Maret 1983. Di samping itu,
juga diperkenalkan pembaruan dalam bidang perbankan, termasuk dalam hal suku
17
bunga yang diserahkan pada mekanisme pasar, perpajakan untuk mendorong
penerimaan pajak nonmigas, dan kepabeanan." Berkat berbagai langkah untuk
memulihkan stabilitas makroekonomi, maka pada tahun 1985/1986 stabilitas
makroekonomi dapat dipulihkan. Laju inflasi turun hingga di bawah 5% setahun,
sehingga ekonomi Indonesia dapat tumbuh dengan pesat lagi.
Di sisi lain, kebijakan industri yang bertujuan untuk mewujudkan
"pendalaman struktur industri", yang telah dikembangkan sejak akhir tahun 1970-
an, masih tetap diberikan prioritas tinggi. Malahan rintangan nontarif dalam
perdagangan, dalam bentuk rintangan kuantitatif atas impor berbagai barang,
bertambah banyak sehingga memperparah masalah-masalah biaya tinggi (high
cost) dan inefisiensi yang dihadapi sektor industri manufaktur. Keadaan ini jelas
tidak dapat mendorong pertumbuhan ekspor nonmigas, khususnya ekspor hasil-
hasil industri manufaktur, yang lebih pesat.
Pemerintah baru mengambil tindakan yang lebih nyata untuk menggeser
pola industrialisasi substitusi impor ke pola industrialisasi berorientasi ekspor
untuk mendorong pertumbuhan ekspor nonmigas pada tahun 1986 setelah harga
minyak bumi di pasar internasional jatuh dengan lebih tajam ketimbang pada
tahun 1982. Pada bulan Mei 1988, pemerintah mengeluarkan suatu paket
kebijakan yang bertujuan untuk mempermudah perusahaan manufaktur yang
berorientasi ekspor, dengan ketentuan paling sedikit 85% dari produksi.
Persentase ini kemudian diturunkan menjadi 65% untuk membeli masukan
(inputs) yang diimpor pada harga dunia atau harga internasional. Perusahaan yang
berorientasi ekspor malahan diizinkan untuk langsung mengimpor masukan yang
mereka perlukan untuk produksi barang. Dengan demikian, perusahaan ini tidak
perlu lagi mengimpor masukan melalui para importir yang terdaftar, sehingga
dengan cara ini mereka dapat menekan biaya. Skim pembebasan dan atau
pembayaran kembali bea masuk yang telah dibayar untuk mengimpor masukan
(duty exemption and drawback scheme) ini tidak dioperasikan oleh Departemen
Perdagangan, melainkan oleh Departemen Keuangan. Hal ini ditafsirkan sebagai
kemenangan besar bagi para penganut deregulasi dalam kebijakan ekonomi.
18
Paket Mei 1986 juga memuat langkah deregulasi dalam bidang investasi
asing langsung (foreign direct investment, FDI), yang menghapus berbagai
rintangan, yang sebelumnya telah menghambat dan mengatur investasi asing.
Dengan langkah deregulasi berturut-turut dalam bidang investasi asing langsung
dan kebijakan perdagangan, maka iktim usaha bagi para investor asing maupun
investor domestik bertambah baik. Menyusul paket deregulasi tersebut, pada
bulan September 1986 diikuti oleh devaluasi rupiah yang besar, terutama
bertujuan untuk memperbaiki daya saing barang-barang ekspor Indonesia. Selain
itu, untuk mendorong para produsen yang berorientasi pasar domestik untuk
mengekspor. Sementara itu, program deregulasi dilanjutkan dengan paket
Desember 1987. Tujuannya untuk semakin mengurangi rintangan kuantitatif
terhadap impor, menghapus lisensi ekspor, dan rintangan lain bagi produksi untuk
ekspor, memperbaiki insentif untuk para investor asing, dan menghidupkan lagi
bursa efek. Program deregulasi ini kemudian dilanjutkan dengan program
deregulast perbankan pada bulan Oktober 1988 (Pakto 1988), yang diikuti oleh
pembaruan sistem finansial lain selama kurun waktu 1989-1991.
Seperangkat paket deregulasi tersebut sangat berhasil dalam meningkatkan
daya saing sektor nonmigas yang menghasilkan barang dan jasa yang dapat
diperdagangkan, antara lain pertanian, industri manufaktur, dan pariwisata
sehingga ketergantungan ekonomi Indonesia pada sektor migas berkurang.
Pemerintah Indonesia juga berhasil mengendalikan tekanan inflasi yang timbul
setelah dua kali devaluasi pada 1983 dan 1986, sehingga mengakibatkan
penurunan dalam kurs devisa efektif riil rupiah. Pembaruan kebijakan
perdagangan itu merupakan faktor yang penting untuk mendorong pertumbuhan
pesat dalam ekspor nonmigas," khususnya ekspor hasil industri.
Seperangkat kebijakan deregulasi ini juga berhasil mendorong
pertumbuhan ekonomi yang pesat, terutama yang digerakkan oleh pertumbuhan
ekspor nonmigas, khususnya ekspor hasil industri dan manufaktur. Sejak
pertengahan tahun 1980-an, pengaruh para teknokrat ekonomi atas kebijakan
ekonomi lambat laun mulai berkurang. Berkurangnya pengaruh para teknokrat
ekonomi sebenarnya mulai sewaktu Widjojo, teknokrat yang paling dipercayai
19
Presiden Soeharto, mengundurkan diri dari pemerintah pada tahun 1983.
Teknokrat ekonomi yang lebih muda yang menggantikan Widjojo dan rekan-
rekannya, meskipun piawai dalam bidang mereka, tidak mempunyai hubungan
yang sama eratnya dengan Presiden Soeharto seperti yang dialami Profesor
Widjojo.
Faktor lainnya yang menggerogoti pengaruh para teknokrat ekonomi
adalah munculnya golongan "teknolog" di bawah pimpinan kuat B.J. Habibie,
menteri negara untuk riset dan teknologi, yang sangat dekat dengan Presiden
Soeharto. Menurut Habibie, strategi pembangunan yang didasarkan atas
keunggulan komparatif, yang ditekankan para ekonom, sudah usang dan perlu
diganti dengan strategi yang menekankan pembangunan sumber daya manusia
yang diperlukan untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih.
Dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dikembangkan industri
modern yang padat keterampilan dan teknologi tinggi, seperti industri pesawat
terbang.
Upaya Habibie untuk mengembangkan berbagai "industri strategis",
termasuk industri pesawat terbang, industri kapal, dan industri baja, mendapat
dukungan kuat dari Presiden Soeharto. Meskipun para teknokrat ekonomi
menentang "industri-industri teknologi tinggi" yang menurut mereka tidak
ekonomis dan terlampau mahal bagi Indonesia, pandangan mereka tidak
dihiraukan Soeharto.
Faktor lain yang turut menggerogoti pengaruh para teknokrat atas
kebijakan ekonomi adalah munculnya berbagai perusahaan yang dimiliki dan
dikuasai "putera-puteri presiden" yang menuntut berbagai perlakuan preferensial
dari pemerintah, seperti kredit murah dari bank pemerintah, proteksi, subsidi
pemerintah, dan perlakuan bebas pajak. Perlakuan preferensial dari pemerintah itu
berlaku dalam hal tender dan kedudukan monopoli dalam kegiatan-kegiatan
tempat perusahaan-perusahaan ini bergerak. Meskipun para teknokrat ekonomi
tidak setuju dengan proyek-proyek yang mahal dan kebanyakan tidak efisien itu,
dalam konteks politik otoriter, mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali
20
berusaha untuk mengurangi dampak buruk dari kebijakan yang tidak rasional
ditinjau dari segi ekonomi.
Kemerosotan dalam disiplin ekonomi, yang sejak awal Orde Baru telah
ditegakkan para teknokrat ekonomi, tercermin pada membengkaknya pengeluaran
off-budget untuk berbagai pengeluaran, seperti subsidi bagi "industri strategis"
dan perusahaan perusahaan "putera-puteri presiden" dan kroninya. Hal ini sarat
dengan korupsi yang akhirnya tidak dapat dikendalikan lagi oleh Departemen
Keuangan. Di samping itu, berbagai rintangan yang didirikan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah terhadap persaingan domestik dan perdagangan domestik,
hanya terdorong untuk meraup rente dari "kegiatan pemburuan rente" (rent-
seeking activities) yang tidak produktif dan hanya mengurangi efisiensi dan
ketahanan ekonomi nasional.
Banyak pemimpin di negara-negara berkembang, seperti Lee Kuan Yew di
Singapura dan Presiden Soeharto di Indonesia, berpendapat bahwa kebebasan
politik adalah suatu kemewahan bagi negara-negara mereka karena dapat
menghalangi pertumbuhan ekonomi yang pesat yang diperlukan untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk. Akan tetapi, pengalaman Indonesia
selama 32 tahun di bawah pemerintah Orde Baru menunjukkan bahwa peran
penting dari demokrasi dan kebebasan politik tidak dapat dinafikan. Sewaktu
Indonesia, seperti juga negara-negara Asia Tenggara, dilanda krisis finansial dan
ekonomi pada tahun 1997/1998, ketiadaan peran protektif dari demokrasi dalam
menanggulangi krisis ekonomi, seperti yang dinyatakan Amartya Sen (pemenang
hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi) ternyata benar.
Tanpa tekanan dari masyarakat luas, Presiden Soeharto tidak mampu atau
tidak bersedia mengambil langkah yang diperlukan. Seharusnya ia mengambil
tindakan untuk menghapus perlakuan preferensial bagi bisnis anak-anaknya dan
kroni-kroninya untuk menanggulangi krisis ekonomi. Ia juga seharusnya
melaksanakan berbagai pembaruan struktural yang telah ia sepakati dengan IMF,
sebagai permintaan pemerintah Indonesia untuk menanggulang: krisis. Dalam
kondisi politik yang represif, tidak ada orang yang berani menasihati Soeharto
untuk menelan "obat pahit" yang telah dianjurkan IMF. Perselisihan yang
21
berkepanjangan antara Soeharto dan IMF akhirnya menggerogoti kepercayaan
pasar dan mendorong lebih banyak modal melarikan diri dari Indonesia.
Ketidakmampuan Presiden Soeharto untuk mengatasi krisis ekonomi yang
gawat ini kemudian meluas menjadi krisis politik yang gawat. Ini semua akhirnya
memaksa Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri sebagai presiden pada 21
Mei 1998. Akan tetapi, transisi ke sistem politik yang lebih demokratis sesudah
jatuhnya Soeharto berjalan tersendat-sendat, sehingga menghambat upaya
pemulihan ekonomi yang berjalan lebih lambat ketimbang Thailand dan Korea
Selatan, dua negara Asia Timur lainnya yang paling terpuruk akibat krisis
ekonomi Asia.
22
2.2 MASA KEEMASAN ORBA DI BIDANG POLITIK
Perkembangan politik di Indonesia sebagai bagian dari kehidupan sosial
politik secara umum mengalami pasang surut. Kemerdekaan Republik Indonesia
pada 17 Agustus 1945 menjadi modal awal terbentuknya sistem politik, yaitu
pemerintahan yang sah dan menjalankan roda kepemimpinan dalam suatu sistem
kenegaraan. Pada awal kemerdekaan, situasi politik Indonesia masih mencari
bentuk, ditandai dengan berbagai perubahan yang dibuat oleh pemerintah di
bawah kepemimpinan Soekarno dan Hatta. Pembentukan sifat politik ini
menghadirkan era kepemimpinan politik yang khas di masa-masa kepemimpinan
yang berbeda. Berakhirnya kepemimpinan Orde Lama dari pemerintahan presiden
Soekarno kepada penggantinya presiden Soeharto yang membuat perubahan
dalam tatanan berpolitik dan pengelolaan pemerintahan di Indonesia sehingga
disebut sebagai era Orde Baru. Di awal pemerintahan Soeharto mencanangkan
program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang berkesinambungan
dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing
society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.
Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional
dalam politik dalam negeri, dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu
diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam
konsensus nasional, yaitu: Pertama, berwujud kebulatan tekad pemerintah dan
masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama. Kedua,
konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Konsensus kedua
lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat. Berdasarkan
semangat konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan
tekanantekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas
dengan penyaringan partai politik pada penyederhanaan jumlah partai politik
dalam pelaksanaan pemilu.
Adapun dalam politik luar negeri, Indonesia kembali menjadi anggota
PBB dan mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia. Karena pada masa Orde
Lama, presiden Soekarno memiliki keberanian untuk menolak kebijakan Barat
23
dan mengambil posisi yang berseberangan dengan negara Barat dalam konteks
tertentu dan justru mengadakan hubungan dekat dengan negara Komunis hingga
membentuk Poros Jakarta-Peking-Pyongyang. Sedangkan pada masa Orde Baru,
kebijakan luar negeri Indonesia dibawah presiden Soeharto lebih lunak
dibandingkan dengan pendahulunya. Soeharto menerapkan kebijakan yang lebih
pro Barat atas nama pembangunan nasional. Soeharto juga mengubah kebijakan
yang keras terhadap negara-negara dikawasan menjadi kebijakan yang lebih
“bersahabat” dan mencoba mengambil kepercayaan dari negara-negara di
kawasan dan internasional dengan meyakinkan mereka melalui pembentukan
ASEAN dan masuknya kembali Indonesia ke PBB. Pada tahun 1966 merupakan
transisi masa Orde Lama ke Orde Baru, hal itu ditandai dengan adanya pergesaran
pusat perhatian pemerintah yang pada awalnya terfokuskan pada pembangunan
bangsa ke pembangunan perekonomian. Namun demikian, pemerintah pada masa
kepemimpinan Soeharto juga menyadari pentingnya keberadaan stabilitas politik
sebagai suatu kondisi penting bagi terlaksananya pembangunan ekonomi. Oleh
karena itu, muncul perhatian yang serius untuk menata kembali sistem politik
Indonesia untuk menunjang kegiatan pembangunan ekonomi Indonesia. Proses
penataan ini semakin mendesak dilakukan ketika prioritas pembangunan ekonomi
berorientasi pada pertumbuhan, dimana juga mengintegrasikan diri dalam sistem
ekonomi internasional yang bercorak kapitalis.
Gen X (1970-1980), Gen XX (1980-1990) dan Gen XXX (1990-2000)
adalah generasi yang lahir dan tumbuh menjadi dewasa pada masa Orde Baru,
yang mana saat kepemimpinan Soeharto ini Negara Indonesia mengalami banyak
perubahan hingga berakhirnya rezim pemerintahannya tahun 1998, saat terjadi
krisis ekonomi. Pemerintahan politik di masa Orde Baru dijalani berdasarkan asas
Pancasila guna mengatur seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
melaksanakan pembangunan nasional, yaitu dengan menata kehidupan politik
warganegara melalui penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) dan pembangunan pada bidang ekonomi yang bercorak kapitalis, sosial
dan budaya melalui program Repelita. Awalnya, realisasi pengamalan Pancasila
mampu diterima masyarakat (pemerintah menetapkan warganegara wajib
24
mengikuti Penataran P-4) sebagai "kiblat" pemerintahan politik yang dijalankan
Soeharto. Namun, seiring masa jabatan presiden yang berkuasa selama tiga
dekade (12 Maret 1967 sampai dengan 21 Mei 1998) telah berubah sebagai alat
pemaksaan kehendak, yang mengubah sistem pemerintahan menjadi otoriter.
Kehidupan politik yang diharapkan mengalami perkembangan setelah runtuhnya
rezim Soekarno ternyata hanya jadi retorika semata. Posisi politik lembaga
legislatif yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan, malah menjadi
tameng dari pemerintah yang dibangun secara over sentralistik. Rotasi kekuasaan
politik tak pernah terjadi hingga 32 tahun lamanya Orde Baru berkuasa. Pemilu
hanya dijadikan rutinitas lima tahunan yang pemenangnya sudah bisa ditebak.
Pemilu selama Orde Baru menjadi tidak demokratis, yang mana dominannya
peran pemerintah dan sebaliknya amat minimnya keterlibatan masyarakat, serta
adanya politik monoloyalitas memilih partai pemerintah (Partai Golkar) yang
diatur Kementerian Dalam negeri kepada semua pegawai negeri. Partai Golkar
menjadi kendaraan politik yang ampuh digunakan oleh Soeharto untuk
mengamankan setiap keputusan politik pemerintahannya di DPR, sehingga hak-
hak dasar warganegara dibatasi. Bahkan dengan menggunakan kekuatan militer
(ABRI) menekan masyarakat yang melakukan perlawanan atas kepemimpinannya
yang menjadi otoriter ataupun mengkritik rezimnya yang membuat korupsi
semakin marak. Disamping itu kehidupan demokrasi menjadi dikekang, karena
segala bentuk media juga dikontrol/diawasi oleh pemerintah lewat Departemen
Penerangan.
2.2.1 Demokrasi Di Masa Orde Baru
Setelah kekuasaan rezim Orde Lama yang kurang lebih selama 20 tahun
berkuasa berakhir, kemudian lahirlah Orde Baru di penghujung tahun 1960-an,
yang menumbuhkan harapan-harapan akan perbaikan keadaan sosial, ekonomi
dan politik. Dalam kerangka ini, banyak kalangan berharap akan terjadinya
akselerasi pembangunan politik ke arah demokratisasi. Salah satu harapan
dominan yang berkembang saat itu adalah bergesernya power relationship antara
negara dan masyarakat. Diharapkan kekuatan politik masyarakat meningkat dan
25
memperoleh tempat yang proporsional dalam proses politik dan pemerintahan,
terutama dalam rangka formulasi kebijakan-kebijakan politik baru. Sebaliknya
akumulasi dan sentralisasi kekuasaan yang selama Orde Lama begitu jelas
terkonstruksikan, diharapkan segera berganti dengan pluralisme kekuasaan.
Dalam keadaan semacam itu, demokratisasi diharapkan tumbuh dan terwujud,
tidak sekedar menjadi retorika politik pemerintah Orde Baru yang sedang
menumbuhkan dirinya itu.
Harapan akan tumbuhnya demokrasi di awal Orde Baru dimiliki tidak saja
oleh kalangan elit politik yang merasa memperoleh peluang politik baru, namun
juga dimiliki oleh berbagai kalangan lain secara luas. Studi Francois Raillon
menunjukkan bahwa para mahasiswa di kampus-kampus pada saat itu memiliki
harapan besar terhadap tumbuhnya suasana politik baru yang lebih segar dan
demokratis (Raillon 1985:163). Harapan akan tumbuhnya demokrasi tersebut
adalah harapan yang memiliki dasar-dasar argumentasi empirik yang memadai,
antara lain menyangkut tiga hal berikut ini. Pertama, berbeda dengan Demokrasi
Terpimpin-nya Soekarno yang lahir sebagai produk rekayasa elit, Orde Baru
dilahirkan oleh gerakan massa yang mengalirkan arus keinginan dari bawah. Latar
belakang ini menjadi dasar yang kuat bagi terjadinya pembesaran pluralisme dan
penumbuhan demokrasi, mengingat sebagai sebuah pemerintahan yang tumbuh
dari bawah Orde Baru seyogyanya memberikan tempat bagi aktualisasi politik
masyarakat.
Kedua, rekrutmen elit politik di tingkat nasional yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru pada saat pembentukannya memperlihatkan adanya
kesejajaran dengan gagasan Daniel Bell yang sangat popular saat itu. Dia,
sebagaimana dikutip oleh Mochtar Mas’oed, menyebut bahwa formulasi
kebijakankebijakan politik tidak lagi diserahkan pada peran politisi dan ideolog,
melainkan kepada para teknokrat (Mas’oed 1989:136). Perluasan dan reorientasi
dalam rekrutmen politik yang mengintegrasikan kalangan teknokrat ke dalam
struktur kekuasaan ini dianggap mengindikasikan akan terjadinya suatu reorientasi
politik dikalangan penguasa sejalan dengan komitmen para teknokrat yang waktu
itu dikenal egaliter dan demokratis. Terintegrasinya kelompok teknokrat ke dalam
26
struktur kekuasaan diharapkan akan memberikan pengaruh kepada kinerja negara
dalam hal ini Orde Baru dan kebijakan-kebijakannya sehingga lebih
mementingkan proses politik yang bottom up dan lebih berorientasi kepada
publik.
Ketiga, sejalan dengan kedua dasar empirik di atas, masa awal Orde Baru
ditandai oleh terjadinya perubahan besar dalam perimbangan politik di dalam
negara dan masyarakat. Tiga pusat kekuasaan Orde Lama, yaitu Presiden, militer
(khususnya Angkatan Darat) dan PKI, digeser oleh pusat-pusat kekuasaan baru
yaitu militer dan teknokrasi dan birokrasi. Kekuatan-kekuatan politik
kemasyarakatan yang selama masa Orde Lama terhambat aktualisasinya juga
muncul kembali ke permukaan. Sekalipun militer menjadi pilar utama kekuasaan,
namun kekuatankekuatan egaliter juga tumbuh saat itu, yang kemudian dikenal
sebagai “bulan madu” yang singkat antara negara dengan kekuatan-kekuatan
kemasyarakatan Orde Baru.
Ketiga dasar empirik di atas sekalipun masih bersifat tentatif, namun
dalam masa itu amatlah memadai untuk menjadi alasan tumbuhnya harapan
demokratisasi. Wajah demokrasi Orde Baru mengalami pasang surut sejalan
dengan tingkat perkembangan ekonomi, politik dan ideologi sesaat atau temporer.
Tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru ditandai oleh adanya kebebasan
politik yang besar, yang oleh Mochtar Loebis disebut sebagai “musim semi
kebebasan” (Kompas, 8 Maret 1992). Dalam masa yang tidak lebih dari tiga tahun
ini kekuasaan-kekuasaan seolah-olah akan didistribusikan kepada kekuatan
kemasyarakatan. Oleh karena itu, pada kalangan elit perkotaan dan organisasi
sosial politik yang siap menyambut Pemilu 1971, tumbuh gairah besar untuk
berpartisipasi mendukung programprogram pembaharuan pemerintahan baru
(Raillon 1985).
Namun prototipe demokrasi itu segera mengabur ketika bulan madu
negara– masyarakat juga mulai menghambar dan berakhir. Titik tolaknya adalah
kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971 dengan memperoleh suara mayoritas
62,8% (Liddle 1992:31). Pemerintahan Orde Baru yang ditulangpunggungi militer
memperoleh legitimasi politik konkret melalui kemenangan ini, dan segera
27
melakukan berbagai regulasi ekonomi dan politik secara ketat. Pada saat inilah
kesenjangan antara negara dan masyarakat mulai terbentuk, yang ditandai dengan
maraknya gelombang demonstrasi dan protes terhadap kinerja Orde Baru dan
kebijakannya, dan berpuncak pada terjaadinya Malapetaka Lima Belas Januari
(Malari). Para analis politik melihat kecenderungan pengetatan regulasi ekonomi
dan politik yang dilakukan Orde Baru tersebut dibentuk oleh adanya kebutuhan
jangka pendek untuk keluar dari krisis ekonomi dan politik warisan Orde Lama,
serta oleh kebutuhan jangka panjang untuk menciptakan pemerintahan yang kuat
dan berkemampuan menjalankan pembangunan yang sukses. Kebutuhan ini
kemudian diterjemahkan oleh Orde Baru dengan lebih mengembangkan model
rekayasa politik dari pada model partisipatif (Mas’oed 1989).
Perkembangan yang terlihat kemudian adalah semakin lebarnya
kesenjangan antara negara dan masyarakat. Orde Baru mewujudkan dirinya
sebagai kekuatan yang kuat dan relatif otonom, sementara masyarakat semakin
teralienasi dari lingkaran kekuasaan dan proses formulasi kebijakan. Keadaan ini
adalah hasil akumulasi dari berbagai faktor, antara lain:
a) kemenangan demi kemenangan mutlak Golkar dalam Pemilu yang
memberi legitimasi politik yang makin kuat kepada negara;
b) dijalankannya regulasi-regulasi politik semacam birokratisasi,
depolitisasi dan institusionalisasi;
c) dipakainya pendekatan keamanan;
d) intervensi negara terhadap perekonomian dan pasar yang memberikan
keleluasaan kepada negara untuk mengakumulasikan modal dan
kekuatan ekonomi;
e) tersedianya sumber pembiayaan pembangunan baik dari eksploitasi
minyak bumi dan gas serta dari komoditas non-migas dan pajak
domestik, maupun yang berasal dari bantuan luar negeri;
f) sukses Orde Baru dalam menjalankan kebijakan pemenuhan kebutuhan
pokok rakyat sehingga menyumbat gejolak masyarakat yang potensial
muncul karena sebab struktural (Fatah 2000:24).
28
Masalah yang kemudian muncul adalah Orde Baru sukses dalam memacu
pertumbuhan ekonomi dan pemeliharaan stabilitas, namun sebagai biaya
sosialnya, pemerataan dan pembangunan demokrasi tidak berhasil dicapai secara
mengesankan. Kesenjangan distribusi kekuasaan mengkonstruksikan sebuah
keadaan yang berbeda dengan harapan yang tumbuh pada awal kelahiran Orde
Baru. Namun dalam perkembangan politik selanjutnya, terutama sejak akhir tahun
1980-an dapat kita amati, harapan terhadap tumbuhnya demokrasi kembali
muncul ke permukaan sebagai sebuah kecenderungan umum. Harapan ini
tampaknya dimekarkan oleh beberapa faktor berikut ini (Fatah 2000).
Pertama, terjadinya perbaikan struktur sosial-ekonomi masyarakat sebagai
hasil konkret pembangunan Orde Baru dalam kerangka stabilitas. Dalam kerangka
ini, muncul kantong-kantong kritisme baru ditengah masyarakat, terutama yang
terbentuk oleh komunitas kelas menengah yang makin menguat secara ekonomi,
sekalipun tidak demikian secara politik. Kedua, pembangunan Orde Baru yang
menghasilkan disparitas ekonomi dan politik, secara ironis berperan pula
menumbuhkan kesadaran baru pada masyarakat bawah yang termarjinalisasi oleh
proses pembangunan beserta hasilnya. Akibatnya, dari komunitas ini juga muncul
kantong-kantong kritisme baru, sekalipun kekuatan politiknya belum terlalu
signifikan. Ketiga, adanya perimbangan dan komposisi baru dalam tataran elit
politik negara, potensial menyegarkan pendekatan negara terhadap masyarakat
dan kantong-kantong oposisi di dalamnya. Dalam kerangka ini kita bisa
memahami adanya sikap-sikap negara yang lebih akomodatif. Keempat,
pembangunan beserta transformasi struktural dibidang sosial dan ekonomi telah
pula berperan dalam melakukan pendewasaan budaya politik dalam tataran negara
dan masyarakat. Gejala ini terutama ditandai oleh terjadinya peningkatan
keberanian masyarakat dalam melakukan penilaian terhadap kinerja negara dan
kebijakannya. Jika hal ini berjalan konsisten, maka ia potensial mendorong
pergeseran persepsi masyarakat tentang kekuasaan dan negara kearah persepsi
yang lebih obyektif dan rasional. Kelima, terjadinya perubahan-perubahan besar
dalam politik internasional pada gilirannya ikut membantu mendesakkan agenda
29
demokratisasi bagi masyarakat-masyarakat domestik, termasuk Indonesia (Fatah
2000).
2.2.2 Stabilitas Partai Politik Pada Masa orde Baru
30
Darat dan militer secara umum muncul sebagai kekuatan politik utama. Sepanjang
sejarah politik Orde Baru, kita dapat mengidentifikasikan adanya dua pola
distribusi kekuasaan yang berbeda. Pola pertama terbentuk pada masa konsolidasi
awal Orde Baru, pada saat Presiden belum muncul sebagai kekuatan politik
mandiri dan masih terkolektifikasi di dalam Angkatan Darat atau militer. Pola
kedua segera terbentuk setelah Golongan Karya (Golkar) memenangkan dua kali
Pemilu sehingga penguasa Orde Baru memiliki legitimasi politik yang konkret
dan kokoh. Pada ploa kedua, Presiden perlahan namun pasti mencuat sebagai
kekuatan politik yang mandiri, dan akhirnya menjadi pusat kekuasaan.
Baik pada pola pertama terlebih lagi pada pola kedua, Presiden
memainkan peranannya dengan pemilikan kekuasaan yang besar. Dalam keadaan
ini praktis tidak tersedia kontrol politik yang efektif terhadap Presiden, baik dari
dalam lingkaran kekuasaan negara maupun dari luar. Ketidakefektifan kontrol ini
terjadi baik dari lembaga formal, yaitu legislatif, maupun yang datang dari
kelompok-kelompok oposisi. Pada saat yang sama, lembaga yudikatifpun praktis
tidak memainkan peranan kontrol yang substansial, mengingat keterbatasan-
keterbatasan struktural yang dimilikinya.
2.2.3 Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik.
31
dirinya kedalam kelompok spiritual material, mereka lebih senang
mengelompokkan dirinya dengan kelompok Nasionalis (Radi, 1984:76). Dengan
munculnya ide penyederhanaan jumlah partai, kondisi stabilitas politik amat
kondusif untuk terjadinya perpecahan nasional.
Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada
tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-
partai politik. Pada tanggal 8 Desember 1967, RUU diterima baik oleh parlemen
dan pemilihan umum Orde Baru yang akan diselenggarakan pada tahun 1971.
Sementara itu peranan golongan militer pada masa Orde Baru semakin bertambah
kuat sehingga melahirkan sebuah rezim yang otoriter. Sedangkan usaha untuk
melakukan penyederhanaan partai politik dilanjutkan. Dihadapan pimpinan dari
sepuluh partai politik (termasuk Golkar), Presiden Soeharto mengemukakan
sarannya agar: “partai mengelompokkan diri untuk mempermudah kampanye
pemilihan umum tanpa harus kehilangan identitasnya masing-masing, atau
dibubarkan sama sekali”. Pada tanggal 20 Februari 1968 sebagai langkah
peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum
tersalurkan aspirasinya maka didirikanlah Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI)
dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al- Wasliyah,
HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM. Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi
pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan
yang terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian
tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri
atas NU, PARMUSI, PSII dan Perti. Serta ada suatu kelompok fungsional yang
dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut
Golongan Karya (Maf‘ul, 2010:81).
Pemilihan umum pertama masa Orde Baru tahun 1971 dirancang untuk
mencapai tujuan ganda: memformalkan sistem politik pada setiap tingkat
didominasi oleh birokrasi, dengan Presiden Soeharto dan Angkatan Bersenjata
memegang kendali kekuasaan tetapi berbagi dengan pejabat sipil. Pasca pemilu
1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian hal
tersebut dilakukan karena partai politik selalu menjadi sumber yang menganggu
32
stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap
membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya
kedalam golongan nasional, spiritual dan karya. Pada tahun 1973 konsep
penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima oleh partai-partai yang
ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik
dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama
pemerintahan Orde Baru yaitu pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997
(Maf‘ul, 2010:79).
Memasuki tahun 1973 usaha membina stabilitasi politik berhasil dicapai
karena partai-partai politik telah melakukan fusi. Dengan adanya pembinaan
terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan
parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat. Pada tahun 1973
pengelompokan partai tersebut menjadi:
➢ Partai Persatuan Pembangunan (PPP), terdiri dari:
Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
➢ Partai Demokrasi Indonesia (PDI), terdiri dari:
Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo),
Partai Katholik, Partai Murba, dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI).
➢ Golongan Karya (Golkar).
2.2.4 Perubahan Tatanan Partai Politik di Akhir Masa orde Baru
33
itu menjadi terbuka lebih lebar. Secara lebih parsial, kecenderungan itu terlihat
dari adanya perubahan relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
dari yang bercorak sentralistis ke corak yang lebih birokrasi dan militer sebagai
kekuatan profesional tetapi netral secara politik, juga perubahan kerangka
kelembagaan lainnya, seperti adanya sistem multipartai, pelaksanaan pemilu yang
lebih demokratis, adanya pers yang bebas, dan upaya menjadikan
terdesentralisasi. Runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, memberi pengaruh
terhadap kehidupan partai politik di Indonesia.
Dari sekitar 140-an parpol yang berdiri di masa Habibie, dan kemudian
setelah mengalami seleksi ketat terhadap 48 parpol yang berhak mengikuti pemilu
1999. Dan dari 48 parpol ini hampir separuhnya adalah parpol yang secara
eksplisit merupakan partai Islam atau menggunakan simbolisme Islam, atau partai
berbasiskan konstituen muslim (Muslim based-parties) (Azra, 2002:60). Dengan
kebijakan ini, euforia politik, demokrasi dan kebebasan juga menghasilkan
penghapusan kewajiban parpol untuk menjadikan Pancasila sebagai satu- satunya
asas, seperti ditetapkan pada UU keormasan 1985. Pada masa reformasi,
masyarakat diberi keleluasaan untuk mendirikan partai politik dengan ideologi
yang beragam, sehingga masyarakat umum atau rakyat pun lebih terasa bebas
dalam menyalurkan aspirasinya. Selain itu beberapa keorganisasian yang tumbuh
dalam masyarakat pun semakin beragam dan terlihat semakin aktif dalam
mempengaruhi kebijakan publik yang berkenaan dengan bidang yang mereka
tekuni.
34
departemen eksperimennya. Menurut Mochtar, lulusannya harus menjadi
"pengacara profesional" atau teknisi hukum yang membantu teknokrat lain
membangun Indonesia. Untuk mewujudkan ide tersebut, Mochtar kemudian
datang dengan program pelatihan klinis hukum di Fakultas Hukum Unpad sebagai
proyek percontohan.
35
kemudian memperoleh gelar 'Master of Law' (LL.M.) dari Yale University Law
School, Amerika Serikat pada tahun 1956.
Pada tahun 1973, Mochtar diangkat sebagai kepala sekolah Unpad. Jabatan
ini ia jabat untuk waktu yang singkat, karena pada tahun 1974 Mochtar dipercaya
oleh Presiden Suharto sebagai Menteri Kehakiman dalam Kabinet Pembangunan
II. Jabatan Menteri Kehakiman berakhir pada tahun 1978, tetapi pada tahun yang
sama, terpilihlah Mochtar dalam Kabinet Pembangunan III sebagai Menteri Luar
Negeri. Mochtar menjabat sebagai Menteri Luar Negeri selama dua periode, dari
36
tahun 1978 hingga 1988. Di antara banyak prestasi Mochtar sebagai Menteri Luar
Negeri adalah diadopsinya konsep Negara Kepulauan dalam Konvensi Hukum
Laut 1982. merupakan puncak dari pencapaian. Setelah menjadi Menteri Luar
Negeri, Mochtar tetap aktif di berbagai forum internasional, termasuk sebagai
anggota United Nations Commission on International Law (International Law
Commission) selama dua periode.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa esensi pemikiran hukum Mochtar
berkaitan dengan kedudukan dan peran hukum dalam pembangunan. Tentang hal
ini, dalam salah satu artikelnya, Mochtar mengatakan antara lain: “Pembangunan
dalam arti luas mencakup semua aspek kehidupan orang dan tidak hanya
kehidupan ekonomi pembangunan ekonomi, oleh karena itu istilah pembangunan
ekonomi sebenarnya tidak benar. , karena kita tidak dapat membangun "ekonomi"
suatu masyarakat tanpa memperhatikan perkembangan aspek kehidupan lainnya.
kehidupan masyarakat, dan jika demikian, apa perannya? Mochtar menanggapi
dengan mengatakan sebagai berikut: "Jika kita memperhatikan, semua
pembangunan masyarakat dicirikan oleh perubahan, bahkan bagaimana kita
mendefinisikan pembangunan dan skala apa pun yang kita gunakan untuk
'komunitas dalam pembangunan'... Peran hukum dalam pembangunan adalah
37
untuk memastikan perubahan terjadi dalam diri yang teratur.” Pembangunan
menurut Mochtar pada dasarnya adalah perubahan (ubah:Mochtar.) Dengan
menggunakan makna ini, tampaknya Mochtar lebih memilih makna
perkembangan dari daripada makna konotatif. arah politik.
38
berada di depan mengawal perubahan tersebut. Hukum bukan hanya sebagai
pengikut (the follower), melainkan harus menjadi penggerak utama (the prime
mover) dari pembangunan.
Pada titik ini Mochtar secara eksplisit menggunakan istilah hukum sebagai
alat pembaharuan masyarakat. Selengkapnya Mochtar mengatakan sebagai
berikut: “Jelas kiranya bahwa pemakaian hukum yang demikian yakni sebagai
suatu alat pembaharuan masyarakat (cetak tebal dari penulis), mengharuskan kita
memiliki pengetahuan lebih banyak dan luas dari pada pengetahuan hukum dalam
arti yang lazim”. Apa yang dimaksud oleh Mochtar dengan “pengetahuan hukum
yang lebih luas” tidak lain adalah fungsi dinamis dari hukum yaitu sebagai alat
perubahan, bukan hukum yang lazim dipahami sebagai elemen statis yang
senantiasa menjadi “korban” dari perubahan itu sendiri.
39
bentuk konkrit dan wahana utama untuk terwujudnya rekayasa sosial. Perlu
disebutkan di sini bahwa Mochtar menggunakan kata "alat" sebagai terjemahan
dari "instrumen" yang diadaptasi dari gagasan Roscou Pound tentang "hukum
sebagai rekayasa sosial". Namun, dalam artikel selanjutnya untuk pembahasan
yang sama, Mochtar menggunakan istilah "kendaraan". Ada yang berpendapat
bahwa hal itu merupakan tanggapan atas kritik terhadap dari beberapa ahli yang
menuduh gagasan Mochtar yang menempatkan UU sebagai “instrumen rekayasa
sosial”. yang pada akhirnya akan menempatkan aturan pada fungsi yang
cenderung mekanis. Jawaban Mochtar cukup tepat dengan penggunaan kata relatif
"soŌ", karena kata "alat" dianggap terlalu kaku.
40
(instutions) dan proses (proses) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum
dalam praktek”.
41
berhubungan satu sama lain. Negara sebagai subjek utama hukum internasional
sampai saat ini belum tergantikan. Namun, Mochtar juga memperkirakan bahwa
di masa depan, subjek hukum internasional akan meningkat dan berubah,
termasuk dengan pengakuan organisasi internasional dan individu sebagai subjek
hukum internasional.
Dalam hal ini, Mochtar sangat tepat mengacu pada istilah aktor negara
dan non-negara. Ketika diskusi tentang "aktor non-negara" muncul dan diskusi
semakin intensif baru-baru ini, Mochtar membawanya ke permukaan pada tahun
1970. Penggunaan istilah subjek hukum berbeda dari negara yang menyatakan
bahwa hukum internasional adalah sistem hukum. masih dalam pengembangan,
terutama yang menyangkut pengarang atau meminjam istilah dari Wallace dan
Ortega sebagai "pemuda sistem hukum internasional".
42
munculnya WTO (World Trade Organization) yang telah membuka lahir aturan
hukum perdagangan internasional. memaksa negara-negara untuk melepaskan
sebagian dari kedaulatan ekonomi mereka untuk memenuhi persyaratan aturan.
43
Indonesia untuk mengkompensasi kerusakan atas dasar prinsip "cepat, efektif dan
memuaskan".
44
membuahkan hasil. Di seluruh dunia, daftar negara dan wilayah-wilayah yang
mencapai penurunan fertilitas secara nyata sebelum mencapai pembangunan
ekonomi terus bertambah. Ini memperlihatkan bahwa usaha pemerintah untuk
memotivasi dan menyediakan pelayanan pokok keluarga berencana merupakan
suatu cara yang hemat biaya dalam mencapai penurunan fertilitas.
Keberhasilan BKIA di daerah mendorong pemerintah untuk
mengkampanyekan keluarga berencana (KB). Masalah pembatasan kelahiran
sudah lama dikenal di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak obat-obatan asli
berupa ramuan-ramuan untuk mencegah kehamilan beredar, walaupun tak selalu
berhasil dan tidak dikenal oleh semua orang. Penghambat utama kB pada awalnya
adalah masalah etik dan pandangan tradisional yang telah berakar di masyarakat,
yang mengatakan bahwa banyak banyak rezeki. Oleh karena itu usaha-usaha
sebelum 1967 selalu mendapat rintangan Bahkan Presiden Soekarno yang
menyadari persoalan kependudukan hanya setuju penjarangan kelahiran (spacing).
Melihat hal itu, beberapa tokoh wanita menyoroti masalah pembatasan
kelahiran ditinjau dari sudut kesehatan ibu dan anak. Dengan motivasi ini, mereka
mendirikan Yayasan Kesejahteraan Keluarga (KK) pada 12 November 1952 yang
diketuai oleh Ny. Marsidah Suwito. Tujuan dari pendirian organisasi ini adalah
untuk mengatur kehamilan demi kesejahteraan ibu dan anak. Klinik Yayasan
Kesejahteraan Keluarga pertama kali didirikan di Jalan Gondolayu, Yogyakarta.
Metode KB yang diterapkan adalah pantang berkala dan karet busa dicelup air
garam. Pada tahun 1958, Mrs. Mc Kinnon dari Pathfinder Fund, diantar oleh dr.
Hurustiati Subandrio dan dr. Yudono, pergi ke Semarang untuk memberi ceramah
tentang KB kepada anggota-anggota IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan istri-istri
dokter. Setelah itu, dr. Farida Heyder membuka klinik keluarga berencana di Jalan
Pandanaran, Semarang. Di Jakarta, pada tahun 1956, BKIA yang berada di Jalan
Tarakan dan dikelola oleh dr. Koen Martiono mulai mengadakan usaha pelayanan
kesehatan dalam menjarangkan kehamilan. Penyebarluasan kampanye keluarga
berencana dirintis oleh para sarjana wanita yang tersebar di beberapa kota, antara
lain dr. Z. Rachman Mansyur di Bandung, dr. Suripto SH di Solo, dr. Sumini di
Salatiga, dr. Farida Heydar di Semarang.
45
Sosialisasi program KB dilakukan melalui seminar-seminar. Pada 1963,
seminar diadakan pada Februari di Jakarta dipimpin oleh Ny. Hutasoit SH dan
dihadiri kira-kira 3.000 orang, di Bandung seminar dr. Z. Rachman Mansur dan
dihadiri 1.000 Semarang dipimpin dr. Farida Hyder dan dihadiri 300 sen orang, di
Bali dipimpin dr. moin dr. Esther Wowor dan dihadiri 500 orang, di Yogyakarta
dipimpin Prof. Judono dan Nu pre dihadiri 500 orang, di Surabaya dipimpin Ny.
Prayitno dan dihadiri 1.000 orang, serta Subang dipimpin orang. Untuk
mempelajari mobina secara seksama pemakaian obat-obatan dan teknik
kontrasepsi, pemerintah lalu membentuk proyek Deren penelitian Balai Keluarga
Berencana Seksi Research dengan ketua Prof. Hanifah Wiknyosastro dan ush
sekretaris dr. Harun Harahap.
Pada awalnya, perkembangan KB Setelah YKK terbentuk, Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menyusul didirikan pada 23 Desember
1957 dengan ketua dr. Suharto, yang pada tahun 1962 diganti dr. Hurustiati
Subandrio. memang tidak berjalan mulus, mengingat Presiden Soekarno tidak
mendukung adanya pembatasan kelahiran. Meskipun demikian, PKBI dapat
tumbuh dengan pesat berkat kerja sama dengan lembaga luar negeri, seperti The
Pathfinder Fund, International Planned Parenthhood Federation (PFF), dan
Population Council.
Di kalangan masyarakat, masalah keluarga berencana juga mengalami
kendala. Pada tahun 1950-an, sejalan dengan kebijakan pronatalis dari pemerintah
Indonesia, tiga organisasi Islam, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah,
dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak ketetapan pelayanan kontrasepsi
dengan alasan bahwa menurut Islam, perkawinan dimaksudkan untuk
menghasilkan keturunan. Namun pada pertengahan tahun 1960-an, ketika
kebijakan pemerintah berubah menjadi antinatalis, mulai terdengar suara alternatif
dari beberapa tokoh Islam yang mendukung pelayanan KB bagi pasangan yang
sudah menikah. Kadar dukungan dari organisasi muslim tersebut sangat
bervariasi. NU secara aktif mempromosikan KB sebagai keputusan sukarela dan
bertanggung jawab yang dibuat oleh sebuah keluarga dengan mempertimbangkan
kondisi kesehatan ibu dan situasi sosial ekonomi mereka. NU merujuk pada
46
prinsip kebutuhan sekunder yang akan mengakibatkan kesulitan pada seseorang
apabila tidak dipenuhi, serta kegawatdaruratan untuk menjustifikasikan
penggunaan kontrasepsi. Muhammadiyah beranjak dari oposisi pasif terhadap KB
ke penerimaan yang pasif pula. Walaupun organisasi ini tetap menganggap bahwa
pencegahan kehamilan bertentangan dengan ajaran Islam, penggunaan kontrasepsi
modern diperbolehkan dalam situasi darurat, misalnya, (1) jika kehamilan atau
kelahiran dapat membahayakan si ibu, (2) jika agama terancam karena kondisi
ekonomi masyarakat yang sangat miskin sehingga dapat menyebabkan
masyarakat bertindak melanggar hukum, dan (3) jika pendidikan dan kesehatan
anggota keluarga yang sudah ada terabaikan karena jarak kelahiran yang terlalu
dekat.
Kedua organisasi menganggap kontrasepsi sebagai masalah pribadi dalam
keluarga dan merasa ragu-ragu untuk menyebarluaskan KB dalam skala yang
lebih luas melalui program nasional. Berbeda dengan sikap tersebut, MUI dan
tokoh-tokoh muslim di Departemen Agama mendukung secara terbuka program
KB yang dimulai tahun 1969. Dukungan juga menjadi faktor penentu dalam
kontroversi mengenai IUD ketika pada Oktober 1993 MUI menyetujui
penggunaan metode kontrasepsi ini meskipun pihakpihak lain keberatan karena
TUD merupakan benda asing yang dimasukkan ke dalam tubuh, sementara
seorang perempuan harus membuka bajunya agar alat tersebut dapat dimasukkan.
MUI mensyaratkan bahwa pemasangan harus dilakukan oleh dokter atau bidan
perempuan. Bila kriteria ini tidak dapat dipenuhi, dokter laki-laki diperbolehkan
asalkan ditemani oleh suami akseptor. MUI dalam kampanye BKKBN turut
mempromosikan sterilisasi, meskipun organisasi Islam lainnya belum menyetujui
sterilisasi karena operasi yang tidak dapat dibatalkan lagi dianggap melawan
hukum Islam. MUI tetap mensyahkan sterilisasi sebagai metode kontrasepsi
dengan alasan bahwa teknik-teknik untuk memulihkan fertilitas sesudah operasi
sudah tersedia, bila akseptor menginginkannya.
Namun demikian, pandangan ulama nasional yang progresif tidak
seluruhnya disepakati oleh sebagian kiai serta pengikutnya pada tingkat lokal
yang masih menentang penggunaan kontrasepsi modern. Para ulama lokal
47
menolak segala bentuk KB karena menganggapnya sebagai pembunuhan bayi.
Dalam pandangan mereka, anak-anak adalah karunia Tuhan yang harus diterima.
Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa ulama yang mengizinkan KB adalah
ulama yang menjual keyakinan untuk mendapatkan persetujuan pemerintah dan
bantuan dana. Yang patut dicatat bahwa selama Orde Baru, perlawanan partai
politik dan organisasi sosial terhadap program KB dapat dikatakan sangat sedikit
dan sangat tidak signifikan.
Sejak tahun 1962, klinik keluarga berancana dibuka di Surabaya, dipimpin
oleh dr. Kartini dengan menyalurkan alat kontrasepsi dari PKBI. Pada tahun 1962,
meskipun KB belum merupakan program nasional, RRI Surabaya telah
mengadakan penerangan kepada masyarakat tentang keluarga berencana.
Di Bali, pada tahun 1959, didirikan PKBI dengan ketua Ny. Sutedja, isteri
gubernur Bali. Usaha keluarga berencana banyak mendapat bantuan dari tokoh-
tokoh Bali, antara lain gubernur Bali, dr. Djelantik, dan Ny. Wiriati Wedastera.
Bertindak sebagai ketua bagian medik adalah dr. Esther Wowor, kepala bagian
kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Di Palembang, pada tahun
1962, perintisan KB dilakukan oleh Ny. Gupito, Ny. Luki Irsan, dan Ny.
Bambang Utoyo, dengan bagian medik ditangani oleh Kwik Kim Sie. Pada tahun
1963, di Medan, PKBI didirikan dengan ketuanya dr. Supadmi Sutjipto.
Pada masa Orde Baru, usaha peningkatan kesehatan ibu dan anak harus
didukung oleh program pengurangan jumlah anak melalui penyebaran ide norma
keluarga dan pelayanan kontrasepsi. Program KB yang sebelumnya secara resmi
ditolak oleh pemerintah Orde Lama karena kebijakan yang pronatalis dan hanya
dijalankan oleh satu organisasi swadaya masyarakat yang bernama PKBI,
akhirnya diangkat menjadi bagian integral dari program pembangunan nasional.
Pada Rencana Pembangunan Lima Tahun I (19691974) disebutkan bahwa
program KB perlu dilaksanakan demi meningkatkan derajat kesehatan dan
kesejahteraan ibu dan anak serta keluarga dan bangsa pada umumnya.
Untuk mempelajari secara seksama pemakaian obat dan kontrasepsi,
Proyek Research Proyek Balai Keluarga Berencana pun dibentuk, Seksi Research
diketuai oleh Prof. Hanifah Wiknyosastro dan dibantu oleh dr. Harun Harahap
48
sebagai sekretaris. Dalam penyesuaian dengan program pemerintah yang
berdasarkan asas berdikari, Seksi Research menyelidiki tanaman-tanaman dan
akar-akaran yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencegah kehamilan, yang
diusahakan bersama Institut Farmasi Nasional yang diketuai oleh Zainal Arifin.
Sejak 1965, dua macam proyek dimulai, yaitu mengintensifkan penggunaan IUD
dan mengadakan klinik kemandulan.
Pada tahun 1968, Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN)
didirikan. Segala urusan yang ada sangkut pautnya dengan keluarga berencana
untuk sementara diurus oleh Dinas KIA. Sesuai dengan Surat Keputusan Presiden
Nomor 8 Tahun 1970 pada bulan Januari 1970, LKBN ditingkatkan menjadi
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, berada langsung di bawah
presiden. BKKBN berfungsi mengkoordinir seluruh kegiatan keluarga berencana
di Indonesia, termasuk Unit Departemen Kesehatan. Posisi kepala Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional diisi oleh seorang dokter dan juga
seorang perwira militer. Meskipun bukan menteri, ketua BKKBN ditugaskan
memberi laporan langsung kepada presiden. Badan nasional ini segera
membentuk kantor-kantor di tingkat propinsi dan kabupaten.
Program KB secara formal merupakan wewenang BKKBN. Badan ini
mengkoordinir seluruh upaya pengendalian fertilitas melalui sebuah sistem yang
hierarkis dan mengikuti struktur administrasi negara. Dalam sistem
pertanggungjawaban bertingkat ini, segala keputusan berada di tangan BKKBN
pusat dan ditindaklanjuti pemerintah tingkat propinsi dan kabupaten. Dalam mata
rantai administrasi yang panjang, pemerintah tingkat kecamatan memegang peran
yang strategis karena menjadi penghubung antarorganisasi pada tingkat yang lebih
tinggi dengan masyarakat pedesaan sehingga perencanaan yang disusun pada
tingkat nasional dapat diterapkan di tingkat lokal. Lebih khusus lagi, realisasi
program dipercayakan kepada petugas BKKBN di tingkat kecamatan, yaitu
petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) dan pengawasnya yang disebut
pimpinan PLKB. Mereka ditugasi untuk merealisasikan program KB dengan
mengarahkan perilaku fertilitas masyarakat agar memenuhi target kebijakan
nasional. Untuk mencapai tujuan ini, para PLKB harus bekerja sama dengan
49
institusi-institusi lain di tingkat kecamatan, sekaligus mencari dukungan dari
berbagai organisasi yang bergerak di tingkat lokal.
Untuk memenuhi kebutuhan penduduk desa, dua strategi dikembangkan.
Pertama, pemerintah mengangkat petugas lapangan keluarga berencana (PLKB)
dalam jumlah banyak untuk mendatangi rumah-rumah penduduk. Kedua,
pemerintah melakukan serangkaian upaya untuk menata sumber daya kedokteran
dan administrasi dan memobilisasikan partisipasi masyarakat. Di Jawa Timur,
misalnya, kegiatan Gugur Gunung dikembangkan oleh kepala BKKBN dan
dilaksanakan secara langsung menurut serangkaian kampanye penyembuhan
penyakit patek (framboesia) yang digencarkan pada tahun 1950-an. Program ini
berhasil dalam menerangkan program keluarga berencana kepada penduduk.
Angkatan Darat di Jawa Timur menerima tantangan untuk mendukung program
keluarga berencana dengan mengadakan kampanye selama perayaan sebulan
penuh ulang tahun Kodam Brawijaya. Banyak keberatan muncul ketika pasukan
berseragam mulai mengumpulkan sejumlah besar perempuan yang belum menjadi
akseptor dan mendorong mereka untuk pergi ke klinik KB. Karena sistem Gugur
Gunung dirasakan tidak efektif dalam mendekati calon akseptor, pemerintah
mengganti programnya dengan mendirikan pusat-pusat distribusi kontrasepsi
masyarakat, promosi kelompok akseptor, memobilisasi kelompok agama, dan
melakukan pembangunan yang mendukung program KB. Untuk program KB di
Jawa Timur, pemerintah mengeluarkan US$ 0,19 perkapita, sedangkan di Jawa
Tengah dan Jawa Barat pemerintah mengeluarkan US$ 0,15 perkapita. Biaya per
akseptor di Jawa Timur US$ 7,81, Jawa Barat US$ 13,15, sedangkan Jawa
Tengah US$ 12,31. (Howard Dick; hal 88) Selama Pelita I. pemerintah
menargetkan jumlah akseptor sebanyak 225.000 dan ternyata hasilnya hanya
mencapai 54.065 akseptor, sementara jumlah klinik keluarga berencana dari target
1.200 hanya tercapai 882 klinik. Ini berarti kesadaran masyarakat masih rendah,
sedangkan pembangunan klinik yang pembiayaannya dari pemerintah dapat
mendekati target.
Upaya peningkatan jumlah akseptor laki-laki telah dirintis sejak awal
1970-an. Pada tahun 1974, Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PMKI)
50
didirikan untuk menyediakan layanan vasektomi. Namun program ini rupanya
kurang banyak diminati, karena pihak ibu pun ternyata tidak seluruhnya setuju
jika suaminya melakukan vasektomi dengan alasan para suami dapat lebih mudah
untuk mengadakan perselingkuhan.
Dalam rangka meningkatkan kesehatan ibu, pada 1996, pemerintah
melalui kantor menteri urusan peranan wanita (UPW) meluncurkan program
Gerakan Sayang Ibu, dengan maksud menekan jumlah kematian ibu hamil. Pada
tahun 1996, tingkat kematian ibu hamil diperkirakan 450 per 100.000 kelahiran
hidup, merupakan angka tertinggi di Asia Tenggara. Gerakan Sayang Ibu ini
mengadopsi ide-ide priyayi Jawa yang menekankan hubungan suami-istri yang
harmonis. Jika seorang istri hamil, maka suaminya harus mencurahkan perhatian
secara penuh kepada sang istri sejak hamil sampai melahirkan. Suami sebagai
kepala keluarga didorong membantu mengurangi tingkat kematian istrinya yang
sedang hamil agar mendatangi bidan dan mendapatkan vaksinasi tetanus,
mengkonsumsi makanan yang bergizi, serta mengurangi beban pekerjaan di
rumah.
51
didirikanlah Lembaga Keluarga Berencana Nasional yang bersifat semi-
pemerintah atas restu presiden Soeharto.
Selanjutnya pada tahun 1970, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 8
tahun 1970, Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) berubah menjadi
lembaga pemerintah non-departemen dengan nama Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN).
Masih dalam menyuarakan Program Keluarga Berencana, pabrik kondom
pertama di Indonesia pun didirikan di Banjaran, Bandung, dan diresmikan
langsung oleh Presiden Soeharto pada tanggal 25 Februari 1987 dengan harapan
dapat meningkatkan keberhasilan program Keluarga Berencana dan menjadikan
Indonesia dapat berswasembada dalam segala bidang. Program KB di Indonesia
pun menjadi salah satu yang paling sukses di dunia dan menarik perhatian dunia
untuk mengikuti kesuksesan Indonesia.
Pemerintah Soeharto pada tahun 1970 berupaya untuk menekan laju angka
kelahiran dengan membentuk badan koordinasi Keluarga Berencana nasional atau
BKKBN guna mengajak masyarakat Indonesia untuk mengikuti program
Keluarga Berencana dimana jumlah anak dibatasi maksimal 2 saja. program
Keluarga Berencana atau KB dilakukan secara teknis menggunakan alat
kontrasepsi untuk mencegah terjadinya pembuahan antara sel sperma dengan sel
ovum.
Masa-masa awal program KB masih belum bisa dijalankan dengan baik
sebab terdapat penolak akan dari sebagian masyarakat Indonesia saat itu. Namun
setelah disebarkan slogan-slogan propaganda dalam bentuk iklan iklan di media
massa secara intensif dan massif pengikut program KB semakin meningkat.
Dalam kurun waktu sekitar 16 tahun (1970-1966) data statistik menyatakan bahwa
jumlah peserta KB dari 0,3 juta orang telah meningkat menjadi 15,3 juta.
Implikasi dari banyaknya pengikut program KB itu sendiri adalah menciptakan
hubungan positif antara tingkat pengikut program KB dengan peningkatan
pembangunan nasional.
52
2.5 MASA KEEMASAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN
2.5.1 Pembangunan dalam Bidang Pendidikan
Sejak awal pemerintahannya pada tahun 1968 Presiden Soeharto
menjadikan pembangunan bidang pendidikan sebagai hal yang wajib dan harus
dilakukan dengan sungguh-sungguh. Untuk memperluas kesempatan belajar
terutama bagi penduduk di kota maupun di desa yang berpenghasilan rendah.
Pada tahun 1973 tepatnya pada masa program Rencana Pembangunan Lima
Tahun atau Repelita 1, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor
10/1973 tentang program bantuan pembangunan gedung SD, yang didalamnya
menginstruksikan untuk melaksanakan pembangunan gedung-gedung SD yang
selanjutnya dikenal SD Inpres di seluruh Indonesia bahkan hingga daerah-daerah
pelosok.
Sebelum program Pembangunan Lima tahun dilaksanakan yaitu pada
tahun 1968 jumlah gedung-gedung sekolah di Indonesia yaitu sebanyak 60.023
gedung SD dan 5.897 gedung SMP. Hingga pada awal PELITA VI yang dimulai
pada tahun 1994, jumlah gedung-gedung sekolah di Indonesia meningkat menjadi
sekitar 150.000 gedung SD dan 20.000 gedung SMP. Peningkatan jumlah gedung
sekolah itu diikuti dengan penambahan jumlah guru yang sebelumnya berada pada
angka ratusan ribu menjadi lebih dari 1 juta pada awal tahun 1994 guru SD.
Selain program pembangunan gedung-gedung sekolah baru, pemerintah
juga melakukan program pemberantasan buta aksara. Setelah percobaan program
wajib belajar yang berjalan sejak era orde lama diselesaikan, pemerintah
memusatkan pemberantasan buta aksara dengan mencanangkan Penuntasan Buta
Huruf pada 16 Agustus 1978 dengan salah satu cara yang dilaksanakan adalah
pembentukan Kelompok Belajar atau Kejar. Program Kejar adalah pengenalan
huruf yang ditujukan kepada masyarakat berusia 10 sampai 45 tahun dengan
dibimbing oleh siapa saja dengan pendidikan minimal SD dengan jumlah dan
waktu pelaksanaannya setiap Kejar yang besifat fleksibel.
Dengan program Kelompok Belajar ini Pemerintah berhasil menurunkan
jumlah persentase penduduk yang buta huruf. Pada sensus penduduk tahun 1978
sebanyak 39,1% dari total 80 juta jiwa penduduk Indonesia mengalami buta huruf,
53
jumlah ini mengalami penyusutan menjadi 28,8% pada sensus tahun 1980, dan
kembali menyusut menjadi 15,9% pada tahun 1990. Selanjutnya Presiden
Soeharto kembali melaksanakan program wajib belajar 6 tahun yang dimulai pada
2 Mei 1984 yang bertepatan pada Hari Pendidikan Nasional.
54
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada masa Orde Baru pemerintahan dipegang oleh Soeharto, yang
menerapkan Pancasila dan UUD 1994 secara murni dan konsekuen. Orde Baru
didirikan untuk mengoreksi total pemerintahan Soekarno. Pada masa Orde Baru
berlaku asas tunggal yaitu hanya ideologi Pancasila yang boleh berkembang
sedangkan ideologi lain tidak boleh berkembang karena di khawatirkan
menganggu stabilitas Negara seperti pada pemerintahan sebelumnya.
Soeharto merupakan orang yang sangat berperan penting dalam
mempertahankan berdirinya pemerintahan Orde Baru. Untuk membuat Orde
Baru terus berdiri Soeharto terus menarik simpati rakyat dengan berbagai cara
seperti dengan media yaitu media pembangunan. Melalui media Soeharto terus
menutupi kejahatan Orde Baru dan memberitakan kebaikan serta pembangunan
ekonomi Orde Baru saja.
Dalam memimpin pemerintahan Soeharto mencari orang yang bisa diajak
bekerja sama untuk mempertahankan kekuasaannya. Salah satu yang dilakukan
oleh Soeharto adalah menciptakan tiga kekuatan yaitu ABRI, Birokrasi dan
Golkar. Dan dalam perkembangannya Soeharto bertemu dengan Harmoko dan
mempercayai Harmoko menjadi Menteri Penerangan bahkan sampai tiga
periode, menjadi Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR/MPR.
55
DAFTAR PUSTAKA
Abdulla, T., Lapian, A B. 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah: Orde Baru dan
Reformasi. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeven.
M.C. Ricklefs. 2007. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Jakarta Serambi
Ilmu Semesta.
Maimunah, Siti. 2014. Mochtar Kusumaatmadja. Padjadjaran Jurnal Ilmu
Hukum. Volume 1 - No 3.
Djiwandono, J Soedjati dan T.A Legowo. 1996 Revitalisasi Sistem Politik
Indonesia, Jakarta: CSIS. hlm. 34.
56