Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

PADA PASIEN LUKA BAKAR

DISUSUN OLEH :

MARIANA WULANDARI

20176523053

PRODI DIV KEPERAWATAN PONTIANAK

POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK

TAHUN AKADEMIK 2021


LAPORAN PENDAHULUAN KLIEN DENGAN LUKA
BAKAR

A. Konsep Dasar Luka Bakar


1. Pengertian Luka Bakar
Luka bakar adalah kondisi atau terjadinya luka akibat terbakar, yang
hanya disebabkan oleh panas yang tinggi, tetapi oleh senyawa kimia, llistrik,
dan pemanjanan (exposure)
berlebihan terhadap sinar matahari.
Luka bakar (combustio) adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia,
listrik, dan radiasi.
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam
dan luasnya luka bakar dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan.
Selain itu, faktor letak daerah yang terbakar, usia, dan keadaan kesehatann
penderita juga turut menentukan kecepatan penyembuhan. Luka bakar pada
daerah perineum, ketiak, leher, dan tangan sulit dalam perawatannya, antara
lain karena mudah mengalami kontraktur. Luka bakar pada badan
terdiri atas hal-hal seperti dibawah ini :
1. Kepala 9%
2. Anggota gerak 9%
3. Dada atau punggung 18%
4. Perut atau punggung 18 %
5. Paha 9%
6. Anggota gerak bawah 9%
7. Tungkai 18 %
8. Lengan 9 %

2. Etiologi Luka bakar


Luka bakar (Combustio) dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara
langsung maupun tidak langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak
terjadi pada kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari
matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar.
Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
1. Paparan api
Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar
pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki
kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh
atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas.
Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami
kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat
seperti solder besi atau peralatan masak.
2. Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin
lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan.
Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan
pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan
pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan
pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan
ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan garis yang menandai
permukaan cairan.
3. Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator
mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang
tinggi dari uap serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi
inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran napas
distal di paru.
4. Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan
oklusi jalan nafas akibat edema.
5. Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh.
Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang
menyebabkan percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan luka
bakar tambahan.
6. Zat kimia (asam atau basa)
7. Radiasi
8. Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.
3. PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR

Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 m2 pada anak
baru lahir sampai 2 m2 pada orang dewasa. Apabila kulit terbakar atau terpajan
suhu tinggi, maka pembuluh kapiler di bawahnya, area sekitar, dan area yang
jauh sekalipun akan rusak dan menyebabkan permeabilitasnya meningkat.
Terjadilah kebocoran cairan intrakapiler ke interstisial sehingga terjadi oedema
dan bula yang mengandung banyak elektrolit. Rusaknya kulit akibat luka bakar
akan mengakibatkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan penahan
penguapan.
Kedua penyebab diatas dengan cepat menyebabkan berkurangnya cairan
intravaskuler. Pada luka bakar yang luasnya kurang dari 20%, mekanisme
kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya. Bila kulit yang terbakar luas
(lebih dari 20%) dapat terjadi syok hipovolemik disertai gejala yang khas,
seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah
menurun, serta produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan,
maksimal terjadi setelah delapan jam.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permebilitas
meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi
anemia. Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah
dapat terjadi kerusaakan mukosa jalan napas dengan gejala sesak napas,
takipnoe, stridor, suara parau, dan dahak berwarna gelap akibat jelaga. Dapat
juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. Karbon monoksida
sangat kuat terikat dengan hemoglobin sehingga hemoglobin tidak lagi mampu
mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan, yaitu lemas, binggung, pusing,
mual dan muntah.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi
mobilisasi serta penyerapan kembali cairan dari ruang intertisial ke pembuluh
darah yang ditandai dengan meningkatnya diuresis. Luka bakar umumnya tidak
steril. Kontaminasi pada kulit mati yang merupakan medium yang baik untuk
pertumbuhan kuman akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi
karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami
trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau
antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari kulit
penderita sendiri, juga kontaminasi dari kuman saluran napas atas dan
kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial biasanya
sangat berbahaya karena kumanya banyak yang sudah resisten terhadap
berbagai antibiotik.
Pada awalnya infeksi biasanya disebabkan oleh kuman gram positif yang
berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi
invasi kuman gram negatif. Pseudomonas aeruginosa yang dapat
menghasilkan eksotoksin protease dan toksin lain yang berbahaya, terkenal
sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat
dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi
enzim penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan
granulasi membentuk nanah.
Infeksi ringan dan non invasif (tidak dalam) ditandai dengan keropeng
yang mudah lepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai
dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan keropeng yang mula-
mula sehat menjadi nekrotik. Akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat
dua menjadi derajat tiga. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada
pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi luka bakar derajat dua dapat
sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai
dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel
basal, sel keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat dua yang dalam
mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku, dan secara
ekstetik sangat jelek. Luka bakar yang derajat tiga yang dibiarkan sembuh
sendiri akan mengalami kontraktur. Bila ini terjadi di persendian fungsi sendi
dapat berkurang atau hilang. Stres atau beban faali serta hipoperfusi daerah
splangnikus pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan terjadinya
tukak di mukosa lambung atau duedonum dengan gejala yang sama dengan
gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal dengan tukak Curling atau stress
ulcer. Aliran darah ke lambung berkurang, sehingga terjadi iskemia mukosa.
Bila keadaan ini berlanjut dapat timbul ulkus akibat nekrosis mukosa lambung.
Yang dikhawatirkan dari tukak Curling ini adalah penyulit perdarahan yang
tampil sebagai hematemisis dan melena.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga
keseimbangan protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena
eksudasi, metabolisme tinggi, dan mudah terjadi infeksi. Penguapan berlebihan
dari kulit yang rusak juga memerlukan kalori tambahan. Tenaga yang
diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari pembakaran protein dari
otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan
berat badan menurun. Kecatatan akibat luka bakar ini sangat hebat, terutama
bila mengenai wajah. Penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat
akibat cacat tersebut, sampai bisa menimbulkan gangguan jiwa yang disebut
schizophrenia post burn.

Patway

Arus listrik, radiasi, api , bahan kimia asap

Kontak langsung dengan permukaan kulit inhalasi cedera asap

Kerusakan intergritas kulit Edema laring &trakea

Dilatasi sel premeabilitas kapiler menurun sesak

Sodium, klorida, na+ , protein hilang pola nafa tidak efektif

Kekurangan volume cairan

Nyeri akut

Resiko syok hipovolemik


5. Manifestasi Klinis Luka Bakar
Manifestasi klinis pada klien dengan luka bakar ialah sebagai berikut.
a. Luka bakar derajat pertama superfisial ditandai oleh kemerahan dan nyeri.
Dapat timbul lepuh setelah 24 jam dan kemudian kulit mungkin
terkelupas.
b. Luka bakar derajat kedua ketebalan parsial superfisial ditandai oleh
terjadinya lepuh ( dalam beberapa menit) dan nyeri hebat.
c. Luka bakar derajat kedua ketebalan parsial dalam ditandai oleh lepuh, atau
jaringan kering yang sangat tipis yang menutupi luka yang kemudian
terkelupas. Luka mungkin tidak nyeri.
d. Luka bakar derajat ketiga ketebalan penuh tampak datar, tipis, dan kering.
Dapat ditemukan koagulasi pembuluh darah. Kulit mungin tampak putih,
merah atau hitam dan kasar.
e. Luka bakar listrik mungkin mirip dengan luka bakar panas, atau mungkin
tampak sebagai daerah keperakan yang menjadi gembung. Luka bakar
listrik biasanya timbul dititik kontak listrik. Kerusakan internal akibat luka
bakar listrik mungkin jauh lebih parah daripada luka yang tampak dibagian
luar.
Luka bakar memiliki tanda dan gejala tergantung derajat keparahan dari luka
bakar tersebut, yaitu :
a. Derajat I : Kemerahan pada kulit (Erythema), terjadi pembengkakan
hanya pada lapisan atas kulit ari (Stratum Corneum), terasa sakit, merah
dan bengkak.
b. Derajat II : Melepuh (Bullosa) pembengkakan sampai pada lapisan kulit
ari, luka nyeri, edema, terdapat gelembung berisi cairan kuning bersih
(eksudat).
c. Derajat III : Luka tampak hitam keputih-putihan (Escarotica), kulit terbuka
dengan lemak yang terlihat, edema, tidak mumcat dengan tekanan, tidak
nyeri, folikel rambut dan kelenjar keringat rusak.
d. Derajat IV : Luka bakar sudah sampai pada jaringan ikat atau lebih dari
kulit ari dan kulit jangat sudah terbakar.

6. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang Luka Bakar


1. Hitung darah lengkap : Hb (Hemoglobin) turun menunjukkan adanya
pengeluaran darah yang banyak sedangkan peningkatan lebih dari 15%
mengindikasikan adanya cedera, pada Ht (Hematokrit) yang meningkat
menunjukkan adanya kehilangan cairan sedangkan Ht turun dapat terjadi
sehubungan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh panas terhadap
pembuluh darah.
2. Leukosit : Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan adanya infeksi atau
inflamasi.
3. GDA (Gas Darah Arteri) : Untuk mengetahui adanya kecurigaaan cedera
inhalasi. Penurunan tekanan oksigen (PaO2) atau peningkatan tekanan
karbon dioksida (PaCO2) mungkin terlihat pada retensi karbon monoksida.
4. Elektrolit Serum : Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan dengan
cedera jaringan dan penurunan fungsi ginjal, natrium pada awal mungkin
menurun karena kehilangan cairan, hipertermi dapat terjadi saat konservasi
ginjal dan hipokalemi dapat terjadi bila mulai diuresis.
5. Natrium Urin : Lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan
cairan , kurang dari 10 mEqAL menduga ketidakadekuatan cairan.
6. Alkali Fosfat : Peningkatan Alkali Fosfat sehubungan dengan perpindahan
cairan interstisial atau gangguan pompa, natrium.
7. Glukosa Serum : Peninggian Glukosa Serum menunjukkan respon stress.
8. Albumin Serum : Untuk mengetahui adanya kehilangan protein pada edema
cairan.
9. BUN atau Kreatinin : Peninggian menunjukkan penurunan perfusi atau
fungsi ginjal, tetapi kreatinin dapat meningkat karena cedera jaringan.
10. Loop aliran volume : Memberikan pengkajian non-invasif terhadap efek
atau luasnya cedera.
11. EKG : Untuk mengetahui adanya tanda iskemia miokardial atau distritmia.
12. Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk penyembuhan luka
bakar.

7. Penatalaksanaan Medis Luka Bakar


1. Penatalaksanaan luka bakar
a. Pertolongan pertama saat kejadian:
1) Luka bakar suhu atau thermal
Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh,
misalnya dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar
dengan kain basah. Atau korban dengan cepat menjatuhkan diri dan
berguling-guling agar bagian pakaian yang terbakar tidak meluas.
Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat diakhiri, misalnya
dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menyelup-kan diri ke
air dingin atau melepas baju yang tersiram air panas.
Pertolongan pertama setelah sumber panas dihilangkan adalah
merendam daerah luka bakar dalam air mengalir selama sekurang-
kurangnya lima belas menit. Upaya pendinginan ini dan upaya
mempertahankan suhu dingin pada jam pertama akan menghentikan
proses koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi yang
akan terlangsung walaupun api telah dipadamkan, sehingga destruksi
tetap meluas.

2) Luka bakar kimia


Baju yang terkena zat kimia harus segera dilepas. Sikap yang sering
mengakibatkan keadaan lebih buruk adalah menganggap ringan luka
karena dari luar tampak sebagai kerusakan kulit yang hanya kecoklatan,
padahal daya rusak masih terus menembus kulit, kadang sampai 72 jam.
Pada umumnya penanganan dilakukan dengan mengencerkan zat kimia
secara masif, yaitu dengan mengguyur penderita dengan air mengalir
dan kalau perlu diusahakan membersihkan pelan-pelan secara mekanis.
Netralisasi dengan zat kimia lain merugikan karena membuang waktu
untuk mencarinya, dan panas yang timbul dari reaksi kimianya dapat
menambah kerusakan jaringan.
Sebagai tindak lanjut, kalau perlu dilakukan resusitasi, perbaikan
keadaan umum, serta pemberian cairan dan elektrolit.
Pada kecelakaan akibat asam fluorida, pemberian calsium glukonat
10% dibawah jaringan yang terkena, bermanfaat mencegah ion fluor
menembus jaringan dan menyebabkan dekalsifikasi tulang. Ion fluor
akan terikat menjadi kalsium fluorida yang tidak larut. Jika ada luka
dalam, mungkin diperlukan debridemen yang disusul skin grafting dan
rekonstruksi. Pajanan zat kimia pada mata memerlukan tindakan darurat
segera berupa irigasi dengan air atau sebaiknya larutan garam 0,9%
secara terus menerus sampai penderita ditangani di rumah sakit.
3) Luka bakar arus listrik
Terlebih dahulu arus listrik harus diputus karena penderita mengandung
muatan listrik selama masih terhubung dengan sumber arus. Kemudian
kalau perlu, dilakukan resusitasi jantung paru. Cairan parenteral harus
diberikan dan umumnya diperlukan cairan yang lebih banyak dari yang
diperkirakan karena kerusakan sering jauh lebih luas. Kadang luka
bakar di kulit luar tampak ringan, tetapi kerusakan jaringan ternyata
lebih dalam. Kalau banyak terjadi kerusakan otot, urin akan berwarna
gelap karena mengandung banyak mioglobin dan resusitasi pasien ini
mengharuskan pengeluaran urin 75-100 ml per jam. Selain itu, urin
harus diubah menjadi basa dengan natrium bikarbonat intravena yang
menghalangi pengenda-pan mioglobulin. Bila urin tidak segera bening
atau pengeluaran urin tetap rendah, walaupun sudah diberikan sejumlah
besar cairan, maka harus diberikan diuretik yang kuat bersama manitol.
Pada penderita cedera otot yang masif, dosis manitol (12,5 gram per
dosis) mungkin diperlukan selama 12-24 jam. Pasien yang gagal
berespon terhadap dosis diatas mungkin membutuhkan amputasi
anggota gerak gawat darurat atau pembersihan jaringan nonviabel.
Otot jantung juga rentan trauma arus listrik. Elektrokardiogram (EKG)
harus dilakukan untuk menge-tahui adanya kerusakan jantung dan
pemantauan jantung yang terus menerus dilakukan untuk mendiagnosis
dan merawat aritmia. Kerusakan neurologi juga sering terjadi, terutama
pada medulla spinalis, tetapi sulit dilihat, kecuali bila dilakukan tes
elektrofisiologi. Pengamatan cermat atas abdomen perlu dilakukan pada
tahap segera setelah cedera karena arus yang melewati kavitas
peritonealis dapat menyebabkan kerusakan saluran pencernaan.
4) Luka bakar radiasi
Pada kontaminasi lingkungan, penolong dapat terkena radiasi dari
kontaminan sehingga harus mengguna-kan pelindung. Prinsip penolong
penderita atau korban radiasi adalah memakai sarung tangan, masker,
baju pelindung, dan detektor sinar ionisasi. Sumber kontaminasi harus
dicari dan dihentikan serta benda yang terkontaminasi dibersihkan
dengan air sabun, deterjen atau secara mekanis disimpan dan dibuang di
tempat aman.
Keseimbangan cairan dan elektrolit penderita perlu dipertahankan.
Selain itu, perlu dipikirkan kemungkinan adanya anemia, leukopenia,
trombositopenia, dan kerenta-nan terhadap infeksi. Sedapat mungkin
tidak digunakan obat-obatan yang menekan fungsi sumsum tulang.
2. Penatalaksanaan ABC (airway, breathing, circulation)
a. Airway
Membebaskan jalan napas dari sumbatan yang terbentuk akibat edema
mukosa jalan napas ditambah sekret yang diproduksi berlebihan
(hiperekskresi) dan mengalami pengentalan. Pada luka bakar kritis
disertai trauma inhalasi, intubasi (pemasangan pipa endotrakeal) dan
atau krikotiroidektomi emergensi dikerjakan pada kesempatan pertama
sebelum dijumpai obstruksi jalan napas yang dapat menyebabkan
distres pernapasan. Pada luka bakar akut dengan kecurigaan trauma
inhalasi. Pemasangan pipa nasofaringeal, endotrakeal merupakan
prioritas pertama pada resusitasi, tanpa menunggu adanya distres napas.
Baik pemasangan nasofaringeal, intubasi dan atau krikotiroidektomi
merupakan sarana pembebasan
jalan napas dari sekret yang diproduksi, memfasilitasi terapi inhalasi
yang efektif dan memungkinkan lavase bronkial dikerjakan. Namun
pada kondisi sudah dijumpai obstruksi, krikotiroidektomi merupakan
indikasi dan pilihan.
Pemasangan pipa Nasofaringeal
Pipa nasal merupakan pipa bulat lunak yang sesuai dengan anatomi
nares, nasofaring dan hipofaring. Ia dimasukkan melalui satu atau
kedua nares sehingga ujungnya mencapai tepat di atas epiglotis. Pipa
nasal mempunyai keuntungan karena bisa dipasang pada penderita yang
masih mempunyai reflek muntah tanpa menyebabkan muntah.
b. Breathing
Pastikan pernapasan adekuat dengan :
1) Pemberian oksigen
Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret banyak
dapat ditambah menjadi 4-6 L/menit. Dosis ini sudah mencukupi,
penderita trauma inhalasi mengalami gangguan aliran masuk (input)
oksigen karena patologi jalan napas, bukan karena kekurangan
oksigen. Hindari pemberian oksigen tinggi (>10 L/mnt) atau dengan
tekanan karena akan menyebabkan hiperoksia (dan barotrauma) yang
diikuti terjadinya stres oksidatif.
2) Humidifikasi
Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air adalah
untuk mengencerkan sekret kental (agar mudah dikeluarkan) dan
meredam proses inflamasi mukosa.
3) Terapi inhalasi
Terapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila dihembuskan
melalui pipa endotrakea atau krikotiroidek-tomi. Prosedur ini
dikerjakan pada kasus trauma inhalasi akibat uap gas atau sisa
pembakaran bahan kimia yang bersifat toksik terhadap mukosa.
Dasarnya adalah untuk mengatasi bronko konstriksi yang potensial
terjadi akibat zat kimia. Gejala hipersekresi diatasi dengan
pemberian atropin sulfas dan mengatasi proses infalamasi akut
menggunakan steroid.
4) Lavase bronkoalveolar
Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk
mengatasi permasalahan yang timbul pada mukosa jalan napas
dibandingkan tindakan humidifier atau nebulizer. Sumbatan oleh
sekret yang melekat erat (mucusplug) dapat dilepas dan dikeluarkan.
Prosedur ini dikerjakan menggunakan metode endoskopik (bronkos-
kopik) dan merupakan gold standart. Selain bertujuan terapeutik,
tindakan ini merupakan prosedur diagnostik untuk melakukan
evaluasi jalan napas.
5) Rehabilitasi pernapasan
Proses rehabilitasi sistem pernapasan dimulai seawal mungkin.
Beberapa prosedur rehabilitasi yang dapat dilakukan sejak fase akut
antara lain :
a) Pengaturan posisi
b) Melatih reflek batuk
c) Melatih otot-otot pernapasan.
Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan
secara aktif saat hemodinamik stabil dan pasien sudah lebih
kooperatif.
6) Penggunaan ventilator
Penggunaan ventilator diperlukan pada kasus-kasus dengan
distresparpernapasan secara bermakna memperbaiki fungsi sistem
pernapasan dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) dan
volume kontrol.
c. Circulation
Penanganan sirkulasi dilakukan dengan pemasangan IV line dengan
kateter yang cukup besar, dianjurkan untuk pemasangan CVP untuk
mempertahankan volume sirkulasi.
Pemasangan infus intravena atau IV line dengan 2 jalur menggunakan
jarum atau kateter yang besar minimal no. 18, Hal ini penting untuk
keperluan resusitasi dan tranfusi, dianjurkan pemasangan CVP.
CVP (Central Venous Pressure) merupakan perangkat untuk
memasukkan cairan, nutrisi parenteral, dan merupakan parameter dalam
menggambarkan informasi volume cairan yang ada dalam sirkulasi.
Secara sederhana, penurunan CVP terjadi pada kondisi hipovolemia.
Nilai CVP yang tidak meningkat pada resusitasi cairan dihubungkan
dengan adanya peningkatan permeabilitas kapiler. Di saat permeabilitas
kapiler membaik, pemberian cairan yang berlebihan atau penarikan
cairan yang berlebihan akibat pemberian koloid atau plasma akan
menyebabkan hipervolemia yang ditandai dengan terjadinya
peningkatan CVP.
3. Melepaskan penghalang
Tujuan melakukan penilaian serta mencegah terjadinya konstriksi sekunder
akibat edema
4. Resusitasi cairan
Pada luka bakar mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler yang akan
diikuti dengan ekstrapasasi cairan (plasma protein dan elektro-lit) dari
intravaskuler ke jaringan interstisial mengakibatkan terjadinya
hipovolemik intravaskuler dan edema interstisial. Keseimbangan tekanan
hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga sirkulasi kebagian distal
terhambat, menyebabkan gangguan perfusi sel atau jaringan atau organ.
Pada luka bakar yang berat dengan perubahan permeabilitas kapiler yang
hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan massif di jaringan
interstisial menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume cairan intra-
vaskuler mengalami defisit, timbul ketidakmampuan menyelenggarakan
proses transportasi oksigen ke jaringan. Keadaan ini dikenal dengan
sebutan syok. Syok yang timbul harus diatasi dalam waktu singkat, untuk
mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab syok secara
nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian.
Pemberian Cairan dengan menggunakan Rumus Baxter
Rehidrasi dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut :(2)
▪ 4cc/kgBB/%lukabakar/24 jam.
▪ Separuhnya diberikan dalam 8 jam pertama dan separuhnya
lagi diberikan dalam 16 jam berikutnya.
▪ Rumus inipun tidak mutlak tepat karena banyak faktor tidak
diperhitungkan, misalnya luka bakar yang dalam.
Contoh :
Korban gawat darurat dengan BB 60kg, luas luka bakar 30%. Maka
korban gawat darurat akan mendapat 60 x 30x 4 cc / 24 jam = 7200 cc /
24 jam. Separuhnya 3600 cc (4 kolf) dalam 8 jam pertama.
Catatan : 3600 cc x 20 (tetes infus set) = ± 72 tetes / menit.
4 (jam) x 60 (menit)
Rumus ini hanya merupakan patokan awal, dan menilai cukupnya cairan
yang diberikan lebih tepat dengan menilai reproduksi urin setiap jam, yaitu
30 – 50 cc setiap jam pada orang dewasa. Atau dapat menggunakan ukuran
1-1,5 cc / kgBB / jam. Contohnya, korban yang Bbnya 50 kg, maka
produksi urin normalnya antara 50 – 70 cc / jam.
Bila masa pra – rumah sakit hanya singkat, maka tidak perlu pemasangan
kateter uretra ( pemasangan DC, Dauer Catheter). Namun dalam keadaan
khusu dimana masa pra-rumah sakit yang lama ( transportasi yang sangat
lama ), maka perlu pemasangan DC sehingga dapat di lakukan monituring
produksi urin.

5. Fluid Creep Phenomena


Dalam dekade terakhir, resusitasi cairan pada pasien luka bakar telah
dilakukan sebagai proses yang rutin. Kebanyakan dari klinisi
menggunakan rumus Parkland dalam 24 jam pertama untuk menyesuaikan
volume cairan yang diberikan. Sesuai dengan variasi situasi pada pasien
luka bakar, penggunaan volume cairan yang berlebih cenderung terjadi
untuk meningkatkan pengeluaran urin. Pemberian cairan yang berlebihan
dapat mengakibatkan komplikasi edema yang dikenal dengan fenomena
"fluid creep". Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk optimasi
titrasi dan jenis cairan yang digunakan, seperti pemakaian koloid atau
larutan garam hipertonik. Tujuannya adalah untuk menurunkan kebutuhan
volume cairan dan terjadinya edema. Penelitian saat ini tentang resusitasi
cairan pasien luka bakar berkonsentrasi pada pendekatan untuk
meminimalisir fenomena "fluid creep" dengan memperketat kontrol cairan
intravena. Formula Parkland sebaiknya hanya digunakan sebagai panduan
dalam pemberian cairan. selanjutnya harus dilakukan penyesuaian pada
volume dan kecepatan cairan intravena sesuai dengan respon pasien.
Banyak penelitian menunjukkan perbandingan antara pemakaian kristaloid
dan koloid pada 24 jam pertama setelah kejadian luka bakar. Saat ini,
masih terdapat perdebatan penentuan waktu yang tepat untuk pemakaian
cairan koloid untuk resusitasi. Bagaimanapun, penggunaan albumin 5%
dalam 24 jam kedua dapat dipertimbangkan sebagai alternatif yang bisa
diterima.
6. Penatalaksanaan pencegahan infeksi
Ketika kestabilan hemodinamik dan pulmonal telah tercapai, perhatian
ditujukan pada perawatan awal luka
bakar.
Infeksi luka yang berkembang menjadi sepsis menjadi topik yang banyak
dibahas dan merupakan penyebab kematian pada luka bakar.
Konsekuensinya penggunaan antibiotika dalam penatalaksanaan luka
bakar menjadi sesuatu kebutuhan yang mutlak. Tindakan yang dilakukan
untuk mencegah dan mengatasi infeksi terdiri
dari beberapa rangkaian, yaitu :
a. Tindakan aseptik
Yang dimaksud dengan tindakan aseptik adalah serangkaian
perlakuan yang diterapkan dan mencerminkan upaya mencegah infeksi,
dengan cara : Mengupayakan ruang perawatan dalam kondisi aseptik.
Hal ini diupayakan melalui beberapa cara termasuk desain ruangan
yang memungkinkan ventilasi laminar berlangsung layaknya sebuah
ruang operasi, penerapan sistem “positive air preasure air filter”,
termasuk perawatan yang bertalian dengan proses desinfeksi ruangan,
dll.
Linen dan bahan lain yang steril. Penggunaan perangkat khusus
seperti baju (piyama), skort, topi, masker, alas-kaki, pencucian tangan,
penggunaan sarung tangan, dll. Hal ini mencerminkan perilaku petugas
sebagai digariskan dalam general precaution upaya mencegah infeksi.
b. Pencucian luka
Pencucian luka dilakukan menggunakan air yang disterilkan.
Prinsip dilution is the best solution for pollution diterapkan.
Pencucian luka dikerjakan saat penderita masuk ke unit luka bakar
(dalam delapan jam pertama) dan dilakukan satu sampai dua kali dalam
sehari sebelum dilakukan nekrotomi dan debridement.
Tindakan nekrotomi dan debridement dilakukan bertujuan
membuang eskar atau jaringan nekrosis maupun debris yang memicu
respon inflamasi dan menghalangi proses penyembuhan luka karena
berpotensi besar untuk berkembang menjadi fokus infeksi. Tindakan ini
dilakukan seawal mungkin dan dapat dilakukan tindakan ulangan sesuai
kebutuhan. Yang dimaksud tindakan awal adalah dalam 3-4 hari
pertama pasca trauma, saat konsistensi eskar masih padat dan belum
mengalami lisis, eskar yang mengalami lisis memicu respon inflamasi
sangat kuat dan sulit dilakukan. Pada prosedur ini, luka dicuci
menggunakan larutan steril.
Perawatan untuk pasca nekrotomi dan debridement, luka dicuci
setiap kali penggantian balutan.
c. Eskarotomi
Meskipun peninggian ekstrimitas dapat menurunkan edema, namun
eskarotomi sering diperlukan. Eskarotomi adalah insisi pada jaringan
parut yang menebal sehingga memungkinkan jaringan edematosa yang
hidup di bawahnya melebar. Dengan demikian memulihkan perfusi
jaringan yang adekuat. Eskarotomi dibuat pada garis midlateral atau
midmedial ekstrimitas yang terkait. Prosedur dilakukan di tempat tidur,
dan tidak memerlukan anestesi lokal. Tempat eskarotomi ditutupi
dengan agen topikal karena karena jaringan hidup terpajan, dan
dipasang balutan tipis. Biasanya prosedur ini diperlukan hanya pada
cedera yang terjadi lingkungan arus listrik bertegangan tinggi atau
cedera hancur

d. Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik secara umum dibedakan atas dua jenis, yaitu
antibiotik profilaksis dan terapeutik.
1) Antibiotikaprofilaksis pada luka bakar
Secara umum yang dimaksud dengan pemberian antibiotik
profilaksis adalah pemberian antibiotik sistemik bertujuan
mencegah berkembangnya infeksi sebelum melakukan sayatan
tindakan pembedahan atau prosedur invasif lainnya. Antibiotik
diberikan melalui jalur intravena 30 menit sebelum tindakan untuk
satu kali pemberian (single dose). Jenis antibiotik yang diberikan
didasari atas pola bakteri yang didasari atas pola bakteri yang
paling sering menimbulkan infeksi di rumah sakit pada kurun
waktu tertentu.
2) Antibiotik teraupetik pada luka bakar
Pemberian antibiotik sistemik yang ditujukan mengatasi infeksi
yang timbul. Pemilihan jenis antibiotik dilakukan berdasarkan hasil
kultur mikroorganisme penyebab infeksi dan memiliki sensitivitas
terhadap mikroorganisme penye-bab. Pemberiannya diberikan
sesuai dosis lazim.
7. Amputasi
indikasi amputasi apabila terdapat :
a. Cedera otot masif akibat elektric injury disertai mioglobin pada
urin yang gagal berespon terhadap resusitasi cairan dan pemberian
diuretik kuat serta manitol.
b. Keropeng dengan perlemahan status vaskuler dengan nekrosis
iskemik.
c. Infeksi yang meluas hingga mengenai sebagian besar anggota
gerak.

8. Perawatan Luka Pada Luka Bakar


Terdapat 2 jenis perawatan luka pada luka bakar, yaitu :
1) Perawatan luka bakar terbuka (exposure method)
Keuntungan perawatan terbuka adalah mudah dan murah. Permukaan luka
yang selalu terbuka menjadi dingin dan kering sehingga kuman sulit
berkembang. Kerugiannya bila digunakan obat tertentu, misalnya mitras-
argenti, alas tidur menjadi kotor. Penderita dan keluargapun merasa kurang
enak karena melihat luka yang tampak kotor. Perawatan terbuka ini
memerlukan ketelatenan dan pengawasan yang ketat dan aktif. Keadaan
luka harus diamati beberapa kali dalam sehari. Cara ini baik untuk
merawat LB yang dangkal. Untuk LB III dengan eksudasi dan
pembentukan pus harus dilakukan pembersihan luka berulang-ulang untuk
menjaga luka tetap kering. Penderita perlu dimandikan tiap hari, tubuh
sebagian yang luka dicuci dengan sabun atau antiseptik dan secara
bertahap dilakukan eksisi eskar atau debridement.
2) Perawatan luka bakar tertutup (occlusive dressing method)
Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang
dimaksudkan untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi.
Keuntungannya adalah luka tampak rapi, terlindung dan enak bagi
penderita. Hanya diperlukan tenaga dan biaya yang lebih karena
dipakainya banyak pembalut dan antiseptik. Untuk menghindari
kemungkinan kuman untuk berkembang biak, sedapat mungkin luka
ditutup kasa penyerap (tole) setelah dibubuhi dan dikompres dengan
antispetik. Balutan kompres diganti beberapa kali sehari. Pada waktu
penggantian balut, eskar yang terkelupas dari dasarnya akan terangkat,
sehingga dilakukan debridement. Tetapi untuk LB luas debridement harus
lebih aktif dan dicuci yaitu dengan melakukan eksisi eskar.

9. Tindakan Bedah
Tindakan bedah selanjutnya pada penderita LB yang dapat melewati fase
aktif adalah eksisi dan penutupan luka. Hal ini sangat penting bila ingin
menghindarkan kematian oleh sepsis dan akibat-akibat hipermetabolisme
yang sulit diatasi. Eksisi eskar dilakukan secara tangensial. Seluruh
jaringan nekrotik dibuang, bila perlu sampai fascia atau lebih dalam.
Keuntungan eksisi eskar dan penutupan luka yang dini adalah :
1. Keadaan umum cepat membaik.
2. Jaringan nekrotik sebagai media tumbuh bakteri dihilangkan.
3. Penyembuhan luka menjadi lebih pendek bila dilakukan skin graft.
4. Timbulnya jaringan parut dan kontraktur dikurangi.
5. Sensitivitas lebih baik.

8. Komplikasi Luka Bakar

1. Gagal jantung kongestif dan edema pulmonal


2. Sindrom kompartemen. Sindrom kompartemen merupakan proses
terjadinya pemulihan integritas kapiler, syok luka bakar akan menghilang
dan cairan mengalir kembali ke dalam kompartemen vaskuler, volume
darah akan meningkat. Karena edema akan bertambah berat pada luka
bakar yang melingkar. Tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf
pada ekstremitas distal menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga
terjadi iskemia.
3. Adult Respiratory Distress Syndrome. Akibat kegagalan respirasi terjadi
jika derajat gangguan ventilasi dan pertukaran gas sudah mengancam jiwa
pasien.
4. Ileus Paralitik dan Ulkus Curling. Berkurangnya peristaltic usus dan bising
usus merupakan tanda-tanda ileus paralitik akibat luka bakar. Distensi
lambung dan nausea dapat mengakibatnause. Perdarahan lambung yang
terjadi sekunder akibat stress fisiologik yang massif (hipersekresi asam
lambung) dapat ditandai oleh darah okulta dalam feces, regurgitasi
muntahan atau vomitus yang berdarha, ini merupakan tanda-tanda ulkus
curling.
5. Syok sirkulasi terjadi akibat kelebihan muatan cairan atau bahkan
hipovolemik yang terjadi sekunder akibat resusitasi cairan yang adekuat.
Tandanya biasanya pasien menunjukkan mental berubah, perubahan status
respirasi, penurunan haluaran urine, perubahan pada tekanan darah, curah
janutng, tekanan cena sentral dan peningkatan frekuensi denyut nadi.
6. Gagal ginjal akut. Haluran urine yang tidak memadai dapat menunjukkan
resusiratsi cairan yang tidak adekuat khususnya hemoglobin atau
mioglobin terdektis dalam urine.

B. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Luka Bakar


1. Pengkajian Keperawatan
Data Subyektif
a. Identitas diri klien, riwayat keluarga, riwayat lingkungan, aspek
psikososial.
b. Kaji luas, kedalaman luka bakar.
c. Asupan dan keluaran cairan.
d. Berat badan, riwayat berat pra-luka bakar, alergi, imunisasi tetanus,
masalah medik serta bedah pada masa lalu, penyakit sekarang, dan
penggunaan obatstatus fisiologik, tingkat nyeri, serta kecemasan dan
perilaku klien.

Data Obyektif
a. Pemeriksaan fisik
1) Vital Sign
a) Tekanan darah
b) Suhu
c) Nadi
d) Pernafasan
2) Kesadaran
a) GCS
b) Eye
c) Motorik
d) Verbal
3) Keadaan umum
a) Sakit/ nyeri : 1. ringan 2. sedang 3. berat
b) Status gizi : 1. gemuk 2. normal 3. kurus
c) Sikap : 1. tenang 2. gelisah 3. menahan
nyeri
d) Personal hygiene : 1. bersih 2. kotor 3. lain-lain
e) Orientasi waktu/ tempat/ orang : 1. baik 2. Terganggu
4) Pemeriksaan fisik head to toe
a) Kepala : bentuk, lesi/luka
b) Rambut : warna, kelainan
c) Mata : penglihatan, sclera, konjungtiva, pupil, kelainan
d) Hidung : penciuman, secret/darah/polip, tarikan cuping
hidung
e) Telinga : pendengaran, secret/cairan/darah
f) Mulut dan gigi
(1) Bibir :
1. lembab 2. kering 3. cianosis 4. pecah-pecah
(2) Mulut dan tenggorokan :
1. normal 2. lesi 3. Stomatitis
(3) Gigi :
1. penuh/normal 2. ompong 3. lain-lain
g) Leher : pembesaran tyroid, lesi, nadi karotis, pembesaran
limfoid
h) Thorax : Jantung, paru-paru, retraksi dada
i) Abdomen : peristaltic usus, kembung, nyeri tekan, ascites
j) Genetalia : pimosis, alat bantu, kelainan
k) Kulit : turgor, laserasi, warna kulit
l) Ekstermitas : kekuatan otot, ROM, hemiplegic, akral,
CRT, edema

b. Pemeriksaan diagnostik
1) Sinar X
Melihat gambaran terakhir atau mendekati struktur luka bakar
2) Venogram
Menggambarkan arus vaskularisasi
3) Konduksi saraf dan elektromiogram
Mendeteksi cidera saraf
4) Angiografi
Berhubungan dengan pembuluh darah
5) Antrotropi
Mendeteksi keterlibatan sendi
6) Radiografi
Menentukan integritas tulang
7) CT-Scan
Memperlihatkan luka bakar atau mendeteksi struktur luka bakar
8) Pemeriksaan urine
Berat jenis urine, warna urine, pH, kadar glukosa, aseton, protein
serta nilai haemoglobin
1. Diagnosa Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan zat kimia, radiasi, dan luka
bakar terbuka.
d. Risiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit, pertahanan
primer tidak adekuat.
2. Perencanaan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Intervensi
Keperawatan Kriteria Hasil
1. Kekurangan volume Kriteria Hasil : Timbang popok/pembalut
jika diperlukan
cairan b.d kehilangan a. Mempertahanka
a. Pertahankan catatan
cairan aktif. n urine output
intake dan output yang
sesuai dengan
akurat
usia dan BB, BJ b. Monitor status hidrasi
urine normal, (kelembaban
HT normal membrane mukosa,
b. Tekanan darah,
nadi adekuat, tekanan
nadi, suhu tubuh
darah ortostatik), jika
dalam batas
diperlukan
normal c. Monitor vital sign
c. Tidak ada tanda- d. Monitor masukan
tanda dehidrasi, makanan/cairan dan
elastisitas turgor hitung intake kalori
kulit baik, harian
e. Kolaborasikan
pemberian cairan IV
f. Monitor status nutrisi
membrane h. Berikan cairan IV
mukosa lembab, pada suhu ruangan
i. Dorong masukan oral
tidak ada rasa
j. Berikan penggantian
haus yang
nesogatrik sesuai
berlebihan
output
k. Dorong keluarga
untuk membantu
pasien makan
l. Tawarkan snack (jus
buah, buah segar)
m. Kolaborasi dengan
dokter
n. Atur kemungkinan
tranfusi
o. Persiapan untuk
tranfusi
2. Nyeri akut Kriteria Hasil a. Lakukan pengkajian
a. Mampu
berhubungan dengan nyeri secara
mengontrol
agen cidera. komprehensif
nyeri (tahu
termasuk lokasi,
penyebab nyeri,
karakteristik, durasi,
mampu
frekuensi, kualitas dan
menggunakan
faktor presipitasi
tehnik b. Observasi reaksi
nonfarmakologi nonverbal dari
untuk ketidaknyamanan
mengurangi c. Gunakan tehnik

nyeri, mencari komunikasi terapeutik

bantuan) untuk mengetahui


b. Melaporkan pengalaman nyeri
bahwa nyeri pasien
d. Kaji kultur yang
berkurang
mempengaruhi respon
dengan
nyeri
menggunakan
e. Evaluasi pengalaman
managemen
nyeri masa lampau
nyeri f. Evaluasi bersama
c. Mampu
pasien dan tim
mengenali nyeri
kesehatan lain tentang
(skala,
ketidakefektifan
intensitas,
control nyeri masa
frekuensi dan
lampau
tanda nyeri) g. Bantu pasien dan
d. Menyatakan rasa
keluarga untuk
nyaman setelah
mencari dan
nyeri berkurang
menemukan dukungan
h. Control lingkungan
yang dapat
mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
i. Kurangi factor
presipitasi nyeri
j. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi,
nonfarmakologi dan
interpersonal)
k. Kaji tipe dan
sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
l. Ajarkan tentang teknik
nonfarmakologi
m. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri
n. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
o. Tingkatkan istrihat
p. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada
keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil
q. Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri
3. Kerusakan integritas Kriteria hasil
a. Integritas kulit a. Anjurkan pasien untuk
kulit b.d zat kimia,
yang baik bias menggunakan pakaian
radiasi
dipertahankan yang longgar
b. Hindari kerutan pada
tempat tidur
c. Jaga kebersihan kulit
agar tetap bersih dan
(sensai, kering
d. Mobilisasi pasien
elastisitas,
(ubah posisi pasien)
temperature,
setiap dua jam sekali
hidrasi,
e. Monitor kulit akan
pigmentasi)
adanya kemerahan
b. Tidak ada
f. Oleskan lotion atau
luka/lesi pada
minyak/baby oil pada
kulit
daerah yang tertekan
c. Perfusi jaringan
g. Monitor aktivitas dan
baik
mobilisasi pasien
d. Menunjukkan
h. Monitor status nutrisi
pemahaman
pasien
dalam proses i. Memandikan pasien
perbaikan kulit dengan sabun dan air
dan mencegah hangat
terjadinya cedera
berulang
e. Mampu
melindungi kulit
dan
mempertahankan
kelembaban kulit
perawatan alami
4. Risiko infeksi. a. Bersihkan lingkungan
Kriteria hasil
a. Klien bebas dari setelah dipakai pasien
tanda dan gejala lain
b. Pertahankan teknik
infeksi
b. Mendeskripsikan isolasi
c. Batasi pengunjung bila
proses
perlu
penularann
d. Instruksikan pada
penyakit, factor
pengunjung untuk
yang
mencuci tangan saat
mempengaruhi
berkunjung
penularan serta
meninggalkan pasien
penatalaksanaan e. Gunakan sabun
nya antimikroba untuk
c. Menunjukkan
cuci tangan
kemampuan f. Cuci tangan setiap
untuk mencegah sebelum dan sesudah
timbulnya tindakan keperawatan
g. Gunakan baju, sarung
infeksi
d. Jumlah leukosit tangan sebagai alat
dalam batas penlindung
h. Pertahankan lingkunan
normal
e. Menunjukkan aseptic selama
pemasangan alat
i. Ganti letak IV perifer
dan line central dan
perilaku hidup dressing sesuai dengan
sehat petunjuk umum
j. Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan infeksi
kandung kencing
k. Tingkatkan intake
nutrisi
l. Berikan terapi
antibiotic bila perlu
5. Gangguan rasa Kriteria hasil a. gunakan pendekatan
a. mampu
nyaman b.d gejala yang menenangkan
mengontrol b. jelaskan semua
terkait penyakit.
kecemasan prosedur dan apa yang
b. status
dirasakan selama
lingkungan yang
prosedur
nyaman c. pahami perspektif
c. mengontrol nyeri
pasien terhadap situasi
d. kualitas tidur
stres
dann istirahat
d. instruksikan pasien
adekuat
menggunakan teknik
e. agresi
relaksasi
pengendalian diri
e. identifikasi tingkat
f. respon terhadap
kecemasan
pengobatan
g. kontrol gejala
h. status
kenyamanan
meningkat
i. dapat
mengontrol
ketakutan
j. support social
DAFTAR PUSTAKA

Hardisman. (2016) Konsep Luka Bakar dan Penangannya. Surabaya : UNY Press.

Kartikasari. (2015) Pertolongan Pertama Luka Bakar. Yogyakarta : Aulia Publishing.

Corwin, Elisabeth J. 2015 Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta : EGC

Effendi, C. 2017 Perawatan Pasien Luka Bakar. Jakarta: EGC

Zildo, Stanley M.(2017). First aid "Cara Benar Pertolongan Pertama dan Penanganan
Darurat". Jakarta. Salemba Medika

Herdman, Heater. 2012. Nursing Diagnoses Definition and Classification 2012-


2014. Jakarta : EGC

Nurarif & Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction

Smeltzer, Suzanne C, Bare, Brenda G. 2008. Keperawatan Medikal-Bedah Edisi

Anda mungkin juga menyukai