Anda di halaman 1dari 49

Kelompok 8

LAPORAN DISKUSI PEMICU 1


MODUL MUSKULOSKELETAL

Disusun Oleh:
Firgina Presirina Linthin I1011161044
Salsabila Zahra I1011191017
Rafif Ibtsa Yasri I1011191021
Orlana Devina Siambaton Munthe I1011191031
Wayan Adelia Putri I1011191040
Naufal Nur Habibi I1011191041
Shafiyyah Fitri Annisa I1011191043
An-Nissa Aulia Rahmi I1011191047
Dheo Volente Sagala I1011191057
Reyqal Izaldy Anwarifaie I1011191079
Tiara Fika Fardila I1011191089
Aditya Rivaldi I1011191097

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Seorang wanita berusia 57 tahun berperawakan gemuk datang ke poliklinik
dengan wajah kesakitan dan berjalan pincang. Dia mengeluhkan lutut kanannya yang
terasa sangat nyeri dan bengkak sejak 2 minggu terakhir. Nyeri lutut kanannya
sebenarnya sudah mulai dirasakan hilang timbul sejak satu tahun terakhir, terutama jika
dia berdiri lama atau sering naik turun tangga. Biasanya dengan minum obat yang di beli
di apotek keluhan tersebut hilang, tetapi kali ini nyerinya hanya sedikit berkurang dan
bengkak semakin bertambah. Gerakan lutut juga menjadi terbatas karena nyeri
bertambah saat lutut ditekuk. Pada pemeriksaan fisik didapatkan krepitasi dan tanda efusi
sendi. Riwayat jatuh atau trauma disangkal.

1.2 Klarifikasi dan Definisi


1. Krepitasi : Sensasi suara gemertak yang sering ditemukan pada tulang sendi rawan
2. Nyeri : Suatu kondisi dimana seseorang merasakan perasaan yang tidak nyaman atau
tidak menyenangkan yang disebabkan oleh kerusakan jaringan yang telah rusak atau
yang berpotensi untuk rusak
3. Tanda efusi sendi : Keluarnya cairan sendi synovial

1.3 Kata Kunci


1. Wanita berusia 57 tahun
2. Berperawakan gemuk
3. Krepitasi
4. lutut nyeri dan bengkak sejak 2 minggu terakhir
5. Tanda efusi sendi
6. Dirasakan sejak 1 tahun terakhir
7. Gerakan sendi lutut terbatas
8. Memberat saat berdiri lama & naik turun tangga
9. Riwayat jatuh & trauma (-)

1.4 Rumusan Masalah


Wanita 57 tahun berperawakan gemuk mempunyai keluhan lutut kanan terasa
sangat nyeri & bengkak sejak 2 minggu terakhir, namun nyeri tersebut telah dirasakan
hilang timbul sejak 1 tahun terakhir. Pada Pemeriksaan fisik didapatkan krepitasi dan
tanda efusi sendi dan tidak ada riwayat jatuh atau trauma.
1.5 Analisis Masalah

Wanita 57 tahun
Perawakan gemuk

ANAMNESIS: PEMFIS:

• Nyeri di lutut kanan • Krepitasi


• Nyeri sejak 1 tahun • Efusi sendi
• Nyeri dan bengkak sejak • Gerakan lutut
2 minggu terbatas karena
• Memberat saat berdiri nyeri saat
lama atau naik turun ditekuk
tangga
• Keluhan berkurang ketika
mengonsumsi obat
• Trauma dan jatuh (-)

Osteoarthritis

DD:
LABORATORIUM
• Rheumatoid arthritis
• Gout
RADIOLOGI • Septic arthritis

DIAGNOSIS

TATALAKSANA

1.6 Hipotesis
Wanita 57 tahun mengalami osteoarthirits (OA) yang kemungkinan disebabkan
oleh faktor predisposisi dari kegemukan dan jenis kelamin yang dimana usia >50 tahun,
perempuan lebih berisiko OA daripada laki-laki. Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk
menentukan diagnosis dan penyebab pastinya.
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Anatomi dari ekstremitas atas dan ekstremitas bawah
2. Jelaskan klasifikasi struktural dan fungsional sendi!
3. Junctura synovial
a. Struktur
b. Fisiologi
c. Komposisi cairan synovial
d. Jenis/subtipenya
4. Jelaskan faktor yg mempengaruhi jenis gerakan & rentang gerak yg mungkin terjadi
pada junctura synovalis!
5. Bagaimana melakukan penilaian klinis terhadap krepitasi dan efusi sendi?
6. Mengapa nyeri memberat dengan berdiri lama?
7. Osteoarthritis
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Etiologi
d. Patogenesis
e. Faktor Risiko
f. Manifestasi Klinis
g. Diagnosis
h. Pemeriksaan diagnostik
i. Tata Laksana
8. Septic arthritis
a. Definisi
b. Etiologi
c. Diagnosis
d. Manifestasi klinis
e. Pemeriksaan diagnostik
9. Gout
a. Definisi
b. Etiologi
c. Diagnosis
d. Manifestasi klinis
e. Pemeriksaan diagnostik
10. Rheumatoid Arthritis
a. Definisi
b. Etiologi
c. Diagnosis
d. Manifestasi klinis
e. Pemeriksaan diagnostik
11. Jelaskan tentang hasil lab dan radiologi dengan pemicu!
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Ekstremitas Atas dan Ekstremitas Bawah


2.1.1 Ekstremitas Atas
2.1.1.1 Skeleton ekstremitas atas sisi kanan

Gambar 2.1. Ekstremitas atas sisi kanan a. dilihat dari ventral; b. dilihat dari dorsal.1
Skeleton ekstremitas atas terdiri atas gelang bahu dan lengan yang merupakan
anggota gerak yang bebas bergerak. Gelang bahu (Clavicula dan Scapula)
menghubungkan lengan dengan tubuh: melalui Articulatio sternoclavicularis, dengan
Thorax; dan melalui sendi bahu, dengan anggota gerak (ekstremitas) bebas, yaitu lengan.
Ekstremitas atas dapat dibedakan menjadi:1
1) Lengan atas ( Brachium)
2) Lengan bawah (Antebrachium) dan
3) Tangan (Manus)
2.1.1.2 Titik-titik tulang pada ekstremitas atas sisi kanan yang dapat diraba
Kecuali Os lunatum dan Os trapezoideum, bagian-bagian tertentu pada semua
tulang ekstremitas atas dapat diraba melalui kulit. Untuk mengukur panjang bagian-
bagian lengan yang menggantung (dengan telapak tangan menghadap ke depan),
digunakan titik-titik pengukuran tertentu. Berdasarkan konvensi, pengukuran dilakukan
dengan bantuan titik patokan sbb:1
1) Acromion – Epicondylus lateralis = panjang lengan atas
2) Epicondylus lateralis – Proc.styloideus radii = panjang lengan bawah;
3) Proc.styloideus radii - ujung jari ke-3 = panjang tangan
Pengukuran panjang-panjang bagian itu diperlukan, salah satu contohnya untuk
dapat mengukur dengan pasti dan tepat gangguan-gangguan pertumbuhan yang
mengenai tulang tertentu pada anak-anak.1

Gambar 2.2. Titik-titik tulang pada ekstremitas atas sisi kanan yang dapat diraba
a. dilihat dari ventral; b. dilihat dari dorsal.1

2.1.1.3 Anatomi tulang ekstremitas atas

Gambar 2.3. Clavicula, Kanan, arah kaudal.18


Gambar 2.4. Scapula, kanan, arah ventral.18

Tulang bahu terdiri dari 2 yaitu Os Clavicula dan Os Scapula. Kedua tulang ini
menghubungkan lengan dengan tubuh yaitu melalui Articulatio Sternoclavicularis yang
dimana menghubungkan facies articularis sternalis pada Os Clavicula dengan Incisura
Clavicularis pada Os Sternum. Lalu melalui Articulatio Acromioclavicularis yang dimana
menghubungkan facies articularis acromialis dari Os Clavicula dengan Acromion dari Os
Scapula.18

Gambar 2.5. Humerus, kanan, ventral.18 Gambar 2.6. Ulna, kanan, ventral.18
Gambar 2.7. Radius, kanan, ventral.18

Bagian lengan dibagi menjadi 2 regio yaitu regio brachii dan antebrachii. Untuk
regio brachii terdapat Os Humerus. Pada bagian proximal, Os Humerus bertemu dengan
Os Scapulae dengan pertemuan antara caput humeri dengan cavitas glenoidalis dan
membentuk articulatio humeri. Di bagian distal akan bertemu dengan dua tulang yaitu Os
Ulna dan Os Radius. Os Humeri akan bertemu dengan Ulna dengan pertemuan antara
trochlea humeri dengan incisura trochlearis dan membentuk articulatio humeroulnaris.
Sementara, os humeri akan bertemu dengan os radialis dengan pertemuan antara
capitulum humeri dengan caput radii dan membentuk articulatio humeroradialis. Kedua
articulatio itu merupakah 2 diantara 3 articulatio pembentuk articulatio cubiti atau siku.

Regio antebrachii terdapat os ulna dan radialis. Dibagian proksimal, os ulna dan
os radialis bertemu melalui pertemuan antara caput radii dengan incisura radialis dan
membentuk articulatio radioulnaris proximal yang merupakan salah satu dari articulatio
cubiti. Dibagian distal kedua tulang bertemu melalui pertemuan antara incisura ulnaris
dengan caput ulnae dan membentuk articulatio radioulnaris distal. Dibagian distal, os
radialis bertemu dengan os carpal memlaui pertemuan antara facies articularis carpalis
dengan os scapoideum dan membentuk articulatio radiocarpalis.

a. Tulang scapula
Skapula ialah tulang pipih segitiga dengan:2
1) Tiga angulus (lateral, superior, inferior)
2) Tiga margo (superior, lateral, medial)
3) Dua facies (costal dan posterior)
4) Tiga processus (acromion, spina, dan processus coracoideus)
b. Tulang clavicula
Merupakan tulang berbentuk lengkung yang menghubungkan lengan atas
dengan batang tubuh. Ujung medial clavicula berartikulasi dengan tulang dada
sedangkan uujung lateral-nya berartikulasi dengan scapula.2
c. Tulang humerus
Pada bagian proximal terdapat caput humeri berbentuk separuh bola,
mengarah kemedial untuk berartikulasi dengan scapula. Pada distal terdapat capitulum
yang bersendi dengan radius dan trochlea bersendi dengan ulna. Terdapat tiga fossa
yaitu fossa radialis, fossa coronoidea dan yang terbesar fossa olecrani.2
d. Tulang ulna
Pada ujung proximal ulna terdapat olecranon dan processus coronoideus. Pada
corpus ulna ada tiga margo yaitu anterior, posterior dan interossea dan tiga facies yaitu,
anterior, posterior dan medialis). Ujung distal ulna kecil dtandai oleh capitulum yang
membulat serta processus styloideus ulnae.2
e. Tulang radius
Pada ujung proximal terdapat capitulum (struktur seperti cakram tebal dengan
orientasi pad bidang hori0ontal), struktur ini bersendi dengan uujung proximal ulna;
collum radii dan tuberositas radii. Pada bagian corpus ad tiga margo yaitu anterior,
posterior dan interossea dan tiga facies yaitu anterior posterior dan interossea. Pada
uujung distal radius lebar dan agak mendatar secara anteroposterior. 2
f. Tulang carpal
Tulang kecil yang disusun dalam "baris yaitu proximal dan distal. Tulang
proximal terdiri dari schapoideum (berbentuk perahu), Lunatum (bulan sabit), triquetum
(segitiga), dan pisiforme (kacang). Dan bagian distal yaitu trapezium (segi tidak
beraturan), trapezoid (sisi), capitatu (memiliki caput), hamatum (memiliki kait).2
g. Tulang metacarpi
Masing-masing tulang metacarpi berhubungan dengan satu digitus seperti
metacarpal 1 berhubungan dengan pollex, metacarpi II sampai IV berhubungan
dengan digitus index, medius, anularis dan minimus.2
h. Tulang phalanges
Tulang ini ialah tulang-tulang digiti
1) Pollex punya dua yaitu phalanx proximal dan distal
2) Digiti lain punya tiga yaitu phalanx proximal, medial dan distal.2
2.1.2 Ekstremitas Bawah
2.1.2.1 Sinopsis skeleton ekstremitas bawah

Gambar 2.8. a. Tungkai kanan, dilihat dari depan; b. Tungkai kanan, dilihat dari
belakang (di kedua perpektif), kaki di plantar fleksi dengan maksimal.1
Skeleton ekstremitas bawah, seperti pada ekstremitas atas, dibedakan antara
gelang panggul (“pelvic girdle”) dan anggota gerak bebas.1
1) Gelang panggul (Cingulum pelvicum/Cingulum membri inferioris):
Pada orang dewasa dibentuk oleh kedua Ossa coxae, berbeda dengan
gelang bahu (”shoulder girdle”), difiksasi dengan kuat ke dalam skeleton sumbu
tubuh melalui sendi iliosakral. Bersama-sama dengan Os sacrum dan Symphysis
pubica, kedua tulang panggul tersebut membentuk apa yang disebut sebagai
rongga pelvis (”pelvic ring”).1
2) Bagian anggota gerak bawah yang bebas (Pars libera membri inferioris):
Terdiri dari paha (Femur), tungkai bawah (Crus) dan kaki (Pes). Bagian ini
terhubung dengan gelang panggul melalui sendi panggul (Art.coxae).1
3) Berdasarkan alasan-alasan filogenetis, istilah yang digunakan pada manusia
dalam kaitannya dengan ekstremitas bawah adalah posterior dan anterior, bukan
“dorsal” dan “ventral”.1
2.1.2.2 Titik-titik tulang ekstremitas bawah yang teraba

Gambar 2.9. Titik-titk tulang ekstremitas bawah yang teraba a. dilihat dari depan;
b. dilihat dari belakang.1
Hampir semua elemen skeleton ekstremitas bawah dapat diraba melalui kulit atau
melalui jaringan lunak tonjolan-tonjolan tulang, kontur pinggir, atau permukaan parsial
tulang-tulang (mis. Facies medialis tibiae). Elemen-elemen tulang tersebut adalah Collum
femoris dan Corpus femoris serta Sebagian besar Corpus fibulae, kecuali struktur, yang
hampir sempurna tertutup oleh otot-otot seperti Articulatio coxae. Sesuai kesepakatan
bersama, digunakan titik-titik pengukuran yang dapat ditentukan dengan baik untuk
pengukuran panjang tungkai dan pengukuran panjang setiap elemen skeleton: Spina
iliaca anterior superior, Trochanter major, celah sendi lutut medial (pinggir atas Condylus
tibia medial) serta Malleolus medialis. Penilaian perbedaan panjang tungkai bermakna
penting secara klinis karena pemendekan tungkai yang “sebenarnya” (perbedaan panjang
tungkai anatomis) dan pemendekan tungkai fungsional (mis., karena kontraktur otot)
dapat menyebabkan pelvis yang miring (“pelvic obliquity/misalignment”) serta skoliosis.1
2.1.2.3 Anatomi tulang ekstremitas bawah

Gambar 2.10. Sendi lutut, kanan, dengan kapsul sendi dan tanpa kapsul sendi.18

Gambar 2.11. Sendi lutut, kanan, ventral dan dorsal.18

Pada sendi lutut, femur berartikulasi dengan tibia membentuk articulatio


femorotibialis dan juga patella membentuk articulatio femoropatellaris. Pada articulatio
femorotibialis, condylus medialis dan lateralis dari femur bertemu dengan facies
articularis superior dari tibia. Sendi lutut merupakan jenis sendi bicondylar yang
memiliki dua sumbu pergerakan, yaitu ekstensi-fleksi dan endorotasi-eksorotasi.

Ligamen dari sendi lutut terdiri atas ligamen eksternal yang menopang dari
bagian sendi dan ligamen internal yang terletal di capsula fibrosa. Ligamen eksternal
terdiri dari ligamen patella, retinacula patella medial dan lateral, dan ligamen collateral
tibia dan fibula. Ligamen patella dan retinacula patella merupakan lanjutan tendon dari
muskulus quadriceps femoris. Dibagian medial dan lateral, terdapat ligamen collateral
tibial dan fibular.18

a. Pelvis
Pelvis terdiri dari sepasang tulang panggul (hip bone) yang merupakan tulang
pipih. Tulang pinggul terdiri atas 3 bagian utama yaitu ilium, pubis dan ischium. Ilium
terletak di bagian superior dan membentuk artikulasi dengan vertebra sakrum, ischium
terletak di bagian inferior-posterior, dan pubis terletak di bagian inferior-anterior-
medial. Bagian ujung ilium disebut sebagai puncak iliac (iliac crest). Pertemuan antara
pubis dari pinggul kiri dan pinggul kanan disebut simfisis pubis. Terdapat suatu
cekungan di bagian pertemuan ilium-ischium-pubis disebut acetabulum, fungsinya
adalah untuk artikulasi dengan tulang femur.2
b. Femur
Pada bagian proksimal berartikulasi dengan pelvis dan dibagian distal
berartikulasi dengan tibia melalui condyles. Di daerah proksimal terdapat prosesus
yang disebut trochanter mayor dan trochanter minor, yang dihubungkan oleh garis
intertrochanteric. Di bagian distal anterior terdapat condyle lateral dan condyle medial
untuk artikulasi dengan tibia, serta permukaan untuk tulang patella. Di bagian distal
posterior terdapat fossa intercondylar. 2
c. Tibia
Tibia merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih medial dibanding
dengan fibula. Di bagian proksimal, tibia memiliki condyle medial dan lateral di mana
keduanya merupakan facies untuk artikulasi dengan condyle femur. Terdapat juga
facies untuk berartikulasi dengan kepala fibula di sisi lateral. Selain itu, tibia memiliki
tuberositas untuk perlekatan ligamen. Di daerah distal tibia membentuk artikulasi
dengan tulang-tulang tarsal dan malleolus medial.2
d. Fibula
Fibula merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih lateral dibanding
dengan tibia. Di bagian proksimal, fibula berartikulasi dengan tibia. Sedangkan di
bagian distal, fibula membentuk malleolus lateral dan facies untuk artikulasi dengan
tulang-tulang tarsal.2
e. Tarsal
Tarsal merupakan 7 tulang yang membentuk artikulasi dengan fibula dan di
proksimal dan dengan metatarsal di distal. Terdapat 7 tulang tarsal, yaitu calcaneus
(berperan sebagai tulang penyanggah berdiri), talus, cuboid, navicular, dan cuneiform
(1, 2, 3).2
f. Metatarsal
Metatarsal merupakan 5 tulang yang berartikulasi dengan tarsal di proksimal
dan dengan tulang phalangs di distal. Khusus di tulang metatarsal 1 (ibu jari) terdapat
2 tulang sesamoid.2
g. Phalangs
Phalangs merupakan tulang jari-jari kaki.terdapat 2 tulang phalangs di ibu jari
dan 3 phalangs di masing-masing jari sisanya. Karena tidak ada sendi pelana di ibu
jari kaki, menyebabkan jari tersebut tidak sefleksibel ibu jari tangan.2

Gambar 2.12. Anatomi ekstermitas bawah.2

2.2 Jelaskan Klasifikasi Struktural dan Fungsional Sendi


2.2.1 Klasifikasi Fungsional
Persendian pada tubuh bermacam-macam adanya. Secara fungsional, sendi
dibagi menjadi 3, yaitu:3
a. Synarthrosis (Articulation fribrosa)
Synarthrosis merupakan sendi yang terjadi akibat adanya kesinambungan antar
dua tulang sehingga di antara kedua ujung tulang yang bersendi terdapat suatu jaringan
serat atau kolagen sehingga sama sekali tidak bisa digerakkan. Kedua tulang
dihubungkan oleh jaringan fibrous dan cartilage. Sendi ini juga tidak memiliki ruang sendi
(cavum articulare) yang berakibat tidak adanya kapsula, membran, dan sinovial pula.
Synarthrosis dibedakan menjadi 2 tipe utama, yaitu Synartrosis sinfibrosis dan Synartrosis
sinkondrosis.3
b. Diarthrosis (Articulation Synovialis)
Diarthrosis adalah hubungan antar tulang yang kedua ujungnya tidak dihubungkan
oleh jaringan sehingga tulang dapat digerakkan. Diarthrosis disebut juga hubungan
sinovial yang dicirikan dengan keleluasaan bergerak dan fleksibel. Diarthrosis pada
umumnya dapat dibedakan menjadi bagian-bagian sebagai berikut:3
1) Ujung-ujung sendi
2) Simpai sendi
3) Rongga sendi
4) Alat-alat khusus: ligament, disci dan menisci articularis, bursa synoviale atau
kandung lendir.
Berdasarkan jumlah tulang yang dihubungkan diarthrosis dapat menjadi, yaitu: 3
1) Articulation simplex, yaitu: Persendian yang dibentuk hanya oleh 2 buah tulang.
2) Articulation composites, yaitu: persendian yang dibentuk oleh lebih dari 2 buah
tulang.
Diarthrosis berdasarkan bentuk permukaan sendi diklasifikasikan ke dalam 7
(tujuh) tipe, yaitu:3
1) Sendi peluru (ball and socket joint)
2) Sendi pelana (saddle joint)
3) Sendi putar (pivot joint)
4) Sendi engsel (hinge joint)
5) Sendi geser (gliding joint)
6) Sendi condiiloid (articulatio condyloidea)
7) Sendi luncur (ovoid/ elipsoidea)
Gerakan pada diarthrose dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelompok gerakan, yaitu
sebagai berikut:3
1) Gerakan menggeser (gilding movement)
2) Gerakan menyudut (angular movement)
3) Gerakan berputar (rotation)
c. Amphiarthrosis (Articulation Cartilaginosa)
Amphiarthrosis merupakan persendian yang dihubungkan oleh jaringan tulang
rawan (cartilage) sehingga memungkinkan terjadinya sedikit gerakan, dapat berubah
bentuk jika ada tekanan dan ini penting untuk melindungi tulang yang kaku. Macam-
macam amphiarthrosis sebagai berikut:3
1) Symphysis
Pada persendian ini tulang-tulang yang membentuk jaringan rawan
berbentuk pipih dan agak tebal, misalnya: articulation intercapus vertebrae,
articulation sacroiliaca, dan symphisis pubis.3
2) Syndesmosis
Pada persendian ini, tulang-tulang yang membetuknya dihubungkan oleh
selaput jaringan ikat (membrane intessea), misalnya: articulation tibiofibular, dan
articulatio radisunare.3
2.2.2 Klasifikasi Struktural
Berdasarkan strukturalnya, persendian dibedakan menjadi tiga, yaitu:4
a. Sendi fibrosa
Sendi jenis ini tidak memiliki rongga namun memiliki jaringan fibrosa yang
memperkokoh hubungan antar sendi. Sendi ini dapat bergerak tetapi hanya sedikit. Sendi
fibrosa dibagi lagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:4
1) Sutura
Tulang dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa dan ditemukan diantara
tulang-tulang pipih di tengkorak.
2) Syndesmosis
Tulang dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa dan terdapat pada
syndesmosis tibiofibular inferior dan tympanostapedial.
Gambar 2.13. Sendi Fibrosa.5
b. Sendi cartilago (tulang rawan)

Gambar 2.14. Sendi Cartilago.5


Sendi ini menyerupai sendi fibrosa yaitu tidak memiliki rongga sendi. Ruang antar
sendi yang terbentuk pada sendi ini berikatan dengan tulang rawan. Sendi ini dibagi
menjadi 2 jenis, yaitu:4
1) Sendi cartilaginosa primer (Synchondrosis)
Disatukan oleh kartilago hialin dan tidak bisa menimbulkan gerakan, tetapi
bertumbuh semakin panjang. Memiliki lempeng epifisis kartilago (hubungan antara
epifisis dan diafisis di tulang yang berkembang) dan synchondrosis
sphenooccipital dan manubriosternal.
2) Sendi cartilaginosa sekunder (Simfisis)
Dihubungkan oleh fibrokartilago dan pergerakan sendinya sedikit. Sendi ini
terdapat pada simfisis pubis dan lempeng intervertebral
c. Sendi synovial
Sendi synovial merupakan sendi yang memiliki rongga dan diperkokoh dengan
kapsul serta ligamen pembungkus sebagai pelindung persendian. Sendi ini bergerak
bebas dan diklasifikasikan berdasarkan bentuk artikulasi dan atau tipe gerakan. Sendi ini
terdiri dari beberapa bagian, yaitu rongga sendi, kartilago hialin, membran hialin (yang
memproduksi cairan synovial), dan kapsul artikular. 4
Sendi ini dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan mekanisme geraknya, yaitu:4
1) Sendi peluru (ball and socket joint)
2) Sendi pelana (saddle joint)
3) Sendi putar (pivot joint)
4) Sendi engsel (hinge joint)
5) Sendi geser (gliding joint)
6) Sendi condiiloid (articulatio condyloidea)

Gambar 2.15. Sendi Synovial.5


2.3 Junctura Synovial
2.3.1 Struktur
Junctura synovalis memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan sendi-
sendi lain. Ciri unik junctura synovalis adalah adanya ruang yang disebut cavitas synovial
di antara tulang-tulang yang bersendi (Gambar 2.15). Karena cavitas synovial
memungkinkan gerakan yang cukup pada suatu sendi, semua junctura synovialis secara
fungsional dimasukkan dalam sendi yang dapat digerakkan secara bebas (diartrosis).
Tulang-tulang pada junctura synovalis ditutup oleh lapisan kartilago hialin yang disebut
kartilago artikularis. Kartilago menutup permukaan tulang-tulang yang bersendi dengan
permukaan halus, licin tetapi tidak mengikatnya. Cartilago articularis mengurangi friksi
antara tulang-tulang pada sendi selama gerakan dan membantu meredam guncangan. 5

Capsula Articularis

Capsula articularis seperti lengan baju mengelilingi articulatio synovalis,


membungkus cavitas synovial, dan menyatukan tulang-tulang yang bersendi. Capsula
articularis tersusun atas dua lapis, membrana fibrosa luar dan membrana synovialis
dalam (Gambar 2.15a). Membrana fibrosa biasanya terdiri dari jaringan ikat tak teratur
padat (sebagian besar serat kolagen) yang melekat pada periosteum tulang-tulang yang
bersendi. Pada kenyataannya, membrana fibrosa secara harafiah adalah kelanjutan
periosteum yang menebal di antara tulang-tulang. Fleksibilitas membrana fibrosa
memungkinkan gerakan yang cukup pada suatu sendi, sementara kekuatan
peregangannya yang besar (resistensi terhadap peregangan) membantu mencegah
tulang mengalami dislokasi.

Serat pada beberapa membrana fibrosa tersusun sebagai berkas sejajar jaringan
ikat teratur padat yang sangat disesuaikan untuk menahan regangan. Kekuatan berkas
serat ini, yang disebut ligamen, adalah salah satu faktor mekanis utama yang menyatukan
tulang dalam sendi synovialis. Ligamen sering dirancang sesuai namanya sendiri-sendiri.
Lapisan dalam capsula articularis, membrana synovialis, terdiri dari jaringan ikat areolar
dengan serat-serat elastik. Di banyak junctura synovialis, membrana synovialis meliputi
tumpukan jaringan adiposa, disebut bantalan lemak artikular. Suatu contoh adalah
bantalan lemak infrapatellar pada lutut.5

2.3.2 Fisiologi
Facies articularis tulang-tulang diliputi oleh selapis tipis cartilago hialin dan
ujungnya dipisahkan oleh rongga sendi. Susunan seperti ini memungkinkan pergerakan
yang luas. Rongga sendi dibatasi oleh membrana synovialis, yang terbentang dari pinggir
facies aticularis yang satu ke facies articularis yang lain. Membrana sinovialis dilindungi
permukaan luarnya oleh membrane fibrosa yang kuat disebut capsula articularis. Facies
articularis mendapatkan pelumas dari cairan kental yang disebut synovia (cairan synovial),
yang dihasilkan oleh membrana synovialis. Pada juncture synovialis tertentu, seperti
articulatio genus, diantara facies arcularisnya terdapat discus atau potongan fibrocartilago,
disebut discus articularis.

Luas pergerakan junctura synovialis ditentukan oleh bentuk tulang yang


membentuk sendi, struktur anatomi yang mengikuti pergerakannya (misalnya, paha
berhadapan dengan dinding anterior abdomen pada fleksi sendi panggul), dan adanya
ligamentum fibrosa yang menghubungkan tulang-tulang. Kebanyakan ligamentum
terletak di luar capsula articularis, tetapi pada articulatio genus beberapa ligamentum
penting seperti ligamentum cruciatum, terletak di capsula.6

2.3.3 Komposisi Cairan Synovial


Cairan ini kental dan lengket yang berfungsi untuk melenturkan sendi dibawah
tekanan tanpa membuat cedera. Cairan sinovial terbentuk dari ultrafiltrasi serum oleh sel-
sel yang membentuk membran sinovial. Sel sinovial juga membuat asam hyaluronat (HA)
yang merupakan glikosaminoglikan. Glikosaminoglikan merupakan komponen utama
pada cairan sinovial. Cairan sinovial memberikan nutrisi ke kartilago artikular dan juga
memenuhi kebutuhan viskositas untuk menyerap goncangan dari gerakan lambat, dan
kebutuhan elasisitas dari gerakan cepat.7

2.3.4 Jenis atau Subtipe


Berdasarkan sumbu utama gerakan, dibedakan menjadi sendi uniaksial, biaksial,
dan multiaksial:8

a. Sendi engsel, Articulatio cylindrica (Ginglymus)


Sendi uniaksial, memungkinkan fleksi dan ekstensi. Hubungan yang gerakannya
satu arah seperti engsel pintu. Contoh: sendi pada siku, lutut, mata kaki, ruas-ruas
jari.8,9
b. Sendi konoid, Articulatio conoidea
Sendi uniaksial, memungkinkan pergerakan rotasi.
c. Sendi ungkit, Articulatio trochoidea
Sendi uniaksial, memungkinkan pergerakan rotasi.
d. Sendi kondilar, Articulatio ovoidea, Articulatio ellipsoidea
Sendi biaksial, memungkinkan fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, dan gerakan
rotasi terbatas.
e. Sendi pelana, Articulatio sellaris
Sendi biaksial, memungkinkan fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, dan gerakan
rotasi terbatas. Artikulasi yang gerakannya dua arah seperti orang naik kuda di atas
pelana. Contoh: gerak pada ibu jari, antarametakarpal dan karpal.8,9
f. Sendi bulat atau sendi ball and socket, Articulatio spheroidea
Sendi multiaksial, memungkinkan fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, dan gerakan
rotasi.
g. Sendi datar, Articulatio plana
Sendi yang memungkinkan gerakan menggelincir sederhana dengan arah yang
berbeda-beda.

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Jenis Gerakan dan Rentang Gerak pada Junctura
Synovalis

Facies articularis junctura synovialis saling bersentuhan satu sama lain dan
menentukan jenis dan rentang gerak yang mungkin. Rentang gerak (ROM, range of
motion) menunjukkan rentang, diukur dalam derajat lingkaran yang dapat dilalui gerakan
tulang suatu sendi. Faktor berikut berperan untuk menjaga facies articularis dalam
bersentuhan dan mempengaruhi rentang gerak:10
1. Struktur atau bentuk tulang yang bersendi
Struktur atau bentuk tulang yang bersendi menentukan seberapa erat
kesesuaian bersama antartulang. Facies articularis beberapa tulang memiliki
hubungan yang komplementer. Hubungan spasial ini sangat jelas pada articulatio
coxae, tempat caput femoris bersendi dengan acetabulum coxae, tempat kaput femoris
bersendi dengan acetabulum os coxae. Kecocokan yang saling mengikat
memungkinkan gerakan rotasional.
2. Kekuatan dan ketegangan ligamen sendi
Komponen yang berbeda ada pada capsula fibrosa menegang hanya ketika
sendi berada pada posisi tertentu. Ligamen tegang tidak hanya membatasi rentang
gerak, tetapi juga mengarahkan gerakan tulang yang bersendi ke tulang lain. Pada
articulatio genus, misalnya, ligamentum cruciatum anterius menjadi tegang dan
ligamentum cruciatum posterius menjadi longgar bila lutut diluruskan, dan
kebalikannya terjadi bila lutut dibengkokkan. Pada articulatio coxae, ligamentum
tertentu menjadi tegang ketika berdiri dan melekatkan caput femoris ke acetabulum
lebih kuat.
3. Susunan dan tegangan otot
Tegangan otot memperkuat pembatasan (restraint) pada sendi melalui
ligamennya sehingga membatasi gerakan. Contoh yang baik dari efek tegangan otot
pada sendi terlihat pada articulatio coxae. Ketika paha fleksii dengan lutut ekstensi,
fleksi articulatio coxae dibatasi oleh tegangan otot hamstring pada permukaan posterior
paha sehingga sebagian besar dari kita tidak dapat mengangkat tungkai yang lurus
lebih dari 90 derajat dari lantai. Namun, jika lutut juga difleksikan, tegangan pada otot
hamstring berkurang, dan paha dapat diangkat lebih jauh lagi, memungkinkan Anda
mengangkat paha anda menyentuh dada.
4. Kontak pada bagian-bagian lunak
Titik tempat suatu permukaan tubuh saling bersentuhan dapat membatasi
mobilitas. Misalnya, jika anda membengkokkan lengan pada siku, lengan tidak dapat
bergerak lebih jauh lagi setelah permukaan anterior lengan bawah
bertemu dengan dan menekan muskulus biceps brachii. Gerakan sendi juga dapat
dibatasi oleh adanya jaringan adiposa.
5. Hormon
Fleksibilitas sendi juga dapat dipengaruhi hormon. Misalnya, relaksin, hormon
yang dihasilkan oleh plasenta dan ovarium, meningkatkan fleksibilitas fibrokartilago
simfisis pubis dan melonggarkan ligamen diantara sacrum, os coxae, dan coccygis
menuju Akhir kehamilan. Perubahan-perubahan ini memungkinkan pengembangan
apertura pelvis inferior, yang membantu kelahiran bayi.
6. Tidak digunakan
Gerakan sendi dapat terbatas jika sendi tidak digunakan untuk waktu yang
lama. Misalnya, jika articulatio cubiti diimobilisasi dengan gips, rentang gerak pada
sendi mungkin terbatas untuk suatu waktu setelah gips dilepas. Tidak digunakan juga
dapat menyebabkan pengurangan jumlah cairan synovial, berkurangnya fleksibilitas
ligamen dan tendon serta atrofi otot, pengurangan ukuran dan pengurusan otot. 10

2.5 Penilaian Klinis Terhadap Krepitasi dan Efusi Sendi


Metode untuk mengetahui adanya krepitasi pada sendi lutut menurut panduan dari
OAI (Osteoarthritis Initiative) yaitu dokter akan meletakkan telapak tangan mereka diatas
patella dan akan diamati apakah terdapat sensasi gemeretak (rattling) secara terus
menerus selama dilakukan gerakan ekstensi dan fleksi lutut secara pasif dalam posisi
pasien terlentang. Nyeri dan krepitus mengisyaratkan semakin kasarnya permukaan
bawah patela yang bersendi dengan femur. Nyeri serupa mungkin terjadi ketika memanjat
atau turun tangga, atau bangun dari duduk.11,12

Tes Palpasi untuk Efusi Sendi Lutut menerapkan tiga tes untuk mendeteksi cairan
di sendi lutut: tanda penonjolan (bulge sign), tanda balon (balloon sign), dan ballotement
patela.12

a. Tanda tonjolan (untuk efusi ringan)


Dengan lutut ekstensi, letakkan tangan kiri di atas lutut dan berikan tekanan pada
kantong suprapatela sehingga cairan tergeser atau "terperas" ke bawah. Pijat ke arah
bawah di aspek medial lutut dan berikan tekanan untuk mendorong cairan ke dalam
daerah lateral. Ketuk lutut tepat di belakang batas lateral patela dengan tangan
kanan.12

Gambar 2.16. Pemeriksaan Tanda Tonjolan Untuk Efusi Ringan.12

b. Tanda balon (untuk efusi besar)


Letakkan jempol dan telunjuk tangan kananAnda pada kedua sisi patela; dengan
tangan kiri Anda, tekan kantong suprapatela ke femur. Rasakan adanya cairan masuk
(atau menggembung ke dalam) ruang-ruang di samping patela di bawah jempol dan
telunjuk kanan Anda.12

Gambar 2.17. Pemeriksaan Tanda Balon Untuk Efusi Besar.12


c. Ballottement lutut
Untuk memeriksa efusi besar, Anda juga dapat menekan sakus suprapatela
dan"ballotte" atau tekan kuat-kuat patela secara cepat terhadap femur. Perhatikan
cairan yang kembali ke kantong suprapatela.12
Gambar 2.18. Pemeriksaan Ballotement Lutut.12

2.6 Penyebab Nyeri Memberat Dengan Berdiri Lama


Jutaan pekerja di dunia menghabiskan sebagian besar waktu kerjanya dengan
sikap tubuh berdiri. Lebih dari 100 tahun yang lalu, dokter-dokter di Inggris memberikan
peringatan tentang risiko kesehatan kerja bagi pekerja yang berdiri lama. Pada umumnya
sikap tubuh saat bekerja ditentukan oleh cara, proses, desain alat, ruangan, penempatan
alat, dan cara menggunakan alat kerja. Posisi yang sama, walaupun tidak banyak
bergerak, menyebabkan otot berkontraksi terus, sehingga menurunkan hantaran darah
ke daerah yang berkontraksi.13,14

Penelitian menunjukkan bahwa orang yang menghabiskan waktu bekerja dengan


sikap tubuh berdiri dengan dua kaki berisiko lebih besar untuk mengalami rasa nyeri pada
tungkai bawah, termasuk tulang kering, betis, lutut, paha dan pinggul. Menurut Canadian
Center for Occupational Health and Safety, berdiri pada posisi tegak dalam waktu lama
dapat menyebabkan nyeri/rasa tidak nyaman pada kaki, tungkai bawah, punggung bagian
bawah, dan keluhan kesehatan lain. Keluhan ini sering terjadi pada pegawai pabrik,
pekerja sales, operator mesin, pekerja kontruksi dan pekerjan lain yang memerlukan
waktu berdiri yang lama.13,14

Berdasarkan aspek biomekanik, perbedaan nyeri tungkai akibat berdiri statis dan
dinamis diakibatkan oleh peregangan otot. Nyeri tungkai bawah diakibatkan oleh
peregangan pada otot medial dan lateral gastrocnemius, peroneals, dan tibialis anterior
akibat berdiri statis. Peregangan otot menyebabkan aliran darah menjadi terhambat.
Apabila hal tersebut ditambah dengan pengaruh gravitasi bumi yang menyebabkan
gangguan aliran darah ke jantung, dapat menimbulkan rasa nyeri. Nyeri tungkai lebih
sering ditemukan pada postur berdiri statis karena peregangan otot yang lebih sulit untuk
dilakukan. Nyeri tungkai bawah lebih banyak dirasakan pada kedua kaki (65%)
dikarenakan foot-rest pada tempat kerja yang tidak bisa dimanfaatkan. Akibatnya, tidak
terdapat kesempatan untuk mengistirahatkan kaki secara bergantian.14

2.7 Osteoarthritis
2.7.1 Definisi
Osteoarthritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif yang kartilago sendinya
secara bertahap hilang. Osteoarthritis disebabkan oleh kombinasi penuaan, obesitas,
iritasi sendi, kelemahan otot, dan aus serta abrasi. Sering dikenal sebagai artritis “aus dan
robek”, osteoarthritis merupakan jenis artritis yang paling sering terjadi. 5

Osteoarthritis adalah suatu kelainan sendi kronis dimana terjadi proses


pelemahan dan disintegrasi dari tulang rawan sendi yang disertai dengan pertumbuhan
tulang dan tulang rawan baru pada sendi. Kelainan in merupakan suatu proses
degeneratif pada sendi yang dapat mengenai satu atau lebih sendi.15

Osteoarthritis adalah penyakit sendi Degeneratif dan Inflamasi yang ditandai


dengan perubahan patologik pada seluruh struktur sendi. Perubahan patologis yang
terjadi meliputi hilangnya tulang rawan sendi hialin, diikuti penebalan dan sklerosis tulang
subkondral, pertumbuhan osteofit pada tepi sendi, teregangnya kapsul sendi, sinovitis
ringan dan kelemahan otot yang menyokong sendi karena kegagalan perbaikan
kerusakan sendi yang disebabkan oleh stress mekanik yang berlebih. 16

2.7.2 Epidemiologi
Osteoarthritis merupakan penyakit degeneratif dan progresif yang mengenai dua
per tiga orang yang berumur lebih dari 65 tahun, dengan prevalensi 60,5% pada pria dan
70,5% pada wanita. Seiring bertambahnya jumlah kelahiran yang mencapai usia
pertengahan dan obesitas serta peningkatannya dalam populasi masyarakat
osteoarthritis akan berdampak lebih buruk di kemudian hari. Karena sifatnya yang kronik
progresif, osteoarthritis berdampak sosio ekonomik yang besar di Negara maju dan di
Negara berkembang.15

Orang lanjut usia di Indonesia yang menderita cacat karena osteoarthritis


diperkirakan mencapai dua juta. Di Indonesia, prevalensi osteoartritis mencapai 5% pada
usia <40 tahun, 30% pada usia 40-60 tahun, dan 65% pada usia >61 tahun. Untuk
osteoartritis lutut prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan 12,7% pada
wanita. Prevalensi osteoarthritis usia 49-60 tahun di Malang mencapai 21,7% yang terdiri
dari 6,2% laki-laki dan 15,5% perempuan.15

Osteoartritis merupakan sebagian besar bentuk arthritis dan penyebab utama


disabilitas pada lansia. OA merupakan penyebab beban utama untuk pasien, pemberi
pelayanan kesehatan, dan masyarakat. WHO melaporkan 40% penduduk dunia yang
lansia akan menderita OA, dari jumlah tersebut 80% mengalami keterbatasan gerak sendi.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun. Bisa terjadi pada pria dan wanita,
tetapi pria bisa terkena pada usia yang lebih muda.17

2.7.3 Etiologi
Osteoartritis merupakan sekuen retrogresif dari perubahan sel dan matriks yang
berakibat kerusakan struktur dan fungsi kartilago artikular, diikuti oleh reaksi perbaikan
dan remodeling tulang. Karena reaksi perbaikan dan remodeling tulang ini, degenerasi
permukan artikuler pada OA tidak bersifat progresif, dan kecepatan degenerasi sendi
bergantung pada tiap individu dan sendi.19

Etiologi dari osteoarthritis dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu Osteoarthritis primer


dan Osteoarthritis sekunder. Osteoarthritis primer merupakan osteoarthritis ideopatik atau
osteoarthritis yang belum diketahui penyebabnya. Sedangkan osteoarthritis sekunder
penyebabnya yaitu pasca trauma, genetik, mal posisi, pasca operasi, metabolik,
gangguan endokrin, osteonekrosis aseptik. Menurut osteoarthritis memiliki etiologi
multifaktoral, yang terjadi karena karena interaksi antara faktor sistemik dan lokal. Usia,
jenis kelamin perempuan, berat badan, dan obesitas, cedera lutut, penggunaan sendi
berulang, kepadatan tulang, kelemahan otot, dan kelemahan sendi memainkan peran
dalam pengembangan OA sendi.20

2.7.4 Patogenesis

Gambar 2.19. Patogenesis Terjadinya Osteoarthritis. 17

Dua keluarga enzim yang penting dalam degradasi matriks, baik dalam tulang
rawan yang sehat ataupun pada osteoarthritis adalah metaloproteinase dan
aggrecanases. Metaloproteinase (stromelysin, collagenase, gelatinase) akan memecah
kolagen, gelatin, dan komponen protein lain dari matriks. Enzim ini disekresi oleh sinovial
sel dan khondrosit. Aggrecanases (ADAMTS) akan dasi aggrecan. Peningkatan
degradasi aggrecans oleh enzimn adalah salah satu indikasi dari osteoarthritis awal, dan
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap hilangnya struktur tulang rawan dan
fungsi.17,21,22

Pada tulang rawan yang sehat, aktivitas degradasi enzim diseimbangkan dan
diregulasi oleh faktor pertumbuhan dan inhibitor degradasi enzim. Faktor pertumbuhan ini
menginduksi khondrosit untuk mensistesis DNA dan protein seperti kolagen dan
proteoglikan. Faktor pertumbuhan yang berperan adalah insulin-like growth factor
(IGF-1), growth hormone, transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni stimulating
factors (CSFs). Tetapi pada keadaan inflamasi, sel menjadi kurang sensitif terhadap efek
IGF-1. Tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMP) dan plasminogen activator inhibitor
(PAI-1) adalah inhibitor-inhibitor enzim yang berfungsi untuk mendegradasi collagenase
dan aggrecanase.17,21

Pembentukan dan perkembangan OA sekarang dipercayai melibatkan


keradangan bahkan pada tahap awal penyakit. Keseimbangan aktivitas sendi terganggu
melalui suatu degradative cascade dan penyebab terpenting adalah IL-1 dan TNF.
Sekresi dari factor inflamasi seperti sitokin merupakan mediator yang bisa menyebabkan
terganggunya proses metabolisme dan meningkatkan proses katabolik pada sendi. IL-1
dan TNF yang diproduksi oleh khondrosit, sel mononeuklear, osteoblast dan tisu sinovial
menstimulasi sintesis dan sekresi metalloproteinase dan tissue plasminogen activator
serta mensupresi sintesis proteoglikan di dalam sendi.17,21,22

2.7.5 Faktor Risiko


Secara garis besar, terdapat dua pembagian faktor risiko OA lutut yaitu faktor
predisposisi dan faktor biomekanis. Faktor predisposisi merupakan faktor yang
memudahkan seseorang untuk terserang OA lutut. Sedangkan faktor biomekanik lebih
cenderung kepada faktor mekanis/gerak tubuh yang memberikan beban atau tekanan
pada sendi lutut sebagai alat gerak tubuh, sehingga meningkatkan risiko terhadinya OA
lutut.23

Faktor resiko terjadinya osteoarthritis adalah degenerasi, obesitas, jenis kelamin,


trauma, aktivitas fisik. Terjadinya osteoartritis dipengaruhi oleh faktor-faktor resiko yaitu
umur (proses penuaan), genetik, kegemukan, cedera sendi, pekerjaan, olah raga, anomali
anatomi, penyakit metabolik, dan penyakit inflamasi sendi.23,24

2.7.5.1 Faktor Predisposisi


a. Faktor Demografi
1) Usia
Proses penuaan dianggap sebagai penyebab peningkatan kelemahan di sekitar
sendi, penurunan kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi
kondrosit, yang semuanya mendukung terjadinya OA. Studi Framingham menunjukkan
bahwa 27% orang berusia 63–70 tahun memiliki bukti radiografik menderita OA lutut, yang
meningkat mencapai 40% pada usia 80 tahun atau lebih. Studi lain membuktikan bahwa
risiko seseorang mengalami gejala timbulnya OA lutut adalah mulai usia 50 tahun. Studi
mengenai kelenturan pada OA telah menemukan bahwa terjadi penurunan kelenturan
pada pasien usia tua dengan OA lutut.44
2) Jenis kelamin
Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih tinggi dibandingkan
perempuan, tetapi setelah usia lebih dari 50 tahun prevalensi perempuan lebih tinggi
menderita OA dibandingkan laki-laki. Perbedaan tersebut menjadi semakin berkurang
setelah menginjak usia 80 tahun. Hal tersebut diperkirakan karena pada masa usia 50–
80 tahun wanita mengalami pengurangan hormon estrogen yang signifikan. 45
3) Ras / Etnis
Prevalensi OA lutut pada penderita di negara Eropa dan Amerika tidak berbeda,
sedangkan suatu penelitian membuktikan bahwa ras Afrika–Amerika memiliki risiko
menderita OA lutut 2 kali lebih besar dibandingkan ras Kaukasia. Penduduk Asia juga
memiliki risiko menderita OA lutut lebih tinggi dibandingkan Kaukasia. Suatu studi lain
menyimpulkan bahwa populasi kulit berwarna lebih banyak terserang OA dibandingkan
kulit putih.46
b. Faktor Genetik
Faktor genetik diduga juga berperan pada kejadian OA lutut, hal tersebut
berhubungan dengan abnormalitas kode genetik untuk sintesis kolagen yang bersifat
diturunkan.23
c. Faktor Gaya Hidup
1) Kebiasaan Merokok
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa ada hubungan positif antara merokok
dengan OA lutut. Merokok meningkatkan kandungan racun dalam darah dan mematikan
jaringan akibat kekurangan oksigen, yang memungkinkan terjadinya kerusakan tulang
rawan. Rokok juga dapat merusakkan sel tulang rawan sendi. Hubungan antara merokok
dengan hilangnya tulang rawan pada OA lutut dapat dijelaskan sebagai berikut:47
a) Merokok dapat merusak sel dan menghambat proliferasi sel tulang rawan sendi.
b) Merokok dapat meningkatkan tekanan oksidan yang mempengaruhi hilangnya tulang
rawan.
c) Merokok dapat meningkatkan kandungan karbon monoksida dalam darah,
menyebabkan jaringan kekurangan oksigen dan dapat menghambat pembentukan
tulang rawan.
Di sisi lain, terdapat penelitian yang menyimpulkan bahwa merokok memiliki efek
protektif terhadap kejadian OA lutut. Hal tersebut diperoleh setelah mengendalikan
variabel perancu yang potensial seperti berat badan.45
2) Konsumsi Vitamin D
Orang yang tidak biasa mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin D
memiliki peningkatan risiko 3 kali lipat menderita OA lutut. 45,48,49
d. Faktor Metabolik
1) Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko terkuat yang dapat dimodifikasi. Selama berjalan,
setengah berat badan bertumpu pada sendi lutut. Peningkatan berat badan akan
melipatgandakan beban sendi lutut saat berjalan. Studi di Chingford menunjukkan bahwa
untuk setiap peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebesar 2 unit (kira-kira 5 kg berat
badan), rasio odds untuk menderita OA lutut secara radiografik meningkat sebesar 1,36
poin. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa semakin berat tubuh akan meningkatkan
risiko menderita OA lutut. Kehilangan 5 kg berat badan akan mengurangi risiko OA lutut
secara simtomatik pada wanita sebesar 50%. Demikian juga peningkatan risiko
mengalami OA lutut yang progresif tampak pada orang-orang yang kelebihan berat badan
dengan penyakit pada bagian tubuh tertentu.45
2) Osteoporosis
Hubungan antara OA lutut dan osteoporosis mendukung teori bahwa gerakan
mekanis yang abnormal tulang akan mempercepat kerusakan tulang rawan sendi. Suatu
studi menunjukkan bahwa terdapat kasus OA lutut tinggi pada penderita osteoporosis. 23
3) Penyakit Lain
OA lutut terbukti berhubungan dengan diabetes mellitus, hipertensi dan
hiperurikemi, dengan catatan pasien tidak mengalami obesitas.23
4) Histerektomi
Prevalensi OA lutut pada wanita yang mengalami pengangkatan rahim lebih tinggi
dibandingkan wanita yang tidak mengalami pengangkatan rahim. Hal ini diduga berkaitan
dengan pengurangan produksi hormon estrogen setelah dilakukan pengangkatan rahim.23
5) Menisektomi
Osteoartritis lutut dapat terjadi pada 89% pasien yang telah menjalani
menisektomi. Menisektomi merupakan operasi yang dilakukan di daerah lutut dan telah
diidentifikasi sebagai faktor risiko penting bagi OA lutut. Hal tersebut dimungkinkan karena
beberapa hal berikut ini:50
a) Hilangnya jaringan meniskus akibat menisektomi membuat tekanan berlebih pada
tulang rawan sendi sehingga memicu timbulnya OA lutut.
b) Bagi pasien yang mengalami menisektomi, degenerasi meniskal dan robekan
mungkin menjadi lebih luas dan perubahan pada tulang rawan sendi akan lebih besar
daripada mereka yang tidak melakukan menisektomi.
2.7.5.2 Faktor Biomekanis
a. Riwayat Trauma
Lutut Trauma lutut yang akut termasuk robekan pada ligamentum krusiatum dan
meniskus merupakan faktor risiko timbulnya OA lutut. Studi Framingham menemukan
bahwa orang dengan riwayat trauma lutut memiliki risiko 5–6 kali lipat lebih tinggi untuk
menderita OA lutut. Hal tersebut biasanya terjadi pada kelompok usia yang lebih muda
serta dapat menyebabkan kecacatan yang lama dan pengangguran.51
b. Kelainan Anatomis
Faktor risiko timbulnya OA lutut antara lain kelainan lokal pada sendi lutut seperti
genu varum, genu valgus, Legg – Calve – Perthes disease dan displasia asetabulum.
Kelemahan otot kuadrisep dan laksiti ligamentum pada sendi lutut termasuk kelainan lokal
yang juga menjadi faktor risiko OA lutut. 45
c. Pekerjaan
Osteoartritis banyak ditemukan pada pekerja fisik berat, terutama yang banyak
menggunakan kekuatan yang bertumpu pada lutut. Prevalensi lebih tinggi menderita OA
lutut ditemukan pada kuli pelabuhan, petani dan penambang dibandingkan pada pekerja
yang tidak banyak menggunakan kekuatan lutut seperti pekerja administrasi. Terdapat
hubungan signifikan antara pekerjaan yang menggunakan kekuatan lutut dan kejadian
OA lutut.51
d. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik berat seperti berdiri lama (2 jam atau lebih setiap hari), berjalan jarak
jauh (2 jam atau lebih setiap hari), mengangkat barang berat (10 kg – 50 kg selama 10
kali atau lebih setiap minggu), mendorong objek yang berat (10 kg – 50 kg selama 10 kali
atau lebih setiap minggu), naik turun tangga setiap hari merupakan faktor risiko OA lutut. 46
e. Kebiasaan olah raga
Atlit olah raga benturan keras dan membebani lutut seperti sepak bola, lari
maraton dan kung fu memiliki risiko meningkat untuk menderita OA lutut. Kelemahan otot
kuadrisep primer merupakan faktor risiko bagi terjadinya OA dengan proses menurunkan
stabilitas sendi dan mengurangi shock yang menyerap materi otot. Tetapi, di sisi lain
seseorang yang memiliki aktivitas minim sehari-hari juga berisiko mengalami OA lutut.
Ketika seseorang tidak melakukan gerakan, aliran cairan sendi akan berkurang dan
berakibat aliran makanan yang masuk ke sendi juga berkurang. Hal tersebut akan
mengakibatkan proses degeneratif menjadi berlebihan.45

2.7.6 Manifestasi Klinis


1) Subklinis, tidak ditemukan gejala tanda klinis. Hanya secara patologis dapat
ditemukan peningkatan jumlah air, pembentukan bulla / blister dan fibrilasi serabut –
serabut jaringan ikat collagen pada tulang rawan sendi.25
2) Manifestasi Klinis, timbul adanya nyeri pada saat bergerak (pain of motion) dan rasa
kaku pada permukaan gerak, telah terjadi kerusakan sendi yang lebih luas, pada foto
Rontgen tampak penyempitan ruang sendi (joint space) dan sclerosis tulang
subkondral.25
3) Decompesasi, stadium ini disebut juga surgical state. Ditandai dengan timbul rasa
nyeri pada saat istirahat (pain of rest) dan pembatasan lingkup gerak sendi lutut
(ROM= Range of Motion).25

Manifestasi klinis dari OA dapat bervariasi bergantung pada penyebabnya. Gejala


yang palung sering ditemukan pada OA adalah rasa nyeri di sekitar lutut. Rasa nyeri dapat
terasa samar-samar, tajam, konstan ataupun hilang-timbul. Rasa nyerinya dapat terasa
dari nyeri ringan sampai nyeri yang sangat terasa dan mengganggu. ROM juga menjadi
terbatas dan berkurang. Dokter juga dapat mendengar gemeretak dan menemukan
adanya kelemahan pada otot.26

Nyeri pada lutut dapat berkembang secra perlahan dan paling sering memburuk
seiring waktu, atau rasa nyerinya juga dapat langsung terasa dengan onset yang cepat.
Rasa nyeri dan kekakuan di saat pagi, setelah duduk, ataupun setelah istirahat dalam
waktu lama sering terjadi. Seiring waktu rasa nyeri dapat terjadi lebih sering, termasuk
selama istirahat dan di malam hari. Biasanya, rasa nyeri muncul langsung setelah
melakukan aktivitas yang berat. Nyeri sendi dan kekakuan setelah duduk atau istirahat
yang lama biasanya mereda dalam waktu kurang dari 30 menit.26

2.7.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Dari anamnesis, pasien biasanya akan mengeluhkan gejala sebagai berikut
sebagai tanda dari serangan osteoartritis: 17,21,22
1) Persendiaan terasa kaku dan nyeri apabila digerakkan. Pada mulanya hanya terjadi
pagi hari, tetapi apabila dibiarkan akan bertambah buruk dan menimbulkan rasa sakit
setiap melakuka gerakan tertentu, terutama pada waktu menopang berat badan,
namun bisa membaik bila diistirahatkan. Pada beberapa pasien, nyeri sendi dapat
timbul setelah istirahat lama, misalnya duduk dikursi atau di jok mobil dalam
perjalanan jauh. Kaku sendi pada OA tidak lebih dari 15-30 menit dan timbul istirahat
beberapa saat misalnya setelah bangun tidur.
2) Adanya pembengkakan/peradangan pada persendiaan. Pembengkakan bisa pada
salah satu tulang sendi atau lebih. Hal ini disebabkan karena reaksi radang yang
menyebabkan pengumpulan cairan dalam ruang sendi, biasanya teraba panas tanpa
ada kemerahan.
3) Nyeri sendi terus-menerus atau hilang timbul, terutama apabila bergerak atau
menanggung beban.
4) Persendian yang sakit berwarna kemerah-merahan.
5) Kelelahan yang menyertai rasa sakit pada persendiaan
6) Kesulitan menggunakan persendiaan
7) Bunyi pada setiap persendiaan (krepitus). Gejala ini tidak menimbulkan rasa nyeri,
hanya rasa tidak nyaman pada setiap persendiaan (umumnya tulang lutut).
8) Perubahan bentuk tulang. Ini akibat jaringan tulang rawan yang semakin rusak, tulang
mulai berubah bentuk dan meradang, menimbulakan rasa sakit yang amat sangat.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dari osteoartritis dapat ditemukan ketegangan lokal dan
pembengkakan jaringan tulang atau jaringan lunak. Krepitus tulang (sensasi tulang
bergesekan dengan tulang, yang ditimbulkan gerakan sendi) merupakan karakteristik
osteoartritis. Pada perabaan dapat dirasakan peningkatan suhu pada sendi. Otot-otot
sekitar sendi yang atrofi dapat terjadi karena tidak digunakan atau karena hambatan reflek
dari kontraksi otot. Pada tingkat lanjut osteoartritis, dapat terjadi deformitas berat (misal
pada osteoartritis lutut, kaki menjadi berbentuk O atau X), hipertrofi (pembesaran) tulang,
subluksasi, dan kehilangan pergerakan sendi (Range of Motion, ROM). Pada saat
melakukan gerakan aktif atau digerakkan secara pasif. Adapun predileksi osteoartritis
adalah pada sendi-sendi tertentu seperti carpometacarpal I, matatarsophalangeal I, sendi
apofiseal tulang belakang, lutut (tersering) dan paha.17,21,22

2.7.8 Pemeriksaan Diagnostik


Diagnosis OA lutut dapat ditegakkan dengan temuan klinis saja atau dengan
kombinasi temuan klinis dan radiologi. Menurut The European League Against
Rheumatism, diagnosis OA memerlukan tiga gejala dan tiga tanda. Tiga gejala terdiri dari
nyeri persisten, kekakuan sendi di pagi hari, dan menurunnya fungsi sendi, sedangkan
tiga tanda adalah krepitasi, range of motion berkurang, dan pembesaran tulang. Makin
banyak gejala dan tanda, makin besar kemungkinan OA. Jika semua tanda dan gejala
terpenuhi, kemungkinan menemukan OA pada radiografi adalah 99%. 26
Kriteria diagnosis yang dikembangkan oleh American College of Rheumatology
antara lain:26
a. Klinis: Nyeri lutut hampir tiap hari pada bulan sebelumnya, ditambah minimal 3 dari
berikut ini: 1) Krepitasi pada gerakan sendi aktif, 2) Kaku di pagi hari dengan durasi
kurang dari 30 menit, 3) Usia >50 tahun, 4) Pembesaran tulang lutut saat pemeriksaan,
5) Nyeri tekan pada lutut saat pemeriksaan, dan 6) Tidak teraba hangat
b. Klinis ditambah radiografi: Nyeri lutut hampir tiap hari pada bulan sebelumnya,
ditambah bukti radiografi adanya osteofit pada tepi sendi ditambah 1 gejala berikut ini:
krepitasi pada gerakan aktif, kaku di pagi hari dengan durasi kurang dari 30 menit, dan
usia > 50 tahun
c. Klinis ditambah laboratorium: Nyeri lutut hampir tiap hari pada bulan sebelumnya,
ditambah minimal 5 hal berikut ini: krepitasi pada gerakan aktif, kaku di pagi hari
dengan durasi kurang dari 30 menit, usia >50 tahun, nyeri tekan tulang saat
pemeriksaan, pembesaran tulang, tidak teraba hangat, LED < 1:40, dan cairan sinovial
sesuai tanda OA.
Diagnosis OA selain berdasarkan gejala klinis juga didasarkan pada hasil radiologi.
Namun pada awal penyakit, radiografi sendi seringkali masih normal. Adapun gambaran
radiologis sendi yang menyokong diagnosis OA adalah:15
1. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat padabagian yang
menanggung beban)
2. Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
3. Kista tulang
4. Osteofit pada pinggir sendi
5. Perubahan struktur anatomi sendi
Berdasarkan gambaran radiologi, OA lutut dapat diklasifikasikan dalam lima grade
menurut Kellgren – Lawrence, yaitu:27

a. Grade 0: tidak ditemukan penyempitan ruang sendi atau perubahan reaktif


b. Grade 1: penyempitan ruang sendi meragukan dengan kemungkinan bentukan osteofit
c. Grade 2: osteofit jelas, kemungkinan penyempitan ruang sendi
d. Grade 3: osteofit sedang, penyempitan ruang sendi jelas, nampak sklerosis,
kemungkinan deformitas pada ujung tulang
e. Grade 4: osteofit besar, penyempitan ruang sendi jelas, sklerosis berat, nampak
deformitas ujung tulang
Gambar 2.20. Grade OA berdasarkan gambar radiologi Kellgren-Lawrence.27

Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna.


Pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) masih dalam batas-
batas normal. Pemeriksaan imunologi masih dalam batas-batas normal. Pada OA yang
disertai peradangan sendi dapat dijumpai peningkatan ringan sel peradangan (< 8000 /
m) dan peningkatan nilai protein. Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor rheumatoid, dan
komplemen) masih dalam batas-batas normal.16
2.7.9 Tata Laksana
Pengobatan yang dapat menyembuhkan OA sampai saat ini belum ditemukan.
Pengobatan lebih ditujukan pada pengurangan nyeri, menjaga atau mempertahankan
mobilitas dan mencegah terjadinya gangguan fungsi, memperbaiki kualitas hidup dan
mencegah terjadinya efek toksik dari obat. Tujuan penatalaksanaan pasien yang
mengalami osteoartritis adalah untuk edukasi pasien, pengendalian rasa sakit,
memperbaiki fungsi sendi yang terserang dan menghambat penyakit supaya tidak
menjadi lebih parah. Pengelolaan osteoartritis berdasarkan atas sendi yang terkena dan
berat ringannya osteoartritis yang diderita.27

1. Terapi non-farmakologis
a) Edukasi atau penjelasan kepada pasien

Hal ini perlu dilakukan agar pasien dapat mengetahui serta memahami tetang
penyakit yang dideritanya, bagaimana agar penyakitnya tidak bertambah semakin parah,
dan agar persediannya tetap terpakai.27

b) Terapi fisik atau rehabilitasi

Terapi ini dilakukan untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai
dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit, Penurunan berat badan, Berat
badan yang berlebih merupakan faktor yang memperberat osteoartritis. Oleh karena itu,
berat badan harus dapat dijaga agar tidak berlebih dan diupayakan untuk melakukan
penurunan berat badan apabila berat badan berlebih.27
2. Terapi farmakologis

Karena tujuan utama terapi ini untuk mengurangi nyeri secara efektif dengan
toksisitas yang rendah, obat topikal sering digunakan sebelum medikasi oral. Di Amerika
Serikat, krim capsaicin terbukti ampuh dalam penanganan nyeri OA yang bekerja lokal
dengan deplesi neurotransmiter substansi P. Ketika menggunakan obat topikal atau
hasilnya kurang baik, analgesik murni biasanya dibutuhkan.Asetaminofen adalah terapi
farmakologi ssistemik pertama yang direkomendasikan untuk OA lutut dan pinggul oleh
The American College of Rheumatology, European League Against Rheumatism,
American Academy of Orthopaedic Surgeons dan organisasi lainnya. Sejumlah besar
literatur yang membandingkan asetaminofen dengan plasebo dan dengan NSAID pada
jangka lama menunjukkan asetaminofen inferior terhadap NSAID dan secara klinis tidak
superior terhadap plasebo untuk mengurangi nyeri OA dalam jangka panjang. Analgesik
murni lainnya telah efektif yaitu tramadol, analgesik yang bekerja di sentral, dan analgesik
opioid. Namun, keduanya memiliki insidensi yang tinggi terhadap efek samping yang tidak
bisa ditoleransi.27

Meski ada kekhawatiran terhadap keamanan dan publisitas terbaru tentang risiko
kardiovaskular, NSAID dan inhibitor siklo-oksigenase-2(COX-2) tetap menjadi terapi OA;
obat ini adalah satu-satunya obat yang secara konsisten telah menunjukkan efek
mengurangi nyeri OA dalam jangka panjang. Glukosamin maupun kondroitin sulfat tidak
ada yang lebih baik dibandingkan plasebo, COX-2 meringankan nyeri lebih baik dalam 2
tahun. Pemilihan dalam menggunakan NSAID untuk OA harus didasarkan pada beberapa
faktor, seperti kecocokan dosis, kenyamanan dokter dan pasien, dan harga. Ketika NSAID
digunakan pada pasien risiko kejadian gastrointestinalnya meningkat, dapat ditambahkan
proton pumpinhibitor atau misoprositol.27

Pasien yang menggunakan NSAID harus diawasi untuk toksisitas ginjal,


khususnya jika pasien lajut usia, dengan hipertensi atau diabetes mellitus.Analgesik oral
non opiat pada umumnya telah dicoba pasien untuk mengobati sendiri penyakitnya,
terutama dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dengan membeli obat-
obatan yang dijual bebas Analgesik topikal dengan mudah kita dapatkan dipasaran dan
banyak sekali yang dijual bebas. Pada umumnya pasien telah mencoba terapi dengan
cara ini, sebelum memakai obat-obatan peroral lainnya.27

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Inhibitor COX-2 (Siklooksigenase-2),


dan Asetaminofen untuk mengobati rasa nyeri yang timbul pada Osteoartritis,
penggunaan OAINS dan inhibitor COX-2 dinilai lebih efektif daripada penggunaan
asetaminofen. Namun karena risiko toksisitas OAINS lebih tinggi dari pada asetaminofen,
maka tetap menjadi obat pilihan pertama dalam penanganan rasa nyeri pada osteoartritis.
Cara lain untuk mengurangi dampak toksisitas dari OAINS adalah dengan cara
mengkombinasikannya dengan menggunakan inhibitor COX-2.27

Diacerin merupakan derivat anthraquinone, obat yang relatif baru, Rhein,


merupakan metabolit aktif dari diacerin, menghambat produksi dan aktifitas interleukin-1
beta sebagai sitokin proinflamasi mayor yang yang terlibat pada terjadinya destruksi
tulang rawan. Manfaat dari diacerin sebagai symptom modifying effect dan disease
modifying effect. Diacerein mempunyai efek anabolik dan anti-katabolic efek pada
kartilago: Rhein menstimulasi IGF and TGFβ (promotes cartilage synthesis) Rhein
menghambat produksi dan aktifitas IL-1, IL-6, TNFα menghambat produksi dan aktifitas
nitric oxide, menurunkan sintesa NO dan IL-1.27
3. Terapi Intra-Artikular Kortikosteroid

Injeksi kortikosteroid intraartikular mengurangi nyeri dalam jangka pendek,


terutama pada rasa nyeri yang sangat; terapi ini juga berguna untuk mengurangi nyeri
yang tidak responsif dengan terapi sistemik optimal. Injeksi intra-artikular pada sendi yang
sama lebih dari 3 atau 4 kali setahun tidak dianjurkan karena kekhawatiran efek
sampingnya terhadap kartilago artikular dan struktur sendi yang mengelilinginya. 27

a. Hialuronan
Injeksi intra-artikular hialuronan ditujukan sebagai suplementasi viskous karena
dimaksudkan untuk meningkatkan viskositas cairan sinovial pada OA untuk
mengembalikan keadaan mendekati normal. Namun, karena waktu paruh hialuronan
secara in vivo pendek, efek mengurangi nyerinya mungkin hasil dari mekanisme yang
dihubungkan dengan nonviskositas. Beberapa hialuronan tersedia untuk penggunaan
pada OA lutut. Masing-masing telah bermanfaat mengurangi rasa nyeri yang
merupakan hasil dari penggunaan obat ini dalam 6 bulan atau lebih lama. Meskipun
kontroversi tetap ada mengenai batasan pengurangan rasa nyeri yang merupakan
hasil penggunaan obat ini, agak aman dan ditoleransi baik.27
b. Operasi

Pasien dengan gejala tidak terkontrol secara adekuat dengan terapi medis dan
dengan derajat sedang sampai berat dan gangguan fungsional harus dipertimbangkan
menjalani operasi, terutama pada lutut atau pinggul yang sendinya bergejala. Implan
modern mengurangi nyeri dan telah terbukti dapat tahan lama dan memeperbaiki
fungsional.

Artroplasti telah terbukti memperbaiki kualitas hidup pasien dengan OA lutut


dan pinggul dan merupakan satu dari beberapa penalaksanaan yang maju dalam 30
tahun terakhir. Sebagai tambahan pada artroplasty, beragam prosedur digunakan
pada OA termasuk debridement artroskopi, artrodesis dan teknik penyusunan kembali
sendi. Beberapa pendekatan lain pada terapi OA sedang diteliti oleh industri farmasi
dan bioteknologi dan oleh peneliti akademik. Terapi bedahi ini diberikan apabila terapi
farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan
koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari-hari.27

4. Pengobatan Alternatif Dan Komplementer Suplemen Nutrisi

Pada kebanyakan pasien dengan arthritis telah mencoba pengobatan alternatif


dan komplementer (CAM) untuk mengurangi nyerinya. Pada satu penelitian, setidaknya
separuh pasien dengan OA lutut telah digunakan sekurangnya satu macam CAM dalam
20 minggu sebelumnya. Beragam penelitian telah dilaporkan memiliki beberapa manfaat
dengan penggunaan banyak CAM ini, termasuk akupunktur dan beberapa suplemen
herbal, meski besarnya manfaat rendah Kebanyakan suplemen yang dibicarakan adalah
glukosamin dan kondroitin sulfat, yang tetap populer bahkan setelah NIH mensponsori
glucosamine/ chondroitin arthritis intervention trial (GAIT) melaporkan tidak ada manfaat
yang signifikan dari obat-obatan ini dalam penggunaan2 tahun baik tunggal maupun
kombinasi. Banyak pasien dengan OA melanjutkan penggunaan obat ini dan
menganggap ini memberi manfaat. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)
dapat diberikan pada pasien dengan osteoartritis lutut. Sebuah penelitian systematic
review yang dilakukan Osiri dkk menyimpulkan bahwa TENS memiliki kemampuan yang
lebih baik dari plasebo untuk melakukan kontrol nyeri pada pasien osteoartritis lutut.
Perbaikan kekakuan sendi lutut pada pasien osteoartritis juga ditunjukkan dengan terapi
TENS.27

5. Terapi Okupasi

Hal ini sering digunakan unutk pasien yang mengalami arthritis inflamasi untuk
menyedia-kan penilaian yang dapat membantu aktivitas sehari-hari, berguna pada OA.
Terapi okupasi dapat menilai kemampuan fungsional pasien, menyediakan peralatan
yang dapat membantu sesuai kebutuhan dan mengajarkan cara melindungi sendi dan
kemampuan menjaga energi. Fisioterapist akan menilai kekuatan otot, stabilitas sendi dan
keterbatasan fungsi: memberikan rekomendasi penggunaan berbagai modalitas, seperti
pemanasan, memberikan program latihan untuk mempertahankan atau memperbaiki luas
gerak sendi.meningkatkan kekuatan otot dan menyarankan penggunaan alat bantu
seperti cane, crutches, walker untuk meningkatkan mobilitas.27

6. Terapi osteoartritis pada masa mendatang

Pendekatan terbaru pada terapi osteoarthritis (OA) terus dicari termasuk usaha
untuk mengenali Disease Modifying OA drugs (DMOADs), teknik memperbaiki jaringan
untuk rekonstitusi kartilgo dan jaringan sendi, sasaran terapi DMOAD termasuk langkah
pada jalur degradasi kartilago dan pada remodelling tulang yang terkena OA, beragam
inhibitor aggrecanase dan protease terlibat pada degradasi tahap awal matriks kartilago
pada segala tingkatan perkembangan. Chondroprotective Agent adalah obatobatan yang
dapat menjaga atau merangsang perbaikan dari kartilago pada pasien osteoartritis,
sebagaimana penelitian menggolongkan obat-obatan ini dalam Slow Acting Osteoarthritis
Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Drugs (DMOADs). Obat-obatan yang
termasuk dalam kelompok obat ini adalah: asam hialuronat, konroitin sulfat,
glikosaminoglikan, vitamin C, superoxide dismutase dan sebagainya. 27

Usaha untuk mengembangkan konstruksi kartilago fungsional secara biomekanis


menggunakan bera-gam teknologi dalam membangun jaringan, sel punca mesenkim atau
kondrosit autolog telah banyak diperhatikan karena aplikasi teknik ini dengan mengisolasi
defek kondral dan karena jaringan yang berasal dari mesenkim merupakan sasaran yang
baik untuk teknologi sel punca. Namun, seluruh solusi jangka panjang untuk memperbaiki
progresi OA mungkin perlu menggabungkan strategi aktif secara biomekanis, karena
mengganti struktur sendi yang terdegradasi hanya dengan konstruksi fungsional saja
tidak akan mencegah disintegrasi cepat pada adanya tekanan biomekanis yang
menyimpang dan sedang berlangsung. Beragam strategi biomekanis sedang diselidiki.
Hal ini termasuk usaha untuk membuta tiruan beban pada kaki saat berjalan melalui
sepatu yan dimodifikasi, mengubah beban lutut medial melalui penggunaan ortotik yang
dimasukkan ke dalam sepatu dan penggunaan penahan beban pada lutut. 27
Gambar 2.21. Algoritma untuk tatalaksana osteoartritis pada lutut menurut American
Academy of Family Physician.16

2.8 Septic Arthritis


2.8.1 Definisi

Septic arthritis adalah peradangan sendi akibat infeksi, biasanya bakteri, tetapi
kadang-kadang jamur, mikobakteri, virus, atau patogen lain yang tidak umum. Septic
arthritis merupakan salah satu diagnosis kasus arthritis akut monoartikuler. Kegagalan
memberikan terapi antibiotik yang tepat dalam 24 sampai 48 jam dapat menyebabkan
kerusakan tulang subkondral dan disfungsi sendi menetap. Diagnosis disertai
penanganan dini yang tepat diharapkan dapat menurunkan kehilangan fungsi sendi yang
permanen.28,29

2.8.2 Etiologi
a. Etiologi pada anak-anak

Artritis atau radang sendi memiliki banyak etiologi pada kelompok usia anak.
Staphylococcus aureus adalah patogen bakteri yang paling umum dijumpai. Beberapa
patogen penyebab septic arthritis dikaitkan dengan kelompok usia tertentu dan kondisi
medis yang mendasarinya. Kingella kingae adalah bakteri gram negatif penyebab septic
arthritis yang umum pada anak-anak dibawah usia 2-3 tahun. Grup B Streptococcus,
Staphylococcus aureus, Neisseria gonorrhea, dan basil gram negatif sering ditemukan
pada neonatus.30
b. Etiologi pada orang dewasa

Staphylococcus aureus adalah organisme penyebab infeksi paling umum pada


orang dewasa. Streptococcus pneumonia lebih jarang, tetapi masih merupakan sumber
infeksi yang signifikan pada orang dewasa. Keadaan khusus lainnya seperti yang telah
dijelaskan di atas (Salmonella pada pasien dengan sel sabit, dan Pseudomonas pada
luka trauma/tusukan). Pada pasien muda yang aktif secara seksual, monoartritis akut
nontraumatik paling sering disebabkan oleh Neisseria gonorrhea. Pada pasien berisiko
tinggi, Neisseria gonorrhea harus dibiakkan dari tempat lain seperti orofaring, vagina,
leher rahim, uretra atau anus karena organisme tidak tumbuh dengan baik dari cairan
sinovial yang dikultur. Organisme jamur dan mikobakteri hadir secara tersembunyi dan
mungkin lebih sulit untuk didiagnosis. Apusan cairan sinovial tahan asam seringkali
negatif, tetapi biopsi sinovial positif pada 95% kasus. Lutut adalah sendi yang paling
sering terkena pada orang dewasa diikuti oleh pinggul.

Infeksi sendi polimikroba terjadi pada sekitar 5% pasien akibat trauma atau infeksi
perut. Infeksi sendi sternoklavikularis dan sakroiliaka sering terjadi pada pasien
penyalahgunaan obat IV dan biasanya melibatkan serratia dan pseudomonas. Orang
dengan leukemia sangat rentan terhadap infeksi Aeromonas. Sendi yang sebelumnya
rusak terutama pada penderita rheumatoid arthritis sangat mudah terkena infeksi.
Organisme merusak tulang rawan artikular di sepanjang tepi lateral sendi. Efusi sering
terjadi dan sering dikaitkan dengan nyeri.30

2.8.3 Diagosis
a. Anamnesis

Keluhan septic arthritis berupa keluhan lokal dan sistemik. Gejala klasik adalah
demam dan nyeri lokal pada sendi yang terinfeksi. Demam merupakan gejala sistemik
paling sering pada 60-80% kasus, biasanya ringan; demam tinggi lebih dari 39 oC pada
30-40% kasus. Nyeri pada septic arthritis berupa nyeri berat terus-menerus saat istirahat
ataupun gerakan aktif. Nyeri lokal sendi disertai tanda-tanda peradangan (tumor, kalor,
dolor, rubor, functio laesa).

Evaluasi teliti meliputi anamnesis detail mencakup faktor risiko (Tabel 2.1), faktor
predisposisi, mencari sumber bakteremia transien ataupun menetap (infeksi kulit,
pneumonia, infeksi saluran kemih, tindakan invasif, pemakai obat suntik, dll) atau trauma
sendi mengingat patogenesis penyakit ini dapat melalui penyebaran lokal, inokulasi
langsung, ataupun hematogen.29,31
Tabel 2.1. Faktor risiko septic arthritis.29

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik lokal harus bisa membedakan inflamasi yang disebabkan


struktur intraartikular atau periartikular (seperti bursa atau kulit). Secara umum, kerusakan
struktur intraartikular menyebabkan keterbatasan gerak aktif ataupun pasif yang berat.
Bengkak ditemukan lebih luas atau diffuse dan sendi sering dalam posisi ruang
intraartikular terluas (position of maximal intraarticular space); misalnya lutut diposisikan
dalam posisi ekstensi maksimal. Sendi lutut yang paling sering terkena (45-56% kasus)
diikuti sendi panggul (16-38%). Septic arthritis poliartikular yang melibatkan dua atau tiga
sendi pada 10-20% kasus dan sering dihubungkan dengan rheumatoid arthritis. Diagnosis
selalu didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sistematis dan detail. 29,31

2.8.4 Manifestasi Klinis

Gejala klasik artritis septik adalah demam yang mendadak, malaise, nyeri lokal
pada sendi yang terinfeksi, pembengkakan sendi, dan penurunan kemampuan ruang
lingkup gerak sendi. Sejumlah pasien hanya mengeluh demam ringan saja. Demam
dilaporkan 60-80% kasus, biasanya demam ringan, dan demam tinggi terjadi pada 30-40%
kasus sampai lebih dari 390C.Nyeri pada artritis septik khasnya adalah nyeri berat
danterjadi saat istirahat maupun dengan gerakan aktif maupun pasif.

Evaluasi awal meliputi anamnesis yang detail mencakup faktor predisposisi,


mencari sumber bakterimia yang transien atau menetap (infeksi kulit, pneumonia, infeksi
saluran kemih, adanya tindakan-tindakan invasiv, pemakai obat suntik, dll),
mengidentifikasi adanya penyakit sistemik yang mengenai sendi atau adanya trauma
sendi.32

Sendi lutut merupakan sendi yang paling sering terkena pada dewasa maupun
anak-anak berkisar 45%-56%, diikuti oleh sendi panggul 16-38%. Artritis septik
poliartikular, yang khasnya melibatkan dua atau tiga sendi terjadi pada 10%-20% kasus
dan sering dihubungkan dengan artritis reumatoid. Bila terjadi demam dan flare pada
artritis reumatoid maka perlu dipikirkan kemungkinan artritis septik.

Pada pemeriksaan fisik sendi ditemukan tanda-tanda eritema, pembengkakan (90%


kasus), hangat, dan nyeri tekan yang merupakan tanda penting untuk mendiaganosis
infeksi. Efusi biasanya sangat jelas/banyak, dan berhubungan dengan keterbatasan
ruanglingkup gerak sendi baik aktif maupun pasif. Tetapi tanda ini menjadi kurang jelas
bila infeksi mengenai sendi tulang belakang, panggul, dan sendi bahu.32

2.8.5 Pemeriksaan Diagnostik


a. Pemeriksaan darah tepi

Terjadi peningkatan lekosit dengan predominan neutrofil segmental, peningkatan


laju endap darah dan C-Reactive Protein (CRP). Tes ini tidak spesifik tapi sering
digunakan sebagai petanda tambahan dalam diagnosis khususnya pada kecurigaan
artritis septik pada sendi. Kultur darah memberikan hasil yang positif pada 50-70%
kasus.33,34

b. Pemeriksaan cairan sendi

Aspirasi cairan sendi harus dilakukan segera bila kecurigaan terhadap artritis
septik, bila sulit dijangkau seperti pada sendi panggul dan bahu maka gunakan alat
pemandu radiologi. Cairan sendi tampak keruh, atau purulen, leukosit cairan sendi lebih
dari 50.000 sel/mm3 predominan PMN, sering mencapai 75%-80%. Pada penderita
dengan malignansi, mendapatkan terapi kortikosteroid, dan pemakai obat suntik sering
dengan leukosit kurang dari 30.000 sel/mm 3. Leukosit cairan sendi yang lebih dari 50.000
sel/mm3 juga terjadi pada inflamasi akibat penumpukan kristal atau inflamasi lainnya
seperti artritis rheumatoid. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan cairan sendi dengan
menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi untuk mencari adanya kristal.
Ditemukannya kristal pada cairan sendi juga tidak menyingkirkan adanya artritis septik
yang terjadi bersamaan.35,36

Pengecatan gram cairan sinovial harus dilakukan, dan menunjukkan hasil positif
pada 75% kasus artritis positif kultur stafilokokus dan 50% pada artritis positif kultur basil
gram negatif. Pengecatan gram ini dapat menuntun dalam terapi antibiotika awal sambil
menunggu hasil kultur dan tessensitivitas. Kultur cairan sendi dilakukan terhadap kuman
aerobik, anaerobik, dan bila ada indikasi untuk jamur dan mikobakterium. Kultur cairan
sinovial positif pada 90% pada artritis septik nongonokokal.37,38

c. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR)

Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) bakteri dapat mendeteksi adanya


asam nukleat bakteri dalam jumlah kecil dengan sensitifitas dan spesifisitas hampir 100%.
Beberapa keuntungan menggunakan PCR dalam mendeteksi adanya infeksi antara
lain.39,40

1. Mendeteksi bakteri dengan cepat,


2. Dapat mendeteksi bakteri yang mengalami pertumbuhan lambat,
3. Mendeteksi bakteri yang tidak dapat dikultur,
4. Mendeteksi bakteri pada pasien yang sedang mendapatkan terapi,
5. Mengidentifikasi bakteri baru sebagai penyebab.
Tapi PCR juga mengalami kelemahan yaitu hasil positif palsu bila bahan maupun
reagen yang mengalami kontaminasi selama proses pemeriksaan. 39,35

d. Pemeriksaan Radiologi

Pada pemeriksaan radiologi pada hari pertama biasanya menunjukkan gambaran


normal atau adanya kelainan sendi yang mendasari. Penemuan awal berupa
pembengkakan kapsul sendi dan jaringan lunak sendi yang terkena, pergeseran bantalan
lemak, dan pelebaran ruang sendi. Osteoporosis periartikular terjadi pada minggu
pertama artritis septik. Dalam 7 sampai 14 hari, penyempitan ruang sendi difus dan erosi
karena destruksi kartilago. Pada stadium lanjut yang tidak mendapatkan terapi adekuat,
gambaran radiologi nampak destruksi sendi, osteomyelitis, ankilosis, kalsifikasi jaringan
periartikular, atau hilangnya tulang subkondral diikuti dengan sklerosis reaktif. 39,41

Pemeriksaan USG dapat memperlihatkan adanya kelainan baik intra maupun


ekstra artikular yang tidak terlihat pada pemeriksaan radiografi. Sangat sensitif untuk
mendeteksi adanya efusisendi minimal (1-2 mL), termasuk sendi-sendi yang dalam
seperti pada sendi panggul. Cairan sinovial yang hiperekoik dan penebalan kapsul sendi
merupakan gambaran karakteristik artritis septik.42

Pemeriksaan lain yang digunakan pada artritis septik dimana sendi sulit dievaluasi
secara klinik atau untuk menentukan luasnya tulang dan jaringan mengalami infeksi yaitu
mengunakan CT, MRI, atau radio nuklead.43

Diagnosis klinis artritis septik bila ditemukan adanya sendi yang mengalami nyeri,
pembengkakan, hangat disertai demam yang terjadi secara akut disertai dengan
pemeriksaan cairan sendi dengan jumlah lekosit >50.000 sel/mm 3 dan dipastikan dengan
ditemukannya kuman patogen dalam cairan sendi.35

2.9 Gout
2.9.1 Definisi
Gout adalah peradangan sendi yang terjadi akibat deposit monosodium urat pada
persendian, cairan ekstraseluler, kartilago, tendon dan bursa sehingga penyakit ini sering
dikenal dengan arthritis gout. Gout ditandai dengan peradangan berulang yang biasanya
terjadi pada sendi metatarsal jari pertama, tumit kaki, sendi lutut, dan sendi siku.52,53,54

2.9.2 Etiologi
Etiologi dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat medikasi, obesitas,
konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat serum asam urat lebih tinggi daripada
wanita, yang meningkatkan resiko mereka terserang artritis gout. Perkembangan artritis
gout sebelum usia 30 tahun lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita. Namun
angka kejadian artritis gout menjadi sama antara kedua jenis kelamin setelah usia 60
tahun. Prevalensi artritis gout pada pria meningkat dengan bertambahnya usia dan
mencapai puncak antara usia 75 dan 84 tahun.

Wanita mengalami peningkatan resiko artritis gout setelah menopause, kemudian


resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun dengan penurunan level estrogen karena
estrogen memiliki efek urikosurik, hal ini menyebabkan artritis gout jarang pada wanita
muda. Pertambahan usia merupakan faktor resiko penting pada pria dan wanita. Hal ini
kemungkinan disebabkan banyak faktor, seperti peningkatan kadar asam urat serum
(penyebab yang paling sering adalah karena adanya penurunan fungsi ginjal),
peningkatan pemakaian obat diuretik, dan obat lain yang dapat meningkatkan kadar asam
urat serum.55

Penggunaan obat diuretik merupakan faktor resiko yang signifikan untuk


perkembangan artritis gout. Obat diuretik dapat menyebabkan peningkatan reabsorpsi
asam urat dalam ginjal, sehingga menyebabkan hiperurisemia. Dosis rendah aspirin,
umumnya diresepkan untuk kardioprotektif, juga meningkatkan kadar asam urat sedikit
pada pasien usia lanjut. Hiperurisemia juga terdeteksi pada pasien yang memakai
pirazinamid, etambutol, dan niasin.

Obesitas dan indeks massa tubuh berkontribusi secara signifikan dengan resiko
artritis gout. Resiko artritis gout sangat rendah untuk pria dengan indeks massa tubuh
antara 21 dan 22 tetapi meningkat tiga kali lipat untuk pria yang indeks massa tubuh 35
atau lebih besar. Obesitas berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin. Insulin diduga
meningkatkan reabsorpsi asam urat pada ginjal melalui urate anion exchanger
transporter-1 (URAT1) atau melalui sodium dependent anion cotransporter pada brush
border yang terletak pada membran ginjal bagian tubulus proksimal. Dengan adanya
resistensi insulin akan mengakibatkan gangguan pada proses fosforilasi oksidatif
sehingga kadar adenosin tubuh meningkat. Peningkatan konsentrasi adenosin
mengakibatkan terjadinya retensi sodium, asam urat dan air oleh ginjal.55

Konsumsi tinggi alkohol dan diet kaya daging serta makanan laut (terutama kerang
dan beberapa ikan laut lain) meningkatkan resiko artritis gout. Sayuran yang banyak
mengandung purin, yang sebelumnya dieliminasi dalam diet rendah purin, tidak
ditemukan memiliki hubungan terjadinya hiperurisemia dan tidak meningkatkan resiko
artritis gout. Mekanisme biologi yang menjelaskan hubungan antara konsumsi alkohol
dengan resiko terjadinya serangan gout yakni, alkohol dapat mempercepat proses
pemecahan adenosin trifosfat dan produksi asam urat. Metabolisme etanol menjadi acetyl
CoA menjadi adenin nukleotida meningkatkan terbentuknya adenosin monofosfat yang
merupakan prekursor pembentuk asam urat. Alkohol juga dapat meningkatkan asam
laktat pada darah yang menghambat eksresi asam urat. Alasan lain yang menjelaskan
hubungan alkohol dengan artritis gout adalah alkohol memiliki kandungan purin yang
tinggi sehingga mengakibatkan over produksi asam urat dalam tubuh.

Asam urat merupakan produk akhir dari metabolisme purin. Dalam keadaan
normalnya, 90% dari hasil metabolit nukleotida adenine, guanine, dan hipoxantin akan
digunakan kembali sehingga akan terbentuk kembali masing-masing menjadi adenosine
monophosphate (AMP), inosine monophosphate (IMP), dan guanine monophosphate
(GMP) oleh adenine phosphoribosyl transferase (APRT) dan hipoxantin guanine
phosphoribosyl transferase (HGPRT). Hanya sisanya yang akan diubah menjadi xantin
dan selanjutnya akan diubah menjadi asam urat oleh enzim xantin oksidase.55

2.9.3 Diagnosis
Diagnosis artritis gout dilakukan sesuai dengan kriteria dari The American College
of Rheumatology (ACR) yaitu terdapat kristal urat dalam cairan sendi atau tofus dan/atau
bila ditemukan 6 dari 12 kriteria yaitu, Inflamasi maksimum pada hari pertama, serangan
akut lebih dari satu kali, artritis monoartikuler, sendi yang terkena berwarna kemerahan,
pembengkakan dan nyeri pada sendi metatarsofalangeal, serangan pada sendi
metatarsofalangeal unilateral, adanya tofus, hiperurisemia, pada foto sinar-X tampak
pembengkakan sendi asimetris dan kista subkortikal tanpa erosi, dan kultur bakteri cairan
sendi negatif.56

Sedangkan menurut Fauci et al, diagnosis artritis gout meliputi kriteria analisis
cairan sinovial, terdapat kristal-kristal asam urat berbentuk jarum baik di cairan
eksraseluler maupun intraseluler, asam urat serum, asam urat urin, ekskresi >800 mg/dl
dalam diet normal tanpa pengaruh obat, yang menunjukkan overproduksi, skrining untuk
menemukan faktor resiko, seperti urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hati, kadar glukosa
dan lemak, dan hitung darah lengkap, jika terbukti karena overproduksi, konsentrasi
eritrosit hypoxantine guanine phosporibosyl transferase (HGPRT) dan 5-phosphoribosyl-
1-pyrophosphate (PRPP) terbukti meningkat, foto sinar-X, menunjukkan perubahan kistik,
erosi dengan garis tepi bersklerosi pada artritis gout kronis.56

Artritis gout memiliki diagnosis banding seperti artritis septik, psoriasis, calcium
pyrophosphate deposition disease (CPPD), dan artritis rematik. Untuk diagnosis definitif
artritis gout dikonfirmasikan dengan analisis cairan sendi dimana pada penderita artritis
gout mengandung monosodium urat yang negatif birefringent (refraktif ganda) yang juga
ditelan oleh neutrofil (dilihat dengan mikroskop sinar terpolarisasi). Analisis cairan sinovial
dan kultur sangat penting untuk membedakan artritis septik dengan artritis gout. Artritis
gout cenderung tidak simetris dan faktor reumatoid negatif, sedangkan pada artritis
rematik cenderung terjadi simetris dan lebih dari 60% kasus memiliki faktor reumatoid
positif. Hiperurisemia juga sering terjadi pada penderita psoriasis dan adanya lesi kulit
membedakan kasus ini dengan artritis gout.56

2.9.4 Manifestasi Klinis


Gout terjadi dalam empat tahap. Tidak semua kasus berkembang menjadi tahap
akhir. Perjalanan penyakit asam urat mempunyai 4 tahapan, yaitu:58

a. Tahap 1 (Tahap Gout Artritis akut)


Serangan pertama biasanya terjadi antara umur 40-60 tahun pada laki-laki,
dan setelah 60 tahun pada perempuan. Onset sebelum 25 tahun merupakan bentuk
tidak lazim artritis gout, yang mungkin merupakan manifestasi adanya gangguan
enzimatik spesifik, penyakit ginjal atau penggunaan siklosporin. Pada 85-90% kasus,
serangan berupa artritis monoartikuler dengan predileksi MTP-1 yang biasa disebut
podagra. Gejala yang muncul sangat khas, yaitu radang sendi yang sangat akut dan
timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apapun,
kemudian bangun tidur terasa sakit yanghebat dan tidak dapat berjalan. Keluhan
monoartikuler berupa nyeri, bengkak, merah dan hangat, disertai keluhan sistemik
berupa demam, menggigil dan merasa lelah, disertai lekositosis dan peningkatan
endap darah. Sedangkan gambaran radiologis hanya didapatkan pembengkakan
pada jaringan lunak periartikuler. Keluhan cepat membaik setelah beberapa jam
bahkan tanpa terapi sekalipun.
Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terutama jika tanpa terapi yang
adekuat, serangan dapat mengenai sendi-sendi yang lain seperti pergelangan
tangan/kaki, jari tangan/kaki, lutut dan siku, atau bahkan beberapa sendi sekaligus.
Serangan menjadi lebih lama durasinya, dengan interval serangan yang lebih singkat,
dan masa penyembuhan yang lama. Diagnosis yang definitive/gold standard, yaitu
ditemukannya Kristal urat (MSU) di cairan sendi atau tofus.58
Gambar 2.22. Bengkak dan kemerahan pada podagra.57

b. Tahap 2 (Tahap Gout interkritikal)


Pada tahap ini penderita dalam keadaan sehat selama rentang waktu tertentu.
Rentang waktu setiap penderita berbeda-beda. Dari rentang waktu 1-10 tahun.
Namun rata-rata rentang waktunya antara 1-2 tahun. Panjangnya rentang waktu pada
tahap ini menyebabkan seseorang lupa bahwa dirinya pernah menderita serangan
gout Artritis akut. Atau menyangka serangan pertama kali yang dialami tidak ada
hubungannya dengan penyakit Gout Artritis.58
c. Tahap 3 (Tahap Gout Artritis Akut Intermitten)
Setelah melewati masa Gout Interkritikal selama bertahun-tahun tanpa gejala,
maka penderita akan memasuki tahap ini yang ditandai dengan serangan artritis yang
khas seperti diatas. Selanjutnya penderita akan sering mendapat serangan (kambuh)
yang jarak antara serangan yang satu dengan serangan berikutnya makin lama makin
rapat dan lama serangan makin lama makin panjang, dan jumlah sendi yang
terserang makin banyak. Misalnya seseorang yang semula hanya kambuh setiap
setahun sekali, namun bila tidak berobat dengan benar dan teratur, maka serangan
akan makin sering terjadi biasanya tiap 6 bulan, tiap 3 bulan dan seterusnya, hingga
pada suatu saat penderita akan mendapat serangan setiap hari dan semakin banyak
sendi yang terserang.58
d. Tahap 4 (tahap Gout Artritis Kronik Tofaceous)
Tahap ini terjadi bila penderita telah menderita sakit selama 10 tahun atau
lebih. Pada tahap ini akan terbentuk benjolan-benjolan disekitar sendi yang sering
meradang yang disebut sebagai Thopi. Thopi ini berupa benjolan keras yang berisi
serbuk seperti kapur yang merupakan deposit dari kristal monosodium urat. Thopi ini
akan mengakibatkan kerusakan pada sendi dan tulang disekitarnya. Bila ukuran thopi
semakin besar dan banyak akan mengakibatkan penderita tidak dapat menggunakan
sepatu lagi.58

Gambar 2.23. Tangan pasien yang memasuki stadium gout tahap lanjut.57
2.9.5 Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik berdasarkan pengkajin fungsi muskuluskletal dapat menunjukan:59
1) Ukuran sendi normal dengan mobilitas penuh bila pada remisi.
2) Tofi dengan gout kronis. Ini temuan paling bermakna.
3) Laporan episode serangan gout
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Serum asam urat
Umumnya meningkat, diatas 7,5 mg/dl. Pemeriksaan ini mengindikasikan
hiperuricemia, akibat peningkatan produksi asam urat atau gangguan ekskresi. 59
2) Angka leukosit
Menunjukkan peningkatan yang signifikan mencapai 20.000/mm 3 selama seranga
nakut. Selama periode asimtomatik angka leukosit masih dalam batas normal yaitu
5000–10.000/mm3.59
3) Eusinofil Sedimen rate (ESR)
Meningkat selama serangan akut. Peningkatan kecepatan sedimen rate
mengindikasikan proses inflamasi akut, sebagai akibat deposit asam urat
dipersendian.59
4) Urin spesimen 24 jam
Urin dikumpulkan dan diperiksa untuk menentukan produksi dan ekskresi dan
asamurat. Jumlah normal seorang mengekskresikan 250-750 mg/24 jam asam urat di
dalam urin. Ketika produksi asam urat meningkat maka level asam urat urin meningkat.
Kadar kurang dari 800 mg/24 jam mengindikasikan gangguan ekskresi pada pasien
dengan peningkatan serum asam urat.Instruksikan pasien untuk menampung semua
urin dengan peses atau tisu toilet selama waktu pengumpulan. Biasanya diet purin
normal direkomendasikan selama pengumpulan urin meskipun diet bebas purin pada
waktu itu diindikasikan.59
5) Analisis cairan aspirasi dari sendi yang mengalami inflamasi akut atau
materialaspirasi dari sebuah tofi menggunakan jarum kristal urat yang tajam,
memberikan diagnosis definitif gout.59
6) Pemeriksaan radiografi
Dilakukan pada sendi yang terserang, hasil pemeriksaan akan menunjukkan
tidak terdapat perubahan pada awal penyakit, tetapi setelah penyakit berkembang
progresif maka akan terlihat jelas/area terpukul pada tulang yang berada di bawah
sinavial sendi.59

2.10 Rheumatoid Arthritis


2.10.1 Definisi

Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan “itis”
yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi. Arthritis
Reumatoid merupakan suatu penyakit autoimun, keadaan sistem imun tubuh menyerang
jaringannya sendiri, pada kasus ini, kartilago dan lapisannya sendiri. Sehingga ditandai
dengan peradangan sendi, yang menyebabkan pembengkakan, nyeri, dan hilangnya
fungsi.10,61

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum


diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai
keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu
monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian
dini.60

2.10.2 Etiologi

Penyebab Rheumatoid Arthritis belum diketahui dengan pasti. Namun,


kejadiannya dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan.62

a. Genetik
Berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka kepekaan
dan ekspresi penyakit sebesar 60%.62
b. Hormon Sex
Perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin Releasing
Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat
penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada
respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon
TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang
berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini.62
c. Faktor Infeksi
Beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host) dan
merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA.62
d. Faktor Lingkungan
Salah satu contohnya adalah merokok dan aktifitas yang berat sehari-harinya.63
2.10.3 Diagnosis

Selama ini diagnosis AR memakai kriteria ACR tahun 1987 dengan sensitivitas
77-95 % dan spesifitas 85-98%. Tapi kriteria ini mulai dipertanyakan kesahihannya dalam
mendiagnosis AR dini sehingga dipandang perlu untuk menyusun kriteria baru yang
tingkat kesahihannya lebih baik. Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria
diagnosis menurut American College of Rheumatology/European League Against
Rheumatism 2010, yaitu:60

Tabel 2.2. Kriteria Klasifikasi AR ACR/EULAR 2010.60


Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru. Disamping itu, pasien
dengan gambaran erosi sendi yang khas AR dengan riwayat penyakit yang cocok untuk
kriteria sebelumnya diklasifikasi sebagai AR. Pasien dengan penyakit yang lama
termasuk yang penyakit tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan) yang berdasarkan
data-data sebelumnya didiagnosis AR hendaknya tetap diklasifikasikan sebagai AR. Pada
pasien dengan skor kurang dari 6 dan tidak diklasifikasikan sebagai AR, kondisinya dapat
dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat terpenuhi seiring berjalannya waktu.

Terkenanya sendi adalah adanya bengkak atau nyeri sendi pada pemeriksaan
yang dapat didukung oleh adanya bukti sinovitis secara pencitraan. Sendi DIP, CMC I,
dan MTP I tidak termasuk dalam kriteria. Penggolongan distribusi sendi diklasifikasikan
berdasarkan lokasi dan jumlah sendi yang terkena, dengan penematan kedalam kategori
yang tertinggi yang dapat dimungkinkan. Sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal
paha dan pergelangan kaki. Sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, IP ibu jari dan
pergelangan tangan.60

Hasil laboratorium negatif adalah nilai yang kurang atau sama dengan batas atas
ambang batas normal; positif rendah adalah nilai yang lebih tinggi dari batas atas normal
tapi sama atau kurang dari 3 kali nilai tersebut; positif tinggi adalah nilai yang lebih tinggi
dari 3 kali batas atas. Jika RF hanya diketahui positif atau negatif, maka positif harus
dianggap sebagai positif rendah.

Lamanya sakit adalah keluhan pasien tentang lamanya keluhan atau tanda
sinovitis (nyeri, bengkak atau nyeri pada perabaan). Dalam menegakkan diagnosis AR
sangatlah penting untuk mengelompokkannya berdasarkan waktu dimana dikatakan
recent onset jika sudah menderita kurang dari 2 tahun.60

2.10.4 Manifestasi Klinis

Gejala utama RA adalah nyeri dan peradangan sendi poliartikular, biasanya


mengenai jari-jari tangan dan kaki. Gejala nyeri dan peradangan sendi bisa hilang timbul,
umumnya bersifat kronik dan progresif. Progresivitas gejala sendi tidak hanya pada nyeri,
melainkan juga kerusakan, deformitas, dan fungsi sendi yang makin buruk. Selain gejala
sendi, juga dapat timbul gejala ekstraartikuler antara lain mengenai kulit, jantung, paru,
dan mata. Selain kerusakan artikular, mungkin disertai gejala konstitusional (misalnya
kelelahan, malaise, kekakuan di pagi hari, penurunan berat badan, dan demam ringan).6
Pasien RA dapat melaporkan kesulitan melakukan aktivitas hidup sehari-hari, seperti
berpakaian, berdiri, berjalan, kebersihan pribadi, atau penggunaan tangan. Pada
pemeriksaan fisik, pada sendi-sendi yang terkena akan muncul tanda-tanda berikut:
bengkak, nyeri tekan, hangat, dan penurunan range of motion. Sendi-sendi yang sering
terkena antara lain: metacarpophalangeal (MCP), pergelangan, proximal interphalangeal
(PIP), lutut, metatarsophalangeal (MTP), sendi, pergelangan kaki, vertebra servikal,
panggul, siku, dan temporomandibular.64

Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan.
Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut dapat
berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi.65

1) Keluhan umum Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.
2) Kelainan sendi Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan
tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi
siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang
terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan
dan nyeri sendi.
3) Kelainan diluar sendi
a. Kulit: nodul subukutan (nodul rematoid)
b. Jantung: kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun 40% pada
autopsi RA didapatkan kelainan perikard
c. Paru: kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan kelainan pleura
(efusi pleura, nodul subpleura)
d. Saraf: berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering terjadi berupa
keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop
e. Mata: terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa kekeringan mata,
skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans
f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali, limpadenopati,
anemia, trombositopeni, dan neutropenia.65

2.10.5 Pemeriksaan Diagnostik


a. Pemeriksaan Fisik

Diagnosis ditegakkan melalui gejala dan pemeriksaan fisik oleh dokter, seperti
rasa panas, bengkak, dan nyeri pada sendi yang terlibat, pemeriksaan fisik juga berguna
memeriksa refleks dan kekuatan otot.66

b. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis


Rheumatoid Arthritis antara lain adalah:67

1) Pemeriksaan darah: Rheumatoid Faktor (RF)


2) Pemeriksaan cairan sinovial
3) Pemeriksaan sinar X pada sendi
4) MRI (Magnetic resonance imaging) pada awal penyakit

2.11 Penjelasan antara Hasil Laboratorium dan Radiologi dengan Pemicu


Adapun gambaran radiologis sendi yang menyokong diagnosis OA adalah: 15

1) Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang
menanggung beban)
2) Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
3) Kista tulang
4) Osteofit pada pinggir sendi
5) Perubahan struktur anatomi sendi.

Pada hasil radiografi pasien ditemukan adanya osteofit pada emminentia


intercondilaris medialis os tibia kiri. Periksaan penunjang laboratorium OA biasanya tidak
banyak berguna. Darah tepi (Hb, leukosit, laju endap darah) dalam batas – batas normal
kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan artritis peradangan. Pemeriksaan
cairan sendi pasien negatif tidak ditemukan adanya bakteri. Pemeriksaan darah rutin
menunjukkan bahwa LED berjumlah 22 mm/jam dan hal ini berkaitan dengan
pemeriksaan klinis laboratorium pada diagnosis OA yang menunjukkan jumlah LED pada
penderita OA berjumlah < 40 mm/jam.15,27
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil diskusi kelompok, dapat disimpulkan bahwa hipotesis pada


diskusi pertama dapat diterima sehingga kesimpulan yang di dapat yaitu wanita 57 tahun
mengalami Osteoarthritis (OA) yang disebabkan oleh faktor predisposisi dari kegemukan
dan jenis kelamin yang dimana usia >50 tahun, perempuan lebih berisiko daripada laki-
laki.
DAFTAR PUSTAKA

1. Schunke M, Schulte E, Schumacher U. Prometheus Atlas Anatomi Manusia: Anatomi


Umum dan Sistem Gerak, Ed.3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2013.
2. Gray Dasar-Dasar Anatomi. Drake, L /Richard, Vogl, A Wayn, Mitchell, W.M Adam.
Elesevier Churching Livingstone. 2013
3. Tangkudung, J. ANATOMY MOVEMENT. Jakarta: Cerdas Jaya Jakarta; 2016.
4. Chung KW, Chung, HM. Gross Anatomy. 7th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2012. h3.
5. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of anatomy and physiology. John Wiley & Sons;
2018 May 15.
6. Snell, R., 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC.
7. Muscolino, J. E., 2017. Kinesiology: The Skeletal System and Muscle Function. Third
Edition. New York: Elsavier Inc.
8. Paulsen F dan Waschke J. Atlas Anatomi Manusia “Sobotta”, Edisi 23 Jilid 1. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012
9. Erlansyah D. Nteractive Learningkerangka Tubuh Manusia Berserta Fungsinya Berbasis
Multimedia Interaktif. Palembang: Jurnal Informanika, Volume 6No.1. 2020
10. Tortora, G.J. dan Derrickson, B.H. Dasar Anatomi dan Fisiologi Vol. 1. Edisi 13. Jakarta:
EGC. 2016.
11. Pazzinatto MF, de Oliveira Silva D, Faria NC, et al. What are the clinical implications of
knee crepitus to individuals with knee osteoarthritis? An observational study with data from
the Osteoarthritis Initiative. Braz J Phys Ther. 2019; 23(6): 491-496.
12. Bickley, Lynn S. Guide to Physical Examination and History Taking. Ed. 11. Philadelphia:
Wolters Kluwer; 2013. p. 655-56.
13. Buckle P, StubbsDA, Baty D [homepage on the internet]. Musculoskeletal disorders (and
discomfort), working on your feet, occupational health clinics for Ontario workers Inc.2005;
[cited 2009 Mar 9].Available from:http:// www.ohcow.on.ca /resources/
handbooks/working on your feet.pdf
14. Anne Fitriyana, Astrid W. Nyeri Tungkai Bawah Pada Pekerja yang Berdiri Statis. J Indon
Med Assoc; 2018. 68(1).
15. Pratiwi Ika, Anisa. Diagnosis and treatment osteoarthritis. J Majorty.2015;4(4):10-17
16. Winangun. Diagnosis dan Tatalaksana Komprehensif Osteoarthritis. Jurnal Kedokteran.
2019;5(1):125-141
17. Kapoor, M. et al. Role of Pro-inflammatory Cytokines in Pathophysiology of Osteoarthritis.
Nat. Rev. Rheumatol. 7, 33–42 (2011)
18. F.Paulsen, J.Waschke. Sobotta Atlas of Anatomy 16th Edition. Elsevier, GmbH, Munich,
Germany. 2018
19. S Joewono, I Haryy, K Handono, B Rawan, P Riardi. Chapter 279: Osteoartritis. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV FKUI 2006. 1195- 1202
20. Michael, J., Schlüter-Brust, K., Eysel, P. 2010. The Epidemiology, Etiology, Diagnosis,
and Treatment of Osteoarthritis of thee Knee. Deutsches Ärzteblatt International.
21. B Mandelbaum, w David. Etology and Pathopbysiology of Osteoartharitis ORTHO
Supersite Februari 1 2005
22. DB Kenneth. Harrison Principle of Internal Medicime 16s edition. Chapter 312-
Osteoartnitis. Mc Graw Huls 2005. 2036-2045
23. Klippel John H., Dieppe Paul A., Brooks Peter, et al. Osteoarthritis. In: Rheumatology.
United Kingdom: Mosby – Year Book Europe Limited, 1994: 2.1 – 10.6.
24. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Osteoartritis. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th
ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia; 2006.
p. 1195-201.
25. Suriani S, Lesmana SI. Latihan Theraband Lebih Baik Menurunkan Nyeri Daripada
Latihan Quadricep Bench Pada Osteoarthritis Genu. Jurnal Fisioterapi. 2013; 13(1):46-54.
26. Lespasio MJ, Piuzzi NS, Husni ME, Muschler GF, Guarino A, Mont MA. Knee
Osteoarthritis: A Primer. Perm J. 2017;21:16-183
27. Wijaya, Sandy. Osteoarthritis Lutut. CDK-265. 2018; 45(6): 424-429
28. Momodu II, Savaliya V. Septic Arthritis. [Updated 2020 Jul 8]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538176
29. Adjie, R. F. K. (2018). Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Septic Arthritis. Cermin
Dunia Kedokteran, 45(5), 349-352.
30. Momodu II, Savaliya V. Septic Arthritis. [Updated 2020 Jul 8]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan.
31. Mathews CJ, Weston VC, Jones A, Field M, Coakley G. Bacterial septic arthritis in adults.
Lancet. 2010; 375(9717):846-855.
32. Darya IW dan Putra TR. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Artritis Septik. Denpasar:
Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar. 2009
33. KleinRS. Jointinfection, with consideration of underlying disease and sources of
bacteremia in hematogenousinfection. Clin Geriatr Med 1988; 4(2):375-94.
34. Ryan MJ, Kavanagh R, Wall PG, Hazleman BL. Bacterial joint infections in England and
Wales: analysis of bacterial isolates over a four year period. Br. J. Rheumatol 1997; 36:
370-3.
35. Shirtliff ME, Mader JT. Acute septic arthritis. Clinical microbiology reviews 2002:15; 527-
44.
36. McCutchan HJ, Fisher RC AU. Synovial leukocytosis in infectious arthritis. Clin Orthop
Relat Res 1990; 257:226-30.
37. Kaandorp CJE, Dinant HJ, van de Laar MAFJ,
38. Moens HJB, Prins APA, Dijkmans BAC. Incidence and source of native and prosthetic
joint infection: a community based prospective survey. Ann Rheum Dis 1997; 56: 470-5.
39. WeitoftT, Mäkitalo S.Bacterial arthritisin a Swedish health district. Scand J Infect Dis 1999;
31(6):559-61.
40. Hughes LB.Infectious Arthritis.In: Koopman WJ, Moreland LW, Ed.Arthritis and allied
conditionsa text book of rheumatology. 15 th ed. Philadelpia: LippincottWilliam &Wilkins,
2005.p.2577-2601.
41. Brusch JL. Septic arthritis. Available from: URL: http://www.emedicine.
com/med/topic3394.htm. Accessed on: 5th novl 2020.
42. Burreu NJ, Cheem RK, Cardinal E. Musculoskeletal infections: US manifestations.
Radiographics 1999; 211(2):1585-92.
43. Erdman WA, Tamburro F, Jayson HT, Weatherall PT, Ferry KB, Peshock RM.
Osteomyelltis: Char acteristics and pitfalls of diagnosis with MR imaging. Radiology 1991;
180: 533-9.
44. Pay Y.C., Rymer W.Z., Chang R.W., et al. Effect of Age and Osteoarthritis on Knee
Proprioception. Arthritis Rheumatology, 1997; 40 : 2260 – 2265
45. Felson D.T., Zhang Y. An Update on the Epidemiology of Knee and Hip Osteoarthritis with
a View to Prevention. Arthritis Rheumatology, 1998; 41: 1343 – 1355.
46. Setiyohadi Bambang. Osteoartritis Selayang Pandang. Dalam Temu Ilmiah Reumatologi.
Jakarta, 2003: 27 – 31.
47. Amin, Niu Jingbo, Hunter David, et al. Smoking Worsens Knee Osteoarthritis. News
Center Oklahoma City, Oklahoma USA, 2006: 1 – 4.
48. McAlindon Timothy E., Felson David T., Zhang Yuqing, et al. Relation of Dietary Intake
and Serum Levels of Vitamin D to Progression of Osteoarthritis of the Knee Among
Participants in the Framingham Study. Annals of Internal Medicine, 1996; 125 (5): 353 –
359.
49. Brand C., Snaddon J., Balley M., et al. Vitamin E is Ineffective for Symptomatic Relief of
Knee Osteoarthritis: A Six Months Randomised Double Blind Placebo Controlled Study.
Ann Rheum Dis, 2001; 60: 946 – 949.
50. Englund M., Roos E.M., Roos H.P., Lohmander L.S. Patient-Relevant Outcomes Fourteen
Years after Meniscectomy: Influence of Type of Meniscal Tear and Size of Resection.
Rheumatology, 2001; 40: 631 – 639.
51. Oliveria S.A., Felson D.T., Reed J.L., et al. Incidence of Symptomatic Hand, Hip and Knee
Osteoarthritis among Patients in a Health Maintenance Organization. Arthritis Rheum,
1995; 38: 1134 – 1141.
52. Wang Xingyu, Xie Shuihua, Wang Xiaopeng, Sun Lei, Ding Hao, Xiong Qingyuan, et al.
"Clinical Study to Assess the Efficacy of Artrhroscopic Debridemant In Combination With
SIHUANG Powder in Patients with Gouty Knee Arthritis." European Journal of
Pharmaceutical and Medical Research, 2017: 508-513.
53. Maratus, Sholihah Fatwa. "Diagnosis and Treatment Gout Arthritis." J Majority, 2014: 39-
45.
54. Qaseem Amir, Harris Russell P. Harrisand, Forciea Mary Ann. "Management of Acute and
Recurrent Gout: A Clinical Practice Guideline." American College of Physicians, 2017: 58-
70.
55. Fandi Wahyu W. Artritis Gout Dan Perkembangannya. 2014; 10(2).
56. WIDYANTO, Fandi Wahyu. Artritis gout dan perkembangannya. Saintika Medika: Jurnal
Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Keluarga, 2017, 10.2: 145-152
57. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi Ke-4. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. 2006
58. A. Graham Apley, Louis Solomon. Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi 7. Jakarta: Perpustakaan Nasional;1995.hal.214
59. Norkin and White, 1985, Measurement of joint motion, a guide to goniometry, F.A. Davis
Company, Philadelphia.
60. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan
Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN
61. Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle
Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta
62. Suarjana I.N. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V, Interna Publishing, Jakarta.2009.
63. Longo, D. L., & Kasper, D. L. (2012). Harrison’s Principle of Internal Medicine ed.18
Chapter 231: Rheumatoid Arthritis. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
64. Nitiyoso, Nugroho. Pilihan Pengobatan Artritis Rematoid. CDK-285.2020;47(4):251-255
65. Sadosky et al. 2010. Arthritis Research & Therapy.
http://arthritisresearch.com/content/12/4/R162 diunduh 20 mei 2011
66. Budhy, E. Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Gangguan Sistem Imunologi. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press. 2017
67. Soedarto. Alergi dan Penyakit Sistem Imun. Jakarta: Agung Seto. 2002.

Anda mungkin juga menyukai