Dosen Pembimbing :
Disusun oleh:
Kelompok 2
Bismillahirrahmanirrohim, Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, daninayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA
DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL “ ini dengan baik.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya
maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka
selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga
kami dapat memperbaiki makalah kami di kemudian hari.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sistem muskuloskeletal meliputi tulang, persendian, otot, tendon, dan bursa. Struktur
tulang dan jaringan ikat menyususn kurang lebih 25 % berat badan. Struktur tulang
memberikan perlindungan terhadap organ-organ penting dalam tubuh seperti jantung, paru,
otak. Tulang berfungsi juga memberikan bentuk serta tempat melekatnya otot sehingga tubuh
kita dapat bergerak, disamping itu tulang berfungsi sebagai penghasil sel darah merah dan sel
darah putih (tepatnya di sumsum tulang) dalam proses yang disebut hamatopoesis.
Tubuh kita tersusun dari kurang lebih 206 macam tulang, dalam tubuh kita ada 4
kategori yaitu tulang panjang, tulang pipih, tulang pendek, dan tulang tidak baraturan. Masing-
masing tulang dihubungkan oleh jaringan yang disebut sendi. Menurut pergerakan yang
ditimbulkan sendi dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
3. Sendi sinovial/diartrose.
Bentuk sendi diartrose ada beberapa macam : sendi putar, sendi engsel, sendi kondiloid, sendi
berporos serta sendi pelana. Bentuk-bentuk sendi beserta contohnya :
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
C. TUJUAN PENULIS
D. MANFAAT PENULIS
DX kep gangguan
rasa nyaman nyeri
berat
Askep Lansia
Dengan Gangguan
Muskuloskeletal
3. Aktivitas Berulang
• Tekanan
• Getaran
• Mikroklimat (Suhu)
6. Penyebab Kombinasi
• Umur
• Jenis kelamin
• Kebiasaan merokok
• Kesegaran jasmani
• Kekuatan fisik
1. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan penyakit skeletal istemik yang ditandai
dengan berkurangnya kepadatan tulang dan kerusakan jaringan tulang yang berakibat
pada menurunnya kekuatan tulang (Tabloski, 2014). Kekuatan tulang mencerminkan
kepadatan dan kualitas tulang. Kepadatan tulang dipengaruhi oleh gram mineral yang
terdapat di dalam tulang. Sementara, kualitas tulang dipengaruhi oleh mikroarsitektur
tulang, bone turnover, dan akumulasi kerusakan pada tulang (Tabloski, 2014).
Sehingga, apabila individu menderita osteoporosis dimana hal tersebut dapat
menurunkan kekuatan tulangnya, maka individu tersebut akan memiliki risiko tinggi
terjadinya fraktur atau patah tulang (Amelio & Isaia, 2015). Individu yang mengalami
osteoporosis umumnya tidak menimbulkan tanda dan gejala apapun selain adanya patah
tulang (Tabloski, 2014).
Faktor risiko utama terjadinya osteoporosis adalah usia yang sering terjadi pada
lansia, jenis kelamin yang sering terjadi pada wanita, ras kulit putih atau asia, riwayat
keluarga yang memiliki osteoporosis, dan gaya hidup seperti aktivitas fisik yang kurang
dan atau kurangnya konsumsi vitamin D (Tabloski, 2014). Osteoporosis dapat juga
diakibatkan karna konsumsi alkohol berlebih, rokok, stress, dan penggunaan
kortikosteroid jangka panjang. Wanita memiliki risiko tinggi terjadi osteoporosis. Hal
ini diakibatkan oleh tulang pada wanita memiliki lebih sedikit massa tulang dibanding
laki-laki, penurunan kadar estrogen saat menopause secara cepat mengakibatkan
kerapuhan tulang secara cepat pula, dan wanita mungkin juga kehilangan massa tulang
saat masa reproduksi atau laktasi (Tabloski, 2014). Selain itu, risiko tinggi osteoporosis
terjadi pula pada lansia.
Menurut Amelio & Isaia (2015), lansia memiliki risiko tinggi terjadinya
osteoporosis diakibatkan oleh penuaan yang membuat berkurangnya massa tulang
melalui perubahan hormon dan disfungsi osteoblast terkait usia. Pada lansia
perempuan, perubahan hormon terjadi saat setelah menopause yang mengakibatkan
menurunnya kadar estrogen (Sihombing et al, 2012). Padahal, estrogen memiliki peran
penting untuk remodelling tulang dan menghambat terjadinya resorpsi tulang oleh
osteoblast sehingga, menghambat kerapuhan tulang (Sihombing et al, 2012). Sementara
itu, pada lansia laki-laki terjadi juga perubahan hormon yaitu menurunnya kadar
steroid seksual yang mengakibatkan peningkatan pada kortisol oleh kelenjar adrenal.
Efek yang terjadi apabila terdapat peningkatan sekresi kortisol ialah akan terjadinya
kelebihan hormon glukokortikoid. Hal ini akan memicu kerusakan tulang, karena
hormon glukokortiokoid yang berlebih dapat mengganggu fungsi dari osteoblast
(Amelio & Isaiya, 2015). Namun, walaupun begitu pada lansia dapat terjadi pula
disfungsi dari osteoblast. Amelio dan Isaiya (2015) menjelaskan bahwa disfungsi
osteoblast diakibatkan oleh menurunnya kemampuan sel mesenchymal stem untuk
berdiferensiasi menjadi osteoblast. Kemampuan sel mesenchymal stem yang menurun
merupakan efek dari penuaan yang terjadi pada lansia.
Pengkajian untuk osteoporosis dapat diukur melalui kepadatan mineral tulang.
Hal ini dikarenakan kekuatan tulang tidak dapat diukur secara langsung. Menurut
Tabloski (2014) pengukuran kepadatan mineral tulang dapat memberikan informasi
sebanyak 70% mengenai kekuatan tulang. Pengkajian ini dinamakan pengkajian
densinometri tulang dengan menggunakan energi x-ray absorptiometry (DXA, DEXA)
yang perhitungan scorenya dinamakan T-score (Miller, 2012). Jika nilai T-score berada
di rentang -1 sampai -2,5 Standar Deviasi (SD) hal ini menandakan osteopenia. Namun,
jika T-score lebih rendah dari -2,5 SD maka kondisi tersebut dinamakan osteoporosis
(Miller, 2012). Pengkajian lain yang dapat perawat lakukan ialah assessment faktor
risiko osteoporosis seperti gaya hidup, diet, dan aktivitas fisik (Miller, 2012).
Penatalaksanaan pada lansia dengan osteoporosis dapat melalui terapi
farmakologi dan non farmakologi. Pada terapi farmakologi dapat diberikan suplemen
vitamin D untuk membantu menambahkan asupan kalsium. Namun, suplemen kalsium
dapat memperburuk kondisi konstipasi pada lansia (Touhy & Jett, 2014). Oleh karena
itu, perawat perlu memberikan cairan tambahan jika tidak ada kontraindikasi, atau
pelunak feses. Terapi lain yang dapat diberikan ialah terapi Selective Estrogen
Receptor Modulators (SERMs) yang merupakan pengganti terapi estrogen (Touhy &
Jett, 2014). Hal ini dikarenakan terapi estrogen walaupun dapat meingkatkan massa
tulang namun juga dapat meningkatkan risiko kanker payudara, kanker usus besar, dan
penyakit jantung. Pada terapi SERMs dinilai memiliki risiko kanker yang kecil. Terapi
medis lain ialah kalsitonin yang berfungsi untuk memperlambat pengeroposan tulang
dan meningkatkan mineral tulang pada wanita setelah menopause (Touhy & Jett, 2014).
Terapi selanjutnya ialah nonfarmakologi diantaranya mengurangi konsumsi alkohol,
kurangi konsumsi rokok, dan melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit
seperti berjalan, aerobik, menari (Touhy & Jett, 2014). Selain itu, lansia juga
disarankan untuk diet tinggi kalsium dengan mengonsumsi dairy product, tofu, jus
jeruk, roti, dan sayuran hijau. Bagi wanita yang di atas 50 tahun dan pria yang di atas
70 tahun, asupan kalsium yang disarankan setiap harinya ialah 1200 mg/day (Touhy &
Jett, 2014). Perawat juga perlu melakukan edukasi kepada lansia terkait medikasi
osteoporosis dan risiko jatuh. Perawat dapat memberikan informasi tentang
penggunaan sepatu yang ukurannya sesuai, penggunaan handrails, menghindari
berjalan di tempat yang kurang terang, dan menghindari mengangkat beban berat. Pada
keluarga pun perawat dapat memberikan edukasi terkait home safety, pastikan karpet
tidak longgar dan tidak ada kabel listrik (Touhy & Jett, 2014).
2. Arthritis
Arthritis secara harfiah berarti peradangan sendi. Arthritis merupakan
sekelompok kondisi yang mempengaruhi sendi. Kondisi ini menyebabkan kerusakan
sendi, biasanya mengakibatkan rasa sakit dan kekakuan. Arthritis dapat mempengaruhi
banyak bagian yang berbeda dari sendi dan hampir setiap sendi di dalam tubuh
(Arthritis Care, 2016). Secara umum, arthritis dikenal dengan rematik.
a. Osteoarthritis
Osteoarthritis merupakan penyakit radang degenerative yang menyerang
sendi dan otot, tendon dan ligament yang melekat, hal ini ditandai dengan rasa sakit,
bengkak dan gerakan terbatas di persendian (Touhy & Jett, 2014). Faktor resiko
yang dapat menyebabkan terjadinya osteoarthritis yaitu penambahan usia, obesitas,
riwayat keluarga, dan memiliki trauma sendi. Osteoarthritis terjadi dimana lapisan
kartilago normal yang lembut dan ulet menjadi tipis dan rusak, berlubang, kasar dan
rapuh. Hal ini menyebabkan ruang sendi menyempit dan akhirnya tulang-tulang
sendi bergesekan, menyebabkan kerusakan, rasa sakit, bengkak dan kesulitan
bergerak. Tulang dibawah kartilago menebal dan melebar keluar. Dalam beberapa
kasus, osteofit dapat terbentuk di tepi luar sendi, dan menyebabkan sendi terlihat
menonjol. Membran sinoval dan kapsul sendi menebal, dan ruang sendi menyempit
yang dapat menyebabkan peningkatakan jumlah cairan dalam sendi dan dapat
membengkak (Arthritis Care, 2016).
Sendi-sendi yang sering terkena osteoarthritis yaitu tangan, lutut, pinggul,
kaki dan tulang belakang. Kekakuan yang terjadi pada masalah ini biasanya akan
hilang dengan aktivitas, dan pada saat yang sama aktivitas dapat menyebabkan rasa
sakit yang hilang dengan istirahat. Kekakuan yang paling tinggi terjadi pada pagi
hari, karena tidak digunakan selama tidur dan bisa diselesaikan selama 30 menit.
Ketika gangguan ini sedang berkembang, maka akan muncul sakit saat istirahat dan
melibatkan banyak sendi atau mungkin akan terjadi ketidakstabilan dan krepitasi
yang dapat dirasakan dan merupakan indikasi kerusakan sendi (Touhy & Jett,
2014). Osteoarthritis tidak bisa disembuhkan, kecuali dengan penggantian
sambungan (artroplasi). Kebanyakan perawatan yang dilakukan hanya paliatif yang
ditujukan untuk kenyamanan. Beberapa intervensi pengobatan yang dilakukan yaitu
bertujuan untuk meminimalkan efek dari radang sendi dan untuk mengurangi
gejala, terutama rasa sakit. Banyak obat yang digunakan untuk membantu
mengelola nyeri sendi seperti analgesic, obat anti-inflamasi non-steroid, steroid.
Selain menggunakan obat-obatan, ada beberapa cara yang sering digunakan untuk
mengurangi rasa sakit yaitu dengan teknik relaksasi, memijat, olahraga juga dapat
membantu meredakan rasa tidak nyaman dan rasa sakit bagibanyak orang (Touhy
& Jett, 2014).
b. Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis yaitu penyakit autoimun yang disebabkan karena
inflamasi sendi pada sendi (Arthritis Research UK, 2014). Ganguan ini merupakan
gangguan sistemik dan kronis. Diperkirakan gangguan ini terjadi ketika tubuh
menciptakan peradangan pada persendiannya sendiri yang tidak di perlukan
dan bersifat merusak dirinya sendiri. Hal ini terjadi pada selaput synovial tipis yang
melapisi kapsul sendi, selubung tendon dan bursae menjadi meradang. Sendi yang
meradang kemudian menjadi kaku, nyeri dan bengkak. Pasien biasanya akan
merasa lelah atau mengalami kekakuan di pagi hari melebihi osteoarthritis. Rasa
sakit yang diderita oleh pasien rheumatoid arthritis karena dua hal yaitu ujung saraf
yang teriritasi oleh bahan kimia yang dihasilkan oleh peradangan dan kapsul sendi
meregang karena pembengkakan. Ketika inflamasi berkurang, kapsul sendi tetap
meregang dan tidak bisa kembali ke posisi awal, hal ini disebabkan karena sendi
menjadi tidak stabil dan dapat menyebabkan posisi yang salah. Faktor resiko yang
dapat menyebabkan rheumatoid arthritis yaitu faktor genetik, lingkungan dan gaya
hidup. Karena gangguan ini merupakan gangguan autoimun, sesuatu yang
bermasalah yaitu sistem imun. Penurunan sistem imun juga dapat menjadi faktor
risiko terjadinya rheumatoid arthritis, gaya hidup seperti merokok, banyak
konsumsi daging merah dan kopi juga menjadi salah satu faktor risiko (Arthritis
Research UK, 2014). Gejala yang sering muncul pada pasien ini yaitu kekakuan
sendi dan nyeri, lelah, depresi, anemia, merasa panas dan berkeringat, malaise dan
demam yang sesekali tidak di rasakan. Gangguan ini dapat terjadi secara bertahap
selama beberapa bulan, tahun atau bisa menjadi kondisi kronis dengan kerusakan
progresif pada sendi. Pengobatan yang diberikan kepada pasien rheumatoid
arthritis yaitu menggunakan obat modifikasi antirheumatic (DMARDs), obat ini
harus diberikan dengan hati-hati karena berpotensi beracun. Perawatan yang
dilakukan juga bersifat paliatif untuk kenyamanan pasien serta diberikan dukungan
khusus kepada pasien dan merubah gaya hidup pasien (Touhy & Jett, 2014).
c. Gout
Gout merupakan bagian dari penyakit radang sendi yang ditandai dengan
adanya inflamasi pada sendi akibat akumulasi kristal asam urat (Touhy & Jett,
2014). Kadar asam urat dalam tubuh ditentukan dari keseimbangan
antara produksinya baik melalui asupan purin dalam diet atau produksi endogen
dan ekskresi ginjal. Menurut Ragab et al (2017), gout merupakan penyakit sistemik
yang dihasilkan dari pengendapan kristal Monosodium Urat (MSU)
dalam jaringan. Asam urat merupakan produk sampingan dari purin yang disintesis
dari makanan yang dikonsumsi (Touhy & Jett, 2014). Purin merupakan salah satu
komponen utama dalam asam nukleat di DNA atau RNA bersama pirimidin. Purin
akan terkonversi menjadi asam urat yang normalnya dapat difiltrasi oleh ginjal dan
dikeluarkan melalui urin. Asam urat memiliki kelarutan yang terbatas dalam cairan
tubuh (Ragab et al, 2017). Namun, dalam kondisi patologis yaitu ketika terjadi
kenaikan asam urat diatas 6,8 mg/dL, maka akan terjadi deposisi asam urat
di jaringan. Asam urat tersebut akan kehilangan proton dan akan menjadi ion urat
yang kemudian mengikat natrium dan berkembang menjadi kristal MSU (Ragab et
al, 2017). Walaupun demikian, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kelarutan asam urat dalam sendi seperti pH cairan sinovial, konsentrasi air, tingkat
elektrolit, dan komponen sinovial lainnya seperti proteoglikan dan kolagen (Ragab
et al, 2017). Adanya pengendapan kristal MSU akan menimbulkan manifestasi
klinis pada penderita gout. Pada tahap akut, pengendapan kristal MSU dapat
mengakibatkan nyeri akut, pembengkakan, dan hangat apabila disentuh dibagian
sendi yang nyeri (Tabloski, 2014). Hal ini diakibatkan oleh proses inflamasi dari
sel darah putih yang bermigrasi ke sendi untuk membantu menghilangkan MSU.
Sementara, pada tahap kronik atau yang biasa disebut dengan gout thopaceous
dimulai dari paling cepat 3 tahun atau paling lambat 40 tahun setelah serangan akut.
Individu akan mengalami nyeri sendi yang persisten dan kaku sendi pada pagi hari
(Tabloski, 2014). Hal ini dapat mengakibatkan sulitnya individu untuk
menggerakan tangan dan kakinya sehingga, Ia akan menjadi sulit untuk melakukan
mobilisasi. Faktor predisposisi lain yang mengakibatkan gout ialah kelainan genetik
metabolisme purin. Hal ini memberikan dampak pada produksi purin yang berlebih.
Pada pasien dengan kondisi kelainan genetik, mengurangi asupan makanan purin
pun tidak mempengaruhi tingkat produksi asam urat (Ragab et al, 2017). Faktor lain
yang berkontribusi pada gout ialah konsumsi alkohol, tekanan darah tinggi, diet
tinggi purin, obesitas, gagal ginjal, dan medikasi seperti thiazid diuretic, aspirin,
cyclosporine, dan ledovopa (Touhy & Jett, 2014).
Pengkajian yang dapat digunakan pada gout ialah identifikasi kristal MSU
melalui aspirasi cairan sinovial (Ragab et al, 2017). Cairan sinovial tersebut akan
dilihat menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Sampel dapat bertahan
selama 24 jam dalam penyimpanan pada suhu 4˚C, namun hal ini dapat
memungkinkan hilangnya kristal. Sehingga, pemeriksaan sampel harus dilakukan
sedini mungkin dan waktu terbaik ialah 6 jam setelah sampel diambil (Ragab et al,
2017). Analisis lebih lanjut mencakup jumlah leukosit, pada penderita gout akut,
leukositik cairan sinovial dapat melebihi 50.000 sel/μL. Pengkajian lain juga dapat
menggunakan urin 24 jam untuk mengidentifikasi hiperurisemia (Ragab et al,
2017). Adanya asam urat melebihi 800m/24 jam, dapat mengindikasikan gout.
Selain itu, pengkajian lain juga dapat melalui Ultrasound, Conventional
Radiography, dan Double Countour Sign (DCT). Penatalaksanaan medis untuk gout
bertujuan untuk mencegah serangan, mencegah penyebaran penyakit, dan
mencegah perkembangan gout menjadi kronis. Obat-obatan yang diberikan untuk
menurunkan produksi asam urat misalnya allopurinol, colchicine (Touhy & Jett,
2014). Dapat juga diberikan obat untuk meningkatkan ekskresi asam urat itu sendiri
misalnya probenecid. Peran perawat untuk pengobatan individu dengan gout ialah
memastikan intake cairan adekuat yaitu 2L/hari (jika tidak ada kontraindikasi) agar
asam urat dapat di ekskresi melalui ginjal (Touhy & Jett, 2014). Perawat juga perlu
memberikan 15 edukasi terkait efek samping obat, tidak terjadi serangan berulang
dengan edukasi untuk menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam urat
seperti jeroan, daging merah, sarden, jamur, kacang-kacangan, dan kerang (Touhy
& Jett, 2014).
1. Sinar – X
Menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi dan perubahan hubungan tulang.
Sinar-X multipel diperlukan untuk pengkajian paripurna struktur yang sedang
diperiksa. Sinar-X korteks tulang dapat menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan
dan tanda iregularitas. Sinar – X sendi dapat menunjukkan adanya cairan, iregularitas,
penyempitan, dan perubahan struktur sendi
2. CT Scan (Computed Tomografi Scan)
Menunjukkan rincian bidang tertentu dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak
atau cedera ligamen atau tendon. CT Scan digunakan untuk mengindentifikasi lokasi
dan panjangnya patah tulang di daerah yang sulit dievaluasi, seperti asetabulum.
Pemeriksaan dilakukan bisa dengan atau tanpa kontras dan berlangsung sekitar satu
jam.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Teknik pencitraan khusus, non invasif yang menggunakan medan magnet, gelombang
radio, dan komputer untuk memperlihatkan abnormalitas, misal tumor atau
penyempitan jaringan lunak. Klien yang mengenakan implant logam atau pacemaker
tidak bisa menjalani pemeriksaan ini. Perhiasaan harus dilepas, klien yang klaustrofobia
biasanya tidak mampu menghadapi ruangan tertutup tanpa penenang.
4. Angiografi
Pemeriksaan sisitem arteri. Suatu bahan kontras radiopaque diinjeksikan ke dalam
arteri tertentu, dan diambil foto sinar-X serial sistem arteri yang dipasok oleh arteri
tersebut. Pemeriksaan ini sangat baik untuk mengkaji perfusi arteri dan bisa digunakan
untuk indikasi tindakan amputasi yang akan dilaksanakan. Perawatan setelah dilakukan
prosedur yaitu klien dibiarkan berbaring selama 12-24 jam untuk mencegah perdarahan
pada tempat penusukan untuk melihat adanya pembengkakan, perdarahan dan
hematoma serta nya pantau ekstremitas bagian distalnya untuk menilai apakah
sirkulasinya adekuat.
5. Digital Substraction Angiography (DSA)
Menggunakan teknologi komputer untuk menggambarkan sistem arteri melalui kateter
vena. Sedangkan, venogram adalah pemeriksaan sistem vena yang sering digunakan
untuk mendeteksi adanya trombosis vena dalam
6. Mielografi
Suatu pemeriksaan dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam rongga subarakhnoid
spinalis lumbal, dilakukan untuk melihat adanya herniasi diskus, stenosis spinal
(penyempitan kanalis spinalis) atau adanya tumor. Sementara, diskografi adalah
pemeriksaan diskus vertebralis dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam diskus
dan dilihat distribusinya
7. Arthrografi
Penyuntikkan bahan radiopaque atau udara ke dalam rongga sendi untuk melihat
struktur jaringan lunak dan kontur sendi. Sendi diletakkan dalam kisaran
pergerakannya sementara diambil gambar sinar-X serial. Pemeriksaan ini sangat
berguna untukmengidentifikasi adanya robekan akut atau kronik kapsul sendi atau
ligamen penyangga lutut, bahu, tumit, pinggul dan pergelangan tangan. Bila terdapat
robekan bahan kontras akan mengalami kebocoran keluar sendi dan akan terlihat
dengan sinar-X.
1. Farmakologi
1) Asesmen mengenai sebab jatuh ,apa yang menyebabkannya apakah akibat factor
lingkungan,gangguan intra-atau ekstra serebral dan lain sebagainya.
3) Asesmen mengenai frakturnya .Operabel atau tidak ,kalau operable harus dilakukan
dengan pendekatan pada dokter bedah .Setelah dilakukan operasi,tindakan
rehabilitasi yang baik disertai pemberian obat untuk upaya perbaikan osteoporosis
bisa dikerjakan. Obat-obatan. Yang membantu pembentukan tulang (steroid
anabolic, flourida). Yang mengurangi perusakan tulang (estrogen, kalsium,
dofosfonat, kalsitonin).
b. Osteomalasia adalah suatu penyakit tulang metabolic yang ditandai dengan terjadinya
kekurangan kalsifikasi matriks tulang yang normal. Terapi osteomalasia adalah pemberian
vitamin D yang dapat diberikan peroral 3atau perenteral atau dengan meningkatkan
produksi vitamin D dengan penyinaran UV. Panderita usia lamjtu sering kali
mengkonsumsi diet yang kandungan kalsiumnya rendah, oleh karena itu pada penderita
inin pada penderita ini sebaiknya diberikan terapai berupa tablet kalsium yang
mengandung vitamin D atau kalsiferol oral atau perenterla 1000-1500 unit perhari.
Untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan agens anti inflamasi, obat yang
dapat dipilih adalah aspirin. Namun, efek antiinflamasi dari aspirin tidak terlihat pada dosis
kurang dari 12 tablet per hari, yang dapat menyebabkan gejala siste,mgastrointestinal dan
system saraf pusat. Obat anti inflamasi non-steroid sangat bermanfaat, tetapi dianjurkan
untuk menggunakan dosis yang direkomendasikan oleh pasbrik dan pemantauan efek
samping secara hati- hati perlu dilakukan. Terrapin kortikosteroid yang diinjeksikan
melalui sendi mungkin digunakan untuk infeksi di dalam satu atau dua sendi. Injeksi secara
cepat dihubungkan dengan nekrosisi dan penurunan kekuatan tulang. Biasanya injeksi
yang diberikan ke dalam sendi apapun tidak boleh diulangi lebih dari tiga kali. Rasa nyeri
dan pembengkakan umumnya hilang untuk waktu 1 sampai 6 minggu.
• Penyakit penyerta
Pasien harus memakai obat secara hati-hati dan menceriterakan semua perubahan yang terjadi
pada dokter. Obat-obat dibawah ini yang sering dipakai
1) Parasetamol
ACR (American College of Rheumatology) merekomendasikan parasetamol sebagai
obat pertama dalam penatalaksanaan nyeri, karena relatif aman, efikasi, dan harga murah
dibanding NSAID.
Penghilang rasa sakit setara dengan aspirin, naproksen, ibuprofen, dan beberapa NSAID
bagi beberapa pasien dengan OA. Walau demikian ada beberapa pasien mempunyai
respons lebih baik dengan NSAID2
Tidak mengurangi peradangan
Tidak mengiritasi lambung, relatif lebih aman, harga lebih murah
Peringatan: pasien dengan penyakit hati, peminum berat alkohol, dan yang minum
antikoagulan atau NSAID harus hati-hati minum parasetamol3
Drug of choice bagi pasien dengan masalah ginjal
Farmakologi dan mekanisme kerja parasetamol, yaitu bekerja pada susunan saraf pusat (SSP)
untuk menghambat sintesa prostaglandin, (yang berfungsi meningkatkan sensasi rasa nyeri).
Dengan cara memblok kerja siklooksigenase pusat. Parasetamol oral diabsorpsi, mencapai
konsentrasi puncak 1-2 jam, diaktivasi di hati dengan cara konjugasi dengan sulfat atau
glukoronid, dan metabolitnya diekskresi lewat ginjal. Efikasi Parasetamol, penurun rasa sakit
ringan sampai sedang, 2,6-4g/hari setara dengan aspirin 650mg empat kali sehari, ibuprofen
1200-2400mg/hari, naproksen 750mg/hari, seperti halnya NSAID lain. Efek yang merugikan
(Adverse Effect) Parasetamol walaupun aman, tetap ada risiko, terutama bagi individu yang
mempunyai risiko sakit hati atau pemakaian overdosis atau konsumsi alkohol, akan
menimbulkan hepatoksisitas, kemungkinan dapat terjadi sampai fatal. Kemungkinan juga pada
pemakaian jangka panjang akan mengganggu ginjal. Interaksi Obat-Obat 10 Interaksi dengan
obat-obat di bawah ini dapat meningkatkan risiko hepatoksisitas o Barbiturat, Hidantoin, INH,
Karbamazepin, Rifampisin • Memperpanjang waktu paruh warfarin, pantau kadar waktu
protrombin . Pemakaian jangka panjang dengan dosis maksimal parasetamol pada pasien dalam
pengobatan warfarin dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin, sebab itu
membutuhkan pengawasan melekat.
Dari penelitian tidak ditemukan ranking efikasi. Dokter menyadari pasien akan memilih
berdasarkan pengalaman pribadinya. NSAID adalah suatu kelas obat yang dapat menekan
inflamasi melalui inhibisi enzim cyclooxygenase (COX). Efek penting dalam mengurangi rasa
sakit. NSAID memberikan rasa nyaman bagi banyak orang dengan masalah persendian kronis,
tetapi juga menimbulkan masalah penyakit gastrointestinal yang serius. Contoh NSAID
NSAID Nonselective
2) Bila tidak ada perbaikan, dicoba exercise (sesuai anjuran dokter), fisioterapis,
kemungkinan dapat menghindarkan dari obat
2) Resiko bertambah dengan lama pengobatan, dosis, dan pemakaian bersamaan steroid
, adanya penyakit gastrointestinal sebelumnya.
1) Ada kecenderungan untuk memakai berbagai anti-ulcer bersama dengan NSAID terutama
bagi yang beresiko
b) Prostaglandin (misoprostol)
Hal yang harus diperhatikan pada pemakaian NSAID o Semua NSAID bekerja
sebagai penghilang rasa sakit dalam dosis rendah, dan menghilangkan peradangan dalam
dosis tinggi2 o Pemakaian NSAID memerlukan kewaspadaan bagi pasien yang sedang
minum anti koagulan, kortikosteroid, 3 mempunyai riwayat penyakit lambung, gagal
jantung, hipertensi, asma, gagal ginjal, sirosis hati, manula >=653 o Misoprostol dapat
diberikan untuk mengurangi masalah saluran pencernaan o COX-2 inhibitor : Pemakaian
harus mempertimbangkan adanya risiko terjadinya kardiovaskular trombotik, termasuk
non-fatal miokardial infark dan non-fatal stroke terutama bila dipakai dalam dosis tinggi.
Farmakologi dan Mekanisme Kerja Prinsip mekanisme NSAID sebagai analgetik adalah
blokade sintesa prostaglandin melalui hambatan cyclooxcigenase (Enzim COX-1 dan
COX-2), dengan mengganggu lingkaran cyclooxygenase12 Enzim COX-1 adalah enzim
yang terlibat dalam produksi prostaglandin gastroprotective untuk mendorong aliran darah
di gastrik dan menghasilkan bikarbonat. COX-1 berada secara terus menerus di mukosa
gastrik, sel vaskular endotelial, platelets, renal collecting tubules, sehingga prostaglandin
hasil dari COX-1 juga berpartisipasi dalam hemostasis dan aliran darah di ginjal. 2
Sebaliknya enzim COX-2 tidak selalu ada di dalam jaringan, tetapi akan cepat muncul bila
dirangsang oleh mediator inflamasi, cedera/luka setempat, sitokin, interleukin, interferon
dan tumor necrosing factor. Blokade COX-1 (terjadi dengan NSAID nonspesifik) tidak
diharapkan karena mengakibatkan tukak lambung dan meningkatnya risiko pendarahan
karena adanya hambatan agregasi platelet. Hambatan dari COX-2 spesifik dinilai sesuai
dengan kebutuhan karena tidak memiliki sifat di atas, hanya mempunyai efek antiinflamasi
dan analgesik.
2. Non Farmakologi
a. Penatalaksanaan osteoporosisnya :
1) Tindakan diebetik:diet tinggi kalsium (sayur hijau,dan lain-lain). Terapi ini lebih
bermanfaat sebagai tindakan pencegahan.
2) Olahraga. Yang terbaik adalah yang bersifat mendukung beban (weight bearing),
misalnya jogging, berjalan cepat, dll. Lebih baik dilakukan di bawah sinar matahari
pagi karena membantu pembuatan vitamin D.
Hasil uji Wilcoxon Signed Rank Test, didapat keduanya mempunyai nilai kemaknaan
yaitu ρ value = 0,000. Nilai ρ = 0,031 pada kelompok kompres serai hangat dan kelompok
kompres jahe merah ρ value = 0,165. Hasil uji Mann Withney U Test pada Post perlakuan
kedua terapi diperoleh selisih nilai nyeri pada kompres jahe ρ= 0,003 dan selisih nilai nyeri
kompres serai ρ value = 0,001. Penggunaan kompres jahe merah lebih efektif dibandingkan
dengan kompres serai terhadap penurunan intensitas nyeri arthritis remathoid.
Efektifitas kompres jahe merah hangat dibandingkan dengan kompres serai hangat untuk
menurunkan intensitas nyeri arthritis rematoid karena kandungan enzim siklo-oksigenase
dalam jahe merah yang dapat mengurangi peradangan pada penderita arthritis rhematoid, selain
itu jahe juga memiliki efek farmakologis yaitu rasa panas dan pedas, dimana dapat meredakan
rasa nyeri, kaku, dan spasme otot atau terjadinya vasodilatasi pembuluh darah, manfaat yang
maksimal akan dicapai dalam waktu 20 menit sesudah aplikasi panas. Pada kelompok kompres
serai hangat kurang efektif dibandingkan dengan kompres jahe merah hangat hal ini
dikarenakan kompres hangat serai mengandung zat biotik yaitu minyak atsiri yang dapat
digunakan sebagai obat alternative untuk bahan pijat rematik. Sesuai dengan penyataan
responden bahwa kompres serai hangat lama dalam menurunkan nyeri berbeda dengan
kompres jahe merah hangat.
d. Pemberian intervensi senam lansia pada lansia dengan nyeri lutut di Unit Rehabilitasi
Sosial “Margo Mukti” Kabupaten Rembang efektif untuk mengatasi nyeri lutut pada lansia
Hasil penelitian pengukuran skala nyeri sesudah diberikan terapi senam lansia sesuai
dengan teori yang telah disampaikan bahwa senam lansia merupakan suatu latihan fisik
yang mempunyai pengaruh yang baik untuk meningkatkan kemampuan otot sendi.
Kemampuan otot sendi apabila sering dilatih atau digerakkan maka cairan sinovial pada
sendi akan meningkat. Cairan sinovial ini berfungsi sebagai pelumas dalam sendi.
Peningkatan cairan sinovial ini dapat mengurangi resiko cidera sendi pada lansia (Taslim,
2001). Senam lansia juga dapat memberikan kebugaran tubuh dan meningkatkan daya
tahan tubuh (Ambar, 2009).
Hasil penelitian sesudah dilakukan terapi senam lansia menunjukkan bahwa sebesar
86,7% lansia memiliki skala nyeri 0 atau tidak nyeri dan 13,33% lansia mempunyai skala nyeri
1 atau skala nyeri ringan. Hasil uji statistik Wilcoxon diperoleh nilai p-value 0,001 yang berarti
sig< 0,05 artinya hipotesa diterima. Kesimpulannya pemberian terapi senam lansia efektif
mengatasi nyeri lutut pada lansia.
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi didalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu
waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses
alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan
tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti
mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang
mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, pengelihatan
semakin memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2006).
WHO dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab
1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa usia 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah
suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan
kumulatif, merupakan proses menurunya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam dan luar tubuh.
Teori penuaan secara umum menurut Lilik Ma’rifatul (2011) dapat dibedakan menjadi dua
yaitu teori biologi dan teori penuaan psikososial.
1. Teori Biologi
a) Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan kebanyakan sel–sel
tubuh “diprogram” untuk membelah 50 kali. Jika sel pada lansia dari tubuh dan
dibiakkan di laboratrium, lalu diobrservasi, jumlah sel–sel yang akan membelah,
jumlah sel yang akan membelah akan terlihat sedikit. Pada beberapa sistem, seperti
sistem saraf, sistem musculoskeletal dan jantung, sel pada jaringan dan organ dalam
sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut dibuang karena rusak atau mati. Oleh
karena itu, sistem tersebut beresiko akan mengalami proses penuaan dan mempunyai
kemampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh dan memperbaiki diri
(Azizah, 2011)
b) Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis)
Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya pada lansia. Proses
kehilangan elastiaitas ini dihubungkan dengan adanya perubahan kimia pada komponen
protein dalam jaringan tertentu. Pada lansia beberapa protein (kolagen dan kartilago,
dan elastin pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan bentuk dan struktur yang berbeda dari
protein yang lebih muda. Contohnya banyak kolagen pada kartilago dan elastin pada
kulit yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih tebal, seiring dengan
bertambahnya usia (Tortora dan Anagnostakos, 1990). Hal ini dapat lebih mudah
dihubungkan dengan perubahan permukaan kulit yang kehilangan elastisitanya dan
cenderung berkerut, juga terjadinya penurunan mobilitas dan kecepatan pada system
musculoskeletal (Azizah, 2011).
c) Keracunan Oksigen
Teori tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di dalam tubuh untuk
mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung zat racun dengan kadar yang
tinggi, tanpa mekanisme pertahan diri tertentu. Ketidakmampuan mempertahankan diri
dari toksink tersebut membuat struktur membran sel mengalami perubahan dari rigid,
serta terjadi kesalahan genetik (Tortora dan Anaggnostakos, 1990). Membran sel
tersebut merupakan alat untuk memfasilitas sel dalam berkomunikasi dengan
lingkungannya yang juga mengontrol proses pengambilan nutrisi dengan proses
ekskresi zat toksik di dalam tubuh. Fungsi komponen protein pada membran sel yang
sangat penting bagi proses di atas, dipengaruhi oleh rigiditas membran tersebut.
Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah adanya penurunan reproduksi sel oleh
mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan dan organ berkurang.
Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan sistem tubuh (Azizah, 2011).
d) Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa penuaan. Walaupun
demikian, kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari sistem limfatik dan
khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses
penuaan. Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca tranlasi, dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri.
Jika mutasi isomatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel,
maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang
mengalami perubahan tersebut sebagai selasing dan menghancurkannya. Perubahan
inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh
sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya serangnya
terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel kanker leluasa membelah-belah
(Azizah, 2011).
e) Teori Menua Akibat Metabolisme
Menurut MC Kay et all., (1935) yang dikutip Darmojo dan Martono (2004),
pengurangan “intake” kalori pada rodentia muda akan menghambat pertumbuhan dan
memperpanjang umur. Perpanjangan umur karena jumlah kalori tersebut antara lain
disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi
penurunan pengeluaran hormon yang merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan
hormon pertumbuhan.
2. Teori Psikologis
a) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara keaktifannya setelah
menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua.
Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah meraka yang aktif dan
ikut banyak dalam kegiatan sosial (Azizah, 2011).
b) Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Identity pada lansia
yang sudah mantap memudahkan dalam memelihara hubungan dengan masyarakat,
melibatkan diri dengan masalah di masyarakat, kelurga dan hubungan interpersonal
(Azizah, 2011).
c) Teori Pembebasan (Disengagement Theory) Teori ini menyatakan bahwa dengan
bertambahnya usia, seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya (Azizah, 2011).
J. Fungsi Muskuloskeletal
a. Indek Katz
Skor Interpretasi
A Kemandirian dalam hal makan, kontinen (BAK/BAB), berpindah, kekamar
kecil, berpakaian dan mandi
B Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali satu dari fungsi
tersebut
C Kemandirian dalam semua aktifitas kecuali mandi dan satu fungsi tambahan
Lain-lain Ketergantungan pada sedikitnya dua fungsi tetapi tidak dapat diklasifikasikan
sebagai, C,D dan E.
1. Mandi
Mandiri : Bantuan hanya pada satu bagian mandi ( seperti punggung atau ekstremitas
yang tidak mampu ) atau mandi sendiri sepenuhnya
Tergantung : Bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh, bantuan masuk dan keluar
dari bak mandi, serta tidak mandi sendiri
2. Berpakaian
Mandiri : Mengambil baju dari lemari, memakai pakaian, melepaskan pakaian,
mengancingi/mengikat pakaian.
Tergantung : Tidak dapat memakai baju sendiri atau hanya sebagian
3. Ke Kamar Kecil
Mandiri : Masuk dan keluar dari kamar kecil kemudian membersihkan genetalia
sendiri Tergantung : Menerima bantuan untuk masuk ke kamar kecil dan
menggunakan pispot.
4. Berpindah
Mandiri : Berpindah ke dan dari tempat tidur untuk
duduk, bangkit dari kursi sendiri
Bergantung : Bantuan dalam naik atau turun dari tempat tidur atau kursi, tidak
melakukan satu, atau lebih perpindahan
5. Kontinen
Mandiri : BAK dan BAB seluruhnya dikontrol sendiri
Tergantung : Inkontinensia parsial atau total; penggunaan kateter,pispot, enema dan
pembalut ( pampers )
6. MakanMandiri : Mengambil makanan dari piring dan menyuapinya sendiri
Bergantung : Bantuan dalam hal mengambil makanan dari piring dan menyuapinya,
tidak makan sama sekali, dan makan parenteral ( NGT )
1. Pengkajian
A. Data subjektif
1. Demografi data. Data ini memuat nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis
transportasi yang digunakan, dan orang yang terdekat dengan klien
3. Riwayat sosial. Data ini memuat pendidikan dan pekerjaan. Secorang yang terpapar
terus-menerus dengan agens tertentu dalam pekerjaannya, status kesehatannya dapat
disesuaikan.
5. Riwayat diet makanan (nutrisi). Identifikasi kelebihan berat badan karna kondisi ini
dapat memgakibatkan stres pada sendi penyangga tubuh dan prdisposisi memerlukan
instabilitas legamen khusus pada punggung bagian bawah. Bagaimana cara
menanganinya? Bagaimana menu makanan sehari-hari dan konsumsi vitamin A, D, dan
protein apa saja yang diperlukan untuk keperluan penggunaan muskuloskeletal?
7. Riwayat kesehatan masa lalu. Data tentang efek langsung atau tidak langsung terhadap
muskuloskeletal, seperti trauma atau kerusakan tulang, riwayat artritis, dan
osteomielitis
8. Riwayat kesehatan sekarang. Dari kapan saja timbul keluhan, apakah ada pengumuman
trauma. Timbulnya gejala mendadak atau lambat. Timbul untuk pertama kali atau
berulang. Kaji klien untuk mengungkapkan alasan klien memeriksakan diri atau
memberikan fasilitas kesehatan. Saya telah memperbarui pasien.
9. Nyeri.
1) Identifikasi lokasi nyeri. Nyeri biasanya terkait dengan pembuluh darah, sendi, fasia,
atau periosteum. Tentukan kualitas sakit yang menusuk atau berdenyut.Nyeri
berdenyut biasanya berkaitan dengan tulang, dan sakit yang menusuk terkait dengan
fraktur atau infeksi tulang. Nyeri saat bergerak merupakan satu tanda masalah
persendian. Degenerasi panggul menimbulkan rasa sakit selama tubuh bertumpu
pada sendi tersebut. Degenerasi pada saat bertumpu pada rasa sakit selama dan
setelah berjalan. Nyeri pada osteoartritis semakin meningkat pada suhu dingin.
Tanyakan kapan saja semakin meningkat, apakah pagi atau malam hari. Tanyakan
apakah hilang yang hilang saat istirahat. Apakah nyerinya dapat diatasi dengan obat
tertentu dapat diatasi dengan obat tertentu. )
2) Kekuatan Sendi. Tanyakan sendi mana yang melebihi kekakuan, lamanya kekuan
ini, dan apakah perlu terjadi remisi kekakuan beberapa kali sehari. Pada penyakit
degenerasi sendi sering terjadi kekakuan yang meningkat pada pagi hari setelah
bangun tidur (inaktivitas).
3) Bengkak. tanyakan kapan lama terjadi pembengkakan, apakah juga mengatasi nyeri,
karena bengkak dan nyeri sering menyertai sedera pada otot. Penyakit degenerasi
sendi sering kali tidak timbul pada awal serangan, tetapi muncul setelah beberapa
minggu terjadi nyeri
4) Deformitas dan imobilitas. Tanyakan kapan saja, apakah tiba-tiba atau habis, apakah
timbul keterbatasan gerak. Apakah semakin memburuk dengan aktivitas, apakah
menggunakan klien alat bantu (kruk, tongkat, dll)
5) Perubahan sensori. Tanyakan apakah ada rasa pada bagian tubuh tertentu. Apakah
menurunnya rasa atau kenikmatan tersebut berkaitan dengan rasa. Penekanan pada
saraf dan pembuluh darah akibat bengkaka, tumor atau fraktur menyebabkan
menurunnya sensasi.
10. Lingkungan tempat tinggal Kebersihan dan kerapihan ruangan ?,Penerangan?, Sirkulasi
udara?, Keadaan kamar mandi & WC?, Pembuangan air kotor?, Sumber air minum?,
pembuangan sampah ?, sumber pencemaran?, Privasi?, Risiko injuri?
11. Pola Fungsional
1) Persepsi kesehatan dan pola manajemen kesehatan Kebiasaan yang mempengaruhi
kesehatan misal merokok, minuman keras, ketergantungan terhadap obat
( jenis/frekuensi/jumlah/ lama pakai )
2) Nutrisi metabolik Frekuensi makan ?, nafsu makan?, jenis makanan?, makanan yg tdk
disukai ?, alergi thdp makanan?, pantangan makanan?, keluhan yg berhubungan dengan
makan?
3) Eliminasi BAK : Frekuensi & waktu?, kebiasaan BAK pada malam hari?, keluhan yang
berhubungan dengan BAK? BAB : Frekuensi & waktu?, konsistensi?,keluhan yang
berhubungan dg BAB?, pengalaman memakai pencahar?
5) Pola istirahat tidur Lama tidur malam?, tidur siang?,keluhan yang berhubungan dengan
tidur?
7) Persepsi diri-Pola konsep diri Bagaimana klien memandang dirinya ( Persepsi diri
sebagai lansia?), bagaimana persepsi klien tentang orang lain mengenai dirinya?
10) Koping-Pola Toleransi Stress Apa yang menyebabkan stress pada lansia, bagaimana
penanganan terhadap masalah ?
11) Nilai-Pola Keyakinan Sesuatu yang bernilai dalam hidupnya ( spirituality : menganut
suatu agama, bagaimana manusia dengan penciptanya ), keyakinan akan kesehatan,
keyakinan agama
B. Data obyektif
4. Duduk, berdiri dan berjalan kecuali ada yang menentang Kyposis, scoliosis, lordosis.
2. Masalah Keperawatan
1. Intoleransi Aktivitas
2. Gangguan Body Image
3. Defisit perawatan diri
4. Gangguan Mobilitas Fisik
5. Kurang pengetahuan
6. Risiko trauma
7. Risiko Injury
8. Kecemasan
9. Nyeri akut
10. Nyeri kronis
Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Intoleransi aktivitas NOC : NIC :
Berhubungan dengan : Self Care : ADLs Observasi adanya pembatasan klien dalam
Tirah Baring atau Toleransi aktivitas melakukan aktivitas
imobilisasi Konservasi eneergi Kaji adanya faktor yang menyebabkan
kelelahan
Kelemahan Setelah dilakukan tindakan Monitor nutrisi dan sumber energi yang
menyeluruh keperawatan selama …. adekuat
Ketidakseimbangan Pasien bertoleransi Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik
antara suplei oksigen terhadap aktivitas dengan dan emosi secara berlebihan
dengan kebutuhan Kriteria Hasil : Monitor respon kardivaskuler terhadap
Gaya hidup yang Berpartisipasi dalam aktivitas (takikardi, disritmia, sesak nafas,
dipertahankan. aktivitas fisik tanpa diaporesis, pucat, perubahan
DS: disertai peningkatan hemodinamik)
Melaporkan secara tekanan darah, nadi dan Monitor pola tidur dan lamanya
verbal adanya RR tidur/istirahat pasien
kelelahan atau Mampu melakukan Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi
kelemahan. aktivitas sehari hari Medik dalam merencanakan progran terapi
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, lilik Ma’rifatul. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Penerbita Graha Ilmu.
Yogyakarta
Ferawati. (2017). Efektifitas Kompres Jahe Merah Hangat Dan Kompres Serai
Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Arthritis Remathoid Pada Lanjut
Usia. Jurnal Ilmu Kesehatan MAKIA, Vol.5 No.1, Agustus 2017