Anda di halaman 1dari 57

MAKALAH

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN SISTEM


MUSKULOSKELETAL”

Dosen Pembimbing :

Disusun oleh:

Kelompok 2

Widya Destriani N (1611110770) Lisa Monica (1611110896)


Nursyamsi Setiap Ningsih (1611110808) Ria Astuti (1611110908)
Resti Ananda Putri (1611110818) Ressy Herlia (1611110934)
Nurul Aina Ibni Kalzan (1611110824) Era (1611110950)
Rika Elvia (1611110834) Seniwan Agustini G (1611110963)
Saferatul Khair (1611110852) Syarifah Nurul F (1611111003)
Rajali (1611110856) Sakiah Pitriana Nst (1611111032)
Shintia Ramadhani Fitri (1611110858) Siti Sarwanti (1611111043)
Mellysa Rosalina (1611110863)
Dian Permata Ningtyas (1611110866

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim, Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, daninayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA
DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL “ ini dengan baik.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya
maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka
selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga
kami dapat memperbaiki makalah kami di kemudian hari.

Pekanbaru,9 Oktober 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sistem muskuloskeletal meliputi tulang, persendian, otot, tendon, dan bursa. Struktur
tulang dan jaringan ikat menyususn kurang lebih 25 % berat badan. Struktur tulang
memberikan perlindungan terhadap organ-organ penting dalam tubuh seperti jantung, paru,
otak. Tulang berfungsi juga memberikan bentuk serta tempat melekatnya otot sehingga tubuh
kita dapat bergerak, disamping itu tulang berfungsi sebagai penghasil sel darah merah dan sel
darah putih (tepatnya di sumsum tulang) dalam proses yang disebut hamatopoesis.

Tubuh kita tersusun dari kurang lebih 206 macam tulang, dalam tubuh kita ada 4
kategori yaitu tulang panjang, tulang pipih, tulang pendek, dan tulang tidak baraturan. Masing-
masing tulang dihubungkan oleh jaringan yang disebut sendi. Menurut pergerakan yang
ditimbulkan sendi dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu :

1. Sendi fibrous/sinatrosis/sendi tidak bergerak

2. Sendi tulang rawan / amfiartrose/sendi gerak

3. Sendi sinovial/diartrose.

Bentuk sendi diartrose ada beberapa macam : sendi putar, sendi engsel, sendi kondiloid, sendi
berporos serta sendi pelana. Bentuk-bentuk sendi beserta contohnya :

1. Sendi putar : sendi bahu dan sendi panggul


2. Sendi engsel : sendi siku, sendi antara ruas-ruas jari
3. Sendi kondiloid : hampir sama dengan sendi engsel tapi dapat bergerak dalam 2
bidang seperti pada pergelangan tangan.
4. Sendi berporos: sendi antara kepala dengan tulang leher pertama
5. Sendi pelana : sendi metacarpal pertama, yang memungkinkan ibu jari ergerak bebas.
SKENARIO 1 KEPERAWATAN GERONTIK
Ns. Herlina, M.Kep., Sp.Kep.Kom
SKENARIO
SENDIKU SNUT-SNUT
Bapak R (70 Tahun) saat dikaji oleh ners muda terlihat Bpk R mengalami gangguan
muskuloskeletal denga mengeluhkan nyeri sendi tajam secara neurofisiologis pada lutut
akibat faktor degenerasi dan sakit untuk dibawa berjalan, beberapa kali melakukan
aktifitas ibadah dari duduk ke berdiri ataupun sebaliknya. Dalam 1 bulan terakhir sudah 5
kali terjatuh yang akibatnya terjadinya skiatika dalam 1 minggu. Pergerakan sendi kaku
pada kaki, bengaka, dan hangat dipersendian dan nyeri yang dirasakan persisten terutama
nyeri polimialgia pagi hari, kekuatan otot ekstremitas 3, dan imobilisasi. Sudah 5 tahun ini
didiagnosa rheumatoid artritisgout dengan kadar urin acid 10mg/dl, dan terdapat benjolan
pada jempol kaki. Bapak R mendapatkan obat NSAID (Non-Steroid Anti Imflammatory
Drugs) dan dianjurkan kompres dengan air hangat dan ramuan jahe serta melakukan
tekhnik relaksasi sebagai mediator kimia untuk mengatasi nyeri secara non farmakologis.
Saat dilakukan ASKEP kepada bapak R diangkatlah diagnosa keperawatan gangguan rasa
nyaman nyeri (berat), data indeks KATZ skore F karena bapak R sulit untuk berpindah
dengan beberapa intervensi sesuai kondisi dan kemampuan klien yang berada di PSTW
Khusnul Khotimah.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:

1. Apa defenisi dari muskuloskeletal dan gangguan muskuloskeletal?

2. Apa etiologi dari gangguan muskuloskeletal?

3. Apa saja manifestasi dari gangguan muskuloskeletal?

4. Apa patofisiologi dari gangguan muskuloskeletal?

5. Apa saja perubahan gangguan muskuloskeletal?


6. Apa saja masalah gangguan muskuloskeletal?

7. Apa saja pemeriksaan penunjang gangguan muskuloskeletal?

9. Apa saja penatalaksanaan gangguan muskuloskeletal?

10. bagaimana proses penuaan?

11. Apa saja fungsi muskuloskeletal?

12. Apa itu indeks KATZ skore?

13.Bagaimana Asuhan keperawatan gangguan muskuloskeletal?

C. TUJUAN PENULIS

1. Mengetahui defenisi dari muskuloskeletal dan gangguan muskuloskeletal?


2. Mengetahui etiologi dari gangguan muskuloskeletal?
3. Mengetahui manifestasi dari gangguan muskuloskeletal?
4. Mengetahui patofisiologi dari gangguan muskuloskeletal?
5. Mengetahui perubahan gangguan muskuloskeletal?
6. Mengetahui masalah gangguan muskuloskeletal?
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang gangguan muskuloskeletal?
8. Mengetahui penatalaksanaan gangguan muskuloskeletal?
9. Memahami proses penuaan?
10. Mengetahui fungsi muskuloskeletal?
11. indeks KATZ skore?
12. Bagaimana Asuhan keperawatan gangguan muskuloskeletal?

D. MANFAAT PENULIS

1. Memberikan wawasan lebih mendalam mengenai penyakit gastrointestinal baik


dalam hal definisi, etiologi, patofisiologi terkini, manifestasi klinis, klasifikasi,
pemeriksaan penunjang, pemeriksaan fisik, penatalaksaan, pengkajian, dan lain-lain.
2. Sebagai landasan teori terkini mengenai penyakit gastrointestinal yang dapat
dimanfaatkan sebagai landasan teori bagi pembaca mengenai penyakit.
BAB II
PEMBAHASAN
STEP 1 :
1. Skiatika
2. Faktor Degenerasi
3. Polimialgia
4. Muskuloskeletal
5. Rheumatoid Arhtritis
6. Sendi Tajam
7. Neurofisiologis
8. Indeks KATZ
9. Obat NSAID
10. PSTW
11. Urin Acid
STEP 2 :
1. Skiatika adalah rasa nyeri yang terjadi di saraf panggul
2. Faktor Degenerasi adalah faktor yang biasanya terjadi ketika usia berlanjut (faktor
menua)
3. Polimialgia adalah suatu keadaan yang terjadi pada lansia nyeri akut pada sikut, leher,
dan bagian lainnya
4. Gangguan Muskuloskeletal adalah suatu keadaan yang menganggu fungsi sendi
5. Rheumatoid Arhtritis adalah suatu peradangan sendi yang terjadi pada kaki dan tangan
6. Sendi Tajam adalah nyeri yang sakit sekali
7. Neurofisiologis adalah ilmu fisisologis yang mempelajari studi fungsi saraf
8. Indeks KATZ adalah suatu alat ukur yang digunakan untuk menilai tingkat kemampuan
lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari
9. Obat NSAID adalah obat untuk anti inflamasi yang biasanya digunakan untuk
mengobati penyakit gangguan muskuloskeletal, mengurangi suhu tubuh, meredakan
peradangan dalam
10. PSTW adalah suatu institusi pelayanan dan perawatan pada lansia
11. Urin Acid adalah produk sisa dari pemecahan katabolisme
Kadar normalnya P : 2-7,5 mg/dl dan L : 2-6,5 mg/dl
STEP 3 :
1. Apa saja tanda dan gejala yang terlihat pada kondisi pasien sehingga terjadi sendi
tajam?
2. Apa saja penyebab nyeri sendi tajam?
3. Apa saja penyebab faktor degenerasi?
4. Apa tindakan perawat pada pasien dengan gejala pasien tersebut?
5. Apa penyebab sendi bengkak dan hangat?
6. Apakah penyebab benjolan pada jempol kaki?
7. Bagaimana kareakteristik benjolan kaki?
8. Apa data pendukung sehingga didiagnosa rheumatoid artritis?
9. Apasih tujuan kompres dengan air hangat dan ramuan jahe?
10. Apa kontra indikasinya ?
11. Apa perbedaan obat NSAID, dengan air hangat dan ramuan jahe?
12. Berapa normal indeks KATZ dan tingkat kemandirian apa saja yang dinilai?
13. Apa intervensi yang bisa dilakukan perawat?
14. Pada skenario ada skor F, maksudnya skor F tersebut apa?
15. Apa tindakan perawat pada masalah skiatika?
STEP 4 :
1. Imobilisasi, rasa sakit (mengeluh), membalikkan badan pun tersa sakit
2. Faktor penuaan ( nyeri sendi karena usia, terjadi penurunan sistem, dan penurunan
fungsi sistem)
3. Makanan, kadar purin yang menumpuk, kadar asam urat yang meningkat
4. Membatasi pergerakan dan menggunakan alat bantu untuk bergerak
5. Karena jahe mengurangi hormon stress pada tubuh
6. Karena adanya aliran darah yang terhambat, dikarenkan pergerakan yang terbatas
7. Biasanya seperti adanya yang menumpuk bisa lunak ataupun keras
8. Tanda dan gejalanya hampir mirip dengan yang diskenario namun sesuai lagi dengan
tingkatannya
9. Untuk menghilangkan hormon stress pada tubuh, agar darah dapat mengalir keseluruh
tubuh
10. Merelaksasikan rasa nyeri, dan juga jahe menurunkan rasa nyeri dan jika diberikan obat
maka akan meningkatkan kerja hati, ginjal, dll
11. Jika obat alami, mudah didapatkan dan harga terjangkau sedangkan obat farmakologis
cepat reaksinya namun dapat memperberat kerja hati dan ginjal
12. Normalnya nilainya A : 6 dan yang dinilai bathing, dressing, toileting, transfering,
continence, feeding
13. Monitor pasien, memberikan obat baik farma/non farma, memperhatikan kondisi
pasien
14. Pasien memilki kelemahan harus dibantu dalam melakukan aktivitas sehari-hari
15. Menganjurkan pasien menggunakan alat bantu, monitor dan lain-lain
STEP 5 : MIND MAPPING
Bapak R (70 Tahun)
Ners Muda melakukan DX
DS
- Mengeluhkan
Riwayat klien
nyeri tajam
- Sakit saat - Sudah 5 tahun di
- Sendi kaku pada kaki, berjalan dan DX RA asam urat
bengkak dan hangat sulit 10 mg/dh
dan nyeri yang beraktiviatas
dirasakan persisten - Dalam 1 bulan
terutama nyeri terakhir sudah 5
polimialgia pagi hari, kali jatuh
kekuatan ekstremitas - Menyebabakan
3, dan imobilisasi skiatika selama
seminggu
- Nyeri pada pagi
hari
Data indeks mengangkat
KATZskore

DX kep gangguan
rasa nyaman nyeri
berat

Non farmakologis Farmakologi :


NSAID
Kompres air hangat
dan ramuan jahe

Askep Lansia
Dengan Gangguan
Muskuloskeletal

A. Pengertian Gangguan Sistem Muskuloskeletal pada Lansia

Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus


pergerakan. Komponen utama dari sistem muskuloskeletal adalah tulang dan
jaringan ikat yang menyusun kurang lebih 25 % berat badan dan otot
menyusunkurang lebih 50%. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka,
tendon,ligament, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur-
struktur ini.(Price,S.A,1995:175). Sistem Muskuloskeletal ini memiliki
komponen utama nya yaitu tulang dan jaringan ikat dimana didalamnya seba gai
penyusun tubuh yang terdiri dari kurang lebih 25 % berat badan dan 50 % terdiri
dari otot. dari system ini juga difungsikan sebagai penopang bentuk badan serta
pergerakan tubuh manusia system ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka,
tendon, ligament, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur-
struktur ini.

Gangguan muskuloskeletal adalah suatu kondisi yang mengganggu fungsi


sendi, ligamen, otot, saraf dan tendon, serta tulang belakang. Sistem
muskuloskeletal Anda melibatkan struktur yang mendukung anggota badan, leher
dan punggung. Gangguan muskuloskeletal seringnya merupakan penyakit
degeneratif, penyakit yang menyebabkan jaringan tubuh Anda rusak secara
lambat laun. Hal ini dapat mengakibatkan rasa sakit dan mengurangi kemam puan
Anda untuk bergerak, yang dapat mencegah Anda dalam melakukan kegiatan
sehari-hari.

B. Etiologi Gangguan Sistem Muskuloskeletal pada Lansia

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan sistem


muskuloskeletal yakni, antara lain:

1. Faktor biologis (umur, jenis kelamin, dan lain-lain)

2. Peregangan Otot yang Berlebihan

3. Aktivitas Berulang

4. Sikap Kerja Tidak Alamiah (Tidak Ergonomis)

5. Faktor Penyebab Sekunder :

• Tekanan

• Getaran

• Mikroklimat (Suhu)

6. Penyebab Kombinasi

• Umur

• Jenis kelamin

• Kebiasaan merokok
• Kesegaran jasmani

• Kekuatan fisik

• Ukuran tubuh (antropometri) (Suratum, 2008)

C. Manifestasi Gangguan Sistem Muskuloskeletal

1. Penurunan waktu reaksi menyebabkan lansia akan mengalami perlambatan dalam


merespon sesuatu
2. Kesulitan membolak-balik posisi sehingga jika lansia telah berada pada posisi tertentu
pada kursi roda maka akan terus dalam keadaan seperti itu
3. Melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan (misal dengan meningkatkan
perhatian pada aktivitas orang lain)
4. Dipsnea setelah beraktivitas sehingga lansia cepat capek, perubahan cara berjalan
5. Gerakan bergetar
6. Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus
7. Keterbatasan rentang pergerakan sendi
8. Tremor akibat pergerakan
9. Ketidakstabilan postur yang mempengaruhi cara berjalan
10. Pergerakan lambat
11. Pergerakan tidak terkoordinasi
12. Penurunan ketahanan dengan adanya penurunan kendali otot
13. Penurunan massa otot
14. Penurunan kekuatan otot
15. Kaku sendi dan nyeri Dislokasi gejalanya seperti nyeri, perubahan pada kontur sendi,
perubahan panjang ekstremitas, mobilitas terganggu, kekakuan, perubahan sumbu tulang
yang mengalami dislokasi, perubahan ukuran ekstremitas dan deformitas.
D. Patofisiologi Gangguan Sistem Muskuloskeletal

Osteoporosis merupakan penyakit skeletal istemik yang ditandai dengan


berkurangnya kepadatan tulang dan kerusakan jaringan tulang yang berakibat pada
menurunnya kekuatan tulang (Tabloski, 2014). Kekuatan tulang mencerminkan kepadatan dan
kualitas tulang. Kepadatan dan kualitas tulang merupakan kedua hal yang berbeda. Kepadatan
tulang dipengaruhi oleh gram mineral yang terdapat di dalam tulang. Sementara, kualitas tulang
dipengaruhi oleh mikroarsitektur tulang, bone turnover, dan akumulasi kerusakan pada tulang
(Tabloski, 2014). Sehingga, apabila individu menderita osteoporosis dimana hal tersebut dapat
menurunkan kekuatan tulangnya, maka individu tersebut akan memiliki risiko tinggi terjadinya
fraktur atau patah tulang (Amelio & Isaia, 2015). Individu yang mengalami osteoporosis
umumnya tidak menimbulkan tanda dan gejala apapun selain adanya patah tulang (Tabloski,
2014).
Faktor risiko utama terjadinya osteoporosis adalah usia yang sering terjadi pada lansia,
jenis kelamin yang sering terjadi pada wanita, ras kulit putih atau asia, riwayat keluarga yang
memiliki osteoporosis, dan gaya hidup seperti aktivitas fisik yang kurang dan atau kurangnya
konsumsi vitamin D (Tabloski, 2014). Osteoporosis dapat juga diakibatkan karna konsumsi
alkohol berlebih, rokok, stress, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Wanita
memiliki risiko tinggi terjadi osteoporosis. Hal ini diakibatkan oleh tulang pada wanita
memiliki lebih sedikit massa tulang dibanding laki-laki, penurunan kadar estrogen saat
menopause secara cepat mengakibatkan kerapuhan tulang secara cepat pula, dan wanita
mungkin juga kehilangan massa tulang saat masa reproduksi atau laktasi (Tabloski, 2014).
Selain itu, risiko tinggi osteoporosis terjadi pula pada lansia.
Menurut Amelio & Isaia (2015), lansia memiliki risiko tinggi terjadinya osteoporosis
diakibatkan oleh penuaan yang membuat berkurangnya massa tulang melalui perubahan
hormon dan disfungsi osteoblast terkait usia. Pada lansia perempuan, perubahan hormon terjadi
saat setelah menopause yang mengakibatkan menurunnya kadar estrogen (Sihombing et al,
2012). Padahal, estrogen memiliki peran penting untuk remodelling tulang dan menghambat
terjadinya resorpsi tulang oleh osteoblast sehingga, menghambat kerapuhan tulang (Sihombing
et al, 2012). Sementara itu, pada lansia laki-laki terjadi juga perubahan hormon yaitu
menurunnya kadar steroid seksual yang mengakibatkan peningkatan pada kortisol oleh kelenjar
adrenal. Efek yang terjadi apabila terdapat peningkatan sekresi kortisol ialah akan terjadinya
kelebihan hormon glukokortikoid. Hal ini akan memicu kerusakan tulang, karena hormon
glukokortiokoid yang berlebih dapat mengganggu fungsi dari osteoblast (Amelio & Isaiya,
2015). Namun, walaupun begitu pada lansia dapat terjadi pula disfungsi dari osteoblast. Amelio
dan Isaiya (2015) menjelaskan bahwa disfungsi osteoblast diakibatkan oleh menurunnya
kemampuan sel mesenchymal stem untuk berdiferensiasi menjadi osteoblast. Kemampuan sel
mesenchymal stem yang menurun merupakan efek dari penuaan yang terjadi pada lansia.
Pengkajian untuk osteoporosis dapat diukur melalui kepadatan mineral tulang. Hal ini
dikarenakan kekuatan tulang tidak dapat diukur secara langsung. Menurut Tabloski (2014)
pengukuran kepadatan mineral tulang dapat memberikan informasi sebanyak 70% mengenai
kekuatan tulang. Pengkajian ini dinamakan pengkajian densinometri tulang dengan
menggunakan energi x-ray absorptiometry (DXA, DEXA) yang perhitungan scorenya
dinamakan T-score (Miller, 2012). Jika nilai T-score berada di rentang -1 sampai -2,5 Standar
Deviasi (SD) hal ini menandakan osteopenia. Namun, jika T-score lebih rendah dari -2,5 SD
maka kondisi tersebut dinamakan osteoporosis (Miller, 2012). Pengkajian lain yang dapat
perawat lakukan ialah assessment faktor risiko osteoporosis seperti gaya hidup, diet, dan
aktivitas fisik (Miller, 2012).
1. Arthritis
Arthritis secara harfiah berarti peradangan sendi. Arthritis merupakan
sekelompok kondisi yang mempengaruhi sendi. Kondisi ini menyebabkan kerusakan
sendi, biasanya mengakibatkan rasa sakit dan kekakuan. Arthritis dapat
mempengaruhi banyak bagian yang berbeda dari sendi dan hampir setiap sendi di
dalam tubuh (Arthritis Care, 2016). Secara umum, arthritis dikenal dengan rematik.
2. Osteoarthritis
Osteoarthritis merupakan penyakit radang degenerative yang menyerang sendi
dan otot, tendon dan ligament yang melekat, hal ini ditandai dengan rasa sakit, bengkak
dan gerakan terbatas di persendian (Touhy & Jett, 2014). Faktor resiko yang dapat
menyebabkan terjadinya osteoarthritis yaitu penambahan usia, obesitas, riwayat
keluarga, dan memiliki trauma sendi.
Osteoarthritis terjadi dimana lapisan kartilago normal yang lembut dan ulet
menjadi tipis dan rusak, berlubang, kasar dan rapuh. Hal ini menyebabkan ruang sendi
menyempit dan akhirnya tulang-tulang sendi bergesekan, menyebabkan kerusakan, rasa
sakit, bengkak dan kesulitan bergerak. Tulang dibawah kartilago menebal dan melebar
keluar. Dalam beberapa kasus, osteofit dapat terbentuk di tepi luar sendi, dan
menyebabkan sendi terlihat menonjol. Membran sinoval dan kapsul sendi menebal, dan
ruang sendi menyempit yang dapat menyebabkan peningkatakan jumlah cairan dalam
sendi dan dapat membengkak (Arthritis Care, 2016). Untuk lebih jelas, perhatikan
gambar perbandingan antara sendi normal dan sendi dengan gangguan.
Gambar 3 Perbandingan antara sendi normal dengan sendi yang mengalami
gangguan

Sumber: Arthritis Research UK (2011)

Osteoarthritis biasanya terjadi secara bertahap selama beberapa tahun dan


mempengaruhi beberapa sendi. Sendi-sendi yang sering terkena osteoarthritis yaitu
tangan, lutut, pinggul, kaki dan tulang belakang. Kekakuan yang terjadi pada masalah
ini biasanya akan hilang dengan aktivitas, dan pada saat yang sama aktivitas dapat
menyebabkan rasa sakit yang hilang dengan istirahat. Kekakuan yang paling tinggi
terjadi pada pagi hari, karena tidak digunakan selama tidur dan bisa diselesaikan selama
30 menit. Ketika gangguan ini sedang berkembang, maka akan muncul sakit saat
istirahat dan melibatkan banyak sendi atau mungkin akan terjadi ketidakstabilan dan
krepitasi yang dapat dirasakan dan merupakan indikasi kerusakan sendi (Touhy & Jett,
2014).
Osteoarthritis tidak bisa disembuhkan, kecuali dengan penggantian sambungan
(artroplasi). Kebanyakan perawatan yang dilakukan hanya paliatif yang ditujukan untuk
kenyamanan. Beberapa intervensi pengobatan yang dilakukan yaitu bertujuan untuk
meminimalkan efek dari radang sendi dan untuk mengurangi gejala, terutama rasa sakit.
Banyak obat yang digunakan untuk membantu mengelola nyeri sendi seperti analgesic,
obat anti-inflamasi non-steroid, steroid. Selain menggunakan obat-obatan, ada beberapa
cara yang sering digunakan untuk mengurangi rasa sakit yaitu dengan teknik relaksasi,
memijat, olahraga juga dapat membantu meredakan rasa tidak nyaman dan rasa sakit
bagi banyak orang (Touhy & Jett, 2014). Mencapai dan memepertahankan berat badan
ideal juga dapat meringankan ketegangan pada sendi yang menahan berat badan.
3. Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis yaitu penyakit autoimun yang disebabkan karena inflamasi
sendi pada sendi (Arthritis Research UK, 2014). Ganguan ini merupakan gangguan
sistemik dan kronis. Diperkirakan gangguan ini terjadi ketika tubuh menciptakan
peradangan pada persendiannya sendiri yang tidak di perlukan dan bersifat merusak
dirinya sendiri. Hal ini terjadi pada selaput synovial tipis yang melapisi kapsul sendi,
selubung tendon dan bursae menjadi meradang. Sendi yang meradang kemudian
menjadi kaku, nyeri dan bengkak. Pasien biasanya akan merasa lelah atau mengalami
kekakuan di pagi hari melebihi osteoarthritis. Menurut Arthritis Research UK (2014)
rasa sakit yang diderita oleh pasien rheumatoid arthritis karena dua hal yaitu ujung saraf
yang teriritasi oleh bahan kimia yang dihasilkan oleh peradangan dan kapsul sendi
meregang karena pembengkakan. Ketika inflamasi berkurang, kapsul sendi tetap
meregang dan tidak bisa kembali ke posisi awal, hal ini disebabkan karena sendi
menjadi tidak stabil dan dapat menyebabkan posisi yang salah.
Faktor resiko yang dapat menyebabkan rheumatoid arthritis yaitu faktor genetik,
lingkungan dan gaya hidup. Karena gangguan ini merupakan gangguan autoimun,
sesuatu yang bermasalah yaitu sistem imun. Penurunan sistem imun juga dapat menjadi
faktor risiko terjadinya rheumatoid arthritis, gaya hidup seperti merokok, banyak
konsumsi daging merah dan kopi juga menjadi salah satu faktor risiko (Arthritis
Research UK, 2014). Gejala yang sering muncul pada pasien ini yaitu kekakuan sendi
dan nyeri, lelah, depresi, anemia, merasa panas dan berkeringat, malaise dan demam
yang sesekali tidak di rasakan. Gangguan ini dapat terjadi secara bertahap selama
beberapa bulan, tahun atau bisa menjadi kondisi kronis dengan kerusakan progresif
pada sendi. Pengobatan yang diberikan kepada pasien rheumatoid arthritis yaitu
menggunakan obat modifikasi antirheumatic (DMARDs), obat ini harus diberikan
dengan hati-hati karena berpotensi beracun. Perawatan yang dilakukan juga bersifat
paliatif untuk kenyamanan pasien serta diberikan dukungan khusus kepada pasien dan
merubah gaya hidup pasien (Touhy & Jett, 2014)
4. Gout
Gout merupakan bagian dari penyakit radang sendi yang ditandai dengan adanya
inflamasi pada sendi akibat akumulasi kristal asam urat (Touhy & Jett, 2014). Kadar
asam urat dalam tubuh ditentukan dari keseimbangan antara produksinya baik melalui
asupan purin dalam diet atau produksi endogen dan ekskresi ginjal. Menurut Ragab et
al (2017), gout merupakan penyakit sistemik yang dihasilkan dari pengendapan kristal
Monosodium Urat (MSU) dalam jaringan. MSU dapat disimpan disemua jaringan
terutama di dalam sendi yang nantinya akan membentuk tophi.
Asam urat merupakan produk sampingan dari purin yang disintesis dari makanan
yang dikonsumsi (Touhy & Jett, 2014). Purin merupakan salah satu komponen utama
dalam asam nukleat di DNA atau RNA bersama pirimidin. Purin akan terkonversi
menjadi asam urat yang normalnya dapat difiltrasi oleh ginjal dan dikeluarkan melalui
urin. Asam urat memiliki kelarutan yang terbatas dalam cairan tubuh (Ragab et al,
2017). Namun, dalam kondisi patologis yaitu ketika terjadi kenaikan asam urat diatas
6,8 mg/dL, maka akan terjadi deposisi asam urat di jaringan. Asam urat tersebut akan
kehilangan proton dan akan menjadi ion urat yang kemudian mengikat natrium dan
berkembang menjadi kristal MSU (Ragab et al, 2017). Walaupun demikian, terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan asam urat dalam sendi seperti pH
cairan sinovial, konsentrasi air, tingkat elektrolit, dan komponen sinovial lainnya
seperti proteoglikan dan kolagen (Ragab et al, 2017).
Adanya pengendapan kristal MSU akan menimbulkan manifestasi klinis pada
penderita gout. Pada tahap akut, pengendapan kristal MSU dapat mengakibatkan nyeri
akut, pembengkakan, dan hangat apabila disentuh dibagian sendi yang nyeri (Tabloski,
2014). Hal ini diakibatkan oleh proses inflamasi dari sel darah putih yang bermigrasi
ke sendi untuk membantu menghilangkan MSU. Sementara, pada tahap kronik atau
yang biasa disebut dengan gout thopaceous dimulai dari paling cepat 3 tahun atau paling
lambat 40 tahun setelah serangan akut. Individu akan mengalami nyeri sendi yang
persisten dan kaku sendi pada pagi hari (Tabloski, 2014). Hal ini dapat mengakibatkan
sulitnya individu untuk menggerakan tangan dan kakinya sehingga, Ia akan menjadi
sulit untuk melakukan mobilisasi. Pada lansia umumnya jarang terjadi serangan yang
akut namun, gout akan terlihat sebagai manifestasi arthritis yang kronik dengan
kumpulan tophi pada jari-jari kaki, jari-jari tangan, siku, dan lutut (Tabloski, 2014).
Salah satu kondisi yang mengakibatkan terjadinya gout ialah hyperuricemia.
Namun, Ragab et al (2017) mengungkapkan bahwa banyak individu yang menderita
hyperuricemia tidak berlanjut menjadi gout atau membentuk kristal asam urat. Hanya
5% individu yang memiliki nilai asam urat diatas 9 mg/dL yang menderita gout (Ragab
et al, 2017). Faktor predisposisi lain yang mengakibatkan gout ialah kelainan genetik
metabolisme purin. Hal ini memberikan dampak pada produksi purin yang berlebih.
Pada pasien dengan kondisi kelainan genetik, mengurangi asupan makanan purin pun
tidak mempengaruhi tingkat produksi asam urat (Ragab et al, 2017). Faktor lain yang
berkontribusi pada gout ialah konsumsi alkohol, tekanan darah tinggi, diet tinggi purin,
obesitas, gagal ginjal, dan medikasi seperti thiazid diuretic, aspirin, cyclosporine, dan
ledovopa (Touhy & Jett, 2014)
Pengkajian yang dapat digunakan pada gout ialah identifikasi kristal MSU
melalui aspirasi cairan sinovial (Ragab et al, 2017). Cairan sinovial tersebut akan dilihat
menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Sampel dapat bertahan selama 24 jam
dalam penyimpanan pada suhu 4˚C, namun hal ini dapat memungkinkan hilangnya
kristal. Sehingga, pemeriksaan sampel harus dilakukan sedini mungkin dan waktu
terbaik ialah 6 jam setelah sampel diambil (Ragab et al, 2017). Analisis lebih lanjut
mencakup jumlah leukosit, pada penderita gout akut, leukositik cairan sinovial dapat
melebihi 50.000 sel/μL. Pengkajian lain juga dapat menggunakan urin 24 jam untuk
mengidentifikasi hiperurisemia (Ragab et al, 2017). Adanya asam urat melebihi
800m/24 jam, dapat mengindikasikan gout. Selain itu, pengkajian lain juga dapat
melalui Ultrasound, Conventional Radiography, dan Double Countour Sign (DCT).

E. Perubahan Gangguan pada Sistem Muskuloskeletal Lansia

Lansia mengalami perubahan pada anatomi dan fisiologi tubuhnya, yang


menyebabkan penurunan fungsi sistem tubuh. Fungsi mobilisasi manusia dihubungkan
pada tiga hal yakni tulang, otot dan persendian yang juga didukung oleh sistem saraf (Yulia,
2013).
a. Perubahan Fisiologis Tulang
Sistem skeletal pada manusia tersusun dari 206 tulang termasuk dengan sendi
yang menghubungkan antar keduanya. Kerangka yang dibentuk dari susunan tulang
tersebut sangat kuat namun relatif ringan. Fungsi utama sistem skeletal ini adalah
memberikan bentuk dan dukungan pada tubuh manusia. Selain itu, sistem ini juga
berperan untuk melindungi tubuh, misalnya tulang tengkorak yang melindungi otak dan
mata, tulang rusuk yang melindungi jantung, serta tulang belakang yang melindungi
sumsum tulang belakang. Struktur pada kerangka ini juga terdapat tendon otot yang
mendukung adanya pergerakan (Mauk, 2006).
Tulang mencapai kematangan pada saat waktu dewasa awal tetapi terus
melakukan remodeling sepanjang kehidupan. Menurut Colón, et al. (2018) secara
umum, perubahan fisiologis pada tulang lansia adalah kehilangan kandungan mineral
tulang. keadaan tersebut bedampak pada meningkatnya risiko fraktur dan kejadian
terjatuh. Selain itu, terjadi juga penurunan massa tulang atau disebut dengan osteopenia.
Jika tidak ditangani segara osteopenia bisa berlanjut menjadi osteoporosis yang ditandai
dengan karakteristik berkurangnya kepadatan tulang dan meningkatkan laju kehilangan
tulang.
Perubahan-perubahan lain yang terjadi menurut Miller (2012) antara lain:
1) Meningkatnya resorbsi tulang (misalnya, pemecahan tulang diperlukan untuk
remodeling)
2) Arbsorbsi kalsium berkurang
3) Meningkatnya hormon serum paratiroid;
4) Gangguan regulasi dari aktivitas osteoblast;
5) Gangguan formasi tulang sekunder untuk mengurangi produksi osteoblastik dari
matriks tulang; dan Menurunnya estrogen pada wanita dan testosterone pada laki-
laki.
b. Perubahan Fisiologis Otot
Selain tulang, otot yang dikontrol oleh neuron motorik secara langsung
berdampak pada kehidupan sehari-hari. Perubahan fisilogis pada otot yang terjadi pada
lansia disajikan dalam tabel berikut (Colón, et al., 2018).
Perubahan Efek Fungsional
Peningkatan variabilitas dalam ukuran Peningkatan heterogenitas jarak kapiler,
serat otot karena kapiler dapat hanya terletak di tepi
serat berdampak negatif terhadap
oksigenasi jaringan
Kehilangan massa otot Penurunan kekuatan dan tenaga
Serabut otot (fiber) tipe II menurun Terjatuh
Infiltrasi lemak Kerapuhan atau otot melemah
Secara keseluruhan akibat dari perubahan kondisi otot yang berhubungan
dengan bertambahnya usia disebut sarkopenia. Sarkopenia adalah kehilangan masa,
kekuatan dan ketahanan otot (Miller, 2012). Berikut penampang mikroskoping tulang
dan otot dalam keadaan normal dan dalam kondisi patologis
c. Perubahan pada Sendi dan Jaringan Ikat
Proses degeneratif memengaruhi tendon, ligamen, cairan synovial. Perubahan-
perubahan yang terjadi pada sendi meliputi :
Organ/Jaringan Perubahan Fisiologis Efek
Sendi Menurunnya viskositas cairan Menurunnya perlindungan ketika
synovial bergerak (Miller, 2012).
 Erosi tulang (Miller, Menghambat pertumbuhan tulang
2012). (Miller, 2012).
 Mengecilnya kartilago
 Degenerasi gen dan sel Penurunan elastisitas, fleksibilitas,
elastin. stabilitas, dan imobilitas (Kurnianto,
 Ligamen memendek 2015).
 Fragmentasi struktur
fibrosa di jaringan ikat.
 Pembentukan jaringan
parut di kapsul sendi dan
jaringan ikat (Miller,
2012).
Penurunan kapasitas gerakan, Gangguan fleksi dan ekstensi sehingga
seperti: penurunan rentang kegiatan sehari-hari menjadi
gerak pada lengan atas, fleksi terhambat.
punggung bawah, rotasi
eksternal pinggul, fleksi lutut,
dan dorsofleksi kaki (Miller,
2012).
Lansia yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi purin yang terlalu banyak
juga akan menyebabkan hasil metabolisme asam urat menumpuk di persendian hingga
bengkak dan terasa nyeri. Asam urat ini seharusnya dikeluarkan bersama urin dan feses
namun ketika ginjal sudah mengalami penurunan fungsi, maka penumpukan asam urat
akan bertambah parah (Mujahidullah, 2012).
Komponen-komponen kapsul sendi pecah dan kolagen pada jaringan
penyambung meningkat secara progresif (Stanley, et. al., 2007). Efek perubahan pada
sendi ini adalah gangguan fleksi dan ekstensi, penurunan fleksibilitas struktur berserat,
berkurang perlindungan dari kekuatan gerakan, erosi tulang, berkurangnya kemampuan
jaringan ikat (Miller, 2012), inflamasi, nyeri, penurunan mobilitas sendi, dan
deformitas (Stanley, et. al., 2007).
d. Perubahan pada Saraf
Proses degeneratif memengaruhi gerak refleks, sensasi, dan posisi sendi.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada saraf meliputi:
Organ/Jaringan Perubahan Fisiologis Efek
Saraf  Penurunan gerakan  Berjalan lebih lambat.
refleks.  Berkurangnya respon terhadap
 Gangguan proprioception rangsangan lingkungan (Miller,
terutama pada wanita. 2012).
 Berkurangnya rasa sensasi
getaran dan posisi sendi
pada ektremitas bagian
bawah (Miller, 2012).
Perubahan kemampuan visual Perubahan pemeliharaan dalam posisi
tegak
Perubahan kontrol postural Peningkatan goyangan tubuh yang
merupakan tolak ukur dari gerakan
tubuh saat berdiri (Miller, 2012).

F. Masalah Gangguan Muskuloskeletal pada Lansia

1. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan penyakit skeletal istemik yang ditandai
dengan berkurangnya kepadatan tulang dan kerusakan jaringan tulang yang berakibat
pada menurunnya kekuatan tulang (Tabloski, 2014). Kekuatan tulang mencerminkan
kepadatan dan kualitas tulang. Kepadatan tulang dipengaruhi oleh gram mineral yang
terdapat di dalam tulang. Sementara, kualitas tulang dipengaruhi oleh mikroarsitektur
tulang, bone turnover, dan akumulasi kerusakan pada tulang (Tabloski, 2014).
Sehingga, apabila individu menderita osteoporosis dimana hal tersebut dapat
menurunkan kekuatan tulangnya, maka individu tersebut akan memiliki risiko tinggi
terjadinya fraktur atau patah tulang (Amelio & Isaia, 2015). Individu yang mengalami
osteoporosis umumnya tidak menimbulkan tanda dan gejala apapun selain adanya patah
tulang (Tabloski, 2014).
Faktor risiko utama terjadinya osteoporosis adalah usia yang sering terjadi pada
lansia, jenis kelamin yang sering terjadi pada wanita, ras kulit putih atau asia, riwayat
keluarga yang memiliki osteoporosis, dan gaya hidup seperti aktivitas fisik yang kurang
dan atau kurangnya konsumsi vitamin D (Tabloski, 2014). Osteoporosis dapat juga
diakibatkan karna konsumsi alkohol berlebih, rokok, stress, dan penggunaan
kortikosteroid jangka panjang. Wanita memiliki risiko tinggi terjadi osteoporosis. Hal
ini diakibatkan oleh tulang pada wanita memiliki lebih sedikit massa tulang dibanding
laki-laki, penurunan kadar estrogen saat menopause secara cepat mengakibatkan
kerapuhan tulang secara cepat pula, dan wanita mungkin juga kehilangan massa tulang
saat masa reproduksi atau laktasi (Tabloski, 2014). Selain itu, risiko tinggi osteoporosis
terjadi pula pada lansia.
Menurut Amelio & Isaia (2015), lansia memiliki risiko tinggi terjadinya
osteoporosis diakibatkan oleh penuaan yang membuat berkurangnya massa tulang
melalui perubahan hormon dan disfungsi osteoblast terkait usia. Pada lansia
perempuan, perubahan hormon terjadi saat setelah menopause yang mengakibatkan
menurunnya kadar estrogen (Sihombing et al, 2012). Padahal, estrogen memiliki peran
penting untuk remodelling tulang dan menghambat terjadinya resorpsi tulang oleh
osteoblast sehingga, menghambat kerapuhan tulang (Sihombing et al, 2012). Sementara
itu, pada lansia laki-laki terjadi juga perubahan hormon yaitu menurunnya kadar
steroid seksual yang mengakibatkan peningkatan pada kortisol oleh kelenjar adrenal.
Efek yang terjadi apabila terdapat peningkatan sekresi kortisol ialah akan terjadinya
kelebihan hormon glukokortikoid. Hal ini akan memicu kerusakan tulang, karena
hormon glukokortiokoid yang berlebih dapat mengganggu fungsi dari osteoblast
(Amelio & Isaiya, 2015). Namun, walaupun begitu pada lansia dapat terjadi pula
disfungsi dari osteoblast. Amelio dan Isaiya (2015) menjelaskan bahwa disfungsi
osteoblast diakibatkan oleh menurunnya kemampuan sel mesenchymal stem untuk
berdiferensiasi menjadi osteoblast. Kemampuan sel mesenchymal stem yang menurun
merupakan efek dari penuaan yang terjadi pada lansia.
Pengkajian untuk osteoporosis dapat diukur melalui kepadatan mineral tulang.
Hal ini dikarenakan kekuatan tulang tidak dapat diukur secara langsung. Menurut
Tabloski (2014) pengukuran kepadatan mineral tulang dapat memberikan informasi
sebanyak 70% mengenai kekuatan tulang. Pengkajian ini dinamakan pengkajian
densinometri tulang dengan menggunakan energi x-ray absorptiometry (DXA, DEXA)
yang perhitungan scorenya dinamakan T-score (Miller, 2012). Jika nilai T-score berada
di rentang -1 sampai -2,5 Standar Deviasi (SD) hal ini menandakan osteopenia. Namun,
jika T-score lebih rendah dari -2,5 SD maka kondisi tersebut dinamakan osteoporosis
(Miller, 2012). Pengkajian lain yang dapat perawat lakukan ialah assessment faktor
risiko osteoporosis seperti gaya hidup, diet, dan aktivitas fisik (Miller, 2012).
Penatalaksanaan pada lansia dengan osteoporosis dapat melalui terapi
farmakologi dan non farmakologi. Pada terapi farmakologi dapat diberikan suplemen
vitamin D untuk membantu menambahkan asupan kalsium. Namun, suplemen kalsium
dapat memperburuk kondisi konstipasi pada lansia (Touhy & Jett, 2014). Oleh karena
itu, perawat perlu memberikan cairan tambahan jika tidak ada kontraindikasi, atau
pelunak feses. Terapi lain yang dapat diberikan ialah terapi Selective Estrogen
Receptor Modulators (SERMs) yang merupakan pengganti terapi estrogen (Touhy &
Jett, 2014). Hal ini dikarenakan terapi estrogen walaupun dapat meingkatkan massa
tulang namun juga dapat meningkatkan risiko kanker payudara, kanker usus besar, dan
penyakit jantung. Pada terapi SERMs dinilai memiliki risiko kanker yang kecil. Terapi
medis lain ialah kalsitonin yang berfungsi untuk memperlambat pengeroposan tulang
dan meningkatkan mineral tulang pada wanita setelah menopause (Touhy & Jett, 2014).
Terapi selanjutnya ialah nonfarmakologi diantaranya mengurangi konsumsi alkohol,
kurangi konsumsi rokok, dan melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit
seperti berjalan, aerobik, menari (Touhy & Jett, 2014). Selain itu, lansia juga
disarankan untuk diet tinggi kalsium dengan mengonsumsi dairy product, tofu, jus
jeruk, roti, dan sayuran hijau. Bagi wanita yang di atas 50 tahun dan pria yang di atas
70 tahun, asupan kalsium yang disarankan setiap harinya ialah 1200 mg/day (Touhy &
Jett, 2014). Perawat juga perlu melakukan edukasi kepada lansia terkait medikasi
osteoporosis dan risiko jatuh. Perawat dapat memberikan informasi tentang
penggunaan sepatu yang ukurannya sesuai, penggunaan handrails, menghindari
berjalan di tempat yang kurang terang, dan menghindari mengangkat beban berat. Pada
keluarga pun perawat dapat memberikan edukasi terkait home safety, pastikan karpet
tidak longgar dan tidak ada kabel listrik (Touhy & Jett, 2014).
2. Arthritis
Arthritis secara harfiah berarti peradangan sendi. Arthritis merupakan
sekelompok kondisi yang mempengaruhi sendi. Kondisi ini menyebabkan kerusakan
sendi, biasanya mengakibatkan rasa sakit dan kekakuan. Arthritis dapat mempengaruhi
banyak bagian yang berbeda dari sendi dan hampir setiap sendi di dalam tubuh
(Arthritis Care, 2016). Secara umum, arthritis dikenal dengan rematik.
a. Osteoarthritis
Osteoarthritis merupakan penyakit radang degenerative yang menyerang
sendi dan otot, tendon dan ligament yang melekat, hal ini ditandai dengan rasa sakit,
bengkak dan gerakan terbatas di persendian (Touhy & Jett, 2014). Faktor resiko
yang dapat menyebabkan terjadinya osteoarthritis yaitu penambahan usia, obesitas,
riwayat keluarga, dan memiliki trauma sendi. Osteoarthritis terjadi dimana lapisan
kartilago normal yang lembut dan ulet menjadi tipis dan rusak, berlubang, kasar dan
rapuh. Hal ini menyebabkan ruang sendi menyempit dan akhirnya tulang-tulang
sendi bergesekan, menyebabkan kerusakan, rasa sakit, bengkak dan kesulitan
bergerak. Tulang dibawah kartilago menebal dan melebar keluar. Dalam beberapa
kasus, osteofit dapat terbentuk di tepi luar sendi, dan menyebabkan sendi terlihat
menonjol. Membran sinoval dan kapsul sendi menebal, dan ruang sendi menyempit
yang dapat menyebabkan peningkatakan jumlah cairan dalam sendi dan dapat
membengkak (Arthritis Care, 2016).
Sendi-sendi yang sering terkena osteoarthritis yaitu tangan, lutut, pinggul,
kaki dan tulang belakang. Kekakuan yang terjadi pada masalah ini biasanya akan
hilang dengan aktivitas, dan pada saat yang sama aktivitas dapat menyebabkan rasa
sakit yang hilang dengan istirahat. Kekakuan yang paling tinggi terjadi pada pagi
hari, karena tidak digunakan selama tidur dan bisa diselesaikan selama 30 menit.
Ketika gangguan ini sedang berkembang, maka akan muncul sakit saat istirahat dan
melibatkan banyak sendi atau mungkin akan terjadi ketidakstabilan dan krepitasi
yang dapat dirasakan dan merupakan indikasi kerusakan sendi (Touhy & Jett,
2014). Osteoarthritis tidak bisa disembuhkan, kecuali dengan penggantian
sambungan (artroplasi). Kebanyakan perawatan yang dilakukan hanya paliatif yang
ditujukan untuk kenyamanan. Beberapa intervensi pengobatan yang dilakukan yaitu
bertujuan untuk meminimalkan efek dari radang sendi dan untuk mengurangi
gejala, terutama rasa sakit. Banyak obat yang digunakan untuk membantu
mengelola nyeri sendi seperti analgesic, obat anti-inflamasi non-steroid, steroid.
Selain menggunakan obat-obatan, ada beberapa cara yang sering digunakan untuk
mengurangi rasa sakit yaitu dengan teknik relaksasi, memijat, olahraga juga dapat
membantu meredakan rasa tidak nyaman dan rasa sakit bagibanyak orang (Touhy
& Jett, 2014).
b. Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis yaitu penyakit autoimun yang disebabkan karena
inflamasi sendi pada sendi (Arthritis Research UK, 2014). Ganguan ini merupakan
gangguan sistemik dan kronis. Diperkirakan gangguan ini terjadi ketika tubuh
menciptakan peradangan pada persendiannya sendiri yang tidak di perlukan
dan bersifat merusak dirinya sendiri. Hal ini terjadi pada selaput synovial tipis yang
melapisi kapsul sendi, selubung tendon dan bursae menjadi meradang. Sendi yang
meradang kemudian menjadi kaku, nyeri dan bengkak. Pasien biasanya akan
merasa lelah atau mengalami kekakuan di pagi hari melebihi osteoarthritis. Rasa
sakit yang diderita oleh pasien rheumatoid arthritis karena dua hal yaitu ujung saraf
yang teriritasi oleh bahan kimia yang dihasilkan oleh peradangan dan kapsul sendi
meregang karena pembengkakan. Ketika inflamasi berkurang, kapsul sendi tetap
meregang dan tidak bisa kembali ke posisi awal, hal ini disebabkan karena sendi
menjadi tidak stabil dan dapat menyebabkan posisi yang salah. Faktor resiko yang
dapat menyebabkan rheumatoid arthritis yaitu faktor genetik, lingkungan dan gaya
hidup. Karena gangguan ini merupakan gangguan autoimun, sesuatu yang
bermasalah yaitu sistem imun. Penurunan sistem imun juga dapat menjadi faktor
risiko terjadinya rheumatoid arthritis, gaya hidup seperti merokok, banyak
konsumsi daging merah dan kopi juga menjadi salah satu faktor risiko (Arthritis
Research UK, 2014). Gejala yang sering muncul pada pasien ini yaitu kekakuan
sendi dan nyeri, lelah, depresi, anemia, merasa panas dan berkeringat, malaise dan
demam yang sesekali tidak di rasakan. Gangguan ini dapat terjadi secara bertahap
selama beberapa bulan, tahun atau bisa menjadi kondisi kronis dengan kerusakan
progresif pada sendi. Pengobatan yang diberikan kepada pasien rheumatoid
arthritis yaitu menggunakan obat modifikasi antirheumatic (DMARDs), obat ini
harus diberikan dengan hati-hati karena berpotensi beracun. Perawatan yang
dilakukan juga bersifat paliatif untuk kenyamanan pasien serta diberikan dukungan
khusus kepada pasien dan merubah gaya hidup pasien (Touhy & Jett, 2014).
c. Gout
Gout merupakan bagian dari penyakit radang sendi yang ditandai dengan
adanya inflamasi pada sendi akibat akumulasi kristal asam urat (Touhy & Jett,
2014). Kadar asam urat dalam tubuh ditentukan dari keseimbangan
antara produksinya baik melalui asupan purin dalam diet atau produksi endogen
dan ekskresi ginjal. Menurut Ragab et al (2017), gout merupakan penyakit sistemik
yang dihasilkan dari pengendapan kristal Monosodium Urat (MSU)
dalam jaringan. Asam urat merupakan produk sampingan dari purin yang disintesis
dari makanan yang dikonsumsi (Touhy & Jett, 2014). Purin merupakan salah satu
komponen utama dalam asam nukleat di DNA atau RNA bersama pirimidin. Purin
akan terkonversi menjadi asam urat yang normalnya dapat difiltrasi oleh ginjal dan
dikeluarkan melalui urin. Asam urat memiliki kelarutan yang terbatas dalam cairan
tubuh (Ragab et al, 2017). Namun, dalam kondisi patologis yaitu ketika terjadi
kenaikan asam urat diatas 6,8 mg/dL, maka akan terjadi deposisi asam urat
di jaringan. Asam urat tersebut akan kehilangan proton dan akan menjadi ion urat
yang kemudian mengikat natrium dan berkembang menjadi kristal MSU (Ragab et
al, 2017). Walaupun demikian, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kelarutan asam urat dalam sendi seperti pH cairan sinovial, konsentrasi air, tingkat
elektrolit, dan komponen sinovial lainnya seperti proteoglikan dan kolagen (Ragab
et al, 2017). Adanya pengendapan kristal MSU akan menimbulkan manifestasi
klinis pada penderita gout. Pada tahap akut, pengendapan kristal MSU dapat
mengakibatkan nyeri akut, pembengkakan, dan hangat apabila disentuh dibagian
sendi yang nyeri (Tabloski, 2014). Hal ini diakibatkan oleh proses inflamasi dari
sel darah putih yang bermigrasi ke sendi untuk membantu menghilangkan MSU.
Sementara, pada tahap kronik atau yang biasa disebut dengan gout thopaceous
dimulai dari paling cepat 3 tahun atau paling lambat 40 tahun setelah serangan akut.
Individu akan mengalami nyeri sendi yang persisten dan kaku sendi pada pagi hari
(Tabloski, 2014). Hal ini dapat mengakibatkan sulitnya individu untuk
menggerakan tangan dan kakinya sehingga, Ia akan menjadi sulit untuk melakukan
mobilisasi. Faktor predisposisi lain yang mengakibatkan gout ialah kelainan genetik
metabolisme purin. Hal ini memberikan dampak pada produksi purin yang berlebih.
Pada pasien dengan kondisi kelainan genetik, mengurangi asupan makanan purin
pun tidak mempengaruhi tingkat produksi asam urat (Ragab et al, 2017). Faktor lain
yang berkontribusi pada gout ialah konsumsi alkohol, tekanan darah tinggi, diet
tinggi purin, obesitas, gagal ginjal, dan medikasi seperti thiazid diuretic, aspirin,
cyclosporine, dan ledovopa (Touhy & Jett, 2014).
Pengkajian yang dapat digunakan pada gout ialah identifikasi kristal MSU
melalui aspirasi cairan sinovial (Ragab et al, 2017). Cairan sinovial tersebut akan
dilihat menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Sampel dapat bertahan
selama 24 jam dalam penyimpanan pada suhu 4˚C, namun hal ini dapat
memungkinkan hilangnya kristal. Sehingga, pemeriksaan sampel harus dilakukan
sedini mungkin dan waktu terbaik ialah 6 jam setelah sampel diambil (Ragab et al,
2017). Analisis lebih lanjut mencakup jumlah leukosit, pada penderita gout akut,
leukositik cairan sinovial dapat melebihi 50.000 sel/μL. Pengkajian lain juga dapat
menggunakan urin 24 jam untuk mengidentifikasi hiperurisemia (Ragab et al,
2017). Adanya asam urat melebihi 800m/24 jam, dapat mengindikasikan gout.
Selain itu, pengkajian lain juga dapat melalui Ultrasound, Conventional
Radiography, dan Double Countour Sign (DCT). Penatalaksanaan medis untuk gout
bertujuan untuk mencegah serangan, mencegah penyebaran penyakit, dan
mencegah perkembangan gout menjadi kronis. Obat-obatan yang diberikan untuk
menurunkan produksi asam urat misalnya allopurinol, colchicine (Touhy & Jett,
2014). Dapat juga diberikan obat untuk meningkatkan ekskresi asam urat itu sendiri
misalnya probenecid. Peran perawat untuk pengobatan individu dengan gout ialah
memastikan intake cairan adekuat yaitu 2L/hari (jika tidak ada kontraindikasi) agar
asam urat dapat di ekskresi melalui ginjal (Touhy & Jett, 2014). Perawat juga perlu
memberikan 15 edukasi terkait efek samping obat, tidak terjadi serangan berulang
dengan edukasi untuk menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam urat
seperti jeroan, daging merah, sarden, jamur, kacang-kacangan, dan kerang (Touhy
& Jett, 2014).

G. Pemeriksaan Penunjang pada Gangguan Muskuloskeletal

1. Sinar – X
Menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi dan perubahan hubungan tulang.
Sinar-X multipel diperlukan untuk pengkajian paripurna struktur yang sedang
diperiksa. Sinar-X korteks tulang dapat menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan
dan tanda iregularitas. Sinar – X sendi dapat menunjukkan adanya cairan, iregularitas,
penyempitan, dan perubahan struktur sendi
2. CT Scan (Computed Tomografi Scan)
Menunjukkan rincian bidang tertentu dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak
atau cedera ligamen atau tendon. CT Scan digunakan untuk mengindentifikasi lokasi
dan panjangnya patah tulang di daerah yang sulit dievaluasi, seperti asetabulum.
Pemeriksaan dilakukan bisa dengan atau tanpa kontras dan berlangsung sekitar satu
jam.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Teknik pencitraan khusus, non invasif yang menggunakan medan magnet, gelombang
radio, dan komputer untuk memperlihatkan abnormalitas, misal tumor atau
penyempitan jaringan lunak. Klien yang mengenakan implant logam atau pacemaker
tidak bisa menjalani pemeriksaan ini. Perhiasaan harus dilepas, klien yang klaustrofobia
biasanya tidak mampu menghadapi ruangan tertutup tanpa penenang.
4. Angiografi
Pemeriksaan sisitem arteri. Suatu bahan kontras radiopaque diinjeksikan ke dalam
arteri tertentu, dan diambil foto sinar-X serial sistem arteri yang dipasok oleh arteri
tersebut. Pemeriksaan ini sangat baik untuk mengkaji perfusi arteri dan bisa digunakan
untuk indikasi tindakan amputasi yang akan dilaksanakan. Perawatan setelah dilakukan
prosedur yaitu klien dibiarkan berbaring selama 12-24 jam untuk mencegah perdarahan
pada tempat penusukan untuk melihat adanya pembengkakan, perdarahan dan
hematoma serta nya pantau ekstremitas bagian distalnya untuk menilai apakah
sirkulasinya adekuat.
5. Digital Substraction Angiography (DSA)
Menggunakan teknologi komputer untuk menggambarkan sistem arteri melalui kateter
vena. Sedangkan, venogram adalah pemeriksaan sistem vena yang sering digunakan
untuk mendeteksi adanya trombosis vena dalam
6. Mielografi
Suatu pemeriksaan dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam rongga subarakhnoid
spinalis lumbal, dilakukan untuk melihat adanya herniasi diskus, stenosis spinal
(penyempitan kanalis spinalis) atau adanya tumor. Sementara, diskografi adalah
pemeriksaan diskus vertebralis dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam diskus
dan dilihat distribusinya
7. Arthrografi
Penyuntikkan bahan radiopaque atau udara ke dalam rongga sendi untuk melihat
struktur jaringan lunak dan kontur sendi. Sendi diletakkan dalam kisaran
pergerakannya sementara diambil gambar sinar-X serial. Pemeriksaan ini sangat
berguna untukmengidentifikasi adanya robekan akut atau kronik kapsul sendi atau
ligamen penyangga lutut, bahu, tumit, pinggul dan pergelangan tangan. Bila terdapat
robekan bahan kontras akan mengalami kebocoran keluar sendi dan akan terlihat
dengan sinar-X.

H. Penatalaksanaan Muskuloskeletal pada Lansia

1. Farmakologi

a. Penderita lanjut usia dengan fraktur osteoporosis terutama bila akibat


jatuh,memerlukan asesmen bertingkat,antara lain:

1) Asesmen mengenai sebab jatuh ,apa yang menyebabkannya apakah akibat factor
lingkungan,gangguan intra-atau ekstra serebral dan lain sebagainya.

2) Asesmen mengenai osteoporosisnya ,primer atu sekunder,manisfestasi di tempat


lain.

3) Asesmen mengenai frakturnya .Operabel atau tidak ,kalau operable harus dilakukan
dengan pendekatan pada dokter bedah .Setelah dilakukan operasi,tindakan
rehabilitasi yang baik disertai pemberian obat untuk upaya perbaikan osteoporosis
bisa dikerjakan. Obat-obatan. Yang membantu pembentukan tulang (steroid
anabolic, flourida). Yang mengurangi perusakan tulang (estrogen, kalsium,
dofosfonat, kalsitonin).

b. Osteomalasia adalah suatu penyakit tulang metabolic yang ditandai dengan terjadinya
kekurangan kalsifikasi matriks tulang yang normal. Terapi osteomalasia adalah pemberian
vitamin D yang dapat diberikan peroral 3atau perenteral atau dengan meningkatkan
produksi vitamin D dengan penyinaran UV. Panderita usia lamjtu sering kali
mengkonsumsi diet yang kandungan kalsiumnya rendah, oleh karena itu pada penderita
inin pada penderita ini sebaiknya diberikan terapai berupa tablet kalsium yang
mengandung vitamin D atau kalsiferol oral atau perenterla 1000-1500 unit perhari.

Untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan agens anti inflamasi, obat yang
dapat dipilih adalah aspirin. Namun, efek antiinflamasi dari aspirin tidak terlihat pada dosis
kurang dari 12 tablet per hari, yang dapat menyebabkan gejala siste,mgastrointestinal dan
system saraf pusat. Obat anti inflamasi non-steroid sangat bermanfaat, tetapi dianjurkan
untuk menggunakan dosis yang direkomendasikan oleh pasbrik dan pemantauan efek
samping secara hati- hati perlu dilakukan. Terrapin kortikosteroid yang diinjeksikan
melalui sendi mungkin digunakan untuk infeksi di dalam satu atau dua sendi. Injeksi secara
cepat dihubungkan dengan nekrosisi dan penurunan kekuatan tulang. Biasanya injeksi
yang diberikan ke dalam sendi apapun tidak boleh diulangi lebih dari tiga kali. Rasa nyeri
dan pembengkakan umumnya hilang untuk waktu 1 sampai 6 minggu.

c. Banyak faktor yang dipertimbangkan dalam memberi obat untuk pasien OA


(Osteoarthritis)

• Intensitas rasa sakit

• Efek samping yang potensial dari obat.

• Penyakit penyerta

Pasien harus memakai obat secara hati-hati dan menceriterakan semua perubahan yang terjadi
pada dokter. Obat-obat dibawah ini yang sering dipakai

1) Parasetamol
 ACR (American College of Rheumatology) merekomendasikan parasetamol sebagai
obat pertama dalam penatalaksanaan nyeri, karena relatif aman, efikasi, dan harga murah
dibanding NSAID.
 Penghilang rasa sakit setara dengan aspirin, naproksen, ibuprofen, dan beberapa NSAID
bagi beberapa pasien dengan OA. Walau demikian ada beberapa pasien mempunyai
respons lebih baik dengan NSAID2
 Tidak mengurangi peradangan
 Tidak mengiritasi lambung, relatif lebih aman, harga lebih murah
 Peringatan: pasien dengan penyakit hati, peminum berat alkohol, dan yang minum
antikoagulan atau NSAID harus hati-hati minum parasetamol3
 Drug of choice bagi pasien dengan masalah ginjal

Farmakologi dan mekanisme kerja parasetamol, yaitu bekerja pada susunan saraf pusat (SSP)
untuk menghambat sintesa prostaglandin, (yang berfungsi meningkatkan sensasi rasa nyeri).
Dengan cara memblok kerja siklooksigenase pusat. Parasetamol oral diabsorpsi, mencapai
konsentrasi puncak 1-2 jam, diaktivasi di hati dengan cara konjugasi dengan sulfat atau
glukoronid, dan metabolitnya diekskresi lewat ginjal. Efikasi Parasetamol, penurun rasa sakit
ringan sampai sedang, 2,6-4g/hari setara dengan aspirin 650mg empat kali sehari, ibuprofen
1200-2400mg/hari, naproksen 750mg/hari, seperti halnya NSAID lain. Efek yang merugikan
(Adverse Effect) Parasetamol walaupun aman, tetap ada risiko, terutama bagi individu yang
mempunyai risiko sakit hati atau pemakaian overdosis atau konsumsi alkohol, akan
menimbulkan hepatoksisitas, kemungkinan dapat terjadi sampai fatal. Kemungkinan juga pada
pemakaian jangka panjang akan mengganggu ginjal. Interaksi Obat-Obat 10 Interaksi dengan
obat-obat di bawah ini dapat meningkatkan risiko hepatoksisitas o Barbiturat, Hidantoin, INH,
Karbamazepin, Rifampisin • Memperpanjang waktu paruh warfarin, pantau kadar waktu
protrombin . Pemakaian jangka panjang dengan dosis maksimal parasetamol pada pasien dalam
pengobatan warfarin dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin, sebab itu
membutuhkan pengawasan melekat.

2) NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drug)

Dari penelitian tidak ditemukan ranking efikasi. Dokter menyadari pasien akan memilih
berdasarkan pengalaman pribadinya. NSAID adalah suatu kelas obat yang dapat menekan
inflamasi melalui inhibisi enzim cyclooxygenase (COX). Efek penting dalam mengurangi rasa
sakit. NSAID memberikan rasa nyaman bagi banyak orang dengan masalah persendian kronis,
tetapi juga menimbulkan masalah penyakit gastrointestinal yang serius. Contoh NSAID

NSAID Nonselective

1. Aspirin Obat bebas


2. Ibuprofen Obat bebas
3. Diklofenak
4. Naproksen
5. Sulindak
6. Ketoptofen
7. Indometasin
8. Tolmetin
9. Piroksikam
10. Selective
11. Celecoxib
12. Valdecoxib

Bagaimana meminimalkan resiko, yaitu hanya dipakai bila memang dibutuhkan

1) ACR (American College of Rheumatology) merekomendasikan untuk mulai dengan


parasetamol

2) Bila tidak ada perbaikan, dicoba exercise (sesuai anjuran dokter), fisioterapis,
kemungkinan dapat menghindarkan dari obat

3) Pilihan terakhir memakai NSAID .

Waspada resiko individual

1) Secara statistik wanita, manula, yang paling beresiko minum NSAID

2) Resiko bertambah dengan lama pengobatan, dosis, dan pemakaian bersamaan steroid
, adanya penyakit gastrointestinal sebelumnya.

Pakai dosis efektif terendah

1) Pakai dosis terendah dan hanya selama dibutuhkan saja.

2) Menurut penelitian, ibuprofen, diklofenak, naproksen termasuk yang paling aman.


Tetai masih banyak laporan yang bertentangan.
Sembuhkan atau cegah tukak.

1) Ada kecenderungan untuk memakai berbagai anti-ulcer bersama dengan NSAID terutama
bagi yang beresiko

a) H2 blocking drugs (ranitidine)

b) Prostaglandin (misoprostol)

c) Proton Pump Inhibitor / PPI (omeprazol)

2) Bila ada tukak harus disembuhkan.

Hal yang harus diperhatikan pada pemakaian NSAID o Semua NSAID bekerja
sebagai penghilang rasa sakit dalam dosis rendah, dan menghilangkan peradangan dalam
dosis tinggi2 o Pemakaian NSAID memerlukan kewaspadaan bagi pasien yang sedang
minum anti koagulan, kortikosteroid, 3 mempunyai riwayat penyakit lambung, gagal
jantung, hipertensi, asma, gagal ginjal, sirosis hati, manula >=653 o Misoprostol dapat
diberikan untuk mengurangi masalah saluran pencernaan o COX-2 inhibitor : Pemakaian
harus mempertimbangkan adanya risiko terjadinya kardiovaskular trombotik, termasuk
non-fatal miokardial infark dan non-fatal stroke terutama bila dipakai dalam dosis tinggi.
Farmakologi dan Mekanisme Kerja Prinsip mekanisme NSAID sebagai analgetik adalah
blokade sintesa prostaglandin melalui hambatan cyclooxcigenase (Enzim COX-1 dan
COX-2), dengan mengganggu lingkaran cyclooxygenase12 Enzim COX-1 adalah enzim
yang terlibat dalam produksi prostaglandin gastroprotective untuk mendorong aliran darah
di gastrik dan menghasilkan bikarbonat. COX-1 berada secara terus menerus di mukosa
gastrik, sel vaskular endotelial, platelets, renal collecting tubules, sehingga prostaglandin
hasil dari COX-1 juga berpartisipasi dalam hemostasis dan aliran darah di ginjal. 2
Sebaliknya enzim COX-2 tidak selalu ada di dalam jaringan, tetapi akan cepat muncul bila
dirangsang oleh mediator inflamasi, cedera/luka setempat, sitokin, interleukin, interferon
dan tumor necrosing factor. Blokade COX-1 (terjadi dengan NSAID nonspesifik) tidak
diharapkan karena mengakibatkan tukak lambung dan meningkatnya risiko pendarahan
karena adanya hambatan agregasi platelet. Hambatan dari COX-2 spesifik dinilai sesuai
dengan kebutuhan karena tidak memiliki sifat di atas, hanya mempunyai efek antiinflamasi
dan analgesik.
2. Non Farmakologi

a. Penatalaksanaan osteoporosisnya :

1) Tindakan diebetik:diet tinggi kalsium (sayur hijau,dan lain-lain). Terapi ini lebih
bermanfaat sebagai tindakan pencegahan.

2) Olahraga. Yang terbaik adalah yang bersifat mendukung beban (weight bearing),
misalnya jogging, berjalan cepat, dll. Lebih baik dilakukan di bawah sinar matahari
pagi karena membantu pembuatan vitamin D.

b. Pada osteomalasia penatalaksanaan keperawatan menekankan pemahaman klien


tentang sifat AR kronis dan kelompok serta tahap-tahap yang berbeda untuk memantau
perkembangan penyakit. Klien harus ingat bahwa walaupunpengobatan mungkin
mengurangi radang dan nyeri sendi, mereka harus pula mempertahankan peregerakan
dan kekuatan untuk mencegah deformitas sendi. Suatu origram aktivitas dan istirahat
yang seimbang sangat penting untuk mencegah peningkatan tekanan pada sendi.

c. Pengaruh Pemberian Kompres Serai Hangat Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri


Arthritis Remathoid Di Desa Mojoranu Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro ,
didapatkan hasil nyeri sendi sebelum dikompres serai ρ=0,048 dan nyeri sendi setelah
diberikan kompres serai ρ=0,031 yang berarti lebih kecil dari tingkat kemaknaan
ρ<0,05. Menurut Asmadi, pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan
memberikan sinyal ke hypothalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor
yang peka terhadap panas dihypotalamus dirangsang, sistem effektor mengeluarkan
sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh
darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah
pengaruh hypotalamus bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya
vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/kehilangan energi/panas melalui kulit
meningkat. Penelitian dari The Science and Technology yang dikutip dalam
livestrong.com telah menentukan bahwa serai memiliki manfaat antioksidan yang dapat
membantu mencegah kanker, dalam serei terdapat kandungan zat anti-mikroba dan anti
bakteri yang berguna sebagai obat infeksi serta mengandung senyawa analgetik yang
membantu menghilangkan rasa sakit atau nyeri seperti nyeri otot dan nyeri sendi akibat
artritis rheumatoid atau anti rematik.
Kemudian, didapatkan hasil nyeri sendi sebelum diberikan kompres jahe merah
ρ=0,048 dan nyeri sendi setelah diberikan kompres jahe merah ρ=0,165 yang berarti lebih kecil
dari tingkat kemaknaan ρ<0,05 sehingga artinya terdapat pengaruh pemberian kompres jahe
merah terhadap penurunan nyeri sendi pada lansia di desa Mojoranu kecamatan Dander
kabupaten Bojonegoro. Salah satu manfaat jahe merah adalah untuk mengatasi rematik karena
jahe memiliki kandungan enzim siklooksigenase yang dapat mengurangi peradangan pada
penderita arthritis rhematoid, selain itu jahe juga memiliki efek farmakologis yaitu rasa panas
dan pedas, dimana dapat meredakan rasa nyeri, kaku, dan spasme otot atau terjadinya
vasodilatasi pembuluh darah, manfaat yang maksimal akan dicapai dalam waktu 20 menit
sesudah aplikasi panas (Brunner and Suddarth,2001). Pemberian kompres jahe merah selain
merelaksasikan otot-otot atau bagian tubuh yang sakit tetapi juga menurunkan intensitas nyeri
remathoid, banyak responden yang merasakan bukti manfaat dari pemberian kompres jahe
merah.

Hasil uji Wilcoxon Signed Rank Test, didapat keduanya mempunyai nilai kemaknaan
yaitu ρ value = 0,000. Nilai ρ = 0,031 pada kelompok kompres serai hangat dan kelompok
kompres jahe merah ρ value = 0,165. Hasil uji Mann Withney U Test pada Post perlakuan
kedua terapi diperoleh selisih nilai nyeri pada kompres jahe ρ= 0,003 dan selisih nilai nyeri
kompres serai ρ value = 0,001. Penggunaan kompres jahe merah lebih efektif dibandingkan
dengan kompres serai terhadap penurunan intensitas nyeri arthritis remathoid.

Efektifitas kompres jahe merah hangat dibandingkan dengan kompres serai hangat untuk
menurunkan intensitas nyeri arthritis rematoid karena kandungan enzim siklo-oksigenase
dalam jahe merah yang dapat mengurangi peradangan pada penderita arthritis rhematoid, selain
itu jahe juga memiliki efek farmakologis yaitu rasa panas dan pedas, dimana dapat meredakan
rasa nyeri, kaku, dan spasme otot atau terjadinya vasodilatasi pembuluh darah, manfaat yang
maksimal akan dicapai dalam waktu 20 menit sesudah aplikasi panas. Pada kelompok kompres
serai hangat kurang efektif dibandingkan dengan kompres jahe merah hangat hal ini
dikarenakan kompres hangat serai mengandung zat biotik yaitu minyak atsiri yang dapat
digunakan sebagai obat alternative untuk bahan pijat rematik. Sesuai dengan penyataan
responden bahwa kompres serai hangat lama dalam menurunkan nyeri berbeda dengan
kompres jahe merah hangat.

d. Pemberian intervensi senam lansia pada lansia dengan nyeri lutut di Unit Rehabilitasi
Sosial “Margo Mukti” Kabupaten Rembang efektif untuk mengatasi nyeri lutut pada lansia
Hasil penelitian pengukuran skala nyeri sesudah diberikan terapi senam lansia sesuai
dengan teori yang telah disampaikan bahwa senam lansia merupakan suatu latihan fisik
yang mempunyai pengaruh yang baik untuk meningkatkan kemampuan otot sendi.
Kemampuan otot sendi apabila sering dilatih atau digerakkan maka cairan sinovial pada
sendi akan meningkat. Cairan sinovial ini berfungsi sebagai pelumas dalam sendi.
Peningkatan cairan sinovial ini dapat mengurangi resiko cidera sendi pada lansia (Taslim,
2001). Senam lansia juga dapat memberikan kebugaran tubuh dan meningkatkan daya
tahan tubuh (Ambar, 2009).

Hasil penelitian sesudah dilakukan terapi senam lansia menunjukkan bahwa sebesar
86,7% lansia memiliki skala nyeri 0 atau tidak nyeri dan 13,33% lansia mempunyai skala nyeri
1 atau skala nyeri ringan. Hasil uji statistik Wilcoxon diperoleh nilai p-value 0,001 yang berarti
sig< 0,05 artinya hipotesa diterima. Kesimpulannya pemberian terapi senam lansia efektif
mengatasi nyeri lutut pada lansia.

I. Perubahan Proses Penuaan pada Lansia

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi didalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu
waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses
alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan
tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti
mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang
mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, pengelihatan
semakin memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2006).
WHO dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab
1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa usia 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah
suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan
kumulatif, merupakan proses menurunya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam dan luar tubuh.

a. Teori-Teori Proses Menua

Teori penuaan secara umum menurut Lilik Ma’rifatul (2011) dapat dibedakan menjadi dua
yaitu teori biologi dan teori penuaan psikososial.

1. Teori Biologi
a) Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan kebanyakan sel–sel
tubuh “diprogram” untuk membelah 50 kali. Jika sel pada lansia dari tubuh dan
dibiakkan di laboratrium, lalu diobrservasi, jumlah sel–sel yang akan membelah,
jumlah sel yang akan membelah akan terlihat sedikit. Pada beberapa sistem, seperti
sistem saraf, sistem musculoskeletal dan jantung, sel pada jaringan dan organ dalam
sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut dibuang karena rusak atau mati. Oleh
karena itu, sistem tersebut beresiko akan mengalami proses penuaan dan mempunyai
kemampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh dan memperbaiki diri
(Azizah, 2011)
b) Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis)
Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya pada lansia. Proses
kehilangan elastiaitas ini dihubungkan dengan adanya perubahan kimia pada komponen
protein dalam jaringan tertentu. Pada lansia beberapa protein (kolagen dan kartilago,
dan elastin pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan bentuk dan struktur yang berbeda dari
protein yang lebih muda. Contohnya banyak kolagen pada kartilago dan elastin pada
kulit yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih tebal, seiring dengan
bertambahnya usia (Tortora dan Anagnostakos, 1990). Hal ini dapat lebih mudah
dihubungkan dengan perubahan permukaan kulit yang kehilangan elastisitanya dan
cenderung berkerut, juga terjadinya penurunan mobilitas dan kecepatan pada system
musculoskeletal (Azizah, 2011).
c) Keracunan Oksigen
Teori tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di dalam tubuh untuk
mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung zat racun dengan kadar yang
tinggi, tanpa mekanisme pertahan diri tertentu. Ketidakmampuan mempertahankan diri
dari toksink tersebut membuat struktur membran sel mengalami perubahan dari rigid,
serta terjadi kesalahan genetik (Tortora dan Anaggnostakos, 1990). Membran sel
tersebut merupakan alat untuk memfasilitas sel dalam berkomunikasi dengan
lingkungannya yang juga mengontrol proses pengambilan nutrisi dengan proses
ekskresi zat toksik di dalam tubuh. Fungsi komponen protein pada membran sel yang
sangat penting bagi proses di atas, dipengaruhi oleh rigiditas membran tersebut.
Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah adanya penurunan reproduksi sel oleh
mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan dan organ berkurang.
Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan sistem tubuh (Azizah, 2011).
d) Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa penuaan. Walaupun
demikian, kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari sistem limfatik dan
khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses
penuaan. Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca tranlasi, dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri.
Jika mutasi isomatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel,
maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang
mengalami perubahan tersebut sebagai selasing dan menghancurkannya. Perubahan
inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh
sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya serangnya
terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel kanker leluasa membelah-belah
(Azizah, 2011).
e) Teori Menua Akibat Metabolisme
Menurut MC Kay et all., (1935) yang dikutip Darmojo dan Martono (2004),
pengurangan “intake” kalori pada rodentia muda akan menghambat pertumbuhan dan
memperpanjang umur. Perpanjangan umur karena jumlah kalori tersebut antara lain
disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi
penurunan pengeluaran hormon yang merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan
hormon pertumbuhan.

2. Teori Psikologis
a) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara keaktifannya setelah
menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua.
Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah meraka yang aktif dan
ikut banyak dalam kegiatan sosial (Azizah, 2011).
b) Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Identity pada lansia
yang sudah mantap memudahkan dalam memelihara hubungan dengan masyarakat,
melibatkan diri dengan masalah di masyarakat, kelurga dan hubungan interpersonal
(Azizah, 2011).
c) Teori Pembebasan (Disengagement Theory) Teori ini menyatakan bahwa dengan
bertambahnya usia, seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya (Azizah, 2011).

J. Fungsi Muskuloskeletal

Fungsi secara umum


a. Formasi kerangka
Tulang-tulang membentuk rangka tubuh untuk menentukan bentuk dan ukuran
tubuh. Tulang-tulang menyokong struktur tubuh yang lain.
b. Formasi sendi
Tulang-tulang membentuk persendian yang bergerak dan tidak bergerak bergantung
pada kebutuhan fungsional. Sendi yang bergerak menghasilakan bermacam-macam
pergerakan.
c. Perlekatan otot
Tulang-tulang menyediakan permukaan untuk tempat melekatnya otot, tendon, dan
ligametum.
d. Sebagai pengungkit
Ini berfungsi untuk bermacam-macam aktivitas pergerakan.
e. Menyokong berat badan
Memelihara sikap tegak tubuh manusia dan menahan gaya tarikakan dan gaya
tekanan yang terjadi pada tulang sehingga dapat menjadi kaku atau lentur.
f. Proteksi
Tulang membentuk rongga yang mengandung dan melindung struktur-struktur
yang halus seperti otak, medulla spinalis, jantung, paru, alat-alat dalam perut dan
panggul.
g. Hemopoiesis
Sumsum tulang tempat pembentukan sel-sel darah
h. Fungsi imunologi
Limfosit “B” dan makrofag-makrofag dibentuk dalam system retikuloendopitel
sumsum tulang. Limfosit B diubah menjadi sel-sel plasma membentuk antibody
guna keperluan kekebalan kimiawi, sedangkan makrofag merupakan fagositotik.
i. Penyimpanan kalsium
Tulang mengandung 97% kalsium yang terdapat didalam tubuh baik bentuk
anorganik maupun garam-garam terutama kalsium fosfat. Sebagian besar fosfat
disimpan dalam tulang dan kalsium dilepas dalam darah bila dibutuhkan.

Fungsi secara khusus


a. Sinus-sinus paranasalis untuk menimbulkan nada khusus pada suara
b. Email gigi dikhususkan untuk memotong, mengigit, dan menggilas makanan. Email
merupakan struktur yang terkuat dari tubuh manusia
c. Tulang-tulang kecil telinga dalam mengonduksi gelombang suara untuk fungsi
pendengaran
d. Panggul wanita dikhususkan untuk memudahkan dalam proses melahirkan bayi.

K. Indeks KATZ Skore

a. Indek Katz

Mengukur kemampuan pasien dalam melakukan 6 kemampuan fungsi : bathing,


dressing, toileting, transfering, feeding, maintenance continence. Biasa digunakan untuk lansia,
pasien dengan penyakit kronik (stroke, fraktur hip)

Skor Interpretasi
A Kemandirian dalam hal makan, kontinen (BAK/BAB), berpindah, kekamar
kecil, berpakaian dan mandi
B Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali satu dari fungsi
tersebut
C Kemandirian dalam semua aktifitas kecuali mandi dan satu fungsi tambahan

D Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali mandi,


berpakaian, dan satu fungsi tambahan

E Kemandirian dalam semua aktifitas kecuali mandi, berpakaian, kekamar kecil,


dan satu fungsi tambahan
F Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali
mandi,berpakaian, kekamar kecil, berpindah dan satu fungsi tambahan
G Ketergantungan pada enam fungsi tersebut

Lain-lain Ketergantungan pada sedikitnya dua fungsi tetapi tidak dapat diklasifikasikan
sebagai, C,D dan E.

Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan pribadi aktif,


kecuali bseperti secra spesifik diperlihatkan dibawah ini. Ini didasarkan pada status actual
dan bukan pada kemampuan. Seseorang klien yang menolak untuk melakukan suatu fungsi
dianggap sebagai tidak melakukan fungsi meskipun ia dianggap mampu.

1. Mandi
Mandiri : Bantuan hanya pada satu bagian mandi ( seperti punggung atau ekstremitas
yang tidak mampu ) atau mandi sendiri sepenuhnya

Tergantung : Bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh, bantuan masuk dan keluar
dari bak mandi, serta tidak mandi sendiri

2. Berpakaian
Mandiri : Mengambil baju dari lemari, memakai pakaian, melepaskan pakaian,
mengancingi/mengikat pakaian.
Tergantung : Tidak dapat memakai baju sendiri atau hanya sebagian
3. Ke Kamar Kecil
Mandiri : Masuk dan keluar dari kamar kecil kemudian membersihkan genetalia
sendiri Tergantung : Menerima bantuan untuk masuk ke kamar kecil dan
menggunakan pispot.

4. Berpindah
Mandiri : Berpindah ke dan dari tempat tidur untuk
duduk, bangkit dari kursi sendiri
Bergantung : Bantuan dalam naik atau turun dari tempat tidur atau kursi, tidak
melakukan satu, atau lebih perpindahan
5. Kontinen
Mandiri : BAK dan BAB seluruhnya dikontrol sendiri
Tergantung : Inkontinensia parsial atau total; penggunaan kateter,pispot, enema dan
pembalut ( pampers )
6. MakanMandiri : Mengambil makanan dari piring dan menyuapinya sendiri
Bergantung : Bantuan dalam hal mengambil makanan dari piring dan menyuapinya,
tidak makan sama sekali, dan makan parenteral ( NGT )

L. Asuhsn Keperewatan Gangguan Muskuloskeletal

1. Pengkajian

A. Data subjektif

1. Demografi data. Data ini memuat nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis
transportasi yang digunakan, dan orang yang terdekat dengan klien

2. Riwayat perkembangan. Data ini untuk mempelajari tingkat perkembangan pada


neonatus, bayi prasekolah, remaja dan tua.

3. Riwayat sosial. Data ini memuat pendidikan dan pekerjaan. Secorang yang terpapar
terus-menerus dengan agens tertentu dalam pekerjaannya, status kesehatannya dapat
disesuaikan.

4. Riwayat penyakit keturunan. Riwayat penyakit yang diperlukan untuk menentukan


hubungan genetik yang perlu dibahas (misal; penyakit DM yang merupakan
predisposisi peny akit sendi degeneratif, TBC. Radang sendi, riketsia asteomielitis, dll.

5. Riwayat diet makanan (nutrisi). Identifikasi kelebihan berat badan karna kondisi ini
dapat memgakibatkan stres pada sendi penyangga tubuh dan prdisposisi memerlukan
instabilitas legamen khusus pada punggung bagian bawah. Bagaimana cara
menanganinya? Bagaimana menu makanan sehari-hari dan konsumsi vitamin A, D, dan
protein apa saja yang diperlukan untuk keperluan penggunaan muskuloskeletal?

6. Aktivasi kegiatan sehari-hari. Identifikasi pekerjaan pasien dan kegiatan sehari-


hari ,Kebiasaan membewa benda-benda berat yang dapat menimbulkan regangan otot
dan trauma lainnya. Perlu dikaji pula aktivitas hidup sehari-hari, saat ambulasi apakah
nyeri pada sendi, apakah menggunakan alat bantu (kursi roda, tongkat, walker)

7. Riwayat kesehatan masa lalu. Data tentang efek langsung atau tidak langsung terhadap
muskuloskeletal, seperti trauma atau kerusakan tulang, riwayat artritis, dan
osteomielitis
8. Riwayat kesehatan sekarang. Dari kapan saja timbul keluhan, apakah ada pengumuman
trauma. Timbulnya gejala mendadak atau lambat. Timbul untuk pertama kali atau
berulang. Kaji klien untuk mengungkapkan alasan klien memeriksakan diri atau
memberikan fasilitas kesehatan. Saya telah memperbarui pasien.

9. Nyeri.

1) Identifikasi lokasi nyeri. Nyeri biasanya terkait dengan pembuluh darah, sendi, fasia,
atau periosteum. Tentukan kualitas sakit yang menusuk atau berdenyut.Nyeri
berdenyut biasanya berkaitan dengan tulang, dan sakit yang menusuk terkait dengan
fraktur atau infeksi tulang. Nyeri saat bergerak merupakan satu tanda masalah
persendian. Degenerasi panggul menimbulkan rasa sakit selama tubuh bertumpu
pada sendi tersebut. Degenerasi pada saat bertumpu pada rasa sakit selama dan
setelah berjalan. Nyeri pada osteoartritis semakin meningkat pada suhu dingin.
Tanyakan kapan saja semakin meningkat, apakah pagi atau malam hari. Tanyakan
apakah hilang yang hilang saat istirahat. Apakah nyerinya dapat diatasi dengan obat
tertentu dapat diatasi dengan obat tertentu. )

2) Kekuatan Sendi. Tanyakan sendi mana yang melebihi kekakuan, lamanya kekuan
ini, dan apakah perlu terjadi remisi kekakuan beberapa kali sehari. Pada penyakit
degenerasi sendi sering terjadi kekakuan yang meningkat pada pagi hari setelah
bangun tidur (inaktivitas).

3) Bengkak. tanyakan kapan lama terjadi pembengkakan, apakah juga mengatasi nyeri,
karena bengkak dan nyeri sering menyertai sedera pada otot. Penyakit degenerasi
sendi sering kali tidak timbul pada awal serangan, tetapi muncul setelah beberapa
minggu terjadi nyeri

4) Deformitas dan imobilitas. Tanyakan kapan saja, apakah tiba-tiba atau habis, apakah
timbul keterbatasan gerak. Apakah semakin memburuk dengan aktivitas, apakah
menggunakan klien alat bantu (kruk, tongkat, dll)

5) Perubahan sensori. Tanyakan apakah ada rasa pada bagian tubuh tertentu. Apakah
menurunnya rasa atau kenikmatan tersebut berkaitan dengan rasa. Penekanan pada
saraf dan pembuluh darah akibat bengkaka, tumor atau fraktur menyebabkan
menurunnya sensasi.
10. Lingkungan tempat tinggal Kebersihan dan kerapihan ruangan ?,Penerangan?, Sirkulasi
udara?, Keadaan kamar mandi & WC?, Pembuangan air kotor?, Sumber air minum?,
pembuangan sampah ?, sumber pencemaran?, Privasi?, Risiko injuri?
11. Pola Fungsional
1) Persepsi kesehatan dan pola manajemen kesehatan Kebiasaan yang mempengaruhi
kesehatan misal merokok, minuman keras, ketergantungan terhadap obat
( jenis/frekuensi/jumlah/ lama pakai )

2) Nutrisi metabolik Frekuensi makan ?, nafsu makan?, jenis makanan?, makanan yg tdk
disukai ?, alergi thdp makanan?, pantangan makanan?, keluhan yg berhubungan dengan
makan?

3) Eliminasi BAK : Frekuensi & waktu?, kebiasaan BAK pada malam hari?, keluhan yang
berhubungan dengan BAK? BAB : Frekuensi & waktu?, konsistensi?,keluhan yang
berhubungan dg BAB?, pengalaman memakai pencahar?

4) Aktifitas Pola Latihan Rutinitas mandi?, kebersihan sehari-hari?, aktifitas sehari-


hari?,apakah ada masalah dengan aktifitas?, kemampuan kemandirian?

5) Pola istirahat tidur Lama tidur malam?, tidur siang?,keluhan yang berhubungan dengan
tidur?

6) Pola Kognitif Persepsi Masalah dengan penglihatan (Normal?, terganggu


( ka/ki)?,kabur?,pakai kacamata?.Masalah pendengaran normal?,terganggu
(ka/ki)?memakai alat bantu dengar ?, tuli ( ka/ki ) ? dsbnya. Kesulitan membuat
keputusan ?

7) Persepsi diri-Pola konsep diri Bagaimana klien memandang dirinya ( Persepsi diri
sebagai lansia?), bagaimana persepsi klien tentang orang lain mengenai dirinya?

8) Pola Peran-Hubungan Peran ikatan?, kepuasan?,pekerjaan/ sosial/hubungan


perkawinan ?

9) Sexualitas Riwayat reproduksi, kepuasan sexual, masalah ?

10) Koping-Pola Toleransi Stress Apa yang menyebabkan stress pada lansia, bagaimana
penanganan terhadap masalah ?
11) Nilai-Pola Keyakinan Sesuatu yang bernilai dalam hidupnya ( spirituality : menganut
suatu agama, bagaimana manusia dengan penciptanya ), keyakinan akan kesehatan,
keyakinan agama

B. Data obyektif

1. Inspeksi dan palpasi ROM dan kekuatan otot

2. Bandingakan dengan sisi lain.

3. Pengukuran kekuatan otot (0-5)

4. Duduk, berdiri dan berjalan kecuali ada yang menentang Kyposis, scoliosis, lordosis.

2. Masalah Keperawatan

Masalah keperawatan pada lansia dengan gangguan pada sistem muskuloskeletal


adalah sebagai berikut:

1. Intoleransi Aktivitas
2. Gangguan Body Image
3. Defisit perawatan diri
4. Gangguan Mobilitas Fisik
5. Kurang pengetahuan
6. Risiko trauma
7. Risiko Injury
8. Kecemasan
9. Nyeri akut
10. Nyeri kronis
Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Intoleransi aktivitas NOC : NIC :
Berhubungan dengan :  Self Care : ADLs  Observasi adanya pembatasan klien dalam
 Tirah Baring atau  Toleransi aktivitas melakukan aktivitas
imobilisasi  Konservasi eneergi  Kaji adanya faktor yang menyebabkan
kelelahan
 Kelemahan Setelah dilakukan tindakan  Monitor nutrisi dan sumber energi yang
menyeluruh keperawatan selama …. adekuat
 Ketidakseimbangan Pasien bertoleransi  Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik
antara suplei oksigen terhadap aktivitas dengan dan emosi secara berlebihan
dengan kebutuhan Kriteria Hasil :  Monitor respon kardivaskuler terhadap
Gaya hidup yang  Berpartisipasi dalam aktivitas (takikardi, disritmia, sesak nafas,
dipertahankan. aktivitas fisik tanpa diaporesis, pucat, perubahan
DS: disertai peningkatan hemodinamik)
 Melaporkan secara tekanan darah, nadi dan  Monitor pola tidur dan lamanya
verbal adanya RR tidur/istirahat pasien
kelelahan atau  Mampu melakukan  Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi
kelemahan. aktivitas sehari hari Medik dalam merencanakan progran terapi

 Adanya dyspneu atau (ADLs) secara mandiri yang tepat.

ketidaknyamanan saat  Keseimbangan  Bantu klien untuk mengidentifikasi

beraktivitas. aktivitas dan istirahat aktivitas yang mampu dilakukan

DO :  Bantu untuk memilih aktivitas konsisten


yang sesuai dengan kemampuan fisik,

 Respon abnormal dari psikologi dan sosial

tekanan darah atau  Bantu untuk mengidentifikasi dan

nadi terhadap aktifitas mendapatkan sumber yang diperlukan

 Perubahan ECG : untuk aktivitas yang diinginkan

aritmia, iskemia  Bantu untuk mendpatkan alat bantuan


aktivitas seperti kursi roda, krek
 Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas
yang disukai
 Bantu klien untuk membuat jadwal latihan
diwaktu luang
 Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
 Sediakan penguatan positif bagi yang aktif
beraktivitas
 Bantu pasien untuk mengembangkan
motivasi diri dan penguatan
 Monitor respon fisik, emosi, sosial dan
spiritual
Gangguan body image NOC: NIC :
berhubungan dengan:  Body image Body image enhancement
Biofisika (penyakit  Self esteem - Kaji secara verbal dan nonverbal respon
kronis), kognitif/persepsi Setelah dilakukan tindakan klien terhadap tubuhnya
(nyeri kronis), keperawatan selama …. - Monitor frekuensi mengkritik dirinya
kultural/spiritual, penyakit, gangguan body image - Jelaskan tentang pengobatan,
krisis situasional, pasien teratasi dengan perawatan, kemajuan dan prognosis
trauma/injury, pengobatan kriteria hasil: penyakit
(pembedahan, kemoterapi,  Body image positif - Dorong klien mengungkapkan
radiasi)  Mampu perasaannya
DS: mengidentifikasi - Identifikasi arti pengurangan melalui
- Depersonalisasi bagian kekuatan personal pemakaian alat bantu
tubuh  Mendiskripsikan secara - Fasilitasi kontak dengan individu lain
- Perasaan negatif faktual perubahan dalam kelompok kecil
tentang tubuh fungsi tubuh
- Secara verbal  Mempertahankan
menyatakan perubahan interaksi sosial
gaya hidup
DO :
- Perubahan aktual
struktur dan fungsi
tubuh
- Kehilangan bagian
tubuh
- Bagian tubuh tidak
berfungsi
Defisit perawatan diri NOC : NIC :
Berhubungan dengan :  Self care : Activity of Self Care assistane : ADLs
penurunan atau kurangnya Daily Living (ADLs)
motivasi, hambatan Setelah dilakukan tindakan  Monitor kemempuan klien untuk
lingkungan, kerusakan keperawatan selama …. perawatan diri yang mandiri.
muskuloskeletal, Defisit perawatan diri  Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat
kerusakan neuromuskular, teratas dengan kriteria bantu untuk kebersihan diri, berpakaian,
nyeri, kerusakan persepsi/ hasil: berhias, toileting dan makan.
kognitif, kecemasan,  Klien terbebas dari bau  Sediakan bantuan sampai klien mampu
kelemahan dan kelelahan. badan secara utuh untuk melakukan self-care.
 Menyatakan  Dorong klien untuk melakukan aktivitas
DO : kenyamanan terhadap sehari-hari yang normal sesuai
ketidakmampuan untuk kemampuan untuk kemampuan yang dimiliki.
mandi, ketidakmampuan melakukan ADLs  Dorong untuk melakukan secara
untuk berpakaian,  Dapat melakukan mandiri, tapi beri bantuan ketika klien
ketidakmampuan untuk ADLS dengan bantuan tidak mampu melakukannya.
makan, ketidakmampuan  Ajarkan klien/ keluarga untuk
untuk toileting mendorong kemandirian, untuk
memberikan bantuan hanya jika pasien
tidak mampu untuk melakukannya.
 Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai
kemampuan.
 Pertimbangkan usia klien jika
mendorong pelaksanaan aktivitas sehari-
hari.
Gangguan mobilitas fisik NOC : NIC :
Berhubungan dengan :  Joint Movement : Exercise therapy : ambulation
- Gangguan metabolisme Active  Monitoring vital sign sebelm/sesudah
sel  Mobility Level latihan dan lihat respon pasien saat
- Keterlembatan  Self care : ADLs latihan
perkembangan  Transfer performance  Konsultasikan dengan terapi fisik
- Pengobatan Setelah dilakukan tindakan tentang rencana ambulasi sesuai dengan
- Kurang support keperawatan kebutuhan
lingkungan selama….gangguan  Bantu klien untuk menggunakan tongkat
- Keterbatasan ketahan mobilitas fisik teratasi saat berjalan dan cegah terhadap cedera
kardiovaskuler dengan kriteria hasil:
- Kehilangan integritas  Klien meningkat dalam  Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan
struktur tulang aktivitas fisik lain tentang teknik ambulasi
- Terapi pembatasan gerak  Mengerti tujuan dari  Kaji kemampuan pasien dalam
- Kurang pengetahuan peningkatan mobilitas mobilisasi
tentang kegunaan  Memverbalisasikan  Latih pasien dalam pemenuhan
pergerakan fisik perasaan dalam kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai
- Indeks massa tubuh meningkatkan kemampuan
diatas 75 tahun percentil kekuatan dan  Dampingi dan Bantu pasien saat
sesuai dengan usia kemampuan berpindah mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan
- Kerusakan persepsi  Memperagakan ADLs ps.
sensori penggunaan alat Bantu  Berikan alat Bantu jika klien
- Tidak nyaman, nyeri untuk mobilisasi memerlukan.
- Kerusakan (walker)  Ajarkan pasien bagaimana merubah
muskuloskeletal dan posisi dan berikan bantuan jika
neuromuskuler diperlukan
- Intoleransi
aktivitas/penurunan
kekuatan dan stamina
- Depresi mood atau
cemas
- Kerusakan kognitif
- Penurunan kekuatan
otot, kontrol dan atau
masa
- Keengganan untuk
memulai gerak
- Gaya hidup yang
menetap, tidak
digunakan,
deconditioning
- Malnutrisi selektif atau
umum
DO:
- Penurunan waktu reaksi
- Kesulitan merubah
posisi
- Perubahan gerakan
(penurunan untuk
berjalan, kecepatan,
kesulitan memulai
langkah pendek)
- Keterbatasan motorik
kasar dan halus
- Keterbatasan ROM
- Gerakan disertai nafas
pendek atau tremor
- Ketidak stabilan posisi
selama melakukan ADL
- Gerakan sangat lambat
dan tidak terkoordinasi
Kurang Pengetahuan NOC: NIC :
Berhubungan dengan :  Kowlwdge : disease  Kaji tingkat pengetahuan pasien dan
keterbatasan kognitif, process keluarga
interpretasi terhadap  Kowledge : health  Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan
informasi yang salah, Behavior bagaimana hal ini berhubungan dengan
kurangnya keinginan untuk Setelah dilakukan tindakan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang
mencari informasi, tidak keperawatan selama …. tepat.
mengetahui sumber- pasien menunjukkan  Gambarkan tanda dan gejala yang biasa
sumber informasi. pengetahuan tentang muncul pada penyakit, dengan cara yang
proses penyakit dengan tepat
kriteria hasil:  Gambarkan proses penyakit, dengan cara
DS: Menyatakan secara  Pasien dan keluarga yang tepat
verbal adanya masalah menyatakan  Identifikasi kemungkinan penyebab,
DO: ketidakakuratan pemahaman tentang dengan cara yang tepat
mengikuti instruksi, penyakit, kondisi,  Sediakan informasi pada pasien tentang
perilaku tidak sesuai kondisi, dengan cara yang tepat
prognosis dan program  Sediakan bagi keluarga informasi tentang
pengobatan kemajuan pasien dengan cara yang tepat
 Pasien dan keluarga  Diskusikan pilihan terapi atau
mampu melaksanakan penanganan
prosedur yang  Dukung pasien untuk mengeksplorasi
dijelaskan secara benar atau mendapatkan second opinion dengan
 Pasien dan keluarga cara yang tepat atau diindikasikan
mampu menjelaskan  Eksplorasi kemungkinan sumber atau
kembali apa yang dukungan, dengan cara yang tepat
dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya
Risiko trauma NOC : NIC :
Faktor-faktor risiko  Knowledge : Personal Environmental Management safety
Internal: Safety  Sediakan lingkungan yang aman untuk
Kelemahan, penglihatan  Safety Behavior : Fall pasien
menurun, penurunan Prevention  Identifikasi kebutuhan keamanan pasien,
sensasi taktil, penurunan  Safety Behavior : Fall sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi
koordinasi otot, tangan- occurance kognitif pasien dan riwayat penyakit
mata, kurangnya edukasi  Safety Behavior : terdahulu pasien
keamanan, Physical Injury  Menghindarkan lingkungan yang
keterbelakangan mental  Tissue Integrity: Skin berbahaya (misalnya memindahkan

and Mucous Membran perabotan)


Eksternal: Setelah dilakukan tindakan  Memasang side rail tempat tidur
Lingkungan keperawatan  Menyediakan tempat tidur yang nyaman

selama….klien tidak dan bersih

mengalami trauma dengan  Menempatkan saklar lampu ditempat

kriteria hasil: yang mudah dijangkau pasien.

- pasien terbebas dari  Membatasi pengunjung

trauma fisik  Memberikan penerangan yang cukup


 Menganjurkan keluarga untuk menemani
pasien.
 Mengontrol lingkungan dari kebisingan
 Memindahkan barang-barang yang dapat
membahayakan
 Berikan penjelasan pada pasien dan
keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan penyebab
penyakit.
Risiko Injury NOC : NIC : Environment Management
Faktor-faktor risiko : Risk Kontrol (Manajemen lingkungan)
Eksternal Immune status  Sediakan lingkungan yang aman untuk
- Fisik (contoh : rancangan Safety Behavior pasien
struktur dan arahan Setelah dilakukan tindakan  Identifikasi kebutuhan keamanan pasien,
masyarakat, bangunan keperawatan selama…. sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi
dan atau perlengkapan; Klien tidak mengalami kognitif pasien dan riwayat penyakit
mode transpor atau cara injury dengan kriterian terdahulu pasien
perpindahan; Manusia hasil:  Menghindarkan lingkungan yang
atau penyedia  Klien terbebas dari berbahaya (misalnya memindahkan
pelayanan) cedera perabotan)
- Biologikal ( contoh :  Klien mampu  Memasang side rail tempat tidur
tingkat imunisasi dalam menjelaskan cara/metode  Menyediakan tempat tidur yang nyaman
masyarakat, untukmencegah dan bersih
mikroorganisme) injury/cedera  Menempatkan saklar lampu ditempat yang
- Kimia (obat-obatan:agen  Klien mampu mudah dijangkau pasien.
farmasi, alkohol, kafein, menjelaskan factor risiko  Membatasi pengunjung
nikotin, bahan pengawet, dari lingkungan/perilaku  Memberikan penerangan yang cukup
kosmetik; nutrien: personal  Menganjurkan keluarga untuk menemani
vitamin, jenis makanan;  Mampumemodifikasi pasien.
racun; polutan) gaya hidup  Mengontrol lingkungan dari kebisingan
Internal untukmencegah injury  Memindahkan barang-barang yang dapat
- Psikolgik (orientasi  Menggunakan fasilitas membahayakan
afektif) kesehatan yang ada  Berikan penjelasan pada pasien dan
- Mal nutrisi  Mampu mengenali keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status perubahan status kesehatan dan penyebab
kesehatan penyakit.
- Bentuk darah abnormal,
contoh :
leukositosis/leukopenia
- Perubahan faktor
pembekuan,
- Trombositopeni
- Sickle cell
- Thalassemia,
- Penurunan Hb,
- Imun-autoimum tidak
berfungsi.
- Biokimia, fungsi
regulasi (contoh : tidak
berfungsinya sensoris)
- Disfugsi gabungan
- Disfungsi efektor
- Hipoksia jaringan
- Perkembangan usia
(fisiologik, psikososial)
- Fisik (contoh : kerusakan
kulit/tidak utuh,
berhubungan dengan
mobilitas)
Kecemasan berhubungan NOC : NIC :
dengan - Kontrol kecemasan Anxiety Reduction (penurunan
Faktor keturunan, Krisis - Koping kecemasan)
situasional, Stress, Setelah dilakukan asuhan  Gunakan pendekatan yang
perubahan status selama ……………klien menenangkan
kesehatan, ancaman kecemasan teratasi dgn  Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
kematian, perubahan kriteria hasil: pelaku pasien
konsep diri, kurang  Klien mampu  Jelaskan semua prosedur dan apa yang
pengetahuan dan mengidentifikasi dan dirasakan selama prosedur
hospitalisasi
DO/DS: mengungkapkan gejala  Temani pasien untuk memberikan
- Insomnia cemas keamanan dan mengurangi takut
- Kontak mata kurang  Mengidentifikasi,  Berikan informasi faktual mengenai
- Kurang istirahat mengungkapkan dan diagnosis, tindakan prognosis
- Berfokus pada diri menunjukkan tehnik  Libatkan keluarga untuk mendampingi
sendiri untuk mengontol klien
- Iritabilitas cemas  Instruksikan pada pasien untuk
- Takut  Vital sign dalam batas menggunakan tehnik relaksasi
- Nyeri perut normal  Dengarkan dengan penuh perhatian
- Penurunan TD dan  Postur tubuh, ekspresi  Identifikasi tingkat kecemasan
denyut nadi wajah, bahasa tubuh  Bantu pasien mengenal situasi yang
- Diare, mual, kelelahan dan tingkat aktivitas menimbulkan kecemasan
- Gangguan tidur menunjukkan
 Dorong pasien untuk mengungkapkan
- Gemetar berkurangnya
perasaan, ketakutan, persepsi
- Anoreksia, mulut kering kecemasan
 Kelola pemberian obat anti cemas:........
- Peningkatan TD, denyut
nadi, RR
- Kesulitan bernafas
- Bingung
- Bloking dalam
pembicaraan
- Sulit berkonsentrasi
Nyeri akut berhubungan NOC : NIC :
dengan:  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara
Agen injuri (biologi, kimia,  pain control, komprehensif termasuk lokasi,
fisik, psikologis),  comfort level karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
kerusakan jaringan Setelah dilakukan tinfakan faktor presipitasi
DS: keperawatan selama ….  Observasi reaksi nonverbal dari
- Laporan secara verbal Pasien tidak mengalami ketidaknyamanan
DO: nyeri, dengan kriteria hasil:  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
- Posisi untuk menahan  Mampu mengontrol nyeri dan menemukan dukungan
nyeri (tahu penyebab nyeri,
mampu menggunakan
- Tingkah laku berhati- tehnik nonfarmakologi  Kontrol lingkungan yang dapat
hati untuk mengurangi nyeri, mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
- Gangguan tidur (mata mencari bantuan) pencahayaan dan kebisingan
sayu, tampak capek, sulit  Melaporkan bahwa nyeri  Kurangi faktor presipitasi nyeri
atau gerakan kacau, berkurang dengan  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menyeringai) menggunakan menentukan intervensi
- Terfokus pada diri manajemen nyeri  Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
sendiri  Mampu mengenali nyeri napas dala, relaksasi, distraksi, kompres
- Fokus menyempit (skala, intensitas, hangat/ dingin
(penurunan persepsi frekuensi dan tanda nyeri)  Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri:
waktu, kerusakan proses  Menyatakan rasa nyaman ……...
berpikir, penurunan setelah nyeri berkurang  Tingkatkan istirahat
interaksi dengan orang  Tanda vital dalam rentang  Berikan informasi tentang nyeri seperti
dan lingkungan) normal penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
- Tingkah laku distraksi,  Tidak mengalami berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan
contoh : jalan-jalan, gangguan tidur dari prosedur
menemui orang lain  Monitor vital sign sebelum dan sesudah
dan/atau aktivitas, pemberian analgesik pertama kali
aktivitas berulang-ulang)
- Respon autonom (seperti
diaphoresis, perubahan
tekanan darah,
perubahan nafas, nadi
dan dilatasi pupil)
- Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam rentang
dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu
makan dan minum
Nyeri Kronis NOC: NIC :
berhubungan dengan  Comfort level Pain Manajemen
ketidakmampuan fisik-  Pain control - Monitor kepuasan pasien terhadap
psikososial kronis  Pain level manajemen nyeri
(metastase kanker, injuri Setelah dilakukan tindakan - Tingkatkan istirahat dan tidur yang
neurologis, artritis) keperawatan selama …. adekuat
nyeri kronis pasien - Kelola anti analgetik ...........
DS: berkurang dengan kriteria - Jelaskan pada pasien penyebab nyeri
- Kelelahan hasil: - Lakukan tehnik nonfarmakologis
- Takut untuk injuri ulang  Tidak ada gangguan (relaksasi, masase punggung)
DO: tidur
- Atropi otot  Tidak ada gangguan
- Gangguan aktifitas konsentrasi
- Anoreksia  Tidak ada gangguan
- Perubahan pola tidur hubungan interpersonal
- Respon simpatis (suhu  Tidak ada ekspresi
dingin, perubahan posisi menahan nyeri dan
tubuh , hipersensitif, ungkapan secara verbal
perubahan berat badan)  Tidak ada tegangan otot
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-


lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000).

Proses penuaan dapat ditinjau dari aspek biologis, sosial dan


psikologik. Teori-teori biologis sosial dan fungsional telah ditemukan untuk
menjelaskan dan mendukung berbagai definisi mengenai proses penuaan.
pendekatan multi disiplin mengenai teori penuaan, perawat harus memiliki
kemampuan untuk mensintesa berbagai teori tersebut dan menerapkannya
secara total pada lingkungan perawatan klien usia lanjut termasuk aspek
fisik, mental/emosional dan aspek-aspek sosial. Dengan demikian
pendekatan eklektik akan menghasilkan dasar yang baik saat merencanakan
suatu asuhan keperawatan berkualitas pada klien lansia.

B. Saran

Penulis sadari dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak


kesalahan dan mungkin jauh dari tahapan kesempurnaan. Maka dari itu kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan demi
tercapainya penyusunan makalah yang jauh lebih baik dimasa yang akan
datang.

DAFTAR PUSTAKA

Suratum. Dkk. 2008. Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal . EGC: Jakarta


Sumawarti., Widiarti., & Tiar. (2011). NANDA Diagnosis keperawatan: Definisi
dan klasifikasi. EGC. Jakarta.
Amelio, P., & Isaiya, G, C. (2015). Male osteoporosis in elderly. International
Journal of Endocrinology. Vol. 15 (9)
Amelio, P., & Isaiya, G, C. (2015). Male osteoporosis in elderly. International
Journal of Endocrinology. Vol. 15(9)
Arthritis Care. (2016). Understanding Arthritis London: Arthritis Care retrieved by
https://www.arthritiscare.org.uk/assets/000/001/820/Understanding_FINA
L_100516_ web_original.pdf?1502875508
Arthritis Research UK. (2011). Clinical assessment of the musculoskeletal system:
A guide for medical students and healthcare professionals. Registered
Charity England and Wales
Miller, C.A. (2012). Nursing for wellness in older adults: Theory and practice.
Philadephia: Wolters Kluwer / Lippincott Williams & Wilkins
Ragab, G., Elshahaly, M., & Bardin, T. (2017). Gout: An old disease in new
perspective –A review. Journal of Advanced Research. Vol. 8(5)
Sihombing, I., Wangko S., & Kalanggi, S, J. (2012). Peran estrogen pada
remodeling tulang. Jurnal Biomedik. Vol 4 (3)
Tabloski, P. (2014). Gerontological nursing third edition. USA: Pearson.
Touhy, T.A., & Jett, K. (2014). Ebersole and hess: Gerontological nursing and
healthy aging. USA: Elsevier Mosby
Colón, C. J., Molina-Vicenty, I. L., Frontera-Rodríguez, M., García-Ferré, A.,
Rivera, B. P., Cintrón-Vélez, G., & Frontera-Rodríguez, S. (2018). Muscle
and Bone Mass Loss in the Elderly Population: Advances in diagnosis and
treatment (Vol. 3). doi: 10.7150/jbm.23390
Mauk, K. L. (2006). Gerontological nursing: Competencies for care. London:
Jones and Bartlett Publishers, Inc.
Miller, C.A. (2012). Nursing for wellness in older adults: Theory and practice. (6th
Ed). Philadephia: Wolters Kluwer / Lippincott Williams & Wilkins.
Mujahidullah (2012). Keperawatan Gerontik. Jakarta: Bintang Tiga
Stanley, M. & Beare, P. G. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik. Edisi 2. Terj.
Nety Juniarti & Sari Kurnianingsih. Jakarta: EGC.
Yulia, T. (2014). Analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat
perkotaan pada ibu SM (87 tahun) dengan masalah Hambatan mobilitas
fisik di Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur.

Syaifudding, Haji. (2011). Anatomi Fisiologi : Kurikulum berbasis Kompetensi


untuk Keperawatan dan Kebidanan. Jakarta : ECG
Lukman, Ningsih Nurna. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika.
Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10
editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.
Bulechek, Gloria. M, et al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC).
Sixth Edition. United States of America: Elsevier.
Moorhead, Sue. et al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). Fifth
Edition. United States of America: Elsevier.
Martono,Hadi & Kris Pranarka.2009. buku ajar Geriatri(ilmu kesehatan usia lanjut).
Jakarta: FK UI
Ayu D. A. D dan warsito B.E. (2012). PEMBERIAN INTERVENSI SENAM
LANSIA PADA LANSIA DENGAN NYERI LUTUT. JURNAL
NURSING STUDIES, Volume 1, Nomor 1 Tahun 2012, Halaman 60 – 65
Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnursing

Azizah, lilik Ma’rifatul. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Penerbita Graha Ilmu.
Yogyakarta

Ferawati. (2017). Efektifitas Kompres Jahe Merah Hangat Dan Kompres Serai
Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Arthritis Remathoid Pada Lanjut
Usia. Jurnal Ilmu Kesehatan MAKIA, Vol.5 No.1, Agustus 2017

Hansen K.E; Elliot M.E., Osteoarthritis, Pharmacotherapy, A Pathophysiological


Approach, McGraw-Hill 2005

Anda mungkin juga menyukai