Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN TUGAS KHUSUS PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)

DI
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH

DISUSUN OLEH :
EKA BAYU PERDANA, S. Farm 1504026155

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2016
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN TUGAS KHUSUS PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)
DI
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH

Laporan ini disusun untuk memperoleh nilai akhir Praktek Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih.

Disetujui oleh :

Pembimbing

Dina Melia Oktavilantika, M. Sc., Apt.

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan “Tugas Khusus Pemantauan Terapi Obat” yang berlangsung pada
periode November 2016.
Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh
nilai akhir praktek kerja profesi apoteker (PKPA) di rumah sakit pada Program
Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA.
Selama penyusunan tugas ini banyak hambatan yang terjadi, namun dengan
bantuan dan bimbingan baik berupa saran maupun dorongan moril dari berbagai
pihak tugas ini dapat terselesaikan. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang
tulus disampaikan kepada Ibu Dina Melia Oktavilantika, M. Sc., Apt. selaku
pembimbing lapangan di RS Islam Cempaka Putih Jakarta.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini belum merupakan hasil yang
sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang sifatnya membangun
sangat diharapkan demi penyempurnaan tugas ini.
Semoga laporan ini dapat menjadi salah satu sumbangan pengetahuan
yang berguna dan memberikan wawasan yang lebih luas tentang pemantauan
terapi obat di rumah sakit.

Jakarta, November 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR.................................................................................... v
DAFTAR TABEL......................................................................................... vi

BAB I. PENDAHULUAN........................................................................ 1
A. Latar Belakang........................................................................ 1
B. Tujuan..................................................................................... 1
C. Manfaat................................................................................... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 3


A. Pemantauan Terapi Obat......................................................... 3
B. Sectio Caesarea (bedah sesar)................................................ 7
C. Demam Tifoid......................................................................... 9
D. Fibrilasi Atrium...................................................................... 12

BAB III. METODOLOGI........................................................................... 17


A. Waktu dan Tempat................................................................... 17
B. Metodelogi............................................................................... 17

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................... 18


A. Kasus 1..................................................................................... 18
B. Kasus 2..................................................................................... 21
C. Kasus 3..................................................................................... 25

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................... 32


A. Kesimpulan............................................................................. 32
B. Saran....................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 33

iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Diagram pemilihan terapi AKB dan AVK............................. 14
Gambar 2. Tatalaksana akibat AKB......................................................... 15

v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Antimikroba untuk demam tifoid.................................................. 11
Tabel 2. Obat intravena kendali laju fase akut............................................. 16
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Fisik (Kasus 1)................................................ 18
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (Kasus 1).................................. 19
Tabel 5. Terapi Obat (Kasus 1).................................................................... 19
Tabel 6. Kesesuaian Dosis Obat (Kasus 1).................................................. 19
Tabel 7. Telaah Obat (Kasus 1)................................................................... 20
Tabel 8. Hasil Pemeriksaan Fisik (Kasus 2)................................................ 21
Tabel 9. Lanjutan Tabel Hasil Pemeriksaan Fisik (Kasus 2)....................... 22
Tabel 10. Hasil Laboratorium (Kasus 2)........................................................ 22
Tabel 11. Lanjutan Hasil Laboratorium (Kasus 2)........................................ 22
Tabel 12. Terapi Obat (Kasus 2).................................................................... 23
Tabel 13. Kesesuaian Dosis Obat (Kasus 2).................................................. 23
Tabel 14. Telaah Obat (Kasus 2)................................................................... 24
Tabel 15. Keluhan Pasien (Kasus 3).............................................................. 25
Tabel 16. Hasil Pemeriksaan Fisik di Paviliun IGD (Kasus 3)...................... 26
Tabel 17. Hasil Pemeriksaan Fisik di Paviliun Stroke Centre (Kasus 3)....... 26
Tabel 18. Hasil Pemeriksaan Fisik di Paviliun Melati (Kasus 3).................. 26
Tabel 19. Hasil Laboratorium (Kasus 3)........................................................ 27
Tabel 20. Terapi Obat di Paviliun IGD (Kasus 3)......................................... 27
Tabel 21. Terapi Obat di Paviliun Stroke Centre (Kasus 3).......................... 27
Tabel 22. Terapi Obat di Paviliun Melati (Kasus 3)...................................... 28
Tabel 23. Kesesuain Dosis (Kasus 3)............................................................ 28
Tabel 24. Lanjutan Kesesuaian Dosis (Kasus 3)........................................... 29
Tabel 25. Telaah Obat (Kasus 3)................................................................... 29
Tabel 26. Interaksi Obat (Kasus 3)................................................................ 30

vi
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada
pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk
pelayanan farmasi klinik (MENKES RI 2014).
Apoteker khususnya yang bekerja di rumah sakit dituntut untuk
merealisasikan perluasan paradigma pelayanan kefarmasian dari orientasi produk
menjadi orientasi pasien. Pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi dua
kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial dan kegiatan farmasi klinik.
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan
resiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien
sehingga kualitas hidup pasien terjamin (MENKES RI 2014). Salah satu
pelayanan farmasi klinis di rumah sakit adalah Pemantauan Terapi Obat (PTO).
PTO merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan
terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Pasien yang mendapatkan
terapi obat mempunyai resiko masalah terkait obat. Kompleksitas penyakit dan
penggunaan obat, serta respon pasien yang sangat individual meningkatkan
munculnya maslah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan
PTO dalam praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan
efek yang tidak dikehendaki. Keberadaan apoteker memiliki peran penting dalam
mencegah munculnya masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim
pelayanan kesehatan memiliki peran penting dalam PTO (DIRJEN BINFAR
2009).
B. Tujuan
1. Meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan resiko dan
meminimalkan resiko reaksi obat yang tidak dikehendaki.
2. Memastikan pasien mendapatkan obat sesuai dengan regimen terapi.

1
C. Manfaat
Pelaksanaan praktik apoteker dalam pemantauan terapi obat (PTO)
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan drug related problem
(DRP).
2. Sebagai bahan pertimbangan untuk rekomendasi terapi.
3. Sebagai bagian dari pharmaceutical care, responsibilitas farmasis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


1. Pengertian (MENKES RI 2014)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan
resiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD).
Kegiatan dalam PTO meliputi:
1) Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi,
ROTD.
2) Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat.
3) Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan, yaitu :
1) Kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap bukti
terkini dan terpercaya (Evidence Based Medicine).
2) Kerahasiaan informasi.
3) Kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).
2. Penatalaksanaan (DIRJEN BINFAR 2009)
a. Seleksi pasien
1) Kondisi Pasien
a) Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga
menerima polifarmasi.
b) Pasien kanker yang menerima sitostatika.
c) Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.
d) Pasien geriatri dan pediatri.
e) Pasien hamil dan menyusui.
f) Pasien dengan perawatan intensif.
2) Obat
a) Jenis obat
Pasien yang menerima obat dengan resiko tinggi seperti :

3
1. Obat dengan indeks terapi sempit (contoh : digoksin,fenitoin).
2. Obat yangbersifat nefrotoksik (contoh : gentamisin) dan
hepatotoksik (contoh : OAT).
3. Sitostatika (contoh : metotreksat).
4. Antikoagulan (contoh : warfarin, heparin).
5. Obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh : metoklopramid,
AINS).
6. Obat kardiovaskular (contoh : nitrogliserin).
b) Kompleksitas regimen
1. Polifarmasi.
2. Variasi rute pemberian.
3. Variasi aturan pakai.
4. Cara pemberian khusus (contoh : inhalasi)
b. Pengumpulan data pasien
Data pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO. Data
tersebut dapat diperoleh dari :
1) Rekam medik.
2) Profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat.
3) Wawancara dengan pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan lain.
Rekam medik merupakan kumpulan data medik seorang pasien mengenai
pemeriksaan, pengobatan dan perawatannya di rumah sakit. Data yang diperoleh
dari rekam medik, antara lain; data demografi pasien, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penggunaan obat, riwayat
keluarga, riwayat sosial, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnostik, doagnosis
dan terapi. Data tersebut di pelayanan komunitas dapat diperoleh melalui
wawancara dengan pasien, meskipun data yang dipeoleh terbatas.
Profil pengobatan pasien di rumah sakit dapat diperoleh dari catatan
pemberian obat oleh perawat dan kartu/formulir penggunaan obat oleh tenaga
farmasi. Profil tersebut mencakup penggunaan obat ruitn, obat p.r.n (obat jika
perlu), obat dengan instruksi khusus (contoh : insulin).
Semua data yang sudah diterima, dikumpulkan dan kemudian dikaji. Data
yang berhubungan dengan PTO diringkas dan diorganisasikan kedalam suatu

4
format yang sesuai. Sering kali data yang diperoleh dari rekam medik dan profil
pengobatan pasien belum cukup untuk melakukan PTO, oleh karena itu perlu
dilengkapi dengan data yang diperoleh dari wawancara pasien, anggota keluarga,
dan tenaga kesehatan lain.
c. Identifikasi masalah terkait obat
Masalah terkait obat menurut Hepler dan Strand dapat dikategorikan
sebagai berikut :
1) Ada indikasi tetapi tidak diterapi.
2) Pemberian obat tanpa indikasi.
3) Pemilihan obat yang tidak tepat.
4) Dosis terlalu tinggi.
5) Dosis terlalu rendah.
6) ROTD.
7) Interaksi obat.
8) Pasien tidak menggunakan obat karena suatu sebab. Beberapa pasien tidak
menggunakan obat antara lain : masalah ekonomi, obat tidak tersedia,
ketidakpatuhan pasien, kelalaian petugas.
Apoteker perlu membuat prioritas masalah sesuai dengan kondisi pasien,
dan menentukan masalah tersebut sudah terjadi atau berpotensi akan terjadi.
Maslah yang perlu penyelesaian segera harus diprioritaskan.
d. Rekomendasi terapi
Tujuan utama pemberian obat adalah peningkatan kualitas hidup pasien,
yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
1) Menyembuhkan penyakit (contoh : infeksi).
2) Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh : nyeri).
3) Menghambat progresivitas penyakit (contoh : gangguan fungsi ginjal).
4) Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh : stroke).
Pilihan terapi dari berbagai alternatif yang ada ditetapkan berdasarkan :
efikasi, keamanan, biaya, regimen yang mudah dipatuhi.
e. Rencana Pemantauan
Apoteker dalam membuat rencana pemantauan perlu menetapkan langkah-
langkah :

5
1) Menetapkan parameter farmakoterapi.
2) Menetapkan sasaran terapi.
3) Menetapkan frekuensi pemantauan.
Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO adalah
Subjective Objective Assessment Planning (SOAP).
1) Subjective
Data subyektif adalah gejala yang dikeluhkan oleh pasien. Contoh :
pusing, mual, nyeri, sesak nafas.
2) Objective
Data obyektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh tenaga kesehatan.
Tanda-tanda obyektif mencakup tanda vital (tekanan darah, suhu tubuh,
denyut nadi, kecepatan pernafasan), hasil pemeriksaan laboratorium dan
diagnostik.
3) Assessment
Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisis untuk menilai
keberhasilan terapi, meminimalkan efek yang tidak dikehendaki dan
kemungkinan adanya masalah baru terkait obat.
4) Planning
Setelah dilakukan SOA maka langkah selanjutnya adalah menyusun
rencana yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah.
Rekomendasi yang dapat diberikan :
a) Memberikan alternatif terapi, menghentikan pemberian obat,
memodifikasi dosis atau interval pemberian, merubah rute pemberian.
b) Mengedukasi pasien.
c) Pemeriksaan laboratorium.
d) Perubahan pola makan atau penggunaan nutrisi parenteral/enteral.
e) Pemeriksaan parameter klinis lebih sering.
f. Tindak lanjut
Hasil identifikasi maslah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat
oleh apoteker harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait.
Komunikasi yang efektif dengan tenaga kesehatan lain harus selalu dilakukan
untuk mencegah kemungkinan timbulnya masalah baru.

6
Kegagalan terapi dapat disebabkan karena ketidakpatuhan pasien dan
kurangnya informasi obat. Sebagai tindak lanjut, pasien harus mendapatkan
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) secara tepat. Informasi yang tepat
sebaiknya :
1) Tidak bertentangan/berbeda dengan informasi dari tenaga kesehatan lain.
2) Tidak menimbulkan keraguan pasien dalam menggunakan obat.
3) Dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menggunakan obat.
B. Sectio Caesarea (bedah sesar)
1. Pengertian
Sectio Caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer 2002).
2. Penatalaksanaan
a. Perawatan awal
1) Letakkan pasien dalam kondisi pemulihan.
2) Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam pertama,
kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15
menit sampai sadar.
3) Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi.
4) Transfusi jika diperlukan.
5) Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera
kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi pendarahan pasca bedah.
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lau
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral.pemberian minuman dengan
jumlah sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 – 10 jam pasca operasi, berupa air
putih dan air teh.
c. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
1) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 – 10 jam setelah operasi.
2) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar.

7
3) Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lau menghembuskannya.
4) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah
duduk.
5) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada
hari ke-3 sampai hari ke-5 pasca operasi.
d. Fungsi gastrointestinal
1) Jika tindakan tidak berat, beri pasien diet cair.
2) Jika ada tanda infeksi, tunggu bising usus timbul.
3) Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat.
4) Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik.
e. Perawatan fungsi kandung kemih
1) Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau sesudah
semalam.
2) Jika urin tidak jernih, biarkan kateter terpasang sampai urin jernih.
3) Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih, biarkan kateter terpasang
sampai minimum 7 hari atau urin jernih.
4) Jika sudah tidak memakai antibiotika, berikan nirofurantion 100 mg/ oral/
hari sampai kateter dilepas.
5) Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan pendarahan.
Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam atau lebih lama tergantung jenis
operasi dan keadaan penderita.
f. Pembalutan dan perawatan luka
1) Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairantidak terlalu
banyak jangan mengganti pembalut.
2) Jika pembalut agak kendor, jangan ganti pembalut, tapi beri plester untuk
mengencangkan.
3) Ganti pembalut dengan cara steril.
4) Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih.

8
5) Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan kulit
dilakukan pada hari ke-5 pasca SC.
g. Jika masih terdapat pendarahan
1) lakukan masase uterus.
2) Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan i.v (garam fisiologik atau RL)
60 tetes/ menit, ergometrin 0,2 mg i.m dan prostaglandin.
h. Jika masih terdapat tanda infeksi
Berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas demam selama 48 jam:
1) Ampisilin 2 g i.v setiap 6 jam,
2) Gentamisin 5 mg/ kg BB i.v setiap 8 jam,
3) Metronidazol 500 mg i.v setiap 8 jam.
i. Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
1) Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting.
2) Suppossitoria ketoprofen 2 x /24 jam.
3) Oral : tramadol tiap 6 jam atau paracetamol.
4) Injeksi : penitidine 75 – 90 mg diberikan tiap 6 jam bila perlu.
j. Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberika
carbonsia seperti neurobian I vitamin C.
C. Demam Tifoid
1. Pengertian
Menurut WHO (World Health Organisation), demam tifoid adalah
penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
2. Penatalaksanaan pengobatan dan perawatan (MENKES 2006)
a. Perawatan umum dan nutrisi
1) Tirah baring.
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk
mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila berat,
penderita harus istirahat total.

9
2) Nutrisi.
a) Cairan.
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat,
ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan
harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
b) Diet.
Diet harus menganding kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya
rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan
perforasi. Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet secara
enteral melalui pipa lambung. Diet parenteral dipertimbangkan jika ada
tanda-tanda komplikasi perdarahan atau perforasi.
c) Terapi simtomatik.
Terapi simtomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk
perbaikan keadaan umum penderita : roboransia/vitamin, antipiretik,
antiemetik.
3) Kontrol monitor dalam perawatan.
Kontrol dan monitor yang baik harus dilakukan untuk mengetahui
keberhasilan pengobatan. Hal-hal yang menjadi prioritas untuk dimonitor
adalah :
a) Suhu tubuh (status demam) serta petanda vital lain.
b) Keseimbangan cairan.
c) Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi.
d) Adanya koinfeksi dan atau komorboid dengan penyakit lain.
e) Efek samping atau efek toksik obat.
f) Resistensi antimikroba.
g) Kemajuan pengobatan secara umum.
b. Antimikroba
1) Strategi pemberian atimikroba untuk demam tifoid.
a) Antimikroba diberikan bila diagnosis telah dibuat.
b) Antimikroba yang diberikan sebagai terapi awal adalah dari kelompok
antimikroba lini pertama untuk tifoid.

10
c) Antimokroba lini pertama : kloramfenikol, ampisilin atau amoxicilin,
trimetropin-sulfametoksazol.
d) Antimikroba lini kedua : seftriakson, cefixim, quinolone (tidak
dianjurkan untuk anak < 18 tahun).
2) Pilihan antimikroba untuk demam tifoid.
Tabel 1. Antimikroba Untuk Demam Tifoid.
Antibiotika Dosis Kelebihan dan Keuntungan
Dewasa : 4 x 500 mg (2 a. Merupakan obat yang sering
g) selama 14 hari. digunakan dan telah lama
Anak : 50 – 100 mg/kg dikenal efektif untuk tifoid.
BB/hari max 2 g selama b. Murah dan dapat diberi per-
Kloramfenikol 10 – 14 hari dibagi 4 oral dan sensitivitas masih
dosis. tinggi.
c. Pemberian p.o/ i.v.
d. Tidak diberikan bila leukosit <
2000/mm3
Dewasa : 2 – 4 g/hari 1. Cepat menurunkan suhu, lama
selama 3 – 5 hari. pemberian pendek dan dapat
Seftriakson Anak : 80 mg/kg BB/hari dosis tunggal serta cukup
dosis tunggal selama 5 aman untuk anak.
hari. 2. Pemberian i.v.
Dewasa : 3 – 4 g/hari 1. Aman untuk penderita hamil.
selama 14 hari. 2. Sering dikombinasi dengan
Ampisilin & Anak : 100 mg/kg kloramfenikol pada pasien
amoksisilin BB/hari selama 10 hari. kritis.
3. Tidak mahal.
4. Pemberian p.o/ i.v.
Dewasa : 2 x (160 – 1. Tidak mahal.
800 ) selama 2 minggu. 2. Pemberian p.o.
TMP-SMX
Anak : TMP 6 – 10
(kotrimoksazol
mg/kg BB/hari atau SMX
)
30 -50 mg/kg BB/hari
selama 10 hari.

c. Pengobatan dan perawatan komplikasi


Prinsip :
1) Komplikasi tifoid harus terdeteksi secara dini.
2) Monitor dan evaluasi, baik klinis maupun laboratoris, harus terlaksana
secara adekuat.
3) Bila komplikasi ada, terapi yang tepat segera diberikan.
4) Pengobatan dan perawatan standar tifoid harus tetap terlaksana.

11
Terapi komplikasi tifoid :
1) Tifoid toksik.
a) Antimikroba yang dipilih adalah pemberian parenteral dan dapat ganda

(spektrum luas) seperti kombinasi ampisilin dengan kloramfenikol.


Pemberian kortikosteroid seperti deksamethason dngan dosis 4 x 10
mg i.v. Dosis untuk anak 1 -3 mg/kg BB/hari selama 3 – 5 hari.
b) Penderita dirawat secara intensif.
2) Syok septik.
a) Penderita dirawat secara intensif.
b) Kegagalan hemodinamik yang terjadi diatasi secara optimal.
c) Antimikroba dipilih pemberian parenteral dan dapat ganda (spektrum
luas) seperti pada tifoid toksik.
d) Abat-obatan vasoaktif (seperti dopamin) di pertimbangkan bila syok
mengarah irreversible.
3) Perdarahan dan perforasi.
a) Penderita dirawat secara intensif.
b) Dipertimbangkan transfusi darah bila telah indikasi. Segera transfusi
bila terjadi perdarahan akut, dimana perdarahan terjadi sebanyak 5
ml/kg BB/jam dan pemeriksaan hemostatis normal.
c) Bila perforasi : rawat bersama dokter bedah, operasi cito bila telah
indikasi. Beri antibiotik spektrum luas untuk terapi tifoid dan infeksi
kontaminasi usus. Dipilih antibiotika parenteral.
D. Fibrilasi Atrium
1. Pengertian
Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam
praktik sehari-hari. Prevalensi FA mencapai 1 – 2 % dan akan terus meningkat
dalam 50 tahun mendatang (Yuniadi Y dkk. 2014). FA merupakan salah satu
kondisi aritmia yang paling umum terjadi pada usia diatas 75 tahun (Barret et all.
2011).
Gejala penyakit FA beragam pada setiap individu. Gejala dipengaruhi oleh
oleh usia dan penyakit dasarnya. Gejala –gejala tersebut adalah : cepat lelah,

12
irama jantung tidak teratur, sesak nafas (dyspnea), berdebar, kesulitan
mengerjakan pekerjaan sehari-hari, rasa nyeri, dada tertekan, pusing, buang air
kencing semakin sering.
Kategori FA menurut ciri-ciri pasien :
1) FA sorangan (lone).
FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya, termasuk
hipertensi, penyakit paru terkait abnormalitas anatomi jantung seperti
pembesaran atrium kiri, dan usia diatas 60 tahun.
2) FA non valvular.
FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup jantung
protese atau operasi perbaikan katup mitral.
3) FA sekunder.
FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu FA, seperti
infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis,
hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit akut lainnya.
Kategori FA berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR)
sebagai berikut :
1) FA dengan respon ventrikel cepat.
Laju ventrikel : > 100x/menit.
2) FA dengan respon ventrikel normal.
Laju ventrikel : 60 – 100x/menit
3) FA dengan respon ventrikel lambat.
Laju ventrikel : < 60x/menit.
2. Penatalaksanaan (Yuniadi Y dkk. 2014)
a. Terapi antirombotik
Terapi antitrombotik yang dipergunakan untuk prevensi stroke pada pasien
FA meliputi antikoagulan (Antagonis vitamin K (AVK) dan antikoagulan baru
(AKB)), dan antiplatelet. Jenis antitromboitik lain yaitu trobolitik tidak digunakan
untuk prevensi stroke pasien FA.
Anatagonis vitamin K (warfarin dan coumadin) adalah obat antikoagulan
yang paling banyak digunakan untuk pencegahan stroke pada FA. Saat ini
terdapat 3 jenis AKB yang bukan merupakan AVK dipasaran Indonesia, yaitu

13
dabigatran, rivaroxaban, dan apixaban. Obat AKB terbukti non-inferior dibanding
warfarin dengan tingkat keamanan yang lebih baik.

Fibrilasi Atrium

FA valvular ya

tidak
ya ≤65 tahun, FA sorangan (termasuk perempuan)

tidak

Taksir resiko stroke (skor CHA2DS2VASc)

0 1 ≥2

Antikoagulan oral

Taksir resiko perdarahan


(skor HAS-BLED)

Tanpa terapi
antitrombotik AKB AVK

Gambar 1. Diagram pemilihan terapi AKB dan AVK.


Keterangan gambar :
1) Garis padat : pilihan terbaik. Garis putus-putus : pilihan alternatif.
2) CHA2DS2VASc : Congestive heart failure, Hypertension, Age ≥ 75 years
(score 2), Diabetes melistus, Stroke history (score 2), peripheral Vascular
disease, Age between 65 to 74, Sex Category.
3) HAS-BLED=Hypertension, Abnormal renal or liver function, history of
Stroke, history of Bleeding, Labile INR value, Elderly,antihtrombotic Drug
and alcohol.

14
AKB tidak memiliki antidot spesifik oleh karena itu bila terjadi perdarahan
maka tatalaksananya terutama bersifat supportif dengan pertimbangan bahwa
AKB memilki waktu paruh yang pendek.

Pasien dengan perdarahan yang


menggunakan AKB

Periksa status hemodinamik, tes


koagulasi dasar untuk menaksir efek
antikoagulan, fungsi ginjal, dll

Penundaan dosis berikut


Minor atau penghentian terapi

1. Terapi simtomatik/suportif
2. Kompresi mekanis
Menengah 3. Penggantian cairan
berat 4. Transfusi darah
5. Arang oral bila baru
mengkonsumsi AKB

1. Pertimbangkan rFIIa/PCC
Sangat berat 2. Filtrasi arang/hemodialisis

Gambar 2. Tata laksana akibat AKB.


Keterangan gambar :
1) rFIIa = Recombinant factor IIa
2) PCC = Prothrombin complex concentrate
b. Tata laksana pada fase akut
1) Kendali laju fase akut.
Pada pasien dengan hemodinamik stabildapat diberikan obat yang dapat
mengontrol respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal
kalsium non-dihidropiridin oral dapat digunakan pada pasien dengan
hemodinamik stabil. Antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin hanya boleh
dipakai pada pasien dengan fungsi sistolik ventrikel yang masih baik.

15
Tabel 2. Obat intravena kendali laju fase akut.
Obat Resiko
Diltiazem 0,25 mg/kg BB bolus i.v dalam 10 menit, Hipotensi,
dilanjutkan 0,35 mg/kg BB i.v bradikardia
Metoprolol 2,5 – 5 mg i.v bolus dalam 2 menit sampai 3 Hipotensi,
kali dosis bradikardia
Amiodaron 5 mg/kg BB dalam 1 jam pertama, Bradikardia,
dilanjutkan 1 mg/ menit dalam 6 jam, kemudian 0,5 phlebitis
mg/menit dalam 18 jam via vena besar
Verapamil 0,075 – 0, 15 mg/kg BB dalam 2 menit Hipotensi,
bradikardia
Digoksin 0,25 mg i.v setiap 2 jam sampai 1,5 mg Hipotensi, toksisitas
digitalis

2) Kendali irama fase akut.


Respon irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasuen FA. Pasien yang mengalami hemodinamik tidak stabil
harus segera dilakukan kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama sinus.
Obat i.v untuk kardioversi farmakologis yang tersedia di Indonesia adalah
amiodaron.
3) Terapi pil dalam saku (pildaku).
Pemberian propafenon oral (450 – 600 mg) dapat mengkonvesi irama FA
menjadi irama sinus. Obat ini dapat dibawa dalam saku untuk dipergunakan
sewaktu-waktu pasien memerlukan.
c. Tata laksana jangka panjang
1) Kendali laju jangka panjang.
Obat untuk kendali laju :
a) Penyekat beta : metoprolol, bisoprolol, atenolol,propanolol,carvedilol.
b) Antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin : verapamil, diltiazem.
c) Lainnya : digoksin, amiodaron.
2) Kendali irama jangka panjang.
Kardioversi elektrik.
d. FA pada kondisi khusus (lansia).
Secara umum, pengobatan AVK dan AKB dapat ditoleransi dengan baik
pada populasi lansia. Kardioversi elektrik jarang dilakukan pada lansia karena
sinus seringkali sulit untuk dipertahankan.

16
BAB III
METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat


Pemantauan Terapi Obat (PTO) dilakukan pada tanggal 21 November – 17
Desember 2016. PTO dilakukan pada tiga paviliun berbeda di Rumah Sakit Islam
Jakarta Cempaka Puith. PTO kasus 1 dilakukan di paviliun Shafa Anisa (Obgyn),
kasus 2 dilakukan di paviliun Matahari Dua, dan kasus 3 dilakukan di paviliun
Stroke Centre.
B. Metodelogi
Data-data dikumpulkan dari pasien rawat inap di paviliun Shafa Anisa
(Obgyn), paviliun Matahari Dua dan paviliun Stroke Centre Rumah Sakit Islam
Jakarta Cempaka Putih dengan melihat rekam medik, kardek dan status pasien
setiap hari nya.

17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kasus 1
1. Data Pasien
1) Nama pasien : Ny. DH.
2) No. Pendaftaran : 16022-xxxx.
3) Paviliun : Shafa Anisa.
4) Penjamin : Pribadi.
5) Berat badan : 72 kg.
6) Riwayat penyakit : Tidak ada.
7) Riwayat pengobatan : Tidak ada.
8) Riwayat alergi obat : Tidak ada.
9) Nama dokter : dr. Tzkh, Sp. OG.
2. Subjective
Pasien datang kerumah sakit dengan keluhan hamil 40 minggu, G
(Gravida)1 = kehamilan pertama, P (Partus)0 = belum pernah melakukan
persalinan, A (Abortus) 0 = belum pernah keguguran, hamil 40 minggu, dan
belum ada mulas-mulas.
3. Object
a. Diagnosa.
Pasien diperiksa oleh dokter berinisial Tzkh, Sp. OG. dan di diagnosa
untuk dilakukan Sectio caesarea.
b. Hasil pemeriksaan fisik.
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Fisik (Kasus 1).
Nilai Tanggal/Bulan/Tahun
Pemeriksaan
normal 22/10/16 23/10/16 24/10/16 25/10/16 26/10/16 27/10/16
36 – 37,5
Suhu 36 36,5 36,4 36,4 36,2 36,2
0
C
Tekanan 120/90
120/90 110/70 110/70 110/70 110/80 110/80
darah mmHg
60 – 100
Nadi 88 85 90 90 84 84
kali/menit

18
c. Hasil pemeriksaan laboratorium.
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (Kasus 1).
Tanggal Tanggal Tanggal
Pemeriksaan Normal
23/10/2016 24/10/2016 25/10/2016
Hemoglobin 11,7 – 15,5 g/dl 10, 8 Cek golongan 12, 5
Leukosit 3,60 – 11, 103/µl 9, 64 darah. -
Hematokrit 35 – 47 % 33 Hasil : -
Trombosit 150 – 440 10 /µl
3
331 O resus + -

d. Terapi obat.
Tabel 5. Terapi Obat (Kasus 1).
Tanggal Tanggal Tanggal Tanggal
Regi-
Nama obat Rute 24/10/2016 25/10/2016 26/10/2016 27/10/2016
men
Waktu pemberian obat (WIB)
Ceftriaxon 2x2 i.v 8.20/12.30/21.20 12.30/21.00 Stop -
Transamin 3x1 i.v 6.30/12.30/20.00 4.00 Stop -
Sporetik 2x1 p.o - - 18.00 6.00
As.
3x1 p.o - 18.00 12.00/18.00 6.00/12.00
Mefenamat
Sangobion 1x1 p.o - 18.00 7.00 6.00
Moloco B12 2x1 p.o - - 18.00 6.00

4. Assessment
Tabel 6. Kesesuaian Dosis Obat (Kasus 1).
Nama obat Rute Indikasi Dosis Dosis (literatur) Kesesuaian
1 – 2 g sekali sehari atau
Frofilaksis dalam dua kali dosis Tidak
Ceftriaxon i.v 2x2g
(MIMS 2016) terbagi (Mc Evoy GK Sesuai
2011)
Transamin Agen
10 mg/kg BB, 3-4 kali
(as. i.v antifibrinolitik 3x1 Sesuai
sehari (Lacy et al. 2009)
Traneksamat) (m.pdr.net)
400 mg sehari atau 200 mg
Sporetik Pencegahan 2 x 200
p.o setiap 12 jam (Mc Evoy Sesuai
(cefixime) infeksi mg
GK 2011)
Nyeri ringan
3 x 500 500 mg 3 kali sehari
As. Mefenamat p.o hingga sedang Sesuai
mg (Martin J 2009)
(m.pdr.net)
Sangobion p.o 1x1 - Sesuai
Moloco B12 p.o 3x1 - Sesuai

Tabel 7. Telaah Obat (Kasus 1).


No. Aspek telaah Ya Tidak Keterangan

19
1 Tepat pasien √
2 Tepat obat √ Ceftriaxon tidak
direkomendasikan untuk
profilaksis (Abramowicz M
2005).
3 Tepat dosis √ Dosis ceftriaxon terlalu besar.
4 Tepat frekuensi √
5 Tepat pemberian √
6 Duplikasi √
7 Interaksi obat √
8 Kontra indikasi √
9 Alergi obat √

5. Plannihg
Berdasarkan Subject, Object, dan Assessment yang telah dilakukan,
direkomendasikan untuk menurunkan dosis ceftriaxon menjadi 2 g sehari dan
merekomendasikan untuk mengganti ceftriaxon sebagai profilaksis pada Sectio
caesarea dengan antibiotika yang direkomendasikan yaitu cefazolin dengan dosis
1 – 2 g setelah pengikatan plasenta sebelum operasi.
6. Pembahasan (Kasus 1)
Pasien dengan inisial Ny. DH datang kerumah sakit RSIJ Cempaka Putih
pada tanggal 22 Oktober 2016 dengan keluhan utama adalah belum ada mulas -
mulas. Pasien dalam kondisi hamil 40 minggu dan merupakan kehamilan yang
pertama.
Dalam pengobatan pasien menerima obat ceftriaxon sebanyak 2 kali
dengan dosis 2 g, yaitu sebelum dan sesudah operasi. Penggunaan ceftriaxon
bertujuan sebagai profilaksis yaitu pencegahan infeksi. Ceftriaxon merupakan
antibiotik golongan sefalosforin generasi ke- 3. Golongan sefalosforin bekerja
dengan cara menghambat dinding sel bakteri (Priyanto 2010).
Penggunaan ceftriaxon sebagai profilaksis tidak direkomendasikan.
Antibiotika yang direkomendasikan untuk profilaksis pada Sectio caesarea yaitu
cefazolin dengan dosis 1 sampai 2 g setelah pengikatan plasenta sebelum operasi
(Abramowicz M 2005).

B. Kasus 2

20
1. Data pasien
1) Nama pasien : Tn. S.
2) No. Pendaftaran : 161029-xxxx.
3) Paviliun : Matahari Dua.
4) Penjamin : BPJS Kesehatan (Non PBI).
5) Berat badan : Tidak ada.
6) Riwayat penyakit : Tidak ada.
7) Riwayat pengobatan : Tidak ada.
8) Riwayat alergi obat : Tidak ada.
9) Nama dokter : dr. AF.
2. Subject
Pasien dengan inisial Tn. S datang kerumah sakit dengan keluhan demam
sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pusing, nyeri ulu hati, muntah-
muntah, mual, lemas, dan tidak nafsu makan
3. Object
a. Diagnosa
Pasien diperiksa oleh dokter dengan inisial dr. AF dan di diagnosa
mengalami Tifoid fever non komplikasi.
b. Hasil pemeriksaan fisik
Tabel 8. Hasil pemeriksaan fisik (Kasus 2).
Tanggal
Tanggal Tanggal
Pemeriksaa Nilai 29/10/201
30/10/2016 31/10/2016
n normal 6
1 1 2 3 1 2 3
36 – 37
Suhu 37 36,2 36,4 37,8 36,8 36,8 37
0
C
Tekanan 120/8 120/8 118/7 118/7 118/8 120/8
120/90 110/70
darah 0 0 4 0 0 0
60 – 100
Nadi kali/meni 80 80 91 86 84 84 84
t
18 – 20
Pernafasan kali/meni 20 - - - - - -
t

21
Tabel 9. Lanjutan tabel hasil pemeriksaan fisik (Kasus 2).
Tanggal
Tanggal Tanggal
Pemeriksaa Nilai 3/11/201
1/11/2016 2/11/2016
n normal 6
1 2 3 1 2 3 1
36 – 37
Suhu 37 37,1 37,2 37,2 37,2 37,2 36,4
0
C
Tekanan 120/8 120/8 120/8 120/8 120/8 120/8
120/90 130/90
darah 0 0 2 2 2 0
60 – 100
Nadi kali/men 86 86 86 86 86 86 90
it
18 – 20
Pernafasan kali/men - - - - - - -
it

c. Hasil laboratorium
Tabel 10. Hasil laboratorium (Kasus 2).
Nilai Tanggal Tanggal Tanggal
Pemeriksaan Satuan
rujukan 29/10/2016 30/10/2016 31/10/2016
Hemoglobin 13,2-17,3 g/dl 15,8 15,9 15,7
Leukosit 3,80-10,60 103/µl 5,94 7,41 5,64
hematokrit 40-52 % 43 42 48
Trombosit 150-440 103/µl 195 176 189
Hemat-
Eritrosit 4,40-5,90 103/µl 5,27 5,36 5,72
ologi
MCV/VER 80-100 Fl 81 82 84
MCH/HER 26-34 Pg 30 30 27
MCHC/
32-36 g/dl 37(H) 36 33
KHER
Imuno- Anti ≤2= 4,0
- - -
serologi Salmonella negatif Positif

Tabel 11. Lanjutan Hasil Laboratorium (Kasus 2).


Tanggal Tanggal Tanggal
Pemeriksaan Nilai rujukan Satuan
1/11/2016 2/11/2016 3/11/2016
Hemato- Hemoglobin 13,2-17,3 g/dl 15,7 15,4 15,7
logi Leukosit 3,80-10,60 103/µl 6,20 4,85 5,12
hematokrit 40-52 % 47 47 46
Trombosit 150-440 103/µl 182 200 361
Eritrosit 4,40-5,90 103/µl 5,70 5,61 5,56
MCV/VER 80-100 Fl 83 84 83
MCH/HER 26-34 Pg 28 28 28
MCHC/ 32-36 g/dl 33 33 34

22
KHER
Imuno- Anti
≤ 2 = negatif - - - -
serologi Salmonella

d. Terapi obat
Tabel 12. Terapi Obat (Kasus 2).
Tanggal Tanggal Tanggal Tanggal Tanggal
Nama
Regimen Rute 30/10/2016 31/10/2016 1/11/2016 2/11/2016 3/11/2016
Obat
Waktu pemberian obat (WIB)
Paraseta
3x1 p.o 12/18 6/12/18 6/12/18 6/12/18 6/12
mol
Ondanset
2x1 p.o - 6/18 6/18 6/18 6
ron
OBH 3x1 p.o - - 18 6/18 6/12
Gratizin 2x1 p.o - - 18 6/18 6
Ceftriaks
1x2g i.v 8 8 8 8 8
on
Levoflok 1 x 750
i.v - - - 22 22
sasin mg

4. Assessment
Tabel 13. Kesesuaian dosis obat (Kasus 2).
Nama
Rute Indikasi Dosis Dosis (literatur) Kesesuaian
obat
Analgetik
Maksimal 4 g sehari
Parasetamol p.o antipiretik (Mc 3 x 500 mg sesuai
(Mc Evoy GK 2011)
Evoy GK 2011)
Mual dan muntah 8 mg tiap 12 jam
Ondansetron p.o 2x1 sesuai
(pionas.pom.go.id) (pionas.pom.go.id)
Batuk berdahak 3 - 4 kali sehari (MIMS
OBH p.o 3x1 sesuai
(MIMS 2016) 2016)
Gratizin Pencegahan
(flunarizin p.o migrain (MIMS 2x1 5 – 10 mg/hari sesuai
tab 5 mg) 2016)
2 -4 g/hari, 3-5 hari
Ceftriakson i.v antibiotika 1x2g sesuai
(MENKES 2006)
Levofloksasi 250-750 mg, 1 kali
i.v antibiotika 1 x 750 mg sesuai
n sehari

23
Tabel 14. Telaah Obat (Kasus 2).
No. Aspek telaah Ya Tidak Keterangan
1 Tepat pasien √
2 Tepat obat √
3 Tepat dosis √
4 Tepat frekuensi √ OBH tidak diberikan sesuai
regimen
5 Tepat pemberian √
6 Duplikasi √
7 Interaksi obat √
8 Kontra indikasi √
9 Alergi obat √

5. Planning
Berdasarkan data Subject, Object, dan Assessment dapat direkomendasikan
untuk frekuensi pemberian OBH agar sesuai dengan regimen yaitu 3 kali sehari
dan diberikan rekomendasi untuk melanjutkan pengobatan dan monitoring terapi.
6. Pembahasan (Kasus 2)
Pasien dengan inisial Tn. S datang kerumah sakit dengan keluhan demam
sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, nyeri ulu hati, muntah –muntah,
mual, lemas, dan tidak nafsu makan. Pasien diperiksa oleh dokter dengan inisial
dr. AF dan di diagnosa mengidap Tifoid Fever non komplikasi.
Diagnosa dokter dalam kasus ini sudah tepat berdasarkan hasil
laboratorium yang menunjukan bahwa positif terdapat bakteri Salmonella. Bakteri
tersebut merupakan penyebab demam tifoid (MENKES 2006).
Terapi yang digunakan dalam pengobatan sudah tepat, namun ada
permasalahan dalam frekuensi pemberian obat yaitu OBH. OBH yang diresepkan
dokter diberikan dengan regimen 3 kali sehari, namun dalam terapi, pemberian
OBH dilakukan 2 kali sehari. Rekomendasi yang dapat diberikan kepada perawat
adalah untuk memperhatikan regimen pengobatan yang telah ditetapkan sehingga
pasien dapat menerima obat sesuai dengan regimen terapi.

24
C. Kasus 3
1. Data pasien
1) Nama pasien : Tn. K.
2) No. Pendaftaran : 161106-xxxx.
3) Paviliun : IGD, kemudian pindah ke Stroke Centre,
kemudian pindah ke paviliun Melati.
4) Penjamin : BPJS Kesehatan (Non PBI).
5) Berat badan : 70 kg.
6) Riwayat penyakit : Hipertensi dan Diabetes Melistus.
7) Riwayat pengobatan : Tidak ada.
8) Riwayat alergi obat : Tidak ada.
9) Nama dokter : dr. N.
2. Subject
Pasien dengan inisial Tn. K datang ke RS pada tanggal 06 November 2016
dengan keluhan sesak nafas, batuk, mempunyai riwayat hipertensi dan diabetes
melistus.
Berikut adalah keluhan-keluhan pasien selama di rumah sakit :
Tabel 15. Keluhan-keluhan pasien (Kasus 3).
Tanggal Tanggal Tanggal Tanggal
07/11/2016 08/11/2016 09/11/2016 10/11/2016
Pagi : - Pagi :masih
Sore :masih sedikit sesak, Pagi : pusing. Pagi :sesak
sedikit sesak. batuk. Sore :batuk. dan batuk
Keluhan
Malam : Sore :kadang- Malam :batuk batuk
sesak kadang batuk bertambah.
bertambah Malam :-

3. Object
a. Diagnosa
Pasien diperiksa oleh dokter dengan inisisal dr. N dan didiagnosa
mengalami fibrilasi atrium slow response.

25
b. Hasil pemeriksaan fisik
Tabel 16. Hasil Pemeriksaan Fisik di paviliun IGD (Kasus 3).
Tanggal Tanggal
Pemeriksaan Normal 6/11/2016 7/11/2016
1 1 2
Suhu 36 – 37 C
0
36 36,3 36
Tekanan
120/90 130/90 130/90 114/63
darah
60 – 100
Nadi 90 84 88
kali/menit
18 – 20
Pernafasan - 20 20
kali/menit

Tabel 17. Hasil Pemeriksaan Fisik di Paviliun Stroke centre (Kasus 3).
Tanggal Tanggal Tanggal
Pemeriksaan Normal 7/11/2016 8/11/2016 9/11/2016
1 2 3 1 2 3 1 2 3
36 – 37
Suhu 36 36,5 37 36 36 36 36 36 36
0
C
119/ 140/ 134/ 99/ 110/ 130/ 139/ 127/ 124
Tekanan darah 120/90
70 70 68 52 62 70 70 80 /75
60 – 100
Nadi kali/men 89 101 82 96 93 98 125 130 98
it
18 – 20
Pernafasan kali/men 20 22 22 20 20 24 20 21 20
it

Tabel 18. Hasil Pemeriksaan Fisik di Paviliun Melati (Kasus 3).


Tanggal
Pemeriksaan Normal 10/11/2016
1 2
Suhu 36 – 37 0C 36 36,5
Tekanan darah 120/90 139/70 135/64
60 – 100
Nadi 98 102
kali/menit
18 – 20
Pernafasan 20 20
kali/menit

26
c. Hasil laboratorium
Tabel 19. Hasil Laboratorium (Kasus 3).
Tanggal
Pemeriksaan Normal Satuan
6/11/2016
CK < 195 U/L 74
Jantung
CK-MB < 24 U/L 24

d. Terapi obat
Tabel 20. Terapi Obat di Paviliun IGD (Kasus 3).
Tanggal Tanggal
Nama Obat Regimen Rute 6/11/2016 7/11/2016
Waktu pemberian
1 x ekstra 2
Apilet p.o 23 -
tablet
1 x ekstra 4
CPG p.o 23 -
tablet
ISDN 5 mg s.l 23 -
Atorvastatin
1x1 p.o 23 -
20 mg
Rantin 2 x 1 ampul i.v 23 11
2 ampul
Lasix i.v 23 (2 ampul) 11
ekstra
Lovenox 2 x 0,4 ml s.c - 9
Cedocard 1 mg /jam (5 i.v (syringe
- 10.30
(10 mg/50 cc) cc/jam) pump)

Tabel 21. Terapi Obat di Paviliun Stroke Centre (Kasus 3).


Tanggal Tanggal Tanggal
Nama Obat Regimen Rute 7/11/2016 8/11/2016 9/11/2016
Waktu pemberian
Lasix ampul 2x1 i.v 23 11/23 11/23
Lasix 0,4 ml 2x1 s.c 21 9/21 9/21
Rantin ampul 2x1 i.v 23 11/23 11/23
Cedocard i.v
1 mg/ jam - 2 -
(10 mg/50 cc) (s.pump)
CPG 75 mg 1x1 p.o 23 6 6
Aspilet 80 mg 1x1 p.o 17 18 18
Nitrocaf 2,5 2x1 p.o - 10/22 10/22
Atorvastatin 20 mg 1x1 p.o 22 22 22
OMZ capsul 2x1 p.o - 6/18 6/20
Alprazolam 0,5 mg 1x1 p.o 22 6 22

27
Ambroxol tablet 3x1 p.o - - 12/18
0, 25 mg
Lnoxin i.v - - 20
ekstra

Tabel 22. Terapi Obat di Paviliun Melati (Kasus 3).


Tanggal
Nama Obat Regimen Rute 10/11/2016
Waktu Pemberian
Lasix ampul 2x1 i.v 11
Lasix 0,4 ml 2x1 s.c 9
Rantin ampul 2x1 i.v 11
Cedocard i.v
1 mg/ jam -
(10 mg/50 cc) (s.pump)
CPG 75 mg 1x1 p.o 6
Aspilet 80 mg 1x1 p.o -
Nitrocaf 2,5 2x1 p.o 10
Atorvastatin 20 mg 1x1 p.o -
OMZ capsul 2x1 p.o 6
Alprazolam 0,5 mg 1x1 p.o -
Ambroxol tablet 3x1 p.o 6/12

4. Assessment
Tabel 23. Kesesuaian Dosis Obat (Kasus 3)
Keteranga
Nama obat Rute Indikasi Dosis Dosis (Literatur)
n
Edema
pulmonari akut.
Digunakan jika 2x1
Lasik ampul 10-40 mg, 2 x sehari
i.v ingin terjadi ampul (2 Sesuai
(Furosemid) (Mc Evoy GK 2011)
diuresis lebih mg/2ml)
cepat
(MIMS 2016).
Profilaksis 2 x 1 (40 Tidak
Lovenox 0,4 ml 20-40 mg sehari
Sc tromboemboli mg/0,4 sesuai dosis
(enoxaparin Na) (MIMS 2016)
(MIMS 2016). ml) sehari.
Gastroesophage
i.v = 50 mg setiap 6 –
Rantin al reflux 2x1
i.v 8 jam (Mc Evoy GK Sesuai
(ranitidin HCl) (Mc Evoy GK (50/2 ml)
2011)
2011)
Profilaksis
Cedocard 10 mg/50 2 -10 mg/hari (MIMS
i.v angina (MIMS Sesuai
(ISDN) cc 2016)
2016)
Menurunkan
CPG 75 mg kejadian 75 mg sekali sehari
p.o 1x1 Sesuai
(clopidogrel) trombotik (Mc Evoy GK 2011)
(MIMS 2016)

28
Aspilet 80 mg Pencegahan
75-325 mg sehari
(as. Asetil p.o trombosis 1x1 Sesuai
( Lacy et all. 2009)
salisilat) (MIMS 2016)

Tabel 24. Lanjutan Kesesuaian Dosis Obat (Kasus 3).


Dosis
Nama obat Rute Indikasi Dosis Keterangan
(Literatur)
2 – 3 kali
Pencegahan dan
Nitrokaf 2,5 2 x 1 (2,5 sehari
p.o terapi angina sesuai
(nitrogliserin) mg) (MIMS
(MIMS 2016)
2016)
Menurunkan
Atorvastatin resiko penyakit 1 x 1 (20 10 – 80 mg 1
p.o sesuai
20 mg stroke (MIMS mg) x sehari
2016)
20 mg 1 x
OMZ Refluk esophagitis 2 x 1 (20 sehari (Mc Tidak sesuai
p.o
(omeprazole) (MIMS 2016) mg) Evoy GK regimen.
2011)
Geriatri atau
kondisi
Alprazolam Ansietas
p.o 1x1 lemah 0,25 sesuai
0,5 mg (pionas.pom.go.id)
mg 2 – 3 kali
sehari
Pasien
Tidak sesuai,
Jika HR tidak Ekstra geriatri > 70
Lanoxin i.v melebihi dosis
turun (> 100) 0,25 mg tahun 0,125
sehari.
mg sehari

Tabel 25. Telaah Obat (Kasus 3).


No. Aspek telaah Ya Tidak Keterangan
1 Tepat pasien √
2 Tepat obat √
3 Tepat dosis √ Lovenox dan lanoxin
melebihi dosis sehari
4 Tepat frekuensi √ OMZ tidak sesuai regimen
5 Tepat pemberian √
6 Duplikasi √
7 Interaksi obat √ OMZ-CPG level serious
8 Kontra indikasi √
9 Alergi obat √

29
Tabel 26. Interaksi Obat (Kasus 3) (Medscape).
Interaksi Level Efek Rekomendasi
Omeprazol menurunkan efek
clopidogrel dengan Menghentikan pemberian
OMZ-CPG serious
mempengaruhi metabolisme OMZ
enzim CYP2C19 hati.
Lovenox - Meningkatkan efek satu sama Modifikasi terapi/monitor
Significant
CPG lain melalui efek sinergisme (sakit kepala)
Lovenox- Meningkatkan efek
Significant Gunakan secara hati-hati
aspile antikoagulan
Aspilet- Meningkatkan toksisitas satu Monitor efek samping
Significant
lovenox sama lain (demam,bronkospasme)
Monitor efek samping
Aspilet- Meningkatkan toksisitas satu
Significant (sakit
CPG sama lain
kepala,bronkospasme)
Aspirin meningkatkan dan Gunkan dengan hati –hati
Aspilet-
Significant furosemid menurunkan serum dan monitor efek samping
lasix
potasium (hipokalemia/hiperkalemia)
Aspirin menurunkan efek
Aspilet -
minor furosemid oleh antagonis -
lasix
farmakodinamik

5. Planning
Berdasarkan data dan kajian SOAP, apoteker dapat merekomendasikan
kepada tenaga kesehatan lain, yaitu :
1) Merekomendasikan menurunkan dosis lovenox sehari menjadi 40 mg/
4ml.
2) Merekomendasikan menurunkan dosis lanoxin menjadi 0,125 mg.
3) Merekomendasikan menghentikan pemberian OMZ.
6. Pembahasan (Kasus 3)
Pasien dengan inisial Tn. K datng kerumah sakit dengan keluhan utama
yaitu sesak nafas. Hasil pemeriksaan oleh dokter, pasien mengalami fibrilasi
atrium –slow respon. Pasien merupakan pasien geriatri yang sudah berumur 77
tahun. Dalam pengobatan tentunya tenaga kesehatan harus berhati-hati dalam
memilih penanganan terapi mengingat umur pasien yang sudah tua.

30
Dalam pengobatan, pasien menerima obat Lovenox (enoxaparin Na), OMZ
(Omeprazole), dan Lanoxin yang tidak sesuai dengan dosis yang ditetapkan oleh
berbagai literatur. Pemberian Lovenox 2 x 1 0,4 ml (40 mg/0,4 ml) tidak sesuai
dengan dosis sehari yaitu 20 – 40 mg (MIMS 2016). Lovenox yang diberikan ke
pasien adalah sebanyak 40 mg sehari, dosis tersebut melebihi dosis sehari yang
ditetapkan literatur. Ini sangat berbahaya mengingat kemungkinan toksisitas obat
akan meningkat karena melebihi dosis sehari.
Pemberian OMZ (omeprazole) dan CPG (clopidogrel) secara bersamaan
dalam terapi sangat berbahaya. OMZ dapat berinteraksi dengan CPG pada level
serious dengan mekanisme omeprazole menurunkan efek clopidogrel dengan
mempengaruhi metabolisme enzim CYP2C19 hati (medscape). Apoteker dapat
memberikan rekomendasi untuk menghentikan pemberian OMZ mengingat
interaksi yang berbahaya. Dalam terapi OMZ digunakan untuk menekan refluk
esofagitis atau nyeri akibat naiknya asam lambung (MIMS 2016). Memhentikan
pemberian OMZ tidak berpengaruh terhadap tujuan terapi karena dalam terapi
juga digunakan Rantin (ranitidin) yang diindikasikan sama seperti omeprazol.

31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Kasus 1
Pasien dengan inisial Ny. DH datang ke rumah sakit dengan keluhan
belum ada mulas-mulas. Pasien dalam kondisi hamil 40 minggu dan merupakan
kehamilan pertama. Hasil pemeriksaan oleh dokter menunjukan untuk dilakukan
Sectio Caersare. Dalam terapi profilaksis digunakan ceftriaxon. Ceftriaxon tidak
direkomendasikan untuk terapi profilaksis.
2. Kasus 2
Pasien dengan inisial Tn. Smengeluh demam 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit disertai pusing, nyeri ulu hati, muntah-muntah, mual, dan tidak nafsu
makan. Hasil pemeriksaan oleh dokter, pasien didiagnosa mengidap Tifoid fever
atau demam tifoid tanpa adanya komplikasi. Demam tifoid merupakan penyakit
yang disebabkan oleh bakter Salmonella thipy. Dalam perawatan di rumah sakit
pasien mengeluh batuk, lalu diberikan OBH. Pemberian OBH tidak sesuai dengan
regimen terapi yang ditetapkan oleh literatur.
3. Kasus 3
Pasien dengan inisial Tn. K datang ke IGD rumah sakit dengan keluhan
utama adalah sesak nafas. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, pasien
didiagnosa mengalami fibrilasi atrium yang merupakan gangguan irama jantung
dengan gejala sesak nafas. Dalam pengobatan, ditemukan masalah mengenai obat
yang diberikan, yaitu dosis terlalu besar untuk lovenox dan lanoxin serta
penggunakan omeprazol harus dihentikan karena dapat berinteraksi dengan
clopidogrel yang menimbulkan efek yang berbahaya.
B. Saran
1) Telaah obat sebaiknya dilakukan sebelum obat diberikan kepada pasien.

32
2) Ceftriaxon tidak direkomendasikan untuk terapi profilaksis.
3) Faktor usia sebaiknya diperhitungkan dalam pemilihan terapi dan obat-
obat yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Abramowich M. 2005. Handbook of Antimicrobial Therapy 17th. The Medical


Letter, inc. New Rochelle. New York 1081 – 7537.
Barret et all. 2011. A Clinical Prediction Model to Estimate Risk for 30-day
Adverse Events In Emergency Department Patient With Symtomatic Atrial
Fibrilation.Ann Emergency Med. 57.
Direktur Jenderal. 2009. Pedoman Pemantauan Terapi Obat. Direktorat Bina
Farmasi Komunitas Dan Klinik Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Lacy et all. 2009. Drug Information Handbook 17th edition. Ohio. Lexi-Comp for
the American Pharmacist Association.
m.pdr.net. Online.
Medscape. Online.
Mansjoer A. 2002. Asuhan Keperawatan Maternitas. Salemba Medika. Jakarta.
Martin J. 2009. British National Formulary 58. London: BMJ Group and RPS
Publishing.
Mc Evoy GK. 2011. AHFS Drug Innformation. America Society of Health-System
Pharmacists. Bethesda, Maryland.
Menteri Kesehatan RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006 Tentang Pedoman
Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 58 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah
Sakit. Jakarta.
MIMS. 2016. App Version 1.6.0.4. Online.
pionas.pom.go.id. Online.
Priyanto. 2010. Farmakologi Dasar Untuk Mahasiswa Farmasi dan Keperawatan
Edisi II. LESKONFI. Jakarta.
Yuniadi Y dkk. 2014. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Centra Communications.

33
34

Anda mungkin juga menyukai