Identitas buku
Sinopsis
Cerita sejarah ini berlatar pada tahun 1400-an Masehi, tepat menjelang
keruntuhan Majapahit. Kala itu, agam Islam sudah berkembang pesat di berbagai
daerah kekuasaan Majapahit. Hal ini membuat pemerintah Majapahit tergerak untuk
mengadakan menteri yang bertugas khusus untuk mengurus agama Islam. Majapahit
sendiri sudah memiliki menteri khusus untuk mengurus agama Hindu dan Budha.
Keluarga Keraton Keling, Bhre Kertabhumi atas usulan istrinya, Dewi Amarawati,
mengutus Syekh Ibrahim Al-Akbar untuk mengurus agama Islam di Majapahit. Dewi
Amarawati merupakan putri Champa sekaligus adik dari Syekh Ibrahim Al-Akbar.
Secara otomatis, Syekh Ibrahim yang masih keturunan Rasulullah SAW memiliki
hubungan kekerabatan dengan penguasa Majapahit.
Islam memang sudah berkembang di Majapahit. Perkembangan Islam di
Nusantara bisa dibilang tidak maksimal karena tidak ada pemuka agama yang dekat
dengan penguasa. Beberapa ulama yang masih keturunan Rasulullah SAW sudah
sejak lama menjajaki bumi Jawa untuk mensyiarkan agama Islam termasuk ayah
Syekh Ibrahim, Syekh Jamaluddin Syah Jalal. Kepergian ayahnya yang sudah lama
ke tanah Jawa membuat Syekh Ibrahim ingin segera menyusul pula ke tanah Jawa.
Karena terdapat permintaan dari Kerajaan Majapahit pula, Syekh Ibrahim tertarik
untuk turut mensyiarkan agama rasul di tanah Jawa sekaligus mencari kabar ayahnya
di sana.
Syekh Ibrahim ditemani Sayyid Ali Murtadlo dan tiga belas santri pilihan
berangkat dari Kerajaan Champa menuju Kerajaan Majapahit. Rombongan Syekh
Ibrahim berangkat menggunakan jung melewati lautan yang luas untuk memenuhi
undangan dari Bhre Kertabumi. Naas, pada suatu hari di tengah laut, badai besar
tiba-tiba menghadang perjalanan rombongan Syekh Ibrahim sehingga menyebabkan
jung rusak dan tenggelam. Badai besar yang terjadi membuat jung rombongan Syekh
Ibrahim terdampar di Kamboja.
Terdamparnya rombongan Syekh Ibrahim di Kamboja bukanlah kabar baik.
Terutama ketika Syekh Ibrahim membawa serta tiga belas santri yang merupakan
orang Champa. Perlu diketahui bahwa hubungan Champa dengan Kamboja tidak
terlalu baik saat itu. Ketika keberadaan rombongan Syekh Ibrahim diketahui oleh
pasukan Kamboja, rombongan Syekh Ibrahim langsung ditahan oleh Kerajaan
Kamboja.
Nasib Syekh Ibrahim beserta rombongannya mungkin tidak akan selamat dari
kerajaan Kamboja jika tidak berkat Panglima Samdech Ram. Samdech Ram adalah
salah satu panglima pasukan Kamboja yang berutang budi atas kebaikan rombongan
Syekh Ibrahim ketika Panglima Samdech Ram diserang sihir yang tidak diketahui.
Berkat bantuan Panglima Samdech Ram, Syekh Ibrahim dapat mengirim tiga orang
santrinya yang dapat berbahasa Sansekerta untuk dikirim ke Kerajaan Majapahit
demi meminta bantuan. Berbekal surat Syekh Ibrahim untuk Raden Bhre Kerthabumi,
penguasa Keraton Keling di Trowulan, tiga orang santri tersebut berusaha untuk
secepatnya sampai ke tanah Jawa yang saat itu perjalanan paling canggih adalah
masih jung di lautan sembari menunggu arah angin. Ketika surat sudah sampai di
tangah Bhre Kertabhumi, beliau langsung menyiapkan armada besar beserta pasukan
untuk menjemput Syekh Ibrahim beserta rombongan. Jika rombongan Syekh Ibrahim
tetap ditahan pihak Kamboja, Majapahit tidak akan menahan pertumpahan darah
yang akan terjadi di Kamboja.
Gertakan Majapahit dan penaklukan pelabuhan Prey Nokor oleh pasukan
Majapahit membuat Kamboja gempar. Panglima Samdech Ram dengan rencananya
tersendiri mengusahakan agar rombongan Syekh Ibrahim dapat kembali ke Majapahit.
Setelah rombongan Syekh Ibrahim berhasil diselamatkan, Majapahit mau menarik
pasukannya dari Kamboja.
Syekh Ibrahim belum sempat melanjutkan perjuangannya untuk menyebarkan
Islam di tanah Jawa dikarenakan sakitnya semenjak masih berada di jung dalam
perjalanan menuju Majapahit. Sesampai di Pelabuhan Tuban, Syekh Ibrahim masih
tetap sakit hingga meninggal dan dimakamkan di sana. Perjuangan Syekh Ibrahim
dilanjutkan oleh anaknya, Sayyid Ali Murtadlo. Sayyid Ali Murtadlo beserta
santri-santri yang tersisa menuju Trowulan untuk memenuhi undangan Raden Bhre
Kerthabumi yang sebelumnya dilimpahkan ke sang ayah.
Tema :
Tokoh :
1. Bhre Kertabhumi
2. Dewi Amarawati
3. Syekh Ibrahim Al-Akbar
4. Syekh Jamaluddin Syah Jalal
5. Sayyid Ali Murtadlo
6. Panglima Samdech Ram
7. Sayyid Ali Murtadlo
8. Sabda Palon
9. Naya Genggong
Penokohan :
Bhre Kertabhumi
-Sedikit mudah tersulut emosinya (krn menggertak akan menaklukkan pelabuhan
kamboja) dan Bertanggung jawab (menuruti nasehat sabda palon karena takut
kerajaannya akan runtuh)
Bukti
"Jika rombongan Syekh Ibrahim tetap ditahan pihak Kamboja, Majapahit tidak akan
menahan pertumpahan darah yang akan terjadi di Kamboja."
"Raja kertabumi pun mengawini Bondrit Cemara, seorang emban dari Wandhan."
Dewi Amarawati
-Memiliki sifat Iri (mudah cemburu), Jahat (ingin membunuh)
Bukti
"Dewi Amaravati, putri Champa permaisuri Kertabui, dilanda cemburu tak
tertanggungkan hingga ia berencana membunuh Bondrit Cemara beserta jann yang
telah dikandungnya."
"Berkat bantuan Panglima Samdech Ram, Syekh Ibrahim dapat mengirim tiga orang
santrinya yang dapat berbahasa Sansekerta untuk dikirim ke Kerajaan Majapahit
demi meminta bantuan."
Sabda Palon
-Setia (terhadap Kerajaan Majapahit)
Bukti
"Saat itu, Sabda Palon dan Naya Genggong, dua punakawan Bhre Kertabumi,
melihan dengan mata batinnya bahwa trah Majapahitakan lumpuh."
Naya Genggong
-Setia (terhadap Kerajaan Majapahit)
Bukti
"Saat itu, Sabda Palon dan Naya Genggong, dua punakawan Bhre Kertabumi,
melihan dengan mata batinnya bahwa trah Majapahitakan lumpuh."
Gaya Bahasa :
Penulis seringkali menggunakan majas perbandingan. Namun tidak sering
menggunakan majas atau gaya bahasa.
Majas Metafora : “Mendung bergulung”
Majas Simile : “Petir sesekali bagai memecah angkasa”
Latar/Setting :
Latar Suasana : Tenggang, Sedih, Panik, Bahagia
Latar Waktu : Pagi, Siang, Sore, Malam
Latar Tempat : Kerajaan Majapahit, Kamboja, Prey Nokor.
Amanat :
-Jangan melupakan kebaikan orang lain
-Jangan mudah merasa iri atas apa yang dimiliki orang lain
-Jangan berniat mencelakai seseorang
-Saling membantu satu sama lain